bab ii pembahasanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16335/2/t1... · 2018-10-30 · eksaminasi...
Post on 23-May-2019
230 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Pustaka
1. Arti dan Penjelasan Inkonsistensi
Inkonsistensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti,
tidak taat asas; suka berubah-ubah (tentang sikap atau pendirian
seseorang, pemakaian atau pengejaan kata, dan sebagainya); selain itu
Inkonsistensi juga memiliki arti yaitu mempunyai bagian-bagian yang
tidak bersesuaian; bertentangan; kontradiktif. Sehingga jelas bahwa
sikap dan juga pemakaian kata dalam berargumen yang tidak sesuai
merupakan bentuk Inkonsistensi. Sama hal nya dengan bagian-bagian
yang berkaitan namun tidak bersesuaian atau bertentangan dapat di sebut
sebagai Inkonsistensi.
2. Rasionalitas Pertimbangan Hakim
Dalam sebuah putusan dalam hal ini putusan yang berkaitan
dengan putusan mahkamah konstitusi, dimana di dalam nya terdapat
pertimbangan hakim yang digunakan sebagai dasar dalam membuat
putusan. Dalam pertimbangan hakim berisi mengenai argumen yang di
buat oleh hakim sendiri dalam menanggapi para pihak serta menjadikan
nya sebagai alasan dasar dalam membuat putusan. Argumentasi yang
dibuat hakim merupakan sebuah argumentasi hukum. Argumentasi pada
dasarnya adalah penampilan proses kegiatan berpikir. Argumentasi dan
11
penalaran adalah dua istilah yang sering dipertautkan; penalaran adalah
kegiatan berfikir.1 Berfikir secara yuridis adalah berfikir secara normatif.
Teori argumentasi mengkaji bagaimana menganalisis dan merumuskan
suatu argumentasi secara tepat, teori argumentasi mengembangkan
kriteria yang dijadikan dasar untuk suatu argumentasi yang jelas dan
rasional. 2 Argumentasi hukum itu sendiri dihasilkan oleh proses
penalaran (redeneer process). Penalaran selalu bersangkut paut dengan
logika dan bahasa.3
Penalaran hukum bagi hakim merupakan kegiatan berfikir untuk
menghasilkan pendapat hukum yang berangkat dari kasus konkret yang
dihadapi dengan mengacu pada sistem hukum positif. Berbeda hal nya
dengan penalaran hukum yang mengkaji produk, dimana objek pada
dictum putusan sebagai imperensi (penyimpulan) dari hasil kegiatan
berfikir hukum dikaitkan dengan pertimbangan hukumnya. Dalam teori
hukum telah diletakan kriteria rasional putusan hakim yaitu pada de
heuristik dan de legitimatik.4
de heuristik adalah metode pemecahan masalah lewat penalaran
sebagai proses intelektual untuk mencapai penyelesaian masalah.
Dimana dalam tahap ini hakim berusaha mencari tahu dan menemukan
jalan pemecahan secara tepat dan benar. Dan pada tahap de legitimatik
yang adalah kegiatan menyangkut persoalan keadilan, menggunakan
1 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,1996), hlm.16.2 Philipus M. Hadjon, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada
University Press,2009) Cet keempat, hlm.13.3 Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta: Penerbit
Prenadamedia Group, 2015) Edisi Pertama, hlm, 48.4 Otje Salman, Teori Hukum, (Bandung: Penerbit Rafika Aditama, 2004), hlm. 37.
12
metode dengan logika deduktif untuk mencapai pola berfikir yang benar
dan mencapai kebenaran.5
Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009
tentang kekuasaan kehakiman bahwa dalam pertimbangan hukum
putusan itu memuat:
(1) Alasan-alasan, yang berkaitan dengan penentuan fakta-fakta
kejadian dikualifisir menjadi fakta hukum.
(2) Dasar putusan yang berkaitan dengan hukum yang diterapkan dan
argumen-argumen pendukung.
(3) Pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan dasar-dasar hukum yang diterapkan, atau sumber hukum
tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
(4) Alasan hukum tak tertulis, dapat berupa argumen sosiologis dan
filosofis atau moral justice.
(5) Alasan dan dasar hukum tersebut harus tepat dan benar (Pasal 53
ayat (2) Undang-Undang no. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman).6
3. Teori merumuskan pendapat hukum
Untuk memenuhi asas objektivitas, maka pada putusan hakim
harus disertai alasan-alasan atau fakta-fakta hukum dan dasar-dasar yang
legalistik termasuk sumber hukum tak tertulis yang di jadikan dasar
untuk mengadili. Undang-undang nomor 48 tahun 2009 Pasal 50 ayat
(1) menjelaskan, bahwa “putusan pengadilan selain harus memuat alasan
5 Syarif Mappiasse, Op. Cit., hlm 506 Ibid, hlm, 45.
13
dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang di
jadikan dasar untuk mengadili.” Dalam hal ini terdapat perbedaan
mengenai “ratio decidendi” dengan “obiter dicta”, meskipun pada
keduanya mengandung makna pertimbangan hukum mengenai diktum
putusan. Ratio decidendi adalah pendapat hukum tertulis atau proporsi
yang diciptakan oleh hakim dalam rangka penemuan hukum berkenaan
kasus konkret yang dihadapinya.7 Adapun Ober dicta adalah pendapat
hukum oleh hakim dalam rangka penemuan hukum yang tidak
berkenaan dengan kasus konkret.8
Dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang nomor 48 tahun 2009
menentukan bahwa dalam sidang permusyawaratan setiap hakim wajib
menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara
yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
putusan. Dalam hal ini, bagaimanakah metode merumuskan pendapat
hukum tertulis yang berkenaan dengan kasus konkret yang terbukti
menjadi fakta hukum.
Dengan menghubungkan Pasal 50 junto Pasal 53 ayat (2) dan Pasal
14 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, serta kebiasaan dalam praktik pengadilan, dapatlah di
simpulkan adanya enam langkah dalam merumuskan pendapat hukum
yang di sampaikan pada saat sidang permusyawaratan hakim dalam
menjatuhkan putusan. Keenam langkah tersebut sebagai berikut:
7 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), Cet V, 2000., hlm.114.
8 Ibid.
14
a. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur
kasus yang sungguh-sungguh di yakini oleh hakim sebagai suatu
kasus yang riil terjadi (terbukti sebagai fakta berdasar hukum
pembuktian yang sah).
b. Menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber
hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan
hukum kedalam peristilahan yuridis
c. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk
kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung didalam aturan
hukum itu, sehingga dihasilkan suatu struktur aturan yang koheren.
d. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus (fakta
hukum) secara silogisme deduktif.
e. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang tepat dan benar.
f. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian
ditetapkan sebagai pendapat hukum yang sesuai dengan dictum
putusan.9
4. Asas-Asas Putusan
Tugas hakim dalam mengadili suatu perkara yaitu sangat berkait
dengan persoalan normatif dan filsafat hukum sebab tugas mengadili
yang dilakukan oleh hakim berkaitan dengan keadilan, kepastian hukum,
dan kemanfaatan.
Alasan dan dasar hukum yang diterapkan dalam pertimbangan
hukum tersebut; hakim bertanggung jawab atas putusan yang dibuatnya
(Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang
9 Syarif Mappiasse, Op. Cit., hlm 71.
15
Kekuasaan Kehakiman). Artinya bahwa putusannya dipertanggung
jawabkan sesuai pertimbangan hukum yang dibuatnya.10
Putusan merupakan akhir suatu proses pemeriksaan perkara yang
dilakukan majelis hakim, dengan terlebih dahulu dilakukan musyawarah
berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan merupakan suatu pernyatan
hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang di beri wewenang,
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, guna menyelesaikan
suatu sengketa antara para pihak. Asas-asas yang harus ada dalam
putusan sebagai berikut:
a. Harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan secara jelas
dan perinci, memuat pasal-pasal dan/atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar mengadili (Pasal 50 dan Pasal 53 UU No. 48
tahun 2009). Suatu putusan yang tidak cukup mempertimbangkan
alasan-alasan dalam posita gugatan menurut hukum pembuktian atau
tidak memberikan penilaian terhadap alat bukti secara perinci,
demikian pula tidak memberi pertimbangam mengenai dasar
hukumnya, baik berdasar pada pasal-pasal peraturan perundang-
undangan maupun sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar
mengadili, dapat dikategorikan onvol doende gemotiveerd (tidak
cukup pertimbangan), sehingga menjadi alasan untuk membatalkan
putusan yang bersangkutan. Gugatan yang telah dipertimbangkan
menurut hukum pembuktian ternyata tidak terbukti, dinyatakan tidak
beralasan hukum dan demikian gugatan tersebut harus ditolak.
