bab 2 - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/ecolls/ethesisdoc/bab2/2013-1-00319-mn...
Post on 26-Aug-2019
217 Views
Preview:
TRANSCRIPT
7
BAB 2
LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori
Pada setiap penelitian yang dilakukan, diperlukan beberapa teori – teori yang
digunakan untuk mendukung penelitian tersebut. Teori tersebut dimaksudkan untuk
mendapat gambaran mengenai isi keseluruhan laporan dan merujuk pada berbagai
referensi para ahli tertentu maupun berbagai teori-teori yang ada yang nantinya akan
mendasari hasil dan pembahasan secara detail. Teori-teori yang digunakan harus
mengacu pada variabel-variabel yang diteliti. Selain itu, pada bagian ini juga
dibahas mengenai temuan-temuan penelitian sebelumnya yang terkait langsung
dengan penelitian, kerangka pemikiran serta hipotesis yang digunakan untuk
penelitian.
2.1.1 Pemberdayaan Psikologis
Sebelum menjelaskan tentang pemberdayaan psikologis, terlebih
dahulu akan diberikan uraian penjelasan tentang definisi pemberdayaan
(Empowerment). Menurut Koçel (dalam Çavus, 2010), Pemberdayaan
merupakan proses pengambilan keputusan hak dan membantu karyawan
mengembangkan diri dengan bantuan solidaritas, berbagi, dan tim kerja.
Pemberdayaan juga memiliki arti yaitu pemberian tanggung jawab dan
wewenang terhadap pekerja untuk mengambil keputusan menyangkut semua
pengembangan produk dan pengambilan keputusan (Fernando, 2013).
Shauna (2008) mengatakan bahwa pemberdayaan psikologis adalah
keyakinan seorang individu akan kemampuannya untuk melakukan kegiatan
kerja terkait dengan keterampilan dan kompetensi. Shauna juga menjelaskan
bahwa pemberdayaan psikologis berkaitan dengan bagaimana orang-orang
yang kompeten atau mampu merasa diberdayakan di lingkungan kerjanya.
Karyawan yang merasa lebih berkompeten tentang kemampuan mereka dan
berhasil diberdayakan atau memiliki tingkat pemberdayaan psikologis lebih
tinggi seharusnya akan:
a. Lebih puas dengan pekerjaan mereka
b. Lebih berkomitmen untuk organisasi mereka
c. Memiliki niat yang lebih rendah untuk berhenti organisasi
8
d. Menunjukkan kinerja yang lebih positif
Pemberdayaan psikologis di tempat kerja dapat dilihat sebagai satu set
kognisi yang dibentuk oleh interaksi antara orang dan lingkungan kerja
mereka daripada ciri kepribadian (Conger dan Kanungo., et al, dalam Lee dan
Weaver, 2011). Akibatnya, peran pemberdayaan psikologis yang berkaitan
dengan hasil pekerja lebih baik dipahami dengan mempertimbangkan
lingkungan kerja. Dengan kata lain pemberdayaan psikologis merupakan
seperangkat kognisi yang mempengaruhi keyakinan pekerja bahwa mereka
memiliki kemampuan untuk membentuk peristiwa dalam pekerjaan mereka
dan kehidupan mereka , bahwa tindakan mereka efektif , dan memiliki
kontrol atas pilihan dan tindakan mereka (Cearley, dalam Lee dan Weaver,
2011).
Pemberdayaan Psikologis menurut Spreitzer (dalam Jin-Liang dan
Hai-Zhen, 2012) didefinisikan sebagai motivasi intrinsik yang mencerminkan
orientasi individu untuk peran kerja yang terwujud dalam empat kognisi yaitu
makna, kompetensi, penentuan diri (self-determination), dan dampak. Dengan
demikian, pemberdayaan psikologis berfokus pada motivasi intrinsik
karyawan untuk melakukan tugas yang meliputi penentuan nasib sendiri,
otonomi dan kebebasan melakukan tugas, dan dampaknya, sejauh mana
individu dapat mempengaruhi hasil dan bekerja.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
Pemberdayaan psikologis merupakan pemberian tanggung jawab dan
wewenang terhadap pekerja yang dibentuk oleh interaksi antara orang dan
lingkungan kerja dengan memperhatikan makna, kompetensi, dampak, dan
penentuan diri dalam pekerjaan mereka.
2.1.1.1 Dimensi Pemberdayaan Psikologis
Pemberdayaan Psikologis lebih menunjuk pada peningkatan
motivasi intrinsik tugas yang mencerminkan orientasi individu untuk
peran pekerjaannya yang dibentuk dalam satu set dari empat kognisi
yaitu: makna, kompetensi (yang identik dengan Conger dan Kanungo
yaitu: self-efficacy), self determination, dan dampak. Spreitzer (dalam
9
Jin-Liang dan Hai-Zhen, 2012) mendefinisikan empat dimensi (4
komponen) pemberdayaan psikologis yang terdiri dari:
1. Makna (Meaning)
Secara Khusus makna mengacu pada nilai dari suatu tujuan
kerja, yang dinilai dalam kaitannya dengan cita-cita individu
sendiri atau standar individu yang bersangkutan. Makna
melibatkan kesesuaian antara persyaratan dari suatu peran kerja
dan keyakinan, nilai, dan perilaku.
2. Kompetensi (Competence)
Kompetensi mempunyai arti yang sama dengan self-efficacy,
yaitu keyakinan individu atas kemampuannya dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan dengan keahlian atau
keterampilan yang dimilikinya. Kompetensi juga sejalan dengan
keyakinan, penguasan pribadi, atau pengharapan yang berkaitan
dengan usaha dan hasil kerja. Kompetensi lebih memfokuskan
pada kemampuan dalam melaksanakan peran kerja tertentu, bukan
peran kerja secara umum atau sering disebut dengan self-esteem.
3. Penentuan diri (Self-determination)
Penentuan diri yang sering disebut self-determination
merupakan pandangan individu terhadap sebuah lembaga yang
berkaitan dengan pilihan untuk memulai dan mengatur tindakan.
Penentuan diri mencerminkan otonomi dalam mengawali dan
kelanjutan dari perilaku kerja dan proses, misalnya membuat
keputusan mengenai metode kerja, kecepatan, dan usaha yang
dilakukan.
4. Dampak (Impact)
Dampak atau impact merupakan sejauh mana seseorang dapat
mempengaruhi hasil yang strategis, administratif, atau kegiatan
operasional di tempat kerja.
