peran tata ruang dan pertanahan dalam mendorong ... trp ii-2016_draft 1... · susunan redaksi...

32
edisi II tahun 2016 Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong Keseimbangan Antar Wilayah Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong Keseimbangan Antar Wilayah Otonomi dan Pembangunan Wilayah: Tinjauan Umum oleh: Robert Endi Jaweng Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Derah (KPPOD) Artikel Pembangunan Infrastruktur untuk Mewujudkan Keseimbangan Pembangunan Antar Wilayah bersama: Dr. Ir. Oswar Muadzin Mungkasa, MURP. Deputi Gubernur Provinsi DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Wawancara Tokoh Melihat Dari Dekat Menengok Bumi Serambi Mekkah: 10 Tahun Pasca Tsunami Liputan Khusus Melihat Pelaksanaan The 13th Indonesian Regional Science Association (IRSA) International Conference Tahun 2016

Upload: buidieu

Post on 01-Apr-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

edis

i II t

ahun

201

6

Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam

Mendorong Keseimbangan Antar WilayahPeran Tata Ruang dan Pertanahan dalam

Mendorong Keseimbangan Antar Wilayah

Otonomi dan Pembangunan Wilayah:Tinjauan Umum

oleh: Robert Endi JawengDirektur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Derah (KPPOD)

Artikel

Pembangunan Infrastruktur untuk MewujudkanKeseimbangan Pembangunan Antar Wilayah

bersama: Dr. Ir. Oswar Muadzin Mungkasa, MURP.Deputi Gubernur Provinsi DKI Jakarta

Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup

Wawancara Tokoh

Melihat Dari DekatMenengok Bumi Serambi Mekkah:10 Tahun Pasca Tsunami

Liputan KhususMelihat Pelaksanaan The 13th IndonesianRegional Science Association (IRSA) International Conference Tahun 2016

Page 2: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

PelindungDeputi Bidang Pengembangan Regional

Penanggung JawabDirektur Tata Ruang dan Pertanahan

susunanredaksisusunanredaksi

Pemimpin RedaksiSanti Yulianti

Dewan RedaksiMia Amalia

AswicaksanaNana Apriyana

Rinella Tambunan

EditorRini Aditya DewiRaditya Pranadi

RedaksiHernydawatiRaffli Noor

Elmy Yasinta CiptadiRiani Nurjanah

Marita Putri NirbayaM. Emil Widya Pradana

Idham KhalikGita Nurrahmi

Fadiah Adlina UlfahEdi SetiawanMustanir Afif

Meddy ChandraUtamining S.M. PutriAndelissa Nur Imran

Farish Alauddin

Desain & Tata LetakDodi RahadianRaditya Pranadi

Distribusi & AdministrasiSylvia KrisnawatiPratiwi Khoiriyah

SukinoWidodo

Redaksi menerima kiriman tulisan/artikel dariluar. Isi berkaitan dengan penataan ruang dan

pertanahan, serta belum pernah dipublikasikan.Panjang naskah tidak dibatasi.

Bagi yang ingin berkontribusi mengisi buletin ini,dapat mengirimkan naskah tulisan/artikel

serta data identitas diri ke alamat:

atau

Isi tulisan/artikel berhak diedit oleh Redaksi.

Direktorat Tata Ruang dan PertanahanKementerian PPN/Bappenas

Jl. Taman Suropati No.2Gedung Madiun Lt.3

Jakarta 10310

e-mail: [email protected] website: http://www.trp.or.id

daftar isi

21 Melihat dari Dekat:Menengok Bumi Serambi Mekkah:10 Tahun Pasca Tsunami

2

9

11

Liputan Khusus:Melihat Pelaksanaan The 13th IndonesianRegional Science Association (IRSA) International Conference Tahun 2016

1 dari redaksi 6

8 sosialisasi peraturan15

ringkas buku17 dalam berita19

trp in frame

Wawancara Tokoh:Pembangunan Infrastruktur untuk MewujudkanKeseimbangan Pembangunan Antar Wilayaholeh: Dr. Ir. Oswar Muadzin Mungkasa, MURP.

(Deputi Gubernur Provinsi DKI Jakarta Bidang Tata Ruangdan Lingkungan Hidup)

Artikel:Otonomi dan Pembangunan Wilayah:Tinjauan Umum

(Direktur Eksekutif Komite Pemantauan PelaksanaanOtonomi Daerah/KPPOD)

oleh: Robert Endi Jaweng

koordinasi trp

data dan informasi23 kliping berita25

agenda trp28

Page 3: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

dari r edaksi

1buletin tata ruang & pertanahan

Dalam rangka mempercepat pembangunan infrastruktur yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2013 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, merupakan bentuk komitmen dan arahan tegas Presiden kepada para pemangku kepentingan yang berkaitan untuk segera melaksanakan percepatan proyek infrastruktur strategis nasional, dengan tetap memperhatikan faktor-faktor yang ada, salah satunya yaitu kesesuaian pembangunan dengan kondisi tata ruang. Arah kebijakan utama pembangunan nasional berfokus pada percepatan pemerataan pembangunan antar wilayah dengan mendorong transformasi dan akselerasi pembangunan di wilayah kawasan Timur Indonesia (KTI), diharapkan paradigma pembangunan negara tidak lagi “jawa-sentris”. Namun disisi lain, kebutuhan pembangunan infrastruktur di kota-kota besar semakin meningkat dan mengarah pada integrasi wilayah sekitarnya.

Buletin Tata Ruang dan Pertanahan (TRP) Edisi II Tahun 2016 ini mengambil tema “Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong Keseimbangan Pembangunan Antar Wilayah”. Tema ini dipilih sebagai upaya untuk mendapatkan gambaran peran dan strategi penataan ruang yang tepat dalam mendukung percepatan pembangunan antar wilayah terutama dalam pembangunan infrastruktur nasional. Dengan contoh peran Pemerintah DKI Jakarta dalam menyeimbangkan pembangunan antar wilayah sekitarnya memberikan gambaran bahwa pembangunan infrastruktur merupakan backbone pembangunan dengan bidang tata ruang sebagai pengatur dan pengendaian dari pelaksanaan program infrastruktur tersebut. Hal ini juga tidak terlepas dari peran kebijakan Otonomi Daerah dalam mendorong pembangunan antar wilayah, serta pembangunan daerah yang dilakukan secara komprehensif sebagai upaya mengurangi kesenjangan antar wilayah.

Pada rubrik lainnya artikel Buletin TRP menyajikan informasi berbagai kegiatan koordinasi Direktorat TRP yang dilaksanakan diantaranya sosialisasi Reforma Agraria Nasional (RAN), sosialisasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 104 tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan PP Nomor 105 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas PP nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, sharing knowledge kunjungan ke PT. Telkom Indonesia yang berada di Bandung untuk melihat pengelolaan manajemen pengetahuan pada Badan Usaha Milik Negara, serta Rapat Kerja Regional (Rakereg) Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional di Provinsi Yogyakarta. Ada pula rubrik melihat dari dekat “Menengok Bumi Serambi Mekkah 10 Tahun Pasca Tsunami”, liputan khusus terkait dengan partisipasi staf Direktorat TRP dalam mengikuti seminar internasional International Regional Science Association (IRSA) tahun 2016 dan Goesmart 2016 di Surabaya.

Sesuai dengan misi kami sebagai penyebar informasi untuk bidang tata ruang dan pertanahan, kami tetap menyajikan perkembangan terakhir data dan informasi seputar peta dasar pertanahan dan status Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), sosialisasi peraturan perundang-undangan, ringkas buku “Menjalin Desa-Kota: Upaya Membangun Indonesia dari Pinggiran” yang diterbitkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Di era informasi dengan kemudahan akses internet dan intensitas pekerjaan yang padat, adalah tantangan tersendiri untuk mengelola sebuah buletin cetak agar tetap eksis. Semoga buletin ini dapat memberikan sumbangsih dan menjadi instrumen knowledge sharing dalam penataan ruang dan pertanahan.

Akhir kata, kami selalu menerima kritik dan saran dari pembaca demi peningkatan kualitas Buletin TRP.

Selamat membaca.

Salam.Redaksi Buletin TRP

dari redaksi

Page 4: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

2 buletin tata ruang & pertanahan

wawancara tokoh Wawancara bersama Deputi Gubernur Provinsi DKI JakartaBidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup

Dr. Ir. Oswar Muadzin Mungkasa, MURP.

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEWUJUDKAN KESEIMBANGAN PEMBANGUNAN ANTARWILAYAH

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEWUJUDKAN KESEIMBANGAN PEMBANGUNAN ANTARWILAYAH

residen dan Wakil Presiden menginginkan arah kebijakan utama Ppembangunan nasional fokus pada pemerataan pembangunan antarwilayah, salah satunya melalui pembangunan negara dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Transformasi dan percepatan pembangunan di wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) pun mulai didorong. Namun pertumbuhan dan perkembangan kota-kota besar di Indonesia yang dinamis menuntut pembangunan infrastruktur untuk dapat mengakomodasi permintaan kebutuhan masyarakatnya. DKI Jakarta sebagai kota besar sekaligus ibukota negara terus melakukan pembangunan infrastruktur.

Kondisi tersebut memunculkan kekhawatiran bahwa pembangunan antarwilayah kota dengan desa semakin melebar kesenjangannya dan daya tarik manusia untuk datang ke kota besar semakin besar yang menyebabkan desa akan terus ditinggal oleh penghuninya.

Pada kesempatan wawancara kali ini, mantan Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian PPN/Bappenas ini menjawab kekhawatiran tersebut dan berbagi pandangannya mengenai pembangunan infrastruktur dalam rangka mendorong keseimbangan pembangunan antarwilayah.

Foto: Dokumentasi TRP

Page 5: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

3buletin tata ruang & pertanahan

percepatan pembangunan infrastruktur nasional?

Apa saja tantangan dalam percepatan pembangunan infrastruktur nasional?

Apakah ada (tantangan) yang lain? Seperti transportasi misalnya?

Dalam penataan ruang, output itu tata ruang. Dalam konteks output tata ruang tersebut, ada bagian di dalam dokumen yang disebut indikasi program. Di dalam indikasi program itu ditentukan tahapan-tahapan mana (pembangunan) yang dikerjakan lebih dahulu. Indikasi program sangat berperan di dalam upaya mendukung pembangunan infrastruktur. Bagaimana kemudian mendorong percepatan (pembangunan)nya? Indikasi program tersebut ditaati. Rata-rata rencana tata ruang kita lemah di indikasi program. Sudah bagus struktur ruang, pola ruangnya, namun programnya tidak jelas. Lemah, tidak jelas apa yang mau dilakukan, kapan dan (program) mana yang jadi prioritas. Saran saya, ke depan semua dokumen-dokumen tata ruang di berbagai tingkat indikasi programnya harus jelas. Bahkan jika perlu, komponen siapa yang bertanggung jawab (penanggung jawab program) juga harus jelas.

Nah itulah kemudian banyak rencana tata ruang lemah bagian aspek pelaksanaannya. Jika itu (indikasi program) jelas, sebenarnya sangat mudah untuk melakukan pembangunan infrastruktur. Pusat mana yang (ingin) segera dibangun maka infrastruktur mana yang segera didahulukan. Jadi saran saya, jika kita mau melakukan percepatan infrastruktur, maka rencana tata ruang harus dilengkapi dengan indikasi program yang bagus. Nah itu kan yang menjadi panduan buat kita dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP).

Tantangannya secara eksplisit yang saya katakan sebelumnya, terutama dalam konteks ketersediaan tanah.

Ada yang lain, tetapi menurut saya yang paling utama (masalah) ketersediaan tanah. Kalau masalah dana iya, tetapi tanah itu yang selalu menurut saya paling perlu kita benahi. Kenapa kemudian kita memperkenalkan Bank Tanah. Karena kita tahu persis bahwa masalah tanah itu sangat menghambat pembangunan infrastruktur. Kita punya uang (dana) percuma juga kalau tanahnya terhambat (tidak tersedia). Saya berpikir seharusnya yang namanya rencana tata ruang itu ketika kita sepakati harusnya sekaligus langsung disertai dengan langkah pembebasan tanah. Atau

Bagaimana filosofi pembangunan infrastruktur itu dalam kaitan pembangunan daerah dan tata ruang? Mengapa perlu ada?

Apa saja yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan infrastruktur?

Bagaimana bentuk peran dan strategi penataan ruang yang tepat dalam rangka mendukung program

Infrastruktur itu merupakan backbone, tulang punggung pembangunan suatu daerah, terutama infrastruktur yang sifatnya seperti transportasi, listrik, dan lain-lain. Jika suatu daerah mau maju, infrastrukturnya dijadikan prioritas. Makanya sekarang pemerintah kita sampai “berdarah-darah”, memrioritaskan dananya demi pembangunan infrastruktur. Coba kita lihat negara-negara maju, yang bagus itu infrastrukturnya. (Ada) jalan, jalan kereta, listrik. Amerika, begitu luas (wilayahnya), jalan bagus ada dimana-mana. Jadi jika kita mau memajukan suatu daerah, maka yang menjadi perhatian pertama tentunya infrastruktur. Itu terbukti (di beberapa daerah) jika infrastrukturnya tidak maju, maka daerahnya terbelakang. Banyak daerah-daerah tertinggal (di Indonesia) yang berjuang untuk menjadi provinsi atau kabupaten baru karena infrastrukturnya tidak dibangun, menjadi tertinggal.

Sebelumnya saya katakan bahwa infrastruktur itu terkait sebagai tulang punggung pembangunan. Tentunya dalam konteks tersebut, pertama kali kita ketahui adalah titik-titik mana yang perlu dihubungkan oleh infrastruktur tersebut, atau yang perlu dilayani oleh infrastruktur tersebut. Karena jika titik-titik tersebut bisa dilayani dengan baik dan antar titik tersebut bisa dihubungkan, maka terjadi (proses) pembangunan atau daerah tersebut terbangun dengan baik. Jika penempatan infrastruktur salah, maka tidak akan menjadi tulang punggung, malah akan menjadi pemborosan (biaya pembangunan).

Yang pertama diperhatikan adalah lokasi-lokasi mana yang perlu dilayani infrastruktur tersebut. Dalam ilmu pengembangan wilayah disebut “pusat-pusat pertumbuhan”. Jika sudah bisa ditandai dan diketahui dengan pasti, maka jelas bisa dibangun infrastruktur. Baik infrastruktur yang sifatnya melayani lokasi itu sendiri maupun infrastruktur yang bersifat menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan. Yang kedua, yang perlu juga diperhatikan adalah tanahnya. Banyak penyediaan pembangunan infrastruktur terhambat karena kita (pemerintah/negara) tidak menguasai tanahnya. Maka dikeluarkanlah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 30 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Karena tanah menjadi salah satu faktor penting agar infrastruktur tersebut bisa dibangun.

Ini semua tidak akan optimal, efisien dan efektif ketika tidak ada tata ruangnya. Tata ruang yang mengikat, kemudian menjadi panduan kita semua menentukan dimana titik-titik pertumbuhannya, struktur ruangnya seperti apa, pola ruangnya seperti apa, dan di dalam struktur ruang dan pola ruang kita bisa tahu persis tanah mana yang perlu kita (pemerintah/negara) amankan untuk pembangunan infrastruktur. Intinya, yang mengikat kita semua adalah tata ruang, dalam konteks pembangunan infrastruktur.

percepatan pembangunan infrastruktur nasional?

Apa saja tantangan dalam percepatan pembangunan infrastruktur nasional?

Apakah ada (tantangan) yang lain? Seperti transportasi misalnya?

Dalam penataan ruang, output itu tata ruang. Dalam konteks output tata ruang tersebut, ada bagian di dalam dokumen yang disebut indikasi program. Di dalam indikasi program itu ditentukan tahapan-tahapan mana (pembangunan) yang dikerjakan lebih dahulu. Indikasi program sangat berperan di dalam upaya mendukung pembangunan infrastruktur. Bagaimana kemudian mendorong percepatan (pembangunan)nya? Indikasi program tersebut ditaati. Rata-rata rencana tata ruang kita lemah di indikasi program. Sudah bagus struktur ruang, pola ruangnya, namun programnya tidak jelas. Lemah, tidak jelas apa yang mau dilakukan, kapan dan (program) mana yang jadi prioritas. Saran saya, ke depan semua dokumen-dokumen tata ruang di berbagai tingkat indikasi programnya harus jelas. Bahkan jika perlu, komponen siapa yang bertanggung jawab (penanggung jawab program) juga harus jelas.

Nah itulah kemudian banyak rencana tata ruang lemah bagian aspek pelaksanaannya. Jika itu (indikasi program) jelas, sebenarnya sangat mudah untuk melakukan pembangunan infrastruktur. Pusat mana yang (ingin) segera dibangun maka infrastruktur mana yang segera didahulukan. Jadi saran saya, jika kita mau melakukan percepatan infrastruktur, maka rencana tata ruang harus dilengkapi dengan indikasi program yang bagus. Nah itu kan yang menjadi panduan buat kita dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP).

Tantangannya secara eksplisit yang saya katakan sebelumnya, terutama dalam konteks ketersediaan tanah.

Ada yang lain, tetapi menurut saya yang paling utama (masalah) ketersediaan tanah. Kalau masalah dana iya, tetapi tanah itu yang selalu menurut saya paling perlu kita benahi. Kenapa kemudian kita memperkenalkan Bank Tanah. Karena kita tahu persis bahwa masalah tanah itu sangat menghambat pembangunan infrastruktur. Kita punya uang (dana) percuma juga kalau tanahnya terhambat (tidak tersedia). Saya berpikir seharusnya yang namanya rencana tata ruang itu ketika kita sepakati harusnya sekaligus langsung disertai dengan langkah pembebasan tanah. Atau

Gambar 1. Infrastruktur Jalan Tol di Amerika Serikat(sumber: www.footage.frampool.com)

Page 6: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

Kemudian, bagaimana peran DKI Jakarta dalam mendukung implementasi program percepatan pembangunan infrastruktur nasional?

Berhubungan dengan pertanyaan selanjutnya, apakah semakin meningkatnya kebutuhan pembangunan infrastruktur di DKI Jakarta akan menjadi timbul kesenjangan (antara barat dan timur, atau kota dan daerah)?

Kalau kita melihat DKI Jakarta sebagai pusat pertumbuhan yang utama, pembangunan infrastruktur di DKI Jakarta menjadi tulang punggung pembangunan nasional. Pelabuhan Tanjung Priok, Bandara Soekarno-Hatta, kereta api, (menjadi sarana) distribusi barang ke daerah.

Kesenjangan harus diterjemahkan secara hati-hati. Saya melihatnya dengan menggunakan permisalan, ada orang besar makan sebanyak dua piring, yang lain hanya satu piring atau bahkan tidak makan sama sekali. Keberadaan orang besar tersebut bukan berarti membuat dia akhirnya tidak diberi makan agar orang lain dapat diberi makan. Kesenjangan itu mau kita selesaikan dengan cara semua tetap hidup. Harus dilihat pelan-pelan. Tidak bisa ada yang ditahan (proses pembangunannya), kemudian yang lainnya naik. Kalau ditahan, justru akan mati. Kalau pembangunan di Jakarta kita hentikan atau istilahnya di reduce, dikecilkan, Indonesia akan mati. Karena di Jakarta peredaran uangnya (kegiatan perekonomiannya) besar sekali. Kalau kita tahan, (investasi) bukan akan lari ke kota-kota lain di Indonesia, tapi akan lari ke kota-kota di negara lain. Jadi kita akan kehilangan. Jangan berpikir kita tahan Jakarta, (uang) akan lari ke Papua. Uang tidak mengenal kesenjangan. Dimana tempat dia bisa tumbuh cepat, disitu dia akan berada. Pemahaman bahwa membangun Jakarta kemudian akan

kalau bukan pembebasan, tanahnya itu di-freeze. Jadinya tanah itu tidak bisa digunakan untuk kegiatan lain. Ataupun jika (ada tanah) mau dijual oleh pemiliknya, itu harus dijual ke pemerintah untuk diamankan. Nilai NJOP-nya kita hold, kita tahan agar tidak naik. Atau yang paling bagus kita (pemerintah) beli. Namun tergantung apakah pemerintah sanggup membeli atau tidak. Dalam konteks ini Bank Tanah menjadi penting.

Ada juga yang lain dalam konteks pendanaan, tetapi menurut saya pendanaan itu masih jauh mudah ditangani dibanding tanah. Kemudian ada lagi aspek lain, regulasi misalnya. Tapi menurut saya regulasi juga masih lebih mudah (ditangani) dibanding masalah pertanahan. Karena, kadang-kadang ada inovasi-inovasi dalam masalah pendanaan perlu didukung oleh regulasi. Sekarang misalnya ada cara baru, Availability Payment (AP). Caranya infrastruktur dibangun terlebih dahulu oleh swasta, kita (pemerintah) mencicil. Mirip seperti metode BOT (Build-Operate-Transfer). Kalau BOT, infrastruktur yang dibangun dikelola oleh swasta baru kemudian dikembalikan ke pemerintah. Kalau ini (metode Availability Payment), pemerintah mencicil ke pihak swasta yang membangun infrastruktur. Untuk itu regulasinya perlu kita buat.

Oh iya, masih ada. Masih menjadi masalah. Banyak di DKI Jakarta tanahnya lama untuk dibebaskan. Pertama karena tanahnya sendiri bermasalah. Contohnya, misal karena masalah warisan. Yang kedua karena tidak diketahui kepemilikannya. Masalah itu semua ada, tapi bisa kita (pemerintah provinsi) tangani walaupun cukup menyita waktu untuk melakukan upaya-upayanya.

Kalau di DKI Jakarta, tantangan pertanahan ini apakah masih menjadi masalah?

Kemudian, bagaimana peran DKI Jakarta dalam mendukung implementasi program percepatan pembangunan infrastruktur nasional?

Berhubungan dengan pertanyaan selanjutnya, apakah semakin meningkatnya kebutuhan pembangunan infrastruktur di DKI Jakarta akan menjadi timbul kesenjangan (antara barat dan timur, atau kota dan daerah)?

Kalau kita melihat DKI Jakarta sebagai pusat pertumbuhan yang utama, pembangunan infrastruktur di DKI Jakarta menjadi tulang punggung pembangunan nasional. Pelabuhan Tanjung Priok, Bandara Soekarno-Hatta, kereta api, (menjadi sarana) distribusi barang ke daerah.

Kesenjangan harus diterjemahkan secara hati-hati. Saya melihatnya dengan menggunakan permisalan, ada orang besar makan sebanyak dua piring, yang lain hanya satu piring atau bahkan tidak makan sama sekali. Keberadaan orang besar tersebut bukan berarti membuat dia akhirnya tidak diberi makan agar orang lain dapat diberi makan. Kesenjangan itu mau kita selesaikan dengan cara semua tetap hidup. Harus dilihat pelan-pelan. Tidak bisa ada yang ditahan (proses pembangunannya), kemudian yang lainnya naik. Kalau ditahan, justru akan mati. Kalau pembangunan di Jakarta kita hentikan atau istilahnya di reduce, dikecilkan, Indonesia akan mati. Karena di Jakarta peredaran uangnya (kegiatan perekonomiannya) besar sekali. Kalau kita tahan, (investasi) bukan akan lari ke kota-kota lain di Indonesia, tapi akan lari ke kota-kota di negara lain. Jadi kita akan kehilangan. Jangan berpikir kita tahan Jakarta, (uang) akan lari ke Papua. Uang tidak mengenal kesenjangan. Dimana tempat dia bisa tumbuh cepat, disitu dia akan berada. Pemahaman bahwa membangun Jakarta kemudian akan

kalau bukan pembebasan, tanahnya itu di-freeze. Jadinya tanah itu tidak bisa digunakan untuk kegiatan lain. Ataupun jika (ada tanah) mau dijual oleh pemiliknya, itu harus dijual ke pemerintah untuk diamankan. Nilai NJOP-nya kita hold, kita tahan agar tidak naik. Atau yang paling bagus kita (pemerintah) beli. Namun tergantung apakah pemerintah sanggup membeli atau tidak. Dalam konteks ini Bank Tanah menjadi penting.

