bab i pendahuluan a.latar belakang · 2018-08-16 · jaminan, yaitu terdiri atas jaminan utama,...
Post on 11-Apr-2019
222 Views
Preview:
TRANSCRIPT
12
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Selama kurun waktu satu dekade terakhir, perkembangan lembaga
pembiayaan di Indonesia melaju pesat. Hal ini juga dilatar belakangi oleh
pembangunan di bidang ekonomi yang berbanding lurus dengan meningkatnya
kebutuhan akan ketersediaan dana baik bagi orang perorangan maupun badan
hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa maupun untuk
maksud pengembangan usaha dalam peningkatan mutu produk oleh perusahaan.
Sebelumnya, lembaga perbankan merupakan lembaga keuangan yang
paling diandalkan oleh para debitur sebagai salah satu lembaga pemberi kredit
bagi para pihak yang membutuhkan dana. Namun dalam perkembangannya, Bank
yang selama ini sudah dikenal luas dikalangan masyarakat tidak dapat memenuhi
berbagai kebutuhan dana ditengah perkembangan masyarakat dengan lebih
optimal. Kesulitan masyarakat dalam mengakses dana dari Bank antara lain
disebabkan jangkauan penyebaran kredit yang belum merata, ketidak tersediaan
jaminan oleh debitur, serta standar prinsip kehati-hatian dalam dunia perbankan.
Dengan berbagai kesulitan tersebut, munculnya lembaga pembiayaan
sebagai lembaga keuangan non bank memberikan alternatif sumber dana bagi para
pihak yang membutuhkan ketersediaan dana, yang dalam istilah lembaga
pembiayaan disebut konsumen. Dikatakan sebagai sumber pembiayaan alternatif
13
karena diluar lembaga pembiayaan masih banyak lembaga keuangan lain yang
dapat memberikan bantuan dana, seperti pegadaian, pasar modal, bank dan
sebagainya. Namun demikian, keberadaan lembaga pembiayaan merupakan salah
satu pilihan yang potensial saat ini dan menjadi pertimbangan para pihak.
Di samping berperan sebagai sumber dana alternatif, lembaga pembiayaan
juga mempunyai peranan penting dalam hal pembangunan, yaitu menampung dan
menyalurkan aspirasi dan minat masyarakat untuk berperan aktif dalam
pembangunan. Aspirasi dan minat masyarakat dalam pembangunan (ekonomi) ini
bisa terwujud jika ada pihak yang memfasilitasinya. Lembaga pembiayaan sebagai
sumber pembiayaan dapat memberikan kontribusinya dalam bantuan dana guna
menumbuhkan dan mewujudkan aspirasi dan minat masyarakat tersebut. Dengan
bantuan dana dari lembaga pembiayaan, diharapkan masyarakat (pelaku usaha)
dapat mengatasi salah satu faktor krusial yang dialami yaitu faktor permodalan.1
Walaupun sama-sama bergerak di bidang keuangan dan memberikan
pinjaman kepada masyarakat , namun kedua lembaga ini tidaklah sama. Bank
mengambil dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan
(tabungan) dan menyalurkan kembali pada masyarakat dalam bentuk pinjaman.
Sementara, lembaga pembiayaan tidak menghimpun dana secara langsung dari
masyarakat serta pinjaman yang diberikan tidak berbentuk dana tunai (cash) tapi
berupa pembiayan (pelunasan terlebih dahulu kepada supplier) atas pembelian
1 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.3
14
barang-barang yang dibutuhkan oleh Konsumen yang biasanya berupa barang-
barang bergerak.
Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009
tentang Lembaga Pembiayaan, dirumuskan pengertian lembaga pembiayaan
adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiaayaan dalam bentuk
penyediaan dana atau barang modal. Perusahaan Pembiayaan menurut Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan
adalah badan usaha diluar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus
didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga
Pembiayaan. Lembaga Pembiayaan meliputi:
1. Perusahaan Pembiayaan;
2. Perusahaan Modal Ventura;
3. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur
Sedangkan kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi :
1. Sewa Guna Usaha;
2. Anjak Piutang;
3. Usaha Kartu Kredit; dan atau
4. Pembiayaan Konsumen
Salah satu bentuk kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan yang popular
belakangan ini adalah Perusahaan Pembiayaan Konsumen yang melakukan
kegiatan pembiayaan konsumen. Kegiatan pembiayaan konsumen tumbuh dan
15
berkembang di Indonesia seiring dengan dikeluarkannya pranata hukum berupa
Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 yang kemudian dicabut dengan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga
Pembiayaan. Pertumbuhan bisnis pembiayaan konsumen ini berkembang dengan
pesat yang sekaligus menunjukkan tingginya minat masyarakat untuk membeli
barang-barang dengan cara cicilan atau angsuran sebagaimana mekanisme
kegiatan usaha pada lembaga pembiayaan konsumen. Hal ini dapat dilihat melalui
Tabel Perkembangan Industri Pembiayaan pada Bapepam LK yang menunjukkan
perkembangan industry pembiayaan yang selalu meningkat dari tahun ke tahun
mulai dari 2007 hingga 2011.