2.1.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Pemberdayaan
Psikologis
Pemberdayaan psikologis pertama kali diusulkan oleh Conger
dan Kanungo (dalam Jin-Liang dan Hai-Zhen, 2012) yang
10
menganggap pemberdayaan identik dengan konsep motivasi self-
efficacy. Berdasarkan pendapat Lee & Koh (dalam Koesindratmono,
2011) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemberdayaan
psikologis seseorang terbagi menjadi dua faktor yaitu:
1. Faktor Individual
Faktor Individual merupakan faktor-faktor yang berkaitan
dengan keadaan di tempat kerja baik fisik maupun non fisik yang
sering dialami oleh seorang individu yang berhubungan dengan
karakteristik biografi karyawan seperti jenis kelamin, tingkat
pendidikan, tingkat jabatan, locus of control, dan masa kerja.
2. Faktor Organisasional
Faktor Organisasional yaitu faktor-faktor yang sering terjadi
dalam sebuah organisasi seperti rentang kendali, ketidak jelasan
peran, akses untuk informasi dan sumber daya, dukungan sosial
serta iklim kerja.
2.1.2 Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja menurut Robbins dan Judge (2008) adalah suatu
perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari
evaluasi karakteristiknya. Kepuasan tidak hanya berhubungan negatif dengan
ketidakhadiran dan perputaran karyawan, tetapi organisasi mempunyai
tanggung jawab memberikan karyawan tugas yang menantang dan pada
akhirnya mendapatkan penghargaan.
Menurut Balzer et al., (dalam Jin-Liang dan Hai-Zhen, 2012)
Kepuasan kerja didefinisikan sebagai perasaan seseorang secara keseluruhan
puas terhadap satu pekerjaan walaupun tidak setiap keinginan direalisasikan
sepenuhnya dalam kapasitas kerja. Kepuasan kerja mengacu pada sikap
umum seseorang terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan
kerja tinggi memiliki sikap positif terhadap pekerjaannya. Seseorang yang
tidak puas memiliki sikap negatif. Ketika orang berbicara tentang sikap
karyawan, mereka biasanya mengacu pada kepuasan kerja (Robbins dan
Coulter, 2012) Kepuasan kerja erat kaitannya dengan sikap karyawan
terhadap pekerjaanya. Hal ini merupakan hasil dari persepsi karyawan atas
pekerjaannya (Gibson, 2009).
11
Mathis dan Jackson (2006) mengatakan bahwa Kepuasan Kerja (Job
Satisfaction) adalah keadaan emosional yang positif yang merupakan hasil
dari evaluasi pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan muncul ketika
harapan seseorang tidak dipenuhi. Kepuasan kerja adalah suatu tindakan atau
perilaku yang ditunjukkan oleh karyawan selama bekerja di suatu organisasi
atau perusahaan. Ketika karyawan tersebut merasa puas dengan
perkerjaannya sekarang maka karyawan tersebut akan memberikan suatu
timbal balik yang lebih baik, bisa berupa peningkatan kinerja atau komitmen
terhadap organisasi atau perusahaan dimana dia bekerja. Sedangkan ketika
karyawan tidak merasa puas maka karyawan cenderung melakukan kebalikan
dari ketika merasa puas dengan pekerjaannya.
2.1.2.1 Dimensi Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja tergantung kesesuaian atau keseimbangan
antara yang diharapkan dengan kenyataan. Ada lima faktor penentu
kepuasan kerja (Gibson, et al., 2009) yaitu:
1. Pekerjaan itu sendiri
Tingkat dimana sebuah pekerjaan menyediakan tugas yang
menyenangkan, kesempatan belajar dan kesempatan untuk
mendapatkan tanggung jawab. Hal ini menjadi sumber
mayoritas kepuasan kerja.
2. Gaji
Menurut penelitian Theriault, kepuasan kerja merupakan
fungsi dari jumlah absolute dari gaji yang diterima, derajat
sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga kerja, dan
bagaimana gaji diberikan.Upah dan gaji diakui merupakan
faktor yang signifikan terhadap kepuasan kerja.
3. Kesempatan atau promosi
Karyawan memiliki kesempatan untuk mengembangkan
diri dan memperluas pengalaman kerja, dengan terbukanya
kesempatan untuk kenaikan jabatan.
4. Supervisor
Kemampuan supervisor untuk menyediakan bantuan teknis
dan perilaku dukungan. Hubungan fungsional mencerminkan
12
sejauh mana atasan membantu tenaga kerja untuk memuaskan
nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. Hubungan
keseluruhan didasari pada keterkaitan antar pribadi yang
mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa.
5. Rekan kerja
Kebutuhan dasar manusia untuk melakukan hubungan
sosial akan terpenuhi dengan adanya rekan kerja yang
mendukung karyawan. Jika terjadi konflik dengan rekan kerja,
maka akan berpengaruh pada tingkat kepuasan karyawan
terhadap pekerjaan.
2.1.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Istilah Kepuasan kerja yang di definisikan oleh Robbins dan
Judge (2008) merupakan suatu perasaan positif tentang pekerjaan
seseorang yang merupakan hasil dari evaluasi karakteristiknya.
Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi memiliki perasaan-
perasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sementara seseorang yang
tidak puas dengan pekerjaannya memiliki perasaan-perasaan yang
negatif terhadap pekerjaan tersebut (Robbins dan Judge, 2008). Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan yaitu
sebagai berikut (Robbins, 2002) :
1) Kerja yang secara mental menantang, karyawan cenderung lebih
menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka
kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan
yang masih mereka miliki, menawarkan beragam tugas,
kebebasan dan umpan balik mengenai seberapa baik mereka
bekerja.
2) Imbalan yang pantas. Para karyawan menginginkan sistem upah
dan kebijakan yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak
meragukan dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah
dilihat sebagai hasil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan,
tingkat keterampilan individu dan standar pengupahan
komunikasi kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan.
13
3) Kondisi kerja yang mendukung. Karyawan peduli akan
lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun
memudahkan mengerjakan tugas yang baik, seperti kondisi fisik
kerja yang nyaman dan aman.
4) Rekan kerja yang mendukung. Bagi kenyamanan karyawan,
kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena
itu, tidaklah mengejutkan bila mempunyai rekan sekerja yang
ramah dari mendukung menghantar kepada kepuasan kerja yang
meningkat.
