bab 2 sejarah dan konteks - binus library · 2020. 5. 30. · 15 bab 2 sejarah dan konteks...
Post on 09-Feb-2021
18 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
15
BAB 2
SEJARAH DAN KONTEKS
Penetapan batas ZEE di wilayah tumpang tindih antara Indonesia dan Filipina
di utara Laut Sulawesi telah dirundingkan sejak tahun 1994 sampai 2014. Selama 20
tahun, banyak rintangan dan hambatan dalam pemyelesaian penetapan garis batas
ZEE Indonesia dan Filipina, mulai dari kondisi kewilayahan di wilayah garis batas
ZEE tersebut sampai tingkat visibilitas isu di masyarakat domestik dan petinggi
negara di kedua belah pihak. Dinamika penetapan garis batas ZEE antara Indonesia
dan Filipina sempat mengalami kondisi dimana negara lebih mementingkan
permasalahan yang lain terlebih dahulu dibandingkan dengan masalah yang sedang
dirundingkan (dormant) sampai akhirnya dinamika penetapan garis batas ZEE di
wilayah tersebut dapat terselesaikan secara damai (peacefully resolved). Sehubungan
hal tersebut, Penulis akan menjelaskan sejarah hubungan antara Indonesia dan
Filipina hingga sengketa tersebut akhirnya dapat terselesaikan dengan damai.
2.1 Sejarah Hubungan antara Indonesia dan Filipina
Di masa lalu, dikatakan bahwa laut itu tidak boleh dikuasai oleh siapapun (Mare
Liberum). Namun kemudian keluar doktrin lain yang menyatakan bahwa laut itu
dikuasai bersama dan tidak boleh dikuasai oleh negara (Res Communis Omnium)
(Kwang, tt). Hal-hal yang diatur adalah kebebasan berlayar dan pemanfaatan sumber
daya alam laut. Jadi setiap negara bebas untuk mengambil sumber daya laut karena
laut merupakan milik bersama.
Pada zaman penjajahan, yang memerintah di kawasan Indonesia adalah Hindia
Belanda. Untuk memerintah Indonesia, Hindia Belanda menggunakan politiknya
yang terkenal yaitu “Divide et Impera” atau politik pecah belah. Melalui politik
pecah belah atau divide et impera, Belanda ingin membagi pulau Indonesia satu
dengan yang lain. Hal itu berarti ada bagian yang menjadi wilayah internasional.
Hindia Belanda juga menetapkan suatu Ordonantie tahun 1939 yaitu “Territorial Zee
en Maritieme Kringen Ordonnantie” yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442.
Mengenai Ordonantie 1939 ini, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan jarak lebar
wilayah laut teritorial Indonesia sejauh 3 mil, tolak ukurnya adalah garis pasang surut
dari tiap pulau.
-
16
Dalam konteks negara kepulauan atau Archipelagic State seperti Indonesia,
ketentuan ini tentunya sangat merugikan. Karena hal itu berarti, lebar 3 mil dari garis
pasang surut yang diukur dari tiap pulau merupakan wilayah laut teritorial Indonesia
dan selebihnya adalah laut bebas. Karena merupakan laut bebas, Indonesia harus
tunduk terhadap ketentuan Freedom of the Sea yang artinya di wilayah laut bebas
tersebut semua orang bebas melakukan navigasi, menangkap ikan, memasang kabel,
mengelola hasil laut, dan bebas melintas di udara di atas wilayah laut bebas.
Namun pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Indonesia. Kemudian pada tanggal
13 Desember 1957, Indonesia membuat Deklarasi Djuanda, yang memberitahukan
kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di
dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Laut-laut antar pulau kemudian merupakan wilayah Republik Indonesia dan
bukan kawasan bebas. Indonesia juga menyatakan menganut prinsip-prinsip negara
kepulauan (Archipelagic State). Meski sempat mendapat pertentangan besar dari
beberapa negara, namun Indonesia berhasil mendapat pengakuan di mata dunia dan
tertuang dalam UNCLOS 1982, yang mengatur tentang batas Laut Teritorial adalah
wilayah yang dihitung selebar 12 mil dari garis pantai, dan negara pantai mempunyai
kedaulatan atas seluruh kekayaan alam di wilayah tersebut (Djalal, 1996). Zona
Tambahan (Contiguous Zone) dapat diukur dari garis terluar pada garis pangkal laut
dari mana lebar laut teritorial diukur dan tidak lebih dari 24 mil laut untuk mengatur
keperluan bea cukai, imigrasi, karantina kesehatan sampai pencegahan pelanggaran
atas perundang-undangan wilayahnya (Djalal, 1996).