10 Ibid., hlm, 46.
16
Demikian pula suatu gugatan yang dinyatakan tidak berdasar hukum
dimana posita gugatan tidak sejalan dengan petitum gugatan, maka
gugatan tersebut dinyatakan tidak berdasar hukum sehingga
dinyatakan tidak dapat diterima (niet ont vankelijk verklaard).
b. Asas wajib mengadili seluruh bagian gugatan. Asas ini digariskan
dalam Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat (2) R.Bg. dan Pasal 50
Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
c. Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan. Asas ini digariskan
Pasal 178 ayat (3) HIR Pasal 189 ayat (3) R.Bg. larangan ini disebut
ultra petita patrium. Mengadili lebih dari yang dituntut
dikategorikan melampaui batas wewenang atau ultra vires. Ultra
petita patrium atau ultra vines dikategorikan sebagai tindakan yang
tidak sesuai hukum. Tindakan ultra petita yang didasarkan dengan
itikad baik sekalipun, tetap dikategorikan ilegal karena bertentangan
dengan prinsip the rule of law.
d. Prinsip sidang terbuka untuk umum, hal ini didasarkan pada pasal 13
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 menyatakan :
(1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk
umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(3) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.11
11 Ibid., hlm, 41.
17
5. Eksaminasi Publik
Istilah eksaminasi berasal dari bahasa Inggris examination yang
berarti ujian atau pemeriksaan. Dalam Black’s Law Dictionary
eksaminasi diartikan sebagai an investigation; search; inspection;
interrogation. Apabila dihubungkan dengan konteks eksaminasi terhadap
produk peradilan [dakwaan, putusan] maka eksaminasi berarti
melakukan pengujian atau pemeriksaan terhadap surat dakwaan (jaksa)
atau putusan pengadilan (hakim). Esensi dari eksaminasi adalah
pengujian atau penilaian dari sebuah putusan (hakim) dan atau dakwaan
(jaksa) apakah pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum dan apakah prosedur hukum acaranya
telah diterapkan dengan benar, serta apakah putusan tersebut telah
menyentuh rasa keadilan masyarakat. Disamping untuk mendorong para
hakim/jaksa agar membuat putusan/dakwaan dengan pertimbangan yang
baik dan profesional.12
Eksaminasi ini diharapkan mampu memberikan suatu shock
teraphy bagi para jaksa dan hakim (aparat hukum) serta menunjukkan
bahwa diluar aparat hukumpun (baca: masyarakat) mampu memberikan
analisa yang berbobot dan patut diperhatikan oleh aparat hukum. Lebih
jauh lagi eksaminasi ini dapat digunakan sebagai referensi bagi
Instiotusi hukum yang bersangkutan dalam melakukan penilaian
terhadap aparatnya.13 Penambahan kata “publik” setelah kata eksaminasi
lebih dimaksudkan untuk membedakan dengan eksaminasi yang
12 Emerson Yuntho, Aris Purnomo, Wasingatu Zakiyah, Panduan Eksaminasi Publik (Edisi Revisi 2011), Indonesia Corruption Watch, 2011, hal 19.
13 Ibid, hlm, 26.
18
dilakukan oleh Kejaksaan dan Pengadilan. Tambahan istilah publik pada
kata eksaminasi lebih bernuansa memberikan aksentuasi distingsi antara
latar belakang pemikiran eksaminasi internal dan eksternal sebagaimana
diuraikan sebelumnya. Di samping itu, hal ini juga bisa dimaknai
sebagai pernyataan afirmatif kepada masyarakat, bahwa eksaminasi
merupakan aktivitas, yang sejak dari inisiasi, proses, sampai
finalisasinya, diasumsikan dihajatkan untuk kepentingan masyarakat
(baca: rasa keadilan hukum masyarakat) – jadi bukan semata untuk
kepentingan kelompok-kelompok tertentu dari pihak pihak yang
bersengketa di pengadilan ¾ dan oleh sebab itu akuntabilitas kinerjanya
perlu dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dinilai dan diukur oleh
masyarakat (Hasrul Halili:2005).14
Sebenarnya eksaminasi dilakukan untuk melihat sejauh mana
pertimbangan hukum dimaksud sudah sesuai ataukah bertentangan
dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan, dengan hukum acara pidana
dan juga dengan legal justice, moral justice dan social justice.15
Karena seperti yang sudah dijelaskan bahwa pertimbangan hukum
dalam sebuah putusan menjadi dasar acuan dalam menentukan putusan
sehingga dapat tercipta sebuha putusan yang ideal, dimana idealnya
dalam mengambil putusan terhadap suatu perkara mempertimbangan 4
(empat) elemen, yaitu aspek filosofis, asas-asas hukum, aturan hukum
positif, dan masyarakat hukum.16
14 Ibid, hlm,27.15 Ibid, hlm 29.16 Teten Masduki, Eksaminasi Publik ”Partisipasi Masyarakat Mengawasi Peradilan”,
Indonesia Corruption Watch,2003, hlm 91.
19
Eksaminasi ini dilakukan dengan cara: pertama, melakukan legal
annotation (catatan hukum) terhadap perkara yang telah diputus oleh
MA. Kedua, mengkontestasi putusan itu kepada publik. Cara ini
dilakukan untuk menilai putusan hakim majelis. Hasil dari penilaian tim
eksaminasi ini dapat pula digunakan untuk melakukan punishment
kepada para hakim (agung) yang notabene adalah aparat negara. Sebagai
aparat negara tentu saja pertanggungjawaban mereka tidak saja
administratif tetapi harus sampai kepada pertanggungjawaban hukum.17
Kemudian faktor utama yang mendasari eksaminasi publik ini adalah
untuk mendorong dan memberdayakan partisipasi publik agar dapat
terlibat lebih jauh di dalam mempersoalkan proses sesuatu perkara dan
putusan atas perkara itu yang dinilai kontroversial dan melukai rasa
keadilan masyarakat. Dengan membiasakan publik terutama kalangan
akademis dan profesi hukum melakukan penilaian dan pengujian
terhadap proses peradilan dan putusan lembaga pengadilan atau
keputusan-keputusan lembaga penegakan hukum lainnya yang dirasakan
dan dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Maka hal yang selanjutnya ingin dicapai setelah masyarakat
mampu melakukan eksaminasi ini, adalah tersosialisasikan lembaga
eksaminasi secara luas.
Tujuan eksaminasi publik secara umum adalah melakukan
pengawasan terhadap produk-produk hukum yang dihasilkan maupun
proses beracara oleh aparat hukum termasuk didalamnya adalah praktisi
17 Emerson Yuntho, Aris Purnomo, Wasingatu Zakiyah, Op.Cit, hlm 29.
20
hukum. Secara detail tujuan tersebut dapat dipilah dalam beberapa hal
dibawah ini:
a) Melakukan analisis terhadap pertimbangan hukum atas produk
hukum atau putusan majelis hakim, atau dakwaan, jalannya proses
beracara di pengadilan dan perilaku jaksa dan hakim selama proses
persidangan. Harapannya dapat diketahui sejauh mana
pertimbangan hukum atau proses hukum dimaksud sesuai ataukah
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum, dengan prosedur
hukum acara dan juga dengan legal justice, moral justice dan social
justice maupun kode etik perilaku penegak hukum;
b) Mendorong dan memberdayakan partisipasi publik untuk terlibat
lebih jauh di dalam mempersoalkan proses sesuatu perkara dan
putusan atas perkara itu. Terutama terhadap perkara yang dinilai
kontroversial dan melukai rasa keadilan rakyat;
c) Mendorong dan mensosialisasikan lembaga eksaminasi dengan
membiasakan publik mengajukan penilaian dan pengujian terhadap
sesuatu proses peradilan dan putusan lembaga pengadilan serta
keputusan-keputusan lembaga penegakan hukum lainnya yang
dirasakan dan dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum
dan rasa keadilan masyarakat;
d) Mendorong terciptanya independensi lembaga penegakan hukum,
termasuk akuntabilitas dan transparansi kepada publik;
e) Mendorong para hakim untuk meningkatkan integritas moral,
kredibilitas dan profesionalitasnya di dalam memeriksa dan
21
memutus suatu perkara agar tidak menjadi putusan yang
kontroversial, sehingga melukai rasa keadilan masyarakat.18
Dalam melakukan eksaminasi suatu perkara, kita tidak bisa
sembarangan menentukannya. Karena bagaimanapun juga, eksaminasi
membutuhkan keahlian dan konsentrasi serta waktu yang cukup. Oleh
karena itu pilihan perkara yang dieksaminasi juga harus tepat. Suatu
perkara untuk dapat dilakukan eksaminasi minimal harus memenuhi 3
(tiga) kriteria:
1) Kontroversial Kontroversial karena terdapat kejanggalan atau
cacat hukum dalam tahapan proses peradilan. Selain itu hukum
formil dan hukum materiil tidak diterapkan secara baik dan benar
atau bertentangan dengan asasasas penerapan hukum serta
dianggap bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
2) Memiliki pengaruh atau dampak sosial (social impact) bagi
masyarakat Disamping perkara tersebut mendapat perhatian yang
luas dari masyarakat, perkara tersebut memiliki dampak yang
langsung ataupun tidak langsung bagi masyarakat (baik nasional
dan atau internasional).
