bab i. pendahuluan 1.1 latar belakang. laporan-20… · bab i. pendahuluan 1.1 latar belakang saat...
Post on 30-Apr-2020
4 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini Indonesia menghadapi masalah beban gizi ganda yang ditunjukkan dengan
masih tingginya masalah gizi kurang (19,6%) dan stunting (37,2%) serta semakin
meningkatnya masalah kegemukan pada Balita sebesar 11,8%. Kedua masalah gizi
tersebut erat kaitannya dengan masalah gizi dan kesehatan ibu hamil dan menyusui, bayi
baru lahir dan anak usia di bawah dua tahun (Baduta). Hal tersebut dapat terlihat dari
tingginya masalah kurang gizi pada masa pra hamil yang ditandai tingginya prevalensi
anemia pada remaja dan Wanita Usia Subur (WUS) masing-masing sebesar 22,7% dan
37,1%, dan prevalensi Kurang Energi Kronis (KEK) pada WUS dan ibu hamil sebesar
20,8% dan 24,2%. Keadaan ini tentunya akan memberikan kontribusi terhadap terjadinya
gangguan gizi pada masa pre natal yang ditandai dengan tingginya angka prevalensi bayi
BBLR (
-
2
dengan perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan
melalui tiga pilar utama, yaitu: (1) penerapan paradigma sehat, (2) penguatan pelayanan
kesehatan, dan (3) pelaksanaan jaminan kesehatan nasional (JKN). Penerapan paradigma
sehat dilakukan dengan strategi pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan,
penguatan upaya promotif dan preventif, serta pemberdayaan masyarakat. Penguatan
pelayanan kesehatan dilakukan dengan strategi peningkatan akses pelayanan kesehatan,
optimalisasi sistem rujukan, dan peningkatan mutu menggunakan pendekatan continuum
of care dan intervensi berbasis risiko kesehatan. Sedangkan pelaksanaan JKN dilakukan
dengan strategi perluasan sasaran dan manfaat (benefit), serta kendali mutu dan biaya.
(Kemenkes, 2016).
Pada hakekatnya penyebab dasar terjadinya masalah kurang gizi adalah masalah
ekonomi yang ditandai dengan rendahnya daya beli masyarakat sehingga menyebabkan
rendahnya ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga yang dapat menyebabkan
rendahnya asupan zat gizi. Selain disebabkan rendah asupan zat gizi maka pola
pengasuhan Balita yang kurang baik dan buruknya kondisi sanitasi lingkungan dan kurang
tersedianya sarana air bersih serta kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan, juga
memberikan kontribusi terhadap terjadinya infeksi yang berulang yang pada akhirnya
menyebabkan terjadinya masalah masalah kurang gizi (Unicef, 1998). Mengingat
penyebab masalah gizi adalah multifaktor maka upaya yang harus dilakukan dalam
mengatasi masalah kurang gizi harus melalui pendekatan multisektor. Artinya bahwa
penanggulangan masalah kurang gizi tidak hanya dilakukan oleh sektor kesehatan saja
tetapi juga dilakukan bersama-sama dengan sektor diluar bidang kesehatan. Sektor lain
diluar kesehatan yang memiliki peranan penting dalam penanggulangan masalah gizi
antara lain adalah sektor ekonomi, pekerjaan umum, pertanian, ketahanan pangan,
perikanan, pendidikan dan sektor terkait lainnya (Bappenas, 2012).
Strategi penurunan masalah stunting yang mengoptimalkan keterlibatan lintas
program dan lintas sektor sudah berhasil dilaksanakan di beberapa negara dengan
prevalensi stunting tinggi, seperti Brazil berhasil menurunkan prevalensi stunting dari
37,1% pada tahun 1974 menjadi 7,1% pada tahun 2007, Peru melalui keterlibatan sektor
kesehatan, pendidikan, ketersedian air bersih dan sanitasi, perumahan, pertanian dan LSM
serta adanya program bantuan untuk penduduk miskin dapat menurunkan prevalensi
stunting dari 22,9% pada tahun 2005 menjadi 17,9% tahun 201, Bolivia melalui program
yang hampir sama dapat menurunkan prevalensi stunting dari 18,5% pada tahun 2008
-
3
menjadi 13,5% pada tahun 2011, Negara Bagian Maharashtra (India) berhasil menurunkan
prevalensi stunting dari 44% tahun 2005 menjadi 22,8% pada tahun 2012 melalui
pendampingan dan pelatihan terkait tiga hal, yaitu 1) Advocay terkait pentingnya 1000
HPK; 2) Kebijakan intervensi berbasis data; dan 3) Peningkatan kerjasama lintas program
dan sektor. Selanjutnya pengalaman di 9 Negara Sub Sahara Afrika melalui intervensi
multi sektor pada tahun 2005-2009 juga dapat mempercepat penurunan stunting sebesar
43% (Global Nutrition Report, 2014, Haddad, L, et all, 2014)
Dalam rangka percepatan penurunan masalah kurang gizi, pemerintah telah
mengeluarkan berbagai kebijakan antara lain dengan diterbitkannya Peraturan Presiden no
42 tahun 2013 yang berisi tentang upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat
melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana
dan terkoordinasi dalam rangka percepatan perbaikan gizi masyarakat melalui Gerakan
1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) dan berbagai kebijakan dan program di
Kementerian lain di luar Kesehatan, seperti di Kementerian Pertanian dan Kementerian
terkait lainnya. Adapun prinsip dari Gerakan 1000 HPK tersebut adalah bagaimana upaya
yang harus dilakukan agar dalam 1000 HPK yaitu sejak masa 9 bulan kehamilan (270
hari) dan masa 2 tahun setelah lahir (730 hari) tersebut tidak terjadi kekurangan gizi
(Kemenkumham, 2013).
Selanjutnya pada tahun 2017, pemerintah telah memberikan perhatian yang cukup
besar dalam penanggulangan masalah gizi di Indonesia melalui penetapan 5 Pilar
Penanganan Stunting yaitu 1) Komitmen dan Visi Pimpinan Tertinggi Negara,; 2)
Kampanye Nasional berfokus pada pemahaman, perubahan perilaku, komitmen politik
dan akuntabilitas,; 3) Konvergensi, Koordinasi dan konsolidasi Program Nasional, Daerah,
dan Masyarakat,; 4) Mendorong Kebijakan “Nutritional Food Security,; 5) Pemantauan
dan Evaluasi. Selanjutnya terkait dengan pilar ke 2 maka pada tahun 2017 ditetapkan
1000 desa di 100 kabupaten/kota sebagai prioritas dalam intervensi stunting berdasarkan
pada tingkat kemiskinan, prevalensi stunting dan akses geografi yang akan terus diperluas
pada 514 kabupaten/kota pada tahun 2021 (TNP2K, 2017). Dalam rangka mewujudkan
tujuan pilar ke 2 maka penanganan stunting perlu koordinasi antar sektor dan melibatkan
berbagai pemangku kepentingan seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Dunia
Usaha, Masyarakat Umum, dan lainnya. Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk
memimpin langsung upaya penanganan stunting agar penurunan prevalensi stunting dapat
dipercepat dan dapat terjadi secara merata di seluruh wilayah Indonesia.
-
4
Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat
yang memiliki masalah stunting sangat tinggi sekitar 41,7%, termasuk dalam 64
kabupaten prioritas Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 serta merupakan salah satu
dari 100 kabupaten/kota prioritas intervensi stunting oleh pemerintah (TNP2K, 2017).
Salah satu hal yang menyebabkan kurang berhasilnya upaya penurunan stunting di
Kabupaten Tasikmalaya adalah kurang optimalnya koordinasi dan kerjasama lintas sektor
terkait penanggulangan masalah stunting. Hal ini turut memberikan kontribusi terhadap
ketidaktahuan dan ketidakpahaman sektor lain diluar kesehatan tentang masalah stunting,
baik penyebab maupun dampak yang ditimbulkan serta daerah mana saja yang banyak
terjadi masalah stunting. Kondisi ini menyebabkan sektor lain di luar kesehatan belum
menggunakan masalah stunting sebagai salah satu dasar dalam perencanaan program dan
kegiatan termasuk dalam hal penetapan lokus dan target sasaran (Prihartini, dkk, 2016).
Sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan menjaga
asupan gizi anak maka pada tahun 2015, Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya
bekerjasama dengan salah satu LSM membuat program Kampung Gizi di desa Taraju,
Kecamatan Taraju. Ada tiga komponen yang terdapat dalam Kampung Gizi yaitu perilaku
sehat, lingkungan sehat, dan ketersediaan pangan. Adapun kegiatan yang dilakukan antara
lain adalah pemanfaatan tanaman pekarangan dengan menanam sayuran, beternak ayam
atau hal lain yang dapat memberikan nilai ekonomi lebih. Kabupaten Tasikmalayayang
mengutamakan pemberdayaan masyarakat yang hasilnya dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.
Sebagai implementasi Pilar ke 2 dari 5 Pilar penanganan stunting oleh pemerintah,
yaitu Konvergensi, Koordinasi dan konsolidasi Program Nasional, Daerah, dan
Masyarakat serta adanya pengalaman dari program Kampung Gizi yang pernah dilakukan
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya maka perlu dilakukan suatu penelitian
operasional yang mencoba mengembangkan lebih lanjut program “Kampung Gizi”
sebagai suatu gerakan dalam upaya penurunan masalah stunting melalui peningkatan kerja
sama dan integrasi program dan kegiatan lintas sektor.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Unicef tahun 1998 maka penyelesaian
masalah gizi bukan hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan karena hanya akan
memberikan kontribusi sebesar 30% terhadap penyelesaian masalah gizi tetapi justru
-
5
yang memberikan kontribusi lebih besar sekitar 70% adalah sektor lain di luar kesehatan
seperti sektor pertanian, perikanan/peternakan, ketahanan pangan, sosial, pekerjaan
umum, perindusterian dan koperasi, dan sektor terkait lainnya (Lancet, 2011). Namun
demikian, kurangnya koordinasi, baik antar program, sektor dan lembaga pemerintahan
menyebabkan semua kebijakan dan program yang telah direncanakan tidak dapat
dimplementasikan dengan baik sehingga tidak dapat berhasil sesuai yang diharapkan.
Dalam rangka implementasi 5 Pilar Penanganan Stunting dan berdasarkan
pengalaman beberapa negara yang telah berhasil menanggulangi masalah stunting melalui
pendekatan multi sektor serta pengalaman program Kampung Gizi di Kabupaten
Tasikmalaya serta implementasi dari maka perlu dilakukan sebuah penelitian operasional
pengembangan model integrasi Lintas Sektor dalam rangka penurunan masalah stunting
melalui Kampung Gizi, dengan target sasaran utama adalah kelompok remaja puteri dan
wanita usia subur (WUS), serta kelompok 1000 HPK (ibu hamil, ibu nifas, ibu menyusi,
bayi, dan baduta), lintas program dan lintas sektor. Selanjutnya hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi daerah lain dalam upaya
menurunkan masalah stunting.
Penelitian ini adalah penelitian multi years selama 3 tahun (tahun 2018, 2019 dan
2020). Protokol penelitian ini merupakan protokol untuk penelitian tahun pertama (tahun
2018) dan output yang diharapakan adalah adanya kesadaran, peran serta dan komitmen
bersama dari seluruh pihak dalam penanggulangan masalah stunting yang dituangkan
melalui terbentuknya Tim Penanggulangan Stunting baik di Pemerintahan Tingkat
Kabupaten (SK atau Peraturan Bupati, tingkat Kacamatan (Peraturan Camat), dan tingkat
Desa (Peraturan Desa), sedangkan di tingkat masyarakat diupayakan adanya
pemberdayaan dan peran serta aktif masyarakat dalam upaya penurunan masalah
Stunting. Selain itu juga diharapkan akan menghasilkan suatu draft pedoman tentang
bagaimana langkah-langkah dalam melakukan Integrasi Lintas Sektor dalam upaya
penurunan Stunting, mulai dari penentuan lokus dan sasaran bersama, perencanaan dan
pelaksanaan intervensi, monitoring-evaluasi sampai penentuan dan pengukuran indikator
keberhasilan, baik dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang.