Tabel 1
Perkembangan Industri Pembiayaan
Keterangan 2007 2008 2009 2010 2011
Jumlah Perusahaan 217 212 198 192 195
Total Aset 127 168 174 230 291
Jumlah Kontrak 6.722.988 8.748.617 12.527.581 15.281.581 18.123.165Piutang Pembiayaan(Rp Triliun) 107,7 137,2 142,5 186,4 245,3Laba (Rugi) Tahun Berjalan(Rp Triliun) 4,4 6,4 7,8 8,9 9,1Penyaluran Pembiayaan(Rp Triliun) 45,7 58,9 56,2 81,6 98,9
Jumlah Tenaga Kerja 92.384 104.58 115.151 147.594 176.814Sumber : Factbook Bapepam-LK
Dalam bahasa inggris istilah Pembiayaan konsumen disebut consumer
finance. Pembiayaan konsumen ini pada hakikatnya sama saja dengan kredit
konsumen (consumer credit). Bedanya hanya terletak pada lembaga yang
16
membiayainya. Pembiayaan konsumen biaya diberikan oleh perusahaan
pembiayaan (financing company), sedangkan kredit konsumen biaya diberikan
oleh Bank. Di Inggris, kredit konsumen ini telah diatur dalam undang-undang
tersendiri yaitu dalam Undang-Undang Kredit Konsumen (Consumen Credit Act,
1974).2
Dalam kegiatannya, perusahaan pembiayaan konsumen melakukan
pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan
system pembayaran angsuran ataupun pembayaran secara berkala oleh konsumen.
Menurut Pasal 1 angka (6) Perpres Nomor 9 Tahun 2009, Pembiayaan Konsumen
(Consumer Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang
berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran angsuran. Dengan
demikian unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian pembiayaan konsumen
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Subjek, adalah pihak yang terkait dalam hubungan hukum pembiayaankonsumen yaitu perusahaan pembiayaan konsumen (kreditor), konsumen(debitur) dan penyedia barang (pemasok, supplier)
b. Objek, adalah barang bergerak keperluan konsumen yang akan dipakai untukkeperluan hidup atau keperluan rumah tangga, misalnya televisi, kulkas,mesin cuci, alat-alat dapur, perabot rumah tangga, kendaraan.
c. Perjanjian, yaitu perbuatan persetujuan pembiayaan yang diadakan antaraperusahaan pembiayaan konsumen dan konsumen, serta jual beli antarapemasok dan konsumen. Perjanjian ini didukung oleh dokumen-dokumen.
d. Hubungan hak dan kewajiban, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen wajibmembiayai harga pembelian barang yang diperlukan konsumen danmembayarnya secara tunai kepada pemasok. Konsumen wajib membayarsecara angsuran kepada perusahaan pembiayaan konsumen, dan pemasokwajib menyerahkan barang kepada konsumen.
2 Sunaryo, op.cit, hlm. 96
17
e. Jaminan, yaitu terdiri atas jaminan utama, jaminan pokok dan jaminantambahan. Jaminan utama berupa kepercayaan terhadap konsumen (debitur)bahwa konsumen dapat dipercaya untuk membayar angsurannya sampaiselesai. Jaminan pokok secara fidusia berupa barang yang dibiayai olehperusahaan pembiayaan konsumen dimana semua dokumen kepemilikanbarang dikuasai oleh perusahaan pembiayaan konsumen (fiduciary transfer ofownership) sampai angsuran terakhir dilunasi. Adapun jamina tambahanberupa pengauan utang (promissory notes) dari konsumen.3
Sebagai salah satu bentuk usaha dari lembaga pembiayaan, lembaga
pembiayaan konsumen pada dasarnya tidak menekankan pada aspek jaminan
(collateral). Namun karena pembiayaan konsumen merupakan lembaga bisnis,
maka dalam kegiatan pembiayaan perusahaan pembiayaan konsumen tidak bisa
steril dari unsur resiko. Oleh karena itu dalam praktek perusahaan pembiayaan
konsumen akan meminta jaminan tertentu guna mengamankan pembiayaan yang
diberikan.4
Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Pebruari 1991 tentang Jaminan Pemberian
Kredit menyatakan bahwa Jaminan adalah suatu keyakinan Bank atas
kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai yang diperjanjikan. Keberadaan
jaminan sesungguhnya merupakan prasyarat untuk memperkecil resiko kreditur
dalam penyaluran kredit. Sebagai langkah antisipatif dalam menarik kembali
kredit atau pembiayaan yang telah diberikan kepada debitur, jaminan hendaknya
memenuhi dua unsur yaitu :
3Abdul Kadir Muhammad dan Rilda Murniati, Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, (Bandung;Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 246.
