bab iv analisis komparasi metode ijtihad ...eprints.walisongo.ac.id/3705/5/102111010_bab4.pdflalu...
Post on 07-May-2019
226 Views
Preview:
TRANSCRIPT
93
BAB IV
ANALISIS KOMPARASI METODE IJTIHAD ANTARA HASBULLAH BAKRY
DENGAN UU NO.1/1974 DAN KHI TENTANG POLIGAMI TANPA
PERSETUJUAN ISTRI
A. Analisis Hasil Ijtihad Antara Hasbullah Bakry dengan Pasal 5 UU No.1/1974
Jo. Pasal 58 KHI tentang Poligami Tanpa Persetujuan Istri
Untuk menganalisis ijtihad Hasbullah Bakry, peneliti lebih dahulu
mengetengahkan substansi atau inti pokok pendapat Hasbullah Bakry.
Menurut Hasbullah Bakry:
Untuk melakukan poligami itu menurut syari’at Islam tidak disyaratkan
untuk disetujui lebih dulu oleh istri atau para istri yang ada. Hanya saja
jumlah semua istri itu tidak boleh lebih dari empat orang istri semuanya,
baik keempatnya wanita merdeka atau sebagian mereka adalah budak.
Mengenai syarat-syarat poligami yang diterapkan dalam Undang-Undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974 ialah: Suami yang ingin poligami harus ada
persetujuan dari istri yang ada sebelum dapat izin poligami dari Pengadilan
Agama. Hal itu tidak menghilangkan ketentuan syari’at Islam bahwa
poligami tanpa persetujuan istri yang ada dan tanpa izin dari Pengadilan
Agama adalah tetap sah apabila pernikahannya sendiri memenuhi rukun
nikah seperti yang ditentukan oleh syariat Islam yaitu ada kedua pengantin,
ada wali dan dua saksi, dan ada ijab kabul yang memenuhi syarat
(pengucapannya).1
Sebelum menganalisis ijtihad Hasbullah Bakry, peneliti terlebih dahulu
membentangkan pendapat para ulama tentang poligami.
Pada dasarnya, dalam membahas persoalan poligami ini hampir semua tafsir
maupun kitab fikih menyoroti secara permisif (membolehkan poligami), tanpa
1 Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, Jakarta: UI Press, 1988, hlm. 176-178.
94
mengkritisi kembali hakekat di balik kebolehan tersebut, baik secara historis,
sosiologis, maupun antropologis.2
Menurut Sayyid Sabiq:
“…Bagi orang-orang yang berpendapat poligami hanya dibenarkan dengan
izin pengadilan dengan alasan adanya praktek yang merugikan dari mereka
yang kawin lebih dari seorang telah berbuat bodoh atau pura-pura bodoh
terhadap kerugian-kerugian dan kerusakan-kerusakan yang timbul akibat
larangan itu. Sebenarnya kerugian yang timbul karena dibolehkannya
berpoligami jauh lebih kecil daripada kerugian akibat dilarangnya. Karena
itu seharusnya dipilih membolehkan poligami yang kerugiannya jauh lebih
kecil, mengingat asas hukum “memilih mana yang lebih ringan dari dua
kerugian yang timbul dari satu perbuatan. Tidak perlu dipakai masalah izin
pengadilan yang berkenaan dengan sesuatu yang tidak mungkin
dikerjakannya dengan adil. Sebab dalam urusan ini tidak ada standar yang
tepat untuk mengetahui kondisi dan keadaan seseorang, padahal ruginya
jelas lebih besar daripada kegunaannya kalau memakai cara izin
pengadilan.3
Pendapat Siti Musdah Mulia:
Poligami pada hakekatnya adalah selingkuh yang dilegalkan, dan karenanya
jauh lebih menyakitkan perasaan istri. Islam menuntun manusia agar
menjauhi selingkuh, dan sekaligus menghindari poligami. Islam menuntun
pengikutnya: laki-laki dan perempuan agar mampu menjaga organ-organ
reproduksinya dengan benar sehingga tidak terjerumus pada segala bentuk
pemuasan syahwat yang dapat mengantarkan pada kejahatan terhadap
kemanusiaan.4
Menurut Siti Musdah Mulia:
Menarik untuk direnungkan berkaitan dengan praktik poligami Nabi, Nabi
melakukan poligami sama sekali tidak didasarkan pada kepentingan biologis
atau untuk mendapatkan keturunan. Lagi pula, Nabi melakukan poligami
bukan dalam situasi dan kondisi kehidupan yang normal, melainkan dalam
kondisi dan suasana kehidupan yang penuh diliputi akivitas pengabdian dan
perjuangan demi menegakkan syiar Islam menuju terbentuknya masyarakat
madani yang didambakan.5
2Ibid., hlm. 68.
3 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, Juz 2, tth, hlm. 194.
4Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004,
hlm. 61. 5Ibid., hlm. 81.
95
Berikutnya, menurut Siti Musdah Mulia:
Sungguh sangat naif mendasarkan kebolehan poligami hanya pada
satu_ayat, atau bahkan hanya pada setengah ayat. Padahal poligami harus
diletakkan dalam konteks perbincangan tentang perkawinan. Berbicara
tentang perkawinan, dalam Al-Qur'an terdapat lebih dari seratus ayat,
sehingga sangat tidak logis memahami poligami dengan hanya bersandar
pada satu atau bahkan setengah ayat dan mengabaikan ayat-ayat lainnya
yang lebih relevan untuk dijadikan dasar hukum.6
Lalu timbul pertanyaan mengapa Nabi sendiri melakukan hal yang ia tidak
rela jika terjadi pada putrinya, yaitu memadu putri-putri kedua sahabatnya yang
terkasih; Abu Bakar dan Umar ibn Khattab? Bukankah Aisyah dan Hafsah yang
menjadi istri Nabi keduanya adalah putri sahabatnya yang terdekat? Terhadap
pertanyaan di atas, jawabannya boleh jadi karena Nabi yakin dirinya mampu
berlaku adil terhadap istri-istrinya, sementara terhadap menantunya, Ali ibn Abi
Thalib, Nabi tidak yakin ia akan mampu berbuat adil sebagaimana dirinya.7
Atas dasar itu Dr. Hammudah 'Abd al 'Ati berpendapat:
Meskipun Islam membolehkan perbuatan poligini (lelaki menikah dengan
wanita lebih dari seorang atau istilah yang lazim dipakai adalah poligami),
tapi tak berarti Islam merupakan agama yang mengatur keluarga secara
poligini. Islam membolehkan poligami dilaksanakan dengan beberapa
syarat. Bukan karena Islam tidak mampu mencegahnya atau lalai. Tapi lebih
bersifat sebagai jalan keluar yang mendamaikan. Untuk memahami lebih
lanjut, barangkali kita memang perlu mengkaji lebih jauh implikasinya.8
Pada halaman lain, Dr. Hammudah 'Abd al 'Ati menegaskan:
Tuntutan faktor kependudukan dan ekonomi mungkin ada pengaruhnya
terhadap sanksi-sanksi poligini. Tapi, satu-satunya pertimbangan yang
paling fundamental, barangkali adalah alasan moral. Penjelasan paling baik
yang bisa diberikan untuk memberikan alasan atas faktor kependudukan dan
ekonomi hanyalah alasan situasi darurat. Tapi, sanksi yang berlaku,
sebetulnya tidak sekedar peraturan yang bersifat sementara waktu saja. Di
segi lain, pertimbangan kependudukan dan ekonomi itu, adalah semata-mata
6Ibid., hlm. 50.
