asuransi_kesehatan_nasional
Post on 16-Aug-2015
244 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
ASURANSI KESEHATAN NASIONAL
PERHIMPUNAN AHLI MANAJEMEN JAMINAN DAN ASURANSI KESEHATAN INDONESIA
ASURANSI KESEHATAN NASIONAL Edisi Oktober 2005 Hasbullah Thabrany
PERHIMPUNAN AHLI MANAJEMEN JAMINAN DAN ASURANSI KESEHATAN INDONESIA
ASURANSIKESEHATAN NASIONAL Edisi Oktober 2005 Hasbullah Thabrany Edisi Oktober
2005 Edisi ini merupakan adaptasi, penyempumaan dan penyesuaian yang ide dasarnya
diambil dari buku " Asuransi Kesehatan di Indonesia" yang diterbitkan oleh Pusat Kajian
Ekonomi Kesehatan, tahun 2002 Asuransi Kesehatan N asional Buku ini dipersiapkan
sebagai bahan utama pendidikan profesi asuransi kesehatan yang diujikan oleh PAMJAKl.
Untuk informasi lengkap tentang pendidikan profesi asuransi kesehatan silahkan kunjungi
website P AMJAKl di www.pamjaki.org Hak Cipta dilindungi undang-undang Dilarang
memperbanyak isi buku ini baik sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin
tertulis dari Penerbit P AMJAKI (Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Ahli Asuransi
Kesehatan Indonesia), Jakarta. Sanksi Pelanggaran Pasal 44 : Undang-undang No. 7 tahun
1987 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta 1.
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu
ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun danJ atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) 2. Barang
siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun danJ atau denda
paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluhjuta rupiah) KATA PENGANTAR Keinginan untuk
menerbitkan bahan pendidikan profesi untuk ujian Ahli Asuransi Kesehatan sudah lama
diidamkan oleh Pengurus P AMJAKI, namun demikian, perkembangan perasuransian dan
kesibukan penulis yang juga merupakan pengurus P AMJAKI menyebabkan keinginan
tersebut baru kali ini terwujud. Sebelum buku ini disusun, ujian P AMJAKI menggunakan
buku Asuransi Kesehatan di Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Ekonomi
Kesehatan FKM UI. Dengan semangat tinggi untuk meningkatkan dan memperbaiki buku-
buku pegangan untuk ujian PAMJAKI, akhimya PAMJAKI berhasil menyelesaikan 3 (tiga)
buku dasar pendidikan profesi ahli asuransi kesehatan, yang diantaranya adalah Asuransi
Kesehatan N asional ini. Sumber utama penulisan buku ini masih diambil dari buku Asuransi
Kesehatan di Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI.
Namun demikian, untuk memperkaya pembahasan buku ini penulis mengisi bahasan
dengan perkembangan asuransi kesehatan di Indonesia dalam bab-bab berikut: Introduksi
Asuransi Kesehatan, Asuransi Kesehatan PNS, JPK Jamsostek, Asuransi Komersial,
Asuransi Kesehatan Nasional : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia, Sistem
Pembayaran Fasilitas Kesehatan dan Asuransi Kesehatan Nasional Dalam Sistem Jaminan
Sosial Nasional: Kami berharap buku ini dapat memudahkan calon peserta ujian dalam
mempersiapkan diri menghadapi ujian P AMJAKI untuk memperoleh pengakuan sebagai
profesional, baik sebagai Ajun Ahli Asuransi Kesehatan ataupun Ahli Asuransi Kesehatan.
Diharapkan buku ini bermanfaat pula bagi para mahasiswa di bidang kesehatan ataupun
praktisi asuransi dalam mencari bahan-bahan rujukan yang terkait dengan asuransi
kesehatan. Akhir kata, untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dimas a depan PAMJAKI
mengundang para pembaca untuk memberikan kritik dan saran bagi penyempumaan buku
ini. Kritik dan saran dapat disampaikan melalui sekretariat@pam;aki.org. Selamat belajar,
semoga sukses! Oktober 2005 PAMJAKI i DAFTAR 181 Kata Pengantar .i Daftar Isi ii Bab 1
Introduksi Asuransi Kesehatan 1 Bab2 Asuransi Kesehatan Pegawai Negeri Sipil .40 Bab3
JPK Jamsostek 55 Bab4 Asuransi Kesehatan Komersial di Indonesia 67 BabS Asuransi
Kesehatan Nasional : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 92 Bab6 Sistem
Pembayaran Fasilitas Kesehatan 118 Bab7 Asuransi Kesehatan Nasional Dalam Sistem
Jaminan Sosial Nasional 135 ii BABI Introduksi Asuransi Kesehatan 1.1. Pendahuluan
Pemahaman tentang asuransi kesehatan di Indonesia masih sangat beragam. Dahulu
banyak yang menganggap bahwa JPKM adalah bukan asuransi kesehatan, apalagi asuransi
kesehatan komersial; kemudian JPKM dianggap sebagai asuransi sosial karena dijual
umumnya kepada masyarakat miskin di daerah-daerah. Asuransi kesehatan sosial (social
health insurance) adalah suatu mekanisme pendanaan pelayanan kesehatan yang semakin
banyak digunakan di seluruh dunia karena kehandalan sistem ini dalam menjamin
kebutuhan kesehatan rakyat suatu negara. Namun di Indonesia pemahaman tentang
asuransi kesehatan so sial masih sangat rendah karena sejak lama kita hanya mendapatkan
informasi yang bias tentang asuransi kesehatan yang didominasi dari Amerika yang
didominasi oleh asuransi kesehatan komersial. Literatur yang mengupas asuransi kesehatan
sosial juga sangat terbatas. Kebanyakan dosen maupun mahasiswa di bidang kesehatan
tidak memahami asuransi sosial. Pola pikir (mind set) kebanyakan sarjana kita sudah
diarahkan kepada segala sesuatu yang bersifat komersial, termasuk dalam pelayanan
rumah sakit. Sehingga, begitu ada kata "sosial", seperti dalam "asuransi sosial" dan "fungsi
sosial rumah sakit" maka hal itu hampir selalu difahami dengan pelayanan atau program
untuk orang miskin. Sesungguhnya asuransi sosial bukanlah asuransi untuk orang miskin.
Fungsi so sial bukanlah fungsi orang miskin. Ini merupakan kekeliruan besar yang sudah
mendarah daging di Indonesia yang menghambat pembangunan kesehatan yang
berkeadilan sesuai amanat UUD45. Bahkan konsep Undang undang Kesehatan yang
dikeluarkan tahun 1992 (UU nomor 23/1992) jelas-jelas memerintahkan Pemerintah dan
mendorong pengembangan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang
diambil dari konsep HMO (Health Maintenance Organization) yang merupakan salah satu
bentuk asuransi komersial kesehatan. Para pengembang JPKM di Depkes-pun, tidak
banyak yang memahami bahwa HMO dan JPKM sesungguhnya asuransi komersial yang
tidak sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa mewujudkan sistem kesehatan yang
berkeadilan (egaliter). Akibatnya, asuransi kesehatan sosial di Indonesia tidak berkembang
baik sampai tahun 2005 ini. Selain Indonesia, negara negara di Asia pada umumnya
memang tertinggal dalam pengembangan asuransi kesehatan sosial. Pada tanggal 7-9
Maret 2005, WHO kantor regional Asia-Pasifik, Asia Tenggara, dan Timur Tengah
berkumpul di Manila untuk menggariskan kebijakan dan pedoman pengembangan asuransi
kesehatan sosial di wilayah Asia-Pasifik dan Timur Tengah. Berbagai ahli dalam bidang
asuransi kesehatan atau pendanaan kesehatan diundang untuk perumusan tersebut.
Karena variasi sistem pendanaan di Asia yang ada sekarang ini, disepakati tujuan yang lebih
luas dari pengembangan asuransi kesehatan sosial yaitu mewujudkan akses universal
kepada pelayanan kesehatan. Selain asuransi kesehatan sosial, sistem pendanaan melalui
pajak (National Health Service) dengan menyediakan pelayanan Introduksi Asuransi
Kesehatan 1 HThabrany kesehatan secara gratis atau hampir gratis kepada seluruh
penduduk, seperti yang dilakukan Malaysia, Sri Lanka, dan Muangtai juga mampu
menyediakan akses universal tersebut. Dalam bab ini kita akan memusatkan pembahasan
kita pada pemahaman tentang asuransi dan asuransi kesehatan sosial. Karena luasnya
masalah asuransi kesehatan sosial, bab ini hanya membahas garis-garis besar asuransi
kesehatan sosial. Pembaca yang ingin mengetahui lebih dalam tentang praktek-praktek
asuransi kesehatan so sial dapat membaca buku lain atau mengikuti ujian asuransi
kesehatan yang diselenggarakan oleh P AMJAKI (perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan
dan Asuransi Kesehatan Indonesia) 1.2. Rasional Asuransi Dalam kamus atau
perbendaharaan kata bangsa Indonesia, kata asuransi tidak dikenal. Akan tetapi istilah
"jaminan" atau "tanggungan" sudah lama dikenal di Indonesia. Kata asuransi berasal dari
bahasa Inggris insurance, yang berasal dari akar kata in-sure yang berarti "memastikan".
Dalam konteks asuransi kesehatan, asuransi memastikan bahwa seseorang yang menderita
sakit akan mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya tanpa hams mempertimbangkan
keadaan ekonominya. Ada pihak yang menjamin atau menanggung biaya pengobatan atau
perawatannya. Pihak yang menjamin ini dalam bahasa Inggris disebut insurer atau dalam
UU Asuransi disebut asuradur. Asuransi merupakan jawaban atas sifat ketidak-pastian
(uncertain) dari kejadian sakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan. Untuk memastikan
bahwa kebutuhan pelayanan kesehatan dapat dibiayai secara memadai, maka seseorang
atau kelompok kecil orang melakukan transfer risiko kepada pihak lain yang disebut insurer,
asuradur, ataupun badan penyelenggara jaminan/asuransi. Sebagai ilustrasi, andaikan di
suatu kota terdapat satu juta penduduk yang setiap tahunnya terdapat 3.000 orang yang
dirawat di rumah sakit. Tidak ada seorang pendudukpun yang tahu pasti siapa yang akan
masuk rumah sakit pada suatu bulan atau suatu hari tertentu. Misalkan setiap perawatan di
rumah sakit membutuhkan dana sebesar Rp 1 juta. Bisa jadi hari ini keluarga tukang becak
yang masuk rumah sakit, maka sangat sulit baginya membayar Rp 1 juta. Apa yang hams
dilakukan? Apakah setiap hari kita hams meminta sumbangan untuk keluarga seperti tukang
becak. Tentu hal itu bisa dilakukan. Akan tetapi bagaimana kita menjamin bahwa setiap hari
terkumpul sumbangan yang memadai untuk mendanai kebutuhan perawatan di rumah sakit
yang rata-rata 7-10 orang setiap hari. Tentu masyarakatpun akan bosan mengumpulkan
atau memberikan sumbangan terus menerus. Bisa jadi seorang direktur bank setempat yang
bergaji Rp 25 juta sebulan, yang hari itu dirawat. Jika biaya perawatan yang hams
dibayarnya juga sebesar Rp 1 juta, tidak ada masalah. Direktur bank tersebut mampu
membayarnya, akan tetapi jika biaya perawatan sampai Rp 50 juta, mungkin direktur bank
tersebut juga bisa jatuh miskin. Untungnya, untuk seorang direktur seringkali biaya
perawatan tersebut ditanggung oleh perusahaan. Karena sifat uncertain, maka biaya
perawatan untuk keluarga tukang becakpun dapat saja mencapai Rp 50 juta. Dalam hal ini,
hampir dapat dipastikan bahwa si tukang becak akan terpaksa meninggal atau cacat seumur
hidup yang akan menjadi beban masyarakat juga. Terjadi ketidak-adilan sosial disini. Yang
berpenghasilan rendah yang tidak sanggup bayar tidak ada yang menjamin, sementara yang
bergaji tinggi justeru dijamin. Introduksi Asuransi Kesehatan 2 HThabrany Secara statistik
dapat dihitung bahwa setiap orang memiliki probabilitas 0,003 (yaitu 3.000 orang dibagi
1.000.000 penduduk) untuk masuk rumah sakit. Jika rata-rata tagihan rumah sakit untuk tiap
perawatan adalah sebesar Rp I juta, maka setiap tahun dibutuhkan dana sebesar 3.000
(orang) x Rp I juta atau sarna dengan Rp 3 milyar. Walikota setempat cukup cermat
mengamati masalah ini. Dia bilang, dari pada setiap orang was-was memikirkan biaya
perawatan setiap jika ia atau keluarganya sakit, atau setiap hari kita mencari sumbangan
untuk mereka yang tidak mampu membayar-yang bisa jadi juga diri kita, mengapa tidak
semua orang membayar saja sarna rata. "Nanti saya yang atur", ujarnya. Jika kebutuhan
biaya Rp 3 milyar dibagi rata kepada satu juta penduduk, maka tiap kepala cukup membayar
Rp 3.000 setahun (Rp 3 milyar dibagi 1.000.000 penduduk). Bukankah membayar Rp 3.000
per orang per tahun merupakan beban ringan! Tukang becakpun sanggup mengiur sebesar
itu. Setelah dana Rp 3 milyar terkumpul, tidak ada lagi penduduk yang kesulitan membayar
tagihan rumah sakit. Jika ada yang sakit, yang kaya atau yang miskin, tidak perlu lagi
memikirkan biaya perawatan. Walikota akan mengambil dana dari pot (pool) yang terkumpul
dan membayarkannya ke rumah sakit. Beres? Teorinya begitu. Dalarn praktek, tidak
semudah itu. Sebab, selalu saja ada orang yang tidak mau bayar iuran meskipun hanya Rp
3.000 per orang per tahun. Bagaimana dengan biaya administrasi? Bagaimana jika terjadi
peningkatan biaya pelayanan? Dan masih banyak lagi yang menjadi masalah. Masalah-
masalah selanjutnya itulah yang dibahas dalarn buku ini. Dari ilustrasi diatas, dapat diarnbil
kesimpulan bahwa asuransi adalah suatu mekanisme gotong royong yang dikelola secara
formal dengan hak dan kewajiban yang disepakati secara jelas. Dengan masing-masing
penduduk membayar atau mengiur Rp 3.000 per tahun, siapa saja yang perlu perawatan
akan dibiayai dari dana yang terkumpul. Dalarn istilah asuransi, kegotong-royongan ini
disebut juga risk sharing. Dari segi dana yang terkumpul (pool), maka asuransi juga dapat
disebut sebagai suatu mekanisme risk pooling. Dana dari masing-masing penduduk
dikumpulkan untuk kepentingan bersarna. Oleh karenanya, asuransi dapat juga disebut
suatu mekanisme hibah bersarna. Dana yang terkumpul merupakan hibah dari masing-
masing penduduk yang akan digunakan untuk kepentingan bersarna. Dengan demikian
iuran atau premi yang telah dibayar dari masing masing anggota, jelas bukan tabungan dan
karenanya tiap-tiap anggota tidak berhak meminta kembali dana yang sudah dibayarkan
atau diiurkan, meskipun ia tidak pemah sakit dan karenanya tidak pemah menggunakan
dana itu. 1.3. Risiko dan Risiko Sakit 1.3.1. Pemahaman tentang Risiko Di Indonesia banyak
orang menggunakan istilah resiko, bukan risiko. Sesungguhnya ada perbedaan makna
antara resiko dan risiko. Dalarn bidang asuransi istilah "resiko" digunakan untuk hal-hal yang
sifatnya spekulatif. Sebagi contoh, seorang berdagang mobil mempunyai resiko rugi apabila
ia tidak hati-hati mengelola usahanya atau tidak mengikuti perkembangan pasar mobil.
Sedangkan istilah "risiko" digunakan dalam asuransi untuk kejadian-kejadian yang dapat
diasuransikan yang sifatnya bukan spekulatif. Risiko ini disebut juga pure risk atau risiko
mumi. Dalam bahasa Indonesia memang kita tidak Introduksi Asuransi Kesehatan 3
HThabrany memiliki istilah asal atau akar kata tentang risiko. Sebab risiko diterjemahkan
dari bahasa Inggris risk. Akan tetapi kalau kita pelajari benar, sesungguhnya risk berkaitan
dengan bahasa Arab rizk yang kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi rejeki.
Keduanya mempunyai aspek ketidak-pastian, terkait takdir. Risiko bersifat tidak pasti
(uncertain), demikian juga rejeki. Keduanya di Indonesia dikaitkan erat dengan takdir.
Asuransi sesungguhnya merupakan suatu cara mengelola risiko. Dalam buku Asuransi
Kesehatan di Indonesia, Thabrany (2001)1 telah membahas dasar-dasar asuransi
kesehatan. Dalam bab ini, dasar-dasar tersebut disajikan kembali dengan modifikasi yang
lebih mudah difahami mahasiswa. Umumnya kita tidak memperdalam kata kata risiko atau
resiko. Seseorang sering berbicara bahwa untuk melakukan suatu tindakan ada risikonya,
biasanya kita mengerti apa yang dimaksudkan. Ada bahayanya. Seberapa besar bahaya
tersebut, tidaklah diketahui dimuka oleh siapapun. Kita hanya bisa mengira ngira probabilitas
kejadiannya dan besarnya (berat-ringannya) risiko tersebut. Disini ada ketidakpastian
(uncertainty) tentang terjadinya dan besarnya risiko tersebut. Biasanya yang disebut risiko
mempunyai konotasi negatif yaitu umumnya orang mengartikan risiko sebagai sesuatu yang
dapat mencelakakan atau merugikan diri, sesuatu yang tidak diharapkan. Sebenarnya,
dalam pengertian ketidakpastian, ada juga risiko keberuntungan. Dalam konteks ini, kata
keberuntungan itupun merupakan suatu risiko, yaitu risiko positif, risiko yang diharapkan,
yang kita bedakan sebagai resiko. Tetapi yang menjadi fokus perhatian dunia asuransi
adalah risiko dalam kaitannya dengan kerugian baik berupa materiil maupun berupa
kehilangan kesempatan berproduksi seperti terkena suatu penyakit berat. Kata rejeki
mengandung ketidak-pastian juga, sebab dalam kepercayaan kebanyakan orang Indonesia,
rejeki setiap orang sudah ditetapkan oleh Tuhan akan tetapi kita tidak pemah tahu berapa
banyak akan kita peroleh dan kapan akan kita peroleh. Cuma saja, rejeki mempunyai
konotasi positif. Jadi rejeki adalah suatu ketidak-pastian yang diharapkan. Sedangkan risiko
merupakan ketidak-pastian yang tidak diharapkan. Oleh karenanya, asuransi bukanlah suatu
mekanisme untuk untung-untungan, untuk mendapatkan rejeki. Dalam setiap langkah
kehidupan kita, selalu saja ada risiko yang menyertai kehidupan kita, baik yang kecil seperti
terjatuh karena suatu kerikil sampai yang besar seperti kecelakaan lalu lintas yang dapat
menimbulkan kematian. Beruntung bahwa Tuhan telah memberikan sifat alamiah manusia
yang selalu menghindarkan diri dari berbagai risiko. Setiap orang mempunyai cara tersendiri
untuk menghindarkan dirinya dari berbagai risiko. Secara umum, cara-cara menghindarkan
diri dari berbagai risiko hidup dapat dikelompokan menjadi empat kelompok besar yang akan
dibahas di bawah ini. 1.3.2. Cara-cara Menghindari Risiko Dalam ilmu manajemen risiko
atau risk management, kita mengenal beberapa teknik menghadapi risiko yang dapat terjadi
pada semua aspek kehidupan kita. Teknik-teknik tersebut adalah (vaughan, ... literatur): 1.
Menghindarkan risiko (risk avoidance). Kalau kita merokok, ada risiko terkena penyakit
kanker pam atau penyakit jantung (kardiovaskuler). Salah satu cara Introduksi Asuransi
Kesehatan 4 HThabrany menghindari terjadinya risiko terkena penyakit pam atau jantung
tersebut adalah menghindari bahan-bahan karsinogen (yang menyebabkan kanker) yang
terkandung dalarn rokok. Kalau kita tidak ingin mendapat kecelakaan pesawat terbang,
jangan pemah naik pesawat terbang. Banyak orang melakukan teknik manajemen ini untuk
risiko besar yang mudah tampak. Seseorang akan menghindari naik gunung yang terjal
tanpa alat pengarnan, karena risiko jatuh ke jurang tarnpak dengan mata telanjang. Tetapi
banyak orang tidak menyadari kalau risiko besar itu tidak tarnpak sekarang atau risiko itu
baru terjadi 20-30 tahun mendatang seperti risiko merokok. Disinilah perlunya upaya
penyadaran masyarakat tentang berbagai risiko kehidupan. Karena tidak semua orang
mampu melihat atau merasakan berbagai risiko kehidupan atau kalaupun seseorang mampu
mengenali risiko---belum tentu ia marnpu menghindarinya, maka mekanisme
menghindarkan risiko saja tidak cukup untuk melindungi diri dari risiko yang begitu banyak
dalarn kehidupan ini. 2. Mengurangi risiko (risk reduction). Karena berbagai alasan, kita tidak
bisa menghindari sarna sekali dari kemungkinan terjadinya suatu risiko pada diri kita, kita
dapat mengurangi akibat risiko yang terjadi pada diri kita. Contohnya, kita membuat
jembatan penyeberangan atau larnpu khusus penyeberangan untuk mengurangi jumlah
orang yang menderita kecelakaan lalu lintas. Dengan demikian, pengemudi kendaraan akan
berhati-hati. Atau jika ada jembatan penyeberangan, maka risiko tertabrak mobil akan
menjadi lebih kecil, tetapi tidak meniadakan sarna sekali. Seorang pengendara sepeda
motor diwajibkan memakai helm karena tidak ada satu orangpun yang bisa seratus persen
terhindar dari kecelekaan berkendara sepeda motor. Jika helm digunakan, maka beratnya
risiko (severity of risk) dapat dikurangi, sehingga seseorang dapat terhindar dari kematian
atau gegar otak yang memerlukan biaya perawatan sangat besar. Perawatan intensif
selarna 7 (tujuh) hari di rumah sakit bagi penderita gegar otak di tahun 2005 ini dapat
mencapai lebih dari Rp 20 juta. Tetapi, bagi kebanyakan pengendara sepeda motor, yang
belum pemah menyaksikan betapa dahsyatnya akibat gegar otak dan berapa mahalnya
biaya perawatan akibat gegar otak, tidak menyadari hal itu. Kalaupun mereka mengenakan
helm, seringkali sekedar untuk menghindari dari terkena penalti akibat pelanggaran (tilang)
peraturan lalu lintas oleh polisi yang sesungguhnya merupakan risiko kecil (yang hanya
sebesar ratusan ribu rupiah saja). Imunisasi terhadap penyakit hepatitis (radang hati), yang
dapat berkembang menjadi kanker hati yang perlu biaya mahal dalarn perawatan atau dapat
mematikan pada usia muda, merupakan suatu upaya pengurangan risiko. Karena prilaku
manusia yang tidak selalu menyadari risiko besar itu, maka mekanisme menurunkan risiko
saja tidak memadai. Imunisasi hepatitis tidak menjamin seratus persen bahwa setiap orang
yang telah diimunisasi pasti tidak terkena kanker hati. Masih perlu mekanisme manajemen
risiko lain. 3. Memindahkan risiko (risk transfer). Karena sebaik apapun upaya mengurangi
risiko yang telah kita lakukan tidak menjarnin 100% bahwa kita akan terbebas dari segala
risiko, maka kita dapat melindungi diri kita dengan tarneng lapis ketiga dari manajemen
risiko yaitu mentransfer risiko diri kita ke pihak lain. Kita dapat memindahkan seluruh atau
sebagian risiko kepada pihak lain (yang dapat berupa perusahaan asuransi, badan
penyelenggara jarninan sosial, pemerintah, atau apapun Introduksi Asuransi Kesehatan 5
HThabrany nama badan tersebut) dengan membayar sejumlah premi atau iuran, baik dalam
jumlah nominal tertentu maupun dalamjumlah relatifberupa prosentase dari gaji atau harga
pembelian (transaksi). Dengan teknik manajemen risiko ini, risiko yang ditransfer hanyalah
risiko finansial, bukan risiko secara keseluruhan. Ada sebagian risiko yang tidak bisa
ditransfer, misalnya rasa sakit. Ini merupakan prinsip yang sangat fundamental di dalam
asuransi. Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa setiap saat sesungguhnya ada risiko
kematian dan sesungguhnya risiko kematian itu (yang menimbulkan risiko ketiadaan dana
bagi ahli warisnya untuk hidup sehari-hari atau untuk membiayai pendidikan anak) dapat
ditransfer dengan membeli asuransi jiwa. Itulah sebabnya, kebanyakan orang di negara
berkembang tidak membeli asuransi jiwa, karena banyak orang tidak melihat kematian
sebagai suatu risiko finansial bagi ahli warisnya. 4. Mengambil risiko (risk asumption). Jika
risiko tidak bisa dihindari, tidak bisa dikurangi, dan tidak memadai atau tidak sanggup
ditransfer, maka altematif terakhir adalah mengambil atau menerima risiko (sebagai takdir).
Tidak semua orang bersikap rasional dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen risiko
tersebut diatas. Ada orang yang tidak perduli dengan risiko yang dihadapinya, dia ambil atau
terima suatu risiko apa adanya. Orang yang berprilaku demikian disebut pengambil risiko
(risk taker). Apabila semua orang bersikap sebagai pengambil risiko, maka usaha asuransi
tidak akan pemah terjadi. Sebaliknya, jika seseorang bersikap sebagai penghindari risiko
(risk averter) maka ia menghindari, mengurangi, atau mentransfer risiko yang mungkin
terjadi pada dirinya. Apabila banyak orang bersikap menghindari risiko, maka demand
terhadap usaha asuransi akan tumbuh. 1.3.3. Risiko yang dapat diasuransikan Diatas telah
dijelaskan empat kelompok besar manajemen risiko dimana asuransi merupakan cara
terakhir sebelum kita terima atau ambil. Tidak semua risiko dapat diasuransikan. Ada
persyaratan risiko yang dapat diasuransikan (insurable risks). Kita tidak mungkin
mengasuransikan semua risiko, dari yang paling kecil seperti terserang pilek saja atau
kehilangan sebuah pinsil sampai yang besar sekaligus seperti kehilangan nyawa atau rumah
tinggal. Ada beberapa syarat di mana suatu risiko; baik itu risiko kehilangan harta benda,
risiko kebakaran, risiko sakit, risiko kecelakaan dan sebagainya, dapat diasuransikan.
Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut. 1. Risiko tersebut haruslah bersifat
murni (pure). Menurut sifat kejadiannya, risiko dapat timbul benar-benar sebagai suatu
kebetulan atau accidental dan dapat timbul karena suatu perbuatan spekulatif. Risiko mumi
adalah risiko yang tidak dibuat-buat, disengaja, atau dicari-cari bahkan tidak dapat dihindari
dalam jangka pendek. Orang berdagang mempunyai risiko rugi, tetapi risiko rugi tersebut
dapat dihindari dengan manajemen yang baik, belanja yang hat-hati, dan sebagainya. Risiko
rugi akibat suatu usaha dagang merupakan risiko spekulatif yang tidak dapat diasuransikan.
Oleh karenanya tidak ada asuransi yang menawarkan pertanggungan kalau suatu Introduksi
Asuransi Kesehatan 6 HThabrany perusahaan merugi. Suatu risiko yang timbul akibat suatu
tindakan kesengajaan karena ingin mendapatkan santunan asuransi misalnya, maka risiko
yang timbul tidak dapat diasuransikan. Contoh, seseorang mempunyai asuransi kematian
yang besarannya-katakanlah satu milyar rupiah-dapat saja dibunuh oleh ahli warisnya guna
mendapatkan manfaatijaminan asuransi sebesar satu milyar rupiah. Kematian yang
disebabkan karena kesengajaan seperti itu tidak dapat ditanggung. Seseorang yang sengaja
mencoba bunuh diri dengan meminum racun serangga dan gagal sehingga perlu perawatan
di rumah sakit tidak berhak atas jaminan perawatan, karena risiko sakitnya bukanlah risiko
murni. Sakit kanker, yang membutuhkan perawatan yang lama dan mahal, tidak pemah
diharapakan oleh si penderita dan karenanya penyakit kanker merupakan risiko murni yang
dapat diasuransikan atau dijamin oleh asuransi. 2. Risiko haruslah defmitif. Pengertian
definitif artinya bahwa risiko dapat dengan pasti ditentukan kejadiannya dan difahami
bersama tentang terjadi atau tidak terjadi. Risiko sakit dan kematian ditetapkan dengan surat
keterangan dokter. Risiko kecelakaan lalu lintas ditetapkan dengan surat keterangan polisi.
Risiko kebakaran ditetapkan dengan berita acara dan bukti-bukti lain seperti foto kejadian. 3.
Risiko haruslah bersifat statis. Suatu risiko dapat bersifat statis, artinya probabilitas
kejadiannya relatif statis atau konstan tanpa dipengaruhi perubahan politik dan ekonomi
suatu negara. Sebaliknya suatu risiko bisnis bersifat dinamis yaitu sangat dipengaruhi
stabilitas politik dan ekonomi. Tentu saja, risiko yang benar-benar statis dalam jangka
panjang tidak banyak. Risiko seseorang terserang kanker atau gagal jantung akan relatif
statis, tidak dipengaruhi keadaan ekonomi dan politik. Dalam jangka panjang tentu saja
risiko serangan jantung juga dipengaruhi keadaan ekonomi. Di negara maju, yang relatif
kaya dan pola makan enak yang mengandung banyak lemak relatif tinggi, maka probabilits
terkena serangan jantung lebih tinggi dibandingkan dengan risiko serangan jantung di
negara miskin. 4. Risiko berdampak fmansial. Suatu risiko dapat mempunyai dampak
finansial maupun tidak. Risiko yang dapat diasuransikan, karena transfer risiko dilakukan
dengan membayar premi atau kontribusi, haruslah yang berdampak fmansial. Suatu
kecelakaan diri misalnya mempunyai dampak finansial berupa biaya prawatan dan atau
kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan. Selain berdampak finansial, suatu
kecelakaan juga menimbulkan rasa nyeri dan jika kecelakaan tersebut menimbulkan
kematian atau kecacatan, maka risiko tersebut menimbulkan beban psikologis yang besar.
Tentu saja yang dapat diasuransikan hanyalah risiko yang bersifat finansial berupa biaya
perawatan, kehilangan jiwa atau kecacatan yang berdampak pada kehilangan penghasilan.
Maka asuransi dapat menawarkan penggantian biaya pengobatan dan perawatan (baik
dengan uang atau pelayanan) maupun uang tunai sebagai pengganti kehilangan
penghasilan yang hilang akibat kematian atau kecacatan. 5. Risiko haruslah measurable
atau quantifiable. adalah syarat di mana besamya kerugian finansial akibat risiko tersebut
dapat diketahui dengan tingkat akurasi yang Introduksi Asuransi Kesehatan 7 HThabrany
tinggi. Kalau seorang sakit, hams jelas diketahui bahwa orang itu menderita sakit sewaktu
berada di Bogor, dirawat di suatu rumah sakit di Bogor, dan membutuhkan biaya perawatan
sebesar-katakanlah Rp 20 juta. Besaran biaya perawatan tersebut merupakan syarat
dimana suatu skema asuransi dapat berjalan. Rasa sakit sangat sulit diukur, meskipun kita
punya berbagai instrumen, karena rasa sakit sangat subyektif sifatnya. Itulah syarat yang
diperlukan sehingga baik pemegang polis (peserta) maupun asuradur dapat mempunyai
kesepakatan suatu kontrak pertanggungan/jaminan. Dalam hal asuransi jiwa, kita sangat
sulit mengukur berapa besar kerugian finansial akibat suatu kematian. Dalam hal ini, maka
biasanya asuradur menawarkan jumlah tertentu yang akan dipilih pemegang polis/peserta
untuk disepakati sebagai jumlah yang akan diasuransikan. Pilihan jumlah tertentu ini disebut
quantifiable (dapat ditetapkan jumlahnya) sehingga dapat dihitung premi yang hams
dibayarkan. 6. Ukuran risiko haruslah besar (large). Ukuran risiko (severity) memang relatif
dan dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu lain. Risiko
biaya rawat inap sebesar Rp 5 juta bisa dinilai besar oleh yang berpenghasilan rendah akan
tetapi dinilai kecil oleh yang berpenghasilan diatas Rp 50 juta sebulan. Sebuah sistem
asuransi harus secara cermat menilai risiko mana yang akan diasuransikan. Dalam asuransi
kesehatan, kecenderungan di dunia adalah menjamin pelayanan kesehatan secara
komprehensif karena ada kaitan antara risiko yang besaran rupiahnya kecil, misalnya
pengobatan dokter untuk gejala demam, karena jika tidak dijamin bisa jadi gejala tersebut
merupakan suatu kasus demam berdarah yang mematikan yang memerlukan biaya
perawatan yang mahal. Jadi menjamin pelayanan kesehatan komprehensif merupakan
kombinasi penurunan risiko (risk reduction) dan transfer risiko. Suatu skema asuransi yang
hanya menanggung risiko yang kecil, misalnya hanya pengobatan di puskesmas-seperti
yang dulu dipraktekkan dengan skema dana sehat atau JPKM, tidak memenuhi syarat
asuransi. Oleh karena itu, dimanapun di dunia, model asuransi mikro seperti itu tidak
memiliki sustainabilitas (kesinambungan) jangka panjang. Umumnya skema semacam itu
berusia pendek dan tidak menjadi besar. Selain persyaratan sifat atau jenis risiko diatas, ada
beberapa persyaratan yang terkait dengan teknis asuransi dan kelayakan suatu risiko
diasuransikan. Yang dimaksud dengan kelayakan disini adalah khususnya kelayakan dalam
aspek ekonomis. Suatu produk asuransi yang preminya terlalu mahal tidak bisa dijual atau
tidak menarik bagi masyarakat untuk ikut asuransi tersebut. Harga premi atau besaran iuran
yang menghabiskan 30% penghasilan seseorang untuk premi atau iuran asuransi tidak
layak untuk dikembangkan. Persyaratan teknis asuransi adalah besamya probabilitas
kejadian, besamya populasi yang terkena risiko suatu kejadian, dan besamya pool. 1.
Probabilitas suatu kejadian risiko relatif kecil. Ukuran probabilitas besar dan kecil juga relatif.
Akan tetapi suatu kejadian yang lebih dari 50% kemungkinan terjadinya (dalam bahasa
statistik disebut probabilitas >0,5) akan menyebabkan biaya premi menjadi besar dan tidak
menarik untuk diasuransikan. Kejadian gagal ginjal yang membutuhkan hemodialisa atau
cuci darah seminggu dua kali mempunyai Introduksi Asuransi Kesehatan 8 HThabrany
probabilitas sangat kecil, yaitu kurang dari satu kejadian per 1.000 orang (p < 0,001).
Demikian juga kejadian kecelakaan pesawat terbang jauh lebih kecil lagi yaitu umumnya
kurang dari satu per 100.000 penerbangan. Probabilitas yang kecil menghasilkan besaran
premi atau iuran yang juga kecil. 2. Kerugian tidaklah boleh mengenai sejumlah
penduduk/peserta yang besar jumlahnya atau katastrofik (catastrophic) bagi asuradur.
Pengertian katastrofik dapat berarti unitnya yang besar artinya banyak orang yang terkena
kerugian pada saat yang bersamaan. Contohnya, kerugian yang terjadi akibat perang atau
bencana alam besar seperti Tsunami di Aceh yang mengenai penduduk yang banyak
dengan besarnya kerugian mencapai triliunan rupiah tidak dijamin oleh asuransi karena
praktis suatu usaha asuransi akan bangkrut. Suatu penyakit yang menjadi wabah, mengenai
banyak orang, tidak dijamin asuransi akan tetapi dijamin pemerintah melalui suatu undang
undang wabah. Perusahaan asuransi tidak menanggung, atau mengecualikan dari jaminan
(exception), segala bentuk perawatan rumah sakit atau dokter sebagai akibat bencana alam
besar, peperangan ataupun suatu wabah. Katastropik juga dapat berarti besarnya risiko
yang terlalu besar atau terlalu mahal. Dalam bidang kesehatan, biaya perawatan di ruang
intensif yang lebih dari satu tahun pasti membutuhkan biaya yang bisa mencapai milyaran
rupiah. Besarnya biaya medis katastropik bervariasi sesuai dengan kemampuan ekonomi
suatu negara. WHO memberikan definisi biaya medis katastropik bagi rumah tangga jika
biaya pengobatan atau perawatan menghabiskan lebih dari 40% penghasilan rumah tangga
(WHO, 2000).2 Akan tetapi biaya medis yang bersifat katastropik bagi rumah tangga ini
justeru merupakan suatu persyaratan untuk diasuransikan. Dalam buku-buku teks asuransi
kesehatan, biaya perawatan yang mahal sering disebut kasus-kasus major medicals (biaya
medis mahal). 3. Hams ada sejumlah penduduk atau masyarakat yang homogen yang
cukup besar yang akan terkena risiko yang ikut serta dalam suatu skema asuransi.
Maksudnya adalah jika suatu asuransi diikuti oleh hanya sepuluh orang saja sedangkan
risiko yang timbul dapat bervariasi dari--katakanlah seribu rupiah sampai satu milyar rupiah,
maka iuran atau peremi dari peserta asuransi yang sepuluh orang ini tidak dapat menutupi
kebutuhan dana apabila risiko yang diasuransikan terjadi. Risiko yang diperoleh dari sepuluh
orang tersebut tidak bisa dijadikan patokan untuk menghitung besarnya risiko yang akan
timbul. Semakin besar suatu peserta semakin tinggi tingkat akurasi prediksi biaya yang
dibutuhkan untuk menjamin risiko. Dengan demikian, akan semakin kuat kemampuan
finansial sebuah perusahaan asuransi. Persyaratan besarnya jumlah peserta atau
pemegang polis merupakan suatu aplikasi hukum matematik yang disebut hukum angka
besar (the law of the large number). Hukum ini menyebabkan semakin banyak usaha
asuransi yang melakukan merjer (bergabung) agar lebih kuat bersaing atau lebih mampu
mengendalikan biaya atau mempunyai tingkat efisiensi yang tinggi. Program asuransi
kesehatan sosial selalu memenuhi hukum angka besar ini karena sifatnya yang wajib.
Sebaliknya usaha asuransi kesehatan komersial seringkali bangkrut karena tidak mampu
memiliki jumlah peserta atau pemegang polis yang cukup besar. Introduksi Asuransi
Kesehatan 9 HThabrany 1.4. lenis Asuransi Diatas telah dibahas bahwa asuransi
merupakan cara manajemen risiko dimana seseorang atau sekelompok kecil orang (yang
disebut pemegang polis/policy holder atau peserta/participant) melakukan transfer risiko
yang dihadapinya dengan membayar premi (iuran atau kontribusi) kepada pihak asuransi
(yang disebut asuradur/insurer atau badan penyelenggara asuransi). Dalam hal pemegang
polis atau peserta bersifat perseorangan, maka ia akan manjamin dirinya sendiri dan atau
termasuk anggota keluarganya. Dalam hal pemegang polis atau peserta bersifat kelompok
kecil (misalnya suatu perusahaan atau instansi), maka yang dijamin biasanya anggota
kelompok tersebut (karyawan dan anggota keluarganya). Dengan pembayaran premi/ iuran
tersebut, maka segala risiko biaya yang terjadi akibat kejadian yang telah disepakati dalam
perjanjian kontrak (atau ditetapkan dalam peraturan) yang terjadi pada pemegang polis,
peserta, dan anggota keluarganya (tergantung dari spesifikasi dalam kontrak) akan menjadi
kewajiban asuradur. Orang-orang yang termasuk dalam daftar yang dijamin dalam kontrak
atau peraturan disebut tertanggung atau insured. Risiko yang hams ditanggung asuradur
disebut benefit atau "manfaat" asuransi, yang besamya atau scopenya ditetapkan dimuka
dalam kontrak atau peraturan. Dalam asuransi kesehatan, manfaat ini sering disebut paket
jaminan (benefit package/packet) karena berbeda dengan manfaat asuransi jiwa atau
kerugian yang sering dalam bentuk sejumlah uang, manfaat asuransi kesehatan pada
umumnya berbentuk daftar pelayanan kesehatan yang dijamin oleh asuradur. Secara
sederhana pengertian asuransi dapat digambarkan dengan ilustrasi berikut. Wajib/Sukarela
Premi Asuradur Peserta Manfaat III Uang/pelayanan Dari ilustrasi diatas dapat dilihat bahwa
ada dua elemen utama terselenggaranya asuransi yaitu ada pembayaran premi/ iuran dan
ada benefit! manfaat. Kedua elemen inilah yang mengikat kedua pihak (para pihak): peserta
dan asuradur. Pada hakikatnya dalam asuransi, secara umum, para pihak memiliki hak dan
kewajiban sebagaimana layaknya Introduksi Asuransi Kesehatan 10 HThabrany sebuah
kontrak. Tertanggung merupakan orang yang mempunyai kewajiban membayar premi.
Dalam program Jamsostek, Askes dan JPKM, yang nantinya semua akan diatur dalam
Sistem Jaminan Sosial Nasional, tertanggung disebut peserta-tanpa membedakan siapa
yang membayar iuran. Di dalam asuransi kesehatan tradisionall konvensional, yaitu asuransi
kesehatan yang dijual oleh perusahaan asuransi yang manfaatnya ditetapkan atau dibatasi
dengan nilai jumlah uang tertentu, peserta disebut pemegang polis (policy holder) dan
anggota keluarga yang dijamin disebut tertanggung. Dalam asuransi kesehatan yang
dikelola oleh bukan perusahaan asuransi di Amerika (yang biasa dikenal di Indonesia
dengan managed care) tertanggung disebut anggota atau member. Pemegang polis atau
peserta berkewajiban membayar premi/iuran sedangkan tertanggung tidak selalu
merupakan orang yang hams membayar premi. Asuradur adalah orang atau badan yang
telah menerima premi dan karenanya mempunyai kewajiban membayar atau menanggung
manfaat asuransi. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 571/572 tahun 1993 tentang
JPKM, yang dimasa datang JPKM sukarela ini hanya akan menjual produk asuransi
kesehatan suplemen, asuradur ini disebut Badan Penyelenggara JPKM yang disingkat
Bapel. 1.5. Kontrak Asuransi Mekanisme asuransi merupakan hubungan kontraktual dimana
peserta mempunyai kewajiban membayar premi dan mempunyai hak mendapatkan manfaat
asuransi. Asuradur mempunyai hak menerima pembayaran premi dan berkewajiban
membayarkan manfaat, baik langsung kepada tertanggung dalam bentuk uang maupun
membayarkan manfaat tersebut kepada pihak ketiga yang memberikan pelayanan seperti
bengkel mobil atau fasilitas kesehatan. Namun demikian, dibandingkan dengan hubungan
kontraktuallainnya, kontrak asuransi memiliki ciri khas yang secara bersama-sama tidak
dimiliki oleh hubungan kontraktual lainnya. Karena kekhasan kontrak asuransi inilah, maka
pengelolaan atau bisnis asuransi sangat ketat diatur atau dilaksanakan langsung oleh
pemerintah. Ciri khas kontrak asuransi tersebut adalah sebagai berikut: Kontrak kondisional.
Dalam kontrak asuransi, kewajiban asuradur baru akan terjadi jika kondisi tertentu (sakit
atau kehilangan harta benda) terjadi pada diri tertanggung. Apabila tertanggung tidak
mengalami kejadian tersebut, maka tidak ada kewajiban bagi asuradur. Kontrak lain, seperti
kontrak pembelian barang atau sewa gedung, tidak memiliki sifat kondisional ini. Oleh
karena itu, dalam kontrak asuransi seperti asuransi kesehatan pegawai negeri, pegawai
yang lebih dari 20 tahun tidak pemah sakit sedangkan ia terus membayar iuran (karena
bersifat wajib dan langsung dipotong dari gajinya), tidak berhak menuntut uang iurannya
kembali kepada Askes. Secara hukum, hal ini sah. Berbeda dengan kontrak tabungan hari
tua (yang disebut Dana Pensiun Lembaga Keuangan-DPLK) di bank, penabung atau ahli
warisnya berhak mendapatkan kembali uang yang disimpannya secara rutin tiap bulan pada
suatu waktu tertentu atau setelah penabung meninggal dunia. Kontrak unilateral. Pada
umumnya kontrak bersifat bilateral dalam artian masing masing pihak mempunyai kewajiban
dan hak dan masing-masing dapat dituntut jika salah satu pihak tidak melaksanakan
kewajibannya. Dalam kontrak asuransi, pihak yang dapat dituntut karena tidak memenuhi
kewajibannya hanyalah pihak asuradur. Apabila tertanggung Introduksi Asuransi Kesehatan
11 HThabrany tidak memenuhi kewajibannya, tidak membayar premi, ia tidak dapat dituntut.
Akan tetapi haknya otomatis hilang atau kontrak otomatis terputus (yang dalarn istilah
asuransi komersial disebut lapse). Kontrak unilateral ini merupakan padanan (offset) dari
sifat kondisional dimana kewajiban membayar manfaat asuransi tidak selalu harus dilakukan
oleh asuradur. Kontrak Aleatory. Kontrak pada umumnya mempunyai keseimbangan nilai
tukar (economic value) antara kewajiban dan hak bagi pihak pertarna maupun pihak kedua.
Salah satu pihak dapat (sah) menerima nilai yang jauh lebih besar dari kewajiban yang
dibayarkannya, tanpa ada hitungan hutang atau dapat digugat untuk membayar selisih nilai
tukar. Sebagai contoh, seseorang yang menjadi peserta asuransi kesehatan membayar
premi sebesar Rp 250.000 tiap bulan. Baru saja empat bulan ia membayar premi (total premi
yang dibayar menjadi 4 x Rp 250.000 atau sarna dengan Rp 1 juta), ia terkena serangan
jantung dan memerlukan pembedahan yang memakan biaya (nilai tukar) Rp 150 juta yang
dalarn kontrak asuransi tersebut memang pembedahan jantung ditanggung penuh. Maka
peserta ini berhak menerima operasi jantung tanpa ada kewajiban membayar selisih biaya
bedah jantung dengan premi yang telah dibayarnya. Sebab, tanpa kontrak aleatori,
sesungguhnya peserta tersebut baru membayar sebesar Rp 1 juta sedangkan ia sudah
menerima Rp 150 juta. Dalam kontrak asuransi, peserta tersebut tidak berhutang Rp 149
juta. Jika saja ia berhenti menjadi peserta setelah itu, dengan tidak membayar premi lagi
misalnya, maka ia tidak dapat dituntut untuk melunasi selisih biaya yang besarnya Rp 149
juta. Sebaliknya, seorang peserta atau pemegang polis bisa saja telah membayar premi
sebesar Rp 250.000 sebulan untuk masa 10 tahun (atau sama dengan 10 tahun x 12 bulan
x Rp 250.000 = Rp 30 juta, tanpa hitungan bunga) akan tetapi ia tidak pemah sakit dan
karenanya tidak pemah mengklaim manfaat asuransi. Maka ia tidak berhak sarna sekali atas
manfaat asuransi (menerima hak senilai Rp 0 rupiah). Sedangkan asuradur telah menerima
Rp 30 juta (plus bunga) tanpa kewajiban membayar apapun kepada tertanggung. Kontrak
Adhesi. Dalarn ikatan kontrak pada umumnya kedua belah pihak mempunyai informasi yang
relatif seimbang tentang nilai tukar dan kualitas barang atau jasa. Dalarn kontrak asuransi,
pihak peserta atau pemegang polis--khususnya dalarn asuransi individual, tidak memiliki
informasi yang seimbang dengan informasi yang dimiliki asuradur. Asuradur tahu lebih
banyak tentang besarnya probabilitas sakit dan biaya-biaya pengobatan yang terkait
sementara pihak peserta tidak mampu mengetahuinya dengan baik. Akibatnya, sulit bagi
peserta untuk menilai apakah premi yang dikenakan murah, wajar, atau terlalu mahal.
Dalarn kata lain, peserta dalarn posisi yang lemah (ignorance). Itulah sebabnya, dalarn
industri asuransi dimanapun di dunia, pemerintah selalu mengatur dan mengawasi dengan
ketat berbagai aspek penyelenggaraan asuransi baik dalam hal paket jaminan, isi dan
bahasa polis, bahkan besamya huruf dalarn polis, dan berbagai persyaratan asuradur yang
menjarnin peserta akan menerima haknya, jika obyek asuransi terjadi. Dalarn dunia
asuransi, kontrak semacam ini sering disebut sebagai kontrak take it or leave it. Introduksi
Asuransi Kesehatan 12 HThabrany 1.6. Pembayaran Premi Dalam pembayaran premi,
menurut sifat kepesertaannya, kita dapat membagi asuransi menjadi dua golongan besar
yaitu pembayaran premi yang bersifat wajib dan bersifat sukarela (lihat ilustrasi). Dalam
asuransi sosial kepesertaan bersifat wajib, dalam asuransi komersial tidak ada kewajiban
seseorang untuk ikut atau membeli asuransi. Sifat membeli merupakan suatu transaksi
sukarela dalam perdagangan (commerce). Atas dasar kewajiban menjadi peserta inilah,
asuransi secara garis besar dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu asuransi sosial dan
asuransi komersial. Banyak pihak di Indonesia yang mengasosiasikan asuransi sosial
sebagai asuransi bagi kelompok masyarakat dengan ekonomi lemah, sehingga pada
awalnya JPKM dinyatakan sebagai bukan asuransi komersial. Dalam literatur asuransi dan
jaminan sosial, kepesertaan yang bersifat wajib merupakan ciri utama dari asuransi sosial.
1.6.1. Asuransi Sosial Banyak pihak di Indonesia yang mempunyai pengertian yang keliru
tentang asuransi so sial. Kebanyakan orang beranggapan bahwa asuransi sosial adalah
suatu program asuransi untuk masyarakat miskin atau kurang mampu. Dalam banyak
kesempatan interaksi dengan masyarakat di kalangan sektor kesehatan, banyak yang
beranggapan bahwa Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang
diperkenalkan Departemen Kesehatan (Depkes) juga merupakan program jaminan untuk
masyarakat miskin. Hal ini barangkali terkait dengan program JPKM dalam rangka Jaring
Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) dimana Depkes memberikan insentif kepada
organisasi di kabupaten yang disebut pra bapel (hadan penyelenggara) untuk
mengembangkan JPKM. Program JPSBK ini memberikan dana Rp 10.000 per tahun untuk
tiap keluarga miskin (gakin) kepada pra bapel yang berjumlah 354 di seluruh Indonesia
dimana Rp 800 diantaranya digunakan oleh pra bapel untuk administrasi. Diharapkan bahwa
setelah dua tahun program ini, pra bapel dapat membuat produk JPKM dan menjualnya
kepada masyarakat selain gakin. Mungkin dengan program inilah maka terbentuk
pemahaman bahwa program JPKM adalah program asuransi sosial. Sebenarnya, konsep
JPKM adalah konsep asuransi komersial yang dilandasi oleh kepesertaan sukarela. Diskusi
lebih lanjut tentang hal ini akan diberikan kemudian. Dalam Undang-Undang No 2/92
tentang asuransi disebutkan bahwa program asuransi so sial adalah program asuransi yang
diselenggarakan secara wajib berdasarkan suatu undang undang, dengan tujuan untuk
memberikan perlindungan dasar bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam UU ini disebutkan
bahwa program asuransi sosial hanya dapat diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik
Negara (pasal 14). Namun demikian, tidak ada penjelasan lebih rinci tentang asuransi sosial
dalam UU tersebut. Untuk lebih menjelaskan tentang apa, mengapa dan bagaimana
asuransi sosial dilaksanakan, berikut ini akan dijelaskan berbagai rasional dan contoh-
contoh program asuransi sosial di dunia dan di Indonesia. Mengapa harus diwajibkan?
Apakah dalam jaman era globalisasi ini masih perlu mewajibkan setiap tenaga kerja atau
setiap penduduk untuk menjadi peserta asuransi kesehatan seperti halnya asuransi
kesehatan pegawai negeri? Mengapa harus dikelola secara Introduksi Asuransi Kesehatan
13 HThabrany terpusat oleh satu badan penyelenggara pemerintah? Monopolikah itu
namanya? Bukankah kini jamannya privatisasi? Mengapa tidak dilepaskan kepada
mekanisme pasar karena pasar begitu kuat dan mampu mengatasi berbagai masalah?
Bukankah kini jamannya otonomi daerah sehingga sehamsnya daerah diberi kewenangan
mengurus masing-masing. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu kerap kali muncul sewaktu
saya presentasi di berbagai kesempatan dan daerah. Di atas sudah dijelaskan bahwa
pelayanan kesehatan memiliki ciri uncertainty dan akses terhadap pelayanan kesehatan
merupakan hak asasi setiap penduduk. Deklarasi PBB tahun 1948 telah jelas menyebutkan
bahwa setiap penduduk berhak atas jaminan kesehatan manakala ia sakit. Apakah setiap
orang memiliki visi dan kesadaran akan risiko yang dihadapinya di kemudian hari? Meskipun
banyak orang menyadari akan risiko dirinya, pada umumnya kita tidak mempunyai kemauan
dan kemampuan yang memadai untuk mencukupi kebutuhan menutup risiko sakit yang
terjadi di masa depan. Orang-orang muda akan ambil risiko, risk taker, terhadap masa
depannya karena pengalamannya menunjukkan bahwa mereka jarang sakit. Ancaman sakit
10-20 tahun ke depan dinilainya terlalu jauh untuk dipikirkan sekarang. Pada umumnya
mereka tidak akan membeli, secara sukarela dan sadar, asuransi untuk masa jauh ke depan
tersebut meskipun mereka mampu membeli. Sebaliknya, orang-tua dan sebagian orang
yang punya penyakit kronis, bersedia membeli asuransi karena pengalamannya membayar
biaya berobat yang mahal. Namun penghasilan mereka sudah jauh berkurang. Meskipun
penghasilannya cukup, biaya pengobatan sudah jauh lebih besar dari penghasilanya.
Orang-orang seperti ini mau membeli asuransi, akan tetapi jika hanya orang-orang tersebut
yang mau membeli, perusahaan asuransi/bapel akan menarik premi sangat besar untuk
menutupi biaya berobat yang tinggi. Atau mereka tidak bersedia menjamin orang-orang yang
risikonya sub standar (diatas rata-rata). Akibatnya mereka tidak bisa dijamin. Jika orang-
orang yang sudah sakit-sakitan tersebut menderita penyakit menular, penyakitnya tidak bisa
disembuhkan. Penyakit menular yang tidak dapat disembuhkan, karena tidak sanggup
berobat dan tidak ada perusahaan asuransil bapel yang mau menjaminnya, akan
mengancam semua orang disekitamya, karena penyakitnya dapat menular kepada orang
lain (ekstemalitas). Meskipun mereka tidak menderita penyakit menular, jika penyakit
mereka sudah sangat parah, dan mereka tidak mampu membayar, pada akhimya banyak
pihak hams turun tangan membantu. Inilah prikemanusiaan yang beradab. Tidak ada di
dunia manapun dimana orang-orang seperti itu dibiarkan menderita tanpa bantuan. Jika
bantuan diberikan secara sukarela, jumlahnya seringkali tidak memadai. Ancaman sakit
seperti itu dapat terkena siapa saja, tua maupun muda, kaya maupun miskin. Oleh karena
setiap orang suatu ketika akan dapat menderita seperti itu, maka untuk menjamin semua
orang tidak tambah menderita karena tidak memiliki dana yang memadai, maka perlu
diwajibkan untuk berasuransi. Jika tidak diwajibkan, maka yang sakit-sakitan akan beli
asuransi sebagai alat gotong royong atau solidaritas sosial. Sementara yang sehat dan yang
muda merasa tidak perlu dan karenanya tidak membeli asuransi. Dengan demikian tidak
mungkin terselenggara gotong-royong antara kelompok kaya-miskin dan antara yang sehat
dengan yang sakit. Jadi asuransi sosial bertujuan untuk menjamin semua orang yang
memerlukan pelayanan kesehatan akan mendapatkannya tanpa perduli status ekonomi atau
usianya. Inilah Introduksi Asuransi Kesehatan 14 HThabrany prinsip keadilan sosial (social
equity/social justice) yang menjadi falsafah hidup semua orang di dunia. Jadi asuransi sosial
memiliki fungsi redistribusi hak dan kewajiban antara berbagai kelompok masyarakat: kaya-
miskin, sehat-sakit, muda-tua, risiko rendah-risiko tinggi. Inilah hakikat peradaban manusia
yang dapat diwujudkan dengan penyelenggaraan asuransi so sial. Oleh karenanya, tidak
ada satu negarapun di dunia-- baik itu negara liberal seperti Amerika maupun negara yang
lebih dekat ke sosialis, yang tidak memiliki sistem asuransi so sial atau jaminan oleh negara
langsung. Di Amerika misalnya, semua orang-tanpa kecuali, yang mempunyai penghasilan
hams membayar premi Medicare. Medicare adalah program asuransi sosial kesehatan untuk
orang tua/pensiunan (usia 65 tahun keatas) untuk orang orang yang menderita penyakit
terminal-penyakit yang tidak bisa sembuh. Setiap yang berpenghasilan otomatis dipotong
sebesar 1,45% penghasilannya untuk premi Medicare yang jaminannya baru diperoleh jika
ia berusia pensiun (65 tahun keatas). Majikannya, pemberi kerja, wajib juga menambahkan
1,45% gaji yang dibayarkan untuk premi asuransi tersebut. Jadi jumlahnya 2,9% dari
gaji/upah sebulan. Negara-negara Eropa yang lebih kuat ikatan sosialnya atau negara-
negara Asia seperti Jepang, Korea, Taiwan, Filipina, dan Muangtai; juga menyelenggarakan
sistem asuransi sosial. Ada yang digabungkan dengan sistem jaminan sosial (social
security) ada juga negara yang membuat undang-undang asuransi sosial khusus untuk
kesehatan seperti Taiwan, Filipina, Kanada, dan Jerman. Tanpa diwajibkan, maka tidak
semua orang akan ikut serta. Cina yang komunis juga menyelenggarakan sistem asuransi
sosial untuk rakyatnya. Jadi mewajibkan penduduk ikut serta dalam asuransi sosial bukanlah
pemerkosaan hak akan tetapi justeru untuk pemenuhan hak asasi yang dibiayai secara
kolektif. Membayar pajak adalah suatu kewajiban di negara manapun. Apakah kewajiban
membayar pajak merupakan pelanggaran hak asasi manusia? Kalau ada yang menjawab
ya, maka semua negara di dunia ini melanggar HAM. Mempunyai kartu penduduk atau
paspor adalah suatu kewajiban penduduk, dimanapun dan di negara manapun ia berada.
Jadi tidak seperti apa yang digambarkan oleh sebagian orang bahwa menyelenggarakan
asuransi yang bersifat wajib adalah bertentangan dengan fitrah manusia madani (civilized
society). Justeru masyarakat madani memiliki banyak sekali kewajiban individu terhadap
masyarakat secara kolektif. Inilah bentuk perwujudan kehidupan berbudaya. Sesuatu yang
sifatnya wajib hams diatur oleh yang paling kuasa. Dalam kehidupan bemegara, yang paling
kuasa adalah undang-undang yang dibuat oleh wakil rakyat. Itulah sebabnya, sebuah
asuransi sosial yang memenuhi syarat haruslah diatur berdasarkan undang undang. Di
Indonesia, salah satu contoh asuransi sosial yang diatur UU adalah jaminan pemeliharaan
kesehatan dalam Undang-undang No. 3/1992 tentang Jamsostek. Mekanisme adverse
selection. Dalam asuransi sosial, manfaat/paket jaminan ditetapkan oleh UU sama atau
relatif sama bagi seluruh peserta dengan tujuan memenuhi kebutuhan para anggotanya.
Seringkali manfaat ini disebut paket dasar. Dalam asuransi putus kerja atau pensiun,
besarnya manfaat memang relatif rendah untuk memenuhi kebutuhan minimum hidup,
cukup untuk makan, transportasi, perumahan, dan pendidikan. Manfaat pasti tidak diberikan
agar pesertanya dapat Introduksi Asuransi Kesehatan 15 HThabrany hidup mewah. N amun
untuk asuransi kesehatan, di Indonesia sayangnya banyak memiliki pemahaman sarna yaitu
menjamin pelayanan kesehatan dengan biaya murah. Sehingga kasus berat dan mahal tidak
dijamin. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip asuransi berat sama dipikul. Sebab yang menjadi
kebutuhan dasar, yang mempertahankan seseorang hidup dan berproduksi seringkali
justeru pelayanan operasi atau perawatan intensif di rumah sakit. Oleh karenanya, di
negara-negara lain, pada umumnya asuransi sosial dimulai dengan manjamin pelayanan
rawat inap, bukan rawat jalan yang murah. Tujuan penyelenggaraan asuransi so sial ini
adalah terpenuhinya kebutuhan penduduk, atau populasi tertentu, yang tanpa asuransi
sosial kemungkinan besar mereka tidak mampu memenuhinya sendiri-sendiri. Atau jika
mereka secara sukarela (komersial) membeli asuransi, mereka tidak sanggup atau tidak
punya disiplin cukup untuk membeli. Dalam asuransi sosial, premi ditetapkan oleh peraturan
yang besarnya umumnya proporsional terhadap pendapatan/upah. Kombinasi paket
jaminan/manfaat asuransi yang sama dengan premi yang proporsional upah memfasilitasi
terjadinya equity egaliter (keadilan yang merata). Secara singkat equity egaliter berarti you
get what you need yang lebih pas untuk kesehatan. Dalam prinsip equity egaliter
dilaksanakan prinsip seseorang hams mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan medis yang ada pada dirinya tetapi membayar sesuai dengan kemampuan
ekonomi dirinya. Itulah sebabnya peserta diharuskan membayar persentase tertentu dari
upahnya. Hal ini memungkinkan pemerintah memenuhi hak asasi pelayanan kesehatan
seperti yang termaktub dalam UUD kita pasal 28H. Hal ini merupakan penjabaran lebih
lanjut dari sila keadilan sosial dalam Pancasila. Seluruh negara maju dan menengah
menggunakan prinsip asuransi sosial ini, baik yang terintegrasi denganjaminan sosial (social
security) lainnya maupun yang dikelola tersendiri. Contoh equity liberter adalah pelayanan
kesehatan yang umumnya berlaku di Indonesia sekarang ini. Seorang manajer yang sakit
tifus masuk rumah sakit dan memilih perawatan di kelas VIP dengan membayar biaya
perawatan per hari Rp 250.000,- plus jasa dokter, obat, pemeriksaan penunjang medis, dsb.
Ia mendapat perawatan dari suster yang cantik-cantik, doktemya berkunjung paling sedikit
sekali dalam sehari (argo dokter jalan terus), dan mendapat pilihan makanan yang enak.
Total biaya perawatan waktu pulang adalah Rp 5 juta. Adilkah (equitykah)? Tentu adil,
sebab dia bayar mahal sehingga ia mendapatkan pelayanan sesuai dengan yang ia bayar.
Seorang pedagang sayur gendongan menderita sakit tifus dan tidak diterima dirawat di RS
Swasta karena tidak mampu membayar uang muka yang diminta. Dengan menahan
berbagai rasa sakit dan panas di badan, ia hams pergi ke RS pemerintah yang mau
menerimanya tanpa uang muka. Ia kemudian di rawat di kelas 11m dengan bangsal yang
rame, kamar mandi bersama, kebersihan ruangan dan bau yang kurang nyaman, serta
makanan yang standar. Dokter memeriksanya tiga hari sekali dan perawatnya kurang
ramah. Maklum karena perawat mendapat gaji UMR. Setelah dirawat 10 hari ia pulang
dengan hanya membayar Rp 500.000,-. Adilkah? Cukup adil. Sebab ia hanya mampu
membayar pelayanan yang seperti itu. Seorang tukang ojek yang menderita tifus tetapi takut
ke rumah sakit karena ia sering mendengar tetangga dan kenalannya yang dirawat di RS
menghabiskan ratusan ribu sampai Introduksi Asuransi Kesehatan 16 HThabrany jutaan
rupiah. Setelah berusaha mengobati sendiri dengan berbagai obat penurun panas tidak
sembuh, akhimya ia pingsan karena rupanya telah tejadi perforasi (kebocoran) usus.
Akhimya oleh tetangganya ia di bawa ke rumah sakit dan terpaksa hams masuk perawatan
intensif (ICU) dan pembedahan. la beruntung karena diberikan dispensasi untuk membayar
uang muka seadanya. Setelah pulang ia hams membayar Rp 5 juta, yang paling banyak
untuk perawatan intensif selarna dua hari yang memakan biaya Rp 3,5 juta. Karena
berhutang, ia hams menjual motomya dan masih meminjarn uang dari sanak keluarga untuk
melunasi tagihan rumah sakit tersebut. la tidak lagi berfikir darimana mencari nafkah setelah
itu, karena motor yang menjadi satu-satunya modal telah dilego. Untuk makan keluarga
setelah sembuh, terserah nasiblah. Adilkah? Menurut pandangan liberter, adil. Sebab ia
memang bemasib jelek dan berprilaku jelek takut berobat sejak dini. Seorang tukang ojek
lainnya yang juga menderita tifus dengan perforasi dan hams masuk ICU tetapi bemasib
kurang baik, karena rumah sakit yang didatanginya meminta uang muka Rp 3 juta dan ia
tidak memilikinya. Akhimya ia terpaksa pulang dengan menanda tangani surat "pulang
paksa" dimana risiko setelah pulang menjadi tanggung jawabnya sendiri. Dua hari kemudian
ia meninggal dunia. Adilkah? Menurut pandangan liberter mumi, adil! Sebab memang ia
tidak mampu membayar. Pandangan egaliter menilai bahwa equity liberter baik untuk hal-hal
di luar kesehatan. Untuk kesehatan sangat tidak adil dan tidak manusiawi jika seorang yang
hanya karena tidak punya uang pada saat ia sakit hams kehilangan mata pencaharian dan
menyengsarakan hidup keluarganya atau meninggal dunia seperti dua kasus terakhir.
