bab i pendahuluan 1.1. latar belakang...
Post on 28-Apr-2019
212 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pemahaman atas asas null and void yang belum begitu tepat tersebut
terlihat dengan jelas dalam Pejanjian No. 2 dan addendumnya dibawah ini.
Meskipun terdapat dalam klausula Perjanjian No. 2 tersebut klausula bahwa
apabila suatu syarat tidak terpenuhi maka kedua belah pihak bersepakat agar
perjanjian yang mereka buat itu null and void, tetapi dalam kenyataannya para
pihak tidak menyadari akan sepakat (consent) apa yang telah mereka sepakati
bersama itu. Demikian pula dengan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan
dengan perjanjian tersebut. Akibatnya, sejak penandatanganan Perjanjian No. 2
hingga penyusunan penelitian dan penulisan karya tulis ini, telah timbul berbagai
kesulitan dan permasalahan yang seharusnya tidak perlu ada di Kota Salatiga.
Beberapa permasalahan yang Penulis maksudkan tersebut antara lain dapat
dikemukakan dibawah ini:
Masih saja ada semacam “keyakinan” bahwa ada hak-hak yang timbul dari
Perjanjian No. 2 di atas. Misalnya, Hak Guna Bangunan (HGB) masih diyakini
dipegang oleh PT. Matahari Mas Sejahtera, namun tidak dioptimalkan.
Persoalan tidak hanya mengenai HGB tersebut saja, akan tetapi bagaimana
Pemerintah Kota Salatiga dapat mengoperasikan Pasaraya II karena yakin bahwa
Perjanjian No. 2 masih ada. Demikian pula juga menyelesaikan permasalahan
1
lainnya, seperti lahan kosong di sekitar Pasaraya II yang seharusnya dimanfaatkan
sebagai lahan parkir masih bertitik tolak dari adanya Perjanjian No. 2. Tak pelak,
di mata Ilmu Hukum hal semacam ini merupakan suatu ilegalitas.
Masalah berikut adalah, tersendatnya pembangunan Pasaraya II dalam hal
perizinan. Masalah perizinan tersebut muncul karena dinilai bertentangan dengan
Peraturan Presiden No. 112 tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar
Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Pasar Modern masih bertitik tolak dari
kesadaran bahwa Perjanjian No. 2 masih ada. Semua hal atau permasalahan yang
Penulis angkat dari pendekatan koran di atas menunjukan bahwa pihak-pihak
yang berkepentingan (stake holders) masih berkeyakinan seolah-olah masih ada
Perjanjian No. 2 dan addendumnya, dan melahirkan hak, namun secara yuridis
Perjanjian tersebut sudah null and void.
Apa sesungguhnya yang telah menjadi sebab meskipun, seperti telah
Penulis katakan bahwa secara yuridis Perjanjian No. 2 sudah null and void tetapi
para stake holders masih berpikir bahwa Perjanjian No. 2 dan addendumnya
masih ada? Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Penulis memilih judul
sebagaimana telah di kemukakan di atas.
Menurut Subekti, suatu perjanjian, yang tidak memenuhi syarat obyektif,
(hal tertentu atau causa yang halal), dapat mengakibatkan perjanjian tersebut
menjadi batal demi hukum (Null and void).1
Berkaitan dengan asas atau kaedah hukum yang baru saja Penulis
kemukakan di atas, menurut Subekti, dalam hal yang demikian, secara yuridis
batal demi hukum artinya dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada
1 Subekti., Hukum Perjanjian, Intermasa, 1979, Jakarta, hal., 22-23.
2
pula perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian. Tujuan
para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama
lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di depan
hakim, karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim diwajibkan karena jabatannya,
menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.2
Selain pengertian asas, atau kaedah null and void seperti yang telah
dikatakan oleh Subekti di atas, ada juga yang mengatakan kebatalan atau
pembatalan perjanjian menurut Pasal KUHPerdata. Pengertian kebatalan atau
pembatalan perjanjian menurut pihak-pihak selain Subekti itu adalah sebagai
berikut:
Ada suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid), apabila suatu
perjanjian harus di anggap batal, meskipun tidak diminta oleh suatu pihak. Dan
perjanjian dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapapun juga. Batal
mutlak adalah suatu perjanjian, yang diadakan tanpa mengindahkan cara (vorm)
yang secara mutlak dikehendaki oleh undang-undang. Juga batal mutlak adalah
suatu perjanjian, yang causanya bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban
umum (open bare orde).3
Selain itu tentang pengertian batal demi hukum juga diberikan berdasar
pada alasan kebatalannya. Suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum, tidak
