pengantar redaksi - trp | portal tata ruang dan...

24

Upload: duongdieu

Post on 09-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan
Page 2: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 2

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena

perkenan-Nya jugalah Buletin Tata Ruang dan Pertanahan edisi

pertama ini dapat hadir di tengah-tengah pembaca. Di dalam edisi

perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan Tata Ruang dan

Pertanahan‖ dengan tujuan memberikan pengantar dan

pandangan umum (overview) mengenai isu-isu terkini di bidang

tata ruang dan pertanahan.

Tata ruang dan pertanahan adalah isu lintas sektoral yang

penanganannya membutuhkan penanganan khusus pula.

Beragam kepentingan politik, ekonomi, sosial dan budaya

bercampur-baur di dalam menentukan wujud ruang dan kebijakan

pertanahan yang akan diimplementasikan. Demi menjaga

keseimbangan dan keadilan di dalam pemenuhan

kepentingan-kepentingan tersebut, maka pelaku dan para

pengambil kebijakan di bidang tata ruang dan pertanahan harus

mampu memainkan peran sentral yang dapat menjadi titik temu.

Di dalam menjalankan perannya itulah, Direktorat Tata Ruang dan

Pertanahan Bappenas mencoba menghadirkan ruang publik ini

sebagai wadah dialog dan diseminasi isu-isu terkait tata ruang dan

pertanahan.

Besar harapan kami Buletin Tata Ruang dan Pertanahan ini

dapat menjadi media tematik alternatif yang dapat berkontribusi

tidak hanya bagi perluasan khasanah wawasan para pelaku

kegiatan bidang tata ruang dan pertanahan, namun juga bagi

perbaikan kebijakan bidang tata ruang dan pertanahan di

Indonesia. Semoga!

Redaksi Buletin Tata Ruang dan Pertanahan

Pelindung

Penanggung

Jawab

Pemimpin Redaksi

Dewan Redaksi

Editor

Redaksi

Desain &

Tata Letak

Desain Sampul

Distribusi &

Administrasi

Alamat Redaksi

Deputi Bidang

Pengembangan Regional

dan Otonomi Daerah

Direktur Tata Ruang dan

Pertanahan

Nana Apriyana

Rinella Tambunan

Dwi Hariyawan S

Mia Amalia

Lusi Silviani

Hernydawati

Santi Yulianti

Aswicaksana

Agung Dorodjatoen

Kiki Rachmawati

Idham Khalik

Adhitya Wirayasa

Ester Fitrinika

Micania Camillang

Indra Ade Saputra

Akhmad Gunawan

Dodi Rahadian

Sylvia Krisnawati

Sukino

Yulia Hartati

Jl. Taman Suropati No. 2

Gedung Madiun Lt. 3

021 - 392 66 01

[email protected]

landspatial.bappenas.go.id

pengantar redaksi

Page 3: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 3

Tata Ruang & Pertanahan

Sosialisasi Peraturan Pemerintah terkait Penataan Ruang

melihat dari dekat

Buletin

daftar isi

Tata Ruang dalam Konteks Perencanaan Pembangunan Wawancara dengan

Dr. Ir. Max H. Pohan, CES, MA

4 Concepts, Principles, and Guidlines for Land Policy Formulation and Development Planning Dr. Gerhardus Schultink

6

Kompaksi Perkotaan: Prinsip dan Potensi Pengembangannya dalam Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Lebih Berkelanjutan Dr. Iwan Kustiwan

11 14

18

4 6 11 15

edisi I tahun 2010

daftar isi 3 ringkas buku 16

kajian 19

agenda 23

koordinasi trp 15

dalam berita 21

Page 4: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 4

Tata Ruang dalam

Konteks Perencanaan Pembangunan

Wawancara dengan

Dr. Ir. Max H. Pohan, CES, MA

Sumber: www.swisscontact.org

D i siang hari itu, redaksi Buletin TRP mendapat

kesempatan untuk berbincang dengan Deputi Bidang

Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Bapak

Dr. Ir. Max Pohan, CES, MA. mengenai pelaksanaan

perencanaan pembangunan dan isu-isu nasional yang sedang

hangat dibicarakan saat ini. Ketika ditemui, Pak Max terlihat

sedang sibuk di antara berkas-berkas yang menggunung.

Tetapi begitu melihat kami datang, beliau langsung tersenyum

dan meninggalkan pekerjaannya sejenak untuk berdiskusi

dengan kami. Berikut petikan wawancara redaksi Buletin TRP

(TRP) dengan Bapak Max Pohan (MP).

TRP: Salah satu fokus Bidang Wilayah dan Tata Ruang dalam

RPJMN 2010-2014 adalah pengurangan kesenjangan antar

wilayah. Bagaimana hal itu bisa dicapai dalam 5 tahun ke

depan?

MP: Usaha untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah

adalah usaha jangka panjang yang sudah tertuang dalam

RPJPN UU No. 17/2007 dan tahapannya telah dijabarkan 5

tahunan dalam RPJMN yang saat ini sudah memasuki tahap ke

2 tahun 2010-2014. Usaha ini adalah usaha yang continuous,

terus menerus. Mungkin dalam 5 tahun ke depan kita

membangun koridornya dahulu, 5 tahun kemudian tahapan

berikutnya, begitu seterusnya, seperti building bricks yang pada

akhirnya bertujuan untuk mengatasi kesenjangan ini.

Kesenjangan wilayah adalah masalah ekonomi yang diukur

melalui berbagai indikator, salah satunya PDRB. Dari sisi

pemerintah, untuk mendorong investasi dan pembangunan

ekonomi di daerah dalam rangka mengurangi kesenjangan

dilaksanakan melalui instrumen fiskal seperti pengelolaan

APBN dengan DAK (Dana Alokasi Khusus) dan DAU (Dana

Alokasi Umum) yang lebih berpihak kepada Luar Jawa, serta

kebijakan non fiskal berupa penyiapan berupa peraturan

insentif bagi daerah di Luar Jawa sebagai pusat pertumbuhan.

Hal ini dapat dicapai apabila ada kebijakan nasional yang lebih

radikal (affirmative policy) dan kemauan politik yang besar yang

didukung oleh semua komponen bangsa.

TRP: Penataan Ruang merupakan salah satu aspek kunci untuk

mencapai misi pengembangan wilayah dalam 5 tahun ke

depan. Menurut Bapak bagaimanakah penataan ruang dapat

digunakan untuk mencapai tujuan tersebut?

MP: Penataan Ruang adalah sesuatu yang prerequisite, mutlak ada

terlebih dahulu sebelum semua pembangunan ekonomi, sosial dan

lingkungan dilaksanakan, serta menjadi panduan untuk

investasi. Dalam kaitannya dengan pengurangan kesenjangan

antar wilayah, RTRWN (Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Red) telah memberi arahan pembangunan yang memberi

keberpihakan kepada kawasan di luar Jawa, melalui rencana

pengembangan berbagai infrastruktur baru untuk mendorong

investasi di kawasan tersebut. Percepatan penyelesaian Perda

RTRW Provinsi juga dapat mengakselerasi pertumbuhan

investasi di berbagai daerah. Yang juga penting untuk

diperhatikan adalah harmonisasi fungsi ruang antara kawasan

budidaya dan kawasan lindung agar dampak penataan ruang

dapat dirasakan secara optimal.

TRP: Salah satu isu yang hangat saat ini adalah cara mengatasi

kemacetan DKI Jakarta yang semakin kronis. Dalam salah satu

wawancara dengan stasiun TV, menurut Bapak opsi untuk

pemindahan Ibukota RI bukan prioritas jangka pendek,

bagaimana menurut Bapak penanganan yang paling cocok

diterapkan bagi Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia?

MP: Kita harus dapat melihat secara jernih akar permasalahan

Jakarta ini terlebih dahulu, jangan langsung mengambil solusi

instan yang sebenarnya tidak menjawab permasalahan.

Masalah DKI sekarang adalah kemacetan, kualitas hidup dan

daya dukung lingkungan yang rendah. Berbagai masalah ini

terjadi karena seluruh pusat kegiatan perekonomian nasional

bertumpu di Jakarta. Jakarta memiliki daya tarik (pull factors)

yang sangat besar bagi warga pendatang karena menjanjikan

kesempatan yang lebih besar untuk mencari kehidupan yang

lebih baik dan memiliki prestise tinggi. Hal ini ditambah dengan

daya dorong (push factors) dari kota asal mereka dimana

pekerjaan kurang menjanjikan pendapatan yang layak, serta

pencitraan media terhadap

Jakarta yang seakan-akan hidup

dan bekerja di Jakarta sangat

nyaman yang semakin

mendorong penduduk

berbondong-bondong ke Jakarta.

Sebenarnya akar permasalahan

ini adalah kesenjangan wilayah,

bukan karena adanya kegiatan

pemerintah di Ibukota. Oleh

karena itu solusi memindahkan

ibukota tidak akan menjawab

permasalahan, karena tarikan

yang paling besar adalah dari kegiatan ekonomi. Solusi yang

lebih tepat adalah melalui pengembangan wilayah dan

melaksanakan rencana tata ruang secara nasional agar

pembangunan merata dan daya tarik kota-kota yang lain juga

berkembang.

Jakarta memiliki pull

factors bagi warga

pendatang karena

menjanjikan

kesempatan yang

lebih besar untuk

mencari kehidupan

yang lebih baik.

Sumber: www.swisscontact.org

Page 5: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 5

TRP: Saat ini pengembangan wilayah juga dilakukan dengan

pendekatan kawasan seperti KEK (Kawasan Ekonomi Khusus)

dan KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu).

Bagaimana implementasi pendekatan ini dan instrumen apa

yang perlu dipersiapkan?

MP: Intinya adalah bagaimana mengembangkan daya tarik di

wilayah KEK terpilih untuk mengurangi kesenjangan wilayah

yang saat ini terjadi melalui instrumen fiskal, moneter, dan

terutama infrastruktur. Untuk KEK, sampai saat ini, masih

dalam tahap pemilihan lokasi dan tahapan administratif karena

berdasarkan RPJMN 2010-2014, sampai akhir tahun 2014

akan ada 5 lokasi yang ditetapkan menjadi KEK dan

penetapannya menjadi kewenangan Dewan Nasional KEK. Jadi,

sekarang kita masih menunggu keputusan Dewan Nasional

KEK.

TRP: Dalam berbagai kesesempatan Musrenbang atau

konsultasi dengan Daerah bahkan DPR juga mengindikasikan

bahwa pembangunan saat ini kurang terkoordinasi, salah

satunya karena peran Bappenas yang kurang optimal? Menurut

Bapak, bagaimana kita menyikapi tantangan tersebut?

MP: Bappenas telah berperan banyak dalam koordinasi

perencanaan pembangunan. Bappenas bisa dikatakan menjadi

garda depan atau punggawa dalam pencapaian sasaran RPJMN

agar bisa dicapai nasional maupun daerah. Saat ini sudah era

desentralisasi dan demokratisasi, dan di dalam PP No.

38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan telah diatur

hal-hal yang menjadi kewenangan pusat dan daerah sehingga

sudah jelas tugas kita masing-masing. Mungkin masih ada

beberapa daerah yang mengacu pada hirarki yang tertera pada

UU No. 22/1999 bahwa Bupati tidak bertanggung jawab

langsung pada Gubernur, yang menyebabkan penilaian

terhadap koordinasi masih kurang baik. Saya anggap ini

sebagai tantangan yang harus kita (Bappenas, Red.) sikapi

dengan lebih berani dan all-out, terutama dalam memahami

tugas pokok dan fungsi kita dalam koordinasi, monitoring dan

evaluasi mulai dari urusan pusat, propinsi dan kabupaten/kota

sehingga tercapai sinergi pembangunan.

TRP: Bagaimana prospek unit kerja yang menangani

desentralisasi dan otonomi daerah ke depan? Juga peran apa

yang harus diemban oleh provinsi untuk meningkatkan sinergi

pembangunan antara pusat dan daerah?

MP: Provinsi berperan sebagai mediator antara pemerintah

pusat dan pemerintah kabupaten/kota dengan ditetapkannya

PP No. 19/2010 (Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang

serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil

Pemerintah di Wilayah Provinsi, Red). Gubernur harus memiliki

blue print dalam bentuk RPJMD (Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Daerah, Red.) yang harus menggambarkan

pembagian wewenang antara provinsi, kabupaten dan kota.

RPJM dan RTRW merupakan panduan koordinasi pelaksanaan

dan pencapaian pembangunan di daerah. Hal-hal yang telah

kita lalui sampai saat ini adalah proses pembelajaran yang

harus kita lakukan secara cermat dan yang terpenting adalah

harus dilakukan terus menerus dan tidak boleh letih.

Lebih lanjut lagi, dalam desentralisasi ini ada pembagian

urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, provinsi, dan

kabupaten/kota. Kewenangan pusat yang ada di daerah adalah

konsekuensi logis dan harus dievaluasi kembali. Dulu pada

saaat penyusunan UU No. 22/1999 ada hal-hal yang sangat

―emosional‖, hal-hal ekstrim dan dianggap sangat sentralisasi

harus dihapuskan, contohnya menghapus Kanwil-Kanwil.