2.1.2.3 Meningkatkan Kepuasan Kerja
Ada beberapa cara untuk membuat pekerjaan menjadi ringan
atau tidak terlalu terbebani sehingga menimbulkan kepuasan dan
dapat meningkatkan kepuasan kerja. Menurut Greenberg dan Baron
(2003), terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kepuasan kerja karyawan, yaitu:
1. Membuat pekerjaan menjadi kesenangan
Walaupun beberapa pekerjaan memang bersifat
membosankan, tetapi ada cara untuk meningkatkan beberapa
level keasikkan ke dalam hampir setiap pekerjaan. Teknik-
teknik kreatif yang telah diterapkan misalnya mengoper buket
bunga dari meja satu ke meja yang lainnya setiap setengah jam
dan mengambil gambar lucu orang lain ketika sedang bekerja
lalu memasukkannya ke papan bulletin.
2. Membayar seseorang dengan cukup
Ketika orang merasa bahwa mereka dibayar atau
diberikan imbalan secara adil, maka kepuasan kerja mereka
cenderung akan meningkat.
3. Mencocokkan seseorang untuk pekerjaan yang sesuai dengan
kepentingan mereka
Semakin orang merasa bahwa mereka mampu memenuhi
kesenangan atau minat mereka saat bekerja, semakin mereka
akan mendapatkan kepuasan dari pekerjaan tersebut.
14
4. Hindari kebosanan, pekerjaan yang berulang
Orang jauh lebih merasa puas terhadap pekerjaan yang
memungkinkan mereka untuk mencapai keberhasilan dengan
memiliki kontrol secara bebas tentang bagaimana mereka
melakukan tugas-tugas mereka.
2.1.2.4 Dampak Ketidakpuasan Kerja
Menurut Robbins dan Judge (2008) terdapat konsekuensi
ketika karyawan menyukai pekerjaan mereka, dan ada konsekuensi
ketika karyawan tidak menyukai pekerjaan mereka. Sebuah kerangka
teoritis (kerangka keluar-aspirasi-kesetian-pengabdian) sangat
bermanfaat dalam memahami konsekuensi dari ketidakpuasan.
Respon-respon tersebut didefinisikan sebagai berikut:
1. Keluar (exit)
Perilaku yang ditunjukan untuk meningkatkan organisasi
termasuk mencari posisi baru dan mengundurkan diri.
2. Aspirasi (voice)
Secara aktif dan kontruktif berusaha memperbaiki
kondisi, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan
masalah dengan atasan, dan beberapa bentuk aktivitas serikat
kerja.
3. Kesetiaan (loyality)
Secara pasif tetapi optimis menunggu membaiknya
kondisi, termasuk membela organisasi ketika berhadapan
dengan kecaman eksternal dan mempercayai organisasi dan
manajernya untuk “melakukan hal yang benar”.
4. Pengabdian (neglect)
Secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk,
termasuk ketidakhadiran atau keterlambatan yang terus-
menerus kurangnya usaha, dan meningkatkan angka
kesalahan.
15
2.1.3 Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Robbins (2006) mengemukakan bahwa OCB merupakan perilaku
pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang
karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif.
OCB juga merupakan perilaku yang melampaui persyaratan tugas inti dari
pekerjaan (tugas yang tercantum dalam job description) dan bermanfaat bagi
organisasi. OCB biasanya dinilai dengan memiliki supervisor tingkat
bawahan mereka pada perilaku OCB (Spector, 2011).
Menurut Sharma (2011) Organizational Citizenship Behavior (OCB)
adalah jenis khusus dari perilaku kerja yang didefinisikan sebagai perilaku
individu yang bermanfaat bagi organisasi, yang tidak secara langsung atau
secara eksplisit diakui oleh sistem reward formal.. Perilaku OCB diperkirakan
memiliki dampak penting pada efektivitas dan efisiensi kerja tim dan
organisasi, sehingga berkontribusi terhadap produktivitas organisasi secara
menyeluruh. Organ et al., (2006) mendefinisikan Organizational Citizenship
Behavior (OCB) sebagai perilaku seseorang yang mempunyai kebebasan
untuk memilih, tidak semata-mata dikarenakan oleh sistem upah (reward)
yang resmi, dan hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan fungsi yang
efektif dari organisasi.
Menurut Organ dan Konovsky (dalam Jin-Liang dan Hai-Zhen, 2012)
OCB merupakan perilaku yang diskresioner, tidak secara langsung atau
secara eksplisit diakui oleh sistem reward formal dan secara agregat
mempromosikan fungsi efektif organisasi. Atau dengan kata lain, OCB juga
sering diartikan sebagai perilaku yang melebihi kewajiban formal (extra role)
yang tidak berhubungan dengan kompensasi langsung. Artinya seseorang
yang memiliki OCB tinggi tidak akan dibayar dalam bentuk uang atau bonus
tertentu, namun lebih kepada perilaku sosial dari masing-masing individu
untuk bekerja melebihi apa yang diharapkan seperti membantu rekan kerja
pada saat jam istirahat dengan sukarela.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, Organizational Citizenship
Behavior (OCB) merupakan perilaku kerja karyawan yang melebihi tugas dan
tanggung jawabnya yang bermanfaat bagi organisasi yang dilakukan secara
sukarela tanpa adanya paksaan dari siapapun.
16
2.1.3.1 Dimensi Organizational Citizenship Behavior
Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan
perilaku seseorang yang mempunyai kebebasan untuk memilih, tidak
semata-mata dikarenakan oleh sistem upah (reward) yang resmi, dan
hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan fungsi yang efektif dari
organisasi (Organ et al., 2006). Contoh lain dari perilaku yang
dihasilkan oleh OCB antara lain, membantu rekan kerja, sukarela
melakukan kegiatan ekstra ditempat kerja, menghindari konflik
dengan rekan kerja, melindungi properti organisasi, menghargai
peraturan yang berlaku dalam organisasi dan toleransi pada situasi
yang kurang ideal atau yang tidak menyenangkan ditempat kerja,
datang tepat waktu dan memberi saran yang membangun ditempat
kerja (Robbins, 2005).
Untuk memperjelas perilaku OCB, Organ (2006) membaginya
kedalam lima dimensi utama yaitu:
1. Altruism
Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerjanya yang
mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi, baik
mengenai tugas dalam organisasi maupun masalah pribadi orang
lain. Dimensi ini mengarah kepada memberi pertolongan yang
bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya.
2. Conscientiousness
Perilaku yang ditunjukkan dengan berusaha melebihi dari
apa yang diharapkan perusahaan. Perilaku ini merupakan
tindakan sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas
karyawan.
