bab ii konsep dasar a. pengertian -...
Post on 31-Jan-2018
215 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
KONSEP DASAR
A. Pengertian
1. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikkan suhu
tubuh ( suhu rectal lebih dari 380 C ) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium ( Mansjoer, 1999 ).
2. Kejang demam atau convulsion adalah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikkan suhu tubuh ( suhu rectal lebih diatas 380 C ) yang disebabkan
oleh proses ekstrakranium ( Ngastiyah, 1997: 229 ).
3. Kejang demam adalah suatu kondisi saat tubuh anak sudah dapat menahan
serangan demam pada suhu tertentu ( Hardiono, 2004: 11 ).
4. Kejang ( konfulsi ) merupakan akibat dari pembebasan lostrik yang tidak
terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan
tiba-tiba terjadi gangguan kesadaran ringan aktifitas motorik dan atau atas
gangguan fenomena sensori ( Doegoes, 2000: 476 ).
Menurut pengertian di atas maka dapat disimpulkan kejang demam
adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikkan suhu lebih dari 380C
yang disebabkan oleh proses ekstrakranium atau akibat dari pembesaran listrik
yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral.
6
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Penerapan dan proses keperawatan pada pasien dengan masalah
neurologi memerlukan pengetahuan tentang struktur dan fungsi sistem
persarafan. Sistem saraf bekerja sebagai konduktor sistem listrik, saraf
mengatur dan mengendalikan seluruh aktifitas tubuh. Aktifitas dapat
dikelompokkan dalam 4 fungsi berikut: menerima informasi ( stimulus ) dari
lingkungan internal dan eksternal melalui jalur sensori ( af-ferent ),
menghubungkan informasi yang diterima pada berbagai tingkat refleks
( medulla spinalis ) dan mengingatkan ( otak yang lebih tinggi ) untuk
menentukan respon yang sesuai dengan situasi, menghubungkan informasi
antara sistem saraf perifer dan pusat, menyalurkan informasi dengan cepat
melalui berbagai jalur motorik ( efferent ) ke organ tubuh. Dalam pembahasan
kejang demam ini akan diuraikan sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer.
1. Saraf Pusat
a. Otak
Otak dibagi menjadi tiga bagian: Serebrum, Batang otak dan
serebelum. Semua berada dalam satu bagian struktur tulang yang di
sebut tengkorak, yang juga melindungi otak dari cedera. Empat tulang
yang berhubungan membentuk tulang tengkorak: tulang frontal, parietal,
temporal dan oksipital. Pada dasar tengkorak terdiri dari tiga bagian
fossa-fossa anterior berisi lobus frontal serebral bagian hemisfer: bagian
tengah fosa berisi lobus parietal, temporal dan okspital dan bagian fossa
posterior berisi batang dan medula.
7
1) Serebrum.
Serebrum terdiri dari dua hemisfer dan empat lobus Subtansia
grisen terdapat pada bagian luar dinding serebrum dan Subtansia
alba menutupi dinding serebrum bagian dalam. Pada
prinsipnyakomposisi subtansia gisea yang terbentuk dari badan-
badan sel saraf memenuhi korteks serebri, nukleus dan basl ganglia.
Subtansia alba terdiri dari sel-sel saraf yang menghubungkan
bagian-bagian otak dengan yang lain.
a) Frontal Lobus terbesar, terletak pada fossa anterior. Area ini
mengontrol perilaku individu, membuat keputusan, kepribadian
dan menahan diri.
b) Parietal lobus sensori. Area ini menginterpretasikan sensasi.
Sensasi rasa yang tidak berpengaruh adalah bau. Lobus parietal
mengatur individu mampu mengetahui posisi dan letak bagian
tubuhya. Kerusakan pada daerah ini menyebabkan sindrom
hemineglect.
c) Temporal brefungsi menginterpretasikan sensasi kecap, bau dan
pendengaran. Ingatan jangka pendek sangat berhubungan dengan
daerah ini.
d) Okspital terletak pada lobus posterior hemisfer serebri. Bagian
ini bertanggung jawab menginterpretasikan penglihatan.
8
Gambar 2.1
Gambar otak terlihat dari luar yang memperlihatkan bagian penting dan lobus
(Brunner, 2002)
2) Batang Otak
Batang otak terletak pada fossa anterior. Bagian-bagian batang otak
ini terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblongata. Otak tengah
(midbrain atau mesensefalon) menghubungkan pons dan serebelum
dengan hemisfer serebrum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan
motorik dan sebagai pusat refleks pendengaran dan penglihatan.
Pons terletak di depan serebelum antara otak tengah dan medula dan
merupakan jembatan antara dua bagian serebelum dan juga antara
medula dan serebrum. Pons berisi jaras sensorik dan motorik.
9
Medula oblongata meneruskan serabut-serabut motorik dari otak ke
medulla spinalis dan serabut-serabut sensorik dari medulla spinalis
ke otak. Dan serabut-serabut tersebut menyilang pada daerah ini.
Pons juga berisi pusat-pusat terpenting dalam mengontrol jantung,
pernafasan dan tekanan darah dan sebagai asal-usul saraf otak
kelima sampai kedelapan.
3) Serebelum
Serebelum terletak pada fossa posterior dan terpisah dari hemisfer
serebral, lipatan durameter, tentorium serebelum. Serebelum
mempunyai dua aksi yaitu merangsang dan menghambat dan
tanggung jawab yang luas terhadap koordinasi dan gerakkan halus.
Ditambah mengontrol gerakkan yang benar, keseimbangan, posisi
dan mengitegrasikan input sensorik.
Gambar 2.2
Diagram yang memperlihatkan talamus, hipotalamus dan hipofisis
(Brunner, 2002)
10
Fosa bagian tengah atau diensefalon berisi talmus, hipotalamus dan kelenjar
hipofisis.