Selanjutnya ZEE adalah zona yang dapat diukur selebar 200 mil dari garis
pangkal atau 188 mil di luar Laut Wilayah. Pada zona ini, negara pantai tidak
memiliki kedaulatan wilayah namun mempunyai kedaulatan atas kekayaan alamnya
serta wewenang atau jurisdiksi untuk pembangunan pulau-pulau buatan, instalasi dan
anjungan-anjungan, penelitian ilmiah kelautan sampai memberikan perlindungan
lingkungan laut (Djalal, 1996). Kemudian Landas Kontinen yang mengatur wilayah
dasar laut diukur sampai selebar 200 mil hingga maksimal 350 mil dari garis dasar
pangkal, mengatur kedaulatan atas kekayaaan alam dasar laut dengan bentuk
-
17
sedentary species dan mineral baik pada permukaan dasar laut maupun tanah di
bawahnya (Djalal, 1996).
Sementara Filipina yang merupakan Archipelagic State terbesar kedua di dunia
(Nurbintoro, 2018) pernah dikuasai oleh kolonialis Kerajaan Spanyol dari tahun
1565. Namun saat perang Amerika Serikat melawan Spanyol tahun 1898, Amerika
memenangkan perang yang terjadi. Spanyol akhirnya memberikan Filipina sebagai
negara jajahannya kepada Amerika Serikat tanggal 10 Desember 1898 melalui Pasal
3 dalam Treaty of Paris, dengan ketentuan penyerahan pulau-pulau Filipina termasuk
didalamnya terdapat Pulau Miangas. Kepemilikan Pulau Miangas diselesaikan
dengan adanya perjanjian ekstradisi 1976, dan putusan Permanent Court of
Arbitration (PCA) tahun 1928 yang menyatakan bahwa Pulau Miangas milik
Belanda dan status kepemilikan pulau tersebut jatuh kepada Indonesia (Permanent
Court of Arbitration, 1928).
Filipina juga mengklaim batas teritorialnya berdasarkan Treaty of Washington
1900 antara Amerika Serikat dan Spanyol mengenai ‘Cession of Outlying Islands of
Philippines’ dan Treaty 1930 antara Amerika Serikat dan Great Britain tentang
‘Boundaries: Philippines and North Borneo’ (Nurbintoro, 2018). Maka dari itu,
karena faktor terbelenggu oleh sejarah, Filipina tidak dapat mengikuti ketentuan
wilayah maritim yang ditetapkan secara internasional melalui UNCLOS 1982, Pasal
57 mengenai ZEE (Perwita & Ircha Tri, 2018).
Filipina yang berhasil merebut kemerdekaan dari Amerika Serikat tanggal 4 Juli
1946, akhirnya mencoba menyesuaikan kembali hukum nasionalnya, agar dapat
mengikuti ketentuan UNCLOS 1982. Perubahan penetapan titik-titik dasar garis
pangkal (baseline) negara Filipina dilakukan dengan melakukan amandemen
terhadap ketentuannya tahun 1961 mengenai Archipelagic Baselines Law Republic
Act 3046 dan diamandemen dengan Republic Act 5446 tahun 1968 yang kemudian
kembali diubah menjadi ketentuan Republic Act 9522 yang dikeluarkan bulan Maret
tahun 2009 (Anggaramurti, 2015) mengenai. Berikut adalah perubahan garis pangkal
kepulauan Filipina berdasarkan hukum yang diubahnya:
-
18
Gambar 2.1. Perubahan yang Terjadi Akibat Perubahan Amandemen
Sumber: (Bensurto, 2017)
Perjanjian penetapan batas ZEE juga sesuai dengan dasar ‘Treaty of Friendship
between the Republic of Indonesia and the Republic of the Philippines’ pada tanggal
21 Juni 1951 dan dijalankan sejak 20 November 1953, yang pada pasal 2 tertulis jika
terdapat persengketaan yang terjadi antara kedua belah pihak dapat diselesaikan
secara diplomasi melalui mediasi atau arbitrasi dan dapat dibawa ke ranah
International Court of Justice untuk mendapatkan putusan akhir (Kementerian Luar
Negeri, 1951).
