bab i. pendahuluanetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88060/potongan/s3-2015... · urbanisasi dan...
Post on 06-Apr-2019
230 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemerintahan Daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana diamanatkan
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (telah diamandemen
dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah), pemerintah
daerah dengan kewenangannya dituntut untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui kewenangannya.
Salah satu kewenangan yang diberikan kepada daerah adalah wewenang
dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana termuat dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota, pemerintah daerah
mempunyai wewenang yang meliputi: (a) perencanaan tata ruang wilayah
kabupaten/kota; (b) pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan (c)
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota. Pemerintah daerah
diharapkan bisa menyusun perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota yang
baik sehingga dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Pelaksanaan pemanfaatan ruang itu sendiri
memerlukan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai upaya untuk mewujudkan
tertib tata ruang.
Pengendalian pemanfaatan ruang di Indonesia dilakukan melalui penetapan
peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan
sanksi (UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 Pasal 35). Peraturan zonasi
disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang
dan disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. Penerapan
peraturan zonasi di wilayah kabupaten/kota ditetapkan terlebih dahulu dengan
peraturan daerah.
Pengertian kata peraturan dan zonasi dapat dilihat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Kata zonasi di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata
2
benda dan mempunyai arti sebagai pembagian atau pemecahan suatu areal
menjadi beberapa bagian, sesuai dengan fungsi dan tujuan pengelolaan.
Sementara itu, peraturan merupakan kata benda dan mempunyai arti sebagai
tataan (petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat untuk mengatur.
Peraturan zonasi di Indonesia merupakan instrumen pengendalian
pemanfaatan ruang yang relatif masih baru sejak diberlakukannya UU Penataan
Ruang Nomor 26 Tahun 2007. Peraturan zonasi yang digunakan Indonesia saat ini
mengadopsi peraturan zonasi dari negara lain yaitu Amerika Serikat. Ada
keraguan apakah peraturan zonasi Indonesia dalam bentuknya sekarang ini
mampu berjalan baik karena kondisi negara Indonesia (sistem pemerintahan dan
penataan ruang) berbeda dengan kondisi Amerika Serikat. Keraguan ini
mengemuka karena sesuai dengan pendapat Korten (1996, dalam Sadyohutomo,
2008: 78-79) bahwa aspek penting yang sebaiknya diperhatikan dalam pendekatan
perencanaan dan pengeloaan kota adalah ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Keempat aspek ini sangat berkaitan erat dengan sistem pemerintahan yang pada
gilirannya nanti akan berpengaruh pada penataan ruang di kabupaten/kota. Korten
berpandangan, tindakan perencanaan dan pengelolaan kota yang dilakukan
pemerintah akan berhasil bila secara ekonomi akan menguntungkan (economically
viable), secara sosial dan politik dapat diterima masyarakat (socially and
politically acceptable) dan sensitif terhadap budaya setempat (culturally
sensitive). Dapat dikatakan, peraturan zonasi di Amerika Serikat saat ini berjalan
baik karena secara ekonomi, sosial, politik dan budaya telah diterima
masyarakatnya dan berada dalam sistem pemerintahan federalnya. Namun untuk
Indonesia, belum bisa diketahui peraturan zonasi dalam bentuknya saat ini mampu
berjalan baik atau tidak karena sistem pemerintahan dan penataan ruang berbeda
dengan Amerika Serikat. Dalam artian, belum bisa diketahui peraturan zonasi
Indonesia saat ini dapat diterapkan dengan baik atau tidak. Selain itu, di Indonesia
ada indikasi ketidaklengkapan institusi yang mendukung pelaksanaan peraturan
zonasi misalkan: board of zoning adjustment. Untuk itu perlu dilakukan penelitian
mengenai model konseptual peraturan zonasi seperti apa yang efektif sesuai
kondisi di Indonesia supaya bisa diakomodasi dalam penyusunan dan penerapan
3
peraturan zonasi sebagai perangkat pengendalian pemanfaatan ruang. Penelitian
ini mengembangkan model konseptual zonasi yang efektif sesuai sistem
pemerintahan di Indonesia.
Zonasi modern mulai dikembangkan di Jerman pada akhir abad ke-19 dan
menyebar ke negara lain seperti Amerika Serikat dan Kanada pada awal abad ke-
20. Zonasi ini muncul sebagai respon atas industrialisasi dengan adanya revolusi
industri di Eropa dan meningkatnya pengaduan masyarakat yang merasa
kehidupannya terganggu akibat dampak negatif kegiatan industri tersebut (Leung,
1989: 158, Listokin, 1974: 4, Jayadinata, 1992 dalam Hariyono, 2010: 47,
Sudaryono, 2012: 2). Gangguan ini juga diakibatkan dampak buruk dari
urbanisasi dan pertumbuhan populasi penduduk yang meningkat pesat sehingga
pemerintah harus segera bertindak mencari cara penyelesaian. Zonasi sebagai
bagian dari modern planning, dan teori-teori modern planning lainnya antara lain
teori garden city (1898), teori city development (1904), teori planning the modern
city (1916) dan teori the city of tomorrow and its planning (1929), menyebar
keluar dari Eropa ke belahan dunia lainnya melalui kolonialisme (Sudaryono,
2012: 2-3). Selain dengan cara ini, zonasi menyebar dan juga digunakan negara-
negara lainnya di luar Eropa atas keinginan sendiri, sebagai contoh: pada awal
abad 20 negara Jepang mengirim sejumlah pemuda ke Benua Eropa (Jerman,
Inggris dan Perancis) dan Amerika untuk yang mempelajari perkembangan ilmu
perencanaan termasuk mempelajari zonasi. Hasil pembelajaran ini, Jepang dapat
mengembangkan sistem perencanaannya dengan memberlakukan The 1919 City
Planning System yang terdiri dari lima materi utama dan salah satunya adalah
land use zoning system (Sorensen, 2002: 114). Pada beberapa negara peraturan
zonasi (zoning regulation) dikenal juga dengan istilah land development code,
zoning code, zoning ordinance, zoning resolution, zoning by-law, urban code dan
planning act.
Zonasi yang berkembang saat ini berkaitan dengan fungsi dan peran peraturan
zonasi, faktor-faktor pendorong perkembangan peraturan zonasi, kedudukan
peraturan zonasi, materi dan variasi peraturan zonasi. Beberapa konsep berkaitan
dengan fungsi dan peran peraturan zonasi antara lain: peraturan zonasi merupakan
4
alat bagi pemerintah selaku pemegang hak dan kewenangan (police power) untuk
melindungi kepentingan umum dan mewujudkan kesehatan, keamanan, moral dan
kesejahteraan publik (Gallion dan Eisner, 1963: 203, Babcock, 1979: 416,
Listokin, 1974: 4, Sizemore, 2007: 348). Sementara itu, Gallion dan Eisner
(1965) dan Lang (1994: 85) mengemukakan bahwa peraturan zonasi telah diakui
sebagai salah satu cara untuk mengatur penggunaan lahan, tidak hanya di Amerika
Serikat tetapi juga hampir pada setiap negara di dunia. Selanjutnya, Lai dan
Schultz (dalam Lang, 1994: 3), peraturan zonasi merupakan salah satu peraturan
yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan kota terkait dengan kepentingan
publik. Peraturan zonasi fokus pada penyehatan lingkungan, pengaturan distribusi
peruntukan lahan dan menciptakan pola sirkulasi yang efisien (Lang, 1994).
Babcock (1979: 416) mengatakan zonasi merupakan pembagian wilayah menjadi
beberapa kawasan dengan aturan-aturan hukum yang ditetapkan lewat peraturan
zonasi, dan prinsipnya bertujuan memisahkan pembangunan kawasan industri dan
komersial dari kawasan perumahan. Berikutnya Hiroshi (dalam Okata 1980,
dalam Sorensen, 2002: 115), zonasi dibuat bukan untuk mengontrol pemanfaatan
lahan secara ketat namun untuk menggambarkan struktur kota secara jelas dengan
menentukan zona-zona pemanfaatan lahan secara baik dalam menghadapi
kemajuan urbanisasi.
Zonasi yang berkaitan dengan faktor-faktor pendorong perkembangan
peraturan zonasi antara lain meningkatnya kesadaran masyarakat kota akan
pentingnya kualitas lingkungan, ikut mendorong penerapan peraturan zonasi dan
memperlihatkan bahwa pemerintah serius dalam mengendalikan pembangunan
(Shirvani, 1985: 168). Zonasi telah menjadi dasar dari banyak kasus pengadilan di
Amerika Serikat dengan keputusan-keputusan pengadilan yang mendukung dan
memperkuat zonasi tersebut (Gallion dan Eisner, 1963: 204, Listokin, 1974: 4).