Ada juga yang lain dalam konteks pendanaan, tetapi menurut saya pendanaan itu masih jauh mudah ditangani dibanding tanah. Kemudian ada lagi aspek lain, regulasi misalnya. Tapi menurut saya regulasi juga masih lebih mudah (ditangani) dibanding masalah pertanahan. Karena, kadang-kadang ada inovasi-inovasi dalam masalah pendanaan perlu didukung oleh regulasi. Sekarang misalnya ada cara baru, Availability Payment (AP). Caranya infrastruktur dibangun terlebih dahulu oleh swasta, kita (pemerintah) mencicil. Mirip seperti metode BOT (Build-Operate-Transfer). Kalau BOT, infrastruktur yang dibangun dikelola oleh swasta baru kemudian dikembalikan ke pemerintah. Kalau ini (metode Availability Payment), pemerintah mencicil ke pihak swasta yang membangun infrastruktur. Untuk itu regulasinya perlu kita buat.

Oh iya, masih ada. Masih menjadi masalah. Banyak di DKI Jakarta tanahnya lama untuk dibebaskan. Pertama karena tanahnya sendiri bermasalah. Contohnya, misal karena masalah warisan. Yang kedua karena tidak diketahui kepemilikannya. Masalah itu semua ada, tapi bisa kita (pemerintah provinsi) tangani walaupun cukup menyita waktu untuk melakukan upaya-upayanya.

Kalau di DKI Jakarta, tantangan pertanahan ini apakah masih menjadi masalah?

Gambar 2. Pembangunan Terowongan MRT di DKI Jakarta(sumber: www.indonesia-investments.com)

4 buletin tata ruang & pertanahan

Page 7: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

Sekarang bus Transjakarta sudah mencapai kawasan-kawasan pinggiran Jakarta dan kota-kota di sekitar. Memang tidak segampang yang dibayangkan, tetapi harus ada kerjasama. Dalam hal ini yang utama adalah kota induk itu harusnya bisa membantu kota-kota sekitar. Seperti di Jakarta, kita bantu dalam hal transportasi. Makanya saat ini kita sedang mendorong agar stasiun-stasiun menjadi bagus, Transjakarta masuk ke daerah. Tetapi dalam konteks yang lain belum terlihat. Sama konteks lingkungan, kita (pemerintah provinsi) bisa memberikan biaya untuk membangun kolam penampungan air agar kemudian tidak lagi terjadi banjir. Tidak hanya dalam bentuk itu, bisa saja dalam bentuk kerjasama melatih orang-orang kota sekitar, atau kerjasama informasi untuk mendukung pelaksanaan pembangunan itu sendiri. (sy/ra/rp)

meningkatkan kesenjangan tidak terlalu tepat. Yang penting harus kita jaga adalah daerah-daerah di luar Jakarta bisa tetap tumbuh jauh lebih cepat dari Jakarta. Tetapi Jakarta tetap kita jaga dan kelola, kalau tidak akan mati. Kalau Jakarta mati, sama dengan Indonesia mati. Yang perlu diingat, saingan Jakarta bukan kota-kota di dalam negeri, tetapi kota-kota besar di luar negeri seperti Bangkok, Singapura, Manila, dan lain-lain. Saya tidak takut bahwa kita tetap membangun infrastruktur di Jakarta, dengan catatan memang itu adalah bagian dari skenario pembangunan daerah di Indonesia. Semuanya tumbuh tapi dengan proporsi yang berbeda. Yang (kota) besar tetap dikelola dan (kota) yang kecil akan tumbuh lebih cepat.

Kalau saya melihat ini lebih kepada aspek penanganan urbanisasi. Urbanisasi bukan hal yang negatif, sepanjang yang datang ke kota itu adalah orang-orang yang siap untuk bekerja sehingga terjadi pertumbuhan yang baik. Jadi strateginya adalah apa yang disebut dengan Urban-Rural Linkages. Jadi jangan sampai terjadi orang-orang pindah ke Jakarta, tetapi malah menjadi beban kota. Pindah ke Jakarta menjadi beban Jakarta, di daerah jadi kekurangan tenaga kerja. Mau membangun daerah jadi tidak bisa karena tidak ada orang. Untuk itu memang perlu kerjasama antara Jakarta dengan daerah sekitar. Sebenarnya kita (pemerintah provinsi) sudah bekerja sama dengan daerah sekitar, tetapi lebih kepada hal-hal yang sifatnya penanganan masalah lingkungan dan transportasi.

Strategi apa yang perlu ditempuh untuk mempertemukan antara kepentingan pembangunan di kota maupun kesempatan pemerataan di daerah?

Sekarang bus Transjakarta sudah mencapai kawasan-kawasan pinggiran Jakarta dan kota-kota di sekitar. Memang tidak segampang yang dibayangkan, tetapi harus ada kerjasama. Dalam hal ini yang utama adalah kota induk itu harusnya bisa membantu kota-kota sekitar. Seperti di Jakarta, kita bantu dalam hal transportasi. Makanya saat ini kita sedang mendorong agar stasiun-stasiun menjadi bagus, Transjakarta masuk ke daerah. Tetapi dalam konteks yang lain belum terlihat. Sama konteks lingkungan, kita (pemerintah provinsi) bisa memberikan biaya untuk membangun kolam penampungan air agar kemudian tidak lagi terjadi banjir. Tidak hanya dalam bentuk itu, bisa saja dalam bentuk kerjasama melatih orang-orang kota sekitar, atau kerjasama informasi untuk mendukung pelaksanaan pembangunan itu sendiri. (sy/ra/rp)

meningkatkan kesenjangan tidak terlalu tepat. Yang penting harus kita jaga adalah daerah-daerah di luar Jakarta bisa tetap tumbuh jauh lebih cepat dari Jakarta. Tetapi Jakarta tetap kita jaga dan kelola, kalau tidak akan mati. Kalau Jakarta mati, sama dengan Indonesia mati. Yang perlu diingat, saingan Jakarta bukan kota-kota di dalam negeri, tetapi kota-kota besar di luar negeri seperti Bangkok, Singapura, Manila, dan lain-lain. Saya tidak takut bahwa kita tetap membangun infrastruktur di Jakarta, dengan catatan memang itu adalah bagian dari skenario pembangunan daerah di Indonesia. Semuanya tumbuh tapi dengan proporsi yang berbeda. Yang (kota) besar tetap dikelola dan (kota) yang kecil akan tumbuh lebih cepat.

Kalau saya melihat ini lebih kepada aspek penanganan urbanisasi. Urbanisasi bukan hal yang negatif, sepanjang yang datang ke kota itu adalah orang-orang yang siap untuk bekerja sehingga terjadi pertumbuhan yang baik. Jadi strateginya adalah apa yang disebut dengan Urban-Rural Linkages. Jadi jangan sampai terjadi orang-orang pindah ke Jakarta, tetapi malah menjadi beban kota. Pindah ke Jakarta menjadi beban Jakarta, di daerah jadi kekurangan tenaga kerja. Mau membangun daerah jadi tidak bisa karena tidak ada orang. Untuk itu memang perlu kerjasama antara Jakarta dengan daerah sekitar. Sebenarnya kita (pemerintah provinsi) sudah bekerja sama dengan daerah sekitar, tetapi lebih kepada hal-hal yang sifatnya penanganan masalah lingkungan dan transportasi.

Strategi apa yang perlu ditempuh untuk mempertemukan antara kepentingan pembangunan di kota maupun kesempatan pemerataan di daerah?

Gambar 3. Deputi Gubernur Provinsi DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup(sumber: Dokumentasi TRP)

Sekarang bus Transjakarta sudah mencapai kawasan-kawasan pinggiran Jakarta dan kota-kota di sekitar. Memang tidak segampang yang dibayangkan, tetapi harus ada kerjasama. Dalam hal ini yang utama adalah kota induk itu harusnya bisa membantu kota-kota sekitar. Seperti di Jakarta, kita bantu dalam hal transportasi. Makanya saat ini kita sedang mendorong agar stasiun-stasiun menjadi bagus, Transjakarta masuk ke daerah. Tetapi dalam konteks yang lain belum terlihat. Sama konteks lingkungan, kita (pemerintah provinsi) bisa memberikan biaya untuk membangun kolam penampungan air agar kemudian tidak lagi terjadi banjir. Tidak hanya dalam bentuk itu, bisa saja dalam bentuk kerjasama melatih orang-orang kota sekitar, atau kerjasama informasi untuk mendukung pelaksanaan pembangunan itu sendiri. (sy/ra/rp)

meningkatkan kesenjangan tidak terlalu tepat. Yang penting harus kita jaga adalah daerah-daerah di luar Jakarta bisa tetap tumbuh jauh lebih cepat dari Jakarta. Tetapi Jakarta tetap kita jaga dan kelola, kalau tidak akan mati. Kalau Jakarta mati, sama dengan Indonesia mati. Yang perlu diingat, saingan Jakarta bukan kota-kota di dalam negeri, tetapi kota-kota besar di luar negeri seperti Bangkok, Singapura, Manila, dan lain-lain. Saya tidak takut bahwa kita tetap membangun infrastruktur di Jakarta, dengan catatan memang itu adalah bagian dari skenario pembangunan daerah di Indonesia. Semuanya tumbuh tapi dengan proporsi yang berbeda. Yang (kota) besar tetap dikelola dan (kota) yang kecil akan tumbuh lebih cepat.

Kalau saya melihat ini lebih kepada aspek penanganan urbanisasi. Urbanisasi bukan hal yang negatif, sepanjang yang datang ke kota itu adalah orang-orang yang siap untuk bekerja sehingga terjadi pertumbuhan yang baik. Jadi strateginya adalah apa yang disebut dengan Urban-Rural Linkages. Jadi jangan sampai terjadi orang-orang pindah ke Jakarta, tetapi malah menjadi beban kota. Pindah ke Jakarta menjadi beban Jakarta, di daerah jadi kekurangan tenaga kerja. Mau membangun daerah jadi tidak bisa karena tidak ada orang. Untuk itu memang perlu kerjasama antara Jakarta dengan daerah sekitar. Sebenarnya kita (pemerintah provinsi) sudah bekerja sama dengan daerah sekitar, tetapi lebih kepada hal-hal yang sifatnya penanganan masalah lingkungan dan transportasi.

Strategi apa yang perlu ditempuh untuk mempertemukan antara kepentingan pembangunan di kota maupun kesempatan pemerataan di daerah?

? tahukah andaPembangunan Infrastruktur adalah suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang dilakukan secara terencana untuk membangun prasarana atau segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses pembangunan. Infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Keberadaan infrastruktur yang memadai sangat diperlukan. Sarana dan prasarana fisik atau sering disebut dengan infrastruktur, merupakan bagian yang sangat penting dalam sistem pelayanan masyarakat. Berbagai fasilitas fisik merupakan hal yang vital guna mendukung berbagai kegiatan pemerintahan, perekonomian, industri dan kegiatan sosial di masyarakat dan pemerintahan. Mulai dari sistem energi, transportasi jalan raya, bangunan-bangunan perkantoran dan sekolah, hingga telekomunikasi, rumah peribadatan dan jaringan layanan air bersih, kesemuanya itu memerlukan adanya dukungan infrastruktur yang handal (Biemo W. Soemardi dan Reini D. Wirahadikusumah: 2009). Ruang lingkup pembangunan infrastruktur dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : 1. Pembangunan infrastruktur transportasi perdesaan guna mendukung peningkatan aksessibilitas masyarakat desa, yaitu: jalan,

jembatan, tambatan perahu;2. Pembangunan infrastruktur yang mendukung produksi pertanian, yaitu: irigasi perdesaan.3. Pembangunan infrastruktur yang mendukung pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, meliputi: penyediaan air minum, sanitasi

perdesaan.

Sekarang bus Transjakarta sudah mencapai kawasan-kawasan pinggiran Jakarta dan kota-kota di sekitar. Memang tidak segampang yang dibayangkan, tetapi harus ada kerjasama. Dalam hal ini yang utama adalah kota induk itu harusnya bisa membantu kota-kota sekitar. Seperti di Jakarta, kita bantu dalam hal transportasi. Makanya saat ini kita sedang mendorong agar stasiun-stasiun menjadi bagus, Transjakarta masuk ke daerah. Tetapi dalam konteks yang lain belum terlihat. Sama konteks lingkungan, kita (pemerintah provinsi) bisa memberikan biaya untuk membangun kolam penampungan air agar kemudian tidak lagi terjadi banjir. Tidak hanya dalam bentuk itu, bisa saja dalam bentuk kerjasama melatih orang-orang kota sekitar, atau kerjasama informasi untuk mendukung pelaksanaan pembangunan itu sendiri. (sy/ra/rp)

Gambar 4. Tim Redaksi Buletin TRP bersama narasumber(sumber: Dokumentasi TRP)

5buletin tata ruang & pertanahan

Page 8: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. sedangkan tujuan dari terbitnya PP 105 tahun 2015 adalah untuk mendukung percepatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan di dalam kawasan hutan dengan mengubah peraturan mengenai jenis kegiatan, kewajiban pemegang izin pinjam pakai, dan prosedur penggunaan kawasan hutan.

Dalam kegiatan sosialisasi tersebut pada dasarnya bahwa Kehutanan dapat sebagai “benteng provider lahan terakhir” dalam menopang pembangunan sektor lain berupaya membangun sinergitas rencana

pengelolaan hutan guna mengimbangi dinamika laju pembangunan nasional dengan tetap menjaga fungsi kawasan hutan sebagai sistem penyangga kehidupan; Kawasan hutan merupakan bagian integral dari Perencanaan Wilayah sehingga dapat diarahkan untuk menopang kebutuhan ruang untuk permukiman, pertanian, fasum dan fasos, industri, pengembangan wilayah guna untuk peningkatan pembangunan dan peningkatan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat; dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi dan manfaat Kawasan Hutan secara lestari dan berkelanjutan, serta keberadaan Kawasan Hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional.

Hasil yang ingin dicapai dalam kegiatan sosialisasi ini untuk mengetahui hal apa saja yang menjadi latar belakang dan tujuan dari penetapan PP 104 tahun 2015 dan PP 105 tahun 2015. Ketentuan apa saja yang menjadi dasar perbedaan antara Peraturan pemerintah sebelumnya dan yang sekarang. dan lebih penting lagi apakah terdapat implikasi dari kedua peraturan pemerintah tersebut terhadap penyelenggaraan penataan ruang yang ada sekarang. [sy]

ementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) K melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan PP No. 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan berusaha melakukan upaya untuk percepatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, penyederhanaan proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, dan pentingnya penyelesaian terhadap permasalahan yang belum dapat diatasi melalui peraturan-peraturan sebelumnya.

Sebagai langkah awal dari upaya untuk memahami kedua PP tersebut, dibutuhkan ketersediaan data dan informasi yang memadai, valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Melalui Subdirektorat Informasi dan Sosialisasi Tata Ruang dan Pertanahan, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian PPN/Bappenas melakukan upaya untuk mendokumentasikan keseluruhan data dan informasi terkait isu tata ruang dan pertanahan serta mensosialisasikan kedua peraturan pemerintahan ini.

Tujuan dari kegiatan sosialisasi PP No. 104 Tahun 2015 dan PP No. 105 Tahun 2015 guna meningkatkan pemahaman isu atau regulasi secara baik dan diharapkan akan mampu meningkatkan kinerja para pemangku kepentingan bidang tata ruang dan pertanahan. Kegiatan dilaksanakan di kantor Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 23 Agustus 2016 dengan menghadirkan narasumber dari KLHK yaitu dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. Peserta berasal dari seluruh perwakilan Bappeda Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah beserta para staf Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah.

Inti dari terbitnya PP 104 tahun 2015 adalah untuk mendukung percepatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dengan melakukan penyederhanaan

6 buletin tata ruang & pertanahan

koordinasi trp

Sosialisasi PP Nomor 104 Tahun 2015 danPP Nomor 105 Tahun 2015

proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. sedangkan tujuan dari terbitnya PP 105 tahun 2015 adalah untuk mendukung percepatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan di dalam kawasan hutan dengan mengubah peraturan mengenai jenis kegiatan, kewajiban pemegang izin pinjam pakai, dan prosedur penggunaan kawasan hutan.

Dalam kegiatan sosialisasi tersebut pada dasarnya bahwa Kehutanan dapat sebagai “benteng provider lahan terakhir” dalam menopang pembangunan sektor lain berupaya membangun sinergitas rencana

pengelolaan hutan guna mengimbangi dinamika laju pembangunan nasional dengan tetap menjaga fungsi kawasan hutan sebagai sistem penyangga kehidupan; Kawasan hutan merupakan bagian integral dari Perencanaan Wilayah sehingga dapat diarahkan untuk menopang kebutuhan ruang untuk permukiman, pertanian, fasum dan fasos, industri, pengembangan wilayah guna untuk peningkatan pembangunan dan peningkatan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat; dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi dan manfaat Kawasan Hutan secara lestari dan berkelanjutan, serta keberadaan Kawasan Hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional.

Hasil yang ingin dicapai dalam kegiatan sosialisasi ini untuk mengetahui hal apa saja yang menjadi latar belakang dan tujuan dari penetapan PP 104 tahun 2015 dan PP 105 tahun 2015. Ketentuan apa saja yang menjadi dasar perbedaan antara Peraturan pemerintah sebelumnya dan yang sekarang. dan lebih penting lagi apakah terdapat implikasi dari kedua peraturan pemerintah tersebut terhadap penyelenggaraan penataan ruang yang ada sekarang. [sy]

ementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) K melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan PP No. 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan berusaha melakukan upaya untuk percepatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, penyederhanaan proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, dan pentingnya penyelesaian terhadap permasalahan yang belum dapat diatasi melalui peraturan-peraturan sebelumnya.

Sebagai langkah awal dari upaya untuk memahami kedua PP tersebut, dibutuhkan ketersediaan data dan informasi yang memadai, valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Melalui Subdirektorat Informasi dan Sosialisasi Tata Ruang dan Pertanahan, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian PPN/Bappenas melakukan upaya untuk mendokumentasikan keseluruhan data dan informasi terkait isu tata ruang dan pertanahan serta mensosialisasikan kedua peraturan pemerintahan ini.

Tujuan dari kegiatan sosialisasi PP No. 104 Tahun 2015 dan PP No. 105 Tahun 2015 guna meningkatkan pemahaman isu atau regulasi secara baik dan diharapkan akan mampu meningkatkan kinerja para pemangku kepentingan bidang tata ruang dan pertanahan. Kegiatan dilaksanakan di kantor Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 23 Agustus 2016 dengan menghadirkan narasumber dari KLHK yaitu dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. Peserta berasal dari seluruh perwakilan Bappeda Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah beserta para staf Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah.

Inti dari terbitnya PP 104 tahun 2015 adalah untuk mendukung percepatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dengan melakukan penyederhanaan

Gambar 1. Pelaksanaan Sosialisasi PP No.104/2015 & PP No.105/2015 di Bappeda Prov. Kalimantan Tengah(sumber: Dokumentasi TRP)

proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. sedangkan tujuan dari terbitnya PP 105 tahun 2015 adalah untuk mendukung percepatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan di dalam kawasan hutan dengan mengubah peraturan mengenai jenis kegiatan, kewajiban pemegang izin pinjam pakai, dan prosedur penggunaan kawasan hutan.

Dalam kegiatan sosialisasi tersebut pada dasarnya bahwa Kehutanan dapat sebagai “benteng provider lahan terakhir” dalam menopang pembangunan sektor lain berupaya membangun sinergitas rencana

pengelolaan hutan guna mengimbangi dinamika laju pembangunan nasional dengan tetap menjaga fungsi kawasan hutan sebagai sistem penyangga kehidupan; Kawasan hutan merupakan bagian integral dari Perencanaan Wilayah sehingga dapat diarahkan untuk menopang kebutuhan ruang untuk permukiman, pertanian, fasum dan fasos, industri, pengembangan wilayah guna untuk peningkatan pembangunan dan peningkatan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat; dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi dan manfaat Kawasan Hutan secara lestari dan berkelanjutan, serta keberadaan Kawasan Hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional.

Hasil yang ingin dicapai dalam kegiatan sosialisasi ini untuk mengetahui hal apa saja yang menjadi latar belakang dan tujuan dari penetapan PP 104 tahun 2015 dan PP 105 tahun 2015. Ketentuan apa saja yang menjadi dasar perbedaan antara Peraturan pemerintah sebelumnya dan yang sekarang. dan lebih penting lagi apakah terdapat implikasi dari kedua peraturan pemerintah tersebut terhadap penyelenggaraan penataan ruang yang ada sekarang. [sy]

Gambar 2. Para Peserta Sosialisasi (Perwakilan Bappeda Kab/Kota)(sumber: Dokumentasi TRP)

Page 9: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

penyusunan RKP 2018 akan dimulai pada bulan Oktober 2016 sehingga Bappeda perlu menyesuaikan kerangka penyusunan RKPD. Oleh karena itu, dalam penyusunan perencanaan perlu dilakukan penyelarasan penyusunan RPJMD dengan RPJMN. Hal ini diperlukan karena pencapaian target nasional merupakan akumulasi dari pencapaian target di daerah.

Beberapa hal substansional yang perlu penyelarasan RPJMD dengan RPJMN 2015-2019 terbagi beberapa strategi, yaitu: Penyelarasan Isu Strategis Pembangunan Daerah; Penyelarasan Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Pembangunan Daerah; Penyelarasan Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Daerah; Penyelarasan Program Prioritas Pembangunan Daerah; Penyelarasan Kerangka Pendanaan Program Pembangunan Daerah; Penyelarasan Indikasi Lokasi Pelaksanaan Kegiatan Strategis Nasional di Daerah.

Selanjutnya pada sesi II (siang),dalam arahan dan dialog Menteri PPN/Kepala Bappenas dengan Bappeda terdapat beberapa hal yang mengemuka antara lain, Bappeda harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk melihat pencapaian pembangunan di daerah secara makro karena SKPD hanya sebagai pelaksana pada setiap sektor. Pemda jangan hanya terpaku pada kekayaan sumber daya alam dan harus menggali sumber-sumber pertumbuhan yang menjadi andalan. Terkait dengan Pemda sendiri, Pemda seharusnya dapat menyiapkan layanan dasar sesuai amanat konstitusi seperti anggaran pendidikan, kesehatan.

Sebagai bagian akhir penutupan kegiatan ini, Kementerian PPN/Bappenas mengharapkan bahwa (1) Dalam penyusunan perencanaan di daerah perlu mengikuti pendekatan yang dilakukan di pusat Holistik-Tematik, Terintegrasi dan Spasial; (2) Perlu koordinasi Bappenas, Kemendagri, dan Kemenkeu terkait dengan perencanaan dan penggaran kegiatan di daerah; (3) Diusulkan agar dalam pembangunan infrastruktur di daerah agar anggaran pengadaan tanah sekaligus dianggarkan oleh K/L pusat karena pemda tidak mampu membiayai kegiatan pengadaan tanah; dan (4) Beberapa daerah tidak bisa melakukan pembangunan karena rencana tata ruang wilayah yang belum ditetapkan. [ik,sy]

Sebagai bagian dari proses penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2018, kegiatan Temu

konsultasi kali ini bertujuan untuk mendapat masukan dari seluruh kepala Bappeda terkait isu dan permasalahan yang ada di masing-masing daerah. Dengan dihadiri oleh peserta Kepala Bappeda seluruh Propinsi, Narasumber Kementerian Dalam Negeri dan para pejabat eselon I, II, III di lingkungan Kementerian PPN/Bappenas, acara ini dilaksanakan pada tanggal 6-7 Oktober 2016 bertempat di Gedung Bappenas, Jakarta.

Kegiatan ini berlangsung selama 2 (dua) hari dengan hari pertama berupa diskusi dan tanya jawab dengan peserta terkait mekanisme proses penyusunan RKP 2018 di daerah, serta arahan Menteri PPN/Kepala Bappenas terkait dengan arahan mengenai isu pembangunan daerah yang akan dilakukan. Pada hari kedua dilakukan diskusi dengan paparan dari para deputi di Bappenas terkait dengan isu MDGS's menuju SDG's, kemitraan multipihak untuk pencapaian SDG's, penyaluran bantuan sosial non tunai reformasi raskin menjadi e-voucher bantuan pangan.