-
6
1.3 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan
sebelumnya maka pertanyaan penelitian pada penelitian ini adalah apakah Model
Integrasi Lintas Sektor melalui “Kampung Gizi” dapat menurunkan masalah stunting ?
1.4 Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Memperoleh Model Integrasi Lintas Sektor yang efektif dalam upaya menurunkan
masalah Stunting.
b. Tujuan Khusus
1. Mempelajari bagaimana kontribusi sektor kesehatan dalam upaya
penanggulangan masalah Stunting.
2. Mempelajari bagaimana kontribusi sektor non kesehatan (Pemerintahan Desa,
Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan, Pekerjaan Umum, Tata Ruang
dan Pemukiman, Koperasi dan UMKM, Kesra dan sektor lain yang terkait)
dalam upaya penanggulangan masalah Stunting.
3. Mendapatkan langkah-langkah Strategik kegiatan Integrasi Lintas Sektor
dalam upaya penanggulangan masalah Stunting.
4. Mempelajari faktor determinan yang berhubungan dengan keberhasilan Model
Integrasi Lintas Sektor dalam penurunan masalah Stunting.
1.5 Manfaat Penelitian
Kementerian Kesehatan
Diperolehnya model integrasi lintas sektor yang efektif dalam upaya
penanggulangan masalah Stunting. Selanjutnya model tersebut diharapkan dapat
diimplementasikan ke daerah lain dalam rangka percepatan penurunan masalah Stunting
pada Balita.
Pemerintah Daerah
Melalui pendekatan model ini diharapkan dapat mempercepat penurunan masalah
Stunting pada Balita di Kabupaten Tasikmalaya.
Masyarakat
Adanya kesadaran dan kemandirian masyarakat dalam upaya meningkatkan derajat
Kesehatan dan Status Gizi Balita
-
7
BAB II. METODOLOGI
2.1 Kerangka Teori
2.1.1. Kerangka Teori Penyebab Masalah Gizi
Kerangka teori tentang determinan penyebab masalah kurang gizi adalah mengacu
pada teori Unicef, 1998. Penyebab langsung terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak
balita adalah karena tidak adekuatnya asupan zat gizi dan adanya penyakit infeksi yang
berulang, seperti diare, ISPA, dan lain-lain, sedangkan penyebab tidak langsung adalah
kurangnya akses terhadap makanan, kurangnya pola asuh dan kurang memadainya
ketersediaan sarana air bersih dan pelayanan kesehatan. Sebenarnya yang mendasari
penyebab langsung dan tidak langsung tersebut adalah karena fakrtor ekonomi dengan
indikator kemiskinan. Masih tingginya tingkat kemiskinan menyebabkan sulitnya
mengatasi penyebab langsung dan tidak langsung tersebut.
Selanjutnya, jika dikaitkan dengan intervensi yang dilakukan maka peranan dari
sektor kesehatan (intervensi spesifik) hanya memberikan kontribusi sebesar 30 % dan
justru peranan dari sektor non kesehatan (intervensi sensitif) memiliki kontribusi yang
lebih besar yaitu sebesar 70% dalam menanggulangi masalah kurang gizi (gizi kurang,
stunting, kurus). Namun demikian di sektor kesehatan sendiri perlu adanya upaya
peningkatan capaian indikator intervensi spesifik sampai 90% agar dapat memberikan
dampak sekitar 20% terhadap penurunan stunting. Bentuk interevensi spesifik dan
intervensi sensitif dalam upaya penanggulangan masalah gizi ditunjukkan pada gambar 1.
2.1.2 Kebijakan Penanggulangan Stunting di Indonesia
Saat ini masalah gizi di Indonesia, khususnya masalah stunting masih cukup tinggi
dan masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat, bahkan dalam satu dekade ini
tidak banyak menunjukkan penurunan bahkan dapat dikatakan stagnan dan hal tersebut
dapat dilihat dari prevalensi stunting pada Balita pada tahun 2007 sebesar 36,2% dan
pada tahun 2013 sebesar 37,2%. Kondisi ini akan berdampak pada rendahnya kualitas
sumber daya manusia Indonesai yang selanjutnya akan berdampak pada daya saing bangsa
sehingga dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang sehat, cerdas
dan produktif diperlukan status gizi yang optimal, dengan cara melakukan perbaikan gizi
-
8
secara terus menerus sehingga untuk itu pemerintah bertanggung jawab meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap
peningkatan status gizi.
Gambar 1. Kerangka Pikir Penyebab Masalah Gizi
Sumber: World Bank 2011, diadaptasi dari UNICEF 1990 & Ruel 2008
Gambar 2. Kerangka Acuan Penanggulangan Stunting, Hasil Systematic Review WHO
30%
70%
-
9
Hasil systematic review WHO tentang faktor determinan stunting menunjukkan
menyebutkan bahwa ada 2 kunci keberhasilan penangggulangan masalah ganggungan
pertumbuhan yaitu faktor ibu dan faktor lintas sektor, seperti yang ditunjukkan pada
gambar 2.
Upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam meningkatkan status gizi
masyarakat maka pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain adalah
dengan diterbitkannya Peraturan Presiden no 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi (GNPPG) merupakan upaya bersama antara pemerintah dan
masyarakat melalui pengalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara
terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat prioritas pada
seribu hari pertama kehidupan. Tujuan umum dari GNPPG dimaksudkan untuk percepatan
perbaikan gizi masyarakat prioritas pada 1000 hari pertama kehidupan dengan sasaran
masyarakat, khususnya remaja, ibu hamil, ibu menyusui, anak dibawah dua tahun, kader-
kader masyarakat, perguruan tinggi, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan dan
keagamaan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, media massa, dunia usaha dan
lembaga swadaya masyarakat dan mitra pembangunan.
Dalam rangka pelaksanaan GNPPG dibentuk Gugus Tugas GNPPG yang
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Adapaun tugas dari
Gugus Tugas GNPPG antara lain adalah mengkoordinasikan dan menyinkronkan
penyusunan rencana dan program kerja GNPPG pada kementerian dan lembaga
pemerintah non kementerian, mengkoordinasikan penyusunan program prioritas,
memobilisasi sumber dana, sarana dan daya, mengkoordinasikan penyelenggaraan
advokasi, dan melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan GNPPG. Ketua
Pengarah dari GNPPG adalah Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dengan
wakil ketua I Menteri Dalam Negeri dan wakil ketua II Menteri Kesehatan, serta sekretaris
adalah Deputi Bidan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, BAPPENAS dengan 11
Kementerian sebagai anggota. Pelaksanaan GNPPG di daerah adalah Pemerintah Daerah
dengan mengacu pada rencana dan prgram kerja yang disusun oleh Gugus Tugas yang
dalam pelaksanaannya dapat bekerjasama dengan Pemerintah, perguruan tinggi, organisasi
profesi, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat,
media massa, pelaku usaha dan anggota masyarakat.
Pada tahun 2017, Pemerintah melalui Tim TNP2K mencoba membuat terobosan
dalam rangka menurunkan masalah stunting melalui 5 Pilar penanganan Stunting, yaitu 1)
Komitmen dan Visi Pimpinan Tertinggi Negara,; 2) Kampanye Nasional berfokus pada
-
10
pemahaman, perubahan perilaku, komitmen politik dan akuntabilitas,; 3) Konvergensi,
Koordinasi dan konsolidasi Program Nasional, Daerah, dan Masyarakat,; 4) Mendorong
Kebijakan “Nutritional Food Security,; 5) Pemantauan dan Evaluasi. Seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2.
Tujuan dari Pilar ke 3 adalah untuk memperkuat konvergensi, koordinasi, dan
kolaborasi serta memperluas cakupan program yang dilakukan oleh
Kementerian/Lembaga terkait. Disamping itu dibutuhkan perbaikan kualitas dari layanan
program yang ada (Puskesmas, Posyandu, Paud, BP SPAM, PKH, dll) terutama dalam
memberikan dukungan kepada ibu hamil ibu menyusui dan balita pada 1000 HPK serta
pemberian insentif dari kinerja program intervensi di wilayah sasaran yang berhasil
menurunkan angka stunting di wilayahnya. Selain itu juga dapat dilakukan dengan
memaksimalkan pemanfaatan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Desa untuk
mengarahkan pengeluaran tingkat daerah ke intervensi prioritas intervensi stunting. Agar
tujuan Pilar ke 3 dapat tercapai dengan maksimal maka dalam
melaksanakan/menjalankannya diperlukan suatu pedoman atau petunjuk pelaksanaan yang
dapat digunakan sebagai dasar, pegangan, acuan, atau petunjuk untuk menentukan atau
melaksanakan kegiatan serta ketentuan atau langkah-langkah yang harus diikuti.
Oleh karena itu pemerintah dalam hal ini Sekretariat Wakil Presiden dan Kemenko
PMK telah mengeluarkan Buku tentang Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak
Stunting (Kerdil) Periode 2018-2024. Tujuan dibuatnya dokumen ini adalah untuk
mendorong terjadinya kerja sama antar lembaga untuk memastikan konvergensi seluruh
program/kegiatan terkait pencegahan anak stunting, terutama untuk meningkatkan
cakupan dan kualitas intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif pada kelompok
1000 hari pertama kehidupan (HPK), mulai dari ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia
0-23 bulan.
Gambar 3. 5 Pilar Penanganan Stunting
PILAR 1
•Komitmen dan Visi Pimpinan
Tertinggi Negara
PILAR 2
•Kampanye Nasional
berfokus pada pemahaman,
perubahan perilaku,
komitmen politik dan
akuntabilitas
PILAR 3
•Konvergensi, Koordinasi dan
konsolidasi Program Nasional,
Daerah, dan Masyarakat
PILAR 4
•Mendorong Kebijakan
“Nutritional Food Security
PILAR 5
•Pemantauan dan Evaluasi
-
11
Gambar 4 berikut ini adalah program dan kegiatan dari masing-masing sektor dalam
upaya konvergensi program pencegahan dan penanggulangan stunting.
Gambar 4. Program / Kegiatan Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif
2.1.3 Kerangka Teori Integrasi/Kolaborasi
Beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum tercapainya suatu integrasi (kolaborasi)
adalah perlu adanya Komunikasi, Kerjasama dan Koordinasi. Seperti ditunjukkan pada
gambar berikut :
Sumber : https://www.researchgate,ne....llection_of_Recent_Papers
Gambar 5. Hubungan antara Koorporasi, komunikasi, dan koordinasi dalam
mencapai Kolaborasi
Communication
Coordination Cooporation
Collaboration
https://www.researchgate,ne....llection_of_/
-
12
Pengertian Kolaborasi adalah suatu proses interaksi yang kompleks dan beragam,
yang melibatkan beberapa orang untuk bekerjasama dengan menggabungkan pemikiran
secara berkesinambungan dalam menyikapi suatu hal dimana setiap pihak terlibat aling
ketergantungan di dalamnya. Apapun bentuk dan tempatnya dalam kolaborasi terdapat
pertukaran pandangan atau ide yang memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator.
Tujuan utama kolabaorasi pada sektor publik adalah untuk peningkatan pelayanan pada
masyarakat.
