bab 2
Post on 31-Oct-2014
42 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Tuberkulosis
1.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
TB (Mycobacterium tuberculosis), yang masih merupakan anggota Genus
Mycobacterium. Keluarga Mycobacterium yang berkaitan dengan
masalah kesehatan di masyarakat adalah M. bovis, M. leprae, dan
M. tuberculosis. Sebagian besar bakteri TB menyerang organ paru (90%),
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.(Price, Sylvia A & M.
Wilson, 2005)
1.2. Bakteri Tuberkulosis
M. tuberculosis ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu
tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut pula sebagai
basil tahan asam (BTA). Dinding bakteri TB terdiri dari asam lemak dan
lipid, yang membuat lebih tahan asam. Bakteri TB cepat mati dengan
sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di
tempat gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh bakteri ini dapat
dormant, tertidur lama selama beberapa tahun. Bakteri hidup sebagai
parasit intra selular di dalam jaringan, yakni dalam sitoplasma makrofag.
Makrofag yang semula memfagositosis malah kemudian disenanginya
karena banyak mengandung lipid. Sifat lain bakteri ini adalah aerob. Sifat
ini menunjukkan bahwa bakteri lebih menyenangi jaringan yang tinggi
kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal
paru lebih tinggi dari pada bagian yang lain, sehingga bagian apikal ini
merupakan tempat predileksi penyakit TB (Jawetz, 2005).
Di luar tubuh manusia, kuman M. tuberculosis hidup baik pada
lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari 6
2
(Depkes RI, 2002). M. tuberculosis mempunyai panjang 1-4 mikron dan
lebar 0,2-0,8 mikron. Bakteri ini melayang di udara dan disebut droplet
nuclei (Girsang, 1999).
Menurut Atmosukarto (2000), bakteri tuberkulosis dapat bertahan hidup
pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar matahari sampai
bertahun-tahun lamanya. Tetapi bakteri tuberkulosis akan mati bila
terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api (Atmosukarto &
Soewasti, 2000). Menurut Girsang (1999), bakteri tuberkulosis jika
terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam, selain itu kuman
tersebut akan mati oleh tinctura iodi selama 5 menit dan juga oleh ethanol
80 % dalam waktu 2 sampai 10 menit serta oleh fenol 5 % dalam waktu
24 jam.
Bakteri M. tuberculosis seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan
tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi.
Air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal
penting untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Gould
& Brooker, 2003). Menurut Notoatmodjo (2003), kelembaban udara
yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri
patogen termasuk tuberkulosis.
Menurut Gould & Brooker (2003), bakteri M. tuberculosis memiliki
rentang suhu yang disukai. M. tuberculosis merupakan bakteri mesofilik
yang tumbuh subur dalam rentang 25 – 40⁰ C, tetapi akan tumbuh secara
optimal pada suhu 31-37 ⁰ C (Depkes RI, 1999; Gould & Brooker, 2003;
Gibson, 1996; Girsang, 1999; Lubis, 1999).
Manusia merupakan reservoar untuk penularan bakteri M.
tuberculosis (Gibson, 1996; Tambajong, 2000; Atmosukarto, 2000).
Bakteri tuberkulosis ditularkan melalui droplet nuclei. Seorang penderita
tuberkulosis dapat menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002).
Menurut penelitian Pusat Ekologi Kesehatan (1996), menunjukkan
tingkat penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup
3
tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3
orang di dalam rumahnya. Di dalam rumah dengan ventilasi baik, kuman
ini dapat hilang terbawa angin dan akan lebih baik lagi jika ventilasi
ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa ”menangkap”
bakteri TB (Atmosukarto & Soeswati, 2000).
Klasifikasi (menurut Jawetz,2005) :
Kingdom : Bacteria
Phylum : Actinobacteria
Order : Actinomycetales
Suborder : Corynebacterineae
Family : Mycobacteriaceae
Genus : Mycobacterium
Species : Mycobacterium tuberculosis
Gambar 2.1. Mikrograf electron scan Mycobacterium tuberculosis
1.3. Cara Penularan TB Paru
Lingkungan yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan
sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Bakteri TB ditularkan dari
orang ke orang oleh transmisi droplet (partikel kecil cairan yang
dimuntahkan dari mulut pada waktu batuk, bersin, atau berbicara, yang
mungkin membawa infeksi untuk yang lain melalui udara). Droplet yang
besar (lebih besar dari 100 mikron) menetap, sementara droplet yang
kecil (1-5 mikron) tertahan di udara dan terhirup oleh individu yang
4
rentan. Risiko untuk tertular TB juga tergantung pada banyaknya
organisme yang terdapat di udara.(Smeltzer, Suzanne C & Bare, 2001).
1.4. Perjalanan penyakit TB Paru
a. Infeksi Primer (PDPI, 2006)
Bakteri TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini selanjutnya akan
terlihat peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangiitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di
hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan
limfangiitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer
ini akan mengalami salah satu keadaan sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
(resolution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain
sarang Ghon, garis fibrotik, dan sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
Perkontinuitatum, yaitu menyebar ke sekitarnya. Salah satu
contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh
kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan
obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat
atelektasis. Bakteri TB akan menjalar sepanjang bronkus
yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis
tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan
maupun ke paru sebelahnya atau tertelan.
Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran
ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan
virulensi bakteri. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh
5
secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imunitas
yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan
cukup gawat seperti TB milier, Meningitis tuberculosa,
Typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat
menimbulkan TB pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,
ginjal, anak ginjal, genitalia, dan sebagainya.
Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
Sembuh dengan meninggalkan squalae (misalnya
pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat
Ensefalomeningitis tuberkuloma) atau
Meninggal.
b. TB Pasca Primer
TB pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun
akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari TB pasca
primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau
efusi pleura.
1.5. Gejala-Gejala TB
Gejala-gejala yang menunjukkan penyakit TB Paru adalah:
a. Gejala Utama (Depkes RI, 2008)
Batuk terus menerus dan berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
b. Gejala Tambahan (Amin, Zulkifli & Bahar, 2006) :
1) Dahak bercampur darah
2) Batuk darah
3) Sesak nafas dan nyeri dada
4) Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa
kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa
kegiatan, dan demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut dijumpai pula pada penyakit paru selain
TB, oleh sebab itu orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan
6
(UPK) dengan gejala seperti di atas harus dianggap “suspect
tuberculosis” atau tersangka penderita TB dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.(Depkes RI , 2002)
1.6. Diagnosis TB Paru.(Depkes RI,2007,2002)
Pada orang dewasa:
a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,
yaitu sewaktu – pagi – sewaktu (SPS).
b. Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya bakteri TB (BTA). Pada program TB Nasional, penemuan
BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis
utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan, dan uji kepekaan
dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya.
c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan
foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas
pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
d. Gambaran kelainan radiologis paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit.
Bagan 2.1. Alur diagnosis TB Paru (Depkes RI,2008)
7
Pemeriksaan tambahan : (Zevitz, M, 2006)
a. Radiologi
Gambaran foto toraks pada TB tidak khas; kelainan-kelainan radiologis
pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya foto toraks
yang normal tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan
pemeriksaan penunjang lain mendukung. Dengan demikian foto toraks
saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran
milier.