3. Sportmanship
Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang
kurang ideal dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan –
keberatan. Seseorang yang mempunyai tingkatan yang tinggi
dalam spotmanship akan meningkatkan iklim yang positif
diantara karyawan, karyawan akan lebih sopan dan bekerja sama
dengan yang lain sehingga akan menciptakan lingkungan kerja
yang lebih menyenangkan.
17
4. Courtesy
Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar
dari masalah – masalah interpersonal. Seseorang yang memiliki
dimensi ini adalah orang yang menghargai dan memperhatikan
orang lain.
5. Civic Virtue
Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada
kehidupan organisasi (mengikuti perubahan dalam organisasi,
mengambil inisiatif untuk merekomendasikan bagaimana
operasi atau prosedur – prosedur organisasi dapat diperbaiki,
dan melindungi sumber – sumber yang dimiliki oleh
organisasi). Dimensi ini mengarah pada tanggung jawab yang
diberikan organisasi kepada seorang untuk meningkatkan
kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni.
2.1.3.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi OCB
Organisasi yang berhasil, membutuhkan karyawan yang dapat
melakukan lebih dari tugas-tugas jabatan mereka yang biasanya dan
memberikan kinerja yang melebihi harapan. Menurut Robbins dan
Judge (2008) mengemukakan bahwa kepuasan terhadap kualitas
kehidupan kerja adalah penentu utama OCB dari seorang karyawan.
Organ (dalam Zurasaka, 2008) mengemukakan beberapa faktor yang
mempengaruhi OCB sebagai berikut:
• Budaya dan iklim organisasi
• Kepribadian dan suasana hati
• Persepsi terhadap Dukungan Organisasional
• Persepsi terhadap kualitas hubungan / interaksi antara atasan
dan bawahan
• Masa kerja
• Jenis kelamin
18
Berbeda dengan beberapa pendapat diatas, menurut Zurasaka
(2008), OCB lebih dipengaruhi oleh kepribadian atau kecerdasan
emosi dibandingkan faktor-faktor situasional dan kondisi kerja atau
OCB merupakan mediator atau perantara dari faktor-faktor tersebut.
2.1.3.3 Manfaat Organizational Citizenship Behavior
Keuntungan OCB dapat dirasakan oleh organisasi itu sendiri
dan para karyawan yang berada di organisasi tersebut. Chen et al.,
(dalam Jin-Liang dan Hai-Zhen, 2012) mengatakan bahwa dimensi
OCB terutama altruism, conscientiousness, dan spotrmanship dapat
menurunkan tingkat turnover karyawan. Dan dua bentuk OCB lainnya
courtesy dan civic virtue dapat membuat karyawan lebih lama berada
di dalam pekerjaan, kualitas yang tinggi dalam perusahaan, dan
membantu kesuksesan peusahaan Menurut Organ, et al (2006)
Organizational Citizenship Behavior memiliki beberapa manfaat bagi
organisasi, yaitu:
1. Meningkatkan produktivitas rekan kerja
Karyawan yang menolong rekan kerja lain akan mempercepat
penyelesaian tugas rekan kerjanya, dengan begitu akan
meningkatkan produktivitas rekan tersebut.
2. Meningkatkan produktivitas manajer
Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan
membantu manajer mendapatkan saran dan umpan balik yang
berharga dari karyawan tersebut untuk meningkatkan efektivitas
unit kerja.
3. Menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan
organisasi secara keseluruhan
a. Jika karyawan saling tolong-menolong dalam menyelesaikan
masalah dalam suatu pekerjaan sehingga tidak perlu
melibatkan manajer, konsekuensinya manajer akan
menggunakan waktunya untuk melakukan tugas lain seperti
membuat perencanaan.
b. Karyawan yang menampilkan conscentiousness yang tinggi
hanya membutuhkan pengawasan minimal dari manajer,
19
sehingga manajer dapat mendelegasikan tanggung jawab
yang lebih besar pada mereka, berarti membantu manajer
melakukan pekerjaan yang lebih penting.
c. Karyawan yang menampilkan perilaku sportmanship akan
sangat menolong manajer karena tidak menghabiskan waktu
terlalu banyak dengan keluhan-keluhan kecil karyawan.
4. Menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan
kelompok kerja
Karyawan menampilkan perilaku civic virtue akan membantu
koordinasi diantara anggota kelompok, yang akhirnya secara
potensial meningkatkan efektivitas dan efesiensi kelompok.
5. Meningkatkan kinerja organisasi dan kemampuan organisasi
untuk menarik dan mempertahankan karyawan yang baik.
6. Meningkatkan stabilitas kinerja organisasi
Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja,
akan meningkatkan stabilitas dari kinerja organisasi.
2.1.4 Dukungan Atasan
Dukungan atasan / supervisor mengacu pada persepsi karyawan
tentang hubungan mereka dengan atasan mereka dan seberapa baik karyawan
dapat mengandalkan atasan untuk peduli terhadap kepentingan individu (Hsu,
dalam Ibrahim, 2012). Hubungan ini juga dijelaskan oleh Gagnon dan
Michael (dalam Ibrahim, 2012) sebagai sejauh mana seorang karyawan
merasa bahwa mereka didukung oleh atasan mereka. Karyawan lebih
cenderung untuk tetap dengan organisasi jika mereka merasa bahwa atasan
mereka menghargai kontribusi dan kesejahteraan mereka, berkomunikasi
dengan baik dengan mereka, dan memperlakukan mereka dengan hormat dan
pengakuan (Eisenberger et al., dalam Ibrahim, 2012).
Dukungan atasan (Supervisor support) diartikan sebagai sudut
pandang karyawan terhadap supervisor (atasan) mereka dalam menilai
kontribusi mereka terhadap organisasi serta kepedulian atasan tersebut
terhadap kesejahteraan mereka (Rhoades et al., dalam Ardianto, 2009).
Atasan sendiri adalah sebuah jabatan fungsional yang dituntut untuk
20
berinteraksi dengan wewenang serta tanggung jawabnya pada dua kelompok,
yaitu pekerja sebagai bawahannya dan manajer sebagai atasannya.
Dukungan atasan menurut Likert (dalam Jin-Liang dan Hai-Zhen,
2012) dianggap menjadi faktor penting dalam mempengaruhi hasil kerja
karyawan. Dukungan atasan dapat meningkatkan kinerja karyawan dengan
memastikan bahwa karyawan memahami tujuan perusahaan dan mendorong
karyawan yang mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan daripada beralih
kepada pemberian hukuman.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
Dukungan atasan merupakan persepsi karyawan terhadap atasan mereka dan
seberapa baik atasan mereka peduli terhadap kepentingan dan kesejahteraan
karyawan sehingga mempengaruhi hasil kerja karyawan.