Pada sesi I (pagi) menghadirkan beberapa narasumber yaitu: Deputi Bidang Pengembangan Regional-Bappenas; Plt. Dirjen Bina Pembangunan Daerah-Kemendagri, Direktur Pengembangan Wilayah dan Kawasan-Bappenas; dan Direktur Otonomi Daerah-Bappenas.

Beberapa hal penting dalam sesi ini antara lain menyangkut kebijakan anggaran belanja yang dilakukan oleh pemerintah tidak lagi berdasarkan money follow function, tetapi money follow program prioritas. Saat ini perencanaan pembangunan dilakukan dengan pendekatan Holistik-Tematik, Terintegrasi dan Spasial. Untuk itu Bappeda dalam menyusun perencanaan di daerah perlu melakukan penyesuaian juga sesuai dengan perencanaan di pusat. Terkait dengan ini, Bappenas akan melakukan pendidikan dan pelatihan bagi aparat Bappeda dimana 80% materi berasal dari direktorat teknis di Bappenas, sedangkan 20% berasal dari teori di Perguruan Tinggi. Dalam rangkaian

Temu Konsultasi Triwulanan II Bappenas-BappedaProvinsi seluruh Indonesia

Sebagai bagian dari proses penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2018, kegiatan Temu

konsultasi kali ini bertujuan untuk mendapat masukan dari seluruh kepala Bappeda terkait isu dan permasalahan yang ada di masing-masing daerah. Dengan dihadiri oleh peserta Kepala Bappeda seluruh Propinsi, Narasumber Kementerian Dalam Negeri dan para pejabat eselon I, II, III di lingkungan Kementerian PPN/Bappenas, acara ini dilaksanakan pada tanggal 6-7 Oktober 2016 bertempat di Gedung Bappenas, Jakarta.

Kegiatan ini berlangsung selama 2 (dua) hari dengan hari pertama berupa diskusi dan tanya jawab dengan peserta terkait mekanisme proses penyusunan RKP 2018 di daerah, serta arahan Menteri PPN/Kepala Bappenas terkait dengan arahan mengenai isu pembangunan daerah yang akan dilakukan. Pada hari kedua dilakukan diskusi dengan paparan dari para deputi di Bappenas terkait dengan isu MDGS's menuju SDG's, kemitraan multipihak untuk pencapaian SDG's, penyaluran bantuan sosial non tunai reformasi raskin menjadi e-voucher bantuan pangan.

Pada sesi I (pagi) menghadirkan beberapa narasumber yaitu: Deputi Bidang Pengembangan Regional-Bappenas; Plt. Dirjen Bina Pembangunan Daerah-Kemendagri, Direktur Pengembangan Wilayah dan Kawasan-Bappenas; dan Direktur Otonomi Daerah-Bappenas.

Beberapa hal penting dalam sesi ini antara lain menyangkut kebijakan anggaran belanja yang dilakukan oleh pemerintah tidak lagi berdasarkan money follow function, tetapi money follow program prioritas. Saat ini perencanaan pembangunan dilakukan dengan pendekatan Holistik-Tematik, Terintegrasi dan Spasial. Untuk itu Bappeda dalam menyusun perencanaan di daerah perlu melakukan penyesuaian juga sesuai dengan perencanaan di pusat. Terkait dengan ini, Bappenas akan melakukan pendidikan dan pelatihan bagi aparat Bappeda dimana 80% materi berasal dari direktorat teknis di Bappenas, sedangkan 20% berasal dari teori di Perguruan Tinggi. Dalam rangkaian

Gambar 1. Deputi Pengembangan Regional Bappenas sebagai Narasumber Sesi Diskusi(sumber: Dokumentasi Humas Bappenas)

7buletin tata ruang & pertanahan

penyusunan RKP 2018 akan dimulai pada bulan Oktober 2016 sehingga Bappeda perlu menyesuaikan kerangka penyusunan RKPD. Oleh karena itu, dalam penyusunan perencanaan perlu dilakukan penyelarasan penyusunan RPJMD dengan RPJMN. Hal ini diperlukan karena pencapaian target nasional merupakan akumulasi dari pencapaian target di daerah.

Beberapa hal substansional yang perlu penyelarasan RPJMD dengan RPJMN 2015-2019 terbagi beberapa strategi, yaitu: Penyelarasan Isu Strategis Pembangunan Daerah; Penyelarasan Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Pembangunan Daerah; Penyelarasan Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Daerah; Penyelarasan Program Prioritas Pembangunan Daerah; Penyelarasan Kerangka Pendanaan Program Pembangunan Daerah; Penyelarasan Indikasi Lokasi Pelaksanaan Kegiatan Strategis Nasional di Daerah.

Selanjutnya pada sesi II (siang),dalam arahan dan dialog Menteri PPN/Kepala Bappenas dengan Bappeda terdapat beberapa hal yang mengemuka antara lain, Bappeda harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk melihat pencapaian pembangunan di daerah secara makro karena SKPD hanya sebagai pelaksana pada setiap sektor. Pemda jangan hanya terpaku pada kekayaan sumber daya alam dan harus menggali sumber-sumber pertumbuhan yang menjadi andalan. Terkait dengan Pemda sendiri, Pemda seharusnya dapat menyiapkan layanan dasar sesuai amanat konstitusi seperti anggaran pendidikan, kesehatan.

Sebagai bagian akhir penutupan kegiatan ini, Kementerian PPN/Bappenas mengharapkan bahwa (1) Dalam penyusunan perencanaan di daerah perlu mengikuti pendekatan yang dilakukan di pusat Holistik-Tematik, Terintegrasi dan Spasial; (2) Perlu koordinasi Bappenas, Kemendagri, dan Kemenkeu terkait dengan perencanaan dan penggaran kegiatan di daerah; (3) Diusulkan agar dalam pembangunan infrastruktur di daerah agar anggaran pengadaan tanah sekaligus dianggarkan oleh K/L pusat karena pemda tidak mampu membiayai kegiatan pengadaan tanah; dan (4) Beberapa daerah tidak bisa melakukan pembangunan karena rencana tata ruang wilayah yang belum ditetapkan. [ik,sy]

Gambar 2. Temu Konsultasi bersama Menteri PPN/Kepala Bappenas(sumber: Dokumentasi Humas Bappenas)

Page 10: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

trp in frame

Foto 1. FGD Tinjauan Materi Teknis RDTR KIP, 13 Juni 2016

Foto 2. Rapat Koordinasi BKPRN Pembahasan Persiapan Rakereg, 19 Juli 2016

Foto 4. Rapat Pembahasan Awal Kajian KSN, 29 Juli 2016

Rangkaian Aktivitas Direktorat Tata Ruang danPertanahan (Juni-Desember 2016)

8 buletin tata ruang & pertanahan

Foto 5. Rapat Koordinasi Tindak Lanjut PenyelesaianMateri Teknis KIP Bitung dan Sekitarnya, 3 Agustus 2016

Foto 6. Kunjungan KM ke PT. Telkom, 25 Agustus 2016

Foto 7. Rapat Kerja Regional BKPRN, 7 September 2016

Page 11: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

Pelaksanaan konferensi IRSA diselenggarakan pada tanggal 25-26 Juli 2016 dan bekerjasama dengan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Universitas Brawijaya merupakan salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia sejak berdirinya, telah menetapkan agenda memainkan peran utama dalam mempromosikan penelitian dan pendidikan.

Konferensi ini merupakan acara tahunan IRSA, dalam rangka secara aktif menyelenggarakan dan mempromosikan diskusi di bidang regional science yang diikuti oleh para ahli, akademisi, peneliti dan pembuat kebijakan baik di Indonesia maupun dari negara lain. Penyelenggaraan konferensi ini juga secara tidak langsung memfasilitasi diskusi terbuka dan debat ilmiah, transfer pengetahuan, perumusan strategi kebijakan serta menjalin diskusi antara akademisi dan pembuat kebijakan. Melalui konferensi ini juga diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan teori dan literatur di bidang regional science. Adapun tema besar konferensi IRSA ke-13 adalah “Demographic Change and Regional Development ”.

Konferensi dibuka oleh Wakil Rektor Universitas Brawijaya, Dr. Ir. Moch. Sasmito Djati, MS, dilanjutkan dengan keynote speech oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Prof. Suahasil Nazara. Adapun pembicara utama pada hari pertama konferensi tersebut adalah Prof. Sri Moertiningsih Adioetomo (Universitas Indonesia) dan Prof. Chris Manning (Australian National University) dengan tema “Demographic Change, Labour Market and Regional Development”. Sedangkan pembicara utama pada hari kedua konferensi adalah Prof. Anis Ananta (Universitas Indonesia) dan Prof. Chandra Fajri Ananda (Universitas Brawijaya) dengan tema “Migration and Regional Development”.

Call for paper IRSA ke-13 tahun 2016 mencatat jumlah paper yang paling banyak dalam sejarah penyelenggaraan konferensi sehingga kurang dari 50% paper yang dapat dipresentasikan dalam konferensi atau sekitar 200 paper dari lebih dari 400 paper yang masuk atau diterima penyelenggara. Konferensi selama 2 (dua) hari tersebut diikuti kurang lebih 400 peserta dari berbagai universitas dan lembaga penelitian baik dari Indonesia maupun manca negara. Konferensi terdiri dari 2 kegiatan: i) pleno session; dan ii) paralel session yang terbagi menjadi 13 ruangan.

Dalam kegiatan seminar ini ada beberapa program yang mencakup: (a) Demographic Issues: Demographic Divided, Ageing, Youth, Migration; (b) Public policy, regional, and urban planning and regional development; (c) Health, education, and human capital;

Melihat PelaksanaanThe 13th Indonesian Regional Science Association (IRSA) International Conference Tahun 2016

(d) Housing, transportation, communication and other regional infrastructures issues; (e) Poverty, inequality, and inter-regional disparities; (f) Regional/international trade, public finance, investment and inflation; (g) Rural development, agriculture, urban issues, rural-urban migration; (h) Political economy and governance of regional development; (i) Regional labour market, human resources development, job creation, social security; (j) Bureaucratic reforms and corruption; (k) Islamic economic and finance.

Beberapa hasil studi yang diperoleh dan diikuti dalam kegiatan diskusi diantaranya:

1) Demographic Dividend and Economic Growth: A Dynamic Computable General Equilibrium (CGE) Analysis for Indonesia oleh Anda Nugroho, Peneliti dari Kementerian Keuangan dan Reni Pebrianti, Peneliti dari BKKBN. Penelitian ini menemukan bahwa bonus demografi telah dimulai dalam beberapa tahun terakhir. Dalam beberapa tahun terakhir (2016-2020), perubahan struktur demografi memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Perubahan struktur demografi membawa efek positif bagi perekonomian untuk periode 2016-2030 dalam penyediaan tenaga kerja. Efek positif dari bonus demografi akan mencapai puncak pada 2026, yang kemudian akan berkurang sampai 2031. Perubahan dalam struktur demografi di tahun-tahun berikutnya akan berubah menjadi defisit demografi dan menciptakan efek negatif bagi perekonomian.

2) Spatial Dimensions of Expenditure Inequality in Decentralizing Indonesia oleh Takahiro Akita, Graduate School of Business-Rikkyo University dan Sachiko Miyata, College of Business-Ritsumeikan University. Hasil dari studi antara lain: Di sebuah negara kepulauan geografis yang beragam di mana sumber daya alam yang tidak merata dan kegiatan ekonomi secara spasial tersebar, pemerintah perlu

Pelaksanaan konferensi IRSA diselenggarakan pada tanggal 25-26 Juli 2016 dan bekerjasama dengan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Universitas Brawijaya merupakan salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia sejak berdirinya, telah menetapkan agenda memainkan peran utama dalam mempromosikan penelitian dan pendidikan.

Konferensi ini merupakan acara tahunan IRSA, dalam rangka secara aktif menyelenggarakan dan mempromosikan diskusi di bidang regional science yang diikuti oleh para ahli, akademisi, peneliti dan pembuat kebijakan baik di Indonesia maupun dari negara lain. Penyelenggaraan konferensi ini juga secara tidak langsung memfasilitasi diskusi terbuka dan debat ilmiah, transfer pengetahuan, perumusan strategi kebijakan serta menjalin diskusi antara akademisi dan pembuat kebijakan. Melalui konferensi ini juga diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan teori dan literatur di bidang regional science. Adapun tema besar konferensi IRSA ke-13 adalah “Demographic Change and Regional Development ”.

Konferensi dibuka oleh Wakil Rektor Universitas Brawijaya, Dr. Ir. Moch. Sasmito Djati, MS, dilanjutkan dengan keynote speech oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Prof. Suahasil Nazara. Adapun pembicara utama pada hari pertama konferensi tersebut adalah Prof. Sri Moertiningsih Adioetomo (Universitas Indonesia) dan Prof. Chris Manning (Australian National University) dengan tema “Demographic Change, Labour Market and Regional Development”. Sedangkan pembicara utama pada hari kedua konferensi adalah Prof. Anis Ananta (Universitas Indonesia) dan Prof. Chandra Fajri Ananda (Universitas Brawijaya) dengan tema “Migration and Regional Development”.

Call for paper IRSA ke-13 tahun 2016 mencatat jumlah paper yang paling banyak dalam sejarah penyelenggaraan konferensi sehingga kurang dari 50% paper yang dapat dipresentasikan dalam konferensi atau sekitar 200 paper dari lebih dari 400 paper yang masuk atau diterima penyelenggara. Konferensi selama 2 (dua) hari tersebut diikuti kurang lebih 400 peserta dari berbagai universitas dan lembaga penelitian baik dari Indonesia maupun manca negara. Konferensi terdiri dari 2 kegiatan: i) pleno session; dan ii) paralel session yang terbagi menjadi 13 ruangan.

Dalam kegiatan seminar ini ada beberapa program yang mencakup: (a) Demographic Issues: Demographic Divided, Ageing, Youth, Migration; (b) Public policy, regional, and urban planning and regional development; (c) Health, education, and human capital;

(d) Housing, transportation, communication and other regional infrastructures issues; (e) Poverty, inequality, and inter-regional disparities; (f) Regional/international trade, public finance, investment and inflation; (g) Rural development, agriculture, urban issues, rural-urban migration; (h) Political economy and governance of regional development; (i) Regional labour market, human resources development, job creation, social security; (j) Bureaucratic reforms and corruption; (k) Islamic economic and finance.

Beberapa hasil studi yang diperoleh dan diikuti dalam kegiatan diskusi diantaranya:

1) Demographic Dividend and Economic Growth: A Dynamic Computable General Equilibrium (CGE) Analysis for Indonesia oleh Anda Nugroho, Peneliti dari Kementerian Keuangan dan Reni Pebrianti, Peneliti dari BKKBN. Penelitian ini menemukan bahwa bonus demografi telah dimulai dalam beberapa tahun terakhir. Dalam beberapa tahun terakhir (2016-2020), perubahan struktur demografi memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Perubahan struktur demografi membawa efek positif bagi perekonomian untuk periode 2016-2030 dalam penyediaan tenaga kerja. Efek positif dari bonus demografi akan mencapai puncak pada 2026, yang kemudian akan berkurang sampai 2031. Perubahan dalam struktur demografi di tahun-tahun berikutnya akan berubah menjadi defisit demografi dan menciptakan efek negatif bagi perekonomian.

2) Spatial Dimensions of Expenditure Inequality in Decentralizing Indonesia oleh Takahiro Akita, Graduate School of Business-Rikkyo University dan Sachiko Miyata, College of Business-Ritsumeikan University. Hasil dari studi antara lain: Di sebuah negara kepulauan geografis yang beragam di mana sumber daya alam yang tidak merata dan kegiatan ekonomi secara spasial tersebar, pemerintah perlu

Gambar 1. Wakil Rektor Univ. Brawijaya Memberikan Sambutan(sumber: Dokumentasi TRP)

liputan khusus

9buletin tata ruang & pertanahan

Page 12: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

untuk lebih mempercepat pembangunan infrastruktur, khususnya pengembangan jaringan transportasi.

3) The Evolution of Regional Industries in Indonesia: The Roles of Inter-Industry Relatedness oleh Khairul Rizal dari Deparment of Geography University College London. Studi ini menunjukkan bahwa pembangunan industri baru akan berkembang di suatu wilayah jika dilakukan berdekatan dengan struktur industri yang sudah ada dan sebaliknya.

4) The Implication of Village Fund on Distribution of Fund Between Region in Indonesia oleh Hefrizal Handra dari Fakultas Ekonomi Universitas Andalas. Hasil studi: Dana desa mampu mengurangi kesenjangan fiskal antara kabupaten/kota di Indonesia, sehingga dana desa diindikasikan mampu untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah.

5) The Role of Industrialization in Poverty Alleviation: Case in Indonesia, Irvan Kuswardana-University of Indonesia. Tujuan dari penelitian studi ini pada dasarnya ingin mengetahui pentingnya transformasi struktural dari sektor kurang produktif (pertanian) ke sektor yang lebih produktif (industri) dalam pengentasan kemiskinan. Berdasarkan hasil empiris, di Indonesia yang terdiri 479 Kabupaten, menunjukkan bahwa pertanian dan sektor industri adalah sektor yang signifikan untuk menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. Pertanian masih mendominasi dengan fakta bahwa lapangan kerja di Indonesia yang dihasilkan sebagian besar dari sektor pertanian.

6) The Role of Transmigration Programs in Maluku Islands: Social Economic and Food Security Development oleh Wardins Girsang dan Budy P. Resosudarmo. Hasilnya, bahwa peran transmigrasi tidak hanya untuk menciptakan pekerjaan yang lebih baik tetapi pendidikan yang lebih baik bagi generasi berikutnya, menciptakan adaptasi dalam meningkatkan kapasitas dari rice-based menjadi tanaman hortikultura, meningkatkan produksi beras untuk memenuhi sebagian dari permintaan beras di tingkat provinsi termasuk peningkatan pendapatan rumah tangga dan distribusi di desa-desa. Hal ini mengindikasikan bahwa program transmigrasi masih menjadi program yang penting bagi pemerintah baik di tingkat nasional dan provinsi dan kabupaten/kota untuk mempercepat pembangunan ekonomi lokal dan untuk memerangi kemiskinan dan ketimpangan, khususnya di pulau-pulau kecil dan wilayah timur di Indonesia.

7) Does Urbanization as Channel of Human Capital Investment? Evidence from Indonesia oleh Albertus Girik Alo dari Papua University dan Ni Made Sukartini dari

dari Airlangga University. Hasil studi menunjukkan bahwa keluarga yang melakukan urbanisasi secara signifikan memperoleh pencapaian pendidikan yang lebih tinggi untuk anak mereka, memperoleh pendapatan lebih dan mampu menghabiskan pendapatan per kapita relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rekan mereka yang tidak pindah ke daerah perkotaan dan tidak berdampak signifikan melakukan urbanisasi pada indikator kesehatan. Kedepannya, diharapkan Pemerintah perlu mempersiapkan kebijakan pembangunan ekonomi dengan strategi yang efektif untuk menghadapi era bonus demografi. Hasil dari berbagai penelitian IRSA Tahun 2016 dapat dijadikan sebagai bahan awal dalam menyusun kebijakan untuk menghadapi era bonus demografi.

Tahun 2016 ini, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan hanya berpartisipasi menghadiri konferensi ini sebagai peserta. Diharapkan dengan keikutsertaan ini dapat menambah pengetahuan, informasi dan wawasan dalam berbagai ilmu disiplin dan keilmuan yang berbeda yang dapat dimanfaatkan oleh staf Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan. [sy]

Sumber: Google

untuk lebih mempercepat pembangunan infrastruktur, khususnya pengembangan jaringan transportasi.

3) The Evolution of Regional Industries in Indonesia: The Roles of Inter-Industry Relatedness oleh Khairul Rizal dari Deparment of Geography University College London. Studi ini menunjukkan bahwa pembangunan industri baru akan berkembang di suatu wilayah jika dilakukan berdekatan dengan struktur industri yang sudah ada dan sebaliknya.

4) The Implication of Village Fund on Distribution of Fund Between Region in Indonesia oleh Hefrizal Handra dari Fakultas Ekonomi Universitas Andalas. Hasil studi: Dana desa mampu mengurangi kesenjangan fiskal antara kabupaten/kota di Indonesia, sehingga dana desa diindikasikan mampu untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah.

5) The Role of Industrialization in Poverty Alleviation: Case in Indonesia, Irvan Kuswardana-University of Indonesia. Tujuan dari penelitian studi ini pada dasarnya ingin mengetahui pentingnya transformasi struktural dari sektor kurang produktif (pertanian) ke sektor yang lebih produktif (industri) dalam pengentasan kemiskinan. Berdasarkan hasil empiris, di Indonesia yang terdiri 479 Kabupaten, menunjukkan bahwa pertanian dan sektor industri adalah sektor yang signifikan untuk menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. Pertanian masih mendominasi dengan fakta bahwa lapangan kerja di Indonesia yang dihasilkan sebagian besar dari sektor pertanian.

6) The Role of Transmigration Programs in Maluku Islands: Social Economic and Food Security Development oleh Wardins Girsang dan Budy P. Resosudarmo. Hasilnya, bahwa peran transmigrasi tidak hanya untuk menciptakan pekerjaan yang lebih baik tetapi pendidikan yang lebih baik bagi generasi berikutnya, menciptakan adaptasi dalam meningkatkan kapasitas dari rice-based menjadi tanaman hortikultura, meningkatkan produksi beras untuk memenuhi sebagian dari permintaan beras di tingkat provinsi termasuk peningkatan pendapatan rumah tangga dan distribusi di desa-desa. Hal ini mengindikasikan bahwa program transmigrasi masih menjadi program yang penting bagi pemerintah baik di tingkat nasional dan provinsi dan kabupaten/kota untuk mempercepat pembangunan ekonomi lokal dan untuk memerangi kemiskinan dan ketimpangan, khususnya di pulau-pulau kecil dan wilayah timur di Indonesia.

7) Does Urbanization as Channel of Human Capital Investment? Evidence from Indonesia oleh Albertus Girik Alo dari Papua University dan Ni Made Sukartini dari

dari Airlangga University. Hasil studi menunjukkan bahwa keluarga yang melakukan urbanisasi secara signifikan memperoleh pencapaian pendidikan yang lebih tinggi untuk anak mereka, memperoleh pendapatan lebih dan mampu menghabiskan pendapatan per kapita relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rekan mereka yang tidak pindah ke daerah perkotaan dan tidak berdampak signifikan melakukan urbanisasi pada indikator kesehatan. Kedepannya, diharapkan Pemerintah perlu mempersiapkan kebijakan pembangunan ekonomi dengan strategi yang efektif untuk menghadapi era bonus demografi. Hasil dari berbagai penelitian IRSA Tahun 2016 dapat dijadikan sebagai bahan awal dalam menyusun kebijakan untuk menghadapi era bonus demografi.

Tahun 2016 ini, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan hanya berpartisipasi menghadiri konferensi ini sebagai peserta. Diharapkan dengan keikutsertaan ini dapat menambah pengetahuan, informasi dan wawasan dalam berbagai ilmu disiplin dan keilmuan yang berbeda yang dapat dimanfaatkan oleh staf Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan. [sy]

Gambar 2. Penyerahan Cinderamata kepada Keynote Speaker(sumber: Dokumentasi TRP)

10 buletin tata ruang & pertanahan

dari Airlangga University. Hasil studi menunjukkan bahwa keluarga yang melakukan urbanisasi secara signifikan memperoleh pencapaian pendidikan yang lebih tinggi untuk anak mereka, memperoleh pendapatan lebih dan mampu menghabiskan pendapatan per kapita relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rekan mereka yang tidak pindah ke daerah perkotaan dan tidak berdampak signifikan melakukan urbanisasi pada indikator kesehatan. Kedepannya, diharapkan Pemerintah perlu mempersiapkan kebijakan pembangunan ekonomi dengan strategi yang efektif untuk menghadapi era bonus demografi. Hasil dari berbagai penelitian IRSA Tahun 2016 dapat dijadikan sebagai bahan awal dalam menyusun kebijakan untuk menghadapi era bonus demografi.

