bab i pendahuluan a. latar belakang...
Post on 16-Mar-2019
212 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
Bab I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengelolaan sumber daya pertambangan menjadi aspek penting penyokong pembangunan
daerah. Sektorpertambangan diyakini berpotensi unggul dan bernilai ganda dimana kehadirannya
dapat memberikan kontribusi positif baik secara finansial, penyerapan tenaga kerja lokal,
penanggulangan kemiskinan maupun efek positif lainnya yang dimungkinkan dapat terjadi. Oleh
karena itu, sektor pertambangan dijadikan sebagai salah satu sektor prioritas potensi daerah yang
dikelola untuk mendukungpelaksanaan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Paradoks dengan statement diatas kasus-kasus pertambangan di tanah air justru
memperlihatkan minimnya perhatian perusahaan terhadap perbaikan kesejahteraan dan
pengurangan kemiskinan masyarakat daerah. Fenomena yang terlihat hadirnya sektor
pertambangan justru dimanfaatkan oleh negara (pemerintah daerah-desa) dan elit-elit lokal
lainnya sebagai instrumen politik dan ekonomi. Sebaliknya negara dimanfaatkan sebagai alat
kapital pemberi konsesi-konsesi untuk eksploitasi pertambangan. Oleh karenanya keberadaan
sektor pertambangan hampir tidak memberikan manfaat yang signifikan terhadap pembangunan
dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa penduduk di daerah eksplorasi industri
pertambangan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia hidup dalam kemiskinan.
Meskipun tidak ada data statistik yang akurat, tapi dari berbagai survei dapat diperkirakan bahwa
jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2009 sekitar 17 persen, dan penduduk miskin yang
tinggal di wilayah pertambangan mencapai lebih dari 25 persen. Bahkan, misalnya PT. Newmont
Nusa Tenggara, sekalipun menempati urutan pertama penyumbang terbesar bagi PDRB NTB,
pada kenyataannya jumlah angka kemiskinan termasuk yang ada di daerah eksplorasi industri
pertambangan atau lingkar tambang Batu Hijau di Kecamatan Sekongkang, masih sangat tinggi.
Di Kecamatan Sekongkang, terdapat sedikitnya 565 kepala keluarga (KK) miskin atau
sekitar 29,4 persen dari 1.887 KK. Di Kecamatan Maluk, ada 452 kepala keluarga miskin atau
xvii
16,83 persen dari 2.743 KK. Di Kecamatan Jereweh, terdapat sedikitnya 552 KK miskin atau
23,04 persen dari 2.206 KK. Sementara total KK miskin di KSB mencapai 5.645 KK atau 19,46
persen dari total jumlah KK yang bermukim di KSB (n.d., Kompasiana.com, 21 Maret 2011).
Tingginya angka kemiskinan di wilayah kerja industri pertambangan itu merupakan
sebuah ironi. Dikarenakan masyarakat yang berada di sekitar lingkungan tambang berada dalam
posisi yang selalu dirugikan atas aktivitas pertambangan. Masyarakat lingkar tambang
dihadapkan pada situasi yang ironis. Mereka lahir dan besar di kawasan operasi perusahaan, tapi
hanya menjadi budak dan kuli bangunan, mengais rejeki dan bertahan hidup dari limbah-limbah
perusahaan. Tidak hanya itu mereka juga harus menanggung dan menikmati kerusakan limbah
perusahaan yang mengancam masa depan generasi selanjutnya (Aperiansyani, N 2012, h: 3).
Narasi tersebut memberikan gambaran terang bahwa masyarakat lingkar tambang
menjadi korban yang dibenarkan atas nama pembangunan. Persoalan kemiskinan dan kelangkaan
ekologi bagi banyak pihak menjadi sebuah bencana besar. Tapi dilain pihak persoalan
kelangkaan dan kemiskinan justru digadaikan atas nama kepentingan ekonomi. Bagi para
penganut paham ekonomi liberal, misalnya kelangkaan adalah aspek penting bagi bekerjanya
ekonomi. Dalam konteks ini kerusakan lingkungan dan kemiskinan menjadi komoditi yang harus
dimaanfaatkan semaksimal mungkin.
Tidak mengherankan jika proses ekspansi pertambangan dapat berjalan dengan mulus
dikarenakan adanya keterbukaan sikap dari aktor-aktor negara baik pemerintah pusat hingga
pemerintah daerah yang dengan gamblangmemberikan dukungan secara administratif dan politik
guna memperlancar proses penjarahan. Di level lokal, kini banyak pemerintah daerah yang
membuka diri lebar-lebar terhadap investasi dari luar untuk mendongkrang pendapatan daerah.
Dengan berbekal argumentasi otonomi daerah, kini semakin banyak pemerintah daerah yang
mengembangkan kebijakan pengelolaan pertambangan yang ramah terhadap pelaku pasar. Proses
yang dijalankan memang bervariasi. Ada yang melalui kerjasama, utang bersyarat,
ataupuninvestasi bersyarat. Umumnya, pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa Barat
menyetujui adanya pengelolaan pertambangan di daerah kepada perusahaan-perusahaan besar
dalam hal ini PT. Newmont Nusa Tenggara karena logika praktis dalam mengedepankan sumber
ekonomi secara cepat (Nanang dalam Endaryanta 2007, h: xxii).
xvii
Realitas di atas mengisahkan terjadinya penjajahan nalar ekonomi terhadap institusi
negara, dan juga aktor-aktor dalam negara, telah berdampak serius terhadap pelemahan kuasa
negara untuk mengatur public goods. Pengaruh modal menjadi sedemikian kuat terhadap arah
kebijakan negara. Dalam literatur ilmu politik, fenomena semacam ini disebut sebagai
thecaptured state; dimana aktor-aktor swasta mengkooptasi dan menggerakkan institusi negara.
Dengan mengedepankan keuntungan ekonomis jangka pendek semacam inilah yang kemudian
menutup mata pelaku-pelaku negara terhadap efek-efek sosial, ekonomis dan juga ekologis yang
ditimbulkannnya (Nanang dalam Endaryanta 2007, h: xxiii).
Sebagai bentuk keprihatinan dan kepura-puraan kepedulian terhadap fenomena
kemiskinan yang kian meluas di daerah eksplorasi industri pertambangan, perusahaan dalam hal
ini PT. Newmont Nusa Tenggara melaksanakan program CSR (Corporate Social Responsibility).
Dalam menjalankan program CSR tersebut PT. Newmont Nusa Tenggara berelasi dengan aktor-
aktor lain, yaitu pemerintah daerah dan pemerintah desa. Relasi yang tercipta antara berbagai
aktor dilatar belakangi oleh kepentingan yang beragam.
Bagi perusahaan (PT. Newmont Nusa Tenggara) program CSR harus tetap terlaksana
dengan tujuan menjalankan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat di daerah eksplorasi
industri pertambangan. Namun senyatanya prioritas yang dikedepankan oleh perusahaan adalah
terciptanya image positive perusahaan di masyarakat sebagai bekal untuk melakukan proses
penjarahan pertambangan dalam periode yang lama. Sulit dipahami bahwa perusahaan yang
notabene berorientasi memaksimalkan keuntungan ekonomis menjalankan program CSR untuk
menanggulangi kemiskinan masyarakat lokal dan benar-benar memiliki komitmen moral untuk
mendistribusikan keuntungannya untuk mengeliminir persolan tersebut. Seperti yang telah
dikemukakan oleh (Aperiansyani, N 2012, h: 4) dalam tesisnya patut dipertanyakan bahwa
lembaga-lembaga kapitalistik melakukan kegiatan-kegiatan nirlaba sebagai manifestasi tanggung
jawab mereka terhadap masyarakat lokal yang hidup di sekitar perusahaan.
Melihat dari motifnya menunjukkan bahwa CSR yang diimplementasikan oleh PT.
Newmont Nusa Tenggara hanyalah “kamuflase” bukanlah sebuah kesungguhan moral yang
dilakukan dengan “sepenuh hati”. Mengingat tabiat perusahaan pertambangan yang hanya
mengejar keuntungan semata, tidak mungkin kiranya memiliki tujuan dan maksud mulia untuk
xvii
memangkas persoalan kemiskinan, menghormati hak-hak masyarakat lokal di areal
pertambangan dan tidak merusak lingkungan. Oleh karena itu, sangatlah tidak mungkin untuk
menuntut perusahaan bertanggung jawab terhadap persoalan sosial, budaya maupun lingkungan,
karena sesungguhnya tanggung jawab perusahaan telah terealisasi melalui penambahan laba
(mengejar keuntungan) dan masalah sosial adalah urusan negara, karena perusahaan sudah
membayar pajak (Friedman 1962, h: 133).
Berbeda dengan perusahaan, pemerintah daerah dan desa kerap menjadikan dana CSR
sebagai sumber baru dana pembangunan serta menjadikan program CSR sebagai celah untuk
melepaskan tanggungjawabnya sebagai penyedia utama public goods terhadap masyarakat
dampak tambang. Menurut Taufik dalam (csrindonesia.com,5 Mei 2013), kepentingan ekonomi
pemerintah ini menjadi problematik mengingat bahwa kecenderungan dari kepentingan tersebut
adalah pemerintah akan membiarkan perusahaan membangun infrastruktur sendirian. Bahkan
lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa kecenderungan tersebut justru mengarah pada biaya
“entertainment” pejabat pemerintah lebih banyak dibanding biaya pembangunan sosial dan
lingkungan di suatu wilayah. Kondisi demikian memperlihatkan betapa mirisnya perilaku elit
birokrasi pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa Barat yang apatis terhadap masyarakat
dampak tambang dan sangat pragmatis memanfaatkan anggaran dan program-program CSR
untuk kebutuhan segelintir pihak.
Kendatipun pemerintah dan perusahaan telah menyusun program CSR secara mapan
dalam rangka penanggulangan kemiskinan namun pada prakteknya berbagai program yang telah
tersusun rapi tersebut belum mampu mengatasi problema kemiskinan di masyarakat yang
cenderung fluktuatif. Kondisi demikian memperlihatkanbahwa sampai saat ini berbagai aktor
belum serius untuk menanggulangi akar kemiskinan di daerah industri pertambangan
dikarenakan adanya tukar-menukar kepentingan antar aktor yang membuat program
penanggulangan kemiskinan dikesampingkan.
Pada titik problematika inilah penelitian ini hendak diarahkan yaitu untuk menguak relasi
antara pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam upaya penanggulangan kemiskinan
di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat. Pola relasi dapat dilihat melalui
keterlibatan berbagai aktor dan kepentingannya dalam rangka penanggulangan kemiskinan tidak
hanya dimaknai dari sisi manajemen semata namun harus ditilik pada perspektif sosio-politik,
xvii
yaitu terlibatnya berbagai aktor dalam pusaran relasi struktur kuasa (power structure relation)
yang melingkupinya. Dengan demikian, aktor-aktor yang terlibat dalam pusaran relasi struktur
kuasa bukanlah barang yang statis dan suci melainkan dinamis. Setiap aktor memiliki
kepentingan dan ideologinya sendiri dalam melakukan pembelaan atas nama kepentingan rakyat,
yang sesungguhnya syarat dengan konflik kepentingan atas nama pribadi. Oleh karena itu,
masyarakat miskin merupakan masyarakat yang rentan terhadap “perebutan dan monopoli
kuasa” berbagai aktor kepentingan.