2.1.4.1 Dimensi Dukungan Atasan
Menurut Likert (dalam Jin-Liang dan Hai-Zhen, 2012)
Dukungan atasan dianggap menjadi faktor penting dalam
mempengaruhi hasil kerja karyawan. Bentuk dukungan yang
diberikan oleh atasan dapat meningkatkan kinerja karyawan dengan
memastikan bahwa karyawan memahami tujuan perusahaan dan
mendorong karyawan yang mengalami kesulitan dalam mencapai
tujuan daripada beralih kepada pemberian hukuman. Menurut
Hammer, Kossek, Anger, Bodner & Zimmerman (2011), dimensi
dukungan atasan terdiri dari :
1. Dukungan Emosional
Dukungan Emosional adalah dukungan yang
berhubungan dengan hal yang bersifat emosional atau menjaga
keadaan emosi, afeksi/ekspresi. Tipe dukungan ini lebih
mengacu kepada pemberian semangat, kehangatan, cinta kasih,
dan emosi. Dukungan ini juga menyatakan dukungan sosial
sebagai perilaku yang memberi perasaan nyaman dan membuat
individu percaya bahwa dia dikagumi, dihargai, dan dicintai
dan bahwa orang lain bersedia memberi perhatian dan rasa
aman.
21
2. Dukungan Instrumental
Dukungan Instrumental adalah dukungan yang berupa
bantuan dalam bentuk nyata atau dukungan material. Dukungan
ini mengacu pada penyediaan benda-benda dan layanan untuk
memecahkan masalah praktis. Dukungan ini menyatakan
bahwa dukungan ini meliputi aktivitas-aktivitas seperti
penyediaan benda-benda, misalnya alat-alat kerja, buku-buku,
meminjamkan atau memberikan uang dan membantu
menyelesaikan tugas-tugas praktis.
3. Dukungan Penghargaan
Dukungan Penghargaan adalah dukungan yang terjadi
bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap individu.
Dukungan ini dapat berupa pemberian informasi kepada
seseorang bahwa dia dihargai dan diterima, dimana harga diri
seseorang dapat ditingkatkan dengan mengkomunikasikan
kepadanya bahwa ia bernilai dan diterima meskipun tidak luput
dari kesalahan.
4. Dukungan Informasional
Dukungan Informasional adalah dukungan yang berupa
pemberian informasi yang dibutuhkan oleh individu. Dukungan
ini dibagi ke dalam 2 (dua) bentuk. Pertama, pemberian
informasi atau pengajaran suatu keahlian yang dapat memberi
solusi pada suatu masalah. Kedua adalah appraisal support,
yaitu pemberian informasi yang dapat membantu individu
dalam mengevaluasi performance pribadinya. Dukungan ini
dapat berupa pemberian informasi, nasehat, dan bimbingan.
5. Dukungan Integrasi Sosial
Dukungan Integrasi Sosial adalah perasaan individu
sebagai bagian dari kelompok. Dukungan ini dapat berupa
menghabiskan waktu bersama-sama dalam aktivitas,
rekreasional di waktu senggang. Dukungan ini dapat
mengurangi stres dengan memenuhi kebutuhan afiliasi dan
kontak dengan orang lain membantu mengalihkan perhatian
seseorang dari masalah yang mengganggu serta memfasilitasi
22
suatu suasana hati yang positif. Dukungan ini dapat meliputi
membuat lelucon, membicarakan minat, melakukan kegiatan
yang mendatangkan kesenangan.
2.1.4.2 Peranan Atasan/Supervisor
Supervisor (atasan) adalah orang yang paling menonjol dan
langsung berhubungan dengan pekerjaan individu, karena itu paling
mungkin untuk mewakili budaya organisasi atau iklim (Kozlowski
dan Doherty, dalam Zaigham, 2010), serta memiliki pengaruh
langsung terhadap perilaku bawahan. Dukungan atasan membantu
untuk menciptakan lingkungan dimana karyawan dengan mudah
terlibat dalam perilaku OCB. Menurut Eisenberger et al. (2002), ada
lima sudut pandang mengenai peranan atasan, yaitu :
a. Key man in management
Dalam sudut pandang ini atasan adalah orang yang membuat
keputusan, mengendalikan pekerjaan, mengintepretasikan
kebijakan dan secara umum dia adalah peran kunci dalam proses
penyelesaian tugas. Atasan mempresentasikan manajemen ke
pekerja dan disisi lain seorang atasan juga mempresentasikan
pekerja pada pihak manajemen.
Top Management
Supervisor
Worker
b. Man in the middle
Dalam sudut pandang ini atasan berada di antara 2 kekuatan
sosial yang saling bertentangan yaitu manajer dan pekerja. Di
satu sisi atasan dituntut manajemen untuk mengontrol produksi,
menjaga kedisiplinan pekerja dan mencegah terjadinya
kesalahan, tetapi di sisi lain atasan juga dituntut menjadi atasan
23
yang baik bagi pekerjanya dengan membantu mereka keluar dari
masalah serta mengintepretasikan perasaan dan keinginan
mereka pada pihak manajemen. Hal ini tentu saja menuntut
atasan untuk berupaya maksimal dan memiliki loyalitas tinggi
sehingga tidak jarang pada kondisi sepert ini seorang atasan
sering merasa tertekan.
Top Management
Supervisor
Worker
c. The marginal man
Konsep ini adalah sebuah pendekatan sosiologis yang
merujuk pada kenyataan bahwa seorang atasan berada di luar
atau dalam batas prinsip aktifitas dan pengaruh yang berkaitan
dengan departemennya.
Dengan kata lain atasan tidak berada dalam kekuasaan
manajemen, staff dan pekerja tetapi berdiri sendiri.
Top Management
Supervisor
Worker
d. Another worker
Dalam sudut pandang yang keempat ini atasan hanya
berubah nama, karena pada dasarnya seorang atasan tetaplah
seorang pekerja biasa, atasan dipandang sebagai “another
worker” karena 2 alasan. Pertama, karena atasan merasa
24
kehilangan wewenangnya, ia berada dalam lingkup pengambil
keputusan namun dia hanya pembawa keputusan tersebut.
Kedua, karena atasan merasa kehilangan status dan berpikir
bahwa pola yang ada hanya memposisikan dirinya sebagai pihak
yang mengintepretasikan kebijakan yang ada.