Tahun 2016 ini, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan hanya berpartisipasi menghadiri konferensi ini sebagai peserta. Diharapkan dengan keikutsertaan ini dapat menambah pengetahuan, informasi dan wawasan dalam berbagai ilmu disiplin dan keilmuan yang berbeda yang dapat dimanfaatkan oleh staf Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan. [sy]

? tahukah anda

sumber: http://irsa-indonesia.org

IRSA (The Indonesia Regional Science Association) atau Asosiasi Ilmu Regional Indonesia merupakan salah satu organisasi akademik yang telah aktif mempromosikan kemajuan penelitian melalui partisipasi yang luas dari para peneliti di seluruh negeri. IRSA didirikan sejak tahun 1997. Sejak berdirinya, IRSA setiap tahunnya mengadakan konferensi bersifat tahunan dan selalu dihadiri oleh sejumlah besar ilmuwan daerah dari seluruh Indonesia. IRSA memfasilitasi jaringan antar ilmuwan dari berbagai daerah dan berbagai disiplin ilmu sehingga para ilmuwan tersebut dapat memainkan peran utamanya, baik di dunia akademik melalui penelitian dan publikasi maupun juga berkontribusi terhadap kebijakan pembangunan daerah berbasis nasional, regional, hingga tingkat lokal.

Page 13: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

S ubstansi kebijakan desentralisasi di Indonesia pada umumnya berfokus kepada pengaturan elemen-elemen internal suatu daerah dan hanya menyisakan sedikit ruang bagi pengaturan dimensi eksternal perihal relasi antardaerah dalam rangka

pembangunan kewilayahan. Hal ini terlihat sejak UU Nomor 22 Tahun 1999 hingga UU Nomor 23 Tahun 2014 yang berlaku sebagai hukum positif saat ini di mana pengaturan desentralisasi didominasi norma tentang kewenangan dan pembagaian urusan, arsitektur keuangan, desain kelembagaan, dan sebagainya.

artikelOTONOMI DAN PEMBANGUNANWILAYAH: TINJAUAN UMUMoleh: Robert Endi Jaweng

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)

Pada sisi lain, jika ditempatkan dalam kerangka analisis sistem, efektifitas desentralisasi tentu saja tidak semata fungsi dari kinerja berbagai elemen standar tersebut. Tak kalah penting adalah juga soal interaksi pengaruh desentralisasi dengan lingkungan kebijakan yang melingkupinya maupun juga derajat keterhubungan administratif dan fungsional antara suatu daerah dengan tetangganya, bahkan juga dengan pranata supradaerah: provinsi dan nasional.

Di sini letak urgensi desain desentralisasi yang diharapkan dapat memfasilitasi berlangsungnya pembangunan berdimensi wilayah dan memastikan terbentuknya keseimbangan spasial. Semua pemangku kepentingan –khususnya pemerintah daerah (pemda), dunia usaha, masyarakat– didorong memainkan peran aktif bagi terwujudnya ultimate goal otonomi: kualitas hidup dan pemerataan kemajuan daerah. Proses kolaborasi multipihak dan keseimbangan lingkungan, sosial dan ekonomi dalam tata kelola wilayah menjadi karakter ideal dari paradigma pembangunan wilayah di era otonomi.

Namun, dalam kenyataan harus diakui, hasil pembangunan wilayah kita sejauh ini masih menunjukan realitas ketimpangan berlapis-lapis. Secara umum kita mengenal kesenjangan (imbalances) vertikal dan horizontal terkait perbedaan kemampuan sumber pembiayaan layanan publik/pembangunan dan ketimpangan (inequality) terkait tingkat pendapatan/ kemakmuran baik antargolongan, antarsektor maupun antarwilayah. Pada batas tertentu, antara kategori tersebut terajut pola keterkaitan berwujud cross-cutting affiliations: antara sektor primer (pertanian) dengan wilayah (IBT) versus sektor sekunder/tersier (industri, jasa, perdagangan) yang berkonsentrasi di wilayah (IBB). Dualisme sektoral-regional yang berhimpitan ini membentuk struktur disparitas yang kompleks hingga hari ini. Tanpa menafikan pola afiliatif demikian, jika secara khusus menelisik ketimpangan antar-wilayah, era desentralisasi menampilkan capaian yang tak terlalu

Masalah dan Sebab Ketimpangan

menggembirakan,

bahkan pada sebagian kasus agak mengkhawatirkan. Studi yang dibuat Siti Herni Rochana (2013) menunjukan grafik pergerakan kesenjangan ekonomi antarwilayah yang membesar. Hitungan menurut Indeks Wiliamson PDRB per kapita Kabupaten/Kota memperlihatkan sisi gelap pembangunan kontemporer. Pada masa pra otonomi, yakni diukur kondisi ketimpangan tahun 1995, indeks Williamson masih berada pada angka 0,7210. Namun, ironi justru datang setelah kita berotonomi: indeks meningkat menjadi 1,1613 pada masa awal tahun 2003, 1,4195 pada tahun 2009 dan mencapai 1,4559 pada tahun 2011.

Nukilan situasi di atas memberikan gambaran lebih kongkrit jika kita melihat realitas ketimpangan wilayah menurut kategori pulau/kepulaan utama di negeri ini. Kurun sewindu pertama berotonomi, sumbangan PDRB dari Pulau Jawa dan Sumatera mengambil porsi terbesar, yakni sebesar 84%, dari total PDB Nasional. Konsentrasi kegiatan dan kinerja perekonomian tersebut menyisakan shareamat kecil, tersebar di sebagian terbesar sisa wilayah lainnya yang terdiri dari pulau/kepulauan utama di Indonesia. Gambaran miris serupa terjadi pada indikator tingkat pertumbuhan dan jumlah penduduk miskin, yang tidak saja terjadi pada kurun

11buletin tata ruang & pertanahan

Pada sisi lain, jika ditempatkan dalam kerangka analisis sistem, efektifitas desentralisasi tentu saja tidak semata fungsi dari kinerja berbagai elemen standar tersebut. Tak kalah penting adalah juga soal interaksi pengaruh desentralisasi dengan lingkungan kebijakan yang melingkupinya maupun juga derajat keterhubungan administratif dan fungsional antara suatu daerah dengan tetangganya, bahkan juga dengan pranata supradaerah: provinsi dan nasional.

Di sini letak urgensi desain desentralisasi yang diharapkan dapat memfasilitasi berlangsungnya pembangunan berdimensi wilayah dan memastikan terbentuknya keseimbangan spasial. Semua pemangku kepentingan –khususnya pemerintah daerah (pemda), dunia usaha, masyarakat– didorong memainkan peran aktif bagi terwujudnya ultimate goal otonomi: kualitas hidup dan pemerataan kemajuan daerah. Proses kolaborasi multipihak dan keseimbangan lingkungan, sosial dan ekonomi dalam tata kelola wilayah menjadi karakter ideal dari paradigma pembangunan wilayah di era otonomi.

Namun, dalam kenyataan harus diakui, hasil pembangunan wilayah kita sejauh ini masih menunjukan realitas ketimpangan berlapis-lapis. Secara umum kita mengenal kesenjangan (imbalances) vertikal dan horizontal terkait perbedaan kemampuan sumber pembiayaan layanan publik/pembangunan dan ketimpangan (inequality) terkait tingkat pendapatan/ kemakmuran baik antargolongan, antarsektor maupun antarwilayah. Pada batas tertentu, antara kategori tersebut terajut pola keterkaitan berwujud cross-cutting affiliations: antara sektor primer (pertanian) dengan wilayah (IBT) versus sektor sekunder/tersier (industri, jasa, perdagangan) yang berkonsentrasi di wilayah (IBB). Dualisme sektoral-regional yang berhimpitan ini membentuk struktur disparitas yang kompleks hingga hari ini. Tanpa menafikan pola afiliatif demikian, jika secara khusus menelisik ketimpangan antar-wilayah, era desentralisasi menampilkan capaian yang tak terlalu

Masalah dan Sebab Ketimpangan

menggembirakan,

bahkan pada sebagian kasus agak mengkhawatirkan. Studi yang dibuat Siti Herni Rochana (2013) menunjukan grafik pergerakan kesenjangan ekonomi antarwilayah yang membesar. Hitungan menurut Indeks Wiliamson PDRB per kapita Kabupaten/Kota memperlihatkan sisi gelap pembangunan kontemporer. Pada masa pra otonomi, yakni diukur kondisi ketimpangan tahun 1995, indeks Williamson masih berada pada angka 0,7210. Namun, ironi justru datang setelah kita berotonomi: indeks meningkat menjadi 1,1613 pada masa awal tahun 2003, 1,4195 pada tahun 2009 dan mencapai 1,4559 pada tahun 2011.

Nukilan situasi di atas memberikan gambaran lebih kongkrit jika kita melihat realitas ketimpangan wilayah menurut kategori pulau/kepulaan utama di negeri ini. Kurun sewindu pertama berotonomi, sumbangan PDRB dari Pulau Jawa dan Sumatera mengambil porsi terbesar, yakni sebesar 84%, dari total PDB Nasional. Konsentrasi kegiatan dan kinerja perekonomian tersebut menyisakan shareamat kecil, tersebar di sebagian terbesar sisa wilayah lainnya yang terdiri dari pulau/kepulauan utama di Indonesia. Gambaran miris serupa terjadi pada indikator tingkat pertumbuhan dan jumlah penduduk miskin, yang tidak saja terjadi pada kurun

Gambar 1. Disparitas Antar Wilayah Setelah Sewindu Berotonomi (2008)(sumber: BPS diolah Hidayat Amir, 2013)

Wilayah Sumatera

Share PDRB thdp Nasional 21,55%

Pertumbuhan Ekonomi 4,65%

Pendapatan Perkapita 9,80 jt

Penduduk miskin 7,3 jt (14,4%)

Wilayah Kalimantan

Share PDRB thdp Nasional 8,83%

Pertumbuhan Ekonomi 5,26%

Pendapatan Perkapita 13,99 jt

Penduduk miskin 1,2 jt (9%)

Wilayah Sulawesi

Share PDRB thdp Nasional 4,60%

Pertumbuhan Ekonomi 7,72%

Pendapatan Perkapita 4,98 jt

Penduduk miskin 2,61 jt (17,6%)

Wilayah Papua

Share PDRB thdp Nasional 1,28%

Pertumbuhan Ekonomi 0,60%

Pendapatan Perkapita 8,96 jt

Penduduk miskin 0,98 jt (36,1%)

Wilayah Jawa Bali

Share PDRB thdp Nasional 21,55%

Pertumbuhan Ekonomi 4,65%

Pendapatan Perkapita 9,80 jt

Penduduk miskin 7,3 jt (14,4%)

Wilayah Nusa Tenggara

Share PDRB thdp Nasional 1,42%

Pertumbuhan Ekonomi 3,50%

Pendapatan Perkapita 3,18 jt

Penduduk miskin 2,17 jt (24,8%)

Wilayah Maluku

Share PDRB thdp Nasional 0,32%

Pertumbuhan Ekonomi 4,94%

Pendapatan Perkapita 2,81 jt

Penduduk miskin 0,49 jt (20,5%)

Page 14: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

kerap justru tak berbasis pada asumsi ruang yang benar: keseimbangan fisik, lingkungan dan sosial dimana pembangunan berorientasi kepada manusia yang hidup dalam spasial tertentu. Di sini, perencanaan bahkan menjadi instrumen awal dari operasi penggusuran atau relokasi yang tidak manusiawi.

Kedua, proses fragmentasi ruang juga disebabkan proliferasi wilayah dan pemaknaan otonomi yang sempit di daerah. Kita tahu, pemekaran dan pembentukan DOB sepanjang era otonomi ini telah melahirkan wilayah administrasi pemerintahan yang terlampau banyak (sekarang kita memiliki 542 Kabupaten/Kota dan Provinsi, 220 diantaranya adalah DOB atau hasil pemekaran) dan berciri luasan daerah yang kecil-kecil. Hal ini mungkin saja dinilai ideal dari sisi pelayanan publik lantaran rentang kendali birokrasi menjadi lebih pendek dan terukur. Namun bagi upaya pembangunan wilayah pada skala makro, entitas yang terlampau kecil hampir pasti berkapasitas terbatas (diseconomy of scale) dan cenderung kalah bersaing. Apalagi di era otonomi ini, setiap daerah cenderung melihat dirinya sebagai entitas otonom-individual, yang seolah terpisah dari relasi integral (dalam kesatuan ekonomi nasional dan pengembangan wilayah) dengan daerah-daerah lain. Mekanisme terlembaga yang berbasis kebutuhan bersama dan berjangka panjang seperti jejaring kerja, regional management atau kerja sama antardaerah menempuh jalan berliku untuk diwujudkan.

Ketiga, desentralisasi fiskal menyumbang kepada keragaman kapasitas keuangan daerah, bahkan diparitas pendapatan regional. Desain konseptual desentralisasi fiskal memang diarahkan untuk menjamin otonomi fiskal dan

12 buletin tata ruang & pertanahan

sewindu otonomi (Gambar 1) tetapi bahkan hingga kita berada pada ujung dwi-windu sekarang (Gambar 2). Kita bisa lebih detil lagi menjabarkan tipologi ketimpangan wilayah, baik antara desa dengan kota, kota kecil-menengah dengan metropolitan, kawasan strategis dan wilayah andalan dengan daerah perbatasan/tertinggal/ terbelakang, berikut raut persoalan berupa unbalanced-development lantaran terbentuknya polarization effect dan gagalnya trickling-down effect (Hirschmann, 1950) ataupun munculnya backwash effect and spread effect (Myrdal, 1950). Namun semakin berulang dan berputar pada penggambaran masalah, kita seakan melakukan telling the truth: menyampaikan realitas yang semua orang sudah tahu sebagai sesuatu yang benar dan memang demikianlah faktanya. Berada dalam arus semangat demikian, identifikasi akar-sebab dan tawaran solusi ke depan jelas lebih penting ketimbang terus mendaftar deretan masalah.

Dari perspektif desentralisasi, sebab masalah utama sekurangnya berakar kepada beberapa point berikut ini.

Pertama, struktur ketatanegaraan kita membawa konstruksi perwilayahan yang amat administratif dan tidak diimbang secara setara oleh hubungan fungsional dalam bentuk keterpaduan dengan supradaerah (provinsi dan pusat). Perencanaan pembangunan antara Pusat (RPJP, RPJMN, RKP) tidak otomatis menjadi acuan utama yang mengalir dan bahkan mengalami deviasi serius pada level regional (Provinsi) dan selanjutnya Kabupaten/Kota (RPJPD, RPJMD, RKPD). Hal demikian juga terjadi pada kebijakan tata ruang yang ditandai biasnya hirarki dalam sistem perencanaan tata ruang. Pada sisi lain, politik perencanaan pembangunan makro dan tata ruang daerah (RTRW, RDTR)

kerap justru tak berbasis pada asumsi ruang yang benar: keseimbangan fisik, lingkungan dan sosial dimana pembangunan berorientasi kepada manusia yang hidup dalam spasial tertentu. Di sini, perencanaan bahkan menjadi instrumen awal dari operasi penggusuran atau relokasi yang tidak manusiawi.

Kedua, proses fragmentasi ruang juga disebabkan proliferasi wilayah dan pemaknaan otonomi yang sempit di daerah. Kita tahu, pemekaran dan pembentukan DOB sepanjang era otonomi ini telah melahirkan wilayah administrasi pemerintahan yang terlampau banyak (sekarang kita memiliki 542 Kabupaten/Kota dan Provinsi, 220 diantaranya adalah DOB atau hasil pemekaran) dan berciri luasan daerah yang kecil-kecil. Hal ini mungkin saja dinilai ideal dari sisi pelayanan publik lantaran rentang kendali birokrasi menjadi lebih pendek dan terukur. Namun bagi upaya pembangunan wilayah pada skala makro, entitas yang terlampau kecil hampir pasti berkapasitas terbatas (diseconomy of scale) dan cenderung kalah bersaing. Apalagi di era otonomi ini, setiap daerah cenderung melihat dirinya sebagai entitas otonom-individual, yang seolah terpisah dari relasi integral (dalam kesatuan ekonomi nasional dan pengembangan wilayah) dengan daerah-daerah lain. Mekanisme terlembaga yang berbasis kebutuhan bersama dan berjangka panjang seperti jejaring kerja, regional management atau kerja sama antardaerah menempuh jalan berliku untuk diwujudkan.

Ketiga, desentralisasi fiskal menyumbang kepada keragaman kapasitas keuangan daerah, bahkan diparitas pendapatan regional. Desain konseptual desentralisasi fiskal memang diarahkan untuk menjamin otonomi fiskal dan

sewindu otonomi (Gambar 1) tetapi bahkan hingga kita berada pada ujung dwi-windu sekarang (Gambar 2). Kita bisa lebih detil lagi menjabarkan tipologi ketimpangan wilayah, baik antara desa dengan kota, kota kecil-menengah dengan metropolitan, kawasan strategis dan wilayah andalan dengan daerah perbatasan/tertinggal/ terbelakang, berikut raut persoalan berupa unbalanced-development lantaran terbentuknya polarization effect dan gagalnya trickling-down effect (Hirschmann, 1950) ataupun munculnya backwash effect and spread effect (Myrdal, 1950). Namun semakin berulang dan berputar pada penggambaran masalah, kita seakan melakukan telling the truth: menyampaikan realitas yang semua orang sudah tahu sebagai sesuatu yang benar dan memang demikianlah faktanya. Berada dalam arus semangat demikian, identifikasi akar-sebab dan tawaran solusi ke depan jelas lebih penting ketimbang terus mendaftar deretan masalah.

Dari perspektif desentralisasi, sebab masalah utama sekurangnya berakar kepada beberapa point berikut ini.

Pertama, struktur ketatanegaraan kita membawa konstruksi perwilayahan yang amat administratif dan tidak diimbang secara setara oleh hubungan fungsional dalam bentuk keterpaduan dengan supradaerah (provinsi dan pusat). Perencanaan pembangunan antara Pusat (RPJP, RPJMN, RKP) tidak otomatis menjadi acuan utama yang mengalir dan bahkan mengalami deviasi serius pada level regional (Provinsi) dan selanjutnya Kabupaten/Kota (RPJPD, RPJMD, RKPD). Hal demikian juga terjadi pada kebijakan tata ruang yang ditandai biasnya hirarki dalam sistem perencanaan tata ruang. Pada sisi lain, politik perencanaan pembangunan makro dan tata ruang daerah (RTRW, RDTR)

Gambar 2. Disparitas Antar Wilayah Setelah 15 Tahun Berotonomi (2015)(sumber: Bappenas, 2016)

Wilayah Sumatera

Share PDRB thdp 33 Prov (2015) 21,72%

Pertumbuhan Ekonomi (2015) 3,54%

Tingkat Kemiskinan (Sept 2015) 11,37%

Tingkat Pengangguran (Ags 2015) 6,54%

Wilayah Kalimantan

Share PDRB thdp 33 Prov (2015) 8,78%

Pertumbuhan Ekonomi (2015) 1,00%

Tingkat Kemiskinan (Sept 2015) 6,45%

Tingkat Pengangguran (Ags 2015) 5,49%

Wilayah Sulawesi

Share PDRB thdp 33 Prov (2015) 5,81%

Pertumbuhan Ekonomi (2015) 8,18%

Tingkat Kemiskinan (Sept 2015) 11,67%

Tingkat Pengangguran (Ags 2015) 5,73%

Wilayah Maluku

Share PDRB thdp 33 Prov (2015) 0,50%

Pertumbuhan Ekonomi (2015) 5,74%

Tingkat Kemiskinan (Sept 2015) 14,00%

Tingkat Pengangguran (Ags 2015) 8,32%

Wilayah Papua

Share PDRB thdp 33 Prov (2015) 2,02%

Pertumbuhan Ekonomi (2015) 5,02%

Tingkat Kemiskinan (Sept 2015) 27,82%

Tingkat Pengangguran (Ags 2015) 4,77%

Wilayah Nusa Tenggara

Share PDRB thdp 33 Prov (2015) 1,61%

Pertumbuhan Ekonomi (2015) 14,35%

Tingkat Kemiskinan (Sept 2015) 19,65%

Tingkat Pengangguran (Ags 2015) 4,57%

Wilayah Jawa-Bali

Share PDRB thdp 33 Prov (2015) 59,56%

Pertumbuhan Ekonomi (2015) 5,47%

Tingkat Kemiskinan (Sept 2015) 10,38%

Tingkat Pengangguran (Ags 2015) 6,27%

Page 15: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

keadilan fiskal antardaerah maupun daerah dengan pusat. Namun, terjemahan konsep ke kebijakan dan praktik di lapangan mendapatkan realitas yang tak selamanya simetris. Dana Bagi Hasil (DBH) terkonsentrasi kepada daerah penghasil sumber daya alam tertentu, sementara potensi pajak-pajak utama di daerah (terutama BPHTB dan PBB dalam kerangka UU No.28 Tahun 2009) cenderung bias perkotaan yang secara geografis banyak berkumpul di Indonesia Barat. Kalau pada faktor input sudah demikian berragam maka dampak terhadap pengeluaran pemda akan terjadi dan pada gilirannya turut mempengaruhi perbedaan output antardaerah.

Pada sisi lain, ketergantungan daerah terhadap Pusat masih sedemikian tinggi. Secara rerata, daerah-daerah di Pulau Jawa mengandalkan setengah kekuatannya dari pendapatan asli (PAD) dan lain-lain pendapatan, sementara di luar Pulau Jawa umumnya memiliki tingkat ketergantungan lebih tinggi kepada Pemerintah Pusat. Hal demikian membawa implikasi pada strategi pembangunan daerah yang amat terbatas ruang fiskal dan diskresi kebijakan guna membangun ekonomi wilayah bertumpu pada potensi (resource-based development) dan aspirasi masyarakat (Gambar 3).

Keempat, desentralisasi yang berimplikasi pada mengalirnya kuasa (kewenangan) dan uang (fiskal) ke daerah acap tak diimbangi integritas dan kapasitas tata kelola. Dalam hal fiskal, ketika uang sudah berada di tangan Pemda, mismanajemen fiskal adalah masalah klasik yang belum teratasi sepanjang era otonomi ini. Inefisiensi dan korupsi menjadi tantangan utama pengelolaan APBD. Problem daya serap dan dana menganggur (idle) di perbankan, proporsi alokasi yang masih memberat (heavy) kepada belanja birokrasiketimbang belanja modai (investasi pun sulit bergerak lantaran instrumen fiskal pemda tak cukup menstimulasi mesin pertumbuhan swasta) hingga kualitas pelaporan buruk dan maldministrasi (merujuk opini BPK) adalah sebagian saja contoh praktik mismanajemen fiskal, terutama di daerah-daerah yang jauh dari jangkauan pengawasan pusat (upward accountability) dan publik (downward accountability).

Serupa masalah fiskal, tata kelola bermasalah juga terjadi pada pengelolaan ekonomi daerah (local economic

1governance) . Temuan studi KPPOD menunjukan semakin

1 Studi TKED KPPOD (2007, 2010, 2011, 2012, 2016) bertujuan mengukur peringkat setiap Kabupaten/Kota dan memetakan tipologi kebermasalahan tata kelola ekonomi yang melingkupi kebijakan, kelembagaan dan pelayanan usaha yang dilakukan Pemda dalam rangka pembentukan iklim usaha dan daya saing daerahnya. Batasan indikator yang diambil adalah domain kewenangan pemda dan merujuk pengalamanpraktis pelaku usaha ihwal aspek-aspek yang dinilai berpengaruh bagi kegiatan usaha mereka. Studi ini menggunakan 9 indikator untuk mengukur kinerja TKED: (1) Akses lahan; (2) Infrastruktur daerah; (3) Perizinan usaha; (4) Perda; (5) Biaya; (6) Kapasitas Bupati/Walikota; (7) Interaksi Pemda-Pengusaha; (8) Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS); (9) Keamanan dan penyelesaian konflik dunia usaha.

keadilan fiskal antardaerah maupun daerah dengan pusat. Namun, terjemahan konsep ke kebijakan dan praktik di lapangan mendapatkan realitas yang tak selamanya simetris. Dana Bagi Hasil (DBH) terkonsentrasi kepada daerah penghasil sumber daya alam tertentu, sementara potensi pajak-pajak utama di daerah (terutama BPHTB dan PBB dalam kerangka UU No.28 Tahun 2009) cenderung bias perkotaan yang secara geografis banyak berkumpul di Indonesia Barat. Kalau pada faktor input sudah demikian berragam maka dampak terhadap pengeluaran pemda akan terjadi dan pada gilirannya turut mempengaruhi perbedaan output antardaerah.