4 Sunaryo, op.cit., hlm. 105.
18
1. Secured, artinya jaminan kredit dapat diadakan pengikatan secara yuridisformal sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan. Jikakemudian hari terjadi wanprestasi dari debitur maka Bank memiliki kekuatanyuridis untuk melakukan tindakan eksekusi.
2. Marketable, artinya jaminan tersebut bila hendak dieksekusi dapat segeradijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitur.5
Sebagaimana jaminan kredit pada umumnya, pada prinsipnya jaminan
yang terdapat pada lembaga pembiayaan konsumen adalah sama dengan jaminan
kredit pada lembaga perbankan yang biasanya terdiri dari jaminan utama, jaminan
pokok dan jaminan tambahan. Jaminan utama merupakan kepercayaan dari
perusahaan pembiayaan yang bersangkutan kepada konsumen berdasarkan prinsip
the 5C’s bahwa konsumen dapat dipercaya dan sanggup membayar secara berkala
atau dengan kata lain dapat mengembalikan seluruh pembiayaan yang telah
diterimanya dalam jangka waktu yang telah disepakati bersama. Disamping itu,
untuk lebih mengamankan dana yang telah diberikan kepada konsumen,
perusahaan pembiayaan konsumen juga akan meminta jaminan pokok yang berupa
barang yang dibeli dengan dana yang berasal dari perusahaan pembiayaan yang
biasanya berupa barang-barang bergerak seperti motor, mobil dan sebagainya.
Untuk jaminan tambahan pada perusahaan pembiayaan tidaklah seketat pada
lembaga perbankan yang lazimnya bisa berupa surat pengakuan utang atau
mengikutkan persetujuan suami/isteri.
5 Johannes Ibrahim, Cross Refault & Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian KreditBermasalah, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm.71
19
Pembebanan jaminan kebendaan sebagai jaminan pokok dalam lembaga
pembiayaan konsumen tersebut dibuat dalam bentuk fiduciary transfer of
ownership atau yang lebih popular dengan istilah fidusia. Istilah fidusia berasal
dari bahasa belanda yaitu “fiducie” sedangkan dalam bahasa inggris disebut
“fiduciary transfer of ownership” yang artinya kepercayaan. Didalam berbagai
literature, fidusia lazim disebut dengan istilah “eigendom overdracht” (FEO),
yaitu penyerahan hak milik berdasarkan atas kepercayaan.6
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia dirumuskan pengertian Fidusia sebagai pengalihan hak
kepemilikan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya dialihkan
tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Dari rumusan tersebut terlihat
terlihat adanya dua unsur yang khas dalam jaminan fidusia yaitu :
1. Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan.
2. Benda yang dialihkan hak kepemilikannya tetap dalam penguasaan pemilik
benda.
Doktrin para sarjana mengemukakan bahwa dalam fidusia, pengalihan
hak milik atas dasar kepercayaan tidak benar-benar menjadikan kreditur sebagai
pemilik atas benda yang telah dijaminkan tetapi hanya memberikan hak jaminan
saja pada kreditur sebagaimana tujuan dari pengalihan tersebut tidak lain hanyalah
6 H.Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia,(Jakarta: PT. Grafindo Persada,2004), hlm. 55
20
untuk memberikan jaminan atas suatu pemenuhan hak tagihan atas eksekusi
terhadap jaminan.7
Selanjutnya secara yuridis hak terhadap benda tersebut telah diserahkan,
namun pemberi jaminan masih mempunyai hak untuk menikmati atau
memanfaatkan benda yang telah dibebani jaminan tersebut meskipun dengan
sendirinya atas hak yang diserahkan tersebut bukan hak kepemilikan suatu benda
sepenuhnya, melainkan hak milik terhadap jaminan atas benda tersebut. Dalam
prosedur pemberian jaminan secara fidusia oleh perusahaan pembiayaan
konsumen, pihak konsumen terlebih dahulu mengajukan permohonan pembiayaan
kepada lembaga pembiayaan yang bersangkutan. Apabila permohonan tesebut
disetujui oleh perusahaan pembiayaan, selanjutnya perusahaan mengambil alih
atau memiliki kewajiban untuk memberikan sejumlah unag yang telah ditentukan
jumlahnya kepada supplier atau delaer sebagai pelunasan atas barang yang dibeli
oleh konsumen. Selanjutnya dengan pengikatan jaminan secara fidusia atas barang
yang telah “dibelikan” oleh perusahaan, konsumen berkewajiban untuk melunasi
pembiayaan tersebut secara angsuran kepada perusahaan.
