bab 2 tinjauan pustaka 2.1 konsep cardiac arresteprints.umbjm.ac.id/992/4/4. bab 2.pdf · 2019. 9....
Post on 21-Jan-2021
0 Views
Preview:
TRANSCRIPT
11
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Cardiac Arrest
Rumah sakit memiliki peranan yang sangat penting dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien yang mengalami kondisi seran gan jantung sampai
terjadi cardiac arrest baik terjadi di rumah sakit (IHCA) atau terjadi di luar rumah
sakit (OHCA). Keberhasilan dalam penanganan pasien yang mengalami cardiac
arrest untuk kelangsungan hidup pasien sangat bervariasi antara IHCA dan
OHCA, hal ini didasarkan pada berbagai faktor, termasuk didalamnya adalah
etiologi IHCA dan OHCA, populasi pasien yang terkena dan komordibitas, jarak
antara pasien dengan tempat pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan dan staf
rumah sakit yang terlatih dan profesional. Tujuan mendasar dari proses
penanganan cardiac arrest adalah pasien mengalami kembalinya sirkulasi
spontan (ROSC), mengidentifikasi dan mengendalikan faktor-faktor yang memicu
terjadinya kembali, memperbaiki pasca cardiac arrest dan pemulihan neurologis
membaik, serta penanganan kegagalan organ multisistem. Penanganan pasca
resusitasi yang terkoordinasi, memiliki kualitas yang tinggi serta komprehensif,
serta status neurologis yang membaik dapat meningkatkan kelangsungan hidup
pasien (Graham, et al, 2015; Knafelj, et al, 2007 & Sunde, et al, 2007).
2.1.1 Definisi Cardiac Arrest
Cardiac Arrest atau henti jantung adalah penghentian aktifitas pompa
jantung efektif yang mengakibatkan penghentian sirkulasi. Terdapat hanya
dua tipe henti jantung, yaitu cardiac standstill (asistol) dan fibrilasi
ventrikel plus format lain dari kontraksi ventrikel tak efektif, seperti flutter
ventrikel, dan yang jarang terjadi takikardia ventrikel ( Muttaqin, 2012).
12
Herman (2010) mengatakan cardiac arrest merupakan abnormalitas
system konduksi – ritmitas yang sangat berbahaya karena semua impuls
ritmik berhenti total, tidak ada lagi irama spontan yang muncul dijantung.
AHA (2015) cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-
tiba dan mendadak, dapat terjadi pada seseorang yang sudah terdiagnosa
penyait jantung ataupun tidak. Kejadian cardiac arrest tidak dapat
diprediksikan, terjadi dengan cepat begitu gejala dan tanda muncul.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa cardiac arrest
merupakan hilangnya fungsi jantung yang mendadak dimana kejadiannya
tidak dapat diprediksi dan terjadi begitu cepat ketika tanda dan gejala
muncul. Peran rumah sakit sangat penting dalam menyediakan pelayanan
kesehatan berupa sarana dan prasarana yang memadai sehingga
kelangsungan hidup pasien dengan cardiac arrest menjadi lebih baik.
2.1.2 Etiologi Cardiac Arrest
Cardiac arrest dapat terjadi ketika adanya disfungsi dari sistem listrik
jantung, sehingga menyebabkan terjadinya aritmia. Aritmia yang paling
umum terjadi pada cardiac arrest adalah ventrikel fibrilasi. Cardiac arrest
dapat diubah apabila jika CPR (Cardiopulmonary resucitation) dilakukan
dan defibrilasi digunakan untuk mengejutkan jnatung dan mengembalikan
irama jantung yang normal dalam beberapa menit. Cardiac arrest dapat
disebabkan oleh semua hampir gangguan pada jantung yang dikenal.
Penyebab yang paling umum adalah : Jaringan parut yang terjadi karena
serangan jantung sebelumnya atau penyebab lain. Jantung yang terdapat
bekas luka atau membesar karena sebab apapun rentan untuk terjadi
arirmia ventrikel yang mengancam. Enam bulan pertama setelah serangan
jantung adalah resiko periode yang sangat tinggi untuk menderita cardiac
13
arrest pada pasien dengan penyakit jantung aterosklerotik. Penebalan otot
jantung (cardiomyopathy) dari setiap penyebab (tekanan darah tinggi atau
penyakit katup jantung) apalagi ditambah dengan gagal jantung. Obat
jantung, dalam kondisi tertentu beberapa obat jantung dapat menyebabkan
aritmia yang selanjutnya dapat menyebabkan cardiac arrest. Kelainan
listrik tertentu seperti sindrom wolffparkinson- white dan sindrom QT
panjang dapat menyebabkan serangan jantung mendadak pada anak-anak
dan orang muda. Penggunaan narkoba, pada orang tanpa penyakit jantung
organik, penggunaan narkoba merupakan penyebab penting dari serangan
jantung mendadak. Sedangkan penelitian lain menyatakan penyebab
cardiac arrest dapat terjadi oleh banyak kondisi yang mendasarinya yang
meliputi infark miokard, overdosis obat, trauma, dan ganguan impuls yang
meliputi ventrikel fibrilasi.
2.1.3 Klasifikasi Cardiac Arrest
Menurut American Heart Association (2010) mengungkapkan cardiac
arrets dapat disebabkan oleh empat irama yaitu ventrikel fibrilasi (VF),
ventrikel takikardi (VT), pulseless electric activity (PEA), dan asystole.
2.1.3.1 Ventrikel Fibrilasi dan Ventrikel Takikardi
Ventrikel fibrilasi dibagi menjadi dua jenis klinis yaitu VF primer
dan sekunder. VF primer terjadi karena tidak adanya disfungsi
ventrikel kiri akut dan syok kardiogenik dan ditemukan pada
sekitar 5% pasien dengan infark miokard akut (IMA). Mayoritas
episode VF primer terjadi dalam 4 jam pertama dari IMA, dan
80% terlihat dalam awal 12 jam imfark. VF sekunder dapat terjadi
karena komplikasi dari gagal jantung akut, syok kardiogenik, atau
keduanya, dan terjadi pada sampai dengan 7% dari pasien IMA
(Brady, et al, 2012, Sudono, et al 2010, Boswick, 2013). Ventrikel
takikardi biasanya berasal dari fokus khusus dalam miokardium
14
ventrikel atau di jalur konduksi infranodal. VT dapat dibedakan
menjadi monoformik dan poliformik. VT menyumbang sebagian
kecil irama yang terlihat pada serangan jantung dan memiliki
prognosis yang paling menguntungkan. Hal ini relatif jarang
terjadi hasil kejadian dari awal penampilan dengan degenerasi
yang cepat. Jika terapi tidak dimulai dalam peristiwa henti
jantung, ritme ini cepat dekompensasi menjadi irama yang lebih
ganas seperti VF atau asistol (Brady, et al, 2012, Sudono, 2010,
Boswick, 2013).).
a. Gambaran klinis ventrikel fibrilasi
Hasil diagnosis ventrikel fibrilasi dalam EKG atau
electrokardiograpi pada pasien tanpa nadi dan apnea dengan
adanya amplitudo rendah dan aktivitas listrik yang kacau.
