bronkiektasis tyas
Post on 08-Dec-2015
57 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya
dilatasi (ektasis) dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan
berjalan kronik, persisten atau irrevesibel. Kelainan bronkus tersebut
disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa
destruksi elemen elastis, otot polos brokus, tulang rawan dan pembuluh-
pembuluh darah. Brokus yang terkena umumnya adalah bronkus ukuran
sedang (medium size), sedangkan bronkus besar umumnya jarang. (Aru W.
Sudoyo et al, 2006)
Bronkiektasis pertama kali dijelaskan oleh Leannec pada 1819,
adalah suatu keadaan dilatasi abnormal dari bronkus dan bronkiolus yang
berkaitan dengan infeksi dan inflamasi saluran napas yang berulang.
(O’Donnel, 2008)
Ada laporan tentang prevalensi tinggi didapatkan pada populasi
yang relatif terisolasi dengan akses yang sulit ke perawatan kesehatan dan
tingginya tingkat infeksi pernapasan pada anak, seperti Alaska Pribumi di
Delta Yukon-Kuskokwim. (Barker AF, 2002)
Penelitian baru- baru ini didapatkan sekitar 110.000 pasien dengan
bronkiektasis di Amerika serikat. Yang dimana penyakit ini sering terjadi
pada usia tua dengan duapertiga adalah wanita. Weycker et al melaporkan
prevalensi bronkiektasis di Amerika Serikat 4,2 per 100.000 orang dengan
usia 18-34 tahun dan 272 per 100.000 orang dengan usia 75 tahun. Tsang
dan Tipoe, melaporkan prevelensi bronkiektasis 1 per 6.000 orang di
Auckland, New Zealand. Didapatkan peningkatan frekuensi bronkiektasis
dikarenakan penggunaan CT-Scan resolusi tinggi. (Fauci et al, 2008;
O’Donnel, 2008)
1
BAB II
BRONKIEKTASIS
I. Dasar-dasar Radiologi
Sinar X adalah bagian yang disebut spectrum elektromagnetik.
Spektrum ini terentang dari gelombang wireless pada ujung jauh dari
spektrum sampai ke sinar kosmik pada ujung dekat spektrum. Karena
panjang gelombangnya pendek, maka sinar X dapat menembus bahan
yang tidak tertembus sinar yang terlihat. Hal ini terungkap pada tahun
1895 oleh Conrad Roentgen yang kemudian menjadi ahli fisika Jerman
yang terkenal. Penemuan ini merupakan titik awal untuk radiologi
kedokteran modern dan radioterapi, serta untuk banyak ilmu pengetahuan
non medik lain yang telah berkembang bertahun-tahun dalam pemakaian
sinar X. Alat-alat sinar X modern memang sangat canggih, tetapi cara
pembuatan sinar X tetap sama dengan dasar yang digunakan oleh
Roentgen sendiri. Arus listrik bertegangan tinggi berjalan sepanjang
tabung hampa udara. Lalu terjadi aliran elektron dari elemen logam yang
dipanasi dengan listrik (katoda), yang menabrak logam sasaran (anoda)
setelah menembus ruang hampa udara. Bila sorotan elektron menabrak
anoda, maka sinar X akan terpancar. 16
Daya tembus sinar X berlainan sesuai dengan benda yang
dilaluinya. Benda-benda yang ditembus sinar X akan memberikan
gambaran hitam (radiolusen). Benda-benda yang sukar ditembus oleh sinar
X akan memberikan gambaran putih (radioopak). Diantaranya terdapat
bayangan perantara yaitu tidak terlalu hitam atau radiolusen sedang
(moderately radiolucent) dan tidak terlalu putih atau radioopak sedang
(moderately radioopaque). Diantara radioopak sedang dan radiolusen
sedang terdapat bayangan keputih-putihan (intermediate). Berdasarkan
mudah tidaknya ditembus sinar X, maka bagian tubuh dapat dibedakan
atas: radiolusen (gas, udara), radiolusen sedang (jaringan lemak), keputih-
2
putihan (jaringan ikat, otot, darah, kartilago, epitel, batu kolesterol, batu
asam urat), radioopak sedang (tulang, garam kalsium), radioopak (logam-
logam berat). 17
Conrad Roentgen dalam penyelidikan selanjutnya segera
menemukan hampir semua sifat sinar rontgen, yaitu sifat fisika dan
kimianya. Namun ada sifat yang tidak diketahuianya, yaitu terdapat sifat
biologis yang dapat merusak sel-sel hidup. Sifat yang ditemukan Conrad
Roentgen bahwa sinar ini bergerak dalam garis lurus, tidak dipengaruhi
oleh lapangan magnetik dan mempunyai daya tembus semakin kuat
apabila tegangan listrik yang digunakan semakin kuat, sedangan diantara
sifat-sifat lainya ialah bahwa sinar-sinar ini menghitamkan kertas potret. 18
Pengaruh radiasi pada organ tubuh manusia dapat bermacam-
macam bergantung pada jumlah dosis dan luas lapangan radiasi yang
diterima. Pengaruh negatif dari sinar X adalah sebagai berikut: Luka
permukaan yang dangkal: kerusakan kulit, epilasi, kuku rapuh; Kerusakan
hemopoeitik : limfopeni, leukopeni, anemia, leukemia, kehilanagn respon
terhadap respon spesifik; Induksi keganasan: leukemi, karsinoma kulit,
sarcoma; Berkurangnya kemungkinan hidup; Aberasi genetik: mutasi gen
langsung, perubahan kromosom; Efek-efek lainya: katarak lentikuler,
obesitas, sterilitas sementara dan permanen. Reaksi luka permukaan yang
dangkal dapat timbul segera atau setelah lama terpapar. Reaksi yang
segara timbul dapat menyerupai luka bakar. Dosis maksimal untuk kulit
yang masih dapat diberikan tidak diketahui, tetapi pada setiap pekerja yang
tiap harinya berhubungan dengan sinar X diperkirakan dosisnya kurang
dari 1 rad (rad=satuan dosis serap) per hari. Radiasi sinar X yang
berlangsung lama (kronis) atau bertahun-tahun telah terbukti dapat
menimbulkan karsinoma kulit. 17
Sampai saat ini pemeriksaan radiologis yang paling sering
digunakan dalam membantu mendiagnosis TB adalah foto thorax.