Zonasi berkaitan dengan kedudukan peraturan zonasi antara lain
dikemukakan Alexander (1986: 71), dalam pengelompokkan model perencanaan,
peraturan zonasi bersama dengan master plan dikelompokkan dalam model
perencanaan instrumental kategori regulatory planning. Kemudian Branch (1985:
143-153), beberapa bentuk pengendalian penggunaan ruang meliputi: (1)
5
peraturan bangunan (building code); (2) pembagian persil (subdivision control);
dan (3) peraturan zonasi (zoning regulation). Berkaitan dengan variasi dan materi
peraturan zonasi dikemukakan Gallion dan Eisner (1963: 204) dan Levy (1997:
117), peraturan zonasi terdiri dari teks peraturan zonasi (zoning text) dan peta
zonasi (zoning map). Unsur-unsur utama yang diatur dalam peraturan zonasi
diuraikan Babcock (1979: 421-431), Branch (1985: 157), Mandelker (1993: 248-
250), Patterson (1979: 53-55) dan Sizemore (2007: 364).
Sejauh ini, beberapa negara telah berhasil dalam melaksanakan pengendalian
pemanfaatan ruang dengan menggunakan zonasi. Amerika Serikat adalah salah
satu negara yang menggunakan peraturan zonasi sebagai instrumen pengendalian
pemanfaatan ruang. Negara ini telah mengembangkan peraturan zonasi sejak akhir
abad ke 19 dan awal abad ke 20 dengan mengadopsi zonasi dari Jerman (Leung,
1989: 158) dan pertama kali peraturan zonasi komprehensif diterapkan di kota
New York pada tahun 1916. Pengendalian pemanfaatan ruang di Amerika Serikat
pada umumnya menganut regulatory system kecuali kota Houston Texas. Dalam
sistem ini, peraturan zonasi digunakan sebagai instrumen pengendalian
pemanfaatan ruang dan secara hukum bersifat mengikat pemerintah dan
masyarakat.
Inggris sebagai negara yang juga berhasil dengan sistem pengendalian
pembangunannya (development control system). Sistem ini mulai dibentuk dengan
pemberlakuan Town and Country Planning Act 1947. Pada intinya, dengan sistem
seperti ini, Inggris merupakan negara yang menganut discretionary system sebagai
sistem pengendalian pemanfaatan ruang di negaranya. Rencana zonasi sudah
tercakup di dalam development plans (structure plan dan local plan). Pengajuan
permohonan perencanaan (planning permission) dari masyarakat akan diputuskan
oleh otoritas lokal dengan mengacu kepada development plans dan
mempertimbangkan beberapa aspek lainnya yang dianggap penting. Development
plans ini tidak bersifat mengikat secara hukum sehingga dapat dijadikan acuan
atau dapat diabaikan jika dianggap tidak sesuai dalam menjawab permohonan
perizinan pemanfaatan ruang dari masyarakatnya (Alder, 1989: 1-2). Negara
berikutnya Perancis dengan rencana zonasinya Plan d’Occupation des Sols (POS).
6
Semua commune dengan populasi 50.000 penduduk diharuskan memiliki satu
rencana zonasi POS. Pembuatan rencana ini bukan suatu kewajiban tetapi dapat
membantu dalam perizinan pemanfaatan lahan. POS merupakan rencana zonasi
yang ketat. POS kemudian menjadi dasar untuk pembuatan PLU (Plan Local
d’urbanisme) atau zoning regulation.
Denmark memberikan kewenangan kepada pemerintah kota untuk membuat
rencana struktur kota (kommuneplan) dengan mengacu kepada pedoman regional.
Rencana ini merupakan rencana komprehensif yang mencakup semua wilayah
kota, merencanakan guna lahan kota, spesifikasi alih guna lahan antar zona dan
menyediakan kerangka bagi pembuatan rencana lokal. Ketentuan dasar
perencanaan di Denmark adalah pembagian semua wilayah negara dalam tiga
zona yaitu: (1) zona rural; (2) zona urban; dan (3) zona rekreasi (recreational).
Swedia dengan pemberlakuan Planning and Building Act 1987 mengharuskan
semua pemerintah kota membuat rencana komprehensif (oversiktsplan) yang
menggambarkan rencana guna lahan dan pembangunan di masa datang. Rencana
komprehensif ini tidak mengikat secara individual akan tetapi menyediakan
kerangka untuk penyusunan rencana rinci dan koordinasi kegiatan sektor publik.
Instrumen perencanaan yang paling penting di Swedia adalah rencana rinci
(detaljplan) dan secara hukum bersifat mengikat. Rencana rinci juga dapat
berisikan aturan desain, bahan konstruksi, lot sizes, floor areas, lanskap, area
parkir dan area konservasi.
Zonasi di Australia merupakan bagian dari town and country planning (Brown
dan Sherrad, 1951 dalam Thompson, 2007: 18). Kemudian negara Jepang
mempunyai sistem zonasi yang merupakan bagian paling penting dalam
perencanaan perkotaan. Urban city planning area dibagi menjadi dua yaitu urban
promotion area (UPA) dan urban control area (UCA). UPA merupakan daerah
yang direkomendasikan pemerintah lokal sebagai daerah urbanisasi dan daerah
sisanya sebagai daerah urbanisasi yang dikontrol dengan UCA. Zonasi dibuat
hanya untuk dilaksanakan pada UPA dan tidak dibuat untuk UCA. Pembangunan
pada daerah yang tidak melaksanakan zonasi memerlukan izin dari pemerintah.
7
Pada UCA, pembangunan pada prinsipnya dilarang kecuali untuk peruntukan
lahan pertanian dan kehutanan.
Peraturan zonasi di Singapura bagian dari Master Plan. Master Plan
merupakan rencana fisik yang komprehensif dengan penekanan pada penataan
penggunaan lahan dengan tujuan untuk mengatur pembangunan fisik baik yang
dilakukan oleh pihak swasta maupun oleh pemerintah melalui peraturan zonasi.
Sejak tahun 1973 Singapura memiliki Micro-Zoning Plan untuk daerah-daerah
tertentu. Micro-Zoning Plan memberikan gambaran lebih terperinci daripada
Master Plan dengan maksud memberikan arahan yang lebih kuat dan jelas
mengenai kepadatan, bentuk dan tinggi bangunan supaya sesuai dengan kondisi
yang ada. Filipina memberi kewenangan kepada pemerintah lokal untuk
menyiapkan comprehensive land use plans dan zoning ordinance yang akan
menjadi pedoman utama dan penting dalam perencanaan pemanfaatan lahan.
Pemerintah lokal dibantu oleh Housing and Urban Development Coordinating
Council (HUDCC) melalui Key Housing Agencies yang menyiapkan bantuan bagi
pemerintah lokal seperti formulation of zoning and land use control standards and
guidelines dan bantuan teknis dalam pembuatan town and land use plan.
Zonasi di Indonesia sendiri sudah berkembang tahun 2003 dan secara legal
diatur pada tahun 2007 dengan pemberlakuan UU No. 26 tahun 2007. Pada tahun
yang sama, pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Penataan Ruang
Departemen Pekerjaan Umum (Departemen PU) menerbitkan buku pedoman
Konsep Dasar Panduan Penyusunan Peraturan Zonasi Wilayah Perkotaan.
Peraturan zonasi yang diperkenalkan Departmen PU ini mengadopsi peraturan
zonasi model Amerika Serikat. Selanjutnya dengan terbitnya buku pedoman
peraturan zonasi ini, pemerintah daerah (kota dan kabupaten) diharapkan segera
menyusun dan menerapkan peraturan zonasi di daerahnya masing-masing,
mengingat peraturan zonasi ini sangat diperlukan sebagai salah satu instrumen
pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam penerapan peraturan zonasi akan
menghadapi hambatan karena konsep peraturan zonasi ini di Indonesia merupakan
konsep baru yang sejauh ini belum teruji keberhasilan penerapannya. Belum
diketahui apakah zonasi yang telah digagas pemerintah Indonesia sesuai dengan
8
system pemerintahan di Indonesia. Pemikiran selanjutnya adalah bagaimana
pemerintah daerah menyusun suatu peraturan zonasi yang bisa efektif diterapkan
di daerahnya.
Kota dan kabupaten yang sudah menyusun peraturan zonasi atau dokumen
dengan isi materi mirip peraturan zonasi antara lain Kota Batam (2006), Kota
Palembang (2006), Kota Cimahi Bandung (2003), Kawasan Bandung Utara, DKI
Jakarta, Kabupaten Lombok Tengah, Sebagian Kawasan Aglomerasi Perkotaan
Yogyakarta (2010), Kawasan Pesisir Muncar Kabupaten Banyuwangi, Kota
Surakarta, Kawasan Legian, Seminyak dan Kuta Kabupaten Badung Bali (2006),
Kota Sofifi Maluku Utara, Kota Bogor (2011), Kota Pekalongan (2011),
Kabupaten Wonogiri (2011) dan Kabupaten Pemalang (2011).
Kota Cimahi adalah kota di Indonesia yang sudah lebih dulu menyusun suatu
petunjuk teknis dengan substansi mirip peraturan zonasi selain DKI Jakarta. Kota
Cimahi sudah menyusun dan menerapkan suatu dokumen dengan isi materi teknis
hampir sama dengan peraturan zonasi yang diperkenalkan oleh Departemen PU
RI saat ini melalui buku pedoman penyusunan peraturan zonasinya. Peraturan
zonasi Kota Cimahi ini berupa Petunjuk Teknis RTRW Kota Cimahi 2003-2013
dan sudah diterapkan sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang sejak
tahun 2003 hingga sekarang.