Top Management
Worker Supervisor
e. A human relations spesialist
Sudut pandang ini menganggap atasan sebagai staf pada
umumnya yang menangani sisi kemanusiaan (human) dari
operasional perusahaan dan mereka menanganinya sebagai sisi
teknikal. Dua hal yang terpenting dalam sudut pandang ini
adalah kemampuan berinteraksi dan bekerja sama dengan orang
lain.
Top Management
Staff (technical)
Supervisor (human)
Worker
2.1.4.3 Model pengawasan konseling dalam organisasi
Copeland, (2005) dalam bukunya yang berjudul “Counselling
Supervision in Organisation” menggambarkan bagaimana model
pengawasan konseling tertanam kuat dalam budaya organisasi,
budaya konseling dan pengawasan. Model tersebut akan terlihat pada
Gambar 2.1 sebagai berikut:
25
Sumber : Copeland, 2005; Counselling Supervision in Organisation
Gambar 2.1 Model pengawasan konseling dalam organisasi
2.1.4.4 Jenis – Jenis otoritas yang dimiliki atasan
Menurut Hughes dan Pengelly (dalam Copeland, 2005), ada
tiga jenis otoritas / kewenangan yang mencerminkan jenis kekuatan
atasan agar individu bekerja dalam konteks organisasi yang terdiri
dari :
a. Otoritas Peran (role authority)
Otoritas Peran adalah otoritas yang didelegasikan atau
pelimpahan wewenang untuk sebuah posisi dalam sebuah
organisasi sehingga seseorang dalam posisi tersebut dapat
melakukan pekerjaan dan memenuhi tanggung jawabnya. Dalam
hal ini atasan perlu memiliki posisi formal dalam organisasi
sehingga otoritas peran dapat berjalan.
Organizational Culture
Securing a supervisory
position Contracting for
supervisory work
Relationship within the
supervisory
Reporting back to the organisation
Evaluation, assessment, accreditation
Ending and new beginnings
Organizational Culture
Culture of
Supervisory
Counselling and
supervision
26
b. Otoritas Profesional (professional authority)
Otoritas Profesional didasarkan pada kompetensi dalam peran
kerja dan dapat diperoleh melalui pelatihan. Namun, itu hanya
diwujudkan dan diakui jika dipraktekkan dalam organisasi. Dalam
konteks organisasi, karyawan akan mengakui otoritas profesional
atasan mereka dan manajer lini mereka mungkin tidak akan
mengakui adanya otoritas profesional.
c. Otoritas Pribadi (personal authority)
Otoritas Pribadi adalah cara atasan menetapkan otoritas atau
kewenangan alami mereka dalam pengawasan peran dan
berkomunikasi dengan orang lain.
2.2 Kajian Penelitian Terdahulu
Menurut Chiang dan Hsieh (dalam Jin-Liang dan Hai-Zhen, 2012) ditemukan
bahwa pemberdayaan psikologis dapat memprediksi OCB dan adanya hubungan
positif antara pemberdayaan psikologis dengan OCB. Hal ini terbukti dengan hasil
penelitian yang dilakukan di empat perusahaan kecil di China bahwa tingkat beta
antara pemberdayaan psikologis dengan OCB sebesar β = 0,40, p < 0,001. Dalam
studi tersebut juga di katakan bahwa dimensi makna dan kompetensi cenderung lebih
menunjukkan OCB. Hubungan yang berbeda antara dimensi makna dengan OCB
melibatkan kepedulian individu mengenai tugas dan nilai-nilai yang konsisten
dengan cita-cita atau standar yang di inginkan.
Oleh karena itu, individu dengan tingkat dimensi makna yang lebih tinggi
dapat mengidentifikasi kelompok kerja mereka dan terlibat dalam perilaku yang
lebih menunjukan peran ekstra. Hubungan positif antara kompetensi dan OCB dapat
dijelaskan dengan konsep self-efficacy yang didasarkan pada dua dimensi: harapan
hasil dan harapan keberhasilan. Harapan Hasil menunjukkan bahwa perilaku
seseorang diasumsikan akan menghasilkan hasil tertentu sedangkan harapan
keberhasilan dapat didefinisikan sebagai perilaku menuju hasil yang diharapkan.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Lin dan Tseng (2013)
menyatakan bahwa Pemberdayaan Psikologis berpengaruh signifikan terhadap
Kepuasan Kerja. Hal ini terbukti dengan hasil penelitian yang dilakukan pada
Universitas Swasta di Taiwan bahwa tingkat pemberdayaan psikologis yang didapat
adalah β = 0.414, p < 0.001 dan koefisien korelasi kepuasan kerja dan pemberdayaan
27
psikologis adalah 0.739. Hal ini berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja
karyawan. Semakin tinggi identitas untuk pemberdayaan psikologis dari eksekutif
security kampus semakin tinggi kepuasan kerjanya. Dalam studi ini juga menemukan
bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam kognisi pemberdayaan psikologis antara
eksekutif security kampus karena perbedaan gender dan masa kerja. Sedangkan
untuk faktor status perkawinan, umur, pendidikan, masa kerja, bisnis utama, gaji
bulanan, jumlah staf, dan jumlah siswa tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap
pemberdayaan psikologis. Oleh sebab itu setiap perusahaan harus memikirkan
bentuk pemberdayaan psikologis yang sesuai dengan kebutuhan keryawan karena
hubungan antara variabel pemberdayaan psikologis dengan kepuasan kerja saling
berkaitan.
Berdasarkan hasil penelitian Foote dan Thomas (2008) menyatakan bahwa
kepuasan kerja berpengaruh signifikan terhadap OCB. Kepuasan kerja berpengaruh
signifikan terhadap OCB dengan tingkat signifikansi R = 0.37, R2 = 0.14, R 2 =
0.03, F = 4.70, p = 0.032 yang dipengaruhi faktor-faktor lain seperti kepribadian dan
suasana hati. Temuan ini dapat memberikan wawasan tentang situasi di mana
keterlibatan karyawan dalam tim mandiri tidak menghasilkan perubahan sikap. Jika
anggota tim belum mengembangkan hubungan kerja yang memuaskan dalam tim
mereka, mereka tidak mungkin telah mengembangkan modal sosial yang dapat
menyebabkan tingkat komitmen terhadap tim yang lebih tinggi.