Hal tersebut didukung dengan Piagam PBB Pasal 33 ayat 1 mengenai para pihak
yang tersangkut dalam suatu sengketa yang dapat membahayakan pemeliharaan
perdamaian dan keamanan internasional dapat melakukan perundingan untuk
penyelesaian masalah, dengan negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsoliasi, arbitrasi,
penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan
regional atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri (United Nations,
1945). Adapun ‘Manila Declaration on the Peaceful Settlement of International
Disputes’ pada section 1 paragraf 3 dan 10 yang menggarisbawahi pihak yang
terlibat sengketa bebas memilih prosedur dan cara penyelesaian sengketa seperti
melakukan negosiasi langsung adalah cara yang fleksibel dan efektif untuk
menyelesaikan permasalahan secara damai (United Nations, 1982).
Maka dari itu, perjanjian perbatasan maritim pertama yang diselesaikan oleh
Filipina ini dilakukan dengan cara negosiasi. Penetapan garis batas ZEE Indonesia
dan Filipina di Laut utara Sulawesi merupakan garis batas ZEE yang pertama kali
dilakukan Indonesia dengan Filipina. Perjanjian ditandatangani pihak dari kedua
-
19
negara tanggal 23 Mei 2014 di Manila melalui ‘Agreement between The Government
of The Republic of Indonesia and The Government of the Republic of The Philippines
Concerning The Delimitation of The Exclusive Economic Zone Boundary’.
Indonesia meratifikasi perjanjian tersebut melalui DPR RI, sebagai salah satu
lembaga legislatif Indonesia dan pemegang kekuasaan pembuat undang-undang.
Setelah diajukan menjadi rancangan undang-undang ke DPR RI. Perjanjian tersebut,
ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pengesahan
Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Pemerintah Republik
Filipina Mengenai Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif, 2014 sejak tanggal 29
Mei 2017. Sementara Filipina meratifikasi perjanjian penetapan garis batas ZEE
Indonesia dan Filipina melalui Kongres Filipina dan Senat Filipina sebagai
pemegang kekuasaan untuk membuat undang-undang. Kesepakatan perjanjian yang
diajukan oleh Presiden Filipina kepada Senat, akhirnya diatur dalam Persetujuan
Senat Filipina, Resolution No. 1048 tanggal 15 Februari 2017. Namun Senat Filipina
baru meratifikasi pada tanggal 3 Juni 2019 (Parameswaran, 2019).
Perjanjian penetapan batas ZEE antara Indonesia dan Filipina mulai berlaku pada
saat pertukaran instrumen ratifikasi pun akhirnya dilakukan oleh Menteri Luar
Negeri masing-masing negara pada acara ASEAN Ministerial Meeting ke–34 di
Bangkok tanggal 1 Agustus 2019 (Agusman D. D. & Gulardi, 2019). Kemudian
instrumen tersebut juga telah didepositkan ke PBB pada tanggal 27 September 2019
(Department of Foreign Affairs Republic of the Philippines, 2019). Hal ini membuat
Indonesia dan Filipina segera memulai perundingan untuk membahas landas
kontinen antar kedua negara.
2.2 Dinamika Perundingan Penetapan Garis Batas ZEE Indonesia dan Filipina
Perjanjian dimulai saat pertemuan informal yang dilakukan kedua negara tahun
1973 dan 1986. Namun perundingan tersebut masih berupa penjajakan. Perundingan
dilanjutkan dengan pertemuan ‘The First Senior Official Meeting on The Limitation
Maritime Boundary’ diselenggarakan di Manado tanggal 23 sampai 25 Juni 1994.
Pertemuan setingkat pejabat senior ini dilakukan Indonesia sebagai upaya untuk
segera menyelesaikan penetapan garis batas ZEE dengan Filipina.