Padahal, fakta saat ini memang ada kebutuhan untuk hal-hal

itu (Kanwil, Red.), yang disebabkan kurangnya kapasitas daerah

dalam penanganan pembangunan. Jadi adanya kecenderungan

beberapa kementerian untuk menghidupkan kembali Kanwil,

tidak akan mengancam keberlangsungan proses desentralisasi

dan otonomi daerah. Namun demikian hal ini juga menjadi PR

terutama Kemendagri, Kementerian Keuangan, dan Bappenas

untuk melakukan evaluasi dan mengawal pelaksanaan

desentralisasi dan otonomi daerah ke arah yang lebih baik.

TRP: Sekitar 3 (tiga) tahun terkahir ini, Pelayanan Pertanahan

di Provinsi Kalimantan Tengah terhambat karena belum adanya

kesepakatan batasan kawasan hutan dan non hutan serta

belum disahkannya RTRW Provinsi. Permasalahan tersebut

menyangkut kewenangan lintas sektor dan pusat-daerah, apa

yang menurut Bapak perlu dilakukan untuk mengatasi

permasalahan tersebut?

MP: Menurut saya, konflik seperti ini sebaiknya diselesaikan

dalam forum BKPRN yang merupakan forum lintas institusi.

Parlemen juga sebaiknya diminta keterlibatannya dalam usaha

penyelesaian konflik ini. Akan tetapi, yang paling penting, sekali

lagi saya tegaskan, adalah keberadaan Rencana Tata Ruang

Wilayah itu sendiri. Solusi pasti ada dan seharusnya telah diatur

dalam RTRW ini.

TRP: Salah satu amanat Inpres 1/2010 adalah Pengembangan

Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).

Karakteristik yang menonjol di Papua umumnya adalah

kepemilikan tanah adat. Menurut Bapak upaya apa yang sejak

dini perlu dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan

munculnya konflik berkenaan dengan tanah adat tersebut?

MP: Tanah adat memiliki nilai historis bahkan magis. Komunitas

adat menganggap tanah ini memberi kehidupan secara

komunal. Pengelolaannya berbeda, tidak ada sertifikasi.

Sampai kapanpun akan dianggap

milik adat dan hanya bisa

dipinjamkan atau dialihkan

penggunaannya melalui proses

atau ritual tertentu. Hukum adat

yang mengatur tanah ulayat

sudah ada terlebih dahulu

dibandingkan Agrarian Law yang

mendorong pelaksanaan sertifikasi. Oleh karena itu sebaiknya

kita tetap menjunjung tinggi dan menghormati hak-hak adat

terhadap tanah ulayat serta melakukan pendekatan dengan

komunitas adat setempat agar tercapai kesepakatan mengenai

pengelolaan tanah adat mereka dan menghindarkan terjadinya

konflik horizontal maupun vertikal. Pendataan mau tidak mau

harus tetap ada.

Sumber: jrpurba.wordpress.com; mhayang.wordpress.com; rumamemet.com; tentanghanny.multiply.com

...tetap menjunjung

tinggi dan

menghormati hak-

hak adat...

Page 6: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 6

Concepts, Principles, and Guidelines for Land Policy Formulation and Development Planning

Dr. Gerhardus Schultink*)

A ny systematic attempt to address sustainable

development planning should include baseline

performance indicators and representative productivity

indices. In rural areas, this means defining the productivity of

the renewable land resource base and its derived uses, such as

represented by the products and services from the agricultural,

forestry, and tourism sectors, as well as outputs (ecological

functions and derived social values) from natural ecosystems.

Realistically, this should reflect both sustainable resource

production capacity and economic feasibility. In rural sector

planning, this may include the following assessment phases:

1. Assessment of basic agro-ecological production capacity on

a cropping system or commodity-specific basis;

2. Assessment of sustainable productivity levels using

adjustment for locally relevant production opportunities and

input constraints (e.g. irrigation, fertilization, technology,

capital); and the

3. Economic viability of production options (input costs and

product prices).

This relationship is further identified in Figure 1, below.

Assessment of sustainable natural resource productivity levels

includes yield adjustment for locally relevant production

opportunities and input constraints (e.g. irrigation, fertilization,

technology, and capital). In essence, this includes a compilation

of :

1. Additional biophysical factors indirectly affecting crop

moisture availability, such as soil depth/texture, organic

content, net irrigation application, rooting depth, water

infiltration rate based on slope/textural classes, and crop

nutrient availability; and

2. Socioeconomic conditions that effect the farm input level

and long-term effectiveness of management practices

(e.g., fertilizer and pesticide inputs, cropping intensity, labor

or capital constraints, profit margins, land degradation),

which effect sustainable productivity; and

3. Off-farm impacts such as environmental externalities

resulting from soil erosion, fertilizer impacts, pesticide

applications or general impacts on water quality and

availability.

This resource productivity assessment must be further

expanded into a socioeconomic evaluation of needs and

suitability. Here, need addresses the social demand resulting

from expressed social expectations related to the quality of life

and associated availability and price or goods and services,

while suitability reflects the economic viability of production

opportunities, such as land use types or farming systems under

prevailing input costs and commodity price scenarios.

The use of the comprehensive and relevant indicators,

suggested above, must be incorporated into the larger decision-

support framework for policy analysis and rural development

planning. In essence, this transforms the reductionistic

Figure 1 – Relevant indicators, derived indices and linkages in natural resource production capacity assessment.

AGROECOLOGICAL RESOURCE PRODUCTION

CAPACITY INDICES

SOIL RESOURCES Soil physical and chemical properties Topography

CLIMATE RESOURCES Use-specific carrying capacity index (e.g. rangeland) Length of growing period Crop moisture availability Crop-specific productivity index Use-specific (farming system) suitability indices

AQUATIC RESOURCES Irrigation potential Aquatic Ecosystem properties (biotic and abiotic) Water quality indices (organic and inorganic) Eutrophication index Wetland resources and productivity indices Aquifer vulnerability and recharge indices

Surface and subsurface supply and cost

PLANT RESOURCES Ecosystem classes and productivity indices Vegetation association and biomass productivity Biodiversity indices (species) Genetic resource indices (biomedical)

WILDLIFE RESOURCES Ecosystem and carrying capacity indices Species, environment and human resource competition indices

NON-RENEWABLE RESOURCES Mineral Resource Oil an gas resources Strategic mineral index (for all, calculate self-sufficiency and economic supply index)

HUMAN-INDUCED LAND AND ECOSYSTEM DEGRADATION

IMPACTS AND INDICES LAND DEGRADATION IMPACTS Soil erosion (wind, water) and compaction Desertification index Salinization (Irrigation and saltwater intrusion)

WATER RESOURCE IMPACTS (In)Organic pollution Use rates and water scarcity

ECOSYSTEM QUALITY AND BIODIVERSITY Ecosystem productivity, diversity and stability

SOCIOECONOMIC NEED AND SUITABILITY INDICES

Resource Status, Depletion Rates, Supplies (stock and flow re-

sources

Projected Resource Quality, Physical and Economic Scarcity and

Prices

Mix of Resource Products and Services

Political/Administrative District Impacts

Natural System (e.g. ecosystem, agroecological zone, watershed)

Impacts

Planning districts—Integrated impacts

Page 7: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 7

Approach — reducing problem solving to a segmentation of the

problem by using descriptive indicators — to a holistic or

systems approach. A holistic approach uses composite

indicators of social preferences and performance and can,

therefore, accommodate a variety of social assumptions,

opinions, and group desires, accounting for public policy

tradeoffs involving complex costs, benefits, and risk.

A key requirement in this process is that environmentally-

referenced indicators, reflecting economic productivity

opportunities and environmental impacts, by agro-ecological

zones, watersheds or major ecosystems, must be directly

related to political or administrative regions for the comparative

analysis of relevant socioeconomic impacts, and as the basis for

strategic planning and implementation. As pointed out earlier,

this relationship (Figure 2) among indicators is reflected in the

hierarchy of planning and management and may also be

illustrated in the analytical

sequence of single issue

resource management or

comprehensive planning. The

key challenge, then, is to

define specific management

objectives at each level that

operationalize private and

public development goals.

This involves seeking

complimentarity of

socioeconomic and

environmental goals that are

specifically identified as

indicators representing

needs and opportunity, as

well as measures of performance and impact. For example, in

sustainable land management and policy formulation this

involves indicators that measure land degradation trends and

quality, and denote intervention needs and development

opportunities, representing various land use types as natural or

managed production ecosystems.

Fundamentally, resource use capacity is reflected in land

quality indicators representing a potential sustainable use

condition of landscape units on a comparative basis and may

also expressed at the aggregate level at the local, regional or

national scales.

Focusing Land Policy and Development Initiatives: Applying the

Concept of Unrealized Production Potential

Comparative advantage, expressed as relative measure of

productivity or economic performance, can be defined on an

agro-ecological zone basis. An agro-ecological zone reflects a

relatively homogeneous mapping unit -- based on soil

characteristics (primarily soil texture or particle size reflecting

soil moisture holding capacity), climate and topographic

variables. This so-called Resource Production Unit (RPU) will

provide a given level of crop productivity (output) based on its

agro-ecologically defined production capacity for specific

cropping options and its associated inputs. The theoretical

maximum is based on local agro-ecological constraints. This

maximum can be compared with the actual productivity level

and the difference expressed as Unrealized Production Potential

(UPP). Where the UPP is the largest (Figure 3) the largest set of

local production constraints exist (e.g. input availability, cost,

land access, technology, etc.) and the greatest opportunity exist

to increase productivity in the context of an agrarian reform

program. This provides the spatial analytical framework for the

prioritization of integrated rural development and planning

initiatives at the regional or national level.

Land Information Systems and Indicators for Land Policy and

Development Initiatives

One of the most significant challenges in development planning

is to derive information cost-effectively and ensure that it is

thematically, spatially, and temporally relevant in supporting

policy analysis and decision making. Beyond the traditional data

P

U

B

L

I

C

B

E

N

E

F

I

T

S

UNREALIZED

PRODUCTION

POTENTIAL

NET SOCIO-

ECONOMIC

BENEFITS

CURRENT

LAND USE

NET SOCIO-ECONOMIC

BENEFITS MAXIMUM

MAXIMUM POTENTIAL

SUSTAINABLE

LAND USE

DEVELOPMENT STRATEGY – PLANNING TIME FRAME

Figure 3 - The Concept of Unrealized Production Potential -- the Difference be-

tween Current Constrained Land Use Outputs (Total Production of Goods and

Services subject to Input and Performance Constraints) and the Theoretical Maxi-

mum (Unconstrained) Outputs. Were the Difference is the Greatest, the largest

Constraint Conditions exists and the Greatest Potential exists to improve Produc-

tivity.

Figure 2 – Sustainable Environmental Management and Planning using Descrip-

tive Suitability Indicators and Composite Indices of Social Preferences, Perform-

ance and Impact

SUSTAINABLE SOIL MANAGEMENT (LAND DEGRADATION,

SOIL MOISTURE AND NUTRIENT BALANCE)

SUSTAINABLE AGRO-ECOLOGICAL ASSESSMENT AND

CROP PRODUCTION MANAGEMENT

SUSTAINABLE AGRICULTURAL SECTOR MANAGE-

MENT (CROPPING SYSTEMS AND LIVESTOCK)

SUSTAINABLE ECOSUSTEM AND

(TERRESTRIAL AND AQUATIC) BIODIVERSITY

MANAGEMENT

SUSTAINABLE NATURAL RESOURCE

MANAGEMENT

SUSTAINABLE ECONOMIC

DEVELOPMENT PLANNING

HO

LIS

M

RE

DU

CTIO

NIS

M

resource use capacity

is reflected in land

quality indicators

representing a poten-

tial sustainable use

condition of landscape

units on a comparative

basis and may also

expressed at the aggre-

gate level at the local,

regional or national

scales.

Page 8: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 8

quality standards of precision and accuracy, it is important to

identify the MINIMUM information content necessary to meet

decision-support objectives, at a given point in time. It may be

argued that any redundant information constitutes inefficient

use of human and capital resources.

In the process of compiling information a distinction has to be

made with regard to the sequence and characteristics of basic

data capture and analysis and the use and distribution of

relevant information. This process sequence is illustrated above

(Figure 4).

It is especially important to differentiate among the various

information compilation steps, namely:

The use of relevant, descriptive qualitative and quantitative

diagnostic indicators in the problem identification;

Problem-oriented fact finding involving the use of primary and

secondary data sets compiled in a spatially referenced

information system (GIS), linked with analytical performance

assessment models, such as agronomic productivity

forecasting and socioeconomic impact assessment models;

The compilation of single indicators or composite prescriptive

indices that identify potential solutions and alternative

problem solving approaches; and

The selection of planning and implementation alternatives

based on composite performance indices that reflect planning

impacts, intended public policy consequences, and the

aggregate impact on the quality of life over time, by location

and the populations affected.