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai
berikut:
Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan / tanpa infiltrat
Konsolidasi segmental / lobar
Milier
Kalsifikasi dengan infiltrat
Atelektasis
Kavitas
Efusi pleura
Tuberkuloma
Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi
harus disertai dengan foto lateral , mengingat bahwa pembesaran KGB di
daerah hilus biasanya lebih jelas pada foto lateral. Jika dijumpai
ketidaksesuaian antara gambaran radiologis yang berat dan gambaran
klinis ringan, maka harus dicurigai TB.
b.Mikrobiologi
Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan bakteri TB pada
pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan
terdiri dari dua macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung
untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan bakteri M.tuberculosis.
Pemeriksaan tersebut sulit dilakukan pada anak karena sulitnya
8
mendapatkan spesimen berupa sputum. Sebagai gantinya, dilakukan
pemeriksaan bilas lambung (gastric lavage) 3 hari berturut-turut, minimal
2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada anak sebagian
besar negatif, sedangkan hasil biakan M.tuberculosis memerlukan waktu
yang lama yaitu sekitar 6-8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan
yang hasilnya diperoleh lebih cepat ( 1-3 minggu ), yaitu pemeriksaan
Bactec, tetapi biayanya mahal dan secara teknologi lebih rumit. Selain itu
dapat juga digunakan pemeriksaan PCR yang merupakan teknik
amplifikasi urutan DNA yang spesifik. Secara teori, dengan metode ini,
kuman yang berasal dari spesimen bilas lambung akan dapat dideteksi
meskipun hanya ada satu bakteri M.tuberculosis pada bahan pemeriksaan,
sehingga diharapkan sensitivitasnya cukup tinggi.
c. Patologi anatomi
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang
ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi
oleh limfosit. Granuloma tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau
area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya
ditemukannya multinucleated giant cell (sel datia langhans). Diagnosis
histopatologik dapat ditegakkan dengan menemukan perkijuan (kaseosa),
sel epiteloid, limfosit dan sel datia Langhans. Kadang-kadang dapat
ditemukan juga BTA.
d. Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya tidak
sensitif dan tidak spesifik. Pada saat tuberculosis mulai (aktif) akan
didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis
pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap
darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit
mulai normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai
turun ke arah normal lagi.
9
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga : anemia ringan dengan
gambaran normokrom dan normositer, gama globulin meningkat, kadar
natrium darah menurun.
Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga
dipakai yakni Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB) yang oleh beberapa
peneliti mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifitasnya yang cukup
tinggi (85-95%). Prinsip dasar uji PAP-TB ini adalah menentukan adanya
antibody IgG yang spesifik tehadap antigen M. tuberculosis. Sesbagai
antigen dipakai polimer sitoplasma M.tuberculin var bovis BCG yang
dihancurkan secara ultrasonik dan dipisahkan secara ultrasentrifus. Hasil
uji PAP-TB dinyatakan patologis bila pada titer 1:10.000 didapatkan hasil
uji PAP-TB positif. Hasil positif palsu kadang-kadang masih didapatkan
pada pasien reumatik, kehamilan, dan masa 3 bulan revaksinasi BCG.
e.Sputum
Pemeriksaan sputum adalah sangat penting karena dengan
ditemukannya bakteri BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat
dipastikan. Di samping itu juga dapat memberikan evaluasi terhadap
pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah,
namun kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama
pasien yang tidak batuk atau batuk yang tidak produktif. Dalam hal ini
dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan
minum air sebanyak ± 2 liter dan diajarkan melakukan reflek batuk.
Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik
ekspektoran atau inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit.
BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini
sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan
dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya
ditemukan 3 batang bakteri BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain
diperlukan 5.000 bakteri dalam 1 mL sputum. Untuk pewarnaan sediaan
10
dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok yang merupakan modifikasi
gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.
Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa juga
terdapat bakteri BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini
terjadi pada fenomen dead bacilli atau culturable bacilli yang disebabkan
keampuhan panduan obat antituberkulosis jangka pendek yang cepat
mematikan bakteri BTA dalam waktu pendek.
Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan
biakan, bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari bilasan
bronkus, jaringan paru, pleura, cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan
serebrospinal, urin, dan spinal.
Diagnosis kerja TB anak dibuat berdasarkan adanya kontak terutama
dengan pasien TB dewasa aktif/baru, kumpulan gejala dan tanda klinis,
uji tuberkulin, dan gambaran sugestif pada foto toraks.
1.7. Klasifikasi Penyakit (PDPI,2006)
1. TB paru, merupakan bentuk yang paling sering dijumpai, yaitu
sekitar 80% dari semua penderita TB. TB yang menyerang jaringan paru
ini merupakan satu-satunya bentuk TB yang dapat menular.
2. TB ekstra paru merupakan TB yang menyerang organ tubuh, selain
paru. Organ tersebut biasanya adalah pleura, selaput otak, selaput jantung,
kelenjar limfe, tulang belakang, perut, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, organ reproduksi dan lain-lain.
1.8. Tipe penderita (Depkes RI, 2002)
Tipe penderita berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi
menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:
a. Kasus baru
11
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT (Obat Anti
Tuberkulosis) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4
minggu).
b. Kasus Kambuh (Relaps)
Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali
dengan BTA positif (apusan atau kultur).
c. Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
d. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB
lain untuk melanjutkan pengobatannya.
f. Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
Gambar.2.2. Proporsi pasien TB Per Tipe (Depkes RI,2010)
1.9. Pengobatan TB (Depkes RI, 2007)
12
a. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan,dan
mencegah terjadinya resistensi bakteri terhadap OAT.
b. Jenis, sifat dan dosis OAT
Obat yang dipakai :
1) Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
· Rifampisin
· INH
· Pirazinamid
· Streptomisin
· Etambutol
2) Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
· Kanamisin
· Amikasin
· Kuinolon
· Obat lain masih dalam penelitian : makrolid, amoksilin + asam
klavulanat
· Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :
o Kapreomisin
o Sikloserino PAS (dulu tersedia)
o Derivat rifampisin dan INH
o Thioamides (ethionamide dan prothionamide)
Sifat-sifat OAT :
1. Isoniazid (H)
Mempunyai sifat bakterisid. Dosis harian yang direkomendasikan adalah
4-6 mg/kg, sedangkan dosis untuk tiga kali seminggu adalah 8-12 mg/kg.
2. Rifampicin (R)
13
Mempunyai sifat bakterisid. Dosis harian yang direkomendasikan adalah
8-12 mg/kg, sedangkan dosis untuk tiga kali seminggu adalah 8-12
mg/kg.
3. Pyrazinamide (Z)
Mempunyai sifat bakterisid. Dosis harian yang direkomendasikan adalah
20-30 mg/kg. Dosis tiga kali seminggu yang direkomendasikan adalah
30-40 mg/kg.
4. Steptomycin (S)
Mempunyai sifat bakterisid. Dosis harian adalah 12-18 mg/kg, sedangkan
dosis tifa kali seminggu adalah 12-18 mg/kg.