Tingkat defleksi biasanya antara 200 dan 500 depolarisasi
permenit. Morfologi, VF dibagi menjadi kasar dan halus. VF
yang kasar cenderung terjadi lebih awal setelah serangan
jantung, ditandai dengan amplitudo tinggi atau kasar, bentuk
gelombang, dan memiliki prognosis yang lebih baik dari pada
VF halus (Brady, et al, 2012, Sudono, et al 2010, Boswick,
2013).
Gambar 2.1 Ventrikel Fibrilasi
b. Gambaran Klinis Ventrikel Takikardi
15
Ventrikel takikardi ditandai dengan durasi kompleks QRS
lebih besar dari 0,12 detik dan tingkat ventrikel lebih besar
dari 100 atau 120 denyut / menit. Monoformik ventrikel
takikardi di identifikasi ketika masing-masing gelombang
berturut-turut memiliki morfologi tunggal. Kecepatannya
biasanya antara 140 dan 180 denyut / menit dan sangat
teratur. Sedangkan polimormik ventrikel takikardi ditandai
dengan kompleks QRS sering berubah. Kompleks QRS
cenderung lebih besar dari 0,12. Kecepatannya biasanya lebih
cepat dari MVT, dengan kisaran 150-300 denyut / menit
(Brady, et al, 2012, Sudono, et al 2010, Boswick, 2013).
g
a
Gambar 2.2 Ventrikel Takikardi
c. Patofisiologi VF dan VT
Ventrikel fibrilasi dan ventrikel takikardi merupakan disritmia
yang paling sering muncul sebagai akibat dari keruskan
miokard (yaitu IMA, miokarditis, kardiomiopati), toksisitas
obatatau kelainan elektrolit. Patofisiologi tersebut biasanya
mencakup fenomena menarik atau penggerak otomatis.
Sebuah jalur dalam miokardium ventrikel adalah sumber yang
paling umum. Itu merupakan sifat dari jalur reentry yang
melibatkan dua jalur konduksi dengan karakteristik yang
berbeda, jalur reentry yang menyediakan substrat untuk VT
dan VF umumnya terjadi di zona iskemia akut atau kronis
jaringan parut. Dysrhytmia ini biasanya dimulai oleh denyut
16
ektopik, meskipun sejumlah faktor lainnya dapat menjadi
penyebab utama, termasuk iskemia koroner akut, gangguan
elektrolit dan dysautonomia. Automaticity dipicu dari
sekelompok sel yang didapat dari hasil berbagai anomali
jantung, termasuk penyakit jantung kongenital, penyakit
jantung bawaan, gangguan elektrolit, dan toksisitas obat
(Brady, et al, 2012, Sudono, et al 2010, Boswick, 2013).
2.1.3.2 PEA (Pulseless Electrical Activity)
Pulseless Electrical Activity merupakan indikasi dari kejadian
medis yang sangat serius yang mendasari, seperti hipovolemia
mendalam, infark miokard masif, emboli paru luas,
tachydysrhytmia elektrolit yang signifikan. Ritme dalam situasi
ini biasanya mencakup takikardi, terutama takikardia sinus atau
fibrilasi atrium dengan respon ventrikel yang cepat. Suatu
pendekatan terapi mengarah disertai dengan resusitasi agresif
akan memberikan penderita dengan pseudo-dengan pseudo-PEA
dengan kesempatan terbaik untuk bertahan hidup (Brady, et al,
2012)
a. Gambaran Klinis PEA
Pulseless Electrical Activity (PEA) memiliki kombinasi unik
dari tidak ada aktivitas jantung mekanik (keadaan tanpa nadi)
dengan aktivitas persisten jantung listrik yaitu irama jantung.
Kejadian PEA biasanya dimulai dengan gangguan perfusi dan
berkembang menjadi pseudo-PEA dengan kontraksi jantung
lanjutan. Tidak adanya nadi yang bisa dilihat diikuti dengan
hilangnya aktivitas mekanik jantung akan menghasilkan
perkembangan PEA sebenarnya (Brady, et al, 2012).
17
G
Gambar 2.3 PEA (Pulseless Electrical Activity)
b. Patofisiologi PEA
PEA dapat dibedakan menjadi pseudo-PEA dan true-PEA.
Pseudo-PEA terjadi ketika terdapat aktivitas kelistrikan jantung
(irama jantung) tetapi nadi tidak ada dan kontraksi miokard
yang ditunjukkan oleh ekokardiografi atau modalitas
pencitraan lainnya. Pada trus-PEA aktivitas listrik jantung
dalam bentuk irama ini dicatat, tetapi benar-benar tidak ada
kontraksi mekanis jantung yang terjadi, sehingga penting untuk
membedakan dua sub tipe PEA. (Brady, et al, 2012).
2.1.3.3 Asistol
Asistol adalah tidak adanya aktivitas kelistrikan jantung dan
biaasanya hasil dari kegagalan pembentukan impuls di primer
(node senoatrial) dan standar (atrioventrikular node dan
miokardium ventrikel) lokasi alat pacu jantung. Asistol juga bisa
disebabkan oleh kegagalan penyebaran impuls ke miokardium
ventrikel dari jaringan atrium (Brady, et al, 2012).
a. Gambaran Klinis Asistol
Pada asistol gambaran dari elektrokardiogram menunjukkan
garis datar atau garis hampir rata. Mengombak minimal
gelombang yang dihasilkan dari elektrokardiografi pergeseran
awal dapat dilihat. Beberapa penyebab harus dihindari dalam
manifestasi asistolik, termasuk memantau kerusakan,
18
pemutusan lead elektrokardiografi, dan VF halus dengan
amplitudo minimal dalam menjelang pencitraan. Kesalahan
potensial terakhir dapat dideteksi dengan mengkonfirmasi
asostol dengan setidaknya dua lead yang berorientasi dalam
mode tegak lurus (Brady, et al, 2012).
Gambar 2.4 Asistol
b. Patofisiologi Asistol
Pasien dengan asistol umumnya telah mengalami serangan
jantung berkepanjangan, mungkin awalnya menunjukkan
gambaran salah satudari VT, VF atau PEA dan akhirnya
berdegenerasi menjadi penghentian aktivitas listrik jantung.
Asistol dapat terjadi karena akibat dari infak miokard yang
besar (Brady, et al, 2012).
2.1.4 Hambatan yang Terjadi Saat Melakukan Asuhan Keperawatan
Cardiac Arrest
Perawat ketika memberikan asuhan keperawatan kepada pasien yang
mengalami cardiac arrest yang terjadi di rumah sakit sering mengalami
beberapa hambatan sehingga mempengaruhi hasil yang diharapkan,
walaupun AHA 2015 telah memberikan guidline terkait alur penanganan
pasien cardiac arrest di rumah sakit sering ditemukan ketidak sesuaian
dengan guidline yang sudah ada. Menurut Morano C (2017)
mengungkapkan bahwa dalam proses asuhan keperawatan ketika seorang
19
perawat mengetahui adanya kejadian cardiac arrest pada pasien sering
ditemukannya kendala-kendala yang muncul. Morano menjabarkan
bahwa kesiapsiagaan dan keyakinan staf saat menghadapi kondisi
cardiac arrest dan sikap segera menolong untuk melakukan tindakan
memiliki dampak yang besar untuk mencapai outcome yang diinginkan.
