bab i pendahuluan a. latar belakang...

35
1 Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan sumber daya pertambangan menjadi aspek penting penyokong pembangunan daerah. Sektorpertambangan diyakini berpotensi unggul dan bernilai ganda dimana kehadirannya dapat memberikan kontribusi positif baik secara finansial, penyerapan tenaga kerja lokal, penanggulangan kemiskinan maupun efek positif lainnya yang dimungkinkan dapat terjadi. Oleh karena itu, sektor pertambangan dijadikan sebagai salah satu sektor prioritas potensi daerah yang dikelola untuk mendukungpelaksanaan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Paradoks dengan statement diatas kasus-kasus pertambangan di tanah air justru memperlihatkan minimnya perhatian perusahaan terhadap perbaikan kesejahteraan dan pengurangan kemiskinan masyarakat daerah. Fenomena yang terlihat hadirnya sektor pertambangan justru dimanfaatkan oleh negara (pemerintah daerah-desa) dan elit-elit lokal lainnya sebagai instrumen politik dan ekonomi. Sebaliknya negara dimanfaatkan sebagai alat kapital pemberi konsesi-konsesi untuk eksploitasi pertambangan. Oleh karenanya keberadaan sektor pertambangan hampir tidak memberikan manfaat yang signifikan terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penduduk di daerah eksplorasi industri pertambangan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia hidup dalam kemiskinan. Meskipun tidak ada data statistik yang akurat, tapi dari berbagai survei dapat diperkirakan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2009 sekitar 17 persen, dan penduduk miskin yang tinggal di wilayah pertambangan mencapai lebih dari 25 persen. Bahkan, misalnya PT. Newmont Nusa Tenggara, sekalipun menempati urutan pertama penyumbang terbesar bagi PDRB NTB, pada kenyataannya jumlah angka kemiskinan termasuk yang ada di daerah eksplorasi industri pertambangan atau lingkar tambang Batu Hijau di Kecamatan Sekongkang, masih sangat tinggi. Di Kecamatan Sekongkang, terdapat sedikitnya 565 kepala keluarga (KK) miskin atau sekitar 29,4 persen dari 1.887 KK. Di Kecamatan Maluk, ada 452 kepala keluarga miskin atau

Upload: dinhthien

Post on 16-Mar-2019

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1  

Bab I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengelolaan sumber daya pertambangan menjadi aspek penting penyokong pembangunan

daerah. Sektorpertambangan diyakini berpotensi unggul dan bernilai ganda dimana kehadirannya

dapat memberikan kontribusi positif baik secara finansial, penyerapan tenaga kerja lokal,

penanggulangan kemiskinan maupun efek positif lainnya yang dimungkinkan dapat terjadi. Oleh

karena itu, sektor pertambangan dijadikan sebagai salah satu sektor prioritas potensi daerah yang

dikelola untuk mendukungpelaksanaan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan

masyarakat.

Paradoks dengan statement diatas kasus-kasus pertambangan di tanah air justru

memperlihatkan minimnya perhatian perusahaan terhadap perbaikan kesejahteraan dan

pengurangan kemiskinan masyarakat daerah. Fenomena yang terlihat hadirnya sektor

pertambangan justru dimanfaatkan oleh negara (pemerintah daerah-desa) dan elit-elit lokal

lainnya sebagai instrumen politik dan ekonomi. Sebaliknya negara dimanfaatkan sebagai alat

kapital pemberi konsesi-konsesi untuk eksploitasi pertambangan. Oleh karenanya keberadaan

sektor pertambangan hampir tidak memberikan manfaat yang signifikan terhadap pembangunan

dan kesejahteraan masyarakat lokal.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa penduduk di daerah eksplorasi industri

pertambangan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia hidup dalam kemiskinan.

Meskipun tidak ada data statistik yang akurat, tapi dari berbagai survei dapat diperkirakan bahwa

jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2009 sekitar 17 persen, dan penduduk miskin yang

tinggal di wilayah pertambangan mencapai lebih dari 25 persen. Bahkan, misalnya PT. Newmont

Nusa Tenggara, sekalipun menempati urutan pertama penyumbang terbesar bagi PDRB NTB,

pada kenyataannya jumlah angka kemiskinan termasuk yang ada di daerah eksplorasi industri

pertambangan atau lingkar tambang Batu Hijau di Kecamatan Sekongkang, masih sangat tinggi.

Di Kecamatan Sekongkang, terdapat sedikitnya 565 kepala keluarga (KK) miskin atau

sekitar 29,4 persen dari 1.887 KK. Di Kecamatan Maluk, ada 452 kepala keluarga miskin atau

xvii  

16,83 persen dari 2.743 KK. Di Kecamatan Jereweh, terdapat sedikitnya 552 KK miskin atau

23,04 persen dari 2.206 KK. Sementara total KK miskin di KSB mencapai 5.645 KK atau 19,46

persen dari total jumlah KK yang bermukim di KSB (n.d., Kompasiana.com, 21 Maret 2011).

Tingginya angka kemiskinan di wilayah kerja industri pertambangan itu merupakan

sebuah ironi. Dikarenakan masyarakat yang berada di sekitar lingkungan tambang berada dalam

posisi yang selalu dirugikan atas aktivitas pertambangan. Masyarakat lingkar tambang

dihadapkan pada situasi yang ironis. Mereka lahir dan besar di kawasan operasi perusahaan, tapi

hanya menjadi budak dan kuli bangunan, mengais rejeki dan bertahan hidup dari limbah-limbah

perusahaan. Tidak hanya itu mereka juga harus menanggung dan menikmati kerusakan limbah

perusahaan yang mengancam masa depan generasi selanjutnya (Aperiansyani, N 2012, h: 3).

Narasi tersebut memberikan gambaran terang bahwa masyarakat lingkar tambang

menjadi korban yang dibenarkan atas nama pembangunan. Persoalan kemiskinan dan kelangkaan

ekologi bagi banyak pihak menjadi sebuah bencana besar. Tapi dilain pihak persoalan

kelangkaan dan kemiskinan justru digadaikan atas nama kepentingan ekonomi. Bagi para

penganut paham ekonomi liberal, misalnya kelangkaan adalah aspek penting bagi bekerjanya

ekonomi. Dalam konteks ini kerusakan lingkungan dan kemiskinan menjadi komoditi yang harus

dimaanfaatkan semaksimal mungkin.

Tidak mengherankan jika proses ekspansi pertambangan dapat berjalan dengan mulus

dikarenakan adanya keterbukaan sikap dari aktor-aktor negara baik pemerintah pusat hingga

pemerintah daerah yang dengan gamblangmemberikan dukungan secara administratif dan politik

guna memperlancar proses penjarahan. Di level lokal, kini banyak pemerintah daerah yang

membuka diri lebar-lebar terhadap investasi dari luar untuk mendongkrang pendapatan daerah.

Dengan berbekal argumentasi otonomi daerah, kini semakin banyak pemerintah daerah yang

mengembangkan kebijakan pengelolaan pertambangan yang ramah terhadap pelaku pasar. Proses

yang dijalankan memang bervariasi. Ada yang melalui kerjasama, utang bersyarat,

ataupuninvestasi bersyarat. Umumnya, pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa Barat

menyetujui adanya pengelolaan pertambangan di daerah kepada perusahaan-perusahaan besar

dalam hal ini PT. Newmont Nusa Tenggara karena logika praktis dalam mengedepankan sumber

ekonomi secara cepat (Nanang dalam Endaryanta 2007, h: xxii).

xvii  

Realitas di atas mengisahkan terjadinya penjajahan nalar ekonomi terhadap institusi

negara, dan juga aktor-aktor dalam negara, telah berdampak serius terhadap pelemahan kuasa

negara untuk mengatur public goods. Pengaruh modal menjadi sedemikian kuat terhadap arah

kebijakan negara. Dalam literatur ilmu politik, fenomena semacam ini disebut sebagai

thecaptured state; dimana aktor-aktor swasta mengkooptasi dan menggerakkan institusi negara.

Dengan mengedepankan keuntungan ekonomis jangka pendek semacam inilah yang kemudian

menutup mata pelaku-pelaku negara terhadap efek-efek sosial, ekonomis dan juga ekologis yang

ditimbulkannnya (Nanang dalam Endaryanta 2007, h: xxiii).

Sebagai bentuk keprihatinan dan kepura-puraan kepedulian terhadap fenomena

kemiskinan yang kian meluas di daerah eksplorasi industri pertambangan, perusahaan dalam hal

ini PT. Newmont Nusa Tenggara melaksanakan program CSR (Corporate Social Responsibility).

Dalam menjalankan program CSR tersebut PT. Newmont Nusa Tenggara berelasi dengan aktor-

aktor lain, yaitu pemerintah daerah dan pemerintah desa. Relasi yang tercipta antara berbagai

aktor dilatar belakangi oleh kepentingan yang beragam.

Bagi perusahaan (PT. Newmont Nusa Tenggara) program CSR harus tetap terlaksana

dengan tujuan menjalankan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat di daerah eksplorasi

industri pertambangan. Namun senyatanya prioritas yang dikedepankan oleh perusahaan adalah

terciptanya image positive perusahaan di masyarakat sebagai bekal untuk melakukan proses

penjarahan pertambangan dalam periode yang lama. Sulit dipahami bahwa perusahaan yang

notabene berorientasi memaksimalkan keuntungan ekonomis menjalankan program CSR untuk

menanggulangi kemiskinan masyarakat lokal dan benar-benar memiliki komitmen moral untuk

mendistribusikan keuntungannya untuk mengeliminir persolan tersebut. Seperti yang telah

dikemukakan oleh (Aperiansyani, N 2012, h: 4) dalam tesisnya patut dipertanyakan bahwa

lembaga-lembaga kapitalistik melakukan kegiatan-kegiatan nirlaba sebagai manifestasi tanggung

jawab mereka terhadap masyarakat lokal yang hidup di sekitar perusahaan.

Melihat dari motifnya menunjukkan bahwa CSR yang diimplementasikan oleh PT.

Newmont Nusa Tenggara hanyalah “kamuflase” bukanlah sebuah kesungguhan moral yang

dilakukan dengan “sepenuh hati”. Mengingat tabiat perusahaan pertambangan yang hanya

mengejar keuntungan semata, tidak mungkin kiranya memiliki tujuan dan maksud mulia untuk

xvii  

memangkas persoalan kemiskinan, menghormati hak-hak masyarakat lokal di areal

pertambangan dan tidak merusak lingkungan. Oleh karena itu, sangatlah tidak mungkin untuk

menuntut perusahaan bertanggung jawab terhadap persoalan sosial, budaya maupun lingkungan,

karena sesungguhnya tanggung jawab perusahaan telah terealisasi melalui penambahan laba

(mengejar keuntungan) dan masalah sosial adalah urusan negara, karena perusahaan sudah

membayar pajak (Friedman 1962, h: 133).

Berbeda dengan perusahaan, pemerintah daerah dan desa kerap menjadikan dana CSR

sebagai sumber baru dana pembangunan serta menjadikan program CSR sebagai celah untuk

melepaskan tanggungjawabnya sebagai penyedia utama public goods terhadap masyarakat

dampak tambang. Menurut Taufik dalam (csrindonesia.com,5 Mei 2013), kepentingan ekonomi

pemerintah ini menjadi problematik mengingat bahwa kecenderungan dari kepentingan tersebut

adalah pemerintah akan membiarkan perusahaan membangun infrastruktur sendirian. Bahkan

lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa kecenderungan tersebut justru mengarah pada biaya

“entertainment” pejabat pemerintah lebih banyak dibanding biaya pembangunan sosial dan

lingkungan di suatu wilayah. Kondisi demikian memperlihatkan betapa mirisnya perilaku elit

birokrasi pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa Barat yang apatis terhadap masyarakat

dampak tambang dan sangat pragmatis memanfaatkan anggaran dan program-program CSR

untuk kebutuhan segelintir pihak.