The formulation of the latter two categories - involving the

identification of potential solutions, the selection of preferred

alternatives, and implementation strategies - must be

addressed effectively by the compiled information. To this end,

consideration should be given to the formulation of a National

Spatial Data Infrastructure (NSDI) that may be viewed as a

network of Spatial Data Infrastructures (SDI) linked to address

specific applications by specific government agencies. The

primary purpose of a SDI is to provided improved access to

spatial data (reflecting time, cost, quality, relevancy, and

standardization issues) and support NSDI policy analysis needs

on a economic sector or issue basis (e.g. environmental impact

analysis, rural development planning, transportation planning or

agricultural or tourism sector analysis).

If a truly integrated national data base infrastructure is

envisioned, the principal users may include the National

Mapping Agency, BPN, BAPPENAS, the Ministries of Public

Works, Agriculture, Forestry, Environment, and agencies with

responsibilities for public health and safety. The institutional

role of LIS/GIS in inter-agency collaboration and public policy

support is outlined below (Figure 5). It is essential to form an

inter-agency task force to develop a National Spatial Data

Information (NSDI) infrastructure with centralized data capture

and archiving, universally accepted standards, networked data Figure 4 – Hierarchical information flow and use of basic data, indicators and

indices in development planning and public policy formulation

Figure 5 – Integration of National GIS Support Functions based on mandates of

the national Mapping Agency, BPN, Bappenas, Ministries of Public Works, Agricul-

ture, Forestry, Environment and Tourism, and agencies with responsibilities for

public health and safety

PUBLIC

SAFETY BUILDING

PUBLIC

WORKS

PLANNING

GIS

Figure

4 – Hierarchical information flow and use of basic data, indicators and

PROBLEM IDENTIFICATION

Problem Indicators—thematic, quantitative and qualitative measures

Need indicators—measures of intervention need and opportunity

COMPREHENSIVE DATA BASE COMPILATION

Environmental Information System (GIS)

Primary Data Capture

Secondary Data Capture

ENVIRONMENTAL ASSESSMENT APPROACHES

AND IMPACTS ASSESSMENT MODELS (thematic

examples)

Crop Productivity

Climate Change

Air Quality

Water Quality

Biodiversity

INDICATORS—prescriptive

Intervention Opportunities

Planning Guidelines

Land Suitability

Comparative Advantage

Sustainability

Carrying Capacity

INDICES—performance

Performance and Risk Assessment

Monitoring

Aggregate Impact

Quality of life

DECISION MAKING AND POLICY

IMPLEMENTATION

FE

ED

BA

CK

Urban Quality

Soil Degradation

Coastal Zone Manage-ment

Wildlife Management

PO

LIC

Y IN

FO

RM

ATIO

N

Page 9: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 9

access, down and upload capacities based on unique needs

(such as the cadastral information used by BPN).

This will not only create a cost-effective national spatial

information system capacity but will also permit networked data

base linkages with dedicated abilities and security features

based on specific

agency needs.

The NSDI involves the

identification of critical

qualitative and

quantitative indicators

and derived indices, as

viewed from the

perspective of the

various national or

regional agencies with

associated mandates in

economic development

and environmental

protection.

Environmental quality and public health risk are directly

associated with the impacts of land use policy on quality of life

and are receiving increased attention, world-wide. Land policy

initiatives should not only address economic development but

also deterio­rating air and water quality, restoration of

ecosystems functions, and nature preservation needs. It is

important to seek legislative agreement and support for these

initiatives in the early stages of environmental degradation. We

view this as critically important in Indonesia. Intervention

scenarios will be much more cost efficient that retroactive

mitigation efforts. This represents a critical opportunity for

Indonesia to address significant environmental concerns,

particularly in land and water quality management.

The primary need exists to establish harmony among laws and

regulations, and to develop the political willingness to create an

effective environmental policy agenda for the 2010, and

beyond. Environmental and land use policy should be primarily

directed toward the prevention of water and air pollution and

reflects proactive, comprehensive laws and regulations

regarding the impacts of land use (including deforestation and

mining) on environmental quality.

The challenge is to evolve an integrated systems approach to

natural resource evaluation and impact assessment that fosters

the development of a decision support system which is effective

in making informed public policy choices. Such a policy analysis

system, as outline below (Figure 6) consists of three major

functional components, comprising diagnostic, prescriptive, and

performance (monitoring) indicators and their derived resulting

indices. It includes:

A comprehensive Resource Evaluation System – to assess

primary production capacities (agro-ecological productivity)

A Land Use Evaluation System – the assess comparative land

suitability (economic viability and environmental and public

risk variables), and

A Public Policy Analysis System – to conduct macro socio-

economic analysis

Public interests largely reflect the long-term environmental

stewardship principle that includes public interests in resource

conservation and environmental quality. Private interests largely

reflect more short-term economic interests that are directly

affected by ownership rights, laws, and regulations. In this

regard, the goal of public land use policy is to balance public

and private interest (reduce human risks, preserve

environmental quality and stimulate economically viable

production opportunities) by the formulation of multi-

jurisdictional (e.g. national regional and local), resource policy

systems that include the institutional controls and capacity to:

a) Identify the comparative advantage of resource use

opportunities (e.g., resource endowment, use capacity and

use efficiencies) in the context of environmental constraints

(e.g., carrying capacity and resource depletion rates) – the

resource evaluation framework

b) Evolve guidelines and decision-support systems to evaluate

public and private sector benefits (e.g., benefit/cost,

benefit/risk) of land use alternatives and associated

environmental impacts – the policy analysis framework

c) Development implementation and evaluation through

effective development strategies, land use plans, laws and

regulations, and performance monitoring – the policy

implementation framework

In general, public

development policy

attempts to guide the

identification and selection

of ―best resource use‖

options reflecting both

public land use alternatives

and the aggregate

socioeconomic and

environmental impacts of

private land use choices. It

aims to mobilize the

production of goods and

services as resource

outputs to meet societal

needs and to improve

resource productivity, input, and management efficiency, while

attempting to optimize product distribution and availability. In

this context, natural resource assessment is a systematic

process of fact finding, interpretation, and identification of

development alternatives and associated impacts. This process

is by nature holistic of ecosystems and the linkages among a

complex set of biotic and abiotic factors.

Sustainable development fundamentally reflects this

understanding and, therefore, the perceived opportunities and

environmental limits that provide guidelines for improved

decision making, environmental management, and

development planning. This understanding is never absolute,

lacking essential knowledge about complex ecological

relationships, complicated by spatial and temporal inaccuracies,

affected by adaptive impacts and policy changes, and

influenced by changing valuations of public benefits, costs and,

risks.

It is essential to form an

inter-agency task force to

develop a National

Spatial Data Information

(NSDI) infrastructure with

centralized data capture

and archiving, universally

accepted standards,

networked data access,

down and upload

capacities

public development

policy attempts to guide

the identification and

selection of ―best

resource use‖ options

reflecting both public

land use alternatives

and the aggregate

socioeconomic and

environmental impacts

of private land use

choices

Page 10: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

EDISI 01/TAHUN I/2010

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 10

To effectively challenge this decision-making complexity, a

systems approach to economic development and

environmentalassessment is needed. The approach should be:

1) Issue-oriented to improve ability to identify the qualitative

and quantitative dimensions of the problem(s),

2) Diagnostic in its analytical approach to identifying potential

solutions that are sustainable and economically viable , and

3) Focus on problem solving by providing the minimum

information needed to make informed decisions.

Land Evaluation and Suitability Assessment for Land Policy and

Development Planning

The critical analytical process that determines the comparative

land suitabilities associated with different production options if

referred to as Land Evaluation for Development Planning. Land

evaluation is designed to:

Identify inappropriate land uses that lead to inefficient use

or exploitation of natural resources resulting in the

degradation or destruction of land resources and undermine

the long-term productive capacity of our natural resources

based, and eventually lead to poverty and scarcity of

products and ecosystem services;

identify the best land use alternatives for a given parcel of

land given prevailing inputs, costs, technology and public

preference, thereby seeking the long-term creation and

preservation of prosperity

develop rational land use planning and select appropriate

and sustainable uses of natural and human resources on a

parcel and administrative district basis

Land evaluation is the assessment of land performance for a

specified land use – the land use objective or alternative – the

so-called Land Utilization Type (LUT) subject to local constraints

and input regimes. Land evaluation reflects the notion that land

*) Professor, International Resource Development and Planning. College of Agriculture and Natural Resources, MICHIGAN STATE UNIVERSITY. Email: [email protected]

Figure 6 – Major system linkages of resource assessment, land evaluation, eco-

nomic development planning and land use policy formulation

PUBLIC POLICY SYSTEM

(EVALUATION OF QUALITY-OF-LIFE IMPACTS)

AGGREGATE SOCIOECONOMIC PERFORMANCE MODELS AND SPATIAL

INDICATORS

LAND USE SELECTION BASED ON SOCIOECONOMIC PERFORMANCE

AND ENVIRONMENTAL CAPACITY AND QUALITY INDICATORS

POLICY IMPLEMENTATION THROUGH SELECTIVE DEVELOPMENT

STRATEGIES, INCENTIVES, LAND USE PLANS AND CONTROLS

NATURAL

RESOURCE

SYSTEM

Bio-physical diag-

nostic and prescrip-

tive indicators:

ecological resource

base quality, pro-

duction capacities

and constraints

SUSTAINABLE

PRODUCTIVITY

CONSTRAINTS:

Agro-ecological,

Technological,

Socioeconomic,

Institutional,

Cultural, and

Political.

COMPARATIVE

OPPORTUNITY

INDICATORS (e.g.

crop yields and

economic return

LAND USE

SYSTEM

(viable) Land Use

Types (LUTs) evalu-

ated on the basis of

resource capacity

and socio-economic

performance and

prognostic indica-

tors - development

guidelines and

strategies

(and its use) varies in its bio-physical and socio-economic

properties and that for each use a suitability determination can

be made and expressed in physical and/or economic terms.

This suitability assessment for agricultural, forestry (or any other

land use including industrial or tourism) provide a parcel-based

and aggregate (political or administrative district-based)

comparative framework that provide users and decision makers

-- such as land use planners, state institutions, politicians and

agricultural support services – with spatial information to make

predictions and guide land use decisions and policy formulation.

Tahukah Anda???

Tahapan kegiatan pendaftaran untuk pertama kali

Pengukuran,

Pemetaan

Bidang Tanah &

Pembuatan

Peta Pendaftaran

Tanah

Pembuatan Daftar

Tanah

• Sistematik

• Sporadik

PenyimpananDaftar Umum &

Dokumen

Pembuatan Peta

Dasar Pendaftaran

Tanah

Penetapan Batas

Bidang Tanah

Pembuatan Surat

Ukur

Pembuktian

Hak &

Pembukuan

Penerbitan

Sertipikat

Penyajian

Data Fisik &

Yuridis

Sumber: PP No. 24/ 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Larasita adalah Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah

Page 11: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 11

Kompaksi Perkotaan: Prinsip dan Potensi

Penerapannya dalam Pengembangan

Kawasan Perkotaan yang Lebih Berkelanjutan Dr. Iwan Kustiwan

Pendahuluan

Pertumbuhan perkotaan di Indonesia, terutama di kota

besar dan metropolitan, secara fisik ditandai oleh pesatnya

pertumbuhan kawasan pinggiran kota yang dikenal sebagai

proses suburbanisasi. Suburbanisasi yang terjadi cenderung

menjadikan kawasan perkotaan secara fisik meluas secara

acak/terpencar (urban sprawl), dan menimbulkan dampak

negatif terhadap lingkungan, sehingga mengarah pada

perkembangan perkotaan yang

tidak berkelanjutan.

Urban sprawl, menyangkut

bentuk perkotaan (urban form—

ukuran, shape dan intensitas

permukiman perkotaan) yang

merupakan salah satu isu

keberlanjutan pada skala spasial

kota/lokal (Wheeler, 2004; Knaap

et al., 2007). Hasil kajian empirik

di negara-negara maju

menunjukkan keterkaitan antara bentuk perkotaan dan

keberlanjutannya. Pemahaman terhadap keterkaitan ini

diperlukan dalam pengembangan strategi untuk mewujudkan

struktur dan pola ruang kawasan perkotaan yang lebih

berkelanjutan.

Dalam kaitan dengan kota-kota di Indonesia yang sedang

mengalami pertumbuhan pesat, kompaksi perkotaan (urban

compaction) yang diterapkan dalam konteks pembangunan

wilayah yang selama ini cenderung ekspansif dan bersifat

sprawl, mempunyai potensi untuk mengurangi ecological

footprint. Tulisan ini secara singkat memaparkan prinsip-

prinsip kompaksi perkotaan dan potensi penerapannya dalam

konteks perkembangan kawasan metropolitan di Indonesia.

Bentuk Perkotaan yang Berkelanjutan

Perdebatan mengenai bentuk perkotaan (urban form) yang

berdampak positif terhadap keberlanjutan perkotaan,

berkembang pada isu terkait bentuk perkotaan ‗terbaik‘ untuk

memfasilitasi transportasi berkelanjutan yang mencakup:

pengurangan panjang dan waktu perjalanan; pengurangan

ketergantungan pada kendaraan bermotor, peningkatan

transportasi umum secara efisien, promosi untuk berjalan kaki

dan bersepeda, serta pengurangan emisi (Breheny, 1992;

Williams et.al, 2000; de Roo dan Miller, 2000; Williams, 2005).