Kemudian adanya fasilitas yang memadai terkait dengan adanya sistem
code blue yang berfungsi dengan baik merupakan salah satu indikator
keberhasilan dalam menolong pasien cardiac arrest. Morano
menjelaskan tentang adanya peningkatan keterampilan perawat terkait
dengan proses pertolongan pada pasien cardiac arrest yang dilakukan
secara berkala dapat mengoptimalkan hasil kualitas perawatan yang
diberikan. Sejalan dengan penelitian Maisyaroh et al (2015) tentang
penelitian studi fenomenologi interpretative terkait kebutuhan dan
hambatan saat melakukan resusitasi, dari penelitian ini diperoleh hasil 5
tema hambatan yang ada diantaranya tantangan personal yang memiliki
arti proses resusitasi tidak dapat berjalan dengan baik karena adanya
hambatan dari penolong itu sendiri yang dikarenakan adanya beban kerja
teralalu tinggi, kompetensi yang dimiliki perawat sangat minim serta
insufisiensi peningkatan kemampuan. Hambatan yang muncul
selanjutnya adalah keterbatasan fasilitas (sarana dan prasarana).
Terpenuhinya sarana dan prasarana yang memadai untuk memberikan
pertolongan pada pasien cardiac arrest sangat dibutuhkan serta
kemampuan perawat dalam mengaplikasikan alat tersebut juga
mendukung outcome pada pasien. Kompetensi perawat terkait dengan
adanya peningkatan kompetensi yang merupakan suatu cara untuk
menaikkan jenjang keahlian dalam melaksanakan resusitasi dengan cara
pelatihan resusitaasi dan adanya penyegaran secara berkala. Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hambatan yang muncul ketika
perawat menangani pasien cardiac arrest adalah kesiapsiagaan dan
20
keyakinan staf, adanya fassilitas terkait dengan code blue (sistem
komunikasi gawat darurat), keterampilan dan kompetensi perawat, sarana
dan prasarana yang memadai dan personal diri dari perawat.
2.2 Konsep Kegawatdaruratan
2.2.1 Definisi Gawat darurat
Menurut Permenkes RI Nomor 19 tahun 2016 pasal 1 yang memaparkan
gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan
tindakan medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan
kecacatan. Sejalan dengan American Heart Association (2015)
memaparkan kondisi gawat darurat atau emergency merupakan kondisi
yang terjadi secara mendadak dan sangat mengancam jiwa sehingga
harus segera diberikan pertolongan secara cepat, tepat dan benar.
Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan
medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih
lanjut (UU no 44 tahun 2009). Gawat darurat adalah suatu keadaan yang
terjadinya mendadak mengakibatkan seseorang atau banyak orang
memerlukan penanganan/pertolongan segera dalam arti pertolongan
secara cermat, tepat dan cepat. Apabila tidak mendapatkan pertolongan
semacam itu meka korban akan mati atau cacat/ kehilangan anggota
tubuhnya seumur hidup. (Saanin, 2016).
Keadaan darurat adalah keadaan yang terjadinya mendadak, sewaktu-
waktu/ kapan saja terjadi dimana saja dan dapat menyangkut siapa saja
sebagai akibat dari suatu kecelakaan, suatu proses medik atau perjalanan
suatu penyakit (Saanin, 2016). Pelayanan gawat darurat tidak hanya
memberikkan pelayanan untuk mengatasi kondisi kedaruratan yang di
alami pasien tetapi juga memberikan asuhan keperawatan untuk
mengatasi kecemasan pasien dan keluarga. Keperawatan gawat darurat
adalah pelayanan professional keperawatan yang diberikan pada pasien
21
dengan kebutuhan urgen dan kritis. Namun UGD dan klinik kedaruratan
sering digunakan untuk masalah yang tidak urgent , sehingga filosofi
tentang keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu
apapun yang dialami pasien atau keluarga harus di pertimbangkan
sebagai kedaruratan (Hati, 2011 dalam Saanin, 2016).
2.2.2 Pengertian Waktu Tanggap (Response Time)
Waktu tanggap pelayanan merupakan gabungan dari waktu tanggap saat
pasien tiba di depan pintu rumah sakit sampai mendapat tanggapan atau
respon dari petugas instalasi gawat darurat dengan waktu pelayanan
yaitu waktu yang di perlukan pasien sampai selesai. Waktu tanggap
dikatakan tepat waktu atau tidak terlambat apabila waktu yang
diperlukan tidak melebihi waktu rata-rata standar yang ada. (Haryatun
dan Sudarwanto, 2008).
Waktu Tanggap (respon time) adalah kecepatan dalam penanganan
pasien, dilakukan saat pasien datang sampai dilakukan penanganan
(Suhartati et al, 2011).
Respon time merupakan kecepatan dalam penanganan pasien, dihitung
sejak pasien datang sampai dilakukan penanganan (Suhartati et al 2011).
Waktu tanggap bagi pasien yaitu < 5 menit. Penanganan gawat darurat
ada filosofinya yaitu Time Saving its live saving. Artinya seluruh
tindakan yang dilakukan pada saat kondisi gawat darurat haruslah benar-
benar efektif dan efisein. Hal ini mengingatkan pada kondisi tersebut
pasien dapat kehilangan nyawa hanya dalam satu menit saja. Berhenti
nafas selama 2-3 menit pada manusia dapat menyebabkan kematian
yang fatal (Sutawijaya, 2009).
22
Menteri kesehatan pada tahun 2009 telah menetapkan salah satu prinsip
umumnya tentang penanganan pasien gawat darurat yang harus
ditangani paling lama 5 (lima) menit setelah sampai di IGD
(Kepmenkes, 2009).
2.2.3 Kode-kode Emergency di Rumah Sakit
2.2.3.1 Code Red
Adalah kode yang mengumumkan adanya ancaman kebakaran
di lingkungan rumah sakit (api maupun asap), sekaligus
mengaktifkan tim siaga bencana rumah sakit untuk kasus
kebakaran. Dimana tim ini terdiri dari seluruh personel rumah
sakit, yang masing-masing memiliki peran spesifik yang harus
dikerjakan sesuai panduan tanggap darurat bencana rumah
sakit. Misalnya; petugas teknik segera mematikan listrik di
area kebakaran, perawat segera memobilisasi pasien ke titik-
titik evakuasi, dan sebagainya.
2.2.3.2 Code Blue (Biru)
Adalah kode yang mengumumkan adanya pasien,keluarga
pasien, pengunjung, dan karyawan yang mengalami henti
jantung dan membutuhkan tindakan resusitasi segera.
Pengumuman ini utamanya adalah untuk memanggil tim
medis reaksi cepat atau tim code blue yang bertugas pada saat
tersebut, untuk segera berlari secepat mungkin menuju
ruangan yang diumumkan dan melakukan resusitasi jantung
dan paru pada pasien. Tim medis reaksi cepat (tim code blue)
ini merupakan gabungan dari perawat dan dokter yang terlatih
khusus untuk penanganan pasien henti jantung. Karena setiap
shift memiliki anggota tim yang berbeda-beda, dan bertugas
23
pada lokasi yang berbeda-beda pula (pada lantai yang berbeda
atau bangsal/ruang rawatan yang berbeda); diperlukan
pengumuman yang dapat memanggil mereka dengan cepat.