1) Talmus berada pada salah satu sisi pada sepertiga ventrikel dan aktifitas
primernya sebagai pusat penyambung sensasi bau yang diterima. Semua
impuls memori, sensasi dan nyeri melalui bagian ini.
2) Hipotalamus terletak pada anterior dan inferiro talamus. Berfungsi
mengontrol dan mengatur sistem saraf autonom. Hipotalamus juga
bekerjasama dengan hipofisis untuk mempertahankan keseimbangan
cairan, mempertahankan pengaturan suhu tubuh melalui peningkatan
vasokonstriksi atau vasolidasi dan mempengaruhi sekresi hormonal
dengan kelenjar hipofisis. Hipotalamus juga sabagai pusat lapar dan
mengontrol berat badan. Sebagai pengatur tidur, tekanan darah, perilaku
agresif dan seksual dan pusat respons emosional ( misal ras malu,
marah, depresi, panik dan takut ).
3) Kelenjar hipofisis dianggap sebagai master kelenjar karena sejumlah
hormon-hormon dan fungsinya diatur oleh kelenjar ini. Dengan
hormon-hormonnya hipofisis dapat mengontrol fungsi ginjal, pankreas,
organ-organ lain. Hipofisis merupakan bagian otak yang tiga kali lebih
sering timbul tumor pada orang dewasa, biasanya terdeteksi dengan
tanda dan gejala fisik yang dapat menyebar ke hipofisis.
a. Medulla spinalis
Medulla spinalis merupakan sambungan medulla oblongata yang turun
ke bawah. Di mulai dari foramen magnum dan berakhir
11
pada L 2. Medulla spinalis menjadi lancip pada daerah thoracic
bagian bawah dan membentuk struktur seperti kerucut yang disebut
cones medularis. Medula spinalis termasuk pusat benda kelabu (
badan-badan sel ) dan yang terbentuk huruf H dikelilingi oleh benda
putih yang merupakan jalur ascending dan descending. Benda
kelabu berbentuk kupu-kupu. Bagian depan atau ventral horn (
tanduk ventral ) mengarah ke lambung terdiri dari struktur neuron
multipolar seperti badan sel dendrit yang membentuk neuron
efferent dari akar ventral dan saraf spinal. Tanduk dorsal berisi
badan sel dan sel dendrit dari neuron eferant dan reseptor sensori
dari periofer. Benda kelabu berisi intermucial neuron yang
mengirim impuls dari satu tingkat ketingkat yanglain, dari dorsal ke
tanduk ventral dan dari setengah medula spinalis ke yang lain. Jalur
ascenden menyalurkan informasi sensori dari reseptor pada perifer
ke medula spinalis dan otak. Jalur yang menurun menyalurkan
impuls dari otak kepada motor neuron dalam medulla spinalis (
neuron motor atas / upper motor neuron ) atau kepada sistem saraf
perifer ( neuron motor bawah / lower motor neuron ).
Medulla spinalis juga merupakan jalur refleks. Refleks tidak
memerlukan penyakuran ( relay ) ke tingkat otak untuk kegiatan
dan itu merupakan contoh sirkuit yang sederhana. Kegiatan refleks,
respon motoris yang spesifik stereotive terhadap stimulus sensori
yang adekuat. Respon bisa berbentuk gerakkan otak skeletal.
12
Refleks hanya melibatkan satu tingkat dari medula spinalis ( refleks
segmental ). Salah satu contoh arus refleks yang sederhana ketukan
pada sendi lutut.
Cairan cerebro spinalis ( Cerebro Spinalis Fluid / CSF )
didapati dalam ventrikel otak, di dalam kanalis sentralis medula
spinalis, dan di dalam ruangan-ruangan subarachnoid. Liquor
bekerja sebagai bantalan pada sistem saraf dan menunjang bobot
otak. CSf dibuat pada ventrikel-ventrikel di pleksus khoroideus. Di
dalam 24 jam plexux choridu mensekresi 500 sampai 570 ml CSf.
Namun hanya 125 ml sampai 150 ml saja yang bersirkulasi pada
setiap saat. Setelah bersirkulasi diseputar otak dan medula spinalis,
cairan kembali ke otak dan diabsorbsi villi. Kemudian CSF terus
masuk ke dalam sistem venous dan mengalir ke vena jugularis ke
vena cafasuperior masuk ke dalam sirkulasi dalam sistemik.
Dalam keadan normal terdapat sampai 8 limfosit / ml dari
cairan CSF. Peningkatan jumlah sel-sel menunjukkan adanya
infeksi, seperti tuberculosis atau infeksi virus. Infeksi oleh bakteri
seperti meningitis tuberculosa menyebabkan berkurangnya kadar
gula dan kadar khlorida, protein cairan CSF meningkat pada
penyakit degeneratif dan pada tumor otak. Terdapatnya darah dalam
CSF menunjukkan terjadinya hemoragi pada salah satu ventrikel.
Lihat karakteristik normal dari CSF berikut dibawah ini, yaitu: BD:
1.007, pH: 7.35 sampai 7.45, chloride: 120 sampai 130 mEq/L,
13
glucose: 50 sampai 80/100ml, tekanan: 50 sampai 200 mm air,
volume total: 80 sampai 200 ml (15 ml dalam ventrikel), total
protein: 15 samopai 45 mg/100 ml ( lumbal ), 10 sampai 15 mg/100
ml (cisterna), 5 samapi 15 mg/100 ml ( ventrikel ), gamma globulin:
6% sampai 13 % dari total protein. Jumlah sel darah: eritrosit:
negatif, lekosit: 0 – 5, 0 -10 sel-sel ( semua limfosit dan monosit ).