Hasil penelusuran yang dilakukan peneliti dapat diketahui bahwa rencana rinci
tata ruang di kota ini masih kurang operasional untuk digunakan sebagai acuan
dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Masih ada beberapa aspek dan materi
yang belum diatur dalam rencana rinci ini sehingga peraturan zonasi sangat
diharapkan segera bisa diberlakukan dan adanya peraturan zonasi ini dipandang
akan efektif membantu kelancaran dan kemudahan dalam pengendalian
pemanfaatan ruang di kedua kota ini. Dalam tataran sistem pengendalian
pemanfaatan ruang dan praktek pengendalian pemanfataan ruang di Indonesia
masih terjadi dualisme. Pada tataran sistem pengendalian pemanfaatan ruang,
Indonesia cenderung menganut regulatory system seperti Amerika Serikat.
Adanya UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 yang mengatur RTRW
Kota/Kabupaten dan peraturan zonasi diberlakukan dengan peraturan daerah
9
(perda), akan mengikat masyarakat dan pemerintah daerah secara hukum. Hal ini
menggambarkan Indonesia cenderung mengarah ke regulatory system. Namun
dalam praktek pengendalian pemanfaatan ruang, Indonesia mengarah ke
discretionary system.
Pada praktek pengendalian pemanfaatan ruang, sistem perizinan yang selama
ini berjalan di Indonesia memiliki kemiripan dengan development control Inggris
yang jelas menganut discretionary system. Dalam sistem ini, rencana tata ruang
(RTRWK, RDTRK dan peraturan zonasi) bukanlah dokumen yang secara mutlak
dijadikan acuan dalam menjawab permohonan perizinan namun bisa diabaikan
ketika pihak berwenang menganggap rencana tata ruang tersebut tidak sesuai
dengan kondisi yang ada dan perlu mengambil kebijakan (discretion) tersendiri
dengan mempertimbangkan berbagai aspek penting lainnya. Saat ini, peraturan
zonasi masih dipahami sebagai salah satu bentuk rencana rinci tata ruang sama
halnya dengan rencana rinci tata ruang lainnya (RDTRK dan RTRK). Peraturan
zonasi tidak dipandang sebagai peraturan, yaitu tidak memerlukan izin pemerintah
daerah untuk penerapan isi peraturan zonasi itu sendiri selayaknya yang terjadi di
negara asalnya, Amerika Serikat, yang peraturan zonasinya Indonesia adopsi.
Adanya dualisme dalam tataran sistem dan praktek pengendalian pemanfaatan
ruang di Indonesia yaitu mengadopsi regulatory system (peraturan zonasi) gaya
Amerika Serikat dan discretionary system gaya Inggris, menggambarkan
Indonesia telah mengkombinasikan regulatory system dan discretionary system.
Kombinasi ini disebut moderate system, yaitu sistem pengendalian pemanfaatan
ruang yang mengkombinasikan regulatory system dan discretionary system dan
berupaya mengambil dan menggabungkan keunggulan dari masing-masing sistem
ini.
Sejalan dengan kondisi empiri ini, Ernawi (2012) mengemukakan bahwa
untuk operasional Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota dan Kabupaten
maka perlu diterjemahkan ke dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan
selanjutnya RDTR akan dilengkapi dengan peraturan zonasi yang memberikan
ketentuan pembangunan kota/kabupaten (diperbolehkan, tidak diperbolehkan,
diperbolehkan bersyarat dan dengan pengecualian). Lebih lanjut Ernawi
10
mengatakan, RDTR dan peraturan zonasi merupakan satu kesatuan upaya
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang dan merupakan dokumen
referensi dalam pemberian izin, insentif dan disinsentif serta sanksi bagi para
pelaku publik dan privat. Jelas dimaksudkan oleh Ernawi, peraturan zonasi sama
halnya dengan RDTR yakni dijadikan acuan dalam pemberian izin untuk
pemanfaatan ruang. Pendapat Ernawi ini menegaskan bahwa peraturan zonasi di
Indonesia masih dipahami dan digunakan sebagai bentuk rencana rinci tata ruang
bukan sebagai peraturan sebagaimana yang dikembangkan negara yang peraturan
zonasinya Indonesia adopsi, Amerika Serikat.
Sampai saat ini, zonasi yang ada berkaitan dengan perkembangan zonasi di
negara-negara maju dan zonasinya telah mapan sesuai dengan kondisi sistem
pemrintahan dan penataan ruang negara tersebut dan sejauh ini belum ada yang
berkaitan model konseptual peraturan zonasi Indonesia. Untuk Indonesia sendiri,
penerapan peraturan zonasi merupakan hal baru bila dibandingkan dengan negara
lain yang telah menerapkan peraturan zonasi sejak akhir abad 19 dan awal abad 20.
Berdasarkan kondisi ini, penting untuk melakukan kajian yang lebih mendalam
mengenai model konseptual peraturan zonasi seperti apa yang dapat dikembangkan
sesuai dengan kondisi sistem pemerintahan dan penataan ruang di Indonesia dan
dapat diakomodasi dalam pengembangan peraturan zonasi di Indonesia. Penelitian
ini dilakukan untuk mengisi kekosongan pengetahuan mengenai model peraturan
zonasi yang sesuai sistem pemerintahan di Indonesia.
11
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kualitas lingkungan, Shirvani, 1985
Zonasi menjadi dasar banyak kasus pengadilan di Amerika Serikat dengan keputusan pengadilan yang mendukung dan memperkuat zonasi. Listokin, 1974, Gallion dan Eisner, 1963
Respon atas industrialisasi dan meningkatnya pengaduan masyarakat yang terganggu ampak negatif kegiatan industri. Leung, 1989 Listokin, 1974
peraturan zonasi dan master plan: kelompok model perencanaan instrumental kategori regulatory planning. Alexander (1986)
Bentuk pengendalian penggunaan ruang meliputi (1) peraturan bangunan (building code), (2) pembagian persil (subdivision control), dan (3) peraturan zonasi (zoning regulation). Branch, 1985
Unsur-unsur utama yang diatur dalam peraturan zonasi. Babcock (1979) Branch (1985) Mandelker (1993) Patterson (1979)
Fungsi dan peran peraturan zonasi Faktor-faktor pendorong perkembangan peraturan zonasi
Kedudukan peraturan zonasi
Materi dan variasi peraturan zonasi
Bentuk land use control
teks zonasi (zoning text) dan peta zonasi (zoning map). Levy (1997)
Penyusunan sistem zonasi perlu dialog dengan stakeholder. Tora Gunawan Purba, 2009
Pelaksanaan Rencana Zonasi akan optimal dengan adanya: komunikasi; keaktifan, koordinasi & dukungan pelaksana zonasi; sosialisasi zonasi kepada stakeholder & masyarakat. Heriasman , 2006
Penyusunan Zonasi perlu mempertimbangkan perlindungan ekosistem & kepentingan sosial, ekonomi & budaya masyarakat. Nuryadi, 2005
Mencegah konflik pada zona mixed uses dengan memperhatikan perbaikan kondisi lingkungan perkotaan. Mandelker, 1974
Alat pemerintah (police power) untuk melindungi kepentingan publik & mewujudkan kesehatan, keamanan, moral, kesejahteraan publik. Babcock, 1979, Listokin, 1974, Gallion & Eisner, 1963, Sizemore, 2007.
Cara mengatur penggunaan lahan di USA dan mayoritas negara di dunia. Gallion & Eisner (1994), Lang (1994)
Mengatur pertumbuhan dan perkembangan kota terkait dengan kepentingan publik. Lai dan Schultz (dalam Lang, 1994: 3)
Fokus pada penyehatan lingkungan, pengaturan distribusi peruntukan lahan dan menciptakan pola sirkulasi yang efisien. Lang, 1994
Membagi wilayah menjadi beberapa zona dengan aturan hukum dan prinsipnya bertujuan memisahkan kawasan industri dan komersial dari perumahan. Babcock (1979)
Bukan mengontrol pemanfaatan lahan secara ketat tapi menggambarkan struktur kota dengan menentukan zona-zona lahan. Ikeda Hiroshi, 1918
Faktor-faktor pertimbangan dalam penyusunan & pelaksanaan peraturan zonasi
Gambar 1. Perkembangan Pengetahuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Zonasi
Akhir abad 19/awal abad 20 - 2000 2001-2012
Procedural Planning & Implementation theory Faludi, 1973
Subdivision control Listokin, 1974 Branch, 1985
Zoning Regulation akhir abad 19
Development Permit Branch, 1985
Incentive & Disincentiv Branch, 1985
Sanction Branch, 1985
Growth management 1970an
12
1.2. Permasalahan Penelitian
Zonasi yang berkembang di negara-negara maju pada akhir abad 19 dan awal
abad 20 hingga saat ini banyak berhubungan dengan fungsi dan peran peraturan
zonasi, kedudukan peraturan zonasi, faktor-faktor pendorong perkembangan
peraturan zonasi, materi dan variasi peraturan zonasi. Sampai saat ini, belum ada
zonasi yang berkaitan dengan zonasi sesuai sistem pemerintahan di Indonesia.