Kendatipun pemerintah dan perusahaan telah menyusun program CSR secara mapan

dalam rangka penanggulangan kemiskinan namun pada prakteknya berbagai program yang telah

tersusun rapi tersebut belum mampu mengatasi problema kemiskinan di masyarakat yang

cenderung fluktuatif. Kondisi demikian memperlihatkanbahwa sampai saat ini berbagai aktor

belum serius untuk menanggulangi akar kemiskinan di daerah industri pertambangan

dikarenakan adanya tukar-menukar kepentingan antar aktor yang membuat program

penanggulangan kemiskinan dikesampingkan.

Pada titik problematika inilah penelitian ini hendak diarahkan yaitu untuk menguak relasi

antara pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam upaya penanggulangan kemiskinan

di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat. Pola relasi dapat dilihat melalui

keterlibatan berbagai aktor dan kepentingannya dalam rangka penanggulangan kemiskinan tidak

hanya dimaknai dari sisi manajemen semata namun harus ditilik pada perspektif sosio-politik,

xvii  

yaitu terlibatnya berbagai aktor dalam pusaran relasi struktur kuasa (power structure relation)

yang melingkupinya. Dengan demikian, aktor-aktor yang terlibat dalam pusaran relasi struktur

kuasa bukanlah barang yang statis dan suci melainkan dinamis. Setiap aktor memiliki

kepentingan dan ideologinya sendiri dalam melakukan pembelaan atas nama kepentingan rakyat,

yang sesungguhnya syarat dengan konflik kepentingan atas nama pribadi. Oleh karena itu,

masyarakat miskin merupakan masyarakat yang rentan terhadap “perebutan dan monopoli

kuasa” berbagai aktor kepentingan.

Masyarakat miskin menjadi subjek yang harus dibela dan dipentingkan agar tidak

semakin terpinggirkan dan tereksploitasi dari kepentingan antara aktor-aktor yang berelasi dalam

upaya penanggulangan kemiskinan tersebut. Dalam upaya melakukan pengobatan terhadap

kemiskinan diperlukan pemahaman yang tepat, meskipun bukan pekerjaan yang sederhana dalam

memahami fenomena kemiskinan. Langkah mendasar yang perlu diklarifikasi oleh berbagai

aktor adalah memahami dengan serius akar dari kemiskinan yang timbul dan semakin parah yang

terjadi di daerah eksplorasi industri pertambangan. Yang selama ini terjadi justru berbagai aktor

sibuk berelasi untuk saling mengisi kepentingan satu dengan yang lainnya dan abai terhadap

kondisi masyarakat. Idealnya tercipta pola relasi yang dapat memberikan ruang dan posisi tawar

(bargaining position) terhadap masyarakat miskin untuk dapat memperbaiki kondisi yang tengah

menimpa mereka. Masyarakat miskin tidak hanya diposisikan sebagai objek yang kerap

dieksploitasi namun harus dihargai keberadaannya dengan cara menjalankan program CSR yang

relevan dengan realitas yang dibutuhkan masyarakat miskin sebagai upaya memangkas

kemiskinan.

Studi tentang relasi penguasa dan pengusaha, kemiskinan dan CSR sesungguhnya telah

banyak berserakan dihadapan pembaca. Sebagai upaya untuk menciptakan keberpihakan maka

peneliti akan menyuguhkan kajian-kajian terdahulu yang mampu mendukung kedalaman analisis

peneliti. Kajian tentang relasi bisnis dan politik pada tataran teoritis telah dilakukan oleh

kalangan para akademisi sejak awal tahun 1990an. Misalnya Wiliam Reno (1995) yang telah

menulis tentang relasi penguasa dan pengusaha di Sierra Leone, Afrika, yang ia sebut sebagai

praktek shadow state dalam bukunya “Corruption and State Politics in Sierra Leone”. Sebuah

kajian yang komprehensif dengan menunjukkan interaksi korporasi antara elit di Sierra Leone,

Afrika. Singkatnya, ia mengatakan bahwa terjadinya shadow state tidak terlepas dari adanya

xvii  

praktek informal market dan lemahnya institusi negara (Reno 1995). Demikian juga dengan

Barbara Harris White (2003, h: 89) telah menulis hampir sebagian besar dari transaksi ekonomi

di India dilakukan melalui mekanisme informal economy dan praktek shadow state, dengan

mengacu pada temuan studinya di India.

Sementara studi terkini dalam melihat relasi penguasa dan pengusaha dapat ditilik

melalui tulisan Muhammad Mahsun (2012) yang mengacu pada temuan studinya di Kabupaten

Ogan Komering Ulu (OKU). Dengan judul Local Predatory Elit?Potret Relasi Politisi-

Pengusaha dengan Penguasa Studi Relasi di DPRD dengan elit eksekutif dalam penganggaran

Pembangunan infrastruktur di Kabupaten OKU Pasca Pemilu 2009. Secara singkat berdasarkan

studi yang telah dilakukan, Muhammad Mahsun kemudian menulis bahwa wajah politik lokal

Indonesia masih berada dalam cengkraman dan kekuasaan elit-elit lokal yang sangat predatoris,

Hadirnya kelompok borjuasi lokal di DPRD Kabupaten OKU telah membuat mereka sulit untuk

melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Karena mereka semakin

menjadi elit lokal yang berwatak predatoris yang memiliki kecenderungan untuk menguasai

sumber daya ekonomi daerah (local resources). Ini dibuktikan dengan semakin mesranya

hubungan mereka dengan pihak elit eksekutif. Hubungan ini terejawantah dalam bentuk

hubungan patronase politik dan kronisme (perkoncoan) yang terbangun diantara local-state

actors.

Kajian seputar CSR, dapat ditilik melalui tulisan (Aperiansyani, N 2012, h: 90) terkait

Defisit Akuntabilitas Perusahaan: The Politics of Corporate Social Responsibility yang

menjelaskan bahwa adanya kesenjangan antara besarnya akuntabilitas atau pertanggungjawaban

PT. Newmont Nusa Tenggara untuk mempertanggungjawabkan segala bentuk aktivitasnya

dalam skema Corporate Social Responsibility (CSR). Romantisasi peran strategis perusahaan

berhasil mengelabui masyarakat yang menilai bahwa perusahaan tidaklah mungkin melakukan

kecerobohan. Kajian ini secara tegas menerangkan bahwa PT. Newmont Nusa Tenggara belum

berhasil mengcover defisit akuntabilitasnya. Skema Corporate Social Responsibility (CSR) yang

ditampilkan tidak lebih sekedar program basa-basi yang tidak tepat sasaran.

Senafas dengan studi diatas (Mustafa, S 2010, h: 15) melalui kajiannya tentang

Tanggungjawab Sosial Perusahaan Tambang antara Pemberdayaan Sosial dan Keamanan Sosial,

xvii  

menjelaskan bahwa kegiatan penambangan Batu Hijau di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten

Sumbawa Barat berimplikasi pada terjadinya perubahan sosial masyarakat lokal yang tidak

dibarengi dengan aktivitas Corporate Social Responsibility (CSR) yang memberdayakan. PT.

Newmont Nusa Tenggara sebagai pelaksana proyek penambangan belum memiliki upaya detail

dalam mengantisipasi kerusakan perubahan sosial pada masyarakat lokal.

Hal ini terlihat secara lebih eksplisit dari studi (Riadi, R 2009, h: 27) yang menjelaskan

bahwa para aktor elit dalam hal ini pemerintah daerah dan pemerintah desa yang berkecimpung

dalam pengelolaan CSR sering menyuarakan kepentingan rakyat, namun realitasnya berlainan,

yakni membela kepentingan pribadi atau kelompok yang bukan merupakan representasi

kepentingan publik secara luas. Sehingga tak jarang bagi pemerintah daerah-desa keberadaan

perusahaan dijadikan sebagai sumber automated teller machine (ATM)bagi para birokrat. Belum

terlihatnya kesungguhan dari pemerintah daerah ataupun pemerintah desa serta PT. Newmont

Nusa Tenggara untuk meminimalisir kemiskinan by design yang mereka ciptakan pada

masyarakat lingkar tambang.

Dengan tidak berusaha mengamini dan mendeskriditkan studi yang lain, senyatanya

belum ada studi yang secara gamblang berhasil menceritakan kontestasi dan kongkalikong antara

pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam rangka melakukan pemiskinan terhadap

masyarakat dampak tambang. Kongruen dengan hal tersebut, studi ini berupaya untuk

mengintroduksi adanya dialektika kekuasaan sebagai bentuk persekongkolan politik dan

ekonomi yang terjadi antara predator politik dengan predator ekonomi dalam melakukan

eksploitasi kemiskinan. Oleh karena itu, kekhasan dari studi ini berkeinginan untuk membedah

pola relasi dengan cara menyajikan beberapa signifikansi yang dapat membuat penelitian ini

menjadi menarik untuk dikaji. Setidaknya dapat dilihat dari dua (2) hal yaitu: Pertama,

penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan relasi, kepentingan dari berbagai aktor serta

interaksinya dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Hal ini penting karena berkurang dan

bertambahnya jumlah masyarakat miskin di daerah eksplorasi industri pertambangan erat

kaitannya dengan keberadaan berbagai aktor tersebut. Jika aktor-aktor, kepentingan dan pola

relasinya terkuak maka akan memperlihatkan sejauhmana keberpihakan aktor-aktor tersebut

terhadap perbaikan kualitas masyarakat atau dimungkinkan aktor-aktor tersebut justru kompak

untuk memiskinkan masyarakat.

xvii  

Kedua, penelitian ini diharapkan mampu menggali mekanisme, metode dan teknis, serta

nilai-nilai yang dikedepankan dalam pengelolaan program CSR (Corporate Social

Responsibility) sebagai upaya penanggulangan kemiskinan. Skema CSR yang ditawarkan oleh

perusahaan (PT. Newmont Nusa Tenggara) dan diyakini semua pihak akan mampu

meminimalisir kemiskinan, dalam prakteknya apakah betul berpihak terhadap masyarakat

dampak tambang atau justru membuka celah untuk dipolitisasi oleh semua pihak yang berujung

pada pemiskinan masyarakat.

Hubungan konflik relasi kekuasaan tentu dapat mencapai titik equilibrium manakala

terjadi kesepakatan atas batas nilai tertentu yang dianggap dapat saling menguntungkan, yang

dapat diperoleh melalui negosiasi. Dibutuhkan instrumen kebijakan yang dapat memaksa semua

pemangku kepentingan untuk dapat keep and touch terhadap pengelolaan CSR terpadu. Sehingga

menciptakan mekanisme institusional yang seimbang antar aktor dan terintegrasi tentang

bagaimana CSR itu dikelola menuju kepentingan bersama yang bertujuan untuk membangun

masyarakat agar mencapai kehidupan yang lebih baik.