4) Sistem saraf perifer
Sistem saraf perifer merupakan seperangkat saluran biasa
yang terletak di luar sistem saraf pusat. Saraf perifer merupakan saraf
tunggal, yaitu saraf motorik, sensorik atau “campuran” ( serabut
sensorik dan motorik ). Saraf perifer terdiri dari 12 pasang saraf kranial,
yang membawa impuls dari neuron ke otak, 31 pasang saraf spinal,
yang membawa impuls ke dan dari medulla spinalis. Tiap saraf spinal
memberi penginderaan, bagian-bagian tersebut dermatomes. Beberapa
saraf spinal bersatu dan membuat pleksus-pleksus/jalinan saraf.
Saraf perifer yang menyalurkan informasi ke saraf pusat ialah
aferen dan sensori, saraf perifer yang mengirim informasi dari pusat
saraf disebut eferen atau motorik. Pada sistem saraf perifer motorik dan
sensorik berjalan bersam tapi terpisah ada tingkat medula spinalis
masuk ke bagian anterior atau akar motorik. Sistem saraf perifer dibagi
menjadi sistem saraf somatis dan autonom. Sistem saraf somatis
membuat persarafan pada otot skeletal berserat lintang. Serabut dari
14
akson menyalurkan neuro transmitor acetycholin ke sel-sel otot skelet,
yang akan menghasilkan potensial aksi dan gerakan.
Saraf Kepala ( Saraf Otak ) susunan saraf terdapat pada
bagian kepala yang ke luar dari otak dan melewati lubang yang terdapat
pada tulang tengkorak berhubungan erat dengan otot panca indera mata,
telinga, hidung, lidah dan kulit. Di dalam kepala ada 2 saraf kranial,
beberapa diantaranya adalah serabut campuran gabungan saraf motorik
dan saraf sensorik tetapi ada yang terdiri dari saraf motorik dan saraf
sensorik saja, misalnya alat-alat panca indera. Saraf kepala terdiri dari:
a. Nervus Olfaktorius: Sifatnya sensorik menyuplai hidung membawa
rangsangan aroma ( bau-bauan ) dari rongga hidung ke otak.
Fungsinya saraf pembau yang keluar dari otak di bawah dahi yang
disebut lobus olfaktorius, kemudian saraf ini melalui lubang yang
ada di dalam tulang tapis akan menuju rongga hidung selanjutnya
menuju sel-sel panca indera.
b. Nervus Optikus: Sifatnya sensoris, mensarafi bola mata membawa
rangsangan penglihatan ke otak.
c. Nervus Mandibularis: Sifatnya majemuk ( sensori dan motoris ),
serabut-serabut motorisnya mensarafi otot-otot pengunyah, serabut-
serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit daerah temporal dan
dagu. Serabut rongga mulut dan lidah dapat membawa rangsangan
cita rasa ke otak. Fungsinya sebagai saraf kembar 3 di mana saraf ini
merupakan saraf otak terbesar yang mempunyai 2 buah akar saraf
15
besar yang mengandung serabut saraf penggerak. Dan di ujung
tulang belakang yang terkecil mengandung serabut saraf
penggerak. Di ujung tulang karang bagian perasa membentuk
sebuah ganglion yang dinamakan simpul saraf serta meninggalkan
rongga tengkorak.
d. Nervus Abdusen: Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital.
Fungsinya sebagai saraf penggoyang sisi mata di mana saraf ini
keluar di sebelah bawah jembatan pontis menembus selaput otak
sela tursika. Sesudah sampai di lekuk mata lalu menuju ke otot lurus
sisi mata.
e. Nervus Fasialis: Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris), serabut-
serabut motorisnya mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir
rongga mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-serabut saraf
otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala. Fungsinya:
sebagai mimik wajah dan meghantarkan rasa pengecap, yang mana
saraf ini keluar sebelah belakang dan beriringan dengan saraf
pendengar.
f. Nervus Auditorius: Sifatnya sensoris, mensarafi alat pendengar
membawa rangsangan dari pendengaran dan dari telinga ke otak.
Fungsinya sebagai saraf perasa, di mana saraf ini keluar dari
sumsum penyambung dan terdapat di bawah saraf lidah tekak.
g. Saraf Assesorius: Sifatnya motoris, ia mensarafi muskulus
sternokloide mastoid dan muskulus trapezius. Fungsinya, sebagai
16
saraf tambahan, terbagi atas 2 bagaian, bagian yang berasal dari
otak dan bagian yang berasal dari sumsum tulang belakang.
h. Nervus Hipoglosus: Sifatnya motoris, ia mensarafi otot-otot lidah.
Fungsinya: sebagai saraf lidah di mana ini terdapat di dalam
sumsum penyambung. Akhirnya bersatu dan melewati lubang yang
terdapat di sisi foramen oksipital. Saraf ini juga memberikan
ranting-ranting pada otot yang melekat pada tulang lidah dan otot
lidah.
i. Nervus Vagus: Sifatnya sensorik dan motorik mensarafi faring, tosil
dan lidah, rangsangan cita rasa.
j. Nervus Vagus: Sifatnya sensorik dan motorik mensarafi faring,
laring, paru-paru dan esofagus.
k. Nervus Okulomotoris: Sifatnya motorik mensarafi penggerak bola
mata dan mengangkat kelopak mata.
l. Nervus Troklearis: Sifatnya motorik mensarafi mata, memutar mata
dan penggerak mata.
C. Etiologi.
Sebesar 10% – 20% tidak dapat ditemukan etiologinya dan sebaliknya
tidak jarang ditemukan lebih dari satu penyebab kejang pada neonotus.
1. Gangguan vaskuler.
Perdarahan berupa petekia akibat anaksia dan asfiksia yang dapat terjadi
intraserbal atau antraventrikel, sedangkan Perdarahan akibat trauma
langsung yaitu berupa perdarahan di subaraknoidal atau subdural, terjadi
17
Trombosis, adanya penyakit perdarahan seperti defisiensi vitamin K,
Sindrom hiperviskositas disebabkan oleh meningginya jumlah eritrosit dan
dapat diketahui dari peninggian kadar hematokrit. Gejala klinisnya antara
lain pletora, sianosis, letargi dan kejang.