3
Computed Tomography scan (CT-Scan) thorax hanya digunakan pada
keadaan tertentu. Kelainan foto thorax biasanya baru terlihat setelah 10
minggu setelah terinfeksi oleh kuman TB. Bila secara klinis ada gejala TB
paru, hampir pasti ada kelainan pada foto thorax. Bila secara klinis ada
gejala TB paru, tetapi foto thorax tidak memperlihatkan kelainan, hal ini
merupakan tanda kuat bukan TB. Pada pemeriksaan rutin bisa ditemukan
kelainan foto thorax sesuai dengan TB, tanpa disertai gejala klinis yang
sesuai dengan TB. Lesi-lesi berukuran 2 mm sudah dapat dilihat dengan
foto thorax walaupun secara klinis belum ada gejala. Dari bentuk kelainan
yang terdapat pada foto thorax bisa didapatkan kesan TB primer, post
primer, TB aktif atau tenang. Disamping membantu menegakkan
diagnosis, foto thorax berperan penting untuk dokumentasi, menilai
tindakan yang dilakukan serta mengontrol keberhasilan terapi. 19
a. Gambaran foto thorax normal
Pemeriksaan radiologis thorax merupakan pemeriksaan yang
sangat penting. Kemajuan yang sangat pesat selama dasawarsa terakhir
dalam teknik pemeriksaan radiologis thorax dan pengetahuan untuk
menilai suatu roentgenogram thorax menyebabkan pemeriksaan thorax
dengan foto thorax ini menjadi suatu keharusan rutin. Pemeriksaan paru
tanpa pemeriksaan foto thorax saat ini dapat dianggap tidak lengkap. Suatu
penyakit paru belum dapat disingkirkan dengan pasti sebelum dilakukan
pemeriksaan radiologik. Tidak ada cara lain yang sebanding pentingnya
dengan pemeriksaan radiologik untuk dokumentasi dan pemeriksaan
berkala (follow-up) yang obyektif. Foto rontgen yang dibuat pada suatu
saat tertentu dapat merupakan dokumen yang abadi dari penyakit seorang
penderita, dan setiap waktu dapat dipergunakan dan diperbandingkan
dengan foto yang dibuat pada saat-saat lain. 18
Thorax merupakan bagian dari truncus yang terletak antara collum
dan abdomen atau antara collum dan diafragma. Cavitas thorax yang
merupakan rongga di thorax berisi cor dan pulmo, serta banyak bangunan
4
penting lainnya. Skeleton yang menutupi dan melindungi thorax dan
beberapa bagian abdomen, terdiri atas vertebrae thoracica dengan disci
intervertebrales, costae dengan cartilagines costales, serta sternum. Setiap
pulmo menempel pada cor dan trachea melalui radix pulmonalis dan
ligamentum pulmonale. Dengan demikian pulmo bebas didalam cavitas
thoracis. Pulmo berkilau, lembut, empuk, elastic. Pulmo yang sehat selalu
berisi udara sehingga mengapung di air dan ada krepitasi saat ditekan.
Pulmo yang berisi cairan akibat penyakit tidak dapat menapung di air.
Pulmo fetus atau neonatus berwarna merah jambu dan keras bila ditekan.
Jika janin belum pernah bernafas, pulmo tidak akan mengapung. 20
Gambar 1. Gambaran foto thorax normal (www.e-radiography.com)
Foto thorax diatas dikatakan normal apabila foto diambil saat
inspirasi maksimal, yaitu bila kedua diafragma setinggi costae posterior
VIII-X; foto simetris, yang dapat dinilai dengan mengukur jarak dari ujung
iga anterior kanan dan kiri terhadap midvertebra berjarak sama; jantung
serupa buah pir dan letaknya lebih ke kiri dengan apeks membulat diatas
5
diafragma; corakan bronkus dan pembuluh darah tidak melebihi ¼
lapangan paru bagian medial; kedua lapangan paru bersih; tulang dan
jaringan lunak tidak menunjukkan kelainan. 21
b. Posisi pada foto thorax standar
Foto thorax adalah pemeriksaan radiologi yang paling sering
dilakukan. Untuk pemeriksaan rutin biasanya dilakukan foto postero-
anterior (PA), dan bila perlu dapat ditambah foto lateral (biasanya foto
lateral kiri). 22
Posterio-anterior (PA). Pada posisi PA, penganbilan foto dilakukan
pada saat pasien dalam posisi berdiri, tahan nafas pada akhir inspirasi
dalam.Bila terlihat suatu kelainan pada proyeksi PA, perlu ditambah
proyeksi lateral. 19
Gambar 2. Posisi pasien pada foto postero-anterior (PA)
(www.uofmchildrenshospital.org)
Keterangan:
1. Sumber sinar X
2. Film
3. Arah sinar X
6
1 2
3
Anterio-posterior (AP). Biasanya foto AP diambil jika pasien tidak
bisa turun dari tempat tidur sehingga pasien difoto ditempat tidur sambil
berbaring telentang. Karena posisi tersebut pada foto AP costa bagian
posterior tampak lebih mendatar, diafragma tampak lebih tinggi dan
volume paru tampak lebih kecil jika dibandingkan dengan gambaran jika
pasien berdiri.
Gambar 3. Posisi pasien pada proyeksi Anteroposterior (AP)
(www.e-radiography.com)
Keterangan gambar :
1) Sumber sinar X
2) Sinar X
3) Film
4) Meja
Foto lateral kiri dipilih karena dengan posisi ini jantung terletak
lebih dekat dengan film, sehingga bayangan jantung tak sebesar jika
dilakukan foto lateral kanan (bayangan jantung tidak mengganggu).
Struktur yang tidak terlihat pada foto PA bisa ditampakkan dengan foto
lateral, seperti retrosternal space dan retrocardial space, juga massa di
anterior mediastinum, cairan pleura, atau konsolidasi posterior basal paru.
7
Pada foto lateral kiri, magnifikasi sisi kanan yang lebih besar dari sisi kiri
akan membantu memisahkan struktur yang tampak (Malueka, 2007).