dapat dipaksakan pelaksanaannya jika terjadi pelanggaran terhadap syarat
obyektif dari sahnya suatu perikatan kecuali oleh hakim. Keharusan akan adanya
suatu hal tertentu yang menjadi obyek dalam perjanjian dirumuskan dalam Pasal
2 Ibid., hal., 22.
3 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, 2003, Jakarta, hal., 182.
3
1332 sampai Pasal 1334 (KUHPerdata) diikuti dengan Pasal 1335 sampai dengan
Pasal 1336 (KUHPerdata) yang mengatur mengenai rumusan sebab yang halal,
atau sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum.
Seperti telah dibahas sebelumnya, dengan tidak adanya suatu hal tertentu
(subject certain), yang terwujud dalam kebendaan yang telah disepakati, (obyek
dalam suatu perjanjian), maka jelas perjanjian tidak pernah ada. Karenanya, tidak
pernah pula terbit perikatan di antara para pihak (yang bermaksud membuat
perjanjian tersebut). Perjanjian demikian adalah kosong (null) adanya.4
Selain itu ada juga definisi tentang null and void berdasarkan kriteria-
kriteria seperti perjanjian yang tergolong sebagai perjanjian formil. Dalam
Perjanjian demikian tidak dipenuhinya ketentuan hukum tentang, misalnya bentuk
atau format perjanjian, cara pembuatan perjanjian, ataupun cara pengesahan
perjanjian, sebagaimana diwajibkan melalui peraturan perundang-undangan,
berakibat perjanjian formil batal demi hukum.5
Ahli hukum memberikan perngertian perjanjian formil sebagai perjanjian
yang tidak hanya didasarkan pada adanya kesepakatan para pihak, tetapi oleh
undang-undang juga disyaratkan adanya kesepakatan para pihak mematuhi
formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah demi hukum.6
4W. Prodjodikoro., 2011, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2011
hal., 151.
5 Ibid., hal., 151.
6Herlien Budiono., Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bhakti, 2009, hal., 47- 48.
4
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus
ada suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Keduanya sering disebut
sebagai syarat objektif untuk sahnya perjanjian. Syarat objektif pertama, yaitu
suatu hal tertentu diartikan oleh Mariam Darus Badrulzaman7 dan Herlien
Budiono8 sebagai objek atau pokok perjanjian, atau apa yang menjadi hak dari
kreditor dan kewajiban bagi debitor menurut Subekti.9
Kriteria selanjutnya adalah perjanjian yang dilakukan oleh orang atau
pihak yang menurut undang-undang dinyatakan tidak berwenang, juga berakibat
batal demi hukum. Artinya ketentuan dalam undang-undang tertentu yang
menyatakan bahwa orang atau pihak tertentu tidak berwenang, merupakan aturan
hukum yang bersifat memaksa sehingga tidak bisa disimpangi.10
Sedangkan menurut kriteria syarat batal dalam sebuah perjanjian adalah
suatu peristiwa atau fakta tertentu yang belum tentu akan terjadi di masa depan,
namun para pihak dalam perjanjian itu sepakat bahwa bila peristiwa atau fakta
tersebut benar terjadi maka perjanjian tersebut menjadi batal.
Perjanjian dengan syarat batal yang menjadi null and void karena syarat
batal tersebut terpenuhi, menimbulkan akibat kembalinya keadaan pada kondisi
semula pada saat timbulnya perikatan itu. Dengan kata lain, perjanjian yang null
7Mariam Darus Badrulzaman., “Perikatan pada Umumnya”, dalam buku berjudul
Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung 2001, hal., 79-80.
8Herlien Budiono Elly Erawati, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, PT. Gramedia, Jakarta, 2010, hal., 8.
9Subekti., Hukum Perjanjian, Intermasa, Cetakan V, Jakarta, 1978, hal., 19.
10Herlien Budiono Elly Erawati, Op.Cit hal., 13.
5
and void seperti itu berlaku surut hingga ke titik awal perjanjian itu dibuat atau
void ab initio.