Namun demikian sebelum terjadinya kolaborasi harus diawali dengan adanya
komunikasi untuk memperoleh komitmen sebagai bentuk dedikasi atau kewajiban yang
mengikat seseorang pada sesuatu atau tindakan tertentu. yang perlu ditindaklanjuti dengan
adanya suatu koordinasi. Pengertian koordinasi adalah upaya memadukan
(mengintegrasikan), menyerasikan dan menyelaraskan berbagai kepentingan beserta
segenap gerak, langkah dan waktu dalam rangka pencpaian tujuan dan sasaran bersama .
Selain itu menurut Dr. Awaluddin Djamin M.P.A, koordinasi juga diartikan sebagai suatu
usaha kerjasama antara badan, instansi, unit dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu
sehingga terdapat saling mengisi, membantu dan melengkapai (LAN, 2015). Setelah
adanya koordinasi maka perlu ditindaklanjuti dengan adaanya suatu kerjasama yaitu
sebuah pekerjaan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih supaya dapat mencapai tujuan
ataupun target yang sudah direncanakan sebelumnya dan juga disepakati bersama
(www.gurupendidikan.co.id)
2.2. Kerangka Konsep
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah serta kerangka teori bahwa
dalam penanggulangan masalah stunting, bukan hanya menjadi tanggungjawab sektor
kesehatan melainkan juga oleh beberapa sektor terkait. Oleh karena itu diperlukan adanya
koordinasi dan kerjasama antar lintas sektor terutama dalam perencanaan program dan
kegiatan serta pada saat pelaksanaan intervensi di lapangan disesuaikan dengan tupoksi
masing-masing sektor. Oleh karena itu penelitian ini akan mengembangkan suatu Model
Integrasi Lintas Sektor dalam upaya menurunkan masalah stunting pada Balita melalui
“Kampung Gizi”. Dengan adanya “Kampung Gizi” diharapkan dapat meningkatkan akses
masyarakat untuk mendapatkan Pelayanan Kesehatan, memiliki Ketersediaan Pangan
yang cukup, memiliki Sanitasi, Jamban Sehat, dan sarana air bersih yang baik,
mendapatkan Pendidikan yang optimal, serta memiliki akses ekonomi yang baik, seperti
yang ditunjukkan pada gambar 6.
-
13
----------------- : Output yang akan dihasilkan
Gambar 6. Kerangka Konsep Pengembangan Model Integrasi Lintas Sektor dalam rangka
Penurunan Stunting melalui “Kampung Gizi”
Strategi yang digunakan dala penelitian ini adalah berupa pendampingan yang
dilakukan kepada stakeholder terkait yang ada di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa
serta di masyarakat. Diharapkan dengan adanya integrasi lintas sektor diharapkan
memberikan kontribusi cukup besar terhadap upaya peningkatan 5 Akses masyarakat
dalam Upaya Penurunan Stunting melalui “Kampung Gizi”. Adapun sektor yang terkait
adalah adalah sektor kesehatan, sektor pertanian dan pangan, sektor pendidikan, sektor
PU dan perumahan, sektor agama, sektor pemberdayaan dan peran serta masyarakat, dan
sektor ekonomi.
Gambar 7, menjelaskan rencana alur kegiatan dan output yang diharapkan dari
Model Integrasi Lintas Sektor Melalui “Kampung Gizi” sebagai Upaya dalam
Penurunan Masalah Stunting. Output yang diharapakan adalah adanya komitmen dari
pimpinan di semua level, mulai Bupati, Camat dan Kepala Desa terhadap upaya
penanggulangan stunting yang diperkuat dengan adanya PerBup atau SK Bupati, PerCam
atau SK Camat, PerDes atau SK Kepala Desa tentang pembentukan Tim Koordinasi
Penanggulangan Stunting. Keberadaan Kebijakan atau aturan ini dirasakan sangat penting
oleh hampir stakeholder Tim Koordinasi sangat penting karena merupakah suatu wadah
atau sarana untuk melakukan komunikasi, koordinasi dan kerjasama hingga terjadinya
kolaborasi.
Intervensi
Spesifik
Intervensi
Sensitif
Integrasi
Lintas
Sektor
Peningkatan : 1. Akses Pelayanan Kesehatan 2. Akses Ketersediaan Pangan 3. Akses Sanitasi , Jamban sehat
dan Sarana air bersih 4. Akses Pendidikan 5. Akses Ekonomi
Penurunan
Prevalensi
Stunting
Pedoman
Umum
Pre-Post
K
a
m
p
u
n
g
G
i
z
i
Status
Kesmas
-
14
Gambar 7. Pendekatan Model Integrasi Lintas Sektor Melalui “Kampung Gizi” sebagai
Upaya dalam Penurunan Masalah Stunting
Untuk menilai keberhasilan model Integrasi Lintas Sektor melalui “Kampung
Gizi” dalam upaya penurunan Stunting maka perlu dilakukan penilaian atau evaluasi
mulai dari input, process dan output serta akan dibandingkan kondisi antara sebelum dan
sesudah pendampingan serta apa saja yang dilakukan dan yang terjadi selama proses
pendampingan. Seperti yang ditunjukkan dalam alur pikir penelitian pada gambar 8
berikut ini :
Gambar 8. Alur Pikir Penilaian dan Evaluasi Pendekatan Model Integrasi Lintas Sektor
Melalui dalam Upaya dalam Penurunan Masalah Stunting
INP
UT -Prevalensi Stunting
-Program dan Kegiatan masing-masing SKPD termasuk dasar perencanaan penetapan lokus dan sasaran intervensi
-Capaian Indikator Spesifik
-Capaian Indikator Sensitif
-Komitmen Lintas Sektor dalam upaya penanggulangan masalah stunting
PR
OSE
S
- Kesepatan bersama penetapan lokus dan sasaran intervensi
- Meningkatnya Partisipasi masing-masing sektor
- Meningkatnya Partisipasi Masyarakat
- Proses Pelaksanaan komunikasi, koordinasi, kolaborasi/kerjsama dan integrasi program dan kegiatan lintas sektor
- Pelaksanaan proses Monev
OU
TPU
T 1. Keberhasilan Kampung Gizi yang ditandai dengan : - Terjadinya komunikasi, koordinasi, integrasi dan kegiatan lintas sektor
- Terjadinya perubahan positif beberapa capaian indkator spesifik dan sensitif
- Meningkatnya peran serta masyarakat
2. Diperolehnya draft pedoman Model Integrasi Lintas Sektor
PENURUNAN
STUNTING
OUTCOME
Perlu adanya Pedoman Teknis Integrasi Lintas Sektor
-
15
Evaluasi Input dilakukan terhadap segala sumberdaya yang ada di masing-masing sektor
yang diperlukan dalam upaya penurunan Stunting. Seperti dasar kebijakan perencanaan
dalam upaya penurunan stunting, penetapan lokus dan sasaran target, pelaksanaan dan
evaluasi, alokasi anggaran, dan SDM. Selain itu juga akan dikumpulkan baseline data
prevalensi stunting, capaian indikator intervensi spesifik dan sensitif dari masing-masing
sektor.
Evaluasi Process dilakukan untuk menilai bagaimana proses pelaksanaan kebijakan,
program dan kegiatan dijalankan oleh masing-masing sektor serta bagaimana proses
komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi dari semua sektor terkait upaya penurunan
Stunting.
Evaluasi Output dilakukan untuk menilai perubahan-perubahan capaian indikator spesifik
dan indikator sensitif.
Evaluasi Outcome dilakukan untuk menilai apakah telah terjadi penurunan prevalensi
Stunting
2.3 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian operasional dengan menggunakan desain
Kuasi Eksperimen. Adapun bentuk intervensi yang diberikan adalah berupa
Pendampingan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya dan masyarakat dalam
upaya penurunan masalah Stunting dengan menggunakan pendekatan Model Integrasi
Lintas Sektor melalui “ Kampung Gizi”. Adapun yang dimaksud dengan “Kampung Gizi”
adalah merupakan suatu gerakan yang melibatkan integrasi lintas sektor dan peran serta
masyarakat dalam upaya penanggulangan masalah stunting.
Dari penelitian ini diharapkan akan menghasilkan suatu pedoman yang berisikan
tentang langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan agar terbangun Integrasi Lintas
Sektor serta dapat berfungsi secara efektif dalam upaya menurunkan masalah Stunting.
Pedoman tersebut nantinya dapat digunakan sebagai pelengkap dari Kebijakan
Pemerintah tentang Penetapan Percepatan Penanganan Stunting di 1000 Desa dari 100
Kabupaten/ Kota Prioritas Penanganan Kemiskinan dan Stunting pada tahun 2017-2020
dan dapat digunakan sebagai panduan atau acuan teknis bagi daerah (kabupaten,
Kecamatan, Desa dan Masyarakat) untuk melakukan Integrasi Lintas Sektor dalam upaya
menurunkan stunting melalui “Kampung Gizi”. Selanjutnya diharapkan adanya
peningkatan Akses masyarakat terhadap Pangan, Pelayanan Kesehatan, Pendidikan,
-
16
Sanitasi, Jamban sehat dan Air Bersih, dan Ekonomi yang pada akhirnya dapat
menurunkan permasalahan Stunting.
Untuk menilai efektifitas dari Model Integrasi Lintas Sektor melalui “Kampung
Gizi” dalam upaya menurunkan permasalahan Stunting maka perlu dilakukan
pengumpulan baseline data terkait dengan indikator spesifik dan indikator sensitif
(terlampir) yang akan dibandingkan antara sebelum, selama proses dan setelah
pendampingan dan rencanya penelitia ini akan dilakukan selama tiga tahun.
Berikut ini adalah gambaran tentang tahapan dan kegiatan penelitian yang akan
dilakukan selama tiga tahun termasuk target sasaran dan indikator output yang akan
dihasilkan.
1. Tahap I Tahun 2018
1.1.Judul Penelitian : Pengembangan Model Integrasi Lintas Sektor dalam Rangka
Penurunan Masalah Stunting pada Balita melalui “Kampung Gizi” di Kabupaten
Tasikmalaya
1.2.Target Sasaran Pendampingan :
- Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya (Pimpinan Daerah, Sekda,
ASDA, Kepala Dinas yang terkait dengan upaya penurunan masalah Stunting,
Pejabat eselon 3 dan 4 di masing-masing SKPD terkait.
- Pemerintahan di 4 Kecamatan (Camat, Sekcam dan Kasubag Perencanaan,
Kasubag Keuangan, Kasi Pemerintahan, Kasi Pembangunan, Kasi Kesra)
- 5 Puskesmas di wilayah intervensi (Kepala Puskesmas, PJ Program, Tenaga
kesehatan yang menjadi pembina di 5 desa intervensi))
- Pemerintahan di 5 Desa (Kepala Desa, Sekdes, Kaur Pemerintahan, Kaur
Pembangunan, Kadus, Pamong, BPD dan PKK)
- Masyarakat di 5 Desa intervensi
- LSM (NU, Muhammadiyah, dll)
- Poltekkes Tasikmalaya, Universitas Respati Tasikmalaya
- Mitra Pembangunan
1.3.Output :
- Diperolehnya Komitmen yang kuat dari Pemerintah Daerah Kabupaten
Tasikmalaya dalam upaya menurunkan masalah Stunting yang dituangkan
dalam sebuah Peraturan Bupati tentang pembentukan Tim Penanggulangan
masalah Stunting yang terintegrasi dan melibatkan seluruh sektor terkait serta
melibatkan peran aktif dari masyarakat.
-
17
- Selanjutnya Tim tersebut diharapkan dapat berfungsi secara efektif dalam
melakukan berbagai upaya penurunan masalah Stunting mulai di tingkat
Kabupaten, Kecamatan, Desa sampai di tingkat masyarakat.