Pada umumnya, peraturan zonasi yang dibuat oleh banyak kota dan kabupaten
saat ini mengikuti pedoman penyusunan peraturan zonasi yang diterbitkan
Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum RI. Peraturan
zonasi model ini mengadopsi peraturan zonasi yang berkembang di Amerika
Serikat. Dalam penerapan peraturan zonasi di Indonesia, tidak tertutup
kemungkinan adanya hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya mengingat
konsep peraturan zonasi ini merupakan konsep yang diadopsi dari negara lain
yaitu Amerika Serikat yang memiliki sistem pemerintahan dan penataan ruang
berbeda dengan Indonesia. Saat ini zonasi yang berkembang masih memandang
peraturan zonasi sebagai salah satu bentuk rencana rinci tata ruang bukan sebagai
peraturan pengendalian pemanfaatan ruang seperti yang diterapkan di negara
asalnya, Amerika Serikat. Selain itu sebagaiman telah disampaikan di bagian latar
belakang, di Indonesia ada indikasi ketidaklengkapan institusi yang mendukung
pelaksanaan peraturan zonasi misalkan: board of zoning adjustment.
Kesenjangan antara zonasi yang ada dengan empiri zonasi di Indonesia
menimbulkan permasalahan model konseptual peraturan zonasi seperti apa yang
baik bagi Indonesia. Sampai saat ini belum ada penelitian model konseptual
peraturan zonasi seperti apa yang bisa diakomodasi dalam penyusunan dan
penerapan peraturan zonasi sebagai perangkat pengendalian pemanfaatan ruang di
Indonesia. Berdasarkan permasalahan ini, maka perlu dilakukan penelitian
mengenai model konseptual peraturan zonasi seperti apa yang efektif sesuai
sistem pemerintahan di Indonesia supaya bisa diakomodasi dalam penyusunan
dan penerapan peraturan zonasi sebagai perangkat pengendalian pemanfaatan
ruang.
13
1.3. Pertanyaan Penelitian
Berdasar pada permasalahan penelitian maka muncul pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
A. Pertanyaan utama:
Seperti apakah model konseptual peraturan zonasi di Indonesia supaya bisa
diakomodasi dalam penyusunan dan penerapan peraturan zonasi sebagai
perangkat pengendalian pemanfaatan ruang di Indonesia?
B. Pertanyaan rinci:
1. Bagaimana perbandingan zonasi dan konteks sistem pemerintahan dan
penataan ruang di beberapa negara lain (Amerika Serikat, Jepang, Jerman
dan negara lainnya)?
2. Bagaimana zonasi yang telah digagas oleh pemerintah Indonesia dan
dilaksanakan di beberapa kota saat ini?
3. Bagaimana perbandingannya dengan zonasi di beberapa negara tersebut di
atas?
4. Model konseptual peraturan zonasi seperti apa yang dapat dikembangkan
sesuai dengan sistem pemerintahan di Indonesia?
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini merupakan untuk menjawab
pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya. Adapun tujuan
penelitian ini sebagai berikut:
A. Tujuan utama:
Membangun suatu model konseptual peraturan zonasi di Indonesia.
B. Tujuan rinci:
1. Mengkaji perbandingan peraturan zonasi dan konteks sistem pemerintahan
dan penataan ruang di beberapa negara lain (Amerika Serikat, Jepang, Jerman
dan negara lainnya).
2. Mengkaji peraturan zonasi yang telah digagas oleh pemerintah Indonesia dan
dilaksanakan di beberapa kota saat ini dan mengkaji perbandingannya dengan
peraturan zonasi di beberapa negara tersebut di atas.
14
3. Mengembangkan model konseptual peraturan zonasi yang sesuai dengan
sistem pemerintahan di Indonesia.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang diharapkan pada tataran teoritis adalah hasil
penelitian model konseptual peraturan zonasi di Indonesia ini dapat berkontribusi
teoritik untuk pengkayaan teori perencanaan khususnya pada teori hukum
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, teori implementasi,
teori administrasi pembangunan dan teori pemerintahan. Pada tataran praxis
diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi praktisi
perencana dan pelaksana pembangunan dalam menyusun dan menerapkan
peraturan zonasi yang efektif di daerahnya masing-masing dalam upaya
mewujudkan tertib tata ruang. Adanya peraturan zonasi yang efektif diharapkan
akan menjadi instrumen pengendalian pemanfaatan ruang bagi pemerintah kota
dalam melaksanakan pembangunan di wilayahnya.
1.6. Keaslian Penelitian
Peraturan zonasi merupakan instrumen pengendalian pemanfaatan ruang yang
sudah cukup lama digunakan di negara maju namun relatif masih baru diterapkan
di Indonesia. Walaupun masih baru, sudah ada beberapa peneliti yang melakukan
penelitian terkait zonasi di Indonesia. Sama halnya dengan model konseptual,
penelitian berkaitan dengan model konseptual juga sudah pernah dilakukan
beberapa peneliti. Penelitian-penelitian berkaitan dengan zonasi dan model
konseptual ini dari berbagai bidang ilmu yang berbeda, yaitu bidang ilmu
arsitektur dan perencanaan, bidang ilmu kehutanan, bidang ilmu lingkungan dan
bidang ilmu geografi.
Penelitian-penelitian mengenai zonasi di Indonesia yang telah dilakukan para
peneliti mencakup zonasi untuk skala kawasan antara lain: zonasi untuk kawasan
taman nasional, gunung, kawasan pesisir, kawasan konservasi dan permukiman
padat. Aspek-aspek yang dikaji oleh beberapa penelitian ini mengenai persepsi
masyarakat terhadap penetapan zonasi, efektifitas implementasi rencana zonasi
15
pada wilayah penelitian dan diakhir penelitiannya, mayoritas peneliti merumuskan
dan merekomendasikan zonasi optimal untuk kawasan yang diteliti. Penelitian
zonasi untuk skala nasional telah ada dengan kajian komparasi zonasi Indonesia
dan Amerika Serikat (Zikri, 2010) dan Direktorat Jenderal Penataan Ruang
Departemen Pekerjaan Umum RI dengan Buku Pedoman Penyusunan Peraturan
Zonasi.
Penelitian-penelitian model konseptual yang ada dilakukan pada skala
kota/kabupaten. Pada akhir penelitiannya, para peneliti mengusulkan model
konseptual berkaitan dengan pengembangan teknologi informatika untuk
mendukung proses perencanaan, pemantauan dan partisipasi masyarakat, serta
pengelolaan sarana publik dan pengawasan pemanfaatan ruang. Dari semua
penelitian yang telah disampaikan, belum ada penelitian yang mengkaji mengenai
model konseptual peraturan zonasi yang sesuai sistem pemerintahan di Indonesia.
1.6.1. Bidang ilmu arsitektur dan perencanaan
Tahun 2007 Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan
Umum RI menerbitkan Buku Pedoman Penyusunan Peraturan Zonasi. Buku ini
menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyusun dan menerapkan
peraturan zonasi di daerahnya masing-masing.
Penelitian mengenai zonasi dilakukan Adi Rusmanto (1999) dengan tesisnya
Kajian Kebutuhan Data dan Informasi Berbasis Sistem Informasi Geografi (SIG)
Untuk Menunjang Perencanaan Zonasi Wilayah Pesisir Studi Kasus Kabupaten
Gianyar Bali menggunakan teknik analisis spasial pembobotan dengan fasilitas
SIG. Penelitian ini menemukan bahwa data/peta untuk mendukung perencanaan
wilayah pesisir belum memenuhi standar baku, fungsi integrasi perencanaan
belum berjalan dengan baik, data instansi belum terkontrol, data eksisting bisa
digunakan walau belum optimal dan proses penyusunan rencana zonasi dengan
mempertimbangkan lima komponen analisis merupakan model optimal karena
bisa dirubah sesuai hasil negosiasi stakeholder yang berkepentingan di wilayah
pesisir dan laut.
Abdul Hanan tahun 2006 meneliti tentang Persepsi Petani Rumput Terhadap
Penetapan Zonasi Dalam Taman Nasional Gunung Merapi Yogyakarta dengan
16
metode penelitian kualitatif dan paradigma fenomenologi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa aktifitas merumput di kawasan TNGM Dusun Kalitengah
Lor merupakan suatu strategi hidup (livelihood) yang bertumpu pada ketersediaan
dan keterbatasan alam dan masyarakat berhubungan erat dengan lingkungan alam
sekitarnya. Peneliti menyarankan implementasi TNGM sebaiknya
mempertimbangkan konsep sebagai berikut: (1) ketergantungan yang terbentuk
dari pemahaman petani rumput terhadap hutan dan isinya demi memenuhi
kebutuhan hidup; (2) kesederhanaan petani rumput dengan menerima kehidupan
apa adanya; (3) penghargaan, rasa syukur dan terima kasih terhadap pencipta
melalui perbuatan dan upacara; (4) strategi merumput di hutan menjadi sebuah
pilihan untuk bertahan hidup; (5) kearifan lokal dalam memandang dan mengelola
lingkungan; dan (6) kehidupan yang selaras dengan lingkungan dengan
memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya untuk kehidupan.