-
20
Gambar 2.2. Garis Batas ZEE Indonesia dan Filipina Sebelum Adanya
Kesepakatan Delimitasi
Sumber: (Decentralization Support Facility, 2011)
Pertemuan membahas tentang prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam
penetapan garis batas ZEE. Pembahasan penarikan garis batas di wilayah perairan
Sulawesi itu pun, selanjutnya dibahas sejak tahun 1994 sampai 2014. Pembahasan
penarikan garis batas ZEE tersebut dibicarakan dalam forum Joint Permanent
Working Group on Maritime and Ocean Concerns (JPWG–MOC) sebanyak tujuh
kali pertemuan dan selesai pada JPWG–MOC ke–8 dibantu dengan adanya sub
working group dan Joint Technical Team on Maritime Boundary Delimitation (JTT–
MBD).
Gambar 2.3. Proposal Garis Batas ZEE Indonesia dan Filipina
Sumber: (Sutisna, 2019)
-
21
Sebelum melakukan JTT–MBD, Departemen Luar Negeri Filipina
melakukan persiapan dengan memimpin ‘The Philippine Technical Working
Group on Maritime Boundary Delimitation’ yang membahas posisi Negara
Filipina dalam negosiasi dengan Indonesia, mempersiapkan grafik yang
memperlihatkan area tumpang tindih, sampai pilihan-pilihan alternatif dari
Filipina agar mencapai kesepakatan dengan Indonesia (Department of Foreign
Affairs Philippines, 2014). Adapun pertemuan informal yang dilakukan antara
Indonesia dan Filipina dapat memberikan kesempatan bagi kedua negara untuk
mempercepat kesepakatan. Masing-masing pihak akan saling bernegosiasi pada
poin yang bertentangan selama JPWG–MOC berlangsung.
Pertemuan yang dilakukan oleh Indonesia dan Filipina dilakukan untuk
membahas wilayah ZEE kedua negara yang tumpang tindih. Indonesia
mengusulkan untuk memakai prinsip proportionality yang diambil titiknya
berdasarkan rasio panjang garis pangkal. Sementara Filipina mengusulkan
prinsip median line berdasarkan pembagian yang sama untuk kedua belah pihak
(Anggaramurti, 2015). Dalam proses perundingan, kedua negara melakukan
pertukaran pandangan dan data serta pembagian segmentasi, kemudian
Indonesia dan Filipina juga melakukan adjustment turning points yang
dihasilkan dari perundingan. Jika dilakukan proporsionality test pada bagian
yang telah dilakukan pembagian wilayah yang sama untuk kedua negara masih
kurang proporsional, maka dapat segera dirundingkan kembali.
Gambar 2.4. Segmentasi Garis Batas ZEE Indonesia dan Filipina
Sumber: (Anggaramurti, 2015)
-
22
Terdapat lima segmen yang dibagi pada saat perundingan penetapan garis
batas ZEE Indonesia dan Filipina terjadi, segmen 1 di perairan sekitar Laut
Sulawesi bagian tengah, segmen 2 berada di perairan sekitar Laut Sulawesi
bagian timur, segmen 3 di perairan diantara Pulau Marore (Indonesia) dan Pulau
Balut (Filipina), segmen 4 berada di perairan utara Pulau Miangas, segmen 5 di
perairan Samudera Pasifik menjelang perairan Palau (Patmasari, Eko, & Astrit,
2016). Pada pertemuan informal di Batam yang terjadi tahun 2007, terjadi
kesepakatan untuk segmen 1, 3, 5. Lalu pada Prepatory Meeting untuk JPWG–
MOC ke-8 tahun 2014, disepakati segmen 2 dan 4. Proses bargaining position
yang dilakukan antar kedua negara telah berdasarkan garis median line yang
sesuai dengan panjang baseline sampai luas perolehan wilayah (Anggaramurti,
2015). Hal ini dilakukan untuk mencapai equitable solution berdasarkan hukum
Internasional, UNCLOS 1982.
Pada segmen 4 yang berdekatan dengan Pulau Miangas, dikarenakan kondisi
penarikan garis batas yang sempit, maka digunakan prinsip median line antara
kedua negara untuk mempercepat proses perundingan (Kementerian Luar Negeri,
2019). Dengan mengimplementasikan konsep Negara Kepulauan dalam
penetapan garis batas ZEE Indonesia dan Filipina, akan membuat preseden baik
untuk Indonesia dan negara-negara kepulauan lainnya (Dewan Perwakilan
Rakyat, 2017).