Wheeler (2004) mengidentifikasi 5 prinsip bentuk

perkotaan yang berkelanjutan, yaitu: bentuk kompak yang

membatasi suburban sprawl, menerus, terhubungkan,

beragam, dan ekologis. Compact city dinilai sebagai bentuk

perkotaan yang paling berkelanjutan, karena paling sesuai

dengan prinsip anti-sprawl dibandingkan dengan 3 tipe/bentuk

lainnya yang selama ini diakui sebagai kota yang berkelanjutan

neotraditional development, urban containment, compact city,

dan eco-city.

Compact city sebagai strategi pengembangan kota diarahkan

untuk meningkatkan kawasan terbangun dan kepadatan

penduduk perumahan; mengintensifkan kegiatan ekonomi,

sosial dan budaya perkotaan; memanipulasi ukuran kota,

bentuk dan struktur perkotaan, serta sistem permukiman

melalui pemusatan fungsi-fungsi perkotaan (Jenk, 2000).

Keterkaitan Bentuk Perkotaan dengan Keberlanjutan

Lingkungan

Bentuk perkotaan pada skala neighborhood, diukur dari

dimensi kepadatan, diversitas (penggunaan lahan dan tipe

hunian), aksesibilitas, serta desain jaringan jalan. Hasil analisis

keterkaitan bentuk perkotaan dengan pola perjalanan

menegaskan beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan

perjalanan yaitu: kepadatan, ukuran kawasan, penggunaan

lahan campuran, dan lokasi pengembangan. Faktor-faktor

tersebut menggambarkan derajat kekompakan (compactness)

suatu kawasan. Hal ini berarti kompaksi bentuk perkotaan,

melalui unsur-unsurnya (densitas, diversitas penggunaan lahan,

desain kawasan, dan aksesibilitas), dapat mempengaruhi pola/

perilaku perjalanan, terutama panjang perjalanan dan

konsekuensinya terhadap konsumsi energi, emisi yang

dihasilkan dan kualitas udara (Gambar 1).

Prinsip-prinsip Kompaksi Perkotaan

Dari aspek pengembangan lahan, perkembangan kawasan

perkotaan yang bersifat sprawl mengancam keberadaan

kawasan pertanian subur dan ruang terbuka hijau di pinggiran

kota, yang merupakan unsur kota yang berkelanjutan. Dengan

menerapkan prinsip-prinsip kompaksi perkotaan melalui

intervensi terhadap unsur-unsur bentuk perkotaan (densitas,

kompaksi perkotaan

yang diterapkan

dalam konteks

pertumbuhan

perkotaan yang

cenderung ekspansif,

berpotensi mengu-

rangi ecological

footprint.

Sumber: www.mori.co.jp

Gambar 1. Kompaksi terhadap Unsur-unsur Bentuk Perkotaan, Pengaruhnya

terhadap Keberlanjutan Lingkungan Perkotaan

Bentuk Perkotaan Manfaat terhadap keberlanjutan

lingkungan

Page 12: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 12

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

Kompaksi perkotaan dapat diadopsi dalam perencanaan tata

ruang kawasan perkotaan yang bersifat lintas-wilayah

administratif. Untuk itu perlu adanya sinergi perencanaan tata

ruang wilayah Kota dan Kabupaten dalam menerapkan prinsip-

prinsip kompaksi perkotaan, baik dalam rencana struktur

maupun rencana pola ruang wilayah.

Dalam rencana struktur ruang, kompaksi perkotaan diakomodir

dalam penetapan hirarki pusat-pusat permukiman (dalam

lingkup kabupaten) dan pusat-

pusat pelayanan perkotaan

serta sistem jaringan

prasarana yang berfungsi

sebagai pendukung kegiatan

sosial ekonomi masyarakat

yang secara hierarkis memiliki

hubungan fungsional,

sehingga dapat

mengintegrasikan

kepentingan antar-wilayah. Sedangkan dalam rencana pola

ruang, perlu adanya sinergi pada kawasan pinggiran yang

menjadi perbatasan Kota dan Kabupaten, baik untuk

pengembangan kawasan perumahan maupun kawasan

pertanian dan ruang terbuka hijau.

Kompaksi perkotaan yang merekomendasikan pengembangan

perumahan yang lebih kompak perlu diakomodasikan dalam

peraturan zonasi sebagai instrumen utama dalam pengendalian

pemanfaatan ruang. Rekomendasi tersebut dapat ditempuh

melalui penerapan ketentuan peruntukan pada zona/kawasan

campuran yang lebih luwes dan adanya insentif untuk

melakukan pengembangan secara lebih kompak. Pada

kawasan pusat kota, perlu dikembangkan peraturan zonasi

yang memberikan insentif untuk pengembangan kegiatan/

penggunaan lahan campuran perumahan pada zona komersial

secara intensif dalam bentuk vertikal.

Residentialisation merupakan upaya untuk mengembalikan

vitalitas pusat kota yang mengalami kemunduran. Selain itu,

kompaksi perkotaan mempunyai implikasi terhadap perlunya

menerapkan insentif zoning, berupa izin peningkatan intensitas

dan kepadatan pembangunan (tinggi bangunan) yang diberikan

kepada pengembang dengan imbalan penyediaan fasilitas

publik. Dalam konteks ini, kompaksi perkotaan dapat menjadi

strategi untuk meningkatkan penyediaan ruang terbuka hijau

dan fasilitas publik. Sementara itu, untuk kawasan pinggiran,

perlu dikembangkan peraturan zonasi yang memberikan

insentif untuk pengembangan kegiatan/penggunaan lahan

campuran komersial pada zona perumahan. Pengembangan

diversitas penggunaan lahan, desain kawasan, dan

aksesibilitas), diharapkan akan diperoleh manfaat dalam

konteks keberlanjutan perkotaan secara lingkungan, sosial, dan

ekonomi. Prinsip-prinsip kompaksi perkotaan ini meliputi:

densifikasi perumahan, diversifikasi penggunaan lahan,

intensifikasi penggunaan lahan, residentialisation, diversifikasi

tipe bangunan, dan kedekatan (proximity) terhadap pusat kota

dan sistem angkutan umum. Secara diagmatis, kaitan unsur-

unsur bentuk perkotaan, prinsip-prinsip kompaksi perkotaan,

dan manfaat potensialnya terhadap keberlanjutan perkotaan,

dapat disajikan melalui Gambar 2.

Potensi Penerapan Kompaksi Perkotaan

Berdasarkan model yang dikembangkan oleh Holden (2003),

diidentifikasi 4 bentuk perkotaan yang mengacu pada

kecenderungan perkembangan (sprawl, atau terkonsentrasi)

dan upaya/strategi untuk mengubahnya (sentralisasi atau

desentralisasi), yakni: urban

sprawl, compact city, green city,

dan decentralized concentration.

Bentuk konsentrasi

terdesentralisasi (decentralized

concentration) merupakan

strategi pengembangan spasial

yang pengembangannya

difokuskan pada pusat-pusat

pengembangan baru di kawasan

pinggiran, pusat-pusat baru

berkepadatan tinggi, berlokasi baik dalam sistem transportasi

umum metropolitan sehingga dapat dicapai efisiensi energi dan

minimasi dampak lingkungan. Dengan kata lain, konsentrasi

terdesentralisasi dapat dipandang sebagai perluasan dari

konsep compact city dalam konteks wilayah metropolitan, yang

mempunyai karakteristik pertumbuhan pesat dengan daya

dukung lingkungan yang terbatas.

Di kawasan pusat kota, strategi kompaksi yang dapat ditempuh

adalah regenerasi kawasan melalui pengembangan perumahan

yang lebih kompak (berkepadatan tinggi, penggunaan lahan

campuran, dan aksesibilitas tinggi). Penerapan strategi

kompaksi di pusat kota memberi manfaat: (1) pengurangan

ancaman terhadap alih fungsi kawasan pertanian subur dan

ruang terbuka hijau; dan (2) efisiensi penggunaan ruang

melalui intensifikasi kawasan terbangun yang sudah ada.

Sementara itu, di kawasan pinggiran kota, strategi yang dapat

ditempuh adalah pengembangan dengan pola konsentrasi

terdesentralisasi melalui pengembangan perumahan yang lebih

kompak (berkepadatan tinggi dan penggunaan lahan

campuran) pada pusat-pusat primer dan sekunder serta koridor

transportasi umum sebagai kawasan yang mempunyai

aksesibilitas tinggi.

kompaksi perkotaan

menjadi strategi

peningkatan

penyediaan ruang

terbuka hijau strategi kompaksi di

pusat kota dapat

ditempuh melalui

pengembangan

perumahan

Lingkungan

1. Pengurangan kebergantungan pada kenda-

raan bermotor.

2. Pengurangan tekanan thd alih fungsi

kawasan pertanian/RTH.

3. Pengurangan konsumsi energi, emisi dan

pencemaran udara.

Sosial

1. Peningkatan interaksi sosial.

2. Interaksi sosial/kohesivitas masyarakat.

3. Akses thd fasilitas sosial.

Ekonomi 1. Komplementaritas antar kegiatan.

2. Efisiensi ruang dan prasarana.

3. Regenerasi/revitalisasi kawasan pusat/

dalam kota.

Densifikasi perumahan

Diversifikasi penggunaan lahan

Intensifikasi penggunaan lahan

Residentialisation

Diversifikasi tipe hunian & bangunan

Proximity thd pusat kota dan sistem

angkutan umum

Manfaat terhadap

Keberlanjutan Prinsip-prinsip

Kompaksi Perkotaan

Densitas

Diversitas

Penggunaan

Lahan

Design

Ukuran kawasan, tata

letak, tipe hunian

Aksesibilitas

Distance, Destination

Bentuk

Perkotaan

Gambar 2. Prinsip Kompaksi Perkotaan dan Manfatnya terhadap Keberlanjutan Perkotaan

Page 13: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 13

penggunaan campuran ini merupakan upaya untuk mengurangi

kebutuhan perjalanan yang selama ini menjadi konsekuensi

pengembangan perumahan baru yang bersifat mono-

fungsional.

Glossary

Neotraditional development (Jabareen, 2006) adalah konsep

pengembangan yang didasarkan pada bentuk perkotaan

tradisional untuk menahan kecenderungan suburban sprawl

dan penurunan kawasan pusat kota.

Urban containment (Jabareen, 2006) adalah konsep/strategi

untuk mencegah perluasan kawasan perkotaan ke arah luar

dan mendorong perkembangan ke dalam kawasan perkotaan,

dengan pelestarian bentang alam dan kawasan pertanian.

Eco-city (Jabareen, 2006) adalah bentuk perkotaan ekologis

yang dimaksudkan untuk mencapai keberlanjutan perkotaan,

baik secara lingkungan, sosial, ekonomi dan kelembagaan.

Daftar Pustaka

Burton, Elizabeth. 2001. The compact city and social justice,

Housing Studies Association Spring Conference, Housing,

Environment and Sustainability, University of New York, New

York

Holden, Erling. 2004. Ecological footprints and sustainable

urban form, Journal of Housing and the Built Environment, 19.

Jabareen, Y.R. 2006. Sustainable urban forms. Their typologies,

models, and concepts, Journal of Planning Education and

Research, 26.

Jenks, M., R. Burgess. 2000. Compact cities: sustainable urban

form for developing counties. SPON Press, London.

Jenks, M., C. Jones (eds). 2010. Dimensions of the sustainable

city. Springer, London.

*) Ringkasan dari disertasi yang berjudul Bentuk dan Pengembangan Kawasan Perkotaan Berkelanjutan (Kajian Potensi Kompaksi di Kawasan Perkotaan Bandung) pada Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas

Indonesia.

**) Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota; Ketua Kelompok

Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota Sekolah Arsitektur,

Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB.

Perencanaan tata ruang menghasilkan:

1. Rencana umum tata ruang

a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)

ditetapkan melalui PP No. 26/2008.

b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)

ditetapkan melalui Peraturan Daerah.

c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota

(RTRWK) ditetapkan melalui Peraturan Daerah.

2. Rencana rinci tata ruang

a. RTR Pulau/Kepulauan dan RTR Kawasan Strate-

gis Nasional ditetapkan melalui Peraturan Presi-

den.

b. Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi

ditetapkan melalui Peraturan Daerah..

c. Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota

dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis

Kabupaten/Kota ditetapkan melalui Peraturan

Daerah.

Sumber: UU 26/2007; PP 15/2010.

Tahukah Anda???