Pada fidusia, terjadi pengalihan hak kepemilikan atas benda yang
dijaminkan atas dasar kepercayaan dengan kondisi bahwa benda yang hak
kepemilikannya dialihhkan tetap berada dalam penguasaan sipemberi fidusia
(debitur). Bukti hak kepemilikan atas benda jaminan diserahkan kepada kreditur
7 H. Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, (Bandung; Alumni,2004), hlm. 190.
21
pemegang jaminan namun kedudukan atas benda yang dijaminkan tetap berada di
tangan debitur pemilik benda. Hal ini juga berarti bahwa kewenangan untuk
mengambil manfaat atas benda yang dijaminkan tetap dimiliki oleh debitur.
Sebagai penerima fidusia, lembaga pembiayaan selaku kreditur adalah
orang yang memiliki kepentingan atas barang jaminan sehingga meskipun
kewenangan atas barang jaminan itu tetap berada di pihak konsumen, secara
teoritis pihak kreditur sepatutnya mempunyai hak untuk melakukan pengawasan
atas barang jaminan tersebut, meskipun dalam prakteknya sangat sulit bagi
kreditur seperti Lembaga Perbankan atau Lembaga Pembiayaan lainnya yang
memiliki debitur relatif banyak untuk dapat mengawasi satu persatu barang
jaminan.
Dalam hal suatu benda dijaminkan dengan jaminan fidusia maka harus
didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Perbuatan hukum yang melahirkan
jaminan fidusia adalah pendaftarannya dalam Buku Daftar Fidusia. Permohonan
pendaftaran fidusia ini dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa/wakilnya dengan
melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia kepada Kantor Wilayah
Kementrian Hukum dan Hak Azasi Manusia pada wilayah kerja masing-masing
daerah provinsi sebagai Kantor Pendaftaran Fidusia ditunjuk.
Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Direktorat Jenderal Administrasi
Hukum Umum Nomor AHU 06.OT.03.01 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan
Sistem Admnistrasi Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik (Online
22
System) tertanggal 05 Maret 2013, Kantor Pendaftaran Fidusia di seluruh
Indonesia dalam menjalankan tugas dan fungsinya tidak lagi menerima
permohonan pendaftaran jaminan fidusia secara manual dan turut
meninformasikan kepada pemohon untuk melakukan permohonan pendaftaran
jaminan fidusia secara elektronik atau dengan sistem online. Pengumuman
pemberlakuan sistem administrasi pendaftaran jaminan fidusia secara elektronik
pada seluruh Kantor Pendaftaran Fidusia yang secara resmi dilakukan pada
tanggal 05 Maret 2013 melalui media televisi ini diharapkan memberikan dampak
positif terutama dalam hal efektifitas dan efisiensi baik dalam hal waktu, tenaga
serta biaya yang dikeluarkan dalam rangka memenuhi syarat pendaftaran dalam
pembebanan jaminan secara fidusia.
Pendaftaran Jaminan Fidusia bertujuan untuk memenuhi asas publisitas
agar masyarakat dapat mengakses informasi dan mengetahui adanya dan keadaan
benda yang merupakan objek fidusia. Juga, untuk memberikan kepastian terhadap
kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani dengan jaminan fidusia, hal
ini mencegah terjadinya fidusia ulang sebagaimana yang dilarang Pasal 17
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.8
Namun dalam aplikasinya dalam praktek pada perusahaan pembiayaan
selaku pelaku usaha tidak semua jaminan fidusia tersebut didaftarkan pada kantor
pendaftaran fidusia. Padahal, pendaftaran jaminan fidusia yang melahirkan
8Oey Hoey Tiong, Fidusia sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, (Jakarta: Penerbit GhaliaIndonesia, 1983), hlm. 5.