- Diperolehnya Komitmen Bersama dari seluruh Sektor dan Masyarakat mulai
dari Pemerintahan Tingkat Kabupaten, Kecamatan, Desa dan Masyarakat
dalam penentuan Lokus dan Sasaran serta rencana intervensi bersama dalam
rangka penurunan masalah Stunting.
- Diperolehnya Komitmen Bersama dari seluruh Sektor dan Masyarakat untuk
berpartisipasi aktif secara bersama-sama dan terintegrasi dalam melakukan
intervensi terhadap upaya penurunan masalah Stunting sesuai dengan Lokus
dan Sasaran yang telah disepakati dan disesuikan dengan tupoksi masing-
masing sektor.
- Diperolehnya baseline data tentang :
o Program dan kegiatan serta capaian indikator intervensi spesifik dan
indikator intervensi sensitif di masing-masing Sektor / SKPD yang
terkait dengan upaya penurunan masalah Stunting, baik di tingkat
Kabupaten, Kecamatan, Desa dan Masyarakat.
o Gambaran tentang permasalahan gizi dan kesehatan di ke-lima desa
intervensi.
o Gambaran tentang permasalahan rawan pangan di ke-lima desa
intervensi.
o Gambaran tentang tingkat kemiskinan di ke-lima desa intervensi.
- Diperolehnya data tentang proses yang dilakukan selama dilakukannya
pendampingan mulai di tingkat pemerintahan Kabupaten termasuk di masing-
masing sektor terkait, di tingkat Kecamatan, Desa dan Masyarakat.
- Draft Pedoman Model Integrasi Lintas Sektor dalam upaya penurunan
masalah Stunting
2. Tahap II tahun 2019
2.1. Judul Sementara (Evaluasi Proses Pelaksanaan Model Integrasi Lintas Sektor
dalam Penurunan Masalah Stunting)
2.2. Target Sasaran Pendampingan :
a. Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya (Pimpinan Daerah, Sekda,
ASDA, BAPPEDA, Kepala Dinas yang terkait dengan upaya penurunan
masalah Stunting, Pejabat eselon 3 dan 4 di masing-masing SKPD terkait.
-
18
b. Pemerintahan di 4 Kecamatan (Camat, Sekcam dan Kasubag Perencanaan,
Kasubag Keuangan, Kasi Pemerintahan, Kasi Pembangunan, Kasi Kesra)
c. 5 Puskesmas di wilayah intervensi (Kepala Puskesmas, PJ Program, Tenaga
kesehatan yang menjadi pembina di ke-lima desa intervensi))
d. Pemerintahan di ke-lima Desa (Kepala Desa, Sekdes, Kaur Pemerintahan,
Kaur Pembangunan, Kadus, Pamong, BPD dan PKK)
e. Masyarakat di ke-lima Desa intervensi
f. LSM (NU, Muhammadiyah, dll)
g. Poltekes Tasikmalaya
h. Mitra Pembangunan
2.3. Output penelitian :
a. Tim Penanggulangan Stunting masih berfungsi secara aktif
b. Peningkatan alokasi anggaran dalam APBD Tahun 2019 yang terkait dengan
program intervensi Spesifik dan intervensi Sensitif dalam upaya penurunan
masalah Stunting
c. Adanya penambahan Lokus dan Sasaran target dalam upaya penurunan
masalah Stunting
d. Adanya Peningkatan Akses Pangan, Akses Kesehatan, Akses Pendidikan,
Akses Sanitasi, Jamban Sehat dan Air Bersih dan Akses Ekonomi indikator
intervensi Spesifik dan intervensi Sensitif
3. Penyempurnaan draft Pedoman Model Integrasi Lintas Sektor dalam upaya
penurunan masalah stunting
4. Tahap III Tahun 2020
4.1. Judul Sementara (Faktor Determinan yang berhubungan dengan Perubahan
Prevalensi Stunting di 5 Desa Intervensi Model Inegrasi Lintas Sektor melalui
“Kampung Gizi”
4.2. Target Sasaran Pendampingan :
a. Pemerintah Daerah Kabupaten
b. BAPPEDA
c. SKPD terkait penurunan masalah Stunting (indikator Spesifik dan indikator
Sensitif)
d. Pemerintahan Tingkat Kecamatan
e. Pemerintahan Tingkat Desa
f. Masyarakat
-
19
4.3. Output penelitian :
a. Data perubahan indkator spesifik dan indikator sensitif
b. Penurunan prevalensi Stunting
5. Pedoman Model Integrasi Lintas Sektor dalam upaya penurunan masalah
stunting
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mix Mehtode yaitu gabungan
antara metode Kuantitatif dan Kualitatif. Metode Kuantitatif digunakan untuk mengukur
perubahan status gizi-kesehatan, masyarakat, status rawan pangan, perubahan indikator
intervensi spesifik dan indikator intervensi sensitif di ke-lima wilayah desa intervensi
sedangkan Metode Kualitatif digunakan untuk mendapatkan gambaran tentang proses
pelaksanaan Model Integrasi Lintas Sektor dengan cara mengggali informasi dari masing-
masing informan yang terlibat dalam upaya penurunan masalah Stunting pada setiap
tingkat pemerintahan (Kabupaten, Kecamatan, Desa dan Masyarakat) dalam hal penetapan
kebijakan, penetapan lokus dan sasaran intervensi, rencana program dan kegiatan
intervensi dan proses pelaksanaan dari intervensi yang telah disusun serta proses
monitoring dan evaluasi.
2.4. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian disesuaikan dengan 10 Desa Prioritas Stunting dari Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinakan (TP2NK) di bawah koordinasi Kantor Wakil
Presiden.pp (Kemiskinan, Stunting dan lokasi geografis). Selanjutnya dari 10 desa lokus
teresebut dipilih secara purposive berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain adalah
banyaknya jumlah Balita, jumlah ibu hamil, tingkat kemiskinan, geografis dan masukan
dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya, misalnya : sudah dilakukan pendataan PIS-
PK dan lain-lain. Dalam penelitian ini akan diambil 5 desa, terdiri dari yaitu Desa
Banjarsari (Lokus stunting), Desa Mandalahayu (Lokus stunting), Desa Pusparahayu (Non
Lokus stunting), Desa Tanjungsari (Non Lokus Stunting) dan Desa Sukaratu (Non Lokus
Stunting)
-
20
Tabel 1. Gambaran Kependudukan dan Masalah Gizi di 5 Kecamatan Lokus Stunting
No Kecamatan Jumlah
penduduk
(jiwa)
Jumlah
Penduduk
Miskin
(Jiwa)
Jumlah
Balita
Stunting*
Jumlah
Ibu
Hamil
Kesulitan Geografis
(indeks)**
1 Sukaresik 3.781 632 687 809 40,34
2 Sukahening 3.712 553 266 632 24,58
3 Puspahiang 5.808 705 133 618 31,00
4 Jatiwaras 4.752 1.100 387 667 28,11
5 Salopa 4.494 848 858 995 23,82
*Sumber : Hasil Bulan Penimbangan dan Laporan Tahunan Dinkes Tahun 2015
** Sumber : TNP2K
2.5. Populasi dan Sampel
Populasi :
Populasi Target adalah Pemerintah Daerah dan seluruh Masyarakat Kabupaten
Tasikmalaya
Populasi Studi :
- Jajaran Pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya
- Seluruh SKPD di Kabupaten Tasikmalaya
- Jajaran Pemerintahan Tingkat Kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya
- Jajaran Pemerintahan Tingkat Desa di Kabupaten Tasikmalaya
- Seluruh Masyarakat di 5 wilayah Kecamatan Intervensi
Sampel :
Sampel pada penelitian ini dibedakan menjadi 2 jenis yaitu sampel untuk studi
kuantitatif dan sampel untuk studi kualitatif
Sampel untuk Studi Kuantitaif :
a. Sampel untuk mendapatkan baseline data
Baseline data yang akan dikumpulkan antara lain adalah data tentang gambaran
status gizi-kesehatan masyarakat, gambaran rawan pangan di masyarakat, capaian
indikator spesifik dan indikator sensitif di ke-lima desa intervensi dengan
menggunakan metode survei cepat.
Sampel penelitian ini adalah Keluarga terpilih (mempunyai Balita dan atau Anak
sekolah, remaja, WUS, ibu hamil, ibu menyusui) di ke-lima desa intervensi.
-
21
Jumlah sampel yang diperlukan adalah sebanyak 300 rumah tangga per desa jadi
totalnya adalah sebanyak 1500 rumah tangga di ke-lima desa intervensi.
Teknik penentuan sampel :
1) Melakukan penentuan Kluster dalam Desa
Tahap 1. Penentuan Kluster RT (Rukun Tetangga)
a) Setiap desa terpilih dipilih 30 RT sebagai kluster
b) Pemilihan kluster di desa dilakukan dengan acak sistematik berdasarkan
Probability Proportional to Size (PPS)
Tahap 2. Penentuan Kluster
Cara melakukan acak sistematik berdasarkan PPS sebagai berikut :
a) Buat daftar RT, termasuk jumlah penduduk per RT
b) Tentukan interval dengan cara membagi jumlah penduduk dengan jumlah
klaster.
c) Tentukan klaster pertama dengam menggunakan Tabel Acak, misalnya
dengan menjatuhkan pensil di atas tabel acak.
d) Klaster kedua dan seterusnya sampai klaster ke 30 dipilih berdasarkan
perhitungan jumlah kumulatif penduduk dan interval
e) Selanjutnya pemilihan sampel rumah tangga dilakukan secara acak
menggunakan kerangka sampel dari hasil Pendataan Keluarga Sehat di
masing-masing desa
b. Sampel sebagai sasaran target intervensi program dan kegiatan dalam upaya
penurunan masalah Stunting di ke-lima desa intervensi.
1). Pemerintah Daerah :
- Pimpinan Daerah : Bupati, Wakil Bupati, Sekda, ASDA
- Kepala BAPPEDA
- Kepala Dinas Kesehatan
- Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Perikanan
- Kepala Dinas Pertanian
- Kepala Dinas Pendidikan
- Kepala Dinas Industri dan Perdagangan
- Kepala Dinas PU dan Penataan Ruang
- Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman
- Kepala Dinas Sosial
- Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Perlindungan Anak dan KB
-
22
- Kepala Kantor Agama
- Kepala Puskesmas dan PJ Program di 5 Puskesmas intervensi
- Pembina Desa di 5 desa intervensi
- Kepala Desa dan Staf di 5 desa intervensi
2). Masyarakat (Keluarga, TOMA, LSM, dll) di 5 Desa intervensi
Berdasarkan hasil pendataan Keluarga Sehat (telah dilakukan oleh Puskesmas
setempat) dan Survey Cepat maka keluarga-keluarga yang ada di masing-masing
desa akan dikelompokkan menjadi 8 kelompok sasaran, yaitu :
1. Keluarga miskin dan atau rawan pangan, punya balita stunting/wasting dan
atau bumil KEK, tidak punya sumber air bersih dan jamban sehat
2. Keluarga miskin dan atau rawan pangan, punya balita stunting/wasting, dan
atau bumil KEK, punya sumber air bersih dan jamban sehat
3. Keluarga miskin dan atau rawan pangan, tidak punya balita stunting/wasting,
dan atau bumil KEK, punya sumber air bersih dan jamban sehat
4. Keluarga miskin dan atau rawan pangan, tidak punya balita stunting/wasting,
dan atau bumil KEK, tidak punya sumber air bersih dan jamban sehat
5. Keluarga tidak miskin dan atau tidak rawan pangan, punya balita
stunting/wasting dan atau bumil KEK, punya sumber air bersih dan jamban
sehat
6. Keluarga tidak miskin dan atau tidak rawan pangan, punya balita
stunting/wasting dan atau bumil KEK, tidak punya sumber air bersih dan
jamban sehat
7. Keluarga tidak miskin dan atau tidak rawan pangan, tidak punya balita
stunting/wasting dan atau bumil KEK, punya sumber air bersih dan jamban
sehat
8. Keluarga tidak miskin dan atau tidak rawan pangan, tidak punya balita
stunting/wasting dan atau bumil KEK, punya sumber air bersih dan jamban
sehat
Jumlah keluarga per masing-masing kelompok tidak dapat ditetapkan dari
awal tergantung dari hasil Pendataan PIS-PK, Survey Cepat dan data sekunder
lainnya (misal:data kemiskinan) sedangkan bentuk intervensi dan siapa yang akan
melakukan intervensi tergantung dari permasalahan yang ada dan disesuaikan
-
23
dengan Tupoksi dari masing-masing Sektor serta kesepakatan masyarakat. Secara
rinci akan dijabarkan ke dalam bentuk matriks (lampiran1).