7Ibid., hlm. 83.
8Hamudah Abd Al'ati, The Family Structure In Islam, Washington Street: American Trust
Publications, 1977, hlm. 73
96
tindakan untuk menciptakan stabilisasi pemerintahan, terutama menjelang
akhir kehidupan Rasulullah.9
Pernyataan Dr. Hammudah 'Abd al 'Ati menunjukkan bahwa poligami hanya
dibenarkan bila memenuhi dua faktor yaitu kependudukan, situasi ekonomi dalam
keadaan darurat.
Menurut Muhammad Shahrur pemikir liberal asal Syria berpendapat:
Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian
khusus dari Allah SWT. Sehingga tidak mengherankan kalau Tuhan
meletakkannya pada awal surat an-Nisa' dalam kitab-Nya yang mulia.
Seperti yang terlihat, poligami terdapat pada ayat ketiga dan merupakan
satu-satunya ayat dalam at-Tanzil yang membicarakan masalah ini. Akan
tetapi, para mufassir dan para ahli fiqih, seperti biasanya, telah mengabaikan
redaksi umum ayat dan mengabaikan keterkaitan erat yang ada di antara
masalah poligami dengan para janda yang memiliki anak-anak yatim.10
Selanjutnya menurut Muhammad Shahrur:
Sesungguhnya Allah SWT tidak hanya sekedar memperbolehkan poligami,
akan tetapi Dia sangat menganjurkannya, namun dengan dua syarat yang
harus terpenuhi: Pertama, bahwa isteri kedua, ketiga dan keempat adalah
para janda yang memiliki anak yatim; kedua, harus terdapat rasa khawatir
tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim. Sehingga perintah
poligami akan menjadi gugur ketika tidak terdapat dua syarat di atas.11
Peneliti bisa memahami pendapat dan penafsiran Muhammad Shahrur
karena ia membolehkan poligami dengan ukuran yang rasional yaitu disyaratkan
bahwa janda yang hendak dikawini itu harus dalam posisi memiliki anak yatim,
selain itu disyaratkan adanya kekhawatiran tidak dapat berlaku adil terhadap anak
yatim. Menurut analisis peneliti bahwa terhadap syarat yang pertama dari Shahrur
itu sangat realistis. Bisa dibayangkan bila misalnya jumlah penduduk seperti saat ini
di mana wanita lebih banyak dari pria dan tidak sedikit janda yang memiliki anak
9Ibid., hlm. 87
10Muhammad Shahrur, Nahwa Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, Terj. Sahiron Syamsuddin dan
Burhanudin "Metodologi Fiqih Islam Kontemporer", Yogyakarta: Elsaq Press, 2004, hlm. 425 11
Ibid, hlm. 428
97
tapi dihimpit oleh kesulitan materi, maka dalam situasi seperti ini pendapat Shahrur
bisa diterima.
Jika poligami tidak diperbolehkan, maka masa depan anak yatim tersebut
suram karena tidak ada yang memberikan kasih sayang dan perhatian secara
sempurna. Demikian pula tidak ada yang memberi dan membiayai kehidupan anak
yatim itu. Dengan kata lain akan terjadi pengangguran yang lebih besar lagi dan
generasi anak itu hanya akan menjadi beban. Penulis melihat tidak sedikit seorang
pria yang "menyeleweng" di luar karena istrinya anti poligami. Rasanya sikap istri
seperti itu kurang bijak, sebab dengan dibiarkannya sang suami "jajan" di luar, maka
langsung atau tidak langsung suami itu akan menebarkan penyakit yang lebih besar
lagi, apakah penyakit seksual atau penyelewengan (black street). Kenyataan ini
tampaknya kurang disadari oleh kaum wanita di mana ia memilih anti poligami
dengan harapan rumah tangganya bisa mencapai sakinah, padahal bersamaan
dengan itu keruntuhan rumah tangga ada di depan mata, yaitu melalui
perselingkuhan, hubungan seksual di luar nikah dan berbagai bentuk penyelewengan
lainnya.
Berpijak dari keterangan di atas tepatlah penafsiran Shahrur terhadap ayat-
ayat poligami, karena ia membuat kriteria yang mengandung unsur kemaslahatan
dan nilai kemanusiaan yang tinggi. Sedangkan pendapat Hammudah 'Abd al'Ati
sesuatu yang belum bisa dibayangkan apakah keadaan darurat versinya bisa terjadi.
Meskipun demikian, terlepas dari pendapat Hammudah 'Abd al'Ati yang sulit
diterapkan itu, namun yang pasti pendapatnya patut dihargai karena ia bermaksud
untuk menangkal pendapat orientalis yang memojokkan Islam melalui isu poligami.
98
Apabila dikaitkan dengan undang-undang dan KHI, ternyata Undang Nomor
1/1974 Tentang Perkawinan dan KHI mengatur tentang syarat poligami. Menurut
ketentuan pasal 5 UU Perkawinan dijelaskan:
1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
2. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim
Pengadilan.
Demikianlah syarat-syarat pokok diperbolehkannya melakukan poligami
bagi seorang suami. Rincian lebih lanjut dari kualifikasi persyaratan tersebut,
diuraikan dalam prosedur pelaksanaan poligami berikut ini: Pasal 40 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan "apabila seorang suami bermaksud
untuk beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara
tertulis kepada pengadilan". Dalam Kompilasi diatur dalam pasal 56:12
12
Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Prenada Media, 2004, hlm. 166.
99
1. Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama.
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (l) dilakukan menurut tata cara
sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin
dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57 KHI menyatakan:
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri
lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58 KHI menyatakan:
(1). Selain syarat utama yang disebut pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin
Pengadilan Agama harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal
5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:
a. adanya persetujuan isteri.