Masyarakat miskin menjadi subjek yang harus dibela dan dipentingkan agar tidak
semakin terpinggirkan dan tereksploitasi dari kepentingan antara aktor-aktor yang berelasi dalam
upaya penanggulangan kemiskinan tersebut. Dalam upaya melakukan pengobatan terhadap
kemiskinan diperlukan pemahaman yang tepat, meskipun bukan pekerjaan yang sederhana dalam
memahami fenomena kemiskinan. Langkah mendasar yang perlu diklarifikasi oleh berbagai
aktor adalah memahami dengan serius akar dari kemiskinan yang timbul dan semakin parah yang
terjadi di daerah eksplorasi industri pertambangan. Yang selama ini terjadi justru berbagai aktor
sibuk berelasi untuk saling mengisi kepentingan satu dengan yang lainnya dan abai terhadap
kondisi masyarakat. Idealnya tercipta pola relasi yang dapat memberikan ruang dan posisi tawar
(bargaining position) terhadap masyarakat miskin untuk dapat memperbaiki kondisi yang tengah
menimpa mereka. Masyarakat miskin tidak hanya diposisikan sebagai objek yang kerap
dieksploitasi namun harus dihargai keberadaannya dengan cara menjalankan program CSR yang
relevan dengan realitas yang dibutuhkan masyarakat miskin sebagai upaya memangkas
kemiskinan.
Studi tentang relasi penguasa dan pengusaha, kemiskinan dan CSR sesungguhnya telah
banyak berserakan dihadapan pembaca. Sebagai upaya untuk menciptakan keberpihakan maka
peneliti akan menyuguhkan kajian-kajian terdahulu yang mampu mendukung kedalaman analisis
peneliti. Kajian tentang relasi bisnis dan politik pada tataran teoritis telah dilakukan oleh
kalangan para akademisi sejak awal tahun 1990an. Misalnya Wiliam Reno (1995) yang telah
menulis tentang relasi penguasa dan pengusaha di Sierra Leone, Afrika, yang ia sebut sebagai
praktek shadow state dalam bukunya “Corruption and State Politics in Sierra Leone”. Sebuah
kajian yang komprehensif dengan menunjukkan interaksi korporasi antara elit di Sierra Leone,
Afrika. Singkatnya, ia mengatakan bahwa terjadinya shadow state tidak terlepas dari adanya
xvii
praktek informal market dan lemahnya institusi negara (Reno 1995). Demikian juga dengan
Barbara Harris White (2003, h: 89) telah menulis hampir sebagian besar dari transaksi ekonomi
di India dilakukan melalui mekanisme informal economy dan praktek shadow state, dengan
mengacu pada temuan studinya di India.
Sementara studi terkini dalam melihat relasi penguasa dan pengusaha dapat ditilik
melalui tulisan Muhammad Mahsun (2012) yang mengacu pada temuan studinya di Kabupaten
Ogan Komering Ulu (OKU). Dengan judul Local Predatory Elit?Potret Relasi Politisi-
Pengusaha dengan Penguasa Studi Relasi di DPRD dengan elit eksekutif dalam penganggaran
Pembangunan infrastruktur di Kabupaten OKU Pasca Pemilu 2009. Secara singkat berdasarkan
studi yang telah dilakukan, Muhammad Mahsun kemudian menulis bahwa wajah politik lokal
Indonesia masih berada dalam cengkraman dan kekuasaan elit-elit lokal yang sangat predatoris,
Hadirnya kelompok borjuasi lokal di DPRD Kabupaten OKU telah membuat mereka sulit untuk
melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Karena mereka semakin
menjadi elit lokal yang berwatak predatoris yang memiliki kecenderungan untuk menguasai
sumber daya ekonomi daerah (local resources). Ini dibuktikan dengan semakin mesranya
hubungan mereka dengan pihak elit eksekutif. Hubungan ini terejawantah dalam bentuk
hubungan patronase politik dan kronisme (perkoncoan) yang terbangun diantara local-state
actors.
Kajian seputar CSR, dapat ditilik melalui tulisan (Aperiansyani, N 2012, h: 90) terkait
Defisit Akuntabilitas Perusahaan: The Politics of Corporate Social Responsibility yang
menjelaskan bahwa adanya kesenjangan antara besarnya akuntabilitas atau pertanggungjawaban
PT. Newmont Nusa Tenggara untuk mempertanggungjawabkan segala bentuk aktivitasnya
dalam skema Corporate Social Responsibility (CSR). Romantisasi peran strategis perusahaan
berhasil mengelabui masyarakat yang menilai bahwa perusahaan tidaklah mungkin melakukan
kecerobohan. Kajian ini secara tegas menerangkan bahwa PT. Newmont Nusa Tenggara belum
berhasil mengcover defisit akuntabilitasnya. Skema Corporate Social Responsibility (CSR) yang
ditampilkan tidak lebih sekedar program basa-basi yang tidak tepat sasaran.
Senafas dengan studi diatas (Mustafa, S 2010, h: 15) melalui kajiannya tentang
Tanggungjawab Sosial Perusahaan Tambang antara Pemberdayaan Sosial dan Keamanan Sosial,
xvii
menjelaskan bahwa kegiatan penambangan Batu Hijau di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten
Sumbawa Barat berimplikasi pada terjadinya perubahan sosial masyarakat lokal yang tidak
dibarengi dengan aktivitas Corporate Social Responsibility (CSR) yang memberdayakan. PT.
Newmont Nusa Tenggara sebagai pelaksana proyek penambangan belum memiliki upaya detail
dalam mengantisipasi kerusakan perubahan sosial pada masyarakat lokal.
Hal ini terlihat secara lebih eksplisit dari studi (Riadi, R 2009, h: 27) yang menjelaskan
bahwa para aktor elit dalam hal ini pemerintah daerah dan pemerintah desa yang berkecimpung
dalam pengelolaan CSR sering menyuarakan kepentingan rakyat, namun realitasnya berlainan,
yakni membela kepentingan pribadi atau kelompok yang bukan merupakan representasi
kepentingan publik secara luas. Sehingga tak jarang bagi pemerintah daerah-desa keberadaan
perusahaan dijadikan sebagai sumber automated teller machine (ATM)bagi para birokrat. Belum
terlihatnya kesungguhan dari pemerintah daerah ataupun pemerintah desa serta PT. Newmont
Nusa Tenggara untuk meminimalisir kemiskinan by design yang mereka ciptakan pada
masyarakat lingkar tambang.
Dengan tidak berusaha mengamini dan mendeskriditkan studi yang lain, senyatanya
belum ada studi yang secara gamblang berhasil menceritakan kontestasi dan kongkalikong antara
pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam rangka melakukan pemiskinan terhadap
masyarakat dampak tambang. Kongruen dengan hal tersebut, studi ini berupaya untuk
mengintroduksi adanya dialektika kekuasaan sebagai bentuk persekongkolan politik dan
ekonomi yang terjadi antara predator politik dengan predator ekonomi dalam melakukan
eksploitasi kemiskinan. Oleh karena itu, kekhasan dari studi ini berkeinginan untuk membedah
pola relasi dengan cara menyajikan beberapa signifikansi yang dapat membuat penelitian ini
menjadi menarik untuk dikaji. Setidaknya dapat dilihat dari dua (2) hal yaitu: Pertama,
penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan relasi, kepentingan dari berbagai aktor serta
interaksinya dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Hal ini penting karena berkurang dan
bertambahnya jumlah masyarakat miskin di daerah eksplorasi industri pertambangan erat
kaitannya dengan keberadaan berbagai aktor tersebut. Jika aktor-aktor, kepentingan dan pola
relasinya terkuak maka akan memperlihatkan sejauhmana keberpihakan aktor-aktor tersebut
terhadap perbaikan kualitas masyarakat atau dimungkinkan aktor-aktor tersebut justru kompak
untuk memiskinkan masyarakat.
xvii
Kedua, penelitian ini diharapkan mampu menggali mekanisme, metode dan teknis, serta
nilai-nilai yang dikedepankan dalam pengelolaan program CSR (Corporate Social
Responsibility) sebagai upaya penanggulangan kemiskinan. Skema CSR yang ditawarkan oleh
perusahaan (PT. Newmont Nusa Tenggara) dan diyakini semua pihak akan mampu
meminimalisir kemiskinan, dalam prakteknya apakah betul berpihak terhadap masyarakat
dampak tambang atau justru membuka celah untuk dipolitisasi oleh semua pihak yang berujung
pada pemiskinan masyarakat.
Hubungan konflik relasi kekuasaan tentu dapat mencapai titik equilibrium manakala
terjadi kesepakatan atas batas nilai tertentu yang dianggap dapat saling menguntungkan, yang
dapat diperoleh melalui negosiasi. Dibutuhkan instrumen kebijakan yang dapat memaksa semua
pemangku kepentingan untuk dapat keep and touch terhadap pengelolaan CSR terpadu. Sehingga
menciptakan mekanisme institusional yang seimbang antar aktor dan terintegrasi tentang
bagaimana CSR itu dikelola menuju kepentingan bersama yang bertujuan untuk membangun
masyarakat agar mencapai kehidupan yang lebih baik.
Oleh karenanya, berusaha untuk melihat, memahami dan mengerti relasi antara
pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam upaya penanggulangan kemiskinan di
Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, maka penelitian telah dilakukan
dikecamatan eksplorasi industri pertambangan yaitu Kecamatan Sekongkang untuk melihat fakta
kemiskinan sebagai produk hasil eksploitasi dan kolaborasi para predator lokal bersama
korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara) guna memperkaya kocek pribadi dan kelompok
tertentu.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode studi kasus, hal ini
dikarenakan metode studi kasus merupakan metode penelitian yang memfasilitasi eksplorasi
fenomena dalam konteksnya dengan menggunakan berbagai sumber data. Studi kasus
merupakan strategi yang cocok bila pokok pertanyaan penelitian berkenaan dengan how atau
why, dan fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan
nyata (Yin 1996, h: 1-18). Terkait beberapa hal yang telah diuraikan sebelumnya akan diperoleh
peneliti melalui observasi langsung, wawancara mendalam dan studi pustaka, yang secara detail
akan dijelaskan oleh peneliti pada sesi selanjutnya.
xvii
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan alur argumentasi yang telah dielaborasi pada latar belakang di atas
penelitian ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah sebagai berikut:
“Bagaimana relasi antara pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam upaya
penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat?”
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diajukan sebelumnya maka penelitian ini
dirancang untuk mengetahui beberapa hal, yaitu:
1. Menganalisa bagaimana relasi yang terjalin antara pemerintah dan PT. Newmont Nusa
Tenggara dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Sekongkang.
2. Memetakan aktor yang terlibat dan kepentingannya apa dalam upaya penanggulangan
kemiskinan di Kecamatan Sekongkang.
3. Menjelaskan praktek Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai agenda kamuflase
dan politisasi yang justru memiskinkan masyarakat di Kecamatan Sekongkang.
4. Menunjukkan bahwa kemiskinan yang terjadi di Kecamatan Sekongkang merupakan
hasil kompromi dan kolaborasi yang terjadi antara elit-elit lokal dan korporasi.