Pandangan equity egaliter dalarn pelayanan kesehatan menilai bahwa kedua orang pada
contoh terakhir sehamsnya mendapat pengobatan paling tidak seperti tukang sayur
gendong. Pasien harus mendapatkan pengobatan sesuai dengan kondisi medisnya dan
tidak tergantung pada kemampuannya membayar, apalagi sarnpai meninggal dunia. Lalu
siapa yang membiayainya? Untuk itulah hams diselenggarakan asuransi sosial dimana baik
si manajer maupun si tukang sayur atau tukang ojek membayar premi dimuka sebesar,
misalnya 5% dari penghasilannya. Mungkin sang manajer membayar premi Rp 250.000 per
bulan sedangkan si tukang sayur membayar Rp 10.000 sebulan dan tukang ojek membayar
Rp 20.000 sebulan untuk seluruh keluarganya. Pada waktu mereka sakit, rumah sakit tidak
perlu meminta uang muka. Si pasien tidak hams takut berobat ke rumah sakit karena ia telah
memiliki jaminan dan mengetahui bahwa ia tidak perlu membayar rumah sakit, kecuali
sejumlah iur biaya yang besamya terjangkau atau sarna sekali tidak membayar apa-apa.
Termasuk obat-obatan dan biaya ICU jika diperlukan, ia tidak perlu lagi membayar atau
hanya membayar iur biaya yang kecil. Hak perawatannya mungkin di kelas II atau kelas III.
Inilah yang disebut equity egaliter. Sang manajer yang ingin dirawat di ruang VIP dapat
menarnbah selisih biaya saja. Mungkin akhimya sang manajer hanya membayar biaya
tarnbahan ruangan dan makanan yang besamya hanya Rp 1-2 juta saja. Pada prinsipnya
premi asuransi sosial mirip pajak tetapi tidak progresif, bahkan cenderung regresif. Dalarn
peraturan pajak, mereka yang berpenghasilan tinggi dikenakan pajak dengan prosentase
yang tinggi pula. Ini berlaku di seluruh dunia. Di Indonesia kalau kita berpenghasilan Rp 1
juta sebulan, maka pajak penghasilan yang hams dibayar adalah Introduksi Asuransi
Kesehatan 17 HThabrany 5% dari penghasilan kena pajak. Tetapi jika penghasilan kita
mencapai Rp 100 juta sebulan, maka pajak penghasilan yang hams kita bayar mencapai
35% dari penghasilan diatas Rp 200 juta setahun. Dalam asuransi sosial, justeru seringkali
diberlakukan batas maksimum. Misalnya premi asuransi so sial adalah 5% dari penghasilan
sampai batas Rp 5 juta. Artinya, jika penghasilan kita Rp 1 juta sebulan, maka kita bayar
premi sebesar Rp 50.000 sebulan untuk sekeluarga. Sedangkan jika penghasilan kita
sebesar Rp 10 juta sebulan, premi yang hams kita bayar adalah 5%x Rp 5 juta (batas
maksimal) atau hanya sebesar Rp 250.000 saja. Jika penghasilan kita Rp 100 juta sebulan,
maka premi yang kita bayar juga hanya Rp 250.000 saja. Perbedaan lain dengan pajak
adalah penggunaannya. Pada asuransi sosial, penggunaan dana hanya terbatas untuk
kegiatan atau benefit yang telah ditetapkan. Tidak bisa lain. Sementara penerimaan pajak
dapat digunakan untuk berbagai program yang tidak ditentukan dimuka. Itulah sebabnya,
premi asuransi sosial atau jaminan sosial sering disebut sebagai social security tax, jadi
sangat mirip dengan ear-marked tax. Karena sifatnya yang wajib dan mirip dengan
pengenaan pajak, maka pengelolaan asuransi sosial haruslah secara not for profit (nirlaba).
Jadi tidak tepat kalau Jamsostek dan Askes pegawai negeri dikelola oleh PT Persero yang
berorientasi laba (for profit). Ini suatu keajaiban dunia barangkali. Pengertian nirlaba hams
dipahami bahwa yang tidak mencari laba adalah badan atau lembaganya. Bukan juga berarti
bahwa lembaga tadi tidak boleh ada sisa dana. Bukan! Dulu istilah nirlaba dalam bahasa
Inggris disebut non profit (tidak ada laba atau sisa hasil usaha). Belakangan istilah itu telah
diluruskan menjadi not for profit artinya usaha yang dilakukan sarna sekali bukan untuk
mencari untung seperti layaknya perusahaan. Tetapi usaha atau upaya yang dilakukan
ditujukan untuk memberikan kesejahteraan sebesar besarnya bagi anggota. Jadi mirip
dengan negara. Negara tidak mencari laba, akan tetapi jika ada kelebihan anggaran, maka
anggaran itu dapat digunakan untuk tahun fiskal berikutnya atau untuk cadangan negara.
Jika lembaga pengelola asuransi sosial memiliki SHU, maka pemerintah tidak menarik PPh
(pajak penghasilan) badan. Sisa hasil usaha tersebut hams digunakan untuk kepentingan
peserta, seperti halnya bagi negara untuk kepentingan rakyat. Penggunaan SHU jika ada
dapat digunakan untuk perbaikan pelayanan, perluasan paket jaminan, atau dikembalikan
dalam bentuk potongan iuran pada periode berikutnya. Hams diingat bahwa meskipun
lembaga atau organisasi penyelenggara jaminan atau asuransi sosial bersifat nirlaba,
pegawai badan tersebut bersifat for profit. Setiap pegawai tetap wajib membayar PPh 21,
karena pegawai bersifat for profit. Jadi tidak benar kalau pegawai penyelenggara asuransi
sosial digaji rendah. Oleh kareanya pada umumnya penyelenggara asuransi sosial adalah
badan pemerintah atau kuasi pemerintah yang disebut Trust Fund atau dalam bahasa
Indonesia dapat diterjemahkan sebagai Dana Amanat. Bentuk Dana Amanat ini dimiliki oleh
seluruh peserta, mirip dengan model Usaha Bersama (mutual) pada Asuransi Jiwa Bersama
(AJB) Bumi Putera dimana pemegang sahamnya adalah seluruh pesertaipemegang polis.
Tetapi produk asuransi yang dijual Bumi Putera bersifat komersial, bukan asuransi sosial.
Asuransi sosial sering disebut sebagai asuransi publik (public insurance), untuk
membedakannya dengan asuransi swasta (private insurance) yang umumnya bersifat
komersial danfor profit. Ada banyak bentuk asuransi swasta yang komersial dan nirlaba. Di
Indonesia pandangan tentang pengelola publik sering bias karena pegawai di sektor publik
mendapat gaji yang sangat berbeda sehingga dalam memberikan pelayanan seringkali tidak
memuaskan Introduksi Asuransi Kesehatan 18 HThabrany atau meminta uang bawah meja.
Tak ada insentifbagi mereka untuk bekerja baik. Akibatnya, pandangan masyarakat tentang
pengelolaan lembaga publik atau pemerintahan pada umumnya buruk. Karena mereka
'pura-pura'nya digaji, maka mereka juga 'pura-pura' bekerja. Keunggulan Penyelenggaraan
asuransi sosial mempunyai banyak keunggulan mikro dan makro yang antara lain dapat
dijelaskan di bawah ini. 1. Tidak terjadi seleksi bias. Seleksi bias, khususnya adverse
selection atau anti seleksi, merupakan keadaan yang paling merugikan pihak asuradur.
Pada anti seleksi terjadi keadaan dimana orang-orang yang risiko tinggi atau di bawah
standar saja yang menjadi atau terus melanjutkan kepesertaan. Hal ini terjadi pada asuransi
yang sifatnya sukarelaJkomersial. Dalam asuransi sosial, dimana semua orang-paling tidak
dalam suatu kelompok tertentu seperti pegawai negeri atau pegawai swasta wajib ikut, tidak
terjadi anti seleksi. Yang memiliki risiko standar, sub standar, maupun diatas standar semua
ikut. Hal ini akan memungkinkan sebaran risiko yang baik sehingga perkiraan klaim/biaya
dapat dihitung lebih akurat. 2. Redistribusi/subsidi silang luas (equity egaliter). Karena
semua orang dalam suatu kelompok wajib ikut; baik yang kaya maupun yang miskin, yang
sehat maupun yang sakit, dan yang muda maupun yang tua; maka asuransi sosial
memungkinkan terjadinya subsidi silang yang luas. Yang kaya memberi subsidi kepada yang
miskin. Yang sehat memberi subsidi kepada yang sakit, dan yang muda memberi subsidi
kepada yang tua. Dalam asuransi komersial hanya terjadi subsidi antara yang sehat dengan
yang sakit saja. 3. Pool besar. Suatu mekanisme asuransi pada prinsipnya merupakan suatu
risk pool, suatu upaya menggabungkan risiko perorangan atau kumpulan kecil menjadi risiko
bersama dalam sebuah kumpulan yang jauh lebih besar. Semua anggota kelompok tanpa
kecuali harus ikut dalam asuransi sosial. Akibatnya pool atau kumpulan anggota menjadi
besar atau sangat besar. Sesuai dengan hukum angka besar, semakin besar anggota
semakin akurat prediksi berbagai kejadian. Ini hukum alamo Asuransi so sial memungkinkan
terjadinya pool yang sangat besar, sehingga prediksi biaya misalnya dapat lebih akurat.
Oleh karenanya, kemungkinan lembaga asuransi sosial bangkrut adalah jauh lebih kecil dari
lembaga asuransi komersial. 4. Menyumbang pertumbuhan ekonomi dengan penempatan
dana premi/iuran dan dana cadangan pada portofolio investasi seperti obligasi, deposito,
maupun saham. Pada umumnya portofolio investasi dana jaminan sosial/asuransi sosial
dibatasi agar tidak menganggu likuiditas dan solvabilitas program. 5. Administrasi
sederhana. Asuransi sosial biasanya mempunyai produk tunggal yaitu sama untuk semua
peserta, tidak seperti asuransi komersial yang produknya sangat Introduksi Asuransi
Kesehatan 19 HThabrany beragam. Akibatnya administrasi asuransi sosial jauh lebih
sederhana dan tidak membutuhkan kemampuan sekompleks yang dibutuhkan asuransi
komersial. Oleh karenanya pada umumnya negara yang kurang memiliki sumber daya
manusia yang faham berbagai seluk-beluk asuransi sekalipun mudah menerapkan asuransi
sosial. 6. Biaya administrasi murah. Selain produk dan administrasi sederhana, asuransi
sosial tidak membutuhkan rancangan paket terus-menerus, biaya pengumpulan dan analisis
data yang mahal, dan biaya pemasaran yang bisa menyerap 50% premi di tahun pertama.
Oleh karenanya biaya administrasi asuransi sosial di negara-negara maju pada umumnya
kurang dari 5% dari total premi yang diterima. Bandingkan dengan asuransi komersial yang
paling sedikit menghabiskan sekitar 12%, bahkan ada yang menghabiskan sampai 50% dari
premi yang diterima. 7. Memungkinkan pengenaan tarif fasilitas kesehatan seragam. Karena
pool yang besar, asuransi sosial memungkinkan pengaturan tarif fasilitas kesehatan yang
seragam sehingga semakin memudahkan administrasi dan membuat keseimbangan kerja
antar dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Tarif yang seragam ini memungkinkan juga
penerapan standar mutu tertentu yang menguntungkan peserta. 8. Memungkinkan kendali
biaya dengan buying power. Berbeda dengan mitos model organisasi managed care (seperti
HMO di Amerika dan bapel JPKM di Indonesia) yang membayar kapitasi dan pelayanan
terstruktur yang konon dapat mengendalikan biaya, asuransi sosial dapat mengendalikan
biaya lebih baik tanpa hams membayar dokter atau fasilitas kesehatan dengan sistem risiko,
seperti kapitasi. Meskipun lembaga asuransi sosial membayar fasilitas kesehatan per
pelayanan (fee for services) yang disenangi dokter, asuransi so sial masih mampu
mengendalikan biaya lebih baik dari model organisasi managed care. 9. Memungkinkan
peningkatan dan pemerataan pendapatan dokter/fasilitas kesehatan. Asuransi sosial
mempunyai pool yang besar dan menjamin lebih banyak orang dalam mendapatkan
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Akibatnya lebih banyak orang mampu berobat.
Dengan kemampuan menerapkan tarif standar kepada fasilitas kesehatan, asuransi sosial
akan mampu memeratakan pendapatan para fasilitas kesehatan yang bersedia memenuhi
standar pelayanan dan tarif yang ditetapkan. Apabila asuransi sosial telah mencakup lebih
dari 60% penduduk, maka sebaran fasilitas kesehatanpun dapat lebih merata tanpa
pemerintah hams mewajibkan dokter bekerja di daerah-daerah. 10. Memungkinkan semua
penduduk tercakup. Orgasnisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memasukan faktor cakupan
asuransi kesehatan sebagai salah satu indikator kinerja sistem kesehatan negara-negara di
dunia.' Organisasi ini juga menganjurkan untuk perluasan cakupan hingga tercapai cakupan
universal, semua penduduk terjamin. Hal ini hanya mungkin jika asuransi yang
diselenggarakan adalah asuransi sosial yang mewajibkan semua penduduk menjadi
peserta, tentunya secara bertahap. Asuransi sosial memungkinkan terselenggaranya
solidaritas sosial maksimum atau 1 Laporan WHO 2000. Introduksi Asuransi Kesehatan 20
HThabrany memungkinkan terselenggaranya keadilan sosial (social justice). Pendekatan
asuransi komersial tidak mungkin mencakup seluruh penduduk dan memaksimalkan
solidaritas sosial. Kelemahan Selain berbagai keuntungan yang dapat dinikmati masyarakat
baik secara mikro maupun secara makro, asuransi sosial tidak lepas dari berbagai
kelemahan. Kelemahan kelemahan tersebut antara lain: 1. Pilihan terbatas. Karena asuransi
sosial mewajibkan penduduk dan pengelolanya yang paling tepat adalah suatu badan
pemerintah atau kuasi pemerintah, maka masyarakat tidak memiliki pilihan asuradur. Para
ahli umumnya berpendapat bahwa hal ini tidak begitu penting, karena pilihan yang lebih
penting adalah pilihan fasilitas kesehatannya. Asuransi sosial memungkinkan peserta bebas
memilih fasilitas kesehatan yang mana saja yang ia inginkan, karena fasilitas kesehatan
dapat dibayar secara FFS atau cara lain yang tidak mengikat. Berbeda dengan konsep
HMO/JPKM kini, yang memberikan pilihan asuradur tetapi setelah itu pilihan fasilitas
kesehatan terbatas pada yang telah mengikat kontrak. Mana yang lebih penting bagi
peserta: bebas memilih fasilitas kesehatan dengan biaya murah atau bebas memiliki
asuradur tetapi pilihan fasilitas kesehatan terbatas? 2. Manajemen kurang keratif/responsif.
Karena asuransi sosial mempunyai produk yang seragam dan biasanya tidak banyak
berubah, maka kurang insentif bagi pengelolanya untuk bekerja keras merespons terhadap
demand peserta. Apabila askes sosial dikelola oleh pegawai yang kurang selektif dan tidak
memberikan insentif pada yang berprestasi, maka manajemen cenderung kurang
memuaskan peserta. Seringkali juga karena penyelenggaranya tunggal, kurang ada
tantangan sehingga respons terhadap tuntutan peserta kurang cepat. 3. Pelayanan
seragam. Pelayanan yang seragam bagi semua peserta menyebabkan penduduk kelas
menengah atas kurang memiliki kebanggaan khusus. Kelompok ini pada umumnya ingin
berbeda dari kebanyakan penduduk, sehingga kelompok ini biasanya kurang suka dengan
sistem asuransi so sial. Pelayanan yang seragam juga sering menyebabkan waktu tunggu
yang lama sehingga kurang menarik bagi penduduk kelas atas. Namun demikian, lamanya
waktu tunggu yang tidak bisa diterima oleh kelas atas tertentu tidak bisa dijadikan alasan
untuk membubarkan sistem asuransi sosial yang berfungsi dan dinikmati lebih dari 90%
penduduk. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah biasanya memberikan kesempatan
kepada mereka membeli asuransi suplemen/tambahan seperti yang dikenal dengan
Medisup/Medigap di Amerika. Atau penduduk kelas atas dibiarkan tidak menggunakan
haknya dalam asuransi sosial atau jaminan pemerintah dan menggantinya dengan membeli
asuransi komersial seperti yang terjadi di Inggris. Introduksi Asuransi Kesehatan 21
HThabrany 4. Banyak fasilitas kesehatan yang tidak begitu suka. Profesional dokter
seringkali merasa kurang bebas dengan sistem asuransi sosial yang membayar mereka
dengan tarif seragam atau dengan model pembayaran lain yang kurang memaksimalkan
keuntungan dirinya. Pada umumnya fasilitas kesehatan lebih senang melayani orang
perorang yang membayar langsung dan dengan tarif yang ditentukannya sendiri. Tetapi
perlu dipahami bahwa semua negara-negara maju, kecuali Amerika, menerapkan sistem
asuransi sosial sebagai satu-satunya sistem atau sebagai sistem yang dominan di
negaranya 1.6.2. Asuransi Komersial Seperti telah dijelaskan dimuka, asuransi komersial
berbasis pada kepesertaan sukarela. Kata komersial berasal dari bahasa Inggris commerce
yang berarti berdagang. Dalam berdagang tentu tidak boleh ada paksaan. Dasarnya adalah
pedagang menawarkan barang atau jasanya dan sebagian masyarakat yang merasa
memerlukan barang atau jasa tersebut akan membelinya. Tidak ada paksaan bahwa
seseorang hams membeli barang tersebutljasa tersebut. Agar seorang pedagang atau suatu
perusahaan dapat menjual barang atau jasanya, maka ia hams bekerja keras memperoleh
informasi barang atau jasa apa yang diminati (ada demand) masyarakat. Kalau seorang
pedagang menjual barang yang tidak diminati masyarakat, maka barang atau jasa yang
dijualnya tidak akan laku dan pedagang tersebut akan merugi. Sebaliknya jika pedagang
tersebut sangat jeli melihat minat masyrakat calon konsumennya, maka ia dapat menjual
barang atau jasa dalam jumlah besar dan memperoleh laba yang besar pula. Oleh karena
itu model pedagang perorangan atau perusahaan for profit sangat cocok terjun di dunia
komersial ini. Basis komersial inilah yang membedakan sistem asuransi mekanisme pasar
dengan sistem asuransi sosial yang berbasis regulasi, bukan pasar. Asuransi komersial
merespons terhadap demand (permintaan) masyarakat sedangkan asuransi sosial
merespons terhadap needs (kebutuhan) masyarakat. Tujuan utama dari penyelenggaraan
asuransi kesehatan komersial ini adalah pemenuhan keinginan (demand) perorangan yang
beragam. Dengan demikian, perusahaan akan merancang berbagai produk, bahkan dapat
mencapai ribuan jenis produk, yang sesuai dengan permintaan masyarakat. Secara teoritis
bahkan dapat dibuat lebih dari satu juta produk, apabila demand masyrakat memang
bervariasi sebanyak itu. Disinilah letak pemborosan, tidak efisien, secara makro karena pada
akhimya untuk dapat menjual produk yang sangat bervariasi tersebut dibutuhkan biaya
besar. Biaya besar tersebut dibutuhkan untuk riset pasar, perancangan produk,
pengembangan sistem informasi, penjualan, komisi agen atau broker, dan keuntungan
perusahaan. Jangan heran jika ada perusahaan asuransi yang mematok biaya pelayanan
sebesar 50% dari premi yang dijual. Artinya, setiap 100 rupiah premi yang diterima, hanya
Rp 50 saja yang akan dibayarkan ke fasilitas kesehatan. Motif utama pengelola atau
asuradur adalah mencari laba. Itulah sebabnya asuransi model ini dikenal sebagai asuransi
komersial karena biasanya memang bertujuan dagang atau mencari untung. Namun bisa
saja suatu lembaga nirlaba, seperti yayasan atau perhimpunan masyarakat seperti Nahdatul
Ulama, Muhamadiah, perhimpunan katolik dll, menyelenggarakan model asuansi komerisal
tetapi tidak untuk mencari laba yang akan Introduksi Asuransi Kesehatan 22 HThabrany
dibagi-bagi kepada pemegang sahamnya. Laba yang diperoleh disumbangkan kepada yang
tidak marnpu dalarn berbagai bentuk seperti rabat harga premi atau bahkan pengobatan
gratis. Premi untuk asuransi ini disesuaikan dengan paket jaminan atau manfaat asuransi
yang ditanggung. Jadi asuransi model ini memulai dari penyusunan paket yang diperkirakan
diminati pembeli. Baru setelah itu harga premi dihitung untuk dijual. Di Indonesia paket paket
yang dijual sangat bervariasi dari hanya menjamin penyakit tertentu seperti penyakit kanker
atau gagal ginjal, paket komprehensif dengan paket platinum, emas, perak, perunggu,
plastik, dan mungkin kertas atau daun. Semakin tinggi atau luas jarninan dan semakin luks
jaminan paket yang dijual semakin mahal harga preminya. Asuransi ini memfasilitasi equity
liberter (You get what you pay for). Mereka yang miskin sudah pasti tidak bisa membeli
paket yang luas-misalnya menanggung pengobatan kanker, jantung, atau hemodialisa
karena harga preminya tidak terjangkau. Dalarn pelayanan tentu saja jika mereka sakit
kanker, terpaksa asuransi tidak menjaminnya. Sifat kontrak adhesi, dimana asuradur tahu
jauh lebih banyak dari pemegang polis atau peserta, khususnya perorangan, sangat kuat.
Peserta dapat saja membeli paket yang jauh lebih mahal dari yang sepantasnya. Agen yang
menjual dengan mudah dapat mengarahkan atau bahkan menggiring orang membeli produk
tertentu yang kurang sesuai dengan kondisinya. Perusahaan yang kurang bertanggung
jawab dapat saja lalai atau menghilang setelah menerima premi cukup besar. Atau
perusahaan yang hanya memikirkan keuntungannya dapat saja menghentikan atau tidak
memperpanjang asuransi orang-orang yang temyata memiliki penyakit kronis setelah
beberapa tahun menjadi peserta. Itulah sebabnya, jika opsi ini yang dipilih sebagai pilihan
dominan seperti di Amerika, maka banyak sekali peraturan yang mengikat perusahaan dan
praktek asuransi guna melindungi peserta yang berada pada posisi lemah. Tahun 1997
misalnya, di Amerika terdapat lebih dari 1,000 usulan peraturan di bidang asuransi
kesehatan.' Peraturan yang dikeluarkan pemerintah federal dan negara bagian Amerika,
bukan hanya mengatur solvensi perusahaan, akan tetapi mencakup pengaturan kontrak. Di
Indonesia pengaturan kontrak asuransi kesehatan sarna sekali belum ada. Tahun 1997
pemerintah federal Amerika mengeluarkan peraturan yang menyangkut protabilitas asuransi
dan batas boleh memberlakukan pre-existing conditions. Pada polis asuransi perorangan
ada peraturan tentang polis non cancellable, dimana perusahaan asuransi tidak boleh
menghentikan/membatalkan polis bahkan menaikan premi jika seorang peserta menderita
suatu penyakit kronis." Kegagalan pasar asuransi komersial/Swasta Karena sifat uncertainty
mengundang usaha asuransi, maka kini banyak pemain baru, Kolusi antara dokter-rumah
sakit dan perusahaan farmasi menyebabkan harga pelayanan kesehatan terus semakin
mahal. Risiko sakit perorangan semakin mahal, maka demand baru terbentuk; membeli
asuransi kesehatan. Bagaimana pentaripan asuransi? Tidak bisa dilepaskan dari tarif jasa
dokter, rumah sakit, obat, laboratorium, dan alat-alat medis lainnya. Bisakan asuransi
mendapatkan harga yang pantas (fair)? Sulit! Meskipun perusahaan 2 HIAA. Managed Care
part B. Washington, D.C., 1997 3 HIAA. Health Insurance Premier, Washington, D.C., 2000
Introduksi Asuransi Kesehatan 23 HThabrany asuransil bapel JPKM dapat memperoleh
harga yang lebih murah, mereka juga punya interes untuk mendapatkan untung. Sementara
provider masih tetap memiliki market power yang kuat. Tidak banyak pilihan bagi
perusahaan asuransi, kecuali mengeruk keuntungannya dari pihak pasien/ konsumen. Tentu
saja sebagai "perantara", perusahaan asuransil bapel JPKM akan mencari untung dari
kedua pihak, pihak peserta/ pemegang polis dan pihak provider. Maka kini, seorang
pasien/konsumen/peserta mendapatkan pelaku baru yang juga melirik kantong mereka.
Akankah konsumen mampu untuk memilih produk asuransi dan harga sesuai
kebutuhannya? Hampir tidak mungkin! Karena disini juga terjadi informasi asimetri.
Konsumen tidak mengetahui tingkat risiko dirinya dan hampir tidak mungkin mengetahui
apakah harga premi yang dibelinya pantas, terlalu murah, atau terlalu mahal. Sementara
penjual (perusahaan asuransi/bapel JPKM) dapat menciptakan produk dan cara pamasaran
yang menakutkan sehingga konsumen, jika ia mempunyai kemampuan keuangan, memilih
untuk membeli. Bagaimana dengan konsumen yang tidak mampu? Sejauh pasar belum
jenuh, asuradur akan memusatkan pada perhatian kepada pasar yang mampu membeli dan
profitable. Karena dalam pasar asuransi (swasta/sukarela) asuradur akan menetapkan premi
atas dasar risiko yang akan ditanggung (paket jaminan), risk based premium, maka
besarnya premi tidak dapat disesuaikan dengan kemampuan membeli seseorang. Maka
sudah dapat dipastikan bahwa penduduk yang miskin tidak akan mampu membeli premi.
Oleh karenanya, asuransi kesehatan swasta/sukarela/komersial tidak akan mampu
mencakup seluruh penduduk. Keinginan mencakup seluruh penduduk dengan mekanisme
asuransi kesehatan swasta hanyalah sebuah impian belaka. Hal ini dapat dibuktikan di
Amerika, yang menghabiskan lebih dari US$ 4.000 per kapita per tahun (tahun 2000 ini
diperkirakan Amerika menghabiskan US$ 1,8 triliun), akan tetapi lebih dari 40 juta
penduduknya (16%) tidak memiliki asuransi (HIAA, 1999)3. Dengan terbatasnya pasar dan
persaingan yang tinggi, volume penjualan tidak bisa mencapai jumlah yang besar.
Persaingan antara asuradur akan memaksa asuradur membuat produk spesifik yang juga
menyebabkan pool tidak optimal untuk mencakup berbagai pelayanan. Persaingan menjual
produk spesifik dan volume penjualan untuk masing-masing produk yang relatif kecil
menyebabkan contigency dan profit margin yang relatif besar. Perusahaan asuransi Amerika
menghabiskan rata-rata 12% faktor loading (biaya operasional, laba, dan berbagai biaya non
medis lainnya) (Shalala dan Reinhart, 1999). Departemen Kesehatan membolehkan bapel
menarik biaya loading sampai 30%.4 Asuradur swasta di Indonesia memiliki rasio klaim yang
bervariasi antara 40-70%, tergantung jenis produknya, sehingga menyebabkan biaya
tambahan bagi konsumen sebesar 30-60%. Jadi berbagai skenario dan fakta yang terjadi,
sudah dapat dipastikan bahwa asuransi kesehatan swasta tidak bisa menurunkan biaya
pelayanan kesehatan dan tidak mampu mencakup seluruh penduduk. Jelaslah
ketergantungan pada sistem asuransi kesehatan swasta/ komersial (termasuk disini sistem
JPKM yang sekarang berlaku) gagal menciptakan cakupan universal dan mencapai efisiensi
makro. Trade off antara risk pooling dan biaya yang ditanggung konsumen tidak seimbang.
Sementara itu, hampir semua negara menginginkan cakupan universal. Oleh karenanya, jika
kedua komponen tujuan, universal dan efisensi makro, ingin Introduksi Asuransi Kesehatan
24 HThabrany dicapai; maka membuat asuransi kesehatan swasta/ komersial akan gagal
mencapai tujuan tersebut. Semua negara-negara maju telah meratifikasi konvensi PBB
tentang hak asasi manusia dan menempatkan pelayanan kesehatan sebagai salah satu hak
dasar penduduk (fundamental human right). Sebagai konsekuensi peletakkan hak dasar ini
pemerintah mengusahakan suatu sistem kesehatan yang mampu mencakup seluruh
penduduk (universal) secara adil dan merata (equity). Negara-negara maju pada umumnya
mewujudkan peran serta masyarakat dalam pembiayaan dan penyediaan kesehatan publik
yang diatur oleh suatu undang-undang. Pembiayaan publik dimaksudkan adalah
pembiayaan oleh negara atau oleh sistem asuransi kesehatan sosial yang didasarkan oleh
undang-undang. Penyelenggara pembiayaan publik dapat suatu badan pemerintah dapat
pula badan swasta yang nirlaba. Penyediaan kesehatan publik adalah penyediaan rumah
sakit, klinik, pusat kesehatan, dan sebagainya yang disediakan oleh negara yang dapat
diselenggarakan secara otonom (terlepas dari birokrasi pemerintahan) ataupun tidak
otonom. Dengan menempatkan salah satu atau kedua faktor pembiayaan dan atau
penyediaan oleh publik (public not for profit enterprise) memungkinkan terselenggaranya
cakupan universal dan pemerataan yang adil. Penempatan kesehatan sebagai hak asasi
tidak selalu berarti bahwa pemerintah hams menyediakan seluruh pelayanan dengan cuma-
cuma. Yang dimaksud pendanaan oleh publik adalah pendanaan oleh pemerintah dalam
bentuk anggaran belanja negara atau oleh penyelenggara asuransi social atau jaminan
social. Penyelenggara asuransi/jaminan social dapat dikelola langsung oleh organisasi
birokrasi pemerintah atau dikelola oleh badan/agency yang dibentuk pemerintah yang
berfungsi otonom, tidak dipengaruhi birokrasi pemerintah. Di Indonesia, banyak orang
mengkhawatirkan penempatan kesehatan sebagai hak asasi akan menyebabkan beban
pemerintah menjadi sangat berat. Pada hakikatnya, pembiayaan maupun penyediaan
pelayanan dapat dilakukan oleh pemerintah bersama swasta yang secara umum dapat
dilihat dari gambar-l . Gambar-l. Matriks Pembiayaan dan Penyediaan (delivery) pelayanan
kesehatan Pembiayaan Penyediaan Publik Swasta Publik Inggris Indonesia dan negara
berkembang lainnya Swasta Kanada, Jerman, Jepang Amerika dan Taiwan * Jepang dan
Jerman menyerahkan sebagian besar pembiayaan dan penyediaan kepada sektor s was ta,
akan tetapi bersifai sosial (nirlaba) yang diatur oleh pemerintah, sementara Amerika
menyerahkan kepada mekanisme pasar (for profit dan not for profit). Apabila pembiayaan
diserahkan kepada sektor publik, yang bersifat sosial atau nirlaba, maka terdapat dua pilihan
utama yaitu pembiayaan dari penerimaan pajak (general tax revenue) seperti yang dilakukan
Inggris dan pembiayaan melalui asuransi sosial seperti Introduksi Asuransi Kesehatan 25
HThabrany yang dilakukan Kanada, Taiwan, Jepang dan Jerman. Kanada dan Taiwan
memberlakukan sistem monopoli Propinsi dan Negara dengan hanya menggunakan satu
badan penyelenggara, yang sering dikenal Asuransi Kesehatan Nasional. Sementara
Jerman dan Jepang menggunakan undang-undang wajib asuransi sosial kesehatan dengan
banyak penyelenggara dari pihak swasta yang nirlaba. Di Indonesia, pengertian asuransi
sosial sangat sering disalah artikan dengan pengertian derma atau pelayanan cuma-cuma.
Sementara penyelenggaraan asuransi sosial kesehatan yang sudah ada, program JPK
PNS/Askes dan program JPK Jamsostek, diselenggarakan oleh perusahaan publik yang
berbentuk badan hukum berorientasi laba (Persero). Hal ini menyebabkan semakin
kacaunya pemahaman asuransi sosial. Distorsi pemahaman ini menyebabkan sulitnya
usaha-usaha mengusahakan suatu sistem asuransi sosial yang konsisten. Asuransi sosial
adalah asuransi yang diselenggarakan atau diatur oleh pemerintah yang melindungi
golongan ekonomi lemah dan menjamin keadilan yang merata (equity). Untuk mencapai
tujuan tersebut, maka suatu asuransi sosial haruslah didasari pada suatu undang-undang
dengan pembayaran premi dan paket jaminan yang memungkinkan terjadinya pemerataan.
Dalam penyelenggaraanya, pada asuransi sosial mempunyai ciri (a) kepesertaan wajib bagi
sekelompok atau seluruh penduduk, (b) besaran premi ditetapkan oleh undang-undang,
umumnya proporsional terhadap pendapatan/gaji, dan (c) paketnya ditetapkan sama untuk
semua golongan pendapatan, yang biasanya sesuai dengan kebutuhan medis (Thabrany,
1999i. Dengan mekanisme ini, maka dimungkinkan tercapainya keadilan sosial yang
egaliter. Dari segi pembiayaan, asuransi sosial mempunyai keunggulan dalam mencapai
efisiensi makro karena tidak memerlukan biaya perancangan produk, pemasaran, dan
pencapaian skala ekonomi yang optimal. Taiwan misalnya hanya menghabiskan kurang dari
3% premi untuk biaya administrasi (Depkes Taiwan, 1997)6. Program Medicare di Amerika
hanya menghabiskan biaya administrasi sebesar 3-4% sementra asuransi komersial swasta
di Amerika menghabiskan rata-rata 12% (Shalala dan Reinhardt, 1999f Kekuatan 1.
Pemenuhan kebutuhan unik seseorang atau sekelompok orang. Karena sifat asuransi
komersial yang memenuhi demand, maka perusahaan asuransi akan bereaksi cepat
terhadap perubahan demand atau terhadap demand dari sekelompok orang. Oleh
karenanya asuransi kesehatan komersial akan lebih sesuai dengan permintaan kelompok
tertentu yang khususnya ingin mendapatkan pelayanan yang nyaman dan bergengsi.
Asuransi kesehatan komersial juga dapat memberikan pelayanan khusus kepada suatu
kelompok, misalnya perusahaan besar, dengan membuat paket khusus (tailor made) yang
sesuai dengan permintaan pembeli. 2. Merangsang pertumbuhan perdagangan/ ekonomi.
Besamya keuntungan yang dapat dijanjikan oleh asuransi kesehatan dapat merangsang
investor terjun menanam modalnya di sektor ini. Meskipun jika dibandingkan dengan
asuransi jiwa mungkin Introduksi Asuransi Kesehatan 26 HThabrany asuransi kesehatan
relatif kurang menguntungkan, tetapi penjualan asuransi kesehatan oleh perusahaan
asuransi jiwa akan menambah efisiensi perusahaan. Dana yang terkumpul dari premi
asuransi kesehatan juga dapat ditanam dalam berbagai portofolio investasi sehingga dapat
juga menyumbang pada pertumbuhan ekonomi. 3. Kepuasan peserta relatif lebih tinggi.
Karena asuransi komersial sangat fleksibel dalam menyusun paket jaminan dan banyaknya
pelaku menimbulkan persaingan, maka asuransi komersial dapat memenuhi selera
pesertanyaJ pemegang polisnya dengan cepat. Karenanya, dibandingkan dengan asuransi
sosial, kepuasan peserta pada umumnya lebih tinggi pada asuransi komersial. Namun
demikian harus disadari bahwa kepuasan yang lebih tinggi tersebut hams dibayar dengan
premi yang lebih mahal. 4. Produk akan sangat beragam sehingga memberikan pilihan bagi
konsumen. Dalam asuransi kesehatan komersial, setiap perusahaan atau bapel akan
merancang produk yang diharapkan dapat memenuhi permintaan calon konsumennya
(prospeknya). Bahkan setiap perusahan dapat menawarkan banyak produk. Akibatnya akan
banyak sekali tersedia produk yang dapat dipilih oleh prospek sesuai persepsi kebutuhannya
dan sesuai juga dengan kemampuan keuangannya. Kelemahan 1. Pool relatif kecil.
Bagaimanapun hebatnya perusahan asuransi komersial, pool jumlah peserta tidak akan
mampu menyamai pool asuransi sosial. Bahkan karena sifatnya yang komersial atau usaha
dagang maka usaha asuransi komersial terkena undang undang antimonopoli sehingga
pelakunya akan banyak. Dengan pelaku yang banyak, maka kepesertaan penduduk akan
tersebar di berbagai perusahaan asuransi yang menyebabkan skala ekonomi bisa tidak
tercapai. 2. Produk sangat beragam dan manajemen kompleks. Beragamnya produk
asuransi kesehatan, yang secara teoritis dapat mencapai jutaan jenis, selain memberikan
pilihan bagi konsumen juga menuntut manajemen yang kompleks. Administrasi kepesertaan
harus dibuat berdasarkan basis data perorangan. Apalagi jika tiap tertanggung dikenakan
biaya awal (deductible), coinsurance, dan batas maksimum yang berbeda-beda. Maka untuk
mengelolanya diperlukan kecermatan tersendiri yang lebih kompleks dari manajemen
nasabah bank. 3. Menyediakan Equity liberter. Bagi masyarakat yang tidak suka
memberikan bantuan kepada pihak yang lebih lemah atau kepada pihak lain, maka asuransi
komersial menyediakan fasilitas bagi mereka. Premi yang dibayar asuransi kesehatan
komersial disesuaikan dengan risiko kelompok dimana seseorang berada (bukan risiko tiap
orang). Disinilah terjadi you get what you pay for. Peserta yang membeli paket platinum
dapat pelayanan yang spesial yang sesuai dengan paketnya. Sementara yang membeli
paket standar hams puas dengan pelayanan yang sesuai dengan harga premi yang
dibayamya. Introduksi Asuransi Kesehatan 27 HThabrany 4. Biaya administrasi tinggi.
Karena kompleksnya produk asuransi komersial, maka biaya administrasi (loading) menjadi
relatif jauh lebih besar dibandingkan dengan sistem asuransi sosial. Perusahaan asuransi
komersial hams menyewa aktuaris, melakukan riset pasar, melakukan perbagai upaya
pemasaran dan penjualan, dan hams membayar dividen atas laba yang ditargetkan
pemegang saham. Seluruh biaya biaya tersebut pada akhimya hams dibayar oleh
pemegang polis/peserta. 5. Tidak mungkin mencapai cakupan universal. Seperti telah
dijelaskan diatas, penduduk/kelompok kecil yang meskipun memilik demand akan tetapi
tidak memiliki uang, tidak akan membeli asuransi. Akibatnya tidak mungkin seluruh
penduduk tercakup asuransi kesehatan. Maka di banyak negara asuransi kesehatan
komersial hanya bisa dijual sebagai produk suplemen atau asuransi tambahan terhadap
asuransi so sial kepada mereka yang ingin mendapat pelayanan yang lebih memuaskan. 6.
Secara makro tidak efisien. Dominasi asuransi kesehatan komersial, bukan sebagai produk
suplemen, akan menyebabkan pada akhimya biaya kesehatan tidak terkendali, meskipun
mayoritas produk yang dijual dalam bentuk managed care (bentuk JPKM sekarang). Hal ini
disebabkan oleh: pertama, tingginya biaya administrasi. Kedua, tidak mungkinnya penduduk
miskin membeli asuransi kesehatan yang mengakibatkan pemerintah tetap hams
mengeluarkan anggaran khusus untuk penduduk miskin. Ketiga, berbagai pelayanan yang
secara medis tidak esensial tetapi penting untuk menarik konsumen untuk membeli
dimasukan dalam paket. 1.7. Asuransi Sosial Kesehatan di Berbagai Negara dan Berbagai
Indikator Makro Kesehatan Seperti telah disampaikan diatas, negara-negara yang lebih
konsisten mencari cakupan universal dan efisiensi makro (biaya kesehatan nasional yang
rendah) tidak menggantungkan sistemnya pada asuransi kesehatan swasta, baik dalam
bentuk tradisional indemnitas maupun dalam bentuk managed care (HMO, PPO, maupun
POS). Tentu saja argumen teoritis yang dikemukan diatas tidak cukup meyakinkan tanpa
adanya data empirik. Data empirik yang menyajikan cakupan universal dan efisiensi makro
saja, juga tidak cukup meyakinkan manfaat asuransi sosial kesehatan (ASK). Oleh karena
itu kita hams juga melihat indikator outcome (keluaran) secara makro. Tujuan cakupan
universal dan efisiensi saja tidak memadai jika pelayanan yang diberikan tidak cukup
berkualitas. Untuk menentukan pelayanan yang berkualitas, antara lain, kita bisa melihatnya
dari keluaran yaitu status kesehatan. pengukuran status kesehatan yang lazim digunakan
adalah angka kematian bayi dan umur harapan hidup. Memang kedua indikator ini tidak
hanya dipengaruhi oleh sistem kesehatan, akan tetapi berbagai analisis menunjukkan
bahwa sistem tersebut mempunyai korelasi yang kuat terhadap keluaran status kesehatan.
Dalam Tabel-l disajikan perbandingan data empirik yang di olah dari karya Anderson dan
Paullier, 19998. Introduksi Asuransi Kesehatan 28 HThabrany Tabell Perbandingan model
asuransi, cakupan, biaya dan status kesehatan di berbagai negara maju. Askes %penddk
BiayaRIper Biaya Kes per Negara domi-nan dijamin hari (US$), kapita (US$), IMR, LE,
wntlpria, ASK 1996 1997 1996 1996 Amerika Komers 33,3 1.128 3.925 7,8 79,4/72,7
Australia Sosial 100 242 1.805 5,8 81,1175,2 Austria Sosial 99 109 1.793 5,1 80,2173,9
Belanda Sosial 72 225 1.838 5,2 80,4174,7 Belgia Sosial 99 263 1.747 6,0 81,0174,3 Ceko
Sosial 100 75 904 6,0 77,2170,5 Denmark Sosial 100 632 1.848 5,2 78,0/72,8 Finlandia
Sosial 100 168 1.447 4,0 80,5173,0 Inggris Negara, 100 320 1.347 6,1 79,3174,4 NHS
Islandia Sosial 100 192 2.005 5,5 80,6176,2 Itali Sosial 100 339 1.589 5,8 81,3174,9 Jepang
Sosial 100 83 1.741 3,8 83,6177,0 Jerman Sosial 92,2 228 2.339 5,0 79,9173,6 Kanada
Nasio-nal 100 489 2.095 6,0 81,5175,4 Korea Sosial 100 110 587 9,0 77,4/69,5 Luksemberg
Sosial 100 180 2.340 4,9 80,0173,0 Norwegia Sosial 100 123 1.814 4,0 81,1175,4 Perancis
Sosial 99,5 284 2.051 4,9 82,0174,1 Portugal Sosial 100 249 1.125 6,9 78,5171,2 Selandia
Barn Nasio-nal 100 254 1.352 7,4 79,8174,3 Spanyol Sosial 99,8 343 1.168 5,0 81,6174,4
Turki Sosial 66 73 260 42,2 70,5/65,9 Yunani Sosial 100 144 974 7,3 80,4175,1 Catatan:
RJ= rawat inap, IMR=infant mortality rate, LE=life expectancy. Dari tabe1 tersebut dapat kita
lihat bahwa Amerika yang merupakan satu-satunya negara maju yang menggantungkan
sistem asuransinya pada asuransi komersia1 mempunyai kinerja keuangan yang sangat
maha1, hampir dua kali biaya termaha1 di negara lain, dan 1ebih dari dua kali dari biaya
kesehatan di Jepang dan Jerman yang sarna-sarna memiliki banyak badan penye1enggara
asuransi kesehatan. Bahkan biaya rawat inap perhari di Amerika mencapai 5-10 kali 1ebih
maha1 dibandingkan negara-negara maju 1ainnya yang memiliki pendapatan per kapita
yang tidak jauh berbeda. Jika dilihat cakupan asuransinya, Amerika masih memiliki 17%
penduduk (43 juta jiwa) yang tidak mempunyai jaminan (uninsured). Sementara indikator
makro kesehatan, IMR dan LE, tidak menunjukan status yang 1ebih baik dari banyak negara
atau dari tetangganya Kanada. Data diatas menunjukkan angka-angka cross sectional yang
dapat menunjukkan bias waktu. Apakah tingginya biaya kesehatan di Amerika konsisten dari
waktu ke waktu? Berbagai literatur ekonomi kesehatan menunjukkan konsistensi tersebut.
Tentu saja, kita tidak bisa membandingkan angka-angka ni1ai nominal do1ar tersebut
dengan keadaan di Indonesia. Negara yang kaya memang akan menge1uarkan biaya besar
karena memang biaya hidup tinggi. Suatu ukuran yang dapat memantau beban finansia1
ada1ah besamya biaya kesehatan dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB).
Perkembangan persentase biaya kesehatan terhadap PDB di enam negara OECD, 1970-
1997 te1ah di1akukan oleh Ikegami dan Campbell (1999)9. Hasil penelitian tersebut
disajikan pada Gambar-2. Introduksi Asuransi Kesehatan 29 HThabrany Penelitian kedua
orang tersebut menunjukkan bahwa Amerika secara konsisten menghabiskan biaya
kesehatan sebagai prosentasi terhadap PDB yang terns meningkat tak terkendali.
Dibandingkan dengan Jepang dan Inggris yang memiliki sistem pembiayaan dan
penyediaan kesehatan yang terkendali (bukan managed care) temyata Amerika
menghabiskan jauh lebih besar, baik dalam nilai nominal dolar maupun dalam prosentase
terhadap PDB. Dari enam negara yang dibandingkan, hanya Amerikalah yang
menggantungkan pembiayaan kesehatan yang dominan kepada mekanisme pasar asuransi
kesehatan komersial/ swasta, termasuk berbagai bentuk managed care seperti HMO, PPO,
danPOS. Gambar-2 Perkembangan Biaya Kesehatan (% PDB) di Enam Negara Maju, 1970-
1997 16T~~~~~--=;=7e~~r-------------1 • Amerika 14 • Kanada 12 10 8 6 4 2 o +-------_r------
~r_------,_------_r--------r_----~ ------------------- --- :::: ~:~:- - - - - - - - - -~ - - - - - - - - - -~
-::::::: :~:::: ---------------------------------------------------------------- 1970 1975 1980 1985 1990
1997 Disusun dari data Health Affairs 1.8. Pemberian Benefit Dari segi pemberian atau
pembayaran manfaat kita dapat membagi jaminan asuransi menjadi dua bagian besar, yaitu
pembayaran manfaat dalam bentuk uang atau penggantian uang dan pemberian jaminan
berbentuk pelayanan. Dalam asuransi kesehatan, pembayaran dalam bentuk uang dikenal
dengan nama asuransi kesehatan tradisional yang dapat memberikan penggantian uang
lump sum, sejumlah tertentu (indemnitas) atau sesuai dengan tagihan (reimbursement).
Sedangkan manfaat yang diberikan dalam bentuk pelayanan kini dikenal dengan istilah
populer di Amerika sebagai managed care (pelayanan terkendali). Pemberian jaminan
dalam bentuk uang ataupun pelayanan dapat diberikan baik oleh asuransi kesehatan sosial
maupun asuransi kesehatan komersial. Introduksi Asuransi Kesehatan 30 HThabrany 1.8.1.
Jaminan Uang Tradisi asuransi, termasuk asuransi kesehatan, adalah memberikan
penggantian uang. Undang-undang No.2/92 tentang Asuransi di Indonesia juga mempunyai
definisi yang sarna. Dalarn asuransi kesehatan di masa lalu, dimana provider belum cukup
banyak dan moral hazard belum meluas, jaminan uang berjalan cukup baik. Dalarn praktek,
pemberian jarninan uang sering bermasalah karena mudahnya moral hazard terjadi dan
kesulitan teknis menentukan kebutuhan yang pas. Asuransi mobil di Indonesia juga
seringkali memberikan jaminan dalarn bentuk pelayanan jika mobil yang diasuransikan rusak
karena kecelakaan. Perusahaan asuransi biasanya mengirim mobil yang rusak ke bengkel
tertentu. Prinsip yang sarna digunakan dalam pelayanan kesehatan, dimana pasien hams
mendapat pengobatan atau perawatan di provider tertentu di rumah sakit atau klinik. Bukan
hanya bapel JPKM yang melakukan hal itu, perusahaan asuransi juga melakukan hal yang
sarna. Dalam asuransi kesehatan pemberian jarninan berupa uang hams dikelola lebih rumit
karena kebutuhan tidak selalu pas dengan uang jarninan sementara kebutuhan pelayanan
medis tidak dapat ditunda. Akibatnya permainan kuitansi atau pelayanan mudah
"disesuaikan" yang pada akhimya meningkatkan premi. Penggantian dengan kwitansi
mengundang moral hazard yang lebih tinggi lagi. Pemberian jarninan dalarn bentuk uang
dalam asuransi kesehatan mempunyai berbagai kelebihan dan kekurangan seperti: 1. Tidak
perlu ada kontrak atau kerja sarna dengan Pemberi Pelayanan Kesehatan (fasilitas
kesehatan, provider). Pada asuransi indemnitas dimana peserta dapat mengajukan klaim
berdasarkan kwitansi biaya berobat di rumah sakit tidak diperlukan kontrak khusus antara
perusahaan asuransi dengan provider. Pada umumnya produk indemnitas di Indonesia
hanya menanggung biaya rumah sakit. 2. Pilihan fasilitas kesehatan luas. Akibat tidak
adanya kontrak dengan fasilitas kesehatan, maka peserta atau tertanggung mempunyai
kebebasan memilih fasilitas kesehatan dimana ia akan mendapatkan pengobatan. Pilihan
yang luas ini sangat disukai orang-orang yang menghendaki pelayanan yang sesuai dengan
seleranya. Pada umumnya golongan ekonomi atas, apalagi yang mobilitasnya tinggi, sangat
menyukai asuransi model ini. Pilihan bebas ini dapat diberikan oleh usaha asuransi
komersial maupun asuransi sosial pada asuransi kecelakaan kerja (workers' compensation,
occupational injury, dll). 3. Pembayaran fasilitas kesehatan FFS. Karena jarninan diberikan
dalarn bentuk uang jumlah tertentu atau reimbursement dan tanpa ada kontrak, maka
pembayaran fasilitas kesehatan dilakukan sesuai dengan jasa yang diberikan (fee for
service). Cara pembayaran ini sangat disukai oleh fasilitas kesehatan karena fasilitas
kesehatan tidak perlu menanggung risiko finansiaI. 4. Kepuasan peserta lebih tinggi.
Kepuasan peserta tinggi karena mereka tidak hams mendapatkan pelayanan dari fasilitas
kesehatan yang belum mereka kenaI. Apabila mereka mendapatkan fasilitas kesehatan
yang kurang baik pelayanannya, peserta tidak bisa menyalahkan kepada asuradur.
Introduksi Asuransi Kesehatan 31 HThabrany lIustrasi asuransi kesehatan komersial dan
sosial Contoh asuransi kesehatan sosial. Pegawai negeri golongan IA bergaji Rp 500.000
per bulan dan membayar premi sebesar 2% dari gajinya atau Rp (2/100) x Rp 500.000 = Rp
5.000,- sebulan untuk satu keluarganya, satu istri dan dua anak. Jadi premi perbulan per
orang menjadi hanya sebesar Rp 1.250. Jika salah seorang anggota keluarganya hams
dirawat inap atau hams menjalani cuci darah, maka Askes menjaminnya (dengan tambahan
iur biaya saat ini). Pegawai negeri lain bergolongan IV C dengan gaji sebesar Rp 1.500.000
per bulan. Pegawai ini membayar premi 2% atau (2/100) x Rp 1.500.000,- atau = Rp 30.000
per keluarga per bulan. Karena anaknya sudah besar ia hanya menanggung istrinya. Jika
salah seorang dari keduanya hams rawat inap atau harus hemodialisa, maka Akses
menanggung pelayanan hemodialisa (saat ini dengan iur biaya) yang sarna besarnya seperti
pegawai golongan IA tadi. Contoh diatas menunjukkan adanya subsidi silang antara yang
lebih kaya kepada yang lebih miskin atau dari golongan IVC kepada golongan IA. Contoh
Asuransi Komersial (contoh ini adalah produk yang dijual di Jakarta dan Jawa Barat tanpa
menyebutkan nama perusahaannya). Sebuah perusahaan asuransi menjual paket standar
perawatan kelas III dengan premi Rp 12.500 per orang per bulan dan TIDAK menanggung
hemodialisa. Seorang pegawai atau pedagang bergaji Rp 500.000 dan memiliki dua anak
tidak akan mampu membeli paket ini karena ia hams membayar 4 x Rp 12.500 = Rp 60.000
per bulan. Ini sarna dengan 12% penghasilannya sebulan. Kalau anggota keluarga ini perlu
rawat inap atau hemodialisa, maka ia harus bayar sendiri. Jika ia tidak memiliki uang, maka
ya mungkin nyawa mengancam jiwanya karena tidak ada yang menanggung. Seorang
pengusaha kecil berpenghasilan Rp 5.000.000 sebulan merasa perlu memilki asuransi dan
membeli paket standar diatas. Dia memiliki dua anak dan satu istri juga, maka dia mampu
membayar Rp 60.000,- yang merupakan 1,2% dari penghasilannya. Akan tetapi karena
paketnya tidak menanggung hemodialisa, maka jika anggota keluarganya memerlukan
hemodialisa, perusahaan asuransi tidak menanggungnya. Ia tetap masih hams membayar
seluruh biaya cuci darah yang mungkin menghabiskan seluruh penghasilannya setiap bulan.
Jadi perlindungannya tidak memadai. Sebuah bapel JPKM menjual produknya dengan premi
sebesar Rp 15.000 per bulan dengan paket santunan rawat inap maksimum Rp 500.000 dan
tidak menanggung hemodialisa. Seorang penduduk dengan penghasilan sebesar Rp
500.000 dan mempunyai satu istri dan dua anak, hams membayar 12% penghasilannya (Rp
60.000) sebulan. Jikapun ia memaksakan membeli JPKM, jika ia perlu rawat inap berbiaya
Rp 3.000.000,- maka bapel tersebut hanya membayar Rp 500.000,- saja. Keluarga ini tidak
akan sanggup membayar sisa biaya perawatan yang lima kali lebih besar dari
penghasilannya. Kalau keluarganya perlu hemodialisa sudah pasti keluarga tersebut akan
bangkrut atau keluarganya terpaksa direlakan kembali ke pangkuan Ilahi. Introduksi
Asuransi Kesehatan 32 HThabrany 5. Kepuasan fasilitas kesehatan lebih tinggi.
Pembayaran jasa per pelayanan dan pilihan bebas fasilitas kesehatan memberikan
kepuasan tinggi kepada fasilitas kesehatan tidak ada risiko finansial. Provider yang mampu
memberikan pelayanan baik dan memuaskan akan mendapat lebih banyak pasien. 6. Fraud
atau kecurangan dan abuse atau pemakaian berlebihan sangat tinggi. Baik peserta maupun
fasilitas kesehatan tidak memiliki insentif untuk menggunakan pelayanan lebih sedikit akan
tetapi justeru sebaliknya. Peserta dapat merasa bahwa pelayanan kesehatan dapat mereka
terima dengan tidak perlu membayar. 7. Pengendalian mutu dan utilisasi kepada fasilitas
kesehatan tidak relevan Di Indonesia asuransi yang memberikan jaminan dalam bentuk
uang diberikan oleh perusahaan asuransi, baik yang langsung atau melalui kartu kredit.
Mereka menawarkan asuransi biaya perawatan dan pembedahan kepada pemegang kartu
kredit, selain kepada kumpulan seperti perusahaan. Asuransi kecelakaan Jasa raharja dan
Jaminan Kecelakaan Kerja Jamsostek juga memberikan jaminan dalam bentuk penggantian
uang atau sejumlah uang tertentu. Sebagian program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
(JPK) Jamsostek maupun JPK bagi pegawai negeri juga dapat memberikan penggantian
uang, khususnya untuk pelayanan yang bersifat gawat darurat. 1.8.2. Jaminan Pelayanan 1.
Perlu kerja samalkontrak dengan fasilitas kesehatan. Untuk bisa memberikan jaminan dalam
bentuk pelayanan, maka diperlukan sebuah ikatan kerja sama atau kontrak dengan fasilitas
kesehatan. Tentu saja tidak semua fasilitas kesehatan dapat dikontrak. Untuk itu ada proses
kredensialing. 2. Mengurangi moral hazard dari sisi pesertaipemegang polis. Pemberian
jaminan melalui fasilitas kesehatan yang dikontrak mempunyai dua keuntungan. Pertama,
peserta digiring pada pelayanan yang biayanyaitarifnya sudah disepakati atau diketahui
sehingga lebih mudah memperkirakan biayanya. Kedua, apabila kontrak dengan fasilitas
kesehatan disertai berbagai upaya kendali biaya dan moral hazard, misalnya dengan
pengunaan formularium yang disepakati, maka jaminan pelayanan dapat mengurangi biaya.
Kontrak dengan fasilitas kesehatan, hams disadari, tidak menjamin menghilangkan moral
hazard dari sisi fasilitas kesehatan itu sendiri. 3. Pembayaran fasilitas kesehatan dapat
bervariasi. Dengan melakukan kontrak dengan fasilitas kesehatan, maka terbuka
kemungkinan berbagai cara pembayaran kepada fasilitas kesehatan. Cara pembayaran
dapat dilakukan per jasa pelayanan yang disukai fasilitas kesehatan baik dengan rabat
tertentu atau tanpa rabat. Cara pembayaran lain adalah dengan tarif paket tertentu baik itu
per hari rawat, per tindakan, per diagnosis (di Indonesia belum berkembang), maupun
dengan pembayaran tanggung risiko yang disebut kapitasi. Introduksi Asuransi Kesehatan
33 HThabrany 4. Pilihan fasilitas kesehatan terbatas. Membuat kontrak dengan fasilitas
kesehatan tentu tidak bisa dilakukan terhadap semua fasilitas kesehatan yang ada di suatu
kota tertentu. Akibatnya adalah pilihan fasilitas kesehatan tidak bisa seluas pada pemberian
jaminan dalam bentuk uang atau penggantian biaya. Tertanggung hams memilih pelayanan
pada jaringan fasilitas kesehatan tertentu, paling tidak hams ada insentif agar tertanggung
mau menggunakan jaringan fasilitas kesehatan yang dikontrak. Jika tidak ada insentif
finansial, maka sistem kontrak pelayanan tidak akan berfungsi. 5. Kepuasan peserta menjadi
kurang. Kontrak fasilitas kesehatan yang mengakibatkan pilihan fasilitas kesehatan semakin
terbatas mempunyai potensi keluhan dan ketidak puasan peserta. Apabila ada sedikit saja
pelayanan yang peserta kurang berkenan, maka peserta akan mengeluh atau bahkan
mengadukan hal tersebut. 6. Perlu kendali mutu. Karena kontrak fasilitas kesehatan
memberikan pilihan fasilitas kesehatan terbatas, maka calon peserta hams diyakinkan
bahwa fasilitas kesehatan yang dikontrak mempunyai standar mutu tertentu. Hal ini
menimbulkan kehamsan asuradur melakukan berbagai upaya kendali mutu. Kendali mutu
melalui fasilitas kesehatan ini amat berguna untuk keperluan pemasaran atau kepuasan
peserta, atau memantau tanggung jawab pihak yang dikontrak terhadap berbagai standar.
Kendali mutu ini berlaku untuk semua asuradur yang melakukan kontrak pelayanan. Jadi
kendali mutu bukanlah monopoli organisasi managed care/bentuk JPKM. 7. Pada
pembayaran tertentu, misalnya kapitasi, perlu ada telaah utilisasi (utilization review). Apabila
pembayaran fasilitas kesehatan dilakukan dengan sistem yang berdasarkan risiko seperti
kapitasi, maka terdapat potensi dimana fasilitas kesehatan mengorbankan mutu pelayanan
atau mengurangi jumlah pelayanan yang sehamsnya diterima oleh tertanggung. Oleh
karenanya, cara pembayaran kapitasi secara intrinsik mengharuskan adanya telaah utilisasi.
1.9. Ringkasan Setelah berbagai model asuransi kesehatan dibahas diatas, maka di bawah
ini disajikan ringkasan berbagai aspek yang dapat dihasilkan dari jenis asuransi kesehatan
tersebut dan contoh-contoh yang ada di Indonesia dan di dunia. Introduksi Asuransi
Kesehatan 34 HThabrany Berbagai aspek yang dapat dihasilkan atau difasilitasi oleh
asuransi kesehatan sosial dan komersial ~ Sosial (Wajib) Komersial (Sukarela) Aspek Sifat
gotong royong antar Tua-muda Sehat-sakit golongan Kaya-rniskin Sehat-sakit Seleksi bias
Tidakada Adverse ataufavorable, tergantung keahlian bapel/ asuradur Prerni Not risk-related
Risk-related Biasanya proporsional (%) Biasanya dalarn jurnlah harga terhadap upah
tertentu Paket Sarna untuk seluruh peserta Bervariasi sesuai pilihan peserta KeadilanJ
equity Egaliter, sosial Liberter, individual Pilihan bapel/asuradur Biasanya tidak ada atau
kecil Luas Pilihan provider Umumnya sangat luas Pada model tradisional, umumnya Pada
penerapan teknik managed sangat luas care, pilihan jadi terbatas Pada model managed
care, pilihan terbatas Kemampuan pengendalian biaya Sangat tinggi Sangat rendah
Komnetisi bapel/asuradur Umumnva kecil/rendah Umumnva tinzzi Response pelayanan
medis Pemenuhan kebutuhan medis Pemenuhan perrnintaan medis (medical needs)
(demand) Badan penyelenggara Pemerintah atau quasi pemerintah Bebas (pemerintah atau
swasta) Bersifat nirlaba Bersifat pencari labalnirlaba Pembayaran fasilitas kesehatan
Bervariasi dari kapitasi sampai Bervariasi dari kapitasi sampai fee for service fee for service
Contoh badan asuransi/asuradur dan pemberian manfaat asuransi ~ Asuransi Sosial (wajib)
Asuransi Komersial Manfaat (sukarela) Uang (indemnitas/ Jasa Raharja, JKK Produk Lippo,
Metlife, ING, reimbursement) Jamsostek, Medicare di AS Aetna, Jiwasraya, Bringin, Kartu
kredit, dll, Askes tradisional di AS Pelayanan Askes wajib, JPK Jamsostek, Yang dijual oleh
PT Askes, /managed care AKN Kanada, AKN Taiwan, PT Allianz managed care, AKN
Filipina, AKN Korea, dan bapel JPKM AKN Muangtai, dan askes Di Amerika: Blue
CrosslBlue semua negara maju lainnya Shield, HMO, PPO, POS di dunia (managed care
organizations) AKN= Asuransi Kesehatan Nasional Introduksi Asuransi Kesehatan 35
HThabrany Matriks Pembiayaan dan Penyediaan (delivery) pelayanan kesehatan yang
dilaksanakan berbagai negara di dunia Pembiayaan Penyediaan Publik Swasta Publik
Inggris Indonesia dan negara berkembang lainnya Swasta lCanada, Jerman, Jepang
Amerika dan Taiwan • Jepang dan Jerman. menyerahkan sebagian besar pembiayaan dan
penyediaan kepada sektor swasta, akan tetapi bersifat sosial (nirlaba) yang diatur oleh
pemerintah, sementara Amerika menyerahkan kepada mekanisme pasar {for profit dan not
for profit). • Yang dimaksud dengan pembiayaan publik adalah pembiayaan dari dana
pemerintah atau asuransi sosial/ jaminan sosial Istilah Penting Negara Kesejahteraan
Jaminan sosial Asuransi sosial Public insurance Bantuan sosial Means test Asuransi
komersial Private insurance Asuradur Risk based premium Non-risk related premium Income
based premium Kebutuhan dasar layar (decent basic needs) Kebutuhan dasar kesehatan
Nirlabalnot for profit Pencari laba/For profit Dividen Badanhukum Dana AmanatITrust Fund
Wali amanat Board of Trustees/Majlis Wali Amanat Pengelolaan profesional Insurance/
Asuransi Risiko Telaah utilisasi/utilization review Uncertainty Introduksi Asuransi Kesehatan
36 HThabrany Risk avoidance Risk reduction Risk transfer Risk asumption Risk taker Risk
averter Measurable Quantifiable Populasi homogen Accidental Pure risk Catastrophic Risk
sharing Adverse selection/anti selection Bias selection Favorable selection
Insured/tertanggung Benefitlmanfaat Premi/iuranlkontribusi Sukarela/voluntary
Wajib/mandatory/compulsory Policy holder/pemegang polis Anggota/member Managed care
Kondisional Unilateral Aleatory Adhesi JPKM Gakin JPSBK Deklarasi PBB 1948
Ekstemalitas Social justice Social equity Medicare Market failure Equity egaliter Equity
liberter Pasal 28H UUD 45 amendemen Earmarked tax PT Persero SHU, sisa hasil usaha
PPh21 PPh badan U saha bersama/mutual Introduksi Asuransi Kesehatan 37 HThabrany
Risk pool Portofolio Biaya administrasi fasilitas kesehatan/provider Jasa per pelayanan/fee
for services Organisasi Kesehatan DuniaIWHO Medisup/Medigap Demand Need You get
what you need You get what you pay for Pre existing conditions Non cancellable Profitable
Contigency Profit margin Loading Fairness in health care financing Fundamental human
right Tailor made Antimonopoli Deductible Coinsurance Reimbursement Indemnitas Moral
hazard Workers' compensation Occupational injury Fraud Kredensialing Rujukan 5
Thabrany, Hasbullah. Asuransi Kesehatan di Indonesia. Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan
FKMUI, Depok 200l. WHO. World Health Report 2000. Geneva, 2001 Health Insurance
Association of America (HIAA). Source Book of Health Insurance Data. HIAA, Wahington
D.C., 1999. Depkes RI. Pembinaan Bapel JPKM: Kumpulan Materi. Depkes RI, Jakarta,
1995. Thabrany, H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter
Indonesia, Jakarta, 1999. Depkes Taiwan. Public Health in Taiwan, ROC. Taipei, 1997 2 3 4
6 Introduksi Asuransi Kesehatan 38 HThabrany 7 Shalala, DE dan Reinhardt UE. Interview:
Viewing the US Health Care System from Within: Candid TalkfromHHS. Health Affairs 18(3):
47-55,1999 Anderson, GF. And Paullier, JP. Health Spending, Access, and Outcomes:
Trends in Industrialized Countries; Health Affairs, 18(3):178-192 Ikegami, N dan Campbell,
JC. Health Care Reform in Japan: The Virtue of Muddling Trhouqh; Health Affairs 18(3):56-
75. 8 9 Introduksi Asuransi Kesehatan 39 HThabrany BAB2 Asuransi Kesehatan Pegawai
Negeri Sipil 2.1. Pendahuluan Penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pegawai negeri
sipil (PNS) dan keluarganya saat ini didasarkan atas Peraturan Pemerintah (PP) No 69/91
yang ditanda-tangani Presiden Suharto pada tanggal 23 Desember 1991. Dalam PP
tersebut istilah yang digunakan adalah jaminan pemeliharaan kesehatan, tidak disebutkan
asuransi kesehatan. Kata asuransi kesehatan dapat ditemui pada PP No 2/92 tentang
penunjukkan PT Asuransi Kesehatan Indonesia disingkat PT Askes sebagai badan
penyelenggara program pemeliharaan kesehatan PNS. Istilah asuransi kesehatan yang
disingkat askes digunakan karena istilah tersebut sudah sangat populer di kalangan peserta
pegawai negeri pada waktu badan penyelenggara bemama Perum Husada Bhakti yang
diatur oleh PP 22/1984 tentang Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri Sipil dan
Penerima Pensiun beserta anggota keluarganya. Asuransi kesehatan pegawai negeri sipil
merupakan suatu asuransi sosial yang diikuti oleh seluruh pegawai negeri dan pensiun
pegawai negeri dan merupakan program asuransi kesehatan tertua di Indonesia. Asuransi
sosial lain yang diikuti oleh seluruh peserta adalah asuransi kecelakaan lalu lintas yang
dikelola oleh PT Jasa Raharja. Namun demikian, asuransi kecelakaan tersebut juga
memberikan pertanggungan kematian. Asuransi kesehatan pegawai negeri, yang
selanjutnya disebut askes, juga merupakan satu-satunya asuransi kesehatan yang
mempunyai jumlah kepesertaan mencapai 13,8 juta jiwa. Dalam usianya yang lebih tua dari
usia negeri ini, jika diperhitungkan masa pemberian jaminan bagi pegawai negeri di jaman
penjajahan, telah banyak mengalami perubahan struktural. Meskipun dalam praktek PT
Asuransi Kesehatan Indonesia menawarkan produk produk asuransi kesehatan komersial
yang berbentuk JPKM, dalam Bab ini hanya akan dibahas porsi asuransi kesehatan sosial
(wajib). Porsi asuransi kesehatan komersial yang dijual PT Askes akan dibahas pada Bab 4
tentang JPKM karena kesamaan sifat produk yang dijual PT Askes dengan JPKM. Sistem
asuransi kesehatan wajib ini juga menggunakan teknik-teknik managed care seperti yang
digunakan oleh JPKM. Perbedaannya dengan JPKM adalah bahwa askes PNS ini bersifat
wajib atau merupakan bentuk asuransi sosial sehingga lebih tepat disebut Asuransi Sosial
Kesehatan Terkendali (managed social health insurance). 2.2. Sejarah Di jaman penjajah
Belanda, pegawai negeri yang berkebangsaan Eropa mendapat jaminan kesehatan yang
diatur oleh peraturan pemerintah Belanda (Staatsregeling Nol/34). AskesPNS 40 H
Thabrany Empat tahun kemudian jaminan ini diperluas kepada pegawai pemerintah pribumi
karena protes dari pegawai pribumi. Namun demikian terdapat perbedaan jaminan dimana
bangsa Eropa dan kelas atas pribumi dapat menggunakan fasilitas kesehatan swasta
sedangkan pegawai kelas menengah dan bawah hanya dapat menggunakan fasilitas
pemerintah. Sistem jaminan yang diberikan adalah sistem penggantian atau reimbursement
atas biaya pelayanan kesehatan dengan menunjukkan bukti kwitansi. Pengelola jaminan ini
adalah Departemen Kesehatan beserta kantor kesehatan, inspektur kesehatan, di propinsi.