Pada sisi lain, ketergantungan daerah terhadap Pusat masih sedemikian tinggi. Secara rerata, daerah-daerah di Pulau Jawa mengandalkan setengah kekuatannya dari pendapatan asli (PAD) dan lain-lain pendapatan, sementara di luar Pulau Jawa umumnya memiliki tingkat ketergantungan lebih tinggi kepada Pemerintah Pusat. Hal demikian membawa implikasi pada strategi pembangunan daerah yang amat terbatas ruang fiskal dan diskresi kebijakan guna membangun ekonomi wilayah bertumpu pada potensi (resource-based development) dan aspirasi masyarakat (Gambar 3).

Keempat, desentralisasi yang berimplikasi pada mengalirnya kuasa (kewenangan) dan uang (fiskal) ke daerah acap tak diimbangi integritas dan kapasitas tata kelola. Dalam hal fiskal, ketika uang sudah berada di tangan Pemda, mismanajemen fiskal adalah masalah klasik yang belum teratasi sepanjang era otonomi ini. Inefisiensi dan korupsi menjadi tantangan utama pengelolaan APBD. Problem daya serap dan dana menganggur (idle) di perbankan, proporsi alokasi yang masih memberat (heavy) kepada belanja birokrasiketimbang belanja modai (investasi pun sulit bergerak lantaran instrumen fiskal pemda tak cukup menstimulasi mesin pertumbuhan swasta) hingga kualitas pelaporan buruk dan maldministrasi (merujuk opini BPK) adalah sebagian saja contoh praktik mismanajemen fiskal, terutama di daerah-daerah yang jauh dari jangkauan pengawasan pusat (upward accountability) dan publik (downward accountability).

Serupa masalah fiskal, tata kelola bermasalah juga terjadi pada pengelolaan ekonomi daerah (local economic

1governance) . Temuan studi KPPOD menunjukan semakin

1 Studi TKED KPPOD (2007, 2010, 2011, 2012, 2016) bertujuan mengukur peringkat setiap Kabupaten/Kota dan memetakan tipologi kebermasalahan tata kelola ekonomi yang melingkupi kebijakan, kelembagaan dan pelayanan usaha yang dilakukan Pemda dalam rangka pembentukan iklim usaha dan daya saing daerahnya. Batasan indikator yang diambil adalah domain kewenangan pemda dan merujuk pengalamanpraktis pelaku usaha ihwal aspek-aspek yang dinilai berpengaruh bagi kegiatan usaha mereka. Studi ini menggunakan 9 indikator untuk mengukur kinerja TKED: (1) Akses lahan; (2) Infrastruktur daerah; (3) Perizinan usaha; (4) Perda; (5) Biaya; (6) Kapasitas Bupati/Walikota; (7) Interaksi Pemda-Pengusaha; (8) Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS); (9) Keamanan dan penyelesaian konflik dunia usaha.

Dalam hal fiskal, ketika uang sudah beradadi tangan Pemda, mismanajemen fiskal

adalah masalah klasik yang belum teratasisepanjang era otonomi ini. Inefisiensi dan

korupsi menjadi tantangan utamapengelolaan APBD.

13buletin tata ruang & pertanahan

rendah perkembangan ekonomi suatu daerah, semakin rendah kualitas tata kelola. Hal ini umumnya terjadi di Indonesia Bagian Timur, kabupaten atau daerah bercorak pedesaan (rural area), wilayah kepulauan, dan DOB atau daerah induk pemekaran. Realitas pahit ini bertolak belakang dari harapan banyak pihak bahwa kalau suatu daerah itu miskin sumber daya alam, tidak strategis dari sisi letak geografis, tidak memiliki captive market yang kuat seperti yang dinikmati daerah-daerah maju (urban area), maka tata kelola ekonomi harus dikapitalisasi untuk mengejar keterbelakangan dan menjadi instrumen untuk bersaing dengan daerah-daerah beruntung lainnya.

Hasil analisis lintas waktu antara 2007 dan 2012 menunjukan minimnya perbaikan mutu tata kelola ekonomi di daerah. Stagnasi tersebut utamanya terjadi pada infrastruktur, akses lahan usaha, biaya transaksi dan regulasi/perda. Pada konteks pembangunan wilayah, sebagaimana disinggung di atas, tata kelola ternyata belum banyak dipakai sebagai instrumen mengejar disparitas dan menutup celah ketimpangan regional. Tata kelola bermutu umummya terdapat di belahan barat Indonesia (konsentrasi geografis), daerah kota (bias perkotaan), daerah yang memiliki tingkat perkembangan ekonomi tinggi (PDRB). Daerah-daerah terbelakang yang umumnya di belahan timur Indonesia justru belum bergegas memilih reformasi tata kelola sebagai pilihan kebijakan membangun daya saing dan mengejar ketertinggalan mereka. Program yang dilakukan pemda malah menghasilkan irelevansi kebijakan (program pengembangan usaha yang difasilitasi Pemda justru tidak sesuai jenis kebutuhan pelaku usaha), atau salah sasaran (sejumlah program afirmatif bagi usaha mikro-kecil justru jatuh ke tangan pelaku usaha menengah-besar), diskriminatif (porsi pungutan yang ditanggung usaha mikro-kecil lebih terasa membebani ketimbang usaha menengah-besar), dan seterusnya.

rendah perkembangan ekonomi suatu daerah, semakin rendah kualitas tata kelola. Hal ini umumnya terjadi di Indonesia Bagian Timur, kabupaten atau daerah bercorak pedesaan (rural area), wilayah kepulauan, dan DOB atau daerah induk pemekaran. Realitas pahit ini bertolak belakang dari harapan banyak pihak bahwa kalau suatu daerah itu miskin sumber daya alam, tidak strategis dari sisi letak geografis, tidak memiliki captive market yang kuat seperti yang dinikmati daerah-daerah maju (urban area), maka tata kelola ekonomi harus dikapitalisasi untuk mengejar keterbelakangan dan menjadi instrumen untuk bersaing dengan daerah-daerah beruntung lainnya.

Hasil analisis lintas waktu antara 2007 dan 2012 menunjukan minimnya perbaikan mutu tata kelola ekonomi di daerah. Stagnasi tersebut utamanya terjadi pada infrastruktur, akses lahan usaha, biaya transaksi dan regulasi/perda. Pada konteks pembangunan wilayah, sebagaimana disinggung di atas, tata kelola ternyata belum banyak dipakai sebagai instrumen mengejar disparitas dan menutup celah ketimpangan regional. Tata kelola bermutu umummya terdapat di belahan barat Indonesia (konsentrasi geografis), daerah kota (bias perkotaan), daerah yang memiliki tingkat perkembangan ekonomi tinggi (PDRB). Daerah-daerah terbelakang yang umumnya di belahan timur Indonesia justru belum bergegas memilih reformasi tata kelola sebagai pilihan kebijakan membangun daya saing dan mengejar ketertinggalan mereka. Program yang dilakukan pemda malah menghasilkan irelevansi kebijakan (program pengembangan usaha yang difasilitasi Pemda justru tidak sesuai jenis kebutuhan pelaku usaha), atau salah sasaran (sejumlah program afirmatif bagi usaha mikro-kecil justru jatuh ke tangan pelaku usaha menengah-besar), diskriminatif (porsi pungutan yang ditanggung usaha mikro-kecil lebih terasa membebani ketimbang usaha menengah-besar), dan seterusnya.

Gambar 3. Komposisi Pendapatan Daerah (APBD Agregat, 2016)(sumber: Diolah oleh KPPOD, 2016)

rendah perkembangan ekonomi suatu daerah, semakin rendah kualitas tata kelola. Hal ini umumnya terjadi di Indonesia Bagian Timur, kabupaten atau daerah bercorak pedesaan (rural area), wilayah kepulauan, dan DOB atau daerah induk pemekaran. Realitas pahit ini bertolak belakang dari harapan banyak pihak bahwa kalau suatu daerah itu miskin sumber daya alam, tidak strategis dari sisi letak geografis, tidak memiliki captive market yang kuat seperti yang dinikmati daerah-daerah maju (urban area), maka tata kelola ekonomi harus dikapitalisasi untuk mengejar keterbelakangan dan menjadi instrumen untuk bersaing dengan daerah-daerah beruntung lainnya.

Hasil analisis lintas waktu antara 2007 dan 2012 menunjukan minimnya perbaikan mutu tata kelola ekonomi di daerah. Stagnasi tersebut utamanya terjadi pada infrastruktur, akses lahan usaha, biaya transaksi dan regulasi/perda. Pada konteks pembangunan wilayah, sebagaimana disinggung di atas, tata kelola ternyata belum banyak dipakai sebagai instrumen mengejar disparitas dan menutup celah ketimpangan regional. Tata kelola bermutu umummya terdapat di belahan barat Indonesia (konsentrasi geografis), daerah kota (bias perkotaan), daerah yang memiliki tingkat perkembangan ekonomi tinggi (PDRB). Daerah-daerah terbelakang yang umumnya di belahan timur Indonesia justru belum bergegas memilih reformasi tata kelola sebagai pilihan kebijakan membangun daya saing dan mengejar ketertinggalan mereka. Program yang dilakukan pemda malah menghasilkan irelevansi kebijakan (program pengembangan usaha yang difasilitasi Pemda justru tidak sesuai jenis kebutuhan pelaku usaha), atau salah sasaran (sejumlah program afirmatif bagi usaha mikro-kecil justru jatuh ke tangan pelaku usaha menengah-besar), diskriminatif (porsi pungutan yang ditanggung usaha mikro-kecil lebih terasa membebani ketimbang usaha menengah-besar), dan seterusnya.

Gambar 4. Tata Kelola Ekonomi Daerah(sumber: KPPOD, 2016)

Page 16: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

fiskal yang lebih afirmatif kepada wilayah pinggiran dan sekaligus menjadi konsentrasi kehidupan penduduk lapisan marjinal, baik itu di desa, daerah tertinggal/terbelakang, kabupaten, yang umumnya berada di belahan timur (IBT). Berbeda dari daerah-daerah maju di mana fiskal pemerintah (Pemda) adalah instrumen penunjang bagi layanan warga, di daerah berkategori pinggiran tadi justru menempatkan APBN/APBD sebagai sumber pembiayaan layanan dan stimulans ekonomi (bahkan menjadi mesin utama pertumbuhan). Di sini, fiskal harus diarahkan terutama kepada pembangunan infrastruktur dasar/perintis, infrastruktur perhubungan dan infrastruktur pertanian sehingga mampu mengurangi kesenjangan antarwilayah, meningkatkan konektivitas dan mendorong pertumbuhan kawasan.

Dimensi ketiga –seturut berubahnya model interaksi pemerintah dan masyarakat dalam konteks decentralized-governance– ihwal partisipasi dan kolaborasi masyarakat dalam pembangunan wilayah. Perubahan paradigma dalam tata sektor publik menandai perubahan paradigma kebijakan wilayah dari model klasik ke model modern (Bachtler dan Yuill, 2001). Intinya adalah menjadikan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan melalui partisipasi warga sebagai “sine qua non” dalam perencanaan, serta kolaborasi dengan elemen-elemen strategis sebagai mitra penting dalam tahapan pelaksanaan pembangunan. Semua ini harus terlihat jelas sejak penyusunan konsep dasar, karakter kebijakan, struktur kebijakan, organisasi hingga evaluasi pembangunan wilayah.

Aksentuasi pembangunan wilayah menemukan momentum aktual terkait implementasi tema RKP 2017. Hal itu mesti

tercermin dalam dimensi pemerataan antarpendapatan dan wilayah yang tentu akan berjalan integral dengan dimensi pembangunan manusia dan pembangunan sektor unggulan. Mendorong pertumbuhan dan mengurangi ketimpangan antar-wilayah adalah jalan pembuktian terbaik untuk memenuhi amanat Nawacita ketiga: “membangun dari

pinggiran”.

Menata ke Depan

Paradigma pembangunan wilayah kiranya memiliki momentum yang strategis terkait tema RKP 2017: “Memacu Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi Untuk Meningkatkan Kesempatan Kerja serta Mengurangi Kemiskinan dan Kesenjangan Antarwilayah”. Dan, otonomi daerah mesti jadi struktur kesempatan baru bagi Pemda dan masyarakat untuk merencanakan dan menjalankan pembangunan sesuai kondisi (potensi dan aspirasi) setempat. Ikhtiar reformasi kepemerintahan (internal governance) untuk mengkapitalisasi potensi dan aspirasi lokal tersebut harus pula diimbangi dengan perspektif wilayah agar jebakan sindrom paradoks jarak (paradox of distance) di mana makin lokal (localising) suatu urusan pembangunan justru makin mengabaikan konteks wilayah regional bisa diatasi.

Berbagai akar masalah di atas sejatinya bisa menjadi penunjuk arah ke mana langkah perbaikan mesti diayunkan. Dalam perspektif otonomi, penguatan kelembagaan makro terkait perencanaan dan tata ruang harus dibenahi pada prioritas awal. Perencanaan lokal/regional harus tegak lurus menjadikan prencanaan nasional sebagai acuan utama, tanpa mengabaikan kemandirian dan kekhasan daerah dalam mendesain kebijakan yang sesuai kebutuhan/ permintaan layanan masyarakat, aspirasi dan potensi lokal. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan kewajiban Pemda untuk mengikuti arah kebijakan nasional, terutama menyangkut program prioritas, beserta sanksi administrasi hingga fiskal bagi Pemda yang tidak mematuhinya. Untuk itu, pada tataran Pusat juga perlu dibenahi koordinasi-sinkronisasi kebijakan Kementerian/ Lembaga agar menjadikan paradigma pembangunan wilayah sebagai mainstream, simpul pengikat, sebagai formula meresolusi konflik perencanaan sektoral maupun antara sektoral dan regional yang selama ini sering terjadi.

Dalam dimensi hubungan Pusat-Daerah maupun reformasi internal kepemerintahan pemda, dimensi fiskal (desentralisasi dan manajemen) maupun ekonomi (tata kelola) dapat menjadi pintu masuk perubahan berikutnya. Politik kebijakan harus mengarah kepada keseimbangan

14 buletin tata ruang & pertanahan

fiskal yang lebih afirmatif kepada wilayah pinggiran dan sekaligus menjadi konsentrasi kehidupan penduduk lapisan marjinal, baik itu di desa, daerah tertinggal/terbelakang, kabupaten, yang umumnya berada di belahan timur (IBT). Berbeda dari daerah-daerah maju di mana fiskal pemerintah (Pemda) adalah instrumen penunjang bagi layanan warga, di daerah berkategori pinggiran tadi justru menempatkan APBN/APBD sebagai sumber pembiayaan layanan dan stimulans ekonomi (bahkan menjadi mesin utama pertumbuhan). Di sini, fiskal harus diarahkan terutama kepada pembangunan infrastruktur dasar/perintis, infrastruktur perhubungan dan infrastruktur pertanian sehingga mampu mengurangi kesenjangan antarwilayah, meningkatkan konektivitas dan mendorong pertumbuhan kawasan.

Dimensi ketiga –seturut berubahnya model interaksi pemerintah dan masyarakat dalam konteks decentralized-governance– ihwal partisipasi dan kolaborasi masyarakat dalam pembangunan wilayah. Perubahan paradigma dalam tata sektor publik menandai perubahan paradigma kebijakan wilayah dari model klasik ke model modern (Bachtler dan Yuill, 2001). Intinya adalah menjadikan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan melalui partisipasi warga sebagai “sine qua non” dalam perencanaan, serta kolaborasi dengan elemen-elemen strategis sebagai mitra penting dalam tahapan pelaksanaan pembangunan. Semua ini harus terlihat jelas sejak penyusunan konsep dasar, karakter kebijakan, struktur kebijakan, organisasi hingga evaluasi pembangunan wilayah.

Aksentuasi pembangunan wilayah menemukan momentum aktual terkait implementasi tema RKP 2017. Hal itu mesti

tercermin dalam dimensi pemerataan antarpendapatan dan wilayah yang tentu akan berjalan integral dengan dimensi pembangunan manusia dan pembangunan sektor unggulan. Mendorong pertumbuhan dan mengurangi ketimpangan antar-wilayah adalah jalan pembuktian terbaik untuk memenuhi amanat Nawacita ketiga: “membangun dari

pinggiran”.

Menata ke Depan

Paradigma pembangunan wilayah kiranya memiliki momentum yang strategis terkait tema RKP 2017: “Memacu Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi Untuk Meningkatkan Kesempatan Kerja serta Mengurangi Kemiskinan dan Kesenjangan Antarwilayah”. Dan, otonomi daerah mesti jadi struktur kesempatan baru bagi Pemda dan masyarakat untuk merencanakan dan menjalankan pembangunan sesuai kondisi (potensi dan aspirasi) setempat. Ikhtiar reformasi kepemerintahan (internal governance) untuk mengkapitalisasi potensi dan aspirasi lokal tersebut harus pula diimbangi dengan perspektif wilayah agar jebakan sindrom paradoks jarak (paradox of distance) di mana makin lokal (localising) suatu urusan pembangunan justru makin mengabaikan konteks wilayah regional bisa diatasi.

Berbagai akar masalah di atas sejatinya bisa menjadi penunjuk arah ke mana langkah perbaikan mesti diayunkan. Dalam perspektif otonomi, penguatan kelembagaan makro terkait perencanaan dan tata ruang harus dibenahi pada prioritas awal. Perencanaan lokal/regional harus tegak lurus menjadikan prencanaan nasional sebagai acuan utama, tanpa mengabaikan kemandirian dan kekhasan daerah dalam mendesain kebijakan yang sesuai kebutuhan/ permintaan layanan masyarakat, aspirasi dan potensi lokal. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan kewajiban Pemda untuk mengikuti arah kebijakan nasional, terutama menyangkut program prioritas, beserta sanksi administrasi hingga fiskal bagi Pemda yang tidak mematuhinya. Untuk itu, pada tataran Pusat juga perlu dibenahi koordinasi-sinkronisasi kebijakan Kementerian/ Lembaga agar menjadikan paradigma pembangunan wilayah sebagai mainstream, simpul pengikat, sebagai formula meresolusi konflik perencanaan sektoral maupun antara sektoral dan regional yang selama ini sering terjadi.

Dalam dimensi hubungan Pusat-Daerah maupun reformasi internal kepemerintahan pemda, dimensi fiskal (desentralisasi dan manajemen) maupun ekonomi (tata kelola) dapat menjadi pintu masuk perubahan berikutnya. Politik kebijakan harus mengarah kepada keseimbangan

tahukah andaIndonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem otonomi daerah dalam pelaksanaan pemerintahannya. Otonomi daerah merupakan bagian dari desentralisasi. Dengan adanya otonomi daerah, daerah mempunyai hak serta kewajiban untuk mengatur daerahnya sendiri tetapi masih tetap dikontrol oleh pemerintah pusat serta sesuai dengan undang-undang. Secara etimologi (harfiah), otonomi daerah berasal dari 2 kata yaitu "otonom" dan "daerah". Kata otonom dalam bahasa Yunani berasal dari kata "autos" yang berarti sendiri dan "namos" yang berarti aturan. Sehingga otonom dapat diartikan sebagai mengatur sendiri atau memerintah sendiri. Sedangkan daerah yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah. Jadi, otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri kepentingan suatu masyarakat atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus daerahnya sendiri.

Penerapan (Pelaksanaan) otonomi daerah di Indonesia menjadi titik fokus penting dalam memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu daerah bisa disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan potensi dan ciri khas daerah masing-masing. Otonomi daerah mulai diberlakukan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada tahun 2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, serta tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh karena itu maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sampai sekarang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengalami banyak perubahan. Salah satunya yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. sumber:

Diolah dari berbagai sumber

?

fiskal yang lebih afirmatif kepada wilayah pinggiran dan sekaligus menjadi konsentrasi kehidupan penduduk lapisan marjinal, baik itu di desa, daerah tertinggal/terbelakang, kabupaten, yang umumnya berada di belahan timur (IBT). Berbeda dari daerah-daerah maju di mana fiskal pemerintah (Pemda) adalah instrumen penunjang bagi layanan warga, di daerah berkategori pinggiran tadi justru menempatkan APBN/APBD sebagai sumber pembiayaan layanan dan stimulans ekonomi (bahkan menjadi mesin utama pertumbuhan). Di sini, fiskal harus diarahkan terutama kepada pembangunan infrastruktur dasar/perintis, infrastruktur perhubungan dan infrastruktur pertanian sehingga mampu mengurangi kesenjangan antarwilayah, meningkatkan konektivitas dan mendorong pertumbuhan kawasan.

Dimensi ketiga –seturut berubahnya model interaksi pemerintah dan masyarakat dalam konteks decentralized-governance– ihwal partisipasi dan kolaborasi masyarakat dalam pembangunan wilayah. Perubahan paradigma dalam tata sektor publik menandai perubahan paradigma kebijakan wilayah dari model klasik ke model modern (Bachtler dan Yuill, 2001). Intinya adalah menjadikan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan melalui partisipasi warga sebagai “sine qua non” dalam perencanaan, serta kolaborasi dengan elemen-elemen strategis sebagai mitra penting dalam tahapan pelaksanaan pembangunan. Semua ini harus terlihat jelas sejak penyusunan konsep dasar, karakter kebijakan, struktur kebijakan, organisasi hingga evaluasi pembangunan wilayah.

Aksentuasi pembangunan wilayah menemukan momentum aktual terkait implementasi tema RKP 2017. Hal itu mesti

tercermin dalam dimensi pemerataan antarpendapatan dan wilayah yang tentu akan berjalan integral dengan dimensi pembangunan manusia dan pembangunan sektor unggulan. Mendorong pertumbuhan dan mengurangi ketimpangan antar-wilayah adalah jalan pembuktian terbaik untuk memenuhi amanat Nawacita ketiga: “membangun dari

pinggiran”.

Intinya adalah menjadikan transparansidan akuntabilitas pemerintahan

melalui partisipasi warga sebagai“sine qua non” dalam perencanaan, serta

kolaborasi dengan elemen-elemenstrategis sebagai mitra penting dalamtahapan pelaksanaan pembangunan.

Page 17: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan danFungsi Kawasan Hutan

sosialisasi peraturan

Pengaturan Umum Peraturan

Pada PP Nomor 104 Tahun 2015 ini pemerintah ingin mela-kukan penyederhanaan prosedur perubahan peruntukan kawasan hutan, pelepasan kawasan hutan dan izin pinjam pakai kawasan hutan ke dalam satu peraturan. Kebutuhan terhadap pelaksanaan percepatan pembangunan proyek strategis (bendungan, waduk, jalan, ketenagalistrikan, mi-nyak dan gas bumi) yang menggunakan kawasan hutan ter-kendala masalah mengenai sulitnya mencari lahan kompen-sasi untuk penggunaan non kehutanan yang dibiayai peme-rintah. Melalui PP ini prosedur perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan menjadi lebih sederhana agar perce-patan pembangunan proyek strategis dapat terlaksana.