Dalam penelitian Zaigham (2010), ditemukan bahwa antara dukungan atasan
dengan OCB berhubungan positif dengan OCB dengan tingkat signifikansi R =
0,841. Analisis ini juga menunjukkan hubungan positif antara pemberdayaan dengan
OCB sebesar R = 0,814. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan atasan juga
memainkan peran penting dalam mempromosikan OCB. Bantuan atasan dapat
mendorong bawahan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan penting,
memotivasi dan memberikan penghargaan kepada bawahannya untuk kebaikan
kinerja mereka, bawahan kemudian akan melakukan pekerjaan dengan energi penuh
dan merasa bahagia dan melakukan banyak pekerjaan yang bermanfaat bagi
organisasi.
Jian-Liang dan Hai-Zhen (2012) dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa
kepuasan kerja memediasi pengaruh positif antara pemberdayaan psikologis terhadap
OCB. Hal ini terbukti ketika kepuasan kerja terlibat ke dalam model hubungan antara
pemberdayaan psikologis dan OCB, bobot beta pemberdayaan psikologis menurun
28
0,43-0,34 (p < 0,001), dan bobot beta kepuasan kerja adalah 0,18 (p < 0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa kepuasan kerja dimediasi hubungan antara pemberdayaan
psikologis dan OCB. Hubungan ini adalah bahwa ketika karyawan memiliki tingkat
kepuasan dengan pekerjaan mereka, mereka lebih mungkin untuk mengidentifikasi
organisasi mereka dan menunjukkan perilaku yang tidak langsung diakui tetapi
bermanfaat bagi organisasi sebagai pertukaran sosial.
Menurut Wallace et al (dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012) ditemukan
bahwa efek positif pemberdayaan psikologis pada hasil kerja mungkin dimoderatori
oleh beberapa variabel. Misalnya, berbagi akuntabilitas menjadi moderator hubungan
antara iklim pemberdayaan psikologis dan kinerja layanan cepat restoran manajer.
Dukungan atasan mungkin menjadi faktor yang mempengaruhi pemberdayaan
psikologis, yang selanjutnya mengarah kepada hasil pekerjaan mereka. Sebuah studi
oleh Carless (dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012) dukungan atasan diperlakukan
sebagai dimensi iklim organisasi dan ditemukan bahwa dukungan atasan memiliki
efek positif terhadap pemberdayaan psikologis.
2.3 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jian-Liang dan Hai-Zhen (2012)
menemukan bahwa pemberdayaan psikologis secara langsung dan berpengaruh
positif terhadap kepuasan kerja dan kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap
komitmen organisasi dan OCB. Hal ini menunjukkan bahwa pemberdayaan
psikologis dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan dan komitmen organisasi
yang pada akhirnya akan meningkatkan OCB (Najafi et al, dalam Jian-Liang dan
Hai-Zhen, 2012). Penelitian tersirat mengungkapkan bahwa hubungan positif antara
pemberdayaan psikologis dan OCB mungkin dimoderasi oleh dukungan atasan
(Eisenberger et al, dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012). Dukungan atasan
dianggap menjadi faktor penting dalam mempengaruhi hasil kerja karyawan (Likert,
dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012).
Dukungan atasan dapat meningkatkan kinerja karyawan dengan memastikan
bahwa karyawan memahami tujuan mereka dengan membantu dan mendorong
karyawan yang mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan daripada beralih pada
hukuman. Dengan demikian, dukungan atasan dianggap sebagai sikap positif,
konstruktif, dan membantu terhadap karyawan (Locke et al., dalam Jian-Liang dan
29
Hai-Zhen, 2012). Berdasarkan uraian diatas maka dapat digambarkan kerangka
pemikiran sebagai berikut:
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
2.4 Hipotesis
Pemberdayaan psikologis pertama kali diusulkan oleh Conger dan Kanungo
(dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012) yang menganggap pemberdayaan sebagai
konsep motivasi self-efficacy. Dengan menggunakan teori Thomas dan Velthouse
(dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012) sebagai landasan teoritis, Spreitzer (dalam
Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012) mengembangkan skala yang banyak digunakan
dalam literatur untuk menilai empat komponen pemberdayaan yaitu : makna,
kompetensi, penentuan nasib sendiri, dan dampaknya. Makna melibatkan kesesuaian
antara persyaratan peran kerja dan keyakinan, nilai, dan perilaku.
Kompetensi atau yang sering disebut self-efficacy, mengacu pada keyakinan
individu akan kemampuannya untuk melakukan kegiatan dengan keterampilan (Gist
dan Mitchell, dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012). Penentuan nasib sendiri
mengacu pada pandangan individu dalam memulai dan mengatur tindakan (Deci
dkk., dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012).
Penentuan nasib sendiri mencerminkan kewenangan yang merupakan
kelanjutan dari perilaku dan proses. Dampak merupakan sejauh mana seseorang
dapat mempengaruhi hasil yang strategis atau kegiatan operasi di tempat kerja
(Ashforth, dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012). Dewettinck dan van Ameijde
(dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012) menemukan bahwa pemberdayaan
psikologis sebagian dimediasi oleh hubungan antara persepsi perilaku kepemimpinan
dan kepuasan kerja karyawan serta komitmen afektif.
Pemberdayaan Psikologis
Kepuasan Kerja
OCB
Dukungan Atasan
30
Pemberdayaan psikologis dapat menciptakan perilaku OCB karyawan karena
ketika karyawan merasa bahwa pekerjaan mereka sesuai dengan nilai-nilai mereka
sendiri, keyakinan, dan perilaku, mereka akan puas dengan pekerjaan mereka.
Akibatnya, karyawan menjadi lebih terlibat dan lebih teliti tentang pekerjaan mereka
dengan demikian dapat menunjukkan perilaku kerja yang lebih positif, seperti OCB.
Oleh karena itu wajar bagi seorang individu dengan tingkat self efficacy yang lebih
tinggi untuk menunjukkan perilaku lebih pada organisasi. Karyawan dengan harapan
yang tinggi terhadap diri mereka sendiri, cenderung untuk bekerja efektif dan
berhasil di tempat kerja sehingga akan melaksanakan tugas tambahan di luar
kewajiban formal. Selain itu, status mencerminkan pengaruh seorang individu
terhadap organisasi tempat mereka bekerja. Individu yang merasa bahwa mereka
memiliki rasa hormat dan sikap professional atau kekaguman pada rekan-rekan
mereka, mereka akan lebih cenderung untuk berkontribusi dalam organisasi.
Berdasarkan uraian diatas maka hipotesisnya adalah :
Hipotesis 1: Ada pengaruh yang signifikan antara Pemberdayaan Psikologis
terhadap OCB di PT. Karya Bajatama Raya.