Pada peri ode awal kemerdekaan yaitu di tahun 1948 sistem penggantian biaya berobat ini
diteruskan dengan tetap mempertahankan dua sistem pegawai tinggi dan rendah, hanya
saja batasannya adalah gaji bulanan 420g. Selain itu pada jaman awal kemerdekaan ini
pegawai dikenakan kontribusi 3% dari biaya yang diajukan sedangkan sisanya mendapat
penggantian dari Depkes, melalui Ikes. Di tahun 1949 setelah uang Indonesia sudah
digunakan, batas gaji diubah menjadi Rp 850 sebulan. Pengelolaan dana untuk penggantian
biaya berobat PNS ini dilakukan oleh Dinas Restitusi Dirjen Bina Waluya. Pegawai yang
sudah memasuki pensiun tidak mendapatkan penggantian biaya berobat. Dapat
dibayangkan bahwa dengan cara penggantian yang didasarkan atas jasa per pelayanan,
maka banyak terjadi penyalah-gunaan dan mendorong timbulnya moral hazard. Pada tahun
1960 Menteri Kesehatan waktu itu mengeluarkan instruksi untuk mengembangkan jaminan
kesehatan ini kepada pensiunan dan pegawai pemerintah dengan nama "Jakarta Pilot
Project" yang memang dimulai di Jakarta. Sistem penggantian biaya diganti dengan sistem
pembayaran langsung kepada PPK dan tidak lagi ada perbedaan antara yang golongan gaji
tinggi dengan golongan gaji rendah. Jaminanpun terbatas pada jaminan rawat inap dan
obat-obatan. Sistem pembayaran masih tetap menggunakan per pelayanan. Birokrasi
pemerintah menyebabkan sistem ini juga tidak efisien. Proyek ini berhasil memperluas
cakupan namun demikian biaya yang hams ditanggung pemerintah terus membengkak.
Padahal sistem ini tidak membayar jasa dokter. Karena jasa dokter tidak dibayar inilah
akhimya sistem ini tidak juga memberikan keadilan yang merata, karena pegawai yang
miskin tidak mendapatkan pelayanan yang sarna dengan pegawai yang kaya yang mampu
membayar dokter. Pilot ini menyebabkan pemerintah defisit sebesar Rp 600 juta pada saat
itu. Sejalan dengan konsep kewajiban masyarakat untuk ikut bertanggung jawab atas
kesehatannya, maka mulai dipikirkan untuk menggalang pembiyaan dari pegawai negeri
sendiri. Pada tahun 1966 Menteri Kesehatan Siwabessy mengeluarkan instruksi
pembentukan Komite "Dana Sakit" dengan iuran dari pegawai negeri sendiri. Dana yang
dihimpun hams digunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan peserta, bukan untuk
mencari laba bagi pengelola. Sayangnya komite tersebut tidak berhasil menelurkan konsep
yang diharapkan. Pada tahun 1968 Menkes kemudian membentuk Panitia Pembentukan
Badan Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun. Pada masa itu
pemerintahan Orde Baru masih mengalami kesulitan keuangan akibat Pemberontak PKI di
tahun 1965. Mulai tahun anggaran 1968/69 pemerintah tidak lagi mengalokasikan dana
untuk penggantian biaya kesehatan pegawai negeri. Pada 18 Maret 1968, Menteri Tenaga
Kerja Awaloedin Djamin membentuk Tim Kerja Kesejahteraan Pegawai Negeri (TKKPN)
setelah upaya memperoleh persetujuan dari Presiden tidak berhasil. Tim ini mendirikan
tonggak sejarah penting AskesPNS 41 H Thabrany berkembangnya asuransi kesehatan
wajib di Indonesia. Modal awa1 ada1ah 50% dana kesejahteraan pegawai negeri yang
se1ama itu te1ah terkumpu1 dari potongan 10% gaji pegawai aktif dan 5% uang pensiun.
Badan hukum pengelola dikuatkan oleh Kepres No 230 tangga1 15 Juli 1968 yang
merupakan cika1 baka1 PT Askes Indonesia. Untuk mendanai program tersebut
dike1uarkan Kepres no 122/68 menetapkan potongan gaji pegawai negeri sebesar 5% untuk
membiayai pemeliharaan kesehatan. Se1ama Pelita I sampai Pelita III atau sejak tahun
1968 sampai tahun 1984, asuransi kesehatan pegawai negeri ini dikelola oleh suatu badan
yang disebut Badan Penye1enggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang berada
di Departemen Kesehatan. luran untuk asuransi kesehatan ini besamya 5% dari gaji pokok.
Pada awa1nya jaminan diberikan dengan bebas dimana peserta dapat memilih fasilitas
kesehatan pemerintah atau swasta dengan pembayaran fee for service. Manajemen masih
sangat sentralistis. Pemakaian berlebihan tentu saja tidak dapat dihindari, tidak heran pada
awa1nya program ini juga menga1ami defisit anggaran. Pada tahun 1970 besamya iuran
dikurangi menjadi hanya 3,89% gaji pokok untuk pegawai aktif sementara pensiunan masih
mengiur 5% dari pensiun yang diterima yang diatur dengan Kepres No. 22170. Sampai
dengan tahun 1973, berbagai upaya pengendalian biaya dan pe1ayanan terus di1akukan
guna menye1amatkan program ini dari kebangkrutan. Bahkan upaya untuk memperluas
program asuransi kesehatan PNS kepada masyarakat non PNS sebenamya sudah mu1ai
dipikirkan pada periode ini. Pada periode yang sama mutu pe1ayanan sudah mu1ai
mendapat perhatian dan karena berbagai standar pe1ayanan dan pengaturan obat sudah
mu1ai di1akukan. Pada tahun 1974, besar iuran dikurangi 1agi dari 3,89% mejadi 2,75% gaji
pokok, pensiunan tetap membayar iuran 5%. Pada tahun 1977 dike1uarkan Kepres No 8177
yang menetapkan potongan iuran sebesar 2% gaji pokok yang berlaku bagi pegawai aktif
dan pensiunan. Sistem kapitasi kepada puskesmas sudah mu1ai diperkenalkan pada tahun
1979 di Jakarta. Se1ama periode ini dasar-dasar pengendalian biaya yang kini dikena1
dengan teknik managed care sudah di1aksanakan oleh BPDPK. Pada tahun 1980 jumlah
anak yang ditanggung dibatasi sebanyak-banyak tiga orang. Untuk meningkatkan
profesionalitas dan mengurangi birokrasi maka pada tahun 1984 pengelolaan asuransi
kesehatan PNS ini mu1ai dipisahkan dari Depkes me1a1ui PP No. 22 dan 23 tahun 1984.
Perubahan bentuk badan ini juga untuk menyesuaikan diri fungsi pengelolaan dana
masyrakat yang tidak bisa dikelola menurut sistem akuntansi pemerintahan yang masih
terikat dengan ICW (Indische Comptabiliteit Wet) yang menghamskan sega1a dana disetor
ke kas negara. Mu1ai tahun 1984 itu BPDPK berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum
Husada Bhakti atau disingkat Perum PHB. Menteri teknis yang mengawasi PHB ini tetap
Menteri Kesehatan. Prakteknya, penye1enggaraan Perum PHB baru di1aksanakan secara
penuh pada 23 April tahun 1986. Di daerah-daerah dibentuk Kantor Cabang yang terus
berkembang seja1an dengan pertambahan jum1ah pegawai negeri. Pada awa1 tahun 1992
jum1ah cabang di se1uruh Indonesia sudah berjum1ah 27 cabang, masing-masing satu
cabang di tiap propinsi. Pada masa PHB ini1ah tenaga-tenaga khusus yang mengerti
masa1ah asuransi kesehatan mu1ai dididik. Untuk pendidikan ini PHB bekerja sama dengan
Pusdiklat Depkes RI, USAID, dan Zieken Fonds Be1anda. Pada masa ini sistem pe1ayanan
terkendali dengan menggunakan teknik-teknik managed care semakin dimantapkan. Daftar
obat yang dijamin disusun berdasarkan Daftar Obat Esensia1 Nasiona1 dan diperkena1kan
dengan nama Daftar P1afon Harga Obat, DPHO, di tahun 1987. Berbeda dengan bentuk
BPDK, pada masa AskesPNS 42 H Thabrany Perum PHB ini sumber dana tidak lagi hanya
bergantung dari iuran peserta akan tetapi sudah dapat ditambahkan dari penghasilan
investasi dana yang belum terpakai. Untuk lebih memberikan keluwesan perusahaan,
menjawab tantangan jaman, dan memenuhi peraturan yang telah dikeluarkan sebelumnya,
maka status PHB ditingkatkan menjadi PT Persero melalui PP No. 6/92 dengan nama PT
Asuransi Kesehatan Indonesia disingkat dengan nama PT Askes. Dengan bentuk Persero
ini, Askes diberikan wewenang untuk memperluas kepesertaan kepada berbagai badan
usaha pemerintah maupun swasta. Pada awalnya kewenangan ini sempat menimbulkan
ketegangan antara PT Askes dan PT Jamsostek yang ditunjuk untuk mengelola JPK untuk
pegawai swasta. Namun setelah komunikasi semakin baik, terdapat saling pengertian yang
baik. PT Askes memang mendapat kemudahan dari PP 14/93 yang mengatur bahwa
perusahaan yang memberikan jaminan lebih baik boleh tidak mendaftarkan diri pada PT
Jamsostek. Bagi mereka yang ingin mengetahui lebih rinci sejarah asuransi kesehatan PNS
ini dapat membaca buku Historical Development PT Askes Indonesia:' 2.3. Peserta Peserta
Askes PNS diatur oleh PP 69/91 sebagai berikut: 1. Peserta adalah Calon dan Pegawai
Negeri Sipil, Penerima Pensiun, Veteran dan Perintis Kemerdekaan. Pegawai negeri sipil
aktif di lingkungan TNI dan Polri dan anggota aktif TNI dan Polri tidak wajib menjadi peserta
Askes karena mereka mendapat jaminan dari sistem jaminan kesehatan bagi TNI dan Polri
yang dikelola Departemen Hankam. 2. Penerima Pensiun meliputi: a. Pegawai Negeri Sipil
yang berhenti dengan hak pensiun; b. Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Pertahanan Keamanan dan Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia yang berhenti dengan hak pensiun; c. Pejabat Negara yang
berhenti dengan hak pensiun; d. Janda atau duda atau anak yatim piatu dari Pegawai Negeri
Sipil, Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia serta Pejabat Negara yang mendapat
hak pensiun 3. Keluarga yang ditanggung meliputi isteri atau suami dari peserta dan anak
yang sah atau anak angkat dari peserta sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Semua yang tersebut diatas wajib menjadi peserta Askes dengan pembayaran
premi yang dipotong langsung dari gaji atau pensiun mereka. Dengan alasan untuk
meningkatkan efisiensi dan perluasan kepesertaan, pegawai badan usaha dan badan
lainnya serta penerima pensiunnya dapat menjadi peserta Askes dengan cara membayar
premi tersendiri. Masa menjadi peserta dimulai pada waktu iuran dipotong dari gaji seorang
pegawai atau pembayaran premi oleh badan non pemerintah. Masa kepesertaan berhenti
jika iuran atau 1 __ Historical Development PT (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia. PT
Askes. Jakarta, 1995 AskesPNS 43 H Thabrany premi tidak lagi dibayarkan. Peraturan
pemerintah itu juga mengatur kewajiban peserta sebagai berikut: I. Peserta wajib
memberikan keterangan yang sebenarnya tentang jati dirinya beserta keluarganya untuk
penyusunan data peserta. 2. Peserta beserta keluarganya wajib memiliki tanda pengenal diri
yang diterbitkan oleh Badan Penyelenggara, 3. Peserta dan keluarganya wajib mengetahui
dan mentaati peraturan penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan. 2.4. Premi Pegawai
Negeri Sipil, Penerima Pensiun wajib membayar iuran setiap bulan yang besarnya serta tata
cara pemungutannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Besarnya premi yang
ditetapkan Kepres saat ini adalah 2% dari gaji pokok pegawai negeri. Pemerintah sebagai
majikan mulai ikut membayar iuran sebesar 0,5% upah di tahun 2004 dan akan terus
dinaikan secara bertahap. Kewajiban Pemerintah tersebut ditetapkan dengan PP 28/2003.
Sebelum otonomi daerah, pemungutan iuran Askes dilakukan langsung oleh Dirjen
Anggaran Departemen Keuangan dengan cara pemotongan langsung dana gaji pegawai
sebelum gaji tersebut dikirimkan kepada bendaharawan pembayar gaji di berbagai instansi
pemerintah. Setelah masa otonomi daerah, pemotongan gaji dilakukan oleh bendaharawan
pembayar gaji di daerah yang kemudian menyetorkannya ke Dirjen Anggaran. Barulah
kemudian Dirjen Anggaran menyerahkan dana tersebut kepada PT Askes. luran untuk
Veteran dan Perintis Kemerdekaan, ditanggung Pemerintah atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. luran atau premi dari badan lainnya yang ikut program
Askes secara sukarela/komersial diatur dan ditagih langsung oleh PT Askes. Dari tabel 2.1
dapat dilihat perkembangan jumlah peserta dan penerimaan premi peserta wajib dari tahun
ke tahun. Jumlah penerimaan premi telah meningkat dari Rp 104 milyar di tahun 1989
menjadi Rp 519 milyar di tahun 1999. Hal ini menunjukkan pertumbuhan penerimaan premi
rata-rata sebesar 17, I % per tahun selama II tahun. Sementara jumlah pegawai dan pensiun
yang menjadi peserta mengalami pertumbuhan dari 3,7 juta pegawai menjadi 5,1 juta
pegawai. Sementara itu jumlah tertanggung telah meningkat dari 11,8 juta di tahun 1989
menjadi 13,7 juta di tahun 1999. Perhatikan bahwa jumlah peserta dan tertanggung
mengalami penurunan di antara tahun 1994-1996. Hal tersebut disebabkan karena
perbaikan sistem informasi sehingga data ganda dapat dikurangi. Selain itu, penurunan
jumlah tertanggung yang cukup drastis disebabkan karena perubahan kebijakan jaminan
jumlah anak yang ditanggung dari tiga orang menjadi hanya dua orang saja. Jumlah premi
yang diterima perkaryawan mengalami kenaikan dari Rp 28.136 di tahun 1989 atau Rp
2.345 per pegawai per bulan menjadi Rp 101.272 tahun 1999 atau Rp 8.349 per pegawai
per bulan. Jika diperhitungkan be saran premi per tertanggung, maka penerimaan premi di
tahun 1989 adalah Rp 8.786 atau Rp 732 per kapita per bulan dan AskesPNS 44 H
Thabrany Rp 37.844 di tahun 1999 atau sebesar Rp 3.154 per kapita per bulan. Tentu saja
jumlah tersebut sangat kecil dibandingkan dengan paketjaminan komprehensifyang hams
dijamin. Jika diperhitungkan dengan nilai konstan 1993, penerimaan premi PT Askes dari
tahun 1992 meningkat dari Rp 193 milyar menjadi Rp 257 milyar di tahun 1997 akan tetapi
kemudian menurun menjadi hanya Rp 175 milyar di tahun 1999. Apabila diperhitungkan
penerimaan premi per pegawai dengan harga konstan, maka penerimaan premi tertinggi
diterima tahun 1993 sebesar Rp 50.756 per pegawai per tahun dan terendah pada tahun
1998 dengan jumlah premi Rp 33.134 per pegawai per tahun. Apabila diperhitungkan
dengan penerimaan premi per kapita per tahun dengan harga konstan 1993, maka premi
tertinggi diperoleh pada tahun 1993 dan terendah juga pada tahun 1998 dengan hanya
12.284 per kapita. Artinya pada tahun 1998, Askes hanya menerima premi sebesar Rp
1.023 per kapita per bulan pada harga konstan 1993. Dengan melihat penurunan premi riiI,
maka dapat dipastikan bahwa pelayanan yang diberikan tidak mungkin mengalami
perbaikan dibandingkan dengan kualitas pelayanan di tahun 1993. Masalah utama
penerimaan premi pegawai negeri adalah kecilnya gaji pokok pegawai negeri yang
menyebabkan juga rendahnya premi yang diterima. Penggajian pegawai negeri
menggunakan sistem penggajian gaji pokok, tunjangan-tunjangan keluarga, jabatan,
tunjangan perbaikan penghasilan, dU., dan penghasilan tambahan dari honor proyek.
Meskipun dalam prakteknya pegawai negeri merupakan kelompok yang relatif lebih kaya
dibandingkan dengan pegawai swasta', premi dari gaji pokok pegawai negeri menjadi sangat
kecil, Karena besarnya premi hanya diperhitungkan dari gaji pokok. Baru pada tahun 2001
ini pemerintah mengubah sistem penggajian "pura-pura" menjadi gaji yang "lebih realistis",
meskipun belum memadai, dengan memasukkan tunjangan ke dalam komponen gaji pokok.
Besarnya penerimaan Askes dengan perubahan kebijakan tersebut diperkirakan dapat
meningkat sampai dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Masalah kedua dari premi Askes ini
adalah kenaikan gaji pokok pegawai negeri tidak selalu mengikuti perubahan biaya
kesehatan atau perubahan harga-harga pelayanan kesehatan dan obat. Bahkan kenaikan
tersebut tidak dapat ditentukan periodenya. Pada suatu ketika kenaikan gaji dapat berlaku
tiga tahun sekali akan tetapi pada waktu lain bisa terjadi perubahan kenaikan gaji setahun
setelah perubahan gaji sebelumnya. 2 Thabrany, H. Pegawai Negeri Memang Lebih Kaya.
Kompas 1996. AskesPNS 45 H Thabrany TabeI2.1. Perkembangan peserta wajib dan
besarnya iuran per peserta dan tertanggung PT Askes Indonesia, 1989-1999 Penerimaan
Premi premi (Rp Jumlah peserta /peserta /th Jumlah Premi/tertanggung/ Tahun [uta)
(pegawai) I(Rp) tertanazuna th (Rp) 1989 104.132 3.701.024 28.136 11.852.220 8.786 1990
112.232 4.021.075 27.911 12.486.084 8.989 1991 112.220 4.241.556 26.457 13.304.182
8.435 1992 179.500 4.446.110 40.372 13.951.215 12.866 1993 241.787 4.763.733 50.756
14.162.680 17.072 1994 268.800 5.075.329 52.962 18.449.601 14.569 1995 292.266
5.326.994 54.865 15.783.935 18.517 1996 318.319 5.513.026 57.739 16.478.587 19.317
1997 418.507 5.451.267 76.772 15.853.439 26.398 1998 475.919 5.034.450 94.532
13.579.991 35.046 1999 519.169 5.126.474 101.272 13.718.754 37.844 Diolah dari
berbagai sumber Buku Kegiatan Perasuransian 1995-1999, dan Buku Historical
Development PT Askes 19953. Tabel2.2 Penerimaan premi PT Askes Indonesia tahun
1992-1999 menurut harga konstan 1993 Penerimaan Premi /pegawai/ Premi /kapita Tahun
premi (Rp jt) tahun (Rp) /tahun (Rp) 1992 193.011 43.411 13.835 1993 241.787 50.756
17.072 1994 244.364 48.147 13.245 1995 243.555 45.721 15.431 1996 243.549 44.177
14.780 1997 257.068 47.158 16.215 1998 166.814 33.134 12.284 1999 175.099 34.156
12.763 3 __ Laporan Kegiatan Usaha Perasuransian Indonesia, 1995. Direktorat Asuransi,
Depkeu RI, 1996 ___ Laporan Kegiatan U saha Perasuransian Indonesia, 1999. Direktorat
Asuransi, Depkeu RI, 2000 AskesPNS 46 H Thabrany 2.5. Paket laminan Secara teori, PT
Askes hams memberikan jaminan yang disebut komprehensif meliputi upaya peningkatan!
promosi, pencegahan, penyembuhan, dan pemulihan kesehatan. Namun dalam prakteknya,
jaminan yang diberikan lebih ditekankan pada penyembuhan dan pemulihan dengan
mengenakan iur biaya (cost sharing) yang cukup besar, meskipun pelayanan diberikan di
dalam jaringan PPK yang ditunjuk. Dalam Pasal 12 PP 69/91 memang disebutkan bahwa "
Semua biaya yang melebihi standar pelayanan dan tarif sebagaimana yang ditetapkan
Menteri Kesehatan menjadi beban dan tanggung jawab peserta". Menyadari bahwa iuran
peserta tidak akan mencukupi untuk membiayai jaminan yang hams disediakan oleh PT
Askes, maka peraturan menggariskan bahwa jaminan tersebut terutama diberikan di PPK
pemerintah, dengan sistem pelayanan terstruktur. Peserta hams menggunakan pelayanan
puskesmas dulu sebelum bisa mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan di rumah sakit
pemerintah, dan beberapa RS swasta yang bersedia. Untuk mencukupi pembiayaannya,
maka tarif ke puskesmas dan RS pemerintah yang hams dibayar oleh PT Askes ditetapkan
oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Kesehatan. Tarif yang hams dibayar PT Askes kepada PPK pemerintah, khususnya RS,
ditetapkan secara nasional dengan memberikan pembagian kelas RS. Tarif untuk RS tipe B
lebih mahal dari tarif untuk RS tipe C dan D. Perbedaan biaya dan tarif Perda (Peraturan
Daerah) antar daerah tidak terakomodir. Akibatnya, RS di kota besar dimana tarifPerda dan
tarif yang ditetapkan sendiri oleh RS (untuk perawatan di kelas II dan kelas I) banyak
mengeluh akibat rendahnya tarif SKB. Beberapa RS di kota kecil dimana Perda menetapkan
tarif yang amat rendah, tarif SKB bisa jadi lebih tinggi dari tarif Perda atau tarif yang
ditetapkan RS sendiri. Akan tetapi untuk RS di kota besar, tarif SKB bisa jadi sangat jauh
dari tarif Perda atau tarif yang ditetapkan RS. Akibatnya RS merasa mendapat beban dalam
melayani pasien Askes dan karenanya pelayanan kepada peserta Askes dinilai kurang
mendapat perhatian. Hal ini menimbulkan banyak keluhan, khususnya dari kalangan kelas
menengah. Berbagai survei kepuasan peserta baik yang dilakukan oleh Askes maupun oleh
pihak lain menunjukkan sebagian besar (84-97%) peserta merasa puas dengan berbagai
tingkat pelayanan. Namun demikian, penilaian hasil survei hams dikaji lebih dalam
bagaimana pengukuran dan bagaimana data kepuasan peserta diperoleh. Selanjutnya pada
era persaingan ketat sekarang ini, berbagai usaha mentargetkan kepuasan 100% untuk
mampu bersaing. Pemeriksaan dan pengobatan rawat jalan pertama hams dilakukan di
puskesmas. Setiap pegawai negeri yang telah mendaftarkan diri dan keluarganya sebagai
peserta Askes, dengan membawa bukti-bukti bahwa yang bersangkutan adalah pegawai
negeri, memilih satu puskesmas dimana ia dan keluarganya akan berobat. PT Askes telah
melakukan kontrak pembayaran kapitasi kepada Dinas Kesehatan untuk memberikan
pelayanan rawat jalan tingkat I di puskesmas. Obat-obatan yang dibutuhkan disediakan di
puskesmas dan harga obat ini sudah diperhitungkan dalam kontrak pembayaran kapitasi.
Apabila dokter di puskesmas menilai perlu perawatan mjukan, maka dokter akan memjuknya
ke RS terdekat. Dalam prakteknya, khususnya di kota besar, banyak peserta yang datang ke
puskemas hanya AskesPNS 47 H Thabrany meminta surat rujukan ke rumah sakit. Dengan
cara ini , seluruh pegawai negeri yang tinggal di berbagai kota dan desa, misalnya guru-guru
SD dan petugas puskesmas sendiri, akan mendapatkan pelayanan di puskesmas di seluruh
tanah air. Di Puskesmas tersebut merupakan pelayanan kesehatan dasar. Namun demikian,
menurut PP 69/91, pelayanan kesehatan dasar dapat juga diberikan oleh dokter umum,
dokter gigi, balai pengobatan, balai kesehatan ibu dan anak (BKIA) , rumah bersalin dan
sarana kesehatan dasar lainnya. Hanya saja, untuk asuransi kesehatan wajib ini, pelayanan
oleh dokter umum belum bisa dilakukan secara luas karena minimnya biaya kapitasi. Uji
coba sudah dilakukan di Jawa Timur atas biaya dari Proyek Kesehatan IV Depkes, akan
tetapi perluasan penggunaan dokter umum praktek sore atau dokter keluarga belum
dilakukan. Padahal jika premi cukup memadai, sistem pelayanan melalui dokter keluarga
akan sangat besar pengaruhnya tehadap efisiensi sistem kesehatan di Indonesia.
Pelayanan kesehatan rujukan adalah pelayanan kesehatan yang diberikan melalui sarana
pelayanan kesehatan rujukan antara lain dokter spesialis, dokter gigi, rumah sakit, dan
sarana pelayanan kesehatan spesialistik lainnya. Termasuk dalam pelayanan kesehatan
tersebut diatas adalah pelayanan persalinan yang diberikan oleh pusat kesehatan
masyarakat (puskesmas), balai pengobatan ibu dan anak (BKIA), rumah bersalin dan
rumah-rumah sakit. Rawat jalan rujukan dapat diperoleh di rumah sakit terdekat, pada
umumnya rumah sakit pemerintah daerah, pusat, atau rumah sakit tentara atau Polri. Di
rumah sakit, pasien Askes sehamsnya diperiksa oleh spesialis yang diperlukan. Namun
dalam praktek di daerah, pemeriksaan rawat jalan rujukan tidak selalu dilakukan oleh
spesialis yang diperlukan karena ketiadaan tenaga spesialis tersebut. Apabila dalam
pelayanan rujukan diperlukan pemeriksaan laboratorium, radiologi, atau tindakan medik lain,
maka dokter spesilis di rumah sakit dapat merujuk pasien ke dokter atau sarana lainnya. Hal
ini disebut rujukan II. Pemeriksaan atau tindakan medik penunjang yang ditanggung antara
lain berbagai pemeriksaan laboratorium yang diperlukan, pemeriksaan radiologi sampai CT
Scan. Namun pemeriksaan CT Scan hanya dibatasi untuk CT Scan kepala satu kali,
sementara CT Scan organ tubuh lainnya tidak dijamin. Perawatan dengan menginap di
rumah sakit dapat dilakukan di rumah sakit pemerintah, termasuk rumah sakit tentara dan
Polri, atau di rumah sakit swasta yang ditunjuk. Pasien hams mendapatkan surat rujukan
dari dokter puskesmas. Untuk pegawai negeri golongan I dan II kelas perawatan yang
diberikan adalah kelas III di rumah sakit pemerintah. Sementara untuk untuk golongan III
diberikan perawatan di kelas II, dan untuk golongan IV diberikan perawatan di kelas I RS
pemerintah. Lama hari perawatan secara teori tidak dibatasi. Namun peserta hams
membayar cost sharing untuk lama hari perawatan yang melebih 180 hari sesuai kelasnya.
Tindakan bedah mencakup berbagai tindakan bedah kecil sampai bedah besar seperti
bedah jantung dijamin sesuai dengan tarif yang ditetapkan Menteri. Untuk kasus bedah
jantung, sesuai dengan SK Menkes, PT Askes hanya memberikan penggantian maksimum
sekitar Rp 50 juta rupiah. Apabila biaya perawatan temyata melebihi dari yang dijamin PT
Askes, misalnya karena peserta meminta perawatan di kelas yang lebih tinggi atau
menerima obat yang di luar daftar DPHO, maka peserta hams membayar kelebihan
biayanya. Yang dimaksud dengan AskesPNS 48 H Thabrany kelebihan biaya yang menjadi
tanggung jawab peserta adalah apabila peserta mempergunakan pemeliharaan kesehatan
yang melebihi standar pelayanan kesehatan. Karena standar pelayanan ini tidak tersedia
secara luas dan tidak dipahami oleh para peserta, seringkali dalam penerimaan rawat inap---
khususnya di kota besar, seorang peserta hams membayar cukup mahal. Beberapa keluhan
peserta dan RS menyampaikan bahwa biaya yang dijamin oleh PT Askes, sesuai dengan
SKB Menteri, hanya menutupi sekitar 20% biaya saja. PT Askes sendiri secara jujur
mengakui bahwa penggantian biaya sesuai SKB memang jauh dari biaya yang dibutuhkan
untuk memberikan pelayanan. Pada saat buku ini ditulis, perubahan tarif lama yang sudah
berlangsung sekitar tiga tahun untuk Askes sedang dalam proses. Sejalan dengan
perubahan sistem gaji pokok PNS, maka diharapkan tahun 2001 ini penerimaan premi PT
Askes akan meningkat tajam dan karenanya pembayaran ke RS dapat ditingkatkan. Pada
sistem penggantian biaya rumah sakit sekarang ini, praktis nilai asuransi PNS menjadi
sangat kecil. Sebab dalam banyak hal, besarnya selisih biaya yang hams ditanggung
peserta bisa lebih besar dari biaya yang ditanggung Askes. Obat-obat yang diperlukan
diresepkan oleh dokter rumah sakit. Pasien mengambil obat-obat tersebut di apotik yang
ditunjuk. Jika obat-obat yang diresepkan termasuk dalam Daftar Pelafon Harga Obat
(DPHO) maka pasien tidak perlu membayar lagi. Namun apabila obat yang diresepkan tidak
termasuk dalam DPHO, maka pasien hams membayar sendiri. Daftar obat Askes
dikembangkan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian klinik dan farmakologik untuk
menjamin bahwa obat-obat yang masuk dalam DPHO adalah obat-obat yang secara
esensial dibutuhkan oleh peserta dalam berbagai kasus penyakit yang diderita. Obat DPHO
bukanlah obat generik, akan tetapi obat yang dibutuhkan dapat diberikan dengan harga
yang memenuhi plafon tertentu. Bisa jadi suatu obat bermerek lokal, mee too drug, yang
oleh pasien dianggap sebagai obat paten masuk dalam DPHO. Obat penyakit kanker juga
termasuk dalam daftar obat yang ditanggung Askes. Sebenarnya obat-obat yang tidak
termasuk dalam DPHO akan tetapi mutlak dibutuhkan oleh pasien masih dapat ditanggung
asal ada surat keterangan dokter bahwa obat tersebut secara medis dibutuhkan. Misalnya
sebuah antibiotik mahal bisa ditanggung untuk suatu kasus penyakit infeksi, apabila dari
hasil uji sensitifitas obat (kultur) temyata obat tersebutlah yang bisa menyembuhkan.
Tindakan hemodialisa, cuci darah, dan transplantasi ginjal juga ditanggung oleh Askes. Hal
ini tentu saja membuat biaya yang sedikit itu menjadi sangat kurang jika sebagian besar
biaya semua pelayanan hams ditanggung. Biaya untuk tindakan hemodialisa saja saat ini
sudah melampaui Rp 30 milyar setahun. 2.6. Kinerja Dalam usianya yang melebihi 30 tahun,
termasuk ketika menjadi BPDPK, PT Askes telah mengalami pasang surut yang cukup
bervariasi. Sebagai perusahaan asuransi, Askes hams menunjukkan kemampuan
solvabilitas keuangan yang memadai untuk memenuhi berbagai kewajibannya. Sebagai
suatu asuransi kesehatan sosial yang menerapkan prinsip prinsip managed care PT Askes
hams mampu mengendalikan biaya berapapun besarnya penerimaan. Jika di dalam
pembahasan mengenai premi telah digambarkan bahwa premi yang diterima sangat kecil
bila dibandingkan dengan kewajiban Askes untuk menanggung AskesPNS 49 H Thabrany
begitu 1uas pe1ayanan, maka di bawah ini disajikan rasio klaim terhadap premi dan
terhadap penerimaan total. Penerimaan PT Askes bersumber dari penerimaan premi dan
dari penerimaan investasi dan penerimaan lain-lain. Sejak sebe1um menjadi PT Askes,
dana-dana cadangan teknis dan ke1ebihan dana (sete1ah dipotong pajak penghasi1an
badan, tantiem atau bonus bagi pengelola, dan dividen kepada pemerintah) disimpan
da1arn bentuk berbagai instrumen investasi. Tarnpak pada garnbar 2.1 perkembangan aset,
investasi, dan cadangan teknis PT Askes dari tahun ke tahun. Hams disadari disini bahwa
berkembangnya aset dan investasi sejak tahun 1993 antara lain juga ikut dipengaruhi oleh
perkembangan bisnis asuransi komersia1nya, meskipun jumlahnya masih jauh 1ebih keci1
dibandingkan dengan aset dan investasi dari program sosia1nya. Tarnpak bahwa di tahun
1993 PT Askes te1ah memiliki aset sebesar Rp 400 mi1yar dengan investasi sebesar Rp
353 mi1yar. Cadangan teknis yang dikelola pada saat itu berjumlah Rp 115 mi1yar. Pada
tahun 1999 aset PT Askes te1ah berkembang menjadi Rp 702 mi1yar dan investasi sebesar
Rp 610 mi1yar. Cadangan teknis di tahun 1999 mencapai harnpir Rp 256 mi1yar. Melihat
kinerja keuangan tersebut, Sampai tahun 1999 PT Askes masih mempunyai kinerja
keuangan yang baik, yang da1arn kriteria pemeriksa pemerintah (BPKlBPKP) masuk
kategori sehat. Gambar 2.1 Perkembangan aset, investasi, dan cadangan teknis PT Askes
Indonesia 1993-1999 1993 1994 1995 1996 Tahun 1997 1998 1999
800.-------------------------------------------------. 600 f3 Aset m Investasi EI Cad Tek ~ ~ ~400 ~
200 o Sumber: Berbagai Laporan Kegiatan Usaha Perasuransian Indonesia, 1993-1999.
Apabi1a dilihat dari kemampuan PT Askes mengendalikan biaya, maka tarnpaknya Askes
masih mampu mengendalikan biaya pe1ayanan. Perkembangan penerimaan premi menurut
harga berlaku hanya tumbuh rata-rata sebesar 17,1 % setahun se1ama kurun waktu 1989-
1999, akan tetapi perkembangan biaya kesehatan se1arna periode yang sarna tumbuh
dengan rata-rata sebesar 19,2% setahun. Perkembangan biaya kesehatan tersebut te1ah
memperhitungkan berbagai upaya pengendalian biaya. Ke1arnbatan pertumbuhan
penerimaan premi ini dapat ditutupi dengan penerimaan lain-lain seperti hasi1 investasi.
Da1arn kurun waktu lima be1as tahun 1ebih, 1984-1999, Askes PNS mempunyai rasio klaim
terhadap AskesPNS 50 H Thabrany penerimaan premi tahun yang sarna berkisar antara
54,5% sampai 93,3%. Rasio terendah terjadi di tahun 1993 sedangkan rasio tertinggi terjadi
di tahun 1991. Rata-rata rasio klaim terhadap penerimaan premi selama kurun waktu
tersebut adalah 72,1%. Cukup menggembirakan bahwa selama krisis ekonomi berlangsung
di Indonesia, khususnya tahun 1998 -1999, rasio klaim terhadap premi masih dapat ditekan
sampai 76,7% dan 82,4%. Pada kolom ketiga disajikan data rasio klaim terhadap total
pendapatan Askes. Tampak bahwa jika dilihat dari kinerja keuangan saja, Askes memiliki
kinerja yang baik karena rata-rata selama 15 tahun tersebut Askes hanya menghabiskan
60% dana yang diterima untuk biaya kesehatan. Jika dilihat dari kedua rasio klaim tersebut,
Askes sehamsnya masih mampu memberikan pelayanan yang lebih baik kepada
pesertanya. Rasio klaim tersebut baik untuk program asuransi komersial yang tentu saja
hams membukukan keuangan yang memadai bagi pemegang saham. Rasio klaim ini sangat
jauh lebih rendah dari rasio klaim kebanyakan program asuransi sosial di negara lain. Selisih
antara penerimaan premi dan klaim dikenal dengan biaya administrasi untuk program
asuransi sosial. Jadi selama 15 tahun, rata-rata biaya administrasi adalah 27,9% dari premi
yang diterima. Angka ini jauh lebih tinggi dari biaya administrasi asuransi sosial di Amerika
(Medicare) yang 4%, Medicare Canada juga 4%, asuransi kesehatan nasional di Taiwan
bahkan hanya 3%, dan asuransi kesehatan sosial pluralistik di Jerman hanya menghabiskan
5% biaya administrasi", Besarnya prosentasi biaya administrasi dipengaruhi oleh besaran
premi yang diterima. Semakin besar premi yang diterima akan semakin kecil porsi biaya
administrasi. Di negara-negara maju dimana besaran premi sudah diperhitungkan dengan
baik dan dibuat untuk memberikan pelayanan yang memadai, maka rasio biaya administrai
akan jauh lebih rendah. Sayangnya di Indonesia belum ada standar berapa biaya
administrasi yang layak untuk suatu program asuransi sosial. 2.7. Upaya Pengendalian
Biaya dan masalah yang dihadapi Peraturan pemerintah menghamskan badan
penyelenggara, dalam hal ini PT Askes, terus mengembangkan sistem guna memenuhi
kebutuhan pelayanan kesehatan pesertanya. Untuk itu, peraturan ini memberikan pedoman
pembayaran PPK dan penarikan dana melalui berbagai cara seperti iuran biaya (co
payment, cost sharing), pembayaran berdasarkanjumlah peserta (sistem kapitasi), sistem
anggaran! budget, sistem tarif berdasarkan kelompok pelayanan (sistem paket), dan tarif
berdasarkan diagnosa (DRG). Oleh karenanya PT Askes telah melaksanakan berbagai uji
coba sistem pembayaran kapitasi parsial, kapitasi "total" dan pembayaran sistem paket.
Pembayaran kapitasi total yang diselenggarakan oleh Askes belumlah merupakan
pembayaran kapitasi total yang kita kenaI di Amerika. Sebab pembayaran kapitasi total yang
dilakukan Askes tidak mentransfer risiko sepenuhnya kepada PPK. Dalam pembayaran
sistem kapitasi total Askes, Dinas Kesehatan diberikan plafon untuk pembayaran rawat jalan
rujukan dan rawat inap. Pembayaran ke rumah sakit tetap dilakukan oleh PT Askes. Dinas
Kesehatan hanya mendapat bonus jika jumlah rujukan tidak 4 Thabrany, H. Kegagalan
Asuransi Kesehatan Komersial. MKI, Juni 2000. AskesPNS 51 H Thabrany melampuai target
tertentu. Hal ini tentu saja tidak memberikan risiko berarti bagi Dinas Kesehatan untuk
mengendalikan biaya. Selain itu, para dokter dan manajer (kepada Dinas) juga tidak
mendapat insentif yang memadai untuk mengendalikan biaya karena biaya yang diterima
Puskesmas bukanlah menjadi hak mereka. 01eh karenanya sistem pembayaran kapitasi
yang dilakukan Askes tidak memberikan pengendalian biaya yang besar seperti yang
diharapkan terjadi secara teori atau yang terjadi di negara-negara maju. Namun demikian,
sistem kapitasi ini telah memberikan penurunan tren kenaikan biaya seperti yang dilaporkan
Sulastomo.' Tabel2.3 Perkembangan rasio klaim (biaya kesehatan) terhadap premi diterima
dan terhadap total pendapatan PT Askes, 1984-1999 Rasio Rasio klaim klaim/premi /total
Tahun diterima pendatan 1984 68,1% 62,3% 1985 83,0% 75,2% 1986 63,6% 57,3% 1987
70,3% 59,1% 1988 65,5% 52,2% 1989 72,2% 56,1% 1990 83,3% 67,3% 1991 93,3% 66,9%
1992 67,1% 53,2% 1993 54,5% 45,6% 1994 64,0% 54,7% 1995 66,9% 58,1% 1996 73,1%
61,8% 1997 68,8% 63,4% 1998 76,7% 61,1% 1999 82,4% 65,8% Rata-rata 72,1% 60,0%
Pembayaran prospektif yang digariskan oleh PP tersebut mengandung konsekuensi
pengorbanan mutu pelayanan dan utilisasi. Hal ini sudah diantisipasi dan karenanya PPK
yang dikontrak diharuskan memberikan pelayanan kesehatan sebaik-baiknya sesuai dengan
kebutuhan medis. Tentu saja karena pelayanan diberikan di fasilitas pemerintah dan dikelola
5 Sulastomo. Sistem Pembayran Kapitasi di PT Askes. Dalam Thabrany H dan Hidayat B
(Ed). Pembayaraan Kapitasi. FKMUI, Depok, 1998. AskesPNS 52 H Thabrany oleh pegawai
negeri, seharusnya hal itu tidak terjadi. Namun dalam praktek tentu bisa dimaklumi jika tidak
semua tenaga kerja di PPK memahami peraturan ini. Dalam prakteknya, banyak keluhan
peserta yang merasa tidak diberi penjelasan tentang hak-haknya. Sebenarnya dalam
peraturan disebutkan bahwa peserta berhak memperoleh penjelasan dari Pemberi
Pelayanan Kesehatan. Namun tidak semua PPKjuga memahami apa yang terjadi pada
sistem asuransi kesehatan pegawai negeri. Banyak tenaga kerja di PPK bahkan direktur RS
yang selalu mengeluh bahwa mereka dibayar dengan tidak memadai, dan tentu saja hal
berpengaruh pada pelayanan yang mereka lakukan. Falsafah dasar pembayaran Askes
kepada PPK diatur oleh SKB Menkes dan Mendagri adalah untuk mencukupi iuran yang
memang disadari tidak memadai. Surat ketetapan tarif ini bersifat nasional dengan
pengelompokan jenis RS bukan daerah. Pada kota-kota besar, biaya pelayanan jauh lebih
mahal karena memang tuntuan tenaga kerja di rumah sakit, fasilitas, dan biaya-biaya
operasional jauh lebih tinggi dari biaya rumah sakit sejenis di daerah. Tentu saja
pembayaran yang sama antara rumah sakit di kota besar dan di daerah menimbulkan
kesenjangan. Rumah sakit di kota pada umumnya tidak puas dengan besarnya penggantian
dari Askes sementara RS di kota kabupaten tidak mempersoalkan, bahkan bisa jadi lebih
senang dengan pembayaran Askes. Banyak dearah yang mematok tarif Perda perawatan,
pemeriksaan penunjang, dan tindakan medis yang sangat rendah, dengan harapan biaya
tersebut dapat terjangkau oleh semua pihak. Pada masa otonomi daerah, pembayaran
dengan tarif SKB menjadi masalah karena kini RSUD merasa tidak ada kaitan struktural
kerja dengan Depdagri atau Depkes. Oleh karenanya SKB Menkes dan Mendagri yang
mengatur pembayaran Askes ke RSUD dinilai tidak lagi cocok. Untuk RSUD di daerah yang
secara historis menetapkan tarif yang relatif rendah, pembayaran Askes mungkin tidak jadi
masalah. Akan tetapi RSUD di kota besar yang ingin mendapatkan pemulihan biaya (cost
recovery rate) yang memadai, bisa jadi tarif yang ditetapkan jauh lebih tinggi dari
kemampuan Askes membayar. Oleh karenanya mulai ada suara-suara yang tidak menerima
tarif SKB. Namun demikian, sampai saat ini hal tersebut belum sampai pada penolakan
pasien Askes. Jalan keluar yang dikeluarkan oleh PT Askes adalah dengan memberikan
kewenangan kepada RS untuk menagih langsung selisih biaya antara tarif RS dengan
besarnya biaya yang dibayar Askes kepada pasien. Hal ini memang tidak bertentangan
dengan PP 69 karena memang disitu iur biaya dibenarkan. Namun yang menjadi masalah
adalah berapa besarnya iur biaya tersebut. Di negara-negara lain iur biaya biasanya
terbatas sebagai alat kendali utilisasi tetapi tidak memberatkan peserta. Di Amerika dan
Jepang, iur biaya biasanya berkisar pada 20-30% saja dengan batas maksium tertentu.
Namun dalam kasus Askes banyak keluhan bahwa iur biaya menjadi besar sekali, lebih
besar dari yang dijamin oleh Askes. Jika hal ini terus berlanjut asuransi menjadi tidak ada
manfaatnya. Dalam perjalanan Askes yang melampaui usia 30 tahun, banyak terjadi
perubahan demografis dan epidemiologis pada peserta. Penyakit kronis semakin meningkat
sementara iuran dihitung atas dasar pola penyakit lama yang masih lebih banyak penyakit
menular. Pengobatan penyakit kronis memakan waktu lama dan memakan biaya yang jauh
lebih besar daripada pengobatan penyakit menular. Sebagai ilustrasi dapat dilihat
perkembangan kasus AskesPNS 53 H Thabrany gaga1 ginja1 dan tindakan hemodialisa
(Tabe1 2.3) yang menunjukkan kenaikan pesat dari tahun ke tahun. Kasus- kasus seperti ini
dapat menyerap dana sampai 10% dari total biaya kesehatan. 01eh karenanya sehamsnya
besaran premi disesuaikan dengan perkembangan po1a penyakit tersebut. Apabi1a ha1 ini
tidak di1akukan sementara PT Askes masih tetap berbentuk PT Persero, maka manfaat
Askes kepada pesertanya akan semakin menurun. Table 2.3 Tren kenaikan jumlah
penderita gagal ginjal dan tindakan hemodialisis 1989-1994 Tahun Jum1ah Jumlah
penderita tindakan 1989 481 23.882 1990 800 32.336 1991 1.059 42.511 1992 1.327 53.735
1993 1.567 65.015 1994 1.740 80.421 Upaya pengendalian biaya me1a1ui negosiasi
dengan rumah sakit dan puskesmas atau menghimbau dokter spesialis menggunakan obat
yang 1ebih rasiona1 menghadapi berbagai kenda1a. Salah satu kenda1a penting ada1ah
bentuk badan hukum PT Persero yang tidak seja1an dengan penye1enggaraan asuransi
sosial. Sejak awa1 Menteri Siwabessy mengharapkan pengumpu1an dana asuransi
kesehatan ini bukan untuk cari untung. Namun demikian, pandangan pengambi1 keputusan
pemerintah hanya melihat bahwa bentuk Persero 1ebih mampu meningkatkan mutu
pe1ayanan dan menghasi1kan 1aba tanpa melihat misi utama asuransi sosial. Banyak RS
yang mengatakan bahwa "mas a kami RSU hams mensubsidi PT yang mencari untung?".
Dengan pembayaran RS yang jauh 1ebih rendah sehingga direktur RS hams memutar aka1
menutupi selisih biaya untuk pasien Askes berarti RS mensubsidi Askes. Sementara PT
Askes terns membukukan 1aba. Hal ini yang menimbu1kan kecemburuan di ka1angan
pengelola RS pemerintah. Sementara itu, 1aba yang dipero1ah Askes tidak dirasakan
manfaatnya oleh peserta, padaha1 setiap bulan gaji peserta dipotong sebagai premi. Sarna
ha1nya dengan Jamsostek, bentuk Persero ini mernpakan bentuk yang tidak konsisten
sebagai pengelola asuransi sosial. Sehamsnya lab a yang diterima menjadi hak peserta
bukan hak pemerintah, sebagai pemegang saham. Ketidak sesuaian ini sebenamya dapat
dise1esaikan apabi1a PP yang mengatur PT Askes, meskipun berbentuk Persero,
disebutkan khusus sebagai 1embaga not for profit. Contoh ha1 ini terdapat di Filipina
dimana the Philippine Health Insurance Corporation je1as-je1as disebutkan sebagai
1embaga nir1aba. AskesPNS 54 H Thabrany BAB3 lPK lamsostek 3.1. Pendahuluan
Program Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) merupakan suatu program jaminan yang
diselenggarakan pemerintah untuk memenuhi Konvensi ILO (International Labour
Organization) tentang hak-hak tenaga kerja yang meliputi program jaminan hari tua (JHT),
jaminan kematian (JKM), jaminan kecelakaan kerja (JKK), dan jaminan pemeliharaan
kesehatan (JPK). Sebagai salah satu negara yang meratifikasi (negara pihak) konvensi
international tersebut yang sudah disepakati hampir setengah abad yang lalu, Indonesia
berkewajiban memenuhi hak-hak tenaga kerja. Dalam pemenuhan hak-hak tenaga kerja
tersebut, Indonesia telah mengeluarkan UU No.3/1992 tentang Jamsostek. Undang-undang
ini dikeluarkan dalam waktu hanya semingga setelah UU No. 2/92, tentang asuransi yang
secara eskplisit memberikan ijin kepada perusahaan asuransi jiwa dan kerugian untuk
menjual produk asuransi kesehatan. Program jaminan sosial merupakan program yang
diselenggarakan oleh semua negara maju di dunia dan merupakan program pemerintah
dalam rangka ketahanan nasional dalam bidang sosial. Luasnya program jaminan sosial
tergantung dari kemampuan ekonomi dan kemampuan umum suatu negara. Organisi tenaga
kerja dunia dalam Konvensi Jaminan Sosial No 102/52 menetapkan sembilan macam
program yang merupakan bagian dari jaminan sosial, yaitu: pemeliharaan kesehatan,
tunjangan sakit, jaminan hamil dan bersalin (maternity benefit), santunan kecelakaan kerja,
tunjangan cacat, tunjangan kematian, tunjangan hari tua, santunan pengangguran, dan
tunjangan keluarga. Secara umum Indonesia sudah hampir memenuhi kesembilan program
tersebut, hanya saja beberapa program digabung menjadi satu. Istilah program JPK yang
digunakan memang tidak lepas dari pengaruh Departemen Kesehatan yang pada saat yang
sama mengembangkan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM)
yang akan dibahas pada Bab 4. Program Jamsostek wajib diikuti oleh seluruh pemberi kerja
(perusahaan, dalam artian seluruh lembaga yang menjalin hubungan ketenaga-kerjaan
termasuk diantranya lembaga seperti yayasan, rumah sakit, sekolah, lembaga swadaya
masyarakat, dsb.). Untuk tahap pertama program ini hanya diwajibkan kepada pemberi kerja
atau majikan yang memiliki 10 orang karyawan atau lebih, atau membayar upah lebih dari
Rp 1 juta per bulan. Jadi pemberi kerja yang hanya memiliki empat orang karyawan tetapi
membayar upah (bukan gaji pokok, tetapi take home pay) lebih dari Rp 1 juta untuk keempat
karyawan tersebut, wajib mengikut sertakan tenaga kerjanya pada program Jamsostek. UU
Jamsostek kemudian dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No 14/93 yang menjabarkan
lebih lanjut tentang program secara rinci. Lebih lanjut, pasal-pasal dalam PP JPK Jamsostek
55 HThabrany tersebut dijabarkan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 5/93. Dalam
UU No 2/92 tidak disebutkan bahwa penyelenggara program Jamsostek adalah PT
(Persero) Jamsostek. Penunjukkan PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara adalah
berdasarkan PP No 36/95. Sebelum PP ini dikeluarkan penyelenggaraan Jamsostek
dilaksanakan oleh PT Astek yang merupakan pendahulu PT Jamsostek. 3.2. Perbedaan lPK
lamsostek dengan Program lamsostek Lainnya Seperti telah dijelaskan diatas, program JPK
Jamsostek adalah bagian dari program jaminan sosial tenaga kerja. Akan tetapi,
dibandingkan dengan tiga program lainnya, program JPK memiliki perbedaan sebagai
berikut: 1. Program JPK merupakan program yang manfaatnya (benefit) diberikan dalam
bentuk pelayanan sementra ketiga program lainnya manfaat diberikan dalam bentuk uang
tunai. 2. Yang menjadi tertanggung (berhak menerima manfaat) tidak hanya tenaga kerja
akan tetapi anggota keluarga tenaga kerja juga berhak memperoleh jaminan 3. Sifat
kepesertaan JPK adalah wajib bersyarat sementra ketiga program lainnya wajib mutlak.
Pemberi kerja yang telah memiliki program JPK yang lebih baik boleh tidak mendaftarkan
karyawannya kepada PT Jamsostek. 4. Besarnya kontribusi/premi antara tenaga kerja lajang
dan tenaga kerja yang telah berkeluarga berbeda besarnya. Untuk tenaga kerja lajang
besamya premi adalah 3% upah sementara untuk tenaga kerja kawin besarnya premi
adalah 6% dari upah sebulan. 5. Terdapat batas penghasilan dimana kontribusi karyawan
dibatasi (cap/ceiling) sampai upah sebesar Rp 1 juta per bulan. Jadi untuk tenaga kerja
kawin yang bergaji Rp 5 juta per bulan besarnya premi adalah Rp 60.000 (6%), sama be
saran premi untuk tenaga kerja bergai Rp 1 juta. 6. Bersama dengan program JKK dan JKM,
program JPK merupakan program berbasis asuransi sosial sedangkan program JHT
berbasis program tabungan. 3.3. Manfaat/Paket laminan lPK lamsostek Pemberian paket
JPK Jamsostek menggunakan teknik-teknik managed care, khususnya HMO di Amerika.
Oleh karena itu, jaminan yang diberikan meliputi aspek promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif akan tetapi aspek kuratif dan rehabilitatif lebih ditekankan. Secara singkat paket
jaminan JPK dijelaskan dalam UU menjamin pelayanan sebagai berikut: 1. Rawat jalan
tingkat pertama 2. Rawat jalan tingkat lanjutan/rujukan 3. Rawat inap minimal rawat mondok
satu hari dengan rujukan. Pelayanan rawat inap diberikan di RSU pusat dan daerah dan RS
Swasta yang ditunjuk JPK Jamsostek 56 HThabrany 4. Pemeriksaan kehamilan dan
pertolongan persalinan baik persalinan normal maupun persalinan patologis dan/atau gugur
kandungan 5. Penunjang diagnostik yang dipandang perlu oleh pelaksana pelayanan
kesehatan rujukan yang meliputi pemeriksaan laboratorium, radiologi, dan pemeriksaan
penunjang lain 6. Pelayanan khusus yang meliputi kaca mata, prothese gigi, alat bantu
dengar, prothese anggota gerak, dan prothese mata. 7. Pelayanan gawat darurat yang
merupakan pelayanan yang hams segera dilakukan untuk menghindari hal yang fatal bagi
penderita. Paket jaminan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam PP 14/93 dan dalam
Peraturan Menaker No. 05/Men/1993. Secara rinei jabaran lebih lanjut tentang JPK adalah
sebagai berikut: Table 1. Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek Menurut
Peraturan yang berlaku Paket Diatur PP 14/93, pasal Diatur Permenaker 05/93 pasal 20-40
33-46 Jumlah Istri/suami yang sah dan anak tertanggung sebanyak-banyaknya 3 (tiga)
orang Paketjaminan Semua tertanggung berhak atas paket jaminan dasar diberikan secara
menyeluruh, terstruktur, terpadu, dan berkesinambunzan Pemberian 1. Pelayanan diberikan
oleh Paket rawat jalan tingkat I meliputi pelayanan pelaksana pelayanan pelayanan:
kesehatan (PPK) 1. Bimbingan dan konsultasi berdasarkan petjanjian 2. Pemeriksaan
kehamilan, nifas, dan ibu tertulis dengan PT menyusui Jamsostek 3. Keluarga berencana 2.
PT Jamsostek membayar 4. Imunisasi bayi, anak, dan ibu menyusui PPK secara praupaya
5. Pemeriksaan dan pengobatan dokter dengan sistem kapitasi umum 3. Pelayanan
diberikan sesuai 6. Pemeriksaan dan pengobatan dokter gigi kebutuhan medis dan 7.
Pemeriksaan laboratorium sederhana standar pelayanan dengan 8. Tindakan medis
sederhana memperhatikan mutu 9. Obat DOEN (Daftar Obat Esensial pelayanan Nasional)
Plus 4. Tertanggung dapat 10. Rujukan ke rawat jalan II memilih PPK yang Pelayanan
rujukan meliputi: ditunjuk badan 1. Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter penyelenggara
spesialis 5. Dalam keadaan tertentu 2. Pemeriksaan penunjang diagnostik tertanggung
dapat lanjutan menerima pelayanan dari 3. Obat DOEN Plus atau generik PPK di luar yang
ditunjuk 4. Tindakan khusus lainnya JPK Jamsostek 57 HThabrany Paket Diatur PP 14/93,
pasal Diatur Permenaker 05/93 pasal 20-40 33-46 Pelayanan 1. Pelayanan rawat jalan I 1.
PPK I meliputi: Balai pengobatan, kesehatan diberikan oleh PPK I Puskesmas, dan Dokter
umum praktek rujukan 2. Apabila diperlukan swasta rujukan, maka PPK I hams 2. Peserta
hams memilih satu PPK I dimana memberikan surat rujukan ia akan mendapat pelayanan
tingkat I kepada PPK rujukan yang 3. Pelayanan dokter spesialis memerlukan ditunjuk
rujuan dari PPK I 4. Pelayanan tindakan/pemeriksaan spesialistik memerlukan rujukan dari
dokter spesialis Pelayanan 1. Pelayanan rawat inap yang 1. Pelayanan rawat inap meliputi:
rawat inap melebihi ketentuan pemeriksaan dokter, tindakan medis, Menaker maka selisih
penunjang diagnostik, obat DOEN biayanya hams dibayar Plus/generik, menginap dan
makan sendiri oleh peserta 2. Maksimum rawat inap adalah 60 hari termasuk perawatan
ICU/ICCU untuk tiap jenis penyakit dalam satu tahun 3. Maksimum rawat inap ICU?ICCU
adalah 20 hari 4. Standar rawat inap adalah di kelas II RS pemerintah atau kelas III RS
Swasta Pelayanan 1. Dalam keadaan gawat Termasuk kategori gawat darurat adalah: gawat
darurat darurat tertanggung dapat 1. Kecelakaan/ruda paksa bukan akibat langsung
menerima kerja pelayanan dari PPK 2. Seranganjantung terdekat 3. Serangan asma berat 2.
Apabila diperlukan rawat 4. Kejang inap, maka dalam tempo 7 5. Pendarahan berat (tujuh)
hari peserta hams 6. Muntah berak dengan dehidrasi menyerahkan bukti bahwa 7.
Kehilangan kesadaran/koma termasuk ia masih bekerja ayan 3. Apabila perawatan 8.
Gelisah atau gangguanjiwa diberikan di luar RS yang 9. Persalinan mendadak, perdarahan,
dan ditunjuk, maka jaminan ketuban pecah dini hanya diberikan sampai 7 (tujuh) hari
dengan standar biaya yang ditetapkan JPK Jamsostek 58 HThabrany Paket Diatur PP
14/93, pasal Diatur Permenaker 05/93 pasal 20-40 33-46 Pelayanan 1. Diberikan di rumah
1. Hanya persalinan I, II, dan III yang kehamilan dan bersalin yang ditunjuk ditanggung yang
ditolong dokter persalinan 2. Apabila terdapat umum, bidan atau dukun yang diakui
penyulitlkomplikasi maka 2. Apabila sewaktu masuk Jamsostek pelayanan dapat diberikan
sudah memiliki tiga anak, persalinan diRS tidak lagi ditanggung 3. Persalinan yang
ditanggung adalah jika usia kehamilan mencapai 26 minggu atau lebih 4. Lama menginap
persalinan yang ditanggung adalah antara 3-5 hari, termasuk perawatan ibu dan bayi 5.
Persalinan dengan penyulit yang memerlukan tindakan spesialistik diperhitungkan sebagai
kasus rawat inap biasa 6. Biaya persalinan normal tiap anak Rp 50.000 (1993), Rp 75.00 di
tahun 1997 dankiniRp •... Obat 1. Resep obat hams diambil Obat yang ditanggung adalah
obat yang di apotik yang ditunjuk termasuk dalam DOEN Plus atau generik. 2. Obat yang
diberikan Jumlahjenis obat dalam daftar ini adalah standar obat yang mencakup •.. jenis
obat ditetapkan Jamsostek 3. Apabila obat yang diberikan di luar standar, maka selisih biaya
menjadi tanggungan peserta JPK Jamsostek 59 HThabrany Paket Diatur PP 14/93, pasal
Diatur Permenaker 05/93 pasal 20-40 33-46 Pelayanan 1. Kaca mata hanya diberikan 1.
Tindakan diagnostik yang ditanggung khusus melalui optik yang meliputi pemeriksaan
elektro ditunjuk atas dasar resep ensefalografi (EEG), elektro dr. spesialis mata kardiografi
(BeG), Ultra sonografi 2. Prothese mata hanya (USG), dan computerized tomography
diberikan melalui RS atau scanning (CT-scan). perusahaan alat kesehatan Besamya
maksimum biaya penggantian atas resep dr. spesialis adalah sebagai berikut (1997): mata
2. Frame dan lensa Rp 60.000 3. Prothese gigi diberikan di 3. Lensa tiap dua tahun Rp
30.000 balai pengobatan gigi yang 4. Frame tiap tiga tahun Rp 20.000 ditunjuk atas dasar
resep 5. Prothese mata Rp 100.000 seorang drg. 6. Prothese gigi Rp 100.000 4. Alat bantu
dengar 7. Prothese tangan Rp 125.000 diberikan di RS atau 8. Prothese kaki Rp 150.000
perushaan alat kesehatna 9. Alat bantu dengar Rp 100.000 yang ditunjuk atas dasar 10.
Penggantian prothese dan orthese resep dr. spesialis THT akibat rusak atau hilag tidak
diganti 5. Prothese anggota gerak hanya diberikan di RS Rehabilitasi atas dasar resep dr.
spesialis Lain-lain 1. PT Jamsostek melakukan Pelayanan yang dipantau meliputi angka
pemantauan mutu kunjungan, pemakaian obat, rujukan pelayanan yang diberikan penunjang
diagnostik, dan lama perawatan olehPPK Pelayanan yang tidak ditanggung oleh JPK
Jamsostek adalah: I. Pelayanan kesehatan di luar PPK yang ditunjuk 2. Penyakit atau
cedera yang diakibatkan karena hubungan kerja dan karena kesengajaan 3. Penyakit yang
diakibatkan oleh alkohol, narkotik, penyakit kelamin, dan AIDS 4. Perawatan kosmetik 5.