2. Gangguan metabolisme
Gangguan metabolisme meliputi Hipokalsemia, hipomagnesia,
hipoglikemia, defisiensi dan ketergantungan akan piridoksin,
aminoasiduria, hiponatremia, hipernatremia, hiperbilirubinemia.
3. Infeksi
Kejang demam disebabkan oleh infeksi meliputi : Meningitis sapsis,
ensefalitis, toksoplasma kongenital, penyakit-penyakit cytomegalic
inclusion,
4. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital meliputi : Porensetali, hidransefali, agnesis ( sebagian
dari otak )
5. Lain-lain
Disebabkan oleh Narcotic withdrawal, neoplasma.
(dr. Rusepto, 2005:1141)
D. Patofisiologi.
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak
diperlukan energi yang dapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah
18
oksidasi dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui
sistem kardiovaskular. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa sumber
energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2
dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu
lipoid dan permukaan luar yaitu ionic. Dalam keadan normal membran sel
dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium ( K+) dan sangat sulit dilalui oleh
ion natrium (Na+ ) dan eletrolit lainnya, kecuali ion klorida (CL-). Akibatnya
konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrsi Na+ rendah, sedang di
luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan luar sel, maka terdapat perbedaan potensial
membran yang disebut potensial membran dari neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi
dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membrane ini dapat diubah oleh: perubahan
konsentrasi ion diruang ekstravaskuler, rangsangan tang datangnya mendadak
misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya, perubahan
patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan. Dalam
keadaan demam kenaikkan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikkan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu,
kenaikkan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel
neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun
19
ion natrium melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan
listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke
seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang
disebut “neurotransmitter” dan terjadi kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung
tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak akan menderita kejang pada
kenaikkan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah,
kejang telah terjadi pada suhu 380C sebab anak dengan ambang kejang yang
tinggi kejang baru terjadi bila suhu mencapai 400C atau lebih. Dari kenyataan
ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam lebih sering terjadi
pada anak dengan ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu memperhatikan pada tingkat suhu berapa pasien
menderita kejang. Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya
tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjai
hipoksemia, hiperkapnia, asidosis lakta disebabkan oleh metabolisme
anaerobic, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan
suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas
otot, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat.
Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya
keruskan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting
dalam gangguan peredaran darah yang mngakibatkan hipoksia sehingga
20
meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakkan pada daerah medial
lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama
dapat menjadi “matang” dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi
yang spontan. Karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat
menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi ( Ngastiyah,
1997 ).
E. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala terjadinya bangkitan kejang demam pada bayi dan
anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikkan suhu badan yang tinggi dan
cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat misalnya
tosilitis, otitis ade akut, bronkitis, furunkolosis dan lain-lain ( Ngastiyah, 1997:
231 ).
Kejang demam dikelompokkan menjadi dua: kejang demam sederhana
( simple febrile seizure ), kejang demam komplek ( complec febrile seizure ).
1. Kejang demam sederhana.
Umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun, kejang demam
yang berlangsung singkat, kejang berlangsung kurang dari 15 menit, sifat
bangkitan dapat berbentuk tonik, klnik, tonik dan klonik, umumnya akan
berhenti sendiri, tanpa gerakan fokal atau berulang dalam waktu 24 jam.
21
2. Kejang demam kompleks.
Kejang demam dengan ciri: kejang lama lebih dari 15 menit, kejang fokal
atau parsial satu sisi atau kejang umum didahulai kejang parsial, berulang
atau lebih dari 1 kali dari 24 jam.
Kejang berulang adalah kejang 2 kali / lebih daalm 1 hari, diantara 2
bangkitan kejang anak sadar.
F. Penatalaksanaan.
1. Keperawatan
Masalah yang perlu diperhatikan pada pasien kejang demam ialah resiko
terjadi kerusakkan sel otak akibat kejang, suhu yang meningkat di atas
suhu normal, resiko terjadi bahaya / komplikasi, gangguan rasa aman dan
nyaman, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
a. Risiko terjadi kerusakan sel otak akibat kejang
Setiap kejang menyebabkan kontriksi pembuluh darah sehingga aliran
darah tidak lancar dan mengakibatkan peredaran O2 terganggu.
Kekurrangan O2 ( anoksia ) pada otak akan mengakibatkan kerusakan
sel otak dan dapat terjadi kelumpuhan sampai retardasi mental bila
kerusakannya berat. Jika kejang hanya sebentar tidak banyak
menimbulkan kerusakan, tetapi jika kejang berlangsung lebih dari 15
menit biasanya berakhir dengan apnea yang akan menimbulkan
kerusakan otak yang makin berat (pada keadaan demam, kenaikkan
suhu 10C akan mengakibatkan kenaikkan metabolisme basal 10-15%.,
kebutuhan O2 akan meningkat 20%. Pada kejang demam yang
22
berlangsung lama kebutuhan O2 lebih banyak karena selain diperlukan
untuk metabolisme basal diperlukan juga untuk kontraksi otot-otot
skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat
yang disebabkan metabolisme anaerobik, disertai hipotensi arterial dan
kelainan denyut jantung yang menyebabkan metabolisme otak
meningkat dan mengakibtakan kerusakan nueron otak selama
berlangsungnya kejang. Oleh karena itu, kejang harus segera dihentikan
dan apnea dihindarkan.
b. Suhu yang meningkat di atas normal
Masing-masing pasien mempunyai ambang kejang yang berbeda, tidak
selalu dalam keadaan hipirpireksia tetapi yang jelas bahwa pada kejang
demam selalu didahului kenaikkan suhu sebelum bangkitan kejang
terjadi. Pada anak dengan ambang kejang rendah, bila suhu naik
menjadi 380C atau lebih sedikit saja sudah timbul kejang. Oleh karena
itu, jika sudah diketahui suhu anak di atas normal anak akan menderita
kejang maka setelah diketahui suhu mulai naik di atas normal anak akan
menderita piretrik ( pemberian antipiretik dan petunjuk bahwa anak
menderita kejang demam didapat setelah berobat ke dokter dan biasanya
kejang sudah lebih dari 1 kali ).
c. Risiko terjadi bahaya / komplikasi
Seperti pasien lain yang kejang, akibatnya dapat terjadi perlukaan
misalnya lidah tergigit atau akibat gesekkan dengan gigi; akibat terkena
benda tajam atau keras yang ada disekitar anak, serta dapat juga
23
terjatuh. Oleh karena itu, setiap anak mendapat serangan kejang harus
ada yang mendampinginya.