Heriasman (2006) meneliti tentang zonasi dalam tesisnya Evaluasi
Implementasi Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT):
Kasus Rencana Zonasi Kawasan TNBT di Kabupaten Indragiri Hulu Riau. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui efektifitas implementasi rencana zonasi kawasan
TNBT di Kabupaten Indragiri Hulu dan mengkaji faktor-faktor yang
mempengaruhi efektifitas rencana zonasi tersebut dengan metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan rasionalistik deduktif dan analisis deskriptif empiris.
Peneliti menemukan bahwa pelaksanaan rencana zonasi TNBT tidak optimal
karena disebabkan beberapa faktor, yaitu tidak efektifnya komunikasi, kurang
aktif dan kurang koordinasi pihak pengelola dalam implementasi rencana zonasi,
kurangnya sosialisasi rencana zonasi TNBT kepada semua stakeholder dan
masyarakat serta adanya sikap dan komitmen pengelola yang kurang mendukung
implementasi rencana zonasi TNBT.
Tahun 2009, seorang peneliti bernama Tengku Saugi Zikri dengan skripsinya
yang berjudul Kajian Konsep Zoning Regulation di Indonesia: Komparasi Dengan
Konsep Zoning Regulation di Amerika Serikat. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui korelasi atau kesamaan zoning yang diterapkan pada kota di Indonesia
dengan di Amerika Serikat dan ingin mengetahui apakah peraturan zonasi di
17
Indonesia mengadopsi peraturan zonasi Amerika Serikat. Penelitian ini juga
melakukan komparasi peraturan zonasi Indonesia dan Amerika Serikat dengan
tinjauan aspek komponen pemanfaatan ruang dalam peraturan zonasi, badan
pelaksana peraturan zonasi dan prosedur perubahan peraturan zonasi. Penelitian
ini menggunakan metode deduksi dengan obyek penelitian adalah Indonesia
dengan perhatian pada Buku Panduan Penyusunan Peraturan Zonasi yang disusun
oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum RI.
Penelitian ini menemukan bahwa peraturan zonasi di Indonesia mempunyai dua
indikator yang berkorelasi dengan peraturan zonasi di Amerika Serikat, yaitu
pertama pada pemanfaatan lahan yang membaginya dalam zona-zona peruntukan
lahan dan kedua pada aturan perubahan peraturan zonasi yang harus melalui
lembaga legislatif. Penelitian ini menemukan perbedaan, yaitu Indonesia belum
memiliki badan peradilan khusus yang menangani perubahan peruntukan lahan
dalam peraturan zonasi, sedangkan Amerika Serikat sudah memiliki badan
peradilan yaitu Board of Appeals yang memutuskan perubahan peruntukan lahan.
Wahyuning Hapsari (2009) melakukan penelitian mengenai Arahan
Perencanaan Tata Ruang Kawasan Karst Melalui Pendekatan Prinsip Ekowisata:
Studi Kasus Kawasan Karst Gunung Sewu di Gunung Kidul DIY. Dalam tesisnya
ini, peneliti ingin mengetahui faktor-faktor dan pengaruhnya terhadap
perencanaan tata ruang kawasan karst dan juga manajemen atraksinya yang
berfungsi sebagai alat pengontrol alur kunjungan pada tata ruang. Penelitian ini
menggunakan paradigma rasionalistik dengan metode analisis theoritical
descriptive dan aspek yang ditinjau adalah aspek produk, aspek pasar, aspek
kondisi eksisting tata ruang dan aspek kriteria-kriteria yang diinginkan pasar
dalam suatu manajemen atraksi di Kawasan karst Gunung Sewu. Selanjutnya
penelitian ini menghasilkan temuan bahwa produk ekowisata kawasan ini
tergolong dalam intermediate ecoutourism, pasar ekowisata berkarakteristik eco-
generalist dengan mayoritas jenis wisatawan rough specialist, eksisting tata ruang
kurang memberikan perlindungan terhadap kawasan dan berpengaruh terhadap
wisatawan dan masyarakat. Dari temuan ini, peneliti merekomendasikan
perencanaan tata ruang (zonasi) Kawasan Karst Gunung Sewu dengan
18
membaginya dalam tiga zona, yaitu zona pelestarian, zona pemanfaatan dan zona
pembangunan.
1.6.2. Bidang ilmu kehutanan
Penelitian yang berkaitan dengan peraturan zonasi juga dilakukan pada
bidang ilmu kehutanan antara lain penelitian oleh Nuryadi (2005) yang melakukan
penelitian mengenai Kajian Penentuan Zonasi Pada Taman Nasional Gunung
Merapi (TNGM). Penelitian ini dilandasi pemikiran bahwa guna menjembatani
kepentingan ekologi dengan kepentingan ekonomi sosial masyarakat sekitar
kawasan maka penentuan zonasi dalam kawasan taman nasional harus tepat.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan zonasi di kawasan TNGM dan
mengkaji zona tersebut dari aspek sosial ekonomi, kondisi fisik kawasan, flora
fauna dan pemanfaatan wisata dengan metode overlay peta kawasan TNGM.
Penelitian ini merekomendasikan beberapa zona yang dapat diterapkan di TNGM
yaitu zona inti, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi, zona pemanfaatan
wisata alam dan zona rimba. Peneliti juga menyarankan sebaiknya pembuatan
zonasi mempertimbangkan kepentingan perlindungan ekosistem dan kepentingan
ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.
Tora Gunawan Purba (2009) mengkaji proses perumusan sistem zonasi
dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) di Taman Nasional Gunung
Merapi (TNGM) dan kendala-kendala implementasinya dalam penelitiannya yang
berjudul Proses Perumusan dan Implementasi Sistem Zonasi di Taman Nasional
Gunung Merapi (TNGM): Studi Implementasi Kebijakan Deliberatif. Penelitian
ini menggunakan metode studi kasus dengan lokus Dusun Palemsari Desa
Umbulharjo Sleman Yogyakarta. Penemuan dalam penelitian ini adalah proses
penyusunan sistem zonasi dalam RTPN tidak mengikuti persyaratan kebijakan
deliberatif, yaitu tidak adanya dialog autentik (partisipan dialog, proses dialog dan
isi dialog). RPTN Gunung Merapi dibuat oleh Balai Konservasi Sumber Daya
Alam (KSDA) dan Pusat Studi Agroekologi UGM tanpa proses dialog dengan
stakeholder lainnya sehingga proses perumusan sistem zonasi dipandang gagal
dan sistem zonasi ini belum dapat diimplementasikan. Masyarakat masih
19
melakukan aktivitasnya seperti biasa di kawasan TNGM dan RTPN sulit
diimplementasikan oleh Balai TNGM.
Ida Rohaida (2011) dengan tesisnya Optimalisasi Penetapan Zonasi Pada
Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian ini
dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa Penetapan Zonasi (Zoning Regulation)
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) diupayakan untuk
mengoptimalkan fungsi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya berupa pelestarian tipe-tipe vegetasi hutan, satwa
langka beserta habitatnya, sebagai tempat penelitian, pendidikan dan wisata alam
serta sumber kehidupan masyarakat sekitar. Penetapan zonasi secara tepat
dipandang akan dapat menjembatani berbagai kepentingan tersebut. Penelitian ini
bertujuan untuk menentukan alokasi luas masing-masing zona taman nasional
yang optimal dalam menjembatani berbagai kepentingan pengelolaannya. Metoda
analisis yang digunakan adalah analisis spasial dengan Sistem Informasi
Geografis (SIG) dan menggunakan analisis Program Tujuan Ganda (PTG) untuk
merumuskan alokasi zonasi optimal. Ida Rohaida menemukan bahwa kombinasi
alokasi luas zona optimal TNGGP hasil analisis PTG untuk zona inti, zona rimba,
zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, dan zona tradisional. Dengan kombinasi zona
seperti ini, membuat TNGGP dapat optimal dalam mendukung pelestarian tipe-
tipe hutan pegunungan, menampung kehidupan satwa flag species dalam jumlah
optimal, mengundang jumlah pengunjung optimal, memberikan kontribusi bagi
negara dan masyarakat secara optimal.
Penelitian zonasi dalam ilmu kehutanan lainnya adalah Pemodelan Zonasi
Taman Nasional Menggunakan Sistem Informasi Geografis yang dilakukan oleh
Novie Trionoadi (2011). Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan data
spasial berdasarkan pedoman zonasi (zoning guidance) taman nasional, menyusun
Model Builder zonasi taman nasional dan menganalisis zonasi Taman Nasional
Bali Barat dengan hasil analisis menggunakan Model Builder. Peneliti melakukan
identifikasi data spasial yang dapat mempresentasikan persyaratan zona
berdasarkan pedoman zonasi taman nasional dan dikelompokkan menjadi dua
faktor, yaitu data spasial sebagai faktor utama penyusun model zonasi dan data
20
spasial sebagai faktor pembentuk faktor utama. Selanjutnya model disusun
berdasarkan kedua faktor tersebut dan analisis keluaran model dilakukan dengan
cara overlay zonasi tata batas dan zonasi model. Hasil penelitian ini menemukan
bahwa data spasial model adalah batas luar taman nasional, lereng, penutupan
lahan, sebaran satwa endemik dan sebaran flora dan fauna langka lainnya.