5. Ethambutol (E)
Mempunyai sifat bakteriostatik. Dosis harian yang direkomendasikan
adalah 15-20 mg/kg, sedangkan dosis untuk tiga kali seminggu adalah 20-
35 mg/kg.
c. Prinsip Pengobatan
Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOTS = Directly Observed Treatment
Shortcourse) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapatkan obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Pasien menular biasanya menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu, bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat.
Pasien TB BTA positif, sebagian besar menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
14
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
membunuh bakteri persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
d. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
TB di Indonesia:
1) Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien baru TB paru BTA positif
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru
2) Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
3) OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
4) Kategori Anak: 2HRZ/4HR.
1.10. Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru
Mencegah lebih baik dari pada mengobati, kata-kata itu selalu menjadi
acuan dalam penanggulangan penyakit TB-Paru di masyarakat. Adapun
upaya pencegahan yang harus dilakukan adalah :
a. Penderita tidak menularkan kepada orang lain ;
1. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan atau
tissu.
15
2. Tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama
pengobatan.
3. Tidak meludah di sembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi
lysol, kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah.
4. Menjemur alat tidur secara teratur pada pagi hari.
5. Membuka jendela pada pagi hari, agar rumah mendapat udara bersih
dan cahaya matahari yang cukup sehingga kuman tuberkulosis paru dapat
mati.
b. Masyarakat tidak tertular dari penderita tuberkulosis paru ;
1. Meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan makan- makanan
yang bergizi
2. Tidur dan istirahat yang cukup
3. Tidak merokok dan tidak minum-minuman yang mengandung
alkohol.
4. Membuka jendela dan mengusahakan sinar matahari masuk ke ruang
tidur dan ruangan lainnya.
5. Imunisasi BCG pada bayi.
6. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu.
7. Menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita Tuberkulosis
Paru akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh
yang tinggi, dan 25% sebagai kasus kronik yang tetap menular. (Depkes
RI, 2001)
1.11. Epidemiologi Tuberkulosis Paru
Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang
mempelajari interaksi antara kuman (agent) M. tuberculosis, manusia
(host) dan lingkungan (environment). Disamping itu mencakup distribusi
dari penyakit, perkembangan dan penyebarannya, termasuk didalamnya
juga mencakup prevalensi dan insidensi penyakit tersebut yang timbul
dari populasi yang tertular. Pada penyakit tuberkulosis paru sumber
infeksi adalah manusia yang mengeluarkan basil tuberkel dari saluran
16
pernafasan. Kontak yang rapat (misalnya dalam keluarga) menyebabkan
banyak kemungkinan penularan melalui droplet.
Kerentanan penderita tuberkulosis paru meliputi risiko memperoleh
infeksi dan konsekuensi timbulnya penyakit setelah terjadi infeksi,
sehingga bagi orang dengan uji tuberkulin negatif risiko memperoleh
basil tuberkel bergantung pada kontak dengan sumber-sumber bakteri
penyebab infeksi terutama dari penderita tuberkulosis dengan BTA
positif. Konsekuensi ini sebanding dengan angka infeksi aktif penduduk,
tingkat kepadatan penduduk, keadaan sosial ekonomi yang merugikan
dan perawatan kesehatan yang tidak memadai Berkembangnya penyakit
secara klinik setelah infeksi dimungkinkan adannya faktor komponen
genetik yang terbukti pada hewan dan diduga terjadi pada manusia, hal
ini dipengaruhi oleh umur, kekurangan gizi dan kenyataan status
immunologik serta penyakit yang menyertainya.
Epidemiologi tuberkulosis paru mempelajari tiga proses khusus yang
terjadi pada penyakit ini, yaitu;
a. Penyebaran atau penularan dari kuman tuberkulosis
b. Perkembangan dari bakteri tuberkulosis paru yang mampu
menularkan pada orang lain setelah orang tersebut terinfeksi dengan
bakteri Tuberkulosis.
c. Perkembangan lanjut dari bakteri tuberkulosis sampai penderita
sembuh atau meninggal karena penyakit ini. (Styblo K,1996).
1.12. Faktor Risiko Tuberkulosis Paru
Faktor risiko yaitu semua variabel yang berperan timbulnya
kejadian penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor risiko penyakit
tuberkulosis paru saling berkaitan satu sama lainnya. Berbagai faktor
risiko dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu;
kependudukan dan faktor lingkungan.
17
a. Faktor Risiko Karakteristik Penduduk/prajurit
Kejadian penyakit tuberkulosis paru merupakan hasil interaksi antara
komponen lingkungan yakni udara yang mengandung basil tuberkulosis,
dengan masyarakat serta dipengaruhi berbagai faktor variabel yang
mempengaruhinya. Variabel pada masyarakat secara umum dikenal
sebagai variabel kependudukan. Banyak variabel kependudukan yang
memiliki peran dalam timbulnya atau kejadian penyakit tuberkulosis
paru, yaitu:
1) Jenis Kelamin
Dari catatan statistik meski tidak selamanya konsisten, mayoritas
penderita tuberkulosis paru adalah wanita, hal ini masih memerlukan
penyelidikan dan penelitian lebih lanjut, baik pada tingkat behavioural,
tingkat kejiwaan, sistem pertahanan tubuh, maupun tingkat molekuler.
Untuk sementara, diduga jenis kelamin wanita merupakan faktor
risiko yang masih memerlukan evidence pada masing-masing wilayah
sebagai dasar pengendalian atau dasar manajemen.
2) Umur
Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru,
risiko untuk mendapatkan penyakit tuberkulosis paru dapat dikatakan
seperti kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun
karena diatas 2 tahun hingga dewasa memiliki daya tangkal terhadap
tuberkulosis paru dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan
menurun kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang usia tua.
Namun di Indonesia diperkirakan 75% penderita tuberkulosis paru adalah
usia produktif yaitu 15 hingga 50 tahun. (Depkes,2002). Kekuatan untuk
melawan infeksi adalah tergantung pertahanan tubuh dan ini sangat
dipengaruhi oleh umur penderita. Pada awal kelahiran pertahanan tubuh
sangat lemah dan akan meningkat secara perlahan sampai umur 10 tahun,
setelah masa pubertas pertahanan tubuh lebih baik dalam mencegah
penyebaran infeksi melalui darah, tetapi lemah dalam mencegah
18
penyebaran infeksi di paru. Tingkat umur penderita dapat mempengaruhi
kerja efek obat, karena metabolisme obat dan fungsi organ tubuh kurang
efisien pada bayi yang sangat mudah dan pada orang tua, sehingga dapat
menimbulkan efek yang lebih kuat dan panjang pada kedua kelompok
umur ini (Crofton, 2002).
3) Status Gizi
Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam
timbulnya kejadian tuberkulosis paru, tentu saja hal ini masih tergantung
variabel lain yang utama yaitu ada tidaknya kuman tuberkulosis pada
paru. Seperti diketahui kuman tuberkulosis merupakan kuman yang suka
tidur hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk bangun
dan menimbulkan penyakit maka timbulah kejadian penyakit tuberkulosis
paru. Oleh karena itu salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi
yang baik, baik pada wanita, laki-laki, anak-anak maupun dewasa.