5. Tujuan yang tidak kalah penting dari penelitian ini adalah menyuarakan keberpihakan
dan pembelaan terhadap nasib masyarakat dampak tambang yang sengaja dimiskinkan
oleh kelompok tertentu. Melalui penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan
kontribusi perbaikan terhadap penderitaan dan pembodohan yang tengah dialami
masyarakat dampak tambang di Kecamatan Sekongkang.
D. Kerangka Teori
Untuk membaca fenomena kemiskinan yang terjadi di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten
Sumbawa Barat. Peneliti menggunakan teori predatory state dan CSR (Corporate Social
Responsibility) sebagai kerangka analisa dalam memahami studi ini. Teori predatory state disini
akan mampu mengkerangkai detail perselingkuhan yang terbangun antara aktor formal dan non-
formal dengan korporasi (PT.NNT) yang berujung pada terciptanya pemiskinkan terhadap
xvii
masyarakat dampak tambang. Sementara teori CSR (Corporate Social Responsibility) yang
ditawarkan sebagai skema pengurangan kemiskinan justru bersifat ‘kamuflase’ dan di ‘politisasi’
oleh para predator formal dan informal beserta PT. Newmont Nusa Tenggara dalam rangka
akumulasi keuntungan maksimal.
D.1. Konsep Predatory state
Praktek predatory state disini dilihat sebagai tipe korupsi yang dilakukan oleh para aparatur
negara yang dibingkai dan bekerja dalam jaringan informal (informal networks). Dimana praktek
predatori yang dilakukan oleh para aparatur negara dalam menguasai public goods seringkali
bekerja dalam ikatan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terselubung. Ini dapat dilihat
dari pengalaman-pengalaman praktek predatory state yang terjadi pada masa rezim otoriter Orde
Baru (Hadiz, 2005; Robinson & Hadiz, 2004). Istilah predatory state biasa digunakan untuk
membaca hubungan timbal-balik relasi antara negara, pasar dan masyarakat di negara
berkembang (Endaryanta, E 2007, h: 36). Dimana negara secara dominan hadir dalam seluruh
struktur ekonomi dan politik. Dalam struktur perekonomian, elit-elit negara berusaha untuk
mengintervensi dan mengendalikan berjalannya mekanisme pasar secara dominan untuk
kepentingan akumulasi material dalam rangka memperkaya diri. Dalam kaitan ini negara
mengambil keuntungan dari sektor bisnis yang berada dalam kondisi lemah dan memburuk,
terlebih dapat bersaing secara sehat dengan perusahaan-perusahaan internasional. Biasanya elit-
elite politik atau birokrat mengambil alih langsung dan mereka juga meminta sumbangan dari
sang pengusaha atau uang suap sebagai imbalan jasa, karena dulu pernah dibantu oleh rezim
pada saat perusahaan-perusahaan tersebut tergoncang atau mengalami krisis keuangan, dan
pemberian kegiatan-kegiatan tanpa melalui proses tender yang fair. Ini sebagaimana dijelaskan
oleh Kang (2004, h: 16).
“The predatory state is one in which the state takes advantage of a dispersed and weak business sector. Political elites pursue outright expropriation; they also solicit “donations” from businessmen who in turn are either “shaken down” by the regime or who volunteer brbes in return for favors, and employ other means as well …… potential state influence over economic life is vast, and those businessmen or groups privileged enough to receive low-interest loans or import quotas will benefit at the expense of others”.
xvii
Praktek predatory seperti yang dijelaskan oleh Kang di atas, menggambarkan bagaimana
bekerjanya ikatan-ikatan relasi patronase dan kronisme antara pihak state actors dan privat
actors yang bekerja membingkai praktek predatoris para aparatur negara tersebut. Relasi
patronase politik antara elit politik dan pengusaha ini terjadi ketika bertemu dua kepentingan
besar dari kedua pihak. Dimana kepentingan pihak pengusaha untuk mendapatkan perlindungan,
kemudahan dan subsidi (bantuan) dari negara atas berjalannya usaha mereka bertemu dengan
kepentingan para elite politik yang notabene memiliki kendali langsung atas kuasa negara yang
membutuhkan sumberdaya material yang banyak beredar dalam sektor bisnis yang dimiliki oleh
para pengusaha. Adanya rasa saling membutuhkan inilah yang kemudian menciptakan hubungan
instrumental yang dilandasi suka sama suka tanpa ada ikatan keterpaksaan diantara keduanya.
Konsep predatory state kerap digunakan untuk membaca kondisi politik dan ekonomi
negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, khususnya terkait dengan
hubungan politik timbal balik relasi negara, pasar dan masyarakat. Dengan hadirnya arus
liberalisasi ekonomi yang begitu pesat dari barat, tumbuh dan berkembang dengan diikuti oleh
proses liberalisasi politik yang pada hakekatnya membawa sistem kapitalistik, telah direspon
secara berbeda-beda oleh negara-negara tersebut dengan memunculkan watak pemerintahan
yang otoritarian. Dua dimensi tersebut, yakni ekonomi dan politik secara dominan berkembang
dalam pembangunan negara (Endaryanta, E 2007, h: 36).
Meskipun arus liberalisasi telah mulai berkembang di negara-negara tersebut, perilaku negara
tetap mengambil peranan yang cukup penting dalam meletakkan dan menata strategi
developmentalisme. Dengan alasan developmentalisme tersebut, beberapa negara berkembang
mengambil peran yang cukup maksimalis dan mengambil margin keuntungan untuk
memeperkaya diri. Inilah yang kemudian melahirkan sistem rezim pemerintahan yang sangat
otoritarian dan korporatis. Indonesia pada masa rezim Orde Baru misalnya, dalam menghadapi
dan merespon pasar bebas dengan alasan developmentalisme juga telah menempatkan diri
sebagai negara yang bercorak otoritarian dan korporatis, yang pada akhirnya melahirkan
karakteristik tipologi negara yang tercermin dari struktur pemerintahan yang bersifat predatory
state (Endaryanta, E 2007, h: 39).
Dalam konsep predatory state ini, aparat negara dan otoritas publik hadir secara dominan
dalam seluruh struktur baik ekonomi maupun politik demi akumulasi kekayaan ekonomi dan
xvii
politik mereka sendiri. Dimana kehidupan ekonomi dan politik dikendalikan dengan penggunaan
kekuasaan ketimbang ditata dengan aturan-aturan, dan lebih memikirkan alokasi daripada
regulasi. Kekuasaan arbiter dan represif digunakan untuk mendisorganisasi civil society (Hadiz,
2005, h: 105).
Struktur politik ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru yang oligarkis dan intervensionis
yang berhadapan dengan liberalisme modal dapat dikatakan sebagai pendukung lahirnya negara
yang memiliki watak predatoris. Kekuasaan negara selain dijadikan alat oleh para predator-
predator kekuasaan juga untuk memfasilitasi diri dalam akumulasi modal politik dan ekonomi,
tapi lebih banyak digunakan untuk membantu dan mendukung para kapitalis pemburu rente yang
berada dalam jaringan patronase dan kroniisme penguasa. Koalisi antara oligarki privat dan
publik tersebut tidak hanya menerapkan kekuasaan terhadap negara dan para pejabatnya
melainkan juga menegakkan dominasi politik yang lebih luas sebagai bagian dari suatu koalisi
kekuasaan yang dibangun di sekitar keluarga cendana. Hal inilah yang kemudian, menjadikan
otoritas negara banyak dan semakin dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan komersial dari
koalisi-koalisi bisnis-politik tersebut, dibandingkan oleh kepentingan-kepentingan kelembagaan
dari para aparat negara seperti penciptaan suatu “tingkat aturan main”. Penguasaan ini pun
dilakukan dengan cara-cara koersif yang pada akhirnya banyak menimbulkan ketegangan-
ketegangan politik di dalam masyarakat (Hadiz, 2005, h: 126). Berkaitan dengan ini, Robinson
dan Hadiz (2004, h: 42) melihat predatory state merupakan “invisible hand” dari berjalannya
mekanisme pasar.
“predatory state where the invisible hand of market dominates administrative behavior, where everything is for sale and everything has a price, Soeharto state encompassed a highly organized system of social power not easy explained in terms of universally random and opportunist predatory practices”.
Upaya untuk menegakkan bangunan predatory state dalam ranah kebijakan publik, rezim
Orde Baru telah melakukan beberapa hal. Pertama, melanggengkan ketidakaturan sosial dan
ekonomi dengan perangkat kebijakan yang menyertakan represifitas politik. Kedua, meletakkan
sistem pengorganisasian negara dan masyarakat secara mendasar untuk menghancurkan potensi
masyarakat (untuk melakukan resistensi baik melalui pemikiran maupun tindakan) melalui
instrumen dominasi institusi korporatis negara. Ketiga, penetrasi dari pusat, provinsi dan
kabupaten atau kota, dan desa melalui pola patronase yang komplek dan luas. Keempat,
xvii
pemusatan oligarki kapitalis dengan menggabungkan kewenangan publik dan kepentingan bisnis
ke dalam keluarga cendana (Endaryanta, E 2007, h: 41).
Upaya-upaya yang dilakukan oleh rezim Orba di atas semuanya dibungkus dengan alasan
developmentalisme. Jargon pembangunan selalu dikedepankan untuk melakukan pembasmian
berbagai gerakan politik masyarakat dan bermunculannya ideologi-ideologi baru selain ideologi
pembangunan yang dianut oleh rezim Orde Baru. Mengikuti pendapat Mas’oed (1989, h: 132)
bahwa dikalangan rezim Orde Baru melekat keyakinan tentang masa depan Indonesia harus
bebas dari politik yang didasarkan pada ideologi yang dilihat sebagai dosa masa lalu telah
menyebabkan ketidakstabilan politik yang pada akhirnya juga membawa pada kehancuran
ekonomi.
Oleh karena itu, dalam rezim Orde Baru dengan alasan mengusung pembangunan ekonomi
negara, maka pemusnahan ideologi-ideologi lain yang berseberangan dengan ideologi negara
menjadi hal yang harus dilakukan. Tetapi sayangnya upaya mempromosikan pembangunan
ekonomi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru tersebut, masih saja tidak dibarengi dengan
memberikan perhatian dan pengawasan terhadap politik kelompok status quo. Hal ini yang
kemudian membuat struktur negara dan kebijakan-kebijakannya banyak ditunggangi oleh
kepentingan-kepentingan keluarga bisnis-politik dan para investor asing yang melingkar dalam
jaringan oligarkis keluarga cendana (Mahsun, M 2012, h: 28).
Pandangan di atas dibangun dengan mengikuti pendapat James A. Robinson bahwa negara-
negara berkembang yang kebijakan-kebijakannya banyak mempromosikan pembangunan
ekonomi tanpa memperhatikan politik status quo, maka memiliki kecenderungan untuk
mencipatakan elit-elit kekuasaan menjadi predator:
“if policies that promote economic development (such as building infrastructure and promoting free trade) and good institutions (such as secure property rights and encient bureaucracy) are inconsistent with the maintenance of the political status quo, then this give elites an incentive to be “predatory”, though this incentive may be dominated by the costs of being predatory” (Robinson, 2001, h: 2).