Pemeriksaan kesehatan berkala (medical check up) 6. Transplantasi organ tubuh, termasuk
sumsum tulang 7. Pemeriksaan dan tindakan untuk kesuburan/fertilitas 8. Penyakit kanker 9.
Hemodialisa 10. Obat-obat vitamin, berbentuk makanan tambahan atau susu, susu bayi,
obat gosok, obat infertilitas, dan obat kanker. 11. Alat perawatan seperti termometer dan
eskap 12. Biaya transportasi ke dan dari PPK 13. Biaya tindakan medik superspesialistik
JPK Jamsostek 60 HThabrany Seperti telah dijelaskan diatas, program JPK Jamsostek
menggunakan teknik-teknik HMO dalam pengendalian biayanya. Teknik-teknik yang
digunakan adalah: 1. Peserta hams menggunakan PPK I yang telah menjalin kontrak
dengan Jamsostek. Apabila peserta tidak menggunakan PPK I yang ditunjuk, maka peserta
hams menanggung sendiri biaya pelayanan, kecuali dalam keadaan gawat darurat. 2. Untuk
mendapatkan pelayanan rujukan seperti pemeriksaan oleh dokter spesialis atau perawatan
di rumah sakit, diperlukan surat rujukan dari PPK I. Tanpa rujukan peserta tidak dapat
mendapatkan pelayanan rujukan 3. Pembayaran kepada PPK dilakukan dengan sistem
kapitasi. Dalam prakteknya, pembayaran kapitasi pada umumnya dilakukan kepada PPK I
saja. Sedangkan kepada rumah sakit, pembayaran kapitasi hanya dilakukan pada daerah
tertentu yang jumlah pesertanya memadai (purwoko dan Masud, 1998). Di Jakarta dan di
berbagai cabang lainnya, PT Jamsostek mengontrakkan kepada bapel JPKM (kini tidak lagi
menjadi kehamsan) secara kapitasi untuk selanjutnya melakukan kontrak kepada berbagai
PPK. Bapel JPKM dan badan lainnya ini disebut Main Provider. 4. Mengadakan telaah
utilisasi dan pengendalian mutu pelayanan. Ratio pelayanan rujukan dengan kunjungan PPK
I yang terlalu rendah atau terlalu tinggi merupakan indikasi untuk telaah selanjutnya. Begitu
juga dengan lama hari rawat yang panjang atau terlalu pendek menjadi indikator untuk
telaah utilisasi. 3.4. Perkembangan lPK lamsostek Program JPK Jamsostek dimulai dengan
penyelenggaraan pilot proyek Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Tenaga Kerja di lima
Propinsi selama lima tahun sebelum UU Jamsostek disahkan. Jumlah peserta mencapai
lebih dari 70.000 orang. Pengelolaan uji coba dilakukan oleh PT Asuransi Sosial Tenaga
Kerja (Astek) yang juga sebuah persero yang pada waktu itu hanya mengelola asuransi
kecelakaan kerja. Atas dasar uji coba yang bersifat sukarela itulah kemudian JPK Jamsostek
diperluas dengan menjadikan program JPK wajib melalui UU Jamsostek. Namun demikian
dalam PP 14/93, kewajiban itu dibatasi hanya pada pemberi kerja yang belum memberikan
jaminan kesehatan yang lebih baik dari yang diberikan oleh JPK Jamsostek. Klausul
opsional (opt-out) ini antara lain, menurut satu sumber di Jamsostek sendiri, menunjukkan
bahwa PT Jamsostek belum siap untuk mengelola jumlah peserta yang sangat besar. Disisi
lain, dalam proses perundang-undangan, banyak sekali perusahaan asuransi yang menuntut
agar mereka diberikan ruang untuk berbisnis dalam bidang asuransi kesehatan. Apalagi UU
No 2/92 tentang asuransi juga dikeluarkan pada bulan Februari juga dan peraturan
pemerintah untuk kedua UU tersebut juga baru dikeluarkan setahun kemudian. Antara UU
dan dikeluarkannya PP cukup banyak tersedia waktu melobi pemerintah untuk mengatur
pelaksanaan program Jamsostek. Oleh karenanya dapat dipahami bahwa pada akhimya
kemudian PP 14/93 memberikan peluang kepada perusahaan asuransi untuk mengambil
kue dalam program JPK Jamsostek. JPK Jamsostek 61 HThabrany Provisi opt-out dimana
perusahaan atau pemberi kerja (untuk mudahnya selanjutnya disebut perusahaan) dapat
membeli asuransi kesehatan atau menyediakan sendiri pelayanan kesehatan sangat
mempengaruhi perkembangan program JPK Jamsostek. Meskipun klausul tersebut
menyebutkan bahwa perusahaan yang diberikan harus lebih baik dari yang diberikan JPK
Jamsostek, dalam prakteknya hal ini belum bisa dikendalikan. Pada bulan Februari 1998,
Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan surat keputusan menteri tentang kriteria pelayanan
yang lebih baik. Permenaker No 5/93 juga mengharuskan perusahaan tersebut
menyampaikan laporan secara periodik tentang jaminan kesehatan yang diberikan kepada
karyawannya. Namun demikian, hingga saat ini penegakkan hukum tentang hal ini belum
berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya perusahaan yang tidak memberikan jaminan
kesehatan kepada karyawannya, alias melanggar UU Jamsostek, tidak mendapatkan
sangsi. Tentu saja hal ini tidak mendorong perusahaan untuk bergabung dengan Jamsostek.
Di lain pihak, banyak perushaan yang menilai bahwa jaminan yang diberikan Jamsostek
tidak memenuhi harapan mereka, baik kualitasnya maupun jumlahnya. Akibatnya, banyak
perusahaan yang tidak mendaftarkan karyawannya ke Jamsostek. 01eh kerena itu
perkembangan kepesertaan JPK Jamsostek berjalan sangat lamban, jika dibandingkan
dengan potensi jumlah peserta yang memenuhi syarat. Tabel 3.1 menyajikan perkembangan
jumlah perusahaan, peserta (tenaga kerja), tertanggung (anggota keluarga), besarnya
penerimaan premi JPK dan rasio klaim (biaya medis) terhadap premi yang diterima.
Tabel3.1 Perkembangan Jumlah Peserta dan Tertanggung JPK Jamsostek, 1991-2000
Tahun Pemberi Tenaga Kerja Tertanggung Premi diterima Rasio biaya Kerja (RpOOO)
medis (%) 1991 723 85,926 199,695 4,553,000 63.9 1992 958 110,345 238,022 8,280,000
62.2 1993 3,419 256,402 537,173 13,657,000 59.1 1994 5,624 458,257 963,619 28,263,000
67.5 1995 8,034 698,052 1,414,175 44,365,000 80.7 1996 9,452 961,594 1,725,618
64,314,563 79,7 1997 10,892 989,094 1,949,011 86,233,060 76.1 1998 14,225 1,110,478
2,338,075 100,220,435 88.5 1999 15,628 1,235,818 2,567,576 136,103,858 74,6 2000
16,707 1,321,844 2,699,977 155,360,770 65,4 Rata-rata Rata-rata tumbuh 53% 40% 38%
51% 72% 91-2000 (%) ... Sumber: PT Jamsostek, Divisi JPK, 2001 Jika dilihat dari
pertumbuhan jumlah perusahaan, peserta, dan penerimaan premi maka kinerja yang JPK
Jamsostek cukup baik. Jumlah perusahaan yang mendaftarkan karyawannya ke JPK
Jamsostek meningkat rata-rata 53% setahun. Jumlah karyawan meningkat rata-rata 40%
setahun sedangkan jumlah tertanggung meningkat hanya 38% per JPK Jamsostek 62
HThabrany tahun. Artinya, semakin hari lebih banyak karyawan bujang atau keluarga kecil
yang bergabung dengan JPK Jamsostek. Data ini juga menunjukkan bahwa kebanyakan
hanya perusahaan kecil, rata-rata 91 karyawan per perusahaan selama 10 tahun, yang
mendaftarkan diri pada program JPK Jamsostek. Namun apabila dibandingkan dengan
jumlah tenaga kerja yang seharusnya mendaftar pada JPK Jamsostek, jumlah tersebut
masih sangat sedikit. Peraturan Pemerintah No. 14/93 yang mewajibkan pemberi kerja yang
membayar upah lebih dari Rp 1 juta per bulan wajib mendaftarkan karyawannya kepada
Jamsostek. Peraturan ini masih berlaku sampai saat ini. Apabila peraturan ini ditegakkan,
maka paling tidak 100 juta orang seharusnya sudah mendapatkanjaminan dari JPK
Jamsostek. Perorangan yang mempunyai seorang sopir dan dua pembantu sudah terkena
kewajiban ini, karena untuk ukuran Jakarta dengan upah minimum Rp 426.000 per bulan,
orang tersebut sudah termasuk pemberi kerja yang wajib mendaftarkan ke JPK Jamsostek.
Jika dilihat jumlah tertanggung yang hanya mencapai 2,7 juta jiwa di tahun 2000, jumlah ini
kurang dari 3% dari jumlah penduduk yang memenuhi syarat. Jika dibandingkan dengan
jumlah tenaga kerja yang terdaftar pada ketiga program Jamsostek lainnya yang mencapai
18,8 juta jiwa, pendaftar JPK hanya mencapai 1,3 tenaga kerja. Ini berarti hanya 6,9%
tenaga kerja yang mengambil JPK dari seluruh peserta terdaftar', Jika dibandingkan dengan
potensi tenaga kerja yang menjalin hubungan kerja, yang menurut survei ILO berjumlah 56,2
juta", maka jumlah tenaga kerja terdaftar pada JPK hanya 2,5% dari potensi tenaga kerja.
Pertumbuhan penerimaan premi mencapai rata-rata 51 % per tahun dari Rp 4,5 milyar di
tahun 1991 menjadi Rp 155 milyar di tahun 2000. Namun demikian, jika dibandingkan
dengan penerimaan premi oleh perushaan asuransi komersial, maka besarnya premi yang
diterima JPK Jamsostek jauh lebih rendah. Total premi asuransi kesehatan dan kecelakaan
diri dari perusahaan asuransi komersial di tahun 1999 mencapai Rp 722 milyar.' Jika
diperhitungkan besamya premi yang diterima per kapita, maka di tahun 1991 JPK Jamsostek
menerima premi sebesar Rp 22.800 per kapita per tahun sedangkan di tahun 2000 besarnya
mencapai Rp 57,542 per kapita per tahun. Jika jumlah itu dibagi 12, maka premi bulanan
yang diterima JPK Jamsostek di tahun 2000 hanya mencapai Rp 4.795,-. Jelas jumlah
tersebut sangat kecil untuk menutupi kebutuhan kesehatan yang relatif luas. Bandingkan
dengan premi sebesar Rp 125.520 per jiwa per bulan untuk jaminan rawat inap saja dengan
santunan tahun pertama Rp 100.000,- yang dijual PT Central Asia Raya.' Namun jia dilihat
dari rasio klaim yang rata-rata hanya 72% dari premi yang diterima, PT Jamsostek tidak
mengalami kerugian dalam mengelola JPK. Hal ini dapat terjadi karena pelayanan yang
diberikan menggunakan teknik-teknik managed care tertutup sehingga biaya dapat
terkendali. Hanya saja untuk bisa mengendalikan biaya yang sekecil itu, diperlukan upaya
yangkeras. Jika diperhatikan besarnya kontribusi dari gaji per tenaga kerja (TK) maka
tampak bahwa tenaga kerja yang terdaftar pada umumnya adalah tenaga kerja berupah
rendah. Jika pada tahun 2000 rata-rata premi per tenaga kerja adalah Rp 9.794, maka dapat
diperkirakan besarnya upah tenaga kerja tersebut. Jika diambil rata-rata premi sebesar 4,5%
maka upah per 1 Djaelani. F. Perkembangan Asuransi Kesehatan di Indonesia. Seminar N
asional Asuransi Kesehatan, Jakarta, Oktober 2000. 2 Iklan pada harlan Kompas, 22
September 2001 JPK Jamsostek 63 HThabrany bulan tenaga kerja yang didaftarkan rata-
rata hanya Rp 217,650 per bulan. Jelas upah tersebut merupakan upah di bawah upah
minimum. Perkembangan premi per tenaga kerja hanya tumbuh sebesar rata-rata 11 %
dalam sembilan tahun terakhir dan premi per kapita tumbuh rata-rata dengan 13% per
tahun. Jelas perkembangan premi ini tidak bisa mengikuti perkembangan biaya kesehatan
yang lebih tinggi. Tabel3.2 Analisis perkembangan premi JPK Jamsostek, 1991-2000 Premi
ier bulan Ratio Ratio Pertumbuhan (%) Tahun PerTK Per kapita TTGITK TKipers PremilTK
Premi/ kapita 1991 4.416 1.900 2,3 119 - - 1992 6.253 2.899 2,2 115 42% 53% 1993 4.439
2.119 2,1 75 -29% -27% 1994 5.140 2.444 2,1 81 16% 15% 1995 5.296 2.614 2,0 87 3% 7%
1996 5.574 3.106 1,8 102 5% 19% 1997 7.265 3.687 2,0 91 30% 19% 1998 7.521 3.572 2,1
78 4% -3% 1999 9.178 4.417 2,1 79 22% 24% 2000 9.794 4.795 2,0 79 7% 9% Rata-rata
2,1 91 11% 13% 3.5. Masalah-masalah yang dihadapi Dalam perkembangan JPK
Jamsostek yang hampir 10 tahun, tampak jelas sekali bahwa JPK Jamsostek tidak masih
jauh dari tujuan jaminan sosial untuk memberikan perlindungan yang memadai kepada
seluruh tenaga kerja dan keluarganya. Tujuan tersebut tidak bisa tercapai tanpa perubahan
mendasar berbagai peraturan JPK Jamsostek. Berbagai masalah struktural yang terdapat
dalam peraturan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Opsi boleh tidak ikut JPK Jamsostek
dimanfaatkan oleh perusahaan untuk tidak mengikuti JPK Jamsostek. Disinyalir banyak
perusahaan yang tidak memberikan jaminan kesehatan kepada karyawannya sekalipun
tidak mendaftarkan tenaga kerjanya ke JPK Jamsostek. 2. Batas gaji untuk perhitungan
premi yang masih tetap Rp 1 juta sebulan sering ditafsirkan sebagai hanya pegawai yang
bergaji rendah saja yang wajib ikut JPK Jamsostek. Padahal sebenarnya seluruh tenaga
kerja harus menjadi peserta, akan tetapi untuk yang gajinya lebih dari Rp 1 juta hanya
membayar premi maksimum Rp 60.000. Batas ini membuat iuran JPK tidak akan memadai
untuk memberikan pelayanan yang bermutu dan lebih luas. Jika hal ini berlanjut, maka
pelayanan yang JPK Jamsostek 64 HThabrany diberikan JPK Jamsostek akan semakin
menurun kualitasnya. Batas besaran upah ini juga menyebabkan tidak optimalnya subsidi
silang yang diharapkan terjadi pada program jaminan sosial. 3. Hanya perusahaan yang
diwajibkan membayar premi sementara tenaga kerja tidak diwajibkan. Hal ini tidak
menimbulkan rasa memiliki oleh tenaga kerja. Di berbagai belahan dunia, tenaga kerja
biasanya ikut berkontribusi sehingga terdapat rasa memiliki karena merekajuga ikut
membayar. Bagi pengusaha, kewajiban yang hanya dibebankan kepadanya sering
dirasakan sebagai beban sehingga banyak yang tidak melaporkan besar upah atau jumlah
karyawan yang sebenarnya untuk mengurangi kewajiban membayar premi. 4. Jaminan
kesehatan ini tidak diberikan kepada mereka yang telah pensiun atau tidak lagi dalam
hubungan kerja. Akibatnya, para pensiunan yang tidak lagi menerima upah dan mempunyai
risiko sakit yang lebih tinggi tidak mendapatkan jaminan. Hal ini menjadi beban yang berat
bagi penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia. Begitu juga mereka yang terkena pemutusan
hubungan kerja (PHK) tidak mendapatkan jaminan selama mereka belum bekerja di tempat
baru. 5. Batas jaminan sampai anak ketiga dan persalinan ketiga yang bertujuan untuk
menunjang program KB menimbulkan diskriminasi bagi anak keempat. Hal ini akan menjadi
beban berat bagi tenaga kerja, khususnya bila anak keempat atau persalinan keempat
menderita suatu penyakit atau penyulit berat. 6. Cakupan pelayanan yang tidak menjamin
pengobatan kanker dan hemodialisa dapat memberatkan ekonomi tenaga kerja, bukan saja
bagi mereka yang berpenghasilan rendah tetapi juga yang berpenghasilan tinggi. 7.
Rumitnya pengelolaan JPK dan tingginya rasio klaim dibandingkan dengan tiga program
lainnya tentu saja kurang memberi insentif kepada PT Jamsostek sendiri untuk mendorong
pertumbuhan peserta yang tinggi. Hal ini juga ditambah kurangnya tenaga yang menguasai
dan mau memberikan perhatian khusus kepada JPK Jamsostek. 8. Penegakan hukum
terhadap pelanggaran oleh perusahaan, seperti pelaporan upah yang lebih rendah dari yang
sebenarnya, tidak mendaftarkan JPK padahal juga tidak memberikan jaminan, dan berbagai
pelanggaran lainnya tidak berada pada PT Jamsostek. Penegakkan hukum merupakan
kewenangan Depnakertrans. Visi dan pemahaman pentingnya jaminan sosial antara
petugas di PT Jamsostek dan di Depnakertrans mungkin sangat berbeda sehingga tidak
terjadi koordinasi yang baik. 9. Besarnya denda bagi perusahaan yang melanggar sebesar
Rp 50 juta merupakan sanksi yang ringan sehingga tidak mendorong perusahaan untuk
secara aktif mengikuti program ini. 10. Rumitnya manajemen akibat tingginya mutasi tenaga
kerja, baik karena pindah kerja, perubahan status perkawinan, penambahan atau
pengurangan anggota keluarga, dsb., belum ditunjang oleh sistem informasi yang memadai.
11. Bentuk badan hukum PT Persero yang bersifat pencari laba tidak konsisten dengan sifat
penyelenggaraan jaminan sosial yang wajib yang bertujuan memaksimalkan pelayanan bagi
peserta. Bentuk badan hukum ini juga telah menimbulkan banyak campur tangan
pemerintah, selaku pemegang saham, terhadap manajemen Jamsostek. Sehamsnya
pesertalah yang lebih menentukan manajemen. Oleh karenanya perubahan bentuk badan
hukum menjadi Trust Fund yang dikendalikan secara tri- JPK Jamsostek 65 HThabrany
partit (pengusaha, tenaga kerja, dan pemerintah) sedang dalam pertimbangan. Selain itu,
karena bentuk persero ini juga timbul kesalah-fahaman bahwa Jamsostek bertentangan
dengan UU anti monopoli. Undang-undang anti monopoli berlaku untuk usaha memproduksi
sesuatu yang sifatnya sukarela, sementara program Jamsostek merupakan program wajib
yang merupakan kepentingan orang banyak tidak berlaku. 01eh karenanya di berbagai
belahan dunia, jaminan sosial tidak masuk dalam subyek yang terkena UU anti monopoli
dan hal ini diatur pada pasal 51 UU No5/99 tentang Larangan Praktek Monopoli. Surat
Pembaca Kompas, tanggal 23 Desember 2003, hal 5 Tanggal17 November 2003, saya
mengajukan klaim penggantian biaya atas istri saya yang dirawat inap di rumah sakit akibat
kecelakaan. Saya mengajukan klaim kepada PT Jamsostek Cabang Salemba, Jakarta,
temyata ditolak. Kelangkapan surat yang saya ajukan memang salin an, tetapi sarat hukum
dan sah karena telah dilegalisasi oleh pihak rumah sakit sesuai dengan aslinya. Sementara
surat kuitansi yang asli digunakan untuk klaim asuransi lainnya. Kalau memiliki tiga asuransi,
apakah sebanyak itu pula kuitansi asli harus dibuat untuk mengajukan klaim? Sementara
pihak rumah sakit hanya mengeluarkan satu kuitansi asli dan satu salin an yang telah
dilegaliasi. Mengacu pada ketentuan PT Jamsostek yang meminta kuitansi asli pula, berarti
dari sekian banyak asuransi hanya dapat satu klaim asuransi, semen tara premi dibayar
terus TONI Kmp Baru Kb Koja RT 012 RW 016, Penjaringan, Jakarta Utara i Jamsostek web
data, 2001 ii JLO. National labor force survey, 2000 JPK Jamsostek 66 HThabrany BAB4
Asuransi Kesehatan Komersial di Indonesia 4.1. lPKM Program Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM) mulai dikenal luas setelah dikeluarkan UU No 23/92 tetang
kesehatan yang pada pasal 66 menggariskan bahwa pemerintah mengembangkan,
membina dan mendorong JPKM sebagai cara pemeliharaan kesehatan praupaya
berasaskan usaha bersama dan kekeluargaan. Sebelum JPKM masuk dalam UU kesehatan
tersebut, berbagai upaya memobilisasi dana masyarakat dengan menggunakan prinsip
asuransi telah dilakukan antara lain dengan program DUKM (Dana Upaya Kesehatan
Masyrakat) dan uji coba PKTK oleh PT Astek. Dengan memobilisasi dana masyarakat
diharapkan mutu pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan tanpa hams meningkatkan
anggaran pemerintah. Konsep yang ditawarkan adalah secara perlahan pembiayaan
kesehatan hams ditanggung masyarakat sementara pemerintah akan lebih berfungsi
sebagai regulator. Upaya memobilisasi dana masyarakat tidak terlepas dari berbagai upaya
swastanisasi di dunia yang memandang bahwa dominasi upaya pemerintah dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat akan menghadapi masalah biaya, efisiensi, dan mutu
pelayanan. Program swastanisasi besar-besaran dilaksanakan di Inggris pada masa
Perdana Menteri Margaret Tacher untuk berbagai program pemerintahnya pada awal tahun
80an. Perusahaan penerbangan British Airways dan radio serta televisi BBC yang tadinya
dikelola pemerintah merupakan contoh bentuk swastaniasi upaya pemerintah Inggris. Sejak
itu gelombang privatisasi di dunia terus meluas. Di dalam sistem kesehatan Indonesia upaya
itu antara lain dapat dilihat dari upaya menggerakan pembiayaan kesehatan oleh
masyarakat dan transformasi RSVP menjadi RS Perjan (Perusahaan Jawatan). Namun
demikian, di Inggris sendiri sistem pelayanan kesehatan masih tetap dikelola pemerintah
dengan sistem National Health Service. Tetapi reformasi NHS terus berjalan hingga saat ini.
Dalam kerangka pikir inilah program JPKM yang bertujuan untuk memobilisasi dana
masyarakat guna membiayai pelayanan kesehatan dikembangkan. Perkembangan JPKM
tidak lepas dari peran pemerintah Amerika Serikat melalui program bantuan
pembangunannya (the United States Agency for International Development, USA/D). Pada
tahun 1988 USAID membiayai proyek Analisis Kebijakan Ekonomi Kesehatan (AKEK) di
Depkes selama lima tahun. Dalam proyek inilah antara lain berkembang pemikiran-
pemikiran pembiayaan kesehatan yang semua dikenal dengan konsep Dana Upaya
Kesehatan Masyarakat (DUKM) yang secara operasional dijabarkan dalam bentuk JPKM.
Karena seperti biasanya proyek-proyek USAID selalu membawa konsultan dari Amerika
yang secara tidak langsung mempengaruhi pemikiran yang pada waktu itu sangat populer di
Amerika. Selama pertengahan tahun 1970an dan pertengahan 1980an Askes Komersial di
Indonesia 67 H Thabrany memang banyak sekali publikasi-publikasi yang mengemukakan
keberhasilan model Health Maintenance Organization (HMO) di Amerika dalam
mengendalikan biaya kesehatan. Sebenarnya keberhasilan HMO di Amerika dalam
pengendalian biaya kesehatan relatif dibandingkan dengan model asuransi kesehatan
tradisional. Artinya, keberhasilan HMO di Amerika hanya dibandingkan dengan model
asuransi lain yang ada di Amerika, tidak dibandingkan dengan model asuransi yang ada di
negara-negara maju lainnya yang mempunyai kemampuan pengendalian biayajauh lebih
kuat dari HMO. N amun demikian, karena proyek AKEK dan berbagai proyek pembiayaan
kesehatan lainnya di Indonesia selama dekade tahun 1980an lebih banyak didominasi oleh
pengaruh Amerika, maka tidaklah mengherankan jika konsep sistem pembiayaan kesehatan
kita pada waktu itu (hingga saat ini) lebih banyak mengikuti pola Amerika yang boros dan
tidak egaliter. Sementara pengaruh donor-donor dari negara-negara lain pada waktu itu tidak
banyak. Hal ini tidak saja berlaku dalam model JPKM, akan tetapi juga mempengaruhi
sistem asuransi lainnya dan sistem lainnya seperti sistem pendidikan dan keuangan. Pada
prinsipnya JPKM merupakan program asuransi kesehatan komersial yang mengambil
bentuk managed care, khususnya bentuk HMO di Amerika. Dalam ayat 4 pasal 66 UU 23/92
yang sama disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan JPKM
diatur oleh Peraturan Pemerintah. N amun demikian, sampai saat ini PP dimaksud belum
pemah berhasil dikeluarkan. 4.1.1. Peraturan JPKM Penyelenggaraan JPKM sampai saat ini
masih menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan (permenkes) No. 527 dan 571 tahun
1993, padahal amanat UU 23/1992, pasa166 ayat 4 menghamskan pengaturan lebih lanjut
dari JPKM diatur oleh Peraturan Pemerintah. Sebenarnya usulan PP tentang JPKM sudah
diajukan oleh Depkes untuk disahkan sebagai peraturan JPKM yang isinya tidak banyak
berbeda dengan dua Perarturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 527 dan 571 tahun
1993. Namun demikian, sampai saat ini PP tersebut tidak pemah disetujui ditingkat
nasional/diluar Departemen kesehatan. Dalam penjelasannya, Dirjen Binkesmas pemah
menyampaikan kepada media masa bahwa karena ketiadaan PP padahal program JPKM
hendak digerakkan, maka Permenkes tersebut digunakan sebagai landasan peraturan.
Secara hukum, Permenkes kurang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi sektor lain,
apalagi dengan sistem peraturan perundangan baru di Indonesia, Permenkes tidak lagi
tercantum dalam hirarki perundangan. Hirarki perundangan secara berurutan adalah
UUD45, UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan terakhir Peraturan Daerah.
Jika dipelajari dengan seksama, tampak bahwa Permenkes 527 dan 571 mengandung
banyak pengulangan dan mengatur hal-hal yang tidak esensial, sehingga jika dilaksanakan
secara konsekuen, maka bapel JPKM akan sulit menjual produknya. Hal ini berbeda dengan
peraturan asuransi yang lebih luwes. Sebagai contoh pada pasal 7 Permenkes 527
mengatur paket dasar hams mempertimbangkan pola penyakit, pola pemanfaatan, pola
biaya rata-rata, pola jenis dan jumlah sarana kesehatan. Contoh lain tentang pembayaran
kapitasi (pasal 24) yang hams sesuai karakteristik peserta dan penyesuaian besarnya
pembayaran hams mendapat persetujuan Dirjen. Untuk memudahkan Askes Komersial di
Indonesia 68 H Thabrany para pembaca, dibawah ini disajikan rangkuman kedua peraturan
tersebut. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 527/93 dan nomor 571 /93 mengatur hal-hal
sebagai berikut: 1 Tujuan program JPKM adalah mewujudkan derajat kesehatan masyarakat
yang optimal melalui: 1. Pembudayaan prilaku hidup sehat 2. Penciptaan kemandirian
masyarakat dalam memilih dan membiayai pelayanan kesehatan yang diperlukan 3.
Penyelenggaraan PK paripurna dengan mengutamakan upaya peningkatan kesehatan dan
pencegahan penyakit 4. Pemberian jaminan kepada setiap peserta untuk mendapatkan PK
yang sesuai dengan kebutuhannya, bermutu, dan berkesinambungan 5. Penyelenggaraan
pemeliharaan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna Paket jaminan 1. Paket
jaminan mencakup pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, penyembuhan, dan
dilaksanakan secara paripurna (komprehensif), berkesinambungan, dan bermutu. Paket
tersebut hams disusun sesuai dengan kebutuhan peserta. 2. Paket terbagi atas paket dasar
dan paket tambahan. Paket dasar yang wajib diselenggarakan oleh sebuah bapel. Karena
bapel dapat menjual paket tambahan hanya setelah menjual paket dasar, maka paket dasar
ini pada hakikatnya sama dengan peraturan minimum benefit dalam peraturan asuransi
kesehatan di Amerika. 3. Paket pemeliharaan dasar adalah sebagai berikut: a. Rawat jalan
meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (pemulihan) sesuai kebutuhan medis.
Pelayanan ini hams mencakup imunisasi, keluraga berencana, pelayanan ibu dan anak
dengan catatan pelayanan persalinan hanya diberikan sampai anak kedua. b. Rawat inap
sesuai kebutuhan medis meliputi 5(1ima) hari rawat. c. Pemeriksaan penunjang meliputi
radio diagnostik dan atau ultrasonografi, laboratorium klinik. 4. Paket tambahan
dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bapel dengan peserta 5. Dalam keadaan gawat
darurat peserta dapat memperoleh pelayanan pada setiap PPK. 6. Peserta tidak perlu
membayar lagi di PPK apabila pelayanan yang diberikan sesuai dengan paket yang
dipilihnya ___ Landasan Hukum Penyelenggaraan JPKM. Dirjen Bina Peran Serta
Masyarakat, Depkes, 1996 Askes Komersial di Indonesia 69 H Thabrany Badan
Penyelenggara (bapel) 1. Badan penyelenggara hams berbentuk badan hukum pemerintah
atau swasta yang dapat berupa Perseroan Terbatas atau Koperasi. 2. Badan penyelenggara
hams mendapat ijin operasional dari Depkes. Syarat untuk mengajukan ijin adalah: a. Hasil
studi kelayakan dengan kesimpulan layak b. Memiliki rencana usaha yang meliputi:
organisasi, tenaga yang memenuhi kualifikasi yang diperlukan, jaringan PPK, dan
tatalaksana penyelenggaraan c. Memiliki rencana operasional setiap tahun yang mencakup
peserta, modal, dana cadangan, investasi, paket, pembiayaan, dan ketenagaan. d. Memiliki
modal dan dana cadangan 3. Penyelenggaraan JPKM hams terpisah dari program lain
secara organisasi, pengelolaan, tenaga, sarana dan dana 4. Bapel wajib menyelenggarakan
paket dasar 5. Bapel hams meminta persetujuan Dirjen tentang besarnya atau perubahan
besar beban biaya (premi) penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan 6. Bapel membuat
ketentuan tertulis mengenai informasi bagi peserta dan PPK, paket, dan tata cara
memperoleh pelayanan 7. Pembentukan kantor cabang jika peserta lebih dari 500 orang dan
kantor pembantu cabang jika peserta kurang dari 500 orang di suatu wilayah hams
mendapat persetujuan dari Dirjen (Kesmas). 8. Kantor cabang mempunyai fungsi yang sama
denga bapel 9. Kantor pembantu cabang berfungsi: mewakili kantor pusatlcabang,
pemasaran, pendaftaran peserta, mengelola keuangan, melaporkan kegiatan pengelolaan
keuangan ke kantor cabang/pusat, mendistribusikan kartu peserta, dan membantu
menangani keluhan peserta 10. Bapel hams: a. Memiliki modal paling sedikit sama dengan
anggaran operasional satu tahun pertama. b. Memiliki Dana cadangan sebanyak 25% dari
anggaran pelayanan kesehatan satu tahun yang disesuaikan tiap tahun. Dana cadangan ini
hams berbentuk Deposito atas nama Menteri Kesehatan c. Hams menyisihkan sebagian
sisa hasil usaha untuk cadangan teknis d. Menyediakan dana setiap bulan paling sedikit
sama dengan 3 (tiga) bulan anggaran pemeliharaan kesehatan, dalam bentuk tunai atau
saldo bank. e. Investasi dana hams mempertimbangkan kelangsungan penyelenggaraan
dan hanya dapat ditanam dalam bentuk: deposito, obligasi, tanah, atau tanah dan bangunan
f. Memberikan kemudahan kepada peserta dalam bentuk: memberikan kartu peserta,
menyediakan PPK, memberi informasi yang jelas kepada peserta g. Menampung dan
menyelesaikan segala keluhan peserta untuk memperoleh pelayanan 11. Badan
penyelenggara dapat mengiklankan produknya tetapi hams jujur dan bertanggung jawab
serta tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Pelaksanaan iklan hams terlebih
dahulu mendapat persetujuan dari Dirjen. Askes Komersial di Indonesia 70 H Thabrany 12.
Bapel hams melakukan pemantauan standar pelayanan, mutu pelayanan, dan
saranaJprasarana yang dimiliki PPK 13. Bapel hams membayar PPK dengan cara kapitasi
berdasarkan perhitungan yang hams dapat dikaji ulang. 14. Bapel dan PPK secara bersama
hams menyediakan dana cadangan untuk pelayanan peserta. Dana cadangan tersebut
dihimpun dengan menahan sebagian pembayaran kapitasi kepada PPK yang besarnya
antara 15-45% dari seluruh pembayaran bapel yang hams tercantum dalam kontrak. Dana
cadangan ini hams dimanfaatkan untuk kepentingan PPK, peserta, dan bapel dengan
terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Dirjen. 15. Bapel hams melakukan koordinasi
dengan bapellain dalam hal peserta memiliki jaminan ganda yang hams dinyatakan dalam
kontrak. 16. Bapel hams melakukan pencatatan pelaporan yang mencakup: laporan
bulanan, tahunan, evaluasi pelaksanaan tiap 6 (enam) bulan, rencana perluasan, dan
kegiatan lain yang diperlukan. Laporan tersebut hams disampaikan kepada Dirjen/pejabat
yang ditunjuk. 17. Badan yang tidak memenuhi peraturan diatas diancam denda Rp 500 juta
atau kurungan penjara paling lama 15 tahun sesuai dengan UU 23/92 pasal 80(2).
Kepesertaan 1. Setiap orang, secara perorangan atau kelompok, dapat menjadi peserta
program JPKM 2. Setiap orang yang menjadi peserta pada lebih dari satu bapel hams
melaporkan untuk koordinasi manfaat 3. Kepesertaan dapat dilakukan setiap saat. Untuk
peserta perorangan, beban biaya paket tidak boleh melebihi 110% paket terendah. 4.
Pembayaran beban biaya PK wajib dilakukan setiap bulan atau untuk jangka waktu tertentu
5. Kepesertaan setiap orang mulai berlaku saat kesepakatan ditanda-tangani 6. Peserta
berhak mengajukan keluhan dan memperoleh penyelesaian atas keluhan yang diajukan
Masalah utama dalam peraturan JPKM adalah bahwa program JPKM berusaha untuk
memenuhi kebutuhan (bukan permintaan) masyarakat dengan mengutamakan usaha
promotif dan preventif melalui sistem komersial. Padahal sistem komersial kurang perduli
dengan kebutuhan (need) akan tetapi lebih menekankan pada aspek permintaan (demand).
Sehingga jika suatu bapel dipaksakan hams menjual produk yang mengutamakan promotif
dan preventif, yang nota bene lebih merupakan barang publik, tentu saja akan sulit
mendapatkan pembeli. Dalam peraturan tersebut tampak tidak sesuainya tujuan program
dan rancang bangun program yang tercermin dalam kedua Permenkes tersebut. 4.1.2.
JPKM dan HMO Secara garis besar antara JPKM dan HMO terdapat banyak sekali
persamaan dan sedikit perbedaan. Secara umum persamaan antara JPKM dan HMO
adalah: Askes Komersial di Indonesia 71 H Thabrany 1. Kerniripan narna. Sarna-sarna
rnenggunakan kata pemeliharaan kesehatan (health maintenance) 2. Tidak diatur UU
asuransi. Keduanya sarna-sarna diatur oleh UU tersendiri. 3. Kepesertaan sukarela. Di
Indonesia tidak begitu jelas, disebut kepesertaan aktif, tetapi yang jelas bukan wajib
(compulsory/mandatory) 4. Sarna-sarna rnernberikan jarninan dalarn bentuk pelayanan
pada PPK tertentu. 5. Sistern terutup, Sarna-sarna rnenggunakan sistern tertutup, artinya
apabila peserta berobat di luar jaringan PPK yang dikontrak, bapellHMO tidak rnenanggung.
6. Pernbayaran kapitasi. Narnun pernbayaran kapitasi tidak lagi rnenjadi ciri HMO sekarang,
karena dalarn praktek tidak rnungkin HMO hanya rnernbayar secara kapitasi. 7. Pelayanan
kornprehensif. Sarna-sarna rnengklairn rnernberikan pelayanan kornprehensif 8. Keharusan
prograrn jaga rnutu. Meskipun dalarn praktek di Indonesia hal ini belum berjalan sesuai yang
diharapkan 9. Keharusan prograrn rnanajernen utilisasi. Juga di Indonesia belum berjalan
sebagairnana yang diharapkan 10. Keharusan penanganan keluhan. Juga di Indonesia
belum berjalan sebagaimana yang diharapkan Selain persarnaan diatas, terdapat beberapa
perbedaan penting, yaitu: 1. Perijinan dan pengawasan. Di Indonesia perijinan bapel
diberikan oleh Depkes. Di Amerika, Depkes hanya rnernberi rekornendasi, sedangkan
perijian dan pengawasan dilakukan oleh Departernen Asuransi yang lebih rnerniliki
kernarnpuan untuk rnengawasi usaha asuransi 2. Pengaturan. Di Amerika peraturan HMO
yang dikendalikan oleh pernerintah pusat (federal) hanyalah untuk HMO yang ingin
rnendapatkan kualifikasi pernerintah federal. Pada umumnya HMO diatur oleh peraturan
pernerintah negara bagian berdasarkan NAIC MHO Model Act (suatu kerangka peraturan
yang dibuat oleh Asosiasi Direktur Departernen Asuransi negara bagian). Di Indonesia
pertauran JPKM bersifat nasional. 3. Badan penyelenggara. Di Indonesa badan
penyelenggara digiring kepada bentuk for profit sernentara di Amerika badan not for profit
yang dirangsang untuk rnendirikan HMO dengan berbagai insentif. Oleh karenanya di
Arnerika narna badan penyelenggara disebut dengan kata Organization, karena serikat
pekerja, yayasan, atau universitas juga dapat rnendirikan HMO. 4. Persyaratan permodalan.
Di Amerika modal HMO hams dikaitkan dengan risiko/tanggung jawab HMO (risk base
capital). Di Indonesia, persyaratan permodalan HMO rnasih terlalu rendah sehingga
rnenirnbulkan potensi kesulitan solvabilitas. Secara lebih rinci, perbedaan dan persarnaan
JPKM dan HMO di Amerika dapat dilihat dari tabel berikut ini. Askes Komersial di Indonesia
72 H Thabrany Persamaan dan Perbedaan JPKM dan HMO di Amerika Item JPKM HMO
Dasar Respons terhadap uncertainty. Respons terhadap uncertainty. Transfer Transfer risiko
risiko Dasarhukum UU 23/92 (belum dilengkapi dengan Undang-undang HMO untuk
federally PP yang dibutuhkan) qualified HMO (1973 dan amanedemen Permenkes 527 dan
571/1993, selanjutnya) dan NAIC HMO Model 568/1996 Tujuan • Pembudayaan prilaku
hidup • Memastikan bahwa kebutuhan sehat pelayanan kesehatan peserta terpenuhi •
Kemandirian masyarakat dalam • Meningkatkan derajat kesehatan membiayai pelayanan •
Meningkatkan produktifitas kerja kesehatan • Pemberian pelayanan yang berhasil •
Meningkatkan derajat guna dan berdaya guna kesehatan • Pemberian pelayanan yang
berhasil guna dan berdaya guna Kepesertaan Sukarelalaktif Sukarela Kontrak • Unilateral •
Unilateral • Kondisional • Kondisional • Aleatory • Aleatory • Adhesi • adhesi Transfer risiko
Dengan membavar prerni Dengan membayar iuran/prerni Pooling risiko Pooling risiko
perorangan, Pooling risiko perorangan, kelompok kelompok homogen dan heterogen
homogen dan heterogen (community rating) (community & adjusted community rating)
Sharing risiko Sharing risiko antara yang sakit dan Sharing risiko antara yang sakit dan yang
yang sehat, provider dan payer. sehat, provider dan payer. Payer/HMO tanzzunz risiko
penuh Yang dapat menjadi Suatu yang berbadan hukum. Secara Perorangan, serikat
pekerja, organisasi, bapel eskplisit PT, BUMN, BUMD, dan LSM, Yayasan, Perusahaan
Koperasi Bapel yang didorong Berbagai bentuk. Misalnya Bapel nirlaba mendapat hibah
modal tetapi pemerintah pemberian JPSBK diberikan baik bapel for profit hanya diberikan
jaminan yang berbentuk yayasan maupun PT pinjaman Perijinan dan Departemen
Kesehatan Departemen asuransi dan (+ HCFA pengawasan keuangan untuk Federally
Qualified HMO) Concern terhadap Harus Harus solvency Pemasaran dan Fokus pada
kumpulan F okus pada kumpulan underwriting Ancaman bias selection Ada Ada Ancaman
moral hazard Ada Ada Kontrol terhadap Belum ada aturan khusus Open enrollement
adverse selection Kontrol terhadap moral Terutama kepada PPK. Melalui Terutama kepada
PPK (kinijuga melalui hazard peserta dalam bentuk paket terbatas peserta) Bentuk benefit
Melalui PPK secara tertutup, Melalui PPK secara tertutup, kecuali untuk kecuali untuk kasus
gawat darurat kasus gawat darurat Askes Komersial di Indonesia 73 H Thabrany Item JPKM
HMO Pelayanan Secara teori, belum pelaksanaan. Sudah dilaksanakan. Tidak ada tingkatan
komprehensif Permenkes mengatur paket dasar paket dasar komprehensif. tapi disebut
komprehensif Program promotif dan Harus ada Harus ada pencegahan Limitasi dan eksklusi
Dalam praktek sangat banyak Umumnya sedikit, kecuali beberapa pelavanan tertentu
Pembayaran PPK Secara teori hanya kapitasi. Dalam Dulu hanya kapitasi. Kini yang
terbanyak pelaksanaan sebagian besar tidak dengan FFS dengan diskon membavar kapitasi
Manajemen utilisasi Harus dilaksanakan. Dalam praktek Selalu ada. Penekanan melalui
provider belum berjalan karena PPK masih dengan juga melalui peserta jauh lebih kuat.
Berlum berkembang Ada prospective, concurrent, dan retrospective utilization revie.
Manajemen mutu Menjadi penting (dan suatu Menjadi penting untuk meyakinkan keharusan
menurut peraturan) penjualan dan menghindari moral hazard untuk meyakinkan penjualan
dan dariPPK menghindari moral hazard dari PPK Penanganan keluhan Diharuskan ada,
untuk menjamin Diharuskan ada, untuk menjamin bahwa bahwa pelayanan yang diberikan
pelayanan yang diberikan memenuhi memenuhi standar tertentu standar tertentu Upava
bisnis rutin Upaya bisnis rutin 4.1.3. JPKM sebagai asuransi Judul diatas mungkin
menggelitik sebagian orang dan juga dimasukkannya Bab 4 yang membahas JPKM di
dalam buku ini dapat dipertanyakan. Sampai saat ini masih banyak orang yang berpendapat
bahwa JPKM bukan asuransi. Alasannya adalah "asuransi memberi penggantian uang
sedangkan JPKM tidak memberikan penggantian uang". Topik ini sengaja disajikan disini
agar para pembaca dapat memahami benar berbagai pendapat yang ada di masyarakat.
Alasan yang dikemukakan diatas mungkin hanya benar secara peraturan perundang
undangan, karena dalam perakteknya perusahaan asuransi yang menjual asuransi
kesehatan tidak selalu memberi penggantian uang. Dalam UU No 2/92 definisi asuransi
memang berbeda dengan definisi JPKM. Dalam UU No 2/92 pada Bab I pasal 1 dijelaskan
defisini asuransi atau pertanggungan sebagai ''perjanjian antara dua pihak atau lebih,
dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima
premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu
peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan'", Dalam UU No 23/92 pasal 66
ayat 2 disebutkan "Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat merupakan cara
penyelenggaraan 2 __ Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Usaha
Perasuransian. Dirjen Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan RI. Jakarta 1993 Askes
Komersial di Indonesia 74 H Thabrany pemeliharaan kesehatan dan pembiayaannya,
dikelola secara terpadu untuk tujuan meningkatkan derajat kesehatan, wajib di/aksanakan
oleh setiap badan penyelenggara". Dalam Permenkes No 571/1993 dijelaskan bahwa JPKM
adalah suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna berdasarkan
asas usaha bersama dan kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang
terjamin serta pembiayaan yang di/aksanakan secara praupaya. Kemudian pada butir b
disebutkan Program JPKM adalah upaya pemeliharaan kesehatan untuk peserta suatu
badan penyelenggara yang pembiayaannya di/akukan secara praupaya dan dikelola
berdasarkan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat. i Jadi menurut definisi yang
digunakan oleh kedua UU tersebut, memang terdapat perbedaan. Undang-undang asuransi
memang menyebutkan kata 'penggantian', namun dalam prakteknya penggantian tidak
selalu dalam bentuk uang. Baik dalam asuransi kesehatan maupun asuransi kendaraan
bermotor, apabila terjadi peristiwa sakitlkerusakan kendaraan akibat kecelakaan, tidak
semua perusahaan asuransi memberikan penggantian dalam bentuk uang. Banyak
perusahaan asuransi yang mengganti biaya pengobatan dengan membayar langsung ke
rumah sakit yang ditunjuk. Banyak perusahaan asuransi yang menunjuk bengkel mobil
tertentu dimana tertanggung menerima beres perbaikan mobil yang rusak. Jadi soal
penggantian tidaklah hams berbentuk uang. Dalam dunia asuransi di Amerika hal ini
dilengkapi dengan pemyataan assignement of benefits yang ditanda tangani oleh pemegang
polis. Soal penggantian uang atau pemberian pelayanan (sebagai pengganti uang) hanyalah
suatu mekanisme pelaksanaan tanggung jawab badan penyelenggara atau asuradur dalam
memberikan benefit seperti yang telah dibahas dalam Bab I. Ciri manajemen utilisasi,
pembayaran kapitasi, pengendalian mutu, penanganan keluhan peserta dan "jurus-jurus"
lain yang ada di JPKM bukan merupakan ekslusi asuransi. Program-program tersebut
adalah bentuk upaya pengendalian biaya untuk mengurangi risiko biaya dan upaya
pemasaran, khususnya yang terkait dengan sistem pembayaran kapitasi kepada PPK.
Jurus-jurus JPKM adalah kiat manajemen yang hams dilakukan akibat pembayaran benefit
diberikan dalam bentuk pelayanan kepada PPK yang dikontrak dengan pembayaran
kapitasi. Seandainya perusahaan asuransi kesehatan tradisional melakukan kontrak kapitasi
juga, mereka akan melakukan hal itu meskipun tidak diatur oleh pemerintah. Menyatakan
bahwa "JPKM bukan asuransi" mempunyai konsekuensi standar ganda pada saat kita
berkomunikasi di dunia intemasional. Dari segi substansi, penulis berpendapat bahwa
perdebatan tentang hal ini tidak perlu dipermasalahkan, jika hanya untuk memuaskan salah
satu pendapat. Hal ini perlu dituntaskan karena hal ini membawa konsekuensi sosial,
ekonomi dan kebijakan yang dapat mengganggu tujuan Nasional dalam bidang kesehatan.
Perbedaan persepsi ini mempunyai dampak yang sangat serius dalam pengembangan
JPKM itu sendiri di kemudian hari. Beberapa pihak menganggap hal ini perlu ditegaskan
agar rujukan pelaksanaan program asuransi kesehatan atau JPKM menjadi jelas. Ada yang
berpendapat bahwa jika JPKM itu suatu asuransi, maka program JPKM hams tunduk pada
UU No. 2/92 tentang asuransi. Tetapi, jika JPKM bukan asuransi, maka UU No. 2/92 tidak
bisa digunakan untuk pengaturan atau rujukan program JPKM. Lalu bagaimana dengan UU
No. 3/92? Apakah program JPK Askes Komersial di Indonesia 75 H Thabrany Jamsostek itu
suatu JPKM atau asuransi kesehatan atau bukan? Kalau JPK Jamsostek adalah JPKM atau
asuransi, maka kenapa harus tunduk pada UU sendiri? Soal peraturan mana yang
mengatur; apakah itu UU No. 2/92, No. 3/92, atau UU No. 23/92, semuanya sarna saja bagi
penduduk atau peserta yang akan mendapatkan jaminan kesehatan. Semuanya adalah
undang-undang Negara RI. Semuanya disetujui oleh DPR dan diundangkan oleh Presiden.
Jadi semuanya sama-sama ikut mengatur agar penduduk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan. Kemanapun suatu program mengacu, tidak jadi masalah bagi
masyarakat. Semuanya dapat ditempatkan dan diatur bersama, sehingga bisa saling
memperkuat kepentingan Nasional di dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan,
produktifitas dan kualitas hidup rakyat. Secara objektif kita hams membandingkan ciri-ciri
kontrak asuransi dan kontrak JPKM. Apabila keduanya memiliki kesamaan, maka JPKM
adalah asuransi. Pada Bab I kita sudah membahas empat ciri utama kontrak asuransi yaitu
kondisional, unilateral, aleotary, dan adhesi. Keempat ciri kontrak tersebut juga terdapat
dalam JPKM dan JPK Jamsostek. Oleh karenanya, baik JPKM maupun JPK Jamsostek
merupakan juga asuransi yang tidak diselenggarakan oleh perusahaan asuransi. Literatur
international sangat jelas mengenai klasifikasi ini. Jika pada bagian terdahulu kita sudah
membahas persamaan dan perbedaan JPKM dengan HMO, yang sangat mirip, maka kita
bisa belajar juga dari yang terjadi di Amerika. Di Amerika, HMO memang juga bukan
perusahaan asuransi tetapi yang memberikan ijin dan yang mengawasi solvensi dan
berbagai masalah hubungan peserta HMO diatur oleh Departemen Asuransi. Karena
meskipun HMO bukan perusahaan asuransi, produk yang dijualnya adalah produk asuransi.
Untuk membuat pengoperasian HMO relatif standar di tingkat federal, maka the National
Association of Insurance Commisioner (NAIC) membuat apa yang disebut NAIC HMO
Model, yang merupakan dasar untuk pengaturan HMO di masing-masing negara bagian.
Dari kepentingan publik dan kesehatan masyarakat, apakah JPKM suatu asuransi
kesehatan atau bukan, menurut hemat penulis, tidak ada bedanya. Peserta JPKM atau
asuransi kesehatan hams dapat terlindungi dari kesulitan akses (karena biaya atau
ketiadaan fasilitas) apabila mereka terkena musibah suatu penyakit secara adil, terjangkau,
dan efisien secara nasional. Inilah yang menjadi tujuan kita bersama. Kita tidak ingin ada
orang sakit yang tidak bisa berobat karena tidak memiliki uang. Kita tidak ingin orang yang
tidak perlu berobat, lalu diobati hanya karena petugas kesehatan atau pemilik usaha di
bidang kesehatan memerlukan uang. Kita tidak ingin ada pelayanan untuk orang miskin dan
ada pelayanan untuk orang kaya. Yang kita inginkan adalah adanya pelayanan kesehatan
dan pemeliharaan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan medis seseorang, terlepas dari
status ekonomi orang tersebut (equity egaliter). Apakah mekanisme pemberian
pemeliharaan kesehatan itu diberikan melalui asuransi dengan penggantian biaya,
ditanggung pemerintah, ditanggung asuransi dengan jaminan pelayanan, atau ditanggung
JPKM dengan pelayanan di tempat tertentu; buat masyarakat tidak jadi masalah. Yang jadi
masalah bagi masyarakat adalah jika mereka tidak bisa mendapatkan jaminan yang
memadai atau mendapat jaminan yang memadai tetapi biayanya (premi, iuran, kontribusi,
dll) mahal. Askes Komersial di Indonesia 76 H Thabrany Konsekuensi serius dapat terjadi
jika kita bersikeras bahwa JPKM bukan asuransi dan karena JPKM tidak dikelola menurut
prinsip-prinsip asuransi. Hal ini akan membawa akibat sangat berat bagi peserta JPKM
sendiri. Peserta JPKM akan mudah sekali menjadi korban karena adanya kontrak adhesi
dimana peserta berada pada posisi lemah. Karena bisnis JPKM adalah bisnis risiko, maka
persyaratan permodalan dan manajemen hams diatur sangat ketat agar peserta tidak
dirugikan. Kasus bapel JPKM nIBI (International Health Benefit Indonesia) yang kini bangkrut
sementara dana deposito (modal) yang disetor di Depkes hanya sekitar 2,5% dari
kewajibannya yang tidak dibayarkan ke RS (menurut sebuah sumber), merupakan pelajaran
yang sangat berharga. Jika saja JPKM dikelola menurut prinsip-prinsip asuransi yang baik,
hal itu kecil kemungkinannya terjadi. Akibatnya banyak RS di Jakarta yang kehilangan
kepercayaan terhadap JPKM. Inilah salah satu contoh, akibat serius dari tidak tepatnya kita
menempatkan JPKM. Apakah Depkes tidak boleh mengatur asuransi kesehatan? Menurut
penulis, tidak ada alasan untuk itu. Di Amerika, Departemen Kesehatan dan Pelayanan
Sosial bahkan menyelenggarakan sendiri asuransi kesehatan sosial (Medicare), yang di
dalam administrasinya dikelola oleh Health Care Financing Administration (HIAA, 1996;
HIAA, 1995; Kongsvedt, 1 996)ii. Undang-undang asuransi sosial kesehatan di Jerman
diatur dan diawasi oleh Departemen Kesehatan Federaliii. Di Taiwan, Biro Asuransi
Kesehatan Nasional merupakan lembaga di bawah Departemen Kesehataniv. Tidak ada
alasan bahwa Departemen Kesehatan tidak boleh mengatur asuransi kesehatan, sehingga
JPKM hams bukan asuransi. 4.1.4. Perkembangan dan rencana ke depan Sampai dengan
saat ini terdapat 21 bapel yang telah mendapatkan ijin operasional JPKM dari Depkes.
Masih puluhan permohonan yang sedang dalam proses perolehan ijin. Pada umumnya
bapel yang telah mendapat ijin hanya bermodal sangat kecil untuk ukuran asuransi
kesehatan. Ada bapel yang hanya bermodalkan Rp 30 juta rupiah yang telah mendapatkan
ijin operasional dari Depkes. Bapel yang bermodal relatifbesar hanya memiliki modal Rp 500
juta saja. Hal ini tentu saja mempengaruhi kinerja penjualan dan pelayanan yang diberikan
oleh para bapel tersebut. Jumlah tertanggung sebuah bapel di tahun 1999 ada yang hanya
mencapai 441 jiwa sedangkan jumlah peserta bapel terbesar (di luar peserta perusahaan
asuransi) hanya berkisar pada 28.878 orang saja (yang pada akhir tahun 2000 telah
bangkrut karena kesulitan solvabilitas)", Jumlah tertanggung yang mampu diraih oleh bapel
JPKM tersebut adalah sebagai berikut: 3 Thabrany, H. Pujianto, Mundiharno, Djazuli.
Laporan Subsidi Silang Bapel dan Pemda. PT MJM-Dirat JPKM, Jakarta 2001 Askes
Komersial di Indonesia 77 H Thabrany Tabel4.1 Perkembangan jumlah tertanggung yang
diperoleh oleh bapel JPKM, 1998-1999 1998 1999 2000 Jumlah bapel 14 17 21 Jumlah
tertanazuna 108.000 108.000 286.734* Sumber: Profil Kesehatan 2000, Laporan Subsidi
Silang JPKM, Dirat JPKM. * Angka perkiraan dan termasuk peserta bapel IHBI dan BCS
yang telah bangkrut, yang berjumlah sekitar 30.000 tertanggung .. Produk yang dijual bapel
JPKM maupun oleh perusahaan asuransi sangat bervariasi dari yang hanya menanggung
perawatan di puskesmas dengan pembayaran kapitasi dan penggantian biaya rawat inap di
RS maksimum Rp 250.000 sampai yang menanggung perawatan di luar negeri. Paket
dengan jaminan sampai perawatan di luar negeri dijual oleh PT Askes Indonesia, yang akan
dibahas tersendiri di bagian belakang bab ini. Premi jual bervariasi dari Rp 1.000 sampai
yang berharga diatas Rp 100.000 per orang per bulan. Salah satu contoh paket dan
preminya dicantumkan dalam Bab I tentang ilustrasi produk asuransi kesehatan komersial
dan sosial. Penyebab lambatnya pertumbuhan bapel dan peserta JPKM antara lain adalah:
1. Konsep JPKM dinilai terlalu ideal padahal konsep tersebut bertumpu pada mekanisme
asuransi kesehatan komersial yang sehamsnya merespons permintaan. Akibatnya tidak
banyak investor berpengalaman yang berminat menanamkan modalnya dalam bidang ini. 2.
Peraturan bapel dan PPK yang tidak kondusif untuk bisnis jaminan dan terlalu birokratis.
Dalam prakteknya Depkes tidak mampu memantau dan menjamin peraturan yang dibuatnya
dipatuhi oleh badan penyelenggara. 3. Tersedia pilihan menjual asuransi kesehatan di luar
JPKM yaitu yang berdasarkan UU Asuransi. Perusahaan asuransi dapat menjual produk
asuransi kesehatan tradisional, yang lebih mudah dan menarik, maupun produk yang mirip
JPKM tanpa hams terikat pada peraturan JPKM. 4. Biaya kesehatan yang mahal belum
menjadi masalah utama pembiayaan kesehatan kita, bahkan justeru sebaliknya. Program
JPKM yang menjanjikan pengendalian biaya menjadi tidak re1evan. Hal ini sangat berbeda
dengan di Amerika dimana hampir semua orang sangat khawatir akan mahalnya biaya
kesehatan, sehingga berbagai upaya pengendalian biaya melalui managed care menjadi
pilihan yang menarik. 5. Contoh-contoh penyelenggaraan JPKM yang diselenggarakan
Depkes memberikan kesan bahwa JPKM adalah produk inferior. Percontohan JPKM di
Klaten dan di berbagai proyek HP IV menggunakan sarana puskesmas sebagai PPK dan
dengan premi yang hanya berkisar pada Rp 1.000 - Rp 2.000 per bulan. Hal ini sama sekali
tidak bisa meyakinkan pembeli bahwa JPKM mempunyai jurus jaga mutu atau meyakinkan
bahwa mutu pelayanan yang diberikan patut untuk dibeli. 6. Masih murahnya pelayanan
kesehatan yang dapat diperoleh di puskesmas dan rumah sakit pemerintah menyebabkan
masyarakat tidak merasakan sakit sebagai ancaman keuangan mereka di kemudian hari. 7.
Masih luasnya sikap risk taker di masyarakat dimana kesakitan dinilai sebagai suatu
fenomena alamiah yang harus diterima sebagai takdir. Askes Komersial di Indonesia 78 H
Thabrany 8. Masih kuatnya sifat gotong royong tradisional masyarakat dimana apabila salah
seorang keluarga atau kerabat sakit, masyarakat yang lain ikut membantu meringankan
beban biaya si sakit. 9. Belum memadainya sumber daya manusia yang mampu mengelola
asuransi kesehatan, apalagi JPKM yang manajemennya lebih kompleks dari pengelolaan
asuransi kesehatan tradisional 10. Belum baiknya peraturan dan penegakan hukum dalam
praktek asuransi kesehatan termasuk JPKM, sehingga kasus-kasus penyimpangan
penyelenggaraan asuransi kesehatan dan asuransi lainnya menjadi trauma masyarakat
yang mendorong mereka tidak berasuransi. Penjualan produk JPKM yang dijual perusahaan
asuransi lebih berkembang ketimbang yang dijual oleh bapel-bapel JPKM yang mendapat
ijin operasional dari Depkes. Produk JPKM antara lain juga di jual oleh perusahaan asuransi
sepert PT Askes, PT Tugu Mandiri, dan PT Allianz. Perkembangan produk JPKM yang dijual
oleh perusahaan asuransi jauh lebih banyak dari yang dijual oleh Bapel JPKM. Jumlah
tertanggung atau anggota yang mampu diraih oleh perusahaan asuransi jauh lebih banyak
dari yang mampu dijual oleh bapel JPKM. Jumlah peserta yang diraih PT Askes tahun 1999
sudah mencapai lebih dari 650 ribu peserta dari 2.239 perusahaan dan pada tahun 2001 ini
diperkirakan mencapai satu juta jiwa (Lihat Tabel 4.1). Perusahaan asuransi Tugu Mandiri
dan Allianz masing-masing telah mampu memperoleh lebih dari 50.000 peserta managed
care yang secara garis besar sarna dengan produk JPKM. Hal ini antara lain disebabkan
karena kepercayaan pembeli (perusahaan) jauh lebih tinggi kepada perusahaan asuransi
daripada kepada bapel JPKM. Kedua, pemilikan modal bapel JPKM pada umumnya sangat
lemah sehingga bapel tersebut tidak mampu merekrut tenaga profesional yang memadai
jumlah dan kualitasnya. Ketiga produk yang dijual bapel JPKM kurang mampu bersaing
(cakupan dan harganya) dengan produk yang dijual oleh perusahaan asuransi. Gambar 4.1.
Perkembangan penjualan produk HMO/JPKM PT Askes Indonesia, 1995-1999 700 600 500
400 300 200 100 o 1995 1996 1997 1998 1999 Sumber: Laporan Manajemen PT Askes
Indonesia, 1999 Askes Komersial di Indonesia 79 H Thabrany Perkembangan jumlah bapel
dan jumlah penduduk yang dijamin melalui bapel JPKM yang tidak memuaskan, kemudian
mendorong Depkes memperluas program ini. Pada waktu menjadi Menkes Prof. Farid
Moeloek berhasil meyakinkan Presiden Habibie bahwa kesehatan dan pendidikan
merupakan kunci keberhasilan Indonesia di dalam bersaing di dunia global. Untuk itu
dicanangkan Indonesia Sehat 2010 yang dimaksudkan untuk menjadikan setiap langkah
pembangunan berwawasan kesehatan. Dalam Indonesia Sehat 2010 ini terdapat empat pilar
utama yaitu: paradigma sehat, profesionalise, desentralisasi, dan JPKM. Masuknya JPKM
sebagai salah satu pilar Indonesia Sehat 2010 mendorong berbagai upaya untuk
memperluas JPKM. Dibentuklah Direktorat Khusus JPKM yang diharapkan dapat
memperkuat perkembangan JPKM. Sebelum itu, JPKM hanya diurus di bawah koordinasi
Sub Direktorat BIUK (Bina Institusi Upaya Kesehatan) yang tidak khusus menangani JPKM.
Untuk mendorong meluasnya cakupan bapel JPKM, maka dalam rangka program Jaring
Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) dikembangkan stimulasi JPKM dengan
pendirian pra bapel di setiap kotalkabupaten di akhir tahun 1998. Setiap pra bapel diberikan
dana sebesar Rp 10.000 per keluarga miskin untuk menjadikan keluarga tersebut anggota
JPKM. Pra bapel diberikan dana 8% (Rp 800 per keluarga) untuk biaya manajemen seperti
penerbitan kartu dan pemantauan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Sisa dana yang Rp
9.200 dibayarkan kepada puskesmas untuk digunakan khususnya untuk upaya promotif dan
preventif. Tercatat 354 pra bapel (termasuk beberapa bapel berijin) mendapatkan dana
stimulan tersebut. Direncanakan dana tersebut akan diberikan selama dua tahun dan
selama masa tersebut diharapkan para bapel dapat berkembang menjadi bapel penuh dan
mampu menjual produk JPKM kepada keluarga yang tidak miskin. Besamya dana yang
dikucurkan pemerintah seluruhnya berjumlah Rp 180 milyar. Program ini tidak mendapatkan
dana pada tahun kedua seperti yang direncanakan semula. Sampai saat ini pada umumnya
pra bapel tersebut belum atau tidak bisa berkembang menjadi bapel penuh. Selain alasan
dana tahun kedua yang tidak dikucurkan, hampir semua bapel yang dikembangkan tidak
memiliki modal sendiri yang memadai. Pada umumnya pra bapel tersebut juga tidak memiliki
pengalaman dalam berbisnis jaminan kesehatan sehingga tidak berkembang seperti yang
diharapkan. Menyadari bahwa JPKM secara sukarela tidak bisa berkembang seperti yang
diharapkan, maka Depkes berkeinginan menjadikan kepesertaan JPKM wajib. Sebenamya
bisa dihasilkan PP, akan tetapi PP tidak bisa bertentangan dengan UU Kesehatan yang
tidak menyebutkan keanggotaan JPKM bersifat wajib. Jadi jika JPKM mau diwajibkan, maka
tidak ada pilihan lain kecuali hams membuat suatu UU yang mewajibkan. Maka sejak
Desember 1998 dirancanglah RUU JPKM. Namun demikian sampai Oktober 2001 , draft
tersebut belum dibahas di DPR. 4.1.5. Masalah yang dihadapi Banyak pihak tidak melihat
bahwa JPKM berhasil merealisir model-model yang diharapkan. Penyebab utamanya adalah
terlalu idealnya program disusun yang tidak sesuai dengan keadaan pasar di Indonesia.
Konsep HMO yang terdengar rasional seperti menjamin Askes Komersial di Indonesia 80 H
Thabrany paket komprehensif, bermutu, dan berkesinambungan dengan biaya terkendali
tidak sesuai dengan keadaan pasar di Indonesia. Keinginan JPKM mampu mengendalikan
biaya dengan pembayaran kapitasi tidak ditunjang oleh pasar pelayanan yang 85% masih
didominasi pembayar per orangan dengan tingkat harga yang masih sangat rendah.
Pemberi pelayanan tidak suka dan tidak siap menerima pembayaran kapitasi, karena pasar
dari pasien perorangan masih sangat kuat. Tingkat persaingan antara PPKpun, kecuali di
kota besar seperti Jakarta, masih sangat rendah. Biaya kesehatan di Indonesia juga masih
sangat rendah sehingga tidak mendorong berbagai pihak memikirkan pengendalian biaya.