Oleh karenanya, berusaha untuk melihat, memahami dan mengerti relasi antara

pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam upaya penanggulangan kemiskinan di

Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, maka penelitian telah dilakukan

dikecamatan eksplorasi industri pertambangan yaitu Kecamatan Sekongkang untuk melihat fakta

kemiskinan sebagai produk hasil eksploitasi dan kolaborasi para predator lokal bersama

korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara) guna memperkaya kocek pribadi dan kelompok

tertentu.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode studi kasus, hal ini

dikarenakan metode studi kasus merupakan metode penelitian yang memfasilitasi eksplorasi

fenomena dalam konteksnya dengan menggunakan berbagai sumber data. Studi kasus

merupakan strategi yang cocok bila pokok pertanyaan penelitian berkenaan dengan how atau

why, dan fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan

nyata (Yin 1996, h: 1-18). Terkait beberapa hal yang telah diuraikan sebelumnya akan diperoleh

peneliti melalui observasi langsung, wawancara mendalam dan studi pustaka, yang secara detail

akan dijelaskan oleh peneliti pada sesi selanjutnya.

xvii  

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan alur argumentasi yang telah dielaborasi pada latar belakang di atas

penelitian ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah sebagai berikut:

“Bagaimana relasi antara pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam upaya

penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat?”

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diajukan sebelumnya maka penelitian ini

dirancang untuk mengetahui beberapa hal, yaitu:

1. Menganalisa bagaimana relasi yang terjalin antara pemerintah dan PT. Newmont Nusa

Tenggara dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Sekongkang.

2. Memetakan aktor yang terlibat dan kepentingannya apa dalam upaya penanggulangan

kemiskinan di Kecamatan Sekongkang.

3. Menjelaskan praktek Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai agenda kamuflase

dan politisasi yang justru memiskinkan masyarakat di Kecamatan Sekongkang.

4. Menunjukkan bahwa kemiskinan yang terjadi di Kecamatan Sekongkang merupakan

hasil kompromi dan kolaborasi yang terjadi antara elit-elit lokal dan korporasi.

5. Tujuan yang tidak kalah penting dari penelitian ini adalah menyuarakan keberpihakan

dan pembelaan terhadap nasib masyarakat dampak tambang yang sengaja dimiskinkan

oleh kelompok tertentu. Melalui penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan

kontribusi perbaikan terhadap penderitaan dan pembodohan yang tengah dialami

masyarakat dampak tambang di Kecamatan Sekongkang.

D. Kerangka Teori

Untuk membaca fenomena kemiskinan yang terjadi di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten

Sumbawa Barat. Peneliti menggunakan teori predatory state dan CSR (Corporate Social

Responsibility) sebagai kerangka analisa dalam memahami studi ini. Teori predatory state disini

akan mampu mengkerangkai detail perselingkuhan yang terbangun antara aktor formal dan non-

formal dengan korporasi (PT.NNT) yang berujung pada terciptanya pemiskinkan terhadap

xvii  

masyarakat dampak tambang. Sementara teori CSR (Corporate Social Responsibility) yang

ditawarkan sebagai skema pengurangan kemiskinan justru bersifat ‘kamuflase’ dan di ‘politisasi’

oleh para predator formal dan informal beserta PT. Newmont Nusa Tenggara dalam rangka

akumulasi keuntungan maksimal.

D.1. Konsep Predatory state

Praktek predatory state disini dilihat sebagai tipe korupsi yang dilakukan oleh para aparatur

negara yang dibingkai dan bekerja dalam jaringan informal (informal networks). Dimana praktek

predatori yang dilakukan oleh para aparatur negara dalam menguasai public goods seringkali

bekerja dalam ikatan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terselubung. Ini dapat dilihat

dari pengalaman-pengalaman praktek predatory state yang terjadi pada masa rezim otoriter Orde

Baru (Hadiz, 2005; Robinson & Hadiz, 2004). Istilah predatory state biasa digunakan untuk

membaca hubungan timbal-balik relasi antara negara, pasar dan masyarakat di negara

berkembang (Endaryanta, E 2007, h: 36). Dimana negara secara dominan hadir dalam seluruh

struktur ekonomi dan politik. Dalam struktur perekonomian, elit-elit negara berusaha untuk

mengintervensi dan mengendalikan berjalannya mekanisme pasar secara dominan untuk

kepentingan akumulasi material dalam rangka memperkaya diri. Dalam kaitan ini negara

mengambil keuntungan dari sektor bisnis yang berada dalam kondisi lemah dan memburuk,

terlebih dapat bersaing secara sehat dengan perusahaan-perusahaan internasional. Biasanya elit-

elite politik atau birokrat mengambil alih langsung dan mereka juga meminta sumbangan dari

sang pengusaha atau uang suap sebagai imbalan jasa, karena dulu pernah dibantu oleh rezim

pada saat perusahaan-perusahaan tersebut tergoncang atau mengalami krisis keuangan, dan

pemberian kegiatan-kegiatan tanpa melalui proses tender yang fair. Ini sebagaimana dijelaskan

oleh Kang (2004, h: 16).

“The predatory state is one in which the state takes advantage of a dispersed and weak business sector. Political elites pursue outright expropriation; they also solicit “donations” from businessmen who in turn are either “shaken down” by the regime or who volunteer brbes in return for favors, and employ other means as well …… potential state influence over economic life is vast, and those businessmen or groups privileged enough to receive low-interest loans or import quotas will benefit at the expense of others”.

xvii  

Praktek predatory seperti yang dijelaskan oleh Kang di atas, menggambarkan bagaimana

bekerjanya ikatan-ikatan relasi patronase dan kronisme antara pihak state actors dan privat

actors yang bekerja membingkai praktek predatoris para aparatur negara tersebut. Relasi

patronase politik antara elit politik dan pengusaha ini terjadi ketika bertemu dua kepentingan

besar dari kedua pihak. Dimana kepentingan pihak pengusaha untuk mendapatkan perlindungan,

kemudahan dan subsidi (bantuan) dari negara atas berjalannya usaha mereka bertemu dengan

kepentingan para elite politik yang notabene memiliki kendali langsung atas kuasa negara yang

membutuhkan sumberdaya material yang banyak beredar dalam sektor bisnis yang dimiliki oleh

para pengusaha. Adanya rasa saling membutuhkan inilah yang kemudian menciptakan hubungan

instrumental yang dilandasi suka sama suka tanpa ada ikatan keterpaksaan diantara keduanya.

Konsep predatory state kerap digunakan untuk membaca kondisi politik dan ekonomi

negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, khususnya terkait dengan

hubungan politik timbal balik relasi negara, pasar dan masyarakat. Dengan hadirnya arus

liberalisasi ekonomi yang begitu pesat dari barat, tumbuh dan berkembang dengan diikuti oleh

proses liberalisasi politik yang pada hakekatnya membawa sistem kapitalistik, telah direspon

secara berbeda-beda oleh negara-negara tersebut dengan memunculkan watak pemerintahan

yang otoritarian. Dua dimensi tersebut, yakni ekonomi dan politik secara dominan berkembang

dalam pembangunan negara (Endaryanta, E 2007, h: 36).

Meskipun arus liberalisasi telah mulai berkembang di negara-negara tersebut, perilaku negara

tetap mengambil peranan yang cukup penting dalam meletakkan dan menata strategi

developmentalisme. Dengan alasan developmentalisme tersebut, beberapa negara berkembang

mengambil peran yang cukup maksimalis dan mengambil margin keuntungan untuk

memeperkaya diri. Inilah yang kemudian melahirkan sistem rezim pemerintahan yang sangat

otoritarian dan korporatis. Indonesia pada masa rezim Orde Baru misalnya, dalam menghadapi

dan merespon pasar bebas dengan alasan developmentalisme juga telah menempatkan diri

sebagai negara yang bercorak otoritarian dan korporatis, yang pada akhirnya melahirkan

karakteristik tipologi negara yang tercermin dari struktur pemerintahan yang bersifat predatory

state (Endaryanta, E 2007, h: 39).

Dalam konsep predatory state ini, aparat negara dan otoritas publik hadir secara dominan

dalam seluruh struktur baik ekonomi maupun politik demi akumulasi kekayaan ekonomi dan

xvii  

politik mereka sendiri. Dimana kehidupan ekonomi dan politik dikendalikan dengan penggunaan

kekuasaan ketimbang ditata dengan aturan-aturan, dan lebih memikirkan alokasi daripada

regulasi. Kekuasaan arbiter dan represif digunakan untuk mendisorganisasi civil society (Hadiz,

2005, h: 105).

Struktur politik ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru yang oligarkis dan intervensionis

yang berhadapan dengan liberalisme modal dapat dikatakan sebagai pendukung lahirnya negara

yang memiliki watak predatoris. Kekuasaan negara selain dijadikan alat oleh para predator-

predator kekuasaan juga untuk memfasilitasi diri dalam akumulasi modal politik dan ekonomi,

tapi lebih banyak digunakan untuk membantu dan mendukung para kapitalis pemburu rente yang

berada dalam jaringan patronase dan kroniisme penguasa. Koalisi antara oligarki privat dan

publik tersebut tidak hanya menerapkan kekuasaan terhadap negara dan para pejabatnya

melainkan juga menegakkan dominasi politik yang lebih luas sebagai bagian dari suatu koalisi

kekuasaan yang dibangun di sekitar keluarga cendana. Hal inilah yang kemudian, menjadikan

otoritas negara banyak dan semakin dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan komersial dari

koalisi-koalisi bisnis-politik tersebut, dibandingkan oleh kepentingan-kepentingan kelembagaan

dari para aparat negara seperti penciptaan suatu “tingkat aturan main”. Penguasaan ini pun

dilakukan dengan cara-cara koersif yang pada akhirnya banyak menimbulkan ketegangan-

ketegangan politik di dalam masyarakat (Hadiz, 2005, h: 126). Berkaitan dengan ini, Robinson

dan Hadiz (2004, h: 42) melihat predatory state merupakan “invisible hand” dari berjalannya

mekanisme pasar.

“predatory state where the invisible hand of market dominates administrative behavior, where everything is for sale and everything has a price, Soeharto state encompassed a highly organized system of social power not easy explained in terms of universally random and opportunist predatory practices”.

Upaya untuk menegakkan bangunan predatory state dalam ranah kebijakan publik, rezim

Orde Baru telah melakukan beberapa hal. Pertama, melanggengkan ketidakaturan sosial dan

ekonomi dengan perangkat kebijakan yang menyertakan represifitas politik. Kedua, meletakkan

sistem pengorganisasian negara dan masyarakat secara mendasar untuk menghancurkan potensi

masyarakat (untuk melakukan resistensi baik melalui pemikiran maupun tindakan) melalui

instrumen dominasi institusi korporatis negara. Ketiga, penetrasi dari pusat, provinsi dan

kabupaten atau kota, dan desa melalui pola patronase yang komplek dan luas. Keempat,

xvii  

pemusatan oligarki kapitalis dengan menggabungkan kewenangan publik dan kepentingan bisnis

ke dalam keluarga cendana (Endaryanta, E 2007, h: 41).

Upaya-upaya yang dilakukan oleh rezim Orba di atas semuanya dibungkus dengan alasan

developmentalisme. Jargon pembangunan selalu dikedepankan untuk melakukan pembasmian

berbagai gerakan politik masyarakat dan bermunculannya ideologi-ideologi baru selain ideologi

pembangunan yang dianut oleh rezim Orde Baru. Mengikuti pendapat Mas’oed (1989, h: 132)

bahwa dikalangan rezim Orde Baru melekat keyakinan tentang masa depan Indonesia harus

bebas dari politik yang didasarkan pada ideologi yang dilihat sebagai dosa masa lalu telah

menyebabkan ketidakstabilan politik yang pada akhirnya juga membawa pada kehancuran

ekonomi.