Pasal 1265 KUH Perdata mengatur syarat batal seperti telah dikemukakan
di atas itu dengan menyebut bahwa:
“suatu syarat batal adalah yang bila di penuhi akan
menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu
kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada
suatu perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan
perikatan; ia hanya mewajibkan kreditur mengembalikan apa
yang telah diterimanya, bila yang dimaksudkan terjadi”.11
I.G. Rai Widjaya mengatakan apabila unsur syarat objektif ada yang tidak
terpenuhi (suatu hal tertentu atau suatu sebab yang legal), akibat hukumnya adalah
null and void atau dalam bahasa Belanda nietig verklaard. Artinya, sejak awal
tidak pernah lahir suatu perjanjian sehingga tidak pernah ada perikatan. Karena
tidak pernah lahir perjanjian, tidak ada akibat hukum apapun sehingga tidak ada
dasar hukum yang dapat dijadikan alas hak untuk melakukan gugatan atau
penuntutan.12
Selanjutnya batal demi hukum atau batal dengan sendirinya adalah apabila
terdapat kontrak yang tidak memenuhi syarat obyek tertentu atau tidak
mempunyai causa atau causanya tidak diperbolehkan (Pasal 1320 KUH Pedata
Angka (3) dan (4) jis. 1335, 1337, 1339 KUH Pedata), sehingga berakibat kontrak
tersebut batal demi hukum (nietig). Dengan demikian makna pembatalan lebih
11Ibid., hal., 13-14.
12I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak “Contract Drafting dan Praktik” Kesaint Blanc, Bekasi Timur, 2004, hal., 54.
6
mengarah pada proses pembentukan kontrak (penutupan kontrak). Akibat hukum
pada pembatalan kontrak adalah “pengembalian pada posisi semula, sebagaimana
halnya sebelum penutupan kontrak, atau void ab initio”.13
Secara konsepsual yuridis, terdapat perbedaan antara perjanjian yang batal
demi hukum dengan perjanjian yang dapat dibatalkan (voidable). Terakhir ini
yaitu voidable, terjadi apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat sahnya
perjanjian yaitu yang diketahui terjadi apabila salah satu unsur subjektif tidak
terpenuhi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya
kata sepakat diantara para pihak yang mengikatkan dirinya dan memiliki
kecakapan dalam membuat suatu perikatan.
Apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai
syarat yang subyektif sebagaimana sudah dikemukakan di atas, maka perjanjian
itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan (canceling)
oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum
(orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap), dan
pihak yang memberikan perizinannya atau yang menyetujui perjanjian itu secara
tidak bebas.14
Dari sini saja sudah dapat diketahui bahwa perjanjian yang dibuat tidak
memenuhi salah satu persyaratan subyektif maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan oleh salah satu pihak apabila diketahuinya. Misalnya kalau pihak yang
tidak cakap menurut hukum. Selanjutnya persetujuan kedua belah pihak
(kesepakatan), harus diberikan secara bebas.
13Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian”Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial” Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, hal., 264.
14Subekti, 1979. Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal ., 22-24.
7
Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perizinan tidak
bebas, atau tidak ada freedom of contract, yaitu paksaan, kekhilafan dan penipuan.
Dimaksudkan dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis).
Jadi, bukan paksaan badan (fisik). Berikutnya kekhilafan atau kekeliruan terjadi,
apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang
diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek
perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.
Mengenai penipuan, apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan
keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar (misrepresentation) disertai
dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya.
Agus Yudha Hernoko15 dan I.G Rai Widjaya16 juga menyatakan bahwa
ada dua persyaratan yang menentukan sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320 KUH
Perdata). Persyaratan tersebut adalah persyaratan subjektif dan persyaratan
objektif. Apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi maka akibatnya ialah bahwa
dengan tidak terpenuhinya persyaratan subjektif (kesepakatan dan kecakapan)
para pihak maka perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak melalui
pengadilan.
Secara prinsip suatu pejanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan
(voidable) jika perjanjian tersebut dalam pelaksanaannya akan merugikan pihak-
pihak tertentu. Pihak-pihak ini tidak hanya dalam perjanjian tersebut, tetapi
meliputi juga individu yang merupakan pihak ketiga di luar para pihak yang
mengadakan perjanjian. Dalam hal ini di luar pembatalan atas perjanjian tersebut
15Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian ”Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial” Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, Catatan No. 11 hal., 264.
