bab i
Post on 24-Oct-2015
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Trend kesehatan modern memperhatikan tidur sebagai salah satu pilar
penopang kesehatan selain olah raga dan keseimbangan nutrisi. Di pagi hari kita
merasakan manfaat dari tidur yang menyegarkan dan memberi energi baru untuk
menghadapi hari yang akan kita jelang. Ini disebabkan oleh kortisol yang dihasilkan
pada saat tidur. Kortisol dihasilkan menjelang pagi saat proses tidur mendekati akhir.
Dalam tidur terjadi juga pembaruan dan perbaikan sel-sel yang rusak yang dipicu oleh
Growth Hormone yang dihasilkan tubuh pada tahap tidur malam (Prasadja,2009).
Kurang tidur atau proses tidur yang terganggu jelas merugikan kesehatan dan
performa kita di siang hari. Mulai dari kurangnya motivasi, penurunan kemampuan
konsentrasi dan daya ingat, hingga buruknya suasana hati. Kondisi kurang tidur juga
menurunkan daya tahan tubuh seseorang. Efek kurang tidur yang paling nyata terlihat
adalah pada kulit yang tampak kusam dan tak segar (Prasadja,2009).
Ada lebih dari 40 kondisi medis yang telah ditentukan sebagai penyebab insomnia.
Kira-kira separuh dari jumlah ini adalah kondisi psikologis seperti kekhawatiran,
stress, atau depresi. Sisanya adalah gangguan tidur yang disebabkan kondisi khusus
seperti alergi, radang sendi, kecanduan alkohol, merokok, diet dan obesitas. Individu
yang mengalami stress atau depresi sangat berpeluang menderita insomnia (Listiani,
2007).
Merokok adalah salah satu penyeban insomnia. Dalam bidang kesehatan tidur, nikotin
dalam rokok digolongkan dalam kelompok zat stimulan. Stimulan merupakan zat
yang memberikan efek menyegarkan seperti halnya kafein dan coklat. Namun
demikian, ada juga sebagian efek dari nikotin yang menenangkan sehingga perokok
dapat merasa tenang dan santai saat menghirup asapnya (Prasadja,2009).
Namun efek stimulan dari nikotin ternyata lebih kuat, ini dibuktikan dengan
penelitian Punjabi dan kawan-kawan di tahun 2006 yang meneliti efek nikotin pada
pola tidur seseorang. Perokok ternyata membutuhkan waktu lebih lama untuk tertidur
dibanding orang yang tidak merokok. Mereka jadi sulit tidur (Prasadja,2009). Pada
penelitian selanjutnya yang dipublikasikan pada Februari 2008, Punjabi dan kawan-
kawan lebih menyoroti efek kecanduan rokok pada pola tidur. Secara teoritis, nikotin
akan hilang dari otak dalam waktu 30 menit. Tetapi reseptor di otak seorang pecandu
seolah ‘menagih’ nikotin lagi, sehingga mengganggu proses tidur (Prasadja,2009).
Pada pecandu akut yang baru mulai kecanduan rokok, selain lebih sulit tidur, mereka
juga dapat terbangun oleh keinginan kuat untuk merokok setelah tidur kira-kira 2 jam.
Setelah merokok mereka akan sulit untuk tidur kembali karena efek stimulan dari
nikotin. Saat tidur, proses ini akan berulang dan ia terbangun lagi untuk merokok
(Prasadja,2009).
Sedangkan pada tahap lanjut, perokok mengalami gangguan kualitas tidur
yang dipicu oleh efek ‘menagih’ dari kecanduan nikotin. Dari perekaman gelombang
otak di laboratorium tidur, didapatkan bahwa perokok lebih banyak tidur ringan
dibandingkan tidur dalam; terutama pada jam-jam awal tidur. Akibatnya, dari
penelitian tersebut didapatkan, jumlah orang yang melaporkan rasa tak segar atau
masih mengantuk saat bangun tidur pada perokok adalah 4 kali lipat dibandingkan
orang yang tidak merokok (Prasadja,2009). Menurut Departemen Kesehatan melalui
pusat promosi kesehatan menyatakan Indonesia merupakan salah satu negara
berkembang yang memiliki tingkat konsumsi rokok dan produksi rokok tertinggi.
Berdasarkan data dari WHO tahun 2008 Indonesia menduduki urutan ke 3
terbanyak dalam konsumsi rokok di dunia dan setiap tahunnya mengkonsumsi 225
miliar batang rokok (Nusantaraku,2009). Berdasatkan hasil riset yang dilakukan
Dinas Kesehatan Jawa Barat pada tahun 2007 menunjukan bahwa jumlah perokok
aktif di provinsi itu yang mencapai 26,7 persen Hasil riset yang dilakukan Dinas
Kesehatan Jawa Barat pada tahun 2007 juga menyebutkan kebiasaan merokok di Jawa
Barat rata-rata didominasi sejak usia remaja 15-19 tahun, presentasinya mencapai
50,4 persen (Profil Kesehatan Indonesia, 2008).
Disusul kelompok usia 20-24 tahun, sekitar 24,7 persen. Ironisnya perokok di
usia anak-anak kelompok umur 10-14 tahun sebesar 11,9 persen, lebih banyak
dibanding kelompok usia 25-29 tahun yang hanya 7,1 persen atau 5,8 persen untuk
kelompok usia di atas 30 tahun (Profil Kesehatan Indonesia,2008).
Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti
hubungan kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun dengan gangguan pola
tidur (insomnia). Dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi gangguan pola tidur
(insomnia) yang akan diteliti adalah kebiasaan merokok berdasarkan jumlah rata-rata
rokok yang dihisap per hari yang meliputi perokok berat, perokok sedang dan perokok
ringan.
II. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka yang menjadi
masalah penelitian adalah: Tingginya angka perokok aktif pada siswa. Tingginya
angka perokok aktif ini dapat meningkatkan resiko gangguan pola tidur (insomnia)
pada siswa di sekolah tersebut. Gangguan pola tidur (insomnia) ini dapat
menyebabkan kurangnya motivasi, penurunan kemampuan konsentrasi dan daya
ingat, hingga buruknya suasana hati. Penelitian ini akan mengkaji hubungan antara
kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun berdasarkan jumlah rata-rata rokok
yang dihisap per hari dengan gangguan pola tidur (insomnia).
III. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja
usia 15-19 tahun dengan gangguan pola tidur (insomnia)
b. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui gambaran kebiasaan merokok pada remaja usia 15-
19 tahun.
Untuk mengetahui gambaran gangguan pola tidur (insomnia) pada
remaja usia 15-19 tahun.
Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan gangguan
pola tidur (insomnia) pada remaja usia 15-19 tahun.
Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan gangguan
pola tidur (insomnia) pada remaja usia 15-19 tahun setelah dikontrol
oleh variabel stress sebagai perancu.
IV. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pembaca
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dan
menambah wawasan mengenai hubungan antara kebiasaan merokok dengan
gangguan pola tidur (insomnia).
2. Bagi Sekolah dan Siswa
Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi sekolah dan siswa
pada khususnya agar meminimalkan konsumsi merokok untuk menghindari
gangguan pola tidur (insomnia) dan memaksimalkan fungsi tidur itu sendiri.
top related