2.2.3.3 Code Pink (Merah muda)
Adalah kode yang mengumumkan adanya penculikan bayi/
anak atau kehilangan bayi/ anak di lingkungan rumah
sakit.Secara universal, pengumuman ini seharusnya diikuti
dengan lock down (menutup akses keluar-masuk) rumah sakit
secara serentak.Bahkan menghubungi bandar udara, terminal,
stasiun dan pelabuhan terdekat untuk kewaspadaan terhadap
bayi korban penculikan.
2.2.3.4 Code Black (Hitam)
Adalah kode yang mengumumkan adanya ancaman orang
yang membahayakan (ancaman orang bersenjata atau tidak
bersenjata yang mengancam akan melukai seseorang atau
melukai diri sendiri), ancaman bom atau ditemukan benda
yang dicurigai bom di lingkungan rumah sakit dan ancaman
lain. Dalam hal adanya ancaman terhadap seseorang (orang
bersenjata atau tidak bersenjata yang mengancam akan
melukai seseorang atau melukai diri sendiri)
2.2.3.5 Code Brown (Coklat)
Adalah kode yang mengumumkan pengaktifan evakuasi
pasien, pengunjung dan karyawan rumah sakit pada titik-titik
yang telah ditentukan. Pada intinya, menginisiasi tim evakuasi
untuk melaksanakan tugasnya.
2.2.3.6 Code Orange (Oranye)
Adalah kode yang mengumumkan adanya insiden yang terjadi
di luar rumah sakit (emergency eksternal) misalnya
24
kecelakaan massal lalulintas darat, laut, dan udara; ledakan,
banjir, kebakaran, gempa bumi, tsunami, dan lain-lain.
2.2.3.7 Code Yellow (Kuning)
Adalah kode yang mengumumkan adanya situasi krisis
internal (emergency internal) rumah sakit yang meliputi:
kebocoran atau dugaan kebocoran gas termasuk gas elpiji,
kebocoran dan tumpahan bahan kimia dan atau bahan
berbahaya, kegagalan sistem vital seperti kegagalan back-up
daya listrik, boks pembagi daya listrik, seseorang
terjebak/terjerat, banjir, insiden radiasi, dan lain-lain.
2.3 Konsep Code Blue
2.3.1 Definisi code blue
Code blue adalah kode panggilan yang menandakan adanya kondisi
kegawatdaruratan pasien (Henti Nafas dan Henti Jantung). Kode ini
sudah digunakan sejak tahun 2010 dalam guideline AHA, dan diperkuat
dengan guideline AHA 2015.
Code Blue adalah kode warna sistem manajemen darurat rumah sakit yang
menandakan adanya seorang pasien yang sedang mengalami serangan
jantung (Cardiac Arrest) atau mengalami situasi gagal nafas akut
(Respiratory Arrest). Dan situasi darurat lainnya yang menyangkut dengan
nyawa pasien dan membutuhkan intervensi medis darurat agar terciptanya
stabilisasi situasi darurat medis yang terjadi dalam wilayah rumah sakit
(Ghamdi, Essawy, & Qahtani, 2014).
25
Sistem Code Blue dibentuk untuk memastikan bahwa semua keadaan darurat
di rumah sakit telah disediakan penanganan dengan resusitasi dan stabilisasi
dengan respon waktu yang segera. Sistem respon ini terbagi dalam 2 tahap.
Yaitu tanggapan awal (responden pertama) harus selalu dari petugas rumah
sakit yang berada di sekitarnya. Dimana petugas rumah sakit dilatih dengan
keterampilan Basic Life Support (BLS), dan tanggapan kedua (responder
kedua) dari tim khusus dan terlatih dari departemen diidentifikasi oleh pihak
berwenang rumah sakit. Ditunjang dengan peralatan Basic Life Support
(BLS) ditempatkan pada lokasi strategis rumah sakit untuk memungkinkan
respon cepat (Eroglu, Onur, Urgan, Denizbasi, & Akoglu, 2014).
Code blue merupakan salah satu kode prosedur emergensi yang harus
segera diaktifkan jika ditemukan seseorang dalam kondisi
cardiaerespiratory arrest di dalam area rumah sakit. code blue response
team atau tim code blue adalah suatu tim yang dibentuk oleh rumah sakit
yang bertugas merespon kondisi code blue didalam area rumah sakit. Tim
ini terdiri dari dokter dan perawat yang sudah terlatih. Henti jantung
merupakan salah satu penyebab panggilan code blue di rumah sakit.
Henti jantung di rumah sakit biasanya didahului oleh tanda-tanda yang
dapat diamati, yang sering muncul 6 sampai dengan 8 jam sebelum henti
jantung terjadi. (Duncan & McMullan, 2012).
Proses Code Blue menekankan pada rantai kelangsungan hidup (the chain of
survival) diantaranya yang pertama adalah mendeteksi segera kondisi korban
dan meminta pertolongan (early access), rantai kedua adalah resusitasi
jantung paru (RJP) segera (early cardiopulmonary resuscitation), rantai
ketiga adalah defibrilasi segera (early defibrillation), rantai keempat adalah
tindakan bantuan hidup lanjut segera (early advanced cardiovascular life
26
support) dan rantai kelima adalah perawatan paska henti jantung (post
cardiac-arrest care) (Leon, Ricardo, Stephen, & Mary, 2011).
2.3.2 Tujuan Code Blue
Berdasarkan manajemen kegawatdaruratan di rumah sakit Sultanah Aminah
Johor Bahru menyatakan bahwa, tujuan dari code blue adalah (Saed &
Mohd, 2017) :
2.3.2.1 Untuk menyediakan penanganan resusitasi dan stabilisasi korban
gawat darurat yang mengalami permasalahan cardio-respiratory
dan kejadian gawat darurat lainnya dalam lingkungan rumah sakit.
2.3.2.2 Untuk membentuk tim terlatih yang dapat digunakan untuk
penanganan cepat dari rumah sakit.
2.3.2.3 Untuk memulai pelatihan keterampilan Basic Life Support (BLS) dan
penggunaan Automated defibrillator eksternal (AED) untuk semua
staf rumah sakit yang berbasis klinis atau non klinis.
2.3.2.4 Untuk memulai penempatan peralatan Basic Life Support (BLS) di
berbagai lokasi strategis di dalam lingkungan rumah sakit untuk
memfasilitasi respon cepat untuk keadaan gawat darurat
2.3.2.5 Untuk mesmbuat rumah sakit aman dan siap tanggap untuk keadaan
gawat darurat
2.3.3 Organisasi Code Blue
Code Blue Team (CBT) adalah tim yang terdiri dari dokter dan paramedis
yang ditunjuk sebagai "Code-team", yang secara cepat ke pasien untuk
melakukan tindakan penyelamatan. Tim ini menggunakan crash-cart,
kursi roda/tandu, alat - alat penting seperti defibrilator, peralatan intubasi,
suction, oksigen, ambubag, obat-obatan resusitasi (adrenalin, atropin,
lignocaine) dan IV set untuk menstabilkan pasien (Saed & Mohd, 2017).