16I.G.Rai Widjaya, Catatan No. 10 hal., 55.
8
dapat terjadi, baik sebelum perikatan yang lahir dari perjanjian itu dilaksanakan
maupun setelah prestasi yang wajib dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang
dibuat tersebut dilaksanakan. Bagi keadaan yang terakhir ini, ketentuan Pasal
1451 dan Pasal 1452 KUH Perdata menentukan bahwa setiap kebatalan membawa
akibat bahwa semua kebendaan dan orang-orangnya dipulihkan sama seperti
sebelum perjanjian dibuat.
Memerhatikan alasan-alasan yang dapat dikemukakan sehubungan dengan
pembatalan perjanjian, secara garis besar, alasan pembatalan perjanjian dapat
digolongkan ke dalam dua golongan besar, pembatalan perjanjian oleh salah satu
pihak dalam perjanjian. Alasan-alasan tersebut, seperti telah diuraikan di atas
sering kali disebut dengan alasan subyektif. Pada dasarnya suatu perjanjian hanya
mengikat para pihak yang membuatnya dan karenanya tidak membawa akibat
apapun bagi pihak ketiga. Walau demikian, untuk melindungi kepentingan
kreditor, dalam perikatan dengan debitor dan agar ketentuan Pasal 1131 Jo. Pasal
1132 KUHPerdata dapat dilaksanakan sepenuhnya, maka dibuatlah ketentuan
Pasal 1341 KUHPerdata yang lebih dikenal dengan Actio Paulina.17
Pembatalan tidak mutlak (relatief) yaitu hanya terjadi jika diminta oleh
orang-orang tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu itu.
Pembatalan tidak mutlak dapat dibagi menjadi dua macam: Pertama, pembatalan
tidak mutlak atas kekuasaan sendiri (nietig serta van rechtswegenietig). Para
hakim diminta supaya menyatakan batal, misalnya dalam hal perjanjian yang
diadakan oleh seorang yang belum dewasa (lihat pasal 1446 KUHPerdata).
Kedua, pembatalan belaka oleh hakim (vernitigbaar), yang putusannya harus
17Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Catatan No. 2 hal., 172-180.
9
berbunyi; membatalkan, misalnya dalam hal perjanjian yang terbentuk secara
paksaan, kekeliruan atau penipuan (lihat pasal 1449 KUH Perdata).
Perbedaan nyata yang dikatakan pihak-pihak di atas diadakan oleh KUH
Perdata antara dua macam pembatalan ini dapat dilihat dari kata-kata yang
terpakai dalam Pasal 1446 dan 1449 KUH Perdata. Pasal 1446 mengatakan,
bahwa perjanjian yang dimaksudkan di situ, dapat dinyatakan batal atas suatu
tuntutan. Tuntutan ini dapat dilakukan secara gugatan atau dalam suatu
perlawanan (exceptie). Sedangkan Pasal 1449 dikatakan, bahwa perjanjian yang
dimaksudkan di situ, hanya dapat dibatalkan atas suatu gugatan
(rechtsvordering).18
Dalam Perjanjian No. 2 dan addendum yang menjadi satuan amatan dari
penelitian ini, nampaknya pemahaman perbedaan konsepsi null and void dengan
konsep dapat dibatalkan (voidable) kurang dipahami secara tepat oleh para pihak
dan stake holders. Hal itulah yang melatarbelakangi penelitian dan penulisan
karya tulis ini.
1.2. Rumusan Masalah
Apa akibat yuridis dari batal demi hukum Pejanjian Kerja Sama
Pemerintah Kota Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera Cabang Surakarta
tentang Peningkatan dan Penataan (Renovasi) Pasar Lama, Pasar Berdikari, Pasar
Baru, dan Kompleks Pertokoan Morodadi Cs Menjadi Pasaraya dan Pusat
Pertokoan Salati
18W. Prodjodikoro, Catatan No. 3 hal., 196-197.
10
1.3. Tujuan Penelitian
Mengenai tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui apa penyebab
timbul permasalahan dalam Pejanjian Kerja Sama Pemerintah Kota Salatiga
dengan PT. Matahari Mas Sejahtera Cabang Surakarta tentang Peningkatan dan
Penataan (Renovasi) Pasar Lama, Pasar Berdikari, Pasar Baru, dan Kompleks
Pertokoan Morodadi Cs menjadi Pasaraya Salatiga.