Selain bahaya akibat kejang, risiko komplikasi dapat terjadi akibat
pemberian obat antikonvulsan ( dapat terjadi di rumah sakit ), misalnya
karena kejang tidak segera berheti padahal telah mendapat fenobarbital
kemudian diberikan diazepam maka dapat berakibat apnea. Begitu pula
jika memberikan diazepam secara intravena terlalu cepat juga dapat
menyebabkan depresi pusat pernapasan. Oleh karena itu, bila
memberikan diazepam IV harus pelan sekali 1 ml selam 1 menit. Jika
keadaan memungkinkan dapat digunakan mikrodip untuk pemberian
diazepam pada bayi.
d. Gangguan rasa aman dan nyaman.
Gangguan ini juga dapat terjadi seperti pasien lain sebagai akibat
penyakitnya sendiri dan tindakan-tindakan pertolongan selama kejang
atau tindakan pengobatan jika di rumah sakit misalnya pungsi lumbal,
pemasangan infus, pengisapan lendir,dan sebagainya. Walupun pasien
ketika kejang tidak sadar perlakuan lemah-lembut dan kasih sayang
perlu dilaksanakan ( misalnya pada waktu mengisap lendir harus dengan
hati-hati sehingga tidak melukai selaput lendir tenggorokan ).
e. Kurangnya pengetahuan orangtua mengenai penyakit
Pasien kejang tidak di rawat di rumah sakit; kecuali apabila ia menderita
komplikasi atau dalam keadaan status konvulsivus. Jika pasien telah
didiagnosis kejang demam, orangtuanya perlu dijelaskan mengapa anak
24
dapat kejang terutama yang berhubungan dengan kenaikkan suhu tubuh,
kenaikkan suhu tubuh tersebut disebabkan oleh infeksi. Orangtua perlu
diajari bagaimana cara menolong pada saat anak kejang ( tidak boleh
panik ) dan yang penting adalah mencegah jangan sampai timbul
kejang.
Yang perlu dijelaskan adalah : harus selalu tersedia obat penurun panas
yang didapatkan atas resep dokter yang telah mengandung
antikonvulsan, agar anak segera diberikan obat antipiretik bila orangtua
mengetahui anak mulai demam ( jangan menunggu suhu meningkat
lagi) dan pemberian obat diteruskan sampai suhu sudah turun selama 24
jam berikutnya, jika terjadi kejang, anak harus dibaringkan di tempat
yang rata, kepalanya dimiringkan, apabila terjadi kejang berulang atau
kejang terlalu lama walapun telah diberikan obat, segera bawa pasien
tersebut ke rumah sakit karena hanya rumah sakit yang dapat
memberikan pertolongan pada pasien yang menderita status kovulsivus,
apabila orangtua telah diberi obat persediaan diazepam rektal berikan
petunjuk cara meberikannya, yaitu ujung rektiol yang akan dimasukkan
ke dalam anus dioles pakai minyak sayur atau vaselin kemudian
dimasukkan ke dalam anus sambil dipencet sampai habis ( tetapi dengan
pelan-pelan memencetnya ) setelah kosong dan masih dipencet rektiol
dicabut kemudian anus dirapatkan ( jika tidak sambil masih dipencet
retktiol dicabut sebagian isinya akan ikut terisap kembali ), beritahukan
orangtua jika anak akan mendapatkan immunisasi agar memberitahukan
25
kepada dokter/petugas imunisasi bahwa anaknya penderita kejang
demam ( agar tidak diberikan pertusis ).
2. Non Keperawatan.
Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu
dikerjakan, yaitu: memberantas kejang secepat mungkin, pengobatan
penunjang, memberikan pengobatan rumat, dan mencari dan mengobati
penyebab.
a. Memberantas kejang secepat mungkin.
Bila pasien datang dalam keadaan status konvulsivus, obat pilihan
utama adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Keampuhan
diazepam yang diberikan secara intravena ini tidak perlu dipersoalkan
lagi karena keberhasilan untuk menekan kejang sekitar 80 – 90%. Efek
terapeutiknya sangat cepat, yaitu kira-kira 30 detik sampai 5 menit dan
efek toksik yang serius hampir tidak dijumpai apabila diberikan secara
perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mg per suntikan. Dosis sesuai
dengan berat badan; kurang dari 10 kg 0,5 – 0,75 mg/kgBB dengan
minimal dalam spuit 7,5 mg, dan di atas 20 kg 0,5 mg/kgBB. Biasanya
dosis rata-rata yang dipakai 0,3 mg/kgBB/kali dengan maksimum 5 mg
pada anak berumur kurang dari 5 tahun, dan 10 mg pada anak yang
lebih besar .
Setelah suntikan pertama secara intravena ditunggu selama 15 menit,
bila masih terdapat kejang diulangi suntikan kedua dengan dosis yang
sama juga intravena. Setelah 15 menit suntikan kedua masih kejang,
26
diberikan suntikan ketiga dengan dosis sama akan tetapi pemberiannya
secara intramuskular; diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga
berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4% secara
intravena.