Status gizi yang buruk merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru, kekurangan kalori dan protein
serta kekurangan zat besi dapat meningkatkan risiko terkena tuberkulosis
paru, cara pengukurannya adalah dengan membandingkan berat badan
dan tinggi badan atau Indek Masa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat
yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya
yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka
mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat
mencapai usia harapan hidup lebih panjang. Penggunaan IMT hanya
berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun, IMT tidak dapat
diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olah ragawan,
disamping itu pula IMT tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus
(penyakit) lainnya seperti edema, asites dan hepatomegali. Adapun rumus
perhitungan IMT adalah sebagai berikut:
IMT = Berat Badan (kg)
19
Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)
Atau Berat badan (dalam kilogram) dibagi kuadrat tinggi badan (dalam
meter).
Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan
FAO/WHO, yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan
perempuan. Batas ambang normal laki-laki adalah 20,1-25,0 dan untuk
perempuan adalah 18,7-23,8. Untuk batas ambang IMT orang Indonesia
adalah < 17-18,4 (kurus), 18,5-25,0 (normal), 25,0-27,0 (gemuk).23
Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dalam tabel berikut;
Kategori IMT
Kurus Kekurangan Berat Badan tingkat berat
< 17,0
Kekurangan Berat Badan tingkat ringan
17,0 –
18,0
Normal
>18,5 –
25,0
Gemuk Kelebihan Berat Badan tingkat ringan
> 25,0
– 27,0
Kelebihan Berat Badan tingkat berat
> 27,0
Tabel 2.1. Kategori Ambang batas IMT untuk Indonesia.(Supariasa, Bakri,& Fajar, 2001)
4) Kondisi Sosial Ekonomi
WHO (2003) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di
dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin.
Hubungan antara kemiskinan dengan penyakit tubekulosis bersifat timbal
balik, tuberkulosis merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin
20
maka manusia menderita tuberkulosis. Kondisi sosial ekonomi , mungkin
tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan
penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, serta
perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan
juga menurun kemampuannya. Menurut perhitungan rata-rata penderita
tuberkulosis kehilangan 3 sampai 4 bulan waktu kerja dalam setahun, dan
juga kehilangan penghasilan setahun secara total mencapai 30% dari
pendapatan rumah tangga. Tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan sangat
mempengaruhi terjadinya kasus tuberkulosis paru atau keberhasilan
pengobatan, status sosial ekonomi keluarga diukur dari jenis, keadaan
rumah, kepadatan penghuni per kamar, status pekerjaan dan harta
kepemilikan. Masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah sering
mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik,
sehingga penyakit tuberkulosis paru menjadi ancaman bagi mereka.
Penyebab terbesar menurunya kasus tuberkulosis paru adalah
meningkatnya tingkat sosial ekonomi keluarga tetapi faktor lain akibat
sosial ekonomi adalah pengaruh lingkungan rumah secara fisik baik pada
ventilasi, pencahayaan, kepadatan rumah dan pemenuhan gizi (Lubis, P.
1996).
5) Kebiasaan Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan
risiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner,
bronchitis kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok
meningkatkan risiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Menurut
Departemen Kesehatan melalui pusat promosi kesehatan menyatakan
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki
tingkat konsumsi rokok dan produksi rokok tertinggi. Berdasarkan data
dari WHO tahun 2002 Indonesia menduduki urutan ke 5 terbanyak dalam
konsumsi rokok di dunia dan setiap tahunnya mengkonsumsi 2,5 miliar
batang rokok. Angka kekerapan merokok di Indonesia yaitu 60%-70%
pada laki-laki di perkotaan dan 80% - 90%. Dari hasil Sussenas (Survei
21
Sosial Ekonomi Nasional) 2001 menyatakan bahwa 54% penduduk laki-
laki merupakan perokok dan hanya 1,2% perempuan yang merokok.
Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya
infeksi TB Paru. Kebiasan merokok akan merusak mekanisme pertahanan
paru yang disebut muccociliary clearance. Bulu-bulu getar dan bahan lain
di paru tidak mudah membuang infeksi yang sudah masuk karena bulu
getar dan alat lain di paru rusak akibat asap rokok. Selain itu, asap rokok
meningkatkan tahanan jalan napas (airway resistence) dan menyebabkan
mudah bocornya pembuluh darah di paru-paru, juga akan merusak
makrofag yang merupakan sel yang dapat memfagosit bakteri pathogen.
(Priyadi,2003).
b.Faktor Risiko lingkungan Penduduk/Prajurit
1) Kondisi Lingkungan Rumah
Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi lingkungan rumah dalam risiko
kejadian infeksi tuberkulosis adalah kepadatan rumah, intensitas cahaya
yang masuk, dan kelembapan udara (Crofton, 2002). Persentase rumah
tangga di Indonesia yang masih tinggal di rumah yang padat pada tahun
2004 adalah sebesar 20% (Desmon, 2006). Menurut Dahlan (2001) dalam
Desmon (2006), orang yang tinggal dengan tingkat kepadatan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko 3,8 kali untuk menderita
tuberkulosis dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan kepadatan
hunian yang memenuhi syarat kesehatan. Menurut Supriyanto (1997)
dalam Desmon (2006), luas lantai yang dibutuhkan oleh 1 orang adalah
8,3 m2.
Intensitas cahaya yang alami, yaitu sinar matahari, sangat berperan
dalam penularan kuman TB karena kuman TB relatif tidak tahan terhadap
terhadap sinar matahari (Depkes, 2006). Menurut Musadad (2006) dalam
Desmon (2006), rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai
risiko 3,7 kali untuk menularkan tuberkulosis dibandingkan dengan
rumah yang tidak dimasuki sinar matahari. Kelembapan udara
mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Menurut Desmon (2006)
kelembapan udara dipengaruhi oleh ventilasi yang baik, yaitu minimal
22
10% dari luas lantai. Menurut Mulyadi (2003) dalam Desmon (2006),
rumah yang memiliki kelembapan lebih dari 60% memiliki risiko terkena
infeksi tuberculosis 10,7 kali dibandingkan dengan rumah yang
kelembapannya lebih kecil dari 60%.
Faktor risiko kejadian penyakit tuberkulosis paru, secara ringkas
digambarkan pada gambar berikut :
Bagan 2.2. Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru.(Depkes RI,2008)
23
2. Kesehatan Matra
1.1. Pendahuluan
Secara umum Kesehatan Matra merupakan salah satu upaya
kesehatan seperti yang tercantum dalam pasal 97 Undang undang Nomor
36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Upaya Kesehatan Matra juga
mencakup pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Kesehatan Matra merupakan kegiatan khusus yang diselenggarakan untuk
menghadapi kondisi dari seluruh aspek matra yang berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup manusia dalam lingkungannya.
Menurut Pedoman Kesehatan Matra Depkes yang
ditetapkan melalui Kepmenkes 1215/Menkes/SK/XI/2001 Ruang
Lingkup Kesehatan Matra dibagi menjadi :
1. Kesehatan Matra Lapangan ( Darat )
Upaya Kesehatan Haji
Upaya Kesehatan Transmigrasi
Upaya Kesehatan Penanggulangan Korban Akibat Bencana
Upaya Kesehatan di bumi perkemahan
Upaya Kesehatan Akibat Gangguan Kamtibmas
Upaya Kesehatan Lintas Alam
Upaya Kesehatan Bawah Tanah
Upaya Kesehatan Wisata dll
2. Kesehatan Matra Kelautan dan Bawah Air ( Laut )
Upaya Kesehatan Penyelaman dan Hyperbarik
Upaya Kesehatan Pelayaran dan Lepas Pantai, yang
merupakan domain dari Kesehatan TNI AL
3. Kesehatan Matra Dirgantara ( Udara )
Upaya Kesehatan Penerbangan, yang merupakan domain dari
Kesehatan TNI AU.