27
Code Blue Team merupakan tim yang selalu tersedia sepanjang waktu
dan cepat tanggap dalam menanggapi keadaan gawat darurat. Dimana
Code Blue Team primer merupakan tim yang berisikan anggota tim yang
telah menguasai pelatihan Basic Life Support (BLS). Code Blue Team
terdiri dari 3 sampai 4 anggota antara lain (RS Islam Jemursari, 2015):
2.3.3.1 Koordinator tim Dijabat oleh dokter ICU/NICU yang bertugas
mengkoordinir segenap anggota tim. dengan Kualifikasi:
a. Memiliki SIP yang masih berlaku.
b. Memiliki ATLS atau ACLS.
c. Memiliki kewenangan klinis dalam hal kegawatdaruratan
medis
2.3.3.2 Penanggung Jawab Medis yang dijabat oleh dokter jaga/ dokter
ruangan yang bertugas untuk mengidentifikasi awal /triage
pasien, memimpin penanggulangan pasien saat terjadi
kegawatdaruratan, memimpin tim saat pelaksanaan RJP dan
menentukan sikap selanjutnya.
2.3.3.3 Perawat pelaksana dimana tugasnya antara lain bersama dokter
pemanggungjawab medis melakukan triage pada pasien dan
membantu dokter penanggungjawab medis menangani pasien
gawat darurat.
2.3.3.4 Tim resusitasi didalamnya terdapat perawat terlatih dan dokter
ruangan /dokter jaga dimana tugasnya memberikan bantuan
hidup dasar kepada pasien gawat darurat, melakukan resusitasi
jantung paru kepada pasien gawat darurat
2.3.3.5 Setiap anggota Code Blue Team akan memiliki tanggung jawab
yang ditunjuk seperti pemimpin tim, manajer airway, kompresi
dada, IV line, persiapan obat dan defibrilasi. Setiap anggota
tim yang ditunjuk harus membawa hand phone
2.3.3.6 Koordinator Tim
28
a. Perawat Pelaksana :
1. Perawat IGD
2. Perawat IRI
3. Penata Anestesi
b. Tim Resusitasi :
1. Perawat Terlatih
2. Penanggung Jawab Medis
3. Doker Jaga IGD
2.3.4 Komponen tim resusitasi dalam code blue system
Secara prinsip terdapat 3 komponen petugas yang berperan utama pada
resusitasi dengan kegawatdaruratan dirumah sakit terdiri dari:
2.3.3.1 Petugas non medis terlatih,
Petugas non medis dengan keterampilan bantuan hidup dasar
dan aktivasi system code blue.
2.3.3.2 Tim medis primer
Petugas medis dengan kemampuan bantuan hidup dasar dan
lanjut serta merupakan personel/tim medis yang pertama kali
menjumpai melakukan resusitasi pada korban kritis/henti napas
atau henti jantung. Tim code blue primer yang terdiri dari :
a. Perawat yang telah bersertifikasi PPGD/BTCLS dengan atau
tanpa dokter
b. Satu tim code blue primer beranggota 3 orang dengan peran
sebagai berikut:
c. Pemimpin dan pengatur jalan nafas dan pemberi nafas
(ventilator)
d. Petugas pijat jantung luar (kompresor)
e. Petugas sirkulator.
29
Setiap hari Koordinator membagi jadwal tugas tim code
blue primer dan menuliskan di papan code blue.
2.3.3.3 Tim Medis Sekunder
Petugas medis dengan komponen dokter dan perawat dengan
kemampuan dalam assessment pasien kritis dan bantuan lanjut
termasuk advance airway-breathing management dan didukung
dengan peralatan yang lebih lengkap, obat-obatan emergency
termasuk penggunaan defibrillator.
Satu tim code blue sekunder beranggotakan : 1 dokter dan 2
perawat atau 3 perawat dengan peran sebagai berikut
a. Satu dokter/perawat sebagai ventilator sekaligus pemimpin
b. Satu perawat tugas sebagai defibrilator dan kompresor
c. Satu perawat tugas sebagai sirkulator, obat, akses vena
d. Peran bisa bergantian, setiap hari koordinator membagi
jadwal tugas tim code blue sekunder dan menuliskan pada
papan code blue sekunder di ruang Rawat Inap.
(Pedoman early warning system dan code blue, 2017)
2.3.5 Algoritma Code Blue
Algoritma Code Blue merupakan urutan atau langkah-langkah dalam
menanggapi kejadia Code Blue yang terjadi adapun Algoritma Code Blue
antara lain (Saed & Mohd, 2017) :
2.3.5.1 Ditemukan pasien Cardiac/Respiratory arrest
2.3.5.2 Staff rumah sakit memanggil pertolongan dan mengaktifasi alarm
atau menghubungi nomor telepon Code Blue Team
2.3.5.3 Penolong pertama terlebih dahulu melakukan BLS/CPR bila
memiliki skill yang mumpuni sampai Code Blue Team datang. Jika
tidak mampu melakukan BLS/CPR tunggu pertolongan datang dan
amankan pasien
30
2.3.5.4 Setelah aktifasi Code Blue, petugas yang bertugas di sekitar tempat
kejadian bergegas menuju lokasi dengan membawa alat resusitasi
2.3.5.5 Setelah Code Blue Team datang, Code Blue Team akan mengambil
/alih resusitasi dan RJP dilanjutkan dan mendokumentasikan
semua kegiatan yang dilakukan
2.3.5.6 Pindahkan pasien secepat mungkin setelah pasien stabil untuk
mendapatkan perawatan lebih lanjut, jika resusitasi berhasil atau
korban meninggal di tempat, pasien tetap harus dipindahkan untuk
mendapat perawatan lebih lanjut atau konfirmasi kematian.
2.3.6 Komponen fasilitas sarana dan prasarana
Sarana dan prasaranan dapat didifinisikan sebagai segala sesuatu yang
merupakan penunjang utama terselenggaranya sutu proses dan segala
sesuatu yang sapat dipakai sebagai alat atau media dalam mencapai
maksud dan tujuan suatu tindakan dalam penanganan cardiac arrest
(ENA, 2018).
Keberhasilan dalam penanganan cardiac arrest tergantung dari SDM,
sarana, dan prasarana untuk menunjang aktivitas preventif, promotif,
kuratif, dan rehabilitatif pada tatanan pelayanan kesehatan primer
(Depkes, 2009). Outcome dari penatalaksanaan cardiac arrest akan
sangat dipengaruhi oleh pengenalan awal dari tanda-tanda henti jantung
serta penanganan resusitasi yang dapat diberikan oleh petugas tenaga
kesehatan seperti perawat atau bidan. Petugas kesehatan harus dibekali
dengan kemampuan pelayanan gawat darurat dasar untuk menunjang
sistem pelayanan kesehatan yang optimal (Kleinman et al., 2015).
Sarana dan prasaran adalah bagian dari suatu alat penunjang yang
mendukung suatu tindakan yang mempunyai perana yang sangat besar
31
sehingga apabila alat sarana dan prasarana yang tidak memadai akan
mendapatkan hasil yang tidak baik. Sarana dan prasarana wajib ada
disetiap tindakan sehingga dapat memperlancar kegiatan yang dilakukan.
(Koster et al., 2010)
Semua peralatan di dalam melaksanakan tindakan code blue harus
lengkap dan tersedia kapanpun bila diperlukan sehingga tindakan dapat
berjalan lancar. Sarana dan prasarana suatu sistem tidak akan berubah
apabila tidak mendapat perbaharuan atau dilengkapi sesuai dengan
regulasi pengadaannya dan yang akan berubah fungsi dan kwalitasnya
(Neumar et al., 2010).