Oleh karena itu, dalam rezim Orde Baru dengan alasan mengusung pembangunan ekonomi

negara, maka pemusnahan ideologi-ideologi lain yang berseberangan dengan ideologi negara

menjadi hal yang harus dilakukan. Tetapi sayangnya upaya mempromosikan pembangunan

ekonomi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru tersebut, masih saja tidak dibarengi dengan

memberikan perhatian dan pengawasan terhadap politik kelompok status quo. Hal ini yang

kemudian membuat struktur negara dan kebijakan-kebijakannya banyak ditunggangi oleh

kepentingan-kepentingan keluarga bisnis-politik dan para investor asing yang melingkar dalam

jaringan oligarkis keluarga cendana (Mahsun, M 2012, h: 28).

Pandangan di atas dibangun dengan mengikuti pendapat James A. Robinson bahwa negara-

negara berkembang yang kebijakan-kebijakannya banyak mempromosikan pembangunan

ekonomi tanpa memperhatikan politik status quo, maka memiliki kecenderungan untuk

mencipatakan elit-elit kekuasaan menjadi predator:

“if policies that promote economic development (such as building infrastructure and promoting free trade) and good institutions (such as secure property rights and encient bureaucracy) are inconsistent with the maintenance of the political status quo, then this give elites an incentive to be “predatory”, though this incentive may be dominated by the costs of being predatory” (Robinson, 2001, h: 2).

Negara Orde Baru yang mengusung jargon developmentalisme dan bercorak otoritarian

predatoris tersebut, pada akhirnya setelah diterpa krisis moneter tahun 1997-1998 runtuh.

Keruntuhan rezim Orde Baru yang dibarengi gelombang reformasi ini, sayangnya tidak membuat

xvii  

jaringan oligarkis bisnis-politik yang dulu banyak bernaung dibawah kekuasaan para jenderal

yang berpusat pada lingkaran cendana juga mengalami pemusnahan dan kehancuran berbarengan

dengan runtuhnya rezim Orba. Meskipun negara sudah berada dalam proses transformasi ke

dalam bentuk negara demokrasi liberal prosedural, tetap saja aliansi bisnis-politik dan oligarki

kekuasaan hadir di Indonesia. Ini terjadi dikarenakan aliansi-aliansi bisnis politik yang oligarkis

yang dulu beroperasi dalam satu arena dimana tarik-menarik politik dimediasi oleh para jenderal

dan elit-elit birokrat yang berpusat pada Soeharto, kini telah membentuk aliasi-aliansi baru yang

lebih luas.

Gagasan di atas dibangun berdasarkan temuan Hadiz (2005) atas penelitiannya tentang

politik Indonesia pasca reformasi. Dimana sistem hubungan predatoris antara para pejabat,

kalangan pebisnis dan pialang politik yang terjalin dalam ikatan patronase dan kronisme masih

terus mewarnai perpolitikan Indonesia, mulai dari Jakarta hingga ke daerah. Gambaran ini

menunjukkan bahwa reformasi dan gelombang demokrasi liberal yang hadir di Indonesia gagal

meruntuhkan struktur kekuasaan lama. Dalam bidang ekonomi, konglomerat-konglomerat lama

tetap menjadi satu-satunya pemain di kota-kota maupun di daerah-daerah (Mahsun, M 2012, h:

60).

D.1.1.Realitas Predatory State di Aras Lokal

Prasangka akan berakhirnya praktek predatory state di level nasional pasca tumbangnya

Rezim Orde Baru merupakan suatu kekeliruan. Terbukti masih banyak aktor nasional yang

melestarikan diri sebagai predator untuk menguatkan kekayaan pribadi dan kelompok. Gejala

predatory state ini mengalami pendalaman hingga di level lokal melalui gerbang otonomi

daerah. Pemekaran wilayah di Kabupaten Sumbawa Barat ternyata menciptakan peluang baru

bagi para predator baru untuk menciptakan imperium baru dalam melakukan korupsi.

Para predator lokaldi Kabupaten Sumbawa Barat tersebut semakin menguat dan

mengganas ketika berhadapan dengan korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara). Artinya,

mereka menjalin hubungan mesra untuk menukarkan dan melancarkan kepentingan berbagai

pihak melalui berbagai dalih dan alasan. Para pengelola negara secara sadar atau tidak, kemudian

menjadi penghamba kepentingan asing dan melakukan korupsi yang paling besar dan berbahaya

karena mempertaruhkan kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik, kedaulatan ekologi bahkan

xvii  

merusak tatanan sosial budaya masyarakat dampak tambang yang menjerumuskan mereka pada

lembah kemiskinan.

Para predator tersebut adalah kepala-kepala desa, tokoh-tokoh lokal, pengusaha-

pengusaha lokal serta pemerintah daerah yang tunduk dan berkolaborasi dengan PT. Newmont

Nusa Tenggara untuk memiskinkan masyarakat dampak tambang atas nama pembangunan. PT.

Newmont Nusa Tenggara bahkan mampu membeli pemerintahan lokal dengan cara

menggelontorkan uang pelumas sebagai dana kampanye kepada seluruh calon bupati dan wakil

bupati Kabupaten Sumbawa Barat pada pilkada 2005 saat itu. Berkat uang suap tersebut PT.

Newmont Nusa Tenggara berhasil menempatkan representasinya di pos-pos penting di parlemen

daerah Kabupaten Sumbawa Barat. Uang pelicin itu juga memudahkan perusahaan PT.

Newmont Nusa Tenggara untuk melakukan pemesanan kebijakan agar bersesuaian dengan

kepentingan korporasi. Pilkada 2005 sebagai pilkada perdana di Kabupaten Sumbawa Barat

justru dicederai oleh perselingkuhan para predator politik dan predator ekonomi dengan

menjadikan Pilkada sebagai arena ‘transaksi’ transfer kepentingan antar aktor.

Praktek predatory state semakin menggurita di level desa, yang mengundang hadirnya

new predatory tidak hanya aktor-aktor formal, namun aktor-aktor informal yang kepentingannya

terintegrasi dengan korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara) untuk memenuhi ambisi profit

sepanjang masa. Seluruh predator lokal tersebut berperan sebagai instrument pembela

kepentingan kapitalisme internasional, mereka mengupayakan keuntungan maksimal dan

melestarikan dominasi penjarahan bagi korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara).

Menurut Erwin Endaryanta (2007, h: 42) kasus diatas melukiskan predatory state

menjadi variabel penjelas bagi lemahnya kemudian, legal dan political barier di level lokal.

Gejala di atas secara gamblang menjadi faktor penjelas hilangnya institusi publik, entah negara,

masyarakat atau organisasi apapun yang berorientasi publik menjadi instrumentasi yang bergerak

menuju arena pasar. Berarti pula bahwa telah terjadi proses individualisasi di semua level;

ekonomi, politik maupun budaya ataupun level pelembagaan politik negara.

Perilaku negara yang mengamini perkembangan arus liberalisasi serta ramahnya negara

terhadap pemodal asing mencitrakan diri sebagai instrument kapital yang memicu pengebirian

masyarakat. Atas nama kepentingan ekonomi negara rela dimandulkan oleh kapital mulai dari

xvii  

pengkooptasian kewenangan dan pelemahan terhadap kebijakan pertambangan yang kemudian

membebaskan tanggung jawab perusahaan terhadap perbaikan ekologi dan sosial masyarakat

lokal.

Kehadiran kebijakan yang berorientasi pada penciptaan agenda enterpreneurship dan

peningkiran kelompok sosial yang persis menjadi sasaran pembangunan adalah akibat dari

fenomena state capture. Kemandulan kebijakan publik dalam sebagai fenomena “State Capture”

ini mengikuti penjelasan Harry Priyono sebagai berikut;

“Kemandulan kebijakan publik sebagai fenomena state capture, yakni cara-cara

pelaku bisnis untuk menentukan aturan main (legislasi, hukum, peraturan, dekrit)

dengan menyuap pemerintah. Gejala ini menunjuk pula dalam praktek munculnya

ambiguitas yang berupa simbiosis, koalisi ataupun kolusi antara sektor privat dan

sektor publik. Tahun 1960-1980 sejarah ekonomi politik menunjukkan ambiguitas

koalisi dengan kecenderungan “membusukkan” “sektor privat” menjadi kebalikan di

tahun 1980-2000 yang ditandai dengan sektor privat “membusukkan” sektor publik”.

Problem ini menjadi titik refleksi penting terhadap lemahnya kapasitas negara (problem

state capacity), akibat maraknya gejala efek predatory state di level nasional-lokal.Berimplikasi

pada terjadinya ambiguitas karakter kerja institusi publik yang mengikuti agenda neoliberalisme

adalah hilangnya tanggung jawab dari setiap lembaga terhadap anggotanya atau publik dan

pengalihannya ke sektor lain yaitu sektor individu (Endaryanta, E 2007, h: 44).

D.2. Konsep CSR (Corporate Social Responsibility)dalam Praktek Kamuflase

CSR bukan sebuah komitmen yang muncul secara tiba-tiba, yang keberadaannya telah

menjadi komitmen universal dan disetujui bersama sampai ditingkat global. Perdebatan ideologis

dalam tubuh kapitalisme dan kritik terhadap ekonomi politik kapitalisme liberal yang gagal

menjamin pemerataan kemakmuran, akibat pertumbuhan ekonomi serta kerusakan lingkungan

yang mendorong lahirnya komitmen moral melalui CSR. Konsep CSR pada mulanya

diperkenalkan dan bahkan dipostulasikan oleh Howard R. Bowen pada tahun 1953 melalui

bukunya yang berjudul “Social Responsibility of the Businessman”.

xvii  

Secara substantif memang isu tentang CSR bukanlah merupakan hal yang baru, namun

konsep tentang tanggung jawab sosial perusahaan diakui dan mulai dikembangkan pada tahun

tersebut. Ide dasar CSR yang dikemukakan Bowen mengacu pada kewajiban pelaku bisnis untuk

menjalankan usahanya sejalan dengan nilai-nilai dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat di

tempat perusahaannya beroperasi. Bowen menggunakan istilah sejalan dalam konteks itu untuk

meyakinkandunia usaha tentang perlunya mereka memiliki visi yang melampaui kinerja finansial

perusahaan.

Wacana CSR seolah sebagai obat mujarab yang mampu menyelesaikan segala jenis

persoalan sosial terkesan sangat moralis. Praktek CSR yang dijalankan oleh perusahaan sejagat

(Multi atau Transnational Corporation) dalam konteks ini PT. Newmont Nusa Tenggara

menunjukkan realitas yang berkebalikan dan gagal membuktikan kemajuan penampilan CSR.

Sentimen terhadap pandangan moralis juga dilontarkan oleh (Fombrun dan Shanley dalam Idowu

2011, h: xvii) CSR lebih menekankan kewajiban moral dan bukan merupakan strategi bisnis.

Tidak ada korelasi secara langsung antara CSR dengan mencari keuntungan perusahaan. CSR

memang ditujukan untuk menunjukkan reputasi perusahaan di mata masyarakat dunia bahwa

perusahaan atau bisnis benar-benar memiliki tanggungjawab moral terhadap lingkungan dan

masyarakat untuk mendorong terwujudnya pembangunan sosial.

Up to date, there is no consensus on the direct relationship between CSR and profitability; there may never be one, but scholars have made progress improving that there is correlation between engaging in CSR activities and improved public image, in other words for a firm to generate good reputation for it self.

