bab ii tinjauan pustaka a. chronic kidney disease (ckd) 1
Post on 03-Oct-2021
0 Views
Preview:
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab II ini akan menguraikan konsep-konsep teori yang mendukung dalam
penelitian, meliputi: Chronic Kidney Disease (CKD), Hemodialysis, dan Pruritus
pada klien CKD.
A. Chronic Kidney Disease (CKD)
1. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan secara operasional oleh
National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative (K/DOQI) sebagai kondisi dimana ginjal mengalami kerusakan
selama 3 bulan atau lebih, yang dimanifestasikan dengan abnormalitas
struktur atau fungsional ginjal, dengan penurunan Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG) hingga kurang dari 60mL/Min/1.73 m2, disertai
dengan abnormalitas hasil pemeriksaan laboratorium darah, urine atau
pemeriksaan imaging dan kondisi klien yang semakin memburuk (Shafi
& Coresh, 2010).
Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) merilis pedoman
baru tentang stage CKD yang mengintegrasikan albuminuria sebagai
penentu tingkat keparahan penyakit. Pedoman baru memurnikan definisi
CKD sebagai kelainan struktur atau fungsi ginjal, selama > 3 bulan,
dengan berdampak kepada kesehatan individu, serta mengklasifikasikan
CKD berdasarkan kategori CGA yaitu: penyebab / Cause (C), GFR (G),
dan albuminuria (A) (Lester & Robinson, 2014).
2. Klasifikasi CKD
Klasifikasi CKD berdasarkan K/DOQI tahun 2002 menjadi tonggak
sejarah evolusi nefrologi, akan tetapi saat ini klasifikasi tersebut
7
8
mengalami pergeseran paradigma. Kidney Disease Improving Global
Outcomes (KDIGO) merilis pedoman baru tentang stage CKD
berdasarkan kategori CGA yaitu: penyebab / Cause (C), GFR (G), dan
albuminuria (A) (Lester & Robinson, 2014).
Gambar 2.1.
Klasifikasi CKD
Prognosis untuk CKD berdasarkan kategori GFR
dan albuminuria
KDIGO 2012
Kategori albiminuria persisten
Deskripsi dan skala
A1 A2 A3
Normal
sampai
penurunan
ringan
Penurunan
sedang
Penurunan
berat
<30mg/g
<3mg/mmol
30-300mg/g
3-30mg/mmol
>300mg/g
>30mg/mmol
Kat
ego
ri G
FR
(m
l/m
in/1
,73
m2)
Des
kri
psi
dan
skal
a
G1 Normal atau
tinggi >90
G2 Mengalami
penurunan ringan 60-89
G3a Penurunan ringan
sampai sedang 45-59
G3b Penurunan sedang
sampai berat 30-44
G4 Penurunan
berat 15-29
G5 Kidney
Failure <15
Keterangan: hijau: risiko rendah (bila tidak penanda lain dari penyakit ginjal,
bukan CKD); Kuning: moderat peningkatan resiko; Orange: berisiko tinggi;
Merah, risiko yang sangat tinggi.
Sumber : (Inker et al., 2014)
9
3. Epidemiologi
Perkiraan secara agregat menunjukkan bahwa CKD mempengaruhi
sebanyak 1 dari 10 orang dewasa (10%) atau lebih dari 500 juta orang di
seluruh dunia menderita CKD (Lester & Robinson, 2014). Di Indonesia
berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 jumlah
penderita CKD yang di diagnosa dokter sebanyak 0,2% dari jumlah
responden, sedangkan kejadian CKD di Jatim urutan kelima dengan 0,3
% setelah sulawesi Utara 0,4 % (Kemenkes RI, 2013).
4. Etiologi
CKD bisa diakibatkan dari penyakit ginjal mendasar sebagai hasil dari
baik secara acute kidney injury atau penyakit ginjal progresif yang
lambat (Shafi & Coresh, 2010). National Kidney Foundation membagi 2
kategori potensial resiko terjadinya CKD, yaitu: (Inker et al., 2014)
a. Faktor klinik
1) Diabetes
2) Hypertensi
3) Penyakit autoimun
4) Infeksi sistemik
5) Urinary Tract Infection
6) Batu ginjal
7) Obstruksi saluran kencing bawah
8) Neoplasma
9) Riwayat keluarga CKD
10) Recovery dari Acute Kidney Failure
11) Reduksi masa ginjal
12) Paparan obat
13) Berat Badan Lahir Rendah
b. Faktor sosialdemografis
1) Usia lanjut
2) Etnik atau suku
10
3) Paparan bahan kimia dan kondisi lingkungan
4) Penghasilan dan pendidikan rendah
5. Manifestasi klinis
CKD pada umumnya adalah silent condition, jika ada tanda dan gejala
umumnya tidak spesifik, seperti : kelemahan, nafsu makan menurun,
mual, perubahan buang air kencing (nokturia, poliuri, dan frekuensinya),
darah dalam urin atau urin berwarna gelap, urin berbusa atau berbuih,
nyeri pinggang, bengkak, tekanan darah tinggi, kulit pucat (Arici, 2014).
Tidak seperti penyakit kronis lainnya, CKD tidak menunjukan petunjuk
untuk diagnosis serta tingkat keparahan. Gejala khas dan tanda-tanda
uremia tidak pernah muncul di CKD tahap awal sampai terlihat pada
CKD tahap akhir seperti: (Arici, 2014)
a. secara umum (lemah, fatigue, tekanan darah tinggi, tanda-tanda
overload cairan, penurunan mental, cegukan keras, bau khas uremik)
b. kulit (tampak pucat, pruritus, uremic frost)
c. Paru (dyspnea, efusi pleura, edema paru, uremik paru)
d. Kardiovaskular (friction rub perikardial, gagal jantung kongestif)
e. Gastrointestinal (anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan,
stomatitis, rasa tidak enak di mulut)
f. Neuromuskuler (kedutan otot, perifer sensorik dan motorik
neuropati, kram otot, gangguan tidur, hyperreflexia, kejang,
ensefalopati, koma)
g. Endokrin-metabolik (penurunan libido, amenore, impotensi)
h. Hematologi (anemia, perdarahan diatesis)
6. Management terapi CKD
Penggunaan terapi pengganti ginjal menjadi perlu ketika ginjal tidak bisa
lagi menghilangkan kotoran, mempertahankan elektrolit, dan mengatur
keseimbangan cairan. Hal ini dapat terjadi dengan cepat atau selama
11
periode waktu yang panjang dan kebutuhan untuk terapi pengganti ginjal
dapat akut (jangka pendek) atau (jangka panjang) kronis. Terapi
pengganti ginjal yang utama termasuk berbagai jenis dialisis dan
transplantasi ginjal. Jenis dialisis termasuk hemodialisis, CRRT, dan PD
(Smeltzer et al., 2010)
B. Hemodialisis
1. Definisi dan tujuan hemodialisis
Hemodialisa merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan selaput membran semi permiabel (dialiser), yang berfungsi
seperti nefron sehingga mengeluarkan produk sisa metabolisme dan
mengoreksi gangguan keseimbangan cairan elektrolit pada klien gagal
ginjal (Smeltzer et al., 2010; Thomas, 2014). Prosesnya dimana terjadi
difusi partikel terlarut (solut) dan air secara pasif melalui satu
kompartemen cair yaitu darah menuju kompartemen cair lainnya yaitu
cairan dialisat melewati membran semipermeabel dalam dialiser (Yeun &
Depner, 2010).