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak mereka.
(2). Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No.
9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis
atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini
dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3). Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan
100
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari
isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain
yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Dalam al-Qur'an masalah poligami dikerucutkan pada surah al-Nisa' [4]: 3.
Secara umum, para penulis tafsir di Indonesia dasawarsa 1990-an di antaranya:
Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri, Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Rayi memahami
bahwa sejak sebelum Islam datang tradisi poligami sudah ada.13
Menurut Achmad
Kuzari, kalau mengkaji perihal poligami maka akan didapatkan bahwa poligami ini
dilaksanakan dengan berbagai motivasi. Ada di antaranya yang bermotif penyaluran
kepuasan seksual, kemegahan diri, kebutuhan ekonomis, menata pembagian kerja,
untuk memperoleh keturunan atau mempertahankan bahkan meningkatkan mutu gen
melalui regenerasi sebagaimana dikatakan oleh Lee Kuan Yew, yang waktu itu
Perdana Menteri Singapura, sebagai berikut:
... sistem lama poligami akan meningkatkan para cendekiawan di masyarakat
untuk melahirkan anak lebih banyak ... Seorang bujangan yang sukses, atau
seorang usahawan yang berhasil atau seorang petani yang cemerlang
sebaiknya mempunyai istri lebih dari satu. Sebaliknya yang tidak berhasil
mirip singa atau rusa jantan yang lemah di sebuah hutan dan harus
menyerah kepada yang lebih kuat ...
Motif-motif yang lainnya, seperti misalnya Rasulullah Saw., berpoligami
mempunyai motif untuk mendukung keberhasilan perjuangan menegakkan ajaran
beliau.14
Menurut Abd al-Aziz al-'Arusi;
Ketetapan hukum Ilahi, dalam keadaan biasa, menghendaki agar laki-laki
beristrikan satu. Adapun setelah usai peperangan, maka laki-laki yang
berkemampuan diperintahkan agar beristrikan lebih dari satu, guna
mencegah terjadinya penzaliman terhadap segolongan wanita, dan untuk
mencegah meluasnya kerusakan dalam masyarakat. Sekarang tinggal kita
13
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Ideologi, Bandung:
Teraju, 2003, hlm. 314 14
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Semarang: Walisongo Press, 1995, hlm. 164-165
dan 166
101
mengetahui siapa laki-laki yang mampu mengawini lebih dari satu istri. la
tentunya adalah orang yang memiliki kelebihan harta dan kesehatan
jasmani. Sebab perkawinan itu memerlukan harta, waktu dan tenaga. Oleh
karena itu, maka jumlah laki-laki yang mampu itu kecil, artinya jauh lebih
kecil dari jumlah wanita yang tak berjodoh. Oleh karena itu wajib bagi
orang mampu, untuk mengawini dua atau lebih dari mereka. Dan mengingat
poligami merupakan beban dan bukan kesenangan, maka Allah telah
menetapkan batas jumlah terbanyak istri itu pada empat saja. Berdasarkan
ini, maka poligami itu adalah kewajiban manusiawi, guna memenuhi
pelayanan sosial insani. Dan itu adalah suatu penyelesaian terpaksa dalam
menghadapi kondisi khusus, dan bukan sebagai hak yang dibolehkan untuk
setiap laki-laki, dalam setiap waktu dan dalam setiap kondisi, sebagaimana
dikira orang dan sebagaimana dibenarkan oleh Undang-Undang.15
Sejalan dengan itu Mustafa al-Siba'i berpendapat:
Sesungguhnya poligami, khususnya poligami yang diatur Islam, adalah teori
yang bermoral (akhlaqiy) dan humanis (insaniy). la disebut bermoral
(akhlaqiy) karena ia tidak mengizinkan suami berhubungan dengan
sembarang perempuan yang disukai, kapan pun dia mau. Suami dilarang
mempunyai istri lebih dari empat. Suami dilarang berhubungan dengan
salah satu di antara mereka secara rahasia. Tetapi harus berlandaskan akad
dan harus diumumkan, meski hanya diketahui oleh orang dalam jumlah
yang terbatas. Wali dan wanita harus mengetahui dan menyetujui ikatan ini,
atau dalam artian tidak mengajukan penolakan. Sesuai dengan peraturan
modern, hubungan ini harus tercatat dalam Kantor Urusan Agama. Selain
itu, disunahkan bagi pihak laki-laki untuk mengadakan pesta pernikahan
(walimah) dengan mengundang para kolega, disertai alunan kendang
(musik) sebagai tanda kebahagiaan dan penghormatan.16
Selanjutnya menurut Mustafa al-Sibai, poligami disebut humanis (akhlaqiy)
karena ia meringankan beban laki-laki yang harus memikul tanggung jawab
menafkahi perempuan yang tidak bersuami. Dengan menjadikan perempuan tersebut
sebagai istri, laki-laki ini membawa sang perempuan ke dalam kehidupan rumah
tangga yang terjaga kehormatannya. Di samping itu, laki-laki membayarkan "harga"
hubungan biologis dengan mahar, perabot rumah tangga dan nafkah yang
bermanfaat bagi masyarakat dalam menciptakan keturunan yang berkualitas.17
15
Abdul Aziz Al-'Arusi, Menuju Islam yang Benar, terj. Agil Husin al-Munawar dan Hadri
Hasan, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994, hlm. 210 16
Mustafa al-Siba'i, Mengapa Poligami Penalaran Kasus dan Pelurusan Tafsir Ayat Poligami,
Jakarta: Azan, 2002, hlm. 47 17
Ibid, hlm. 48
102
Dengan poligami, masih menurut Mustafa al-Sibai, suami tidak melempar
beban tanggung jawab hamil hanya pada sang istri. Tetapi dia berbuat adil pada sang
istri dengan memberinya nafkah ketika hamil dan melahirkan. Alasan lain yang
menjadikan poligami humanis adalah karena suami mengakui anak-anak yang lahir
dari istrinya. Dia mengatakan pada masyarakat bahwa anak-anaknya adalah buah
dari rasa cinta yang mulia dan terhormat. Dia merasa bangga dengan mereka.