Bahkan masalah utama pembiayaan kesehatan di Indnesia adalah rendahnya pengeluaran
pemerintah dan masyarakat. Hal ini sangat berbeda dengan masalah pembiayaan
kesehatan di Amerika yang sudah memprihatinkan semua pihak. Dengan demikian, upaya
menerapkan konsep-konsep HMO di Indonesia tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan.
Jaminan komprehensif yang dijagokan pada akhirnya hanya sampai slogan belaka karena
kemampuan pembeli pada umumnya belum sanggup untuk menjamin pelayanan
komprehensif. Perusahaan asuransi besarpun tidak semuanya menjamin paket
komprehensif seperti yang diselenggarakan HMO di AS atau asuransi kesehatan lainnya di
dunia. Jaminan pelayanan yang bermutu sangat kontradiktif dengan percontohan JPKM dan
program JPKM JPSBK yang menggunakan puskesmas sebagai PPK. Meskipun pasien yang
berkunjung ke puskesmas di Jakarta setiap harinya memang banyak, pada umumnya
golongan menengah keatas, yang mampu tidak ke puskesmas. Mereka yang mampu,
bahkan yang kurang mampu sekalipun, lebih memilih ke dokter praktek sore untuk
mendapatkan pelayanan yang dipercaya lebih bermutu. Akibatnya timbul stigma bahwa
program JPKM adalah program untuk orang miskin. Dengan melekatnya citra puskesmas
yang bagi masyarakat menengah keatas dinilai tidak bermutu, maka kepercayaan terhadap
JPKM menjadi tererosi. Bercampur-baurnya konsep membantu yang miskin, menggerakan
pembiayaan oleh masyarakat model dana sehat, harapan efisiensi dari usaha pencari laba,
menjual premi sesuai kemampuan peserta, dan berbagai keinginan ideal lainnya bercampur
baur dalam konsep JPKM. Akibatnya program ini tidak bisa bergerak karena terlalu banyak
arah/ tujuan yang hendak dicapai. Terjadilah gerakan yang saling berlawanan sehingga
program tidak bergerak. Sebagai contoh, JPKM diharapkan sebagai program memandirikan
masyarakat dalam membiayai kesehatan, tetapi banyak pra bapel bahkan beberapa bapel
menempatkan target sasaran program JPKM justeru masyarakat ekonomi lemah. Program
JPKM ingin memberikan pelayanan bermutu dan dengan biaya terkendali, akan tetapi pra
bapel dan beberapa bapel menjual produknya dengan premi sesuai kesepakatan atau atas
dasar perhitungan tarif puskesmas. Jelas hal ini bertentangan dengan konsep komersial
yang menjadi bisnis utama badan usaha yang seharusnya menjawab permintaan.
Persyaratan bapel dan kewajiban bapel yang digariskan oleh Permenkes 527 dan 571 tidak
ditunjang oleh kemampuan pemerintah memantau, membina, dan mengawasi
penyelenggaraan sesuai dengan peraturan yang telah dibuat. Lemahnya kemampuan
keuangan dan manajemen para bapel berijin juga membuat pemerintah setengah-setengah
dalam mengendalikannya. Jika dikendalikan terlalu ketat, sesuai peraturan yang ada, bisa
jadi semua bapel akan mundur. Jika peraturan tidak ditegakkan maka akan menjadi
preseden yang tidak baik bagi perkembangan JPKM selanjutnya. Askes Komersial di
Indonesia 81 H Thabrany Singkatnya, JPKM tidak berkembang seperti yang diharapkan
karena terlalu banyak yang hendak dicapai oleh program ini pada situasi yang belum
memungkinkan untuk itu. If we want to get everything then we will get nothing. Agar JPKM
yang sudah menjadi salah satu pilar Indonesia Sehat 2010 dapat berkembang, perlu
perhatian serius dari pemerintah. Berbagai peraturan JPKM perlu ditinjau kembali (apabila
tujuan yang hendak dicapai tidak berubah) untuk lebih menyesuaikan JPKM dengan kondisi
lingkungan yang memungkinkannya berkembang. 4.2. Asuransi Kesehatan Tradisional
Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab I pasal 1, yang dimaksud asuransi kesehatan
tradisional adalah sistem asuransi yang pada umumnya memberikan penggantian dalam
bentuk uang tunai atau penggantian biaya berobat. Bentuk yang paling tradisional adalah
dimana asuradur tidak melakukan kontrak dengan PPK. Dalam prakteknya, bentuk ini
tidaklah banyak, baik di Indonesia maupun di Amerika. Di Indonesia banyak perusahaan
asuransi yang melakukan kontrak dengan PPK, khususnya rumah sakit, untuk memberikan
pelayanan kepada pemegang polis dan tertanggung kemudian RS tersebut melakukan
penagihan kepada asuradur. Pembayaran kepada RS biasanya dilakukan secara fee for
services (FFS). Dalam konteks seperti ini, tidak ada perbedaan berarti antara asuradur
tradisional dengan bapel JPKM, karena kebanyakan bapel JPKM juga membayar RS
menurut pelayanan yang diberikan (FFS). Hams disadari bahwa cara pembayaran tersebut
sangat tergantung pada kondisi pasar setempat dan tingkat persaingan asuransi. Dengan
demikian, membagi produk asuransi berdasarkan bentuk JPKM dan asuransi kesehatan
tradisional sangat sulit dilakukan. Faktanya perusahaan asuransi juga menjual produk yang
mirip dengan JPKM atau produk hibrid seperti PPO (preferred provider organization) di
Amerika. Untuk lebih memudahkan penyajian, apa yang akan dibahas di dalam bab ini
adalah produk-produk asuransi yang dijual oleh Perusahaan Asuransi yang beroperasi atas
dasar UU Asuransi No. 2/1992. Sejarah penjualan asuransi kesehatan tradisional
sebenamya telah berlangsung lama. Pada awal tahun 1970an perusahaan asuransi Nasuha
telah menjual produk asuransi kesehatan. Beberapa produk asuransi kesehatan penyakit
kanker telah juga dijual pada tahun 70an. Namun pada umumnya penjualan produk asuransi
kesehatan pada saat itu pada umumnya berbentuk produk tumpangan (rider) dan hanya
dijual oleh beberapa perusahaan asuransi saja. Produk asuransi kesehatan belum
mendapat perhatian masyarakat, peraturan belum jelas dan pasamya juga masih sangat
terbatas. Baru setelah UU No 2/92 mencantumkan bahwa perusahaan asuransi jiwa boleh
menjual produk asuransi kesehatan dan UU Jamsostek dikeluarkan seminggu kemudian,
maka penjualan asuransi kesehatan menjadi ramai. Askes Komersial di Indonesia 82 H
Thabrany 4.2.1. Landasan Hukum Kata kesehatan masuk dalarn UU No 2/92 pada dua
bagian yaitu pada bagian obyek asuransi dan pada pasal 1. Dalam pasal 4 disebutkan
"Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha di bidang asuransi jiwa,
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan diri ... ".4 Pada awalnya pasal ini menimbulkan
kontroversi dan protes di kalangan perusahaan asuransi kerugian. Dalarn UU Asuransi,
usaha asuransi dibagi menjadi dua bagian besar yaitu: Asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
Selain kedua bentuk usaha asuransi tersebut, terdapat usaha re-asuransi dan penunjang
asuransi seperti aktuaria, agen, dan penilai risiko yang diperkirakan menjadi beban asuradur
(underwriter). Melihat sifat risikonya, asuransi kesehatan merupakan asuransi kerugian
karena besarnya kehilangan dapat diukur dengan mudah, yaitu biaya pengobatan atau
perawatan akibat kehilangan kesehatan. Sementara pada asuransi jiwa, besarnya risiko
tidak bisa diukur akan tetapi bisa dikuantifikasi. Oleh karenanya sifat alarniah jenis asuransi
jiwa berbeda dengan asuransi kesehatan. Narnun, jika dilihat dari obyeknya sarna-sarna
manusia, usaha asuransi jiwa dan kesehatan sangat erat hubungannya. Itulah sebabnya
dalarn UU tersebut hanya disebutkan bahwa usaha asuransi jiwa dapat menjual asuransi
kesehatan sementara penegasan itu tidak perlu dilakukan karena asuransi kesehatan
merupakan asuransi kerugian. Jadi perusahaan asuransi kerugian secara otomatis boleh
menjual asuransi kesehatan. Banyak orang berpendapat bahwa adanya UU Asuransi, UU
Jamsostek dan UU Kesehatan menimbulkan konflik karena semuanya mengatur asuransi
kesehatan. Hal ini sebenamya tidak tepat. Undang-undang asuransi tidak mengatur asuransi
kesehatan. UU asuransi mengatur berbagai persyaratan modal, operasional, dan pelaporan
perusahaan asuransi, reasuransi, dan penunjang asuransi. Undang-undang asuransi sarna
sekali tidak mengatur kontrak spesifik asuransi kesehatan seperti halnya berbagai UU di
Amerika yang misalnya mengatur paket minimum, pre-existing condition, dan portabilitas.
Undang-undang dan peraturan lain yang merincinya hanya mengatur bisnis asuransi, tanpa
mengatur produk masing-masing asuransi. Sementara itu UU Kesehatan juga tidak
mengatur asuransi kesehatan meskipun dalarn pasal 66 disebutkan bahwa pemerintah
mendorong pengembangan JPKM, yang merupakan salah satu produk asuransi kesehatan.
Namun demikian, dalarn pengaturan JPKM selanjutnya yang diatur dengan Permenkes,
pada hakikatnya Permenkes tersebut memang mengatur bisnis asuransi kesehatan yang
dijual oleh bukan perusahaan asuransi (yaitu oleh bapel JPKM). Memang di Amerika, produk
yang sarna dengan JPKM (HMO) umumnya diatur oleh Departemen Asuransi karena
meskipun produk HMO sarna sekali tidak menggunakan narna asuransi, pada hakikatnya
produk yang dijual adalah produk asuransi kesehatan. 4.2.2. Produk asuransi kesehatan
traditional dan manfaat pelayanan Produk asuransi kesehatan tradisional dapat dibagi
menjadi dua bagian besar yaitu produk asuransi kumpulan/grup dan produk perorangan.
Produk asuransi kumpulan dapat dibedakan menjadi dua bagian besar yaitu: 4 __ Himpunan
Peraturan Perundang-undangan Bidang Usaha Asuransi. Dirjen Lembaga Keuangan RI,
1993. Askes Komersial di Indonesia 83 H Thabrany 1. Produk standar yang dibuat
perusahaan dimana pembeli tinggal memilih produk produk yang telah dibuat. Produk ini
sama dengan produk asuransi kesehatan perorangan dimana pembeli hanya bisa memilih
dari produk yang telah ada. Untuk produk kumpulan, produk standar ini dijual ke kumpulan
(umumnya masih ke perusahaan) yang relatif kecil, 2. Produk rancangan khusus (taylor
made) yang dibuat atas dasar permintaan pembeli yang menginginkan pelayanan tertentu
dijamin. Misalnya, ada perusahaan yang meminta jaminan rawat inap sampai 90 hari tanpa
memperhitungkan jumlah hari rawat di ICU. Ada perusahaan yang menginginkan
transplantasi ginjal dan sumsum ditanggung, Bahkan ada perusahaan yang menginginkan
tidak ada batasan. Mengingat sifatnya yang komersial, produk asuransi kesehatan dapat
sangat beragam yang mencerminkan kombinasi dari jaminan yang diberikan, cara
pembayaran manfaatlbenefit, besarnya biayalbeban sendiri, dan jaringan PPK yang boleh
digunakan, Jika dihitung kombinasi dari berbagai aspek tersebut diatas, maka secara teoritis
dapat tersusun lebih dari satu juta produk asuransi kesehatan. Hal tersebut tergantung dari
berbagai kombinasi, seperti : 1. Cakupan pelayanan yang ditanggung yang dapat bervariasi
dari pelayanan promotif preventif sampai pelayanan jangka panjang (long term care) (lihat
gambar 4.2). 2. Besamya biaya sendiri yang dapat berupa biaya pertama (deductible), iur
biaya (co payment/coinsurance), batas pertanggungan maksium (limit) per perawatan, per
penyakit, atau total manfaat setahun. 3. Cara pembayaran manfaatlbenefit yang dapat
berupa uang tunai tanpa terkait dengan pelayanan yang diberikan, penggantian biaya
dengan atau tanpa batas maksium per pelayanan atau per perawatan setelah tertanggung
membayar dulu di muka, pembayaran langsung ke PPK, ataupun kontrak pembayaran
khusus seperti kapitasi. 4. Pilihan PPK seperti dokter praktek, dokter spesialis, rumah sakit,
kelas perawatan, PPK tertentu yang telah dikontrak atau bebas memilih dimana saja,
tanggungan pelayanan kesehatan di dalam dan di luar negeri. 5. Pelayanan tambahan lain
yang digabungkan yang dapat berupa santunan kecelakaan diri, sakit pada waktu bepergian
ke luar negeri, santunan kematian, ongkos ambulan, biaya repatriasi/evakuasi, santunan
cacat tetap, dan pengembalian premi Askes Komersial di Indonesia 84 H Thabrany
Gambar4.2 Potensi Cakupan Pelayanan Dalam Paket Pertanggungan Asuransi Kesehatan
Promotif Sehat Mati 11/ ,,::)! Klinis .:-.:"" :"'":..;..:..;..:..:...:..:...:..:...:.;...: •.. :-...,. . Ganggu
kegiatan ::::::::::.:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::: :Ar. : :.: : d produlrtif:yg:hilang::::::: ............
i/Gagill: : : : : : : : : : : : : : : : : : : Pen: . embuhan' iak :seiii· . Utiiaicacat WaktulUmur Pada
umumnya paket jaminan yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi adalah sebagai berikut:
1. Rawat Inap di Rumah Sakit a. Biaya rawat inap • Umumnya masa rawat inap yang dijamin
bervariasi dari maksimum 60 hari sampai 365 hari setahun • Umumnya untuk setiap
perawatan di rumah sakit asuradur memberikan santunan berupa uang sejumlah tertentu,
misalnya Rp 100.000 Rp 500.000 per hari. Tertanggung dapat menggunakan dana tersebut
untuk membiayai perawatan dan atau keperluan lain misalnya transportasi, biaya keluarga di
rumah, dan lain-lain. b. Penggantian biaya ruang perawatan dan makanan (room & board) •
Mencakup biaya ruang, makanan, dan pelayanan asuhan keperawatan rutin. • Penggantian
biaya atas dasar plafonibatas maksimum per hari sesuai paket yang dibeli peserta atau
perusahaan. Biasanya penggantian mengacu pada tarif kamar tertentu di RS swasta,
misalnya kelas III, kelas II, dsb. • Penggantian biaya penuh sesuai tagihan rumah sakit.
Pada produk ini seringkali asuradur membayarkan langsung ke RS atas tagihan RS. Askes
Komersial di Indonesia 85 H Thabrany c. Biaya pelayanan dan bahan medis lain (biaya
aneka) • Biaya konsultasi dokter/visite yang dapat dibatasi jenisnya (dokter umum/spesialis)
atau jumlahnya per hari atau dalam bentuk maksimum biaya yang diganti. • Kebanyakan RS
membedakan jenis-jenis biaya ini dalam tagihan/k1aimnya. • Biaya obat atau bahan medis
yang masuk kelompok medicines, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan laboratorium,
pemakaian ruang operasi, dan pelayanan ambulan atau fasilitas lain. • Bebarapa produk
membatasi biaya obat pada obat-obat generik atau sesuai dengan resep dokter • Biaya
pembedahan yang mencakup sewa kamar operasi, bahan dan obat-obatan, dan honor
dokter bedah. • Biaya anestesi (jasa dan bahan) pada umumnya dimasukkan sebagai
komponen jaminan pembedahan. • Biaya-biaya ini dibayar dengan tiga cara: * Biaya
maksimum untuk tiap pelayanan yang diberikan. * Untuk pembedahan seringkali
digabungkan antara biaya dokter bedah dan anestesi dengan plafon penggantian tertentu.
Ada produk yang membedakan operasi khusus, sedang, kecil, dsb. * Dibayar penuh sesuai
tagihan rumah sakit d. Biaya Pelayanan Intensif (Intensive Care Unit) • Perawatan intesif
penyakit jantung (ICCU) atau pelayanan intensif umum (ICU) biasanya ditanggung sampai
maksimum jumlah hari, atau biaya, atau kombinasi keduanya. e. Biaya penunjang medik •
Biaya penunjang medik seperti laboratorium, radiologi, patologi anatomi, dan pemeriksaan
penunjang medis lain biasanya ditanggung dengan plafon tertentu. 2.Rawat Jalan • Rawat
jalan dokter umum maupun dokter spesialis biasanya ditanggung dengan plafon
penggantian tertentu. • Ada produk yang mengharuskan rujukan dari dokter umum untuk
menjamin perawatan oleh dokter spesialis • Biaya obat atau pemeriksaan penunjang
ditanggung dengan plafon tertentu per kali atau pertahun. 3. Asuransi Kecelakaan Diri
Asuransi kecelakaan diri (AKD) merupakan kombinasi dari asuransi kesehatan dan jiwa
karena jaminan yang diberikan tidak hanya terbatas pada biaya pengobatan apabila terjadi
kecelakaan. Justeru yang lebih ditawarkan dari AKD ini adalah jaminan cacat tetap dan
jaminan kematian akibat kecelakaan. Biasanya jaminan diberikan dalam bentuk Askes
Komersial di Indonesia 86 H Thabrany penggantian sejumlah uang apabila terjadi
kecelakaan yang memenuhi syarat pertanggungan, Perkembangan AKD dari segi premi
menempati urutan pertama asuransi kesehatan dalam periode awal. Namun demikian, kini
jumlah premi dari penjualan asuransi kesehatan yang bukan AKD sudah mulai melampaui
jumlah premi yang diperoleh perusahaan asuransi di Indonesia. 4. Asuransi Perjalanan
Asuransi perjalanan (travel insurance) kini juga mulai ramai diperdagangkan sejalan dengan
semakin banyaknya penduduk yang melakukan perjalanan untuk tujuan pekerjaan maupun
liburan. Asuransi perjalanan juga menjamin mahasiswa yang akan belajar di luar negeri.
Asuransi ini dijual untuk perjalanan satu minggu hingga satu tahun dan berlaku di seluruh
dunia. Paket jaminannya mencakup biaya perawatan/pengobatan selama perjalanan yang
diberikan dalam bentuk uang tunai, biaya evakuasi medis/repatriasi, santunan cacat, dan
mencakup santuan kematian. 5. Asuransi Kesehatan Pensiun Beberapa perusahaan
asuransi seperti Bringin Life dan Tugu Mandiri sudah menawarkan produk asuransi
kesehatan dengan pembayaran premi sekaligus atau berkala selama masa kerja. Jaminan
diberikan ketika pegawai tersebut memasuki usia pensiun sampai pegawai tersebut dan
pasangannya meninggal dunia. Karena saat ini tidak tersedia program pemerintah yang
menjamin pensiunan mendapatkan pelayanan kesehatan, produk seperti ini menarik pasar.
Namun demikian, banyak pembeli yang belum bisa yakin benar dengan produk yang
ditawarkan karena belum banyak pengalaman. Contoh paket yang ditawarkan oleh Asuransi
Bringin Life adalah: R awat man Paket Jaminan (Rp) ITEM A B C D Biaya Kamar & Makan /
Hari 250.000 125.000 75.000 50.000 Aneka Biaya Perawatan RS 10.000.000 5.000.000
3.000.000 2.000.000 Biaya Operasi 10.000.000 5.000.000 3.000.000 2.000.000 Kunjungan
Dokter / Hari 62.500 31.250 18.750 12.500 Maksimum santunan per tahun 48.125.000
24.062.500 14.437.500 9.625.000 Rawat jalan Rawat jalan juga ditanggung dengan jaminan
maksimum per tahun dan rincian sebagai berikut: A B 1.250.000 1.000.000 Askes Komersial
di Indonesia 87 H Thabrany Ruang Lingkup Rawat Jalan : a. Rawat Jalan Tingkat Pertama :
• Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter umum. • Pemeriksaan dan pengobatan oleh
dokter gigi • Pemberian obat-obatan sesuai dengan kebutuhan medis b. Rawat Jalan Tingkat
Lanjutan : • Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter spesialis • Pemberian obat-obatan
sesuai dengan kebutuhan medis c. Penunjang Diagnostik : • Pemeriksaan laboratorium klinik
dan pelayanan radiology • Pelayanan elektromedis : EEG, EKG, EMG dan USG • Pelayanan
Endoskopi, CT Scanning dan MRI d. Pelayanan Emergency (Gawat Darurat) : •
Kecelakaan/rudapaksa • Serangan jantung • Serangan asma berat • Kehilangan kesadaran •
Kejang dengan demam tinggi • Muntah berak disertai dehidrasi • Kolik (kejang perut) e.
Pelayanan Rehabilitasi • Kacamata • Gigi palsu • Alat Bantu dengar • Alat kesehatan : pin,
srew Askes Komersial di Indonesia 88 H Thabrany Contoh produk askes tradisional (dari
sebuah iklan di harian Kompas, 21 September 2001). Produk: Santunan tunai harian untuk
rawat inap Karakteristik produk/manfaat: * Santunan uang tunai, maksimal Rp 200.000
apabila peserta dirawat di rumah sakit di tahun pertama * BONUS tambahan santunan Rp
50.000 per hari untuk tahun kedua dan seterusnya * Lama kontrak delapan tahun Daya tarik
yang ditawarkan: * Uang kembali 100%. Seluruh premi yang dibayarkan akan dikembalikan
pada akhir tahun ke delapan, meskipun peserta telah mengajukan klaim berkali -kali * Bebas
memilih rumah sakit di dalam dan di luar negeri * Tidak perlu pemeriksaan kesehatan. *
Peserta diberikan waktu 15 hari untuk mempelajari polis. Apabila dalam 15 hari prospek
merasa polis tidak sesuai harapannya, maka polis dapat dibatalkan dan premi yang telah
dibayar dikembalikan 100% * Pendaftaran mudah, melalui pos atau fax. Tabel: Santunan
tunai harian dan per tahun (Rp) Masa PaketA PaketB PaketC kontrak Perhari Perth Perhari
Perth Perhari Perth Thke 1 100.000 36.500.000 150.000 54.750.000 200.000 73.000.000
Thke2 150.000 54.750.000 200.000 73.000.000 250.000 91.250.000 Thke3 200.000
73.000.000 250.000 91.250.000 300.000 109.500.000 Thke4 250.000 91.250.000 300.000
109.500.000 350.000 127.750.000 Thke5 300.000 109.500.000 350.000 127.750.000
400.000 146.000.000 Thke6 350.000 127.750.000 400.000 146.000.000 450.000
164.250.000 Thke7 400.000 146.000.000 450.000 164.250.000 500.000 182.500.000 Thke8
450.000 164.250.000 500.000 182.500.000 550.000 200.750.000 Tabel: Besarnya premi
bulanan per orang (Rp) Usia (tahun) PaketA PaketB PaketC 0-15 42.000 50.520 58.500 16-
39 125.250 148.500 171.750 40-44 168.750 200.250 232.500 45-49 230.250 272.250
314.250 50-54 338.250 399.750 462.000 55-57 406.500 485.250 563.250 Askes Komersial
di Indonesia 89 H Thabrany 4.2.3. Perkembangan Perkembangan kepesertaan dan
pero1ehan premi sete1ah dike1uarkannya undang undang asuransi menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan perusahaan asuransi. N amun demikian, pasar
asuransi kesehatan tradisiona1 ini pada umumnya masih sangat terbatas di kota-kota besar
dan dari perusahaan-perusahaan yang cukup besar pula. Perkembangan penerimaan premi
dan klaim usaha asuransi kesehatan ada1ah seperti tercantum da1am tabe1 4.2. Tampak
da1am tabe1 tersebut perkembangan penerimaan premi oleh perusahaan asuransi
kerugian, yang menggabungkan 1aporan AKD dengan asuransi kesehatan. Tampak
pertumbuhan penerimaan premi melonjak tajam antara tahun 1996-1997. Be1um je1as
benar apa yang menyebabkan lonjakan penerimaan premi AKD dan Kesehatan ini. Namun
sete1ah tahun 1997 terjadi peningkatan yang pesat rata-rata mencapai 24% setahun. Jika
dibandingkan dengan penjua1an premi AKD dan Kesehatan yang di1akukan oleh
perusahaan asuransi jiwa, tampaknya perusasaan asuransi jiwa 1ebih mampu
memanfaatkan pe1uang asuransi kesehatan ini. Di tahun 1999 perusahaan asuransi jiwa
mampu mengumpu1kan premi sebesar hampir Rp 180 mi1yar dari produk AKD dan Rp 222
mi1yar dari asuransi kesehatan murni. Jika dilihat perbedaan antara perusahaan asuransi
nasiona1 dengan patungan, tampaknya perusahaan patungan dengan asing 1ebih mampu
mengeruk premi asuransi kesehatan. Hal ini mungkin terkait dengan tingkat kepercayaan
konsumen dan tingkat keahlian perusahaan asuransi international, khususnya perusahaan
asuransi Amerika yang te1ah banyak berpenga1aman menjua1 asuransi kesehatan. Jumlah
premi asuransi kesehatan tersebut tidak termasuk dengan besamya premi yang diterima
oleh PT Askes dari penjua1an produk asuransi kesehatan komersia1nya yang mencapai Rp
100 mi1yar tahun 1a1u. TabeI4.2. Perkembangan volume asuransi kesehatan dan
kecelakaan diri yang dijual perusahaan asuransi kerugian 1995-1999 (Rp juta) Premi
Pertumbuhan Tahun 1995 50.231 1996 54.243 8,0% 1997 145.568 168,4% 1998 180.130
23,7% 1999 225.049 24,9% Sumber: Laporan Kegiatan Asuransi 1999 Perkembangan
usaha asuransi kesehatan tradisiona1 di Indonesia memang baru tahap permu1aan yang
mu1ai berkembang sete1ah UU Jamsostek dike1uarkan. Pertumbuhan asuransi kesehatan
tradisiona1, se1ain disebabkan banyak usaha asuransi patungan yang te1ah
berpenga1aman menjua1 produk asuransi kesehatan, khususnya perusahaan asuransi yang
pernah beroperasi di Amerika, juga didorong oleh PP 14/93 tentang Jamsostek yang Askes
Komersial di Indonesia 90 H Thabrany membolehkan perusahaan yang sudah memberikan
pelayanan lebih baik untuk tidak ikut JPK Jamsostek. Tanpa klausul ini, usaha asuransi
kesehatan sulit berkembang lebih cepat lagi. Tabel4.3 Perkembangan penerimaan premi
AKD dan asuransi kesehatan 1998-1999 (Rpjuta) Jenis Premi 1999 Klaim 1999 perusahaan
AKD Askes AKD Askes ASURANSI KERUGIAN BUMN - Nasional 100.884,3 11.868,6
Patungan 76.029,8 28.409,0 Reasuransi 48.135,6 35.410,6 Total Asurnasi kerugian
225.049,70 75.688,2 ASURANSI nWA BUMN 2.465,4 608,5 Nasional 132.883,8 67.379.9
Patungan 44.455,7 154.906,8 Total 179.804,9 222.895,3 Asurnasi Jiwa Grand 627.749,9*
TOTAL Sumber: Laporan Kegiatan Asuransi 1999 *Jumlah tersebut tidak termasuk produk
Askes komersial yang dijual PT Askes yang masuk dalam kelompok JPKM i _ Landasan
Hukum Penyelenggaraan JPKM (kumpulan peraturan). Ditjen DPSM, Jakarta 1996. ii _
Managed care: Managed care: Integrating the Delivery and Financing of Health Care, Part A.
HIAA, Wshington D.C., 1995 __ Managed care: Managed care: Integrating the Delivery and
Financing of Health Care, Part B. HIAA, Wshington D.C., 1996 Kongstvedt, P.R. The
Managed Health Care Handbook. Third Ed. Aspen Publication, Gaithersburg, MD. 1996 iii _
Health Care in Germany. The Federal Ministry for Health, Germany. Kiel, Germany, 1995. iv
_ Bureau of National Health Insurance, Taiwan. Askes Komersial di Indonesia 91 H
Thabrany BABS Asuransi Kesehatan Nasional: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia
5.1. Pendahuluan Hampir 60 tahun lamanya, kita mendengungkan sila "Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab", tetapi sebagian besar penduduk
Indonesia belum merasakan adanya pelanggaran kedua sila tersebut apabila orang sakit
tidak dirawat karena tidak mampu membayar biaya perawatan. Penderitaan orang semacam
itu sudah dianggap suatu hal yang rutin dan diterima secara budaya. Kini semakin banyak
dokter dan rumah sakit yang semakin kurang mementingkan kesehatan pasiennya, tetapi
lebih memelihara tingkat penghasilannya. Pasien tidak mampu berbuat sesuatu karena
adanya informasi asimetri yang menempatkan pasien pada posisi lemah (consumer
ignorance). 1,2,3 Kecendrungan ini akan menambah beban berat bagi masyarakat miskin
dan yang tidak miskin sekalipun. Sampat saat ini belum ada kekuatan penyeimbang atas
informasi asimetri, kesenjangan informasi yang amat jauh, antara dokter/provider dengan
pasien yang hampir tak punya pengetahuan dan kemampuan dalam mengambil keputusan
konsumsi pelayanan kesehatan. Sebuah sistem asuransi kesehatan nasional merupakan
alat yang ampuh dalam mengatasi masalah informasi asimetri tersebut dalam menolong
konsumen (peserta/pasien) yang ignorance. Setelah dimulainya program jaminan kesehatan
masyarakat kurang mampu melalui subsidi iuran pemerintah untuk penduduk kurang
mampu, sekitar 54 juta jiwa, kini sekitar 145 juta penduduk masih terancam menjadi miskin
jika ia terserang penyakit berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit. Oleh
karenanya ada pemikiran untuk menjamin pelayanan perawatan di RS pemerintah kelas III,
apapun kelas ekonomi penduduk. Kita tidak mungkin mengandalkan mekanisme pasar
dalam mencegah dan menolong proses pemiskinan yang terus terjadi. Data-data survei
rumah tangga menunjukkan bahwa lebih dari 80% rumah tangga Indonesia menghabiskan
60% atau lebih dari pendapatannya sebulan untuk belanja makanan. Jika sebuah rumah
tangga hams membayar lebih dari 40% pendapatannya untuk berobat, maka rumah tangga
tersebut terancam mengorbankan konsumsi makanannya yang dapat menimbulkan
berbagai komplikasi penyakit dan komplikasi sosial ekonomi dari sebuah tatanan kehidupan
sebuah keluarga. Pemberian asuransi/jaminan kesehatan merupakan suatu upaya preventif
terhadap bertambah beratnya suatu penyakit, kematian, dan bahkan pencegahan terhadap
berbagai masalah so sial dan ekonomi. Inilah Paradigma baru yang hams kita pahami. AKN:
Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 92 H Thabrany 5.2. Mengapa Asuransi Kesehatan
Nasional ? Istilah asuransi di Indonesia sesungguhnya belum mendapat tempat yang cukup
baik karena pengalaman dan ketidak-tahuan penduduk. Praktek-praktek bisnis asuransi
yang masih sering menimbulkan kekecewaan pemegang polis (atau yang di Indonesia lebih
sering dikenal dengan istilah peserta), baik karena ketidak-fahaman peserta, polis yang
kurang melindungi peserta, polis yang tercetak dengan hump kecil dan sulit dibaca, maupun
karena tindakan moral hazard dari pengelola bisnis asuransi, telah menimbulkan image yang
kurang baik dari kata-kata asuransi. Ketidak-fahaman tentang asuransi di kalangan
masyarakat luas juga telah menimbulkan kesan negatif dari upaya-upaya penyediaan
asuransi secara nasional, baik dalam bidang kesehatan maupun dalam bidang perlindungan
hari tua maupun kematian. Kesanjeleknya pelayanan Askes (oleh PT Askes) yang dahulu
dirasakan oleh banyak peserta pegawai negeri golongan III dan IV masih banyak membekas
dan sering diungkapkan sebagai kelemahan nasional. Meskipun sesungguhnya banyak
perbaikan telah dilakukan Askes, namun sebagian masyarakat pegawai negeri dan swasta,
masih memiliki kesan pelayanan yang buruk. Kenyataannya PT Askes beberapa kali
mendapat penghargaan dari pengamat asuransi kesehatan dan pengamat BUMN sebagai
pengelola asuransi kesehatan terbaik. Tentu tidak mudah dan tidak cepat mengubah
persepsi yang sudah terlanjur kurang baik, khususnya oleh masyarakat kelas atas. Data
pemantauan Askes memang menunjukkan bahwa tingkat kepuasan peserta terhadap
pelayanan Askes mencapai sekitar 80%, artinya masih ada sekitar 20% peserta yang kurang
atau tidak puas. Sesungguhnya tingkat kepuasan ini merupakan tingkat yang tinggi untuk
suatu asuransi sosial. Praktek penyelenggaraan asuransi sosial juga telah terdistorsi,
dengan menyamakan badan penyelenggara sebagai unit bisnis yang hams mendapatkan
keuntungan finansial, sehingga menambah buruk kesan asuransi yang sesungguhnya
sangat netral dan merupakan alat ampuh dalam menjalin kegotong-royongan penduduk
dimanapun di dunia. Sejarah masih mencatat sampai saat ini bahwa lima badan
penyelenggara asuransi sosial, yaitu PT Askes Indonesia, PT Jamsostek, PT Taspen, PT
ASABRI, dan PT Jasa Raharja adalah BUMN Persero yang bertujuan mencari laba.4 Bentuk
badan hukum penyelenggara asuransi sosial yang merupakan PT Persero, yang secara
legal bertujuan mencari keuntungan dan inheren tidak mendapatkan subsidi pemerintah,
sama sekali tidak sesuai dengan prinsip universal, visi dan misi suatu program asuransi
sosial. Kebijakan masa lalu ini merupakan kebijakan 'keajaiban dunia ke delapan' di dunia,
karena sepanjang pengetahuan penulis, Indonesia adalah satu-satunya negara yang
menyelenggarakan program asuransi sosial dimana badan penyelenggaranya menyetorkan
laba bagi keuangan negara. Syukurlah, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) telah melumskan penerapan konsep asuransi sosial dengan menetapkan keempat
BUMN tersebut sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang hams bersifat nirlaba.
Artinya, jika terdapat surplus operasional, maka dana surplus tersebut akan dikembalikan
sepenuhnya untuk manfaat bagi peserta. Pengaturan lebih • Istilah moral hazard umum
digunakan untuk tertanggung (insured), namun demikian perilaku untuk memanfaatkan
informasi asimetri guna menguntungkan pihaknya sesungguhnya dapat juga dilakukan oleh
pengelola asuransi. AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 93 H Thabrany rinci dari
prinsip nirlaba ini, pada saat ini sedang dalam proses perumusan yaitu perubahan PP
tentang BPJS yang kini masih PT Persero tersebut. Kata asuransi pernah 'diharamkan'
karena dinilai begitu jelek. Penggunaan kata asuransi pernah dihindari untuk 'membenarkan'
bahwa suatu upaya tidak terkena aturan UU asuransi. Sebagai gantinya digunakan istilah
'jaminan' yang diperdebatkan sebagai 'bukan asuransi'. Asuransi sebagai suatu instrumen
sosial mempunyai mekanisme transfer risiko, sebagai suatu instrumen yang sangat handal
dalam mengatasi berbagai risiko sosial dan ekonomi penduduk dimanapun di dunia. Segala
sesuatu yang mengandung unsur transfer risiko adalah asuransi. Tidak ada yang salah
sama sekali dengan asuransi. Dengan demikian, asuransi hams mendapat tempat yang
baik. Dalam bidang kesehatan, pelurusan istilah asuransi sudah dilakukan berbagai pihak,
antara lain oleh Professor Azrul Azwar, Sulastomo, dan Thabrany.5,6,7,8 Kini semakin
banyak orang memahami dan bahkan semakin banyak dokter dan pengambil keputusan
yang mendambakan meluasnya cakupan asuransi kesehatan. Sesungguhnya dunia
international telah lama menggunakan istilah asuransi kesehatan, baik dalam literatur
maupun dalam penyebutan program. Buku-buku teks yang mengupas manajemen risiko dan
asuransi selalu mengupas jaminan sosial dan asuransi sosial dalam sektor kesehatan. Judul
Asuransi Kesehatan Nasional (AKN) sengaja digunakan disini karena memang istilah AKN
(National Health Insurance) mudah difahami dan mudah dikomunikasikan, khususnya di
dunia internasional. Istilah AKN telah lama digunakan di Inggris, Kanada, Amerika Serikat,
Jepang, Taiwan, Filipina, Korea Selatan, dan Muangtai. Asuransi Kesehatan Nasional
sebagai suatu mekanisme transfer risiko dan pengumpulan dana (pooling risks), kegotong-
royongan (sharing risks), maupun pembayar (purchasing) pelayanan kesehatan bagi
penduduk merupakan pilihan yang paling handal dalam upaya memberikan jaminan
kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD pasal
28H ayat (1) dan pasal 34 ayat (2). 5.3. Asuransi Kesehatan Nasional di Berbagai Negara
Apa sesungguhnya Asuransi Kesehatan Nasional (AKN)? Istilah AKN (National Health
Insurance) kini semakin banyak digunakan di dunia internasional. Inggris merupakan negara
pertama yang memperkenal AKN di tahun 19119. Meskipun sistem kesehatan di Inggris kini
lebih dikenal dengan istilah National Health Service (NHS), sesungguhnya sistem tersebut
juga merupakan AKN yang dibiayai dari kontribusi wajib oleh tenaga kerja (termasuk di
sektor informal) dan pemberi kerja. Namun demikian, karena penyaluran dananya melalui
belanja negara langsung, semacam APBN di Indonesia, maka sistem di Inggris tersebut
lebih dikenal dengan NHS (tax-funded) ketimbang AKN. Negara-negara Eropa lain, pada
umumnya juga memiliki cakupan universal dengan sistem NHS yang mengikuti pola
Inggris.l'' Baik NHS maupun AKN mempunyai tujuan yang sama yaitu menjamin bahwa
seluruh penduduk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
penduduk tersebut. Yang berbeda adalah bahwa pendanaannya AKN lebih bertumpu pada
kontribusi khusus yang bersifat wajib (yang ekivalen dengan pajak) dan dikelola secara
terpisah dari anggaran belanja AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 94 H
Thabrany negara, baik dikelola lanS.sunf. oleh pemerintah maupun oleh suatu badan kuasi
pemerintah yang otonom.U:' ,13,1 ,15 Meskipun AKN mempunyai kesamaan prinsip dan
tujuan, penyelenggaraan AKN di dunia sangat bervariasi. Kanada memperkenalkan AKN
yang kini disebut Medicare di tahun 1961 dengan prinsip dasar menjamin akses universal,
portabel, paket jaminan yang sama bagi semua penduduk dan dilaksanakan otonom di tiap
propinsi. Pendanaan AKN merupakan kombinasi dari kontribusi wajib dan subsidi dari
anggaran pemerintah pusat. Pada tahun itu, hanya rawat inap yang dijamin oleh AKN. Pada
tahun 1972, paketjaminan diperluas dengan rawat jalan. Kini seluruh penduduk Kanada
menikmati pelayanan kesehatan komprehensif tanpa hams memikirkan berapa besar biaya
yang mereka hams keluarkan dari kantong sendiri, jika mereka sakit berat sekalipun.
Beberapa jenis pelayanan rumah sakit dan obat yang bukan esensial yang tidak dijamin
AKN merupakan pangsa pasar asuransi kesehatan komersial. 16,17,18 Negara tetangga
Kanada telah lama bergelut untuk mewujudkan sebuah AKN. Pasa saat ini, AS mempunyai
asuransi kesehatan nasional rawat inap untuk penduduk diatas 65 tahun saja yang disebut
Medicare part A. Sekitar 50 juta penduduk AS yang berusia di bawah 65 tahun (sekitar 25%
penduduk usia produktif) tidak memiliki asuransi kesehatan. Ini merupakan suatu bukti
kegagalan mekanisme pasar dalam bidang kesehatan, karena AS memang didominisasi
oleh asuransi kesehatan komersial. Dengan belanja kesehatan per kapita lebih dari US$
5.000 per tahun, AS adalah satu-satunya negara maju yang tidak mampu memiliki asuransi
kesehatan nasional.!" Di Amerika di tahun 1970an, terdapat 15 usulan UU (Bill) AKN yang
semuanya kandas karena begitu banyak interes bisnis dan politik sehingga kepentingan
publik tidak terlindungi dengan baik.20 Di kala itu, 23% penduduk AS tidak memiliki asuransi
kesehatan yang didominasi oleh asuransi kesehatan komersial. Pada saat ini, 18%
penduduk AS yang tidak memiliki askes. Dalam hampir 30 tahun, AS tidak mampu
meningkatkan perluasan penduduk yang dicakup asuransi, yang dikala itu tinggal 23% saja.
Jelas sekali berbagai reformasi yang dilakukan Amerika dengan UU Portabilitas Asuransi
dan berbagai UU lain yang bertujuan memperluas cakupan asuransi, tanpa AKN, gagal
meningkatkan cakupan kepada seluruh penduduk. Inilah salah satu bukti market failure
dalam mencapai cakupan universal asuransi kesehatan. Sesungguhnya di AS telah
diusulkan puluhan model pendanaan dan penyelenggaraan yang dapat digolongkan menjadi
tiga model yaitu (1) kombinasi kontribusi wajib (payroll taxes) dan anggaran pemerintah, (2)
perluasan program Medicare dengan kontribusi wajib kepada seluruh penduduk, dan (3)
bantuan premi dari pemerintah untuk penduduk miskin dan tidak mampu.r' Upaya terakhir
untuk mewujudkan AKN di Amerika dilakukan oleh Presiden Bill Clinton di tahun 1993 yang
sekali lagi gaga! karena kekuatan perusahaan asuransi, yang memiliki dana lebih besar dan
takut kehilangan pasar, lebih mampu mempengaruhi anggota Kongres untuk menolak
usulan Clinton. Kegagalan AS dalam mengembangkan AKN, yang lebih mementingkan
kepentingan pebisnis asuransi, merupakan pelajaran yang hams sejak dini kita hindari.
Jerman dipandang sebagai negara pertama yang memperkenalkan asuransi kesehatan
sosial di jaman Otto von Bismark di tahun 1883. Pada masa lalu, jumlah badan AKN: Contoh
dan Masa Depannya di Indonesia 95 H Thabrany penyelenggara asuransi kesehatan so sial
(sickness funds), yang seluruhnya bersifat nirlaba, berjumlah ribuan. Namun demikian,
karena dorongan efisiensi dan portabilitas, banyak sickness funds yang merjer sehingga kini
jumlahnya sudah menyusut menjadi 420 saja. Semua penduduk dengan penghasilan di
bawah EUR 3.375 per bulan wajib marnbayar kontribusi yang kini mencapai 14% dari upah
sebulan. Penduduk yang berpenghasilan diatas itu, boleh tidak menjadi peserta sickness
funds, akan tetapi sekali mereka tidak ikut (opt out) dengan membeli asuransi kesehatan
komersial, mereka tidak diperkenankan ikut. Akibatnya, hanya 10% saja penduduk Jerman
yang membeli asuransi komersial.22,23,24,25 Jerman memang tidak memiliki satu lembaga
asuransi kesehatan yang secara khusus dirancang untuk menjarnin seluruh penduduk.
Namun demikian, Jerman telah menjamin seluruh penduduknya dengan biaya yang separuh
dari yang dikeluarkan Amerika. Karena hubungan sejarah dengan Jerman, sistem asuransi
kesehatan di Belanda sedikit banyak mengikuti pola-pola Jerman dengan modifikasi disana-
sini. Belanda sesungguhnya juga memberlakukan AKN dengan pooling risiko biaya medis
yang besar (exceptional medical expenses) yang dikelola oleh satu badan bersekala
nasional A WBZ. Sementara pelayanan kesehatan yang tidak mahal dikelola oleh berbagai
badan penyelenggara asuransi kesehatan sosial yang bersifat nirlaba yang diatur oleh UU
Sickness Funds Act (ZFW). Sebagian penduduk berpenghasilan tinggi dibolehkan untuk
membeli asuransi kesehatan komersial.26,27,28 Dengan model yang harnpir sarna dengan
model Jerman, sistem asuransi kesehatan di Belanda memiliki pendanaan yang berskala
Nasional untuk perawatan kasus-kasus medis yang mahal. Australia mengeluarkan UU
Asuransi Nasionalnya di tahun 1973 dengan memberikan jaminan pelayanan komprehensif
kepada seluruh penduduk Australia, baik yang berada di Australia maupun yang berada di
beberapa negara tetangga seperti di Selandia Baru dan warga negara beberapa negara
Eropa yang tinggal di Australia. Asuransi, yang juga disebut Medicare, ini dikelola oleh
Health Insurance Commisioner di tingkat negara Federal. Seluruh penduduk Australia tidak
pemah hams memikirkan biaya perawatan manakala mereka sakit dan karenanya penyakit
tidak akan membuat mereka jatuh miskin. Bagitu baiknya pengelolaan asuransi ini sehingga
untuk merangsang penduduk yang ingin membeli asuransi kesehatan swasta diberikan
perangsang pengurangan kontribusi asuransi wajib?9,30,31 Sebagai sekutu Jerman dalarn
Perang Dunia II di Asia, Jepang memiliki pola sistem asuransi kesehatan yang mengikuti
pola Jerman dengan berbagai modifikasi. Di Jepang istilah AKN (Kokuho, Kokumin Kenko
Hoken) digunakan untuk penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pekerja mandiri (self-
employed), pensiunan swasta maupun pegawai negeri, dan anggota keluarganya.
Penyelenggara AKN diserahkan kepada pemerintah daerah. Sementara asuransi kesehatan
bagi pekerja aktif di sektor formal diatur dengan UU asuransi sosial kesehatan secara
terpisah. Sesungguhnya Jepang telah memulai mengembangkan asuransi sosial kesehatan
sejak tahun 1922. Akan tetapi, mewajibkan asuransi kesehatan bagi pekerja sektor formal
saja tidak bisa menjarnin penduduk di sektor informal dan penduduk yang telah memasuki
usia pensiun mendapatkan jarninan kesehatan. Untuk memperluas jarninan kesehatan
kepada seluruh penduduk (universal coverage), Jepang kemudian memperluas cakupan
asuransi kesehatan dengan mengeluarkan UU AKN. Dalarn sistem asuransi kesehatan di
Jepang, AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 96 H Thabrany peserta dan
anggota keluarganya harus membayar urun biaya (cost sharing) yang bervariasi antara 20-
30% dari biaya kesehatan yang digunakannya. Bagian urun biaya inilah yang menjadi
pangsa pasar asuransi kesehatan komersial. 32,33,34 Negara Asia yang pertama kali
secara eksplisit menggunakan istilah AKN dengan melakukan pooling nasional adalah
Taiwan. Dengan komitmen Presiden yang sangat kuat UU AKN dikeluarkan di tahun 1995
yang dikelola tunggal oleh Biro NHI yang merupakan suatu Biro di dalam Depkes Taiwan.
Sistem AKN di Taiwan dimulai dengan menggabungkan penyelenggaraan asuransi
kesehatan bagi pegawai negeri, pegawai swasta, petani dan pekerja di sektor informal, yang
sebelumnya dikelola secara sendiri sendiri. Penggabungan tersebut telah meningkatkan
efisiensi dan kualitas pelayanan yang telah menjamin akses yang sama kepada seluruh
penduduk, dengan jaminan komprehensif yang sama, dan tingkat kepuasan peserta terus
meningkat diatas 70%. Sistem AKN di Taiwan merupakan salah satu sistem yang
menanggung pengobatan tradisional Cina dalam paket jaminan yang diberikan kepada
pesertanya.35,36,37,38,39 Korea Selatan memulai asuransi sosial pada Desember 1976
dengan mewajibkan perusahaan yang mempekerjakan 500 karyawan atau lebih, kemudian
diperluas sampai pemberi kerja dan satu orang karyawan, untuk menyediakan asuransi
kesehatan. Cakupan askes untuk pekerja mandiri sudah diuji-coba sejak tahun 1981 dan
pada tahun 1989 seluruh penduduk telah memiliki asuransi. Suatu prestasi yang luar biasa,
karena dalam waktu 12 tahun Korea telah mampu mencapai cakupan universal. Tetapi
penyelenggaraanya masih dikelola oleh lebih dari 300 badan asuransi kesehatan yang
bersifat nirlaba. Sejak tahun 2000, penyelenggaraan dikelola oleh satu badan national
dengan iuran maksimum 8% dari upah yang ditanggung bersama antara pekerja, pemberi
kerja dan subsidi pemerintah.40,41,42 Yang cukup mengejutkan adalah jawaban para
pengusaha Korea yang terheran-heran ketika ditanya oleh delegasi Indonesia tentang apa
keberatan mereka terhadap penyelenggaraan AKN di Korea. Keheranan mereka timbul
karena mereka merasa sangat terbantu dengan AKN sehingga mereka dapat berkonsentrasi
memikirkan bisnis mereka, tanpa harus memikirkan kesehatan karyawannya.
Penyelenggaraan AKN di Muangtai telah mulai diusulkan pada tahun 1996 dan kini sedang
dalam proses penggabungan tiga badan penyelenggara yang sesungguhnya sudah
mencakup seluruh penduduk (universal coverage). U sulan penyelenggaraan AKN di
Muangtai menggabungkan konsep satu Badan Nasional dengan desentralisasi pembayaran
kepada fasilitas kesehatan (area purchasing board).43 Asuransi kesehatan di Muangtai
terdiri atas sistem jaminan kesehatan pegawai negeri yang paket jaminannya amat liberal
dan menjamin tidak saja anggota keluarga pegawai, akan tetapi mencakup orang tua dan
mertua pegawai. Seluruh pegawai swasta mendapat jaminan kesehatan komprehensif
melalui Badan Jaminan Sosial yang dikelola oleh Depnaker. Sedangkan pekerja informal
memperoleh jaminan melalui National Health Security Office, sebuah lembaga independen
yang mengelola sistem 30 Baht. Dengan sistem 30 Baht, seluruh penduduk di luar pegawai
swasta dan pegawai negeri berhak mendapat pelayanan kesehatan komprehensif dengan
hanya membayar 30 Baht (Rp 6.000) sekali berobat atau dirawat, termasuk perawatan
intensif dan pembedahan.44,45,46,47 Dengan demikian, seluruh penduduk Muangtai kini
juga telah terbebas dari ancaman menjadi miskin dan dapat lebih produktif membangun
negaranya. AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 97 H Thabrany Filipina
merupakan negara berkembang setingkat Indonesia, yang memiliki penduduk tersebar di
lebih dari 7.000 pulau, yang menancapkan tekad AKN di akhir Milenium kedua. Di tahun
1995, Filipina berhasil mengeluarkan UU AKN yang menggabungkan penyelenggaraan
asuransi kesehatan bagi pegawai negeri dan pegawai swasta yang sebelumnya dikelola
sendiri-sendiri ke dalam suatu badan AKN. Sebagai negara berkembang yang kini
berpendapatan per kapita sedikit diatas US$ 1.000, Filipina merupakan negara berkembang
yang berhasil dalam mengembangkan AKN menuju cakupan seluruh penduduk. Memang
saat ini cakupan penduduknya baru mencapai sekitar 60% saja, namun demikian seluruh
pekerja di sektor formal telah menjadi peserta. Meskipun paket jaminannya belum
komprehensif, paling tidak Filipina sudah mampu meniadakan ancaman pemiskinan karena
sakit bagi sebagian besar penduduknya.48,49,50 5.4. Asuransi Kesehatan Sosial Sebagai
Tulang Punggung AKN Dari beberapa situasi yang saya sampaikan diatas, jelaslah bahwa
AKN merupakan suatu alat menjamin cakupan universal yang semakin banyak diterapkan
oleh negara maju maupun berkembang. Sistem AKN menjadi suatu altematif sistem NHS
yang semakin menunjukkan kehandalannya. Dalam praktek di beberapa negara, AKN dapat
diundangkan dalam satu UU tersendiri atau dapat digabungkan dengan UU JS seperti
Medicare di AS. Dalam prakteknya juga terdapat variasi dimana AKN dapat dikelola
seluruhnya secara sentral atau mengakomodir pengelolaan yang terdesentralisasi. Dimana
kemampuan manajemen suatu negara memadai, pengelolaan terpusat memberikan efisiensi
yang tinggi sehingga dana yang semakin terbatas dapat digunakan secara lebih optimal.
Sistem AKN juga dapat dikembangkan oleh negara maju maupun berkembang. Pada waktu
Departemen Kesehatan dipimpin oleh Professor Siwabessy, di tahun 1968 Menkes pada
waktu itu sudah mencita-citakan terwujudnya sebuah Sistem AKN.51,52 Kini tampaknya
harapan Siwabessy mulai tampak di ufuk era Reformasi Indonesia. Pemerintah telah
mengajukan UU SJSN pada tangga126 Januari 2004 yang lalu dan telah diundangkan oleh
Presiden Megawati pada hari terakhimya di Istana. Penanda-tanganan UU SJSN, yang
diberi nomor 40 tahun 2004, pada hari terakhir dengan mengundang lima Menteri terkait,
merupakan hal yang tidak biasa, mengandung makna simbolik bahwa Presiden Megawati
ingin menyampaikan "inilah yang bisa kuwariskan" untuk rakyat Indonesia. Klausul-klausul
yang mengatur jaminan kesehatan dalam UU SJSN tentan~ Jaminan Kesehatan memenuhi
kriteria sebagai suatu usulan National Health Insurance. Meskipun dalam UU SJSN tidak kita
dapati istilah Asuransi Kesehatan Nasional, apa yang diatur dalam pasal-pasal merupakan
upaya mewujudkan sebuah sistem AKN sebagai bagian dari SJSN. Dalam UU itu jelas
disebutkan bahwa Jaminan Kesehatan diselenggarakan berdasarkan mekanisme asuransi
sosial dan berlaku secara Nasional, oleh karenanya UU tersebut sesungguhnya merupakan
landasan terselenggaranya sebuah sistem AKN. Dengan demikian, kini kita akan memasuki
era baru dimana pemerintah telah memiliki komitmen yang tinggi untuk menyelenggarakan
AKN, yang ditahun 2005 telah dimulai dengan memberikan jaminan kesehatan bagi sekitar
54 juta penduduk termiskin melalui PT Askes. Seperti halnya di negara-negara lain yang
telah lebih dahulu AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 98 H Thabrany
menyelenggarakan AKN, komitmen pemerintah ini sangat dipengaruhi oleh komitmen
Presidennya. Presiden Megawati telah mempunyai komitmen untuk memulai
penyelenggaran AKN sejak ia menjadi Wakil Presiden. "Kalau orang lain bisa, masa kita
tidak bisa!". Itulah kata-kata singkat yang disampaikan Ibu Presiden pada waktu anggota
Tim SJSN melaporkan perkembangan dan hasil kerja Tim kepada beliau tanggal 20
Nopember 2003 di Istana Negara. Kini Kabinet Indonesia Bersatu, dibawah pimpinan
Presiden Susilo Bambang Yudoyono, program memberikan jaminan kepada penduduk
kurang mampu sudah dimulai. Mekanisme asuransi sosial sebagai suatu mekanisme pooling
dan sharing health risks merupakan barang baru di Indonesia namun sesungguhnya sudah
lama dikenal di dunia. Asuransi sosial sebagai tulang punggung dari sebuah sistem jaminan
sosiaI54,55,56 masih belum difahami oleh banyak pihak. Sampai saat inipun, belum banyak
pihak-baik di kalangan intelektual maupun orang awam, yang memahami konsep asuransi
sosial. Masih banyak pihak yang memahami asuransi sosial sebagai suatu asuransi untuk
orang miskin. Kata-kata 'sosial' di Indonesia telah melekat dengan 'orang miskin' yang tidak
mendapat prioritas atau dengan penyelenggaraan suatu kegiatan yang 'tidak didasarkan
pada perhitungan ekonomis'. Sehingga sering kali orang berasumsi bahwa asuransi sosial
adalah asuransi yang penyelenggaraanya tidak profesional, tidak baik, dan segala yang
negatif. Rancang bangun asuransi sosial di Indonesia selama ini telah menyuburkan
kesalah-fahaman tersebut. Disinilah perlunya pembaruan sistem asuransi/jaminan sosial di
Indonesia. Sesungguhnya defmisi asuransi sosial memang bervariasi, namun demikian,
semua definisi tersebut mempunyai empat elemen yang sama, yaitu:57,58,59,60,61 1.
Kepesertaan asuransi sosial bersifat wajib. Kewajiban menjadi peserta merupakan suatu
syarat mutlak, agar setiap orang mendapatkan perlindungan, terjamin atau terasuransikan.
Kelompok penduduk yang diwajibkan dapat mencakup suatu kelompok tertentu, misalnya
pegawai negeri, pegawai swasta dari perusahaan dengan jumlah karyawan tertentu, atau
seluruh penduduk. Kelompok penduduk yang diwajibkan, hanyalah sebuah tahapan untuk
menuju cakupan seluruh penduduk. Masih banyak yang sulit memahami bahwa pentahapan
mewajibkan kelompok-kelompok tertentu sebagai tidak adil atau tidak tepat. Sesungguhnya
pentahapan kewajiban adalah pendekatan manajemen untuk mencapai tujuan, yang
merupakan suatu keharusan-sebuah langkah awal sebelum ribuan langkah berikutnya
diambil, bukan sebuah tujuan akhir. Masih banyak pihak yang memahami kepesertaan wajib
sebagai sesuatu 'pemaksaan yang tidak perlu' sehingga masih banyak pihak yang belum
mendukung konsep SJSN kerena kesalah-fahaman ini. Sesungguhnya, wajib berkontribusi
pada AKN atau SJSN adalah dalam rangka memenuhi hak-hak kesehatan bagi penduduk,
sebagaimana wajib membayar pajak yang merupakan suatu keharusan di negara manapun
di dunia. 2. Paket jaminan, manfaat (benefit), yang dijamin adalah setara dengan kebutuhan
setiap peserta. Sesungguhnya asuransi sosial bertujuan memenuhi kebutuhan dasar
sehingga manfaat asuransi seringkali disebut 'perlindungan dasar'. Pemenuhan kebutuhan
dasar merupakan syarat mutlak agar setiap penduduk dapat berproduksi. Namun demikian,
pemahaman tentang 'perlindungan dasar kesehatan' seringkali AKN: Contoh dan Masa
Depannya di Indonesia 99 H Thabrany disamakan dengan perlindungan dasar kebutuhan
dasar lain seperti pangan, sandang, dan papan. Sesungguhnya kebutuhan dasar kesehatan
sangat berbeda dan tidak bisa disamakan dengan kebutuhan dasar lain, seperti yang akan
saya bahas lebih lanjut. Pemahaman yang tidak tepat tersebut, telah menyebabkan
rancangan manfaat (benefit design) jaminan sosial kita yang kini sudah berjalan, baik Askes
pegawai negeri maupun Jamsostek bagi pegawai swasta menjadi kurang optimal dalam
mengatasi risiko finansial yang terkait dengan risiko sakit. Alhamduli11ah, konsep AKN
dalam UU SJSN merupakan suatu perbaikan dari rancangan manfaat yang kurang optimal
tersebut. 3. Kontribusi (iuran, premi) merupakan proporsi dari pendapatan. Kontribusi yang
proporsional, biasanya persentase tertentu dari upah, gaji, atau penghasilan merupakan
suatu cara pendanaan yang menjamin bahwa setiap orang yang memiliki penghasilan
mampu mengiur. Jika diperhatikan dengan kewajiban membayar pajak yang juga
proporsional, maka kontribusi ini memang sangat mirip. Oleh karenanya di beberapa negara
sering disebut sosial security atau sosial insurance tax. Sesungguhnya kontribusi asuransi
sosial merupakan pajak yang penggunaannya khusus untuk mendanai manfaat (benefit)
asuransi wajib tersebut, sehingga kadang disebut juga earmarked tax. Namun demikian ada
sedikit perbedaan kontribusi wajib asuransi sosial yaitu umumnya sedikit regresif jika
dibandingkan be saran kontribusi pajak yang umumnya progresif. 4. Pengelolaannya bersifat
nirlaba (not for profit). Jika kita perhatikan penyelenggaraan asuransi sosial di seluruh dunia,
maka terdapat kesamaan pola penyelenggaraan yaitu dikelola oleh suatu badan pemerintah
atau oleh suatu badan kuasi pemerintah yang bersifat nirlaba. Indonesia merupakan satu-
satunya negara yang saat ini masih mengelola asuransi sosial oleh BUMN Persero yang
bersifat for profit. Untunglah, UU SJSN telah menempatkan pengelolaan asuransi sosial di
Indonesia yang konsisten dengan prinsip-prinsip universal. 5.5. Perlindungan Dasar
Kesehatan yang juga belum difahami Penetapan manfaat (benefit) AKN yang menjamin
kebutuhan dasar kesehatan dapat menjadi perdebatan panjang yang merugikan publik.
Saya mengamati bahwa pemahaman kebutuhan dasar kesehatan di Indonesia masih
beragam. Banyak pihak memahami kebutuhan dasar kesehatan sebagai pelayanan
kesehatan yang 'relatif murah'. Hal ini terjadi karena pada umumnya banyak pihak
menyamakan kebutuhan kesehatan dengan kebutuhan lain. Bahkan kebijakan kesehatan di
Indonesia belum secara khusus menempatkan kesehatan sebagai kebutuhan dasar yang
harus dapat diperoleh secara memadai. Karena sifat alamiah kebutuhan kesehatan yang
sangat berbeda dengan kebutuhan dasar lain, maka sesungguhnya kebutuhan dasar
kesehatan hams difahami dan diperlakukan secara berbeda. Pemahaman perbedaan
kebutuhan dasar kesehatan ini sangat penting dalam merancang jaminan yang bersifat
dasar dalam bidang kesehatan. Sebab, jaminan yang sifatnya diatas paket dasar menjadi
bagian asuransi kesehatan swasta atau AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 100
H Thabrany dilepas pada mekanisme pasar. Tanpa adanya keseragaman pemahaman
tentang kebutuhan dasar kesehatan, maka pengaturan AKN akan lebih menguntungkan
sebagian kecil orang yang berbisnis di bidang kesehatan, bukan memihak kepada
produktifitas penduduk secara keseluruhan. Pada akhimya, negaralah yang dirugikan.
Perbedaan fundamental adalah bahwa kebutuhan akan pelayanan kesehatan mempunyai
sifat ketidak pastian (uncertainty) sehingga kebutuhan biaya kesehatan pada tingkat rumah
tangga tidak dapat dihitung.62,63,64 Suatu keluarga muda yang relatif sehat mungkin tidak
pemah mempunyai kebutuhan berobat dalam satu tahun dan karenanya biaya kesehatan
rumah tangga itu menjadi nol. Sebaliknya suatu keluarga pensiunan dapat menghabiskan
biaya lebih dari Rp 2 juta sebulan untuk standar selera kualitas pelayanan dasar sekalipun.
Sebuah keluarga yang salah seorang anggota keluarganya hams masuk perawatan intensif
membutuhkan biaya puluhan juta rupiah. Apakah biaya kesehatan yang jutaan tersebut
untuk memenuhi bukan kebutuhan dasar atau diatas dasar? Apa sesungguhnya kebutuhan
dasar? Secara filosofis kebutuhan dasar dapat kita fahami sebagai kebutuhan seseorang
yang hidup yang apabila tidak dipenuhi ia tidak akan mampu berproduksi. Atas dasar asumsi
inilah, batas garis kemiskinan ditetapkan. Akan tetapi, batas garis kemiskinan (poverty line)
dapat bervariasi besar di antara berbagai negara karena tingkat penghasilan dan
pemahaman tentang kebutuhan dasar yang terus berkembang. Di Indonesia, kebutuhan
dasar pangan seseorang dipatok 2.100 kalori sehari. Kebutuhan kalori tersebut, dengan
minimum 44 gram protein, dapat dipenuhi dengan biaya Rp 8.500 per hari apabila ia
membeli bahan mentah dan memasak sendiri. Jelas makan di restoran yang berharga Rp
15.000 per kali makan saja, bukanlah kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar sandang dan
papan yang memungkinkan seseorang berproduksi, bersekolah atau bekerja, mudah
dihitung. Orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang, dan
papan tersebut kita sebut orang miskin. Apakah mereka yang tidak tergolong miskin selalu
mampu memenuhi kebutuhan perawatan atau pembedahan? Pasti tidak! Jika seseorang
yang membutuhkan perawatan intensif tidak dirawat, apakah ia bisa berproduksi? Pasti
tidak! Disinilah letak sulitnya menetapkan kebutuhan dasar kesehatan. Apakah perawatan di
ICU, pengobatan kanker, atau hemodialisa (cuci darah) bukankah kebutuhan-kebutuhan
dasar? Seseorang bahkan dapat meninggal, bukan hanya tidak berproduksi, jika kebutuhan
akan pengobatan atau perawatan tersebut tidak dipenuhi. Oleh karenanya lebih mudah
menetapkan besaran jaminan pensiun dasar daripada menetapkan jaminan kesehatan
dasar, apalagi kemudian ada interest bagi pihak swasta untuk menjual asuransi diatas
kebutuhan dasar. Di Indonesia terdapat banyak orang yang salah faham tentang arti
kebutuhan dasar pelayanan kesehatan sebagai pelayanan dasar rawat jalan tingkat pertama
atau pelayanan kesehatan yang murah biayanya seperti pengobatan di puskesmas. Rawat
jalan rujukan dan rawat inap sering disebut sebagai pelayanan sekunder dan tersier yang
kemudian diasosiasikan sebagai kebutuhan sekunder dan tersier. Faham ini sama sekali
bertentangan dengan asas kemanusiaan dan asas kebersamaan atau tanggung-jawab
bersama. Kalau kita renungkan kembali makna kebutuhan dasar adalah kebutuhan yang
memungkinkan seseorang hidup dan berproduksi, maka faham tersebut adalah keliru.