Tujuan hemodialisa untuk megendalikan uremia, kelebihan cairan dan
ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada klien CKD tahap
akhir.hemodialisa efektif mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa
metabolisme tubuh, sehingga secara tidak langsung bertujuan
memperpanjang umur klien (Yeun & Depner, 2010).
2. Prevalensi hemodialisis
Menurut data dari Indonesian Renal Registry, pada tahun 2014 terjadi
peningkatan klien pengguna hemodialisis dari tahun sebelumnya, yaitu
klien baru yang menjalani hemodialisis berjumlah 17.193 klien yang aktif
menjalani hemodialisis 11.689 orang. Sedangkan Jawa Timur menjadi
urutan kedua setelah Jawa Barat dengan jumlah klien baru 3.621 dan klien
yang aktif sebanyak 2.787 (PERNEFRI, 2014).
12
3. Indikasi dilakukan hemodialisis
Hemodialisis diindikasikan pada klien dalam keadaan akut yang
memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hinggabeberapa
minggu) atau klien dengan penyakit ginjal tahap akhir yang membutuhkan
terapi jangka panjang/ permanen. Secara umum indikasi dilakukan
hemodialisis pada gagal gginjal kronis adalah : 1) LFG kurang dari 15
ml/menit; 2) hiperkalemia; 3) asidosis; 4) kegagalan terapi konservatif; 5)
kadar ureum lebih dari 200 mg/ dl dan kreatinin lebih dari 6 mEq/L; 6)
kelebihan cairan; 7) anuria berkepanjangan lebih dari 5 hari (Smeltzer et
al., 2010).
4. Komplikasi hemodialisis
Komplikasi hemodialisis dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan
komplikasi kronis (Daugirdas, Blake, & Ing, 2015):
a) Komplikasi akut
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram
otot, mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, pruritus,
demam, dan menggigil. Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah
gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat
hemodialisis maupun sesudah hemodialisis. Komplikasi yang jarang
terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia,
tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli
udara, neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daugirdas et al.,
2015).
b) Komplikasi kronis
Adalah komplikasi yang terjadi pada klien dengan hemodialisis kronik
(Daugirdas et al., 2015). Penyakit jantung, anemia, perdarahan
diathesis karena uremia, komplikasi pada paru-paru, penyakit tulang,
gangguan syaraf, gangguan kulit terbanyak pruritus, gangguan
metabolisme karbohidrat dan lemak, mal nutrusi protein, gangguan
13
fungsi gonat, gangguan metabolisme vitamin, abnormal sistem imun,
infeksi virus, Acquired polycystic kidney disease (Checherita, Turcu,
Dragomirescu, & Ciocalteu, 2010)
C. Pruritus Klien CKD
Pruritus pada penyakit Chronic Kidney Disease (CKD), secara klasik disebut
dengan Uremic Pruritus atau Renal Itch, komplikasi yang umum terjadi pada
klien CKD stadium akhir / end-stage renal disease (ERSD) (Azimi et al.,
2015). Penggunaan Uremic pada Uremic Pruritus menyebabkan
kontroversial, karena pruritus tidak ditemukan pada klien dengan Acute
Kidney Injury. Dalam hal ini penggunaan istilah “Chronic Kidney Disease
(CKD)-Associated Pruritus(CKD-aP)” bukan lagi “uremic pruritus” sebagai
nomenklatur yang lebih tepat (Azimi et al., 2015; T. Mettang, 2010; Patel et
al., 2007; Suzuki, Omata, & Kumagai, 2015).
1. Definisi Pruritus pada klien CKD
Secara umum pruritus pada CKD didefinisikan sebagai gejala yang
umum pada klien dengan hemodialisa yang kronis (M. J. Ko et al., 2013;
Lester & Robinson, 2014). Definisi lain Pruritus merupakan persepsi
sensorik yang tidak menyenangkan yang menyebabkan keinginan yang
kuat untuk menggaruk dan memiliki dampak yang tinggi pada kualitas
hidup (Grundmann & Ständer, 2010).
Pruritus didefinisikan sebagai rasa gatal setidaknya 3 periode dalam
waktu 2 minggu yang menimbulkan gangguan, atau rasa gatal yang
terjadi lebih dari 6 bulan secara teratur. Pruritus umumnya dialami sekitar
6 bulan setelah awal dialisis dan biasanya makin meningkat dengan
lamanya klien menjalani dialisis (C. J. Ko & Cowper, 2012). Dapat
disimpulkan pruritus pada klien CKD merupakan persepsi sensorik yang
menimbulkan rasa gatal yang terjadi lebih dari 6 bulan secara teratur.
14
2. Manifestasi Klinik dan Klasifikasi Pruritus
Manifestasi klinis renal itch sangat bervariasi tergantung pada individu.
Rasa gatal ini bisa umum ataupun lokal dan dapat mempengaruhi setiap
area tubuh termasuk wajah atau kulit kepala. Distribusi Renal itch sering
terjadi dalam bentuk simetris, paling sering terjadi di punggung, perut,
lengan, dan kulit kepala (particularly vertex) (Azimi et al., 2015). Selain
itu, pruritus bisa terjadi singkat, hanya berlangsung beberapa menit, atau
dapat bertahan selama satu hari penuh. Dalam banyak kasus, pruritus
lebih parah pada malam hari (Patel et al., 2007).
Kulit bisa tampak normal atau menunjukkan bukti kerusakan kulit akibat
garukan seperti scabs nodular, jaringan parut, dan excoriations. Faktor
lingkungan juga telah terbukti memperburuk pruritus, seperti aktivitas,
kulit yang kering, panas, dan keringat (Makari, Cameron, & Battistella,
2013).
3. Prevalensi Pruritus
Berdasarkan Dialysis Outcomes and Practice Patterns Study (DOPPS)
studi cross-sectional secara global kepada 18.801 klien hemodialisis
(HD) dan dari lebih dari 300 unit dialisis di 12 negara, 42% dari klien
HD mengalami pruritus sedang atau parah (Pisoni et al., 2006). rasa gatal
yang dirasakan setiap harianya telah dilaporkan oleh 84% klien HD yang
terdaftar dalam studi longitudinal yang lebih kecil dan sampai 59% dari
klien tersebut telah dilaporkan menderita itch berlangsung selama lebih
dari satu tahun. Prevalensi gatal kronis lebih tinggi pada klien HD (50-
90%), dibandingkan dengan klien dengan gangguan fungsi ginjal tetapi
tidak membutuhkan HD (15-49%). Intensitas dan prevalensi itch tidak
tergantung pada usia, jenis kelamin, etnis, atau durasi dialisis, meskipun
lebih umum pada mereka yang menjalani HD dibandingkan dengan
dialisis peritoneal (Azimi et al., 2015).