1.5. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang digunakan di sini adalah penelitian hukum (legal
research) dengan dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach),
pendekatan konseptual (konseptual approach), dan pendekatan kasus (cases
study). Pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan dengan menggunakan
legislasi dan regulasi untuk menjawab isu hukum atau permasalahan penelitian.19
Pendekatan konseptual mengkaji konsep-konsep dan teori-teori yang berkembang
di bidang hokum perdagangan internasional yang relevan dengan permasalahan
penelitian.
Penulis hendak menemukan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum yang
mengatur mengenai jaminan dalam bentuk deposito terhadap documentary credit
dalam perdagangan Internasional.
19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hal., 97.
11
2. Sumber Hukum
Sumber-sumber hukum penelitian ini meliputi bahan hukum primer, dan
bahan hukum sekunder.
a. Bahan hukum primer, yaitu Perundang-Undangan yang merupakan
kesepakatan antara pemerintah dan rakyat sehingga mempunyai kekuatan
mengikat untuk penyelenggaraan kehidupan bernegara.20 Penulis dalam
melakukan penelitian ini menggunakan bahan hukum primer: Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Bahan Hukum Sekunder yang terutama adalah buku teks berisi mengenai
prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan para sarjana
yang memiliki kualifikasi tinggi.21
3. Unit Amatan dan Unit Analisis
Adapun satuan amatan penelitian ini adalah: Surat Perjanjian
kerjasama No. 2 tahun 1991 tentang peningkatan dan Penataan (Renovasi) Pasar
Lama, Pasar Berdikari, Pasar Baru dan kompleks Pertokoan Morodadi Cs Menjadi
Pasaraya dan Pusat Pertokoan Salatiga. Addendum Pertama Perjanjian Kerja
Sama No. 2 tahun 1991 tentang Peningkatan dan Penataan (Renovasi) Pasar
Lama, Pasar Berdikari, Pasar Baru, dan Kompleks Pertokoan Morodadi Cs
Menjadi Pasaraya Salatiga dan Pusat Pertokoan Salatiga, antara Pemerintah
Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera
20 Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, hal., 142.
21 Ibid.
12
13
Cabang Surakarta, No. 2 tahun 1992; Addendum Kedua Perjanjian Kerja Sama
No. 2 tahun 1991 tentang Peningkatan dan Penataan (Renovasi) Pasar Lama,
Pasar Berdikari, Pasar Baru, dan Kompleks Pertokoan Morodadi Cs Menjadi
Pasaraya Salatiga dan Pusat Pertokoan Salatiga, antara Pemerintah Kotamadya
Daerah Tingkat II Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera Cabang Surakarta,
No. 1 tahun 1993; addendum ketiga Perjanjian Kerja Sama No. 5/perj/VI/1995
Pemerintah Kotamadya Dati II Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera
Cabang Surakarta tentang Peningkatan dan Penataan (Renovasi) Pasar Lama,
Pasar Berdikari, Pasar Baru, dan Kompleks Pertokoan Morodadi Cs Menjadi
Pasaraya I dan Pasaraya II Salatiga.
Sedangkan Satuan analisis Penelitian ini adalah Bagaimana asas null and
void dalam Perjanjian Kerjasama Pemerintah Kota Salatiga dengan PT. Matahari
Mas Sejahtera Cabang Surakarta. Dalam rangka mempertajam analisis, maka
suatu studi perbandingan (comparative studies) antara Perjanjian No. 2 dan
addendum perjanjian tersebut di atas juga dibandingkan dengan perjanjian sejenis
yang juga diadakan di Kota Salatiga. Perjanjian tersebut adalah: Surat Perjanjian
Kerja Sama No. 1/1991 tentang Kontrak Bagi Tempat Usaha dalam Rangka
Pembangunan Taman Sari Plaza (saat ini dikuasai oleh Matahari Department
Store), di Kota Salatiga dan addendum perjanjian tersebut.22
22Semua satuan amatan ini Penulis gambarkan dengan lengkap dan rinci dalam Bab III
Hasil Penelitian dan Analisis untuk selanjutnya dianalisis dalam Bab yang sama. Apabila perlu dokumen yang relevan akan dilampirkan dalam Lampiran Skripsi ini. Lihat lampiran I.
top related