Sejak berlakunya Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2011

tentang Program Penilaian Peringkat Kerja (PROPER) yang mensyaratkan konsep CSR

dideklarasikan dan implementasinya diatur di dalam undang-undang, yang menyertakan sanksi

bagi perusahaan yang mengabaikan regulasi tersebut. Logika ini sama, semua perusahaan

melakukan pemetaan sosial (social maping) bukan atas kesadaran bahwa pemetaan sosial itu

penting, akan tetapi didorong oleh kepentingan bahwa pemetaan sosial merupakan salah satu

komponen penting dalam penilaian PROPER.

Kongruen dengan pemahaman diatas Susetiawan (2012, h: 3-4) menjelaskan bisa

dipastikan hampir dari semua perusahaan yang menjalankan ritual CSR tidak tergolong untuk

xvii  

mewujudkan moral obligation melainkan sebagai strategi bisnis untuk mengatasi gangguan

usahanya dari masyarakat. Konteks ini terlihat sangat jelas bahwa banyak birokrat manajemen

perusahaan yang mengatakan bahwa perusahaan telah melakukan banyak hal yang berhubungan

dengan masyarakat sebelum tuntutan komitmen moral itu dideklarasikan. Sebelum perusahaan

itu beroperasi, pada masa eksplorasi, konstruksi dan operasi umumnya dilakukan oleh

perusahaan seperti membayar pajak, membangun jalan, memberikan kontribusi dalam

membangun perumahan masyarakat bagi yang tempat tinggalnya tergusur, memberikan

sumbangan-sumbangan lain yang menjadi tuntutan masyarakat dan banyak bentuk-bentuk

lainnya. Pendapat ini justru mengesankan bahwa pemahaman perusahaan terhadap CSR terbatas

pada tanggung jawab sosial berbisnis (socially responsibile of bussiness) yang sesungguhnya

berbeda dengan konsep CSR (Peter Utting and Jose Carlos Marques 2010, h: 7).

CSR merupakan sebuah komitmen moral tidak hanya perusahaan harus menyisihkan dan

bahkan menyisahkan sebagian keuntungannya melainkan juga rasa peduli untuk memfasilitasi

perkembangan masyarakat sekitar agar mereka tumbuh dan berkembang sejalan dengan

kemajuan masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, politik dan budaya. Dengan demikian

masyarakat lokal yang hidup di sekitar perusahaan yang beroperasi tidak lagi menjadi

masyarakat yang tertinggal dan miskin di tengah hadirnya perusahaan sejagat MNC dan TNC.

Disini letaknya dimana perusahaan harus secara sungguh-sungguh peduli dan bertanggungjawab

atas rusaknya nilai-nilai sosial, ekonomi, dan budayaserta hilangnya natural resources yang

dimiliki oleh masyarakat lokal, yang hasilnya dipindahkan ke perusahaan menjadi emas ataupun

tembaga yang keuntungannya dinikmati oleh perusahaan dan aktor-aktor yang pro dengan

korporasi (Susestiawan, 2012, h: 4).

Perdebatan tentang konsep CSR memang agak rumit untuk dipahami, namun melalui

tulisan (Matten dalam Hennigfeld (eds), dapat dipetakan terdapat dua (2) orientasi kepentingan

yang paling sering muncul ketika membaca relasi antara negara dan korporasi dalam pengelolaan

CSR yaitu kepentingan politik dan ekonomi. Kedua kepentingan tersebut akan dibahas dalam

bangunan teorisasi mengenai CSR.

xvii  

a. Kepentingan Politik

Sektor privat yang memiliki banyak motivasi dalam melakukan CSR, mencantumkan

‘untuk menjadi warga negara yang baik’ sebagai salah satu nature of driver politis mereka

(Matten dalam Hennigfeld (eds) 2006, h: 40). Moon, Crane, dan Matten berhasil

mengidentifikasi peranan perusahaan dalam menjalankan tugas mereka untuk menjadi warga

negara yang baik dengan berkontribusi dalam pembangunan sosial dalam hal ini CSR. Konsep

ini lebih dikenal sebagai corporate citizenship. Sebagaimana yang dituliskan kembali oleh

Matten dalam Henningfeld (eds) (2006, h: 36) bahwa;

“.... there is grow claim on citizens to initiate social progress and development in civil society by becoming involved in a dense network of links to fellow citizens, rather than simply waiting for the welfare state to intervene. Many CSR programs of corporations can be understood in exactly this fashion...”

Mulyadi Sumarto (2008, h: 20) pun mempertegas dengan statementbahwa sektor privat

dalam melakukan CSR bukanlah semata-mata berdasarkan moralitas. Baginya, perilaku sektor

swasta yang “anomali” dengan melakukan pelayanan sosial melalui CSR tidak lebih sebagai

upaya untuk mendapatkan legitimasi bisnis sebagai political resources untuk beroperasi, karena

bagaimanapun pelayanan sosial termasuk dalam penyediaan public goods bukanlah fokus dari

perusahaan. Sebagaimana yang ia tuliskan:

“Corporate citizenship, yet, does not only depict the moral initiative but also political scheme. From political point of view, the corporation is perceived using the concept of corporate citizenship to assert its moral commitment to get political resources i.e. business legitimacy. Therefore, if the corporation provides social services for people, it is not because their concern but due to the legitimacy” (Sumarto, M 2007, h: 8).

Dari narasi diatas, kita bisa melihat CSR merupakan peran publik yang dimiliki lembaga

privat, atau dalam tataran yang lebih teknis, CSR merupakan instrumen yang dimiliki swasta

sebagai aktor non-negara untuk turut menyediakan public goods bagi masyarakat. Sektor swasta

yang telah memiliki blueprint untuk memproduksi private goods dengan keuntungan sebagai

orientasinya.

xvii  

b. Kepentingan Ekonomi

Dari sisi perusahaan, sebagai sebuah entitas bisnis setulus-tulusnya sektor privat

melaksanakan CSR, selalu ada kepentingan ekonomi yang melatarbelakanginya. Matten dalam

Henningfeld (2006, h: 40). mengungkapkan bahwa secara ekonomis CSR dapat meningkatkan

keuntungan perusahaan. Sebagaimana dijelaskan dalam bukunya yang berjudul “Why Do

Companies Engage in CSR?” bahwa:

“CSR is enhacing the long term profitability of the company”.

Pemahaman diatas berangkat pada dua ide. Pertama adalah shareholders value

maximization atau maksimalisasi nilai pemegang saham. Secara signifikan Matten mengatakan

bahwa CSR akan meningkatkan nilai perusahaan yang berdampak pada meningkatnya nilai

saham perusahaan. Pandangan ini hanya melihat pada kepentingan jangka pendek perusahaan

(dalam Henningfeld 2006, h: 11-13). Kedua, competitive advantage atau keunggulan kompetitif.

Perusahaan yang memiliki program CSR ditengarai lebih unggul dalam kompetisi pasar

dibandingkan tidak memiliki program CSR. Pandangan ini lebih berorientasi jangka panjang

karena keunggulan kompetitif tidak dapat dinikmati secara instan (dalam Henningfeld 2006, h:

11-13).

Namun, menurut ahli pemasaran Kotler dan Lee (2005), terdapat satu ide lagi yang

menjadi kepentingan ekonomis perusahaan dalam melaksanaan CSR. Ide tersebut sebenarnya

mirip dengan keunggulan kompetitif dari sisi capaian kurun waktu. Tetapi ide ini lebih bersifat

caused related-marketing. Artinya perusahaan melakukan CSR untuk membangun brand dan

citra terhadap masalah-masalah sosial untuk meningkatkan keuntungan perusahaan demi

kepentingan marketing ke konsumen.

Mulyadi Sumarto (2008, h: 19) melalui tulisannya juga turut mengkritik pelaksanaan

programcommunity developmentMultinationalCorporationyang ditujukan untuk menjaga

keamanan fasilitas produksi dan menciptakan kepercayaan publik (public trust). Motif menjaga

keamanan terlihat dari perilaku perusahaan dalam realisasi program community development

yang dilakukan oleh perusahaan karena diawali dari konflik antara perusahaan dengan

masyarakat. Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa perusahaan merealisasi program tersebut

pasca desentralisasi dimana pada saat itu keterbukaan dan kebebasan menyampaikan aspirasi

xvii  

masyarakat semakin besar. Pada sisi yang lain, secara normatif ketika proses produksi dilakukan

maka kegiatan community development sebagai wujud kompensasi eksternalitas seharusnya

segera dilakukan karena problem ini muncul ketika proses produksi telah dilakukan.

Sementara itu motif membangun kepercayaan publik terlihat dari berbagai kegiatan

propaganda mengenai CSR. Kepercayaan publik merupakan aset yang cukup berharga bagi

sektor privat karena dengan aset ini perusahaan bisa menjalankan proses produksinya. Banyak

kasus menunjukkan bahwa perusahaan dianggap tidak layak operasi karena ditolak

keberadaannya oleh masyarakat. Dengan demikian, program CSR diposisikan sebagai media

untuk mendapatkan legitimasi proses produksi yang dilakukan sektor privat.

Karena program-program CSR dilatarbelakangi oleh motif tersebut maka sebagian besar

program tidak mampu memberdayakan masyarakat. Skema CSR PT. Newmont Nusa Tenggara

bahkan cenderung bersifat pragmatis dan insidentil dengan seluruh penyusunan program bersifat

elitis, masyarakat lokal tidak pernah diberi kesempatan untuk terlibat dalam penyusunan

program. Pihak korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara) percaya terhadap pelaku representasi

masyarakat yaitu kepala desa seluruh masyarakat lingkar tambang yang diyakini mampu

menyuarakan kepentingan masyarakat. Sehingga tidak mengherankan bahwa pilihan program

lebih banyak ditentukan oleh perusahaan dan para representasi tersebut. Dalam konsep

pemberdayaan, aspek partisipasi merupakan unsur penting dalam memberdayakan masyarakat,

termasuk dalam memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam penyusunan dan

pengelolaan program.

Karakter dari program CSR yang dilaksanakan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara

realisasinya bersifat tidak sistematis dan tidak direncanakan secara integral. Hal ini disebabkan

karena pelaksanaan program ditujukan pada usaha untuk meredam konflik dengan masyarakat.

Dengan demikian pelaksanaan program bersifat insidentil karena menunggu tuntutan masyarakat

dan bukan berdasarkan pada perencaaan yang sistematis. Yang lebih problematik lagi adalah

bahwa implementasi program tidak diorientasikan untuk mempersiapkan masyarakat pasca

ekstraksi (Sumarto, M 2008, h: 22).

Tidak mengherankan ritual CSR semacam itu terus terlembaga karena keterbukaan sikap

pemerintah daerah-desa di Kabupaten Sumbawa Barat yang bersekongkol dengan PT. Newmont

xvii  

Nusa Tenggara untuk menzalimi masyarakat atas nama kepentingan ekonomi. Keterlibatan

pemerintah pun dalam pengelolaan CSR turut menambah derita panjang masyarakat karena abai

dan rendahnya keberpihakan negara dan perusahaan dalam memajukan masyarakat lokal.

Kendatipun keterlibatan dan campur tangan pemerintah dalam program CSR sampai saat ini

masih menuai perdebatan. Terdapat beberapa literatur yang menjelaskan bahwa ada dua aliran

pemikiran yang terkait dengan campur tangan pemerintah dalam program CSR yang

dilaksanakan oleh perusahaan.