Status Penyelesaian

Peraturan Daerah RTRW Provinsi

KETERANGAN:

A : Proses Revisi

B : Proses Persetujuan Substansi

B1 : Proses Persetujuan Kementerian PU

B2 : Proses Persetujuan Kementerian Kehutanan

C : Memperoleh Persetujuan Substansi

C1 : Memperoleh Persetujuan Substansi Kementerian PU

C2 : Memperoleh Persetujuan Substansi Kehutanan

D : Pembahasan DPRD

E : Evaluasi di Kementerian Dalam Negeri

F : Penetapan Perda RTRW

Sumber : Sekretariat BKPRN, September 2010

No. Provinsi A

B C

D E F B1 B2 C1 C2

1. NAD

2. Sumatera Utara

3. Sumatera Barat

4. Riau

5. Jambi

6. Bengkulu

7. Sumatera Selatan

8. Lampung

9. Kep. Riau

10. Kep. Bangka Belitung

11. DKI Jakarta

12. Banten

13. Jawa Barat

14. Jawa Tengah

15. DI Yogyakarta

16. Jawa Timur

17. Bali

18. Nusa Tenggara Barat

19. Kalimantan Barat

20. Kalimantan Tengah

21. Kalimantan Selatan

22. Kalimantan Timur

23. Sulawesi Utara

24. Sulawesi Tengah

25. Sulawesi Selatan

26. Sulawesi Tenggara

27. Sulawesi Barat

28. Gorontalo

29. Nusa Tenggara Timur

30. Maluku

31. Maluku Utara

32. Papua Barat

33. Papua

JUMLAH 33 25 22 11 10 11 7 6

Page 14: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 14

K ementerian PPN/Bappenas menggelar acara Sosialisasi

Peraturan Pemerintah terkait Penataan Ruang pada

Selasa, 13 Juli 2010 di Jakarta. Peraturan Pemerintah

(PP) yang disosialisasikan adalah PP No. 15/2010 tentang

Penyelenggaraan Penataan Ruang, PP No. 10/2010 tentang

Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan,

dan PP No. 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.

Acara dibuka dengan Keynote Speech oleh Deputi Bidang

Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah,

Dr. Ir. Max Pohan, CES, MA dilanjutkan dengan pemaparan

setiap PP dan diskusi yang dimoderatori oleh Direktur Tata

Ruang dan Pertanahan Ir. Deddy Koespramoedyo, MSc. Hadir

sebagai narasumber adalah Direktur Jenderal Penataan Ruang,

Kementerian PU, Ir. Imam Santoso Ernawi, MCM, MSc., Direktur

Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, Kementerian

Kehutanan, Dr. Ir. Dwi Sudharto, Msi., dan Kasubdit Informasi

Kawasan Hutan, Kementerian Kehutanan, Ir. Chaerudin

Mangkudisastra, MSc. Acara tersebut mengundang perwakilan

deputi dan direktorat terkait di Bappenas, perwakilan Lembaga

Swadaya Masyarakat, dan perwakilan Perguruan Tinggi.

Penataan ruang merupakan upaya pengalokasian ruang bagi

kegiatan pembangunan untuk menjaga keberlanjutan fungsi

ruang. Penerbitan ketiga PP ditujukan untuk mewujudkan

harmonisasi dan keterpaduan penyelenggaraan penataan

ruang di berbagai kawasan, termasuk pengaturan

pembangunan di kawasan hutan.

PP No. 15/2010

PP Penyelenggaraan

Penataan Ruang

memberi perhatian

pada pentingnya

sinkronisasi antara

rencana

pembangunan

dengan rencana tata

ruang serta

pentingnya rencana

detail tata ruang di

wilayah perkotaan

yang akan menjadi dasar pemberian izin pemanfaatan ruang.

Kebijakan mengenai insentif dan disinsentif juga diperlukan

dalam rangka mendukung upaya pemanfaatan ruang yang

sejalan dengan rencana tata ruang.

PP No. 10/2010 dan PP No. 24/2010

Sementara PP kehutanan mengatur mengenai ketentuan,

persyaratan, dan prosedur bagi pemerintah, pemerintah

daerah, ataupun kelompok masyarakat yang membutuhkan

ruang untuk kegiatan pembangunan yang berada di dalam

kawasan hutan. Melalui kedua PP kehutanan ini, dibuka

kemungkinan pemanfaatan kawasan hutan untuk pemanfaatan

di luar kehutanan dengan tetap menjaga keseimbangan

manfaat lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi.

Pemanfaatan kawasan hutan harus mempertimbangkan fungsi

pokok hutan, jenis dan intensitas kegiatan, batasan luas,

jangka waktu dan upaya reboisasi dan reklamasi, yang

bertujuan untuk tetap menjaga manfaat kawasan hutan secara

lestari dan berkelanjutan.

Poin-poin Penting

Pentingnya sinkronisasi indikasi program dalam Rencana

Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan program dalam

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)/Rencana

Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) di pusat dan

daerah.

Perubahan

peruntukan dan

fungsi kawasan

hutan diakomodasi

pada proses

penyusunan RTRW

dengan

memperhatikan

kelestarian fungsi

hutan.

Penilaian kawasan

hutan yang

tercakup dalam

kajian Tim Terpadu bertujuan untuk menginventarisasi

penggunaan kawasan hutan dengan mempertimbangkan

prinsip sosial, ekonomi, dan ekologi.

Hasil inventarisasi digunakan untuk menahan laju

deforestasi, bukan untuk mendukung akselerasi perubahan

kawasan hutan.

PP No. 10/2010 mengamanatkan kewajiban untuk

menyediakan lahan pengganti sebagai penukar kawasan

hutan dengan rasio 1:1 untuk kepentingan umum dan rasio

1:2 untuk kepentingan komersil. Lahan pengganti tersebut

harus dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional.

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang

diamanatkan oleh UU No. 32/2009 sudah diterapkan dalam

proses penyusunan RTRW dan dalam proses perubahan

peruntukan kawasan hutan.

Kebijakan insentif/disinsentif fiskal tengah dipersiapkan,

termasuk di dalamnya kewenangan pemerintah daerah

dalam penerapan insentif/disinsentif tersebut.

Untuk kelancaran pelaksanaan ketiga PP tersebut perlu

peningkatan koordinasi antara pemerintah provinsi dengan

pemerintah kabupaten/kota.

Sosialisasi Peraturan

Pemerintah terkait Penataan Ruang

Sumber: Dokumentasi Dit. Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas, 2010.

Sumber: Kementerian PU, 2010.

Sumber: Kementerian Kehutanan, 2010.

Page 15: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 15

Institution Building for the Integration of National-Regional Development

and Spatial Planning

S istem perencanaan pembangunan di Indonesia diatur

melalui UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional melalui penyusunan Rencana

Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan

Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Kerja Pemerintah

(RKP) serta UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang melalui

penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kedua

aturan ini memiliki keterkaitan erat yang semestinya

terintegrasi dan saling menguatkan.

Proses integrasi kedua rencana ini masih menghadapi

tantangan dan permasalahan, terkait dengan aspek peraturan

pendukung, kelembagaan pelaksanaan, dan aspek-aspek

sektoral yang (terkadang) saling bertentangan. Pada tingkat

nasional telah dilakukan upaya integrasi antara RPJP Nasional

dengan RTRW Nasional melalui RPJM Nasional 2010-2014

(RPJM ke-2 dari RPJP 2005-2025). Pemerintah Provinsi/

Kabupaten/Kota juga diharapkan dapat melaksanakan

integrasi kedua rencana ini sehingga dapat memenuhi 4

(empat) aspek integrasi, yaitu: integrasi muatan, integrasi

antarsektor, integrasi antarwilayah, serta integrasi antarwaktu.

Bappenas bekerja sama dengan DSF (Decentralization Support

Facility) - The World Bank berupaya untuk membantu melalui

pendampingan dan pelatihan kepada pemerintah daerah

dalam hal mengintegrasikan rencana pembangunan dan

rencana tata ruang melalui kegiatan Institution Building for the

Integration Of National-Regional Development and Spatial

Planning. Kegiatan ini berlangsung dari bulan Mei 2010-Mei

2011, di 9 lokasi pilot project, yaitu Provinsi Sumatera Barat,

U ndang— undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang mengamanatkan agar seluruh provinsi di

Indonesia menyesuaikan/merevisi Rencana Tata Ruang

Wilayah-nya sesuai dengan muatan dan ketentuan yang

berlaku dalam UU Penataan Ruang tersebut dan Peraturan

Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Nasional (RTRWN) dalam jangka waktu 2 (dua) tahun

sejak UU tersebut diterbitkan. Namun hingga saat ini masih

banyak RTRW Provinsi yang belum ditetapkan menjadi

Peraturan Daerah (Perda).

Keterlambatan penetapan Perda tentang RTRW Provinsi salah

satunya disebabkan karena masih banyaknya permasalahan

tumpang tindih perizinan dan pemanfaatan ruang. Oleh karena

itu, dalam rangka percepatan penyelesaian Perda RTRW

Provinsi dan resolusi konflik pemanfaatan ruang, Badan

Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) memutuskan

untuk melakukan audit pemanfaatan ruang nasional (stock

taking). Kegiatan stock taking bertujuan untuk mengambil

potret dari pemanfaatan ruang terkini dan tumpang tindih

berbagai penetapan ijin/status kawasan yang dilekatkan pada

ruang tersebut. Hasil dari kegiatan stocktaking diharapkan

koordinasi trp

dapat menjadi bahan pertimbangan BKPRN dalam

memberikan rekomendasi penyelesaian konflik pemanfaatan

ruang dalam rangka mempercepat penyelesaian RTRW

Provinsi. Stock taking dilakukan dengan cara: (i) melakukan

pemetaan eksisting tutupan lahan (landcovering) dan

membandingkannya dengan berbagai penetapan kawasan dan

pemberian izin kawasan pemanfaatan ruang, dan (ii)

mengklasifikasi tipologi-tipologi permasalahan tumpang tindih

dan konflik pemanfaatan ruang antarsektor.

Stock taking dilakukan pada provinsi-provinsi yang dinilai

memiliki permasalahan tumpang tindih pemanfaatan ruang

antarsektor paling mendesak dan perlu diprioritaskan. Pada

tahun 2009 stock taking dilakukan untuk Provinsi Kalimantan

Tengah, dan pada tahun 2010 dilanjutkan untuk Provinsi

Sumatera Utara, Jambi, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan

Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Hingga saat

ini, BKPRN masih merumuskan rekomendasi keluaran dari

kegiatan stock taking tersebut.

Audit Pemanfaatan Ruang Nasional (Stock Taking)

Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Jawa Timur,

Kabupaten dan Kota Mojokerto, Provinsi Gorontalo serta

Kabupaten dan Kota Gorontalo.

Kegiatan ini dilaksanakan dalam 2 (dua) kelompok kegiatan,

yaitu:

1. Kegiatan pendampingan, melalui penyertaan tenaga ahli

pendamping di setiap lokasi untuk menggali

permasalahan dan kebutuhan sebagai masukan untuk

kegiatan pelatihan;

2. Kegiatan pelatihan, melalui penyiapan modul-modul

pelatihan berdasarkan tipologi permasalahan dalam

pengintegrasian dan dilanjutkan dengan pelatihan

pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan

pemahaman aparat pemerintah daerah dalam

pelaksanaan integrasi rencana pembangunan dengan

rencana tata ruang.

Di awal kegiatan pendampingan, diketahui masih terdapat

perbedaan muatan dan jangka waktu penyusunan RPJP, serta

perbedaan pemahaman dari pemangku kepentingan di daerah

mengenai pelaksanaan integrasi RPJP yang telah disusun ke

dalam RTRW yang sedang disusun. Kegiatan ini diharapkan

dapat menjadi masukan bagi pemerintah pusat untuk

menyusun kebijakan yang lebih tepat dalam upaya

pengintegrasian rencana pembangunan dengan rencana tata

ruang, baik secara vertikal maupun horizontal.

Page 16: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 16

ringkas buku:

Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi

B uku Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi adalah

kumpulan tulisan Prof. Emil Salim dalam surat kabar dan

majalah lingkungan. Tulisan Pak Emil selalu konsisten

menggabungkan antara prinsip pengelolaan lingkungan hidup

dengan menggunakan berbagai instrumen ekonomi. Pak Emil

betul-betul menyadari bahwa manusia adalah makhluk

ekonomi, Homo economicus, (h.144) yang selalu berpikir

untung-rugi dalam setiap tindakannya (h.214). Dengan

demikian, segala eksploitasi lingkungan dan sumberdaya alam

yang berakar dari pencarian keuntungan semata hanya dapat

dikendalikan dengan instrumen ekonomi. Instrumen ekonomi

secara tidak langsung dapat memaksa pengguna sumberdaya

alam dan lingkungan untuk berpikir ulang dan

mempertimbangkan kembali biaya yang harus dia keluarkan

(h.xxv). Pemikiran utama ini konsisten dipertahankan, manfaat

harus lebih tinggi dari biaya pembangunan. Namun demikian,

bila menyangkut nyawa, setinggi apapun manfaat

pembangunan, tidak dapat diterima bila mengorbankan nyawa

manusia (h.9; h.100) dan ‗memperparah kemiskinan yang

diderita oleh rakyat‘ (h.xvii).

Buku ini merangkum seluruh tulisan Pak Emil dan

menggolongkannya ke dalam enam tema utama. Penjelasan

dan rangkuman seluruh tema ini dijabarkan dalam Kata

Pengantar. Dasar pemikiran pembentukan tema dapat

dimengerti dengan baik setelah membaca Kata Pengantar,

namun demikian, pengulangan materi tidak dapat dihindari

karena setiap artikel ditulis dan dipublikasikan secara terpisah

dalam media massa yang berbeda.