Demikian pula dengan bangsa, mereka bangga dengan anak-anak yang akan
menjadi pemimpin masa depan. Dalam kerangka prinsip poligami, sesungguhnya
manusia membatasi nafsunya hingga batas-batas tertentu, namun dia melipatkan
beban dan tanggung jawabnya sampai pada batas yang tak terhingga. Tak dapat
disangkal lagi, bahwa poligami adalah prinsip bermoral yang tetap mengedepankan
akhlak. Ia juga bernilai humanis karena ia menjunjung nilai kemanusiaan.18
Sehubungan dengan pendapat di atas, Mahmud Yunus menyatakan:
Hikmah dibolehkan laki-laki beristeri lebih dari seorang, ialah karena pada
umumnya kaum laki-laki sedikit jumlahnya dari pada kaum perempuan,
terutama disebabkan karena banyak yang mati dalam peperangan. Oleh
sebab itu laki-laki dibolehkan beristeri lebih dari seorang, supaya janda-
janda yang kematian suami dapat bantuan dari pada suaminya yang kedua.
Hal ini nyata dengan perbuatan Nabi Muhammad s.a.w. Isten-isteri beliau
cuma seorang saja yang perawan, yang lain-lain semuanya janda, sebagai
bukti, bahwa beliau beristeri lebih dari seorang, ialah karena membantu
kehidupan perempuan-perempuan janda itu.19
Selanjutnya menurut Mahmud Yunus, lain dari pada itu Nabi beristri
perempuan suku-suku Arab, untuk menarik hati suku-suku itu, agar mereka masuk
agama Islam dan membantu Nabi untuk menyiarkannya. Memang hubungan
semenjak itu salah satu alat untuk memperkuat perhubungan silatur rahim antara
satu suku dengan yang lain, terutama di tanah Arab pada masa itu. Suku Bani
Musthaliq masuk agama Islam, lantaran Nabi menikah dengan puteri anak rajanya,
18
Ibid, hlm. 49 19
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab Syafi'i, Hanafi, Maliki,
Hanbali, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990, hlm. 31
103
bernama Juwairiah. Hikmah yang lain ialah supaya umat Islam banyak berkembang,
sehingga besar jumlah penduduknya. Dengan demikian umat Islam akan menjadi
umat yang kuat, dapat mempertahankan agama dan negaranya, Umat yang sedikit
jumlahnya dengan mudah dapat dijajah oleh bangsa yang kuat.20
Setengah ahli pikir Bangsa Barat kata Mahmud Yunus ada yang merasa amat
sayang dan sedih, lantaran penduduk negerinya makin lama, makin bertambah
kurang juga, sebab dilarang keras beristeri lebih dari seorang, apalagi kebanyakan
pemuda tiada mau beristri karena takut akan resikonya, memberi nafkah istri dan
anak, dan lebih senang melepaskan hawa nafsunya dengan berfoya-foya dan
pergaulan bebas yang tak ada batasnya antara pemuda dan pemudi. Oleh sebab itu,
di negeri yang seperti demikian keadaannya, banyak dijumpai anak-anak yang tiada
sah, serta merajalela penyakit kotor yang amat berbahaya. Menurut statistik, bahwa
di negara yang dilarang keras berpoligami, amat banyak diperoleh anak zina. Di
Perancis jumlahnya kurang lebih 30%, di Munech 40%, di Austria 50%, di Brussel
60 %. 21
Tidak berbeda dengan pendapat di atas, Hilman Hadikusuma menambahkan:
Wahyu Tuhan itu jelas menunjukkan bahwa ummat Islam boleh kawin
sampai dengan empat isteri dalam waktu yang bersamaan, dengan sarat jika
dapat berlaku adil. Yang dimaksud dengan kata dapat-berlaku adil' adalah
dapat memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya, sandang pangan,
tempat kediaman, giliran mengunjungi, pemeliharaan dan pendidikan anak-
anak, budi pekerti dan agama mereka, tidak menimbulkan kericuhan
keluarga terus menerus, dsbnya. Jika tidak sanggup berlaku adil cukuplah
kawin dengan satu isteri saja. Jadi Islam membolehkan manusia beristeri
sampai empat orang, boleh berpoligami, tetapi poligami yang tertutup atau
terbatas.22
Syeikh Ali Ahmad Al-Jarjawi dalam kitabnya, Hikmah al-Tasyri' wa
Falsafatuh menyatakan:
20
Ibid, hlm. 31 21
Ibid, hlm. 32 22
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat
Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 1990, hlm. 39
104
Hikmah Ilahi telah mengungkapkan bahwa seorang lelaki akan tetap mampu
bereproduksi walaupun ia telah berusia lanjut, bahkan pada usianya
kedelapan puluh tahun. Di lain sisi pun terungkap bahwasanya seorang
wanita bila telah mencapai usia lima puluh tahun atau lima puluh lima
tahun, maka pada umumnya ia akan mengalami masa menopouse. Bila
mencermati kondisi antara kehidupan seorang lelaki dan wanita, maka kita
akan bisa mendapati bahwa kehidupan seorang wanita lebih melelahkan
dalam kehidupan rumah tangganya. Seorang wanita mengalami masa hamil,
melahirkan, nifas, dan juga masa di mana ia harus mendidik anak dan
keturunannya. Proses mendidik inilah yang mengantarkannya kepada
kelelahan yang sangat dan tidak bisa disembunyikan dari dalam dirinya.
Sedangkan, seorang wanita diharapkan mampu bereproduksi dan
memperbanyak keturunan. Rahasia dari harapan tinggi pada kaum wanita ini
kembali pada kaum muslimin itu sendiri. Di saat mereka menikah dan
mampu memiliki keturunan yang banyak, maka pada saat itu pula jumlah
kaum muslimin itu sendiri akan bertambah banyak dan kemuliaan kaum
muslimin pun makin menyebar luas. Sesungguhnya jumlah yang banyak
akan lebih baik dari jumlah minimalis dalam melakukan suatu pekerjaan.
Sebaik-baiknya pekerjaan adalah yang dilakukan secara bergotong royong
oleh banyak kaum muslimin. Salah satu faktor yang mempercepat
banyaknya keturunan adalah adanya poligami. Selain itu pula, ada hikmah
lainnya di balik poligami. Sesungguhnya seorang lelaki akan menghadapi
bahaya dan kesulitannya bila ia hanya memiliki satu istri saja. Seorang
lelaki umumnya memiliki hasrat seksual yang tinggi, sedangkan seorang
wanita umumnya mengalami masa haid hingga ia tidak bisa didekati oleh
sang suami yang menginginkannya. Masa minimal haid seorang wanita
adalah tiga hari dan masa maksimalnya adalah sepuluh hari lamanya.23
Di saat seorang lelaki mengalami hasrat seksualnya yang tinggi, sedang pada
saat itu sang istri sedang haid, maka tentunya ia tidak bisa menyalurkan hasrat
seksualnya tersebut karena akan membawa dampak buruk bagi istrinya. Hal ini
tentunya bukan masalah bila ia memiliki istri lain, hingga ia tetap bisa menyalurkan
hasrat seksualnya dengan aman dan ia pun akan terhindar dari praktek perzinaan.