Negara Orde Baru yang mengusung jargon developmentalisme dan bercorak otoritarian
predatoris tersebut, pada akhirnya setelah diterpa krisis moneter tahun 1997-1998 runtuh.
Keruntuhan rezim Orde Baru yang dibarengi gelombang reformasi ini, sayangnya tidak membuat
xvii
jaringan oligarkis bisnis-politik yang dulu banyak bernaung dibawah kekuasaan para jenderal
yang berpusat pada lingkaran cendana juga mengalami pemusnahan dan kehancuran berbarengan
dengan runtuhnya rezim Orba. Meskipun negara sudah berada dalam proses transformasi ke
dalam bentuk negara demokrasi liberal prosedural, tetap saja aliansi bisnis-politik dan oligarki
kekuasaan hadir di Indonesia. Ini terjadi dikarenakan aliansi-aliansi bisnis politik yang oligarkis
yang dulu beroperasi dalam satu arena dimana tarik-menarik politik dimediasi oleh para jenderal
dan elit-elit birokrat yang berpusat pada Soeharto, kini telah membentuk aliasi-aliansi baru yang
lebih luas.
Gagasan di atas dibangun berdasarkan temuan Hadiz (2005) atas penelitiannya tentang
politik Indonesia pasca reformasi. Dimana sistem hubungan predatoris antara para pejabat,
kalangan pebisnis dan pialang politik yang terjalin dalam ikatan patronase dan kronisme masih
terus mewarnai perpolitikan Indonesia, mulai dari Jakarta hingga ke daerah. Gambaran ini
menunjukkan bahwa reformasi dan gelombang demokrasi liberal yang hadir di Indonesia gagal
meruntuhkan struktur kekuasaan lama. Dalam bidang ekonomi, konglomerat-konglomerat lama
tetap menjadi satu-satunya pemain di kota-kota maupun di daerah-daerah (Mahsun, M 2012, h:
60).
D.1.1.Realitas Predatory State di Aras Lokal
Prasangka akan berakhirnya praktek predatory state di level nasional pasca tumbangnya
Rezim Orde Baru merupakan suatu kekeliruan. Terbukti masih banyak aktor nasional yang
melestarikan diri sebagai predator untuk menguatkan kekayaan pribadi dan kelompok. Gejala
predatory state ini mengalami pendalaman hingga di level lokal melalui gerbang otonomi
daerah. Pemekaran wilayah di Kabupaten Sumbawa Barat ternyata menciptakan peluang baru
bagi para predator baru untuk menciptakan imperium baru dalam melakukan korupsi.
Para predator lokaldi Kabupaten Sumbawa Barat tersebut semakin menguat dan
mengganas ketika berhadapan dengan korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara). Artinya,
mereka menjalin hubungan mesra untuk menukarkan dan melancarkan kepentingan berbagai
pihak melalui berbagai dalih dan alasan. Para pengelola negara secara sadar atau tidak, kemudian
menjadi penghamba kepentingan asing dan melakukan korupsi yang paling besar dan berbahaya
karena mempertaruhkan kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik, kedaulatan ekologi bahkan
xvii
merusak tatanan sosial budaya masyarakat dampak tambang yang menjerumuskan mereka pada
lembah kemiskinan.
Para predator tersebut adalah kepala-kepala desa, tokoh-tokoh lokal, pengusaha-
pengusaha lokal serta pemerintah daerah yang tunduk dan berkolaborasi dengan PT. Newmont
Nusa Tenggara untuk memiskinkan masyarakat dampak tambang atas nama pembangunan. PT.
Newmont Nusa Tenggara bahkan mampu membeli pemerintahan lokal dengan cara
menggelontorkan uang pelumas sebagai dana kampanye kepada seluruh calon bupati dan wakil
bupati Kabupaten Sumbawa Barat pada pilkada 2005 saat itu. Berkat uang suap tersebut PT.
Newmont Nusa Tenggara berhasil menempatkan representasinya di pos-pos penting di parlemen
daerah Kabupaten Sumbawa Barat. Uang pelicin itu juga memudahkan perusahaan PT.
Newmont Nusa Tenggara untuk melakukan pemesanan kebijakan agar bersesuaian dengan
kepentingan korporasi. Pilkada 2005 sebagai pilkada perdana di Kabupaten Sumbawa Barat
justru dicederai oleh perselingkuhan para predator politik dan predator ekonomi dengan
menjadikan Pilkada sebagai arena ‘transaksi’ transfer kepentingan antar aktor.
Praktek predatory state semakin menggurita di level desa, yang mengundang hadirnya
new predatory tidak hanya aktor-aktor formal, namun aktor-aktor informal yang kepentingannya
terintegrasi dengan korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara) untuk memenuhi ambisi profit
sepanjang masa. Seluruh predator lokal tersebut berperan sebagai instrument pembela
kepentingan kapitalisme internasional, mereka mengupayakan keuntungan maksimal dan
melestarikan dominasi penjarahan bagi korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara).
Menurut Erwin Endaryanta (2007, h: 42) kasus diatas melukiskan predatory state
menjadi variabel penjelas bagi lemahnya kemudian, legal dan political barier di level lokal.
Gejala di atas secara gamblang menjadi faktor penjelas hilangnya institusi publik, entah negara,
masyarakat atau organisasi apapun yang berorientasi publik menjadi instrumentasi yang bergerak
menuju arena pasar. Berarti pula bahwa telah terjadi proses individualisasi di semua level;
ekonomi, politik maupun budaya ataupun level pelembagaan politik negara.
Perilaku negara yang mengamini perkembangan arus liberalisasi serta ramahnya negara
terhadap pemodal asing mencitrakan diri sebagai instrument kapital yang memicu pengebirian
masyarakat. Atas nama kepentingan ekonomi negara rela dimandulkan oleh kapital mulai dari
xvii
pengkooptasian kewenangan dan pelemahan terhadap kebijakan pertambangan yang kemudian
membebaskan tanggung jawab perusahaan terhadap perbaikan ekologi dan sosial masyarakat
lokal.
Kehadiran kebijakan yang berorientasi pada penciptaan agenda enterpreneurship dan
peningkiran kelompok sosial yang persis menjadi sasaran pembangunan adalah akibat dari
fenomena state capture. Kemandulan kebijakan publik dalam sebagai fenomena “State Capture”
ini mengikuti penjelasan Harry Priyono sebagai berikut;
“Kemandulan kebijakan publik sebagai fenomena state capture, yakni cara-cara
pelaku bisnis untuk menentukan aturan main (legislasi, hukum, peraturan, dekrit)
dengan menyuap pemerintah. Gejala ini menunjuk pula dalam praktek munculnya
ambiguitas yang berupa simbiosis, koalisi ataupun kolusi antara sektor privat dan
sektor publik. Tahun 1960-1980 sejarah ekonomi politik menunjukkan ambiguitas
koalisi dengan kecenderungan “membusukkan” “sektor privat” menjadi kebalikan di
tahun 1980-2000 yang ditandai dengan sektor privat “membusukkan” sektor publik”.
Problem ini menjadi titik refleksi penting terhadap lemahnya kapasitas negara (problem
state capacity), akibat maraknya gejala efek predatory state di level nasional-lokal.Berimplikasi
pada terjadinya ambiguitas karakter kerja institusi publik yang mengikuti agenda neoliberalisme
adalah hilangnya tanggung jawab dari setiap lembaga terhadap anggotanya atau publik dan
pengalihannya ke sektor lain yaitu sektor individu (Endaryanta, E 2007, h: 44).
D.2. Konsep CSR (Corporate Social Responsibility)dalam Praktek Kamuflase
CSR bukan sebuah komitmen yang muncul secara tiba-tiba, yang keberadaannya telah
menjadi komitmen universal dan disetujui bersama sampai ditingkat global. Perdebatan ideologis
dalam tubuh kapitalisme dan kritik terhadap ekonomi politik kapitalisme liberal yang gagal
menjamin pemerataan kemakmuran, akibat pertumbuhan ekonomi serta kerusakan lingkungan
yang mendorong lahirnya komitmen moral melalui CSR. Konsep CSR pada mulanya
diperkenalkan dan bahkan dipostulasikan oleh Howard R. Bowen pada tahun 1953 melalui
bukunya yang berjudul “Social Responsibility of the Businessman”.
xvii
Secara substantif memang isu tentang CSR bukanlah merupakan hal yang baru, namun
konsep tentang tanggung jawab sosial perusahaan diakui dan mulai dikembangkan pada tahun
tersebut. Ide dasar CSR yang dikemukakan Bowen mengacu pada kewajiban pelaku bisnis untuk
menjalankan usahanya sejalan dengan nilai-nilai dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat di
tempat perusahaannya beroperasi. Bowen menggunakan istilah sejalan dalam konteks itu untuk
meyakinkandunia usaha tentang perlunya mereka memiliki visi yang melampaui kinerja finansial
perusahaan.
Wacana CSR seolah sebagai obat mujarab yang mampu menyelesaikan segala jenis
persoalan sosial terkesan sangat moralis. Praktek CSR yang dijalankan oleh perusahaan sejagat
(Multi atau Transnational Corporation) dalam konteks ini PT. Newmont Nusa Tenggara
menunjukkan realitas yang berkebalikan dan gagal membuktikan kemajuan penampilan CSR.
Sentimen terhadap pandangan moralis juga dilontarkan oleh (Fombrun dan Shanley dalam Idowu
2011, h: xvii) CSR lebih menekankan kewajiban moral dan bukan merupakan strategi bisnis.
Tidak ada korelasi secara langsung antara CSR dengan mencari keuntungan perusahaan. CSR
memang ditujukan untuk menunjukkan reputasi perusahaan di mata masyarakat dunia bahwa
perusahaan atau bisnis benar-benar memiliki tanggungjawab moral terhadap lingkungan dan
masyarakat untuk mendorong terwujudnya pembangunan sosial.
Up to date, there is no consensus on the direct relationship between CSR and profitability; there may never be one, but scholars have made progress improving that there is correlation between engaging in CSR activities and improved public image, in other words for a firm to generate good reputation for it self.
Sejak berlakunya Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2011
tentang Program Penilaian Peringkat Kerja (PROPER) yang mensyaratkan konsep CSR
dideklarasikan dan implementasinya diatur di dalam undang-undang, yang menyertakan sanksi
bagi perusahaan yang mengabaikan regulasi tersebut. Logika ini sama, semua perusahaan
melakukan pemetaan sosial (social maping) bukan atas kesadaran bahwa pemetaan sosial itu
penting, akan tetapi didorong oleh kepentingan bahwa pemetaan sosial merupakan salah satu
komponen penting dalam penilaian PROPER.