1.2. Definisi (Dirkes Angkatan Darat, 2004)
24
a. Matra adalah dimensi / lingkungan / wahana / media tempat
seseorang atau sekelompok orang melangsungkan hidup serta
melaksanakan kegiatan.
b. Kondisi Matra adalah keadaan dari seluruh aspek pada matra
yang serba berubah dan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dan
pelaksanaan kegiatan manusia yang hidup dalam lingkungan tersebut.
c. Kesehatan Matra adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan fisik dan mental guna menyesuaikan diri
terhadap lingkungan yang berubah secara bermakna baik di lingkungan
darat, laut dan udara.
Kesehatan Matra Darat adalah kesehatan matra yang berhubungan
dengan pekerjaan / kegiatan di daratan yang spesifik, bersifat temporer
dan serba berubah serta mempunyai dampak terhadap kondisi fisik,
mental dan kemampuan melaksanakan kegiatan individu yang
bersangkutan.
d. Ilmu Kesehatan Militer adalah ilmu kesehatan yang meliputi
kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diterapkan
dalam lingkup tugas dan pekerjaan kemiliteran di darat.
e. Kesehatan Militer Matra Darat meliputi :
1) Ilmu Kesehatan Matra Darat adalah ilmu kesehatan yang
berhubungan dengan pekerjaan / kegiatan prajurit di matra darat yang
spesifik, bersifat temporer dan serba berubah serta mempunyai dampak
terhadap kondisi fisik, mental dan kemampuan prajurit tersebut dalam
melaksanakan tugas pokoknya.
2) Ilmu Kesehatan Kerja Militer adalah ilmu kesehatan yang
berhubungan dengan pencegahan dan penanganan penyakit yang
disebabkan oleh pekerjaan / kegiatan prajurit dalam melaksanakan tugas
kemiliteran di darat.
2.3. Ilmu Kesehatan Matra Darat (Direktorat Kesehatan Angkatan
Darat, 2004) :
a. Aspek Suhu
25
1) Kesehatan pada lingkungan panas.
a) Adaptasi pada lingkungan panas.
b) Pencegahan penyakit akibat lingkungan panas
c) Penanganan penyakit akibat lingkungan panas.
2) Kesehatan pada lingkungan dingin :
a) Adaptasi pada lingkungan dingin
b) Pencegahan penyakit akibat lingkungan dingin
c) Penanganan penyakit akibat lingkungan dingin.
b. Aspek Medan :
1) Kesehatan pada daerah tinggi
a) Adaptasi pada daerah tinggi
b) Pencegahan penyakit akibat daerah tinggi.
c) Penanganan penyakit akibat daerah tinggi.
2) Kesehatan pada daerah hutan, rawa, sungai dan pantai.
3) Ilmu Kesehatan Survival.
c. Kedokteran dan Kesehatan tempur ( War Medicine )
1) Bedah Tempur ( War Surgery )
2) Traumatologi Tempur ( Combat Trumatology ).
3) Psikiatri Tempur ( War Psychiatry )
4) Kesehatan Preventif Tempur (Combat Preventive Medicine).
5) Higiene dan sanitasi Lingkungan
6) Higiene Prajurit Perorangan
7) Kesehatan Gigi dan Mulut
8) Vaccinasi / immuninasi
9) Gizi prajurit
d. Intelijen Medis ( Medical Intelligence ).
1) Analisa Medan
2) Perencanaan Dukkes, rantai evakuasi
26
e. Nuklir, Biologi dan Kimia
f. Ilmu Kesehatan Bencana ( Disaster Medicine ).
2.4. Ilmu Kesehatan Kerja Militer (Direktorat Kesehatan Angkatan
Darat, 2004)
Merupakan integrasi antara ilmu kesehatan / kedokteran
dengan berbagai ilmu lain seperti teknologi, kimia, fisika, biologi,
anthropologi dll yang bertujuan agar prajurit memperoleh derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya dengan usaha preventif dan kuratif
sehingga terhindar dari penyakit / gangguan kesehatan yang disebabkan
oleh faktor lingkungan kerja militer yang spesifik. Yang termasuk dalam
kesehatan kerja militer adalah :
a. Postur Prajurit
Untuk menjadi prajurit yang ideal harus dipenuhi kriteria postur
tubuh yang mampu mengemban tugas-tugas kemiliteran. Disamping itu
seorang prajurit harus mampu membawa dan menggunakan alat peralatan
militer dengan dampak negatif terhadap tubuh prajurit seminimal
mungkin.
b. Faktor-faktor penyebab gangguan kesehatan :
1) Fisik : suara, radiasi, cahaya, suhu, tekanan dll
2) Kimia : debu, asap, gas, larutan dll
3) Infeksi : mikroorganisme dll
4) Fisiologis : konstruksi alat peralatan, sikap tubuh, cara
melaksanakan kegiatan dll
5) Mental Psikologis : lingkungan kerja, hubungan kerja, faktor
keluarga dll
c. Ergonomi adalah penerapan ilmu biologi tentang manusia dan
ilmu-ilmu teknik dan teknologi untuk mencapai penyesuaian satu sama
lain secara optimal dari manusia terhadap pekerjaannya. Merupakan
27
aplikasi dari ilmu biologi manusia dengan ilmu teknik agar tercapai
kesesuaian optimal antara manusia dan pekerjaannya sehingga diperoleh
keuntungan berupa efisiensi dan kenyamanan dalam pekerjaannya.
Ergonomi berperan dlm berbagai aktivitas prajurit :
a. Beban kerja prajurit : ransel beserta isinya, senjata yang
dibawa, perlengkapan perorangan lainnya yang dibawa saat
melaksanakan kegiatannya.
b. Perlengkapan prajurit : pakaian, helm, sepatu dll
c. Alat peralatan prajurit : senjata, alat mekanik, alat optik, alat
komunikasi dll
d. Alat peralatan khusus : ranpur, rudal, radar dll
e. Alat peralatan markas : perlengkapan kantor dll
d. Ergometri merupakan Ilmu untuk mengukur kerja : pemakaian
tenaga oleh prajurit pada kegiatan tertentu, daya kerja fisik maksimum
dari prajurit.
e. Evaluasi tidak langsung dari kapasitas aerobik : Untuk
menguji kapasitas kerja fisik
f. Latihan militer : Mencakup beberapa aspek :
1) Manajemen latihan dari aspek kesehatan.
2) Pencegahan dan penanggulangan kecelakaan latihan.
3) Kesehatan pada Han Mars.
g. Kesehatan / kedokteran Olah Raga (Military Sport Medicine).