Semua hal yang mengarah kepada perzinaan hanya membawa pelakunya kepada
dosa yang sangat besar sebagaimana firman Allah,
23
Syeikh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Hikmah al-Tasyri' wa Falsafatuh, Juz II, Beirut: Dâr al-Fikr,
1980, hlm. 6
105
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. al-
Israa: 32).24
Dengan berpoligami, maka para suami akan terhindar dari perzinaan yang
berdampak buruk tersebut. Para pakar dan spesialis telah berhasil mengungkapkan
bahwa suatu umat yang melarang praktik poligami pada umumnya memiliki jumlah
anak hasil zina yang lebih banyak dari umat yang membolehkan praktik poligami.
Di Perancis, jumlah anak hasil hubungan zina mencapai 30% dari jumlah anak yang
dilahirkan. Di Munich, jumlah mereka mencapai 40%. Di Namsa mencapai 50%
dan di Brokshel mencapai 60 %. Bila kamu mampu memahami hal tersebut, maka
tentunya kau bisa dengan mudah memahami hikmah di balik ditetapkannya syariat
pernikahan dan juga ditetapkannya poligami, yakni sebagai satu usaha untuk bisa
memakmurkan bumi ini. Pembangunan dan pengaturan di muka bumi ini
membutuhkan banyak faktor materi dan seni yang semuanya itu bisa didapatkan
melalui pernikahan dan poligami.25
Dunia kerahiban pada umumnya melarang seorang lelaki untuk mendekati
wanita. Bila hal ini terus berkembang, maka sedikitlah generasi dan turunan yang
hadir dan dilahirkan. Hal ini akan berdampak pada sedikitnya manusia yang mampu
membangun bumi dengan sebaik-baiknya. Selain itu, ada hikmah lain di balik
ditetapkannya poligami, yakni bila seorang lelaki hanya memiliki satu istri saja, lalu
sang istri menderita suatu penyakit tertentu, maka bisa dibayangkan bagaimana
kehidupan rumah tangganya akan hancur berantakan karena tidak ada orang yang
bisa 'mengaturnya. Dengan demikian, poligami merupakan satu rahmat dan karunia
bagi manusia. Inilah hikmah di balik penetapan poligami. Semua pendapat yang
24
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI,
1978, hlm. 429. 25
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab Syafi'i, Hanafi, Maliki,
Hanbali, op.cit., hlm. 7.
106
merendahkan ketetapan Islam ini tidak pernah memikirkan hal ini. Betapa mulia
hukum syariat. Betapa agama ini sangat memperhatikan semua permasalahan yang
ada dengan proporsional.
Menarik untuk diketengahkan pendapat Ahmad Azhar Basyir:
Dihubungkan dengan masalah perkawinan, dapat dikemukakan macam-
macam keadaan yang memerlukan pemecahan sebagai berikut:
a. Apabila ada orang laki-laki yang kuat syahwatnya, baginya seorang istri belum
memadai, apakah ia dipaksa harus hanya beristri satu orang, dan untuk
mencukupkan kebutuhannya dibiarkan berhubungan dengan orang lain di luar
perkawinan? Dalam hal ini, agar hidupnya tetap bersih, kepadanya diberi
kesempatan untuk berpoligami asal syarat akan dapat berbuat adil dapat
terpenuhi.
b. Apabila ada seorang suami benar-benar ingin mempunyai anak (keturunan),
padahal istrinya ternyata mandul, apakah suami itu harus mengorbankan
keinginannya untuk berketurunan? Untuk memenuhi tuntutan naluri hidup
suami subur yang beristri mandul, ia dibenarkan kawin lagi dengan perempuan
subur yang mampu berketurunan.
c. Apabila ada istri yang menderita sakit hingga tidak mampu melayani suaminya,
apakah suami harus menahan saja tuntutan biologisnya? Untuk memungkinkan
suami terpenuhi hasrat naluriahnya dengan jalan halal, kepadanya diberi
kesempatan kawin lagi.
d. Apabila suatu ketika terjadi dalam suatu masyarakat, jumlah perempuan lebih
besar dari jumlah laki-laki, apakah akan dipertahankan laki-laki hanya boleh
kawin dengan seorang istri saja? Bagaimana nasib perempuan yang tidak
sempat memperoleh suami? Untuk memberi kesempatan perempuan-perempuan
107
memperoleh suami, dan dalam waktu sama untuk menjamin kehidupan yang
lebih stabil, jangan sampai terjadi permainannya tindakan-tindakan serong.26
Demikianlah contoh alasan-alasan yang dapat menjadi pertimbangan kawin
poligami itu, yang merupakan alasan moral, biologis, dan sosial ekonomis. Dengan
memperhatikan konteks Ayat 3 QS. al-Nisa yang membolehkan perkawinan
poligami tersebut dapat diperoleh ketentuan bahwa perkawinan poligami menurut
ajaran Islam merupakan kekecualian yang dapat ditempuh dalam keadaan yang
mendesak. Dalam keadaan biasa, Islam berpegang kepada prinsip monogami, kawin
hanya dengan seorang istri saja, yang dalam ayat al-Qur'an tersebut dinyatakan akan
lebih menjamin suami tidak akan berbuat aniaya.27
Syarat poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak ada ketentuan
secara pasti, namun di Indonesia dengan Undang Nomor 1/1974 Tentang
Perkawinan dan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur tentang syarat polgami.
Menurut ketentuan pasal 5 UU Perkawinan dijelaskan:
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-
anak mereka.
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal tersebut tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
26
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 1999, hlm. 39 27
Ibid., hlm. 39.
108
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak
ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fiqh al-Sunnah menyatakan:
Merupakan karunia Allah dan rahmat-Nya kepada manusia membolehkan
adanya poligami dan membataskan sampai empat saja. Bagi laki-laki boleh
kawin dalam waktu yang sama lebih dari seorang istri, dengan syarat
sanggup berbuat adil terhadap mereka dalam urusan belanja dan tempat
tinggal. Bilamana ia takut berbuat zalim dan tidak dapat memenuhi
kewajiban yang seharusnya dipikul, haramlah baginya kawin lebih dari
seorang perempuan. Bahkan jika dia takut berbuat zalim, tidak mampu
untuk melayani hak seorang istri saja, maka haram baginya kawin sampai
nanti ia terbukti mampu untuk kawin.28
Untuk menjaga agar kebolehan kawin poligami tidak disalahgunakan oleh
laki-laki yang kurang mendalami maksud dan tujuan perkawinan menurut ajaran
Islam atas dasar mashlahah-mursalah, negara dibenarkan mengadakan penertiban,
tetapi tidak berkecenderungan untuk menutup sama sekali pintu poligami.