Gambar 4. Posisi pasien pada proyeksi Lateral
(www.e-radiography.com)
Keterangan gambar :
1) Sumber sinar X
2) Sinar X
3) Film
4) Meja
Posisi-posisi lain digunakan sebagai pelengkap kalau dari foto PA
tidak terlihat. Bisa juga digunakan untuk melihat struktur tertentu yang
sulit dilihat dengan posisi standar.
a. Top lordotic (apical lordotic), Pengambilan foto dilakukan pada posisi
berdiri dengan arah sinar menyudut 35-45 derajat arah caudocranial,
agar gambaran apeks paru tidak berhimpitan dengan clavicula. 19
8
b. Foto posisi berbaring (recumbency), untuk melihat letak dari sifat
cairan dalam kavitas, rongga pleura atau sela pleura interlobaris. Sinar
diarahkan dari samping, bisa dari kiri, bisa dari kanan. Jadi seperti foto
lateral, hanya saja pasien dalam posisi tidur.
c. Foto posisi oblique dapat menunjukkan posisi retrocardia, sudut
posterior ruang costophrenica, dan dinding dada.
d. Foto lateral decubitus dapat menunjukkan adanya cairan dalam pleura,
misalnya untuk membedakan gambaran efusi subpulmone (efusi yang
hanya mengisi ruang costophrenicus) dengan gambaran diafragma
yang terlalu tinggi.
e. Foto ekspirasi maksimal selain inspirasi dapat digunakan untuk
menunjukkan air atau fluid trapping pada emfisema obstruktif yang
mengenai seluruh paru, lobus atau segmen, serta untuk melihat
pergerakan difragma pada kelainan diafragma, misalnya paralisis
nervus phrenicus, dan sebagainya. 22
II. ETIOLOGI
Bronkiektasis sampai sekarang masih belum jelas. Namun diduga
bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat. (Aru W.
Sudoyo et al, 2006)
- Kelainan kongenital
Bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan.
Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan memegang
peranan penting. Bronkiektasis yang timbul kongenital biasanya mengenai
hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua bronkus. Selain itu,
bronkiektasis kongenital biasanya menyertai penyakit-penyakit kongenital
seperti Fibrosis kistik, Kertagener Syndrome, William Campbell
syndrome, Mounier-Kuhn Syndrome, dll. (Aru W. Sudoyo et al, 2006)
Diskinesia silia primer merupakan suatu kondisi di mana fungsi
silia berkurang berhubungan dalam mempertahankan sekresi dan infeksi
berulang yang akhirnya menyebabkan bronkiektasis. Sindrom ini
diturunkan sebagai autosomal resesif dengan penetrasi variabel. Frekuensi
9
1 dalam 15.000 : 1 dalam 40.000 kelahiran. Penyebab defek silia pada
sindrom ini adalah tidak adanya atau memendeknya lengan dynein lengan
yang bertanggung jawab akan kelenturan akson. Sekitar setengah dari
pasien dengan diskinesia silia primer memiliki Sindrom Kartagener's
(bronkiektasis, sinusitis, dan situs inversus atau partial lateralizing
abnormality). (Barker AF, 2002)
- Kelainan didapat
Bronkietasis yang didapat sering berkaitan dengan obstruksi
bronkus. Dilatasi bronkus mungkin disebabkan karena kelainan didapat
dan kebanyakan merupakan akibat dari proses berikut:
Infeksi
Bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak menderita
pneumonia yang sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia
merupakan komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita semasa
anak, tuberkulosis paru, dan sebagainya. (Aru W. Sudoyo et al, 2006)
Imunisasi pada masa kanak-kanak yang efektif ditandai dengan
penurunan insidensi bronkiektasis yang disebabkan oleh pertusis atau
batuk rejan. Infeksi saluran pernapasan pada anak-anak lainnya dapat
menyebabkan kerusakan permanen pada saluran pernapasan. Kehadiran
Staphylococcus aureus dikaitkan dengan fibrosis kistik atau aspergillosis
bronkopulmonalis alergi. Aspergillus fumigatus merupakan organisme
komensal. Aspergillosis bronkopulmonalis alergi adalah suatu keadaan
yang mempengaruhi pasien asma dan melibatkan kerusakan saluran napas
yang disebabkan oleh beberapa faktor. Bronkiektasis pada pasien dengan
aspergillosis bronkopulmonalis alergi ini disebabkan oleh reaksi imun
pada aspergillus, kerja dari mikotoksin, elastase dan interleukin-4 dan
interleukin-5 dan pada tahap kemudian terjadi invasi jamur secara
langsung pada saluran napas. Sebuah laporan baru-baru ini menunjukkan
peningkatan dan penurunan fungsi paru dengan penggunaan kortikosteroid
setelah terapi itrakonazol menunjukkan organisme Aspergillus juga
mungkin menginfeksi. Tidak mengherankan bahwa bronkiektasis dapat
10
digambarkan pada pasien dengan Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS), menyebabkan terjadinya infeksi saluran pernapasan berulang dan
merusak respons host. Kebanyakan pasien memiliki jumlah CD4 yang
rendah, sebelumnya ada infeksi piogenik, pneumocystic, dan infeksi
mikobakteri, dan pneumonia interstisial limfositik (pada anak). (Barker
AF, 2002)
Obstruksi bronkus
Obstruksi bronkus dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab
seperti korpus alienum, karsinoma bronkus atau tekanan dari luar lainnya
terhadap bronkus. Menurut penelitian para ahli diketahui bahwa infeksi
ataupun obstruksi bronkus tidak selalu nyata (automatis) menimbulkan
bronkiektasis. Diduga mungkin masih ada faktor instrinsik (yang sampai
sekarang belum diketahui) ikut berperan dalam timbulnya bronkiektasis.
(Sudoyo Aru W et al, 2006)
- Lokasi
Berdasarkan lokasinya, bronkiektasis dibagi menjadi:
Setempat (localized), yaitu di lobus bawah, lobus tengah kanan
atau lingula, biasanya sebagai komplikasi dari pneumonia berat,
dapat juga karena penyumbatan oleh benda asing, tumor atau
penekanan dari luar (kompresi oleh tuberkulosis kelenjar limfa).
Bronkiektasis di lobus tas biasanya disebabkan oleh tuberkulosis
atau aspergilosis bronkopulmonar.
Menyeluruh (generalized), biasanya karena infeksi sistem
pernapasan yang berulang disertai kelainan imunitas ataupun
kelainan mucocilliary clearance. Penyebab lainnya adalah
vaskulitis, defisiensi α-1-antitripsin, AIDS, sindrom merfan, SLE,
sindrom syorgen dan sarkoidosis. (Sumber : Patel Pradip R, 2005;
Patrick Davey, 2005)
III. ANATOMI DAN FISIOLOGI
a. Anatomi
11
Dari gambar I dapat kita lihat bahwa cabang utama bronkus
kanan dan kiri akan bercabang menjadi bronkus lobaris dan bronkus
segmentalis. Percabangan ini berjalan terus-menerus menjadi bronkus
yang ukurannya semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus
terminalis, yaitu bronkiolus yang tidak mengandung alveoli.
Bronkiolus terminalis mempunyai diameter kurang lebih 1 mm.
Bronkiolus tidak diperkuat oleh kartilago tetapi dikelilingi oleh otot
polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara
sampai pada tingkat ini disebut saluran penghantar udara karena
fungsinya menghantarkan udara ke tempat pertukaran gas terjadi.
Setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit fungsional
dari paru. Asinus terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus
alveolaris dan sakkus alveolaris terminalis. Asinus atau kadang
disebut lobulus primer memiliki diameter 0,5 sampai 1 cm. Terdapat
sekitar 23 percabangan mulai dari trakea sampai sakkus alveolaris
terminalis. Alveolus dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh septum.
Lubang pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn yang
memungkinkan komunikasi antara sakkus. Alveolus hanya selapis sel
saja, namun jika seluruh alveolus yang berjumlah sekitar 300 juta itu
dibentangkan akan seluas satu lapangan tenis. ( Wilson LM, 2006)
12
Gambar 1. Anatomi saluran napas. (Sumber : Hasan I, 2006)
Alveolus pada hakikatnya merupakan gelembung yang dikelilingi
oleh kapiler-kapiler darah. Batas antara cairan dengan gas akan
membentuk suatu tegangan permukaan yang cenderung mencegah
ekspansi pada saat inspirasi dan cenderung kolaps saat ekspirasi. Di sinilah
letak peranan surfaktan sebagai lipoprotein yang mengurangi tegangan
permukaan dan mengurangi resistensi saat inspirasi sekaligus mencegah
kolaps saat ekspirasi. Pembentukan surfaktan oleh sel pembatas alveolus
dipengaruhi oleh kematangan sel-sel alveolus, enzim biosintetik utamanya
alfa anti tripsin, kecepatan regenerasi, ventilasi yang adekuat serta perfusi
ke dinding alveolus. Defisiensi surfaktan, enzim biosintesis serta
mekanisme inflamasi yang berjung pada pelepasan produk yang
mempengaruhi elastisitas paru menjadi dasar patogenesis emphysema, dan
penyakit lainnya. ( Wilson LM, 2006)
Bronkus merupakan percabangan dari trachea. Terdiri dari bronkus
dextra dan bronchus sinistra:
Bronkus dextra, mempunyai bentuk yang lebih besar, lebih
pendek dan letaknya lebih vertikal daripada bronkus sinistra. Hal ini
disebabkan oleh desakan dari arcus aortae pada ujung caudal trachea ke
arah kanan, sehingga benda-benda asing mudah masuk ke dalam bronkus
13
dextra. Panjangnya kira-kira 2,5 cm dan masuk kedalam hilus pulmonis
setinggi vertebra thoracalis VI. Vena Azygos melengkung di sebelah
cranialnya. Ateria pulmonalis pada mulanya berada di sebelah inferior,
kemudian berada di sebelah ventralnya. Membentuk tiga cabang (bronkus
sekunder), masing-masing menuju ke lobus superior, lobus medius, dan
lobus inferior. Bronkus sekunder yang menuju ke ke lobus superior
letaknya di sebelah cranial a.pulmonalis dan disebut bronkusepar ter ialis.
Cabang bronkus yang menuju ke lobus medius dan lobus inferior berada di
sebelah caudal a.pulmonalis disebut bronkushyparterialis. Selanjutnya
bronkus sekunder tersebut mempercabangkan bronkus tertier yang menuju
ke segmen pulmo.( Luhulima JW, 2004)
Bronkus sinistra, mempunyai diameter yang lebih kecil, tetapi
bentuknya lebih panjang daripada bronkus dextra. Berada di sebelah
caudal arcus aortae, menyilang di sebelah ventral oesophagus, ductus
thoracicus, dan aorta thoracalis. Pada mulanya berada di sebelah superior
arteri pulmonalis, lalu di sebelah dorsalnya dan akhirnya berada di sebelah
inferiornya sebelum bronkus bercabang menuju ke lobus superior dan
lobus inferior, disebut letak bronkus hyparterialis. Pada tepi lateral batas
trachea dan bronkus terdapat lymphonodus tracheobronchialis superior
dan pada bifurcatio trachea (di sebelah caudal) terdapat lymphonodus
tracheobronchialis inferior. Bronkus memperoleh vascularisasi dari
a.thyroidea inferior. Innervasinya berasal dari N.vagus, n. Recurrens, dan
truncus sympathicus. ( Luhulima JW, 2004)
b. Fisiologi
Struktur dan fungsi saluran napas normal
1. Sel epitel permukaan
14
Sel epitel permukaan pada saluran intrapulmoner pada
dasarnya dibentuk oleh dua tipe sel, yaitu sel silia dan sel sekretori.
Sel sekretori dibagi menjadi subtipe berdasarkan penampakan
mikroskopik (misalnya Sel clara, goblet dan serous ). Selain musin,
sel sekretori juga melepaskan beberapa molekul antikmikroba
(sebagai contaoh defensin, lisosim, dan IgA), molekul
immunomodulator (sekretoglobin dan sitokin) dan molekul
pelindung (protein trefoil dan heregulin), semuanya ini tergabung
dalam mukus. (Fahy JV&Dickey BF, 2010)
2. Kelenjar submukosa
Pada saluran napas besar (diameter lumen >2mm), kelenjar
submukosa berkontribusi pada sekresi musin (gambar 2). Kelenjar
dihubungan dengan lumen saluran napas oleh duktus silia
superfisial yang mendorong sekresi keluar dan duktus kolektus
nonsilia profundus. Kelenjar sumukosa berlokasi diantara otot
polos dan kartilago. Sel mukous membentuk 60% volume kelenjar.
Sel serous yang berlokasi didistal, membentuk 40% volume
kelenjar, mensekresi proyeoglikan dan protein antimikroba. Pada
keadaan patologi, volume kenjar submukosa dapat meningkat
melebihi volume normal. (Fahy JV&Dickey BF, 2010)
3. Lapisan mukosa (lapisan lendir)
Lendir melapisi seluruh saluran napas, dimana kandungan
terbanyaknya adalah cairan, dengan kerakteristik fisik solid.
Kandungan normal mukus adalah 97% air dan 3 % solid (musin,
protein nonmusin, garam, lemak dan sel debris). (Fahy JV&Dickey
BF, 2010)
15
Gambar 2. Mukus klirens pada saluran napas yang normal. (Sumber :Fahy JV&Dickey BF, 2010)
Mekanisme klirens saluran napas
Pertama, mukus didorong ke proksimal saluran napas oleh gerakan
silia, yang akan membersihkan partikel-partikel inhalasi, patogen dan
menghilangkan bahan-bahan kimia yang mungkin dapat merusak paru.