Sedangkan data spasial iklim, jenis tanah, ketinggian, penutupan lahan dan lokasi
yang membentuk data spasial satwa endemik dan potensi flora dan fauna
dilindungi lainnya adalah data spasial sebagai faktor pembentuk faktor utama.
Model Builder yang dibuat dalam penelitian ini adalah model sebaran satwa
endemik, model potensi flora dan fauna lainnya di TNBB, model zonasi taman
nasional dan model analisis keluaran zonasi taman nasional. Ditemukan juga
bahwa luasan optimal untuk zona inti, zona rimba, zona budaya, dan zona
pemanfaatan.
1.6.3. Bidang ilmu lingkungan
Penelitian zonasi dalam bidang ilmu lingkungan dilakukan oleh Rochtri
Agung Bawono (2003) dengan tesisnya Zonasi Kerawanan Terhadap Kerusakan
dan Upaya Konservasi Situs Trowulan di Mojokerto Jawa Timur. Rochtri
berpandangan situs trowulan sekarang ini mengalami kerusakan akibat aktifitas
perajin batubata sehingga perlu dikonservasi dengan upaya yang tepat. Penelitian
ini bertujuan mengetahui upaya konservasi situs trowulan secara menyeluruh
dengan orientasi kawasan berdasarkan konsep pemintakatan (zonasi) kerawanan
situs dan pemberdayaan masyarakat terutama dari aktifitas perajin batubata yang
dilaksanakan secara partisipatoris. Metode penelitian dengan skoring dan analisis
Sistem Informasi Geografis. Penelitian ini menunjukkan pola sebaran temuan di
situs trowulan adalah pola memusat, linear dan menyebar dan pola ini
menggambarkan adanya sistem pemerintahan yang sentralistis dan terpusat di
pusat kota. Terdapat tiga zona di kawasan ini yaitu zona kerawanan tinggi, sedang
dan rendah.
Evi Aguswandi Harahap (2008) dengan tesisnya Pendekatan Geoekosistem
Untuk Zonasi Daerah Rawan Tsunami di Wilayah Kepesisiran Johan Pahlawan
Kabupaten Aceh Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji zonasi daerah
21
rawan bencana tsunami dengan pendekatan satuan geoekosistem pada wilayah
kepesisiran Johan Pahlawan, mengkaji kesesuaian RTRW Kabupaten Aceh Barat
dengan zonasi daerah rawan bencana tsunami dan mengkaji persepsi masyarakat
tentang efektifitas rehabilitasi pembangunan permukiman kembali (resettlement)
di wilayah kepesisiran yang terkena tsunami. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode survei dengan analisis kuantitatif, kualitatif dan analisis spasial.
Temuan penelitian ini adalah terdapat tiga zona (zona aman, zona rawan dan zona
sangat rawan) di wilayah pesisir ini dan pembangunan di wilayah ini harus
dibatasi dan struktur bangunan disesuaikan dengan kondisi yang ada. Kemudian
RTRW sesuai dengan pendekatan satuan geoekosistem namun tidak dilaksanakan
oleh pemerintah daerah dan masyarakat memiliki persepsi bahwa pembangunan
kembali permukiman sangat efektif.
Astekita Ardi Aristo (2012) dengan tesisnya Evaluasi Lingkungan Zonasi
Taman Nasional Teluk Cendrawasih Pada Seksi Pengelolaan Taman Nasional
Wilayah V Rumberpon, meneliti kesesuaian zonasi Taman Nasional Teluk
Cendrawasih pada Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Rumberpon
terhadap kriteria dalam pedoman zonasi taman nasional dari aspek lingkungan dan
kemudian akan membuat srategi pengelolaan lingkungan berdasarkan kajian
kesesuaian tersebut. Penelitian ini menggunakan metode survei berdasarkan unit
zonasi untuk mengevaluasi kondisi lingkungan dan analisis kesesuaian dilakukan
dengan mencocokkan kriteria zonasi taman nasional dengan kondisi eksisting.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa zona eksisting yang sesuai adalah zona
pemanfaatan umum, zona pemanfaatan tradisional dan zona pemanfaatan
pariwisata. Kemudian zona yang sesuai terbatas adalah zona inti, zona
perlindungan bahari, zona rimba dan zona khusus. Strategi pengelolaan
lingkungan yang dikemukakan dari hasil penelitian ini adalah pengembangan
sistem informasi, peningkatan perlindungan kawasan, penyadartahuan zonasi dan
pengelolaan kolaboratif.
1.6.4. Bidang ilmu geografi
Penelitian zonasi yang berkaitan dengan bidang ilmu geografi dilakukan oleh
Lili Somantri (2008) dalam tesisnya Pemanfaatan Citra Quickbird dan Sistem
22
Informasi Geografis untuk Zonasi Kerentanan Kebakaran Permukiman Kasus di
Kota Bandung Bagian Barat. Lili dalam penelitiannya, memetakan zonasi tingkat
kerentanan kebakaran permukiman dengan bantuan data dari citra quickbird Kota
Bandung Bagian Barat dan sistem informasi geografi dengan metode penelitian
interpretasi visual citra penginderaan jauh. Diketahui bahwa permukiman yang
rawan terhadap kebakaran dengan karakteristik permukiman padat, pola bangunan
tidak teratur, lokasi jauh dari jalan utama, jalan masuk permukiman sempit,
bangunan terbuat dari bahan mudah terbakar, banyak rumah tidak berlangganan
listrik PLN, tidak dilengkapi fasilitas Alat Pemadam Kebakaran Ringan (APAR)
dan Alat Pemadam Kebakaran Berat (APAB) dan jauh dari sumber air.
1.6.5. Penelitian model Konseptual
Penelitian yang berkaitan dengan model konseptual sudah pernah dilakukan
oleh Suprajaka (1999) dengan Tesis berjudul Model Konseptual Dukungan Data
Digital Dalam Proses Pemantauan Perkembangan Kota Yogyakarta. Penelitian ini
berangkat dari permasalahan bahwa umumnya pengelola kota tidak dapat segera
mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi dalam wilayah perkotaan.
Pengelola sulit untuk melakukan analisa permasalahan karena data informasi
spasial dan non spasial yang sangat banyak. Oleh karena itu perlu adanya data
atau informasi yang bersifat indikatif. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi indikator-indikator cerdas (intelligence) yang menurut pustaka
biasa dipakai dalam pemantauan terhadap perkembangan kota dengan pengolahan
data/informasi sekunder yang tersedia di Pemerintah Daerah Kotamadya
Yogyakarta. Kemudian penelitian ini ingin mengetahui bagaimana cara
menggunakan indikator-indikator tersebut untuk melaksanakan pemantauan
terhadap perkembangan Kotamadya Yogyakarta dan selanjutnya mengusulkan
Model Konseptual Dukungan data Digital Dalam Proses Pemantauan
Perkembangan Kota. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
delphi konvensional atau delphi exercise atau juga delphi versi paper dan pencil.
Penelitian ini menemukan bahwa teknik presentasi data dan informasi keruangan
belum disusun dengan hirarki dan struktur yang baik dan masih tersebar secara
sektoral dengan format yang berbeda-beda. Model konseptual yang diusulkan
23
peneliti Suprajaka dapat diterapkan dengan syarat data dan informasi
dikelompokkan secara fungsional, yaitu data aspek manusia (human aspect), data
infrastruktur, data sumber daya alam, data sumber dana dan data lain. Data ini
disusun dan disimpan mengikuti prinsip modern pengelolaan basis data
(meminimalkan manipulasi, bisa diperbaharui, penggunaan definisi data
berorientasi pada pemakaian sistem dan pendefinisian model data sesuai dengan
kebutuhan yang diinginkan pemakai sistem).
Agung Priyo Utomo (2005) dengan penelitiannya Model (Konseptual)
Berbasis TI Untuk Memperlancar Dukungan Data BPS Dalam Perencanaan
Pembangunan Daerah di Bapeda Provinsi Studi Kasus Provinsi Daerah Istimewa
Yogayakarta mengusulkan model konseptual yang dapat digunakan oleh Pemda
Provinsi DIY di masa datang. Rumusan model konseptual diuji dengan teknik
delphi sebanyak tiga kali hingga dicapai konsensus.
Penelitian selanjutnya berkaitan dengan model konseptual dilakukan oleh
Endinovelly (2006) dengan Tesis yang berjudul Model Konseptual Web Badan
Perencanaan Daerah Untuk Mewadahi Partisipasi Masyarakat Dalam Proses
Perencanaan Pembangunan Kasus Uji Model: Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Penelitian ini melihat terdapat permasalahan dalam perkembangan
partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan di Provinsi DIY
masih mempunyai hambatan dalam penyediaan wadah bagi partisipasi
masyarakat. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (e-government)
belum berjalan sesuai dengan harapan. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun
model konseptual web Bapeda yang dapat mewadahi partisipasi masyarakat
dalam proses perencanaan pembangunan melalui teknologi informasi dan
komunikasi di Provinsi DIY. Metode penelitian ini menggunakan model analisis
deskriptif naratif dengan pendekatan rasionalistik dan uji model menggunakan
teknik delphi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa untuk mewadahi partisipasi
masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, web Bapeda harus memiliki
kemudahan untuk berinteraksi, memiliki kemampuan dalam memberikan respon
yang baik dan cepat kepada masyarakat, mudah dalam penggunaan serta memiliki
kelengkapan data dan informasi terkait dengan perencanaan. Untuk mencapai
24
kondisi ini, model konseptual web Bapeda akan ditentukan oleh terintegrasinya
tiga model, yaitu pertama, model interaksi yang meliputi interaksi dalam
memenuhi kebutuhan untuk mencari data atau informasi, berpartisipasi dan
berkomunikasi. Kedua, model pengelolaan yang dilakukan secara terpadu suatu
manajemen back office dan terkahir, model tampilan situs web Bapeda harus dapat
menjamin kemudahan dalam penggunaannya.