15
Akhir-akhir ini, prevalensi pruritus uremik berkurang menjadi sekitar
20%-50-%. Kemungkinan disebabkan perbaikan teknik dialisis. Insidens
pruritus pada klien yang menggunakan membran permeabel (polisulfon)
lebih rendah dibandingkan dengan pada klien yang menggunakan.
membran dialisis yang kurang permeabel (cuprophane) (Pardede, 2010).
4. Patofisiologi Pruritus pada Klien CKD
Selama dua puluh tahun ini telah dikemukakan berbagai hipotesis
patofisiologi pruritus uremik. Konsep yang paling sering dikemukakan
adalah peran hormon paratiroid (paratiroid hormon=PTH), sebab pruritus
uremik lebih berat pada klien dengan hiperparatiroidisme dan akan
menghilang setelah dilakukan paratiroidektomi. Namun demikian,
beberapa laporan tidak mendukung teori ini, karena hal yang sama juga
terjadi pada presipitasi kristal kalsium fosfat pada peningkatan kadar
kalsium dan fosfat serum (Pardede, 2010). Meskipun paratiroid hormon
bukan zat pruritogenik jika disuntikkan ke kulit, tetapi peningkatan Ca x
P akan menyebabkan pruritus (Keithi-Reddy et al., 2007).
Berbagai faktor yang berperan dalam terjadinya pruritus uremik seperti
inervasi kulit abnormal, neuropati somatik, peningkatan kadar histamin,
reseptor opioid, serta faktor neurofisiologik (Keithi-Reddy et al., 2007).
Sel mast tersebar secara difus di sepanjang kulit dan sebagian besar
berdegranulasi. Sel mast pada dermis terletak berdekatan ke saraf aferen
C neuron terminal, dan interaksi antara struktur ini berperan penting
dalam mediasi pruritus. Sel mast akan melepaskan berbagai substansia
seperti histamin, protease, interleukin-2, dan tumor necrosis factor
(Keithi-Reddy et al., 2007). Histamin telah dikenal luas sebagai
pruritogenik yang secara langsung menstimulasi neuron terminal oleh
reseptor H1. Jumlah sel mast pada pruritus uremik lebih banyak
dibandingkan anak normal dan berkaitan dengan peningkatan kadar
hormon paratiroid plasma (Pardede, 2010).
16
Kadar histamin pada klien pruritus uremik lebih tinggi dibandingkan
dengan pada klien non-pruritus. Kontroversi tentang sekresi histamin
oleh sel mast yang berproliferasi sebagai penyebab pruritus uremik sering
muncul. Terjadinya pruritus disebabkan lepasnya histamin dari sel mast,
didukung oleh penelitian tentang fototerapi ultraviolet-B yang dapat
menurunkan jumlah sel mast dan memperbaiki pruritus secara
bermakna. Tidak ada korelasi antara jumlah sel mast dermis dan kadar
histamin serum dengan derajat pruritus pada klien ERSD. Keadaan
inflamasi uremik juga menerangkan tingginya jumlah sel mast di dermis
(Keithi-Reddy et al., 2007).
Sitokin pruritogenik dapat diproduksi di kulit oleh berbagai sel
teraktivasi yang berdekatan dengan reseptor gatal. Meskipun interleukin-
1 bukan pruritogenik, tetapi dapat menyebabkan pelepasan pruritogenik.
Pada kulit klien dialisis terdapat kadar kalsium, magnesium, dan fosfat
yang tinggi. Meningkatnya kadar ion divalen dapat menyebabkan
presipitasi kalsium atau magnesium fosfat yang menyebabkan pruritus.
Magnesium berperan dalam modulasi konduksi saraf serta pelepasan
histamin dari sel mast. Kalsium juga berperan pada terjadinya pruritus
melalui degranulasi sel mast. Pruritus akan berkurang seiring dengan
penurunan kadar kalsium dan magnesium (Pardede, 2010).
Pada uremia, terdapat perubahan ekspresi relatif reseptor µ-opioid dan ҡ
-opioid pada limfosit. Ketidakseimbangan ekspresi subtipe reseptor
opioid berperan dalam patogenesis pruritus uremia. Substansia P
menstimulasi reseptor µ -opioid pada saraf perifer dan otak, dan
mengubah keseimbangan antara stimulasi µ -opioid dan ҡ -opioid untuk
menimbulkan gatal. Efek stimulasi reseptor µ -opioid dan substansia P
dihambat oleh antagonis ҡ -opioid dan nalfurafin. Penelitian pada hewan
coba dan klien ESRD telah membuktikan peranan reseptor µ -opioid
17
yang meyakinkan pada pruritus. Satu penelitian melaporkan adanya
enolase neuron spesifik intraepidermal-serat saraf immunoreaktif pada
klien uremia, sehingga menimbulkan dugaan terdapat inervasi abnormal
yang berkesinambungan sebagai penyebab pruritus pada penyakit ESRD
(Keithi-Reddy et al., 2007).
Xerosis (kulit kering) sangat sering ditemukan pada klien ESRD.
Meskipun kaitan antara xerosis kulit dengan ESRD tidak konsisten,
namun xerosis ditemukan dengan prevalensi yang tinggi pada klien
ESRD usia lanjut. Dengan bukti bahwa substansia tubuh terakumulasi
dan uremia merupakan keadaan inflamasi, maka pruritus uremik
dianggap sebagai suatu reaksi kulit terhadap proses inflamasi yang masih
berlangsung. Faktor lain penyebab pruritus pada klien ESRD adalah
kadar magnesium, aluminium, hipervitaminosis A, dan neuropati perifer.
Anemia juga diduga sebagai faktor predisposisi penting meskipun belum
ada buktinya. Albumin serum umumnya ditemukan lebih rendah pada
klien dengan pruritus berat dibandingkan dengan tanpa gejala. Laporan
yang menyebutkan prevalensi HLAB35 yang tinggi pada klien ESRD
dengan pruritus mengindikasikan adanya predisposisi genetik (Keithi-
Reddy et al., 2007).
Xerosis terlihat pada sebagian besar klien pada HD dan dapat
menyebabkan pruritus. Xerosis kulit biasanya disebabkan karena retensi
vitamin A karena berkurangnya fungsi ginjal untuk mengsekresikan zat
ini. Maka vitamin A akan menumpuk di jaringan subkutan kulit. Vitamin
yang terlalu berlebihan ini akan menyebabkan atrofi kelenjar sebasea dan
kelenjar keringat sehingga kulit menjadi kering dan gatal (C. J. Ko &
Cowper, 2012).