Musin polimerik secara terus-menerus disintesis dan disekresikan untuk
melapisi lapisan mukosa. Kecepatan normal silia 12 sampai 15x/detik,
menghasilkan kecepatan 1mm/menit untuk membersihkan lapisan
mukosa. Kecepatan mucociliary clearance meningkat dalam keadaan
hidrasi tinggi. Dan kecepatan gerakan silia meningkat oleh aktivitas
purinergik, adrenergik, kolinergik dan reseptor agonis adenosin, serta
bahan iritan kimia. Mekanisme kedua, adalah dengan mengeluarkan
mukus dengan refleks batuk. Ini mungkin dapat membantu menjelaskan
mengapa penyakit paru yang disebabkan oleh kerusakan fungsi silia
tidak terlalu berat dibandingkan dengan yang disebabkan dehidrasi,
yang menghalangi kedua mekanisme klirens saluran napas. Meskipun
batuk berkontribusi dalam membersikan mukus pada penyakit dengan
peningkatan produksi mukus atau gangguan fungsi silia, ini dapat
menyulitkan gejala. (Fahy JV&Dickey BF, 2010)
IV. PATOGENESIS
16
Belum diketahui secara sempurna, namun diperkirakan yang
menjadi penyebab utama adalah peradangan dengan destruksi otot,
jaringan elastik dan tulang rawan dinding bronkus, oleh mukopus yang
terinfeksi yang kontak lama dan erat dengan dinding bronkus (gambar 3).
(Fahy JV&Dickey BF, 2010)
Gambar 3. Gambaran bronkus pada bronkiektasis(Sumber: Benditt, JO, 2008 )
Mekanisme mukus klirens yang efektif adalah sesuatu yang
esensial untuk paru yang sehat, dan kelainan saluran napas disebabkan
oleh buruknya mekanisme klirens mukus. Mukus yang sehat dalah sutau
lendir dengan viskositas rendah dan elastis sehingga dapat dengan mudah
diangkut oleh silia. Sedangkan mukus yang tidak sehat ditandai dengan
viskositas yang tinggi dan keelastisan sehingga sulit untuk dibersihkan.
Akumulasi dari mukus yang dihasilkan dari beberapa kombinasi seperti
peningkatan produksinya dan penurunan klirens, dan akumulasi persisten
dapat memicu infeksi dan peradangan dengan tersedianya lingkungan
untuk pertumbuhan mikrobakteri. (Fahy JV&Dickey BF, 2010)
Mukopus mengandung produk-produk neutrofil yang bisa merusak
jaringan paru (protease serin, elastase, kolagenase), oksida nitrit,
sitokininflamasi (IL8) dan substansi yang menghambat gerakan silia dan
mucociliary clearance. Terjadi mukokel yang terinfeksi setelah dilatasi
mekanik bronkus yang telah lunak oleh pengaruh proteolitik.
17
Inflammatory insult yang pertama akan diikuti oleh kolonisasi bakteri
yang akan menyebabkan kerusakan bronkus lebih lanjut dan predisposisi
untuk kolonisasi lagi dan ini merupakan lingkaran yang tidak terputus.
Pada akhirnya terjadi fibrosis dinding bronkus dan jaringan paru
sekitarnya menyebabkan penarikan dinding bronkus yang sudah lemah
sehingga terjadi distorsi. Distensi juga bisa diperberat oleh atelektasis paru
sekitar bronkus yang menyebabkan bronkus mendapatkan tekanan
intratorakal yang lebih besar. (Benditt, JO, 2008; Barker AF, 2002)
V. PATOLOGI
a. Gambaran makroskopis
Makroskopis paru bronkiektasis tampak dilatasi permanen dari
jalan napas subsegmental yang mengalami inflamasi, berliku-liku, dan
sebagian atau seluruhnya dipenuhi mukus (gambar 4). Proses ini
meliputi bronkiolus, dan bagian akhir jalan napas yang ditandai
dengan fibrosis jalan napas kecil. Klasifikasi menurut Reid (atas dasar
hubungan patologi dan bronkografi):
i. Bronkiektasis silindris, merupakan bronkiektasis yang paling
ringan. Bentuk ini sering dijumpai pada bronkiektasis yang
menyertai bronkitis kronik. Bronkus tampak seperti bentukan pipa
berdilatasi, jalan napas yang lebih kecil dipenuhi mukus.
ii. Bronkiektasis varikosa, merupakan bentuk intermediet, istilah ini
digunakan karena perubahan bentuk bronkus yang menyerupai
varises vena.
iii. Bronkiektasis sakuler atau kistik, merupakan bentuk
bronkiektasis yang klasik, ditamdai dengan adanya dilatasi dan
penyempitan bronkus yang bersifat ireguler. Bentuk ini kadang-
kadang berbentuk kista. (Aru W. Sudoyo et al, 2006)
18
Gambar 4. Bermacam-macam tipe bronkiektasis (Sumber : Davey Patrick, 2005)
b. Gambaran mikroskopis
Seluruh lapang pandang tampak inflamasi kronik pada
dinding bronkus dengansel inflamasi dan mukus di dalam
lumen. Terdapat destruksi pada lapisan elastin pada dinding
bronkus dengan fibrosis. Netrofil merupakan populasi sel
terbanyak dalam lumen bronkus, sedangkan sel yang terbanyak pada
dinding bronkus adalah mononuklear.
VI. DIAGNOSIS
a. Gambaran klinis
Manifestasi klasik dari bronkiektasis adalah batuk dan
produksi sputum harian yang mukopurulen sering berlangsung
bulanan sampai tahunan. Batuk kronik yang produktif merupakan
gejala yang menonjol. Terjadi hampir 90% pasien. (Barker AF, 2002;
Aru W. Sudoyo et al, 2006).
Sputum yang bercampur darah atau hemoptisis dapat menjadi
akibat dari kerusakan jalan napas dengan infeksi akut. Sputum yang
dihasilkan dapat berbagai macam, tergantung berat ringannya penyakit
dan ada tidaknya infeksi sekunder. Sputum dapat berupa mukoid,
mukopurulen, kental dan purulen. Jika terjadi infeksi berulang,
sputum menjadi purulen dengan bau yang tidak sedap. Dahulu, jumlah
total sputum harian digunakan untuk membagi karakteristik berat
19
ringannya bronkiektasis. Sputum yang kurang dari 10 ml digolongkan
sebagai bronkiektasis ringan, sputum dengan jumlah 10-150 ml
perhari digolongkan sebagai bronkiektasis moderat dan sputum lebih
dari 150 ml digolongkan sebagai bronkiektasis berat. Namun
sekarang, berat ringannya bronkiektasis dikalsifikasikan berdasarkan
temuan radiologis. Pada pasien fibrosis kistik, volume sputum pada
umumnya lebih banyak dibanding penyakit penyebab bronkiektasis
lainnya. Dispnea dan mengi terjadi pada 75 % pasien. Nyeri dada
pleuritis terjadi pada 50 % pasien dan mencerminkan adanya distensi
saluran napas perifer atau pneumonitis distal yang berdekatan dengan
permukaan pleura viseral. (Barker AF, 2002)
b. Pemeriksaan fisik
Ditemukannya suara napas tambahan pada pemeriksaan fisik
dada, termasuk crackles (70 %), wheezing (34 %), dan ronki (44 %)
adalah petunjuk untuk diagnosis. Dahulu, clubbing finger atau jari
tabuh adalah gambaran yang sering ditemukan, tapi saat ini prevalensi
gambaran tersebut hanya 3 %. Penyakit utama yang mengaburkan
bronkiektasis adalah penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Perbandingan gambaran dari dua kondisi disajikan pada Tabel 1.