Akibat samping diazepam adalah mengantuk, hipotensi, penekanan
pusat pernafasan, laringospasme dan henti jantung.
b. Pengobatan penunjang
Sebelum memberantas kejang tidak dilupakan perlunya pengobatan
penunjang.
Semua pakaian ketat dibuka, posisi kepala sebaiknya miring untuk
mencegah aspirasi isi lambung, usahakan agar jalan napas bebas untuk
menjamin kebutuhan oksigen, bila perlu dilakuakn intubasi atau
traketomi, pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan
diberikan oksigen.
Fungsi vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan dan
fungsi jantung diawasi secara ketat. Cairan intravena sebaiknya
diberikan dengan monitoring untuk kelainan metabolik dan elektrolit.
Bila terdapat tekanan intrakranial yang meninggi jangan diberikan
cairan degan kadar natrium yang terlalu tinggi. Jika suhu meningkat
sampai hiperpireksia dilakukan hibernasi dengan kompres alkohol dan
es. Obat untuk hibernasi adalah klorpromazin 2 – 4 mg/kg/BB/hari
dibagi dalam 3 dosis; prometazon 4 – 6 mg/kg/BB/hari dibagi 3 dosis
secara suntikan.
27
Untuk mencegah edema otak diberikan kortikosteroid dengan dosis 20 –
30 mg/kg/BB/hari dibagi dalam 3 dosis atau sebaiknya glukortikoid
misalnya deksametazon 0,5 – 1 ampul setiap 6 jam sampai keadan
membaik.
c. Pengobatan rumat
Setelah kejang diatasi harus disusul pengobatan rumat. Daya kerja
diazepam sangat singkat, yaitu berkisar antara 45 – 60 menit sesudah
disuntikan; oleh karena itu harus diberikan obat antiepileptik dengan
daya kerja lebih lama misalnya fenobarbital atau defenilhidation.
Fenobarbital diberikan langsung setelah kejang berhenti dengan
diazepam. Dosis awal pada neonotus 30 mg; umur 1 bulan sampai 1
tahun 50 mg dan umur 1 tahun ke atas 75 mg dan cara memberikannya
intramuskuler. Sesudah itu fenobarbital diberikan sebagai dosis rumat.
Karena metabolisme di dalam tubuh per lahan pada anak cukup
diberikan dalam 2 dosis sehari dan kadar maksimal dalam darah
terdapat setelah 4 jam. Untuk mencapai kadar terapeutik secepat
mungkin diperlukan dosis yang lebih tinggi dari pada biasa. Dengan
dosis ganda 8 – 10 mg/kgBB/hari, kadar 10-20 mg/ml ialah kadar
efektif dalam darah tercapai dalam 48 – 72 jam. Di sub bagian anak
RSCM fenobarbital sebagai dosis “maintenance” diberikan setelah dosis
awal sebanyak 8 – 10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis untuk hari
pertama dan kedua, diteruskan untuk hari berikutnya dengan dosis biasa
4 – 5 mg/kgBB sehari dibagi dalam 2 dosis. Selama keadaan belum
28
memungkinkan antikovulsan diberikan secara suntikan dan bila telah
membaik diteruskan secara oral.
d. Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab kejang demam sederhana maupun epilepsi yang diprovokasi
oleh demam biasanya adalah infeksi respiratorius bagian atas dan otitis
media akut. Pemberian antibiotik yang adekuat perlu untuk mengobati
penyakit tersebut.
Secara akedemis pasien kejang demam yang datang untuk pertama kali
sebaliknya dilakukan pungsi lumbal untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya faktor infeksi di dalam otak misalnya meningitis. Pada pasien
yang diketahui kejang lama pemeriksaan lebih intensif seperti pungsi
lumbal, darah lengkap, gula darah, kalium, magnesium, kalsium,
natrium dan faal hati. Bila perlu rontgen foto tengkorak, EEG,
ensefalografi dan lain-lain.
G. Komplikasi
1. Kerusakkan neurotransmiter.
Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas
keseluruh sel ataupun ke membran sel yang menyebabkan kerusakkan
pada neuron.
2. Epilepsi.
Kerusakkan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat
serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi “matang”
dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan.
29
3. Kelainan anatomis di otak.
Serangan kejang yang berlangsung lama yang dapat menyebabkan
kelainan di otak yang lebih banyak terjadi pada anak baru berumur 4 bulan
sampai 5 tahun.
4. Mengalami kecacatan atau kelainan neurologis karena kejang yang disertai
demam.
5. Kemungkinan mengalami kematian.
( PP.IDAI, 2005: 6 )
H. Pengkajian Fokus
Dalam melakukan Asuhan Keperawatan pengkajian merupakan dasar utma
dan hal yang penting dilakukan baik saat klien pertama kali masuk Rumah
Sakit maupun selama klien dalam masa perawatan.
Data yang diperoleh dapat digolongkan menjadi 2 yaitu data dasar dan data
khusus
1. Data Dasar.
a. Pola Nutrisi dan Metabolik
Data yang perlu dikaji meliputi :
Gejala : penurunan nafsu makan, mual muntah, haus.
Tanda : BB turun, mata cekung, turgor lambat, bibir kering.
b. Pola Eliminasi
Gejala : sering defekasi.
Tanda : penurunan berkemih, iritasi rektal.
30
c. Pola Istirahat dan Tidur
Gejala : kelemahan, kesulitan tidur.
Tanda : nadi cepat
Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum pasien: lemah.
2) Kesadaran: komposmetis, apatis, samnolen, soporo, koma, reflek,
sensibilitas, nilai gasglow coma scale ( GCS ).
3) Tanda –tanda vital: tekanan darah ( hipotensi ), suhu ( meningkat ),
nadi ( takikardi ).
4) Keadaan: mata cekung, mulut ( mukusa kering ).
5) Abdomen: bentuk cembung, kembung.