Pada kulit klien dialisis terdapat kadar kalsium, magnesium, dan fosfat
yang tinggi. Magnesium berperan dalam modulasi konduksi saraf serta
18
pelepasan histamin dari sel mast. Kalsium juga berperan pada terjadinya
pruritus melalui degranulasi sel mast. Kalsium dan magnesium darah
dalam kadar tinggi akan berikatan dengan fosfat sehingga membentuk
kristal. Kristal ini akan berdeposit di kulit dan menimbulkan rangsangan
terhadap serabut saraf c yang akan menyebabkan sensasi gatal. Kondisi
hiperfosfatemia, hiperkalsemia, dan hipermagnesium juga bisa
disebabkan karena hiperparatiroid sekunder (Azimi et al., 2015).
Terdapat dua konsep yang sering diajukan sebagai patofisiologi pruritus
pada klien CKD (T. Mettang, 2010):
1) The Immuno-hypothesis
Semakin banyak bukti yang menyebutkan bahwa pruritus uremik lebih
disebabkan kelainan sistemik dibandingkan dengan kelainan kulit.
Hipotesis imunologi didukung oleh berbagai bukti. Gilchrest GA dkk
melaporkan sejumlah klien pruritus uremik yang mengalami
perbaikan dengan sinar ultraviolet B, meskipun penyinaran hanya
dilakukan pada separuh badan. Observasi tersebut membuktikan
bahwa radiasi ultraviolet mempunyai efek sistemik. Sinar ultraviolet B
terbukti merupakan modulator diferensiasi limfosit Th1 dan Th2 dan
mengurangi ekspresi Th1. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
peningkatan dosis dialisis akan memperbaiki pruritus uremik.
Penurunan kejadian pruritus uremik juga dipengaruhi oleh semakin
baik modalitas dialisis, seperti meningkatnya penilaian terhadap
adekuasi dialisis, efikasi dialisis dengan penggunaan membran dialisis
high flux yang terdiri dari fiber sintetik seperti polisulfon atau
poliakrilnitrit.
Thalidomid dan takrolimus dilaporkan efektif dalam terapi pruritus
uremik. Thalidomid (yang digunakan sebagai imunomodulator untuk
mengobati reaksi (graft-versus-host) menekan produksi TNF-α dan
memacu diferensiasi limfosit Th2 dengan supresi sel Th-1 yang
19
memproduksi interleukin-2 (IL-2). Takrolimus mensupresi
diferensiasi limfosit Th-1 dan produksi IL-2. Pada umumnya setelah
transplantasi ginjal, klien tidak mengalami pruritus uremik selama
mendapat terapi siklosporin meskipun transplan tidak berfungsi lagi.
Semua laporan ini menyimpulkan bahwa mekanisme imunologik
berperan penting dalam patogenesis pruritus uremik.
Gangguan sistem imun dengan proinflamatori turut berperan dalam
patogenesis pruritus uremik, faktor IL-2 yang disekresi oleh limfosit
Th-1 teraktivasi turut berperan. Telah dilaporkan bahwa pemberian
IL-2 intradermal menimbulkan efek pruritogenik yang cepat tetapi
lemah, IL-2 mempunyai kaitan kausal dengan sitokin pruritus uremik
dan diferensiasi sel T. Penelitian pendahuluan multisenter menetapkan
bahwa diferensiasi Th-1 lebih menonjol pada pruritus uremik
dibandingkan dengan tanpa pruritus uremik, yang dibuktikan dengan
pengukuran TNF-α intrasitoplasmik dalam sel CD4.
2) The opoid hypotesis
Konsep patogenetik yang mengubah sistem opiodergik berperan
dalam patofisiologi pruritus, pertama kali dilaporkan untuk pruritus
kolestatik, didukung oleh beberapa bukti. Pertama, beberapa obat
agonisreseptor-µ dapat menginduksi pruritus. Kedua, pada hewan
coba terbukti bahwa kolestasis berhubungan dengan peningkatan
tonus opioidergik. Ketiga, pemberian antagonis opiat sangat baik
dalam pengobatan pruritus kolestatik. Pruritus kolestatik dapat
dimediasi oleh perubahan patologis susunan saraf pusat. Hipotesis
didukung oleh temuan yang menyebutkan bahwa global down-
regulation reseptor µ terjadi pada otak tikus dengan kolestatik, klien
dengan kolestatik kronik, dan sindrom opiate withdrawl-like yang
dipresipitasi oleh pemberian antagonis opiat oral.
20
Kasus pertama pada studi tentang keberhasilan pengobatan pruritus
uremik dengan antagonis opiat nalokson secara intravena. Pemberian
antagonis opiat pada pruritus uremik berdasarkan asumsi bahwa
peptida opiat endogen berperan dalam patogenesis pruritus uremik.
Pemberian naltrekson, antagonis reseptor-µ menyebabkan keluhan
pruritus berkurang secara bermakna, meskipun secara statistik tidak
bermakna. Aktivasi ekspresi reseptor-ҡ oleh sel dermal dan limfosit
dapat mengurangi pruritus. Dengan demikian, jika reseptor ini tidak
distimulasi atau reseptor- µ overexpressed, maka klien akan lebih
mengeluh pruritus.
Stimuli inflamatori yang disebabkan oleh uremia dan dialisis akan
menyebabkan peningkatan diferensiasi limfosit Th1 dan supresi itch-
reducing ҡ–receptor atau peningkatan µ-receptor di kulit klien yang
menjalani dialisis. Namun hingga saat ini, hipotesis ini belum dapat
dibuktikan. Imunomodulator dan obat antagonis reseptor-ҡ telah
terbukti sangat membantu pada pruritus yang berat.
Berdasarkan berbagai patogenesis, Keithi-Reddy SR (2007)
mengemukakan rangkaian patogenesis pruritus uremik.
a) Beberapa substansia menyebabkan lingkungan pruritogenik.
b) Pelepasan histamin oleh sel mast sebagai respons terhadap
substansia pruritogenik dan menstimulasi C-terminal ujung saraf.
c) Terjadi rangkaian sinyal dari ujung saraf yang mengaktivasi area
spesifik susunan saraf pusat dan menyebabkan persepsi pruritus.
5. Etiologi dan Faktor Resiko Pruritus
1) Etiologi
Tidak semua penyebab pruritus diketahui, beberapa keadaan turut
berperan, antara lain hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme, akumulasi
toksin uremik, dan neuropati sensori uremik dini (Pardede, 2010).