Bab 1, Bumi Semakin Panas menjelaskan tentang pencemaran

gas rumah kaca yang dampaknya dapat dirasakan secara

global (h.14-15; h.20; h.30; h.35). Dalam bab ini konflik yang

terjadi di forum internasional dijelaskan secara detail namun

mudah dimengerti, termasuk di dalamnya proses negosiasi

antara negara maju dan berkembang (h.18-19). Selain itu Pak

Emil menjabarkan juga berbagai ketidakadilan yang dituntut

oleh negara maju dari negara-negara berkembang. Contohnya

seperti tuntutan negara maju agar negara berkembang harus

menurunkan emisi

gas rumah kaca

(GRK) dalam daftar

setingkat dengan

negara maju (h.5).

Penataan ruang

dapat menjadi salah

satu langkah mitigasi

bagi negara dengan

luasan hutan besar

seperti Indonesia,

sayangnya ‗perencanaan jaringan jalan cenderung menerabas

kawasan hijau yang mengurangi daya serap GRK secara

alami‘ (h.14). Hal lain yang dapat dilakukan adalah

menghilangkan distorsi harga yang pro pada energi terbarukan

(h.16) serta kontra pada energi fosil. Selain langkah mitigasi,

masyarakat juga harus didorong untuk beradaptasi dengan cara

meningkatkan ketahanan masyarakat agar mampu berproduksi

menghasilkan kebutuhan pokok seperti pangan, kesehatan dan

pendidikan (h.16; h.25-27) dalam iklim yang berbeda.

Bab 2, Pengelolaan Sumberdaya Alam, dibagi pembahasan

pada sumberdaya alam strategis seperti pertambangan, air,

hutan dan pesisir. Industri pertambangan yang sangat penting

bagi Indonesia karena ‗telah membuka banyak lapangan kerja

dan meningkatkan kegiatan ekonomi di daerah terpencil‘ (h.43)

serta ‗meningkatkan pendapatan negara dari negara

berpenghasilan rendah menjadi negara berpenghasilan

menengah‘ (h.44) ternyata memiliki dampak negatif pada

lingkungan dan masyarakat lokal (h.44; h.47). Strategi khusus

untuk mengkonversi hasil dari sumberdaya pertambangan yang

tidak terbarukan menjadi sumberdaya terbarukan (h.46) dan

digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas

kehidupan masyarakat lokal. Untuk mencegah dampak negatif

dari industri pertambangan pada masyarakat lokal, pemerintah

harus mengkoreksi pasar agar industri pertambangan

memperhitungkan biaya pencemaran dalam biaya produksinya

(h.47).

Untuk hutan, Pak Emil melakukan tinjauan kritis atas

penerbitan peraturan yang mengorbankan lingkungan (h.64-69)

seperti penambangan di kawasan lindung yang diperbolehkan

oleh Perpu No. 1 Tahun 2004 yang dalam penetapannya ‗tidak

memenuhi ketentuan hukum‘ yang berlaku, termasuk asas ‗hal

ihwal kegentingan yang memaksa‘ (h.65). Menurut Pak Emil,

penggunaan hutan secara adil dan berkelanjutan perlu

memperhatikan: (1) penggunaan hutan untuk mengentaskan

kemiskinan; (2) perlindungan dan imbalan bagi penduduk lokal

... seharusnya’ pembangunan

masyarakat dunia dilaksanakan

berdasarkankan prinsip

tanggung jawab yang sama

namun dengan pembedaan

pemikulannya (common but

differentiated

responsibility)’ (h.87).

Page 17: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 17

yang memiliki plasma nutfah; (3) pengakuan hak penduduk

yang hidup di hutan yang kehidupannya sangat sinergi dengan

lingkungan; (4) perlindungan akses masyarakat lokal pada

hutan; serta (5) penerapan teknologi penebangan hutan

dengan dampak kerusakan sekecil mungkin walaupun dengan

biaya tinggi (h.72-73).

Bab 3, Menata Ruang Pembangunan difokuskan pada alokasi

ruang dalam pembangunan nasional. Khusus untuk UU No. 26

Tahun 2007, Pak Emil menuliskan kritik yang cukup tajam

terkait dengan fungsi penataan ruang ‗untuk mengalokasikan

penggunaan sumberdaya alam dan ekosistem bagi sebesar-

besarnya kesejahteraan rakyat‘. Untuk itu, menurut Pak Emil,

tanggung jawab penataan ruang nasional seharusnya ‗diemban

oleh seorang menteri yang tidak memikul tugas sektoral,

melainkan koordinatif seperti menteri koordinator dan lintas

sektor‘ (h.91) seperti yang tercantum dalam UU No. 24 Tahun

1992: ‘Presiden menunjuk menteri yang bertugas

mengkoordinasikan penataan ruang‘ bukan seperti dalam UU

No. 26 Tahun 2007: ‗Menteri yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan dalam bidang penataan ruang‘ (h.92).

Catatan khusus untuk penataan ruang Pulau Jawa yang ‗paling

subur dengan tanah vulkanis, curah hujan berlimpah dan iklim

yang tidak ekstrem fluktuasinya‘ (h.93) sehingga perlu

diselamatkan untuk menjamin ketersediaan pangan di masa

yang akan datang. ‗Karena itu tanah subur Jawa tidak boleh

dialihkan fungsinya untuk jalan, industri atau

permukiman‘ (h.98). Caranya adalah dengan mengalihkan dana

‗pembangunan jalan yang memakan lahan sawah produktif‘

untuk merehabilitas jalan desa, agar terbuka aksesibilitas

penduduk desa untuk memasarkan hasil kerjanya melalui

pelabuhan yang mempertautkan berbagai provinsi kita ke

dalam satu pasar nasional‘ (h.105).

Bab 4, Pengelolaan Lingkungan, prinsip keterpaduan antara

ekonomi dan lingkungan (h.133) yang dianut oleh Pak Emil

terlihat sangat jelas. Alasan pentingnya memadukan kedua

bidang yang dinilai memiliki prinsip yang berlawanan sangatlah

jelas: ‗lingkungan yang rusak mematikan pembangunan

ekonomi‘ (h.133). Untuk itu diperlukan perubahan dalam cara

membangun yaitu dengan cara

‗menggunakan sumberdaya

alam yang lebih sedikit,

menurunkan jumlah energi

yang digunakan, menggunakan

ruang lebih kecil, membuang

limbah dan sampah lebih

sedikit dan dengan mendaur ulang hasil produksi yang telah

selesai dikonsumsi‘ (h.135).

Pembangunan ekonomi konvensional yang ‗berhasil menaikkan

PDB tahun 2000 sampai dengan tujuh kali PDB tahun 1950‘

tidak memberi tempat bagi pembangunan sosial dan

perlindungan lingkungan yang membutuhkan perencanaan

jangka panjang namun dimarjinalkan oleh kepentingan

ekonomi berjangka pendek‘ (h.145; h.146; h.149). Terbukti

pada ‗Tahun 2000, hampir 40 persen penduduk masih hidup di

bawah garis kemiskinan‘ (h.145). Hal ini disebabkan karena

‗pola pembangunan konvensional ini memiliki tiga kelemahan :

(1) kegagalan pasar untuk menampung kebutuhan sosial, jasa

lingkungan yang dianggap sebagai hal lumrah dan tidak bernilai

ekonomi; (2) kegagalan institusi yang dapat dikoreksi oleh

pemerintah dan lembaga resmi tingkat internasional; (3)

kegagalan kebijakan untuk melaksanakan pembangunan

secara simultan dan lintas sektoral‘ (h.149).

Bab 5, Alam Terkembang jadi Guru, menjelaskan secara logis

pergeseran cara pandang manusia pada alam, khususnya

Manusia Indonesia yang awalnya berguru pada alam (h.206),

menghormati dan memperlakukan alam dengan kasih sayang

‘lingkungan yang rusak

mematikan

pembangunan

ekonomi‘ (h.133)

sehingga nenek moyang kita memiliki kearifan untuk membaca

‗tanda-tanda alam‘ (h.208). Kemudian, saat rasionalitas

meningkat, ‗alam tidak lagi untuk dihormati tapi untuk

ditundukkan dengan modal uang dan peralatan‘ (h.xxvii; h.209).

Menurut Pak Emil, ‗rasionalitas dan kasih sayang harus saling

melengkapi, yang berarti ‗daya nalar rasional harus diimbangi

oleh kearifan lokal‘. Untuk itu, perlu dikembangkan pengakuan

pada hak masyarakat adat dan penghargaan pada ‗jasa

lingkungan yang tidak dapat dinilai harganya oleh

pasar‘ (h.214). Dengan demikian maka diharapkan tekanan

pada lingkungan akan dapat diturunkan bila masyarakat hidup

serasi dengan alam (h.217) serta perencanaan pembangunan

yang memperhitungkan dampaknya pada lingkungan (h.236).

Bab 6, Membangun Manusia Seutuhnya, membahas cukup

banyak tema, salah satunya adalah pembangunan manusia.

Pembangunan manusia, seperti menjaga kecukupan nilai gizi,

air minum, pelayanan kesehatan, angkutan, permukiman serta

lapangan kerja, pada awalnya mendapatkan tentangan karena

dianggap ‗mengalihkan perhatian dunia keluar dari

pembangunan ekonomi‘ (h.255). Seluruh langkah yang

diperlukan untuk membangun manusia membutuhkan jangka

waktu yang cukup panjang sehingga diperlukan alokasi

anggaran tinggi yang konsisten dari pemerintah karena peran

swasta untuk

investasi jangka

panjang seperti ini

sulit untuk

diharapkan (h.259).

Padahal, dampak

akhirnya sangat

jelas, meningkatnya

produktivitas

(h.267). Untuk itu,

menurut Pak Emil,

kebijakan pemerintah sangat penting dalam memilih mana

yang lebih dominan antara ‗kepentingan bersama‘ (common

interests) dalam pembangunan sosial dan lingkungan atau

‗kepentingan diri‘ dalam ekonomi‘ (h.264-265).

Walaupun buku ini sarat nilai, pengetahuan, dan pengalaman

beliau yang sangat berharga, namun Pak Emil berhasil

menuliskannya dengan bahasa yang ringan, mudah dimengerti

bahkan cenderung jenaka. Salah satu artikel jenaka sekaligus

mengharukan adalah artikel ‗Sompret‘ yang didedikasikan

kepada Prof Koesnadi Hardjasoemantri. Keahlian mengolah

konsep sulit dengan bahasa yang mudah memperlihatkan

bahwa walaupun Pak Emil banyak berkecimpung di

...namun demikian, saat

rasionalitas meningkat, ‗alam

tidak lagi untuk dihormati

tapi untuk ditundukkan

dengan modal uang dan

peralatan‘ (h.209).

Apa saja hak masyarakat dalam penataan ruang?

1. Masyarakat dapat melihat dokumen dan peta

rencana tata rang di Kantor Kelurahan atau kantor

yang menyususn rencana tata ruang.

2. Pemanfaatan ruang yang baik dapat meningkatkan

nilai ruang seperti kenaikan harga tanah,

kemudahan akses dan kenyamanan lingkungan.

3. Masyarakat dapat memperoleh ganti rugi atas

pembebasan tanah miliknya untuk kepentingan

pembangunan.

4. Masyarakat dapat mengajukan keberatan dan

menuntut pembatalan izin jika ada pembangunan

yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

Sumber: PP 15/2010

Tahukah Anda???

Page 18: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 18

M enyusuri Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) yang

terletak di pantai barat Pulau Sumatera, maka kita

akan mendapati keindahan alam khas yang

terbentang dari utara hingga ke selatan di provinsi tersebut.

Pesona keindahan tersebut berbaur dengan bangunan-

bangunan khas yang menjadi landmark di Provinsi Sumatera

Barat. Kali ini, tim ekspedisi Direktorat Tata Ruang dan

Pertanahan, Bappenas mengunjungi Kota Padang, Kabupaten

Padang Pariaman dan Kabupaten Pesisir Selatan dalam rangka

pemantauan pembangunan bidang tata ruang dan pertanahan,

khususnya pelaksanaan Rencana Kerja Pemerintah (RKP)

tahun 2010.

Kota Padang dan Kabupaten Padang Pariaman dipilih karena

dianggap sebagai wilayah yang cukup parah terkena dampak

gempa bumi tahun 2008 dan telah mulai dapat bangkit dari

kerusakan. Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel) sendiri dipilih

untuk mewakili sebuah kabupaten yang agak terpencil namun

masih berbatasan dengan Kota Padang. Pemantauan bidang

tata ruang difokuskan pada Kota Padang dan Kabupaten

Pessel dengan tema sinkronisasi rencana pembangunan dan

rencana tata ruang; sementara, pemantauan bidang

pertanahan difokuskan pada Kota Padang dan Kabupaten

Padang Pariaman dengan titik berat pemantauan pada tanah

hak ulayat.

Pemantauan Bidang Tata Ruang

Kabupaten Pesisir Selatan

Kabupaten Pesisir Selatan adalah salah satu ―laboratorium

bencana‖ di Indonesia. Beragam potensi bencana terdapat di

kabupaten tersebut, mulai dari longsor, puting beliung, banjir

dan gempa. Delapan belas sungai yang bermuara di pantai

barat Pulau Sumatera melewati kabupaten ini. Di samping itu,

Kabupaten Pessel adalah salah satu kabupaten termiskin di

Indonesia, di mana jumlah KK miskinnya terbanyak di Provinsi

Sumatera Barat.