Faham yang banyak dianut adalah bahwa kebutuhan dasar kesehatan tidak terkait dengan
tingkat kesulitan atau tingkat biaya pelayanan kesehatan. Kebutuhan dasar kesehatan AKN:
Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 101 H Thabrany adalah kebutuhan akan
pelayanan yang merupakan upaya untuk mempertahankan hidup dan tingkat produktifitas
seseorang yang secara normatif diterima oleh norma-norma masyarakat. Atas dasar
pemahaman inilah, maka perlindungan dasar dalarn bidang kesehatan hamslah terkait
dengan kebutuhan medis. Suatu kebutuhan yang relatifbagi tiap orang dan hanya diketahui
oleh dokter yang memeriksa seseorang. Disinilah nanti, letak sulitnya mengelola sebuah
AKN. Dengan konsep dasar tersebut, maka pemberian bantuan biaya kesehatan hanya
kepada yang miskin saja, menurut kriteria yang kita gunakan sekarang, belumlah sesuai
dengan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebab mereka yang tidak tergolong
miskin, yang masih marnpu memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang, dan papan,
sering kali tidak marnpu memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Mereka itu, jika tidak
dijamin asuransi atau pemerintah, dimata kebutuhan medis adalah miskin (medically poor).
Itulah sebabnya, negara-negara persemakmuran dan negara-negara yang berorientasi
kesejahteraan (welfare oriented) menyediakan pelayanan kesehatan gratis untuk semua
penduduk, tidak hanya yang miskin. Itulah sebabnya dibutuhkan AKN yang menjamin
seluruh penduduk, yang kaya dan yang miskin. Fakta menunjukkan bahwa negara miskin
sekalipun, yang memberikan pelayanan kesehatan cuma-cuma, seperti Sri Lanka dan Kuba,
mempunyai status kesehatan yang lebih tinggi dari status kesehatan di negara kita yang
cenderung melepas pelayanan kesehatan kepada mekanisme pasar yang memberatkan
masyarakat. Itulah pula sebabnya, ketika Kanada memulai AKN di tahun 1961 pelayanan
perawatan dan rawat inaplah yang mulai dijarnin. Sejak pertarna kali diundangkan, Medicare
di Amerika (semacarn AKN untuk penduduk usia diatas 65 tahun dan penduduk dibawah
usia 65 tahun yang memiliki penyakit berat) hanya menanggung perawatan rumah sakit dan
perawatan yang berbiaya besar (Medicare part A) seperti yang telah dijelaskan di muka.
Filipina juga memalui AKNnya dengan menjamin biaya perawatan di RS. Inggris dan banyak
negara persemakmuran menjamin pelayanan rumah sakit tanpa hams membayar bagi
penduduknya/" Malaysia mengikuti pola NHS Inggris dimana setiap penduduk yang perlu
perawatan di rumah sakit hanya membayar RM 3 (setara dengan Rp 6.000) per hari, sudah
termasuk biaya obat, pembedahan, perawatan intensif bahkan jika di~erlukan bedah jantung
sekalipun. Banyak negara-negara lain juga berbuat yang sarna.66,6 ,68 Semua itu dilandasi
pada pemahaman bahwa kebutuhan dasar kesehatan bukanlah kebutuhan akan pelayanan
yang biayanya murah. Pemerintah dan DPR hendaknya memaharni benar hal ini dan tidak
terpengaruh pada tuntutan pihak-pihak yang mempunyai interes dalam berbisnis asuransi
kesehatan atau pelayanan kesehatan. Hal ini pemah terjadi pada waktu PP 14/1993 yang
mengatur Jamsostek, sehingga pengobatan kanker, hemodialisa, pengobatan penyakit
jantung yang mahal, dan pengobatan kelainan bawaan tidak dijamin. Melepaskan pemberi
kerja sendiri-sendiri membeli asuransi kesehatan untuk karyawannya, seperti yang
dibenarkan dalarn PP tersebut tidak akan menjamin bahwa setiap pekerja dan anggota
keluarganya dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan mereka.F' Hendaknya hal ini tidak
terulang lagi dalam PP yang mengatur jaminan kesehatan dalarn UU SJSN. AKN: Contoh
dan Masa Depannya di Indonesia 102 H Thabrany 5.6. Kebutuhan akan Asuransi Kesehatan
Banyak pihak yang menyatakan bahwa kita belum sanggup malaksanakan AKN seperti
yang dilakukan Malaysia, SriLanka, Muangtai atau Filipina. Sesungguhnya kita belum
memiliki visi dan faham yang sarna dan belum mempunyai kemauan untuk itu. Bukan belum
sanggup! Dana sesungguhnya merupakan alat untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dari
visi dan kemauan yang sarna tersebut. Bukankah Malaysia dan Srilanka telah memulai
kebijakan itu puluhan tahun yang lalu, di kala kondisi ekonominya lebih buruk dari keadaan
kita sekarang. Keraguan dan komentar-komentar tentang belum saatnya kita memikirkan
AKN merupakan pandangan yang kurang memperhatikan kebutuhan akan asuransi
kesehatan. Sesungguhnya kebutuhan (needs) akan asuransi kesehatan di Indonesia sangat
besar, akan tetapi permintaan (demand) terhadap asuransi kesehatan memang sangat kecil,
Kondisi tersebut bukanlah suatu anomali, karena prilaku masyarakat di negara manapun
sarna saja. Sering kita keliru dalarn mengarnbil kebijakan dengan menyampaikan argumen
bahwa masyarakat kita belum insurance minded. Manusia di seluruh dunia mempunyai
prilaku yang sarna, tidak cukup sadar dan tidak cukup bertindak dalarn menghadapi risiko
kesehatan di masa depan. Itulah sebabnya, tidak ada satu negara majupun, yang tidak
menjamin pelayanan kesehatan-baik melalui asuransi wajib ataupun melalui dana pajak (tax
funded), paling tidak untuk penduduk berusia lanjut dan berisiko tinggi seperti yang
dilakukan AS. Sesungguhnya inilah hakikat masyarakat berbudaya atau masyarakat madani
(civilized society), membuat sebuah sistem dimana pada akhirnya seluruh masyarakat
terjarnin. Tidak ada satu negarapun yang menunggu sampai ekonominya baik dan
masyarakatnya sadar akan asuransi kesehatan. Kesadaran akan sesuatu yang belum terjadi
memang hams dipaksakan. Oleh karenanya sebuah sistem AKN atau jarninan sosial
memerlukan sebuah undang-undang, yang bersifat memaksa untuk kepentingan dan
kebaikan masa depan penduduk itu sendiri. Kebutuhan akan asuransi dapat dilihat dari data-
data survei Susenas maupun survei-survei rumah tangga lainnya. Data-data survei secara
konsisten menunjukkan bahwa untuk membiayai rawat inap seorang anggota keluarga,
sebuah rumah tangga Indonesia hams mengeluarkan lebih dari sebulan gajinya.70,71
Tidaklah mengherankanjika pelayanan rawat inap di rumah sakit pemerintah sekalipun, lebih
banyak dinikmati oleh mereka yang kaya. Data menunjukkan bahwa 40,6 persen hari rawat
di RS publik/pemerintah dikonsumsi oleh 20% penduduk terkaya, sementara 20% penduduk
termiskin hanya mengkonsumsi 5,9% hari rawat.72 Penduduk di kelompok menengah ke
bawah merupakan penduduk yang mempunyai beban berat memikul biaya rumah sakit yang
mencapai 2-4 kali penghasilannya sebulan.73 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah
jelas memberikan pedoman terhadap kasus biaya kesehatan katastropik untuk
mengembangkan asuransi kesehatan'" sebagai upaya mencegah penurunan produktifitas
penduduk dan mencegah sebuah rumah tangga menjadi miskin. Jika setiap rumah tangga
dapat diorganisir dalarn sebuah sistem asuransi kesehatan dengan membayar 5-6%
penghasilannya sebulan, mereka tidak akan pemah menghadapi risiko finansial yang dapat
menjadikannya miskin. Pemerintah Singapura mewajibkan setiap rakyatnya menabung 6-
8% sebulan untuk biaya kesehatan." Korea, Muangtai, Taiwan, Filipina, Jepang, Mexico,
AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 103 H Thabrany dan negara-negara maju di
Eropa dan Amerika yang sudah melaksanakan asuransi/jaminan sosial secara luas
mewajibkan kontribusi antara 2,5%-14% dari upah atau penghasilan sebulan." Beban
kontribusi rutin sebesar itu, tentujauh lebih ringan dan tidak akan merusak tatanan ekonomi
rumah tangga. Apalagi, jika pemerintah memberikan subsidi kontribusi agar besaran
kontribusi bisa turun, seperti yang dilakukan Muangtai. Gambar . Skema Pengorganisasi
Pendanaan yang Direkomendasi WHO. Yes Publkgood? 1---+ No Yes---I 1----+ No I----Yes--
.•• I 1----+ No No I_--Yr=s ....--_---..;L...-_---._ No Yes------, L,~~~~._J~----t_---_1-------ks No
Yes J J 1001101 provide Hnanre pubHcly _--I 1------_ Leave 10 ~eg~ll~ted L..- __ ....•
pri11ale market 50urce:Adapted from MusgrOlre P,Publlc spending on health Glre: howare
different crnelia nelated7l1eaithPoJIcy, '199'),47(3): 207-223. Dikutip dari WHR 2000. 5.7.
Perlu Perubahan Cara Pandang Ada pihak-pihak yang memandang bahwa sesungguhnya
kita telah memiliki AKN atau NHS karena pemerintah sudah mensubsidi lebih dari 70% biaya
puskesmas dan rumah sakit. Yang kini menjadi beban masyarakat adalah urun biaya (cost-
sharing) saja. Sesungguhnya ide untuk meringankan beban biaya kesehatan rumah tangga
memang sudah lama kita pikirkan. Hanya saja, dalam implementasinya kita telah terjebak
pada semantik 'terjangkau', pada sistem yang kita ciptakan yang kurang memahami aspek
uncertainty atau un predictability biaya kesehatan di tingkat rumah tangga. Pembangunan
puskesmas dan rumah sakit pemerintah antara lain merupakan upaya agar pelayanan
kesehatan dapat dijangkau oleh sebagian besar penduduk secara geografis. Pemerintah
daerah menetapkan tarif pelayanan dengan prinsip "terjangkau" atau "affordable" oleh
semua pihak. Tetapi kita terjebak pada satu tarif jasa per pelayanan, yang tidak mungkin kita
memprediksi biaya akhir. Bagaimana mungkin kita bisa mengatakan pelayanan tersebut
terjangkau, kalau biaya akhir tidak pemah diketahui jumlahnya. Sebagai contoh, kita tidak
mungkin memastikan biaya akhir seorang yang dirawat di RS pemerintah kelas III yang
tarifnya berkisar Rp 20.000-Rp 50.000 per hari--tidak termasuk biaya obat dan tindakan
operasi. Berapa yang hams dibayar seorang yang dirawat selama 20 hari, dengan AKN:
Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 104 H Thabrany pembedahan, dan 7 hari di ICU?
Bisa jadi biaya akhir di RS pemerintah sekalipun mencapai diatas Rp 5 juta. Apakah tarif ini
terjangkau semua lapis an masyarakat? Seorang sarjana yang bergaji Rp 5 juta sebulan
sekalipun, tidak mampu membayar biaya tersebut, kecuali keluarganya harus puasa sebulan
penuh. Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa sesungguhnya kita telah
memiliki AKN atau NHS, tidak ditunjang oleh fakta dan secara konsepsional tidak valid.
Konsep "terjangkau" bisa digunakan dan valid digunakan untuk jasa transportasi, tarif listrik,
tarif telepon, dan sebagainya yang dapat dihitung kebutuhannya dan tidak menimbulkan
masalah kemanusiaan apabila konsumsinya dibatasi. Tetapi untuk kesehatan, konsep
terjangkau dengan model tarif pelayanan kesehatan per pelayanan sama sekali tidak valid.
Pemerintah Muangtai, karenanya, menerapkan kebijakan sederhana yang disebut '30 Baht
Policy', dimana setiap penduduk yang belum menjadi peserta jaminan sosial hanya
membayar 30 Baht (sekitar Rp 6.000) untuk setiap kali berobat di rumah sakit, baik hanya
rawat jalan maupun rawat inap---sudah termasuk obat-obatan dan pembedahan jika
diperlukan.77,78,79 Namun di Indonesia, justeru sebaliknya, banyak RS sudah diBUMNkan
dan bahkan di Jakarta RSUD dijadikan PT (Perseroan Terbatas) dan diminta mandiri dalam
pendanaan yang berdampak pada kenaikan tarif. Bukan itu saja, RS pemerintah menarik
tarif operasi yang bersifat emergensi di luar jam kerja 1,5 sampai dua kali lebih mahal dari
tarif bukan emergensi. Dan tarif yang memanfaatkan keterpojokan (karena emergensi di luar
jam kerja) tersebut memang diatur pemerintah (permenkes). Jelas sekali bahwa kebijakan
tersebut bukanlah kebijkan yang memihak rakyatlpublik, tetapi lebih memihak kepada
pengelola-yang nota bene adalah pegawai negeri. Ada berbagai kebijakan pelayanan
kesehatan kini, baik di pusat dan di daerah, akan menambah beban berat rumah tangga
dalam memenuhi kebutuhan hidup yang paling fundamental. Tampak asuransi kesehatan,
kita akan semakin banyak melakukan pelanggaran prinsip keadilan so sial dan kemanusiaan
yang beradab karena adanya kecendrungan kebijakan yang mengarah lebih banyak
memberatkan masyarakat. Penerapan konsep ability to pay (ATP) dan willingness to pay
(WTP) dalam penetapan tarif pelayanan kesehatan di fasilitas publik (pemerintah)
sesungguhnya juga tidak akan bermanfaat menolong penduduk dari beban finansial yang
berat, jika tarif ditetapkan secara jasa per pelayanan (fee for service, FFS). Banyak pihak
menyatakan bahwa tarif puskesmas dan RS sudah dihitung atas dasar ATPIWTP
masyarakat dan karenanya masyarakat tidak akan terbebani. Ini adalah juga suatu
kekeliruan konsep permasalahan tarif terjangkau, karena sifat kebutuhan yang "tidak pasti".
Konsep WTP yang banyak digunakan untuk evaluasi nilai hidup produktif dalam menghitung
opportunity losselo,81 bisa diterapkan jika tarif pelayanan ditetapkan per eposide
pengobatan. Survei-survei tentang ATP-WTP tidak akan valid selagi tarif pelayanan
puskesmas atau rumah sakit ditetapkan dengan FFS untuk masyrakat yang belum punya
asuransi karena adanya sifat uncertainty. Meskipun faktanya banyak masyarakat membayar,
maka pembayaran tersebut merupakan pembayaran terpaksa atauforced to pay (FTP)
dalam ke-penderitaan bukan karena kemauan dan kemampuannya membayar. Pertanyaan
yang paling mendasar kemudian muncul, yaitu, "apakah manusiawi dan normal jika
pemerintah memaksa penduduknya yang sedang menderita sakit membayar di luar
kemampuannya?" Data pasien di rumah sakit menunjukkan bahwa proporsi jumlah
penduduk miskin dan penduduk yang diberi keringanan sangat kecil di rumah-rumah sakit
AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 105 H Thabrany pemerintah (tidak usah kita
sajikan RS swasta) di Indonesia, jauh berada di bawah 5%. Artinya, penduduk tidak mampu
mempunyai dua pilihan, tidak berobat karena tidak punya uang atau dipaksa membayar---
dalam kependeritaan (lihat lampiran data pasien RS). Kejadian DBD yang luar biasa baru-
baru ini dapat menyadarkan kita akan ketidak-tepatan kebijakan tarif pelayanan kesehatan di
Indonesia. 5.8. Tantangan AKN Data-data survei maupun data dari fasilitas kesehatan jelas
menunjukkan bahwa terdapat barir finansial yang besar sekali bagi lebih dari 180 juta
penduduk Indonesia, dalam memenuhi kebutuhan kesehatan sebagai kebutuhan hidup yang
paling mendasar. Kebijakan publik yang ada sekarang ini belum mendukung terpenuhinya
hak-hak penduduk dalam bidang kesehatan seperti yang tercantum dalam UUD pasal
28H(I). Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa AKN merupakan suatu kehamsan.
Langkah yang ditempuh Pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan UU SJSN adalah
langkah yang sangat tepat. Kalau kita mengikuti berita atau artikel di surat kabar, sudah
berulang kali kita baca beberapa pandangan orang asing yang menolak sistem yang
mewajibkan asuransi kesehatan. Beberapa kali penulis terlibat perdebatan dengan the
International Bussiness Chambers of Commers yang dengan terbuka menyatakan menolak
AKN. Apa pasalnya? Tentu sebagai pengusaha, mereka ingin memperoleh keuntungan
yang besar dengan sedikit mungkin mengeluarkan biaya tenaga kerja. Seorang Konsultan
USAID malah pemah menyampaikan analisis bemada menakut-nakuti kepada Menko
Perekonomian, dengan menyatakan bahwa apabila SJSN dilaksanakan dalam waktu dekat,
maka akan terjadi pemutusan hubungan kerja sebanyak 300.000 orang per tahun. Apakah
benar demikian? Sesungguhnya, prilaku orang asing tersebut sudah dapat dibaca. Mereka
hanya ingin mengeruk keuntungan yang besar dari tenaga kerja murah bangsa Indonesia.
Dalam diskusi dan analisis yang lebih dalam terhadap pemyataan mereka, tampak jelas
bahwa mereka sama sekali tidak mengerti jaminan sosial, asuransi sosial maupun sistem
kesehatan. Jangankan sistem Indonesia, sistem yang berlaku di negerinya sendiri mereka
tak faham. Tidak pemah terjadi di dunia ada program jaminan sosial atau asuransi sosial
yang membuat sebuah usaha bangkrut. Kita memang harus berhati-hati dalam menanggapi
komentar orang asing, bisa jadi mereka mempunyai tujuan yang lebih jelek terhadap
kemajuan bangsa Indonesia. Akan sangat celaka, apabila mentalitas inlander masih kita
miliki, dengan mendengar begitu saja apa yang dikatakan orang asing, hanya karena ia
seorang bule! Buruh dan Pengusaha juga banyak yang terpengaruh provokasi penolakan
AKN dan kemudian menyatakan menolak atau meminta agar pembahasan RUU SJSN
ditunda.82 Dalam sebuah loka karya pembahsan RUU SJSN di Jakarta, tampak jelas di
mata penulis bahwa banyak serikat pekerja telah 'ditunggangi'. Dengan lantang mereka
menolak RUU SJSN dan menuntut perbaikan sistem Jamsostek. Ironinya, apa yang mereka
tuntut sudah jelas tercantum dalam RUU SJSN, sesuai dengan apa yang mereka tuntut!
Sebuah sistem jaminan sosial memang tidak lepas dari masalah politik praktis dan politik
bisnis. Saya AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 106 H Thabrany melihat tanda-
tanda yang amat jelas bahwa banyak serikat pekerja yang ditunggangi, sehingga tanpa
membaca dan memahami apa yang akan diatur dalam RUU SJSN, yang sesungguhnya
menjamin hak-hak mereka dengan lebih baik, justeru mereka tolak. Penunggangan serikat
pekerja dapat juga dilakukan oleh pihak-pihak yang menginginkan status quo dalam
penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia. Status quo memang dapat menguntungkan
beberapa pihak, namun rakyat akan terus menderita dan negara akan tetap mempunyai
ancaman stabilitas sosial. Inilah kenyataan kondisi di Indonesia, dimana tenaga kerja yang
berpendidikan lebih tinggi dari SLTA hanyalah 4,81 % dari 98,8 juta angkatan kerja.83
Pendidikan tenaga kerja yang rendah ini sangat mudah ditunggangi. Salah satu kendala dan
tantangan yang besar lain adalah kurangnya pemahaman tentang konsep asuransi sosial,
baik oleh pengambil keputusan, pemberi kerja, maupun tenaga kerja. Pemahaman yang
rendah tersebut menyebabkan rancangan asuransi sosial kita, askes pegawai negeri dan
askes pegawai swasta yang dikelola PT Jamsostek, menjadi lebih negatif. Kinerja PT Askes,
yang meskipun telah memiliki tingkat kepuasan yang sangat baik di kalangan yang pemah
menggunakan, sering dinilai sangat jelek oleh pegawai negeri golongan atas yang justeru
tidak pemah menggunakannya. Sulitnya PT Askes memenuhi harapan seluruh pegawai
negeri dan pensiunan, antara lain karena tingkat kontribusi (2%) yang sama sekali tidak
memadai untuk mendanai seluruh pelayanan yang hams disediakannya. Akibatnya, di masa
lalu pegawai negeri masih hams membayar urun biaya yang cukup besar." Untunglah dalam
dua tahun terakhir, Askes telah bekerja keras untuk mengubah persepsi yang keliru
tersebut. Demikian juga sikap pemberi kerja dan tenaga kerja swasta yang mempunyai
mindset kewajiban menjadi peserta sebagai suatu paksaan tak menguntungkan,
menyebabkan rendahnya partisipasi mereka pada program JPK Jamsostek. Sikap
pengambil keputusan dan masyarakat yang sangat kurang terpapar dengan kinerja AKN di
negara lain menjadi tantangan besar. Sosialisasi dan pendidikan kebijakan publik yang
memihak publik hams terus digalakkan. Masih banyak pengambil keputusan, tokoh
masyarakat, tokoh politik, bahkan akademisi yang masih memandang segala bentuk
peraturan yang mewajibkan penduduk atau pemberi kerja sebagai peraturan yang usang.
Mereka tidak sadar bahwa "hak" hanya dapat diperoleh setelah ada "kewajiban". Kewajiban
membayar kontribusi sama pentingnya dengan kewajiban membayar pajak. Tidak ada satu
negarapun di dunia yang tidak mewajibkan rakyatnya membayar pajak. Kosenkuensinya
adalah bahwa pengelolaan pungutan yang bersifat wajib hams dimonopoli oleh pemerintah
atau lembaga kuasi pemerintah yang dibentuk khusus oleh UU. Pada awal tahun 2005,
DPRD Jawa Timur, Satuan Pelaksana (Satpel) JPKM Rembang, dan Perhimpunan Bapel
JPKM (perbapel) mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas UU SJSN
khususnya pasal 5 yang menetapkan PT ASABRI, PT ASKES, PT Jamsostek, dan PT
Taspen sebagai BPJS yang dinilai monopolistis dan tidak memberi kesempatan daerah
mengembangkan jaminan social. Permohonan judicial review tersebut dipicu oleh SK
Menkes 1241 yang menunjuk PT Askes untuk menyelenggarakan program jaminan
kesehatan bagi lebih dari 36 juta penduduk dengan nilai dana sebesar Rp 2,1 Triliun. Hasil
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) memang membatalkan pasal 5 ayat 2,3 dan 4 UU
SJSN karena dinilai menutup kemungkinan daerah mengembangkan jaminan social. Namun
demikan, MK tidak membatalkan keempat BPJS tersebut untuk menyelenggarakan jaminan
socsal tingkat nasional/pusat. UU SJSN dinilai telah menampung keinginan AKN: Contoh
dan Masa Depannya di Indonesia 107 H Thabrany UUD45 pasal 34 ayat 2, namun MK
menilai bahwa pemerintah daerah tidak boleh dilarang untuk mengembangkan jaminan
sosial. Yang menjadi tugas pemerintah selanjutnya adalah bagaimana koordinasi antara
program jaminan sosial, misalnya kesehatan, yang nasional yang juga mencakup penduduk
di daerah, dan yang dikembangkan oleh daerah. Koordinasi benefit hams diatur dalam PP
atau revisi UU SJSN, jika diperlukan kelak. Pembahasan lebih lanjut tentang hasil MK ini
dibahas dalam Bab7. Banyak pihak masih juga memandang segala bentuk monopoli adalah
pelanggaran UU Antimonopoli. Padahal kalau dibaca dengan baik, UU Antimonopoli
melarang usaha bisnis yang bersifat sukarela, bukan melarang pemerintah yang mengelola
suatu program untuk kepentingan orang banyak. Tidak ada satu negarapun di dunia yang
tidak memonopoli pengelolaan pajak, kebijakan moneter, pengadilan, dan pertahanan
keamanan. Pengelolaan jaminan sosial dan AKN di AS (Medicare), Kanada (Medicare),
Australia (Medicare), Taiwan (Medicare), Korea, Filipina (Medicare) seluruhnya juga
dimonopoli oleh pemerintah atau lembaga kuasi pemerintah. Kesalah-fahaman tentang
monopoli ini juga perlu diluruskan. Namun demikian perlu disadari bahwa segala sesuatu
yang pengelolaannya bersifat monopolistik memerlukan pengawasan dan pengendalian
publik yang efektif, agar kepentingan publik dan kepuasan publik tetap menjadi prioritas dan
terjadi good governance. Kita juga hams menyadari bahwa hanya 29,3% angkatan kerja
yang bekerja pada sektor formal sebagai karyawan. Selebihnya adalah pekerja mandiri
dengan atau tanpa dibantu keluarga atau buruh tetap (BPS 2001). Jika kita mampu
memperluas asuransi kesehatan kepada pekerja di sektor formal saja beserta anggota
keluarga dan orang tua mereka, maka kita sudah bisa menjamin sekitar separuh penduduk
Indonesia. Hal tersebut sudah akan berdampak besar bagi pembangunan sumber daya
manusia dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Upaya memperluas cakupan asuransi
kesehatan kepada pekerja di sektor informal sangatlah sulit. Oleh karenanya, upaya
pemerintah untuk memberikan subsidi melalui fasilitas atau cara lain yang lebih akurat,
misalnya dengan menetapkan tarif tetap untuk suatu episode pengobatan ketimbang untuk
tiap jenis pelayanan seperti yang dilakukan di Malaysia atau Muangtai, hams tetap
dipertahankan sampai seluruh penduduk menjadi peserta AKN. Penyelenggaraan AKN
memang merupakan upaya mulia dan tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan
dasar penduduk. Namun demikian, fakta yang terjadi di dunia menunjukkan bahwa
penyelenggaraan AKN tidak bisa dilepaskan dari masalah politik. Pelaku politik yang lebih
mementingkan interest kelompoknya dapat saja menolak inisiatif AKN yang diajukan partai
lain. Syukur alhamduli11ah, tampaknya hal ini tidak terjadi di kalangan pimpinan partai politik
di dalam Komisi VII DPR yang lalu dan Komisi IX DPR saat ini. Dukungan penuh semua
fraksi dalam UU asuransi sosial kesehatan nasional, yang merupakan inisiatif DPR periode
1999-2004 dan tidak ada perbedaan prinsip dengan yang diusulkan pemerintah dalam UU
SJSN, menunjukkan rendahnya interest golongan dalam hal ini. Begitu juga Komisi IX DPR
periode 2004- 2009 cukup solid mendukung kebijakan Depkes untuk menjamin penduduk
kurang mampu melalui PT Askes. Namun demikian, di tingkat bawah masih mungkin
terdapat sentimen golongan yang dapat mengurangi dukungan terhadap AKN. AKN: Contoh
dan Masa Depannya di Indonesia 108 H Thabrany Globalisasi dan kekuatan pasar memang
tidak dapat dihindari dan tidak perlu ditakutkan. Globalisasi dan kekuatan pasar memberikan
peluang dan sekaligus ancaman bagi kita, khsususnya dalam pengembangan sebuah AKN.
Suka atau tidak suka, kita saksikan banyaknya kesalah-fahaman tentang globalisasi yang
diartikan sebagai keharusan liberalisasi dan menyerahkan sepenuhnya nasib kita kepada
mekanisme pasar global yang kemudian diartikan bahwa mewajibkan pekerja menjadi
peserta AKN sebagai bertentangan dengan globalisasi. Banyak pengusaha, bahkan juga
pengambil keputusan, yang berpandangan demikian yang menjadi faktor penghambat
terselenggaranya AKN. Meskipun seluruh negara maju di dunia telah menyelenggarakan
asuransi sosial dalam berbagai bentuknya, perlu kita sadari bahwa akan tetap ada yang
tidak setuju dengan konsep asuransi so sial yang memandangnya hanya dari satu sisi saja
seperti beban biaya bagi dirinya atau bagi sektor publik. 85 Banyak pihak kita yang tidak
menyadari bahwa ada market failure yang bersumber dari tingginya informasi asimetri yang
mengharnskan sektor publik (pemerintah) turun tangan. Globalisasi dan kekuatan pasar
tidak akan menyelesaikan segala macam masalah ekonomi dan sosial sekaligus. Joseph
Stiglitz, seorang ekonom terkemuka pemenang hadiah Nobel Ekonomi yang banyak meneliti
masalah informasi asimetri, dalam bukunya yang terbit tahun lalu telah memperingatkan
dunia akan adanya bahaya disamping harapan dari globalisasi." Ketidak fahaman akan
sebuah sistem jaminan sosial dan globalisasi dapat menjadi penghambat besar bagi AKN.
Ketidak-fahaman tentang penyelenggaraan AKN khususnya dan jaminan sosial umumnya
dapat kita lihat dari sikap-sikap yang berpendapat bahwa pemerintah tidak bertanggung-
jawab atas gangguan kesehatan keuangan badan penyelenggara. Pertanyaan "bagaimana
kalau badan penyelenggara bangkrut?" dan "bagaimana distribusi kekayaan yang dimiliki
badan penyelenggara?" menunjukkan rendahnya pemahaman tentang sebuah sistem
jaminan sosial. Ada pula anggapan yang menyatakan bahwa pemerintah tidak perlu
mensubsidi badan peyelenggara, oleh karenanya badan penyelenggara diserahkan kepada
BUMN, yang memang dasar pemikirannya harus secara finansial mandiri. Aneh!, minggu ini
kita menyaksikan keputusan Bank Indonesia menutup dua bank swasta dan pemerintah
menjamin dana nasabah tidak hilang. Bagaimana mungkin pemerintah tidak perlu turun
tangan untuk suatu sistem jaminan sosial yang memberikan manfaat kepada seluruh
rakyatnya! Kekeliruan pandang inilah yang sedang kita hadapi di negeri ini. Di banyak
negara, bahkan seluruh biaya operasional didanai dari anggaran pemerintah di luar
kontribusi pemerintah sebagai bentuk subsidi secara langsung. Sesungguhnya, suatu sistem
jaminan sosial atau AKN dirancang untuk tidak akan bangkrut kecuali pemerintah bangkrut.
Keseimbangan antara dana tekumpul dan kewajiban dalam sebuah sistem AKN atau
jaminan sosial akan terns dipantau dan disesuaikan agar selalu likuid dan solven. Inilah
hakikat sebuah jaminan sosial yang belum cukup difahami oleh banyak pihak di Indonesia.
Masih banyak tantangan-tantangan lain yang harus diatasi agar UU SJSN yang meletakan
fondasi AKN dapat segera berjalan seperti yang direncanakan. Tantangan terbesar adalah
ketidak-tahuan dan kesalah-fahaman tentang asuransi sosial dan jaminan sosial. Di
Indonesia pendidikan kebijakan publik dan pembiayaan publik (public finance) masih sangat
kurang diberikan, sehingga mekanisme asuransi sosial sangat kurang difahami. Pendidikan
kita belum seimbang memberikan pendidikan dan pemahaman AKN: Contoh dan Masa
Depannya di Indonesia 109 H Thabrany tentang kekuatan pasar dan kegagalan pasar.
Kurangnya tenaga yang memaharni, mempunyai komitmen, dan menguasai manajemen
dapat merusak berbagai keutarnaan AKN. Dalarn jangka pendek, tantangan terbesar
tersebut dapat diatasi dengan sosialisasi, pendidikan, dan pelatihan; asal kita mau dan
punya tekad untuk itu. Dalarn jangka panjang, asuransi sosial dan jaminan sosial hams
masuk dalarn mata ajaran di bidang ekonomi, kesejahteraan, kebijakan publik, dan juga di
bidang kesehatan. 5.9. Prospek Asuransi Kesehatan Nasional Sebuah sistem jaminan sosial
ataupun AKN merupakan sebuah pekerjaan besar yang tidak bisa dikerjakan oleh hanya
sebagian kecil orang dalarn waktu singkat. Sebuah jaminan sosial ataupun AKN adalah
suatu alat yang handal dalarn meningkatkan tingkat kesejahteraan rakyat dan dalarn
melakukan redistribusi pendapatan dalam mewujudkan keadilan sosial. Oleh karenanya, UU
SJSN yang merumuskan AKN sebagai salah satu sub sistemnya akan sangat dipengaruhi
oleh komitmen dan dukungan pemerintah, dukungan pelaku bisnis, dukungan para pekerja,
dan dukungan para profesi kesehatan. Di penghujung Kabinet Gotong Royong tampak
secercah harapan terwujudnya sebuah SJSN. Komitmen Pemerintah dan DPR sudah
tarnpak, meskipun belum meluas. Kalau kita berpandangan positif, sesungguhnya sudah
ada kemajuan besar dalarn perjalanan bangsa Indonesia menuju terwujudnya kesejahteraan
yang semakin merata. Perubahan UUD yang secara eksplisit mencantumkan hak rakyat
terhadap jarninan sosial dan pelayanan kesehatan dan kewajiban negara mengembangkan
jaminan sosial bagi seluruh rakyat, sesungguhnya bangsa Indonesia sudah semakin sadar
akan pentingnya SJSN. Sarnpai dokumen perubahan UUD, memang kemajuan tersebut
sudah terlihat. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita telah benar-benar menyadari
bahwa perubahan UUD yang memaksa negara, pemerintah dan seluruh rakyat, untuk
mewujudkan sebuah SJSN Pada waktu penyusunan RUU SJSN, banyak pihak yang sangsi
bahwa RUU tersebut akan selesai dibahas. Pada pidato pengukuhan penulis di Universitas
Indonesia, penulis yakin betul bahwa RUU SJSN akan selesai dibahas sebelum penggantian
anggota DPR hasil Pemilu 2004. Banyak pihak yang pesimistis, meskipun anggota DPR di
Komisi VII-menurut pandangan saya, sebenarnya sudah cukup bulat. Jika kita perhatikan
dari kinerja para anggota Dewan, khususnya Komisi VII, tampak bahwa mereka sudah
membuat dua UU inisiatif yang sarna-sarna berupaya memperbaiki dan menempatkan
sistem jaminan sosial, termasuk AKN, pada jalur yang konsisten dengan prinsip-prinsip
universal sebuah jaminan sosial. Belum pemah terjadi anggota DPR dari berbagai fraksi
secara sadar dan aklarnasi berinisiatif mengusulkan UU Asoskenas dan UU Revisi UU
Jarnsostek, yang secara substansial keduanya mempunyai konsep dasar yang sarna
dengan UU SJSN yang diajukan pemerintah. Oleh karena UU SJSN ini merupakan arnanat
Sidang Umum MPR, maka saya yakin dan penuh harap bahwa UU SJSN akan dapat
disetujui sebelum Sidang Umum yang akan datang. Tentu saja, saya yakin bahwa para
anggota Dewan juga berupaya sekuat tenaga menyelesaikan tekadnya dan arnanatnya
sendiri AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 110 H Thabrany sebelum masa
jabatannya habis. Kini kita akan bertaruh lagi, apakah AKN yang diatur dalam UU SJSN
akan bisa dilaksanakan segera? Prospek yang baik dari AKN tidak saja dapat dilihat dari
komitmen pemerintah (termasuk Tim SJSN) dan para anggota Dewan, akan tetapi dukungan
lembaga intemasional seperti ILO (International Labour Organization), WHO (World Health
Organization), Uni Eropa, GTZ (Lembaga Bantuan Teknis Pemerintah Jerman), ADB (the
Asian Development Bank), Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor lainnya merupakan
suatu faktor positif. Tiga opsi bagi Indonesia telah diidentifikasi dan disebar-luaskan oleh ILO
Indonesia, termasuk diantaranya AKN secara virtual dan faktual'", dalam bentuk laporan
sebuah kajian kepada banyak pihak di dalam maupun di luar negeri. Disamping itu, WHO
Indonesia, GTZ, dan Uni Eropa telah berulang kali mensponsori berbagai studi, seminar,
loka-karya, maupun mensponsori tenaga ahli asing untuk memberikan bantuan teknis di
Indonesia dan mensponsori tenaga Indonesia belajar di negara lain. Bank Pembangunan
Asia dan Bank Dunia juga telah berperan penting dalam pembahaman sistem pembiayaan
publik dan dalam pengembangan asuransi kesehatan melalui hibah dan persetujuan
pendanaan program-program terkait dengan asuransi kesehatan dalam pinjaman yang
diberikan. Semua itu memberikan kontribusi yang besar dalam pemahaman masalah dan
opsi-opsi perbaikan sistemjaminan sosial di Indonesia. Banyak yang tidak menyadari bahwa
sesungguhnya kita telah memiliki pengalaman lebih dari 36 tahun dalam melaksanakan
sebuah sistem asuransi kesehatan so sial bagi pegawai negeri dan keluarganya. Disamping
keluhan dan hujatan yang sering kita dengar, yang umumnya datang dari kalangan atas
peserta, masa 36 tahun sesungguhnya merupakan pelajaran yang sangat berharga dan
merupakan pondasi yang kuat bagi perluasan asuransi kesehatan so sial. Selain
pengalaman askes pegawai negeri, askes sosial pegawai swasta juga sudah
diselenggarakan sejak 10 tahun yang lalu. Masalah kronis yang dimiliki askes sosial di
Indonesia, yang menyebabkan banyaknya keluhan dan hujatan, sesungguhnya bersumber
dari rancangan sistem itu yang dengan kontribusi sangat rendah (2% gaji pokok bagi PNS
dan pensiunan pegawai negeri) hams menjamin pelayanan komprehensif. Syukurlah, sejak
tahun 2003 yang lalu, melalui PP 2812003 pemerintah telah mulai menambah kontribusi
dalam rangka perbaikan asuransi ini. Tanpa adanya perbaikan asuransi kesehatan pegawai
negeri, AKN akan sulit berkembang. Syukurlah bahwa PT Askes secara konsisten terus
berupaya memperbaiki kinerjanya terus-menerus. Pengenalan dan promosi Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) oleh Depkes, baik yang berhasil maupun yang
tidak berhasil, telah pula memberikan kontribusi kepada evolusi dan pemahaman kita
terhadap pentingnya AKN. Program JPS BK (Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan)
yang telah diluncurkan sejak awal masa masa krisis, yang dibiayai dari uang pinjaman yang
kemudian diteruskan dengan program JPK Gakin sebagai bagian dari pengalihan dana
subsidi BBM, telah juga memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi pengembangan
AKN. Program bagi penduduk miskin tersebut, yang meskipun belum menyelesaikan seluruh
masalah, telah memberikan pemahaman lebih dalam bagi pentingnya pengembangan AKN.
Program ini menunjukkan semakin kuatnya komitmen pemerintah dalam menyediakan
kebutuhan dasar kesehatan, sebagai suatu investasi SDM menuju masa depan bangsa
Indonesia yang lebih kompetitif. AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 111 H
Thabrany Tanpa komitmen pemerintah yang kuat dan tanpa perubahan cara pandang
belanja kesehatan, dari sekedar membantu rakyat miskin menjadi suatu investasi SDM,
kinerja SDM kita akan terus terpuruk. Kita hams menyadari bahwa Indeks Pembangunan
Manusia kita semakin merosot ke urutan 112 dan Indeks Daya Saing Indonesia yang berada
diurutan ke 49 dari 49 negara yang disurvei. Negara-negara yang memiliki AKN dan sistem
jaminan sosial yang kuat mempunyai IPM dan indeks daya saing yang tinggi, bahkan
memiliki indeks tingkat korupsi yang rendah. Syukurlah hal ini semakin disadari oleh kita
semua. Semuanya itu, telah dan akan terus menarnbah kazanah ilmu kita dalarn bidang
asuransi kesehatan. Banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa AKN akan menurunkan
daya saing Indonesia di pasar intemasional. Bahkan, mC-menurut penulis dengan nada
menakut nakuti, menyatakan bahwa AKN akan menyebabkan perusahaan asing enggan
berinvestasi di Indonesia. Prakteknya di negara maju dan di negara industri bam, kontribusi
jaminan sosial-termasuk kesehatan tidak menurunkan daya saing perusahaan. Masalah di
Indonesia sesungguhnya bukan kontribusi jarninan sosial atau tunjangan karyawan
(employement benefits, perks) tetapi pungutan-pungatan liar yang menarnbah beban
pengusaha. Survei biaya kesehatan yang dilakukan oleh Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan
FKMUI menunjukkan bahwa rata-rata majikan telah mengeluarkan 5,24% dari upah tenaga
kerjanya untuk biaya kesehatan karyawannya.f Jika sebuah AKN dijalankan, maka
sesungguhnya tidak banyak beban tarnbahan bagi pemberi kerja. Yang akan terjadi adalah
efisiensi yang lebih tinggi karena pool dan volume peserta yang lebih besar. Tidak akan
mungkin terjadi bahwa pengeluaran yang hanya berkisar 5-6% dari upah karyawan dapat
membuat sebuah usaha bangkrut dan tidak kompetitif. Kita hams melihatnya tidak hanya
dari biaya, akan tetapi banyak manfaat lain seperti meningkatnya moral pekerja, rasa arnan,
produktifitas, dan bahkan kejujuran pekerja akan meningkat. Sebuah rumah tangga
sekalipun, jika hams mengeluarkan kontribusi setiap bulan sebesar 5% dari pengeluaran
rutinnya tidak akan membuat rumah tangga itu kolaps. Hams diingat bahwa pengeluaran
tersebut bukanlah pengeluaran sumbangan, akan tetapi pengeluaran kontijensi untuk
membiayai diri mereka sendiri. Untuk meyakinkan bahwa kontribusi untuk AKN tidak akan
membuat sebuah usaha bangkrut, saya menganalisis data-data dari Badan Pusat Statistik
tahun 1993 sarnpai tahun 2000. Temyata telah terjadi kenaikan upah riil tenaga kerja kita
yang cukup berarti sejak diundangkan UU Jarnsostek. Sejak tahun 1993 UU Jamsostek
sudah mewajibkan pemberi kerja memberikan kontribusi sebesar 12,7% upah (hanya 2%
kontribusi tenaga kerja). Temyata tingkat upah riil tetap meningkat. Artinya-beban tersebut
tidak mengurangi kemarnpuan perusahaan meningkatkan upah tenaga kerjanya. Analisis
lebih lanjut dari data tahun 2000 tentang proporsi biaya tenaga kerja terhadap biaya
produksi menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan hanya mengeluarkan 8,1% saja dari
biaya produksi untuk upah tenaga kerjanya. Jika kontribusi AKN sebesar 5% yang
sepenuhnya ditanggung perusahaan, maka dampak kontribusi tersebut terhadap
peningkatan biaya produksi hanyalah 0,05 x 8,1% atau hanya akan meningkatkan biaya
produksi sebesar 0,4%. Pecayakah kita bahwa kontribusi AKN yang diwajibkan kepada
pemberi kerja dapat menurunkan daya saing produk? Fakta sederhana saja menunjukkan
bahwa di pasar Indonesia terdapat begitu banyak produk dari negara-negara maju yang
mewajibkan pemberi kerja berkontribusi lebih besar dari itu. AKN: Contoh dan Masa
Depannya di Indonesia 112 H Thabrany Ditinjau dari persepsi tentang kemungkinan,
manfaat, dan kesediaan pemberi kerja mengikuti sebuah skema AKN, saya melakukan
sebuah survei kecil kepada 100 direktur/manajer sumber daya manusia di Jakarta. Survei
pendahuluan tersebut menunjukkan bahwa mayoritas direktur SDM mempunyai pandangan
positif tentang AKN. Bahkan 83% dari mereka setuju kalau AKN dimulai pada tahun 2004 ini.
Bahkan ketika ditanyakan apakah karyawan mereka keberatan membayar tambahan iuran
3%, 61 % menyatakan tidak. Meskipun survei ini baru merupakan survei pendahuluan dan
survei dengan sampel yang lebih besar masih diperlukan, sudah mulai tergambarkan bahwa
sesungguhnya apabila pemberi kerja dan pekerja memahami apa yang akan dilakukan oleh
sebuah sistem AKN, sesungguhnya mereka memahami manfaat besar bagi perusahaan dan
karyawannya. Hal ini konsisten dengan sikap para pengusaha di Korea Selatan dan
Muangtai yang saya temui. Dengan demikian, kita tidak perlu takut memulai pengembangan
AKN. Apabila penyelenggaraan AKN sudah bisa dirasakan manfaatnya, pengusaha bahkan
akan sangat mendukung seperti yang dilaporkan oleh Duque. 89 Sebuah sistem AKN
sesungguhnya tidak hanya berdampak besar pada akses pelayanan kesehatan yang
merupakan kebutuhan paling mendasar bagi manusia yang hidup di muka bumi ini. Sebuah
sistem AKN juga akan berdampak pada banyak aspek kehidupan manusia lain dan bahkan
kepada good governance, baik dalam pemerintahan maupun dalam mengelola suatu badan
usaha. Di Indonesia, saya yakin bahwa sistem AKN juga akan berdampak pada peningkatan
kepatuhan pembayar pajak, karena dalam AKN hubungan kontribusi wajib dengan manfaat
yang diterima oleh peserta akan sangat dekat. Hal ini merupakan suatu media pendidikan
kepatuhan penduduk dalam memberikan kontribusi untuk kepentingan bersama. Di bidang
praktek kedokteran, tidak diragukan lagi bahwa AKN mempunyai dampak besar bagi
profesionalisme praktek dokter dan rumah sakit. Sebuah sistem AKN akan lebih menjamin
terselenggaranya penataan praktek dokter keluarga yang amat dicita citakan oleh
Departemen Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia. Fakta-fakta di dunia menunjukkan
bahwa sistem praktek dokter keluarga hanya bisa berjalan apabila ditunjang oleh sebuah
sistem pembiayaan melalui AKN atau sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah. Sebuah sistem
AKN juga akan mendorong pemerataan distribusi dokter dan rumah sakit, karena terjadinya
maldistribusi dokter dan rumah sakit-yang terkonsentrasi di kota besar terjadi karena
'duit'nya ada di kota. Tanpa AKN, hanya masyarakat kotalah yang mampu membeli jasa
medik dokter maupun rumah sakit. Akan tetapi dengan AKN, yang menjamin semua orang,
uang akan terdistribusi lebih merata (money follow patients). Dokter, rumah sakit, dan
fasilitas kesehatan lainnya akan dengan sendirinya mengikuti distribusi peserta atau pasien.
Untuk mencakup seluruh penduduk kita memerlukan berbagai kondisi seperti, stabilitas
politik, stabilitas keamanan, porsi pekerja di sektor formal yang semakin meningkat,
infrastruktur perpajakan, tingkat pendatapan penduduk, jaringan PPK, dan kemampuan
manajemen." Akan tetapi, kita tidak boleh menunggu agar semua kondisi tersebut terpenuhi.
Akan terlalu banyak korban dan kesulitan jika kita menunggu kondisi tersebut terpenuhi.
Stabilitas politik dan keamanan merupakan prasyarat utama, sedangkan kondisi lainnya
dapat kita bangun bersama-sama dengan upaya perluasan cakupan AKN. Upaya untuk
mencapai cakupan universal melalui AKN dapat dimulai dari sektor yang AKN: Contoh dan
Masa Depannya di Indonesia 113 H Thabrany mudah dikelola, yaitu mencakup seluruh
pekerja di sektor formal terlebih dahulu seperti yang dilakukan berbagai negera di dunia. N
amun demikain, kita hams menyadari bahwa AKN adalah alat untuk mencapai cakupan
universal, bukan tujuan. Sebuah sistem AKN merupakan alat yang ampuh yang telah
dibuktikan di negara lain, khususnya di negara yang komitmen NHSnya rendah atau
penerimaan negara dari pajak relatif rendah. Tampaknya kondisi Indonesia, dimana belum
sampai 5% penduduk Indonesia yang telah memiliki NPWP dan karenanya rutin membayar
pajak, sistem AKN jauh lebih layak dari sistem NHS. Think big, start small, act now! Itulah
yang harus kita lakukan. Kita tidak boleh menunggu sampai ekonomi baik, sampai fasilitas
kesehatan siap, atau sampai kemampuan manajemen memadai. Pada waktu Otto von
Bismark memperkenalkan asuransi sosial kesehatan di tahun 1883, keadaan ekonomi
Jerman masih lebih jelek dari kondisi kita sekarang. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor
formal hanya 10% dari total tenaga kerja pada waktu itu." Pada waktu Inggris
memperkenalkan AKN di tahun 1911, dan kemudian mengubah menjadi NHS di tahun 1948,
kondisi ekonomi dan fasilitas kesehatannya juga tidak sebagus yang kita miliki sekarang.
Pada waktu Presiden Rosevelt di Amerika memperkenalkan jaminan sosial di tahun 1935,
yang kemudian diamandemen dengan manambah Medicare di tahun 1965, juga keadaan
ekonomi dan fasilitas kesehatan Amerika tidak sebaik yang kita miliki sekarang. Pada waktu
Malaysia memulai sistem NHSnya, atau Filipina memulai AKNnya, kondisinya juga belum
sebaik yang mereka miliki sekarang. Akan tetapi memang kita hams menyadari berbagai
keterbasan yang kita miliki. Kita hams melaksanakan AKN dengan tetap hati-hati dan
realistis. Ambisi yang terlalu besar hanya akan menghancurkan sistem yang akan kita
bangun. Fasilitas kesehatan dan mutu pelayanan yang disediakannya hams terns diperbaiki,
sambil kita memperluas cakupan kepesertaan. Manajemen AKN hams terus dikembangkan
untuk menjamin bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan memenuhi kebutuhan dan
harapan peserta dan kemudian seluruh penduduk. Evaluasi hams terus menerus dijalankan
agar kita dapat terus memperbaiki kinerja AKN. Segala tantangan, keberatan, dan ketidak-
puasan hams terus diatasi secara seksama dan tuntas. Program AKN baru akan berhasil
baik jika semua pemberi kerja, pekerja, dan seluruh peserta merasa perlu dan diuntungkan
dengan menjadi peserta AKN. Sering kita tidak menyadari bahwa sesungguhnya sebagian
besar rakyat kita tidak akan mampu memenuhi kebutuhan kesehatannya. Banyak diantara
kita pun bisa jadi tidak mampu membiayai pelayanan kesehatan yang kita perlukan di saat
kita memerlukannya, jika suatu penyakit berat dan mahal pengobatannya menimpa kita. Kita
tidak boleh mengatakan bahwa asuransi kesehatan tidak penting atau tidak kita perlukan
hanya karena kita belum pemah merasakan manfaat atau mengalami kebutuhan. Inilah
hakikat asuransi, menjamin masa depan, masa dimana kita belum pemah mengalaminya.
Inilah pula tantangan terbesar yang menyebabkan banyak pihak, tanpa menyadari bahwa
dirinya suatu ketika juga dapat jadi miskin karena sakit, tidak mendukung sebuah sistem
AKN. Kita memang hams menunjukkan bukti untuk meyakinkan banyak pihak. Untuk AKN:
Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 114 H Thabrany menujukkan bukti tersebut,
diperlukan keberanian bertindak. Tidak ada bukti, tanpa keberanian bertindak. Perjalanan
jauh dimulai dari langkah pertama yang kecil, bangunan besar dimulai dari pemasangan
batu yang kecil, dan rasa kenyang dimulai dengan sesuap makanan. Sebuah AKN yang
besar dapat kita mulai dengan menata batu satu persatu sampai ia menjadi bangunan
besar. Rujukan 1 Feldstein PJ. Health Care Economics. 4th Ed. Delmar Publ. Albany, NY,
USA. 1993 2 Henderson JW. Health Economics and Policy. 2nd Ed. South-Western
Thomson Learning. Mason, Ohio, USA 2002 3 Thabrany, H. Kegagalan Pasar dalam
Asuransi Kesehatan. MKl Juni 2001 4lihat UU 9/1969 BUMN jo UU BUMN 2003 5 Azwar, A.
Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta,
1996 6 Azwar, A. Catatan Tentang Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Yayasan
Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta, 1995 7 Sulastomo. Asuransi Kesehatan dan
Managed Care. PT Asuransi Kesehatan Indonesia, Jakarta. 1997 8 Thabrany. H. Introduksi
Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta, 1999 9 HIAA.
Gorup Health Insurance part A. HIAA, Washington DC. 1997 10 Dixon A and Mossialos E.
Health System in Eight Countries: Trends and Challenges. The European Observatory on
Health Care Systems. London, 2002 11 Henderson JW. Op Cit 12 Rejda, GE. Social
Insurance and Economic Security. 3rd Ed. Prentice Hall, New Jersey, USA. 1988 13
Friedlander WA and Apte RZ. Introduction to Social Welfare. Prentice Hall. Englewood, New
Jersey, USA, 1980 14 Keintz RM. NHI and Income Distribution. D.C. Health and Company,
Lexington, USA, 1976 15 Merritt Publishing, Glossary of Insurance Terms, Santa Monica,
CA, USA 1996 16 Tuohy CH. The Costs Of Constraint And Prospects For Health Care
Reform In Canada. Health Affairs: 21(3): 32-46,2002 17 Vayda E dan Deber RB. The
Canadian Health-Care System: A Devdelopmental Overview. Dalam Naylor D. Canadian
Health Care and The State. McGill-Queen's University Press. Montreal, Canada, 1992 18
Roemer MI. Health System of the World. Vol II. Oxford University Press. Oxford, UK. 1993
19 Thabrany, H. Kegagalan Pasar. Op Cit 20 Keintz RM. National Health Insurance and
Income Distribution. D.C. Health and Company, Lexington, USA, 1976 21 Rubin, HW.
Dictionary of Insurance Terms. 4th Ed. Barron's Educational Series, Inc. Hauppauge, NY,
USA 2000 22 Dixon and Mossialos. Op Cit. 23 Stier1e. F. German Health Insurance System.
Makalah disajikan pada Seminar Asuransi Kesehatan Sosial, Jakarta 2001 AKN: Contoh dan
Masa Depannya di Indonesia 115 H Thabrany 24 Rucket, P. Universal Coverage And
Equitable Access To Health Care: The European and German Experience. Makalah
disajikan pada Asia Pacific Summit on Health Insurance and Managed Care. Jakarta, 22-24
Mei, 2002 25 Lankers, e. The German Health Care System. Makalah disajikan pada
Kunjungan Tim SJSN di Berlin, 24 Juni 2003 26 Schoultz F. Competition in the Dutch Health
Care System. Rotterdam, 1995 27 Dixon and Mossialos. Op Cit 28 Roemer, Milton I. Op Cit
29 www.health.gov.au 30 Hall JIourenco RA and Viney R. Carrots and Sticks- The Fall and
Fall of Private Health Insurance in Australia. Health Econ 8 (8):653-660, 1999 31 Dixon A
and Mossialos E. Op Cit 32 Yoshikawa A, Bhattacharya J, Vogt WB. Health Economics of
Japan. University of Tokyo Press, Tokyo, 1996 33 Okimoto DI dan Yoshikawa A. Japan's
Health System: Efficiency and Effectiveness in Universal Care. Faulkner & Gray Inc. New
York, USA, 1993 34 Nitayarumphong S. Universal Coverage of Health Care: Challenges for
Developing Countries. Paper presented in Workshop of Thailand Universal Coverage. 2002
35 Lee YC, Chang HJ dan Lin PF. Global Budget Payment System: Lesson from Taiwan.
Makalah disajikan dalam Summit 36 BNHI. National Health Insurance Profile 2001. BNHI,
Taipei 2002 37 Liu CS. National Health Insurance in Taiwan. Makalah disajikan pada
Seminar Menyongsong Asuransi Kesehatan Nasional, Jakarta 3-5 Maret 2004 38 Rachel Lu
J and Hsiao We. Does Universal Health Insurance Make Health Care Unaffordable? Lessons
From Taiwan. Health Affairs: 22(3): 77-88,2003 39 Cheng TM. Taiwan's New National Health
Insurance: Genesis and And Experience So Far. Health Affairs: 22(3):61-76 40 Am-Gu.
National Health Insurance in Korea. Makalah disajikan dalam Loka Karya Sistem Jaminan
Sosial di Bali, 10-17 Februari 2004 41 Thabrany, H. Universal Coverage in Korea and
Thailand. Laporan kepada Proyek Social Health Insurance, Uni Eropa. Oktober 2003. 42
Park, . National Health Insurance in Korea, 2002. Research Division, NHIe. Memeograph
presented for an Indonesian delegate. 43 Pongpisut. Achieving Universal Coverage of
Health Care in Thailand through 30 Baht Policy. Makalah disampaikan pada SEAMIC
Conference, Chiang Mai, Thailand, 14-17 Januari 2002 44 Siamwalla A. Implementing
Universal Health Insurance. Dalam Pramualratana P dan Wibulpopprasert S. Health
Insurance Systems in Thailand. HSRI, Nonthaburi, Muangtai, 2002 45 Tangchareonsathien
V, Teokul, W dan Chanwongpaisal L. Thailand Health Financing System. Makalah disajikan
pada Loka Karya Social Health Insurance, Bangkok, 7-9 Juli 2003 46 SSO. Social Health
Insurance Scheme in Thailand. SSO, Bangkok 2002 47 WHO/SEARO. Social Health
Insurance: Report of a Regional Consultation. WHO, New Delhi, 2003 48 Novales MA dan
Alcantara MO. National Health Insurance Program in Philippines. Makalah disampaikan
pada Summit Jakarta 49 EkaPutri. A. National Health Insurance Program in Decentralized
Government in Archipelago Country: Lesson from the Philippine. Makalah Studio Asian
Scholarship Foundation, 2003. 50 WHO/SEARO.Social HI. Op Cit 51 Sulastomo. Asuransi
Kesehatan Sosial-Sebuah Pilihan. Raja Grafindo Persada. Jakarta 2002 AKN: Contoh dan
Masa Depannya di Indonesia 116 H Thabrany 52 Sutadji OA. Pengalaman PT Askes dalam
Menyelenggarakan Asuransi Kesehatan Sosial untuk Masyarakat Umum. Makalah
disampaikan pada Loka Karya Menyongsong AKN, Jakarta 3-4 Maret 2004. 53 UU SJSN,
2004 54 Dionne G. Hand Book of Insurance. Kluwer Publication, Boston, 2000 55 Rejda. Op
Cit 56 Rosen HS. Public Finance.5th Ed. MC-Graw Hill. New York, USA. 1999 57 Dionne G,
Op Cit. 58 Rosen, Oc Cit. 59 Rejda. Op Cit. 60 Butler Op Cit 61 WHO/SEARO Op Cit. 62
Thabrany, H. Rasional Pembayaran Kapitasi. yP illI. 2000 63 Feldstein. Op Cit 64 Hederson
Op Cit 65 Roemer. Op Cit 66 Thabrany, H. Rancang Bangun Sistem Jaminan Kesehatan.
Kompas 20-11-2001 67 Dixon Op Cit. 68 Roemer. Op Cit. 69 ILO Indonesia. Social Security
and Coverage for All: Restructuring Social Security Scheme in Indonesia-Issues and
Options. ILO, Jakarta 2002 70 Thabrany dkk. Review Pembiayaan Kesehatan Kesehatan di
Indonesia. Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan Universitas Indonesia, Depok, 2002 71 Saadah
F, Pradhan M, dan Sudarti. Indonesian Health Sector: Analysis of National Social Economic
Surveys for 1995,1997, and 1998. Mimegoraf, World Bank, 2001 72 Pradhan M and Prescott
N. Social Risk Menagement Options for Medical Care in Indonesia. Health Econ. 11: 431--
446 (2002) 73 Thabrany, H dkk. Review Pembiayaan. Op Cit 74 WHO. World Health Report
2000.p55, Geneva, 2001 75 Asher MG. The Pension System in Singapore. The World Bank,
Washington DC, USA, 1999 76 ILO Int. Social Security of the World. ILO, Geneva 2002 77
Viroj, T. Makalah dipresentasikan di Loka Karya SHI Bangkok, Juli 2003. 78 Pongpisut, Op
Cit. 79 SSO- Thailand. Op Cit 80 Yeung RM, Smith RD, McGhee SM. Willingness to pay and
size of health benefit: an integrated model to test for 'sensitivity to scale'. Health Econ. 1: ....
(2003) 81 Ryan M. A comparison of stated preferencemethods for estimating monetary
values. Health Econ. 4: (2003) 82 Jakarta Post, 13 Februari 2004 83 BPS. Statistik
Indonesia 2001. BPS, Jakarta, 2002 84 Sutadji. Op Cit. 85 Gertler P and Solon O. Who
Benefits from Social Health Insurance in Developing Countries. memeograf, Berkeley, USA,
2000 86 Stiglitz. J. The Roraring Ninties-Seeds of Destruction. Allen Lane. London, UK, 2003
87 ILO Indonesia. Op Cit 88 Chusnun, P. dkk. Laporan Survei Biaya Kesehatan Karyawan,
PKEK UI, 2003 89 Duque III FT. Universal Social Health Insurance Coverage in the
Philippine. Makalah disajikan pada Regional Consultation on SHI. Bangkok, 7-9 Juli 2003 90
Thabrany H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta 1999. 91 Rucket
P. Op Cit AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 117 H Thabrany BAB6 Sistem
Pembayaran Fasilitas Kesehatan 6.1. Pendahuluan Pelayanan kesehatan di Indonesia
tumbuh dan berkembang secara tradisional mengikuti perkembangan pasar dan sedikit
sekali pengaruh intervensi pemerintah dalam sistem pembayaran. Dokter, klinik, dan rumah
sakit pemerintah maupun swasta sama-sama menggunakan sistem pembayaran jasa per
pelayanan (fee for service) karena secara tradisional sistem itulah yang berkembang. Sistem
ini juga merupakan sistem paling sederhana yang tumbuh dan terus digunakan karena
tekanan untuk pengendalian biaya belum tampak. Di negara maju, baik di Eropa, Amerika,
maupun Asia, tekanan tingginya biaya kesehatan sudah lama dirasakan. Semua pihak ingin
mengendalikan biaya kesehatan tersebut, karena semua pihak sudah merasakan beban
ekonomi yang berat untuk membayar kontribusi asuransi kesehatan sosial atau anggaran
belanja negara, atau membeli premi asuransi kesehatan. Tekanan inilah yang mendorong
implementasi berbagai sistem pembayaran kepada fasilitas kesehatan. Di Indonesia, biaya
pelayanan kesehatan masih sangat rendah, bahkan boleh dikatakan masalah sesungguhnya
yang kita hadapi adalah masalah rendahnya biaya kesehatan, rendahnya akses kepada
fasilitas kesehatan, dan bukan mahalnya biaya kesehatan. Meskipun tekanan untuk
penerapan berbagai sistem pembayaran belum besar di Indonesia, praktek beberapa sistem
pembayaran altematif, selain jasa per pelayanan, sudah dilaksanakan oleh beberapa pihak
misalnya PT Askes Indonesia dan beberapa perusahaan yang sudah merasakan perlunya
kendali biaya. Dalam bab ini kita akan mengupas berbagai altematif sistem pembayaran
yang di masa datang, mau tidak mau, kita akan menerapkannya. Undang-undang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang akan mendorong tumbuhnya sistem asuransi
kesehatan sosial di Indonesia sudah mengantisipasi hal itu dan karenanya sudah
memberikan indikasi akan perlunya penerapan sistem pembayaran prospektif. Bahkan pada
tahun 2005 ini Departemen Kesehatan telah memulai penerapan SJSN tersebut dengan
memberikan jaminan kepada penduduk yang berobat ke puskesmas atau dirawat di RS
kelas III. Sistem jaminan oleh Pemerintah ini dikelola oleh PT Askes agar sistem
pembayaran dapat dilaksanakan guna mendorong efisiensi dalam sistem kesehatan
Indonesia. Dalam sistem tersebut, PT Askes sudah mencanangkan untuk membayar
puskesmas dengan sistem kapitasi dan membayar RS dengan sistem paket. Berbagai
sistem pembayaran lain akan dibahas dalam bab ini untuk memberikan pemahaman kepada
para pembaca. Sebelum kita memulai membahas sistem pembayaran, dalam bab ini akan
dibahas secara ringkas masalah-masalah dalam biaya kesehatan. Biaya kesehatan adalah
masukan (input) finansial yang diperlukan dalam rangka memproduksi pelayanan
kesehatan, baik yang bersifat promotif-preventif maupun yang bersifat kuratif-rehabilitatif.