3) Ada indikasi mafia peradilan (judicial corruption) Perkara yang
dieksaminasi terdapat indikasi korupsi (judicial corruption),
kolusi, penyalahgunaan wewenang, atau bentuk pelanggaran
hukum pidana lainnya hingga menyebabkan hukum tidak
diterapkan secara baik dan benar.
18 Ibid,hlm,31.
22
Eksaminasi atau pengujian terhadap undang-undang bertujuan untuk
menguji apakah suatu undang-undang materinya sudah sesuai dengan
undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok di bidang hukum
yang sejenis atau memiliki kedudukan yang lebih tinggi, misalnya
konstitusi.19 Pengujian ini dikenal dengan pengujian secara materiil (uji
materiil) atau secara umum dikenal dengan judicial review. Wewenang ini
untuk selanjutnya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Sedangkan
eksaminasi terhadap produk putusan hukum lainnya dimaksudkan untuk
menguji apakah putusan hukum tersebut telah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan asas-
asas penerapan hukum yang baik dan benar.
Pada dasarnya bagaimana menilai suatu produk hukum atau putusan
pengadilan kembali disesuaikan pada gaya atau kebiasaan dari para
anggota mejelis eksaminasi dalam membuat suatu analisa atau catatan
hukum (legal anotasi). Namun menarik untuk menjadi acuan adalah
pendapat dari DR. Mudzakkir, SH., yang menyebutkan bahwa cakupan
materi eksaminasi meliputi: Kesesuaian putusan pengadilan dengan norma
hukum (positif). Oleh sebab itu hukum positif ditempatkan sebagai standar
dalam 37 proses membuat putusan pengadilan; Analisis terhadap proses
pembuktian (pengujian kebenaran fakta menjadi fakta hukum
dihubungkan dengan undang-undang yang akan diterapkan); Penerapan
ilmu pengetahuan atau asas-asas (hukum) dalam penegakan hukum
(hubungan antara fakta hukum yang terbukti di persidangan dengan
hukum atau peraturan perundangundangan,penggunaan teknologi
19 Teten Masduki, Op.cit,hlm, 37.
23
hukum/interpretasi, hubungannya dengan yurisprudensi, dan doktrin
hukum) dan konklusi atau diktum putusan pengadilan. Ketiga komponen
tersebut selalu ada dalam setiap putusan pengadilan dan bagian diktum
merupakan kesimpulan (sillogismus) sebagai konsekuensi logik dari
premis-premis yang mendahuluinya.20
6. Akibat Hukum Putusan
Akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala
perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek
hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian
tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap
sebagai akibat hukum.21 Berdasarkan uraian tersebut, untuk dapat
mengetahui ada atau tidaknya suatu akibat hukum yang timbul, maka
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
Adanya perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap
obyek hukum atau terdapat akibat tertentu dari suatu perbuatan,
yang mana akibat itu telah diatur oleh hukum;
Adanya perbuatan yang seketika dilakukan bersinggungan dengan
pengembanan hak dan kewajiban yang telah diatur dalam hukum
(undang-undang).
Selain hal tersebut akibat hukum sebuah putusan juga harus
memberikan kepastian hukum dan harus memuat keadilan, kepastian
hukum, dan kemanfaatan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
20 Ibid,hlm 38.21 Syarifin Pipin, Pengantar Ilmu Hukum, (CV. Pustaka Setia, Bandung, 2009), hlm 71.
24
Keadilan berasal dari kata adil yang memiliki arti sama berat, tidak
berat sebelah ; tidak memihak; berpihak kepada yang benar; berpegang
pada kebenaran; sepatutnya dan tidak sewenang-wenang. Dan keadilan
artinya adalah sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) adil.
Sedangkan Kepastian Hukum artinya adalah Perangkat Hukum suatu
negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara.
Dan Kemanfaatan dari kata manfaat artinya guna; faedah dan
kemanfaatan artinya hal bermanfaat, berguna. Hal tersebut harus di
perhatiakan dalam sebuah putusan karena sebuah putusan akan
mengikat para pihaknya serta masyarakat. Terutama dalam hal ini
adalah putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and mengikat
(binding) yang akibat hukumnya adalah akan tercipta sebuah norma
baru dalam masyarakat yaitu dalam wujud sebuah putusan.
B. Hasil Penlitian
1. Duduk Persoalan :
a. Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) mengenai
Imbalan bagi Pengawas serta Gaji dan Tunjangan bagi
Pengurus.
25
Dalam Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) yang
bunyi lengkapnya sebagai berikut.:
Pasal 37 ayat (1) huruf f
“Dalam Rapat anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 ayat (2) Pengurus wajib mengajukan laporan
pertanggung jawaban tahunan yang berisi:
f. Besar imbalan bagi pengawas serta gaji dan tunjangan
bagi pengurus.”
Pasal 57 ayat (2)
“Gaji dan tunjangan setiap pengurus ditetapkan oleh Rapat
Anggota atas usul Pengawas.”
Atas pasal tersebut pemohon mengatakan bahwa “Pasal 37 ayat
(1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) UU Perkoperasian
Bertentangan Dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang
Menjamin Hak Konstitusional.” Dengan dalil atau alasan
sebagai berikut:
Para Pemohon merasa hak konstitusionalnya dilanggar
untuk Melakukan Usaha Bersama Berdasar Atas Asas
Kekeluargaan
Ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan yang bentuk
perusahaannya adalah koperasi.
26
Bung Hatta menyatakan bahwa “Perusahaan menghendaki
hukum ekonominya sendiri, yaitu bekerja menurut disiplin
dan tempo yang tepat.
disiplin dan tempo yang tepat itu perusahaan koperasi yang
mengemukakan satu dasar lagi, yaitu dasar kekeluargaan
antara pimpinan dan yang dipimpin. Itulah pula sebabnya,
maka pada umumnya pengurus koperasi tidak digaji. Hanya
penjabat dan pekerja penuh sehari-hari yang memperoleh
gaji”22.
Hal tersebut kemudian dikuatkan oleh kesaksian dari Saksi
pemohon yaitu Isminarti yang menyatakan:
Selama bekerja di koperasi saksi merasakan kekeluargaan,
kebersamaan, kemanusiaan, demokrasi, keadilan serta
terdapat cita-cita untuk mencapai kesejahteraan dan
keadilan bagi seluruh anggotanya;.
Hal ini ditanggapi oleh termohon dalam hal ini pihak
pemerintah.
Setiap orang yang menjalankan pekerjaan merupakan
bentuk prestasi yang dijalankan sesuai standar dan
kebutuhan badan usaha maka absah secara yuridis
konstitusional apabila warga negara yang bekerja tersebut
berhak mendapatkan penghasilan.
Apabila tidak memberikan penghasilan melanggar hak
konstitusional, dan hak asasi manusia serta hak pekerja
22 Putusan Mahkamah Konstitusi No.28/PUU-XI/2013, hlm 41.
27
yang sudah ditentukan dalam hukum nasional dan
instrumen hukum internasional.
Prestasi kerja yang diberikan oleh Pengurus dan Pengawas
dengan kapasitas dan kemampuan yang dimiliki serta
tanggung jawab berat mengelola koperasi, maka absah
secara yuridis konstitusional apabila Pengurus
mendapatkan gaji dan tunjangan, dan Pengawas
mendapatkan imbalan.