Aliran pertama, merupakan kelompok ahli yang menolak campur tangan pemerintah

dalam program CSR. Aliran ini beranggapan bahwa campur tangan pemerintah tidak dibutuhkan

dalam pengembangan CSR karena adanya campur tangan pemerintah dianggap akan

mengganggu kepentingan bisnis perusahaan. Sementara aliran yang kedua adalah merupakan

kelompok yang mendorong campur tangan pemerintah dalam program CSR. Aliran kedua ini

beranggapan bahwa campur tangan pemerintah mutlak dibutuhkan bagi perkembangan CSR.

Pandangan ini didasarkan pada realitas bahwa operasionalisasi perusahaan banyak

mengakibatkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah

harus ikut campur tangan agar kepentingan masyarakat dan perusahaan dapat berjalan lancar

(Susetiawan 2012, h: 38).

Terlepas dari perdebatan pro dan kontra tentang campur tangan pemerintah dalam

pelaksanaan program CSR perusahaan tersebut, secara nyata praktek CSR yang dipahami oleh

pemerintah dalam hal ini pemerintah desa dan pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa Barat

justru sebagai sumber rezeki bagi para birokratnya sehingga tak jarang perusahaan menjadi

automaed teller machine (ATM). Kondisi ini diperkuat dengan tulisan Taufik Rahman, seorang

pengkaji CSR dari Lingkar Studi CSR Indonesia, yang menuliskan bahwa pemerintah memiliki

kepentingan ekonomis yang jelas disini, yaitu sebagai sumber baru dana pembangunan. Atau

dalam istilah yang lebih teknis, sumbangan dana pihak ketiga. Bagi Taufik, kepentingan

ekonomi pemerintah ini menjadi problematik mengingat bahwa kecenderungan dari kepentingan

tersebut adalah pemerintah akan membiarkan perusahaan membangun infrastruktur sendirian.

Bahkan lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa kecenderungan tersebut justru mengarah pada

biaya “entertainment” pejabat pemerintah lebih banyak dibanding biaya pembangunan sosial

dan lingkungan di suatu wilayah. Praktik suap dan korupsi demikian melekat kuat dalam

xvii  

hubungan antara perusahaan dengan pemerintah. Selain itu, lanjut Taufik ada kecenderungan

pula dana community development yang menjadi bagian dari pelaksanaan CSR perusahaan

didesak pemerintah sebagai bagian dari anggaran pemasukan dan belanja pemerintah. (Rahman,

T csrindonesia.com,5 Mei 2013).

Perdebatan teoritis terkait CSR justru memperlihatkan implementasi miris atas

ketidakmampuan CSR dalam mensejahterakan masyarakat lokal, kondisi ini semakin diperkuat

dengan hadirnya bukti meluasnya angka kemiskinan di Kecamatan Sekongkang yang notabene

sebagai kecamatan tempat berlangsungnya operasi Industri PT. Newmont Nusa Tenggara.

Realitas demikian semakin menguatkan tuduhan bahwa perusahaan memang tidak berkeinginan

untuk memiliki tanggungjawab sosial terhadap masyarakat sekitar. Hal ini tentu saja

memperlihatkan bahwa terdapat diskriminasi terhadap nilai kemanusiaan yang tidak hadir

sebagai nilai universal sebagai guide line of action dari semua pemangku kepentingan dalam hal

ini negara dan perusahaan dalam melaksanakan CSR, akan tetapi nilai universal tersebut masih

sebatas retorika yang tidak melahirkan etos. Kemiskinan, kelangkaan ekologi, dan kesengsaraan

akan terus dinikmati oleh masyarakat lokal manakala relasi yang tercipta antara elit politik

dengan elit ekonomi dalam pengelolaan CSR bersifat predatoris. Teori ini penting untuk

disuguhkan untuk menggambarkan dinamika relasi yang terbangun antara negara (pemerintah

daerah-desa) dengan PT. Newmont Nusa Tenggara.

Menurut Susetiawan (2012, h: 9) kalau di negara-negara maju, hubungan antara negara,

organisasi para pengusaha dan organisasi sosial non-profit terjadi dengan seimbang. Artinya,

negara sebagai organisasi yang mengatur kehidupan masyarakat bisa dikritik dan dituntut oleh

organisasi ekonomi dan sosial jika tidak melakukan tugasnya dalam memberikan pelayanan.

Sebaliknya negara bisa menuntut dan menghukum organisasi masyarakat, baik ekonomi dan

sosial, jika melakukan pelanggaran atas aturan yang telah ditetapkan. Situasi demikian tidak

banyak terjadi di Indonesia. Ketika negara dan CSO itu kritis terhadap bisnis, mereka tidak

pernah melihat dirinya sediri, apakah perlakuan pemerintah daerah terhadap perusahaan tentang

pelaksanaan CSR hendak mengatur sebaik-baiknya dana CSR untuk masyarakat atau untuk

kepentingan para birokratnya yang syarat dengan perilaku korupsi. Kalau demikian tesisnya,

maka penyamaan stock of knowledge masih membutuhkan perjalanan waktu panjang. Perubahan

xvii  

sosial itu sebuah proses, ini tergantung upaya bagaimana agar nilai universal tentang

kemanusiaan menjadi perilaku keseharian dalam etos kehidupan.

D.2.1.Relasi Aktor dalamPusaran CSR(Corporate Social Responsibility)

Menguatnya kemauan politik dan ekonomi dari masing-masing aktor menjadikan

program CSR sebagai arena “perselingkuhan” antara negara (pemerintah daerah-desa) dengan

PT. Newmont Nusa Tenggara yang meminggirkan masyarakat. Seperti bahasan sebelumnya

bahwa keberadaan program CSR (Corporate Social Responsibility) bukanlah sebagai obat

mujarab yang mampu menyelesaikan sederet persoalan sosial, melainkan sebagai alat dari negara

(pemerintah daerah-desa) dan PT. Newmont Nusa Tenggara untuk saling memenuhi kepentingan

masing-masing. CSR justru menjadi alat baru guna memiskinkan masyarakat lokal.

Kondisi diatas menjadikan masyarakat sebagai realisasi dari kezaliman hubungan atara

negara dengan perusahaan. Berbagai kepentingan yang disuarakan dengan lantang atas nama

masyarakat justru menunjukkan realitas yang berkebalikan. Fenomena ini terlihat dari data yang

mengatakan bahwa jumlah angka kemiskinan di daerah eksplorasi pertambangan justru

mengalami fluktuatif, kondisi ini jauh berbeda sebelum hadirnya perusahaan sejagat MNC (PT.

Newmont Nusa Tenggara) dimana jumlah masyarakat miskin cenderung stabil. Pendek kata CSR

tidak lagi sebagai ideologi yang berisi komitmen moral melainkan sebagai komoditi baru bagi

perusahaan dan negara untuk memiskinkan masyarakat.

Pergerakan dan pelaksanaan CSR (Corporate Social Responsibility) yang dijalankan oleh

perusahaan hanya sekedar program basa-basi untuk meningkatkan reputasi positif perusahaan di

mata masyarakat dunia. Anehnya kondisi ini didukung oleh pemerintah yang tidak pernah

menuntut perusahaan untuk memperbaiki kualitas performance CSR (Corporate Social

Responsibility)karena ketidakberdayaan pemerintah daerah dalam hal ekonomi. Terdapat

pemahaman di elit birokrasi untuk tidak menegur bahkan melawan para elit ekonomi meskipun

perlaksanaan CSR PT. Newmont Nusa Tenggara berlangsung buruk dan tidak tepat

sasarankarena terkendala masalah uang. Adanya ancaman pengurangan kontribusi perusahaan

terhadap kucuran dana APBD maupun untuk kocek pribadi dari para elit daerah menjadikan

pasif sebagai pilihan terbaik.

xvii  

Dalam konteks relasi antara pemerintah dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam

pengelolaan CSR, pemerintah lebih cenderung bersifat pasif dan penurut hal ini tentu

mengindikasikan bahwa pemerintah daerah dan desa hadir sebagai kepanjangan tangan dari

pasar, aktor-aktor negara melalui dana CSR disuap untuk melanggengkan kuasa eksplorasi.

Kondisi ini justru diamini oleh negara yang menjadikan dana CSR sebagai dana baru yang men-

support aktivitas pribadi para birokrat. Pilihan pasif dari para pengelola negara tersebut bukan

tidak memiliki motif, elit daerah-desa justru melakukan politisasi terhadap skema CSR PT.

Newmont Nusa Tenggara untuk tidak melaksanakan kewajiban dalam melakukan penyediaan

pelayanan publik terhadap masyarakat dampak tambang, dengan asumsi telah ada program dan

dana CSR yang akan mampu mengcover peran dari pemerintah daerah-desa.

Keterlibatan pemerintah daerah dan pemerintah desa dalam pengelolaan program CSR

justru menjadi peluang bagi perusahaan (PT. Newmont Nusa Tenggara) untuk berkoalisi atas

nama kepentingan rakyat. Namun pada tataran empiris pemerintah daerah dan pemerintah desa

justru menjadi penikmat utama atas kucuran dana CSR yang seharusnya ditujukan untuk

perbaikan kualitas masyarakat lokal, namun hanya dinikmati oleh oknum tertentu. Fenomena ini

bagi perusahaan (PT. Newmont Nusa Tenggara) justru dibiarkan sebagai bentuk ucapan

terimakasih perusahaan atas kebaikan negara yang telah melindungi keamanan eksplorasi

perusahaan dari gangguan masyarakat. Ceritera semacam ini menguatkan tuduhan bahwa negara

dan perusahaan bersepakat meninggalkan masyarakat demi akumulasi kapital.

Satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa pelaku politisasi sekaligus penikmat kucuran

dana CSR PT. Newmont Nusa Tenggara tidak terbatas pada pengelola negara namun muncul

keterlibatan dari para aktor-aktor non negara yang dilibatkan sebagai kepanjangan tangan

korporasi di daerah dampak tambang, mereka berperan untuk mendistribusikan program dan

anggaran CSR. Sehingga menjadi mustahil masyarakat dampak tambang akan mengalami

perbaikan kualitas hidup karena pelaksanaan program CSR bersifat spontan dan berdurasi

pendek. Disamping itu masyarakat miskin di Kecamatan Sekongkang kerap tidak merasakan

dana corporate social responsibility kalau tidak melakukan demo terlebih dahulu, dana itu akan

berputar-putar di tangan para pelayan kepentingan korporasi itu terlebih dahulu bahkan mungkin

hingga habis sehingga masyarakat lokal miskin kerap gigit jari atas perlakuan dari para penguasa

dan pengusaha yang tergerus rasa pedulinya tersebut.

xvii  

E. Definisi Konseptual

Definisi konseptual merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas

dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu.

Memperjelas pemaknaan teori yang telah disampaikan agar tercipta kesamaan pemahaman

sebagai acuan bagi penulis untuk melakukan penelitian di lapangan. Disamping itu definisi

konseptual dapat menjadi acuan bagi pembaca lainnya agar memiliki konsepsi yang sama

terhadap istilah-istilah kunci yang digunakan dalam penelitian ini. Ada beberapa definisi

konseptual yang akan digunakan sebagai variabel-variabel yang harus dipahami agar pemahaman

dapat fokus, tidak bias, salah persepsi dan melebar. Adapun variabel-variabel tersebut adalah:

1. Relasi adalah bentuk hubungan antara dua aktor atau lebih yang berbeda dalam dunia

politik maupun lainnya, dimana terjadi hubungan saling mengisi kepentingan satu sama

lain.