(Barker AF, 2002)
Tabel.1 Perbedaan antara PPOK dan bronkiektasis
Variabel PPOK BronkiektasisPenyebab Merokok Infeksi/genetik/imun defekInfeksi Sekunder PrimerPredominan organisme dalam sputum
Streptococcus pneumoniae,Heamophilus influenzae
Heamophilus influenzae, Pseudomonas aeroginosa
Obstruksi saluran napas dan hiperresponsif
+ +
20
Rontgen thoraks Hiperlusens, hiperinflasi, dilatasi saluran napas
Dilatasi dan penebalan saluran napas, mukous plug
Sputum Mukoid, jernih Purulen, 3 lapis(Sumber : Barker AF, 2002)
VII. Pemeriksaan penunjang
a. Spirometri
Pada spirometri sering menunjukkan keterbatasan aliran udara,
dengan rasio penurunan volume ekspirasi paksa dalam satu detik
(FEV1) untuk memaksa volume kapasitas paksa (FVC), FVC normal
atau sedikit berkurang dan FEV1 menurun. Penurunan FVC
menunjukkan bahwa saluran udara tertutup oleh lendir, dimana
saluran napas kolaps saat ekspirasi paksa atau adanya pneumonitis
pada paru. Merokok dapat memperburuk fungsi paru dan
mempercepat kerusakan. Hyperresponsiveness saluran napas dapat
ditunjukkan, dimana 40 % pasien memiliki 15 % atau peningkatan
yang lebih besar pada FEV1 setelah pemberian agonis beta-adrenergik,
dan 30 sampai 69 % pasien yang tidak memiliki terlihat penurunan
FEV1 memiliki 20 % penurunan FEV1 setelah pemberian histamin
atau methacholine. (Barker AF, 2002)
b. Gambaran radiologis
1. Rontgen thoraks
Dengan pemeriksaan foto thoraks, maka pada bronkiektasis
dapat ditemukan gambaran seperti dibawah ini:
a. Ring shadow
Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai
ukuran (dapat mencapai diameter 1 cm). Dengan jumlah satu
atau lebih bayangan cincin sehingga membentuk gambaran
‘honeycomb appearance’ atau ‘bounches of grapes’ (gambar
5). Bayangan cincin tersebut menunjukkan kelainan yang
terjadi pada bronkus. (Sutton D, 2003)
21
b. Tramline shadow
Gambaran ini dapat terlihat pada bagian perifer paru.
Bayangan ini terlihat terdiri atas dua garis paralel yang putih
dan tebal yang dipisahkan oleh daerah berwarna hitam.
Gambaran seperti ini sebenarnya normal ditemukan pada
daerah parahilus.Tramline shadow yang sebenarnya terlihat
lebih tebal dan bukan pada daerah parahilus.( Sutton D, 2003;
Pattel PR, 2005)
Gambar 5. Gambaran honeycomb appearance.( Sumber : Sutton D, 2003)
c. Tubular shadow
Ini merupakan bayangan yang putih dan tebal.
Lebarnya dapat mencapai 8 mm. Gambaran ini sebenarnya
menunjukkan bronkus yang penuh dengan sekret. Gambaran
ini jarang ditemukan, namun gambaran ini khas untuk
bronkiektasis (gambar 6B). (Sutton D, 2003)
22
(A) (B)
Gambar 6. (A). Tanda panah menunjukan gambaran Ring shadow, (B). Gambaran tubular shadow. (Sumber : Sutton D, 2003)
23
Gambar 7. Bronkografi; kini teknik yang kuno namun elegan dapat menunjukkan bronkiektasis silindris yang disertai dilatasi bronkus lobus
bawah (Sumber : Patel Pradip R, 2005)
2. Bronkografi
Merupakan pemeriksaan foto dengan pengisian media
kontras ke dalam sistem saluran bronkus pada berbagai posisi (AP,
Lateral, Oblik). Pemeriksaan ini selain dapat menentukan adanya
bronkiektasis, juga dapat menentukan bentuk-bentuk bronkiektasis
yang dibedakan dalam bentuk silindris (tubulus, fusiformis),
sakuler (kistik) dan varikosis. (Sutton D, 2003)
Pada gambar 7, didapatkan gambaran glove finger shadow
yang menunjukkan bayangan sekelompok tubulus yang terlihat
seperti jari-jari pada sarung tangan. (Sutton D, 2003)
3. CT-Scan thorax
CT-Scan dengan resolusi tinggi menjadi pemeriksaan
penunjang terbaik untuk mendiagnosis bronkiektasis,
mengklarifikasi temuan dari foto thorax dan melihat letak kelainan
jalan napas yang tidak dapat terlihat pada foto polos thorax. CT-
Scan resolusi tinggi mempunyai sensitivitas sebesar 97% dan
spesifisitas sebesar 93%. CT-Scan resolusi tinggi akan
memperlihatkan dilatasi bronkus dan penebalan dinding bronkus.
Modalitas ini juga mampu mengetahui lobus mana yang terkena,
24
terutama penting untuk menentukan apakah diperlukan
pembedahan. (Patel PR, 2005)
CT-Scan, terutama resolusi tinggi dapat menghasilkan
gambar yang menunjukan dilatasi saluran napas dengan ketebalan
dengan ketebalan 1,0-1,55 mm (Gambar 9 dan 10). Sebagai
konsekuensinya, saat ini pemeriksaan ini adalah teknik standar atau
untuk mengkonfirmasi diagnosis bronkiektasis. (Fauci et al, 2008)
(Sumber : Fauci et al, 2008)
VIII. TINGKATAN BERATNYA PENYAKIT
Tingkatan penyakit bervariasi dari ringan sampai berat. Brewis
membagi tingkatan beratnya bronkiektasis menjadi 3 derajat, yaitu:
a. Bronkiektasis ringan
25
Gambar 8. Pada CT resolusi tinggi menunjukan dilatasi saluran napas pada kedua lobus dan lingula. Pada potongan melintang, dilatasi saluran napas menunjukan ringlike appearance.