2. Data Khusus
Data khusus digolongkan menjadi 2 yaitu: data subjektif dan data objektif:
a. Data Subjektif: lemah, panas atau demam, anoreksia ( tidak nafsu
makan, mual, muntah ), defekasi.
b. Data Objektif: suhu tinggi, mukosa kering, BB turun, urin kurang, mata
cekung.
( Whaley and Wong, 1991:495 )
Penghakjian tumbuh kembang pada anak
Pada usia 6 – 12 th (industri vs inforloritas) masing – masing tahap terdiri
dari komponen yang diharapkan dan yang tidak diharapkan. Setiap tahao
oerkembangan mempunyai aktivitas spesifik yang membantu klien dalam
mengembangkan konsep diri yang positif.
31
a. Pertumbuhan
Dengan anak memasuki usia sekolah pertumbuhan menjad cepat tinggi,
lebar, gigi sudah mulai tumbuh merata di bagian rahang belum tumbuh,
tubuh anak berubah, identitas seksual menguat
b. Perkembangan
Pada usia 6 – 12 tahun masuk tahap anak usia sekolah lebih banyak
didapatkan ketrampilan motorik, social, dan intelektual seperti aktivitas
membaca memungkinkan ekspensi konsep diri melalui imajinasi ke
dalam peran, perilaku dan tempat lain melalui permainan, anak-anak
berinteraksi dengan teman sebaya, mengembangkan keterampilan
motorik dan intelektual tambahan, anak – anak mengekspresikan
perasaan melalui permainan, literature, gambar, dan musik. Perawat
dapat menggunakan hal ini untuk mendapat petunjuk dalam konsep diri
dan citra tubuh dapat berubah pada saat ini karena anak terus berubah
secara fisik, emosional, mental dan sosial.
c. Konsep diri : tugas perkembang
Pada usia 6 – 12 tahun masuk tahap anak usia sekolah yang lebih banyak
tugas perkembangan konsep diri yang positif.
1) Dapat mengatur diri – diri (industri)
2) Berinteraksi dengan teman sebaya
3) Harga diri meningkat dengan penguasaan ketrampian baru
4) Menyadari kekuatan dan keterbatasan
(Fundamentals of Nursing, 2005: 506)
32
Pemeriksaan Penunjang
a. Uji laboratorium
1) Fungsi lumbal untuk menganalisis cairan serebrosppinal, terutama
dipakai untuk menyingkir kemungkinan infeksi.
2) Hitung darah lenglkap untuk menyingkirkan infeksi sebagai
penyebab dan pada kasus yang diduga disebabkan trauma, dapat
mengevaluasi hematokrit dan jumlah trombosit.
3) Panel elektrolit serum elektrolit, Ca total dan magnesium serum
sering diperiksa pada sat pertama kali terjadi kejang.
4) Skrining toksik dari serum dan urin digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan keracunan.
5) Pemantauan kadar obat antiepileptik digunakan pada fase awal
penatalaksanaan.
b. Elektroensefalografi.
Untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang atau
memperlihatkan gambaran interektal EEG. Pemeriksaan Eeg segera
setelah kejang dalam 24 – 48 jam atau sleep deprivation dapat
memperlihatkan berbagai macam tekanan.
c. Neuroimaging.
1) Pemeriksaan fotorontgen kepala dapat memperlihatkan adanya
fraktur tulang kepala, tetapi mempunyai nilai diagnostik yang
minimal. Kenaikkan jaringan otak pada trauma kepala dapat dilihat
33
dengan menggunakan gambaran Computed Tomagraphy Scan ( CT
Scan ) kepala.
2) Magnetic Resonange Imaging ( MRI )
Lebih superior dibanding CT Scan dalam mengevaluasi lesi
epileptogenik atau tumor kecil di daerah temporal atau daerah yang
tertutup oleh struktur tulang, misal: sereblum atau batang otak ( Erny,
Darto, 2007:6 ).
34
N a fa s t id a k e f e k t i f
K e ja n g
P eh s u h u t u b u h = d e m a m
Pen ingkatan suhu tubuh (dem am )
Pen ingkatan m etabo lism e basal 10-15%
Pen ingkatan kebu tuhan oksigen 20%
P ada anak ± 3 tahun
S irku lasai ke o tak 65%
Perubahan keseim bangan dari
m em brane sel neu tron
d ifusi ion K + dan N a+
L epas m uatan listrik yang besar
N euro transm itter
M eluas keselu ruh tubuh
K ejang dem am
Penurunan K erusakan leb ih D ari 15 m en it K elem ahan K urang in fo rm asi
K ond isi tubuh neu ro transm itter ten tang penyak itnya
R aw at inap R S O bstruksi trakeob pen ingkatan ak tifitas kesu litan K urang
rak ia l kerusakan o to t keseim bangan pengetahuan
persepsi / kogn itif
H osp ita lisa i keterbatasan kogn itif /
perubahan kesadaran
C em as pad a K eh ilangan koord inasi
anak O to t besar & kecil
R esti traum a / penghen tian
( S um ber: N gastiyah , 1997 )
I. Pathways Keperawatan
35
J. Diagnosa Keperawatan.
1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi atau inflamasi ( Carpenito,
2000, hal 21 ).
2. Resiko terjadi kerusaskan sel otak berhubungan dengan kejang
( Ngastiyah,1997: hal 236 ).
3. Resiko trauma atau penghentian pernafasan atau penghentian pernafasan
berhubungan dengan kesulitan keseimbangan perubahan kesadaran
( Doenges, 1999 ).
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi mengenai
proses penyakitnya ( Doenges, 1999 ).
5. Kecemasan berhubungan dengan dampak haspitalisasi yang baru
(Ngastiah, 1997: hal 236 ).
K. Fokus Intervensi.
1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi atau inflamasi ( Carpenito,
2000, hal 21 ).
Tujuan : Suhu tubuh dalam batas normal ( 365 – 375 0C )
parenteral, klien bebas dari demam
Kriteria hasil : Suhu tubuh normal, klien tidak demam, pasien tampak
nyaman
Intervensi:
a. Kaji tanda dan gejala adanya peningkatan suhu tubuh dan penyebabnya
Rasional: Untuk mengidentifikasi pola demam pasien.