Berdasarkan dalil pemohon, saksi pemohon serta tanggapan
termohon mengenai Imbalan bagi Pengawas serta Gaji dan
Tunjangan bagi Pengurus, hakim memutus, menolak pasal
tersebut dan menghapus Undang-Undang No. 17 tahun 2012
dengan alasan :
Pasal 37 ayat (1) UU 17/2012 pada pokoknya memuat
norma bahwa dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT)
sebagai perangkat organisasi koperasi yang memegang
kekuasaan tertinggi, maka RAT tersebut memiliki
kewenangan, antara lain, untuk meminta keterangan dan
mengesahkan pertanggungjawaban pengawas dan pengurus
dalam pelaksanaan tugas masing-masing.
Khusus untuk pengurus, dalam laporan
pertanggungjawaban pengurus menyampaikan pelaksanaan
tugasnya (laporan keuangan, yang antara lain, mengenai
28
besar imbalan bagi pengawas serta gaji dan tunjangan lain
bagi pengurus).
sepanjang mengenai hal tersebut dalil Pemohon tidak
beralasan menurut hukum;
Pengawas berdasarkan Pasal 1 angka 6 juncto Pasal 50 ayat
(1) UU 17/2012 adalah perangkat organisasi koperasi yang
pada pokoknya bertugas mengawasi pengurus koperasi
Pengurus berdasarkan Pasal 1 angka 7 adalah perangkat
organisasi koperasi yang bertanggung jawab penuh atas
kepengurusan koperasi untuk kepentingan dan tujuan
koperasi, serta mewakili koperasi baik di dalam maupun di
luar pengadilan.
Menurut Mahkamah, gaji dan tunjangan bagi pengurus,
termasuk imbalan bagi pengawas sebagaimana diuraikan di
atas, bukanlah persoalan konstitusionalitas. Sebab, koperasi
sebagai salah satu pelaku ekonomi bukanlah suatu entitas
yang statis, melainkan dinamis. Dinamika koperasi yang
sehat akan membawa kepada kemajuan sebagaimana entitas
pelaku ekonomi yang lain.
Menurut Mahkamah pemberian imbalan dan besaran
imbalan kepada pengawas serta pemberian gaji dan
tunjangan kepada pengurus merupakan hak dan
kewenangan RAT sebagai mekanisme kedaulatan para
anggota koperasi;
29
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil para pemohon
tidak beralasan menurut hukum.
b. Pasal 55 ayat (1) mengenai Pengangkatan Pengurus dari Non
Anggota.
Dalam Pasal 55 ayat (1) yang bunyi lengkapnya sebagai
berikut:
“Pengurus dipilih dari orang perseorangan, baik Anggota
maupun non Anggota”
Atas pasal tersebut pemohon mengatakan bahwa “Pasal 55
ayat (1) Undang-Undang Perkoperasian Bertentangan Dengan
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang Menjamin Hak
Konstitusional Para Pemohon Untuk Melakukan Usaha
Bersama Berdasar atas Asas Kekeluargaan” Dengan dalil atau
alasan sebagai berikut:
Dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 adalah menghendaki
hubungan antara anggota koperasi satu sama lain harus
mencerminkan sebagai orang-orang yang bersaudara, satu
keluarga. Dengan dipilihnya non anggota sebagai pengurus
koperasi maka dasar kolektivitas dalam koperasi menjadi
hilang.
Adanya ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU Perkoperasian yang
memungkinkan pengurus dipilih dari non-anggota
menunjukkan bahwa pembentuk Undang-Undang tidak
30
memahami jiwa koperasi yang mengedepankan asas
kekeluargaan, saling tolong menolong, gotong royong,
senasib sepenanggungan, bersama-sama menolong dirinya
dan berdiri di kaki sendiri. Hal ini menunjukkan itikad
yang kurang baik dari pembentuk Undang-Undang guna
“memuluskan” masuknya calon pengurus dari non-anggota
serta berakibat pada tertutupnya kesempatan Anggota yang
sejak awal merintis koperasi untuk menjadi pengurus
koperasi.
Hal tersebut kemudian dikuatkan oleh kesaksian dari Saksi
pemohon yaitu Dwi sucipto yang menyatakan:
Saksi merasa dirugikan karena tidak dapat dipilih dan
memilih secara bebas dan adil serta saksi merasa dirugikan
jika calon pengurus dapat dipilih dari anggota maupun non-
anggota.
Ditanggapi kembali oleh termohon dalam hal ini pihak
pemerintah sebagai berikut:
Perihal norma Pasal 55 ayat (1) UU Perkoperasian ini sudah
merupakan perilaku sosial atau praktik kebiasaan dalam
kelembagaan koperasi sehingga koperasi dapat merekrut
dan mengangkat non anggota menjadi pengurus, asalkan
sesuai kebutuhan koperasi dan tentu saja wajib disetujui
dalam rapat anggota sebagai kekuasaan tertinggi Koperasi.
Hal ini untuk menciptakan solusi normatif atau jalan keluar
31
bagi merancang tumbuhnya koperasi yang sehat, kuat,
mandiri dan tangguh sebagaimana landasan filosofis UU
Perkoperasian.
Berdasarkan dalil pemohon, saksi pemohon serta tanggapan
termohon mengenai hal Pengangkatan Pengurus dari Non
anggota, hakim dalam Pertimbangan nya melahirkan putusan
hakim berupa menolak pasal tersebut dan menghapus Undang-
Undang No. 17 tahun 2012 dengan alasan:
Secara khusus ketentuan tersebut menghalangi atau bahkan
menegasikan hak anggota koperasi untuk menyatakan
pendapat, memilih, dan dipilih yang pada intinya
kesemuanya itu merupakan bentuk demokrasi ekonomi.
Jika alasannya adalah untuk membangun koperasi yang
lebih profesional, justru yang harus dibangun adalah
anggota koperasi supaya menjadi tenaga professional,
sehingga tidak perlu merekrut non-anggota untuk menjadi
pengurus.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka permohonan para
Pemohon mengenai pengujian konstitusional frasa non-
anggota dalam Pasal 55 ayat (1) UU 17 tahun 2012
beralasan menurut hukum.
c. Pasal 67 ayat (1) mengenai Setoran pokok yang tidak dapat
ditarik kembali.
32
Pengaturan tentang setoran pokok yang tidak dapat ditarik
kembali diatur dalam Pasal 67 ayat (1) yang bunyi lengkapnya
sebagai berikut:
Pasal 67 ayat (1)
“Setoran pokok dibayarkan oleh anggota pada saat yang
bersangkutan mengajukan permohonan sebagai anggota dan
tidak dapat dikembalikan”
Atas pasal tersebut pemohon menyatakan bahwa pasal tersebut
bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang
menjamin hak konstitusional para pemohon untuk mempunyai
hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapapun. Dengan dalil atau
alasan sebagai berikut :
Bung Hatta mengatakan kalau seseorang anggota berhenti
menjadi sekutu, uang iuran mesti dikembalikan.
Setoran pokok dalam koperasi pada dasarnya menrupakan
“pembayaran tertentu” yang merupakan bentuk wujud
keputusan penggabungan diri anggota masyarakat menjadi
anggota koperasi. Dengan demikian apabila anggota yang
bersangkutan memutuskan untuk keluar dari penggabungan
diri sebagai anggota koperasi maka sudah seharusnya
setoran pokok dikembalikan.
Apabila hal ini diberlakukan maka makna bertahan menjadi
anggota koperasi adalah suatu keterpaksaan daripada
33
kehilangan harta benda yang dititipkan sebagai setoran
modal. Artinya makna keanggotaan koperasi sukarela tanpa
paksaan menjadi hilang.
Hal tersebut kemudian dikuatkan oleh kesaksian dari Saksi
pemohon yaitu Isminarti yang menyatakan:
Saksi merasa dirugikan karena Anggota harus
mengeluarkan dana untuk menyetorkan setoran pokok
sebagai di awal kepada 2 atau 3 koperasi yang telah
dipecah sebagai persyaratan menjadi anggota Koperasi dan
tidak dapat di ambil atau ditarik kembali.
Ditanggapi kembali oleh termohon dalam hal ini pihak
pemerintah sebagai berikut:
Secara yuridis status hukum kepemilikan uang Setoran
Pokok itu sudah berubah menjadi kepemilikan Koperasi
yakni menjadi modal awal Koperasi, sehingga merupakan
kekayaan Koperasi selaku badan hukum yang tidak dapat
ditarik kembali.
Setoran Pokok adalah syarat menjadi anggota Koperasi. dan
karena itu anggota Koperasi tersebut memperoleh
pelayanan (services) dari Koperasi, mendapatkan Surplus
Hasil Usaha, dan manfaat lainnya.