Kegiatan prajurit identik dengan kegiatan atlit karena dalam
kegiatan tersebut selalu dituntut memiliki kekuatan, kecepatan dan
koordinasi serta keseimbangan dalam setiap gerakan. Dengan aktivitas
sehari-harinya, prajurit seharusnya juga mempunyai kemampuan seperti
atlit sehingga ada tuntutan bahwa prajurit lebih memungkinkan menjadi
atlit yang berprestasi dibandingkan dengan bidang profesi lainnya.
Namun kenyataan yang ada hanya sedikit prajurit yang berprestasi
28
sebagai atlit. Ini menggambarkan bahwa belum ada sinkronisasi antara
aktivitas prajurit dengan pemberdayaan prajurit sebagai sumber atlit.
h. Gizi prajurit di lapangan. Mencakup perencaan dan kegiatan :
1) Kebutuhan Gizi Prajurit.
2) Gizi prajurit dalam latihan.
3) Gizi prajurit dalam pertempuran.
i. Kesehatan Jiwa Militer. Dalam penugasannya prajurit akan
mengalami suatu situasi dan kondisi yang penuh dengan resiko kematian,
cacat dan hilang dalam pertempuran sehingga aspek Kesehatan Jiwa
sangat mutlak harus diperhatikan.
j. Higiene dan sanitasi lingkungan kerja prajurit. Meliputi aspek:
1). Higiene dan sanitasi markas / ksatrian
2). Higiene dan sanitasi daerah latihan
3). Higiene dan sanitasi lingkungan khusus.
k. Higiene perorangan prajurit
Higiene perorangan dan kesehatan prajurit adalah segala
upaya, pekerjaan dan kegiatan untuk mendapatkan derajat kesehatan yang
optimal melalui tindakan kebersihan dan peningkatan kesehatan pada
individu/perorangan.
Higiene perorangan prajurit meliputi :
1. Kebersihan Kulit
Lipatan kulit dibersihkan minimal 2 hari sekali dengan sabun.
2. Kebersihan Rambut
Menggunakan shampo minimal 1 minggu sekali. Tidak memakai pisau
cukur / sisir secara bergantian dengan orang lain.
3. Kebersihan Tangan
29
Kuku selalu pendek dan bersih. Mencuci tangan setelah buang air besar
serta sebelum makan dengan sabun.
4. Kebersihan Gigi dan Mulut
Menggosok gigi minimal 2 kali sehari dengan menggunakan sikat gigi
yang cocok dan pasta gigi yang cocok dan pasta gigi yang berflouride.
5. Kebersihan Pakaian dan Alat Tidur
Pakaian luar dicuci segera setelah kotor. Pakaian dalam diganti sekali
sehari. Peralatan tidur (sprei, sarung bantal) dicuci minimal seminggu
sekali, kasur/bantal dijemur seminggu sekali.
6. Kebersihan Kaki
Kaki harus dicuci setiap hari lalu dikeringkan. Perhatikan sela-sela jari
kaki,. Pakailah bedak khusus anti septik tipis-tipis. Usahakan mengganti
dan mencuci kaos setiap hari.
Higiene MARS (gerak jalan), yang mencakup :
1) Periksa kaki, sepatu dan kaos kaki.
a) Kaki harus benar-benar kering, terutama sela-sela jari kaki
(kalau perlu menggunakan bedak kaki)
b) Kaos kaki harus bersih, kering dan tidak berlobang/sobek.
Sebelum memakai kaos kaki
c) Jangan menggunakan tali pengikat/karet yang terlalu kencang
untuk merapikan/melipat ujung bawah celana.
2) Minum cukup air.
a) Sebelum berangkat minum air secukupnya, dalam perjalanan
minum 0,5 – 1 iter per jam
b) Pada waktu mars sepanjang 15 mil tubuh dapat kehilangan
cairan 7 ½ liter, oleh karena itu selama perjalanan dianjurkan minum air
dingin (bukan air es) secukupnya.
c) Tambahkan garam kedalam air minum dengan konsentrasi
0,1 % (2 tablet garam dalam satu veldfles).
30
3) Istirahat cukup.
a) Setiap berjalan 1 jam sebaiknya diberikan waktu istirahat 10
menit.
b) Bila Mars selama 1 minggu berturut-turut, tidak boleh
melebihi 90 mil (15 mil sehari) dan pada hari ke 7 diberi istirahat sehari
penuh.
4) Waktu yang baik.
a) Waktu berangkat Mars sebaiknya pukul 6 pagi. Pada waktu malam
hari dipergunakan untuk istirahat (pemulihan tenaga)
b) Apabila hari tidak panas Mars dapat dilaksanakan 6 jam
terus menerus dengan tetap diberikan waktu istirahat.
Akibat Mars yang perlu diperhatikan adalah :
1. Kaki lecet
2. Kehilangan cairan dan garam tubuh (keseimbangan cairan
dan elektrolit tubuh terganggu)
3. Kejang panas (heat cramp)
4. Kelelahan panas (heat exhaustion)
5. Sengatan panas (heat stroke)
Perlindungan Terhadap Cuaca
1. Cuaca Dingin dan Hujan. Usahkan memakai jas hujan / jaket.
Bila pakaian basah, selekas mungkin ganti pakaian dan keringkan badan
pada kesempatan pertama.
2. Cuaca Panas ( Mars dan Lintas Medan ). Persediaan minum
harus cukup dengan pakaian cukup longgar dan menghisap keringat.
Gangguan kesehatan akibat cuaca, adalah :
1. Kedinginan
2. Kaki imersi (kaki mengeriput/pucat akibat terendam, basah
terus menerus)
31
3. Sengatan panas
4. Kebakaran kulit akibat sengatan panas.
Perlindungan terhadap resiko kerja
1. Di Kesatuan Artileri. Harus selalu menggunakan sumbat
telinga(earplug / earmuff) pada waktu menembakkan meriam dan
sebagainya.
2. Di Daerah Operasi Bersuhu Dingin / Bersalju. Harus makan
cukup kalori dan protein untuk melawan hawa dingin, menjaga stamina
dan daya tahan tubuh. Harus memakai pakaian dan alat pelindung khusus
yang sudah di tentukan.
3. Di Daerah Operasi berdebu / berpasir. Lindungi pernapasan
dengan penutup hidung dan mulut (bila tidak ada alat gunakan sapu
tangan atau kasa pembalut yang dibasahi dengan air).
4. Daerah Operasi Terkontaminasi Bahan Radio Aktif. Taati
peraturan dan larangan yang ada (menggunakan pelindung, tindakan
dekontaminasi).
Jaga Kondisi kesehatan
1. Istirahat
Kebutuhan istirahat / tidur ideal adalah 8 jam. Jika karena tugas terus
menerus sehingga mengurangi waktu istirahat sebaiknya diganti dengan
waktu yang memungkinkan, sehingga kesegaran jasmani pulih kembali.
Seorang prajurit sebenarnya mampu bertugas dengan baik secara terus
menerus selama 1 x 24 jam.
2. Makan Teratur dan Cukup Gizi.
a. Sarapan pagi 1 jam sebelum aktifitas ( jam 04.00 – 06.00 )
b. Makan siang pada jam yang biasa ( jam 12.00 – 15.00 )
c. Makan malam sebelum istirahat malam (jam 18.00 – 19.00)
3. Olah Raga Cukup. Dilaksanakan pada waktu yang ditentukan
dengan program latihan yang teratur.