Bandingkan dengan Undang-undang Perkawinan No. 1/1974 Pasal 3,4, dan 5 yang
menentukan bahwa perkawinan berasas monogami, tetapi membuka kemungkinan
poligami atas izin pengadilan dengan alasan-alasan istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri mandul, dan dengan syarat mendapat izin istri/istri-istri
yang terdahulu, mampu memberikan nafkah dan dapat berlaku adil.
Kembali pada substansi atau inti pokok pendapat Hasbullah Bakry.
Menurut Hasbullah Bakry,
Untuk melakukan poligami itu menurut syari’at Islam tidak disyaratkan
untuk disetujui lebih dulu oleh istri atau para istri yang ada. Hanya saja
jumlah semua istri itu tidak boleh lebih dari empat orang istri semuanya,
baik keempatnya wanita merdeka atau sebagian mereka adalah budak.
Mengenai syarat-syarat poligami yang diterapkan dalam Undang-Undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974 ialah: Suami yang ingin poligami harus ada
persetujuan dari istri yang ada sebelum dapat izin poligami dari Pengadilan
Agama. Hal itu tidak menghilangkan ketentuan syari’at Islam bahwa
28
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, Juz 2, tth, hlm. 189
109
poligami tanpa persetujuan istri yang ada dan tanpa izin dari Pengadilan
Agama adalah tetap sah apabila pernikahannya sendiri memenuhi rukun
nikah seperti yang ditentukan oleh syariat Islam yaitu ada kedua pengantin,
ada wali dan dua saksi, dan ada ijab kabul yang memenuhi syarat
(pengucapannya).29
Menurut penulis, bahwa ijtihad Hasbullah Bakry tentang poligami adalah
bahwa poligami tidak memerlukan persetujuan istri, sedangkan ijtihad UU No. 1
Tahun 1974 dan KHI adalah mengharuskan ada persetujuan dari istri. Ijtihad
Hasbullah Bakry yang mengatakan bahwa poligami tidak memerlukan persetujuan
istri adalah sangat bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, juga bertentangan dengan Pasal 58 KHI.
Menurut ketentuan pasal 5 UU Perkawinan dijelaskan:
1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
d. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
e. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
f. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
2. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim
Pengadilan.
29
Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, Jakarta: UI Press, 1988, hlm. 176-178.
110
Pasal 58 KHI menyatakan:
(1). Selain syarat utama yang disebut pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin
Pengadilan Agama harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal
5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:
a. adanya persetujuan isteri.
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak mereka.
(2). Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No.
9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis
atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini
dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(4). Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari
isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain
yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Menurut penulis, konsekuensi pendapat Hasbullah Bakry, yaitu dapat
menimbulkan poligami di bawah tangan/poligami ilegal/poligami liar. Poligami bisa
dilakukan tanpa izin pengadilan agama, sehingga akan muncul poligami liar.
Meskipun secara syariat Islam sah, namun poligami tanpa persetujuan istri, dan
tanpa izin pengadilan agama, poligami yang demikian tidak mendapat perlindungan
hukum.
111
Poligami hasil ijtihad Hasbullah Bakry hanya akan memunculkan
perceraian-perceraian di bawah tangan, juga poligami secara sirri (diam-
diam/tersembunyi). Hukum positif seperti UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam tidak akan lagi dipatuhi. Kondisi
berikutnya akan melahirkan perkawinan-perkawinan tidak tercatatr dan tidak
dilindungi hukum yang pada gilirannya hanya merugikan wanita dan berdampak
negatif bagi anak-anak. Istri dan anak tidak mendapat perlindungan hukum,
sehingga tidak memiliki hak dalam masalah waris, juga akan terjadi perdebatan
panjang tentang status anak di kemudian hari.
Oleh karena itu penulis tidak sependapat dengan Hasbullah Bakry juga tidak
sependapat dengan sayyid sabiq. Sebab, poligami yang tidak dilindungi hukum akan
berakibat kehilangan hak-hak istri, juga anak-anaknya tidak dilindungi hukum,
sehingga anak pun tidak mendapat waris dari bapak melainkan hanya dapat waris
dari pihak ibu. Jadi jika pendapat Hasbullah Bakry diterapkan, maka akan
menimbulkan kerugian-kerugian bagi istri juga anak-anaknya. Dengan demikian
poligami tanpa persetujuan istri juga tanpa izin pengadilan agama tidak membawa
maslahat melainkan madarat.
B. Analisis Komparasi Metode Ijtihad Antara Hasbullah Bakry dan UU No. 1
Tahun 1974 serta KHI
Jika dikomparasikan metode ijtihad antara Hasbullah Bakry dan UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo. KHI adalah sama yaitu mengacu pada surat an-
Nisa ayat 3, dan surat an-Nisa ayat 129. Perbedaannya hanya terletak pada
penafsiran. UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo. KHI menggunakan
penafsiran kontekstual yang tidak terpaku secara harfiah atau tekstual, namun lebih
melihat pada kemaslahatan. Sedangkan Hasbullah Bakry cenderung menggunakan
112
penafsiran tekstual atau harfiah, dan kaku, sehingga metode ijtihadnya tidak
merefleksikan kemaslahatan, dan tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
perkawinan yaitu membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah.
Al-Qur’an dalam surat an-Nisa ayat 3, dan surat an-Nisa ayat 129
menegaskan:
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya". (QS. an-Nisa: 3).30
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri (mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah
kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), hingga kamu biarkan
yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang". (4 : 129).31
Hamka, dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut:
Dalam pangkal ayat ini kita bertemu lanjutan tentang memelihara anak yatim
dan bertemu pula keizinan dari Tuhan untuk beristri lebih dari satu, sampai
dengan empat. Untuk mengetahui duduk soal, lebih baik kita terangkan
tafsiran dari Aisyah, istri Rasulullah sendiri, tentang asal mula datangnya
ayat ini, karena menjawab pertanyaan Urwah bin Zubair, anak Asma
saudara Aisyah. Urwah bin Zubair ini sebagai anak kakak Aisyah, kerapkali
bertanya kepada beliau tentang masalah agama yang musykil. Urwah bin
Zubair adalah murid Aisyah. Maka ditanyakanlah bagaimana asal mula
orang dibolehkan beristri lebih dari satu, sampai dengan empat dengan
30
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op.cit, hlm. 115. 31
Ibid., hlm. 143.