Berdasarkan dalil pemohon, saksi pemohon serta tanggapan
termohon mengenai Setoran pokok yang tidak dapat ditarik
kembali, hakim dalam Pertimbangan nya melahirkan putusan
34
hakim berupa menolak pasal tersebut dan menghapus Undang-
Undang No. 17 tahun 2012 dengan alasan:
Mahkamah mempertimbangkan tentang penggunaan istilah
setoran pokok yang menekankan pada pengertiannya
sebagai penyerahan sejumlah uang sebagai modal, sehingga
konsekuensinya tidak dapat ditarik kembali bila yang
bersangkutan keluar atau berhenti sebagai anggota koperasi.
Berbeda pengertian dengan simpanan pokok yang mana
suatu saat anggota koperasi keluar maka simpanan tersebut
harus dikembalikan dan hal tersebut adalah wajar.
Apabila Pasal 67 ayat (1) tetap berlaku maka makna tetap
atau bertahan menjadi anggota koperasi adalah suatu
keterpaksaan.
d. Pasal 68-69 mengenai Sertifikat Modal Koperasi yang
mempengaruhi Hak suara dalam RAT
Dalam Pasal 68-69 yang bunyi lengkapnya sebagai berikut:
Pasal 68
“(1) Setiap Anggota Koperasi harus membeli Sertifikat Modal
Koperasi yang jumlah minimumnya ditetapkan dalam
Anggaran Dasar.
(2) Koperasi harus menerbitkan Sertifikat Modal Koperasi
dengan nilai nominal per lembar maksimum sama dengan nilai
Setoran Pokok.
35
(3) Pembelian Sertifikat Modal Koperasi dalam jumlah
minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
tanda bukti penyertaan modal Anggota di Koperasi.
(4) Kepada setiap Anggota diberikan bukti penyetoran atas
Sertifikat Modal Koperasi yang telah disetornya”
Pasal 69 :
(1) Sertifikat Modal Koperasi tidak memiliki hak suara.
(2) Sertifikat Modal Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikeluarkan atas nama.
(3) Nilai nominal Sertifikat Modal Koperasi harus dicantumkan
dalam mata uang Republik Indonesia.
(4) Penyetoran atas Sertifikat Modal Koperasi dapat dilakukan
dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya yang
dapat dinilai dengan uang.
(5) Dalam hal penyetoran atas Sertifikat Modal Koperasi dalam
bentuk lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilakukan penilaian untuk memperoleh niali pasar wajar
(6) Koperasi wajib memelihara daftar pemegang Sertifikat
Modal Koperasi dan daftar Pemegang Modal Penyertaan
yang sekurang-kurangnya memuat:....dst.
Atas pasal tersebut pemohon mengatakan bahwa “Pasal 68-69
Undang-Undang Perkoperasian Bertentangan Dengan Pasal 33
ayat (1) UUD 1945 yang Menjamin Hak Konstitusional Para
Pemohon untuk Melakukan Usaha Bersama Berdasar atas Asas
36
Kekeluargaan serta bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4)
UUD 1945 yang menjamin hak untuk mempunyai hak milik
pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapa pun. Dengan dalil atau alasan
sebagai berikut:
Skema modal koperasi yang terdiri dari Setoran Pokok dan
Sertifikat Modal Koperasi sebagai modal awal adalah
bertentangan dengan asas kekeluargaan yang menjadi
landasan usaha bersama yang termaktub dalam Pasal 33
ayat (1) UUD 1945.
Menurut para Pemohon, pernyataan Sohibul Iman, Anggota
Panja RUU Perkoperasian DPR RI dari pihak pemerintah,
yang menyatakan “Sertifikat Modal Koperasi (SMK)
merupakan bentuk penguatan koperasi dan berbeda dengan
saham” tidak memikirkan dampak psikologis dari Sertifikat
Modal Koperasi. Karena bagaimana pun Sertifikat Modal
Koperasi identik dengan saham pada Perseroan Terbatas
(PT) yang mempengaruhi pengambilan keputusan
pemegang saham. Pemegang Sertifikat Modal Koperasi
terbesar pasti akan sangat berpengaruh dalam pengambilan
keputusan dibandingkan pemegang Sertifikat Modal
Koperasi yang kecil mengingat pemegang Sertifikat Modal
Koperasi yang besar akan mempunyai bargaining
positition terhadap kelangsungan permodalan koperasinya
37
Hal tersebut kemudian dikuatkan oleh kesaksian dari Saksi
pemohon yaitu Isminarti yang menyatakan:
Undang-undang koperasi melemahkan kemandirian
koperasi karena permodalan koperasi yang sekarang
diatur dengan Sertifikat Modal Koperasi (SMK)
sedangkan dahulu hanya dengan menabung;
Ditanggapi kembali oleh termohon dalam hal ini pihak
pemerintah sebagai berikut:
Sertifikat Modal Koperasi yang harus dibeli oleh
anggota Koperasi merupakan bentuk kontribusi bagi
modal Koperasi yang dimilikinya sendiri.
keharusan setiap anggota Koperasi membeli Sertifikat
Modal Koperasi merupakan bentuk kekeluargaan dan
kebersamaan yang mengacu dan sesuai Pasal 33 ayat
(1) UUD 1945
Pengaturan menegani nilai nominal Sertifikat Modal
Koperasi ditentukan sesuai Anggaran Dasar Koperasi
sebagai "konstitusi" Koperasi, karena itu sesuai dengan
rencana bisnis Koperasi sendiri dan sesuai aspirasi,
kemampuan anggota Koperasi
Ketentuan Pasal 69 UU Perkoperasian justru sudah
tepat karena tidak menentukan hak suara, oleh karena
Koperasi bukan kumpulan modal. Pengaturan menegani
cara penerbitan. nilai nominal, cara penyetoran dan
38
bentuk penyetoran, pembuatan daftar pemegang
Sertifikat Modal Koperasi, yang diatur dalam Pasal 69
ayat (2) s.d ayat (6) UU Perkoperasian merupakan
jaminan kepastian hukum untuk melaksanakan
Sertifikat Modal Koperasi, yang justru merupakan
bentuk perlindungan dan kepastian hukum untuk
memperkuat Koperasi dengan penerbitan Sertifikat
Modal Koperasi.
Berdasarkan dalil pemohon, saksi pemohon serta tanggapan
termohon mengenai Sertifikat Modal Koperasi, hakim dalam
Pertimbangan nya melahirkan putusan hakim berupa menolak
pasal tersebut dan menghapus Undang-Undang No. 17 tahun
2012 dengan alasan:
Terhadap Pasal 68 dan Pasal 69 yang mengharuskan
anggota koperasi membeli Sertifikat Modal Koperasi
menurut Mahkamah, adalah norma yang tidak sesuai
dengan prinsip koperasi yang bersifat sukarela dan
terbuka
Orientasi koperasi telah bergeser ke arah kumpulan
modal, yang dengan demikian telah mengingkari jati
diri koperasi sebagai perkumpulan orang dengan usaha
bersama sebagai modal utamanya.
Skema permodalan koperasi yang diatur dalam pasal-
pasal tersebut dapat menjadikan modal koperasi
39
sebagian besar dimiliki oleh satu, dua, atau beberapa
anggota saja, sehingga tidak tertutup kemungkinan
pemegang sertifikat modal terbesar akan memiliki
pengaruh kuat untuk menentukan arah jalannya
koperasi, meskipun sertifikat modal koperasi tidak
menjadi dasar hak suara di dalam RAT.
Dan di dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2012 tidak
ada ketentuan batas maksimal Sertifikat Modal
Koperasi dapat disetor.
Berdasarkan hasil penelitian diatas agar mudah memahaminya maka
disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 1:
Inkonsistensi Pertimbangan Dan Putusan Hakim Dalam Putusan MahkamahKonstitusi No. 28/PUU-XI/2013
Dalil Pemohon Tanggapan Pemerintah(Termohon)
Pertimbangan Hakim
Imbalan bagi Pengawas dan Gaji dan Tunjangan bagi Pengurus.Diatur pada Pasal 37 ayat (1) huruf f
Setiap orang yang menjalankan pekerjaan merupakan bentuk prestasi yang dijalankan sesuai standar dan
Menurut Mahkamah, gaji dan tunjangan bagi pengurus, termasuk imbalan bagi pengawas sebagaimana
40
Dan Pasal 57 ayat (2)
Atas rumusan tersebut Pemohon tidak setuju, dengan alasan:
UU Perkoperasian Bertentangan Dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang Menjamin HakKonstitusional Para Pemohon, Ketentuantersebut bertentangan denganprinsip usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan yang bentuk perusahaannya adalah koperasi.
perusahaan koperasi mengemukakan satudasar lagi, yaitu dasar kekeluargaan antara pimpinan danyang dipimpin. Itulah pula sebabnya, maka pada umumnya pengurus koperasi tidak digaji. Hanya penjabat dan pekerjapenuh sehari-hari yang memperoleh gaji”.
kebutuhan badan usaha maka absah secara yuridis konstitusional apabilawarga negara yang bekerja tersebut berhak mendapatkan penghasilan.