2. Predatory State dalam studi ini dilihat sebagai tipe korupsi yang dilakukan oleh para

aktor formal dan informal bersama korporasi yang melakukan transaksi kepentingan

dalam rangka akumulasi kepentingan pribadi dan kelompok. Para aktor formal dan

informal tersebut tampil sebagai fasilitator dan protektor bagi korporasi. Artinya seluruh

aktor tersebut berperan sebagai invisible hand dari berjalannya mekanisme pasar.

3. CSR dalam studi ini dimaknai sebagai sebuah komitmen moral tidak hanya perusahaan

harus menyisihkan dan bahkan menyisahkan sebagian keuntungannya melainkan juga

rasa peduli untuk memfasilitasi perkembangan masyarakat sekitar agar mereka tumbuh

dan berkembang sejalan dengan kemajuan masyarakat, baik secara ekonomi, sosial,

politik dan budaya. Dengan demikian masyarakat lokal yang hidup di sekitar perusahaan

yang beroperasi tidak lagi menjadi masyarakat yang tertinggal dan miskin di tengah

hadirnya perusahaan sejagat MNC dan TNC. Disini letaknya dimana perusahaan harus

secara sungguh-sungguh peduli dan bertanggungjawab atas rusaknya nilai-nilai sosial,

ekonomi, dan budayaserta hilangnya natural resources yang dimiliki oleh masyarakat

lokal, yang hasilnya dipindahkan ke perusahaan menjadi emas ataupun tembaga yang

keuntungannya dinikmati oleh perusahaan dan aktor-aktor yang pro dengan korporasi

(Susestiawan, 2012, h: 4).

xvii  

F. Definisi Operasional

Definisi operasional sebagai acuan dasar atas objek yang akan diteliti, oleh karena itu

sifatnya penting dalam penelitian lapangan. Definisi operasional juga mengajak pembaca lain

untuk memiliki persepsi yang sama dengan penulis dalam memahami istilah-istilah kunci secara

operasional yang digunakan dalam penelitian ini. Hal demikian, dikarenakan pengarahan yang

tepat atas prosedur penelitian, membutuhkan adanya ketegasan tentang adanya gugus realitas

yang memang sesuai dengan yang akan diteliti atau keberadaannya memang betul-betul ada

(Wirawan, 2008 h: 50-51). Selain itu, definisi operasional juga diperlukan untuk menunjukkan

bahwa konsep yang dibangun memiliki rujukan yang empiris (Mahsun, M 2012, h: 43). Adapun

beberapa definisi operasional, yang dianggap penting untuk diketahui akan menjadi objek dalam

penelitian ini.

1. Relasi adalah hubungan yang tercipta dan terjalin antara dua aktor atau lebih. Dalam

konteks penelitian ini aktor-aktor yang terlibat meliputi aktor formal (elit daerah, elit

kecamatan dan elit desa). Aktor nonformal (tokoh-tokoh lokal, pengusaha-pengusaha

lokal dan LSM) serta elit ekonomi (PT. Newmont Nusa Tenggara) yang membangun

relasi untuk saling mengisi kepentingan satu sama lain.

2. Predatory state dalam konteks penelitian ini dipahami sebagai prakteksimbiosis, koalisi

dan korupsi yang terjalin antara berbagai aktor (formal dan non-formal)bersama PT.

Newmont Nusa Tenggara untuk memiskinkanmasyarakat dampak tambang. Para

predator politik dan ekonomi itu menangguk keuntungan yang besar dibandingkan

dengan masyarakat dampak tambang yang menikmati keuntungan jangka pendek dan

terbatas. Para predator lokal tersebut akan bergerak secara massif untuk melawan pihak

yang berseberangan dengan korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara), hal ini dilakukan

karena mereka telah memperoleh sejumlah bayaran sehingga menutup mata atas

penderitaan rakyat lokal.

3. CSR dalam penelitian ini dipahami sebagai skema ‘kamuflase’ dan ‘politisasi’ yang

memiskinkan masyarakat dampak tambang. Bagi elit politik CSR (Corporate Social

Responsibility)dijadikan alat bagi mereka untuk mangkir dalam penyediakan pelayanan

publik bagi masyarakat dampak tambang dengan dalih telah ada PT. Newmont Nusa

Tenggara di kawasan tersebut. Bagi korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara) skema

xvii  

CSR ditujukan untuk mengelabui semua pihak untuk memperoleh lisensi operasi

sekaligus untuk memperoleh citra positif dimata dunia.Realitas di atas menerangkan

bahwa skema Corporate Social Responsibility (CSR) yang didukung secara berjama’ah

ini sekedar program basa-basi yang tidak tepat sasaran dan memiskinkan, bahkan

program dan kucuran dananya dinikmati oleh penikmat yang tidak semestinya.

G. Metodologi Penelitian

G.1. Jenis Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang dipilih, maka penelitian ini akan mengadopsi jenis

penelitian kualitatif. Dimana metode ini digunakan untuk menghasilkan data deskriptif mengenai

kata-kata lisan maupun tulisan, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang

diteliti atau objek yang diteliti (Hendarso, 2008: 166).Melalui pendekatan studi kasus (case

study), khususnya instrinsic case study. Instrinsic case study berupaya untuk memahami secara

lebih instrinsic mengenai fenomena, keteraturan, dan kekhususan dari suatu kasus yang akan

diteliti. Metode studi kasus menjadi relevan manakala pertanyaan penelitian yang disuguhkan

berkenaan dengan “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why), serta fokus penelitiannya terletak

pada fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan nyata (Yin 1996, h: 1-18).

Secara detail definisi yang lebih teknis dari studi kasus diungkap oleh (Yin 1981, h: 23).

A case study is an empirical inquiry that:(a) Investigates contemporary phenomenon within its

real-life context, when; (b) The boundaries between phenomenon and context are not clearly

evident, and in which; and (c) Multiple sources of evidence are used. Dengan demikian,

penelitian studi kasus digunakan untuk menjawab rumusan masalah “Bagaimana relasi antara

pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam upaya penanggulangan kemiskinan di

Kecamatan Sekongkang Kabupaten Sumbawa Barat?”.

Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi peneliti untuk mengadopsi metode studi

kasus sebagai metode yang mampu membedah objek penelitian. Pertama, metode studi kasus

dianggap peneliti komprehensif dalam menjawab pertanyaan penelitian yang berkenaan dengan

“bagaimana” dan “mengapa”. Hal ini relevan dengan rumusan masalah yang diajukan oleh

peneliti yaitu “Bagaimana relasi antara pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara

dalamupaya penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Sekongkang Kabupaten Sumbawa

xvii  

Barat?. Kedua, studi kasus merupakan metode yang relevan untuk mengungkapkan isu yang

kontemporer. Persoalan relasi antara pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggaradalam upaya

penanggulangan kemiskinan sesungguhnya telah terjalin sejak lama, namun menjadi menarik

untuk diteliti kembali karena relasi yang terbangun mengalami harmonisasi yang semakin

meminggirkan masyarakat.

Ketiga, objek penelitian yang dipilih memiliki boundaries (batasan) aktor, lokus, dan

konteks yang jelas. Adapun yang menjadi batasan aktor dalam penelitian ini yaitu negara

(pemerintah daerah, pihak kecamatan dan pemerintah desa), perusahaan (PT. Newmont Nusa

Tenggara) dan masyarakat lokal di Kecamatan Sekongkang. Sedangkan lokusnya berada di

Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat dan konteksnya saat ini. Berbekal argumen

diatas, peneliti meyakini bahwa metode studi kasus cocok untuk mengeksplorasi relasi antara

pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam upaya penanggulangan kemiskinan di

Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat.

Pada dasarnya pendekatan studi kasus cocok digunakan apabila peneliti ingin menyelidiki

masalah secara mendalam dan memberikan penjelasan yang dapat mengatasi kompleksitas dan

kehalusan situasi kehidupan nyata. Oleh karenya secara khusus, studi kasus cocok untuk

mempelajari proses dan hubungan dalam lingkungan tertentu. Namun demikian tidak bisa

dipungkiri bahwa studi kasus mempunyai kelemahan sebagai metode dalam penelitian,

kelemahan tersebut meliputi isu, validitas, realibilitas, dan generalisasi temuan (Salim 2006, h:

125). Isu validitas berkaitan dengan tingkat keabsahan objek studi dalam mewakili kelompok

kasus-kasus yang lain. Objek yang hadir dalam studi kasus biasanya bersifat tunggal dan sedikit

jumlahnya, maka dari itu tingkat keabsahan dari suatu penelitian studi kadang diragukan. Namun

untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan dengan penggunaan multi sumber,

membangun serangkaian teori yang berguna sebagai bukti, dan meminta informan kunci untuk

meninjau ulang hasil penelitian dari peneliti.

Kedua, isu reliabilitas, hal ini berkaitan dengan tingkat kesahihan hasil yang diperoleh

apabila penelitian yang sama diulang atau diprediksi pada kasus lain di tempat dan waktu lain

(Salim 2006, h: 125). Untuk mengatasi permasalahan ini, peneliti dapat melakukan beberapa

tindakan yang meliputi membuat sebanyak mungkin dan seoperasional mungkin langkah-

langkah, serta dalam melakukan penelitian seolah-olah ada yang mengawasi sehingga reabilitas

xvii  

dalam suatu penelitian terjaga (Yin 1996, h: 45). Ketiga, isu generalisasi, hal ini berkaitan

dengan tingkat teorisasi hasil penelitian dan penerapannya dalam populasi yang serupa di tempat

lain (Salim 2006, h: 125). Untuk mengatasi permasalahan ini dapat dilakukan dengan upaya

pengujian penelitian melalui replika pada lingkungan kedua, ketiga dan seterusnya, apabila

penelitian baik maka hasil yang diperolehpun akan sama. Secara umum untuk meminimalisir

berbagai kekurangan dari studi kasus tersebut akan digunakan metode triangulasi yang akan

dilakukan dalam hal teknik pengumpulan data dan juga dalam hal sumber data.

G.2. Unit Analisa Data

Unit analisis dalam penelitian ini berkeinginan untuk mengetahui relasi yang tercipta

antara pemerintah dengan korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara) dalam upaya

penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Sekongkang. Oleh karenanya keberadaan dan

kepentingan dari berbagai aktor perlu disuguhkan untuk melacak relasi yang tercipta. Adapun

aktor yang akan dimintai keterangan terkait objek penelitian ini adalah: masyarakat lokal yang

kehidupannya dekat dengan praktek eksplorasi PT. Newmont Nusa Tenggara. Selain itu juga

yang perlu diperhatikan adalah para pelaku eksploitir yaitu negara (pemerintah daerah-desa,

pihak Kecamatan Sekongkang) dan PT. Newmont Nusa Tenggara.

G.3. Sumber Data

a. Sumber Primer

Sumber primer adalah sumber utama yang dijadikan sebagai pusat informasi data terpenting.