Substansi Peraturan

Substansi utama PP ini antara lain perubahan peruntukan kawasan hutan dapat dilakukan secara parsial atau untuk wilayah provinsi yang dilakukan melalui mekanisme tukar menukar kawasan hutan (TMKH) atau pelepasan kawasan hutan (PKH). Perubahan yang dilakukan melalui TMKH ha-nya dapat dilakukan pada hutan produksi tetap (HPT) dan/ atau hutan produksi terbatas (HP) Sementara mekanisme PKH hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi yang tidak produktif (HPK). Pemberi-an izin perubahan harus mengacu pada RTRW daerah yang ditetepakan dengan Perda sebelum berlakunya UU Nomor 26 Tahun 2007. Perbedaan dapat dilihat pada tabel dibawah.

aket Kebijakan Ekonomi jilid 2 diumumkan oleh Pemerintah pada tanggal 29 September 2015. Melalui Menteri Koordinator PBidang Perekonomian, pemerintah mengumumkan fokus kebijakan yang dikeluarkan hanya pada upaya meningkatkan dan mempermudah investasi dengan menyelesaikan kendala perizinan yang sering kali dianggap menghambat laju investasi, salah satunya pada sektor kehutanan. Pemerintah mengharapkan izin untuk keperluan investasi dan produktif sektor kehutanan akan berlangsung lebih cepat melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

15buletin tata ruang & pertanahan

KEGIATAN PP No.10/2010 jo. PP No.60/2012 PP No.104/2015

Persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan

Sebagai dasar pelaksanaan tata letak batas

Tidak terdapat lagi persetujuan prinsip, langsung SK pelepasan

Jangka waktu tata batas Tidak diatur Maksimal selesai 1 tahun. Bila lewat dianggap tidak berlaku (untuk instansi pemerintah dapat diperpanjang 1 tahun lagi)

Penetapan area Tidak ada Ditetapkan setelah selesai tata batas

Pembangunan waduk dan bendungan Dengan IPPKH dan TMKH Dengan IPPKH

Prosedur pelepasan Tanpa kajian dari Tim Terpadu Dengan kajian dari Tim Terpadu

Hasil Tim Terpadu Tidak diatur Merekomendasikan:1. Pelepasan sebagian atau seluruhnya2. Bila masih produktif, direkomendasikan

menjadi Hutan Tetap (HP)

Perubahan fungsi kawasan hutan Diusulkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur

Diusulkan oleh pengelola kawasan

Istilah persyaratan perubahan fungsi dan peruntukan

Rekomendasi Pertimbangan

Jangka waktu pertimbangan Gubernur Tidak diatur Dibatasi 30 hari (jika lewat dianggap setuju)

Penyederhanaan prosedur Tukar Menukar Kawasan Hutan (TMKH)

TMKH terjadi setelah lahan pengganti selesai ditata batas

TMKH terjadi sebelum lahan pengganti selesai ditata batas

Penyederhanaan prosedur pelepasan Dua tahap:1. Persetujuan Prinsip2. SK Pelepasan

Satu tahap:SK Pelepasan

Kriteria pelepasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK)

Dapat dilakukan pada HPK yang produktif dan tidak produktif

Hanya pada real tidak produktif, kecuali Provinsi yang tidak memiliki HPK yang tidak produktif

HPK sebagai Lahan Pengganti Tidak diatur dalam PP Daitur dalam PP

Page 18: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

16 buletin tata ruang & pertanahan

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2015tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 24 Tahun2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan

Substansi Peraturan

Dibandingkan dengan PP sebelumnya, ketentuan dalam PP baru tidak menyebutkan besaran lahan untuk kompensasi untuk IPPKH pada wilayah dengan kawasan hutan kurang dari 30%. Sementara IPPKH pada wilayah dengan kawasan hutan lebih dari 30% harus melakukan kompensasi ke dalam bentuk penanaman kembali dalam rangka rehabilitasi. IPPKH diberikan oleh Menteri LHK, namun kewenangannya dapat dilimpahkan kepada gubernur dalam hal penggunaan untuk pembangunan fasilitas umum dengan luasan tertentu yang bersifat non komersial. IPPKH untuk kawasan berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis hanya dapat diberikan setelaha ada persetujuan dari DPR. Dalam alur perizinan IPPKH, apabila pemegang izin tidak dapat menyelesaikan kewajubannya sesuai aturan yang ada, IPPKH akan dicabut. IPPKH akan dievaluasi oleh Menteri LHK setiap 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Perbandingan muatan antara PP Nomor 105 Tahun 2015 dengan peraturan sebelumnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

ejalan dengan keinginan Presiden untuk mempermudah pelaksanaan kegiatan investasi, Kementerian Lingkungan Hidup Sdan Kehutanan (KLHK) meninjau kembali beberapa perizinan yang dikeluarkan terkait dengan sektor kehutanan agar lebih produktif dan cepat. Sesuai dengan arahan Presiden dan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid 2 yang dikeluarkan, dari 14 perizinan mengenai penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan serta sumberdaya alam, disederhanakan menjadi 6 perizinan. Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2015 merupakan perubahan kedua terhadap PP Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.

Pengaturan Umum Peraturan

Tujuan dari adanya PP Nomor 105 Tahun 2015 ini adalah untuk mendukung percepatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan di dalam kawasan hutan dengan mengubah pengaturan mengenai jenis kegiatan, kewajiban pemegang izin pinjam pakai, dan prosedur penggunaan kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan.

pelaksanaan percepatan pembangunan proyek strategis yang menjadi lebih sederhana

Beberapa hal yang diubah dalam peraturan ini antara lain mengenai skema penggunaan kawasan hutan (PKH) untuk kegiatan

, bentuk kompensasi PKH, tahapan perizinan hanya melalui satu tahapan, subyek hukum diperluas, prosedur pelepasan kawasan hutan yang harus melalui kajian dari tim terpadu, tata batas dapat dilakukan setelah izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), pelaksanaan kegiatan di lapangan dapat dilakukan setelah penetapan, serta dispensasi yang dihilangkan.

KEGIATAN PP No.24/2010 jo. PP No.61/2012 PP No.105/2015

Pembangunan waduk, bendungan Dengan dua skema:1. Sarana prasarana dengan mekanisme

Pinjam Pakai2. Genangan dengan mekanisme Tukar

Menukar

Dengan satu skema:Sarana prasarana maupun genangan dengan mekanisme Pinjam Pakai

Kompensasi untuk kegiatan Non Komersial

Lahan kompensasi rasio 1:1 Tanpa lahan kompensasi, diganti penanaman pada DAS dengan rasio 1:1

Tahapan Perizinan Dua tahap:1. Persetujuan Prinsip2. Izin Pinjam Pakai

Satu tahap:Izin Pinjam Pakai

Subyek Hukum Tidak ada perseorangan Ditambah perseorangan dan kelompok masyarakat

Prosedur Pelepasan Tanpa kajian dari Tim Terpadu Dengan kajian dari Tim Terpadu

Tata Batas Dilakukan sebelum Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH)

Dilakukan setelah Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dalam jangka waktu 1 tahun

Operasi di lapangan Setelah IPPKH Setelah penetapan area kerja oleh menteri yang membidangi kehutanan, kecuali bersifat vital

Dispensasi Ada, diberikan setelah semua kewajiban terpenuhi kecuali lahan kompensasi

Tidak ada

Page 19: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

Ringkas Buku:Menjalin Desa-Kota: Upaya Membangun Indonesiadari Pinggiran

Pendahuluan

Berlakunya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang membuat perencanaan pembangunan di

Indonesia saat ini menggunakan pendekatan spasial. Sebelumnya pendekatan ini masih sangat kurang dipertimbangkan menjadi prioritas. Akibatnya, tidak terkoordinasinya aktivitas pembangunan yang ada. Ruang sebagai dimensi tempat aktivitas pembangun dilakukan dalam konteks wilayah administratif terbagi menjadi dua, ruang untuk desa dan ruang untuk kota. Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang berada di perkotaan maupun perdesaan memiliki proporsi yang hampir seimbang, dengan rincian masing-masing yaitu 118.320.256 jiwa (49,79%) dan 119.321.070 (50,21%).

Menurut Harry Heriawan dalam bukunya, paradigma pembangunan di Indonesia saat ini masih menganggap bahwa pembangunan pada kawasan perkotaan merupakan bagian yang terpisah dengan pembangunan pada kawasan perdesaan. Padahal sebenarnya pemahaman ini merupakan hal yang salah dan menjadi salah satu penyebab ketimpangan pembangunan di Indonesia. Permasalahan ketimpangan tersebut juga diiringi paradigma lainnya, bahwa pembangunan dianggap lebih baik dan lebih tinggi jika dilaksanakan pada kawasan perkotaan. Pembangunan kawasan perdesaan dianggap hanya merupakan subordinasi dari pembangunan di kawasan perkotaan. Paradigma tersebut sering disebut dengan istilah “urban biased”.

Desa selalu dikaitkan dengan kemiskinan dan kondisi

peluang/lapangan kerja yang terbatas, sedangkan kota merupakan membuka banyak kesempatan dan harapan untuk kehidupan. Permasalahan pada kedua kawasan terjadi seara bersamaan karena arus laju mobilitas spasial orang-orang desa menuju kota-kota tertenu sehingga desa semakin tertinggal dan kota menjadi sesak. Fenomena ini sering dikenal dengan istilah “urbanisasi”, bukan dalam arti suatu desa menjadi bersifat perkotaan, tetapi semakin terkonsentrasinya orang-orang desa pada kota-kota sebagai daerah tujuan mereka.

Saat ini pemerintah sudah mulai menyadari dan mempertimbangkan peran keselarasan (integrasi) kebijakan pembangunan yang menghubungkan antara pembangunan desa dengan pembangunan kota. Upaya mengintegrasikan pembangunan tersebut didasarkan pada kepentingan untuk saling melengkapi satu sama lain dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat di dua kawasan (kota dan desa) tersebut.

Pada masa pemerintahan sebelumnya, mulai dikeluarkan kebijakan pembangunan dengan mengenalkan pembagian koridor-koridor ekonomi yang ada di wilayah Indonesia. Hal tersebut ditujukan agar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi tidak terkonsentrasi pada satu tempat saja, namun juga tersebar dan relatif seimbang. Harapan agar implikasi dari pusat-pusat pertumbuhan yang tersebar tersebut dapat mempengaruhi kawasan sekitarnya (hinterland). Namun pada implementasi di lapangan, tidak sedikit yang terjadi adalah terjadinya backwash effect atau terkurasnya sumber daya alam desa di sekitar pusat-pusat pertumbuhan dan braindrain effect, yaitu tersedotnya sumber daya manusia dari desa ke kota.

Pada masa pemerintahan saat ini (red: Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla), konsep pembangunan mulai diperbaiki melalui misi pembangunan (Nawacita) yang ke-3, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Pinggiran yang dimaksud adalah Kawasan Timur Indonesia (KTI), kawasan perbatasan, daerah tertinggal, dan desa.

Faktor utama untuk menggerakkan wilayah pinggiran terletak pada aktivitas ekonomi pedesaan. Memasuki era globalisasi membuat wilayah pinggiran dituntut untuk dapat berdaya saing. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi per-

Kebijakan Pembangunan Desa-Kota

P ertanyaan mengenai dampak yang akan didapatkan apabila kita membangun desa menjadi sebuah pertanyaan mendasar yang melatarbelakangi hadirnya penulisan buku ini. Apakah

dengan melakukan pembangunan pada desa dapat membuat desa tersebut secara otomatis dapat meninggalkan status ketertinggalannya sehingga dapat menyamai sebuah kota, serta daerah pinggiran pun dapat semakin berdekatan jarak kesenjangannya dengan daerah pusat. Pertanyaan tersebut berusaha untuk dijawab oleh Ir . Harry Heriawan Saleh, M.Sc. dalam bukunya ini yang berjudul “Menjalin Desa-Kota: Upaya Membangun Indonesia dari Pinggiran” .

ringkas buku

Pendahuluan

Berlakunya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang membuat perencanaan pembangunan di

Indonesia saat ini menggunakan pendekatan spasial. Sebelumnya pendekatan ini masih sangat kurang dipertimbangkan menjadi prioritas. Akibatnya, tidak terkoordinasinya aktivitas pembangunan yang ada. Ruang sebagai dimensi tempat aktivitas pembangun dilakukan dalam konteks wilayah administratif terbagi menjadi dua, ruang untuk desa dan ruang untuk kota. Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang berada di perkotaan maupun perdesaan memiliki proporsi yang hampir seimbang, dengan rincian masing-masing yaitu 118.320.256 jiwa (49,79%) dan 119.321.070 (50,21%).

Menurut Harry Heriawan dalam bukunya, paradigma pembangunan di Indonesia saat ini masih menganggap bahwa pembangunan pada kawasan perkotaan merupakan bagian yang terpisah dengan pembangunan pada kawasan perdesaan. Padahal sebenarnya pemahaman ini merupakan hal yang salah dan menjadi salah satu penyebab ketimpangan pembangunan di Indonesia. Permasalahan ketimpangan tersebut juga diiringi paradigma lainnya, bahwa pembangunan dianggap lebih baik dan lebih tinggi jika dilaksanakan pada kawasan perkotaan. Pembangunan kawasan perdesaan dianggap hanya merupakan subordinasi dari pembangunan di kawasan perkotaan. Paradigma tersebut sering disebut dengan istilah “urban biased”.

Desa selalu dikaitkan dengan kemiskinan dan kondisi

Gambar 1. Urbanisasi menjadi masalah pembangunan saat ini(sumber: sindonews.com)

17buletin tata ruang & pertanahan

Page 20: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

desaan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan berjenjang yang dimulai dari skala lokal hingga global. Tantangan utama dalam membangun wilayah pinggiran terletak pada bagaimana membangun desa-kota secara berkelanjutan agar dapat meningkatkan daya saing kedua wilayah tersebut.

Buku ini secara keseluruhan berupaya mengangkat masalah perdesaan dan perkotaan. Istilah desa-kota digunakan sebagai bentuk penyederhanaan dari makna perdesaan dan perkotaan. Konsep pembangunan desa-kota yang ada di dalam buku ini diharapkan oleh penulis dapat dijadikan referensi, terutama bagi penyelenggara negara dalam mengimplementasikan kebijakan di bidang pembangunan perkotaan dan perdesaan.

Buku ini terbagi dalam 5 bab yang menjelaskan mengenai latar belakang, teori, konsep, paradigma, serta aplikasi dari proses pembangunan desa-kota. Agar lebih mendalam, juga digunakan studi kasus yang dipilih secara purposive untuk menjadi perwujudan contoh pembangunan yang dilakukan. Dipilih 3 daerah yang menjadi contoh, yakni Kabupaten Sumba Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Banjar di Provinsi Kalimantan Selatan, dan Kabupaten Lampung Barat di Provinsi Lampung. Daerah-daerah tersbut diambil dengan melihat keterwakilan dari pembagian wilayah yang ada di Indonesia yaitu kawasan barat, kawasan tengah dan kawasan timur.

Bab pertama menguraikan latar belakang munculnya kesenjangan desa-kota, berisikan penjabaran masalah pembangunan desa-kota dalam perspektif pengembangan wilayah dan pembangunan kepedudukan disertai dengan data-data yang ada. Berdasarkan Buku III Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, data menunjukkan bahwa selama 30 tahun (1982-2012) kontribusi PDRB Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang meliputi wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali sangat mendominasi pembentukan PDB Nasional sekitar 80% dari PDB. Sementara peran Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang mencakup wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua baru mencapai sekitar 20% dari PDB. Pada bab ini juga dipaparkan data tingkat kemiskinan di Indonesia selama kurun waktu 2006-2014 yang dapat terlihat kecenderungannya. Selain itu juga terdapat ketimpangan distribusi pendapatan pada penduduk di Indonesia yang ditunjukkan dengan kecenderungan angka koefisien gini.

Cakupan Isi Buku

Bab kedua menjelaskan berbagai macam teori dan konsep kewilayahan atau pembangunan berbasis spasial yang dapat digunakan dalam melaksanakan pembangunan desa-kota. Teori yang dijabarkan antara lain teori pengembangan wilayah seperti Central Place Theory, Growth Pole Theory, Teori Kerucut Permintaan, dan Teori Geografi Ekonomi Baru. Teori mengenai migrasi juga dijelaskan dalam bab ini sebagai kerangka pemikiran untuk melihat pergerakan penduduk antar ruang yang menyebabkan terjadinya dinamika penduduk, yang secara keseluruhan berada dalam konsep pembangunan berkelanjutan serta teori inkuiri untuk merumuskan pilihan konsep yang disepakati.

Bab ketiga menggambarkan secara umum konsep pembangunan desa-kota dengan mempertimbangkan tantangan dan pengalaman-pengalaman yang ada. Skenario kebijakan pembangunan desa-kota berbasis keruangan secara ekspilisit dituangkan dalam kebijakan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara pada masa Presiden Joko Widodo, konsep tersebut diperkuat dengan mengubahnya secara tematik menjadi tujuh wilayah pembangunan. Konsep pembangunan terbagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu konsep secara makro dan konsep secara mikro.

Selanjutnya pada bab keempat diuraikan gagasan-gagasan yang dapat diharapkan dapat menjadi konsep pembangunan wilayah pinggiran dalam wujud pembangunan ekonomi lokal (PEL). PEL dilakukan melalui jejaring klaster berbasis wilayah. Pada bab ini dijabarkan bentuk dukungan kebijakan yang diberikan pemerintah dalam upaya mewujudkan pembangunan ekonomi lokal/daerah yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam rangka daya saing ekonomi daerah dan juga memeratakan pembangunan ekonomi nasional secara berkeadilan.

Pada bab kelima, memuat tiga contoh kasus klaster terpilih yang menggunakan konsep PEL. Ketiga klaster dijabarkan kondisi alam/fisik dan lingkungan, sosial, potensi ekonomi serta tantangan dan strategi pembangunannya yang memperlihatkan perbedaan diantara ketiganya. [rp]

desaan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan berjenjang yang dimulai dari skala lokal hingga global. Tantangan utama dalam membangun wilayah pinggiran terletak pada bagaimana membangun desa-kota secara berkelanjutan agar dapat meningkatkan daya saing kedua wilayah tersebut.

Buku ini secara keseluruhan berupaya mengangkat masalah perdesaan dan perkotaan. Istilah desa-kota digunakan sebagai bentuk penyederhanaan dari makna perdesaan dan perkotaan. Konsep pembangunan desa-kota yang ada di dalam buku ini diharapkan oleh penulis dapat dijadikan referensi, terutama bagi penyelenggara negara dalam mengimplementasikan kebijakan di bidang pembangunan perkotaan dan perdesaan.

Buku ini terbagi dalam 5 bab yang menjelaskan mengenai latar belakang, teori, konsep, paradigma, serta aplikasi dari proses pembangunan desa-kota. Agar lebih mendalam, juga digunakan studi kasus yang dipilih secara purposive untuk menjadi perwujudan contoh pembangunan yang dilakukan. Dipilih 3 daerah yang menjadi contoh, yakni Kabupaten Sumba Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Banjar di Provinsi Kalimantan Selatan, dan Kabupaten Lampung Barat di Provinsi Lampung. Daerah-daerah tersbut diambil dengan melihat keterwakilan dari pembagian wilayah yang ada di Indonesia yaitu kawasan barat, kawasan tengah dan kawasan timur.

Bab pertama menguraikan latar belakang munculnya kesenjangan desa-kota, berisikan penjabaran masalah pembangunan desa-kota dalam perspektif pengembangan wilayah dan pembangunan kepedudukan disertai dengan data-data yang ada. Berdasarkan Buku III Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, data menunjukkan bahwa selama 30 tahun (1982-2012) kontribusi PDRB Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang meliputi wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali sangat mendominasi pembentukan PDB Nasional sekitar 80% dari PDB. Sementara peran Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang mencakup wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua baru mencapai sekitar 20% dari PDB. Pada bab ini juga dipaparkan data tingkat kemiskinan di Indonesia selama kurun waktu 2006-2014 yang dapat terlihat kecenderungannya. Selain itu juga terdapat ketimpangan distribusi pendapatan pada penduduk di Indonesia yang ditunjukkan dengan kecenderungan angka koefisien gini.

Cakupan Isi Buku

Gambar 2. Peran Wilayah/Pulau dalam Pembentukan PDB Nasional(sumber: Buku III RPJMN 2015-2019)

Bab kedua menjelaskan berbagai macam teori dan konsep kewilayahan atau pembangunan berbasis spasial yang dapat digunakan dalam melaksanakan pembangunan desa-kota. Teori yang dijabarkan antara lain teori pengembangan wilayah seperti Central Place Theory, Growth Pole Theory, Teori Kerucut Permintaan, dan Teori Geografi Ekonomi Baru. Teori mengenai migrasi juga dijelaskan dalam bab ini sebagai kerangka pemikiran untuk melihat pergerakan penduduk antar ruang yang menyebabkan terjadinya dinamika penduduk, yang secara keseluruhan berada dalam konsep pembangunan berkelanjutan serta teori inkuiri untuk merumuskan pilihan konsep yang disepakati.

Bab ketiga menggambarkan secara umum konsep pembangunan desa-kota dengan mempertimbangkan tantangan dan pengalaman-pengalaman yang ada. Skenario kebijakan pembangunan desa-kota berbasis keruangan secara ekspilisit dituangkan dalam kebijakan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara pada masa Presiden Joko Widodo, konsep tersebut diperkuat dengan mengubahnya secara tematik menjadi tujuh wilayah pembangunan. Konsep pembangunan terbagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu konsep secara makro dan konsep secara mikro.

Selanjutnya pada bab keempat diuraikan gagasan-gagasan yang dapat diharapkan dapat menjadi konsep pembangunan wilayah pinggiran dalam wujud pembangunan ekonomi lokal (PEL). PEL dilakukan melalui jejaring klaster berbasis wilayah. Pada bab ini dijabarkan bentuk dukungan kebijakan yang diberikan pemerintah dalam upaya mewujudkan pembangunan ekonomi lokal/daerah yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam rangka daya saing ekonomi daerah dan juga memeratakan pembangunan ekonomi nasional secara berkeadilan.

Pada bab kelima, memuat tiga contoh kasus klaster terpilih yang menggunakan konsep PEL. Ketiga klaster dijabarkan kondisi alam/fisik dan lingkungan, sosial, potensi ekonomi serta tantangan dan strategi pembangunannya yang memperlihatkan perbedaan diantara ketiganya. [rp]

Gambar 3. Faktor Keterkaitan Desa-Kota Menurut Douglass (1998)(sumber: Menjalin Desa-Kota: Upaya Membangun Indonesia dari Pinggiran, 2015)

18 buletin tata ruang & pertanahan

Page 21: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

dalam berita

Jakarta, (28/10) - Dalam rangka persiapan pelaksanaan Reforma Agraria sebagai tindak lanjut dari perwujudan kerangka RPJMN 2015-2019 dan RKP 2017 Prioritas Nasional (PN) Reforma Agraria, Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional Kementerian PPN/Bappenas melakukan roadshow ke sejumlah daerah untuk meninjau langsung kesiapan pelaksanaan program PN Reforma Agraria di lapangan. Tim koordinasi dibawah arahan Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian PPN/Bappenas ini mengadakan tinjauan ke 3 (tiga) daerah berbeda, yakni Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Jambi.

Pelaksanaan roadshow ini melibatkan sejumlah pihak, seperti Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (KemenATR/BPN), dan pemerintah daerah setempat. Roadshow ini dilakukan bertujuan antara lain agar terinformasikannya program PN Reforma Agraria ke daerah-daerah, teridentifikasinya faktor pendukung dan faktor penghambat percepatan Reforma Agraria, serta teridentifikasinya data dan informasi terkait konflik agraria yang ada di daerah.

Dari tinjauan yang dilakukan, Tim Reforma Agraria menemukan sejumlah masalah yang dihadapi oleh daerah, seperti proses pelaksanaan peraturan pertanahan yang masih belum tepat, kurangnya ketersediaan SDM pertanahan, dan ketiadaan masyarakat sebagai objek program.

Beberapa poin penting yang disampaikan oleh Tim Reforma Agraria pada setiap roadshow antara lain bahwa tujuan utama Reforma Agraria adalah untuk mengatasi ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T). Pelaksanaan Reforma Agraria meliputi kegiatan pemberian aset melalui redistribusi tanah dan legalisasi aset yang disertai/dilengkapi dengan pemberian akses melalui pemberdayaan masyarakat.