Gambar 2.5. Penetapan Garis Batas Maritim Indonesia dan Filipina
Sumber: (Kementerian Pertahanan, tt)
-
23
Perjanjian penetapan garis batas ZEE ini, akhirnya disepkati dan ada
beberapa faktor yang membuat dinamika jalannya perundingan menjadi
terhambat. Faktor kondisi internal Filipina masih tidak stabil dikarenakan
Filipina mengalami berbagai kendala perubahan politik internal yaitu kudeta
terhadap Presiden Gloria Macapagal Arroyo tahun 2007 dan pemilu di tahun
2010 yang dimenangkan Beniqno S. Aquino III diwarnai konflik internal
(Anggaramurti, 2015) karena rakyat Filipina menginginkan penghapusan politik
dinasti di negaranya. Pada tahun 2009, Filipina juga melakukan perubahan
hukum nasionalnya agar selaras dengan hukum internasional, UNCLOS 1982.
Hal ini menyebabkan perundingan penetapan garis batas ZEE sempat dalam
kondisi dimana negara Filipina memiliki prioritas masalah lain dibandingkan
pembahasan masalah yang sedang dirundingkan (dormant).
Pada kunjungan Presiden Filipina, Y. M. Benigno S. Aquino III ke Indonesia
tanggal 8 Maret 2011, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang
Yudhoyono menyatakan bahwa Indonesia dan Filipina bersepakat untuk
mempercepat negosiasi penuntasan batas maritim kedua negara atau yang
disebut dengan Maritime Boundary Delimitation (Asisten Deputi Naskah dan
Penerjemahan Kementerian Sekretariat Negara, 2011). Di samping itu, saat
pertemuan bilateral tingkat kepala negara antara Indonesia dan Filipina
berlangsung, Sekretaris Luar Negeri Filipina, Albert F. Del Rosario dan Menteri
Luar Negeri Indonesia, Dr. R. M. Marty M. Natalegawa juga melakukan
penandatanganan ‘Joint Declaration Concerning Maritime Boundary
Delimitation’ untuk mempercepat negosiasi penetapan garis batas maritim
Indonesia dan Filipina berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982. Mereka juga
menginstruksikan tim teknis untuk melakukan serangkaian pertemuan untuk
menghasilkan kesepakatan penetapan garis batas ZEE kedua negara
(Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2015).
Meski dinamika wilayah penyelesaian penetapan garis batas ZEE Indonesia
dan Filipina sempat memiliki kondisi dormant, namun pada tahun 2011, petinggi
kedua negara mendorong agar penetapan garis batas ZEE ini dapat segera
terselesaikan. Hal ini membuat permasalahan menjadi terlihat oleh masyarakat
domestik di kedua negara (visible). Ketua delegasi Filipina pada JPWG–MOC
ke-8, Evan P. Garcia mengatakan bahwa kesimpulan dari negosiasi
membuktikan persahabatan, kesabaran, niat baik dan komitmen kedua negara
-
24
untuk menyelesaikan masalah maritim secara damai (Department of Foreign
Affairs Republic of The Philippines, 2014).
Setelah ditetapkannya garis batas ZEE antar kedua negara, Indonesia juga
melakukan perundingan terhadap pertemuan tiga titik garis batas ZEE (Three
junction point) antara Indonesia–Filipina–Malaysia di sisi barat, dan di sisi timur
antara Indonesia–Filipina–Palau (Fatmawati, 2017). Dalam perjanjian kedua
negara tersebut, menyepakati garis batas delimitasi ZEE seperti berikut:
Gambar 2.6. Delimitasi Garis Batas ZEE Indonesia dan Filipina
Sumber: (Syafi'i, 2019)
Tabel 2.1 Garis Batas Delimitasi ZEE Berdasarkan Datum World Geodetic
System of 1984
Point Latitude Longitude
1 3o 06’ 41” N 119o 55’ 34” E
2 3o 26’ 36” N 121o 21’ 31” E
3 3o 48’ 58” N 122o 56’ 03” E
4 4o 57’ 42” N 124o 51’ 17” E