Sumber primer dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil wawancara dan informasi dari para

key informan dalam hal ini para tokoh masyarakat, pejabat birokrasi baik yang berada di level

daerah, camat dan desa, dan aktor korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara). Dengan kata lain

data primer adalah data yang diperoleh dengan teknik pengamatan langsung terhadap objek

maupun wawancara kepada para responden yang relevan dengan fokus penelitian.

b. Sumber Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang dijadikan pelengkap atau pendukung

informasi bagi data sumber primer. Data sekunder ini didapatkan dari teks-teks, dokumen-

dokumen, baik berupa kebijakan-kebijakan yang berhubungan yang berhasil diperoleh oleh

peneliti melalui situs internet, artikel-artikel, koran nasional maupun lokal, dan jurnal yang

memiliki keteraikatan dengan objek penelitian.

xvii  

G.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh data penelitian. Data-data yang

diperoleh baik primer maupun sekunder akan didapatkan dengan menggunakan teknik

wawancara mendalam (in-depth interview), analisis dokumen (document analisys) dan observasi

partisipan (participant observationt) dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Wawancara Mendalam (in-depth interview)

Wawancara mendalam (indepth interview) akan dilakukan dengan informan dan key

informan, baik secara formal maupun informal. Wawancara sebisa mungkin akan dikondisikan

secara informal untuk meminimalisir kekakuan sekaligus mempermudah penggalian informasi

secara mendalam. Oleh karena itu, wawancara secara mendalam dan intensif menjadi salah satu

metode yang penting untuk mendapatkan data. Karena wawancara intensif, selain terwawancara

dapat berbicara bebas dan memberikan tafsiran terhadap suatu peristiwa dan sudut pandang

merekalah yang paling penting untuk menangkap makna yang tersembunyi dibalik realitas yang

ada dari sebuah peristiwa (Marsh dan Stoker, 2010: 242).

Penggunaan teknik wawancara terbuka, dimana subjek wawancara mengetahui bahwa

mereka sedang diwawancarai dan mereka mengetahui maksud dari wawancara yang dilakukan,

diterapkan dalam penelitian ini. Bentuk wawancara yang dilakukan meliputi wawancara

terstruktur dan tak terstruktur, masing-masing penggunaannya disesuaikan dengan situasi dan

kondisi di lapangan (Rahayu 2008, h: 23). Dengan wawancara ini setidaknya peneliti bisa

menjaring dan kemudian menyaring data informasiyangkevalidannya dapat

dipertanggungjawabkan. Wawancara ini dilakukan langsung dengan tatap muka kepada informan

yang telah ditentukan sebelumnya yaitu:

Wawancara bersama perwakilan PT. Newmont Nusa Tenggara, sejumlah lima (5)

orang.Wawancara dengan perwakilan elit daerah, elit kecamatan dan elit desa sejumlah enam (6)

orang.Wawancara juga dilakukan bersama tokoh lokal, pengusaha lokal, tokoh pemuda dan

tokoh masyarakat yang ada di Kecamatan Sekongkang sejumlah delapan (8) orang.Penting pula

untuk melakukan wawancara dengan representasi Lembaga Bantuan Hukum untuk melihat

sejauhmana perselingkuhan yang terjadi antara predator lokal dengan predator ekonomi dapat

memiskinkan kondisi ekologi Kecamatan Sekongkang.

xvii  

Dalam penyajian keseluruhan substansi penelitian ini akan ditemukan beberapa kutipan

langsung yang menggunakan inisial, hal ini dikarenakan permintaan dari narasumber yang

keberatan namanya untuk ditampilkan dengan alasan keamanan dan kenyamanan narasumber.

Berikut adalah beberapa narasumber yang berhasil peneliti wawancarai dan bersedia namanya

untuk dipublikasikan:

Tabel 1.1: Daftar Informan/ Narasumber

No. Nama Aktivitas/Pekeraan 1 Bapak H. Amry Hasan Kepala Bappeda 2 Bapak Abidin Nassar Wakil DPRD KSB 3 Pak Syarifuddin Kepala Desa Sekongkang Atas 4 Pak Rahmat Hidayat Kepala Desa Sekongkang Bawah 6 Ibu Nia Kesra Kantor Camat 7 Bapak H. Syarafuddin Jarot Manajer PT. NNT 8 Bapak H. Basuki PT. NNT 9 Bapak Akhdiat Amril PT. NNT 10 Bapak Syamsul Bahri PT. NNT 11 Bapak Ismul PT. NNT 12 Bapak H. Muhammad Arsyad Ketua Yayasan Olat Parigi (YOP) 13 Syahrul Mustofa Lembaga Bantuan Hukum 14 Toni Hardiansyah Tokoh Pemuda 15 Sahena Masyarakat 16 Bapak Maslukang Tokoh Agama b. Analisis Dokumen (Document analisys)

Analisis dokumen pada penelitian ini yaitu dengan memanfaatkan data-data sekunder yang

telah tersedia di berbagai instansi. Data yang bersumberdariKecamatan Sekongkang, Kantor

Desa dampak tambang, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat maupun dari PT. Newmont Nusa

Tenggara. Data-data ini kemudian dianalisis secara mendalam.

c. Observasi Langsung

Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencacatan dengan sistematik terhadap

fenomena-fenomena yang relevan dan penting untuk diselidiki. Dalam penelitian ini observasi

langsungdi lapangan ditujukan untuk menggali kemungkinan adanya informasi yang terlewatkan

dari pedoman wawancara yang dilakukan sekaligus untuk memperkaya dimensi pengamatan dari

fenomena penelitian yang ada (Anshori 2011, h: 37-38).

xvii  

G.5. Instrumen Pengumpulan Data

Untuk mempermudah dalam pengumpulan data diperlukan menggunakan instrumen

pengumpulan data. Adapun instrumen dalam pengumpulan data di lapangan dalam penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan beberapa alat (tools) yaitu alat perekam suara, alat pemotret

gambar dan alat-alat catat.

G.6. Lokus Penelitian

Lokus atau lokasi dari penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten

Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat yang notabene menjadi area beroperasinya PT.

Newmont Nusa Tenggara, sehingga akan mampu memetakan relasi antara pemerintah dengan

PT. Newmont Nusa Tenggara dalam melakukan upaya penanggulangan kemiskinan.

G.7. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dalam beberapa tahapan

yaitu data yang telah dikumpulkan baik berupa data primer atau data sekunder mula-mula

disusun, dijelaskan kemudian dianalisa, selanjutnya data yang telah dinilai, ditafsirkan dan

kemudian disimpulkan. Penilaian data didasarkan pada empat kriteria yaitu: derajat kepercayaan,

keteralihan, kebergantungan, dan kepastian. Langkah selanjutnya yaitu penafsiran data yang

memberi makna pada analisis, menjelaskan pola dan mencari hubungan berbagai konsep

meskipun lebih bersifat subjektif dari peneliti. Tahap terakhir adalah penarikan kesimpulan

sebagai rangkaian laporan hasil penelitian yang merupakan inti dari sebuah penelitian.

H. Sistematika Penulisan

Guna memperoleh temuan yang komprehensif dan menghasilkan alur pemikiran yang

jelas sehingga dapat ditarik suatu keterikatan hubungan dari keseluruhan isi penelitian, maka

penelitian ini akan disuguhkan ke dalam lima (5) bab. Bab pertama adalah pendahuluan. Pada

sesi ini akan menjelaskan latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka

teori, definisi konseptual, definisi operasional, metode penelitian, dan terakhir sistematika

penulisan.

Bab dua,mengetengahkan terkait keberpihakan negara pada hadirnya PT. Newmont Nusa

Tenggara yang memunculkan polemik dan realitas multi degradasi. Bab ini akan diawali dengan

menjelaskan potret geografis Kecamatan Sekongkang sebagai lokasi penelitian. Menampilkan

xvii  

sejarah mining corporation serta menceritakan sekilas sejarah dari PT. Newmont Nusa Tenggara

sebagai objek penelitian. Menggamblangkan polemik yang terjadi pada periode awal

kemunculan PT. NNT yang berimplikasi pada lahirnya realitas multi-degradasi. Pembelaan

negara terhadap PT. Newmont Nusa Tenggara menciptakan kemiskinan dan kesenjangan yang

paradoks di Kecamatan Sekongkang ditengah beroperasinya perusahaan multinasional tersebut.

Yang tidak kalah menyedihkan adalah populernya politik pragmatis dan merebaknya money

politic yang menjadi indikasi merosotnya moral politik masyarakat di Kecamatan Sekongkang.

Persoalan yang tidak terlupakan adalah lunturnya nilai-nilai sosial-budaya masyarakat

Sekongkang akibat kehadiran PT.NNT yang mulai menerjemahkan segala bentuk pertolongan

dengan materi. Selain itu kehancuran ekologi menjadi pemandangan yang tidak kalah

menakutkan dan mengancam kelestarian lingkungan akibat dampak tailing dan penggalian sumur

tambang yang berdampak pada tercemarnya laut, sungai sehingga mengurangi jumlah kualitas

air bersih di Kecamatan Sekongkang.

Bab tiga, mencermati perselingkuhan yang terjadi antara predator lokal yang menjalin

relasi mutualisme dengan PT. Newmont Nusa Tenggara yang berujung pada tercabiknya kondisi

masyarakat dampak tambang. Pilkada 2005 menjadi gerbang penajaman perselingkuhan yang

terjalin mesra antara elit daerah dengan korporasi. Momen pilkada menjadi penuh dengan kuasa

uang karena seluruh kandidat bupati memperoleh dukungan dana kampanye dari perusahaan.

Uang sogokan itu menjadi alat bagi perusahaan untuk dapat membeli dan memesan kebijakan

yang bersesuaian dengan kepentingan korporasi PT. Newmont Nusa Tenggara. Disamping itu

dana hibah yang diperuntukkan untuk pemberdayaan difungsikan untuk memenuhi kepentingan

predator lokal. Kolaborasi yang tidak kalah menyakitkan terbangun antara elit desa dengan

pihak kecamatan yang mendapat dukungan dari oknum PT. Newmont Nusa Tenggara untuk

melakukan praktek jual beli kursi karyawan Newmont tujuannya pun meminggirkan masyarakat

karena mereka lebih memprioritaskan kerabat dan sanak familinya. Upaya untuk

mendeskriditkan masyarakat lokal ini tidak hanya datang dari aktor formal namun turut

melibatkan aktor-aktor informal. Aktor-aktor informal dalam hal ini (tokoh-tokoh lokal,

pengusaha lokal dan LSM lokal)turut melakukan pengkhianatan dengan melakukan

keberpihakan terhadap pemerintah daerah-desa serta PT. Newmont Nusa Tenggara dengan dalih

kemakmuran personal dan golongan. Mereka bersama menyudutkan dan membatasi akses

xvii  

masyarakat lokal sehingga kemiskinan menjadi pilihan yang harus diterima oleh masyarakat

lokal.

Bab empat, menguak kongkalikong seluruh predator lokal bersama predator ekonomi

yang melakukan ‘politisasi’ terhadap skema Corporate Social Responsibility (CSR). Skema CSR

menjadi celah bagi pemerintah daerah-desa untuk absen memberikan pelayanan terhadap

masyarakat dampak tambang, dengan dalih hadirnya perusahaan raksasa tersebut. Sesi ini akan

diawali dengan pemetaan pemanfaatan skema CSR oleh pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa

Barat. CSR yang ditawarkan sebagai penawar kemiskinan berubah menjadi racun yang

memiskinkan kaena kehadirannya bersifat “kamuflase”. CSR dimanfaatkan oleh perusahaan

untuk memperoleh citra positif di mata dunia, sekaligus sebagai alat untuk memperoleh lisensi

sosial. Wajah CSR menjadi semakin buram karena aktor yang terlibat didalamnya memanfaatkan

anggaran CSR untuk kepentingan personal dan golongan. Potret skema CSR PT. Newmont Nusa

Tenggara berujung pada pemberdayaan jangka pendek untuk membungkam kekritisan

masyarakat dampak tambang.

Bab lima, berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang ditemukan di lapangan.

Kesimpulan merupakan manifestasi dari pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian.

Selanjutnya, pembahasan dalam bab ini akan menyajikan refleksi teoritik atas temuan penelitian

di lapangan.