Ciri klinis: batuk-batuk dan sputum warna hijau hanya
terjadi sesudah demam (ada infeksi sekunder), produksi sputum
terjadi dengan perubahan posisi tubuh, biasanya terdapat
hemoptisis sangat ringan, pasien tampak sehat, fungsi paru normal
dan foto dada normal. (Sudoyo Aru W et al, 2006)
b. Bronkiektasis sedang
Ciri klinis: batuk-batuk produktif terjadi setiap saat, sputum
timbul setiap saat (umumnya hijau dan jarang mukoid, serta bau
mulut busuk), sering ada hemoptisis. Pada pemeriksaan fisik paru
sering ditemukan ronki basah kasar pada daerah paru yang terkena,
gambaran foto dada boleh dikatakan masih normal. (Sudoyo Aru
W et al, 2006)
c. Bronkiektasis berat
Ciri klinis: batuk-batuk produktif dengan sputum banyak
berwarna kotor dan berbau. Sering ditemukan adanya pneumonia
dengan hemoptisis dan nyeri pleura. Sering ditemukan jari tabuh.
Bila ada obstruksi saluran napas akan dapat ditemukan adanya
dispnea, sianosis atau tanda kegagalan paru. Umumnya pasien
mempunyai keadaan umum kurang baik. Sering ditemukan infeksi
piogenik pada kulit, infeksi mata dan sebagainya. Pasien mudah
timbul pneumonia, septikemia, abses metastasis, kadang-kadang
terjadi amiloidosis. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ronki
basah kasar pada daerah terkena. Pada gambaran foto dada
ditemukan kelainan : 1). Penambahan bronkovaskular marking, 2).
Multiple cysts containing fluid levels (honey comb appearance).
(Sudoyo Aru W et al, 2006)
IX. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit yang perlu diingat atau dipertimbangkan kalau
berhadapan dengan bronkiektasis :
Bronkitis kronik
26
Tuberkulosis paru (penyakit ini dapat disertai kelainan anatomis
paru berupa bronkiektasis)
Abses paru (terutama bila telah ada hubungan dengan bronkus
besar)
Penyakit paru penyebab hemoptisis, misalnya: karsinoma paru.
(Sudoyo Aru W et al, 2006).
X. KOMPLIKASI
Ada beberapa komplikasi yang dapat dijumpai pada pasien bronkiektasis
antara lain:
Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis. Bronkiektasis sering
mengalami infeksi berulang, biasanya sekunder terhadap infeksi
saluran napas bagian atas. Hal ini sering terjadi pada pasien dengan
drainase sputum kurang baik.
Pleuritis, komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya
pneumonia. Umumnya merupakan pleuritis sicca pada daerah yang
terkena.
Hemoptisis, terjadi karena pecahnya pembuluh darah cabang vena
(arteri pulmonalis), cabang arteri (arteri bronkial) atau anastomosis
pembuluh darah. Hemoptisis hebat dan tidak terkendali merupakan
tindakan bedah gawat darurat.
Korpulmonale, sering terjadi pada pasien dengan bronkiektasis yang
berat dan lanjut.
Kegagalan pernapasan, merupakan komplikasi paling akhir yang
timbul pada bronkiektasis lanjut dan luas.
XI. PENATALAKSANAAN
I. Konservatif
a. Pengelolaan umum
27
Pengelolaan ini ditujukan terhadap semua pasien
bronkiektasis, meliputi:
- Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien
Contohnya membuat ruangan hangat, udara ruangan
kering, mencegah atau menghentikan merokok, mencegah
atau menghindari debu, asap dan sebagainya. (Sudoyo Aru W
et al, 2006)
- Memperbaiki drainase sekret bronkus
Melakukan drainase portural tindakan ini merupakan
cara yang paling efektif untuk mengurangi gejala, tetapi harus
terjadi secara terus-menerus. Pasien diletakkan dengan posisi
tubuh sedemikaian rupa sehingga dapat dicapai drainase
sputum secara maksimal. Tiap kali melakukan drainase
postural dikerjakan selama 10-20 menit samapi sputum tidak
keluar lagi dan tiap hari dikerjakan 2 sampai 4 kali. Prinsip
drainase postural ini adalah usaha mengeluarkan sputum
dengan bantuan gravitasi. Untuk keperluan tersebut, posisi
tubuh saat dilakukan drainase postural harus disesuaikan
dengan letak bronkiektasisnya. Tujuannya adalah untuk
menggerakkan sputum dengan pertolongan gaya gravitasi
agar menuju ke hilus paru bahkan mengalir sampai
tenggorokan sehingga mudah dibatukkan keluar. Apabila
dengan mengatur posisi tubuh pasien seperti tersebut diatas
belum diperoleh drainase sputum secara maksimal dapat
dibantu dengan tindakan memberikan ketukan dengan jari
pada punggung pasien (tabotage). (Sudoyo Aru W et al,
2006)
b. Pengelolaan khusus
- Kemoterapi
28
Kemoterapi pada bronkiektasis dapat digunakan:1).
Secara kontinyu untuk mengontrol infeksi bronkus (ISPA), 2).
Untuk pengobatan eksaserbasi infeksi akut pada bronkus/paru,
atau 3). Keduanya. Kemoterapi disini mengunakan obat
antibiotik tertentu. Pemilihan antibiotik mana yang harus
dipakai sebaiknya berdasarkan hasil uji sensitivitas kuman
terhadap antibiotik. Antibiotik hanya diberikan kalau
diperlukan saja, yaitu apabila terdapat eksaserbasi infeksi akut.
Antibiotik diberikan selama 7-10 hari, terapi tunggal atau
kombinasi beberapa antibiotik, samapai kuman penyebab
infeksi terbasmi atau sampai terjadi konversi warna sputum
yang semula berwarna kuning/hijau menjadi mukoid (putih
jernih). Selanjutnya ada dosis pemeliharaan. Ada yang
berpendapat bahwa kemoterapi dengan antibiotik ini apabila
berhasil akan dapat mengurangi gejala batuk, jumlah sputum
dan gejala lainnya terutama pada saat ada eksaserbasi akut,
tetapi keadaan ini hanya bersifat sementara. (Sudoyo Aru W et
al, 2006)
- Drainase sekret dengan bronkoskop
Cara ini penting dikerjakan terutama pada permulaan
perawatan pasien. Keperluannya antara lain adalah untuk 1).