Muhammad Ridwan Somad (2006) meneliti tentang Model Konseptual
Pengelolaan Air Kotor (Sewage) di Permukiman Padat Wilayah Perkotaan
Kartamantul dari Aspek Kelestarian Lingkungan Studi Kasus di Kelurahan
Sosromenduran Kecamatan Gedongtengen Kota Yogyakarta. Pada akhir
penelitiannya, peneliti mengusulkan Proposed Model untuk kawasan kota
permukiman padat, kawasan pusat perdagangan dan jasa, kawasan sempadan
sungai/pantai yang telah beralih fungsi, kawasan lahan yang memadai dan
kawasan lahan pertanian dan diharapkan model ini dapat menjadi solusi terhadap
permasalahan lingkungan.
Mody Pustika Sinaga (2008) melakukan penelitian mengenai Alternatif Model
Konseptual Pengawasan Pemanfaatan Lahan Dalam Bidang Pengendalian Tata
Guna Lahan di Kabupaten Sleman. Penelitian ini berupaya merumuskan alternatif
model konseptual pengawasan pemanfaatan lahan yang dapat direkomendasikan
di masa yang akan datang guna meminimalisir penyimpangan tata guna lahan di
Kabupaten Sleman Yogyakarta. Metode penelitian adalah metode kualitatif
dengan teknik pengujian terhadap alternatif model yang diusulkan melalui Forum
Group Discussion (FGD) sebanyak tiga kali putaran sampai tercapai konsensus
bersama dalam FGD tersebut. Selanjutnya penelitian ini memperoleh empat
model pengawasan pemanfaatan lahan, yaitu Model Pengawasan melalui Forum
Komunikasi Masyarakat Pengawasan Tata Guna Lahan, Model Pengawasan oleh
Masyarakat dengan Pendampingan BPPD, Model Pengawasan dengan
Pendampingan LSM dan Model Pengawasan Ombudsman. Model Pengawasan
yang diusulkan peneliti kepada pemerintah Kabupaten Sleman adalah Model
Pengawasan Pemanfaatan Lahan yang melibatkan unsur eksternal (masyarakat,
swasta, LSM dan lembaga pengawas independent ombudsman) yang memiliki
25
kapasitas lebih besar, lebih obyektif, independen dan tidak terkait dengan fungsi
operasional maupun secara individual dalam lingkungan pemerintahan dalam
memberikan penilaian terhadap pelanggaran agar pengawasan bebas dari
kepentingan pribadi.
26
Bidang Ilmu Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
PENELITIAN PERATURAN ZONASI Ilmu Arsitektur dan Perencanaan
Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum RI (2007)
Buku Konsep Panduan Penyusunan Peraturan Zonasi
Pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyusun dan menerapkan peraturan zonasi di daerahnya masing-masing
Adi Rusmanto (1999)
Kajian Kebutuhan Data dan Informasi Berbasis Sistem Informasi Geografi (SIG) Untuk Menunjang Perencanaan Zonasi Wilayah Pesisir Studi Kasus Kabupaten Gianyar Bali
Teknik analisis spasial pembobotan dengan fasilitas SIG.
1. Data atau peta eksisting belum memenuhi standar baku dan belum optimal untuk digunakan.
2. Proses penyusunan rencana zonasi dengan mempertimbangkan lima komponen analisis merupakan model optimal karena bisa dirubah sesuai negosiasi stakeholder yang berkepentingan di wilayah pesisir dan laut.
Heriasman (2006)
Evaluasi Implementasi Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT): Kasus Rencana Zonasi Kawasan TNBT di Kabupaten Indragiri Hulu Riau.
Mengetahui efektifitas implementasi rencana zonasi kawasan TNBT di Kabupaten Indragiri Hulu dan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas rencana zonasi tersebut.
Metode penelitian kualitatif dengan pendekatan rasionalistik deduktif dan analisis deskriptif empiris.
Pelaksanaan rencana zonasi TNBT tidak optimal karena diseBabkan beberapa faktor, yaitu tidak efektifnya komunikasi, kurang aktif dan kurang koordinasi pihak pengelola dalam implementasi rencana zonasi, kurangnya sosialisasi rencana zonasi TNBT dan pengelola kurang mendukung implementasi rencana zonasi tersebut.
Abdul Hanan (2006) Persepsi Petani Rumput Terhadap Penetapan Zonasi Dalam Taman Nasional Gunung Merapi Yogyakarta
Metode penelitian kualitatif dan paradigma fenomenologi
1. Aktifitas merumput di kawasan TNGM merupakan suatu strategi hidup (livelihood).
2. Mengusulkan enam konsep dalam implementasi TNGM.
Tabel 1. Penelitian Berkaitan dengan Peraturan Zonasi dan Model Konseptual
(Bersambung)
27
Bidang Ilmu Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Tengku Saugi Zikri (2009)
Kajian Konsep Zoning Regulation di Indonesia: Komparasi Dengan Konsep Zoning Regulation di Amerika Serikat.
Mengetahui korelasi zoning Indonesia dan Amerika Serikat dan mengetahui apakah Indonesia mengadopsi peraturan zonasi Amerika Serikat ditinjau dari aspek komponen pemanfaatan ruang, badan pelaksana dan prosedur perubahan peraturan zonasi.
Metode deduksi dengan obyek penelitian Buku Panduan Penyusunan Peraturan Zonasi yang disusun oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum RI.
1. Ada dua indikator korelasi peraturan zonasi Indonesia dan Amerika Serikat (pemanfaatan lahan yang membagi zona-zona peruntukan lahan dan aturan perubahan peraturan zonasi yang harus melalui lembaga legislatif).
2. Menemukan perbedaan, yaitu Indonesia belum memiliki badan peradilan khusus yang menangani perubahan peruntukan lahan sedangkan Amerika Serikat memiliki badan peradilan (Board of Appeals).
Wahyuning Hapsari (2009)
Arahan Perencanaan Tata Ruang Kawasan Karst Melalui Pendekatan Prinsip Ekowisata: Studi Kasus Kawasan Karst Gunung Sewu di Gunung Kidul DIY.
Mengetahui faktor-faktor dan pengaruhnya terhadap perencanaan tata ruang kawasan karst dan juga manajemen atraksinya yang berfungsi sebagai alat pengontrol alur kunjungan pada tata ruang.
Paradigma rasionalistik dengan metode analisis theoritical descriptive tinjauan aspek produk, aspek pasar, aspek kondisi eksisting tata ruang dan aspek yang diinginkan pasar.
Mengusulkan perencanaan tata ruang (zonasi) Kawasan Karst Gunung Sewu dalam tiga zona, yaitu zona pelestarian, zona pemanfaatan dan zona pembangunan.
Ilmu Kehutanan Nuryadi (2005)
Kajian Penentuan Zonasi Pada Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).
Menentukan zonasi di kawasan TNGM dan mengkaji zona tersebut dari aspek sosial ekonomi, kondisi fisik kawasan, flora fauna dan pemanfaatan wisata.
Metode overlay peta kawasan TNGM.
1. Mengusulkan beberapa zona yang dapat diterapkan di TNGM.
2. Pembuatan zonasi sebaiknya mempertimbangkan kepentingan perlindungan ekosistem dan kepentingan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.
Tabel 1 (lanjutan)
(Bersambung)
28
Bidang Ilmu Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Tora Gunawan Purba (2009)
Proses Perumusan dan Implementasi Sistem Zonasi di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM): Studi Implementasi Kebijakan Deliberatif.
Mengkaji proses perumusan sistem zonasi dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) di TNGM dan kendala-kendala implementasinya.
Metode studi kasus dengan lokus Dusun Palemsari Desa Umbulharjo Sleman Yogyakarta.
1. Proses penyusunan sistem zonasi RTPN tidak mengikuti persyaratan kebijakan deliberatif (tidak adanya dialog autentik).
2. Proses perumusan sistem zonasi dipandang gagal sehingga sistem zonasi ini belum dapat diimplementasikan.
Ida Rohaida (2011) Optimalisasi Penetapan Zonasi Pada Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Menentukan alokasi luas masing-masing zona taman nasional yang optimal dalam menjembatani berbagai kepentingan pengelolaannya.
Analisis spasial dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) dan menggunakan analisis Program Tujuan Ganda (PTG) untuk merumuskan alokasi zonasi optimal.
Menemukan kombinasi zonasi optimal untuk alokasi luas zona TNGGP dari hasil analisis PTG.