Untuk tahun 2018 direncanakan akan dilakukan pendampingan selama 6
bulan dengan 4 kali kunjungan. Selanjutnya pada bulan ke-tujuh akan dilakukan
evaluasi kembali untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan Model Integrasi
Lintas Sektor dalam Upaya Penurunan Stunting serta indikator spesifik dan indikator
sensitif mana saja yang sudah mengalami perubahan (lampiran 2).
Sampel untuk Studi Kualitatif :
Informan di Tingkat Kabupaten :
- Bupati/Wakil Bupati
- Sekretariat Daerah
- Asisten Daerah Bidang Kesra
- Kepala Dinas Kesehatan dan penanggung jawab program di Dinas Kesehatan
Kabupaten Tasikmalaya
- Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan
- Kepala Dinas PU dan Tata Ruang Pemukiman
- Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman
- Kepala Bappeda
- Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
- Kepala Dinas Pertanian
- Kepala Kantor Agama
- Kepala Dinas Sosial
- Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Desa, Perlindungan Anak dan KB
- Kepala Dinas Industri dan Perdagangan
Informan di Tingkat Kecamatan :
- Camat, Sekcam, Kasubag Pemerintahan, Kasi Pembangunan di wilayah intervensi
- Kepala Puskesmas, PJ Program, Tenaga Kesehatan, Pembina Wilayah di wilayah
intervensi
- Penyuluh Pertanian/Pangan, Pengawas Sekolah, Penyuluh Agama, Penyuluh KB,
Pendamping PNPM, Pimpinan PAUD, LSM di wilayah intervensi
Informan di Tingkat Desa dan Masyarakat
- Kepala Desa, Sekdes, Kaur Pemerintahan, Kaur Pembangunan, Kadus, Pamong,
BPD dan PKK di wilayah intervensi
-
24
- Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Kader Kesehatan, Tim PKK di wilayah
intervensi
- Keluarga yang memiliki Balita, anak, remaja atau Ibu Hamil atau WUS di
wilayah intervensi
2.6. Variabel dan Definisi Operasional
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian ini adalah penelitian
operasional berupa pendampingan kepada Pemerintah Daerah (tingkat Kabupaten,
kecamatan dan desa serta masyarakat di ke-5 lokus penurunan masalah Stunting di
Kabupaten Tasikmalaya yang akan dilakukan selama 3 tahun (tahun 2018-2020). Oleh
karena itu dalam rangka mencapai kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini
adalah berdasarkan pada Input, Proses dan Output.
Variabel Dependen Definisi Operasionel
Prevalensi Stunting Besaran masalah stunting pada Balita per masing-
masing desa
Variabel Independen Definisi Operasionel
Program dan Kegiatan Jenis program dan kegiatan yang ada di dalam DPA
masing-masing SKPD termasuk anggarannya
Capaian indikator spesifik Capaian dari indikator di sektor kesehatan
Capaian indikator sensitif Capaian dari indikator di sektor non kesehatan
Komitmen Lintas Sektor Janji atau Kesepakatan dari semua sektor untuk bekerja
secara bersama-sama sesuai dengan tupoksinya yang
dituangkan dalam sebuah SK atau Peraturan Bupati
Kesepakatan Bersama dalam
penetapan lokus dan target
sasaran
Diperolehnya kesepakatan terkait penetapan lokus dan
target sasaran program dan kegiatan secara bersama
berdasarkan pada lokus daerah tinggi stunting
Partisipasi masing-masing sektor Keterlibatan secara aktif dari setiap sektor dalam
kegiatan upaya penurunan stunting sesuai tupoksi
masing-masing
-
25
Partisipasi Masyarakat Keterlibatan secara aktif dari masyarakat dalam
berbagai upaya pencegahan masalah stunting
Proses Komunikasi, Koordinasi
dan Kolaborasi
Bagaimana proses komunikasi, koordinasi dan
kolaborasi yang dibangun oleh Tim dalam upaya
penurunan masalah stunting
Monitoring dan Evaluasi Proses pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap
upaya apa saja yang dilakukan untuk melakukan
komunikasi, koordinasi dan kolaborasi yang dilakukan
oleh Tim penurunan masalah stunting
Keberhasilan Kampung Gizi Keberhasilan Kampung Gizi yang dinilai dengan
terjadinya komunikasi, koordinasi dan kolaborasi dari
semua sektor terkait upaya penurunan masalah stunting
serta terjadinya perubahan positif dari indikator
spesifik dan sensitif
Draft Pedoman Model Integrasi
Lintas Sektor dalam upaya
penurunan masalah stunting
Draft pedoman yang berisi tentang langkah-langkah
yang harus diikuti dan dilaksanakan terkait
perlaksanaan komunikasi, koordinasi dan kolaborasi
lintas sektor dalam upaya menurunkan masalah
stunting
Status Ekonomi Status ekonomi keluarga yang dibagi dalam kuintil
1,2,3,4, dan 5 (sumber data : BPS)
Status Kemiskinan Status kemiskinan keluarga apakah termasuk keluarga
miskin dan tidak miskin (sumber data : Dinsos)
Status Rawan Pangan Status ketahanan pangan keluarga
Status pekerjaan Status pekerjaan dari responden
Status Pendidikan Status pendidikan dari responden
Status Merokok Status merokok responden
-
26
Status rumah sehat Status rumah yang ditinggali keluarga
Status akses air bersih Akses keluarga terhadap air bersih
Status akses ke Yankes Pengethauan keluarga terhadap akses ke Yankes
Tingkat Pengetahuan Tingkat pengetahuan ibu terhadap pengasuhan anak
Status Kehamilan Status kehamilan responden umur 10-59 tahun
Status Gizi Status gizi seluruh anggota keluarga berdasarkan
pengukuran antropometri
Paritas Jumlah kelahiran dari responden perempuan umur 10-
59 tahun
Status Keseahatan Status kesehatan berdasarkan pengakuan responden
Status Imunisasi Status imunisasi dasar responden Balita
PMT Makanan tambahan pabrikan yang diberikan oleh
pemerintah
KEK Kurang energi kronis yang dialami responden umur 10-
59 tahun
ANC Pemeriksaan kehamilan yang dilakukan responden
selama hamil
Tablet Tambah Darah Tablet tambah darah yang diterima dan diminum oleh
responden
Kelas Ibu Kegiatan kelas ibu yang ada di masing-masing desa
Buku KIA Kepemilikan buku KIA oleh ibu hamil dan balita
Konsumsi Garam Beryodium Jenis garam yang dikonsumsi oleh keluarga
Persalinan di Faskes Tempat persalinan yang digunakan oleh ibu bersalin
Konsumsi Vitamin A Pemberian kapsul vitamin A pada bayi 6 bulan dan
Balita
-
27
Pemantauan Pertumbuhan Frekuensi penimbangan berat badan Balita
Pemantauan Perkembangan Frekuensi pemantauan perkembangan Balita
Pelayanan KN1 Pelayanan kesehatan yang diberikan pada bayi baru
lahir selama periode 6 jam sampai 48 jam setelah
melahirkan
PMBA Praktek pemberian makan pada bayi dan anak
Obat cacing Frekuensi pemberian obat cacing pada Balita
Perilaku penggunaan air bersih Perilaku sehari-hari responden dalam penggunaan air
bersih
Perilaku penggunaan Jamban
Sehat
Perilaku sehari-hari responden dalam penggunaan
Jamban
KB Kepersertaan responden (perempuan 10-59 tahun)
dalam program KB
PKH Kepersertaan keluarga dalam program Keluarga
Harapan
KRPL Kepersertaan keluarga dalam program KRPL dari
Badan Ketahanan Pangan
PAUD Kepersertaan anak usia 3-5 tahun dalam program
PAUD
PHBS Status responden dalam praktek PHBS
Pemilihan Lokus Dasar pemilihan tempat dan traget sasaran program dan
kegiatan dari masing-masing sektor
Komitmen Bersama Penetapan
Lokus dan Target sasaran
Kesepakatan bersama dari seluruh sektor terkait dalam
peneapan lokus dan target sasaran program
Program dan Kegiatan SKPD Jenis program dan kegiatan dari masing-masing SKPD
terkait
-
28
Partisipasi lintas sektor dan
Partisipasi Masyarakat
Tingkat pasrtisipasi masing-masing sektor dan
masyarakat dalam upaya penurunan stunting
2.7. Metode Pendampingan
“Kampung Gizi” adalah merupakan suatu gerakan yang melibatkan integrasi
lintas sektor dan peran serta masyarakat dalam upaya penanggulangan masalah stunting
pada Balita. Kegiatan utama yang akan dilakukan pada “Kampung Gizi” adalah upaya
integrasi dan kolaborasi dalam perencanaan dan pelaksanaan program serta kegiatan antar
lintas sektor, pemberdayaan, dan peningkatan peran serta masyarakat dalam upaya
penurunan masalah stunting. Kegiatan “Kampung Gizi” diharapkan dapat meningkatan
akses dan kualitas pelayanan kesehatan, akses kebutuhan pangan, akses sanitasi yang baik
, ketersediaan jamban sehat dan sarana air bersih, dan akses dalam peningkatan ekonomi
terutama pada keluarga-keluarga yang kurang mampu dan memiliki ibu hamil dan ibu
menyusui yang menderita KEK, bayi, balita, anak dan remaja yang menderita stunting
dan kurang gizi. Apabila akses-akses tersebut dapat terpenuhi maka diharapkan dapat
menurunkan masalah stunting. Kolaborasi Lintas Sektor terkait kegiatan “Kampung Gizi”
disesuaikan dengan tupoksi masing-masing sektor.
Pendampingan akan dilakukan oleh Tim Peneliti Badan Litbang Kesehatan dan
juga melibatkan Penanggung Jawab Program di Pusat (Kementerian Kesehatan,
Kementerian Pertanian (BKP), Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Bina Bangda, Ditjen
Bina Pemdes), Kementerian Desa (Ditjen PPMD ), dan TNP2K) dan di tingkat Propinsi
(Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian/Badan Ketahanan Pangan ).
Jenis Kegiatan yang akan Dilakukan Selama Masa Pendampingan :
a. Di Tingkat Kabupaten
1. Melakukan Sosialisasi terkait permasalahan Stunting dan bagaimana solusinya
dengan sasaran Sektor Pertanian-Perikanan dan Ketahanan Pangan, Sektor
Kesehatan, Sektor Pemberdayaan dan Peran Serta Masyarakat, Sektor Pendidikan,
Sektor Agama, Sektor PU-Tarkim, dan Sektor Ekonomi di Pemerintahan Tingkat
Kabupaten, Kecamatan, Desa dan Masyarakat. Tujuan dilakukannya sosialiasi ini
adalah diperolehnya pemahaman yang sama dari seluruh sektor terkait dan
masyarakat tentang rencana penanggulangan masalah Stunting melalui “Kampung
Gizi”
-
29
2. Melakukan identifikasi program dan kegiatan yang ada di masing-masing SKPD
yang terkait dengan upaya penurunan masalah stunting
3. Melakukan identifikasi permasalahan gizi-kesehatan masyarakat berdasarkan hasil
pendataan keluarga sehat, survey status gizi-kesehatan dan status rawan pangan di
ke-lima desa intervensi.