Dengan latar belakang kondisi seperti itu, maka Pemkab Pessel

telah mengusulkan alih fungsi kawasan hutan seluas 14.000

ha di Kecamatan Indrapulo untuk diubah fungsinya menjadi

kawasan hutan yang dapat dikonversi. Di samping itu,ada pula

usulan perubahan fungsi di lahan seluas 56.000 ha karena

sudah dibudidayakan. Hal ini dilakukan karena pada kondisi

eksisting, areal yang tidak dapat dibudidayakan di Kabupaten

Pessel, karena ditetapkan sebagai kawasan hutan, mencapai

76% dari total luas area.

Di Kabupaten Pessel sendiri, seringkali yang menjadi kendala

adalah belum kuatnya komitmen politik untuk melaksanakan

dokumen rencana pembangunan (RPJPD, RPJMD dan RKPD)

dan dokumen rencana tataruang (RTRW). Oleh sebab itu, dua

hal dilakukan Pemkab Pessel: (1) menetapkan Perda

penyusunan rencana tata ruang dan rencana pembangunan,

dengan tujuan memberikan landasan bagi pelaksanaan

dokumen rencana pembangunan dan rencana tata ruang yang

telah ditetapkan; dan (2) menyusun RPJPD dan RTRW secara

swakelola untuk menjamin keterpaduan kedua rencana

tersebut.

Kota Padang

RTRW Kota Padang disusun dengan bantuan dana bantuan

teknis Kementerian Pekerjaan Umum. Sebelumnya, telah ada

RTRW Kota Padang periode 2008-2028, namun kemudian

dokumen tersebut diubah karena adanya gempa. Rancangan

RTRW yang baru diharapkan selesai pada bulan Agustus 2010,

dengan mengakomodasi aspek mitigasi bencana.

Dokumen rencana pembangunan Kota Padang juga relatif

cukup lengkap; di mana RPJPD periode 2003-2023 telah ada

dan RPJMD terakhir masih akan berlaku hingga tahun 2010.

Oleh sebab itu, mengingat RPJMD yang baru akan segera

disusun, Pemkot Padang menganggap penting isu keselarasan

antara dokumen rencana pembangunan dan rencana tata

ruang.

Adapun hal menarik terkait Bappeda Kota Padang adalah

bahwa di samping menyusun dokumen RTRW, institusi tersebut

juga menyusun beberapa rencana induk, seperti transportasi,

pusat pemerintahan, pendidikan, dan sebagainya. Rencana

induk ini kemudian diterjemahkan ke dalam rencana rinci/detil

dan Detailed Engineering Design (DED) oleh SKPD yang

bersangkutan.

Pemantauan Bidang Pertanahan

Kegiatan pengelolaan pertanahan di Provinsi Sumatera Barat

memiliki corak tersendiri dan secara umum belum dapat

mencerminkan kegiatan pertanahan secara nasional terutama

karena adanya pemberlakuan sistem adat (ulayat) dalam

tanah komunal, sehingga kerap memunculkan dilema antara

mereduksi sistem kekerabatan dengan meningkatkan

kepastian hukum hak atas tanah individual.

Kepemilikan tanah adat tersebut mempengaruhi pelaksanaan

beberapa kegiatan contohnya seperti Proyek Operasi Nasional

Pertanahan (PRONA), Redistribusi Tanah dan Konsolidasi

Tanah, yang sering terkendala oleh munculnya berbagai

sengketa tanah adat, baik dalam tahap pelaksanaan maupun

menjelang atau tidak lama setelah terbitnya sertipikat tanah.

Sampai tahun 2010 tercatat sekitar 6.000 sengketa tanah

yang terjadi di Sumbar. Bahkan ada kantor pertanahan yang

lebih banyak menerima pengaduan sengketa tanah daripada

permohonan sertifikasi tanah, umumnya yang berlokasi di

bagian tengah wilayah Sumbar. Sengketa tanah adat relatif

melihat dari dekat:

Provinsi Sumatera Barat

Gambar 1. Kondisi Sebagian dari Kantor Pertanahan Padang Pariaman

Page 19: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

EDISI 01/TAHUN I/2010

Buletin Tata Ruang dan Pertanahan 19

lebih rendah jumlahnya di wilayah perbatasan Sumbar yang

masyarakatnya relatif lebih heterogen, salah satunya seperti

di Kabupaten Damas Raya.

Walaupun telah diterbitkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi

Sumatera Barat No. 16 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan

Pemanfaatannya, gugatan-gugatan tanah adat masih tetap

berlangsung sehingga turut menyebabkan kurang kondusifnya

iklim investasi. Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumatera

Barat, Ir. Tri Suprijanto, SH, MSi, mengangkat usulan

pendekatan untuk dapat mengakomodasi atau

mempertemukan sistem kepemilikan tanah adat/ulayat

dengan sistem hukum tanah nasional (tidak dengan

mempertentangkan kedua sistem hukum tersebut), yakni

dengan cara pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak

Pakai (HP) di atas tanah adat/ulayat.

Kerjasama dengan pemda setempat juga sangat penting bagi

kelancaran pengelolaan pertanahan. Dalam kegiatan

konsolidasi tanah, contohnya, diperlukan sinergi pemda

setempat terutama dalam penyediaan prasarana

permukiman. Apabila tidak didukung prasarana yang

memadai, kawasan yang telah dikonsolidasikan menjadi

terbengkalai karena belum layak huni. Kegiatan yang berjalan

relatif cukup lancar di Sumbar salah satunya adalah

pembuatan peta pertanahan. Peta pertanahan merupakan

data spasial yang sangat penting untuk akurasi/kepastian

lokasi tanah, sehingga turut mereduksi resiko sengketa tanah.

Kesadaran pentingnya penataan sistem informasi pertanahan

sangat perlu ditanamkan, baik untuk kemudahan

pemantauan, penentuan baseline dan indikator kinerja.

Kualitas pelayanan pertanahan amat dipengaruhi oleh

kapasitas sumberdaya manusia serta ketersediaan dan

kelayakan sarana-prasarana, salah satunya kondisi kantor

pertanahan. Kantor Pertanahan Kabupaten Padang Pariaman

dan Kota Padang mengalami kerusakan akibat musibah

gempa bumi tahun 2008 lalu. Kerusakan bangunan dan ruang

arsip pertanahan mempengaruhi kualitas layanan pertanahan,

padahal permintaan layanan dari masyarakat terus

berdatangan. Mengingat ketersediaan anggaran pada tahun

2010 ini belum memadai, perbaikan kedua kantor tersebut

direncanakan dapat dilakukan pada tahun 2011. [rt/ik/ad]

Gambar 2. Salah Satu Ruang di Kantor Pertanahan Kota Padang paska

gempa bumi 2008

Apa itu WTPD?

Peringatan World Town Planning Day dicetuskan pertama kali pada tahun 1949 oleh Professor Carlos Maria della Paolera dari Universitas Buenos Aires di Argentina. Sejak tahun 1995 peringatan WTPD dikoordinasikan oleh International Society of City and Re-

gional Planners (IsoCaRP) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Sejak saat itu diperkirakan lebih dari 30 negara di dunia memperingatinya setiap tahun, termasuk negara - negara Malaysia, Singapura, dan Australia.

Sejak kapan WTPD diperingati di Indonesia?

Peringatan WTPD pertama diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 2008 di Jakarta. Pada peringatan kedua tahun 2009, diperkenalkan istilah Hari TARU sebagai bentuk adaptasi lokal terhadap istilah WTPD dan dilakukan secara serentak di Jakarta dan Semarang Jawa Tengah.

Apa Tujuan Peringatan Hari TARU (WTPD)?

Peringatan Hari TARU (WTPD) dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi publik dan pemangku kepentingan terhadap aspek penataan ruang (kawasan perko-taan) serta mengkampanyekan isu-isu dan kebijakan-kebijakan di bidang penataan ruang kepada masyarakat luas.

Kapan peringatan WTPD 2010 dilaksanakan?

Launching peringatan WTPD 2010 akan dilakukan di Jakarta pada bulan Agustus 2010, sedangkan puncak Perayaan WTPD 2010 akan dilaksanakan di Denpasar pada tanggal 6-8 Novem-ber 2010. Penyelenggaraan acara perayaan dalam rangka WTPD 2010 dapat dilaksanakan antara bulan Agustus hingga akhir Oktober 2010. Selain itu akan diselenggarakan National Side Events di Banjarmasin pada 24 - 25 September 2010.

Page 20: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 20

B erdasarkan tahapan ke-2 pencapaian visi dan misi Ren-

cana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)

2005-2025, RPJMN 2010-2014 memiliki prioritas

agenda pembangunan yang difokuskan pada pemantapan

penataan kembali Indonesia dengan penekanan pada upaya

peningkatan kualitas sumber daya manusia, perkembangan

kemampuan ilmu dan teknologi, serta penguatan daya saing

perekonomian. Dalam arahan RPJPN 2005-2025 bidang tata

ruang dan pertanahan tercakup dalam misi ke-5 yaitu mewujud-

kan pemerataan pembangunan dan berkeadilan, dan misi ke-6

yaitu mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari. Tantangang

yang dihadapi adalah kompetisi dalam perekonomian yang

semakin ketat oleh daerah-daerah di Indonesia melalui

peningkatan efisiensi pemanfaatan ruang, maksimasi potensi

wilayah dan sinkronisasi program lintas sektor yang dapat

menghasilkan penyediaan infrastruktur yang memadai di

seluruh wilayah Indonesia. Tantangan lain yang harus dihadapi

adalah dari isu lingkungan, mengingat fenomena global

warming dan perubahan iklim yang terjadi di seluruh dunia

akibat kegiatan manusia yang terlalu banyak merusak alam dan

menghasilkan polusi, tentunya penataan ruang harus mampu

merespon hal tersebut. Pelanggaran-pelanggaran dalam

penataan ruang yang telah terjadi saat ini masih mungkin dapat

terjadi dalam 5 tahun mendatang jika penataan ruang tidak

mampu memenuhi tuntutan untuk meningkatkan pengawasan

dan penertiban terhadap pelanggaran tata ruang.

Dalam bidang pertanahan, tanah merupakan sumber daya

penting dan strategis karena menyangkut hajat hidup seluruh

masyarakat Indonesia yang sangat mendasar. Undang-Undang

Dasar 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya digunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat. Prinsip tersebut telah diakomodasikan

dalam UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria (disingkat UUPA), dimana negara menjamin hak-hak

masyarakat atas tanahnya dan memberikan pengakuan atas

hak-hak atas tanah yang ada, termasuk hak ulayat. Ketetapan

MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam, telah menetapkan prinsip-

prinsip dan arah kebijakan pembaruan agraria dan

pemanfaatan sumber daya alam secara berkeadilan dan

berkelanjutan. Ketetapan tersebut memberikan mandat kepada

Pemerintah Indonesia untuk melakukan penataan peraturan

perundang-undangan maupun penataan penguasaan,

pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, sebagaimana

yang juga digariskan dalam Rencana Pembangunan Jangka

Panjang (RPJPN) 2005-2025.

Untuk mengantisipasi tantangan tersebut, sasaran

Pembangunan Bidang Penataan Ruang

1. Terpenuhinya peraturan perundang-undangan untuk

mendukung implementasi UU No. 26 Tahun 2007.

2. Terlaksananya pembinaan penataan ruang kepada

pemangku kepentingan.

3. Terwujudnya peningkatan peran kelembagaan yang andal

mencakup SDM dan sistem informasi.

4. Terwujudnya peningkatan kualitas produk Rencana Tata

Ruang yang disertai dengan peningkatan layanan peta

dasar dan tematik,

5. Terwujudnya sinkronisasi program pembangunan

antarsektor dan antarwilayah yang mengacu kepada RTRW.

6. Terwujudnya kesepakatan kerjasama pembangunan

antarwilayah.

7. Terlaksananya pengendalian pemanfaatan ruang dan

pengawasan teknis.

Sedangkan sasaran Pembangunan Bidang Pertanahan adalah:

1. Bertambahnya cakupan wilayah yang memiliki peta pertana-

han seluas 10.500.000 ha.

2. Bertambahnya luas tanah yang telah terdaftar.

3. Meningkatnya kepastian hukum hak atas tanah, termasuk

di dalamnya bagi masyarakat kurang mampu, untuk men-

gakses sumberdaya produktif.

4. Meningkatnya penerapan sistem informasi dan manajemen

pertanahan.

5. Meningkatnya ketersediaan informasi mengenai kesesuaian

pola tata guna tanah dengan RTRW.

6. Terlaksananya pemberian aset tanah yang layak terutama

bagi kalangan kurang mampu sebanyak 1.050.000 bidang.

7. Meningkatnya pengendalian penguasaan tanah terlantar.

8. Terlaksananya penataan dan penegakan hukum

pertanahan.