Menentukan darimana asal sekret, 2). Mengidentifikasi lokali
stenosis atau obstruksi bronkus, dan 3). Menghilangkan
obstruksi bronkus dengan sustion drainage daerah obstruksi
tadi (misalnya pada pengobatan atelektasis paru). (Sudoyo Aru
W et al, 2006)
- Pengobatan simtomatik
Pengobatan ini hanya diberikan jika timbul gejala yang
mungkin menganggu atau membahayakan pasien.
a) Pengobatan obstruksi bronkus
29
Apabila ditemukan tanda obstruksi bronkus yang
diketahui dari hasil uji faal paru (% VEP1 < 70%) dapat
diberikan obat bronkodilator. Sebaiknya sewaktu
dilakukan uji faal paru dan diketahui adanya tanda
obstruksi saluran napas sekaligus dilakukan tes terhadap
obat bronkodilator. Apabila hasil tes bronkodilator positif,
pasien perlu diberikan obat bronkodilator tersebut.
(Sudoyo Aru W et al, 2006)
b) Pengobatan hipoksia
Pada pasien yang mengalami hipoksia (terutama
pada waktu terjadinya eksaserbasi akut) perlu diberikan
oksigen. Apabila pada pasien telah terdapat komplikasi
bronkitis kronik, pemberian oksigen harus hati-hati, harus
dengan aliran rendah (cukup 1 liter/menit). (Sudoyo Aru W
et al, 2006)
c) Pengobatan hemoptisis
Apabila perdarahan cukup banyak (masif), mungkin
merupakan perdarahan arterial yang memerlukan tidakan
operatif segera untuk menghentikan perdarahannya, dan
sementara harus diberikan transfusi darah untuk
menggantikan darah yang hilang. (Sudoyo Aru W et al,
2006).
Hemoptisis yang mengancam kehidupan (lebih dari
600 ml darah per hari) dapat terjadi pada pasien dengan
bronkiektasis. Setelah jalan napas telah dilindungi dengan
pasien berbaring di sisi tempat perdarahan yang dicurigai
atau dengan intubasi endotrakeal, bronkoskopi atau CT dari
thoraks diyakinkan membantu menentukan lobus atau sisi
yang mengalami perdarahan. Jika intervensi radiologi
tersedia, aortography dan kanulasi dari arteri bronkial untuk
memgambarkan lokasi ekstravasasi darah atau
30
neovaskularisasi sehingga embolisasi yang dapat
ditunjukan. Pembedahan mungkin masih diperlukan untuk
direseksi daerah yang dicurigai mengalami perdarahan.
(Barker AF, 2002)
d) Pengobatan demam
Pada psein dengan eksaserbasi akut sering terdapat
demam, terlebih jika terjadi septikemia. Pada keadaan ini
selain perlu diberikan antibiotik yang sesuai, dosis cukup,
perlu ditambahkan abat antipiretik lainnya. (Aru W.
Sudoyo et al, 2006)
2. Pembedahan
Peran pembedahan untuk bronkiektasis telah menurun tetapi
tidak menghilang. Tujuan dari operasi pengangkatan tumor
termasuk menghilangkan tumor obstruktif atau residu dari benda
asing, pengangkatan segmen atau lobus yang paling rusak dan
diduga berkontribusi terhadap eksaserbasi akut, sekret yang sangat
kental, impaksi lendir. Pengambilan daerah yang memiliki
perdarahan abnormal yang tidak terkontrol, dan pengambilan dari
paru rusak yang dicurigai menyembunyikan organisme seperti M.
MDR-TB atau avium M. complex. Tiga pusat bedah telah
menggambarkan pengalaman mereka dengan operasi tersebut
selama dekade terakhir, dengan rata-rata tindak lanjut empat sampai
enam tahun. Mereka telah mencatat perbaikan dalam gejala di lebih
dari 90 % pasien, dengan mortalitas perioperatif kurang dari 3 %.
(Barker AF, 2002).
Reseksi komplit dilaporkan pada 118 dari 143 pasien
bronkiektasis (rata-rata usia 23,4 tahun) dengan angka morbiditas
23% dan angka mortilitas 1,3%. Bronkiektasis stadium berhasil
diterapi dengan transplantasi paru. Beime et al melaporkan 86%
31
pasien yang menerima satu atau dua transplantasi paru memiliki
angka kelangsungan hidup 1 tahun. (O’Donnel, 2008).
Indikasi pembedahan berupa pasien bronkiektasis yang
terbatas dan resektabel yang tidak berespon terhadap tindakan
konservatif yang adekuat, dan pasien bronkiektasis yang terbatas
tetapi sering mengalami infeksi berulang atau hemoptisis masif.
Kontraindikasi pembedahan berupa pasien bronkiektasis dengan
PPOK, pasien bronkiektasis berat dan pasien dengan komplikasi
korpulmonum kronik dekompensata. (Aru W. Sudoyo et al, 2006)
XII. PROGNOSIS
Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat-ringannya
serta luasnya penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan
pengobatan secara tepat (konservatif atau pembedahan) dapat
memperbaiki prognosis penyakit. Pada kasus yang berat dan tidak diobati,
prognosisnya buruk, survivalnya tidak akan lebih dari 5-15 tahun.
Kematian pasien tersebut biasanya karena pneumonia, empiema, payah
jantung kanan, hemoptisis dan lain-lain. Pada kasus-kasus tanpa
komplikasi bronkitis kronik berat dan difus biasanya disabilitasnya ringan.
(Aru W. Sudoyo et al, 2006)
32
BAB III
SIMPULAN
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi
(ektasis) dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik,
persisten atau irrevesibel. Brokus yang terkena umumnya adalah bronkus ukuran
sedang (medium size), sedangkan bronkus besar umumnya jarang.
Bronkiektasis bukan merupakan penyakit tunggal, dapat terjadi melalui
berbagai cara dan merupakan akibat dari beberapa keadaan yang mengenai
dinding bronkial, baik secara langsung maupun tidak, yang menggangau sistem
pertahannya. Pengobatan pada bronkiektasis bertujuan untuk
mengendalikan infeksi, mengendalikan pembentukan dahak, membebaskan
penyumbatan saluran pernapasan serta mencegah komplikasi.
Pemilihan pengobatan secara tepat (konservatif atau pembedahan) dapat
memperbaiki prognosis penyakit. Bronkiektas is dapat d icegah dengan
melakukan imunisas i campak dan per tus is pada masa kanak- kanak.
33
Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek, survivalnya
tidak akan lebih dari 5-15 tahun.
34
top related