23
Sertipikat Fidusia merupakan alas hak yang kuat bagi pelaku usaha untuk
“menguasai” objek jaminan dalam hal terjadinya wanprestasi. Dengan alas hak
yang kuat tentu saja juga bisa melindungi perusahaan pembiayaan sebagai pelaku
usaha dari akal muslihat konsumen-konsumen nakal yang beritikad tidak baik
dalam melangsungkan perjanjian pembiayaan.
Dalam prakteknya, biasanya perusahaan pembiayaan telah
mempersiapkan dokumen-dokumen pendukung untuk pengikatan pembiayaan
dengan pembebanan jaminan secara fidusia yang merupakan accesoir (perjanjian
tambahan/ikutan) dari perjanjian pembiayan kendaraan bermotor sebagai
perjanjian pokok konsumen dengan perusahaan pembiayaan. Dokumen-dokumen
tersebut baik berupa perjanjian pembiayaan konsumen sebagai perjanjian pokok
maupun perjanjian pembebanan jaminan secara fidusia sebagai perjanjian ikutan
telah dibuat dan disediakan oleh perusahaan pembiayaan dalam bentuk perjanjian
dengan klausula baku. Dikatakan bersifat baku karena baik perjanjian maupun
klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-
tawar oleh pihak lainnya. Take it or Leave it. Tidak adanya pilihan bagi salah satu
pihak dalam perjanjian ini, cenderung merugikan pihak yang kurang dominan
tersebut. Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang berlaku di negara
Indonesia saat ini jelas tidaklah mudah bagi pihak yang cenderung dirugikan
tersebut untuk membuktikan tidak adanya kesepakatan pada saat dibuatnya
24
perjanjian baku tersebut, atau atas klausula baku yang termuat dalam perjanjian
yang ada.9
Menurut Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, Klausula
Baku merupakan setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan
wajib dipenuhi oleh konsumen. Ketentuan-ketentuan didalam suatu klausula baku
telah ada dan dipersiapkan terlebih dahulu oleh pelaku usaha tanpa campur tangan
konsumen sehingga tidak jarang ketentuan didalamnya tidak mengakomodir
kepentingan konsumen dengan seksama dan cenderung berat sebelah. Kita tidak
menampik bahwa tidak jarang Pelaku Usaha, termasuk juga Perusahaan
Pembiayaan Konsumen juga kerap dirugikan oleh ulah-ulah konsumen. Berbagai
modus dan tipu muslihat para konsumen nakal mulai identitas ataupun data-data
palsu hingga penjualan atas bagian-bagian atau spare part kendaraan yang masih
menjadi objek jaminan secara terpisah demi keuntungan pribadi dan sebagainya.
Namun di sisi lain kita juga mengakui bahwa bargaining position konsumen pada
prakteknya berada dibawah pelaku usaha.
Dalam rangka melindungi kedudukan konsumen yang cenderung lemah
sebagai salah satu hal mendasar dalam rangka mewujudkan perlindungan terhadap
konsumen, maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen merasakan perlunya
9Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta; GramediaPustaka Utama, 2001), hlm.53.
25
pengaturan mengenai ketentuan perjanjian baku dan/atau pencantuman klausula
baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha. 10
Dalam hal kesepakatan yang dibuat para pihak telah dituangkan dalam suatu
klausula baku atau dikenal juga dengan nama Perjanjian Standar, maka harus
memperhatikan ketentuan pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
mengenai larangan pencantuman Klausula Eksonerasi.
Dengan berbagai kelebihan dan kemudahan yang ditawarkannya sebagai
alternatif sumber dana yang meringankan beban konsumen akan ketersediaan
dana, lembaga pembiayaan konsumen selaku lembaga keuangan yang sedang dan
akan terus berkembang tentu saja tidak terlepas dari kelemahan dan kekurangan
yang akan terus dibenahinya seiring dengan eksistensinya sebagai salah satu
lembaga keuangan vital di Indonesia. Berdasarkan uraian diatas, Penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dalam tesis ini dengan judul : “PEMBEBANAN
JAMINAN FIDUSIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN
KONSUMEN (STUDI PADA PT. MEGA AUTO CENTRAL FINANCE
CABANG PAYAKUMBUH)”
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas dapat dirumuskan
permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :
10 Ibid., hlm.54.
26
1. Bagaimanakah proses pengikatan dan pendaftaran jaminan fidusia pada PT.
Mega Auto Central Finance cabang Payakumbuh setelah diberlakukannya
sistem administrasi pendaftaran fidusia secara elektronik?