Tidak ada dikotomi pembiayaan kesehatan untuk kegiatan promotif-preventif dengan kuratif-
rehabilitatif. Semua Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 118 H Thabrany kegiatan
tersebut merupakan suatu kesinambungan (continuum) yang perlu dilaksanakan guna
mencapai tujuan kesehatan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Masukan
finansial, berupa dana dari pemerintah maupun dari masyarakat kemudian dihitung per unit
pelayanan. Jumlah uang yang dibelanjakan untuk memproduksi satu unit atau kelompok unit
pelayanan merupakan biaya produksi pelayanan kesehatan. Fasilitas kesehatan kemudian
menagih atau meminta pasien membayar (baik langsung dari kantong pasien sendiri
maupun dari pihak pembayarnya) sejumlah uang yang biasanya lebih besar dari biaya
produksi. Tagihan ini disebut harga pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan. Harga
pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan merupakan biaya bagi pembayar. Sebagai
contoh, tagihan rumah sakit sebesar Rp 1.000.000 kepada seorang pasien peserta PT
Askes atau PT Jamsostek merupakan harga atau tarif (bukan biaya) bagi rumah sakit. Akan
tetapi, tagihan tersebut menjadi biaya bagi PT Askes atau PT Jamsostek karena besarnya
uang yang dibayarkan oleh kedua asuransi tersebut merupakan beban biaya yang hams
dikeluarkan dalam rangka produksi sistem asuransi yang dikelolanya. Dalam bab ini, fokus
pembahasan adalah biaya kesehatan yang diperlukan dalam memproduksi satu unit
pelayanan kesehatan. Berbagai faktor seperti biaya hidup pegawai fasilitas kesehatan,
tuntutan dokter, harga obat obatan, harga dan kelengkapan peralatan medis, biaya listrik,
biaya kebersihan, biaya perijinan dan sebagainya menentukan biaya pelayanan kesehatan
di fasilitas kesehatan. Pelayanan medis, khususnya di rumah sakit, mempunyai dilema yang
tidak dimiliki oleh pelayanan lain seperti pada pelayanan hotel, bengkel mobil, dan
pelayanan restoran. Pelayanan medis di rumah sakit merupakan pelayanan yang dibutuhkan
setiap orang di era modem, paling sedikit sekali dalam masa hidupnya. Pelayanan medis di
rumah sakit bersifat tidak pasti (uncertain) (Feldstein, 1998; Phelps; Rappaport;), baik waktu,
tempat, maupun besar biaya yang dibutuhkan (Thabrany, 2005).1 Karena sifat pelayanan
yang tidak pasti, maka tidak semua orang siap dengan uang yang dibutuhkan untuk
membiayai pelayanan tersebut. Di lain pihak, rumah sakit yang tidak mendapat pendanaan
sepenuhnya dari pemerintah mengalami dilema hams menutupi biaya-biaya yang
dikeluarkan seperti jasa dokter, bahan medis habis pakai, sewa alat medis, biaya listrik,
biaya pemeliharaan gedung, dan biaya-biaya modal atau investasi lainnya. Dalam
pelayanan rumah sakit, sering terdapat bad debt, yang merupakan biaya rumah sakit yang
tidak bisa ditagih kepada pasien atau keluarga pasien. Agar rumah sakit bisa terus
menyediakan pelayanan, besarnya bad debt hams dikompensasi dengan penerimaan lain,
yang seringkali dibebankan, baik secara eksplisit maupun diperhitungkan dalam rencana
perhitungan pentarifan, kepada pasien lain yang mampu membayar atau yang dibayar oleh
majikan pasien atau oleh perusahaan asuransi. 6.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya
kesehatan Pada garis besarnya, biaya pelayanan medis di rumah sakit terus meningkat dari
tahun ke tahun di negara manapun. Menurut Donald F Beck (1984i peningkatan biaya
pelayanan medis bersumber dari dua kelompok utama yaitu inflasi biaya normal dan biaya
pelayanan yang baru dan lebih baik. Komponen inflasi biaya rumah sakit mencakup dua
pertiga kenaikan biaya rumah sakit dan sepertiga kenaikan biaya bersumber dari pelayanan
teknologi baru yang lebih baik dan lebih mahal. Howard Smith dan Myron Fottler (1985)3
menyatakan Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 119 H Thabrany bahwa inflasi biaya
kesehatan selalu lebih tinggi dari inflasi biaya umum karena dalam banyak hal pimpinan
rumah sakit tidak punya kendali atas biaya pelayanan medis di rumah sakit itu. Selain rumah
sakit, kebijakan pemerintah, pembayar pihak ketiga seperti asuransi, tenaga kesehatan
sendiri, dan masyarakat tidak memiliki insentif untuk mengendalikan biaya. Apa yang
disampaikan oleh para ahli di Amerika dapat tampak jelas kita amati di Indonesia. Peraturan
Menteri Kesehatan menggariskan tarif pelayanan dengan mempertimbangkan biaya satuan
(unit cost). Berbagai buku pedoman dan pelatihan-pelatihan yang diberikan di berbagai
perguruan tinggi telah menerjemahkan biaya satuan dalam satuan terkecil seperti konsultasi
dokter, biaya imunisasi, biaya pasang pen, dan sebagainya. Karena dokter dibayar untuk
tiap konsultasi, bukan untuk satu episode pengobatan sampai pasien sembuh, maka dokter
akan senang memberikan konsultasi atau visite yang lebih banyak. Semakin banyak dokter
visite kepada pasien yang dirawat, semakin banyak penghasilannya. Di sisi lain, pasien
menilai bahwa dokter yang sering visite adalah dokter yang baik dan pasien lebih senang
jika dokter lebih sering visite. Jika pasien hams membayar sendiri, hampir tidak pemah
pasien menolak visite dokter karena menyadari bahwa biayanya akan tambah mahal. Pasien
juga tidak mampu mengetahui apakah visite dokter perlu sesering itu atau cukup sekali dua
kali. Apabila perawatan pasien dibayar oleh majikan atau asuransi, pasien tambah senang
dengan semakin banyak visite dokter, karena tidak ada beban biaya yang akan
dikeluarkannya. Hatinya semakin tenang dan menilai bahwa dokter tersebut baik sekali.
Sang dokter pun semakin senang, karena penghasilannya akan bertambah. Maka terjadilah
kolusi sempuma yang menyebabkan biaya perawatan tambah mahal. Kolusi dokter-pasien
dalam sebuah sistem dimana pasien tidak membayar sendiri sebagian besar biaya
kesehatan bagi dirinya mendapat pupuk yang subur dari kemajuan teknologi. Teknologi
sinar rontgen, sinar gama, dan bahkan gelombang suara telah digunakan dalam diagnosis
suatu penyakit seperti CT Scan, Gama Knife, dan USG tiga dimensi dan berwarna. Dokter
semakin suka dengan perkembangan teknologi tersebut karena banyak hal yang dahulu
tidak bisa diketahui kini bisa diketahui dengan lebih akurat. Namun hams disadari bahwa
teknologi baru tersebut mahal harganya, karena riset penemuannya ditambah marjin
keuntungan pembuat alat-alat canggih memang tinggi. Dokter tidak bertepuk sebelah
tangan, karena pasien yang mendapat pelayanan teknologi canggih yang bisa
didemonstrasikan di hadapannya juga merasa senang. Seorang ibu hamil akan sangat
senang diperlihatkan tampilan pemeriksaan USG tiga dimensi dan bewama. Yang tidak
diketahui oleh pasien adalah harga yang hams dibayar atas kesenangan dirinya dan
kesenangan dokter yang menggunakan alat tersebut. Maka jadilah teknologi baru dan lebih
baik menambah tingginya biaya diagnosis dan pengobatan di rumah sakit. Tingginya biaya
kesehatan yang diperlukan untuk memproduksi satu unit pelayanan menyebabkan rumah
sakit menagih (charge) ke pasien atau ke pihak penjamin (asuransi) semakin tinggi. Apalagi
jika rumah sakit tersebut bersifat pencari laba (for profit) dimana pemodal menuntut uang
yang ditanam untuk membangun rumah sakit dan berbagai biaya yang terkait dengan itu
kembali dalam jangka waktu tertentu. Seperti telah disinggung dimuka, sistem pembayaran
jasa per pelayanan (retrospektif, karena biasanya baru diketahui besarannya setelah seluruh
pelayanan diberikan kepada pasien), lebih mendorong tingginya tagihan yang hams dibayar
penjamin atau pasien. Tingginya tagihan rumah sakit, yang menjadi biaya bagi pihak
asuransi, mendorong pihak asuransi atau pemerintah (dalam Sistem Pembayaran Fasilitas
Kesehatan 120 H Thabrany hal biaya rumah sakit bagi penduduk dibayar pemerintah-seperti
yang dilakukan di Malaysia), untuk mengembangkan sistem pembayaran prospektif. Secara
umum, sistem pembayaran pelayanan rumah sakit dapat berbentuk satu atau lebih dari
pilihan berikut (Kongstvedt, 1996). • Sesuai tagihan, biasanya secara retrospektif dan sesuai
jasa per pelayanan • Sesuai tagihan akan tetapi dengan negosiasi diskonlrabat khusus •
Diagnostic related group • Kapitasi • Per kasus • Per diem • Bed leasing (sewa tempat tidur)
• Performance based incentives • Global budget 6.3. Sistem Pembayaran Retrospektif
Berbagai aspek pembayaran retrospektif Pembayaran retrospektif sesuai narnanya berarti
bahwa be saran biaya dan jumlah biaya yang hams dibayar oleh pasien atau pihak
pembayar, misalnya asuransi atau perusahaan majikan pasien, ditetapkan setelah
pelayanan diberikan. Kata retro berarti di belakang atau ditetapkan belakangan setelah
pelayanan diberikan. Cara pembayaran retrospektif merupakan cara pembayaran yang
sejak awal pelayanan kesehatan dikelola secara bisnis, artinya fihak fasilitas kesehatan
menetapkan tarif pelayanan. Oleh karenanya cara pembayaran ini disebut juga dengan cara
pembayaran tradisional atau fee for service (jasa per pelayanan). Di Indonesia, cara
pembayaran jasa per pelayanan sering disebut dengan istilah cara pembayaran out of
pocket (dari kantong sendiri). Penggunaan istilah cara pembayaran dari kantong sendiri
(DKS) untuk cara pembayaran jasa per pelayanan (IPP) sesungguhkan tidak tepat. Cara
pembayaran jasa per pelayanan adalah cara fasilitas kesehatan menagih biaya yang dirinci
menurut pelayanan yang diberikan, misalnya biaya untuk tiap visite dokter, infus, biaya
ruangan, tiap jenis obat yang diberikan, tiap jenis pemeriksaan laboratorium, dsb.
Sedangkan DKS merupakan sumber dana untuk membayar secara IPP. Pembayran DKS
dapat berbentuk IPP dan dapat juga berbentuk sejumlah uang tetap. Misalnya di Malaysia,
seorang pasien yang berobat di RS publik (RS pemerintah) hanya membayar 3 RM per hari
(setara dengan Rp 6.300 di tahun 2005) untuk setiap hari perawatan, meskipun perawatan
tersebut merupakan perawatan sakit ringan maupun perawatan untuk transplantasi ginjal.
Jumlah pembayaran DKS sendiri itu sudah termasuk obat-obtan dan segala macam
tindakan yang diberikan kepada pasien. Di Muangtai, pasien hanya membayar 30 Baht per
episode perawatan, artinya sarnpai pasien pulang dari rumah sakit tanpa memperhatikan
jumlah hari perawatan. Jadi cara pembayaran IPP tidak selalu sarna dengan cara
pembayaran DKS. Selain DKS, pembayaran IPP dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan
untuk seorang karyawan atau anggota keluarga karyawan tersebut yang menjadi
tanggungan perusahaan. Pembayaran IPP juga dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi
yang menjadi penanggung pembayaran seorang pasien yang telah Sistem Pembayaran
Fasilitas Kesehatan 121 H Thabrany membeli polis asuransi. Bahkan di Indonesia, berbeda
dengan teori yang dipromosikan, bapel-bapel Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarkat
(JPKM) juga masih membayar rumah sakit dengan cara pembayaran JPP. Kekeliruan faham
tersebut dapat difahami karena lebih dari 80% pelayanan rumah sakit di Indonesia memang
masih dibayar oleh pasien sendiri (bukan oleh asuransi maupun majikan) dan karenanya
sumber dananya adalah dari kantong keluarga pasien (DKS). Memang cara pembayaran
JPP akan tetap subur pada lingkungan dimana pasien tidak memiliki asuransi dan
membayar setiap pelayanan yang ditagih fasilitas kesehatan. Dari sisi pengendalian biaya
kesehatan, cara pembayaran JPP ini mempunyai kelemahan karena fasilitas kesehatan
maupun dokter akan terus dirangsang (mendapat insentif) untuk memberikan pelayanan
lebih banyak. Semakin banyak jenis pelayanan yang diberikan semakin banyak fasilitas
kesehatan atau dokter mendapatkan uang. Jangan heran kalau pada beberapa rumah sakit,
lima atau enam dokter spesialis berbeda melakukan visite kepada seroang pasien yang
sama setiap hari. Semakin banyak visite dokter, semakin banyak dokter tersebut
memperoleh jasa atau penghasilan. Begitu juga dengan jenis tindakan diagnosis seperti
laboratorium atau prosedur lainnya. Pasien akan ditagih untuk setiap jenis pemeriksaan.
Apabila dokter atau bahkan perawat-pada beberapa kasus mendapat insentif (berupa bonus
prosentase tertentu dari pemeriksaan), maka dokter atau perawat akan lebih banyak
meminta pemeriksaan lab untuk memantau kondisi medis pasiennya. Padahal visite atau
pemeriksaan berulang-ulang mungkin tidak memberikan manfaat pada pasiennya. Sebagai
contoh, visite pemeriksaan gula darah dua hari sekali mungkin juga sudah cukup untuk
proses penyembuhan pasien, akan tetapi karena ada rangsangan uang untuk visite atau
pemeriksaan gula darah setiap hari, maka hal itu dilakukan. Kondisi seperti ini disebut moral
hazard atau abuse dalam pelayanan kesehatan. Di negara maju, pemberian bonus seperti
itu dilarang oleh pemerintah karena pasien atau pihak pembayar dapat dirugikan oleh prilaku
tenaga kesehatan. Kesulitan besar pengendalian biaya dengan pembayaran JPP adalah
bahwa pasien tidak memahami apakah suatu pelayanan memang diperlukan, diperlukan
sesering yang diberikan, dan besarnya tiap-tiap tarif jasa. Oleh karena cara pembayaran
retrospektif ini mempunyai potensi pemborosan dan kenaikan biaya kesehatan, maka di
seluruh dunia, pemerintah berupaya mengendalikan biaya dengan melakukan cara
pembayaran prospetif yang akan dibahas kemudian dalam bab ini. Pembayaran retrospektif
yang pada umumnya berbentuk pembayaran JPP dapat bersumber dari: • Uang yang dimiliki
oleh pasien atau keluarga pasien atau DKS • Uang yang bersumber dari majikan pasien
atau keluarga pasien • Uang yang bersumber dari perusahaan atau badan asuransi/jaminan
sosial seperti PT Askes dan PT Jamsostek atau badan asuransi komersial seperti bapel
JPKM dan perusahaan asuransi • U ang pemerintah yang mengganti biaya seorang pasien
misalnya pada korban pemboman di Hotel Mariott atau di depan Kedutaan Besar Australia •
U ang yang bersumber dari lembaga donor seperti Dompet Duafa, Dana Kemanusiaan
Kompas, RCTI Peduli, Pundi Amal SCTV dll • U ang yang bersumber dari keluarga besar
pasien atau kerabat pasien yang menyumbang untuk pengobatan seorang pasien Sistem
Pembayaran Fasilitas Kesehatan 122 H Thabrany 6.4. Sistem Pembayaran Prospektif
Pembayaran retrospektif terdiri dari berbagai jenis pembayaran seperti diagnostic related
group, kapitasi, per diem, ambulatory care group, dan global budget. Di bawah ini akan
dibahas lebih dalam masing-masing sistem pembayaran prospektiftersebut. 6.4.1.
Diagnostic Related Group (DRG) Pengertian DRG dapat disederhanakan dengan cara
pembayaran dengan biaya satuan per diagnosis, bukan biaya satuan per jenis pelayanan
medis maupun non medis yang diberikan kepada seorang pasien dalam rangka
penyembuhan suatu penyakit. Sebagai contoh, jika seorang pasien menderita demam
berdarah, maka pembayaran ke rumah sakit sama besarnya untuk setiap kasus demam
berdarah, tanpa memperhatikan berapa hari pasien dirawat di sebuah rumah sakit dan jenis
rumah sakitnya. Pembayaran dilakukan berdasarkan diagnosis keluar pasien. Konsep DRG
sesungguhnya sederhana yaitu bahwa rumah sakit mendapat pembayaran berdasarkan
rata-rata biaya yang dihabiskan oleh berbagai rumah sakit untuk suatu diagnosis. Jika di
Jakarta misalnya terdapat 10 ribu kasus demam berdarah di tahun 2004 dan dari hasil
analisis biaya diperoleh angka rata-rata biaya per kasus misalnya adalah Rp 2 juta, maka
setiap rumah sakit di Jakarta yang mengobati pasien demam berdarah akan dibayar Rp 2
juta untuk setiap pasien. Sejarah Mengahadapi dilema biaya kesehatan di rumah sakit,
upaya pengendalian biaya rumah sakit sudah banyak dilakukan orang. Smith dan Fottler
(1985) menyampaikan bahwa upaya mendapatkan rata-rata biaya per diagnosis telah
dilakukan oleh rumah sakit akademik Yale-New Haven oleh Robert Fetter dan John
Thomson. Riset kedua ahli tersebut dimulai di tahun 1970 dengan tujuan untuk memperbaiki
proses telaah utilisasi. Telaah utilisasi adalah upaya untuk menilai apakah pemberian
berbagai tindakan medis, baik untuk diagnosis maupun untuk terapi, memang wajar dan
diperlukan atau ada indikasi penyalah-gunaan. Awalnya DRG yang dikembangkan di Yale
tersebut terdiri atas pengelompokan yang luas yang berdasarkan klasifikasi ICD-8-Clinical
Modification. Data yang digunakan mencakup data rumah sakit di tiga negara bagian
Amerika yaitu New Jersey, Connecticut, dan South Carolina dengan menghasilkan 83
katagori mayor diagnosis. Upaya pengelompokan dilakukan atas dasar tiga prinsip yaitu (1)
pengelompokan secara pengelolaan klinis yang mencakup klasifikasi anatomis dan
fisiologis; (2) jumlah kasus cukup banyak untuk menghasilkan informasi statistik yang
signifikan; dan (3) mencakup berbagai diagnosis dalam ICD-8-CM tanpa adanya overlap.
Dengan menggunakan alogritme interaktif, pengelompokan lebih lanjut dilakukan dengan
memperhitungkan diagnosis sekunder, prosedur pembedahan, usia pasien, dan pelayanan
khusus, pada akhimya dihasilkan 383 DRG. Generasi kedua DRG dikembangkan di tahun
1981 untuk menyesuaikan DRG dengan pengelompokan diagnosis dalam ICD-9-CM. Pada
generasi kedua, data yang digunakan untuk menyusun DRG adalah data nasional dari 332
rumah sakit yang mencakup 400.000 Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 123 H
Thabrany catatan medis pasien yang keluar (discharged) rumah sakit. Pada generasi kedua
ini diperoleh 23 kelompok mayor yang menyangkut sistem tubuh yang terkena penyakit,
misalnya sistem pemafasan dan sistem pencemaan. Generasi kedua menghasilkan 467
DRG yang menyangkut ada tidaknya pembedahan dan komplikasi atau komorbiditas.
Komplikasi adalah penyulit suatu penyakit yang terjadi karena perjalan penyakit yang sudah
lanjut akibat terlambat diagnosis, pengobatan, atau ikut terganggunya sistem lain. Perforasi
usus merupakan suatu komplikasi dari penyakit tifus. Sedangkan komorbiditas adalah
adanya penyakit lain (yang tidak terkait dengan penyakit utama) yang secara kebetulan
terjadi secara kebetulan. Sebagai contoh, seorang yang menderita tifus bisa juga kebetulan
menderita diabetes mellitus. Secara formal, sistem pembayaran DRG digunakan oleh
pemerintah Amerika Serikat dalam program Medicare mulai tanggal 1 Oktober 1983 (Beck,
1984; Smith dan Fottler, 1985). Program Medicare adalah program asuransi sosial di
Amerika yang dananya dikumpulkan dari iuran wajib pekerja sebesar 1,45%
gaji/penghasilannya ditambah 1,45% lagi dari majikan pekerja. Namun demikian, dana yang
terkumpul tersebut hanya digunakan untuk membiayai perawatan rumah sakit dan
perawatanjangka panjang (long term care) bagi penduduk berusia 65 tahun keatas dan
penduduk yang menderita penyakit terminal (penyakit yang tidak bisa lagi disembuhkan)
seperti gagal ginjal. Jadi program Medicare merupakan program anak membiayai orang tua
yang dikelola secara nasional oleh pemerintah Federal Amerika. Kini sistem pembayaran
DRG juga digunakan dalam program Medicare di Australia, program Medicare di Taiwan,
program jaminan sosial di Muangtai, pembiayaan rumah sakit di Malaysia, dan juga program
asuransi kesehatan sosial di Jerman. Berbeda dengan program Medicare di Amerika,
program Medicare di Australia, Kanada, dan Taiwan merupakan program asuransi sosial
yang dibiayai dari iuran wajib seluruh penduduk yang berpenghasilan dan digunakan untuk
penduduk yang membayar iuran tersebut dan anggota keluarganya. Program Medicare di
luar Amerika merupakan program Asuransi Kesehatan Nasional (AKN). Indonesia juga
sudah merintis program AKN seperti yang diatur dalam Undang-undang nomor 40 tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Hanya saja program AKN di
Indonesia saat ini belum diterapkan terhadap seluruh penduduk. Diharapkan di tahun 2010
nanti, separuh penduduk Indonesia sudah mendapatkan jaminan kesehatan melalui SJSN.
Arti pembayaran DRG Dalam pembayaran DRG, rumah sakit maupun pihak pembayar tidak
lagi merinci tagihan dengan merinci pelayanan apa saja yang telah diberikan kepada
seorang pasien. Akan tetapi rumah sakit hanya menyampaikan diagnosis pasien waktu
pulang dan memasukan kode DRG untuk diagnosis tersebut. Besamya tagihan untuk
diagnosis tersebut sudah disepakati oleh seluruh rumah sakit di suatu wilayah dan pihak
pembayar misalnya badan asuransi/jaminan sosial atau tarif DRG tersebut telah ditetapkan
oleh pemerintah sebelum tagihan rumah sakit dikeluarkan. Contoh pembayaran DRG dari
program DRG di Australia dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Sistem Pembayaran
Fasilitas Kesehatan 124 H Thabrany Tabel: Contoh DRG dan besaran tarifDRG di Australia,
2004. DRG Description ALOS Average Cost per DRG ($) (Days) Total Direct Ohead DRG
AOIZ Liver Transplant 31.46 91,078 71,051 20,027 A02Z Multiple Organs Transplant 18.28
41,703 35,417 6,286 A03Z Lung Transplant 22.47 73,945 63,706 10,238 A04Z Bone Marrow
Transplant 22.34 29,427 23,743 5,685 A05Z Heart Transplant 19.62 60,568 51,615 8,953
A06Z Tracheostomy Any Age Any 29.76 52,976 40,678 12,298 Cond A40Z Ecmo - Cardiac
Surgery 16.14 48,748 37,440 11,308 A41Z Intubation Age<16 7.37 12,219 8,742 3,477 BOIZ
Ventricular Shunt Revision 5.85 6,458 4,737 1,721 B02A Craniotomy + Ccc 20.02 23,327
17,913 5,414 B02B Craniotomy + Smcc 11.10 12,757 9,771 2,986 B02C Craniotomy - Cc
7.88 9,947 7,609 2,338 B03A Spinal Procedures + Cscc 14.88 15,119 11,492 3,627 B03B
Spinal Procedures - Cscc 5.38 6,960 5,346 1,614 B04A Extracranial Vascular Pr +Cscc 8.11
9,006 6,733 2,273 Sumber: Website Department of Family Service Australia, 2004
Pembayaran dengan cara DRG mempunyai keutamaan sebagai berikut: • Memudahkan
administrasi pembayaran bagi rumah sakit dan pihak pembayar • Memudahkan pasien
memahami be saran biaya yang hams dibayarnya • Memudahkan penghitungan pendapatan
(revenue) rumah sakit • Memberikan insentif kepada rumah sakit dan tenaga kesehatan
untuk menggunakan sumber daya seefisien mungkin • Memudahkan pemahaman klien
dalam melakukan sosialisasi/pemasaran pelayanan rumah sakit • Memberikan surplus atau
laba yang lebih besar kepada rumah sakit yang lebih efisien dan menimbulkan kerugian bagi
rumah sakit yang tidak efisien. Aritnya cara pembayaran DRG akan mendorong rumah sakit
menjadi lebih profesional dan lebih efisien. Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 125 H
Thabrany Selain memberikan keutamaan, pembayaran DRG juga mempunyai kelemahan
sebagai berikut: • Penerapannnya membutuhkan pembayar pihak ketiga yang cukup
dominan, misalnya dengan sistem asuransi kesehatan nasional atau pemerintah yang
membayar pelayanan medis bagi rakyatnya • Penerapannya membutuhkan sistem informasi
kesehatan, khususnya pencatat rekam medis, yang akurat dan komprehensif. Sistem
komputerisasi dan teknologi kumputer kini sangat memudahkan penyelenggaraan sistem ini
• Sistem pembayaran DRG di dalam lingkungan rumah sakit yang mayoritas pasiennya
membayar dari kantong sendiri sulit dilaksanakan kecuali jika ada komitmen kuat pemerintah
yang diwujudkan dalam peraturan yang ditegakkan pelaksanaannya. • Pasien yang tidak
memiliki asuransi tidak akan sanggup membayar suatu biaya pelayanan medis untuk kasus-
kasus katastrofik (yang biaya pengobatan atau perawatannya besar) Cara pembayaran
DRG di Indonesia sudah menjadi wacana sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Namun
demikian, karena sistem asuransi kesehatan atau sistem pembayaran rumah sakit oleh
pemerintah belum berjalan dengan baik dan belum mencakup sebagian besar penduduk,
maka cara pembayaran DRG hanya sampai wacana. Berbagai seminar dan studi sudah
dilakukan, namun komitmen pemerintah untuk menggunakan cara pembayaran DRG untuk
mengendalikan biaya rumah sakit tampaknya masih sangat rendah. Rumah sakit sendiri
belum mendapat insentif atau rangsangan untuk menggunakan cara pembayaran DRG.
6.4.2. Pembayaran Kapitasi Sejarah singkat Cara pembayaran kapitasi sesungguhnya
sudah lama digunakan di Eropa, jauh sebelum HMO (Health Maintenance Organization),
yang kita tiru di Indonesia dengan nama IPKM, menggunakan sistem pembayaran kapitasi di
Amerika. Sistem asuransi kesehatan sosial di Belanda telah lebih dahulu membayar dokter
keluarga dengan cara pembayaran kapitasi untuk sejumlah orang yang menjadi tanggung-
jawab dokter keluarga. Di Jerman, asosiasi asuransi kesehatan sosial sesungguhnya
membayar kapitasi kepada asosiasi dokter di suatu wilayah dengan cara kapitasi. Dalam
sistem pembayaran kapitasi di Jerman, asosiasi dokter (semacam ikatan dokter) mendapat
dana dari badan asuransi kesehatan sosial berdasarkan jumlah orang yang akan dilayani di
wilayah dimana para dokter bergabung dalam asosiasi. Misalnya, di wilayah X ada 200.000
orang dan disepakati bahwa tiap orang mendapat pembayaran kapitasi, katakanlah, Euro
100 setahun; maka asosiasi dokter akan mendapatkan dana 200.000 x Euro 100 atau Euro
20 juta per tahun. Dana Euro 20 juta ini nantinya dikelola asosiasi dokter kepada para
anggotanya dengan cara IPP. Tetapi yang mengendalikan dana bukannya badan asuransi,
para dokter itu sendiri yang menjadi pengurus asosiasi yang akan membagikan dana Euro
20 juta kepada anggotanya. Di Eropa, hampir semua upaya asuransi kesehatan dilakukan
dalam bentuk asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib, jadi bukan jual-beli, dengan
cara setiap orang membayar iuran bulanan Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 126 H
Thabrany sejumlah prosentase tertentu dari gaji/upahnya. Penyelenggaranya adalah badan
asuransi, yang bukan perusahaan asuransi yang mencari untung. Badan asuransi tersebut
tidak mencari untung (nirlaba) dan karenanya lebih transparan dalarn manajemen dan
memiliki anggota harnpir seluruh penduduk. Di Amerika, upaya asuransi kesehatan
didominasi dengan sistem asuransi kesehatan komersial yang berupa jual-beli, baik dalarn
bentuk managed care seperti HMO maupun dalarn bentuk asuransi kesehatan tradisional. Di
Amerika pembayaran kapitasi lebih dikenal setelah Amerika mengeluarkan UU HMO di
tahun 1973 yang mendorong pembayaran kapitasi dari HMO kepada dokter dalarn praktek
grup dan perorangan (HIAA, Me A; Kongsvedt, 19964 ;Bolan,).5 Namun demikian,
pembayaran kapitasi kepada perorangan dokter praktek tidak berjalan di Amerika, karena
jumlah orang yang membeli asuransi HMO tidak banyak. Kebanyakan asuransi kesehatan
yang dijual di Amerika adalah asuransi kesehatan tradisional yang membayar fasilitas
kesehatan dengan lPP. Karena kondisi yang seperti itu, maka pembayaran kapitasi di
Amerika tidak berjalan sebaik pembayaran kapitasi di Eropa. Hakikaf pembayaran kapifasi
Pembayaran kapitasi merupakan suatu cara pengendalian biaya dengan menempatkan
fasilitas kesehatan pada posisi menanggung risiko, seluruhnya atau sebagian, dengan cara
menerima pembayaran atas dasar jumlah jiwa yang ditanggung. Di Amerika, ada keharusan
bahwa HMO merupakan badan penanggaung risiko penuh (asume risk), sehingga kapitasi
penuh kepada fasilitas kesehatan tidak berarti bahwa fasilitas kesehatan akan menanggung
segala risiko katastropik. 6 Ada mekanisme stop loss dalarn kontrak kapitasi penuh. Artinya,
kalau temyata jumlah orang yang berobat jauh lebih tinggi dari yang diperhitungkan atau
disepakati dimuka, maka HMO tetap bertanggung-jawab menambah dana kepada fasilitas
kesehatan yang dibayar secara kapitasi. Meskipun di Indonesia, secara eksplisit hal ini
belum diatur, mengingat sifat alamiah fasilitas kesehatan bukanlah risk bearer, maka
mekanisme stop loss hamslah juga diberlakukan, jika nanti cara pembayaran kapitasi ini
diterapkan. Hal ini sangat penting dalarn menjaga kesinarnbungan kontrak kapitasi.
Mekanisme pembayaran cara kapitasi ini merupakan cara meningkatkan efisiensi dengan
memanfaatkan mekanisme pasar pada sistem pembayar pihak ketiga, baik itu asuransi,
maupun pemerintah. Secara teoritis, pada situasi pasar kompetitif, fasilitas kesehatan akan
memasang tarif sarna dengan tarif rata-rata di pasar (average market cost). Di semua
negara hal ini tidak terjadi karena mekanisme pasar tidak berlaku dalam pelayanan
kesehatan. Di banyak negara Eropa, Asia, Amerika, dan Australia pemerintahlah yang
menentukan tarif, karena kegagalan mekanisme pasar. Pada pasar monopoli atau oligopoli,
fasilitas kesehatan dapat menetapkan harga diatas average cost. Dalarn prakteknya, jika
tidak ada pengaturan pemerintah fasilitas kesehatan secara virtual selalu berada dalarn
kondisi pasar monopoli/oligopoli. Jika pembayar membayar dengan kapitasi, fasilitas
kesehatan akan menekan biaya hingga paling tidak biaya per unit pelayanan yang diberikan
sarna atau lebih kecil dari average cost. Dengan demikian fasilitas kesehatan akan menekan
jumlah kunjungan sehingga revenue akan sarna dengan atau lebih besar dari revenue jika ia
hams melayani pasien dengan cara pembayaran lPP. Sistem Pembayaran Fasilitas
Kesehatan 127 H Thabrany Cara menghitung biaya kapitasi tidaklah sulit. Hanya saja, untuk
Indonesia saat ini barangkali data yang tersedia masih sangat terbatas. Tambahan, banyak
fasilitas kesehatan (health care provider) dan badan asuransi yang juga tidak memiliki
informasi yang cukup untuk bisa menghitung besar pembayaran kapitasi yang memuaskan
kedua belah pihak. Oleh karenanya, perlu dilakukan usaha bersarna untuk menghimpun
informasi yang akurat, agar baik fasilitas kesehatan maupun badan asuransi sarna-sama
menanggung risiko dan insentif finansial yang memadai. Jika pembagian risiko dan insentif
tidak memadai maka di masa datang akan banyak timbul konflik-konflik yang mengancarn
kesinarnbungan pembayaran kapitasi. Langkah-langkah menghitung biaya kapitasi adalah
sebagai berikut (Thabrany, 2001): 1. Menetapkan jenis-jenis pelayanan yang akan dicakup
dalarn pembayaran kapitasi 2. Menghitung angka utilisasi dalam satuan jumlah pengguna
per 1.000 populasi yang akan dibayar secara kapitasi 3. Mendapatkan rata-rata biaya per
jenis pelayanan untuk suatu wilayah 4. Menghitung biaya per kapita per bulan untuk tiap
jenis pelayanan 5. Menjumlahkan biaya per kapita per bulan untuk seluruh pelayanan.
Tabel: Contoh perhitungan kapitasi sebuah Perusahaan HMO di AS (dikutip dari Steenwyk,
1989)7 Jenis Pelayanan Rates /1000 orang/th Rata-rata biayaper pelayanan ($) Kapitasi per
orang per bulan ($) Kunjungan rawat jalan Kunjungan rumah sakit Kunjungan emergensi
Checkup BedahMinor Rawatinap Rawat pulang hari yang sarna Asisten bedah Kebidanan
Psikiatri Anestesi Imunisasi dan suntikan Lain Pelayanan medis lain 3.400 434,5 I 9,78 350
54,61 1,58 ~ 15_0~ ~ O:'~O f 0~,7--_5~1 ,200 1,00 s 2_40-----1 80,0 ; 1,~ f-' 4..:....5--;
""""""""""""""""""""",~"?..9.1.Q"",,,,;-1 -=-3z-, 1.:,...9-11 +-- 4..:....0 ---1 4?..9.,.Qj--- l=,5-=-0-11 I
15 225,0 O,~ a 2_5_, L?.Q.Q,.Q, 3"---,1_3---l1 "! -r-r- 250 85,0 1,7L 80 300,0 2,00 600 I 13,0
0,65 !----------o . 1.000 30,0 2,50 Total Kapitasi 29,73 Sistem Pembayaran Fasilitas
Kesehatan 128 H Thabrany Dalam situasi dimana pembayaran kapitasi sudah diberlakukan
secara luas, fasilitas kesehatan yang bersifat memaksimalkan laba dapat melakukan hal-hal
sebagai berikut (Thabrany, 2001):8 Reaksi posifif Kapifasi 1. Fasilitas kesehatan
memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, dengan menegakkan diagnosis yang tepat
dan memberikan pengobatan atau tindakan yang tepat. Dengan pelayanan yang baik ini,
pasien akan cepat sembuh dan tidak kembali ke fasilitas kesehatan untuk konsultasi atau
tindakan lebih lanjut yang menambah biaya. Taktik ini dilakukan oleh fasilitas kesehatan
yang berupaya mendapatkan keuntungan jangka pendek 2. Fasilitas kesehatan memberikan
pelayanan promotif dan preventif untuk mencegah insidens kesakitan. Apabila angka
kesakitan baru menurun, maka peserta tentu tidak perlu lagi berkunjung ke fasilitas
kesehatan yang akan menurunkan utilisasi menjadi lebih rendah dan biaya pelayanan
menjadi lebih kecil. Strategi ini dilakukan oleh fasilitas kesehatan untuk mendapatkan
keuntungan jangka panjang. Strategi ini hanya bisa dilakukan pada situasi ada pembayar
pihak ketiga tunggal atau beberapa pembayar (misalnya asuransi kesehatan atau
pemerintah). 3. Fasilitas kesehatan memberikan pelayanan yang pas, tidak lebih dan tidak
kurang, untuk mempertahankan efisiensi operasi dan tetap memegang jumlah pasien JK
sebagai income security. Hal ini akan berfungsi baik untuk mencari keuntungan jangka
pendek maupun jangka panjang dan jika situasi pasar sangat kompetitif, dimana fasilitas
kesehatan sulit mencari pasien/langganan baru. Reaksi negafif 1. Jika kapitasi yang
dibayarkan terpisah-pisah (parsial) antara pelayanan rawat jalan primer, rawat jalan rujukan
dan rawat inap rujukan dan tanpa diimbangi dengan insentif yang memadai untuk
mengurangi rujukan, fasilitas kesehatan akan dengan mudah merujuk pasiennya ke
spesialis atau merawat di rumah sakit. Dengan merujuk, waktunya untuk memeriksa menjadi
lebih cepat dan risiko finansial menjadi lebih kecil. Dengan demikian, fasilitas kesehatan
primer dan sekunder dapat mengantongi surplus jangka pendek yang dikehendaki. 2.
Fasilitas kesehatan dapat mempercepat waktu pelayanan sehingga tersedia waktu lebih
banyak untuk melayani pasien non jaminan atau yang membayar dengan JPP yang "dinilai"
membayar lebih banyak. Artinya mutu pelayanan dapat dikurangi, karena waktu pelayanan
yang singkat. Jika ini terjadi, pada kapitasi parsial pihak pembayar ketiga pada akhimya
dapat memikul biaya lebih besar karena efek akumulatif penyakit yang menjadi lebih mahal
di kemudian hari. Pasien yang tidak mendapatkan pelayanan rawat jalan yang memadai
akan menderita penyakit yang lebih berat, akibatnya biaya pengobatan sekunder dan tersier
menjadi lebih mahal. Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 129 H Thabrany 3. Fasilitas
kesehatan dapat tidak memberikan pelayanan dengan baik, supaya kunjungan pasien
kapitasi tidak cukup banyak. Hal ini menimbulkan banyaknya keluhan anggota atas
pelayanan yang tidak memuaskan. Untuk jangka pendek strategi ini mungkin berhasil
menarnbah surplus kepada fasilitas kesehatan, tetapi untuk jangka panjang hal ini akan
merugikan fasilitas kesehatan itu sendiri. Salah satu cara untuk mengevaluasi berbagai
reaksi negatif prilaku fasilitas kesehatan yang mendapatkan pembayaran kapitasi dan yang
mendapatkan pembayaran IPP adalah dengan mengevaluasi utilisasi biaya, status
kesehatan, dan kepuasan pasien. Di Indonesia, sepanjang pengetahuan saya, belum ada
evaluasi yang sahih dan terpercaya. Di Amerika, pada awal perkembangan HMO di mana
keluhan atas rendahnya kualitas pelayanan HMO sangat tinggi, penelitian eskperimental
dilakukan oleh Rand Corporation. Hasilnya tidak menunjukkan adanya penurunan mutu
pelayanan .pada HMO yang membayar kapitasi akan tetapi terdapat efisiensi sarnpai 30%
(Rand, 1993). Keseimbangan informasi antara fasilitas kesehatan dan badan asuransi
merupakan kunci sustainabilitas pembayaran kapitasi. Transfer risiko tidaklah berarti bahwa
fasilitas kesehatan harus menanggung rugi karena informasi yang tidak memadai. Trasfer
risiko dengan pembayaran kapitasi menempatkan fasilitas kesehatan pada risiko fluktuasi
utilisasi yang bukan katastropik dan memberikan insentif kepada fasilitas kesehatan untuk
menghindari moral hazard. Karena rentang risiko kapitasi bagi fasilitas kesehatan adalah
fluktuasi normal dan pemberian insentif kepada fasilitas kesehatan untuk melakukan usaha
usaha pencegahan guna mendapatkan laba yang memadai, maka informasi utilisasi
haruslah diketahui bersarna. Artinya, keterbukaan data utilisasi antara badan asuransi dan
fasilitas kesehatan harus cukup memadai agar be saran pembayaran kapitasi tidak
menyebabkan salah satu pihak menderita kerugian sistematis. Jadi dalam sistem
pembayaran kapitasi, telaah utilisasi (utilization review) mutlak diperlukan untuk dua hal.
Pertarna, telaah utilisasi dapat memberikan informasi kepada badan asuransi dan fasilitas
kesehatan tentang apakah pelayanan yang diberikan selarna ini sudah pas, pada titik
optimal, atau belum. Utilisasi di bawah optiomal menunjukkan mutu pelayanan yang tidak
memenuhi standar. Sementara utilisasi yang berlebihan merugikan fasilitas kesehatan.
Telaah utilisasi dilakukan pada fasilitas kesehatan yang dikontrak kapitasi dan fasilitas
kesehatan rujukan. Dengan demikian dapat dipantau fasilitas kesehatan mana yang rajin
merujuk dan mana yang kurang merujuk. Telaah utlisasi ini juga sangat penting untuk
mengetahui apakah keluhan anggotaipeserta tentang kualitas yang kurang memadai
memang terjadi. Keterbukaan dan saling percaya merupakan faktor yang sangat penting
yang secara periodik dikomunikasikan. Telaah utlisasi membutuhkan keterbukaan ini,
sehingga badan asuransi dan fasilitas kesehatan sarna-sarna mengetahui besarnya risiko
yang ditransfer dari badan asuransi ke fasilitas kesehatan. Dengan demikian, maka besaran
kapitasi menjadi fair (adil). Pembayaran kapitasi yang ditetapkan sepihak tidak akan
menghasilkan status kesehatan yang optimal dan merupakan ancaman kelangsungan
hubungan badan asuransi dan fasilitas kesehatan. Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan
130 H Thabrany Dalam mengkomunikasikan data utilisasi, badan asuransi dan fasilitas
kesehatan hams sama-sama menyadari bahwa terjadi variasi di dalam fasilitas kesehatan
dan di luar fasilitas kesehatan. Di dalam suatu fasilitas kesehatan terjadi variasi utilisasi dari
waktu ke waktu dan dari suatu kelompok penduduk ke kelompok penduduk lain. Sementara
di antara berbagai fasilitas kesehatan terjadi juga variasi yang sarna. Besaran pembayaran
kapitasi dihitung berdasarkan rata-rata utilisasi antar fasilitas kesehatan, bukan hanya
variasi yang terjadi di dalam suatu fasilitas kesehatan. Hal ini dapat menimbulkan salah
pengertian jika tidak dikomunikasikan dengan baik. Besarnya pembayaran kapitasi dengan
penyesuaian terhadap besarnya risiko yang hams ditanggung oleh suatu fasilitas kesehatan
atau suatu kelompok fasilitas kesehatan (adjusted capitation rate) dapat dilakukan untuk
lebih menjamin keadilan di antara fasilitas kesehatan. Namun hal ini tidak didasarkan atas
variasi utilisasi di dalam suatu fasilitas kesehatan, akan tetapi atas dasar variasi risiko
kelompok suatu fasilitas kesehatan yang berbeda dengan risiko rata-rata anggota
seluruhnya. 6.4.3. Pembayaran per kasusJpaket Sistem pembayaran per kasus (case rates)
banyak digunakan untuk membayar rumah sakit dalam kasus-kasus tertentu. Pembayaran
per kasus ini mirip dengan pembayaran DRG, yaitu dengan mengelompokan berbagai jenis
pelayanan menjadi satu kesatuan (Kongstvedt, 1996). Pengelompokan ini hams ditetapkan
dulu dimuka dan disetujui kedua belah pihak, yaitu pihak rumah sakit dan pihak pembayar.
Sebagai contoh, kelompok pelayanan yang disebut per kasus misalnya pelayanan
persalinan normal, persalinan dengan sectio, pelayanan ruang intensif akan tetapi tidak
berdasarkan diagnosis penyakit. Rumah sakit akan menerima pembayaran sejumlah
tertentu atas pelayanan suatu kasus, tanpa mempertimbangkan berapa banyak dan berapa
lama suatu kasus ditangani. Sebagai contoh yang paling umum adalah persalinan normal,
misalnya Rp 2 juta per persalinan normal. Rumah sakit akan mendapat pembayaran
sebesar Rp 2 juta, meskipun suatu persalinan ada persalinan yang memerlukan infus, partus
lama, ada perdarahan lebih dari normal, ada yang dirawat satu hari atau empat hari. Seperti
juga pada pembayaran DRG, dengan pembayaran per kasus, RS akan didorong untuk lebih
cermat dalam melakukan diagnosis, lebih hemat dalam menggunakan sumber daya, lebih
cermat dalam pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan penunjang lain. Apabila sebuah
RS yang telah sepakat mendapat pembayaran Rp 2 juta mampu melayani suatu persalinan
dengan biaya hanya Rp 1,5 juta, maka RS tersebut mendapat surplus atau laba. Akan
tetapi, kalau karena kecerobohan dokter, bidan atau perawat menyebabkan terjadi suatu
komplikasi, sehingga baik si ibu maupun si bayi dirawat lebih lama dan menghabiskan biaya
Rp 3 juta, maka rumah sakit tersebut akan merugi Rp 1 juta pada kasus itu. Di Indonesia
sesungguhnya pembayaran per kasus sudah sering digunakan dengan mengelompokan
pembedahan menjadi bedah mikro, bedah kecil, bedah sedang, bedah besar, bedah khusus,
perawatan satu hari (one day care) dan sebagainya. Yang belum terjadi di Indonesia adalah
tarif yang sarna untuk kasus yang sarna di berbagai rumah sakit. Akibatnya, pasien
perorangan yang hams membayar DKS tidak mempunyai pilihan yang tepat dan tidak selalu
dapat memilih tarif per kasus yang sesuai dengan kantongnya. Apabila pemerintah Sistem
Pembayaran Fasilitas Kesehatan 131 H Thabrany menetapkan tarif per kasus yang berlaku
sarna di semua rumah sakit di suatu daerah, maka kondisi pasien yang pada umumnya tidak
terlindungi asuransi akan lebih tertolong. Di Malaysia dan Singapura misalnya, pemerintah
bersama organisasi profesi telah menetapkan tarif untuk berbagai kasus di rumah sakit
swasta sehingga pasien bisa mengira-ngira besarnya yang harus ia bayar. Sedangkan untuk
RS publik di Malaysia, penduduk hanya membayar per diem yang sangat murah. Di
Muangtai pemerintahnya menerapkan sistem skema 30 Baht yang dikelola oleh Health
Security Office dengan membayar kapitasi ke rumah sakit. Setiap penduduk Muangtai yang
berusia 16-59 tahun yang bukan pegawai negeri dan bukan pegawai swasta (yang
keduanya sudah memiliki jaminan kesehatan) hanya membayar sebesar 30 Baht (sekitar Rp
6.000) setiap kali berobat atau dirawat. Pembayaran semacam ini bukanlah pembayaran per
kasus atau per episode pengobatan. Pembayaran seperti di Muangtai tersebut hanya
merupakan copayment, pembayaran formalitas bahwa perawatan yang diterimanya tidak
gratis. Hampir seluruh biaya perawatan tersebut sesungguhnya sudah dibayar oleh
pemerintah Muangtai kepada RS. 6.4.4. Pembayaran per diem Pembayaran per diem
merupakan pembayaran yang dinegosiasi dan disepakati dimuka yang didasari pada
pembayaran per hari perawatan, tanpa mempertimbangkan biaya yang dihabiskan oleh
rumah sakit (Kongstvedt, 1996). Misalnya suatu badan asuransi atau pemerintah membayar
per hari perawatan di kelas III sebesar Rp 250.000 per hari untuk kasus apapun yang sudah
mencakup biaya ruangan, jasa konsultasi/visite dokter, obat-obatan, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksanaan penunjang lainnya. Sebuah rumah sakit yang efisien dapat
mengendalikan biaya perawatan dengan memberikan obat yang paling cost effective,
memeriksa laboratorium hanya untuk jenis pemeriksaan yang memang diperlukan benar,
memiliki dokter yang dibayar gaji bulanan dan bonus, serta berbagai penghematan lainnya;
akan mendapatkan surplus. Esensi pembayaran per diem adalah pembayaran dalam sistem
mekanisme pasar, dimana RS hams memenuhi kebutuhan dananya sendiri yang tidak
mendapat dana dari pemerintah. Di Malaysia, penduduk Malaysia juga membayar per diem
untuk perawatan di RS pemerintah sebesar 3 RM per hari (sekitar Rp 6.300), meskipun si
pasien perlu dirawat di ruang perawatan intensif atau memerlukan transplantasi sumsum
tulang. Kalau penduduk Malaysia dirawat di Institut Jantung Nasional maka ia hanya
membayar 10 RM per hari. Meskipun pembayaran tersebut merupakan pembayaran per
diem, akan tetapi sifatnya berbeda. Karena sesungguhnya, biaya yang dihabiskan oleh
rumah sakit bisa jadi lebih dari 2.000 RM per hari. Hanya saja, pemerintah yang membayar
hampir seluruh biaya yang dihabiskan RS, bukan si pasien atau pembayar pihak ketiga.
Rumah sakit publik mendapatkan dana secara global, seperti yang akan dibahas dalam
kemudian. Pembayaran per diem yang berbasis pasar dapat juga dimodifikasi dengan
melakukan kombinasi kasus atau jenis tindakan (Kongstvedt, 1996). Sebagai contoh, RS
dapat negosiasi untuk mendapatkan pembayaran per diem untuk kasus pembedahan yang
berbeda dengan pembayaran per diem untuk kasus tanpa pembedahan. Demikian juga RS
dapat bemegosiasi Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 132 H Thabrany untuk
mendapatkan pembayaran per diem dengan atau tanpa perawatan intensif. Modifikasi lain
juga dapat dilakukan dengan sliding scale per diem. Dalam cara pembayaran ini, badan
asuransi yang membayar sejumlah tertentu hari rawat, misalnya kurang dari 1.000 hari rawat
per tahun, akan membayar sedikit lebih mahal per hari dibandingkan dengan badan asuransi
yang membayar lebih dari 3.000 hari rawat per tahun. Modifikasi per diem dapat juga
dilakukan dengan tarif per diem differensial. Pada pembayaran per diem differensial, rumah
sakit akan dibayar dengan tarif per diem yang lebih tinggi pada beberapa hari pertama dan
tarifper diem yang lebih rendah pada hari tertentu (misalnya hari ke lima) dan seterusnya.
6.4.5. Global budget Global budget (anggaran global) untuk RS banyak dilakukan di Eropa
(Sandier, dkk, 2002)10 dan juga di Malaysia. Sesungguhnya global budget merupakan cara
pendanaan rumah sakit oleh pemerintah atau suatu badan asuransi kesehatan nasional
dimana RS mendapat dana untuk membiayai seluruh kegiatannya untuk masa satu tahun.
Alokasi dana ke RS tersebut diperhitungkan dengan mempertimbangkan jumlah pelayanan
tahun sebelumnya, kegiatan lain yang diperkirakan akan dilaksanakan, dan kinerja RS
tersebut. Manajemen RS mempunyai keleluasaan mengatur dana anggaran global tersebut
untuk gaji dokter, belanja operasional, pemeliharaan RS, dll, Sistem ini pada umumnya
dilaksanakan di negara-negara dimana penduduk berhak mendapat pelayanan rumah sakit
tanpa hams membayar atau membayar sedikit copayment. Sebelumnya pendanaan
dilakukan dengan anggaran global, rumah sakit mendapat anggaran rutin dalam bentuk gaji
pegawai, belanja pemeliharan, belanja investasi dan sebagainya. Dengan model belanja
seperti anggaran belanja pemerintah Indonesia yang lalu, dimana ada anggaran rutin dan
anggaran pembangunan, dana yang mengalir ke rumah sakit sering tidak efisien atau
dikorupsi. Untuk memberi insentif kepada manajemen RS agar lebih efisien, maka
manajemen RS diberikan sejumlah dana atau anggaran global dengan kehamsan mencapai
target jumlah dan kualitas pelayanan tertentu kepada masyarakat yang menjadi tanggung
jawabnya. Dengan cara demikian, maka anggaran akan lebih terkendali. 6.5. Ringkasan
Pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan di rumah sakit, bukanlah pelayanan yang dapat
mengikuti hukum pasar seperti halnya pelayanan bengkel mobil atau pelayanan hotel.
Akibatnya, mekanisme pasar yang dapat mengendalikan biaya tidak terjadi di dalam
pelayanan kesehatan. Biaya pelayanan kesehatan terus meningkat dari tahun ke tahun yang
lebih besar dari peningkatan karena inflasi. Biaya pelayanan kesehatan meningkat karena
ada inflasi umum dan juga karena ada pelayanan baru dan peningkatan kualitas pelayanan
karena adanya teknologi dan tuntutan baru. Berbagai pihak berupaya melakukan
pengendalian biaya pelayanan kesehatan dengan berbagai cara pembayaran. Cara
pembayaran tradisional yang jumlahnya ditentukan setelah pelayanan diberikan
(pembayaran retrospektif) justeru memberikan dorongan bagi inflasi yang lebih tinggi dan
pemberian pelayanan baru yang semakin mahal. Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan
133 H Thabrany Para ahli ekonomi kesehatan kemudian mengembangkan berbagai cara
pembayaran prospektif, yaitu pembayaran yang jumlahnya sudah disepakati di muka,
meskipun pembayarannya dilakukan setelah pelayanan diberikan. Cara pembayaran
prospektif terdiri atas cara pembayaran kapitasi, pembayaran DRG, per kasus/paket, per
diem, ambulatory patient group, dan pembayaran anggaran global. Masing-masing cara
pembayaran membutuhkan syarat-syarat tertentu dan rumah sakit dapat menerima satu
atau lebih cara pembayaran. Rujukan 1 Thabrany, Hasbullah. 2005. Pendanaan Kesehatan
di Indonesia. RajaGrafindo Pers. Jakarta, 2005 2 Beck, Donald F. 1984. Principles of
Reimbursement in Health Care. Aspen Publication. Rockville, MD. USA. P 12 3 Smith,
Howard L. dan Fottler, Myron D. 1985. Prospective Payment. Aspen Publication. Rockville,
MD. USA.p2 4 Kongsvedt, Peter R. 1996. The Managed Health Cara Handbook. 3rd Ed.
Aspen Publication. Gaitersburg, MD, USA, 5 Bolan, Peter. Making Managed Healthcare
Work: A Practical Guide to Strategies and Solutions. 1993. Aspen Publication, Gaitersburg,
MD. USA 6 HIAA. 1997. Managed Care: Integrating Delivery and Financing of Health Care.
Part A. Washington, DC, USA. 7 Steenwyk. J. 1989. Costs and Utilization Rates:
Establishing Per Capita Budgets. dalam (Kongstvedt, P.R. Ed) The ManagedHealth Care
Handbook Aspen Pub., Rockville, NM. 8 Thabrany, Hasbullah. Rasional Pembayaran
Kapitasi. Yayasan Penerbitan IDL 2001 9 Rand Corporation. Free for All. 10 Sandier, Simon;
Polton, Dominique; Paris, Valerie; and Thomson, Sarah. 2002. France Health Care System.
Dalam Health Care Systems in Eight Countries: Trends and Challenges. Europen
Observatory Health Care System. Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 134 H Thabrany
BAB7 Asuransi Kesehatan Nasional Dalam Sistem laminan Sosial Nasional Sistem
pendaaan kesehatan di Indonesia kini menderita penyakit kronis dan masyarakat Indonesia
dapat menjadi miskin jika saja ada satu atau lebih anggota keluarganya yang hams dirawat
di rumah sakit, meskipun di RS pemerintah. Meminta pendanaan seluruhnya atau sebagian
besar dari anggaran belanja Pemerintah (baik pusat maupun daerah) seperti yang dilakukan
Muangtai dan Malaysia tidak bisa diharapkan saat ini. Kebanyakan pejabat kita belum
menerima konsep investasi kesehatan untuk pembangunan manusia Indonesia yang
tangguh. Karenanya anggaran kesehatan masih sangat minim dan pendanaan pelayanan
kesehatan, paling tidak biaya rumah sakit, bagi seluruh rakyat dinilai menghabiskan dana
publik. Dalam kondisi seperti ini, skema asuransi sosial yang bersifat wajib dan didanai dari
iuran yang proporsional terhadap penghasilan (prosentase upah, dan pasti terjangkau
semua pihak) merupakan solusi terbaik. Hal ini, Alhamdulillah, sudah disetujui DPR tanggal
28 September 2004 yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). Upaya yang telah dirintis lebih dari tiga tahun akhimya membuahkan hasil
tahun 2004. Berikut ini disajikan suatu konsep lebih rinci dari UU SJSN tersebut, yang Insya
Allah akan diatur dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Namun sebelum
konsep pendanaan dan pengaturan manfaat SJSN tersebut dibahas rinci, untuk memberikan
pemahaman mengapa altematif tersebut terpilih, berikut ini disajikan berbagai keunggulan
dan kelemahan dari beberapa altematif terpilih. 7.1. Alternatif Penyelenggaraan, Suatu
Analisis Pilihan altematif penyelenggaraan asuransi kesehatan so sial dapat dianalisis dari
dua sisi penting yaitu dari sisi badan penyelenggara dan dari sisi paket jaminan atau
manfaat yang menjadi hak peserta. Badan penyelenggara dapat berbentuk badan tunggal di
tingkat nasional (single payer), dapat berbentuk badan tunggal di tiap daerah yang secara
aktuarial memenuhi hukum angka besar, dapat hanya beberapa badan di tingkat nasional
(oligo payer) atau oligopoli di tingkat daerah, dan dapat terdiri atas banyak badan
penyelenggara (multi payer) baik di tingkat nasional maupun daerah. Tiap pilihan
mempunyai keunggulan dalam efisiensi, efektifitas, dan kecepatan responsif terhadap
masalah di lapangan. Semua pilihan sah saja, tidak ada yang benar atau salah dalam hal ini.
Akan tetapi masing-masing altematif memiliki nilai plus dan minusnya. Pilihan altematif paket
jaminan (manfaat) sesungguhnya tidak banyak, kecuali kalau kita akan membahas secara
rinci masing-masing pelayanan yang dijamin dan yang tidak AKN dalam SJSN 135
HThabrany dijamin. Disini akan dibahas opsi tiga jenis manfaat yaitu manfaat rawat inap dan
biaya medis yang mahal saja yang dijamin, pelayanan komprehensif dengan urun biaya
(cost sharing) untuk pelayanan tertentu dalam rangka mengendalikan moral hazard, dan
komprehensif tanpa urun biaya. Secara ringkas kelebihan dan kekurangan masing-masing
opsi dapat dilihat pada matriks di bawah ini Paket jaminan dimulai dengan Penyelenggara
Opsi I. Rawat Inap Opsi Il, Komprehensif OpsillI. dan biaya mahal dengan cost sharing
Komprehensif tanpa cost sharing Single payer di Efisien, egaliter, Efisien, egaliter, Kurang
efisien, ega- tingkat Nasional manajemen paling manajemen lebih liter, manajemen atau
Provinsi . mudah, sustaina- kompleks, sustain- kompleks, sustaina- bilitas tinggi abilitas
tinggi bilitas tinggi Oligo payer di Efisien, egaliter Efisien, egaliter dalam Kurang efisien, ega
tingkat National dalam kelompok, kelompok, manajemen liter dalam kelom pok, atau Provinsi
manajemen paling lebih kompleks, manajemen kompleks, mudah, sustaina- sustainabilitas
tinggi sustaina bilitas tinggi bilitas tinggi Multi payer 1 di Kurang efisien, Kurang efisien,
egaliter Lebih kurang efi sien, pusatJ provinsi egaliter dalam kelom dalam kelom pok,
egaliter dalam kelom pok, manajemen mu manajemen mudah, risk pok, manaje men dah,
risk pool mung pool mungkin masalah, mudah, risk pool kin masalah, sustaina sustainabilitas
mungkin mungkin ma salah, bilitas mungkin masalah sustainabilitas mungkin masalah
masalah Multi payer 2 di Kurang efisien, Kurang efisien, egaliter Paling tidak efisien, tingkat
egaliter dalam dalam kelompok, egaliter makin terbatas, provinse~ab-kota kelompok,
manajemen kompleks, manajemen sukar, risk manajemen mudah, risk pool masalah, pool
masalah besar, risk pool masalah, ancaman sustainabilitas ancaman sustainabilitas
ancaman sustainabilitas Multipayer 3, Lebih kurang efisien, Kurang efisien, egaliter Paling
tidak efisien, dengan banyak egaliter dalam dalam egaliter makin terbatas, badan dari pusat
kelompok, kelompok,manajemen manajemen sukar, risk sampai kab-kota manajemen sukar,
kompleks, risk pool pool masalah besar, risk pool masalah, masalah, ancaman ancaman
sustainabilitas sustainabilitas sustainabilitas masalah AKN dalam SJSN 136 HThabrany
Sesungguhnya kelebihan dan kekurangan dari penyelenggaraan dan paket jaminan
pelayanan yang disediakan bervariasi luas. Yang banyak terjadi di beberapa negara, karena
latar belakang politik dan sosial yang beragam, variasi luas yang terjadi umumnya dalam
badan penyelenggara, bukan dalam paket jaminan. Setelah didiskusikan bersama oleh
berbagai unsur, altematif badan penyelenggara selaku payer mempunyai kelebihan dan
kekurangan tersebut dapat diringkas dan disederhanakan seperti disajikan dari hasil
rumusan sebagai berikut. Unsur Single Single Oligo Single Multi Multi payer payer payer
collector, payer payer Nasional Propinsi Nasional multi payer district I district II Efisiensi +++
++ ++++ +++ ++ ++ +/- Kualitas, konsumen + ++ ++ ++++ ++++ ++++ Kualitas, fasilitas ++++
+++ +++ +++ + +/- kesehatan Ketetjangkauan +++++ ++++ +++ ++ ++ +/- Keberlanjutan +++
++ +++++ +++++ +++ ++ +/- Subsidi silang +++++ ++++ ++++ ++++ + +/- Equity +++++ +++
+ +++ ++++ ++ +/- Portabilitas +++++ ++++ ++++ +++ ++ +/- Desentralisasi +/- +++ +/- ++ +
+++ ++++ Di dalam pengambilan keputusan bentuk yang paling pas untuk Indonesia kita
hams mencermati kelebihan dan kekurangan tersebut. Kombinasi beberapa bentuk dapat
dilakukan. Yang paling penting untuk diingat ialah bahwa salah satu bentuk mungkin pas
untuk saat ini kemudian pada masa yang akan datang dapat berubah menjadi bentuk yang
lain. Misalnya, untuk satu badan asuransi nasional meskipun banyak memiliki kelebihan
mungkin sulit dilakukan saat ini karena situasi politik yang belum memungkinkan. Dalam
prakteknya, pilihan bentuk badan penyelenggara merupakan pilihan yang paling sulit dan
paling dipengaruhi aspek politis dan kepentingan berbagai pihak. Undang-Undang SJSN
telah memberikan indikasi bahwa penyelenggaraan asuransi kesehatan nasional di
Indonesia paling tidak akan menjadi oligo-payer, ada dua badan penyelenggara jaminan
sosial (BPJS) yang menyelenggarakan, yaitu PT Askes dan PT Jamsostek (yang tidak lagi
bertujuan mencari laba, baca naskah UU SJSN terlampir). Pemerintah daerah tidak perlu
khawatir, sebab meskipun penyelenggara di daerah adalah kantor cabang PT Askes atau
PT Jamsostek, pekerjanya adalah orang daerah. Dana yang terkumpul juga dibayarkan
kepada fasilitas kesehatan daerah. Sehingga tidak terjadi aliran dana dari daerah ke pusat
yang digunakan olehpusat. AKN dalam SJSN 137 HThabrany 7.2. Rancangan Asuransi
Kesehatan Nasionallndonesia: Suatu Skenario Deklarasi Hak Asasi Manusia yang
dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa di tahun 1947 telah menempatkan kesehatan
sebagai salah satu hak asasi dan menyebutkan bahwa setiap penduduk berhak atas
jaminan manakala ia sakit. Deklarasi ini telah diikuti oleh Konvensi International Labor
Organization (ILO) No 52 tahun 1948 yang memberikan hak tenaga kerja atas sembilan
macam jaminan termasuk di antaranya Jaminan Kesehatan. Indonesia sebagai negara yang
telah meratifikasi konvensi tersebut secara bertahap wajib mewujudkan terselenggaranya
jaminan kesehatan bagi semua, sesuai dengan kemampuan dan perkembangan negara.
Untuk Pegawai Negeri dan keluarganya, Indonesia telah mewujudkan jaminan kesehatan
mereka sejak tahun 1968. Akan tetapi anak yang ditanggung hanya sampai dua anak dan
peserta masih hams membayar urun biaya yang cukup banyak untuk pelayanan yang
dijamin, khususnya pelayanan yang mahal biayanya. Meskipun secara proporsional
tampaknya tidak begitu besar, akan tetapi beban biaya riil masih besar. Sebagai contoh,
untuk operasi jantung memang PT Askes menjamin sampai Rp 112 juta, namun peserta
masih hams membayar sampai Rp 36 juta. Jumlah yang hams dibayar peserta pegawai
negeri tersebut, masih besar sekali, lebih dari satu tahun gajinya. Di tahun 1992 Indonesia
telah mengeluarkan UU Jamsostek yang juga mewajibkan majikan membayarkan iuran
untuk jaminan kesehatan. Sayang, karena PP 14/1993 membolehkan opt out (perusahaan
yang bisa memberikan pelayanan yang lebih baik boleh tidak ikut) cakupan program JPK
dari Jamsostek tidak lebih dari 1,2 juta tenaga kerja. Selain itu manfaatnya masih sangat
terbatas. Pengobatan penyakit kanker, sakit jantung, dan hemodialisa tidak dijamin. Ini
sangat ironis, sebab asuransi bertujuan menghilangkan beban biaya yang besar, tetapi
program JPK Jamsostek justeru tidak menjamin pelayanan yang mahal yang tidak sanggup
ditanggung sendiri oleh pekerja. Selain itu, pegawai swasta yang pensiun, yang
penghasilannya berkurang atau tidak ada sama sekali, usia yang tua memiliki risiko sakit
yang tinggi, tidak mendapat jaminan karena program Jamsostek hanya menjamin dikala
pekerja masih aktif. Kedua program jaminan tersebut (Askes dan Jamsostek) tidak
mengalami perbaikan berarti untuk masa yang cukup lama, sementara standar kebutuhan
hidup dan kebutuhan kesehatan telah berubah banyak. Program jaminan, yang dapat
digolongkan sebagai program jaminan sosial, juga belum cukup memadai. Program pensiun
untuk pegawai swasta masih belum terwujud sama sekali. Jumlah dana jaminan sosial yang
terkumpul oleh dua program jaminan hari tua dan pensiun (PT Jamsostek dan PT Taspen)
sampai saat ini masih kecil sekali, sekitar Rp 28 triliun, atau kurang dari 2 % dari Produk
Domestik Bruto. Jumlah tersebut tentu belum mempunyai daya ungkit ekonomi yang berarti
bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Untuk merealisasi komitmen global Indonesia
dalam bidang jaminan sosial, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat RI di tahun 2000 dan
2002 telah mengamendemen UUD 1945 dengan mencantumkan pasal 28H dan pasal 34
yang menugaskan pemerintah untuk mengembangkan Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat.