21
Pada CKD stadium akhir, pruritus dapat terjadi oleh berbagai sebab,
baik yang ada kaitannya dengan uremia maupun yang tidak berkaitan
dengan uremia. Penyebab pruritus pada CKD stadium akhir antara lain
(Keithi-Reddy et al., 2007):
a) Keadaan yang berkaitan dengan uremia:
1. Pruritus uremik
2. Xerosis kulit
3. Anemia karena penyakit ginjal kronik
4. Hiperparatiroidisme sekunder
b) Keadaan yang tidak berkaitan dengan uremia:
1. Hipersensitivitas karena obat
2. Penuaan
3. Hepatitis
4. Diabetes mellitus
5. Hipotiroidisme
6. Anemia defisiensi besi
7. Tumor limfoproliferatif
8. Hiperkalsemia
Salah satu faktor yang berperan pada terjadinya pruritus adalah toksin
uremik, yaitu substansia toksik yang berasal dari diet atau substansia
endogen yang terjadi karena gagal ginjal. Toksin uremik mempunyai
berat molekul 300-2.000 Dalton (mungkin juga hingga 4.000 Dalton)
dan terdiri dari berbagai substansia kimiawi heterogen. Beberapa di
antaranya adalah produk flora mikrobiologik dalam usus seperti dan
aromatik, indol. Urea merupakan substansia yang tidak bemuatan
(uncharge), tidak terikat dalam plasma, larut dalam air, mudah berdifusi
di antara kompartemen air, mudah didialisis, dan tersebar dalam cairan
tubuh. Selain toksisitas yang rendah, urea merupakan petanda yang baik
pada keadaan uremik karena merupakan degradasi produk protein.
Kreatinin tampaknya relatif non toksik (Pardede, 2010).
22
Keadaan uremik ditandai dengan penimbunan toksin uremik yaitu
berbagai substansia yang dalam keadaan normal diekskresi atau
dimetabolisme oleh ginjal. Toksin uremik dibentuk dari:
a) Produk metabolik protein dan asam amino
1) Urea atau nitrogen ureum darah (blood urea nitrogen), kreatinin,
asam urat
2) Guanidin (metilgianidin, asam guanidinoasetat, asam
guanidinosuksinat)
3) Asam oksalat, fenol dan asam phyenolat, indol,
4) Furans (asam furan propanoat),
5) golongan amin: aliphatic amines (dimetilamin); aromatik (asam
hipurat); poliamin (spermin)
6) Peptida dan protein: mikroglobulin β-2
7) Produk metabolisme asam nukleat: asam urat, cyclic –AMP,
pirimidin
8) Elemen inorganik, H+, Na
+, Al
+, Mg2
+, K
+, Ca
+, PO4, SO4
9) Mioinositol -2,3-butylene glycol
b) Enzim: renin, ribonuklease, lisozim
c) Hormon: hormon paratiroid, glukagon, hormone pertumbuhan
(growth hormone), kalsitonin, hormon natriuretik
2) Faktor resiko pruritus
a) Usia
Berdasarkan penelitian kepada 100 responden di Iran didapatkan
kejadian pruritus pada klien CKD cenderung lebih banyak terjadi
pada usia > 50 tahun dibandingkan dengan usia < 50 tahun
(Mirnezami & Rahimi, 2010). pruritus uremik berat sangat jarang
ditemukan pada anak yang menjalani dialisis. Dari 199 anak yang
menjalani dialisis, hanya 9,1% mengalami pruritus dan intesitasnya
tidak berat (Pardede, 2010).
23
b) Gender
Beberapa penelitian menunjukan bahwa pruritus paling banyak
dialami oleh jenis kelamin laki-laki (Keithi-Reddy et al., 2007;
Narita et al., 2006). Namun penelitian lain mengatakan bahwa
pruritus tidak ada hubungan antara usia (Wang & Yosipovitch,
2011).
c) Dialysis
Hasil penelitian studi longitudinal mengatakan 84% klien HD telah
dilaporkan menderita pruritus, 59% dari klien tersebut menderita
pruritus selama lebih dari satu tahun (Mathur et al., 2010).
Sedangkan klien HD kejadian pruritus sekitar 50-90% dibanding
klien CKD yang tidak HD (15-49%) (Azimi et al., 2015). Wang &
Yosipovich, 2011 dalam penelitiannya tidak ada hubungan kejadian
pruritus dengan durasi waktu HD, meskipun kejadian pruritus lebih
umum terjadi pada klien CKD dengan HD dibandingkan dengan
PD (Wang & Yosipovitch, 2011). Penelitian lain mengatakan
kejadian pruritus lebih tinggi pada klien CKD dengan PD
dibandingkan dengan HD (Min et al., 2016).
6. Dampak Pruritus bagi Klien CKD
Pruritus pada CKD sering terjadi pada punggung, perut, lengan dan kulit
kepala (Azimi et al., 2015). Intensitas gatal pada CKD lebih intens di
malam hari dan mengganggu tidur, hal yang memperparah gatal pada
keadaan kulit kering, keringat dan panas (Azimi et al., 2015). CKD
dengan pruritus memberikan dampak yang signifikan kepada fisik dan
psikologis klien sehinggan menjadi masalah kepada kualitas hidup klien
(T. Mettang, 2010), sebagai berikut:
a) Fisik
Rasa gatal dan garukan yang kronis berakibat kepada kulit klien
seperti: eksoriasi dengan atau tanpa impetigo (infeksi kulit), jaringan
24
parut (deep scars), dan prurigo (papula) (Azimi et al., 2015; T.
Mettang, 2010).
Gambar 2.2
Dampak fisik pruritus
Keterangan: a) eksoriasi, b) deep scars, c) prurigo
Sumber : (T. Mettang, 2010)
Selain itu juga berdampak kepada:
1) Fatigue
Pruritus pada klien CKD memiliki dampak signifikan terhadap
fatigue pada siang hari, hal ini dikarenakan dampak dari kualitas
tidur klien pada malam harinya (Patel et al., 2007). Selain fatigue
diakibatkan dampak kualitas tidur klien, juga diakibatkan
manajemen terapi menggunakan gabapentin. Berdasarkan
penelitian 100-300 mg gababentin peroral mempunyai efek
kepada fatigue dan nausea (Tarikci et al., 2015).
25
2) Kualitas tidur
Di Jepang, Studi longitudinal kepada 1.773 klien hemodialisis
untuk mengevaluasi keparahan derajat pruritus yang juga di
hubungankan dengan kualitas hidup dalam domain mood,
hubungan sosial dan tidur. Didapatkan 453 klien mengalami
pruritus dan 70% klien mengeluh gangguan tidur (Narita et al.,
2006).
b) Psikologi
Pruritus pada klien CKD berdampak psikologi klien hingga kepada
tingkat depresi. Penelitian cross-sectional kepada 980 klien dialisis
di Brazil menunjukan hubungan yang kuat kejadian pruritus dengan
kejadian depresi, sehingga menjadi perhatian khusus klien pruritus
CKD yang menjalani hemodialisis dalam menghadapi beban
psikologi yang tinggi (Lopes et al., 2012). Hasil penelitian yang
sama kepada 200 klien hemodialisis di Polandia kejadian pruritus
klien CKD mempunyai hubungan dengan kejadian depresi klien
(Suseł et al., 2014).
c) Mortalitas
Dalam studi International Dialysis Outcomes and Practice Patterns,
mengevaluasi lebih dari 18.000 klien pada terapi hemodialisis,
pruritus dikaitkan dengan risiko kematian lebih besar (17%),
dibanding klien hemodialisis yang tidak mengalami pruritus (Pisoni
et al., 2006). Sebuah studi prospektif yang melibatkan 321 klien HD
kronis menunjukkan menunjukkan bahwa peradangan dapat
menyebabkan peningkatan angka kematian pada klien yang paling
parah terkena dampak gatal (Chen et al., 2010).