2. Bagaimanakah perlindungan konsumen dan pelaku usaha dalam jaminan
fidusia pada PT. Mega Auto Central Finance Cabang Payakumbuh?
C.Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan pada Kepustakaan Universitas
Andalas, beberapa judul penelitian berikut ini juga telah membahas mengenai
pembebanan jaminan secara fidusia yaitu :
1.Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan (Studi Pada
PT. Adira Cabang Padang) oleh Meuthia Anwar, Program Pasca Sarjana,
Studi Magister Kenotariatan, Universitas Andalas, Tahun 2012, yang
merumuskan permasalahan mengenai bagaimana pelaksanaan pembebanan
Jaminan Fidusia pada PT. Adira Dinamika Multifinance Cabang Padang 2
serta bagaimana pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia yang tidak
didaftarkan pada PT. Adira Dinamika Cabang Padang 2.
2.Penyelesaian Wan Prestasi dalam Perjanjiaan Jual Beli Mobil Secara Kredit
Dengan Jaminan Fidusia Pada PT. Astra Credit Companies oleh Masfar,
Program Pasca Sarjana, Studi Magister Kenotariatan, Universitas Andalas,
Tahun 2013 yang merumuskan permasalahan mengenai bagaimana
pelaksanaan perjanjian Jual Beli Mobil secara kredit pada PT. Astra Credit
27
Companies serta proses/cara penyelesaian debitur melakukann wanprestasi
di PT. Astra Credit Companies.
Berbeda denga kedua tesis di atas, dalam penelitian ini akan memaparkan
mengenai pelaksanaan pembebanan jaminan secara fidusia setelah
diberlakukannya ketentuan mengenai pendaftaran fidusia secara elektronik serta
melihat praktek pembebanan jaminan fidusia dalam kaitannya dengan Undang-
Undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
D.Tujuan Penelitian
Disamping untuk memenuhi persyaratan akademik dalam rangka
menyelesaikan pendidikan serta menyandang gelar akademik Magister
Kenotariatan (MKn), tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimanakah proses pengikatan dan pendaftaran jaminan
fidusia pada PT. Mega Auto Central Finance cabang Payakumbuh setelah
diberlakukannya sistem administrasi pendaftaran fidusia secara elektronik.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan konsumen dan pelaku usaha
dalam perjanjian fidusia pada PT. Mega Auto Central Finance cabang
Payakumbuh.
E. Manfaat Penelitian
Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
Pemerintah, dunia usaha, keilmuan, masyarakat luas dan juga terhadap penulis
sendiri. Adapun manfaat tersebut antara lain sebagai berikut :
28
1. Manfaat Teoritis
Disamping menambah ilmu pengetahuan di bidang hukum jaminan dan
perlindungan konsumen, bagi Penulis sendiri penelitian dalam rangka
penulisan tesis ini terutama sekali merupakan pemenuhan kewajiban
akademis pada program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Andalas.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan dunia usaha untuk
menciptakan keseimbangan dan kesinambungan antara peraturan
perundang-undangan dengan efektifitas penerapannya di lapangan guna
kemanfaatan bagi semua pihak baik pemerintah, pelaku usaha dan
konsumen.
b. Sebagai suatu sarana pemberi informasi kepada masyarakat selaku
konsumen akan pentingnya pengetahuan dan kesadaran akan hak dan
kewajiban sebagai konsumen.
F. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Pembebanan Jaminan Fidusia pada dasarnya merupakan suatu
perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak untuk menjamin
pelunasan utang tertentu. Sebagai bagian dari perjanjian pelaksanaan jaminan
fidusia tidak terlepas dari asas-asas perjanjian yang berlaku secara universal
dan dianut oleh Kitab Undang Undang Hukum Perdata Indonesia. Berkaitan
29
dengan hal tersebut kerangka teori yang digunakan pada penulisan tesis ini
adalah:
a. Teori Jaminan Fidusia
Secara yuridis, dalam ketentuan umum Undang-Undang Jaminan
Fidusia, pasal 1 ayat (1) dapat kita ketahui konsepsi mengenai fidusia
adalah: pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan
tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Dilihat dari konsepsi
tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam fidusia terkandung unsur pokok
yaitu :
1. Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan;
Doktrin para sarjana mengemukakan bahwa dalam Fidusia,
“pengalihan hak milik atas dasar kepercayaan”, tidak benar-benar
menjadikan kreditur sebagai pemilik atas benda yang telah
dijaminkan, tetapi hanya memberikan hak jaminan saja pada kreditur
sebagaimana tujuan dari kata “pengalihan” tersebut tidak lain
hanyalah untuk memberikan jaminan atas suatu pemenuhan hak
tagihan atas eksekusi terhadap jaminan.11
2. Benda yang hak kepemilikannya dialihkan itu tetap berada dalam
penguasaan pemilik benda.