Fenomena lain yang ditemukan dalam penatalaksanaan cardiac arrest
adalah petugas kesehatan sering merasa kesulitan dalam mengenali tanda
tanda dari cardiac arrest. Pada umumnya, perawat jaga di ruang rawat
inap sering menyalahartikan agonal gasping sebagai napas normal dalam
40 persen kejadian cardiac arrest hal ini dapat mengakibatkan
keterlambatan dalam menginisiasi resusitasi (Price et al., 2012).
Situasi akan dirasakan perawat dan dokter dapat mempengaruhi proses
pengambilan keputusan, meningkatkan stress kerja serta menyebabkan
tim kesehatan mengalami kelelahan fisik dan emosi. Perawat atau bidan
yang memberikan pelayanan gawat darurat di rumah sakit sangat
membutuhkan pendidikan dan pelatihan yang mendukung dalam proses
pelayanan sehingga kompetensinya dapat diakui. Kapasitas dari sebuah
fasilitas pelayanan kesehatan akan ditentukan dari faktor sumber daya
manusia seperti jumlah dan komposisi tenaga kesehatan, serta jenis
pelatihan yang pernah diikuti maupun faktor sarana prasarana mencakup
32
bangunan fisik, obat-obatan, alat kesehatan, serta perlengkapan khusus
sesuai kebutuhan (Kleinman et al., 2015).
2.3.7 Tipe dan Pola code blue System
2.3.5.1 Sentralisasi
Tim code blue siap dan stanby di satu tempat, bekerja jika terjadi
code blue.
2.3.5.2 Gedung terpisah
Satu dokter (dan perawat) jaga Stanby di satu tempat secara
bergantian, bekerja saat terjadi code blue. Tim code blue lain ada
di setiap gedung.
2.3.5.3 Satu atap
Tim code blue terdiri dari dokter dan perawat yang sedang
berjaga (shift) dalam menangani code blue. Jadwal tugas
dbergantian. Tugas – sesuai dengan keahlian masing-masing
anggota.
2.3.8 Tata Laksana Sistem Code Blue
Menurut Seed dan Amin (2011) Sebuah respon code blue untuk seluruh
daerah Rumah Sakit tidak dapat ditangani oleh Unit Gawat Darurat
(UGD) sendiri karena kesulitan jarak dan lokasi yang tidak terjangkau
padahal idealnya waktu antara aktivasi code blue sampai kedatangan
code blue team adalah 5 menit. Sehingga diharapkan setiap region rumah
sakit mempunyai tim yang dapat melakukan BLS awal sambil menunggu
kedatangan tim code blue rumah sakit untuk meningkatkan harapan hidup
pasien. Tim dibentuk dengan ketentuan tiap tim terdiri dari 3 sampai 5
anggota yang terlatih dalam BLS. Peralatan resusitasi darurat yang
33
mudah untuk dibawa, harus ditempatkan di lokasi strategis di seluruh
kawasan rumah sakit terutama di daerah di mana probabilitas tinggi
terjadi kondisi darurat medis atau di mana tim rumah sakit telah dilatih
dalam keterampilan BLS. Setidaknya satu kit resusitasi dasar harus
ditempatkan di setiap area kerja satu departemen sehingga tim dapat
dengan cepat memobilisasi dan memanfaatkan peralatan resusitasi. Jika
tersedia peralatan resusitasi yang lebih maka efektifitas dan waktu respon
dari code blue tim akan lebih baik dan harapan hidup pasien meningkat.
Hal ini sama pentingnya bahwa semua personil rumah sakit, terutama
tenaga non-dokter dan non-medis, dilatih BLS sehingga mereka juga
dapat memberikan resusitasi awal kehidupan (CPR) di lokasi kejadian
sambil menunggu respon primer atau code blue tiba, dengan demikian
juga meningkatkan kemungkinan hasil yang baik bagi para korban
darurat medis. Pelatihan tim rumah sakit dalam keterampilan BLS dan
penggunaan AED juga dapat dilakukan oleh ETD.
2.3.6.1 Fase code blue
a. Alert System
Harus ada sistem yang baik dan terkoordinasi di tempat yang
digunakan untuk mengaktifkan peringatan terjadinya keadaan
darurat medis dalam lingkup rumah sakit kepada anggota tim
code blue. Sistem telepon yang ada akan digunakan.
Jika terjadi keadaan darurat medis, personil rumah sakit di
mana saja dalam lingkup rumah sakit tersebut dapat
mengktifkan respon dari code blue lewat telepon untuk
bantuan dan pengaktifan.
1) Local Alert
Tergantung pada mekanisme yang dibuat oleh Zone
Coordinator, contoh:
a) Pengumuman melalui sistem PA
34
b) Menampilkan nama-nama tim code blue primer lokasi
strategis di zona mereka
c) Setelah kasus code blue terjadi, Tim Primer harus
meninggalkan pekerjaannya dan mengambil tas code
blue dan bergegas ke lokasi dan memulai CPR / BLS.
2) Hospital Alert
Nomor telepon code blue. Pusat Panggilan
Kegawatdaruatan Medis:
a) Prioritas 1: Untuk mengaktifkan team code blue
sekunder dari ETD 2.
b) Prioritas 2: Untuk memeriksa (sebagai jaring
pengaman kedua) pengaktifan team code blue primer.
Anggota tim respon code blue primer yang telah ditentukan di
sekitar tempat terjadinya kegawatdaruatan medis akan
menanggapi situasi code blue sesegera mungkin. Anggota tim
akan memobilisasi alat resusitasi mereka dan bergegas ke
lokasi darurat medis. Tim ETD code blue juga akan
menanggapi situasi code blue. Jika semua tim tidak yakin
apakah lokasi darurat medis tersebut tercakup di daerah
cakupan mereka, mereka tetap harus merespon alarm 'code
blue' . Standar layanan untuk durasi waktu yang dibutuhkan
antara menerima pesan 'code blue' (code blue aktivasi) dan
kedatangan tim code blue di lokasi kejadian adalah 5 sampai
10 menit. Standar layanan akan diberi batas waktu dan dikaji
kinerja dan pemeriksaan jaminan kualitas untuk menentukan
‘perangkap’ dalam sistem peringatan dan menjaga efisiensi
dan penyebaran cepat dari tim code blue.
b. Intervensi Segera di Tempat Kejadian
35
Tim di tempat kejadian darurat medis (pasien tidak sadar atau
dalam cardiac dan respiratory arrest) telah terjadi memiliki
tanggung jawab untuk meminta bantuan lebih lanjut, memulai
resusitasi menggunakan pedoman Basic Life Support (BLS)
dan keterampilan ALS dan peralatan jika cukup terlatih dan
lengkap:
1) Nomor tim code blue Rumah Sakit/ nomor MECC
ditempatkan di bangsal, departemen, divisi, unit, kantor,
lobi lift, koridor, kantin, taman, tempat parkir, dll trotoar
dan lokasi lain di dalam halaman rumah sakit.
2) Personil rumah sakit yang menemukan korban harus
mengaktifkan pemberitahuan lokal untuk tim code blue
primer atau seseorang menginstruksikkan mereka untuk
melakukannya, mereka juga harus meminta bantuan lebih
lanjut dari tim terdekat jika tersedia.
3) Pada saat yang sama, aktivasi pemberitahuan rumah sakit
harus dilakukan dengan menghubungi nomor code blue
rumah sakit.
4) Pihak yang bertanggung jawab atau bertanggung jawab
atas daerah tertentu (misalnya dari ruangan lain) juga
harus diberitahu untuk datang ke lokasi segera.