26
7. Manajemen Terapi Pruritus
Pengobatan pruritus uremik sangat sulit meskipun pengobatan dengan
obat tertentu kadang-kadang efektif. Sayangnya tidak ada antipruritus
yang berspektrum luas, berbagai obat topikal atau sistemik dapat
digunakan untuk menekan rasa gatal (M. Mettang & Weisshaar, 2010).
Beberapa pengobatan telah dicoba seperti eritropoietin, naltrekson, dan
pengobatan lain dengan hasil yang baik meskipun sering juga tidak
memberikan hasil. Pengobatan pruritus uremik kurang efektif disebabkan
patofisiologi pruritus uremik belum jelas (Pardede, 2010).
Klien dengan pruritus umumnya memerlukan suasana sejuk, yang dapat
dilakukan dengan 1) Menggunakan pakaian yang membuat sejuk, 2)
Mempertahankan lingkungan yang tidak terlalu kering, 3) Menggunakan
shower atau mandi hangat-hangat kuku, 4) Menghindari alkohol atau
makanan/minuman panas atau pedas. Klien diminta menggunting kuku
dan menggaruk dengan perlahan untuk mencegah kerusakan kulit.
Kelainan yang paling sering ditemukan pada pruritus uremik adalah
xerosis kulit, sehingga pemberian emolient sangat perlu. Pemberian
emolient seperti gel yang mengandung 80% air terbukti memberikan
hasil yang baik. Penelitian pada duapuluh satu klien tanpa kontrol, klien
diobati dengan sabun lunak dan emolient moistuirizing minimal dua kali
sehari; membaik dan di antaranya mengalami kesembuhan tanpa gejala
pruritus (Pardede, 2010).
Sinar ultraviolet memberikan hasil yang baik dan aman dalam
pengobatan pruritus uremik, telah dilaporkan dalam penelitian uji klinik
double blind. Mekanisme efek antipruritus sinar ultraviolet belum
diketahui, tetapi diduga terjadi melalui inaktivasi substansia pruritogenik
bersirkulasi, pembentukan photoproduct yang mengurangi pruritus,
mengubah konten ion divalen dalam kulit, dan menimbulkan degenerasi
saraf kulit. Sinar ultraviolet B menurunkan jumlah sel mast dermal
27
dengan mempercepat apoptosis (kematian sel), menyebabkan degenerasi
saraf, dan menurunkan konsentrasi ion divalen kulit. Pada pruritus
uremik, sinar ultraviolet B dilaporkan menyebabkan remisi sampai
delapan belas bulan (Pardede, 2010).
Faktor lain yang juga berperan dalam terjadinya pruritus adalah disfungsi
imun dan perubahan pola produksi limfokin, maka pasien diterapi dengan
obat yang mempengaruhi limfosit atau limfokin. Asam amino esensiel
seperti asam linoleat-J mengurangi proliferasi limfosit dan produksi
limfokin serta mengurangi beratnya pruritus. Penelitian prospektif
dengan metode randomized, double blind, placebo controlled, cross over
study, krim asam linolenik-J 2,2% dibandingkan dengan plasebo yang
diberikan tiga kali sehari selama dua minggu. Kemudian dilakukan terapi
silang untuk masing-masing kelompok. Terlihat efek antipruritus asam
linolenat-J yang baik (Pardede, 2010).
Capsaicin, adalah substansia yang diisolasi dari tanaman pepper genus
Capsicum, Capsaicin topikal dapat menghilangkan substansia P neuron
perifer C-fibres dan menghambat konduksi nyeri atau pruritus sehingga
mengurangi rasa nyeri dan gatal. Capsaicin secara bermakna efektif
dalam menghilangkan pruritus dan mempunyai efek antipruritus yang
lama hingga delapan minggu setelah pengobatan. Krim capsaicin 0,025%
atau 0,075% dioleskan 3-5 kali sehari (Keithi-Reddy et al., 2007).
Beberapa obat yang mengandung anestesi lokal (seperti benzokain,
lidokain atau tetrakain/ametokain) dapat digunakan untuk pengobatan
pruritus uremik. Strontium nitrat 10-20% topikal mempunyai efek
antipruritus dan efektif dalam mengurangi pruritus (Pardede, 2010).
Salep takrolimus mengurangi gejala klinis pruritus uremik membaik
secara dramatis, meskipun beberapa hari setelah salep dihentikan secara
perlahan pruritus timbul kembali. Tidak tampak efek samping selama dan
28
setelah pemberian takrolimus. Tampaknya salep takrolimus aman dan
cukup efektif sebagai pengobatan jangka pendek terutama pada pruritus
berat, namun perlu waspada terhadap efek karsinogenik pada pemakaian
jangka lama. Salep takrolimus 0,03% diberikan 2 kali sehari selama 7
hari (T. Mettang, 2010).
Ketidakseimbangan stimulasi reseptor P-opioid dan N-opioid berperan
dalam patogenesis pruritus, sehingga manipulasi sistem opioid dapat
digunakan dalam tata laksana pruritus. Pemberian naltrekson secara
sistemik, suatu antagonis reseptor-P efektif dalam tata laksana pruritus.
Pada penelitian dengan metode placebo-control, double blind crossover
pada pasien pruritus uremik persisten yang resisten dengan hemodialisis
atau dialisis peritoneal, pemberian naltrekson menyebabkan perbaikan
pada 29,2 % pruritus uremik, tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna
pada kelompok naltrekson dan plasebo. Naltrekson diberikan selama 4
minggu dengan dosis 50 mg/hari.10 Kejadian efek samping naltrekson
berupa gangguan saluran gastro-intestinal sangat tinggi, yaitu 9 di antara
23 pasien mengalami gangguan gastrointestinal, sehingga obat ini tidak
begitu disukai dalam pengobatan pruritus uremik (Keithi-Reddy et al.,
2007).
Nalfurafin, suatu agonis reseptor N-opioid telah dicoba dalam
pengobatan pruritus uremik. Pada penelitian metaanalisis, multisenter,
randomized, coubleblind, placebo-controlled terhadap pasien yang
mengalami pruritus intraktabel, pasien mendapat nalfurafin 5 Pg atau
plasebo secara intravena tiga kali seminggu selama 2-4 minggu. Terlihat
efek nalfurafin yang berbeda bermakna dibandingkan dengan plasebo.