32
l. 1. Kesamaptaan Jasmani (Direktorat Pembinaan Jasmani Angkatan
Darat, 2002)
a. Kemampuan fisik adalah suatu kondisi dan kesanggupan
tubuh dalam memberikan penampilan dan pengaturan sistem gerak dalam
mengatasi dan menyelesaikan pekerjaan fisik.
b. Komponen fisik, terdiri dari :
1) Postur tubuh, menunjukan bentuk dan sikap
penampilan tubuh.
2) Kesegaran jasmani atau kesemaptaan jasmani dasar,
menunjukan kekuatan, daya tahan dan kelincahan tubuh dalam
menyelesaikan tugas dan pekerjaan fisik secara umum yang berat dalam
waktu relatif panjang.
3) Ketangkasan jasmani, merupakan keterampilan dan
ketrengginasan dalam melakukan gerakan umum dan khusus baik yang
sulit maupun yang berat dengan cepat dan tepat.
c. Tingkat kesamaptaan jasmani, ketiga komponen fisik
diatas sangat diperlukan oleh setiap prajurit, dan keterpaduan ketiga
kommponen itulah yang disebut kesamaptaan jasmani dan selanjutnya
mempunyai tingkat sebagai berikut:
1) Gerak dan olah raga, untuk membiasakan gerak alami dalam
tubuh
2) Kesegaran jasmani, untuk menghadapi tugas dan kewajiban
secara umum.
3) Kesiapan dan kemantapan jasmani, untuk menghadapi segala
bentuk ancaman fisik.
2. Unsur-unsur setiap komponen secara umum
a. Komponen postur tubuh, unsurnya adalah :
1) Tinggi dan berat badan, menggambarkan bentuk
tubuh
33
2) Sikap dalam penampilan
3) Struktur anatomis
b. Komponen kesegaran jasmani, unsurnya adalah :
1) Tenaga ( Power )
2) Kekuatan ( Strength )
3) Daya tahan ( Endurance )
4) Kecepatan ( Speed )
5) Ketepatan ( Accuracy )
6) Kelincahan (Agility )
7) Koordinasi ( coordinnation )
8) Keseimbangan ( Balance )
9) Kelentukan ( Flexibility )
c. Komponen ketangkasan jasmani, unsurnya adalah :
1) Kemampuan gerak secara umum ( Motor Capacity )
2) Gerakan dasar yang dimiliki ( Motor Ability )
3) Daya menyesuaikan gerak ( Motor Educability )
4) Keterampilan gerak ( Motor Skill )
3. Sumber kesamaptaan jasmani, bersumber pada
manusia baik fisik maupun psikis yaitu ada pada semua organ tubuh dan
unsur kejiwaan.
a. Secara fisik dengan sumber utama ada pada otak, otot,
jantung, paru-paru, darah, tulang dengan susunan kerangka dan
persendiannya, sedangkan sumber lainnya pada organ vital tubuh seperti
hati, ginjal, mata dan lainnya.
b. Secara psikis ada pada unsur jiwa seperti intelegensi, emosi
dan kepribadian.
4. Sifat kesamaptaan jasmani
Sifat kesamaptaan jasmani sama dengan sifat dari organ
sebagai sumbernya dan bila disimmpulkan secara umumm adalah sebagai
berikut :
34
a. Dapat dilatih untuk ditingkatkan.
b. Meningkat dan menurun dalam periode waktu tertentu,
tidak dengan tiba-tiba ( mendadak ).
c. Tidak menetap sepanjang masa dan selalu mengikuti
perkembangan usia manusia.
d. Pengembangan dengan cara praktek menggerakan tubuh
dalam aktifitas jasmani.
5. Faktor yang mempengaruhi tingkat kesamaptaan jasmani
Tinggi rendahnya, cepat lambatnya, berkembang dan
meningkatnya kesamaptaan jasmani dipengaruhi oleh banyak faktor, baik
dari dalam maupun dari luar tubuh sebagai berikut:
1. Faktor dalam (Endogen) yang ada pada manusia sendiri adalah :
1) Jenis kelamin
2) Usia
3) Ras / keturunan
4) Keadaan dan sifat biologis
5) Keadaan dan sifat psikologis
6) Keadaan kesehatan
7) Bakat dan minat
2. Faktor luar (Eksogen) antara lain :
1) Makanan
2) Lingkungan alam
3) Lingkungan sosial dan budaya
4) Tugas dan pekerjaan
5) Pembina / pelatih
6) Dan lain-lain
6. Manfaat kesamaptaan jasmani
Dengan memiliki kesamaptaan jasmani yang baik sangat berguna dalam
kehidupan misalnya :
35
a. Dengan postur yang baik dapat memberikan penampilan yang
memancarkan adanya kewibawaan lahiriah serta gerak yang efisien.
b. Dengan kesegaran yang tinggi dapat tahan mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan yang berat tanpa mengalami kelelahan yang berarti
atau cidera, sehingga banyak hasil yang dicapai dalam pekerjaannya.
c. Dengan ketangkasan yang tinggi banyak rintangan yang
dapat diatasi sehingga semua dapat berjalan dengan cepat dan tepat untuk
mencapai tugas pokok.
d. Kesamaptaan jasmani dapat memberikan dampak positif
pada aspek psikis dan sosial yaitu :
1) Kepercayaan diri yang kuat.
2) Menimbulkan kepuasan dan kenikmatan dalam menjalani
usia.
3) Komunikasi sosial yang serasi.
4) Meningkatkan derajat kesehatan.
5) Meningkatkan kesejahteraan dan moril.
6) Meningkatkan kewibawaan.
7. Pokok-pokok pelaksanaan pembinaan
a. Prinsip-prinsip Pembinaan jasmani. Dalam membina
kesamaptaan jasmani haruslah bertolak pada 3 prinsip pokok dengan
landasan-landasannya sebagai berikut :
1) Dengan landasan falsafah bahwa manusia
merupakan suatu totalitas perpaduan jiwa dan jasmani, sehingga satu
sama lainnya tak dapat dipisah-pisahkan. Atas dasar ini ditemukan prinsip
“ meningkatnya kemampuan jasmani sekaligus dapat meningkatkan
mental/psikologis “
2) Dengan landasan azas-azas kemanusiaan. Dari
landasan ini ditemukan prinsip : “ Dalam meningkatkan kemampuan
biologis tidak perlu adanya pengorbanan mental/psikis, demikian
sebaliknya dalam meningkatkan kemampuan mental/psikis tidak perlu
mengakibatkan pengorbanan biologis “.
36
3) Dengan landasan ilmu pengetahuan : Bahwa dalam
meningkatkan kesamaptaan jasmani selalu tunduk kepada hukum-hukum
biologis, psikologis dan sosial serta alam sekitar dan peraturan-peraturan
yang berlaku. Atas dasar pengetahuan dan prinsip-prinsip inilah
pembinaan jasmani disusun dalam sistem dan metoda untuk dilaksanakan
agar dapat dipertanggung jawabkan.