9. Meningkatnya kualitas SDM dalam pengelolaan pertanahan.

kajian:

Arah Kebijakan dan Indikator

Bidang Tata Ruang dan Pertanahan

Page 21: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

EDISI 01/TAHUN I/2010

Buletin Tata Ruang dan Pertanahan 21

dalam berita

T ahun 2010 dapat dikatakan penataan ruang sedang

banyak diberitakan, hampir tiap bulan terutama harian

kompas dan media indonesia banyak memberitakan

tentang penataan ruang. Namun demikian pemberitaan masih

berorientasi pada sisi “gelap” penataan ruang antara lain

masalah kurang berfungsinya rencana tata ruang sebagai

arahan pembangunan dan sebagai alat pengendaliaan

pemanfaat ruang guna tercapainya pembangunan

berkelanjutan. Berikut beberapa kliping berita terkait penataan

ruang yang kami ambil dari berberapa koran yang terbit di

Jakarta:

Januari 2010

Kerusakan lingkungan dan pencemaran akibat masifnya kuasa

penambangan batu bara di wilayah Kalimantan membutuhkan

penegakan hukum. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinilai

lebih ‖bergigi‖ atau lebih kuat untuk menindak. (Kompas,

27/01/2010).

Praktik penambangan batu bara di Kalimantan saat ini sudah

sangat memprihatinkan. Tak hanya hutan produksi yang habis

digarap secara membabi buta, tetapi juga kawasan konservasi

dan lahan pertanian masyarakat (Kompas, 25/01/2010).

Ahli tata kota Jakarta meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

melibatkan partisipasi warga dalam penyusunan rencana tata

ruang wilayah 2010-2030. Keterlibatan warga sangat penting

karena mereka ikut menentukan wajah kota 20 tahun

mendatang. (Kompas, 22/01/2010)

Februari 2010

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan segera

menertibkan ribuan izin kuasa pertambangan yang telah

diterbitkan pemerintah daerah dalam 10 tahun terakhir. Hal ini

akan dilakukan setelah empat peraturan pemerintah turunan

UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batu Bara diberlakukan.(Kompas,05/02/2010).

Masyarakat bisa melihat tata kota DKI Jakarta tahun 2030

dengan mengunjungi galeri perencanaan kota yang terletak di

lantai III Gedung Dinas Teknis Abdul Muis, Jakarta Pusat.Galeri

bernama Jakarta City Planning Gallery itu diresmikan Gubernur

Fauzi Bowo, Jumat (29/1). Galeri dibuka gratis untuk umum

setiap Senin hingga Jumat pukul 08.00-16.00.

(Kompas,05/02/2010).

Proses revisi tata ruang di beberapa provinsi masih terhambat

sikap pemerintah daerah. Pemda bersikeras memasukkan

kawasan hutan lindung yang telah beralih fungsi tanpa izin ke

dalam tata ruang provinsi. Demikian disampaikan Menteri

Kehutanan Zulkifli Hasan dalam jumpa pers program kerja 100

hari di Jakarta. Dia didampingi pejabat eselon I dan II

Kementerian Kehutanan. (Kompas, 10/02/2010).

Bencana tanah longsor di perkebunan teh, Desa Tenjolaya,

Kabupaten Bandung, bagaikan puncak gunung es dari

beberapa kejadian musibah pada musim hujan, tahun ini.

Provinsi Jawa Barat adalah yang paling parah, dengan

banyaknya peristiwa bencana di wilayah ini. (Kompas,

01/03/2010).

Maret 2010

Saat ini masih banyak daerah yang belum menyelesaikan

rencana umum tata ruang dan wilayah. Padahal, hal tersebut

sangat dibutuhkan dalam pembangunan daerah. Akibat

ketidakberesan itu, yang tidak jarang menimbulkan konflik,

menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta

Rajasa, pembangunan lebih dari 400 infrastruktur terbengkalai

dan potensi pertambangan tak bisa dimanfaatkan.

(Kompas,08/03/2010).

April 2010

Kalangan aktivis lingkungan di Maluku Utara (Malut)

mengkhawatirkan kelestarian hutan menjadi terancam

sehubungan cukup banyaknya perusahaan tambang yang

beroperasi di Kabupaten Kepulauan Sula (Kepsul). "Sekarang

ini sudah ada 128 perusahaan tambang yang telah

mendapatkan izin kuasa pertambangan (IKP) dari Pemkab

Kepsul untuk menggarap potensi tambang di daerah itu. Ini

jelas merupakan ancaman bagi kelestarian kawasan hutan,"

kata Djafar, seorang aktivis lingkungan di Malut, kepada pers di

Ternate.(Media Indonesia,08/04/2010).

Mei 2010

Sebanyak 62 daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia dengan

seluas 18,5 juta hektare (ha) dalam kondisi kritis. Kondisi itu

memicu penurunan cadangan sumber air, fluktuasi debit air,

serta tingginya laju sedimentasi dan erosi. Selain itu juga

menurunkan kualitas air yang tajam karena polusi pada badan

air. Akibatnya, biaya pengolahan air meningkat dan

memperburuk sanitasi publik. (Media Indonesia, 07/05/2010).

DPRD DKI Jakarta mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

agar segera menuntaskan penyegelan ratusan bangunan yang

melanggar peruntukan lahan. Meskipun sudah disegel selama

lebih dari tiga bulan, ratusan pengusaha tetap memfungsikan

bangunan yang sudah disegel. (Kompas,18/05/2010).

Proses penataan ruang di Pulau Sumatera, termasuk Provinsi

Jambi, belum mempertimbangkan aspek keselamatan warga

dan lingkungan. Lahan yang ada cenderung dibagi habis untuk

kawasan berbasis industri modern. Praktik ini berlangsung

masif.(Kompas,18/05/2010).

Page 22: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

EDISI 01/TAHUN I/2010

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 22

Juni 2010

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus menghentikan proses

reklamasi pantai utara Jakarta setelah Mahkamah Agung

mengabulkan kasasi Kementerian Lingkungan Hidup.

Reklamasi pantai utara Jakarta dinilai telah merusak

lingkungan sehingga tidak boleh dilanjutkan.

(Kompas,02/06/2010)

Wakil Presiden Boediono terpaksa harus turun tangan

mengurusi lambatnya penyelesaian Rencana Umum Tata Ruang

(RUTR) setiap daerah yang harus diselesaikan pada tahun ini

juga. Pasalnya, hingga 18 Juni lalu, dari 33 provinsi di

Indonesia, tercatat baru lima provinsi yang menyelesaikan

RUTR-nya. Kelima daerah itu adalah Provinsi Bali, Sulawesi

Selatan, Lampung, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Nusa

Tenggara Barat (NTB). (Kompas, 22/06/2010).

Agustus 2010

Indonesia setiap tahun berpotensi mengalami kerugian hingga

Rp300 triliun akibat kegagalan dalam penataan tata ruang.

Demikian catatan organisasi pemerhati lingkungan.(Media

Indonesia, 11/08/2010).

Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) disinyalir masih jauh dari target. Hal ini disebabkan oleh

adanya konflik pemanfaatan ruang baik antarsektor maupun

antarwilayah. (Media Indonesia, 11/08/2019).

Menteri Kehutanan, Zulkifili Hasan, mengungkapkan hingga kini

penyelesaian persoalan perubahan tata ruang wilayah provinsi

baru selesai 50 persen. Provinsi yang sudah selesai itu antara

lain Kalimantan Selatan, Gorontalo, Jawa Tengah, Lampung,

Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa

Barat, dan Banten.(Republika, 12/06/2010).

Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, mengatakan, daerahnya

akan mempertahankan areal sawah yang ada agar tidak

berubah fungsi menjadi bangunan lainnya. Oleh karena itu

Pemprov Banten melarang alih fungsi sawah menjadi lahan

lainnya.(Republika).

Kampung turis Ubud, Provinsi Bali yang meraih penghargaan

"The Best City in Asia" layak menjadi contoh penataan ruang

bagi kota lain, kata Dirjen Penataan Ruang Kementerian

Pekerjaan Umum Imam Ernawi. (Republika,12/08/2010).

M JUSUF KALLA Wakil Presiden (2004-2009): Ibukota sekaligus

kota besar tidak selalu macet selama diatur dengan

baik.Lihatlah Tokyo dan London. Bangkok pernah macet hebat,

tetapi setelah dibangun jalan layang dan monorel ia menjadi

lebih baik. Begitu pulakota besar yang bukan ibu kota juga tidak

dijamin tanpa macet.Surabaya, Bandung, Makassar dan

Medan, juga Mumbai di India sudah macet karena

pertumbuhan yang cepat. Jadi, kemacetan bukan karena ibu

kota,tetapi kecepatan mobilitas tak sebanding jalan. Hal lain

memindahkan ibu kota hanya mengurangi sedikit penduduk.

Pegawai pemerintah pusat yang pindah mungkin sekitar

200.000 orang lebih, 5 persen dari jumlah pegawai negeri sipil.

(Kompas,31/08/2010).

September 2010

Pengusaha kelapa sawit, yang bergabung dalam Gabungan

Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, meminta bantuan Komisi IV

DPR untuk menengahi masalah rencana tata ruang dan wilayah

provinsi. Para pengusaha itu merasa menjadi korban kebijakan

pemerintah tahun 2000-2006 soal status lahan.(Kompas,

01/09/2010).

Wacana pemindahan ibukota Indonesia terus bergulir. Menurut

ahli tata kota Universitas Trisakti (Usakti), Yayat Supriyatna,

syarat utama pemindahan ibukota yaitu lokasi ibukota baru

harus dekat dengan Jakarta dan dipindahkan secara bertahap.

(Detik.com,06/09/2010).

Jakarta terancam tenggelam. Kalimat ini tak berlebihan.

Setidaknya berkaca pada pengalaman banjir besar yang pernah

melanda Ibu Kota pada beberapa tahun silam. Saat itu,

sebagian besar wilayah Jakarta terendam banjir. Jika

disaksikan dari udara, nyaris lebih dari 50 persen wilayah

Jakarta tampak terendam. Wilayah Jakarta Utara merupakan

wilayah administrasi di Ibu Kota yang paling sering mengalami

musibah banjir. Sebagian wilayah Jakarta Utara telah

mengalami perubahan wajah yang sangat drastis. (Media

Indonesia, 20 September 2010).

Amblesnya Jakarta yang ditandai dengan miringnya gedung-

gedung bertingkat, amblesan tanah, kemunculan rongga di

gedung, dan amblesnya ruas jalan adalah konsekuensi logis

pengambilan air tanah berlebihan secara terus- menerus, serta

makin besarnya beban tanah akibat berat bangunan yang

mendorong terjadinya pemampatan lapisan tanah.Di Jakarta,

layanan air leding perpipaan belum mampu melayani seluruh

penduduk. Hal ini membuat sebagian besar penduduk Jakarta

bergantung pada penggunaan air tanah untuk kebutuhan

sehari-hari sehingga mendorong ekstrasi air tanah dalam

jumlah besar. (Kompas, Senin, 20 September 2010).

Sumber: www.bkprn.org

Sumber: www.bkprn.org

Sumber: www.bkprn.org

Page 23: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 23

Oktober 2010

Pertengahan Oktober:

Diskusi terfokus dan terbatas untuk uji coba kajian ―Toolkit

Sosialisasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah

untuk Tata Ruang dan Pertanahan‖.

Mengikuti rapat kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang

Daerah (BKPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota se-

Indonesia di Batam. Raker ini diselenggarakan oleh

Kementerian Dalam Negeri (Direktorat Jenderal Bina

Pembangunan Daerah) sebagai anggota Badan

Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN). Rakerda

ini akan diikuti oleh instansi-instansi pusat anggota

BKPRN, para Gubernur seluruh Indonesia, Bappeda

tingkat provinsi dari seluruh Indonesia serta perwakilan

dari kabupaten/kota terpilih.

Akhir Oktober:

Diskusi terfokus dengan beberapa nara sumber tata ruang

dan pertanahan untuk finalisasi substansi kajian ―Toolkit

Sosialisasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah

untuk Tata Ruang dan Pertanahan‖.

November 2010

Awal November:

Berkoordinasi dengan mitra kerja Kementerian/Lembaga

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan (Badan Pertanahan

Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian

Dalam Negeri, dll) untuk mulai menyusun Rencana Kerja

Pemerintah (RKP) tahun 2012.

Pertengahan November:

Mengikuti peringatan Hari Tata Ruang Nasional yang

diadakan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang,

Kementerian Pekerjaan Umum. Kegiatan-kegiatan

peringatan Hari Tata Ruang Nasional ini berupa seminar,

perlombaan-perlombaan dan pameran.

Desember 2010

Awal Desember:

Pembahasan lanjutan penyusunan RKP tahun 2012

dengan mitra kerja Kementerian/Lembaga.

Akhir Desember:

Diseminasi hasil kajian strategi sosialisasi RPJMN Bidang

Tata Ruang dan Pertanahan.

agenda

Sumber: Dokumentasi Dit.Tata Ruang & Pertanahan, Bappenas, 2010

TRP dalam Gambar

Page 24: pengantar redaksi - TRP | Portal Tata Ruang dan Pertanahantataruangpertanahan.com/file_peraturan/284Buletin TRP Edisi I Tahun... · perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan

Nyiur melambai di Pulau Sabang....

Pulau indah yang dikelilingi lautan...

Patuhilah rencana tata ruang...

Untuk kehidupan yang berkelanjutan...

Runa Tarna