Apabila tidak memberikan penghasilan melanggar hak konstitusional, dan hak asasi manusia serta hak pekerja yangsudah ditentukan dalam hukum nasional dan instrumen hukum internasional
Prestasi kerja yang diberikan oleh Pengurus dan Pengawas dengan kapasitas dan kemampuan yang dimiliki serta tanggung jawab berat mengelola koperasi, maka absah secara yuridis konstitusional apabila Pengurus mendapatkan gaji dantunjangan, dan Pengawas mendapatkan imbalan.
diuraikan di atas, bukanlah persoalan konstitusionalitas. Sebab, koperasi sebagai salah satu pelaku ekonomi bukanlah suatu entitasyang statis, melainkandinamis.
Menurut mahkamah pemberian imbalan dan besaran imbalan kepada pengawas serta pemberian gaji dan tunjangan kepada pengurus merupakan hak dan kewenangan RAT sebagai mekanisme kedaulatan para anggota koperasi
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;
Dapat terlihat bahwa hakim dalam argumennya tidak mempermasalahkan pasal tersebut dan menyerahkan nya pada kewenangan RAT.
Pengangkatan Pengurus dari Non Anggota Pasal 55 ayat (1)
perihal norma Pasal 55 ayat (1) UU Perkoperasian ini sudah merupakan
Secara khusus ketentuan tersebut menghalangi atau bahkan menegasikan
41
pasal ini Bertentangan Dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945yang Menjamin Hak KonstitusionalPara Pemohon, Dengan dipilihnya non anggota sebagai pengurus koperasi maka dasar kolektivitas dalam koperasi menjadi hilang. adanya ketentuan ini menunjukkan bahwa pembentuk Undang-Undang tidak memahami jiwa koperasi, yang berakibat tertutup nya kesempatan Anggota yang sejak awal merintiskoperasi untuk menjadi pengurus koperasi.
perilaku sosial atau praktik kebiasaan dalam kelembagaan koperasi Sehingga koperasi dapat merekrut dan mengangkat non anggota menjadi pengurus, asalkan sesuai kebutuhan koperasi dan tentu saja wajib disetujui dalam rapat anggota sebagai kekuasaan tertinggi Koperasi. Hal ini untuk menciptakan solusi normatif atau jalan keluar bagi merancang tumbuhnya koperasi yang sehat, kuat, mandiri dan tangguh sebagaimana landasanfilosofis UU Perkoperasian.
hak anggota koperasi untuk menyatakan pendapat, memilih, dandipilih yang pada intinya kesemuanya itu merupakan bentuk demokrasi ekonomi.
Jika alasannya adalah untuk membangun koperasi yang lebih profesional, justru yangharus dibangun adalah anggota koperasi supaya menjadi tenaga professional, sehingga tidak perlu merekrut non-anggota untuk menjadi pengurus.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka permohonan paraPemohon mengenai pengujian konstitusional frasa non-anggota dalam Pasal 55 ayat (1) UU 17/2012 beralasan menurut hukum.
Dalam argumen tersebut terlihat hakim bahwa pendapat nya menyetujuiapa yang di maksudkan oleh pemohon namun juga memberikan salah satu solusi sama seperti termohon yang menjadikan pasal tersebut sebagai solusi yang legal.
Setoran Pokok Pasal 67 ayat (1)
Secara yuridis statushukum kepemilikan
Mahkamah mempertimbangkan
42
Atas pasal tersebut pemohon menyatakan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang menjamin hak konstitusional para pemohon. Setoran pokok
dalam koperasi padadasarnya menrupakan “pembayaran tertentu” yang merupakan bentuk wujud keputusan penggabungan diri anggota masyarakat menjadi anggota koperasi. Dengan demikian apabila anggota yang bersangkutan memutuskan untuk keluar dari penggabungan diri sebagai anggota koperasi maka sudahseharusnya setoran pokok dikembalikan.
uang Setoran Pokok itu sudah berubah menjadi kepemilikan Koperasi yakni menjadi modal awal Koperasi, sehingga merupakan kekayaan Koperasi selaku badan hukumdan tidak dapat ditarik kembali.
Setoran Pokok adalah syarat menjadi anggota Koperasi. dan karena itu anggota Koperasi tersebut memperoleh pelayanan (services)dari Koperasi, mendapatkan Surplus Hasil Usaha, dan manfaat lainnya
tentang penggunaan istilah setoran pokok yang menekankan pada pengertiannya sebagai penyerahan sejumlah uang sebagai modal, sehingga konsekuensinya tidak dapat ditarik kembali bila yang bersangkutan keluar atau berhenti sebagai anggota koperasi.
Berbeda pengertian dengan simpanan pokok yang mana suatusaat anggota koperasi keluar maka simpanan tersebut harus dikembalikan dan hal tersebut adalah wajar.
Apabila Pasal 67 ayat (1) tetap berlaku maka makna tetap atau bertahan menjadianggota koperasi adalah suatu keterpaksaan.
Dalam pertimbangan tersebut terlihat bahwa hakim mengerti bahkan memahami apa yang menjadi maksud termohon namun tetap menyatakan pasal tersebut mengandung keterpaksaan.
Sertifikat Modal Koperasi
Sertifikat modal koperasi yang harus
Terhadap Pasal 68 dan Pasal 69 yang
43
Bab VII UU Perkoperasian khususnya pada pasal 68-69 Pasal tersebut Bertentangan Dengan Pasal 33 ayat (1) UUD1945 yang Menjamin Hak Konstitusional Para Pemohon Dan Bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 Skema modal
koperasi yang terdiri dari SetoranPokok dan Sertifikat Modal Koperasi sebagai modal awal adalah bertentangan dengan asas kekeluargaan yang menjadi landasan usaha bersama yang termaktub dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Menurut para Pemohon,hal tersebut tidak memikirkan dampak psikologis dari SMK karena bagaimana pun SMK identik dengan saham pada Perseroan Terbatas yang mempengaruhi pengambilan
dibeli oleh anggota Koperasi merupakanbentuk kontribusi bagi modal Koperasiyang dimilikinya sendiri.
keharusan setiap anggota Koperasi membeli Sertifikat Modal Koperasi merupakan bentuk kekeluargaan dan kebersamaan berdasarkan 33 ayat (1) UUD 1945
Pengaturan menegani nilai nominal Sertifikat Modal Koperasi ditentukan sesuai Anggaran Dasar Koperasi sebagai "konstitusi" Koperasi, karena itu sesuai dengan rencana bisnis Koperasi sendiri dansesuai aspirasi, kemampuan anggotaKoperasi
Ketentuan Pasal 69 UU Perkoperasian justru sudah tepat karena tidak menentukan hak suara, oleh karena Koperasi bukan kumpulan modal. Pengaturan menegani cara penerbitan. nilai nominal, cara
mengharuskan anggota koperasi membeli SMK menurut Mahkamah, adalah norma yang tidak sesuai dengan prinsip koperasi yang bersifat sukarela dan terbuka
orientasi koperasi telah bergeser ke arahkumpulan modal, yang dengan demikian telah mengingkari jati diri koperasi sebagai perkumpulan orang dengan usaha bersama sebagai modal utamanya.
Skema permodalan koperasi yang diatur dalam pasal-pasal tersebut dapat menjadikan modal koperasi sebagian besar dimiliki oleh satu, dua, atau beberapa anggota saja, sehingga tidak tertutup kemungkinanpemegang sertifikat modal terbesar akan memiliki pengaruh kuat untuk menentukan arah jalannya koperasi, meskipun sertifikat modal koperasi tidak menjadi dasar hak suara di dalam RAT.