Transplantasi ginjal merupakan satu-satunya terapi definitif untuk
pruritus uremik refrakter berat pada pasien PGSA, namun hal ini sering
tidak mampu laksana dan tidak dapat dilakukan dengan segera. Oleh
sebab itu, tata laksana yang dapat dilakukan adalah mengoptimalkan
29
dialisis, pemberian eritropoietin dan suplementasi besi, serta pengobatan
hiperparatiroidisme sekunder untuk mempertahankan kadar kalsium dan
fosfor dalam keadaan normal (Keithi-Reddy et al., 2007)
Keithi-Reddy SR dkk (2007) membuat daftar pilihan terapi pada klien
pruritus uremik (Keithi-Reddy et al., 2007):
1) Dialisis: transplantasi ginjal, dialisis efisien, eritropoietin
2) Terapi topikal: emolient kulit, capsaicin, steroid topical
3) Terapi fisik: fototerapi, akupunktur, sauna
4) Terapi sistemik: antagonis μ-reseptor dan k-agonis, diet rendah
protein, minyak primrose, lidokain dan mexilitin, antagonis opioid,
activated charcoal, kolestiramin, antagonis serotonin,
paratiroidektomi, thalidomid, nikergolin, nalfurafin.
Modifikasi teknik dialisis, Pengenalan penggunaan membran dialisis
biokompatibel telah menurunkan prevalensi pruritus di HD pasien.
Namun, masih tetap belum jelas apakah perubahan dalam terapi dialisis
termasuk perubahan membran dialisis dapat mengurangi pruritus atau
tidak. Hiroshige et al. menganalisis data dari 59 pasien HD, yang tidak
memiliki gangguan dalam metabolisme kalsium dan fosfat, dan
menemukan bahwa lebih dari 60% dari mereka yang menderita pruritus
kemungkinan berhubungan dengan uremia kronis. Blood Urea Nitrogen
(BUN) dan plasma β2-mikroglobulin, yang keduanya merupakan faktor
biokimia yang berkaitan dengan prevalensi pruritus dan efisiensi dialisis,
diinvestigasi dan dihitung dengan cara kinetika urea. nilai signifikan lebih
tinggi dari BUN dan plasma β2-mikroglobulin telah diamati sebelum sesi
dialisis pada pasien pruritus dengan efektivitas dialisis lebih rendah
seperti yang diperkirakan oleh Kt/V urea dan Normalized Protein
Catabolic Rate (nPCR). Setelah 3 bulan tanpa mengubah teknik dialisis,
16 pasien dengan rata-rata Kt / V urea dan nPCR 1,28 dan 1,22 g / kg /
hari, masing-masing, mengalami penurunan yang signifikan pada tingkat
30
pruritus seperti yang diperkirakan oleh skor pruritus, dari 12,6 ± 5,1-6,3 ±
3,2 (P <0,001) (Suzuki et al., 2015).
Sebagian besar klien dengan hemodilisis mengalami xerosis (kulit kering)
yang menyebabkan gatal (C. J. Ko & Cowper, 2012). Salah satu penangan
xerosis dengan pemberian emolien, fungsi emolien sendiri melembabkan
kulit, anti inflamasi, antimitotik dan anti pruritus (Movita, 2014). Istilah
pelembab dan emolien sering dikacaukan sehingga timbul bermacam
definisi. Istilah pelembab menggambarkan terjadinya penambahan air ke
kulit, sehingga menurunkan kekasaran kulit atau peningkatan kadar air
secara aktif ke kulit. Sedangkan emolien merupakan bahan oklusif yang
membantu hidrasi kulit dengan cara mengoklusi permukaan kulit dan
menahan air di stratum corneum (Partogi, 2008).
Emolien telah terbukti bermanfaat pada klien CKD dengan pruritus.
Secara umum, emolien diusulkan sebagai pengobatan lini pertama. Di
antara emolien, gel air telah terbukti menurunkan pruritus;. Dalam studi,
20 klien HD dibagi menjadi dua kelompok, satu kelompok diperlakukan
dengan gel berair yang mengandung 80% air dan kelompok lain tidak
menerima pengobatan emolien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gel
berair yang mengandung kadar air yang tinggi secara efektif
meningkatkan rasa gatal pada klien HD dengan uremik pruritus ringan.
Selain itu, meningkatkan ketidaknyamanan psikologis juga (Suzuki et al.,
2015).
Di sisi lain, dilaporkan metode pengobatan yang paling umum digunakan
oleh klien Polandia dengan Atopik Dermatitis untuk mengurangi atau
meringankan gatal adalah sebagai berikut: emolien (80,9%), anthistamin
(77,5%), kortikosteroid topikal (68,5%), udara dingin (37,1% .), mandi
dingin (23,6%) dan relaksasi (20,2%) 7,8 Namun, emolien memberikan
efek antipruritus jangka panjang hanya dalam 26% dari klien, dan 62%
31
dari subyek disebutkan hanya pengurangan jangka pendek pruritus; dalam
lebih 4%, emolien tidak di berpengaruh pada gatal sama sekali (8% tidak
beropini apapun mengenai penggunaan emolien) (Szepietowski & Reich,
2010).
Akupunktur dapat didefinisikan sebagai stimulasi titik anatomi pada tubuh
dengan menggunakan berbagai teknik untuk tujuan terapeutik. Teknik
akupunktur yang telah paling sering dipelajari secara ilmiah meliputi
menusuk kulit dengan jarum logam atau dengan benda keras yang
dimanipulasi oleh tangan atau dengan stimulasi listrik. Akupunktur telah
dipraktikkan di China dan negara-negara Asia lainnya selama ribuan
tahun, dan merupakan salah satu komponen kunci dari pengobatan
tradisional di daerah Asia Timur, meskipun dikembangkan dengan cara
yang berbeda di setiap daerah (Suzuki et al., 2015). Baru-baru ini, kim
dkk (2010) berdasarkan studi dapat disimpulkan bahwa akupuntur dapat
mengurangi mempunyai efektifitas menurunkan pruritus (Kim, Lee, &
Choi, 2010). Sepertihalnya akupuntur dengan metode menusuk kulit
dengan jarum, akupresur dengan memanipulai titik anatomi dengan benda
keras menunjukan signifikan menurunkan pruritus pada pasien
hemodialisis (Akça, Taççi, & Karatas, 2013).
8. Penilaian pruritus pada CKD
Penilain pruritus pada penelitian ini ditujukan untuk panduan
menetapkan partisipan. Pruritus digolongkan berdasarkan derajat
keluhan, frekuensi, dan distribusinya. Dalam studi klinis, tingkat
keparahan pruritus yang diukur menggunakan Visual Analog Scale
(VAS) skor, skala 10-point, dengan 0 'menunjukkan tidak ada pruritus
dan "10" menunjukkan pruritus sangat parah (Makari et al., 2013).