4) Sistematika latihan jasmani. Latihan jasmani dimulai
dari yang ringan bertahap menuju ke yang berat dengan sistematika
penyajian sebagai berikut :
a) Pemanasan 5 – 10 menit, dengan mengulangi gerakan dasar
dari tubuh.
b) Latihan inti dan kegiatan-kegiatan dalam program.
c) Penenangan. yaitu pengaturan kegiatan menuju
kepenenangan sampai penghentian latihan.
b. Pembiasaan latihan. Bahwa pembiasaan latihan dapat
menciptakan kemampuan. Dengan pembiasaan akan terjadi proses :
1) Adaptasi / aklimatisasi
2) Otomatisasi
3) Refleksi
8. Pertimbangan dalam Penentuan Norma Kesamaptaan Jasmani
a. Tugas.
b. Jabatan.
c. Umur.
d. Jenis Kelamin.
m. Epidemiologi militer.
Epidemiologi yang sering terjadi adalah penyakit di medan pertempuran
dan penyakit menular yang mewabah di lingkungan prajurit.
37
n. Rehabilitasi medik (RSPAD,2008)
Adalah pelayanan kesehatan terhadap gangguan fisik dan fungsional yang
diakibatkan oleh keadaan atau kondisi sakit, penyakit atau cedera tempur
prajurit melalui panduan intervensi medik, keterapian fisik dan atau
rehabilitatif untuk mencapai kemampuan fungsi yang optimal.
Pelayanan Rehabilitasi Medik meliputi:
Pelayananan Fisioterapi
Adalah bentuk pelayanan kesehatan untuk mengembangkan, memelihara
dan memulihkan gerak dan fungsi organ tubuh dengan penanganan secara
manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektro terapiutik dan
mekanis), pelatihan.
Pelayanan Okupasi Terapi
Adalah Pelayanan kesehatan untuk mengembangkan, memelihara,
memulihkan fungsi dan atau mengupayakan kompensasi/adaptasi untuk
aktivitas sehari-hari (Activity Daily Living), produktivitas, dan waktu
luang melalui remediasi dan fasilitasi.
Pelayanan Terapi Wicara
Adalah bentuk pelayanan kesehatan untuk memulihkan dan
mengupayakan kompensasi/adaptasi fungsi komunikasi, bicara dan
menelan dengan melalui pelatihan remediasi, stimulasi dan fasilitasi
(fisik, elektroterapiutis dan mekanis)
Pelayanan Ortotis-Prostetis:
Adalah salah satu bentuk pelayanan keteknisian medik yang ditujukan
kepada individu untuk merancang, membuat dan mengepas alat bantu
guna pemeliharaan dan pemulihan fungsi, atau pengganti anggota gerak.
Pelayanan Psikologi
Adalah bentuk pelayanan untuk pengembangan, pemeliharaan mental
emosianal serta pemecahan problem yang diakibatkan oleh
keadaan/kondisi sakit, penyakit dan cedera tempur.
Pelayanan Sosial Medik
38
Adalah bentuk pelayanan pemecahan masalah sosial akibat dari suatu
keadaan/kondisi sakit, penyakit atau cedera untuk bisa kembali ke
masyarakat atau tugas prajurit.
o. Forensik militer.
Kesehatan Matra Darat secara umum sudah dilaksanakan dan menjadi
bagian dari kegiatan rutin Depkes dan jajarannya. Bidang Kesehatan
Militer Matra Darat merupakan tanggung jawab Lakesmil. Dalam hal ini
karena bidang Kesehatan Militer Matra Darat sudah banyak tertinggal
baik dalam bidang penyiapan SDM maupun Alat peralatan maka
Lakesmil memilih prioritas mengembangkan bidang Kesehatan Kerja
Militer dan Kesehatan Jiwa Militer sehingga produk-produk nya secara
langsung dan tidak langsung dapat mendukung tugas prajurit dalam
kondisi damai (prajurit di home base), latihan maupun pertempuran.
39
B. Penelitian Terkait Sebelumnya
Penelitian dengan tema ini sudah pernah dilakukan sebelumnya, diantaranya
adalah yang dilakukan oleh Slamet Priyadi (2003), melakukan penelitian
mengenai analisis faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis
paru BTA (+) di Wonosobo, yang diteliti adalah lingkungan rumah, status gizi,
minum-minuman alkohol, merokok, penyakit penyerta, kontak dengan penderita
tuberkulosis paru dan sosial ekonomi yang berhubungan dengan kejadian
tuberkulosis paru BTA (+), dengan desain penelitian case control.
Penelitian lain dilakukan oleh Bambang Rusmanto (2010), yang menganalisis
Faktor kependudukan dan lingkungan terhadap kejadian TB paru di kabupaten
Pekalongan, dengan desain case control.
Yang membedakan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang pernah
dilakukan adalah :
1. Di RS Salak Bogor belum pernah dilakukan penelitian mengenai TB Paru.
2. Subyek Penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya yaitu pada prajurit
militer.
3. Pada penelitian ini variabel-variabel independentnya lebih ditekankan pada
karakteristik prajurit (usia, pangkat, IMT, tempat tinggal, perilaku merokok,
dan keikutsertaan penyuluhan) dengan insidensi TB paru di RS Salak Bogor.
40
C. Kerangka Teori
Keterangan :
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
= Garis hubungan yang tidak diteliti
= Garis hubungan yang diteliti
Karakteristik Penderita TB Paru Prajurit :
Karakteristik Penderita TB Paru Prajurit :
Insidensi Penderita TB
Penyakit TB Paru
Pada Prajurit
Klasifikasi karakteristik:
Usia Pekerjaan Pangkat Tempat
tinggal Keikusertaan
Penyuluhan IMT BTA +/- Perilaku
Merokok
Faktor Risiko :
Usia Jenis Kelamin Pekerjaan Sosial
Ekonomi Kontak dengan
penderita TB Pendidikan Merokok Status Gizi Kondisi rumah
41
Bagan 2.3. Kerangka Teori Penelitian
D.Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang
ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan.
Bagan 2.4 Kerangka Konsep Penelitian
A. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. H₁ : Ada hubungan antara karakteristik prajurit terhadap insidensi
penyakit tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode
Januari-Desember tahun 2010.
2. H2 : Ada hubungan antara usia prajurit terhadap insidensi penyakit
tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode Januari-
Desember tahun 2010.
3. H3 : Ada hubungan antara pangkat prajurit terhadap insidensi penyakit
tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode Januari-
Desember tahun 2010.
Karakteristik Penderita TB Paru Pada Prajurit :
Usia Pekerjaan Pangkat Tempat tinggal Keikusertaan
Penyuluhan IMT Perilaku Merokok
Insidensi Penyakit TB Pada Prajurit
TNI di RS Salak Bogor periode
Januari-
42
4. H4 : Ada hubungan antara tempat tinggal prajurit terhadap insidensi
penyakit tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode
Januari-Desember tahun 2010.
5. H5 : Ada hubungan antara keikutsertaan penyuluhan terhadap insidensi
penyakit tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode
Januari-Desember tahun 2010.
6. H6 : Ada hubungan antara Indeks Massa Tubuh terhadap insidensi penyakit
tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode Januari-
Desember tahun 2010.
7. H7 : Ada hubungan antara perilaku merokok terhadap insidensi penyakit
tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode Januari-
Desember tahun 2010.
top related