Thomas and Velthouse (dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012)
mendefinisikan pemberdayaan psikologis sebagai empat kognisi yang mencerminkan
orientasi karyawan untuk peran kerjanya yang terdiri dari makna, kompetensi,
penentuan nasib sendiri, dan dampak. Menurut Seibert et al., (dalam Jian-Liang dan
Hai-Zhen, 2012) Pemberdayaan Psikologis berhubungan positif dengan kepuasan
kerja dan berhubungan negatif dengan ketegangan karyawan dan intensitas turnover
karyawan. Hubungan ini mungkin bahwa pemberdayaan psikologis dapat membawa
pribadi terkait dengan pekerjaan (Thomas dan Tymon, dalam Jian-Liang dan Hai-
Zhen, 2012). Berdasarkan uraian diatas maka hipotesisnya adalah :
Hipotesis 2: Ada pengaruh yang signifikan antara Pemberdayaan Psikologis
terhadap Kepuasan Kerja di PT. Karya Bajatama Raya.
Robbins (2006) menyatakan bahwa kepuasan kerja mengacu pada sikap
seorang individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan yang
tinggi, menunjukkan sikap positif terhadap pekerjaan. Sebaliknya, seseorang yang
tidak puas dengan karjanya menunjukkan sikap negatif terhadap pekerjaan
(Crossman, dan Bassem dalam Sani, 2013). Literatur psikologi sosial
mendokumentasikan hubungan antara suasana hati seseorang yang baik akan
menunjukkan kemungkinan seseorang untuk terlibat dalam perilaku atau tindakan
31
membantu. Kepuasan kerja dapat berhubungan dengan OCB ketika perilaku
seseorang mencerminkan atau mempengaruhi mood di tempat kerja, dan berdampak
positif pada perilaku OCB. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesisnya adalah :
Hipotesis 3: Ada pengaruh yang signifikan antara Kepuasan Kerja terhadap
OCB di PT. Karya Bajatama Raya.
Atasan merupakan peran penting dalam meningkatkan karakteristik motivasi
dari lingkungan kerja seperti wewenang pekerjaan. Pemimpin yang efektif
seharusnya memberikan feedback tentang peran dan tugas yang dapat meningkatkan
pengalaman positif karyawan (Griffin, Patterson & Barat dalam Zaigham, 2010).
Bawahan yang bekerja dengan atasan yang kasar melakukan perilaku OCB dengan
bantuan dari rekan-rekan kerja (Zellars, Tepper & Duffy dalam Zaigham, 2010).
Menurut Studi Loke (dalam Zaigham, 2010) mengungkapkan bahwa perilaku
kepemimpinan memiliki dampak yang besar pada hasil karyawan. Seorang manajer
tidak hanya menggunakan perilaku kepemimpinan tetapi harus menggunakannya
dengan tepat untuk mempengaruhi karyawan sehingga mendapatkan hasil yang lebih
baik. Jika tidak, pihak lain akan mencoba untuk menyediakan lingkungan yang
mendukung untuk meningkatkan kepuasan kerja, produktivitas dan komitmen
organisasi. Karyawan mampu mengidentifikasi sumber perlakuan tidak adil di
tempat kerja terutama pada atasan atau rekan kerja. Hal ini dapat menimbulkan
ketidakpuasan karyawan, kesulitan, dan perilaku agresif. (Ladebo, Awotunde &
Saghir dalam Zaigham, 2010). Berdasarkan uraian diatas maka hipotesisnya adalah :
Hipotesis 4: Ada pengaruh yang signifikan antara Dukungan Atasan
terhadap OCB di PT. Karya Bajatama Raya.
Hubungan positif antara kepuasan kerja dan pemberdayaan psikologis juga
telah dilaporkan dalam penelitian empiris (Chiang dan Hsieh, Dewettinck dan
Ameijde, Gregory et al, Seibert et al dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012). Selain
hubungan positif antara pemberdayaan psikologis, kepuasan kerja dan OCB, para
ahli menyarankan bahwa kepuasan kerja mungkin menjadi mediator antara
pemberdayaan psikologis dengan OCB (Bogler dan Somech dalam Jian-Liang dan
Hai-Zhen, 2012). Karyawan yang puas dengan pekerjaan mereka akan lebih
mungkin untuk mengidentifikasi organisasi mereka dan lebih mungkin untuk
menunjukkan perilaku yang tidak langsung diakui tetapi bermanfaat bagi organisasi.
Para peneliti juga menemukan bahwa kepuasan kerja merupakan predictor positif
OCB (Payne dan Webber, Williams dan Anderson dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen,
32
2012). Pemberdayaan psikologis secara langsung dan berpengaruh positif terhadap
kepuasan kerja dan kepuasan kerja positif terhadap komitmen organisasi dan OCB
(Najafi et al., dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa
pemberdayaan psikologis dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan dan
komitmen organisasi pada akhirnya akan meningkatkan OCB. Berdasarkan uraian
diatas maka hipotesisnya adalah :
Hipotesis 5: Ada pengaruh yang signifikan antara Pemberdayaan Psikologis
terhadap OCB dengan Kepuasan Kerja sebagai variabel mediator di PT.
Karya Bajatama Raya.
Dukungan atasan dianggap menjadi faktor penting dalam mempengaruhi
hasil kerja karyawan (Likert, dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012). Dukungan
atasan dapat meningkatkan kinerja karyawan dengan memastikan bahwa karyawan
memahami tujuan mereka dan membantu mendorong karyawan yang mengalami
kesulitan dalam mencapai tujuan daripada beralih hukuman. Dengan demikian,
dukungan atasan dianggap sebagai sikap positif yang membantu karyawan (Locke et
al., dalam Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012). Menurut Taylor dan Bowers (dalam
Jian-Liang dan Hai-Zhen, 2012) menemukan bahwa dukungan yang unggul dari
atasan berhubungan dengan produktivitas karyawan. Dukungan dari atasan dapat
memotivasi karyawan dengan melakukan pengawasan pada imbalan karyawan dan
tanggung jawab untuk aktivitas kerja (Steers dan Lyman, dalam Jian-Liang dan Hai-
Zhen, 2012). Oleh karena itu, dukungan atasan memiliki efek positif pada kedua
motivasi dan kinerja yang dihasilkan bawahan. Dengan demikian dapat
meningkatkan hubungan antara pemberdayaan psikologis dan OCB. Berdasarkan
uraian diatas maka hipotesisnya adalah:
Hipotesis 6: Ada pengaruh yang signifikan antara Pemberdayaan
Psikologis terhadap OCB dengan Dukungan Atasan sebagai variabel
moderator di PT. Karya Bajatama Raya.
top related