113
alasan memelihara harta anak yatim. (Riwayat dari Bukhari, Muslim, an-
Nasa'i, al-Baihaqi dan tafsir dari Ibnu Jarir).32
Maka pertanyaan Urwah bin Zubair itu dijawab oleh Aisyah: "Wahai
kemenakanku! Ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang di dalam penjagaan
walinya, yang telah bercampur harta anak itu dengan harta walinya. Si wali tertarik
kepada hartanya dan kepada kecantikan anak itu. Maka bermaksudlah dia hendak
menikahi anak asuhannya itu, tetapi dengan tidak hendak membayar maskawinnya
secara adil, sebagaimana pembayaran maskawinnya dengan perempuan lain. Oleh
karena niat yang tidak jujur ini, dilaranglah dia melangsungkan pernikahan dengan
anak itu, kecuali jika dibayarkan maskawin itu secara adil seperti kepada perempuan
lain. Dari pada berbuat sebagaimana niatnya yang tidak jujur itu, dia dianjurkan
lebih baik menikah saja dengan perempuan lain, walaupun sampai dengan empat.33
Lalu Aisyah meneruskan pembicaraannya:
Kemudian ada orang meminta fatwa kepada Rasulullah s.a.w tentang
perempuan-perempuan itu sesudah ayat ini turun. Maka turunlah ayat (Surat
an-Nisa' ini juga, ayat 127). "Mereka meminta fatwa kepadamu tentang
orang-orang perempuan. Katakanlah: Allah akan memberi keterangan
kepadamu tentang mereka, dan juga apa-apa yang dibacakan kepadamu di
dalam kitab (ini) dari hal anak-anak yatim perempuan yang kamu tidak mau
memberikan kepada mereka yang diwajibkan untuk mereka, padahal kamu
ingin menikahinya."
Maka kata Aisyah selanjutnya:
"Yang dimaksud dengan – yang dibicarakan kepadamu dalam kitab ini ialah
ayat yang pertama itu, yaitu "jika kamu takut tidak akan berlaku adil (bila
menikahi) anak-anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi. "Kata Aisyah selanjutnya: Ayat lain mengatakan: "Dan kamu ingin
menikah dengan mereka.." Yaitu tidak suka kepada anak yang dalam
asuhannya itu karena hartanya sedikit dan tidak berapa cantik. Maka
dilaranglah dia menikahi anak itu selama yang diharapkan hanya harta dan
kecantikannya, baru boleh dia nikahi kalau maskawinnya dibayar secara
adil.
32
Hamka, Tafsir Al Azhar, Jilid IV, Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1999, hlm. 287 33
Ibid, hlm. 287
114
Penafsiran yang sama dikemukakan oleh Ibnu Kasir bahwa ayat di atas
menunjukkan apabila di bawah asuhan seseorang terdapat seorang anak perempuan
yatim, dan ia merasa khawatir bila tidak memberikan kepadanya mahar, hendaklah
ia beralih mengawini wanita yang lain, karena sesungguhnya wanita yang lain
cukup banyak; allah tidak akan membuat kesempitan kepadanya.34
Dalam satu Hadits shahih yang lain pula disebutkan riwayat yang lain dari
Aisyah. Dia berkata: "Ayat ini diturunkan mengenai seorang laki-laki. Dia
mengasuh seorang anak yatim perempuan, dia walinya dan dia warisya. Anak itu
mempunyai harta dan tidak ada orang lain yang akan mempertahankannya. Tetapi
anak itu tidak dinikahinya, sehingga berakibat kesusahan bagi anak itu dan rusaklah
kesehatannya. Maka datanglah ayat ini: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil (bila menikahi) anak-anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi." Maksudnya: "Ambil mana yang halal bagi kamu dan
tinggalkan hal yang berakibat kesusahan bagi anak itu."
Ada pula riwayat lain yang shahih pula yang ada hubungan antara ayat ini
dengan ayat lain, yaitu: "Dan juga apa-apa yang dibacakan kepada kamu dari kitab
(ini) dari hal anak-anak yatim perempuan, yang kamu tidak mau memberikan
kepada mereka yang diwajibkan untuk mereka, padahal kamu ingin menikahinya."
Kata Aisyah: "Ayat ini diturunkan mengenai anak yatim perempuan yang tinggal
dengan seorang laki-laki yang mengasuhnya, padahal hartanya telah diserikati
pengasuhnya, sedang dia tidak mau menikahinya dan tidak pula melepaskannya
dinikahi oleh orang lain. Jadi, harta anak itu diserikatinya sedang diri anak itu
ditelantarkannya, dinikahinya sendiri tidak, diserahkannya supaya dinikahi orang
34
Al-Imam al-Hafizh Imaduddin Abul Fida Ismail ibn Kasir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Cairo:
Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, tth, hlm. 433
115
lainpun tidak.35
Setelah menilik ketiga riwayat yang shahih dari Aisyah ini maka mendapat
satu kesimpulan mengapa ada hubungan antara perintah memelihara anak yatim
perempuan dengan keizinan beristri lebih dari satu sampai dengan empat.
Ayat 2 dan 3 Surat Al-Nisa di atas berkaitan (ada relevansinya), sebab ayat 2
mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatim, bahwa mereka
berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik
dengan yang jelek dengan jalan yang tidak sah; sedangkan ayat 3 mengingatkan
kepada para wali anak wanita yatim yang mau mengawini anak; yatim tersebut, agar
si wali itu beritikad baik dan adil serta fair, yakni si wali wajib memberikan mahar
dan hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininya. la tidak boleh
mengawininya dengan maksud untuk memeras dan menguras harta anak yatim atau
menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal ini
berdasarkan keterangan Aisyah ra waktu ditanya oleh Urwah bin Al-Zubair ra
mengenai maksud ayat 3 Surat Al-Nisa tersebut.36
Jika wali anak wanita yatim tersebut khawatir atau takut tidak bisa berbuat
adil terhadap anak yatim, maka ia (wali) tidak boleh mengawini anak wanita yatim
yang berada di bawah perwaliannya itu; tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain
yang ia senangi, seorang istri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu
berbuat adil terhadap istri-istrinya. Dan jika ia takut tidak bisa berbuat adil terhadap
istri-istrinya, maka ia hanya boleh beristri seorang, dan ini pun ia tidak boleh
berbuat zalim terhadap istri yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula kalau
35
Ibid, hlm. 433 – 434 36
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, juz 4, Kairo: Al-Manar, 1367 H, hlm. 344-345
116
berbuat zalim terhadap istrinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin
dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.37
Menurut Ibnu Jarir, bahwa sesuai dengan nama surat ini Surat Al-Nisa, maka
masalah pokoknya ialah mengingatkan kepada orang yang berpoligami agar berbuat
adil terhadap istri-istrinya dan berusaha memperkecil jumlah istrinya agar ia tidak
berbuat zalim terhadap keluarganya. Sedangkan menurut Aisyah ra yang didukung
oleh Muhammad Abduh, bahwa masalah pokoknya ialah masalah poligami, sebab
masalah poligami dibicarakan dalam ayat ini adalah dalam kaitannya dengan
masalah anak wanita yatim yang mau dikawini oleh walinya sendiri secara tidak
adil atau tidak manusiawi. Kemudian ada pendapat lain lagi, ialah Al-Razi, bahwa
yang dimaksud dengan ayat ini ialah larangan berpoligami yang mendorong orang
yang bersangkutan memakai harta anak yatim guna mencukupi kebutuhan istri-
istrinya.