11 H.Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, (Bandung; Alumni, 2004), hlm. 190
30
Dalam fidusia, terjadi pengalihan hak kepemilikan atas benda
yang dijaminkan atas dasar kepercayaan dengan kondisi bahwa benda
yang hak kepemilikannya dialihhkan tetap berada dalam penguasaan
sipemberi fidusia (debitur). Bukti hak kepemilikan atas benda jaminan
diserahkan kepada kreditur pemegang jaminan namun kedudukan atas
benda yang dijaminkan tetap berada di tangan debitur pemilik benda.
Hal ini juga berarti bahwa kewenangan untuk mengambil manfaat atas
benda yang dijaminkan tetap dimiliki oleh debitur.
Praktek jaminan fidusia telah lama dikenal sebagai salah satu
instrument jaminan kebendaan bergerak yang bersifat non-possessory,
berbeda dengan jaminan kebendaan yang bersifat possessory seperti gadai,
jaminan fidusia memungkinkan pihak debitur sebagai pemberi jaminan
untuk tetap menguasai dan mengambil manfaat atas benda bergerak yang
telah dijaminkan tersebut.
b. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak mengandung makna bahwa setiap
orang memiliki kebebasan untuk mengadakan perjanjian apa saja baik
sudah ataupun belum diatur oleh Undang-Undang, bebas untuk tidak
melakukan perjanjian, bebas untuk melakukan perjanjian dengan siapapun
serta bebas untuk menentukan isi, syarat dan bentuk perjanjian.
31
Keberadaan asas ini disandarkan pada Pasal 1338 KUHPerdata bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya dengan batasan ketentuan Pasal
1337KUHPerdata asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang,
kesusilaan baik dan ketertiban umum.
Sebagai salah satu wujud asas kebebasan berkontrak muncul
berbagai jenis perjanjian yang untuk menjawab kebutuhan ditengah
masyarakat. Standard Contract merupakan salah satu bentuk perjanjian
yang diatur diluar KUHPerdata yang tumbuh seiring perkembangan dalam
dunia bisnis untuk alasan efisiensi dan kepraktisan. Meskipun secara
substansial salah satu pihak dalam perjanjian tidak ikut merumuskan isi
dan syarat perjanjian yang telah dibuat secara sepihak, namun Ia masih
memiliki p-ilihan untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian
tersebut (take it or leave it). Dalam praktek penggunaan klausula baku
dalam standard contract pada dunia usaha sering kali merugikan
konsumen atas ketentuan-ketentuan yang dibuat sepihak dan hanya
memperhatikan kepentingan pelaku usaha tanpa adanya kesempatan
bernegosiasi lagi terhadap isi dan syarat perjanjian. Untuk mengimbangi
hal tersebut maka dibentuklah Undang-Undang Perlindungan Konsumen
yang akan memayungi hubungan antara konsumen dan pelaku usaha
dalam rangka pemanfaatan barang dan atau jasa bagi keduanya.
c. Azas Keseimbangan
32
Salah satu asas dalam penegakan hukum perlindungan konsumen
yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
adalah azas keseimbangan. Dalam azas ini jelas-jelas mengedepankan
keseimbangan kedudukan baik hak dan kewajiban serta tanggung jawab
antara konsumen dan pelaku usaha. Segala ketentuan baik berupa
tindakan, kebijakan maupun penyelesaian sengketa antara para pihak
hendaklah memperhatikan azas keseimbangan antara konsumen dan
pelaku usaha. Segala stigma mengenai lemahnya posisi konsumen atau
kegiatan pelaku usaha yang hanya mengedapankan keuntungan semata
tidak boleh menjadi pembenaran yang akhirnya akan memunculkan
keberpihakan pada salah satu pihak dan kesewenangan kepada pihak lain.
Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang ini juga secara tegas mengatakan
bahwa asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti
materiil ataupun spiritual.
Disamping dalam penegakan hukum perlindungan konsumen
tersebut, jika dikaitkan dengan asas dalam hukum perjanjian, asas
keseimbangan dalam perjanjian menghendaki keseimbangan antara para
pihak dalam perjanjian untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian
yang telah mereka sepakati dengan itikad baik untuk saling memenuhi
prestasi sebagaimana isi perjanjian yang telah dibuat.