4. Melakukan sosialisasi dan advokasi terkait hasil identifikasi masalah di poin 3 dan
4 kepada seluruh sektor terkait.
6. Membuat komitmen dan kesepakatan bersama dalam penetapan lokus dan target
sasaran program dan kegiatan bersama antar lintas sektor, termasuk upaya
intervensi yang akan dilakukan serta saling berkoordinasi dan bekerjasama dalam
melakukan intervensi sesuai dengan tupoksi masing-masing SKPD.
7. Agar proses Komunikasi, Koordinasi dan Kolaborasi/Kerjasama lintas sektor
dalam upaya penurunan masalah stunting bisa optimal dan berjalan efektif maka
perlu dibuat Peraturan Bupati tentang Tim Penanggulangan masalah Stunting di
daerah sebagai payung hukum dan wadah untuk melakukan koordinasi dan
kolaborasi antar lintas sektor dalam upaya penurunan masalah stunting sesuai
dengan tupoksi masing-masing sektor. Tim Penanggulangan Stunting ini langsung
di bawah koordinator Wakil Bupati dan Sekretaris Daerah.
b. Di Tingkat Kecamatan
Pendampingan di tingkat kecamatan bertujuan untuk meningkatkan masyarakat
untuk mendapatkan 5 Akses ( akses pelayanan kesehatan berkualitas akses Pendidikan
(edukasi gizi dan kesehatan), akses kebutuhan pangan, sanitasi, jamban dan sumber air
bersih yang baik serta akses ekonomi). Selain itu hal yang sangat penting untuk
dilakukan adalah bagaimana upaya memberdayakan dan meningkatkan peran serta
aktif masyarakat dalam hal pemenuhan ke 5 akses tersebut.
Jenis-jenis kegiatan yang akan dilakukan di tingkat kecamatan antara lain adalah :
1. Diawali dengan Sosialisasi terkait permasalahan Stunting termasuk penyebab,
dampak, strategi dan rencana upaya penurunan masalah Stunting
2. Melakukan Kalakarya di Tingkat Kecamatan terkait strategi dan rencana intervensi
penurunan masalah Stunting yang akan melibatkan lintas sektor, mitra
pembangunan dan masyarakat.
3. Dibuatnya komitmen bersama terkait pelaksanaan intervensi termasuk penetapan
indikator keberhasilan serta bagaimana proses monitoring dan evaluasinya.
-
30
4. Komitmen bersama tersebut akan dituangkan dalam bentuk SK Camat agar dapat
digunakan sebagai landasan atau dasar dalam melakukan upaya penurunan
masalah stunting.
c. Di Tingkat Desa dan Masyarakat
Sama halnya dengan apa yang dilakukan di tingkat kecamatan maka
pendampingan di tingkat desa dan masyarakat juga bertujuan untuk meningkatkan
masyarakat untuk mendapatkan 5 Akses ( akses pelayanan kesehatan berkualitas akses
Pendidikan (edukasi gizi dan kesehatan), akses kebutuhan pangan, sanitasi, jamban dan
sumber air bersih yang baik serta akses ekonomi). Pendampingan akan dilakukan baik
pada aparat pemerintah desa maupun kepada masyarakat langsung terutama pada
keluarga-keluarga yang kurang mampu dan memiliki ibu hamil dan ibu menyusui yang
menderita kurang gizi (KEK), bayi dan balita yang memiliki masalah gizi, baik
underweight, stunting maupun wasting.
Jenis-jenis kegiatan yang akan dilakukan di tingkat desa antara lain adalah :
1. Diawali dengan sosialisasi terkait rencana kegiatan penelitian
2. Melakukan Survey gizi-kesmas dan Survey Rawan Pangan.
3. Melakukan sosialisasi tentang masalah stunting termasuk apa yang dimaksud
dengan stunting, penyebab, dan dan dampak yang ditimbulkan.
4. Melakukan SMD dan MMD di ke-5 desa intervensi terkait upaya apa yang akan
dilakukan menurunkan masalah stunting. int
5. Pembentukan kelompok-kelompok target sasaran berdasarkan 8 kelompok
intervensi.
6. Selanjutnya masing-masing sektor terlibat aktif untuk melakukan intervensi
kepada ke-delapan kelompok sasaran sesuai dengan tupoksi masing-masing sektor.
Berikut ini peranan dan kontribusi yang diharapakan dari masing-masing sektor
sesuai dengan tupoksi yang mereka miliki dalam upaya penurunan masalah stunting :
1. DINAS KETAHANAN PANGAN DAN PERIKANAN
a. Pengembangan “Kebun Gizi” kepada Kelompok-kelompok keluarga miskin atau
rawan pangan.
- Pemberian Paket stimulan pembuatan “Kebun Gizi” terdiri dari satu paket
tanaman sayuran hidroponik yang berisi 180 lubang bibit sayuran dan satu
paket budidaya ikan lele menggunakan kolam terpal dengan jumlah 2000 ekor
-
31
bibit lele ukuran 7-9 cm dengan ukuran kolam 20 m2. Diharapkan dalam waktu
3 bulan “Kebun Gizi” sudah dapat dipanen.
- Memberikan pendampingan bagaimana cara menanam sayuran dan
pemeliharaan ikan yang baik sehingga dapat digunakan sebagai salah satu
sumber vitamin dan protein bagi kelompok-kelompok keluarga miskin atau
rawan pangan. Apabila ada kelebihan hasil budidaya dapat dijual di “Warung
Gizi” sebagai salah satu sumber penghasilan bagi keluarga
2. DINAS PERTANIAN
a. Pemberdayaan Kelompok-kelompok Keluarga miskin atau rawan pangan melalui
Pengembangan Budidaya Pohon Kelor.
- Pemanfaatan lahan pertaninan yang kurang produktif untuk penanaman pohon
Kelor
- Pembinaan cara budidaya pohon kelor sebagai salah satu sumber vitamin dan
mineral bagi keluarga dan sumber penghasilan
3. DINAS KOPERASI, UKM DAN TENAGA KERJA DAN BAGIAN KESRA
a. Pemberdayaan ekonomi kelompok-kelompok keluarga miskin atau rawan pangan
dengan cara pemberian modal usaha dan pembinaan Pengembangan “Warung
Gizi” untuk menampung kelebihan hasil budidaya tanaman sayuran dan pohon
kelor serta budidaya ikan
4. DINAS KESEHATAN a. Optimalisasi Program Yankes
- Pelaksanaan PIS-PK
- Pelaksanaan Manajemen Puskesmas b. Optimalisasi Program KIA
- Pengembangan Surveilans KIA
- Peningkatan cakupan ANC
- Peningkatan cakupan Linakes dan PF
- Pengembangan Rumah Tunggu Kelahiran
- Peningkatan cakupan KN1-KN lengkap
- Peningkatan cakupan pemberian dan konsumsi TTD pada ibu hamil dan remaja
- Peningkatan pelaksanaan MTBS
- Pendampingan Buku KIA
- Pemberdayaan Bidan dan Bidan di Desa
-
32
c. Optimalisasi Program Gizi
- Pelaksanaan Surveilans Gizi (reposisi Posyandu, pemantauan pertumbuhan
dan perkembangan, monitoring dan evaluasi program gizi)
- Peningkatan cakupan IMD
- Peningkatan cakupan ASI Ekslusif
- Peningkatan cakupan PMBA
- Peningkatan cakupan TTD ibu hamil dan remaja puteri
- Peningkatan cakupan Vitamin A
- Peningkatan cakupan Garam beryodium
- Peningkatan cakupan PMT Balita Kurus
- Peningkatan cakupan PMT Bumil KEK
- Pemberdayaan Tenaga Pelaksana Gizi (TPG)
- Program Pemberian Makanan Tambahasan berbasis pangan lokal
d. Optimalisasi Program Kesling
- Peningkatan cakupan rumah sehat (sanling, air bersih dan jamban sehat)
- Peningkatan cakupan STBM
e. Optimalisasi Program Promkes
- Peningkatan cakupan PHBS
- Edukasi gizi dan kesehatan Strategi dan alat edukasi
- Pemberdayaan masyarakat SMD/MMD
- Advokasi Dinkes Prov mendampingi Dinkes Kab (asistensi) utk melakukan
advokasi kepada Pemda melalui Dana Dekon
- Kampanye melalui tiga saluran media
f. Optimalisasi Program P2P
- Peningkatan cakupan obat cacing
- Imunisasi Balita dan ibu hamil
g. Optimalisasi Program BPJS
5. DINAS PU PR, DINAS PRKP DAN PAMSIMAS
- Penyediaan sarana air bersih dan jamban sehat bagi kelompok-kelompok keluarga
miskin atau rawan pangan
- Peningkatan Kualitas Sanitasi Lingkungan di 5 Desa intervensi
6. DINAS SOSIAL
- Optimalisasi Program PKH pada keluarga-keluarga miskin atau rawan pangan
-
33
7. KEMENAG
- Integrasi Program CATIN dengan Program 1000 HPK
- Pembinaan pondok pesantren
- Pemberdayaan Penyuluh Agama
- Pemberian TTD dan Edukasi gizi dan kesehatan reproduksi kepada santriwati
8. DINAS PMD, PA & KB
- Penggunaan ADD untuk kesehatan
- Reposisi Posyandu
9. DINAS PENDIDIKAN
- Pemberian edukasi gizi dan kesehatan pada siswa SD, TK dan PAUD dengan cara
melatih para pengajar PAUD dan Sekolah Taman Kanak-kanak tentang gizi dan
kesehatan bekerjasama dengan Dinas Kesehatan
- Pengembangan “Kebun Gizi” di SD, TK dan PAUD
- Progas (Program gizi anak sekolah)
10. ORMAS DAN TOMA
- Sosialiasi dan Pemberdayaan Masyarakat terkait Program-program Kesehatan
termasuk pencegahan stunting melalui 1000 HPK
11. PERGURUAN TINGGI
- Komitmen lokus PKL di 5 Desa Intervensi
12. MITRA PEMBANGAN DAN UN
- Supproting Technical Asissten dari FAO dalam upaya Pengembangan Kampung
Gizi
2.8. Metode Pengumpulan Data
Ada 2 cara pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu :
a. Kuantitatif
Pengumpulan data kuantitif akan menggunakan metode Survey cepat di masing-
masing desa pendampingan.
Pengumpulan data primer kepada masyarakat dan data sekunder di masing-
masing SKPD terkait akan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada saat awal
(sekitar bulan Juli) dan setelah 4 bulan pendampingan (sekitar bulan
Nopember).
Pengumpulan data primer akan menggunakan kuesioner terstruktur yang akan
dilakukan oleh mahasiswa poltekes selama 5 hari
-
34
Pengumpulan data sekunder akan menggunakan formulir listing yang akan
dilakukan oleh Tim Peneliti
b. Kualitatif
Pengumpulan data kualitatif akan menggunakan metode wawancara mendalam dan
diskusi kelompok terarah
Wawancara mendalam akan dilakukan terhadap informan di tingkat Kabupaten,
kecamatan dan desa sedangkan diskusi kelompok terarah akan dilakukan di tingkat
masyarakat.