Program ini adalah upaya pembangunan yang melibatkan multi pihak sehingga dibutuhkan pemahaman semua pihak yang terlibat agar kegiatan ini dapat dijalankan sesuai tujuan. Tim Reforma Agraria mengharapkan kerjasama yang baik dengan pemerintah daerah. Diharapkan SKPD dapat melihat RKA K/L masing-masing untuk memastikan kegiatan Reforma Agraria sudah ada dalam RKA K/L sehingga dapat berjalan secara maksimal. [ik,rp]

Persiapan Pelaksanaan Reforma Agraria,Kementerian PPN/Bappenas Tinjau Sejumlah Daerah

Beberapa poin penting yang disampaikan oleh Tim Reforma Agraria pada setiap roadshow antara lain bahwa tujuan utama Reforma Agraria adalah untuk mengatasi ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T). Pelaksanaan Reforma Agraria meliputi kegiatan pemberian aset melalui redistribusi tanah dan legalisasi aset yang disertai/dilengkapi dengan pemberian akses melalui pemberdayaan masyarakat.

Program ini adalah upaya pembangunan yang melibatkan multi pihak sehingga dibutuhkan pemahaman semua pihak yang terlibat agar kegiatan ini dapat dijalankan sesuai tujuan. Tim Reforma Agraria mengharapkan kerjasama yang baik dengan pemerintah daerah. Diharapkan SKPD dapat melihat RKA K/L masing-masing untuk memastikan kegiatan Reforma Agraria sudah ada dalam RKA K/L sehingga dapat berjalan secara maksimal. [ik,rp]

Gambar. Lokakarya Reforma Agraria di Provinsi Kalimantan Barat(sumber: Dokumentasi TRP)

Muara Enim, (14/10) - Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan mendukung kegiatan pengembangan knowledge management (KM) Bappeda Kabupaten Muara Enim dengan cara memberikan pelatihan input data sistem KM di kantor Bappeda Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan pada tanggal 14 Oktober 2016. Sebelumnya di

Pelatihan Input Data Knowledge ManagementBappeda Kabupaten Muara Enim

tahun 2015 telah terjalin kerjasama dalam mengembangkan Knowledge Management di dalam struktur pemerintah daerah. Bentuk kerjasama yang dilakukan yaitu Penyusunan Database Sistem Knowledge Management Bappeda Kabupaten Muara Enim Tahun 2015. Di tahun 2016 ini Direktorat dilanjutkan kegiatan Knowledge Management berupa Penyusunan Sistem Informasi Pengelolaan Database Perencanaan Pembangunan Pemerintah Kabupaten Muara Enim.

Dalam pelatihan input data, para peserta yang terdiri person in charge (PIC) staf perwakilan bidang diperkenalkan interface dan menu-menu sistem aplikasi KM serta dilakukan praktik langsung untuk mengunggah dokumen. Di akhir acara, Tim Pengembangan KM meminta evaluasi dan masukan dari para staf guna mengembangkan sistem KM ke depan. Dengan berjalannya kegiatan KM di tahun ke 2 bagi Bappeda Kabupaten Muara Enim, diharapkan kabupaten penghasil batubara ini menjadi champion bagi kantor pemerintah lainnya di Provinsi Sumatera Selatan. [ra]

Muara Enim, (14/10) - Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan mendukung kegiatan pengembangan knowledge management (KM) Bappeda Kabupaten Muara Enim dengan cara memberikan pelatihan input data sistem KM di kantor Bappeda Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan pada tanggal 14 Oktober 2016. Sebelumnya di

Gambar. Pelatihan Input Data KM di Bappeda Kabupaten Muara Enim(sumber: Dokumentasi TRP)

19buletin tata ruang & pertanahan

Page 22: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

Jakarta, (11/10) - Guna mempertajam materi dan informasi terkait penyusunan visi pembangunan indonesia 2045-2085 di bidang penataan ruang dan wilayah serta pertanahan, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan mengadakan sejumlah Focus Group Discussion (FGD) dengan mengundang akademisi dan ahli sebagai narasumber. FGD diskusi diadakan sebanyak 2 (dua) kali dengan topik pembahasan yang berbeda. FGD pertama mengenai bidang penataan ruang dan wilayah, kemudian FGD kedua pembahasan mengenai bidang pertanahan. Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan mengundang dosen pengajar planologi ITB Ir. Andi Oetomo, M.PI. sebagai narasumber topik penataan ruang dan wilayah, serta Guru Besar Hukum Agraria UGM Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH, MCL, MPA. sebagai narasumber topik pertanahan.

Penyusunan Visi Pembangunan Indonesia 2045-2085 bermula dari time capsule Presiden Joko Widodo yang ditulis di akhir tahun 2015 berjudul “Impian Indonesia 2015-2085”, yang kemudian ditindaklanjut dalam Sidang Kabinet Paripurna tanggal 10 Februari 2016, Kementerian PPN/Bappenas mendapat arahan untuk menyusun Visi Pembangunan Indonesia Tahun 2045 dan 2085. Visi yang disusun diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam penyusunan rencana-rencana pembangunan kedepan. Saat ini, penyusunan visi akan difokuskan pada tahun 2045 yang bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan Indonesia.

Sebagai salah satu direktorat yang bertanggung jawab pada visi bidang Penataan Ruang dan Wilayah, Direktorat Tata

Ruang dan Pertanahan tengah menyusun masukan dari perspektif tata ruang dan pertanahan melalui diskusi yang mendalam.

Andi menjelaskan bahwa penyusunan Visi dapat dilakukan dengan scenario planning yang merupakan metode perencanaan strategis yang digunakan untuk membuat rencana jangka panjang yang fleksibel. Analisis akan menggabungkan fakta/informasi/trenyang diketahui tentang masa depan dengan driving forces. Driving forces adalah asumsi kondisi ideal yang dicita-citakan yang pada umumnya meliputi aspek Social, Technical, Economic, Environmental, dan Political (STEEP). Pada akhirnya akan ada 3 alternatif skenario yang bisa dipilih sesuai kondisi, yaitu skenario optimis, moderat, atau pesimis.

Andi melanjutkan bahwa pembangunan di tahun 2045 perlu difokuskan pada konflik antara manusia dengan alam maupun sekitarnya (faktor internal), bukan saja ke perilaku lawan (faktor eksternal). Tujuan utama visi seharusnya lebih kepada bagaimana merubah pola pikir/perilaku manusia terhadap ruang sekitarnya, serta melibatkan aspek hubungan antar sektor sehingga dalam pembangunan masa depan dapat terjalin perubahan yang sistemik. Mengambil contoh negara Singapura, Andi menjelaskan bagaimana peran negara merubah perilaku penduduknya untuk lebih taat peraturan melalui intervensi fisik (seperti desain ruang kota) maupun non fisik (penerapan aturan denda).

Dari segi pertanahan, Prof. Maria menjelaskan beberapa isu strategis yang perlu diperhatikan dalam pembangunan di tahun 2045, seperti (1) ketidakjelasan arah politik hukum bidang pengelolaan sumber daya alam (tanah, hutan, tambang) karena aturan sektoral yang saling tumpang tindih; (2) tingginya sengketa dan konflik pertanahan/agraria yang melibatkan berbagai pihak dan penanganan kasus memerlukan waktu yang cukup lama; (3) masih banyak masyarakat hukum adat yang keberadaannya belum diakui dan dilindungi; dan (4) ketimpangan penggunaan, pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah.

Berdasarkan isu tersebut, Maria mengusulkan beberapa hal yang perlu dicapai menjelang tahun 2045, seperti:Ÿ Harmonisasi UU sektoral yang mengatur SDA;Ÿ Pengaturan penggunaan ruang di atas tanah dan ruang

laut, termasuk kolom badan laut, melalui rezim perijinan.Ÿ Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan

masyarakat hukum adat;Ÿ Percepatan penyelesaian sengketa dan konflik, baik

dengan mengefektifkan badan peradilan umum dan peradilan TUN, maupun dengan membentuk komisi penyelesaian konflik agraria di tingkat nasional dan provinsi untuk penyelesaian kasus yang extraordinary

Melihat pertimbangan kedua ahli tersebut, maka Visi 2045 bidang penataan ruang dan wilayah diharapkan dapat menginisiasi perubahan sistemik, baik dalam arti mendorong harmonisasi antar sektor pembangunan, danmeningkatkan kapasitas dan kualitas masyarakatnya. [ep]

Diskusi Penyusunan Visi Pembangunan Indonesia 2045-2085Bidang Penataan Ruang dan Wilayah serta PertanahanJakarta, (11/10) - Guna mempertajam materi dan informasi terkait penyusunan visi pembangunan indonesia 2045-2085 di bidang penataan ruang dan wilayah serta pertanahan, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan mengadakan sejumlah Focus Group Discussion (FGD) dengan mengundang akademisi dan ahli sebagai narasumber. FGD diskusi diadakan sebanyak 2 (dua) kali dengan topik pembahasan yang berbeda. FGD pertama mengenai bidang penataan ruang dan wilayah, kemudian FGD kedua pembahasan mengenai bidang pertanahan. Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan mengundang dosen pengajar planologi ITB Ir. Andi Oetomo, M.PI. sebagai narasumber topik penataan ruang dan wilayah, serta Guru Besar Hukum Agraria UGM Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH, MCL, MPA. sebagai narasumber topik pertanahan.

Penyusunan Visi Pembangunan Indonesia 2045-2085 bermula dari time capsule Presiden Joko Widodo yang ditulis di akhir tahun 2015 berjudul “Impian Indonesia 2015-2085”, yang kemudian ditindaklanjut dalam Sidang Kabinet Paripurna tanggal 10 Februari 2016, Kementerian PPN/Bappenas mendapat arahan untuk menyusun Visi Pembangunan Indonesia Tahun 2045 dan 2085. Visi yang disusun diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam penyusunan rencana-rencana pembangunan kedepan. Saat ini, penyusunan visi akan difokuskan pada tahun 2045 yang bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan Indonesia.

Sebagai salah satu direktorat yang bertanggung jawab pada visi bidang Penataan Ruang dan Wilayah, Direktorat Tata

Gambar. “Impian Indonesia 2015-2085" ditulis oleh Presiden Joko Widodo(sumber: Antaranews.com)

20 buletin tata ruang & pertanahan

Page 23: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

Menengok Bumi Serambi Mekkah:12 Tahun Pasca Tsunami

Gempa dan Tsunami yang melanda Kota Banda Aceh 12 tahun silam membawa dampak yang cukup besar bagi kehidupan perkotaan masyarakat Banda Aceh dan sekitarnya. Berdasarkan informasi yang didapat dari laman daring pemerintah kota Banda Aceh (http://bandaacehkota.go.id), bencana yang memakan korban meninggal dan hilang hingga 61.065 jiwa ini membuat kerusakan di hampir 2/3 infrastruktur perkotaan yang ada pada saat itu, seperti 169 unit fasilitas pendidikan, 25 unit fasilitas kesehatan, 302 km jalan, 63 unit bangunan pemerintah, 9 bangunan pasar dan 46 fasilitas sosial, hancur dilanda gempa dan Tsunami 12 tahun silam. Namun, setelah 12 tahun berlalu, Pemerintah Kota Banda Aceh terus berbenah untuk dapat mewujudkan Kota Banda Aceh menjadi Model Kota Madani yang tangguh dan modern, hingga saat ini, yang dituang kedalam dokumen perencanaan seperti RPJMN, RPJMD, RTRW dan RKP Kota Banda Aceh.

Sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Kota Banda Aceh masuk kedalam daftar Kawasan Strategis Bidang Ekonomi dengan nama Kawasan Banda Aceh Darussalam yang mencakup Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, dan Kabupaten Pidie.

Kawasan Banda Aceh Darussalam ini merupakan arahan kebijakan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan peng-gerak ekonomi daerah pinggiran, yang berfungsi untuk: (1) meningkatkan produktivitas dan hilirisasi komoditas unggu-lan yang terintegrasi dengan kawasan di sekitarnya; (2) memberikan fasilitasi pengembangan industri-industri pe-ngolahan komoditas unggulan di kawasan; (3) meningkatkan konektivitas antar wilayah sekitarnya (desa, daerah terting-gal dan perbatasan) menuju pusat-pusat pertumbuhan lainnya; (4) mempercepat penyediaan infrastruktur yang mendukung pengembangan kawasan; serta (5) meningkat-

Arah Kebijakan kan kemampuan pengelolaan kawasan di wilayah belakangnya secara profesional. Kawasan ini juga akan mendukung pengembangan KSN KPBPB (Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas) Sabang, dimana Kota Banda Aceh sebagai kawasan hinterland-nya.

Sektor pariwisata di Aceh menjadi salah satu sektor yang menjadi sumber pendapatan daerah yang terus tumbuh dan berkontribusi aktif terhadap kegiatan sosial ekonomi masyarakat di Kota Banda Aceh. Pariwisata di Banda Aceh dikenal dengan istilah Wisata Halal/Wisata Islami, yang merupakan bagian dari industri pariwisata yang diperuntukkan bagi wisatawan Muslim dan merujuk pada aturan-aturan Islam. Ditambah Aceh berhasil menjadi pemenang di kategori World's Best Halal Cultural Destination dan Banda Sultan Iskandar Muda (SIM), Blang Bintang sebagai World's Best Airport for Halal Travelers pada awal bulan Desember tahun ini. Penghargaan ini menjadikan Indonesia dan Aceh pada khususnya menjadi

Tujuan Wisata Islami Dunia

ota Banda Aceh merupakan ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang memiliki nilai strategis dari segi lokasi yang Kberhadapan langsung dengan negara-negara Asia di bagian Selatan dan menjadi pintu masuk negara Indonesia di bagian Barat, dengan titik nol kilometer berada di Pulau W eh, Sabang. Terlebih, setelah dijadikannya Sabang sebagai salah satu lokasi pengembangan Kawasan Strategis Nasional (KSN), menempatkan posisi Kota Banda Aceh sebagai kawasan hinterland dari Kota Sabang yang memiliki peran penting dalam meningkatkan perekonomian kedua daerah tersebut. Dukungan tersebut terimplementasi dalam bentuk pemenuhan kebutuhan infrastruktur maupun mempersiapkan sumber daya manusia yang dapat bersaing dengan tenaga kerja luar negeri. Secara geografis, Kota Banda Aceh berbatasan langsung dengan Selat Malaka di sebelah utara, Kabupaten Aceh Besar di sebelah timur dan selatan, dan Samudera Indonesia di sebelah barat, yang terdiri dari 9

2(sembilan) kecamatan, 70 desa dan 20 gampong dengan luas wilayah total mencapai 61,35 Km .

melihat dari dekat

oleh: Mustanir Afif, S.T.Staf Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas RI

21buletin tata ruang & pertanahan

Gempa dan Tsunami yang melanda Kota Banda Aceh 12 tahun silam membawa dampak yang cukup besar bagi kehidupan perkotaan masyarakat Banda Aceh dan sekitarnya. Berdasarkan informasi yang didapat dari laman daring pemerintah kota Banda Aceh (http://bandaacehkota.go.id), bencana yang memakan korban meninggal dan hilang hingga 61.065 jiwa ini membuat kerusakan di hampir 2/3 infrastruktur perkotaan yang ada pada saat itu, seperti 169 unit fasilitas pendidikan, 25 unit fasilitas kesehatan, 302 km jalan, 63 unit bangunan pemerintah, 9 bangunan pasar dan 46 fasilitas sosial, hancur dilanda gempa dan Tsunami 12 tahun silam. Namun, setelah 12 tahun berlalu, Pemerintah Kota Banda Aceh terus berbenah untuk dapat mewujudkan Kota Banda Aceh menjadi Model Kota Madani yang tangguh dan modern, hingga saat ini, yang dituang kedalam dokumen perencanaan seperti RPJMN, RPJMD, RTRW dan RKP Kota Banda Aceh.

Sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Kota Banda Aceh masuk kedalam daftar Kawasan Strategis Bidang Ekonomi dengan nama Kawasan Banda Aceh Darussalam yang mencakup Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, dan Kabupaten Pidie.

Kawasan Banda Aceh Darussalam ini merupakan arahan kebijakan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan peng-gerak ekonomi daerah pinggiran, yang berfungsi untuk: (1) meningkatkan produktivitas dan hilirisasi komoditas unggu-lan yang terintegrasi dengan kawasan di sekitarnya; (2) memberikan fasilitasi pengembangan industri-industri pe-ngolahan komoditas unggulan di kawasan; (3) meningkatkan konektivitas antar wilayah sekitarnya (desa, daerah terting-gal dan perbatasan) menuju pusat-pusat pertumbuhan lainnya; (4) mempercepat penyediaan infrastruktur yang mendukung pengembangan kawasan; serta (5) meningkat-

Arah Kebijakan kan kemampuan pengelolaan kawasan di wilayah belakangnya secara profesional. Kawasan ini juga akan mendukung pengembangan KSN KPBPB (Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas) Sabang, dimana Kota Banda Aceh sebagai kawasan hinterland-nya.

Sektor pariwisata di Aceh menjadi salah satu sektor yang menjadi sumber pendapatan daerah yang terus tumbuh dan berkontribusi aktif terhadap kegiatan sosial ekonomi masyarakat di Kota Banda Aceh. Pariwisata di Banda Aceh dikenal dengan istilah Wisata Halal/Wisata Islami, yang merupakan bagian dari industri pariwisata yang diperuntukkan bagi wisatawan Muslim dan merujuk pada aturan-aturan Islam. Ditambah Aceh berhasil menjadi pemenang di kategori World's Best Halal Cultural Destination dan Banda Sultan Iskandar Muda (SIM), Blang Bintang sebagai World's Best Airport for Halal Travelers pada awal bulan Desember tahun ini. Penghargaan ini menjadikan Indonesia dan Aceh pada khususnya menjadi

Tujuan Wisata Islami Dunia

Gambar 1. Masjid Lampuuk(sumber: Dokumentasi Pribadi)

Page 24: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

salah satu destinasi wisatawan lokal maupun mancanegara. Aceh juga terkenal dengan wisata tsunaminya, seperti Museum Tsunami, PLTD Apung yang terdampar di tengah-tengah permukiman warga, Kuburan Massal (wisata religi), dan Masjid Lampuuk, sebagai salah satu mukjizat dari kejadian 12 tahun silam yang menjadi satu-satunya bangunan yang tertinggal di kawasan Lampuuk ketika tsunami menerjang kawasan tersebut.

Salah satu destinasi situs yang sangat menarik untuk dikunjungi yaitu ke PLTD Apung, sebuah kapal besar yang tadinya difungsikan sebagai pembangkit listrik. Kapal ini dihem-paskan sejauh 2,5 km dari pantai Ulee Lheu, lokasi asli kapal tersebut. Saat ini kapal ter-sebut terdampar di tengah-tengah perkampungan Punge Blang Cut. Menurut penuturan masyarakat, di bawah kapal tersebut banyak jasad para korban yang tertimpa kapal ini dan tidak bisa diangkut. Destinasi wisata bersejarah lainnya yang menarik yaitu Kapal Tsunami Lampulo, di daerah Lampulo. Kapal ini merupakan kapal nelayan yang tersangkut di atas sebuah rumah penduduk pada saat bencana tsunami 12 tahun yang lalu. Berkat kapal ini, nyawa 59 orang dapat tertolong.

Selain wisata sejarah, di Aceh juga terdapat wisata kuliner yang dapat dicoba oleh wisatawan, seperti Mie Aceh, Kopi Aceh, Ayam Tangkap, dan panganan kecil khas Aceh lainnya yang dapat dicoba oleh wisatawan.

Menengok Sejarah Melalui Situs

Salah satu budaya yang terkenal di kalangan masyarakat Aceh yaitu budaya “ngopi” atau minum kopi. Namun yang dilakukan oleh masyarakat bukan sembarang “ngopi”. Budaya “ngopi” di Aceh, terutama di kota-kota seperti Kota Banda Aceh banyak ditemukan justru di tempat-tempat seperti restoran maupun kafe yang sangat cocok untuk tempat berkumpul anak-anak muda. Uniknya, budaya ini tidak hanya dilakukan oleh beberapa lapisan masyarakat saja, namun seluruh lapisan masyarakat dari lapisan bawah hingga atas, bahkan pejabat pemerintahan seperti gubernur sekalipun. Dapat dibilang, budaya “ngopi” di Aceh ini bisa mempersatukan berbagai golongan yang ada di masyarakat Aceh.

Kejadian 12 tahun silam tidak dapat membuat semangat warga Aceh pudar, melainkan terus semangat untuk dapat bangkit dan berbenah diri. Pemerintah Aceh bersama dengan pemerintah Pusat terus berkoordinasi untuk pembangunan Kota Banda Aceh dan kota lainnya agar dapat meningkatkan perekononomian daerah dan taraf hidup masyarakat Aceh kedepannya. (af)

22 buletin tata ruang & pertanahan

Gambar 2. Kondisi bantaran sungai di Kota Banda Aceh saat ini, rapi dan tertata(sumber: Dokumentasi Pribadi)

salah satu destinasi wisatawan lokal maupun mancanegara. Aceh juga terkenal dengan wisata tsunaminya, seperti Museum Tsunami, PLTD Apung yang terdampar di tengah-tengah permukiman warga, Kuburan Massal (wisata religi), dan Masjid Lampuuk, sebagai salah satu mukjizat dari kejadian 12 tahun silam yang menjadi satu-satunya bangunan yang tertinggal di kawasan Lampuuk ketika tsunami menerjang kawasan tersebut.

Salah satu destinasi situs yang sangat menarik untuk dikunjungi yaitu ke PLTD Apung, sebuah kapal besar yang tadinya difungsikan sebagai pembangkit listrik. Kapal ini dihem-paskan sejauh 2,5 km dari pantai Ulee Lheu, lokasi asli kapal tersebut. Saat ini kapal ter-sebut terdampar di tengah-tengah perkampungan Punge Blang Cut. Menurut penuturan masyarakat, di bawah kapal tersebut banyak jasad para korban yang tertimpa kapal ini dan tidak bisa diangkut. Destinasi wisata bersejarah lainnya yang menarik yaitu Kapal Tsunami Lampulo, di daerah Lampulo. Kapal ini merupakan kapal nelayan yang tersangkut di atas sebuah rumah penduduk pada saat bencana tsunami 12 tahun yang lalu. Berkat kapal ini, nyawa 59 orang dapat tertolong.

Selain wisata sejarah, di Aceh juga terdapat wisata kuliner yang dapat dicoba oleh wisatawan, seperti Mie Aceh, Kopi Aceh, Ayam Tangkap, dan panganan kecil khas Aceh lainnya yang dapat dicoba oleh wisatawan.

Menengok Sejarah Melalui Situs

Gambar 3. Situs Bersejarah Kapal PLTD Apung(sumber: Dokumentasi Pribadi)

Salah satu budaya yang terkenal di kalangan masyarakat Aceh yaitu budaya “ngopi” atau minum kopi. Namun yang dilakukan oleh masyarakat bukan sembarang “ngopi”. Budaya “ngopi” di Aceh, terutama di kota-kota seperti Kota Banda Aceh banyak ditemukan justru di tempat-tempat seperti restoran maupun kafe yang sangat cocok untuk tempat berkumpul anak-anak muda. Uniknya, budaya ini tidak hanya dilakukan oleh beberapa lapisan masyarakat saja, namun seluruh lapisan masyarakat dari lapisan bawah hingga atas, bahkan pejabat pemerintahan seperti gubernur sekalipun. Dapat dibilang, budaya “ngopi” di Aceh ini bisa mempersatukan berbagai golongan yang ada di masyarakat Aceh.