Menurut Rasyid Ridha, pendapat Al-Razi tersebut lemah, tetapi ia
menganggap benar, jika yang dimaksud dengan ayat 3 Surat Al-Nisa itu mencakup
tiga masalah pokok yang masing-masing dikemukakan oleh Ibnu Jarir, Muhammad
Abduh, dan Al-Razi. Artinya, dengan menggabungkan tiga pendapat tersebut di
atas, maka maksud ayat tersebut ialah untuk memberantas/melarang tradisi zaman
Jahiliyah yang tidak manusiawi, yaitu wali anak wanita yatim mengawini anak
yatimnya tanpa memberi hak mahar dan hak-hak lainnya dan ia bermaksud untuk
makan harta anak yatim dengan cara tidak sah, serta ia menghalangi anak yatimnya
kawin dengan orang lain agar ia tetap leluasa menggunakan harta anak tersebut.
37
Ibid, hlm. 350. Mengenai menggauli budak wanita (budak yang diperoleh dari peperangan
yang bermotifkan agama, bukan ekonomi/perdagangan dan sebagainya) ada dua pendapat: a. Jumhur
salaf dan khalaf mewajibkan lewat nikah syar'i; dan b. Sebagian ulama membolehkan dengan cara tasarri
(pergundikan). Lihat Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, juz 5, Mesir: Darul Manar, 1374 H, hlm. 3-6;
Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, Lahore: The Ahmadiyah Anjuman Isya'at Islam, 1950,
hlm. 662-663. Bandingkan Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri' wa Falsafatuh, Juz 2, Cairo: Al-
Mathba'ah al-Yusufiyah, 1931, hlm. 20-21.
117
Demikian pula tradisi zaman Jahiliyah yang mengawini istri banyak dengan
perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi, dilarang oleh Islam berdasarkan
ayat ini.38
Dalam hadis ditentukan sebagai berikut:
39
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Musaddad dari Yahya dari
Ubaidillah berkata: telah mengabarkan kepadaku dari Sa'id bin Abi Sa'id
dari Bapaknya dari Abu Hurairah r.a., Nabi saw. bersabda: Wanita
dikawini karena empat hal: karena harta-bendanya, karena status
sosialnya, karena keindahan, wajahnya, dan karena ketaatannya kepada
agama. Pilihlah wanita yang taat kepada agama, maka kamu akan
berbahagia (HR. al-Bukhari)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa surat an-Nisa ayat 2
dan 3 serta ayat 129 serta hadis di atas merupakan ayat dan hadis yang mengangkat
harkat dan martabat wanita. Dengan ayat tersebut maka kaum pria tidak
diperkenakan memperlakukan wanita semena-mena.
Berdasarkan uraian di atas, menurut penulis, dalil-dalil yang digunakan
Hasbullah Bakry tidak ada kaitannya dengan kebolehan poligami tanpa persetujuan
istri dan tanpa izin pengadilan agama.
Berdasarkan keterangan tersebut, penulis tidak setuju dengan dalil dan
pendapat Hasbullah Bakry yang membolehkan poligami tanpa persetujuan istri, dan
tanpa izin pengadilan agama.
38
Muhammad Rasyid Ridha, op. cit., hlm. 347-348. 39
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-Bukhari, Juz
3, Sahih al-Bukhari, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 256.
118
Dalam Islam tidak dijumpai persyaratan-persyaratan secara detail yang harus
ditempuh bagi seseorang yang akan melakukan poligami, selain dari perintah
berlaku adil. Akan tetapi, perintah berlaku adil itu pun bersifat sangat umum. Oleh
sebab itu, pakar-pakar hukum Islam di Indonesia berijtihad memahami pesan-pesan
yang tertera di dalam al-Qur'an Surat an-Nisa' [4]: 4 tentang poligami, dan hasil dari
ijtihad itu dirumuskan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam.
Ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut merupakan syarat yang
wajib dipenuhi oleh seseorang yang akan melakukan poligami. Secara lengkap
dinukil di sini ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
tersebut.
Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut
dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-
anak mereka.
119
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim
Pengadilan.
Persyaratan yang terkandung pada ketentuan di atas dibedakan menjadi dua
macam. Pertama, persyaratan yang terdapat dalam Pasal 4 tersebut adalah
persyaratan yang bersifat fakultatif. Artinya bahwa jika seorang suami mengajukan
salah satu saja dari tiga hal tersebut sebagai alasan permohonan poligami, dan alasan
tersebut di persidangan terbukti, maka sudah cukup bagi hakim untuk mengabulkan
permohonan poligami tersebut.
Kedua, persyaratan yang terdapat dalam Pasal 5 di atas adalah persyaratan
yang bersifat imperatif-kumulatif. Artinya bahwa semua persyaratan tersebut harus
terpenuhi di dalam permohonan poligami tersebut. Satu item saja tidak dipenuhi,
maka menjadi alasan bagi hakim untuk menolak permohonan poligami tersebut.
Jika seorang suami melakukan poligami dan tidak mau tunduk kepada
ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang tersebut maka orang tersebut jelas
tidak patuh hukum. Karena tidak patuh hukum, perkawinannya tersebut tidak akan
dilindungi oleh hukum. Perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada,
Secara hukum bukan hanya perkawinannya tidak dilindungi oleh hukum,
tetapi segala akibat dari perkawinan tersebut, seperti anak, harta kekayaan, tidak
akan dilindungi oleh hukum. Kedudukan perkawinannya sama dengan perkawinan
sirri (perkawinan sembunyi-sembunyi/di bawah tangan).
top related