2.9. Prosedur Kerja
1) Tahap Persiapan
a. Pembentukan tim peneliti
b. Penyusunna protokol penelitian
c. Pengadaan sarana dan bahan penelitian
d. Persiapan administrasi, etik dan ijin penelitian
e. Penyusunan kuesioner dan pedoman wawancara
f. Uji coba kuesioner dan pedoman wawancara
2) Tahap Pelaksanaan
a. Persiapan lapangan (izin Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten dan ke
Kesbangpol Kabupaten)
b. Sosialisasi ke Pemda Kab Tasikmalaya (Bupati/wakil Bupati)
c. Sosialisasi ke masing-masing sektor terkait
d. Sosialisasi ke Camat, Kepala Puskesmas, dan Kepala Desa
e. Sosialisasi ke masyarakat
f. Wawancara mendalam kepada Pimpinan Daerah dan kepala SKPD terkait
g. Diskusi kelompok terarah dengan Tokoh masyarakat dan Masyarakat
h. Melakukan survey cepat untuk mendapatkan status gizi-kesehatan dan status
rawan pangan indikator spesifik dan sensitif sertadi 5 desa ntervensi
i. Mengumpulkan data sekunder terkait indikator spesifik dan sensitif
j. Melakukan Pendampingan di tingkat Kabupaten, kecamatan, desa dan
masyarat
3) Tahap Pelaporan
a. Penyusunan laporan
b. Diseminasi
c. Pembuatan Pedoman
-
35
2.10. Manajemen Data dan Analisis Data
1) Data Kuantitatif
Eumerator untuk pengumpulan data kuantitatif adalah mahasiswa Poltekes
Tasikmalaya yang akan diberikan pelatihan selama 2 hari. Pada saat proses
pengumpulan data akan disupervisi Tim Peneliti.
Selanjutnya hasil wawancara akan dilakukan editing dan entry oleh enumerator
dan dilakukan cleaning dibawah pengawasan Tim Peneliti.
Data hasil wawancara dan data sekunder akan dianalisis oleh Tim Peneliti
untuk dapat menggambarkan permasalahan apa saja yang ada termasuk
menidentifikasi kontribusi intervensi spesifik dan sensitif melalui besarnya
alokasi anggaran dan kegiatan di masing-masing program dan sektor dalam upaya
penurunan masalah Stunting. Selanjutnya akan dibuat semacam pemetaan masalah
yang nantinya akan disampaikan kepada seluruh terget sasaran pendampingan
melalui sosialisasi hasil identifikasi masalah kepada seluruh sektor terkait.
2) Data Kualitatif
Hasil wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah akan dibuat transkrip
dan matrik yang selanjutnya akan dilakukan analisis secara substansi dan akan
digunakan sebagai penguatan dalam rencana intervensi program dan kegiatan
dalam upaya penurunan masalah stunting.
2.11. Pertimbangan Etik
Penelitian ini bukan penelitian klinis sehingga tidak ada pengamblan spesimen
darah atau lainnya kepada obyek manusia maupun binatang. Metode pengumpulan data
hanya menggunakan cara wawancara kepada keluarga dan wawancara mendalam/diskusi
kelompok terarah kepada informan. Oleh karena itu sebelum dilakukan wawancara akan
diberikan penjelasan dalam bentuk nasakah PSP (Persetujuan Setelah Penjelasan) tentang
maksud dan tujuan wawancara serta berapa lama waktu yang diperlukan termasuk
kompensasi yang akan diterima oleh responden. Setelah memperoleh Informed Consent
dari responden maka proses wawancara akan mulai dilakukan.
Sebelum melakukan proses pengumpulan data maka akan diusulkan persetujuan
etik kepada Komisi Etik Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Kemenkes RI.
-
36
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Gambaran wilayah penelitian
3.1.1. Gambaran Umum Kabupaten Tasikmalaya
Kabupaten Tasikmalaya, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat
,Indonesia dengan ibukotanya adalah Singaparna , sekitar 380 km sebelah tenggara
Jakarta. Kabupaten Tasikmalaya secara geografis terletak di antara 7º02’29’’ dan
7º49’08’’ Lintang Selatan serta 107º54’10’’ dan 108º25’42’’ Bujur Timur, dengan batas-
batas wilayah :
- Sebelah Utara : Kabupaten Ciamis dan Kota Tasikmalaya
- SebelahTimur : Kabupaten Ciamis
- SebelahSelatan : Samudra Indonesia
- SebelahBarat : Kabupaten Garut
Gambar 8. Peta Wilayah Kabupaten Tasikmalaya
Wilayah Kabupaten Tasikmalaya memiliki ketinggian berkisar antara 0 – 2.500
meter di atas permukaan laut (dpl). Secara umum wilayah tersebut dapat dibedakan
menurut ketinggiannya, yaitu : bagian Utara merupakan wilayah dataran tinggi dengan
ketinggian berkisar antara 1.000 – 2.500 meter dpl dan bagian Selatan merupakan wilayah
dataran rendah dengan ketinggian berkisar antara 0 – 100 meter dpl. Sebagian kecil
-
37
wilayahnya yaitu 0,81 % berada pada ketinggian diatas 1.500 m, keadaan iklim umumnya
bersifat tropis dan beriklim sedang dengan rata - rata suhu di dataran rendah antara 20°-
34° C dan di dataran tinggi berkisar 18°-22° C. Curah hujan rata -rata 2,072 mm/tahun,
jumlah hari hujan rata -rata 82 hari. Wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten
Tasikmalaya terdiri dari : Secara Administratif wilayah Pemerintah Kabupaten
Tasikmalaya terdiri dari 39 Kecamatan dan 351 Desa, dengan luas wilayah 270.879 Km2.
Demografi
Jumlah penduduk Kabupaten Tasikmalaya berjumlah 1.733.222 jiwa, dengan
tingkat kepadatan penduduk rata-rata 637 jiwa/Km2. Terdiri dari penduduk laki-laki
sebanyak 883.122 jiwa dan perempuan sebanyak 850.100 jiwa . Apabila dibandingkan
dengan jumlah penduduk tahun 2016 terdapat kenaikan sebesar 25.986 jiwa (1,5%).
Luas wilayah kecamatan yang kurang sebanding dengan jumlah penduduk di
Kabupaten Tasikmalaya berdampak pula pada persebaran penduduk. Luas wilayah yang
tidak bertambah sedangkan jumlah penduduk dari tahun ketahun terus mengalami
peningkatan menyebabkan kepadatan penduduk menjadi bertambah padat, dengan jumlah
penduduk Kabupaten Tasikmalaya sebanyak 1.733.222 yang terdiri dari 883.122 laki-laki
dan 850.100 perempuan beberapa Kecamatan yang luasnya tidak sebanding dengan
jumlah penduduk diantaranya : Kecamatan Bojonggambir, Cipatujah, Karangjaya serta
Pancatengah.
Kepadatan penduduk Kabupaten Tasikmalaya setiap tahun cenderung terus
meningkat, dengan rata-rata kepadatan penduduk untuk tahun 2015 sebesar 618 jiwa/Km2,
untuk tahun 2016 sebesar 600 jiwa/Km2
sedangkan untuk tahun 2017 kepadatan penduduk
dengan bertambahnya jumlah penduduk sebanyak 25.986 jiwa rata-rata apabila
dibandingkan dengan kepadatan penduduk tahun-tahun sebelumnya tidak mengalami
perubahan yang sangat berarti.
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya pesebaran penduduk di Kabupaten
Tasikmalaya tidak merata, dengan demikian kepadatan penduduk per kecamatanpun tidak
merata. Penyebaran penduduk di Kabupaten Tasikmalaya masih didominasi oleh
Kecamatan-kecamatan di sekitaran Wilayah Ibu Kota kemudian diikuti oleh Kecamatan
di wilayah Tasikmalaya Utara diantaranya Ciawi dan Rajapolah. Kecamatan dengan
kepadatan penduduk tertinggi masih tetap sama seperti tahun-tahun yang lalu yaitu
Kecamatan Singaparna dengan kepadatan penduduk sebesar 2.691 jiwa/Km2, hal ini dapat
dimaklumi karena Kecamatan Singaparna merupakan ibu kota Kabupaten Tasikmalaya,
-
38
sedangkan yang terendah kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Pancatengah yaitu
221 jiwa/Km2.
Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2008 sebesar 4,02
terjadi penurunan sebesar 0,31% sedangkan untuk tahun 2009 Laju Pertumbuhan Ekonomi
sebesar 4,15%, untuk tahun 2010 sebesar 4,27% sedangkan untuk tahun 2011 sebesar
4,32% ada kenaikan sebesar 0.05% apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sebagai perbandingan bisa dilihat pada tabel 2 tentang laju pertambahan ekonomi selama
kurun waktu 4 (empat) tahun.
Tabel 2.
Tingkat Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi
Kab. Tasikmalaya dengan Jawa Barat
2008 – 2011
TAHUN
L P E (%)
TASIKMALAYA WIL.PRIATIM JABAR Ket
2008
2009
2010
2011
4,02
4,15
4,27
4,32
-
-
-
-
-
6,12
6,20
6,48
Sumber :RJPMD Kab. Tasikmalaya
Dari tabel di atas terlihat bahwa selama periode 2008-2011 laju pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Tasikmalaya secara umum masih terlihat di bawah LPE Jawa Barat.
Gambaran Pendapatan perkapita atau Product Domestik Regional Bruto (PDRB)
Kabupaten Tasikmalaya dapat dilihat pada tabel berikut.
-
39
Tabel 3.
Product Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku Kab.
Tasikmalaya dan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2011- 2014
No
Tahun
PDRB (Rp.)
Berlaku perkapita
1 2011 17,56 10,33
2 2012 19,03 11,13
3 2013 21,31 12,39
4 2014 23,42 13,55
5 2015
6 2016
Sumber : PDRB BPS Kabupaten Tasikmalaya
Angka Pendapatan Perkapita diperoleh dengan cara membagi PDRB dengan
jumlah penduduk pertengahan tahun. PDRB Kabupaten Tasikmalaya terlihat kecenderung
terus mengalami kenaikan untuk tahun 2009 dari jumlah 6.942.553,00 menjadi
7.384.790,88 (2010) dan untuk tahun 2011 berjumlah 8.211.479,85, meskipun demikian
kenaikan PDRB Kabupaten Tasikmalaya masih berada dibawah kenaikan Provinsi Jawa
Barat yang mencapai 15,28%. Besarnya pendapatan per kapita tersebut masih jauh dari
besarnya pendapatan Propinsi Jawa Barat. Bila pendapatan per kapita tersebut dikonversi
dalam dollar Amerika, maka pendapatan perkapita Kabupaten Tasikmalaya besarnya
dibawah US$ 500, sedangkan Provinsi Jawa Barat sudah diatas US$ 500.
Gambar 9
Prosentase Kenaikan PDRB Per Tahun
di Kabupaten Tasikmalaya dari Tahun 2011 s/d 2014
0.00%
200.00%
400.00%
600.00%
800.00%
1000.00%
1200.00%
1400.00%
2011 2012 2013 2014
1033.00% 1113.00%
1239.00%
1355.00%
-
40
Dengan kenaikan pendapatan per kapita ini mencerminkan bahwa pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Tasikmalaya dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk,
sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adanya kenaikan
PDRB atas dasar harga konstan 2009 walau dalam persentase tidak begitu besar itu
mengindikasikan bahwa pendapatan masyarakat mengalami peningkatan searah dengan
keberhasilan disegala sektor. Adapun data terakhir PDRB Kabupaten Tasikmalaya untuk
tahun 2007 berdasarkan harga berlaku Rp. 9.360.909,63 naik sebesar 17,05% dari tahun
2006. Untuk tahun 2009, PDRB Kabupaten Tasikmalaya atas dasar harga berlaku adalah
Rp. 6.942.553,00 tahun 2010 sebesar Rp. 7.621.947,57 sedangkan untuk tahun 2011
sebesar Rp. 8.167.499,46 berikut dibawah ini PDRB Kabupaten Tasikmalaya sejak tahun
2007 hingga tahun 2011
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2008 -
2012, dapat dilihat pada tabel 2.3 dan gambar 2.9 berikut ini. Dari tabel 2.3 tampak bahwa
meskipun berfluktuasinya trend pendidikan di Kabupaten Tasikmalaya, namun pada
umumnya terdapat peningkatan kuantitas pendidikan sejak dari SD ke jenjang yang lebih
tinggi yaitu ke tingkat SLTA terjadi kenaikan rata-rata sebesar 10%.