Kejadian 12 tahun silam tidak dapat membuat semangat warga Aceh pudar, melainkan terus semangat untuk dapat bangkit dan berbenah diri. Pemerintah Aceh bersama dengan pemerintah Pusat terus berkoordinasi untuk pembangunan Kota Banda Aceh dan kota lainnya agar dapat meningkatkan perekononomian daerah dan taraf hidup masyarakat Aceh kedepannya. (af)

Gambar 4. Situs Bersejarah Kapal Tsunami Lampulo(sumber: Dokumentasi Pribadi)

Page 25: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

Status RTRW Provinsi/Kabupaten/KotaSeluruh Indonesia(status tanggal 29 Oktober 2016)

tatus penetapan Perda RTRW Provinsi dan Kabupaten/ SKota hingga Oktober 2016 adalah sebagai berikut:Ÿ Sebanyak 30 (85%) dari 34 Provinsi telah menetapkan

Perda RTRW ProvinsiŸ Sebanyak 362 (87%) dari 415 Kabupaten telah

menetapkan Perda RTRW Kabupaten; dan Ÿ 88 (95%) dari 93 Kota telah menetapkan Perda RTRW

Kota

RTRW Provinsi

Total Daerah

Proses di Daerah

Pembahasan BKPRN

Sudah Mendapat

Persetujuan Substansi

Menteri

Perda RTRW

34 0 0 4 30 88.23 %

Terdapat 4 (empat) Provinsi yang belum menetapkan Perda RTRW yaitu: 1) Provinsi Sumatera Utara; 2) Provinsi Riau; 3) Provinsi Kepulauan Riau; dan 4) Provinsi Kalimantan Utara. Ditargetkan pada akhir tahun 2016, RTRW 4 (empat) Provinsi tersebut telah dapat dilegalisasi menjadi perda.

RTRW Total

Daerah Penyusunan

Rekom Gub

Pembahasan BKPRN

Sudah Mendapat

Persetujuan Substansi

Menteri

Perda RTRW

Kabupaten 415 2 6 4 41 362 87.22 % Kota 93 0 0 0 5 88 94.62 % Jumlah 508 2 6 4 46 446 88.60%

Gambar 1. Status Monitoring RTRW Provinsi di Indonesia yang belum disahkan menjadi Peraturan Daerah (Perda)(sumber: Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI)

Tabel 1. Perkembangan RTRW Provinsi di Indonesia

Tabel 2. Perkembangan RTRW Kabupaten dan Kota di Indonesia

RTRW Total

Daerah Penyusunan

Rekom Gub

Pembahasan BKPRN

Sudah Mendapat

Persetujuan Substansi Menteri

Perda RTRW

Sumatera

Kabupaten 120 0 2 1 24 93 77.50%

Kota 34 0 0 0 4 30 88.24%

Jumlah 154 0 2 1 28 123 79.22%

Jawa dan Bali

Kabupaten 92 0 1 0 0 91 98.91%

Kota 30 0 0 0 0 30 100.00%

Jumlah 122 0 1 0 0 121 99.18%

Kalimantan dan Sulawesi

Kabupaten 117 2 3 2 13 97 82.00% Kota 20 0 0 0 1 19 95.00%

Jumlah 137 2 3 2 14 116 82.48%

Nusa

Tenggara, Maluku, dan

Papua

Kabupaten 86 0 0 1 4 81 94.18%

Kota 9 0 0 0 0 9 100.00%

Jumlah 95 0 0 1 4 90 94.73%

Tabel 3. Perkembangan RTRW Kabupaten/Kota di Indonesia per Pulau(per Oktober 2016)

data & informasi

23buletin tata ruang & pertanahan

87%

13%

95%

5%

: Sudah Perda : Belum Perda

85%

Provinsi Kabupaten Kota

15%

Gambar 1. Grafik Persentase Status RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia(per Oktober 2016)

Page 26: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

Status Tingkat Cakupan Peta Dasar Pertanahandi Luar Kawasan Hutan se-Indonesia(status Tahun 2016)

P roses pengolahan data cakupan peta dasar pertanahan dilakukan secara spasial dengan menghitung luas

cakupan peta pada lembar-lembar Peta Dasar Pertanahan yang didapatkan dari Direktorat Pemetaan Dasar Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN.

Perhitungan dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek teknis berikut; (1) Data spasial cakupan peta dasar pertanahan Kemen. ATR/BPN perlu diolah agar tidak terdapat area yang bertampalan; (2) Pada wilayah yang saling bertampalan, perlu dilakukan penggabungan menjadi satu area gabungan, sehingga tidak terjadi double counting daerah cakupan pada area yang sama; (3) Wilayah laut dan wilayah kawasan hutan yang masuk dalam lembar peta dasar pertanahan, tidak dimasukkan dalam perhitungan cakupan peta dasar pertanahan; (4) Sesuai arahan BIG, perhitungan luas menggunakan proyeksi Lambert Cylindrical Equal-area Projection.

Kementerian ATR/BPN pada tahun 2016 melakukan kegiatan pembuatan Peta Dasar Pertanahan untuk skala 1:1000 dan skala 1:2500. Data cakupan peta dasar pertanahan di luar kawasan hutan tahun 2016 yang diperoleh dari Kemen. ATR/BPN merupakan data AOI (Area of Interest). Cakupan Peta Dasar Pertanahan hingga tahun 2016 berdasarkan data dari Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar Kementerian ATR/BPN sebesar 29,37 Juta Ha (45,67 % dari luas kawasan budidaya).

Gambar 1. Status Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Indonesia Tahun 2015(sumber: Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI)

Cakupan Pe ta Dasar Pertanahan Tingkat Persentase Cakupan

Sumatera

Nanggroe Aceh Darussalam

89,96%

Sumatera Utar a 40,49% Sumatera Barat 76,93% Riau 4,9 5% Kepulauan R iau 56,95% Jambi 10,56% Bengkulu 29,71%

Sumatera Selatan 36,27% Kep. Bangka Belitu ng 33,38% Lampung 74,18%

Jawa

Banten 27,36% DKI Jakarta 9,3 2% Jawa Barat 77,10% Jawa Tengah 76,75% D.I. Yogyakarta 99,98% Jawa Timur 21,47%

Bali & Nusa Tenggara

Bali 99,69% Nusa Tenggara Barat 74,45% Nusa Tenggara Timur 94,43%

Kalimantan

Kalimantan Ba rat 27,41% Kalimantan Tengah 26,42% Kalimantan Se latan 86,79% Kalimantan T imu r 19,82%

Kalimantan Uta ra 36,28%

Sulawesi

Sulawesi Utara 82,32% Gorontalo 92,23% Sulawesi Tengah 32,66% Sulawesi Barat 61,11% Sulawesi Tenggara 73,88%

Sulawesi Selatan 42,11%

Maluku & Papua

Maluku Utara 31,85% Maluku 37,25% Papua Barat 11,24% Papua 5,3 8%

Tabel. Tingkat Persentase Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Indonesia Tahun 2016

Sumber: Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN RI, 2016

24 buletin tata ruang & pertanahan

Page 27: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

Berita Tata Ruang dan Pertanahan (Juli - Desember 2016)

kliping berita

JULI

AGUSTUS

Percepat Pembebasan Lahan

Pemerintah telah menyiapkan Lembaga Manajemen Aset Negara untuk membebaskan lahan bagi proyek-proyek yang terkait dengan kepentingan publik. Keberadaan lembaga tersebut diharapkan mempercepat pembebasan lahan.Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219 Tahun 2015.

Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mekanisme dana talangan untuk pembeba-san lahan jalan tol hanya berjalan hingga akhir tahun ini. Saat ini, komitmen dana talangan mencapai Rp 20,2 triliun. Setelah itu, pemerintah akan menyediakan dana pembeba-san lahan untuk kepentingan publik, termasuk jalan tol, me-lalui LMAN. Dana talangan yang saat ini disediakan badan usaha akan diganti oleh LMAN. Hal itu diatur melalui pe-raturan presiden yang akan terbit pada Agustus 2016. (Kompas, 16 Juli 2016)

Tol Udara, Solusi Alternatif di Papua

Kebijakan tol udara dinilai sebagai solusi alternatif untuk menekan masalah disparitas harga yang terjadi di daerah pegunungan tengah Papua. Sementara proyek pembangu-nan Trans-Papua di seluruh wilayah pegunungan masih membutuhkan waktu cukup lama.

Saat ini ada 11 ruas jalan Trans-Papua yang belum tersam-bung, yakni Sorong-Manokwari, Manokwari-Nabire, Nabire-Enarotali-Sugapa, Sugapa-Beoga-Ilaga, Wamena-Jayapura, Wamena-Kenyam, Kenyam-Deikai, Deikai-Oksibil, Oksibil-Waropko, Waropko-Tanah Merah-Merauke, dan Waigete-Timika.

Hingga akhir 2015, sepanjang 700,2 kilometer jalan belum

dibuka, masih hutan. Tahun ini Balai Besar Jalan Nasional (BBJN) X Wilayah Papua dan Papua Barat hanya menar-getkan pengerjaan sepanjang 243,7 kilometer. Jika tak ada gangguan keamanan dan masalah biaya, proyek Trans-Papua selesai 2018.

Sekretaris Daerah Kabupaten Lanny Jaya Christian Sohilait mengatakan, pembangunan jalan yang menghubungkan seluruh wilayah pegunungan tengah Papua memerlukan waktu cukup lama. "Dengan adanya kebijakan tol udara, kami hanya membutuhkan bantuan pengadaan pesawat perintis dan pengurusan izin yang mudah. Pesawat bisa digunakan untuk memberikan pelayanan ke distrik atau kampung di pedalaman," katanya. (Kompas, 2 Agustus 2016)

Buruknya Pengelolaan Membuat Tanah Pemerintah Hilang

Data aset pertanahan selama ini dinilai buram. Akibat faktor pencatatan dan pengawasan yang lemah, kurangnya informasi mengenai aset Pemprov DKI itu dimanfaatkan oknum pejabat, pegawai negeri sipil (PNS), dan mafia tanah untuk menggelapkan atau memperjualbelikan aset daerah.

Ketua Panitia Khusus Aset DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengatakan, pengawasan yang paling pelik terjadi pada aset daerah yang belum lengkap dokumennya dan dikuasai pihak lain di lapangan. Ketidakcermatan pada proses serah terima, pencatatan, serta pengelolaannya membuat sebagian aset berpindah tangan.

Akumulasi sejumlah kekurangan itu membuat Pemprov DKI sering kalah di pengadilan. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan aset tanah semester I-2014, misalnya, ada 35 bidang tanah Pemprov DKI senilai Rp 7,9 triliun yang digugat pihak ketiga. Pemprov DKI dinyatakan kalah pada 11 bidang tanah di antaranya.Dari 11 kasus itu saja, Pemprov DKI kehilangan 6,72 hektar lahan senilai Rp 259 miliar.

Modusnya, mereka sengaja menghilangkan catatan pembelian atau bukti kepemilikan. Hal ini berkaca pada beberapa kasus pengadaan tanah yang bermasalah. ”Setelah dihilangkan, ada orang yang memiliki surat yang

isparitas pembangunan antarwilayah di Indonesia tercermin dari pelaksanaan kebijakan tol udara di daerah pegunungan D tengah Papua. Tol udara dinilai sebagai solusi alternatif untuk menekan masalah perbedaan harga komoditas di Papua karena proyek pembangunan trans-Papua di seluruh wilayah pegunungan masih membutuhkan waktu cukup lama. Sementara itu pembangunan di wilayah Barat seperti di pulau Jawa masih bergelut dengan pendataan aset tanah milik negara. Hal ini membuat Presiden Joko Widodo mendesak Kementerian ATR/BPN untuk segera menyelesaikan 120 juta bidang tanah yang belum bersertifikat. Selama 71 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, baru 46 juta bidang tanah yang sudah memiliki sertifikat.

25buletin tata ruang & pertanahan

Page 28: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

solusi bermasalah. Daripada membangun pusat pertumbu-han baru di utara Jakarta, disarankan pemerintah mengem-bangkan kawasan pesisir lain Indonesia, sebagai-mana visi Presiden untuk membangun dari pinggiran. Pembangunan pulau reklamasi dan tanggul laut ini akan menyebabkan pelambatan arus dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Pada akhirnya akan meningkatkan konsentrasi sedimen, logam berat, dan limbah organik di Teluk Jakarta.

Kondisi Jakarta yang buruk saat ini disebabkan obsesi pertumbuhan tinggi selama 40 tahun terakhir yang memicu hancurnya daya dukung lingkungan, selain kesenjangan spasial kian lebar. "Indeks gini nasional 0,40, ada di ambang

batas berbahaya bagi kesatuan bangsa," ujar Daniel Rosyid, Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). (Kompas, 1 Oktober 2016)

Satker Sapu Bersih Mafia Tanah Segera Dibentuk

Kementerian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) berencana membentuk satuan kerja Sapu Bersih (Saber) Mafia Tanah untuk memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah masyarakat. Oleh sebab itu, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil telah membentuk tim task force guna mencegah dan mengejar mafia tanah demi terciptanya kenyamanan investasi.

Sofyan menargetkan bisa melakukan pecepatan sertifikasi terhadap 5 juta bidang tanah pada 2017, 7 juta bidang tanah pada 2018, dan 9 juta tanah pada 2019 sehingga pada 2025 nanti semua tanah di Indonesia bisa terdaftar dan diketahui luas serta pemilik tanahnya. Untuk merealisasikannya, Sofyan akan merekrut juru ukur swasta berlisensi sebanyak 2.500 hingga 3.000 orang pada 2017 nanti.

Sofyan optimistis pengangkatan juru ukur independen ber-lisensi ini akan mendapat banyak peminat lantaran beberapa universitas dan perguruan tinggi seperti ITB banyak meng-hasilkan sarjana di bidang geodesi.

“Kami akan perkenalkan juru ukur berlisensi maka target

sama, menggugat, lalu dibeli kembali oleh Pemprov. Lingkarannya seperti itu,” ujar Febri Hendri dari Indonesia Corruption Watch. (Kompas, 8 Agustus 2016)

Kendalikan Pembangunan di Jakarta

Pembangunan tidak terkendali di kawasan Jakarta tidak hanya berdampak terhadap persoalan administrasi dan sosial. Daya dukung lingkungan, utamanya kondisi bawah permukaan, belum menjadi perhatian utama dalam pemba-ngunan. Ekstraksi air tanah berlebihan terus terjadi. Ditam-bah pembangunan terus-menerus yang mengubah perun-tukan lahan berimbas pada semakin luasnya daerah wilayah banjir di wilayah DKI.

Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Robert Delinom, kemarin, mengatakan, kondisi yang terjadi saat ini harus diatasi dengan sejumlah hal. Paling utama adalah zonasi wilayah pembangunan, dari utara ke selatan.Wilayah utara paling tinggi laju penurunan tanahnya.Karena itu, sudah seharusnya di wilayah tersebut tidak dibangun bangunan tinggi lagi.

Wilayah tengah bisa difokuskan pada area perkantoran dan bangunan tinggi. Sebab, zona ini memiliki kondisi geologi yang lebih stabil. Meski begitu, pengambilan air tanah wajib dikontrol dan setiap gedung harus memiliki sumur resapan. Adapun wilayah selatan adalah zona penyangga air tanah. Cocok untuk permukiman dengan halaman luas. Di wilayah ini fokus pada akselerasi pasokan air ke dalam akuifer.

Akan tetapi, dalam realitasnya, pembangunan gedung tinggi, pengambilan air tanah terus terjadi di semua zona. Bahkan, pemerintah memberikan kelonggaran kepada perusahaan untuk menambah tinggi bangunan dengan catatan membayar selisih koefisien luas bangunan. (Kompas, 1 September 2016)

Simalakama Pembangunan

Banjir yang melanda Jakarta pada 2007 memberi inspirasi bagi proyek pembuatan tanggul raksasa. Antara tahun 2009 dan 2012, cetak biru proyek Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS) mulai dibuat. Pendekatan utama proyek ini ialah membangun 3 baris lini pertahanan laut dalam 20-30 tahun ke depan. Pada 2013, Proyek JCDS lalu diikuti Program Pengembangan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (PTPIN) atau yang dikenal sebagai NCICD. Dalam cetak birunya, pembangunan tanggul di pesisir dan penataan sani-tasi adalah bagian dari fase A atau pertama proyek ini. Ada-pun reklamasi 17 pulau merupakan fase B dan tanggul laut adalah fase C.

Firdaus Ali, pengajar Teknik Lingkungan di Departemen Teknik Sipil, Universitas Indonesia, mengatakan, reklamasi dan tanggul laut raksasa jadi jawaban atas masalah Jakarta. "Daya dukung ruang Jakarta amat rendah, sementara kita tak bisa ekspansi ke Bekasi atau Tangerang." ucapnya.Meski demikian, NCICD dianggap sejumlah ahli lain sebagai

SEPTEMBER

OKTOBER

26 buletin tata ruang & pertanahan

Page 29: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

Energi dan Sumber Daya Mineral) menyusun peta prediksi longsor bulanan sesuai ancaman curah hujan yang akan terjadi," ujar Sutopo. Namun, sebagian besar peta itu belum jadi dasar penyusunan dan implementasi rencana tata ruang wilayah. (Kompas, 17 November 2016)

Jokowi Desak Kementerian Agraria Percepat Penyelesaian Puluhan Juta Sertifikat Tanah

Presiden RI Joko Widodo mengungkapkan, masih ada 120 juta bidang tanah yang belum bersertifikat di negeri ini. Selama 71 tahun perjalanan RI, baru 46 juta bidang tanah saja yang sudah memiliki sertifikat. Itu berarti, lebih dari 60 persen lagi dalam proses penyelesaian yang begitu lamban. Presiden pun mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang maupun Badan Pertanahan Nasional lebih gencar menyelesaikan tanah-tanah yang belum bersertifikat ini. Pemerintah tentu menyadari akan kendala yang dihadapi badan pertanahan. Namun presiden meminta para pejabatnya berpikir cerdas dalam mengatasi persoalan ini.

“Tidak usah pakai PNS (bila kurang personel). Pakai uji kompetensi saja, langsung jadikan juru ukur. Kalau tidak, tidak akan selesai masalah ini. Hal seperti ini yang akan kita kejar terus dan mulai tahun depan. Dan, tahun depan saya enggak mau seperti sekarang, baginya 1.000-2.000 (sertifikat). Saya maunya baginya 20.000-40.000 ke setiap kota dan kabupaten.” kata Jokowi. (Kompas, 5 Desember 2016)

Bank Data Dibangun

Citra Satelit Resolusi Tinggi yang diperlukan kementerian dan pemerintah daerah bisa dilayani Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Citra resolusi kurang dari empat meter tersedia di Bank Data Penginderaan Jauh Nasional. Pembangunan bank data jadi prioritas lembaga itu.

Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN, Orbita Roswintiarti, menjelaskan, citra penginderaan jauh satelit diterima stasiun bumi LAPAN di dua lokasi, yakni di Pare-pare (Sulawesi Selatan) dan Bogor (Jawa Barat). Untuk pemetaan skala 1 : 50.000 yang diperlukan Badan Informasi Geospasial, LAPAN memasok citra satelit Landsat dan SPOT. Data citra Landsat dan SPOT termasuk area hutan bebas awan, cakupannya lebih dari 95 persen wilayah Indonesia.

Namun, LAPAN harus membeli citra resolusi amat tinggi (CSRST) sampai 60 sentimeter. Data itu tersedia untuk tahun 2012-2015 dari penyedia data, yakni Airbus DS dan Digital Globe. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat butuh CSRST untuk peta pertanahan dan jaringan irigasi, BIG untuk peta desa, Kementerian Pertanian untuk peta sawah dan perkebunan, serta pemda perlu CSRST untuk rencana detail tata ruang. (Kompas, 7 Desember 2016)

DESEMBER

yang ambisius bisa dikerjakan. Jadi nanti siapa saja yang memerlukan jasa juru ukur tinggal pergi ke juru ukur swasta ini, nanti akan kami buat Kantor Jasa Juru Ukur seperti misalnya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)," jelas dia. (Kompas Online, 24Oktober 2016)

Sistem Informasi Geospasial Desa Dirintis

Sistem Informasi Geospasial Desa (SIGDes) dan pemetaan wilayah serta batasnya menjadi unsur dasar perencanaan pembangunan desa atau kelurahan. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2015, Indonesia mempunyai 74.754 desa dan 8.430 kelurahan. Penyediaan informasi geospasial menjadi tantangan berat bagi Badan Informasi Geospasial (BIG) karena banyak desa dan kelura-han harus dipetakan, serta keterbatasan dana dan sumber daya manusia. Sejak 2015, BIG mendorong percepatan

peta batas desa dan telah dilakukan di 222 desa di Kabupaten Temanggung, 401 desa di Kabupaten Klaten, 199 desa di Kabupaten Sragen, serta 67 desa di Boyolali. Pada 2016, BIG akan menuntaskan pemetaan 372 desa di Kabupaten Magelang.

Tahun ini Jateng mengembangkan pembangunan desa melalui model Membangun Desa Berdikari. Jadi, satuan kerja perangkat daerah membangun Sistem Informasi Desa (SID) Jateng dengan membuat peta desa sesuai kebutuhan. Peta-peta tematik desa yang terkumpul di SID Jateng dipakai untuk analisis wilayah dan perencanaan pembangunan desa. (Kompas, 14 November 2016)

Longsor Meningkat, Kajian Minim Terapan

Kejadian longsor cenderung meningkat sepuluh tahun terakhir. Berbagai kajian mengurangi risiko longsor atau memitigasi dampak bencana sudah tersedia, tetapi implementasi kajian itu lemah di daerah-daerah. Salah satu yang utama yakni kajian tata ruang.

Mitigasi bencana, struktural dan non-struktural, masih amat minim sehingga longsor terus mengancam. Padahal, kajian-kajian untuk membantu mitigasi atau pengurangan risiko bencana tersedia. Contohnya, daerah rawan longsor sudah dipetakan berskala 1 : 250.000 dan dibagikan kepada seluruh pemerintah daerah. "Bahkan, PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Kementerian

NOVEMBER

27buletin tata ruang & pertanahan

Page 30: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

Agenda Tata Ruang dan Pertanahan (Januari - Juni 2017)

28 buletin tata ruang & pertanahan

JANUARI

1 Evaluasi Pelaksanaan Kerja Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Tahun 2016

2 Penyusunan Rencana Kerja Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Tahun 2017

3 Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) bidang tata ruang pertanahan Tahun 2018

4 Penyusunan rencana kerja Sekretariat Reforma Agraria Nasional (RAN) 2017

5 Koordinasi Penyusunan Rencana Kerja Forum Komunikasi Tata Ruang

FEBRUARI

1 Pembahasan Trilateral Meeting penyusunan RKP 2018 bidang tata ruang dan pertanahan

2 Pertemuan Koordinasi Sekretariat Reforma Agraria Nasional (RAN) 2017

3 Penyusunan kegiatan Knowledge Management (KM) Tahun 2017 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan

4 Penyusunan Laporan Kinerja (LKj) Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Tahun 2016

5 Penyusunan Buletin Tata Ruang dan Pertanahan Edisi I Tahun 2017

MARET

1 Rapat teknis pelaksanaan kegiatan sekretariat Reforma Agraria Nasional (RAN) 2017

2Pengumpulan dan pengolahan bahan, data dan informasi untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas Forum Komunikasi Tata Ruang

3 Pelaksanaan kegiatan informasi dan pengetahuan melalui website www.trp.or.id dan www.tataruangpertanahan.co.id

APRIL

1 Koordinasi pelaksanaan Sekretariat Reforma Agraria Nasional (RAN) Tahun 2017

2 Mengikuti pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas)

3 FGD kegiatan Knowledge Management Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan

MEI

1 Kunjungan lapangan dalam mendukung kegiatan Sekretariat Reforma Agraria Nasional (RAN)

2 Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan bidang tata ruang dan pertanahan

JUNI

1 Koordinasi penyusunan media sosialisasi terkait tata ruang seperti pamflet, newsletter, undang-undang

2 Penerbitan Buletin Tata Ruang Pertanahan Edisi I Tahun 2017

Page 31: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella
Page 32: Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong ... TRP II-2016_draft 1... · susunan redaksi Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella

Direktorat Tata Ruang dan PertanahanKementerian PPN/Bappenas

Jl. Taman Suropati No.2 Gedung Madiun Lt.3Jakarta 10310

e-mail: [email protected] website: http://www.trp.or.id