Beberapa peneliti melaporkan keluhan pruritus berdasarkan intensitas
(tidak ada, ringan, berat) dan frekuensi (tidak ada, kadang-kadang, setiap
32
hari). Namun, kebanyakan keluhan pruritus hanya dibedakan berdasarkan
ada atau tidaknya pruritus.
VAS paling sering digunakan dalam mengukur pruritus, akan tetapi VAS
hanya menilai tingkat keparahan pruritus tanpa menilai aspek lain dari
pruritus. Untuk itu, saat ini telah dikembangkan kuisioner yang
multidimensi berguna sebagai outcome dalam uji klinis yaitu 5-D itch
scale, terdapat 5 dimensi yaitu degree, duration, direction, disability dan
distribution. 5-D itch scale instrumen baru untuk mengukur pruritus dari
waktu kewaktu, sudah melalui uji validitas dan reabilitas, dan mudah
digunakan (Elman, Hynan, Gabriel, & Mayo, 2011).
Skor dari masing-masing lima domain dapat tercapai secara terpisah dan
kemudian dijumlahkan bersamaan untuk memperoleh total skor 5-D. skor
5-D secara potensial bisa berkisar antara 5 sampai (tidak ada pruritus)
dan 25 (pruritus paling parah). skor item tunggal domain (duration,
degree dan direction) yang sama dengan nilai yang ditunjukkan di bawah
pilihan responden. Dalam domain disabilitas mencakup empat item yang
menilai dampak dari gatal-gatal pada kegiatan sehari-hari: tidur, rekreasi
/ kegiatan sosial, pekerjaan rumah tangga / tugas dan pekerjaan / sekolah.
skor untuk domain disabilitas dicapai dengan mengambil score tertinggi
pada salah satu dari empat item. Untuk domain distribusi, jumlah bagian
tubuh yang terkena dihitung (potensial sum 0-16) dan jumlah tersebut
diurutkan dalam lima bins skor: jumlah 0-2 = skor 1, jumlah 3-5 = skor 2,
jumlah 10/06 = skor 3, jumlah 11-13 = skor 4, dan jumlah 14-16 = skor 5
(Elman, Hynan, Gabriel, & Mayo, 2011).
D. Keterkaitan penelitian dengan nursing theory
Cara pandang manusia sebagai makhluk yang holistik dan memiliki
kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya sesuai dengan teori
keperawatan yang dikemukakan oleh Calista Roy. Dalam konsepnya, Roy
33
menguraikan bagaimana individu mampu meningkatkan kesehatannya dengan
cara mempertahankan perilaku secara adaptif. Manusia adalah sebagai
sebuah sistem adaptif yang menerima input rangsangan dari lingkungan
luar dan lingkungan dalam diri individu itu sendiri. Manusia memiliki fungsi
fisiologi berhubungan dengan struktur tubuh dan fungsinya. Kebutuhan
dasar ini meliputi kebutuhan oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktifitas dan
istirahat proteksi, penginderaan, cairan dan elektrolit, persarafan
(neurologi), fungsi endokrin (Alligood, 2014).
Manusia juga dipandang memiliki konsep diri yang berhubungan dengan
psikososial dengan penekanan spesifik pada aspek psikososial dan spiritual
manusia. Kebutuhan dari konsep diri ini berhubungan dengan integritas
psikis antara lain persepsi, aktivitas mental dan ekspresi perasaan. Konsep
diri menurut Roy terdiri dari dua komponen yaitu the physical self dan the
personal self. Physical self yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya
berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya. Sedangkan
personal self yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral-
etik dan spiritual diri orang tersebut. Perasaan cemas, hilangnya kekuatan
atau takut menjadi beban emosional dan merupakan hal yang berat dalam
area ini. Oleh sebab itu manusia juga membutuhkan interaksi satu sama lain
yang fokusnya adalah untuk saling memberi dan menerima cinta/ kasih
sayang, perhatian dan saling menghargai (Alligood, 2014).
Menurut Roy, lingkungan digambarkan sebagai dunia didalam dan diluar
manusia. Lingkungan merupakan stimulus/rangsangan/input bagi manusia
sebagai sistem yang adaptif sama halnya lingkungan sebagai stimulus
eksternal dan internal. Lingkungan didefinisikan sebagai segala kondisi,
keadaan disekitar dan mempengaruhi keadaan, perkembangan dan perilaku
manusia sebagai individu atau kelompok. Selanjutnya dijelaskan bahwa
kesehatan didefinisikan sebagai keadaan dan proses menjadi manusia
34
secara utuh dan terintegrasi secara keseluruhan. Dalam model adaptasi
keperawatan konsep sehat dan sakit dihubungkan dengan kemampuan
beradaptasi (Alligood, 2014).
Peran keperawatan sebagai disiplin ilmu dan praktek sangat dibutuhkan
dalam membantu klien beradaptasi. Sebagai ilmu, keperawatan
mengobservasi, mengklasifikasikan dan menghubungkan proses yang
secara positif berpengaruh pada status kesehatan. Sebagai disiplin
praktek keperawatan menggunakan pendekatan pengetahuan untuk
menyediakan pelayanan kepada indivdu untuk beradaptasi terhadap
stimulus internal dan eksternal yang mempengaruhinya. Ketika stressor
yang tidak biasa atau koping mekanisme yang lemah membuat upaya
individu menjadi koping yang tidak efektif, saat inilah individu
memerlukan seorang perawat. Pendekatan holistik keperawatan dilihat
sebagai proses untuk mempertahankan keadaan baik dan tingkat
fungsi yang lebih tinggi. Bagaimanapun aktivitas keperawatan tidak
hanya diberikan ketika manusia sakit saja (Alligood, 2014).
35
E. Kerangka Teori
Sumber: (Azimi et al., 2015; Keithi-Reddy et al., 2007; T. Mettang, 2010;
Mirnezami & Rahimi, 2010; Pardede, 2010; Patel et al., 2007).
Pruritus
Klien CKD dengan
hemodialisis
Komplikasi pada
dermatologi
Pruritus
psikologis
Faktor penyebab:
hiperparatiroidisme sekunder,
kelainan divalention, histamin,
sensitisasi alergi, proliferasi
sel mast kulit, anemia
defisiensi besi,
hypervitaminosis A, xerosis,
neuropati dan perubahan
neurologis, keterlibatan sistem
opioid (understimulation dari
reseptor κ atau berlebih dari
reseptor μ), sitokin, asam
empedu serum, oksida nitrat
Faktor resiko:
Usia, gender, dan
dialisis
Fisik
Depresi Gangguan
Tidur
Fatigue
Kualitas hidup
Manajemen
terapi
1. Terapi
dialisis
efektif
2. Terapi
farmakologi
3. Terapi fisik
eksoriasi
dengan atau
tanpa impetigo
(infeksi
kulit), jaringan parut
(deep scars),
dan prurigo
(papula)
top related