Kongruen dengan pemahaman diatas Susetiawan (2012, h: 3-4) menjelaskan bisa
dipastikan hampir dari semua perusahaan yang menjalankan ritual CSR tidak tergolong untuk
xvii
mewujudkan moral obligation melainkan sebagai strategi bisnis untuk mengatasi gangguan
usahanya dari masyarakat. Konteks ini terlihat sangat jelas bahwa banyak birokrat manajemen
perusahaan yang mengatakan bahwa perusahaan telah melakukan banyak hal yang berhubungan
dengan masyarakat sebelum tuntutan komitmen moral itu dideklarasikan. Sebelum perusahaan
itu beroperasi, pada masa eksplorasi, konstruksi dan operasi umumnya dilakukan oleh
perusahaan seperti membayar pajak, membangun jalan, memberikan kontribusi dalam
membangun perumahan masyarakat bagi yang tempat tinggalnya tergusur, memberikan
sumbangan-sumbangan lain yang menjadi tuntutan masyarakat dan banyak bentuk-bentuk
lainnya. Pendapat ini justru mengesankan bahwa pemahaman perusahaan terhadap CSR terbatas
pada tanggung jawab sosial berbisnis (socially responsibile of bussiness) yang sesungguhnya
berbeda dengan konsep CSR (Peter Utting and Jose Carlos Marques 2010, h: 7).
CSR merupakan sebuah komitmen moral tidak hanya perusahaan harus menyisihkan dan
bahkan menyisahkan sebagian keuntungannya melainkan juga rasa peduli untuk memfasilitasi
perkembangan masyarakat sekitar agar mereka tumbuh dan berkembang sejalan dengan
kemajuan masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, politik dan budaya. Dengan demikian
masyarakat lokal yang hidup di sekitar perusahaan yang beroperasi tidak lagi menjadi
masyarakat yang tertinggal dan miskin di tengah hadirnya perusahaan sejagat MNC dan TNC.
Disini letaknya dimana perusahaan harus secara sungguh-sungguh peduli dan bertanggungjawab
atas rusaknya nilai-nilai sosial, ekonomi, dan budayaserta hilangnya natural resources yang
dimiliki oleh masyarakat lokal, yang hasilnya dipindahkan ke perusahaan menjadi emas ataupun
tembaga yang keuntungannya dinikmati oleh perusahaan dan aktor-aktor yang pro dengan
korporasi (Susestiawan, 2012, h: 4).
Perdebatan tentang konsep CSR memang agak rumit untuk dipahami, namun melalui
tulisan (Matten dalam Hennigfeld (eds), dapat dipetakan terdapat dua (2) orientasi kepentingan
yang paling sering muncul ketika membaca relasi antara negara dan korporasi dalam pengelolaan
CSR yaitu kepentingan politik dan ekonomi. Kedua kepentingan tersebut akan dibahas dalam
bangunan teorisasi mengenai CSR.
xvii
a. Kepentingan Politik
Sektor privat yang memiliki banyak motivasi dalam melakukan CSR, mencantumkan
‘untuk menjadi warga negara yang baik’ sebagai salah satu nature of driver politis mereka
(Matten dalam Hennigfeld (eds) 2006, h: 40). Moon, Crane, dan Matten berhasil
mengidentifikasi peranan perusahaan dalam menjalankan tugas mereka untuk menjadi warga
negara yang baik dengan berkontribusi dalam pembangunan sosial dalam hal ini CSR. Konsep
ini lebih dikenal sebagai corporate citizenship. Sebagaimana yang dituliskan kembali oleh
Matten dalam Henningfeld (eds) (2006, h: 36) bahwa;
“.... there is grow claim on citizens to initiate social progress and development in civil society by becoming involved in a dense network of links to fellow citizens, rather than simply waiting for the welfare state to intervene. Many CSR programs of corporations can be understood in exactly this fashion...”
Mulyadi Sumarto (2008, h: 20) pun mempertegas dengan statementbahwa sektor privat
dalam melakukan CSR bukanlah semata-mata berdasarkan moralitas. Baginya, perilaku sektor
swasta yang “anomali” dengan melakukan pelayanan sosial melalui CSR tidak lebih sebagai
upaya untuk mendapatkan legitimasi bisnis sebagai political resources untuk beroperasi, karena
bagaimanapun pelayanan sosial termasuk dalam penyediaan public goods bukanlah fokus dari
perusahaan. Sebagaimana yang ia tuliskan:
“Corporate citizenship, yet, does not only depict the moral initiative but also political scheme. From political point of view, the corporation is perceived using the concept of corporate citizenship to assert its moral commitment to get political resources i.e. business legitimacy. Therefore, if the corporation provides social services for people, it is not because their concern but due to the legitimacy” (Sumarto, M 2007, h: 8).
Dari narasi diatas, kita bisa melihat CSR merupakan peran publik yang dimiliki lembaga
privat, atau dalam tataran yang lebih teknis, CSR merupakan instrumen yang dimiliki swasta
sebagai aktor non-negara untuk turut menyediakan public goods bagi masyarakat. Sektor swasta
yang telah memiliki blueprint untuk memproduksi private goods dengan keuntungan sebagai
orientasinya.
xvii
b. Kepentingan Ekonomi
Dari sisi perusahaan, sebagai sebuah entitas bisnis setulus-tulusnya sektor privat
melaksanakan CSR, selalu ada kepentingan ekonomi yang melatarbelakanginya. Matten dalam
Henningfeld (2006, h: 40). mengungkapkan bahwa secara ekonomis CSR dapat meningkatkan
keuntungan perusahaan. Sebagaimana dijelaskan dalam bukunya yang berjudul “Why Do
Companies Engage in CSR?” bahwa:
“CSR is enhacing the long term profitability of the company”.
Pemahaman diatas berangkat pada dua ide. Pertama adalah shareholders value
maximization atau maksimalisasi nilai pemegang saham. Secara signifikan Matten mengatakan
bahwa CSR akan meningkatkan nilai perusahaan yang berdampak pada meningkatnya nilai
saham perusahaan. Pandangan ini hanya melihat pada kepentingan jangka pendek perusahaan
(dalam Henningfeld 2006, h: 11-13). Kedua, competitive advantage atau keunggulan kompetitif.
Perusahaan yang memiliki program CSR ditengarai lebih unggul dalam kompetisi pasar
dibandingkan tidak memiliki program CSR. Pandangan ini lebih berorientasi jangka panjang
karena keunggulan kompetitif tidak dapat dinikmati secara instan (dalam Henningfeld 2006, h:
11-13).
Namun, menurut ahli pemasaran Kotler dan Lee (2005), terdapat satu ide lagi yang
menjadi kepentingan ekonomis perusahaan dalam melaksanaan CSR. Ide tersebut sebenarnya
mirip dengan keunggulan kompetitif dari sisi capaian kurun waktu. Tetapi ide ini lebih bersifat
caused related-marketing. Artinya perusahaan melakukan CSR untuk membangun brand dan
citra terhadap masalah-masalah sosial untuk meningkatkan keuntungan perusahaan demi
kepentingan marketing ke konsumen.
Mulyadi Sumarto (2008, h: 19) melalui tulisannya juga turut mengkritik pelaksanaan
programcommunity developmentMultinationalCorporationyang ditujukan untuk menjaga
keamanan fasilitas produksi dan menciptakan kepercayaan publik (public trust). Motif menjaga
keamanan terlihat dari perilaku perusahaan dalam realisasi program community development
yang dilakukan oleh perusahaan karena diawali dari konflik antara perusahaan dengan
masyarakat. Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa perusahaan merealisasi program tersebut
pasca desentralisasi dimana pada saat itu keterbukaan dan kebebasan menyampaikan aspirasi
xvii
masyarakat semakin besar. Pada sisi yang lain, secara normatif ketika proses produksi dilakukan
maka kegiatan community development sebagai wujud kompensasi eksternalitas seharusnya
segera dilakukan karena problem ini muncul ketika proses produksi telah dilakukan.
Sementara itu motif membangun kepercayaan publik terlihat dari berbagai kegiatan
propaganda mengenai CSR. Kepercayaan publik merupakan aset yang cukup berharga bagi
sektor privat karena dengan aset ini perusahaan bisa menjalankan proses produksinya. Banyak
kasus menunjukkan bahwa perusahaan dianggap tidak layak operasi karena ditolak
keberadaannya oleh masyarakat. Dengan demikian, program CSR diposisikan sebagai media
untuk mendapatkan legitimasi proses produksi yang dilakukan sektor privat.
Karena program-program CSR dilatarbelakangi oleh motif tersebut maka sebagian besar
program tidak mampu memberdayakan masyarakat. Skema CSR PT. Newmont Nusa Tenggara
bahkan cenderung bersifat pragmatis dan insidentil dengan seluruh penyusunan program bersifat
elitis, masyarakat lokal tidak pernah diberi kesempatan untuk terlibat dalam penyusunan
program. Pihak korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara) percaya terhadap pelaku representasi
masyarakat yaitu kepala desa seluruh masyarakat lingkar tambang yang diyakini mampu
menyuarakan kepentingan masyarakat. Sehingga tidak mengherankan bahwa pilihan program
lebih banyak ditentukan oleh perusahaan dan para representasi tersebut. Dalam konsep
pemberdayaan, aspek partisipasi merupakan unsur penting dalam memberdayakan masyarakat,
termasuk dalam memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam penyusunan dan
pengelolaan program.
Karakter dari program CSR yang dilaksanakan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara
realisasinya bersifat tidak sistematis dan tidak direncanakan secara integral. Hal ini disebabkan
karena pelaksanaan program ditujukan pada usaha untuk meredam konflik dengan masyarakat.
Dengan demikian pelaksanaan program bersifat insidentil karena menunggu tuntutan masyarakat
dan bukan berdasarkan pada perencaaan yang sistematis. Yang lebih problematik lagi adalah
bahwa implementasi program tidak diorientasikan untuk mempersiapkan masyarakat pasca
ekstraksi (Sumarto, M 2008, h: 22).
Tidak mengherankan ritual CSR semacam itu terus terlembaga karena keterbukaan sikap
pemerintah daerah-desa di Kabupaten Sumbawa Barat yang bersekongkol dengan PT. Newmont
xvii
Nusa Tenggara untuk menzalimi masyarakat atas nama kepentingan ekonomi. Keterlibatan
pemerintah pun dalam pengelolaan CSR turut menambah derita panjang masyarakat karena abai
dan rendahnya keberpihakan negara dan perusahaan dalam memajukan masyarakat lokal.
Kendatipun keterlibatan dan campur tangan pemerintah dalam program CSR sampai saat ini
masih menuai perdebatan. Terdapat beberapa literatur yang menjelaskan bahwa ada dua aliran
pemikiran yang terkait dengan campur tangan pemerintah dalam program CSR yang
dilaksanakan oleh perusahaan.
Aliran pertama, merupakan kelompok ahli yang menolak campur tangan pemerintah
dalam program CSR. Aliran ini beranggapan bahwa campur tangan pemerintah tidak dibutuhkan
dalam pengembangan CSR karena adanya campur tangan pemerintah dianggap akan
mengganggu kepentingan bisnis perusahaan. Sementara aliran yang kedua adalah merupakan
kelompok yang mendorong campur tangan pemerintah dalam program CSR. Aliran kedua ini
beranggapan bahwa campur tangan pemerintah mutlak dibutuhkan bagi perkembangan CSR.
Pandangan ini didasarkan pada realitas bahwa operasionalisasi perusahaan banyak
mengakibatkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah
harus ikut campur tangan agar kepentingan masyarakat dan perusahaan dapat berjalan lancar
(Susetiawan 2012, h: 38).