5) Sementara menunggu kedatangan tim utama menanggapi
code blue jika tersedia tim yang terlatih untuk BLS,
mereka harus memulai BLS (posisi airway, bantuan
pernapasan, kompresi dada dan lain-lain.
6) Jika tidak ada tim yang terlatih BLS, tim yang ditempat
kejadian harus menunggu bantuan yang berpengalaman
dan menjaga lokasi dari kerumunan orang.
36
7) Jika monitor jantung, defibrillator manual atau
defibrillator eksternal otomatis (AED) tersedia, peralatan
ini harus melekat kepada pasien untuk menentukan
kebutuhan defibrilasi, fase ini dilakukan oleh tim yang
berpengalaman atau tim terlatih dalam Alert Cardiac Life
Support (ACLS).
8) Setiap departemen, divisi, atau unit bangsal harus
berusaha untuk memastikan bahwa tim mereka dilatih
dalam setidaknya keterampilan BLS dan mereka
dilengkapi dengan resusitasi kit atau troli, setidaknya
peralatan resusitasi dasar dan ditempatkan di lokasi
strategis. Tim dari masing-masing ruangan akan
bertanggung jawab untuk pemeliharaan resusitasi kit
mereka.
9) Jika korban berhasil disadarkan/dihidupkan kembali
sambil menunggu kedatangan tim respon code blue tim
dilokasi harus menempatkan pasien dalam posisi
pemulihan dan monitor tanda-tanda vital.
10) Semua kasus code blue harus mengirim ke ETD untuk
evaluasi lebih lanjut dan manajemen terlepas hasilnya.
c. Kedatangan team code blue
1) Setelah anggota tim code blue menerima aktivasi code
blue mereka harus menghentikan tugas mereka saat ini,
mengambil resusitasi kit (tas peralatan) mereka dan
bergegas ke lokasi darurat medis dengan berjalan kaki.
2) Mereka harus mengerahkan diri mereka sendiri dengan
cepat dan lancar dan menggunakan rute terpendek yang
tersedia.
37
3) Waktu respon (layanan standar) dari waktu dari code blue
call/ aktivasi kedatangan tim code blue di tempat kejadian
akan disimpan .Akan ada saat ketika ETD / Kedatangan
Sekunder tim code blue adalah penundaan karena
berbagai alasan, sehingga kebutuhan untuk tim code blue
untuk tidak hanya terdiri dari tim ETD tetapi juga tim dari
departemen yang lebih strategis atau dekat. Selanjutnya,
sangat penting bahwa setiap tenaga medis di lokasi
kejadian mulai langkah BLS.
4) Jika korban masih dalam cardiac atau respirator arrest
ketika tim respon code blue tiba di lokasi, tim akan
mengambil alih tugas resusitasi; tim di lokasi kejadian
harus tinggal di sekitar untuk memberikan bantuan
tambahan jika diperlukan.
5) Setiap kasus code blue akan kirim ke ETD terlepas kondisi
pasien baik untuk mempertahankan kembalinya sirkulasi
spontan (ROSC) atau tidak. Dalam disposisi, ETD pasien
akan diputuskan setelah integrasi pasca perawatan
serangan jantung.
d. Perawatan Definitif
1) Keadaan darurat medis yang terjadi di setiap daerah baik
klinis atau non-klinis dan baik melibatkan rawat inap atau
rawat jalan (umum) akan dihadiri oleh para tim tanggap
code blue pasien ini akan diangkut ke ETD untuk
resusitasi lanjut dan perawatan definitif dimana tempat-
tempat ini biasanya tidak memiliki infrastruktur yang
memadai dan peralatan untuk perawatan lanjutan.
38
2) Jika resusitasi tidak berhasil (korban meninggal di TKP),
korban masih perlu ditransfer ke ETD untuk dokumentasi
lebih lanjut atau konfirmasi kematian.
3) Setiap kasus code blue akan menerima perawatan definitif
setelah perawatan pasca integrasi serangan jantung dan
diskusi dalam ETD
e. Peralatan dan pelatihan
1) Semua tingkat tim rumah sakit harus cukup terlatih
setidaknya dalam BLS dan penggunaan AED.
2) AED dan resusitasi kit dasar harus ditempatkan di
berbagai daerah di dalam halaman rumah sakit dan mudah
diakses bagi tenaga medis dan tim code blue untuk
digunakan.
3) Lokal /code blue primer (zona risiko rendah) tim
peralatan:
a) Sarung tangan
b) Pocket mask
c) Guedel / jalan napas orofaringeal
d) Tas / kotak pertama bantuan
4) Dasar peralatan yang dibutuhkan oleh code blue team
zona risiko tinggi dan ETD / sekunder tim tanggap :
a) Kesedian tempat ruang intensive
b) Trolley emergency
c) Personal Kit (defribilator, stetoskop, tensi meter,senter)
d) Emergency medical kit (Airway dan breathing
management support, laringoscope set lengkap, suction,
ambubag, BVM, ETT, OPA, NPA, oksigen)
e) Set intubasi
f) Obat-obatan emergency
39
g) Pacemaker
h) EKG
i) Circulation support (set infus, nedle intra oseus,
venocath)
j) Minor surgery set lengkap
5) Lanjutan pelatihan BLS dapat diperoleh melalui komite
CPR Ketika muncul code blue tim dokter dan paramedis
yang ditunjuk sebagai "code-team", bergegas ke pasien
untuk melakukan tindakan penyelamatan. Tim ini
menggunakan crash-cart, kursi roda / tandu, yang berisi
alat - alat penting seperti defibrilator, peralatan intubasi,
suction, oksigen, ambubag, obat-obatan resusitasi
(adrenalin, atropin, lignocaine) dan IV set untuk
menstabilkan pasien. Tim akan mempraktekkan
keterampilan BLS dan Advanced Cardiac Life Support
(ACLS) untuk resusitasi pasien. Peralatan resusitasi
diletakkan di area yang sering membutuhkan bantuan
resusitasi sehingga bila code blue muncul tim yang
ditunjuk sebagai code blue. Tim akan segera dapat
mengakses peralatan tersebut. Jika code blue disebut di
suatu daerah tanpa crash-cart , tim yang ditunjuk code
blue akan membawa crash-cart atau kit resusitasi.
2.3.6.2 Komunikasi
Tersedia Medical Emergency Call Centre (MECC) yaitu
panggilan khusus yang mengaktifkan tim code blue Respon
Primer.
40
2.3.6.3 Koordinasi dengan ruangan lain panggilan akan diperoleh dari
ruangan lain yang tidak memiliki tim tanggap darurat. Jika tidak
ada rencana tanggap darurat di tempat, ETD akan mendapatkan
panggilan mengenai kebutuhan mereka untuk perawatan medis
darurat dan berkoordinasi dengan mereka tentang bagaimana
untuk mendirikan tanggap darurat medis menggunakan system
code blue.
2.3.9 Manajemen paska resusitasi
Tentukan Level of care pasien (LOC), transport ke area yang sesuai
2.3.7.1 Pasien dengan LOC (0) yaitu pasien dengan kondisi stabil
dilakukan perawatan di bangsal umum.
2.3.7.2 Pasien dengan LOC (1) yaitu pasien dengan potensial penurunan
kondisi tetapi masih cukup stabil dilakukan perawatan di bangsal
umum dengan pengawasan khusus dari tim spesialis.