2. Kerangka Konseptual
33
Beberapa konsep dasar yang digunakan dalam tesis ini antara lain :
a. Pembebanan adalah perbuatan (hal, cara dan sebagainya) membebani atau
membebankan
b. Pengikatan adalah perbuatan untuk melangsungkan perjanjian
c. Perseptif adalah tanggapan langsung dari sesuatu, mempunyai kesadaran
yang tajam, tajam tilik, berhubungan dengan pengertian.
d. Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
e. Jaminan adalah suatu keyakinan Bank atas kesanggupan debitur untuk
melunasi kredit sesuai yang diperjanjikan.
f. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya
dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
g. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi
Fidusia,sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor
lainnya.
34
h. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal.
i. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk
melakukan sewa guna usaha, anjak piutang, pembiayaan konsumen
dan/atau usaha kartu kredit.
j. Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah kegiatan pembiayaan
untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan
pembayaran secara angsuran.
k. Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberikan perlindungan konsumen.
l. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.
m. Pelaku Usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
G.Metode Penelitian
Fungsi metode penelitian adalah alat untuk mengetahui sesuatu masalah
yang akan diteliti, baik ilmu-ilmu sosial, ilmu hukum maupun ilmu lainnya. Oleh
35
karena itu objek dan macam-macam penelitian yang akan menentukan fungsi
suatu penelitian.12
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka metode
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis
empiris, yaitu penelitian yang disusun berdasarkan fakta-fakta yang
ditemukan di lapangan dikaitkan dengan kaidah hukum positif yang berlaku.
Dengan pendekatan tersebut dilakukan jenis penelitian deskriptif analitis yang
bertujuan untuk menggambarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum
positif yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
2. Sumber dan Jenis Data
Secara umum jenis data yang diperlukan dalam suatu penelitian hukum
terarah pada penelitian data sekunder dan data primer.13
Dalam penelitian ini, adapun sumber dan jenis data yang digunakan adalah :
a. Data Primer
Data Primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari sampel
dan responden melalui metode wawancara. Berkaitan dengan
permasalahan yang hendak dirumuskan sebelumnya maka wawancara
dalam rangka pengumpulan data dilakukan terhadap konsumen dan pihak
12 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 2113 Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, (Padang; Program Studi Magister Hukum,
Program Pasca Sarjana Universitas Andalas, 2009), hlm. 6.
36
perusahaan pembiayaan selaku para pihak dalam perjanjian serta notaris
selaku pejabat umum yang berwenang dalam membuat akta otentik.
b. Data Sekunder
Untuk melengkapi data primer juga dibutuhkan data sekunder yang
diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research). Penelitian
kepustakaan ini bertujuan untuk mengkaji, meneliti dan menelusuri data-
data sekunder mencakup bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum
yang mengikat dan bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer serta bahan hukum tersier yakni yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan bahan hukum tersier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
i. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang memiliki
kekuatan mengikat secara yuridis, yaitu:
a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
c. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
Fidusia
d. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
84/PMK.012/2006
37
e. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009
tentang Lembaga Pembiayaan
f. Surat Edaran Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum
Nomor AHU-06.OT.03.01 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan
Sistem Administrasi Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara
Elektronik (Online System)
ii. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu berupa:
a. Dokumen-dokumen yang mendukung segala perjanjian
pembiayaan dan pengikatan jaminan fidusia oleh lembaga
pembiayaan konsumen;
b. Literatur dan kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan
dalam penelitian ini.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Metode yang dilakukan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
dengan:
a. Pengumpulan Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara, yaitu suatu
metode pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan langsung
38
kepada Pimpinan PT. Mega Auto Central Finance Cabang Payakumbuh
atau yang mewakilinya, konsumen, dan Notaris.
b. Pengumpulan Data Sekunder
Cara pengumpulan data sekunder menyangkut bahan hukm primer,
sekunder dan tersier dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library
research), yaitu dengan mempelajari dan meneliti dokumen-dokumen
yang ada baik berupa buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-
undangan dan bahan penelitian lainnya yang berkaitan dengan penelitian.
4. Tekhnik Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif normatif yakni analisis yang dipakai
tanpa menggunakan angka maupun rumusan statistika dan matematika artinya
artinya data yang diperoleh dalam penelitian akan disajikan dalam bentuk
uraian, dimana hasil analisis akan dipaparkan secara deskriptif dengan harapan
dapat menggambarkan secara jelas mengenai pelaksanaan jaminan fidusia
pada lembaga pembiayaan dikaitkan dengan Undang-Undang Nomad 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
top related