5 5o 02’ 48” N 125o 28’ 20” E
6 6o 25’ 21” N 127o 11’ 42” E
7 6o 24’ 25” N 128o 39’ 02” E
8 6o 24’ 20” N 129o 31’ 31” E
Sumber: (Senate of The Philippines, 2014)
-
25
Berikut daftar pertemuan yang dilakukan Indonesia dan Filipina untuk
penetapan garis batas ZEE kedua negara:
Tabel 2.2. Daftar Pertemuan Indonesia dan Filipina Mengenai Penetapan
Garis Batas ZEE
No. Pertemuan Tempat dan Tanggal
1. Pertemuan di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta, 1973
2. Perundingan tahun 1986 1986
3. The First Senior Official Meeting on The Limitation
Maritime Boundary
Manado, 23–25 Juni
1994
4. Joint Permanent Working Group on Maritime and
Ocean Concerns (JPWG–MOC) ke–1
Manila, 1–3 Desember
2003
5. JPWG–MOC ke–2 Jakarta, 3–5 Agustus
2004
6. Sub Working Group Meeting on Maritime Boundary
Delimitation
Manado, 3–4 Maret 2005
7. Kunjungan Presiden Indonesia Susilo Bambang
Yudhoyono ke Filipina, kedua negara menyepakati
untuk segera menyelesaikan delimitasi batas maritim
Agustus 2005
8. JPWG–MOC ke–3 Cebu, 21–23 September
2005
9. Joint Technical Team on Maritime Boundary
Delimitation (JTT–MBD) ke–1
Batam, 5–7 Desember
2005
10. JTT–MBD ke–2 Manila, 16–17 Maret
2006
11. JTT–MBD ke–3 Bogor, 29 Mei 2006
12. JPWG–MOC ke–4 Bogor 29 Mei–1 Juni
2006
13. JTT–MBD ke–4 Manila, 31 Juli–1
Agustus 2006
14. JTT–MBD ke–5 Bandung, 14–15
September 2006
15. Pada sela-sela Pertemuan Sub Regional Conference Jakarta, 5 Maret 2007
-
26
on Terrorism
Keterangan : Menteri Luar Negeri Indonesia dan
Sekretaris Luar Negeri Filipina sepakat untuk
menginstruksikan kepada pejabat terkaitnya untuk
menyelesaikan perundingan delimitasi batas maritim
16. JPWG–MOC ke–5 Davao, 20–22 Maret
2007
17. JPWG–MOC ke–6 Yogyakarta, 23–25 Mei
2007
18. JPWG–MOC ke–7 Jakarta, 19–21 Juni 2007
19. Batam Informal Meeting
Keterangan: Informal, Non–Binding Exercises Based
on the Cebu Principles of the JPWG–MOC
Batam, 2–3 Juli 2007
20. Pertemuan Bilateral di sela-sela Konferensi Tingkat
Tinggi ASEAN ke–14
Keterangan : Indonesia dan Filipina telah siap untuk
melanjutkan perundingan delimitasi batas maritim
Pattaya Thailand, 10
April 2009
21. The Declaration of the Presidents of the Republic of
the Philippines and the Republic of Indonesia
dan Joint Declaration Concerning Maritime
Boundary Delimitation antara Menteri Luar Negeri
Indonesia dan Filipina
Jakarta, 8 Maret 2011
22. Maritime Boundary Delimitation Discussions Manila, 15–16 Desember
2011
23. Prepatory Meeting to the 8th Joint Permanent
Working Group on Maritime and Oceans Concern
(PrepMeeting to the 8th JPWG–MOC)
Jakarta, 29 Oktober 2012
24. Pertemuan Direktur Perjanjian Polkamwil Kemlu
Indonesia dengan Assistant Secretary on Ocean
Concerns Office Kemlu Filipina
Jakarta, 19 November
2013
25. The 2nd PrepMeeting to the 8th JPWG–MOC Jakarta, 7–9 Januari 2014
26. The 3rd PrepMeeting to the 8th JPWG–MOC Jakarta, 4–5 April 2014
27. The 4th PrepMeeting to the 8th JPWG–MOC Jakarta, 17 Mei 2014
-
27
28. JPWG–MOC ke–8 Jakarta, 18 Mei 2014
29. Agreement Between The Government of Republic of
Indonesia and The Government of Republic of The
Philippines Concerning The Delimitation of The
Exclusive Economic Zone Boundary
Manila, 23 Mei 2014
30. JPWG–MOC ke–9 Makati City, 8–10 Juni
2016
31. JPWG–MOC ke–10 DI Yogyakarta, 19–20
September 2019
Sumber: (Anggaramurti, 2015) dan (diolah oleh penulis dari berbagai sumber)
-
28
top related