Dapat dilihat jika dalam
44
keputusan pemegang saham. Pemegang SMK terbesar pasti akan sangat berpengaruh dalampengambilan keputusan dibandingkan pemegang SMK yang kecil mengingat pemegang SMK yang besar akan mempunyai bargaining positition terhadap kelangsungan permodalan koperasinya.
penyetoran dan bentuk penyetoran, pembuatan daftar pemegang Sertifikat Modal Koperasi, yang diatur dalam Pasal 69 ayat (2) s.d ayat (6) UU Perkoperasian merupakan jaminan kepastian hukum untuk melaksanakanSertifikat Modal Koperasi, yang justru merupakan bentuk perlindungandan kepastian hukum untuk memperkuat Koperasi dengan penerbitan SMK
argumen tersebut hakim meragukan dan tidak tergas dalam pertimbangannya karena pasal 69 sudah dengan tergas menerangkan bahwa kepemilikan modal tidak mempengaruhi hak suara. Dalam hal ini hakim terlihat kurang memahami atas pasal yang di uji dengan segalakemungkinan yang belum tentu terjadi.
C. Analisis
1. Inkonsistensi Pertimbangan dan Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi
No. 28/PUU-XI/2013 :
Terdapat inkonsistensi antara putusan hakim yang menolak Pasal
37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat 2, Pasal 55 (1), Pasal 67, Pasal
68-69 yang artinya menolak termohon tetapi penolakan itu
menggunakan pertimbangan dari termohon itu sendiri. Dikatakan
konsisten apabila pertimbangan termohon yang diakui benar oleh
hakim maka putusannya mestinya hakim menerima dalil termohon.
45
Dalam pertimbangannya terdapat pemakaian kata dalam berargumen
yang tidak sesuai dalam pertimbangan serta putusannya yang artinya
hal tersebut merupakan bentuk Inkonsistensi. Dengan hasil putusan
menghapuskan seluruh Undang-Undang No. 17 tahun 2012.
Berdasarkan ketentuan pasal 50 Undang-Undang nomor 48 tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa dalam pertimbangan
hukum putusan itu salah satunya harus memuat, dasar putusan yang
berkaitan dengan hukum yang diterapkan dan argumen-argumen
pendukung.23 Namun dapat di lihat bahwa argumen antara
pertimbangan sebagai dasar putusan dalam pasal ini tidak tidak
mendukung argumen putusannya. Dimana dalam putusannya hakim
tidak memperhatikan pertimbangan hukum hakim yang di dasarkan
pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar; yang mana hakim
bertanggung jawab atas putusan yang dibuatnya seperti yang telah di
jelaskan dalam Pasal 53 Undang-Undang no. 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Artinya bahwa putusannya dipertanggung
jawabkan sesuai pertimbangan hukum yang dibuatnya.24 Dalam
mempertimbangkan pasal-pasal ini dapat dilihat bahwa hakim dalam
praktiknya tidak sepenuhnya memenuhi rasional putusan hakim yang
dalam teori hukum terdapat kriteria rasional putusan hakim yaitu pada
de heuristik dan de legitimatik.25 Yang mana dalam tahap de heuristik
terdapat metode pemecahan masalah lewat penalaran sebagai proses
intelektual untuk mencapai penyelesaian masalah, dalam tahap ini
23 Syarif Mappiasse, Op. Cit., hlm 4524 Ibid,hlm 46.25 Philipus M. Hadjon, Op. Cit., hlm13.
46
hakim telah mencari tahu dan menemukan jalan pemecahan secara
tepat dan benar, dan dalam tahap ini hakim telah memberikan solusi
dan pemecahan masalah secara tepat, namun belum dapat dilakukan
pada tahap de legitimatik yang adalah kegiatan menyangkut persoalan
mengenai keadilan, untuk mencapai kebenaran.26 Hakim dalam
putusannya justru menyatakan hal yang bertentangan dengan isi
pertimbangannya sehingga pola berfikir dalam rasional putusan hakim
tidak dapat terpenuhi karena terdapat ketidak adilan dalam putusan
hakimnya yang terdapat ikonsistensi. Selain itu hakim dalam kasus
ini juga mengabaikan asas-asas yang harus ada dalam putusan salah
satunya yaitu, harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan
secara jelas dan perinci, memuat pasal-pasal dan/atau sumber hukum
tak tertulis yang dijadikan dasar mengadili (Pasal 50 dan Pasal 53
Undang-Undang No. 48 tahun 2009).27 Dan terlihat jelas bahwa
dalam pertimbangan yang di sebutkan oleh hakim tidak jelas dan tegas
bahkan tidak konsisten dalam mengadili dalam pertimbangan nya
dengan mengacu kepada argumen termohon tetapi menyetujui
pemohon, serta tidak memperhatikan pasal-pasal yang sudah jelas
mengaturnya. Hal tersebut dapat dibuktikan sebagai berikut:
a) Dalam Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) nampak
bahwa pertibangan hakim itu sama dengan alasan termohon yang
mangajukan rumusan Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat
(2) mengenai Imbalan bagi Pengawas serta Gaji dan Tunjangan
26 Syarif Mappiasse, Op. Cit., hlm 5027 Ibid.,hlm 41
47
bagi Pengurus. Jika hakim mengutip alasan termohon dalam
memberikan Imbalan bagi Pengawas serta Gaji dan Tunjangan
bagi Pengurus hal tersebut berarti hakim setuju atas hal tersebut,
namun dalam putusan nya hakim menolak pasal tersebut serta
menyatakan pasal tersebut tidak beralasan hukum dan
menghapuskan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012. Hal tersebut
menunjukan bahwa pertimbangan hakim bertentangan dengan
putusan hakim karena dalam pertimbangan nya tidak mendukung
putusan akhirnya, dan hal inilah yang di sebut sebagai
Inkonsistensi.
b) Dalam Pasal 55 ayat (1) terlihat bahwa dalam hal ini hakim
kurang memahami pasal yang di uji yang sangat jelas menyatakan
bahwa “Pengurus dipilih dari orang perseorangan, baik Anggota
maupun non Anggota” sehingga sebuah koperasi tidak harus
merekrut non-anggota apabila tidak membutuhkan. Selain itu
dalam pertimbangannya hakim memiliki pemikiran yang sama
atas rumusan Pasal 55 ayat (1) dimana alasan termohon dan
pertimbangan hakim merupakan sebuah solusi untuk tidak
merekrut non-anggota. Hakim menyatakan bahwa yang dapat
dilakukan supaya tidak merekrut non-anggota yaitu dengan cara
membangun anggota koperasi supaya menjadi tenaga profesional,
hal ini justru mendukung pernyataan termohon yaitu pemerintah
yang juga menjadikan pasal ini sebagai salah satu solusi normatif
apabila dalam koperasi tidak terdapat tenaga profesional. Artinya
48
jika hakim memiliki pemikiran yang sama dengan alasan
termohon dalam memberikan solusi agar tidak dilakukan
pengangkatan pengurus dari non anggota, hal tersebut berarti
bahwa seharusnya hakim setuju atas hal tersebut, namun dalam
putusan nya hakim tetap menolak pasal tersebut dan
menghapuskan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012. Hal tersebut
menunjukan bahwa terdapat kontradiktif dalam pertimbangan
hakim dengan memiliki dasar pemikiran yang sama dengan
termohon dan dengan argumen pertimbangan hakim yang
memberikan sebuah solusi merupakan bentuk ultra petita patrium
dimana hakim telah mengabulkan melebihi tuntutan. Sehingga
dapat di katakan bahwa dalam pertimbangan dan putusan hakim
terdapat Inkonsistensi, karena argumen dalam pertimbangan
hakim tidak sepenuhnya mendukung Putusan Hakim.
c) Dalam Pasal 67 ayat (1) ketidak konsistensi hakim terlihat ketika
hakim dalam pertimbangannya sangat memahami maksud dari
pasal yang diuji dan dalam memberikan argumennya hakim
memiliki makna dan maksud yang sama seperti yang di ucapkan
oleh termohon. Maksud dari argumen termohon dan argumen
hakim ialah sama-sama memahami bahwa setoran pokok tidak
dapat ditarik kembali. Namun pada akhirnya hakim tetap
menyatakan pasal tersebut salah dengan menyatakan pasal
tersebut mengandung keterpaksaan. Hal tersebut menunjukan
bahwa terdapat kontradiktif dalam pertimbangan hakim yang
49
dalam argumennnya memahami arti dari setoran pokok. Sehingga
dapat dikatakan bahwa pertimbangan dan putusan hakim yang di
hasilkan terdapat Inkonsistensi, karena dalam argumen
pertimbangan hakim tidak sepenuhnya mendukung putusan
hakim.