2.3.7.3 Pasien dengan LOC (2) pasien yang memerlukan observasi ketat
dan intervensi termasuk support untuk single organ dilakukan
perawatan di ICU/ICCU/PICU
2.3.7.4 Pasien dengan LOC (3) yaitu pasien dengan support pernapasan
lanjut atau support pernapasan dasar dengan sekurang-kurangnya
support 2 organ sistem lainnya dilakukan perawatan di bangsal
perawatan intensif.
2.3.7.5 Pasien dengan problem stadium terminal/DNR (do not
resuscitate) dilakukan perawatan lanjutan sesuai SOP pasien
paliatif
41
2.3.10 Alur Aktivasi Code Blue
Gambar 2.5 Alur aktivasi code blue
Petugas Primer/ Awam
terlatih Menemukan
Pasien dengan Kriteria
CODE BLUE
Aktivasi CODE BLUE
Gedung..Lantai..Ruang..
Operator Melakukan
Paging CODE BLUE
Pasien ROSC/ Sadar Kembali
Tim Sekunder datang
melakukan ACLS
Lapor ke Operator Kode Biru…
zona? Selesai
Apakah Korban
adalah Pasien
yang dirawat
YA
TIDAK MASUK UGD
MASUK ICCU
42
2.4 Standar Prosedur Operasional (SPO)
2.4.1 Pengertian Standar Prosedur Operasional (SPO)
Setiap perusahaan bagaimanapun bentuk dan apapun jenisnya,
membutuhkan sebuah panduan untuk menjalankan tugas dan fungsi
setiap elemen atau unit perusahaan. Standar Prosedur Operasional (SPO)
adalah sistem yang disusun untuk memudahkan, merapihkan dan
menertibkan pekerjaan. Sistem ini berisi urutan proses melakukan
pekerjaan dari awal sampai akhir.
Menurut Sailendra (2015) menyatakan “Standard Operating Procedure
(SOP) merupakan panduan yang digunakan untuk memastikan kegiatan
operasional organisasi atau perusahaan berjalan dengan lancar.
Menurut Hartatik (2014) Standard Operating Procedure (SOP) adalah
satu set instruksi tertulis yang digunakan untuk kegiatan rutin atau
aktivitas yang berulang kali dilakukan oleh sebuah organisasi.
2.4.2 Jenis-Jenis Standar Prosedur Operasional (SPO)
43
2.4.3 Tujuan dan Manfaat Standar Prosedur Operasional (SPO)
Pada dasarnya, tujuan utama dari penyusunan SPO adalah untuk
mempermudah setiap proses kerja dan meminimalisir adanya kesalahan
di dalam proses pengerjaannya. SPO dibuat untuk menjadikan setiap
pekerjaan bisa bekerja dengan efektif dan efisien. Sedangkan manfaatnya
SPO bisa mempengaruhi bertahan atau tidaknya sebuah perusahaan.
Menurut Sailendra (2015:170), berikut tujuan dan manfaat adanya SPO
bagi perusahaan.
2.4.3.1 Tujuan :
a. Menjaga konsistensi kerja setiap petugas, pegawai, tim dan
semua unit kerja.
b. Memperjelas alur tugas, wewenang serta tanggung jawab
setiap unit kerja.
c. Memudahkan proses pemberian tugas serta tanggung jawab
kepada pegawai yang menjalankannya.
d. Memudahkan proses pengontrolan setiap proses kerja.
e. Memudahkan proses pemahaman staf secara sistematis dan
general.
f. Memudahkan dan mengetahui terjadinya kegagalan,
ketidakefisiensian proses kerja, serta kemungkinan-
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kewenangan
pegawai.
g. Menghindari kesalahan-kesalahan proses kerja.
h. Menghindari kesalahan, keraguan, duplikasi dan inefisiensi.
i. Melindungi organisasi atau unit kerja dari berbagai bentuk
kesalahan administrasi.
j. Memberikan keterangan tentang dokumen-dokumen yang
dibutuhkan
44
k. dalam suatu proses kerja, dan Menghemat waktu dalam
program training, karena Standar Prosedur Operasional
(SPO) tersusun secara sistematis.
2.4.3.2 Manfaat :
a. Menjaga konsistensi dalam menjalankan suatu prosedur
kerja.
b. Menjadi salah satu alat training dan juga alat ukur kinerja
karyawan.
c. Mengetahui peran dan posisi masing-masing di internal
perusahaan.
d. Meminimalisir kesalahan dalam melakukan pekerjaan.
e. Sarana mengendalikan dan mengantisipasi apabila terdapat
suatu perubahan sistem.
f. Membantu dalam melakukan evaluasi terhadap setiap proses
operasional perusahaan.
g. Memberikan efisiensi waktu, karena semua proses kerja
sudah terstruktur dalam sebuah dokumen tertulis.
h. Sarana untuk mengomunikasikan pelaksanaan suatu
pekerjaan.
i. Sebagai suatu acuan dalam melakukan penilaian terhadap
proses layanan.
j. Memudahkan tahapan pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat
k. sebagai konsumen dilihat dari sisi kesederhanaan pelayanan.
l. Pegawai menjadi lebih mandiri dan tidak tergantung pada
intervensi manajemen.
m. Mengurangi tingkat kesalahan dan kelalaian yang mungkin
dilakukan pegawai dalam melaksanakan tugas.
45
n. Menjadi alat komunikasi antara pelaksana dan pengawas
dan menjadikan pekerjaan diselesaikan secara konsisten
o. Para karyawan akan lebih percaya diri dalam bekerja dan
tahu apa yang harus dikerjakan.
p. Karyawan akan memberikan pelayanan dengan sungguh-
sungguh, terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai
ketentuan yang berlaku.
q. Dapat digunakan sebagai daftar yang digunakan secara
berkala oleh pengawas ketika diadakan audit.
r. Mengurangi beban kerja dan dapat meningkatkan
comparability, credibility dan defensibility.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa
penerapan SPO dalam setiap unit kerja di perusahaan memiliki
peran strategis yang sangat unggul. Ini karena akan
menyebabkan peningkatan efisiensi pada setiap proses kerja
dalam setiap unit kerja perusahaan
2.4.4 Aktifasi Tim Kode Biru (Code Blue)
2.4.4.1 Pengertian
Adalah cara mengaktifkan tim code blue untuk memberikan
pertolongan pasien dengan code blue.
Code Blue System merupakan strategi pencegahan kejadian
henti jantung, aktivasi sistem emergency dan resusitasi
kegawatan dan kejadian henti jantung di rumah sakit, yang
melibatkan seluruh komponen sumber daya manusia (medis dan
non medis), sarana (peralatan dan obat-obatan), sistem (SOP)
serta mekanisme kontrol dan evaluasi.
46
2.4.4.2 Tujuan
a. Tercapainya pelayanan yang cepat dan tepat
b. Menurunkan angka kematian
c. Mengenali kegawatan dan mencegah kejadian henti jantung
di rumah sakit
d. Menjamin resusitasi yang optimal pada pasien dengan
kegawatan
e. Menjamin tindakan bantuan hidup dasar dan lanjut
dilakukan secara cepat dan efektif pada korban henti jantung
f. Perawatan paska henti jantung yang optimal.
top related