Terlepas dari perdebatan pro dan kontra tentang campur tangan pemerintah dalam
pelaksanaan program CSR perusahaan tersebut, secara nyata praktek CSR yang dipahami oleh
pemerintah dalam hal ini pemerintah desa dan pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa Barat
justru sebagai sumber rezeki bagi para birokratnya sehingga tak jarang perusahaan menjadi
automaed teller machine (ATM). Kondisi ini diperkuat dengan tulisan Taufik Rahman, seorang
pengkaji CSR dari Lingkar Studi CSR Indonesia, yang menuliskan bahwa pemerintah memiliki
kepentingan ekonomis yang jelas disini, yaitu sebagai sumber baru dana pembangunan. Atau
dalam istilah yang lebih teknis, sumbangan dana pihak ketiga. Bagi Taufik, kepentingan
ekonomi pemerintah ini menjadi problematik mengingat bahwa kecenderungan dari kepentingan
tersebut adalah pemerintah akan membiarkan perusahaan membangun infrastruktur sendirian.
Bahkan lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa kecenderungan tersebut justru mengarah pada
biaya “entertainment” pejabat pemerintah lebih banyak dibanding biaya pembangunan sosial
dan lingkungan di suatu wilayah. Praktik suap dan korupsi demikian melekat kuat dalam
xvii
hubungan antara perusahaan dengan pemerintah. Selain itu, lanjut Taufik ada kecenderungan
pula dana community development yang menjadi bagian dari pelaksanaan CSR perusahaan
didesak pemerintah sebagai bagian dari anggaran pemasukan dan belanja pemerintah. (Rahman,
T csrindonesia.com,5 Mei 2013).
Perdebatan teoritis terkait CSR justru memperlihatkan implementasi miris atas
ketidakmampuan CSR dalam mensejahterakan masyarakat lokal, kondisi ini semakin diperkuat
dengan hadirnya bukti meluasnya angka kemiskinan di Kecamatan Sekongkang yang notabene
sebagai kecamatan tempat berlangsungnya operasi Industri PT. Newmont Nusa Tenggara.
Realitas demikian semakin menguatkan tuduhan bahwa perusahaan memang tidak berkeinginan
untuk memiliki tanggungjawab sosial terhadap masyarakat sekitar. Hal ini tentu saja
memperlihatkan bahwa terdapat diskriminasi terhadap nilai kemanusiaan yang tidak hadir
sebagai nilai universal sebagai guide line of action dari semua pemangku kepentingan dalam hal
ini negara dan perusahaan dalam melaksanakan CSR, akan tetapi nilai universal tersebut masih
sebatas retorika yang tidak melahirkan etos. Kemiskinan, kelangkaan ekologi, dan kesengsaraan
akan terus dinikmati oleh masyarakat lokal manakala relasi yang tercipta antara elit politik
dengan elit ekonomi dalam pengelolaan CSR bersifat predatoris. Teori ini penting untuk
disuguhkan untuk menggambarkan dinamika relasi yang terbangun antara negara (pemerintah
daerah-desa) dengan PT. Newmont Nusa Tenggara.
Menurut Susetiawan (2012, h: 9) kalau di negara-negara maju, hubungan antara negara,
organisasi para pengusaha dan organisasi sosial non-profit terjadi dengan seimbang. Artinya,
negara sebagai organisasi yang mengatur kehidupan masyarakat bisa dikritik dan dituntut oleh
organisasi ekonomi dan sosial jika tidak melakukan tugasnya dalam memberikan pelayanan.
Sebaliknya negara bisa menuntut dan menghukum organisasi masyarakat, baik ekonomi dan
sosial, jika melakukan pelanggaran atas aturan yang telah ditetapkan. Situasi demikian tidak
banyak terjadi di Indonesia. Ketika negara dan CSO itu kritis terhadap bisnis, mereka tidak
pernah melihat dirinya sediri, apakah perlakuan pemerintah daerah terhadap perusahaan tentang
pelaksanaan CSR hendak mengatur sebaik-baiknya dana CSR untuk masyarakat atau untuk
kepentingan para birokratnya yang syarat dengan perilaku korupsi. Kalau demikian tesisnya,
maka penyamaan stock of knowledge masih membutuhkan perjalanan waktu panjang. Perubahan
xvii
sosial itu sebuah proses, ini tergantung upaya bagaimana agar nilai universal tentang
kemanusiaan menjadi perilaku keseharian dalam etos kehidupan.
D.2.1.Relasi Aktor dalamPusaran CSR(Corporate Social Responsibility)
Menguatnya kemauan politik dan ekonomi dari masing-masing aktor menjadikan
program CSR sebagai arena “perselingkuhan” antara negara (pemerintah daerah-desa) dengan
PT. Newmont Nusa Tenggara yang meminggirkan masyarakat. Seperti bahasan sebelumnya
bahwa keberadaan program CSR (Corporate Social Responsibility) bukanlah sebagai obat
mujarab yang mampu menyelesaikan sederet persoalan sosial, melainkan sebagai alat dari negara
(pemerintah daerah-desa) dan PT. Newmont Nusa Tenggara untuk saling memenuhi kepentingan
masing-masing. CSR justru menjadi alat baru guna memiskinkan masyarakat lokal.
Kondisi diatas menjadikan masyarakat sebagai realisasi dari kezaliman hubungan atara
negara dengan perusahaan. Berbagai kepentingan yang disuarakan dengan lantang atas nama
masyarakat justru menunjukkan realitas yang berkebalikan. Fenomena ini terlihat dari data yang
mengatakan bahwa jumlah angka kemiskinan di daerah eksplorasi pertambangan justru
mengalami fluktuatif, kondisi ini jauh berbeda sebelum hadirnya perusahaan sejagat MNC (PT.
Newmont Nusa Tenggara) dimana jumlah masyarakat miskin cenderung stabil. Pendek kata CSR
tidak lagi sebagai ideologi yang berisi komitmen moral melainkan sebagai komoditi baru bagi
perusahaan dan negara untuk memiskinkan masyarakat.
Pergerakan dan pelaksanaan CSR (Corporate Social Responsibility) yang dijalankan oleh
perusahaan hanya sekedar program basa-basi untuk meningkatkan reputasi positif perusahaan di
mata masyarakat dunia. Anehnya kondisi ini didukung oleh pemerintah yang tidak pernah
menuntut perusahaan untuk memperbaiki kualitas performance CSR (Corporate Social
Responsibility)karena ketidakberdayaan pemerintah daerah dalam hal ekonomi. Terdapat
pemahaman di elit birokrasi untuk tidak menegur bahkan melawan para elit ekonomi meskipun
perlaksanaan CSR PT. Newmont Nusa Tenggara berlangsung buruk dan tidak tepat
sasarankarena terkendala masalah uang. Adanya ancaman pengurangan kontribusi perusahaan
terhadap kucuran dana APBD maupun untuk kocek pribadi dari para elit daerah menjadikan
pasif sebagai pilihan terbaik.
xvii
Dalam konteks relasi antara pemerintah dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam
pengelolaan CSR, pemerintah lebih cenderung bersifat pasif dan penurut hal ini tentu
mengindikasikan bahwa pemerintah daerah dan desa hadir sebagai kepanjangan tangan dari
pasar, aktor-aktor negara melalui dana CSR disuap untuk melanggengkan kuasa eksplorasi.
Kondisi ini justru diamini oleh negara yang menjadikan dana CSR sebagai dana baru yang men-
support aktivitas pribadi para birokrat. Pilihan pasif dari para pengelola negara tersebut bukan
tidak memiliki motif, elit daerah-desa justru melakukan politisasi terhadap skema CSR PT.
Newmont Nusa Tenggara untuk tidak melaksanakan kewajiban dalam melakukan penyediaan
pelayanan publik terhadap masyarakat dampak tambang, dengan asumsi telah ada program dan
dana CSR yang akan mampu mengcover peran dari pemerintah daerah-desa.
Keterlibatan pemerintah daerah dan pemerintah desa dalam pengelolaan program CSR
justru menjadi peluang bagi perusahaan (PT. Newmont Nusa Tenggara) untuk berkoalisi atas
nama kepentingan rakyat. Namun pada tataran empiris pemerintah daerah dan pemerintah desa
justru menjadi penikmat utama atas kucuran dana CSR yang seharusnya ditujukan untuk
perbaikan kualitas masyarakat lokal, namun hanya dinikmati oleh oknum tertentu. Fenomena ini
bagi perusahaan (PT. Newmont Nusa Tenggara) justru dibiarkan sebagai bentuk ucapan
terimakasih perusahaan atas kebaikan negara yang telah melindungi keamanan eksplorasi
perusahaan dari gangguan masyarakat. Ceritera semacam ini menguatkan tuduhan bahwa negara
dan perusahaan bersepakat meninggalkan masyarakat demi akumulasi kapital.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa pelaku politisasi sekaligus penikmat kucuran
dana CSR PT. Newmont Nusa Tenggara tidak terbatas pada pengelola negara namun muncul
keterlibatan dari para aktor-aktor non negara yang dilibatkan sebagai kepanjangan tangan
korporasi di daerah dampak tambang, mereka berperan untuk mendistribusikan program dan
anggaran CSR. Sehingga menjadi mustahil masyarakat dampak tambang akan mengalami
perbaikan kualitas hidup karena pelaksanaan program CSR bersifat spontan dan berdurasi
pendek. Disamping itu masyarakat miskin di Kecamatan Sekongkang kerap tidak merasakan
dana corporate social responsibility kalau tidak melakukan demo terlebih dahulu, dana itu akan
berputar-putar di tangan para pelayan kepentingan korporasi itu terlebih dahulu bahkan mungkin
hingga habis sehingga masyarakat lokal miskin kerap gigit jari atas perlakuan dari para penguasa
dan pengusaha yang tergerus rasa pedulinya tersebut.
xvii
E. Definisi Konseptual
Definisi konseptual merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas
dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu.
Memperjelas pemaknaan teori yang telah disampaikan agar tercipta kesamaan pemahaman
sebagai acuan bagi penulis untuk melakukan penelitian di lapangan. Disamping itu definisi
konseptual dapat menjadi acuan bagi pembaca lainnya agar memiliki konsepsi yang sama
terhadap istilah-istilah kunci yang digunakan dalam penelitian ini. Ada beberapa definisi
konseptual yang akan digunakan sebagai variabel-variabel yang harus dipahami agar pemahaman
dapat fokus, tidak bias, salah persepsi dan melebar. Adapun variabel-variabel tersebut adalah:
1. Relasi adalah bentuk hubungan antara dua aktor atau lebih yang berbeda dalam dunia
politik maupun lainnya, dimana terjadi hubungan saling mengisi kepentingan satu sama
lain.
2. Predatory State dalam studi ini dilihat sebagai tipe korupsi yang dilakukan oleh para
aktor formal dan informal bersama korporasi yang melakukan transaksi kepentingan
dalam rangka akumulasi kepentingan pribadi dan kelompok. Para aktor formal dan
informal tersebut tampil sebagai fasilitator dan protektor bagi korporasi. Artinya seluruh
aktor tersebut berperan sebagai invisible hand dari berjalannya mekanisme pasar.