Untuk tingkat pendidikan setingkat Akademi & Universitas di Kabupaten
Tasikmalaya sampai dengan saat ini kita masih menggunakan data tahun 2012 karena data
yang kita perlukan tidak tersedia di Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya. Berikut
dibawah dapat dilihat persentase tingkat pendidikan di Kabupaten Tasikmalaya selama
tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 tanpa perguruan tinggi.
Tahun 2014 tingkat pendidikan di Kabupaten Tasikmalaya tidak bisa kami
tampilkan sedangkan untuk tahun 2015 tingkat pendidikan belum sekolah : 318.493 orang
belum tamat SD berjumlah 159.448, SD/Sederajat : 773.205, SMP/Sederajat : 239.063,
SMA /Sederajat 147.090 Diploma I & II : 4.621, Diploma III : 6.197, Diploma IV/Strata I
berjumlah : 24.944 orang Strata 2 : 1.294 dan Strata 3 berjumlah 107 orang.
-
41
Gambar 10
Persentase Tingkat Pendidikan di Kabupaten Tasikmalaya
Tahun 2008-2012 (Dalam Persen)
Salah satu indikator sektor pendidikan yang berperan dalam Indek Pembangunan
Manusia (IPM) adalah angka melek huruf, angka melek hurup yang didefinisikan menurut
Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya adalah jumlah penduduk yang buta aksara dan
telah mengikuti pelatihan/kursus baca tulis baik huruf latin maupun huruf lainnya.
Angka Melek Huruf (AMH) Kabupaten Tasikmalaya sejak 5 (lima) tahun
terakhir terus terjadi peningkatan untuk tahun 2010 sebesar 99,14 tahun 2011 sebesar
99,15 tahun 2012 sebesar 99,22, sedangkan untuk tahun 2013 angka melek hurup sebesar
99,26. Angka melek huruf Kabupaten Tasikmalaya untuk tahun 2014 sebesar 99,24.
Sedangkan untuk tahun 2015 angka melek hurup (AMH) sebesar 99,25
Gambar 11
Grafik Kecenderungan Angka Melek Huruf (AMH)
Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2011 s/d 2015
Sumber : IPM Kab Tasikmalaya Tahun 2015
99.08
99.1
99.12
99.14
99.16
99.18
99.2
99.22
99.24
99.26
2011 2012 2013 2014 2015
99.15
99.22
99.26
99.24 99.25
-
42
Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja Kabupaten
Tasikmalaya , terdapat 915.948 orang yang bekerja di berbagai sektor. Tiga terbesar mata
pencaharian yaitu petani (34,81%), buruh tani (30,08%) dan buruh swasta (10,76%).
Terdapat sebanyak 376.045 jiwa (21,75%) penduduk miskin dan sebagian bersar bekerja
sebagai buruh tani .
Sektor pertanian merupakan sektor penyedia lapangan kerja terbesar yaitu sekitar
43,22 persen kesempatan kerja berasal dari sektor pertanian, diikuti perdagangan
(24,75%) dan jasa (11,08%). Sektor pertanian merupakan penyedia utama kebutuhan
pangan masyarakat juga menyediakan pasar yang sangat besar untuk produk manufaktur
karena jumlah penduduk perdesaan yang besar dan terus mengalami peningkatan . Dengan
demikian, sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang paling efektif untuk
mengentaskan kemiskinan di wilayah perdesaan melalui peningkatan pendapatan mereka
yang bekerja di sektor pertanian. Komoditas unggulan sektor pertanian Kabupaten
Tasikmalaya yang sudah berorientasi ekspor antara lain: Padi Organik (SRI) dengan sentra
di 7 (tujuh) Kecamatan. (Sukaresik, Cisayong, Sukaraja, Manonjaya, Cineam, Sukahening
dan Salawu), Manggis dengan sentra di Puspahiang, Mendong dan Golok Galonggong
Manonjaya. Sedangkan pada sektor industri adalah kerajinan dengan sentra di Rajapolah
dan bordir dengan sentra di Sukaraja.
3.1.2. Permasalahan Kesehatan di Kabupaten Tasikmalaya
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat’ (IPKM) adalah pemeringkatan dari
30 indikator yang dikelompokkan menjadi 7 kelompok indikator yaitu 1) Indikator
kesehatan balita, 2) Kesehatan Reproduksi, 3) Pelayanan Kesehatan, 4) Perilaku Sehat, 5)
Penyakit tidak menular ,6) Penyakit Menular, 7) Kesehatan Lingkungan. Selanjutnya
diperhitungkan secara bersama-sama untuk melihat akumulasi status kesehatan
masyarakat di 440 kab/kota yang datanya berasal dari Riskesdas, Susenas dan Survey
Potensi Desa .
Kabupaten Tasikmalaya berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat atau
IPKM tahun 2013 mempunyai peringkat sangat rendah (0,4595) yaitu peringkat ke 423
dari 497 kabupaten di Indonesia dan peringkat ke 25 dari 26 kabupaten di propinsi Jawa
Barat .
Berdasarkan permasalahan kesehatan balita, kabupaten Tasikmalaya mempunyai
permasalahan gizi balita akut dan kronis yaitu prevalensi balita pendek 41,7 persen,
balita gizi kurang 17,2 persen dan balita kurus 16,2 persen. Faktor penyebab langsung
permasalahan kesehatan balita antara lain tingginya penyakit infeksi pada balita seperti
-
43
diare 14,65 persen dan ISPA 40,28 persen. Sedangkan penyebab tidak langsung yaitu
faktor kesehatan lingkungan antara lain akses sanitasi 16,11 persen dan akses sumber air
bersih 13,95 persen. Selain itu nilai yang rendah terlihat pada perilaku sehat yaitu
presentase merokok sebesar 55,87 persen, cuci tangan dengan benar 45,48 persen, buang
air besar dengan benar 63,65 persen dan aktifitas fisik 25,35 persen.
3.1.3. Implementasi Program Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif
A. Pencapaian Program Intervensi Gizi Spesifik
Pencapaian program spesifik di peroleh dari data sekunder di Dinas kesehatan
yaitu “Profil Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya tahun 2017” , data status gizi balita
hasil Bulan Penimbangan Balita (BPB) tahun 2017, Laporan Survei Cepat Anemia pada
Ibu Hamil tahun 2015, dan Laporan Survei Cepat Pemantauan Konsumsi Gizi tahun 2013
di Kabupaten Tasikmalaya . Ada 7 indikator yang terkait dengan program spesifik .
Capaian kinerja indikator spesifik pada ibu hamil di kabupaten Tasikmalaya disajikan
pada tabel 4
Tabel 4.
Capaian Kinerja Indikator Spesifik pada Ibu Hamil
di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2017
No Indikaktor Spesifik Capaian (%)
1 Cakupan penerima FE3 pada bumil (90 tablet) 89,2*
2
3
Cakupan ibu hamil mendapat vaksinasi TT1
Cakupan ibu hamil mendapat vaksinasi TT2
72,4*
69,20*
3 Prevalensi bumil anemia 49,06**
4 Cakupan bumil K1 95,02*
5 Cakupan bumil K4 88,35*
6 Cakupan pengobatan kecacingan Tidak ada data
7 Cakupan ibu hamil KEK mendapat PMT Tidak ada data
Sumber data :*Profil Dinas Kesehatan tahun 2017
** Survei cepat tahun 2015
Prevalensi anemia gizi pada ibu hamil di Indonesia masih tinggi dan
membutuhkan perhatian yang serius. Penyediaan Tablet Tambah Darah (TTD)
untuk semua ibu hamil setidaknya 90 tablet selama kehamilan telah menjadi
strategi utama untuk mengurangi prevalensi anemia pada ibu hamil sejak tahun
-
44
1980-an. Pada tabel 4. menunjukkan bahwa cakupan ibu hamil yang mendapat
TTD FE3 (90 tablet) cukup tinggi 89,2 persen, demikian juga pemeriksaan
kehamilan K1 (95,02%) dan K4 (88,35%) namun prevalensi anemia pada ibu
hamil masih tinggi (49,06%)**.
Kemudian cakupan pengobatan kecacingan dan cakupan ibu hamil Kurang
energi kronis (KEK), tidak tersedia datanya. Menurut pengelola program KIA ,
bahwa sejak tahun 2013, kabupaten Tasikmalaya sudah memasuki tahun ke 3
melaksanakan program pemberantasan Filariasis karena termasuk daerah endemis
Filariasis. Program ini ditujukan kepada seluruh penduduk usia > 2 tahun kecuali
wanita hamil. Dengan demikian sudah tidak ada program kecacingan secara
khusus bagi ibu hamil.
Informasi capaian kinerja indikator spesifik pada ibu Nifas disajikan pada
tabel 5. Terlihat bahwa semua cakupan capaian program mulai dari persalinan
ditolong nakes , neonatal risti yang ditangani , bayi mendapat imunisasi dasar
lengkap, dan KN3, serta ibu nifas mendapat Vitamin A, sudah melebihi 90 persen
atau baik .
Tabel 5.
Capaian Kinerja Indikator Spesifik pada Ibu Nifas
di kabupaten Tasikamalaya Tahun 2017
No Indikaktor Spesifik Capaian (%)
1 Cakupan persalinan ditolong nakes 96,7**
2 Cakupan neonatal risti ditangani 100,0*^
3 Cakupan imunisasi dasar lengkap bayi 92,8*
4 Cakupan kunjungan neonatus 1 (KN1) 87,8*
5 Cakupan kunjungan neonatus 3 (KN3) 97,0*
6 Cakupan pemberian Vit A pada ibu nifas 98,02*
Sumber data :*Profil Dinas Kesehatan tahun 2017
** Profil Dinas Kesehatan tahun 2015
Informasi capaian kinerja indikator spesifik pada bayi usia 0-6 bulan meliputi bayi
BBLR, Inisiasi Menyusu Dini, ASI Eksklusif, pemberian vitamin A pada bayi dan
imunisasi dasar bayi disajikan pada tabel 6.
-
45
Tabel 6.
Capaian Kinerja Indikator Spesifik pada Bayi Usia 0-6 bulan
di kabupaten Tasikamalaya Tahun 2015
No Indikaktor Spesifik Capaian (%)
1. Prevalensi bayi BBLR 3,2**
2 Cakupan Inisiasi Menyusui Dini /IMD 60,0**
3 Capaian ASI Eksklusif 60,8**
4 Cakupan Pemberian kapsul vitamin A pada bayi 95,31*
5 Cakupan imunisasi dasar lengkap bayi 93,66*
Sumber data :*Profil Dinas Kesehatan tahun 2017
** Profil Dinas Kesehatan tahun 2015
Inisiasi Menyusu Dini adalah proses bayi menyusu segera setelah dilahirkan, di
mana bayi dibiarkan mencari puting susu ibunya sendiri (tidak disodorkan ke puting susu)
top related