d) Dalam Pasal 68-69 ketidak konsistensi hakim terlihat ketika
hakim dalam hal ini tidak memahami dan memperhatikan pasal
yang diuji khusus nya dalam Pasal 69 ayat (1) yang menyatakan
bahwa “Sertifikat Modal Koperasi tidak memiliki hak suara” yang
sudah sangat menjelaskan dan menegaskan bahwa Sertifikat
Modal Koperasi Tidak Memiliki hak suara. Hal ini membuat
hakim dalam pertimbangannya menjadi tidak konsisten. Begitu
pula dengan pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa
“Skema permodalan koperasi yang diatur dalam pasal-pasal
tersebut dapat menjadikan modal koperasi sebagian besar dimiliki
oleh satu, dua, atau beberapa anggota saja, sehingga tidak tertutup
kemungkinan pemegang sertifikat modal terbesar akan memiliki
pengaruh kuat untuk menentukan arah jalannya koperasi,
meskipun sertifikat modal koperasi tidak menjadi dasar hak suara
di dalam RAT.” Pernyataan hakim tersebut sangat terlihat bahwa
hakim mengetahui bahwa telah diatur mengenai Sertifikat Modal
koperasi yang kepemilikannya tidak mempengaruhi hak suara
namun tetap memaksakan bahwa hal tersebut adalah salah dan
menganggap hal tersebut belum diatur. Hal tersebut menunjukan
50
bahwa dalam argumen pertimbangan hakim terdapat kontradiktif
mengenai peraturan yang telah diatur dalam Pasal 69 ayat (1)
namun dalam pertimbangannya hakim mengabaikan dan
meniadakan pasal tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa
dalam pertimbangan dan putusan hakim terdapat Inkonsistensi
karena tidak sepenuhnya perimbangan hakim mendukung putusan
hakim.
2. Akibat Hukum Adanya Inkonsistensi Pertimbangan Dan Putusan
Hakim
Sebuah putusan selalu menimbulkan akibat hukum baik bagi para
pihak yang berperkara maupun bagi masyarakat luas, karena
munculnya sebuah norma baru. Sama halnya dengan putusan
Mahkamah Konstitusi dimana memiliki sifat final and binding tidak
hanya bagi pihak berperkara namun juga bagi seluruh masyarakat
Indonesia. Karena dalam putusan kali ini adalah mengenai pengujian
beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2012 tentang
Perkoperasian maka putusan ini akan berakibat hukum baik bagi pihak
berperkara maupun bagi masyarakat luas yang melakukan kegiatan
usaha dalam bidang Koperasi. Berkaitan dengan hal tersebut juga
terjadi adanya Inkonsistensi yang terdapat dalam pertimbangan dan
putusan hakim pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-
XI/2013 yang dalam putusan tersebut mencabut Undang-Undang No.
17 tahun 2012 tentang Perkoperasian. Sebuah putusan yang
51
didalamnya terdapat Inkonsistensi tentunya memberikan dampak
hukum yang tidak maksimal bagi masyarakat. Akibat hukum yang
dimaksud tidak maksimal adalah ketika keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan tidak dapat dirasakan oleh masyarakat yang merasakan
akibat hukum secara langsung.
Dengan adanya akibat hukum yang timbul maka sebuah putusan
memerlukan dilakukan eksaminasi sebagai pengujian atau penilaian
dari sebuah putusan (hakim) dan atau dakwaan (jaksa) apakah
pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah sesuai dengan prinsip-
prinsip hukum dan apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan
dengan benar, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa
keadilan masyarakat. Disamping untuk mendorong para hakim/jaksa
agar membuat putusan/dakwaan dengan pertimbangan yang baik dan
profesional.28 Ketika eksaminasi ini dilakukan maka diharapkan
dampak bagi masyarakat dapat lebih maksimal dan memenuhi rasa
keadilan masyarakat.
Beberapa akibat hukum yang timbul dari putusan Mahkamah
Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013 adalah mengenai pemberian gaji dan
tujangan kepada pengurus koperasi serta imbalan bagi pengawas
koperasi. Sebagai sebuah sistem perekonomian di Indonesia pemberian
Gaji terhadap seorang pekerja adalah bentuk dari sebuah timbal balik
atas tercapainya sebuah prestasi yang di sepakati. Pengertian gaji
sendiri adalah suatu bentuk pembayaran periodik dari seorang majikan
28 Emerson Yuntho, Aris Purnomo, Wasingatu Zakiyah, Panduan Eksaminasi Publik (Edisi Revisi 2011), Indonesia Corruption Watch, 2011, hal 19.
52
kepada karyawannya yang dinyatakan dalam suatu kontrak kerja. Dari
sudut pandang pelaksanaan bisnis, gaji dapat dianggap sebagai biaya
yang dibutuhkan untuk mendapatkan sumber daya manusia untuk
menjalankan operasi, dan karenanya disebut sebagai biaya personel
atau biaya gaji. Oleh sebeb itu sebuah pemberian gaji di sesuaikan dan
di dasarkan dari sebuah kesepakatan kedua belah pihak. Karena sebuah
pemeberian gaji merupakan hak bagi seseorang yang telah melakukan
sebuah pekerjaan dan hal tersebut juga untuk memenuhi keadilan bagi
seorang yang telah melakukan prestasi. Hal tersebut juga di dasarkan
dalam pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja”.
Selain itu terdapat juga akibat hukum yang timbul dari adanya
putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013 tentang
pencabutan Undang-Undang No.17 tahun 2012 yang salah satunya
mengenai pengangkatan pengurus dari non-anggota. Sebagai sistem
perekonomian, koperasi juga memerlukan pengurus-pengurus yang
dianggap ahli dalam bidangnya. Apabila dalam koperasi tidak terdapat
anggota yang ahli dalam bidangnya sebagai pengurus koperasi maka
diperlukanlah pengurus koperasi yang ahli dan profesional dalam
bidangnya. Terkait dengan pengangkatan pengurus koperasi dari non-
anggota yang tidak diperbolehkan, hal tersebut akan berdampak buruk
bagi koperasi yang di dalamnya tidak terdapat anggota-anggota yang
53
profesional sebagai pengurus koperasi. Karena itu pengangkatan
pengurus dari non anggota koperasi diperlukan. Semua ketentuan
tersebut bertujuan untuk membangun koperasi sebagai badan hukum
yang lebih baik dan profesional sebagai salah satu sistem
perekonomian yang bergerak dinamis dan dapat bersaing dalam
mensejahterakan masyarakat terkhusus bagi para anggota koperasi.
Akibat hukum lain yang timbul adalah mengenai setoran pokok
koperasi yang tidak dapat ditarik kembali, dimana setoran pokok
tersebut merupakan bagian dari modal koperasi yang apabila mudah
untuk di tarik dan di masukan kembali akan menimbulkan kesulitan
bagi koperasi untuk mengaturnya. Sehingga koperasi dapat berjalan
secara efektif maka setoran pokok sebagai sumber modal koperasi
harus di jaga dengan tidak seenaknya menarik dan memasukan setoran
pokok. Selain itu juga Secara yuridis status hukum kepemilikan uang
Setoran Pokok itu sudah berubah menjadi kepemilikan Koperasi yakni
menjadi modal awal Koperasi, sehingga merupakan kekayaan
Koperasi selaku badan hukum dan tidak dapat ditarik kembali.
Akibat hukum yang lain yang timbul adalah mengenai adanya
Sertifikat Modal Koperasi. Sebagai sistem perekomonian koperasi juga
memerlukan pengaturan yang pasti dan tegas dalam menjalankan
kegiatan usahanya termasuk mengenai pengaturan modal koperasi.
Walupun sebagai sistem perekonomian modal koperasi bukanlah hal
yang paling utama namun dalam kegiatan usaha modal merupakan hal
yang sangat penting untuk memulai kegiatan usaha.
54
Sertifikat Modal Koperasi yang diatur dalam Undang-Undang No.
17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dengan tegas mengatur bahwa
kepemilikan Sertifikat Modal Koperasi tidak mempengaruhi hak suara.
Namun dengan adanya Sertifikat Modal Koperasi di pahami akan
berdampak pada terpengaruhnya hak suara dalam Rapat Anggota
Tahunan, sehingga pada akhirnya pengaturan tersebut di hapus. Hal
tersebut berdampak pada tidak adanya jaminan atas modal koperasi.
Sedangkan ketentuan pasal tersebut justru menjadikan Sertifikat Modal
Koperasi sebagai jaminan agar tidak sewaktu-waktu modal koperasi
dapat diambil tanpa syarat maupun memasukan modal koperasi
sewaktu-waktu. Oleh karena itu pengaturan mengenai sertifikat modal
koperasi memberikan kepastian hukum dalam mengatur modal
koperasi dan menciptakan koperasi sebagai sistem perekonomian yang
lebih profesional.
55
top related