3. CSR dalam studi ini dimaknai sebagai sebuah komitmen moral tidak hanya perusahaan
harus menyisihkan dan bahkan menyisahkan sebagian keuntungannya melainkan juga
rasa peduli untuk memfasilitasi perkembangan masyarakat sekitar agar mereka tumbuh
dan berkembang sejalan dengan kemajuan masyarakat, baik secara ekonomi, sosial,
politik dan budaya. Dengan demikian masyarakat lokal yang hidup di sekitar perusahaan
yang beroperasi tidak lagi menjadi masyarakat yang tertinggal dan miskin di tengah
hadirnya perusahaan sejagat MNC dan TNC. Disini letaknya dimana perusahaan harus
secara sungguh-sungguh peduli dan bertanggungjawab atas rusaknya nilai-nilai sosial,
ekonomi, dan budayaserta hilangnya natural resources yang dimiliki oleh masyarakat
lokal, yang hasilnya dipindahkan ke perusahaan menjadi emas ataupun tembaga yang
keuntungannya dinikmati oleh perusahaan dan aktor-aktor yang pro dengan korporasi
(Susestiawan, 2012, h: 4).
xvii
F. Definisi Operasional
Definisi operasional sebagai acuan dasar atas objek yang akan diteliti, oleh karena itu
sifatnya penting dalam penelitian lapangan. Definisi operasional juga mengajak pembaca lain
untuk memiliki persepsi yang sama dengan penulis dalam memahami istilah-istilah kunci secara
operasional yang digunakan dalam penelitian ini. Hal demikian, dikarenakan pengarahan yang
tepat atas prosedur penelitian, membutuhkan adanya ketegasan tentang adanya gugus realitas
yang memang sesuai dengan yang akan diteliti atau keberadaannya memang betul-betul ada
(Wirawan, 2008 h: 50-51). Selain itu, definisi operasional juga diperlukan untuk menunjukkan
bahwa konsep yang dibangun memiliki rujukan yang empiris (Mahsun, M 2012, h: 43). Adapun
beberapa definisi operasional, yang dianggap penting untuk diketahui akan menjadi objek dalam
penelitian ini.
1. Relasi adalah hubungan yang tercipta dan terjalin antara dua aktor atau lebih. Dalam
konteks penelitian ini aktor-aktor yang terlibat meliputi aktor formal (elit daerah, elit
kecamatan dan elit desa). Aktor nonformal (tokoh-tokoh lokal, pengusaha-pengusaha
lokal dan LSM) serta elit ekonomi (PT. Newmont Nusa Tenggara) yang membangun
relasi untuk saling mengisi kepentingan satu sama lain.
2. Predatory state dalam konteks penelitian ini dipahami sebagai prakteksimbiosis, koalisi
dan korupsi yang terjalin antara berbagai aktor (formal dan non-formal)bersama PT.
Newmont Nusa Tenggara untuk memiskinkanmasyarakat dampak tambang. Para
predator politik dan ekonomi itu menangguk keuntungan yang besar dibandingkan
dengan masyarakat dampak tambang yang menikmati keuntungan jangka pendek dan
terbatas. Para predator lokal tersebut akan bergerak secara massif untuk melawan pihak
yang berseberangan dengan korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara), hal ini dilakukan
karena mereka telah memperoleh sejumlah bayaran sehingga menutup mata atas
penderitaan rakyat lokal.
3. CSR dalam penelitian ini dipahami sebagai skema ‘kamuflase’ dan ‘politisasi’ yang
memiskinkan masyarakat dampak tambang. Bagi elit politik CSR (Corporate Social
Responsibility)dijadikan alat bagi mereka untuk mangkir dalam penyediakan pelayanan
publik bagi masyarakat dampak tambang dengan dalih telah ada PT. Newmont Nusa
Tenggara di kawasan tersebut. Bagi korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara) skema
xvii
CSR ditujukan untuk mengelabui semua pihak untuk memperoleh lisensi operasi
sekaligus untuk memperoleh citra positif dimata dunia.Realitas di atas menerangkan
bahwa skema Corporate Social Responsibility (CSR) yang didukung secara berjama’ah
ini sekedar program basa-basi yang tidak tepat sasaran dan memiskinkan, bahkan
program dan kucuran dananya dinikmati oleh penikmat yang tidak semestinya.
G. Metodologi Penelitian
G.1. Jenis Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang dipilih, maka penelitian ini akan mengadopsi jenis
penelitian kualitatif. Dimana metode ini digunakan untuk menghasilkan data deskriptif mengenai
kata-kata lisan maupun tulisan, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang
diteliti atau objek yang diteliti (Hendarso, 2008: 166).Melalui pendekatan studi kasus (case
study), khususnya instrinsic case study. Instrinsic case study berupaya untuk memahami secara
lebih instrinsic mengenai fenomena, keteraturan, dan kekhususan dari suatu kasus yang akan
diteliti. Metode studi kasus menjadi relevan manakala pertanyaan penelitian yang disuguhkan
berkenaan dengan “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why), serta fokus penelitiannya terletak
pada fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan nyata (Yin 1996, h: 1-18).
Secara detail definisi yang lebih teknis dari studi kasus diungkap oleh (Yin 1981, h: 23).
A case study is an empirical inquiry that:(a) Investigates contemporary phenomenon within its
real-life context, when; (b) The boundaries between phenomenon and context are not clearly
evident, and in which; and (c) Multiple sources of evidence are used. Dengan demikian,
penelitian studi kasus digunakan untuk menjawab rumusan masalah “Bagaimana relasi antara
pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam upaya penanggulangan kemiskinan di
Kecamatan Sekongkang Kabupaten Sumbawa Barat?”.
Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi peneliti untuk mengadopsi metode studi
kasus sebagai metode yang mampu membedah objek penelitian. Pertama, metode studi kasus
dianggap peneliti komprehensif dalam menjawab pertanyaan penelitian yang berkenaan dengan
“bagaimana” dan “mengapa”. Hal ini relevan dengan rumusan masalah yang diajukan oleh
peneliti yaitu “Bagaimana relasi antara pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara
dalamupaya penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Sekongkang Kabupaten Sumbawa
xvii
Barat?. Kedua, studi kasus merupakan metode yang relevan untuk mengungkapkan isu yang
kontemporer. Persoalan relasi antara pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggaradalam upaya
penanggulangan kemiskinan sesungguhnya telah terjalin sejak lama, namun menjadi menarik
untuk diteliti kembali karena relasi yang terbangun mengalami harmonisasi yang semakin
meminggirkan masyarakat.
Ketiga, objek penelitian yang dipilih memiliki boundaries (batasan) aktor, lokus, dan
konteks yang jelas. Adapun yang menjadi batasan aktor dalam penelitian ini yaitu negara
(pemerintah daerah, pihak kecamatan dan pemerintah desa), perusahaan (PT. Newmont Nusa
Tenggara) dan masyarakat lokal di Kecamatan Sekongkang. Sedangkan lokusnya berada di
Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat dan konteksnya saat ini. Berbekal argumen
diatas, peneliti meyakini bahwa metode studi kasus cocok untuk mengeksplorasi relasi antara
pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam upaya penanggulangan kemiskinan di
Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat.
Pada dasarnya pendekatan studi kasus cocok digunakan apabila peneliti ingin menyelidiki
masalah secara mendalam dan memberikan penjelasan yang dapat mengatasi kompleksitas dan
kehalusan situasi kehidupan nyata. Oleh karenya secara khusus, studi kasus cocok untuk
mempelajari proses dan hubungan dalam lingkungan tertentu. Namun demikian tidak bisa
dipungkiri bahwa studi kasus mempunyai kelemahan sebagai metode dalam penelitian,
kelemahan tersebut meliputi isu, validitas, realibilitas, dan generalisasi temuan (Salim 2006, h:
125). Isu validitas berkaitan dengan tingkat keabsahan objek studi dalam mewakili kelompok
kasus-kasus yang lain. Objek yang hadir dalam studi kasus biasanya bersifat tunggal dan sedikit
jumlahnya, maka dari itu tingkat keabsahan dari suatu penelitian studi kadang diragukan. Namun
untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan dengan penggunaan multi sumber,
membangun serangkaian teori yang berguna sebagai bukti, dan meminta informan kunci untuk
meninjau ulang hasil penelitian dari peneliti.
Kedua, isu reliabilitas, hal ini berkaitan dengan tingkat kesahihan hasil yang diperoleh
apabila penelitian yang sama diulang atau diprediksi pada kasus lain di tempat dan waktu lain
(Salim 2006, h: 125). Untuk mengatasi permasalahan ini, peneliti dapat melakukan beberapa
tindakan yang meliputi membuat sebanyak mungkin dan seoperasional mungkin langkah-
langkah, serta dalam melakukan penelitian seolah-olah ada yang mengawasi sehingga reabilitas
xvii
dalam suatu penelitian terjaga (Yin 1996, h: 45). Ketiga, isu generalisasi, hal ini berkaitan
dengan tingkat teorisasi hasil penelitian dan penerapannya dalam populasi yang serupa di tempat
lain (Salim 2006, h: 125). Untuk mengatasi permasalahan ini dapat dilakukan dengan upaya
pengujian penelitian melalui replika pada lingkungan kedua, ketiga dan seterusnya, apabila
penelitian baik maka hasil yang diperolehpun akan sama. Secara umum untuk meminimalisir
berbagai kekurangan dari studi kasus tersebut akan digunakan metode triangulasi yang akan
dilakukan dalam hal teknik pengumpulan data dan juga dalam hal sumber data.
G.2. Unit Analisa Data
Unit analisis dalam penelitian ini berkeinginan untuk mengetahui relasi yang tercipta
antara pemerintah dengan korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara) dalam upaya
penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Sekongkang. Oleh karenanya keberadaan dan
kepentingan dari berbagai aktor perlu disuguhkan untuk melacak relasi yang tercipta. Adapun
aktor yang akan dimintai keterangan terkait objek penelitian ini adalah: masyarakat lokal yang
kehidupannya dekat dengan praktek eksplorasi PT. Newmont Nusa Tenggara. Selain itu juga
yang perlu diperhatikan adalah para pelaku eksploitir yaitu negara (pemerintah daerah-desa,
pihak Kecamatan Sekongkang) dan PT. Newmont Nusa Tenggara.
G.3. Sumber Data
a. Sumber Primer
Sumber primer adalah sumber utama yang dijadikan sebagai pusat informasi data terpenting.
Sumber primer dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil wawancara dan informasi dari para
key informan dalam hal ini para tokoh masyarakat, pejabat birokrasi baik yang berada di level
daerah, camat dan desa, dan aktor korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara). Dengan kata lain
data primer adalah data yang diperoleh dengan teknik pengamatan langsung terhadap objek
maupun wawancara kepada para responden yang relevan dengan fokus penelitian.
b. Sumber Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang dijadikan pelengkap atau pendukung
informasi bagi data sumber primer. Data sekunder ini didapatkan dari teks-teks, dokumen-
dokumen, baik berupa kebijakan-kebijakan yang berhubungan yang berhasil diperoleh oleh
peneliti melalui situs internet, artikel-artikel, koran nasional maupun lokal, dan jurnal yang
memiliki keteraikatan dengan objek penelitian.
xvii
G.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh data penelitian. Data-data yang
diperoleh baik primer maupun sekunder akan didapatkan dengan menggunakan teknik
wawancara mendalam (in-depth interview), analisis dokumen (document analisys) dan observasi
partisipan (participant observationt) dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Wawancara Mendalam (in-depth interview)
Wawancara mendalam (indepth interview) akan dilakukan dengan informan dan key
informan, baik secara formal maupun informal. Wawancara sebisa mungkin akan dikondisikan
secara informal untuk meminimalisir kekakuan sekaligus mempermudah penggalian informasi
secara mendalam. Oleh karena itu, wawancara secara mendalam dan intensif menjadi salah satu
metode yang penting untuk mendapatkan data. Karena wawancara intensif, selain terwawancara
dapat berbicara bebas dan memberikan tafsiran terhadap suatu peristiwa dan sudut pandang
merekalah yang paling penting untuk menangkap makna yang tersembunyi dibalik realitas yang
ada dari sebuah peristiwa (Marsh dan Stoker, 2010: 242).