36
b. Monitor TTV, suhu, tiap 4 jam sekali.
Rasional : Untuk acuan mengetahui kesadaran umum pasien.
c. Anjurkan pasien banyak minum 2 – 2,5 liter/24 jam.
Rasional: Menurunkan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh
meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan
yang banyak.
d. Monitor intake dan output.
Rasional: untuk mengetahui ketidak seimbangan tubuh.
e. Anjurkan untuk memakai pakaian tipis dan menyerap keringat.
Rasional: Untuk pemakaian baju tipis untuk pemberian obat antipiretik,
untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara solusi koloborasi
dokter dengan obat antipiretik
2. Resiko terjadi kerusakan sel otak berhubungan dengan kejang ( Ngastiyah,
1997: 236 )
Tujuan: a. Menghilangkan kerusakan sel otak.
b. Tidak terjadi komplikasi
Kriteri hasil: Kerusakan sel otak tidak terjadi, komplikasi tidak terjadi, tidak
ada tanda-tanda kejang.
Intervensi:
a. Letakkan klien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala
selama kejang.
Rasional: Meningkatkan aliran darah agar tidak terjadi cidera kepala atau
komplikasi lain.
37
b. Longgarkan pakaian pada daerah leher atau dada dan abdomen.
Rasional: Untuk menfasilitasi usaha bernafas atau ekspansi dada.
c. Masukkan spatel ke lidah atau jalan nafas buatan dan gulungan benda
lunak sesuai dengan indikasi.
Rasional: Masuknya di awal untuk membuka rahang alat ini dapat
mencegah tergigitnya lidah.
d. Bantu melakukan intubasi jika ada indikasi.
Rasional: Mencegah munculnya apnea yang berkepanjangan pada fase
posiktal membutuhkan ventilator mekanik
2. Resiko trauma atau penghetian pernafasan atau penghentian berhubungan
dengan kesulitan keseimbangan perubahan kesadaran (Doenges, 1999).
Tujuan : Anak selalu aman dan terbebas dari injury, komplikasi
atau cedera dicegah, serangan kejang terkontrol.
Kriteria hasil : TTV dalam batas normal, kesadaran normal klien
membaik, serangan kejang dapat terkonmtrol, tidak terjadi
komplikasi cedera teratasi.
Intervensi:
a. Kaji bersama pasien berbagai stimulasi yang menajdi pencetus kejang.
Rasional : Berbagai obat dan stimulasi lain seperti: kurang tidur atau
istirahat, panas yang tinggi lebih dari 380C dapat
meningkatkan aktifitas otak yang selanjutnya meningkat
resiko terjadinya kejang.
38
b. Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang terpasang
dengan posisi tempat tidur rendah.
Rasional : Mengurangi trauma saat kejang ( sering atau umum ) terjadi
selama pasien berada di tempat tidur.
c. Evaluasi Kebutuhan untuk berikan perlindungan pada kepala
Rasional : Penggunaan tutup kepala, dapat memberikan perlindungan
tambahan terhadap seseorang yang mengalami kejang terus
menerus / kejang berat.
d. Lakukan penilaian neurologis / tanda-tanda vital setelah kejang.
Rasional : Mencatat keadaan pariktal dan waktu penyembuhan pada
keadan normal.
e. Masukkan jalan nafas buatan yang terbuat dari plastik/biarkan pasien
menggigit benda lunak.
Rasional : Menurunkan resiko terjadinya trauma mulut tetapi tidak boleh
karena kerusakkan pada gigi dan jaringan lunak dapat terjadi.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi mengenai proses
penyakitnya (Doenges, 1999).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien dan
keluarga mengetahui tentang penyakit, teory dan
cara perawatannya.
Kriteria hasil : Keluarga mendemonstrasikan cara merawat anaknya
khususnya di rumah
39
Intervensi
a. Jelaskan kembali mengenai patofisiologi atau prognosis penyakit dan
perlunya pengobatan atau penanganan dalam jangka waktu yang tepat dan
indikasi.
Rasional : Kesempatan untuk mengklasifikasi kesalahan persepsi dan
keadaan penyakit yang ada sebagai persepsi dan keadaan
penyakit yang ada dalam cara hidup yang normal.
b. Berikan petunjuk yang jelas pada klien dan keluarganya untuk minum obat
bersamaan dengan waktu makan jika memungkinkan.
Rasional : Dapat menurunkan iritasi lambung, mual atau muntah.
c. Berikan informasi pada keluarga tentang indikasi obat dan pentingnya
untuk klien dan keluarga dalam memberi tahu tentang perawatan dan
pemberian obat.
Rasional : Pengetahuan mengenai penggunaan obat.
d. Diskusikan pada klien dan keluaraga mengenai efek samping secara
khusus.
Rasional : Megindikasi kebutuhan akan perubahan dalam dosis atau obat
pilihan yang lain.
5. Kecemasan berhubungan dengan dampak hospitalisasi yang baru
( Ngastiah, 1997: hal 236 ).
Tujuan : kecemasan pada anak berkurang atau hilang .
Kriteria hasil : anak kooperatif dan tidak rewel dapat istirahat dengan
tenang .
40
Intervensi:
a. Instruksikan agar orang tua tetap menemani anaknya.
Rasional: Diharapkan rasa aman dan nyaman anak terpenuhi.
b. Gunakan komunikasi terapiutik .
Rasional: Diharapkan anak bisa kooperatif dan anak tidak rewel.
c. Berikan terapi bermain sesuai usia.
Rasional: Diharapkan klien tidak rewel dan ingin pulang.
d. Ciptakan suasana yang aman dan nyaman.
Rasional: Diharapkan klien dapat istirahat dengan tenang.
41
top related