Novie Trionoadi (2011)
Pemodelan Zonasi Taman Nasional Menggunakan Sistem Informasi Geografis
1. Memformulasikan data spasial berdasarkan pedoman zonasi (zoning guidance) taman nasional.
2. Menyusun ModelBuilder zonasi taman nasional dan menganalisis Zonasi Taman Nasional Bali Barat dengan hasil analisis menggunakan ModelBuilder.
Analisis keluaran model dilakukan dengan cara overlay zonasi tata batas dan zonasi model.
1. Menemukan data spasial sebagai faktor utama penyusun model zonasi dan data spasial sebagai faktor pembentuk faktor utama.
2. Membuat ModelBuilder berupa model sebaran satwa endemik, model potensi flora dan fauna lainnya di TNBB, model zonasi taman nasional dan model analisis keluaran zonasi taman nasional.
Tabel 1. Lanjutan Tabel 1 (lanjutan)
(Bersambung)
29
Bidang Ilmu Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Ilmu Lingkungan Rochtri Agung Bawono (2003)
Zonasi Kerawanan Terhadap Kerusakan dan Upaya Konservasi Situs Trowulan di Mojokerto Jawa Timur.
mengetahui upaya konservasi situs trowulan secara menyeluruh dengan orientasi kawasan berdasarkan konsep pemintakatan (zonasi) kerawanan situs dan pemberdayaan masyarakat terutama dari aktifitas perajin batubata yang dilaksanakan secara partisipatoris.
Skoring dan analisis Sistem Informasi Geografis.
1. Mengetahui pola sebaran temuan di situs trowulan dan pola ini menggambarkan adanya sistem pemerintahan yang sentralistis dan terpusat di pusat kota.
2. Membuat zonasi dengan tiga zona di kawasan penelitian yaitu zona kerawanan tinggi, sedang dan rendah.
Evi Aguswandi Harahap (2008)
Pendekatan Geoekosistem Untuk Zonasi Daerah Rawan Tsunami di Wilayah Kepesisiran Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.
1. Mengkaji zonasi daerah rawan bencana tsunami dengan pendekatan satuan geoekosistem.
2. Mengkaji kesesuaian RTRW Kabupaten Aceh Barat dengan zonasi daerah rawan bencana tsunami.
3. Mengkaji persepsi masyarakat tentang efektifitas rehabilitasi pembangunan permukiman kembali di wilayah kepesisiran yang terkena tsunami.
Metode survei dengan analisis kuantitatif, kualitatif dan analisis spasial.
1. Terdapat tiga zona (zona aman, zona rawan dan zona sangat rawan) di wilayah pesisir ini dan pembangunan di wilayah ini harus dibatasi dan struktur bangunan disesuaikan dengan kondisi yang ada.
2. RTRW sesuai dengan pendekatan satuan geoekosistem namun tidak dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
3. Masyarakat memiliki persepsi pembangunan permukiman kembali sangat efektif.
Tabel 1 (lanjutan)
(Bersambung)
30
Astekita Ardi Aristo (2012)
Evaluasi Lingkungan Zonasi Taman Nasional Teluk Cendrawasih Pada Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Rumberpon.
1. Meneliti kesesuaian zonasi Taman Nasional Teluk Cendrawasih terhadap kriteria pedoman zonasi taman nasional dari aspek lingkungan .
2. Membuat srategi pengelolaan lingkungan berdasarkan kajian kesesuaian tersebut.
Metode survei dengan unit zonasi untuk mengevaluasi kondisi lingkungan dan analisis kesesuaian dengan mencocokkan kondisi eksisting dengan kriteria zonasi taman nasional.
1. Diketahui zona eksisting yang sesuai dan tidak sesuai dengan kriteria pedoman zonasi taman nasional.
2. Mengusulkuan strategi pengelolaan lingkungan yaitu pengembangan sistem informasi, peningkatan perlindungan kawasan, penyadartahuan zonasi dan pengelolaan kolaboratif.
Ilmu Geografi Lili Somantri (2008) Pemanfaatan Citra Quickbird dan Sistem Informasi Geografis untuk Zonasi Kerentanan Kebakaran Permukiman Kasus di Kota Bandung Bagian Barat.
Memetakan zonasi tingkat kerentanan kebakaran permukiman dengan bantuan data dari citra quickbird Kota Bandung Bagian Barat dan sistem informasi geografi.
Interpretasi visual citra penginderaan jauh.
Mengetahui karakteristik permukiman yang rawan terhadap kebakaran.
Tabel 1 (lanjutan)
(Bersambung)
31
MODEL KONSEPTUAL
Suprajaka (1999) Model Konseptual Dukungan Data Digital Dalam Proses Pemantauan Perkembangan Kota Yogyakarta.
1. Mengidentifikasi indikator-indikator yang dipakai dalam pemantauan terhadap perkembangan kota.
2. Merumuskan Model Konseptual Dukungan Data Digital Dalam Proses Pemantauan Perkembangan Kota.
Pemodelan dengan teknik pengujian delphi konvensional.
Mengusulkan Model Konseptual Dukungan Data Digital Dalam Proses Pemantauan Perkembangan Kota yang dapat diterapkan dengan syarat data dan informasi dikelompokkan secara fungsional, yaitu data aspek manusia (human aspect), data infrastruktur, data sumber daya alam, data sumber dana dan data lain.
Agung Priyo Utomo (2005)
Model (Konseptual) Berbasis TI Untuk Memperlancar Dukungan Data BPS Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah di Bapeda Propinsi Studi Kasus Propinsi Daerah Istimewa Yogayakarta
Merumuskan dan membuat model konseptual yang dapat digunakan oleh Pemda Propinsi DIY di masa datang.
Rumusan model konseptual diuji dengan teknik delphi sebanyak tiga kali hingga dicapai konsensus.
Model (Konseptual) Berbasis TI Untuk Memperlancar Dukungan Data BPS Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah di Bapeda Propinsi DIY
Endinovelly (2006) Model Konseptual Web Badan Perencanaan Daerah Untuk Mewadahi Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Perencanaan Pembangunan Kasus Uji Model: Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Menyusun model konseptual web Bapeda yang dapat mewadahi partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan melalui teknologi informasi dan komunikasi di Provinsi DIY.
Model analisis deskriptif naratif dengan pendekatan rasionalistik dan uji model menggunakan teknik delphi.
Mengusulkan model konseptual web Bapeda yang merupakan integrasi tiga model, yaitu Model interaksi, Model pengelolaan dan Model tampilan situs web Bapeda.
Tabel 1 (lanjutan)
(Bersambung)
32
Muhammad Ridwan Somad (2006)
Model Konseptual Pengelolaan Air Kotor (Sewage) di Permukiman Padat Wilayah Perkotaan Kartamantul dari Aspek Kelestarian Lingkungan Studi Kasus di Kelurahan Sosromenduran Kec.Gedongtengen Kota Yogyakarta.
Mengusulkan Model Konseptual Pengelolaan Air Kotor (Sewage).
Mengusulkan Proposed Model untuk kawasan kota permukiman padat, kawasan pusat perdagangan dan jasa, kawasan sempadan sungai/pantai yang telah beralih fungsi, kawasan lahan yang memadai dan kawasan lahan pertanian dan dihrapkan model ini dapat menjadi solusi terhadap permasalahan lingkungan.
Mody Pustika Sinaga (2008)
Alternatif Model Konseptual Pengawasan Pemanfaatan Lahan Dalam Bidang Pengendalian Tata Guna Lahan di Kabupaten Sleman.
Merumuskan alternatif model konseptual pengawasan pemanfaatan lahan yang dapat direkomendasikan di masa yang akan datang guna meminimalisir penyimpangan tata guna lahan di Kabupaten Sleman Yogyakarta.
Metode kualitatif dengan teknik pengujian Forum Group Discussion (FGD) terhadap alternatif model yang diusulkan.
Mengusulkan Model Pengawasan Pemanfaatan Lahan yang melibatkan unsur eksternal (masyarakat, swasta, LSM dan lembaga pengawas independent ombudsman).
Tabel 1 (lanjutan)
33
1.6.6. Sistematika Isi Disertasi
Penulisan disertasi mengikuti sistematika sebagai berikut:
BAB I. PENDAHULUAN
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
BAB III. BEST PRACTICES DAN KOMPARASI ZONASI DI BEBERAPA
NEGARA
BAB IV. METODE DAN PROSES PENELITIAN
BAB V. KONSEP DAN SISTEM ZONASI DI INDONESIA SAAT INI
BAB VI. STRUKTUR PERMASALAHAN SISTEM ZONASI
6.1. Temuan Masalah
6.2. Daftar Permasalahan
6.3. Struktur Permasalahan
BAB VII. PENGEMBANGAN MODEL AWAL
7.1. Model Konseptual Eksisting
7.2. Asumsi Ruang Gerak Alternatif
7.3. Kerangka Solusi Terhadap Permasalahan Saat Ini
7.4. Model Awal
BAB VIII. PENGUJIAN MODEL
8.1. Pengujian Model Pertama (FGD 1)
8.2. Pengujian Model Kedua (FGD 2)
8.3. Model Akhir
BAB IX. PEMBAHASAN MODEL DAN SUMBANGAN TEORITIK
BAB X. KESIMPULAN DAN SARAN
top related