Penggunaan teknik wawancara terbuka, dimana subjek wawancara mengetahui bahwa
mereka sedang diwawancarai dan mereka mengetahui maksud dari wawancara yang dilakukan,
diterapkan dalam penelitian ini. Bentuk wawancara yang dilakukan meliputi wawancara
terstruktur dan tak terstruktur, masing-masing penggunaannya disesuaikan dengan situasi dan
kondisi di lapangan (Rahayu 2008, h: 23). Dengan wawancara ini setidaknya peneliti bisa
menjaring dan kemudian menyaring data informasiyangkevalidannya dapat
dipertanggungjawabkan. Wawancara ini dilakukan langsung dengan tatap muka kepada informan
yang telah ditentukan sebelumnya yaitu:
Wawancara bersama perwakilan PT. Newmont Nusa Tenggara, sejumlah lima (5)
orang.Wawancara dengan perwakilan elit daerah, elit kecamatan dan elit desa sejumlah enam (6)
orang.Wawancara juga dilakukan bersama tokoh lokal, pengusaha lokal, tokoh pemuda dan
tokoh masyarakat yang ada di Kecamatan Sekongkang sejumlah delapan (8) orang.Penting pula
untuk melakukan wawancara dengan representasi Lembaga Bantuan Hukum untuk melihat
sejauhmana perselingkuhan yang terjadi antara predator lokal dengan predator ekonomi dapat
memiskinkan kondisi ekologi Kecamatan Sekongkang.
xvii
Dalam penyajian keseluruhan substansi penelitian ini akan ditemukan beberapa kutipan
langsung yang menggunakan inisial, hal ini dikarenakan permintaan dari narasumber yang
keberatan namanya untuk ditampilkan dengan alasan keamanan dan kenyamanan narasumber.
Berikut adalah beberapa narasumber yang berhasil peneliti wawancarai dan bersedia namanya
untuk dipublikasikan:
Tabel 1.1: Daftar Informan/ Narasumber
No. Nama Aktivitas/Pekeraan 1 Bapak H. Amry Hasan Kepala Bappeda 2 Bapak Abidin Nassar Wakil DPRD KSB 3 Pak Syarifuddin Kepala Desa Sekongkang Atas 4 Pak Rahmat Hidayat Kepala Desa Sekongkang Bawah 6 Ibu Nia Kesra Kantor Camat 7 Bapak H. Syarafuddin Jarot Manajer PT. NNT 8 Bapak H. Basuki PT. NNT 9 Bapak Akhdiat Amril PT. NNT 10 Bapak Syamsul Bahri PT. NNT 11 Bapak Ismul PT. NNT 12 Bapak H. Muhammad Arsyad Ketua Yayasan Olat Parigi (YOP) 13 Syahrul Mustofa Lembaga Bantuan Hukum 14 Toni Hardiansyah Tokoh Pemuda 15 Sahena Masyarakat 16 Bapak Maslukang Tokoh Agama b. Analisis Dokumen (Document analisys)
Analisis dokumen pada penelitian ini yaitu dengan memanfaatkan data-data sekunder yang
telah tersedia di berbagai instansi. Data yang bersumberdariKecamatan Sekongkang, Kantor
Desa dampak tambang, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat maupun dari PT. Newmont Nusa
Tenggara. Data-data ini kemudian dianalisis secara mendalam.
c. Observasi Langsung
Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencacatan dengan sistematik terhadap
fenomena-fenomena yang relevan dan penting untuk diselidiki. Dalam penelitian ini observasi
langsungdi lapangan ditujukan untuk menggali kemungkinan adanya informasi yang terlewatkan
dari pedoman wawancara yang dilakukan sekaligus untuk memperkaya dimensi pengamatan dari
fenomena penelitian yang ada (Anshori 2011, h: 37-38).
xvii
G.5. Instrumen Pengumpulan Data
Untuk mempermudah dalam pengumpulan data diperlukan menggunakan instrumen
pengumpulan data. Adapun instrumen dalam pengumpulan data di lapangan dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan beberapa alat (tools) yaitu alat perekam suara, alat pemotret
gambar dan alat-alat catat.
G.6. Lokus Penelitian
Lokus atau lokasi dari penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten
Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat yang notabene menjadi area beroperasinya PT.
Newmont Nusa Tenggara, sehingga akan mampu memetakan relasi antara pemerintah dengan
PT. Newmont Nusa Tenggara dalam melakukan upaya penanggulangan kemiskinan.
G.7. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dalam beberapa tahapan
yaitu data yang telah dikumpulkan baik berupa data primer atau data sekunder mula-mula
disusun, dijelaskan kemudian dianalisa, selanjutnya data yang telah dinilai, ditafsirkan dan
kemudian disimpulkan. Penilaian data didasarkan pada empat kriteria yaitu: derajat kepercayaan,
keteralihan, kebergantungan, dan kepastian. Langkah selanjutnya yaitu penafsiran data yang
memberi makna pada analisis, menjelaskan pola dan mencari hubungan berbagai konsep
meskipun lebih bersifat subjektif dari peneliti. Tahap terakhir adalah penarikan kesimpulan
sebagai rangkaian laporan hasil penelitian yang merupakan inti dari sebuah penelitian.
H. Sistematika Penulisan
Guna memperoleh temuan yang komprehensif dan menghasilkan alur pemikiran yang
jelas sehingga dapat ditarik suatu keterikatan hubungan dari keseluruhan isi penelitian, maka
penelitian ini akan disuguhkan ke dalam lima (5) bab. Bab pertama adalah pendahuluan. Pada
sesi ini akan menjelaskan latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka
teori, definisi konseptual, definisi operasional, metode penelitian, dan terakhir sistematika
penulisan.
Bab dua,mengetengahkan terkait keberpihakan negara pada hadirnya PT. Newmont Nusa
Tenggara yang memunculkan polemik dan realitas multi degradasi. Bab ini akan diawali dengan
menjelaskan potret geografis Kecamatan Sekongkang sebagai lokasi penelitian. Menampilkan
xvii
sejarah mining corporation serta menceritakan sekilas sejarah dari PT. Newmont Nusa Tenggara
sebagai objek penelitian. Menggamblangkan polemik yang terjadi pada periode awal
kemunculan PT. NNT yang berimplikasi pada lahirnya realitas multi-degradasi. Pembelaan
negara terhadap PT. Newmont Nusa Tenggara menciptakan kemiskinan dan kesenjangan yang
paradoks di Kecamatan Sekongkang ditengah beroperasinya perusahaan multinasional tersebut.
Yang tidak kalah menyedihkan adalah populernya politik pragmatis dan merebaknya money
politic yang menjadi indikasi merosotnya moral politik masyarakat di Kecamatan Sekongkang.
Persoalan yang tidak terlupakan adalah lunturnya nilai-nilai sosial-budaya masyarakat
Sekongkang akibat kehadiran PT.NNT yang mulai menerjemahkan segala bentuk pertolongan
dengan materi. Selain itu kehancuran ekologi menjadi pemandangan yang tidak kalah
menakutkan dan mengancam kelestarian lingkungan akibat dampak tailing dan penggalian sumur
tambang yang berdampak pada tercemarnya laut, sungai sehingga mengurangi jumlah kualitas
air bersih di Kecamatan Sekongkang.
Bab tiga, mencermati perselingkuhan yang terjadi antara predator lokal yang menjalin
relasi mutualisme dengan PT. Newmont Nusa Tenggara yang berujung pada tercabiknya kondisi
masyarakat dampak tambang. Pilkada 2005 menjadi gerbang penajaman perselingkuhan yang
terjalin mesra antara elit daerah dengan korporasi. Momen pilkada menjadi penuh dengan kuasa
uang karena seluruh kandidat bupati memperoleh dukungan dana kampanye dari perusahaan.
Uang sogokan itu menjadi alat bagi perusahaan untuk dapat membeli dan memesan kebijakan
yang bersesuaian dengan kepentingan korporasi PT. Newmont Nusa Tenggara. Disamping itu
dana hibah yang diperuntukkan untuk pemberdayaan difungsikan untuk memenuhi kepentingan
predator lokal. Kolaborasi yang tidak kalah menyakitkan terbangun antara elit desa dengan
pihak kecamatan yang mendapat dukungan dari oknum PT. Newmont Nusa Tenggara untuk
melakukan praktek jual beli kursi karyawan Newmont tujuannya pun meminggirkan masyarakat
karena mereka lebih memprioritaskan kerabat dan sanak familinya. Upaya untuk
mendeskriditkan masyarakat lokal ini tidak hanya datang dari aktor formal namun turut
melibatkan aktor-aktor informal. Aktor-aktor informal dalam hal ini (tokoh-tokoh lokal,
pengusaha lokal dan LSM lokal)turut melakukan pengkhianatan dengan melakukan
keberpihakan terhadap pemerintah daerah-desa serta PT. Newmont Nusa Tenggara dengan dalih
kemakmuran personal dan golongan. Mereka bersama menyudutkan dan membatasi akses
xvii
masyarakat lokal sehingga kemiskinan menjadi pilihan yang harus diterima oleh masyarakat
lokal.
Bab empat, menguak kongkalikong seluruh predator lokal bersama predator ekonomi
yang melakukan ‘politisasi’ terhadap skema Corporate Social Responsibility (CSR). Skema CSR
menjadi celah bagi pemerintah daerah-desa untuk absen memberikan pelayanan terhadap
masyarakat dampak tambang, dengan dalih hadirnya perusahaan raksasa tersebut. Sesi ini akan
diawali dengan pemetaan pemanfaatan skema CSR oleh pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa
Barat. CSR yang ditawarkan sebagai penawar kemiskinan berubah menjadi racun yang
memiskinkan kaena kehadirannya bersifat “kamuflase”. CSR dimanfaatkan oleh perusahaan
untuk memperoleh citra positif di mata dunia, sekaligus sebagai alat untuk memperoleh lisensi
sosial. Wajah CSR menjadi semakin buram karena aktor yang terlibat didalamnya memanfaatkan
anggaran CSR untuk kepentingan personal dan golongan. Potret skema CSR PT. Newmont Nusa
Tenggara berujung pada pemberdayaan jangka pendek untuk membungkam kekritisan
masyarakat dampak tambang.
Bab lima, berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang ditemukan di lapangan.
Kesimpulan merupakan manifestasi dari pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian.
Selanjutnya, pembahasan dalam bab ini akan menyajikan refleksi teoritik atas temuan penelitian
di lapangan.
top related