Secara universal jaminan sosial mencakup jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan
kematian, jaminan kecelakaan kerja, AKN dalam SJSN 138 HThabrany dan jaminan
kesehatan termasuk jaminan persalinan (maternity benefits). Dengan amendemen UUD
tersebut, maka landasan hukum untuk meningkatkan kesejahteraan (sekaligus
meningkatkan produktifitas rakyat dan negara) bagi seluruh rakyat dengan mengembangkan
dan memperluas jaminan sosial sudah sangat kuat. Untuk melaksanakan amanat
pengembangan jaminan sosial tersebut, Presiden telah mengeluarkan Kepres No. 20 tahun
2002 yang membentuk Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diketuai oleh almarhumah
Prof. Yaumil Agus Achir, pada waktu itu bertugas Deputi Wakil Presiden untuk
Kesejahteraan Sosial dan kemudian Kepala BKKBN. Sebelum dikeluarkan Keppres tersebut,
tim sudah dibentuk dibawah SK Menko Kesra dan kemudian SK Sekretaris Wakil Presiden
yang pada waktu itu masih dijabat oleh Megawati Seokarnoputri. Setelah Prof Yaumil
meninggal dunia, Dr. Sulastomo, MPH, AAK ditugasi menjadi Ketua Tim SJSN dengan
Kepres Nomor 110/2003. Penulis sendiri termasuk sebagai anggota Tim dan bertugas
sebagai Sekretaris Sub Tim Jaminan Kesehatan dan kemudian bertugas sebagai Konsultan
Asian Development Bank untuk membantu Tim menyusun Naskah Akademik dan RUU
SJSN sampai RUU disampaikan ke DPR. Sejak dibentuknya Tim, empat orang yang
berperan penting dalam pengembangan SJSN yaitu Prof. Indra Hattari, FSAI (aktuaris dan
ahli jaminan pensiun), Prof Sentanoe (ahli jamianan sosial), Prof Yaumil A. Achir, dan Drs.
Mungid telah meninggal dunia sebelum menyaksikan hasil karya besar bangsa. Dalam
merumuskan konsep jaminan so sial untuk Indonesia Tim menyepakati suatu jaminan sosial
hams dibangun diatas tiga pilar yaitu: Pilar pertama yang terbawah adalah pilar bantuan
sosial (social assistance) bagi mereka yang miskin dan tidak mampu atau tidak memiliki
penghasilan tetap yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.
Dalam prateksnya, bantuan sosial ini diwujudkan dengan bantuan iuran oleh pemerintah
agar mereka yang miskin dan tidak mampu dapat tetap menjadi peserta SJSN. Pilar kedua
adalah pilar asuransi sosial yang merupakan suatu sistem asuransi yang wajib diikuti bagi
semua penduduk yang mempunyai penghasilan (meskipun kecil) dengan membayar iuran
yang proporsional terhadap penghasilannya. Pilar satu dan pilar kedua ini merupakan
fondasi SJSN untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak yang harus diikuti dan diterima
oleh seluruh rakyat (pilar jaminan sosial publik). Pilar ketiga adalah pilar tambahan atau
suplemen bagi mereka yang menginginkan jaminan yang lebih besar dari kebutuhan standar
hidup yang layak dan mampu menyediakan jaminan tersebut (pilar jaminan swastaiprivat).
Pilar ini dapat diisi dengan membeli asuransi komersial (baik asuransi kesehatan, pensiun,
atau asuransi jiwa), tabungan sendiri, atau program-program lain yang dapat dilakukan oleh
perorangan atau kelompok seperti investasi saham, reksa dana, atau membeli properti
sebagai tabungan bagi dirinya atau keluarganya. Pada pilar ketiga jaminan kesejahteraan,
yang akan dipenuhi adalah keinginan (want, demand) sedangkan pada dua pilar pertama
yang dipenuhi adalah kebutuhan (need). AKN dalam SJSN 139 HThabrany Tim SJSN telah
menyepakati untuk mengembangkan substansi jaminan sosial yang meliputi jaminan
kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan
kematian. Semula disiapkan untuk menyediakan Jaminan Penanggulangan Pemutusan
Hubungan Kerja (JPPHK), namun karena keterlambatan selesainya konsep SJSN dan UU
Nomor 13/2003 tentang Ketenaga Kerjaan sudah mewajibkan majikan membayar pesangon
apabila terjadi PHK, maka JPPHK kemudian dihilangkan. Tim juga bersepakat untuk
memperbaiki sistem jaminan sosial yang ada (yang dikelola oleh PT ASABRI, PT Askes, PT
Jamsostek, dan PT Taspen) agar nantinya menjadi jaminan yang seragam tanpa
membedakan status pekerjaan penduduk. Pada awalnya konsep Jaminan Sosial Nasional
akan mendirikan tiga lembaga yaitu Lembaga Jaminan Sosial Nasional yang merupakan
suatu lembaga Tri Partit (Majelis Wali Amanat) yang berfungsi sebagai pengambil kebijakan
umum dan pengawasan yang tidak operasional. Selain itu dibentuk satu Administrasi
Jaminan Sosial Nasional yang bertugas mengelola kepesertaan, mengumpulkan iuran dan
mengelola dana. Terkahir adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang terdiri dari dua
badan yaitu Satu Badan yang mengelola program yang bersifat jangka panjang (jaminan
hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan pemutusan hubungan kerja) dan
satu Badan Penyelenggara Jaminan yang bersifat jangka pendek (jaminan kecelakaan kerja
dan jaminan pemeliharaan kesehatan). Namun demikian, karena berbagai ketakutan
kehilangan peran, usul ini ditolak beberapa wakil dari Departemen dan wakil Badan
Penyelenggara yang ada. Sebagai kompromi akhimya disepakati bahwa keempat badan
penyelenggara tetap beroperasi sendiri-sendiri tetapi hams berubah tujuan menjadi lembaga
yang nirlaba, seseuai dengan prinsip dasar penyelenggaraan jaminan sosial. Pada tahap ini
belum diputuskan apakah tugas keempat badan penyelenggara tersebut akan tetap atau
akan ada spesialisasi penyelenggaraan seperti yang diinginkan oleh sebagian anggota DPR
dan anggota Tim SJSN. Tim juga telah menyepakati untuk memperluas jaminan mulai
dengan penduduk yang bekerja dengan orang/badan dengan menerima upah dan penduduk
miskin. Kelompok penduduk ini semula disebut sektor formal yang merupakan sektor yang
paling mudah dike lola, namun karena dalam debat-debat di DPR tidak ada satu definisi
sektor formal dan informal yang pas, akhirnya istilah sektor formal dan informal dihapuskan.
Secara bertahap jaminan akan diperluas kepada yang tidak miskin yang tidak menerima
upah/gaji secara rutin seperti kelompok pedagang, petani, nelayan, dan pekerja rumah
tangga sehingga suatu saat seluruh rakyat mendapat jaminan untuk bisa hidup sehat, layak,
dan produktif. Pentahapan kepesertaan seperti ini tidak secara jelas, bisa difahami dalam
UU SJSN. Landasan Hukum yang kini tersedia dalam atau melandasi sistem jaminan sosial
di sektor kesehatan adalah: 1. UUD 1945 amendemen pasal 28H ayat 1, bahwa setiap
penduduk berhak atas pelayanan kesehatan dan ayat 3 bahwa setiap penduduk berhak atas
jaminan sosial. 2. UUD 1945 amendemen pasal 34 ayat 2, bahwa negara mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat 3. UUD 1945 amendemen pasal 34 ayat 3, bahwa
negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan yang layak 4. UU No 3/1992
tentang Jamsostek 5. PP 69/1991 tentang JPK PNS 6. UU No 23/1992 tentang Kesehatan,
khususnya pasa166 AKN dalam SJSN 140 HThabrany 7. UU 43/1999 tentang pegawai
negeri sipil 8. PP Nomor 2812003 tentang asuransi kesehatan pegawai negeri. 7.3.
Ringkasan untuk sub sistem AKN Dasar pertimbangan utama perluasan AKN adalah
rendahnya cakupan asuransi kesehatan di Indonesia jika dibandingkan dengan cakupan
asuransi kesehatan di negara tetangga. Di Muangtai, sudah 100% penduduknya (cakupan
universal) memiliki jaminan kesehatan. Di Filipina, cakupan asuransi kesehatan nasional
sudah mencapai hampir 60% penduduk. Di Indonesia, data Susenas 2001 menunjukkan
bahwa baru sekitar 40 juta penduduk (20,2 %) memiliki jaminan kesehatan dengan manfaat
yang bervariasi. Dari jumlah itu, 6,8 % atau sekitar 13,2 juta penduduk memiliki jaminan
dalam bentuk Kartu SehatlJPK Gakin atau jaminan yang bersifat sementara. Dengan
demikian, hanya sekitar 27 juta penduduk (hampir 14 %) saja yang memiliki jaminan yang
berkesinambungan, ini tidak jauh berbeda dengan angka 13% penduduk yang terjamin di
tahun 1992. Padahal, data-data survei angkatan kerja maupun data Susenas menunjukkan
bahwa sekitar 30 juta penduduk bekerja di perusahaan, badan, atau pemerintah. Jika rata-
rata setiap pekerja memiliki tiga tanggungan saja, maka sekitar 90 juta jiwa sehamsnya
sudah memiliki jaminan kesehatan. Selain itu, jaminan yang dimiliki oleh 14 % penduduk
itupun tidak seragam dan tidak selalu memenuhi kebutuhan dasar medis karena masih
tingginya urun biaya (cost sharing) untuk pelayanan mahal seperti pengobatan kanker,
hemodialisa dan operasi jantung atau bahkan tidak dijamin sama sekali dalam program JPK
Jamsostek atau jaminan yang diberikan oleh perusahaan. Sebagian dari mereka yang
memiliki asuransi kesehatan atau JPKM (dibelikan oleh majikan) juga menerima manfaat
asuransi yang bervariasi yang tidak selalu memenuhi kebutuhan dasar medis pekerja dan
keluarganya. Rendahnya cakupan penduduk dan kurang memadainya jaminan kesehatan
disebabkan karena perundang-undangan yang ada telah lama tidak disesuaikan dengan
kebutuhan yang berubah dan belum difahaminya konsep dan manfaat jaminan atau asuransi
sosial. Oleh karenanya, perubahan perundangan untuk memperluas cakupan penduduk dan
memperbaiki manfaat jaminan sudah tidak dapat ditunda lagi. a. Tujuan dan Manfaat.
Perluasan program Asuransi Kesehatan Nasional dalam SJSN bertujuan untuk memperluas
cakupan penduduk yang memiliki jaminan kesehatan yang memenuhi kebutuhan dasar
medis, tanpa membedakan status ekonomi penduduk. Dengan pemenuhan kebutuhan dasar
medis, penduduk akan dengan tenang melakukan kegiatan produksinya setiap hari (belajar
dan bekerja) sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan negara melalui pajak
penghasilan atau pajak penjualan hasil produksi penduduk tersebut. Perlu dicatat bahwa
pengertian kebutuhan dasar medis bukanlah pelayanan medis (kesehatan) yang murah
harganya seperti pelayanan dokter praktek, puskesmas, atau obat generik. Kebutuhan dasar
medis adalah kebutuhan pelayanan medis yang memungkinkan seseorang hidup dan
berproduksi, sehingga termasuk disini pelayanan hemodialisa atau bedah jantung sekalipun,
AKN dalam SJSN 141 HThabrany selagi tindakan medis tersebut memang diperkirakan oleh
dokter (secara obyektif) akan efektif untuk penyembuhan atau mengembalikan produktifitas
pasien. Pelayanan perawatan di kelas I atau VIP di rumah sakit pemerintah atau RS swasta
bukanlah kebutuhan dasar medis. Pemberian obat yang sekedar menghilangkan gatal-gatal
atau menjadikan penampilan seseorang lebih gagah atau lebih cantik, bukanlah kebutuhan
dasar medis. b. Prinsip dasar AKN Penyelenggaraan AKN dilaksanakan berdasarkan
pnnsip-pnnsip asuransi sosial yang menjamin solidaritas luas diantara berbagai kelompok
penduduk, penerapan teknik kendali biaya (managed care), menjamin portabilitas dan
penyelenggaraan yang akuntabel, transparan, dan responsif. Untuk menjamin semua
penduduk turut serta, maka seluruh pemberi kerja diwajibkan mendaftarkan tenaga kerja
dan anggota keluarganya ke BPJS yang menyelenggarakan AKN dan sekaligus membayar
iuran secara rutin ke rekening BPJS tersebut. Besarnya iuran belum ditetapkan dalam UU
SJSN dan akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Namun besaran iuran diperkirakan
antara 5 %-6 % dari gaji/upah yang ditanggung bersama antara pemberi kerja dan tenaga
kerja. Pada program Jamsostek yang pada tahun 2004 masih berlaku, besaran iuran adalah
3% untuk pekerja lajang dan 6% untuk pekerja yang telah berkeluarga. Perbedaan besaran
iuran ini banyak disalah-gunakan pemberi kerja dengan mendaftarkan tenaga kerja,
umumnya wanita yang sudah berkeluarga, sebagai tenaga kerja lajang guna mengurangi
kewajibannya. Oleh karena itu, dalam SJSN seharusnya tidak lagi dibedakan antara pekerja
lajang dan pekerja yang telah berkeluarga, seperti yang juga diterapkan di seluruh negara di
dunia. Penduduk miskin akan didaftarkan oleh pemerintah (kemungkinan yang terbaik
adalah oleh Dinas Kesehatan atau Dinas Sosial) dari suatu Kota/kabupaten. luran penduduk
miskin dan tidak mampu (mempunyai penghasilan tetapi tidak mencukupi) akan dibayar oleh
Pemerintah. Besaran iuran penduduk miskin ini adalah nilai nominal tertentu. Dalam
prakteknya iuran ini hams diperhitungkan sebesar rata-rata iuran bagi pekerja di daerah
tersebut agar kebutuhan kecukupan dana (prinsip adequacy dalam perhitungan aktuaria
dapat terpenuhi). Bagi pekerja mandiri, iuran sebaiknya ditetapkan berdasarkan rata-rata
pendapatan dari berbagai kelompok pekerjaan. Misalnya untuk petani mandiri, tukang
becak, dan nelayan mandiri ada satu besar iuran. Untuk sopir taksi, pedagang kios di pasar,
atau pedagang kios di pusat perbelanjaan yang dikerjakan sendiri iurannya lebih tinggi dari
kelompok petani, karena nilai rata-rata penghasilan yang diperoleh (dari survei) lebih tinggi.
Peserta yang telah terdaftar (baik yang bayar sendiri iurannya, yang dibayarkan oleh
pemerintah atau pemberi kerja) akan mendapatkan kartu peserta untuk berobat di fasilitas
kesehatan yang mengikat kontrak dan sepakat memberikan pelayanan dengan standar mutu
yang ditetapkan BPJS. Dengan demikian, fasilitas kesehatan tidak boleh dan tidak perlu
membedakan pelayanan bagi kelompok miskin maupun kelompok yang berpenghasilan
rendah. Untuk mengendalikan moral hazard, setiap kali peserta memerlukan pelayanan
tertentu, maka peserta hams membayar urun biaya (cost sharing) yang tidak besar tetapi
cukup mengendalikan pelayanan dan biaya. Besaran urun biaya akan diatur dalam PP,
hendaknya bervariasi antara 10 %-30 % tergantung jenis pelayanan. Untuk menghindari
beban berat bagi peserta, maka urun biaya harus dibatasi sampai jumlah maksimum
tertentu, AKN dalam SJSN 142 HThabrany misalnya sebesar satu bulan UMP. Dana urun
biaya merupakan hak fasilitas kesehatan yang jumlahnya telah diperhitungkan dalam
kalkukasi pembayaran prospektif dari BPJS kepada fasilitas kesehatan. Untuk mengurangi
moral hazard dari sisi fasilitas kesehatan, maka BPJS hams melakukan telaah utilisasi
(utilization review) guna menjamin ketepatan penggunaan dan kualitas pelayanan yang
diterima peserta. c. Strategi pengembangan Undang-undang memang belum rinci
menggariskan strategi pengembangan program dan perluasan kepesertaan. Mudah-
mudahan dalam waktu dekat strategi tersebut dapat dirumuskan. Berikut ini disajikan strategi
hipotetis atau usulan strategi yang dapat digunakan untuk perluasan kepesertaan AKN
maupun pengembangan sistem pelayanan kepada anggota dan pembayaran kepada
fasilitas kesehatan. Karena pada saat ini masih banyak jumlah penduduk di sektor formal
yang belum memiliki jaminan, maka pada 5-10 tahun pertama perluasan kepesertaan akan
dipusatkan pada kelompok sektor formal, khususnya yang berada di perkotaan, dan
penduduk miskin sebagai pengganti program JPSBKlJPK Gakin yang kini sudah dimulai
oleh Depkes dengan menjaminkan sekitar 54 juta penduduk termiskin melalui subsidi iuran
ke PT Askes. Prioritas kedua kelompok ini didasarkan pada pertimbangan kemudahan
mengumpulkan iuran yang merupakan faktor esensial dalam suksesnya SJSN. Hal ini juga
berkaitan dengan ketersediaan dan kesiapan fasilitas kesehatan untuk melayani jumlah
peserta yang besar. Sasaran perluasan lima tahun pertama ditujukan kepada tenaga kerja
yang saat ini sama sekali belum memiliki jaminan. Pada saat yang bersamaan, Pemda
mendaftarkan dan membayarkan iuran penduduk miskin yang kini menerima JPK Gakin
kepada BPJS yang ditunjuk. Kepesertaa penduduk pekerja mandiri (sektor informal) hams
tetap terbuka secara aktif. Artinya penduduk itu sendiri yang berinisiatif mendaftar, akan
tetapi mereka hams siap membayar secara rutin, bukan hanya pada saat mereka menderita
sakit dan membutuhkan pelayanan. Penegakan hukum, atau upaya aktif BPJS mendatangi
penduduk sektor ini hendaknya tidak dilakukan dalam 10 tahun pertama, karena biaya
administratifnya akan sangat besar dan tidak sebanding dengan iuran yang akan terkumpul.
Untuk menjamin bahwa penduduk sektor informal dapat memenuhi kebutuhan dasr
medisnya, maka pelayanan kesehatan di fasilitas pemerintah masih hams tetap
mendapatkan subisidi yang ditujukan bagi mereka yang belum menjadi peserta AKN. d.
Kelembagaan. Secara prinsip, Tim SJSN telah sepakat bahwa badan penyelenggara
hamslah bersifat nirlaba (prinsip Trust Fund atau Public Corporation). Ada berbagai pilihan
kelembagaan dari yang terpusat sampai yang tersebar (desentralisasi). Semakin terpusat,
penyelenggaraan semakin efisien dan semakin portabel tetapi juga kurang responsif
terhadap perubahan kebutuhan peserta. Sebaliknya semakin banyak penyelenggara maka
semakin tidak efisien dan tidak portabel akan tetapi semakin responsif terhadap perubahan
kebutuhan peserta. Agar penyelenggaraan benar-benar memihak kepada peserta, maka
biaya administrasi dibatasi AKN dalam SJSN 143 HThabrany sampai maksimum 5% dari
seluruh iuran yang diterima. Undang-Undang SJSN telah menyepakati mengambil bentuk
BPJS yang terpusat, yang kemungkinannya diberikan kepada PT Askes atau PT Jamsostek
atau kedua-duanya. Pilihan ini mempunyai potensi kurang responsif terhadap tuntutan
peserta di daerah. Untuk mengatasi hal itu, maka kantor cabang di daerah hams diberikan
otonomi luas dalam penyelenggarannya. Untuk antisipasi hal ini, UU telah menggariskan
bahwa besaran pembayaran dan cara pembayaran antara BPJS kepada fasilitas kesehatan
dinegosiasikan di tingkat wilayah. Hal ini akan menimbulkan perbedaan sistem pembayaran
dan besaran pembayaran antar daerah, yang memang memiliki karakteristik yang berbeda.
Ini adalah salah satu contoh otonomi kantor cabang di daerah yang diberikan UU untuk
menampung tuntutan masyarakat di daerah. Prinsip Dasar: • Prinsip solidaritas sosial atau
kegotong-royongan. Jaminan Kesehatan Nasional (AKN) diselenggarakan berdasarkan
mekanisme asuransi sosial yang wajib untuk menuju cakupan universal (universal coverage)
yang akan dicapai secara bertahap, sehingga tercipta subsidi silang antara yang kaya
kepada yang miskin, antara yang muda kepada yang tua, antara yang sehat kepada yang
sakit, dan antara daerah kaya ke daerah miskin. • Prinsip efisiensi. Manfaat terutama
diberikan dalam bentuk pelayanan yang terkendali, baik utilisasi maupun biayanya. manfaat
dalam bentuk santunan uang hanya diberikan untuk kondisi tertentu. Dalam efisiensi sistem
(pengendalian biaya), peserta diwajibkan membayar urun biaya dalam bentuk (co-insurance)
atau co-payment setiap kali peserta memanfaatkan pelayanan tertentu. Co-insurance adalah
pembayaran dalam bentuk prosentese tertentu dari biaya kesehatan yang dihabiskannya.
Sedangkan co-payment adalah pembayaran dalam jumlah tetap per kali kunjungan atau
perawatan. • Prinsip ekuitas. Program AKN diselenggarakan berdasarkan pnnsip keadilan
dimana setiap penduduk, tanpa memandang suku, bangsa, agama, aliran politik, dan status
ekonomi, hams memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan dasar
medisnya dan membayar iuran sesuai dengan kemampuan ekonominya. • Prinsip
portabilitas. Seorang peserta tidak boleh kehilangan perlindungan/jaminan bagi dirinya atau
anggota keluarganya apabila ia pindah tempat tinggal, pindah kerja, atau sementara tidak
bekerja. • Prinsip nirlaba (not for profit). Pengelolaan program AKN diselenggarakan atas
dasar tidak mencari atau memupuk laba untuk sekelompok orang atau pemerintah, akan
tetapi memaksimalkan pelayanan. Badan penyelenggara dibebaskan dari kewajiban
membayar pajak penghasilan badan (PPh Badan) atas sisa anggaran atau hasil usahalnilai
tambah. Badan penyelenggara juga tidak membayarkan dividen atas sisa anggaran atau
sisa hasil usaha atau keuntungan yang diperolehnya. Seluruh dana berupa sisa hasil usaha
atau anggaran yang tidak AKN dalam SJSN 144 HThabrany digunakan disimpan dan
diakumulasi dalam bentuk dana cadangan dari tahun ke tahun. Apabila jumlah dana
cadangan ini sangat besar suatu ketika, maka besaran iuran oleh seluruh peserta akan
diturunkan Prinsip tambahan yang perlu diperhatikan adalah: • Prinsip responsif.
Penyelenggaraan AKN hams responsif terhadap tuntutan peserta sesuai dengan perubahan
standar hidup para peserta yang mungkin berbeda dan terns berkembang di berbagai
daerah • Prinsip koordinasi manfaat. Dalam pemberian manfaat, tidak boleh terjadi duplikasi
jaminan atau pembayaran kepada fasilitas kesehatan antara program AKN dengan program
asuransi atau jaminan lain seperti jaminan kecelakaan lalu lintas yang menimpa seorang
peserta AKN. Koordinasi ini belum diatur dalam UU. Prinsip koordinasi ini menjadi penting
ketika Pemda mengembangkan (bukan yang berdiri sendiri) jaminan sosial lokal. Salah satu
contoh yang bisa diatur misalnya, jaminan kesehatan pusat menanggung biaya pengobatan
dan perawatan sementara jaminan kesehatan daerah menanggung biaya transportasi atau
menanggung urun biaya yang tidak dijamin oleh JKN yang bersifat nasional. 7.4. Key
Success Factor: Penyelenggaran AKN berhasil apabila: • Mendapat dukungan dari pemberi
kerja dan organisasi tenaga kerja yang memahami bahwa program tersebut pada akhimya
akan bermanfaat untuk meningkatkan produktifitas mereka. • Manfaat yang diberikan cukup
layak dan memadai jumlah dan mutunya. Oleh karenanya pelayanan medis yang mahal
hams dijamin, sementara pelayanan yang murah dapat dikurangi atau dikenakan urun biaya.
Besamya manfaat hams secara reguler, dalam periode yang wajar, disesuaikan dengan
kebutuhan peserta yang berkembang sejalan dengan peningkatan tarafhidupnya. • Jumlah
iuran hams cukup memadai untuk membiayai manfaat yang diberikan (prinsip adequacy).
Jumlah iuran yang melebihi manfaat yang diberikan akan lebih baik karena kelebihan dana
akan diakumulasi. Akan tetapi jumlah iuran yang terlalu besar dapat memberatkan sektor
usaha dan karenanya dapat menurunkan angka partisipasi. • Penyelenggaraan dilakukan
dengan profesional, transparan, bersih, dan bertanggung jawab. Oleh karenya seluruh
peserta hams bisa memperoleh informasi akurat tentang penyelenggaraan, besaran iuran
yang terkumpul, dan besamya dana yang dihabiskan untuk pelayanan dan biaya
manajemen. AKN dalam SJSN 145 HThabrany • Adanya kestabilan politik dan ekonomi
yang memungkinkan dunia usaha berkembang dengan inflasi yang terkendali dan
prediktabel • Adanya dukungan pemerintah yang kuat yang menjamin berbagai pihak
memenuhi kewajibannya. Dukungan pemerintah hams diwujudkan dalam bentuk pemberian
dana subsidi atau talangan jika diperlukan. Dengan demikian, seluruh peserta dan pemberi
kerja tidak merasa khawatir kalau temyata biaya kesehatan membengkak dan BPJS
bangkrut. Sperti halnya Bank Indonesia, BPJS hanya bisa bangkrut apabila pemerintah
bangkrut. Ketegasan kewajiban pemerintah ini sudah tercantum dalam UU, guna menjamin
tingkat kesehatan BPJS 7.5. Status Hukum Badan Penyelenggara Oleh karena mekanisme
Jaminan Kesehatan merupakan suatu mekanisme asuransi sosial yang bertujuan memenuhi
kebutuhan bersama (gotong royong) yang bersifat wajib, maka badan penyelenggara
hamslah bersifat nirlaba. Bentuk yang ideal adalah suatu badan hukum tersendiri, yang
bukan Perusahaan Terbatas dan bukan pula BUMNIBUMD. Bentuk usaha mutual (usaha
bersama) seperti AJB Bumi Putra merupakan altematif yang mendekati bentuk ideal. Semua
peserta adalah pemegang saham. Tidak ada pendiri atau pemegang saham yang
mempunyai hak veto atau suara mayoritas. Bentuk yang ideal dari Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) adalah sebagai suatu badan hukum tersendiri yang diatur dalam UU
SJSN, seperti halnya Bank Indonesia yang diatur oleh UU BI dan Dana Pensiun Pemberi
Kerja yang diatur oleh UU Nomor 11/1992 tentang Dana Pensiun. Bentuk badan hukum
seperti ini memungkinkan penyelenggaraan asuransi yang bertujuan sosial secara taat asas
dengan pengelolaan yang otonom, tanpa campur tangan birokrasi, dan tanpa konflik dengan
UU lain. Satu-satunya kekuasaan yang mengatur diatasnya adalah Undang undang yang
mengatumya. Namun demikian, dalam UU SJSN para pakar hukum dan sebagian birokrat
tidak setuju dengan bentuk badan khusus tersebut, kecuali jika ada UU khusus yang
mengatumya, seperti UU BI yang mengatur bentuk badan tersebut. Sesungguhnya UU Bank
Indonesia dan UU Dana Pensiun (UU nomor 11/1992) telah memberikan contoh bentuk
Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagai badan seperti itu. Perdebatan mengenai hal itu
berkepanjangan dan tidak selesai dalam satu tahun. Jalan tengah yang diambil akhimya
untuk sementara UU SJSN menggunakan bentuk Persero akan tetapi ada pengaturan
khusus yang krusial yaitu bersifat nirlaba oleh UU SJSN. Ini sementara dapat kita terima.
Akan kita lihat apabila dalam penyelenggaraannya nanti timbul konflik dengan UU BUMN
atau pengawas yang mengawasi BUMN, maka bentuk Persero hams diubah kembali.
Bantuk Persero seperti yang diatur oleh BUMN mengandung keunggulan dimana
penyelenggara mempunyai otonomi luas dalam mengelola pegawai dan dana. Tujuan
mencari laba, seperti yang tercantum dalam UU BUMN saja yang berbeda dengan BPJS
yang bertujuan nirlaba. Perbedaan lain adalah bahwa kepemilikan BPJS sepenuhnya milik
negara dan BPJS ini tidak boleh menjual satu sahampun kepada perseorangan atau badan.
Dalam UU sudah disebutkan bahwa sisa hasil usaha, pendapatan investasi, dan segala
macam dana yang tidak atau belum digunakan akan digunakan untuk sebesar-besamya
kepentingan peserta. Jadi tidak ada lagi dividen yang akan AKN dalam SJSN 146
HThabrany dibayarkan oleh PT Askes dan PT Jarnsostek kepada Pemerintah, seperti yang
selarna ini berlangsung, yang jumlahnya melebihi satu triliun rupiah setahun. Sejak BPJS
menyesuaikan diri, diharapkan tahun 2005 sudah selesai, maka dividen tersebut seluruhnya
akan masuk ke rekening peserta sesuai dengan jumlah iuran yang telah disetorkannya.
Dengan keluarnya UU SJSN, maka bapel-bapel JPKM yang sekarang ada atau pra bapel
yang sebelumnya mengelola JPKM JPSBK tidak bisa lagi beroperasi untuk melayani
kebutuhan dasar medis. Begitu juga dengan perusahaan asuransi atau perusahaan lain,
yang melakukan kontrak dengan perusahaan untuk menjarnin pelayananan atau biaya
kesehatan karyawan suatu perusahaan, tidak boleh lagi beroperasi untuk menjarnin
kebutuhan dasar medis. Mereka boleh beroperasi untuk menjual produk asuransi kesehatan
suplemen atau tambahan, yang tidak dijarnin oleh SJSN. Bisa saja sebuah perusahaan
membelikan asuransi kesehatan yang mencakup paket dasar tetapi tetap wajib iur untuk
SJSN. Tentu hal ini bersifat duplikatif dan menjadi lebih mahal bagi perusahaan. Bapel
JPKM dapat juga mengubah diri menjadi grup povider (kelompok fasilitas kesehatan) yang
melakukan kontrak dengan BPJS, atau menjadi lembaga penjamin manajemen mutu dan
utilisasi yang independen. 7.6. Struktur organisasi dan Manajemen Dalarn UU SJSN yang
belum memiliki Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang mengatur lebih rinci
penyelenggaraan, struktur organisasi BPJS tentu saja belum dirumuskan. Berbagai altematif
dapat dikembangkan untuk mengoptimalkan penyelenggaraan dan manajemen jaminan
kesehatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dan visi-misi penyelenggaraan jaminan
sosial, yang memihak rakyat banyak. Struktur organisasi dan manajemen akan diatur
kemudian, praktisnya setelah Dewan Jaminan Sosial Nasional dibentuk dan membuat
rumusan kebijakan umum. Sebagai sebuah Dewan yang berfungsi advokasi, pemantauan,
dan pengawasan, DJSN tidak bisa membuat peraturan dan tidak bisa menjadi lembaga
pengawal berjalannya AKN dengan baik. Fungsi pengawal dan penegakan hukum dapat
dilakukan oleh Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga Kerja, atau Departemen
Sosial. Dewan Jarninan Sosial Nasional akan segera dibentuk setelah UU SJSN ditanda
tangani Presiden tanggal 18 Oktober 2004. Anggota Dewan terdiri dari 15 orang yang terdiri
atas unsur Pemerintah, serikat pekerja, serikat pengusaha, tokoh atau para ahli dalam
bidang jaminan sosial (lihat naskah UU terlarnpir). Semula RUU SJSN dalam dalam
perdebatan di Panitia Kerja maupun Panitia Khusus jumlah masing-masing wakil akan
ditetapkan. Bahkan draf awal menyebutkan proses seleksi dan pengangkatan anggota
DJSN. Narnun, karena masalah tersebut cukup sulit diputuskan, maka UU tidak
menyebutkan. Presiden diharapkan akan menetapkan wakil-wakilnya secara bijaksana.
Dewan ini akan merumuskan dan menyinkronkan penyelenggaraan jaminan sosial bagi
seluruh rakyat. Nantinya, seluruh rakyat akan memiliki jaminan sosial yang sarna skemanya,
setara prosentase iurannya, dan setara manfaat yang akan diterima. Kesetaraan tidak
berarti sarna persis, sebab tidak bisa dipastikan semua peserta akan sarna pemah
menerima operasi ginjal, akan tetapi setara dimaksudkan sesuai dengan kebutuhan medis
peserta. Iurannya pun setara, artinya kalau pegawai negeri membayar 5% iuran dari gajinya,
maka pegawai swasta juga membayar 5% AKN dalam SJSN 147 HThabrany dari gajinya.
Dengan demikian tidak ada diskriminasi antar golongan pekerjaan. Tugas yang berat ini
hams dilaksanakan oleh Dewan dan diharapkan dapat selesai paling lama dalam waktu 5
(lima) tahun. Dewan ini memiliki kewenangan mengawasi dan mengevaluasi keempat BPJS
yang ditetapkan dalam UU. Untuk efisiensi dan efektifitas fungsi DJSN, maka harus ada
beberapa Komite yang terdiri dari para ahli dan yang sehari-hari mengerjakan evaluasi atas
penyelenggaraan jaminan sosial yang sesuai dengan UU SJSN. Komite dapat dibentuk
secara permanen untuk terus-menerus memantau penyelenggaraan, misalnya Komite
Investasi, agar BPJS tidak seenaknya menempatkan dana yang mungkin lebih didorong
atas kepentingan tertentu. Komite yang diperlukan antara lain: 1. Komite Aktuaria: tugasnya
adalah melakukan evaluasi rutin tentang iuran dan perkiraan biaya medis serta menerbitkan
tabel iuran, khususnya untuk pekerja mandiri dan penduduk miskin atau kurang mampu
secara berkala. 2. Komite Investasi: Komite ini sangat penting karena BPJS, khsusnya BPJS
penyelenggara program Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun akan mengakumulasi dan
menghimpun ratusan Triliun rupiah (Dana Amanat) di masa datang. Kalau saja dana
tersebut diinvestasikan pada portofolio yang tidak tepat, akan memberikan hasil
pengembangan dana yang kurang optimal. Idealnya, Dana Amanat akan memberikan hasil
yang lebih tinggi dari bunga Deposito, paling sedikit 2% diatas itu. Sehingga peserta akan
merasa puas dengan perkembangan dana yang mereka miliki. Komite ini bertugas
menyusun perumusan dan pedoman portofolio investasi bagi kantor pusat dan kantor
cabang BPJS. 3. Komite Perselisihan: Perselisihan akan selalu muncul pada operasi yang
begitu besar, apalagi dalam program AKN. Komite memantau dan menyelesaikan secara
internal berbagai perselisihan yang menyangkut pembayaran iuran, pembayaran kepada
fasilitas kesehatan, dan perselisihan lain yang melibatkan badan, peserta, pemberi kerja,
dan atau fasilitas kesehatan 4. Komite pelayanan: Komite ini khususnya diperlukan untuk
program AKN dengan tugas melakukan pemantauan dan perumusan jenis-jenis pelayanan,
obat dan bahan medis habis pakai yang dijamin atau tidak dijamin serta besaran urun biaya.
Komite juga melakukan evaluasi dan perumusan tentang mutu pelayanan fasilitas
kesehatan, persyaratan mutu pelayanan, dan merumuskan tentang pedomaan telaah
utilisasi terhadap pelayanan yang diberikan kepada peserta 7.7. Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan keuangan merupakan inti keberhasilan program AKN. Apabila BPJS tidak
mampu mengelola dana, mulai dari penerimaan iuran, investasi, sampai pembayaran dan
pencadangan dana, maka kepercayaan peserta (dan pengusaha) akan hilang. Apabila
kepercayaan tersebut hilang, maka penyelenggaraan AKN dan SJSN otomatis berhenti atau
AKN dalam SJSN 148 HThabrany bubar. Risiko hancurnya penyelenggaraan SJSN adalah
risiko negara, bukan risiko perusahaan atau sekelompok orang pemegang saham, dalam hal
penyelenggaraan asuransi kesehatan komersial. Oleh karena itu, aturan pengelolaan
keuangan harus secara eksplisit dirumuskan dan hams ditaati betul oleh pengelola.
Pengelola harus dipilih dari orang-orang yang bersih dan mempunyai dedikasi tinggi untuk
mewujudkan terselenggaranya AKN yang baik. Beberapa elemen penting pengelolaan
keuangan yang patut dipertimangkan adalah: Paling lambat setiap tanggal 5 bulan berjalan,
pemberi kerja wajib menyetorkan potongan iuran pekerja dan menambahkan iuran yang
menjadi kewajibannya ke rekening BPJS. Misalnya, iuran untuk bulan Januari 2005 hams
sudah dibayarkan oleh pemberi kerja kepada BPJS paling lambat tanggal 5 Januari 2005.
Pengusaha yang lalai harus dikenakan sanksi berupa denda atau kalau terus-menerus lalai,
maka Direktur Keuangan atau Direktur Utama hams bisa diseret ke pengadilan atau dikenai
hukuman kurungan. Tanpa ada penegakan hukum yang tegas, khususnya dalam lima tahun
pertama penyelenggaraan, maka SJSN tidak akan berjalan baik. Lima tahun pertama amat
penting untuk meyakinkan semua pemberi kerja membayar iuran. Kalau pemberi kerja tidak
bisa yakin bahwa SJSN diselenggarakan dengan bersih, jujur, dan betul-betul memihak
peserta, maka akan sulit mengembangkan SJSN di kemudian hari. Praktisnya pembayaran
iuran akan dibayar sekaligus untuk semua program jaminan sosial, hanya saja kepada
rekening yang berbeda. Untuk keperluan pengawasan, BPJS bersama dengan pegawai
pengawas dari Departemen terkait dapat melakukan pemeriksaan sewaktu-waktu kepda
pemberi kerja dan mengajukannya ke pengadilan jika terdapat pelanggaran. Pengalaman
penyelenggaraan program Jamsostek menunjukkan bahwa banyak pemberi kerja yang tidak
jujur dengan laporan upah pekerja. Pemberi kerja melaporkan upah yang lebih rendah
kepada Jamsostek agar iurannya bisa lebih kecil. Ke depan, hal ini akan mudah dideteksi
oleh pekerja sendiri karena SJSN dirancang untuk lebih transparan. Badan Penyelenggara
diwajibkan melaporkan rekening peserta JHT dan JP setiap tahun. Dengan demikian apabila
pengusaha melaporkan upah yang lebih rendah, akan tampak dari akumulasi iuran yang
dibayarkan ke BPJS yang pada akhir tahun laporannya akan diterima setiap peserta. Selain
itu, peserta juga akan mengetahui dari tahun ke tahun besaran dana yang dimilikinya untuk
masa tuanya,. Akan tetapi peserta tidak boleh mengambilnya, karena dana tersebut baru
bisa diambil jika ia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Badan
pengelola AKN dalam lima tahun pertama, sebelum jumlah peserta cukup besar, hanya
dapat menggunakan iuran yang diterima untuk biaya administrasi maksimum 15% iuran,
pada tahun ke 6-10 besarnya biaya operasional hams maksimum 10%, dan menjadi
maksimum 5% pada tahun ke 11 dan seterusnya. Dengan demikian, penyelenggaraan AKN
ini akan lebih menguntungkan bagi perusahaan yang selama ini membeli asuransi
kesehatan yang mempunyai loading (biaya operasional, biaya pemasaran dan keuntungan)
yang mencapai 40% dari premi. Pembatasan ini sangat penting dirumuskan dalam
peraturan, agar semua peserta dan pemberi kerja yang akan mengiur mengetahui dengan
jelas bahwa mereka akan diuntungkan dengan pool yang besar yang dikelola secara
nasional. AKN dalam SJSN 149 HThabrany Dana yang terkumpul tidak selalu hams habis
pada tahun itu, akan tetapi hams cukup membiayai semua kebutuhan yang akan timbul di
tahun itu. Ini adalah prinsip solvabilitas. Untuk menjamin kecukupan dana ini, maka dana
yang terkumpul hams dikelola dengan sangat hati-hati (prudent) Dana yang belum
digunakan hams diinvestasikan agar memberikan nilai tambah untuk menutupi biaya yang
dibutuhkan dan untuk menambah dana cadangan. Akan tetapi investasi hams dilakukan
agar setiap saat dana dibutuhkan, dana tersebut dapat cairo Ini adalah prinsip likuiditas.
Manajemen keuangan hams benar-benar carmat agar tercapai kesimbangan antara
kebutuhan dana untuk membayar manfaat dan menginvestasikan yang belum diperlukan.
Untuk mencapai titik optium tersebut, tidak sembarang investasi dibolehkan. Investasi yang
berisiko tinggi, seperti saham dan properti hams dihindari, meskipun akan memberikan hasil
yang tinggi. Jikapun dibenarkan, proporsinya hams sangat dibatasi, misalnya tidak lebih dari
5% dari total dana yang dapat diinvestasikan. Untuk dana jaminan kesehatan, dana akan
lebih banyak diinvestasikan dalam bentuk deposito, reksa dana, dan sebagian mungkin
dalam instrumen investasi jangka pendek lain yang aman seperti SBI. Dana hari tua dan
pensiun yang digunakan dalam jangka panjang, hams ditanam dalam instrumen jangka
panjang. Akan tetapi untuk jaminan kesehatan yang kebutuhan nya setiap saat dapat terjadi,
instrumen investasi jangka panjang tidak diperlukan. 7.8. Kewajiban BPlS Secara garis
besar, UU SJSN mewajibkan BPJS untuk memberikan jaminan kepada seluruh peserta
sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh UU SJSN dan yang diatur oleh peraturan
pemerintah, dan atau DJSN. Karena sistem AKN menggunakan teknik managed care dalam
pengendalian biaya, maka timbul masalah dimana bisa terjadi di suatu daerah yang cukup
banyak pesertanya, tetapi fasilitas kesehatan yang akan dikontrak tidak memadai jumlahnya
dan tidak selalu menyediakan pelayanan atau dokter spesialis yang dibutuhkan. Sebagai
contoh, di Kalimantan bisa jadi banyak perusahaan kayu yang memiliki ribuan karyawan,
akan tetapi rumah sakit atau dokter spesialis mungkin tidak tersedia. Dalam hal itu, BPJS
wajib menyediakan tenaga (baik dari dalam maupun luar negeri) dan atau fasilitas
kesehatan guna memenuhi kebutuhan kesehatan para pesertanya. Apabila penyediaan
tenaga dan fasilitas tidak efisien atau terlalu mahal, BPJS wajib memberikan kompensasi
lain seperti memberikan penggantian biaya berobat. Disinilah pentingnya ada Komite
Pelayanan yang selalu memantau kondisi di berbagai daerah, kepuasan peserta dan
memantau kelayakan manfaat program. Komite pelayanan melakukan evaluasi terhadap
kepatuhan fasilitas kesehatan yang dikontrak atas standar pelayanan dan standar mutu
yang hams dipatuhi, yang telah ditetapkan BPJS dalam rangka menjamin mutu dan
kepuasan peserta. Komite pelayanan dapat meminta Direksi untuk memutuskan kontrak
kepada fasilitas kesehatan yang tidak mampu memenuhi standar yang ditetapkan. Inilah
yang dimaksud UU bahwa BPJS mengembangkan sistem pelayanan dan pembayaran.
Beberapa pihak di Depkes kurang memahami hal ini dan menilai bahwa UU SJSN terlalu
jauh memberikan kewenangan, kewenangan mengembangkan sistem pelayanan dan
pembayaran yang sehamsnya kewenangan Depkes, kepada BPJS. Sesungguhnya yang
diatur BPJS adalah kewenangan sistem pelayanan dan pembayaran yang AKN dalam SJSN
150 HThabrany terkait pelayanan kepada peserta, bukan sistem secara umum yang berlaku
bagi semua fasilitas kesehatan. Hanya fasilitas kesehatan yang mengikat kontrak dengan
BPJS-Iah yang terkena peraturan sistem pelayanan dan pembayaran BPJS. Sebagai
contoh, BPJS dapat mengembangkan sistem pelayanan terstruktur dengan pembayaran
kapitasi global ke rumah sakit, kapitasi parsial ke dokter keluarga, dan atau
mengembangkan sistem pembayaran DRG kepada rumah sakit. Undang-undang juga
mewajibkan BPJS untuk mengumumkan kinerja keuangan dan kinerja pelayanan (akses,
biaya satuan per group pelayanan atau diagnosis, kepuasan peserta per fasilitas dan
kota/kabupaten, dll), Hal ini sangat perlu untuk menjamin agar semua peserta memahami
segala macam masalah yang dihadapi dan memahami kalau misalnya diperlukan kenaikan
biaya iuran, pengendalian yang lebih ketat yang membutuhkan urun biaya lebih tinggi, dan
meningkatkan kepercayaan peserta kepada BPJS. Akan sangat baik jika BPJS
menyampaikan laporan tersebut atau mempublikasikan hasil-hasil penelitian yang
dibiayainya setiap enam bulan di paling sedikit 10 media masa nasional dan di website.
Meskipun UU tidak secara eksplisit mengatur hal itu, untuk kinerja yang terbaik, BPJS dapat
melakukan yang lebih dari itu guna menjamin transparansi dan pemahaman peserta akan
masalah yang dihadapi BPJS. Salah satu komponen penting dalam menjamin kepuasan
peserta adalah tugas BPJS untuk menerbitkan buku saku yang berisi hak dan kewajiban
peserta dan anggota keluarganya, tata cara memperoleh pelayanan, pelayanan yang
ditanggung/dijamin, dan jaminan yang tidak ditanggung, besaran urun biaya untuk berbagai
pelayanan, dll, Selain itu BPJS wajib menerbitkan revisi buku saku tersebut setiap terjadi
perubahan kebijakan iuran, paket pelayanan, maupun prosedur pelayanan dan
mencantumkan seluruh isi buku saku tersebut dalam website BPJS. Pengendalian mutu
pelayanan merupakan faktor yang juga tidak kalah pentingnya. Oleh karena itu BPJS wajib
mengembangkan sistem kendali mutu (quality assurance) di berbagai fasilitas yang
dikontrak di barbagai daerah. Seharusnyalah BPJS melakukan berbagai upaya untuk
menjamin bahwa setiap peserta akan mendapatkan pelayanan kesehatan dengan kualitas
terbaik menurut standar profesi dan kemampuan tenaga dan keuangan suatu daerah. 7.9.
Hak peserta Seperti dikemukakan diatas, BPJS wajib memberikan informasi yang rinci dan
jelas kepada seluruh peserta tentang hak-hak peserta. Hak terpenting peserta adalah hak
atas pelayanan. Idealnya, seperti tercantum dalam UU SJSN, manfaat yang diberikan
bersifat komprehensif dan diberikan di fasilitas kesehatan swasta atau fasilitas kesehatan
pemerintah yang mandiri (otonom) dimana birokrasi pemerintah yang tidak efisien tidak
mempengaruhi kinerja pelayanan. Namun dalam jangka pendek tentu tidak mungkin
mencapai hal itu, karena biaya yang mahal dan transformasi fasilitas kesehatan pemerintah
menjadi suatu badan otonom-yang dalam UU Perbendahaan Negara disebut Badan
Layanan Umum (BLU), belum memungkinkan. Untuk 10 tahun pertama masih dapat ditolerir
perbedaan AKN dalam SJSN 151 HThabrany manfaat non-medis antara peserta yang
iurannya dibayar oleh pemerintah (penduduk miskin dan tidak mampu) dan penduduk yang
membayar iuran penuh dari upahnya, ditarnbah iuran oleh majikannya. Fasilitas kesehatan
untuk penerima bantuan iuran (PBI) dapat digunakan hanya fasilitas kesehatan publik
seperti puskesmas dan rumah sakit publik (pemerintah) yang masih mendapat subsidi
pemerintah pusat maupun daerah. Dokter keluarga pada peri ode 10 tahun pertama akan
digunakan untuk melayani pegawai negeri dan pegawai swasta yang selarna ini sudah
mendapat jaminan pelayanan komprehensif. Untuk menjarnin pelayanan terstruktur dapat
terselenggara dengan memuaskan, fasilitas kesehatan yang dikontrak sebaiknya rumah
sakit yang memiliki dokter keluarga binaan dimana rumah sakit tersebut akan mendapatkan
rujukan. Rujukan dari dokter keluarga hams dikomunikasikan (pasien dikembalikan dengan
informasi pelayanan medis yang telah diberikan) oleh fasilitas kesehatan agar dokter
keluarga dapat mengikuti perkembangan penyakit pasien yang dirujuknya. Rujukan yang
kurang tepat hams diperbaiki agar tidak terulang kembali. Dokter keluarga ini akan menjadi
dokter primer yang berfungsi sebagai gatekeeper. Sejalan dengan konsep Indonesia Sehat,
dan paradigma pencegahan lebih baik dari pengobatan, maka BPJS harus memberikan
pelayanan pencegahan. Pelayanan kontrasespi dan konseling keluarga berencana
merupakan pelayanan pencegahan penting dalarn mengendalikan besarnya jumlah peserta
dalam jangka panjang. Untuk menurunkan angka kematian ibu dan kematian bayi, BPJS
harus mampu menyediakan Pelayanan ante natal lengkap, minimum 4 kali selarna
kehamilan dan pemeriksaan rutin setiap tiga bulan kepada ibu dan anaknya, sarnpai anak
mencapai usia lima tahun. BPJS harus mampu menjamin pemeriksaan medik rutin untuk
mendeteksi dini penyakit-penyakit kurang gizi dan penyakit infeksi kronis pada anak berusia
di bawah lima tahun. Program seperti ini akan jauh lebih cepat meningkatkan status
kesehatan yang selarna ini tidak cukup cepat meningkat. Angka kematian bayi dan ibu di Sri
Lanka dan Malaysia bisa jauh lebih rendah dari di Indonesia karena semua anak dan ibu
dapat menerima pelayanan tersebut secara gratis. Di Indonesia, seorang ibu yang bersalin
di puskesmas hams membayar tidak sedikit. Konon di Jakarta saat ini biaya persalinan di
puskemas dapat mencapai Rp 300.000. Dalarn kondisi seperti itu, tentu saja perempuan
miskin akan cendrung tidak ke puskesmas, tetapi ke dukun yang lebih murah atau tidak
sarna sekali. Kepada peserta yang relatif tua, pelayanan pencegahan dapat diberikan
dengan pemeriksaan medik berkala sederhana yang rinciannya ditetapkan DJSN tiap tiga
tahun sekali bagi peserta yang berusia 50 tahun atau lebih Banyak pihak yang mengkritisi
bahwa AKN hanya memberikan pelayanan kuratif dan tidak memberikan pelayanan preventif
kesehatan masyarakat. Hams disadari bahwa pelayanan kesehatan masyarakat seperti
penyuluhan masal, pembersihan lingkungan, dan penanganan polusi adalah tugas Dinas
Kesehatan yang hams didanai dari APBN/APBD. Meskipun demikian, pelayanan kuratif
pada hakikatnya juga memiliki nilai preventif untuk mencegah memberatnya kasus atau
kematian dini. Oleh karena itu, dalam AKN digariskan bahwa setiap peserta berhak atas
jaminan berupa pelayanan komprehensif. Meskipun ada peserta yang mungkin tidak
menggunakan haknya untuk kasus ringan seperti pilek dan alergi sederhana, mereka akan
menggunakan haknya dalarn pengobatan kasus-kasus rawat jalan mahal di rumah sakit dan
pelayanan perawatan di rumah sakit pemerintah atau swasta. AKN dalam SJSN 152
HThabrany Jaminan yang diberikan mencakup biaya pemeriksaan dokter keluarga dan
dokter spesialis, biaya perawatan, pemeriksaan penunjang, obat-obatan, bahan medis
lainnya sejauh secara medis diperlukan menurut standar profesi medis yang secara ilmiah
telah dibuktikan efektifitasnya. Ada juga yang mengkritik bahwa pelayanan hemodialisa dan
operasi jantung seharusnya tidak masuk dalam paket yang dijamin karena biayanya mahal.
Kritik ini sesungguhnya tidak tepat, karena pelayanan hemodialisa termasuk pelayanan
dasar medis, yang memungkinkan seseorang hidup dan berproduksi. Jika hemodialisa tidak
dijamin, maka peserta yang mengalami gagal ginjal total akan otomatis meninggal dunia
dalam dua minggu. Tentu hal ini tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan. Untuk pelayanan
kesehatan primer, untuk mencegah dan mengobati kasus-kasus yang tidak perlu ditangani
dokter spesialis, BPJS hams melakukan kontrak dengan dokter keluarga. Dokter keluarga
(termasuk dokter gigi) adalah dokter yang mendapat pelatihan khusus dan mendapat
sertifikasi dari organisasi profesi (seperti IDI dan PDGI) sebagai dokter yang berkonstrasi
pada pelayanan kepada suatu keluarga secara utuh. Akan sangat baik dan memungkinkan
dengan sistem AKN, dokter keluarga akan mendapat kontrak pelayanan dengan
pembayaran kapitasi. Untuk pelayanan rujukan, peserta dapat memilih pelayanan di klinik
spesialis atau di rumah sakit yang dikehendaki tetapi hams mendapatkan rujukan dari dokter
keluarga yang dipilihnya. Pembayaran kepada klinik spesialis dan rumah sakit dapat saja
masih berdasar jasa per pelayanan, akan tetapi dengan tarif yang diatur sarna di suatu
wilayah dan dapat mencakup obat-obatan sekaligus. Jadi klinik dan rumah sakit hams
bekerja sama dengan apotik untuk mengatur obat-obatan yang cost-effective, guna
menjamin pengendalian biaya dan pemberian pengobatan yang rasional. Secara rinci hal ini
harus diatur oleh BPJS. Hak perawatan peserta idealnya sarna untuk seluruh peserta, yang
di negara maju disebut sebagai semi-private room and board. Di Indonesia barangkali ruang
perawatan tersebut setara dengan ruang perawatan kelas II yang distandardisasi. Artinya,
BPJS menetapkan besar ruangan, jumlah tempat tidur, rasio TT terhadap dokter dan
perawat, serta standar pelayanan lainnya, terlepas dari status kepemilikan RS (pemerintah
atau swasta). Namun untuk pertama kali, karena variasi tingkat penghasilan, pendidikan,
dan status sosial, program AKN masih hams mentolerir perbedaan perawatan di rumah sakit
kelas III (tiga) untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) dan yang memiliki upah 200%
UMP. Misalnya, di Jakarta UMP tahun 2004 adalah Rp 720.000 per bulan, seorang pekerja
yang mendapatkan upah atau gaji sebesar sampai dengan Rp Rp 1.000.000 akan mendapat
perawatan di kelas III (baik RS publik maupun swasta). Karena upah Rp 1 jtua tersebut
dibawah 200% UMP yang besarannya adalah 200%x Rp 720.000 atau Rp 1.440.000. Tentu
BPJS hams mengembangkan standar perawatan kelas III yang dapat diterima. Pekerja
dengan gaji dibawah Rp 1 juta tersebut, tentu masih dapat menerima perawatan di kelas III.
Untuk pekerja yang bergaji lebih tinggi, misalnya diatas Rp 1.440.000 akan mendapat
perawatan di kelas II (dua). Peserta yang mempunyai upah > 500% UMP, misalnya, akan
mendapat perawatan di kelas I. Tetapi peserta yang ingin dirawat di kelas VIP hams
membayar sendirinya selisih biayanya atau selisih biaya tersebut dibayar oleh perusahaan
asuransi atau bapel JPKM swasta. Inilah prinsip koordinasi manfaat. AKN dalam SJSN 153
HThabrany Guna mengendalikan moral hazard, maka peserta diminta membayar urun biaya
sebagai rem yang telah digariskan dalam UU. Untuk setiap perawatan di rumah sakit
pemerintah atau swasta di kelas II keatas, peserta wajib membayar urun biaya sebesar 10%
dari biaya-biaya pemeriksaan dokter, perawatan, dan biaya pemeriksaan penunjang dan
urun biaya sebesar 20% dari biaya obat dan bahan habis pakai. Penerapan urun biaya bisa
menimbulkan beban berat bagi peserta, dan jika ini terjadi, tujuan SJSN tidak tercapai. Inilah
plus-minusnya asuransi. Oleh karena itu, pengenaan urun biaya hams mencapai angka
maksimum tertentu, misalnya sampai sebesar UMP. Apabila besaran urun biaya melampaui
UMP, maka peserta hanya membayar sebesar UMP di suatu wilayah. Ketentuan besaran
urun biaya ini hams tercantum dalam perjanjian kerja sarna antara BPJS dengan fasilitas
kesehatan dan peserta hams mendapat informasi tertulis dalam brosur atau website. Di
beberapa negara, urun biaya lebih besar dikenakan untuk pelayanan rawat jalan yang lebih
besar tingkat moral hazardnya ketimbang rawat inap. Bahkan di Filipina rawat jalan tidak
dijamin, alias peserta hams membayar urun biaya 100% dari biaya rawat jalan. Di Indonesia
kita bisa menggunakan sistem berbeda mengingat orang Indonesia cendrung maunya
berobat ke spesialis, meskipun sesungguhnya tidak perIu. Peserta sering minta dirujuk, ini
moral hazard namanya. Untuk menghindari hal tersebut maka setiap peserta dapat
diwajibkan membayar urun biaya sebesar 30% dari biaya obat rawat jalan spesialis dengan
biaya maksium sebesar UMP. 7.10. Pelayanan yang tidak ditanggung BPlS (eksklusi)
Jaminan kesehatan bertujuan untuk menjamin seseorang memenuhi kebutuhan medisnya
jika suatu penyakit atau kecelakaan terjadi yang sifatnya accidental, atau tidak dikehendaki.
Dengan demikian, pelayanan yang sifatnya keinginan dan bukan kebutuhan tidak dijamin
(eksklusi). Berbagai Pelayanan kesehatan yang bersifat kosmetik, baik berupa pemeriksaan,
pengobatan, maupun pembedahan tidak boleh dijamin. Selain itu pelayanan kesehatan yang
timbul atau yang merupakan akibat dari pemakaian obat terIarang (narkoba) dan
penggunaan minuman keras juga hams tidak dijamin. Jika dijamin, maka program AKN akan
menyubsidi prilaku yang tidak sehat dan ini akan merangsang prilaku yang buruk tersebut
terus berkembang. Penyakit kelamin atau penyakit yang terkait dengan prilaku tidak sehat
seperti gonore, HIV-AIDS juga seharusnya tidak dijamin. Dilema timbul pada penjaminan
HIV -AIDS, karena bayi dan ibu hamil bisa tekena padahal ia berprilaku baik. Akan tetapi
kalai secara umum dinyatakan kasus HIV-ADIS dijamin, maka mungkin dana AKN akan
banyak tersedot untuk pecandu narkotika dan pekerja seks komersial (baik perempuan, laki-
laki, maupun waria) yang sangat rawat terhadap AIDS. Maka penjaminan HIV-AIDS hams
dilakukan kasus per kasus. Disinilah perIunya ada Komite Pelayanan yang memberikan
penilaian secara rutin akan berhak-tidaknya sesorang terhadap pelayanan tertentu.
Pengguguran dan komplikasi dari pengguguran kandungan, kecuali upaya pengguguran
kehamilan dalam rangka menyelamatkan nyawa seorang ibu, juga sebaiknya tidak dijamin.
Terakhir, Pelayanan kesehatan yang timbul akibat upaya bunuh diri juga tidak perIu dijamin.
AKN dalam SJSN 154 HThabrany 7.11. Fasilitas Kesehatan Yang dimaksud dengan fasilitas
kesehatan adalah dokter keluarga, dokter spesialis, klinik praktek bersama, klinik 24 jam,
rumah bersalin, RS pemerintah, RS swasta, Apotik, Laboratorium klinik, laboratorium
radiologi, dan fasilitas lain yang akan ditetapkan oleh DJSN. Untuk menjamin bahwa setiap
peserta dan anggota keluarganya yang berhak menerima manfaat AKN menerima
pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, pelayanan harus diberikan oleh fasilitas
kesehatan yang diseleksi dan diterima oleh BPJS. Proses seleksi dan penerimaan untuk
dikontrak sebagai fasilitas kesehatan ini dikenal dengan istilah kredensialing (credentialing).
Puskesmas dan ruang perawatan kelas III RS pemerintah yang memberikan pelayanan
dengan tarif subsidi untuk sementara tidak dimasukan dalam kelompok fasilitas kesehatan
dalam BPJS karena fasilitas tersebut akan diarahkan untuk memberikan pelayanan kepada
penduduk yang belum terdaftar pada BPJS, sampai seluruh penduduk menjadi peserta
BPJS. BPJS membayar fasilitas kesehatan dengan tarifprospektif yang diarahkan pada
tarifpaket seperti kapitasi, tarifpaket rawatjalan, paket prosedur, paket per hari rawat, atau
paket per kelompok diagnosis (DRG). Sistem pembayaran kepada fasilitas kesehatan
dibahas dan disepekati dalam suatu musyawarah antara Kantor Cabang BPJS, Dinas
Kesehatan setempat, dan asosiasi profesi atau fasilitas kesehatan setempat. Besarnya
biaya pengobatan dan perawatan yang ditanggung oleh AKN ditetapkan bersama oleh Dinas
Kesehatan dan Asosiasi Fasilitas kesehatan setempat dengan mempertimbangkan
pemenuhan biaya produksi operasional fasilitas kesehatan dan total perkiraan biaya
pelayanan untuk seluruh peserta untuk satu tahun tidak melebihi 80% iuran setahun yang
terkumpul di suatu kotalkabupaten. Batasan 80% ini digunakan untuk memberikan ruang
ketersediaan dana cadangan (5%), dana untuk rujukan ke fasilitas kesehatan di provinsi
atau di ibu kota (10%) dan biaya operasional sebesar 5%. Fasilitas kesehatan yang
dikontrak mempunyai hak dan kewajiban atau tugas tertentu. Tugas pokok fasilitas
kesehatan adalah sebagai berikut: 1) Memberikan pelayanan kesehatan, termasuk promotif
preventif terhadap pasien, sesuai dengan kebutuhan medis peserta. 2) Memeriksa
kelayakan pengobatan peserta pada tingkat institusi. Pasien rujukan yang tidak memerlukan
perawatan tidak diperkenankan dirawat inap. 3) Mematuhi aturan manajemen utilisasi dan
manajemen mutu yang dikembangkan oleh BPJS sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi.
4) Mengisi basis data laporan utilisasi dan menyerahkan disket laporan atau
mengirimkannya melalui email ke Pusat Informasi BPJS setiap tanggal 10 untuk utilisasi
bulan sebelumnya. 5) Melakukan pembinaan dan jika mungkin memberikan kesempatan
kepada dokter primer untuk berinteraksi aktif dengan dokter spesialis yang merawat seorang
peserta dalam rangka memantau derajat kesehatan peserta yang menjadi tanggungannya.
6) Merujuk ke Dinas KesehatanIDinas Sosial setiap orang sakit yang belum menjadi peserta
tetapi tidak mampu membayar biaya perawatan/pengobatan yang dibutuhkannya untuk
menjadi peserta PBI. AKN dalam SJSN 155 HThabrany Tidak ada kewajiban tanpa hak dan
sebaliknya, maka fasilitas kesehatan mempunyai hak untuk: 1) Dilibatkan dalam melakukan
kontrak dengan BPJS apabila fasilitas kesehatan setuju dengan tarif yang telah ditetapkan
bersama BPJS daerah dengan asosiasi fasilitas kesehatan dan setuju dengan persyaratan
lain seperti manajemen mutu dan manajemen utilisasi. 2) Menerima pembayaran tepat
waktu sesuai dengan tarif prospektif yang disepakati dan mendapatkan pembayaran paling
lambat 15 hari setelah klaim (dalam hal pembayaran memerlukan klaim atau tagihan seperti
pada pembayaran sistem DRG), sesuai dengan ketetapan UU. 3) Secara bersama-sama
dalam suatu propinsi, fasilitas kesehatan berhak mengajukan permohonan peninjauan tarif
atau cara pembayaran dan kemudian bemegosiasi dengan difasilitasi oleh Dinas Kesehatan
setempet. 4) Mengatur cara pembayaran dokter spesialis yang bertugas atau berpraktek di
fasilitas kesehatan tersebut. 5) Mengambil keputusan medis atas peserta yang dirawat
sesuai dengan standar pelayanan medis yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi terkait
yang tertinggi, yang dapat diberikan di fasilitas kesehatan tersebut. 6) Dapat ikut serta dalam
pembahasan iuran oleh komite aktuaria, penetapan tarif dan penyelesaian perselisihan. 7)
Mendapatkan informasi tentang kinerja BPJS, peraturan-peraturan operasional yang terkait
dengan pelayanan dan informasi tentang data demografik peserta. 7.12. Penegakan hukum
Badan penyelenggara bersama Pemeriksa dari Departemen Terkait hams diberikan
kewenangan untuk melakukan inspeksi kepada pemberi kerja dan melaporkan setiap
pelanggaran pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya membayar iuran atau
melaporkan besaran iuran yang tidak sesuai dengan ketentutan UU. Kewenangan resmi
berada di Departemen, namun demikian secara praktis BPJS dapat dilibatkan untuk
bersama-sama melakukan inspeksi. Pemberi kerja yang terlambat membayarkan iurannya
dikenakan denda dari jumlah iuran yang hams dibayarkan untuk tiap bulan keterlambatan.
Pembayaran iuran dalam hitungan hari dikenakan denda rata-rata harian atas dasar
besarnya denda bulanan. Pemberi Kerja yang terlambat membayar iuran berturut-turut lebih
dari tiga kali dalam setahun juga hams dikenakan denda tambahan. Pemberi Kerja yang
tidak memenuhi kewajiban membayarkan iuran pada waktu yang itetapkan atau
membayarkan iuran tidak sesuai dengan peraturan perundangan dikenakan denda. Agar
permainan berlangsung seimbang, apabila terjadi kelalaian pada pihak BPJS, maka pihak
BPJS wajib membayar ganti rugi kepada pihak perusahaan yang lebih besar dari denda
yang dikenakan kepada pemberi kerja. AKN dalam SJSN 156 HThabrany 7.13.
Penyelenggaraan AKN Pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi Pada tanggal 1 Februari
2005, tiga pemohon masing-masing Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Timur,
Satuan Pelaksana Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (selanjutnya disebut
sebagai SATPEL JPKM) , dan Perhimpunan Badan Penyelenggara Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (selanjutnya disebut sebagai PERBAPEL JPKM) mengajukan
gugatan (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU SJSN. Para pemohon
menilai bahwa Pasal 5 ayat (I), ayat (2), (3) dan ayat (4) dan Pasal 52 tidak sesuai dengan
UUD45, bersifat monopolistis, tidak adil/selaras dengan UU Otonomi Daerah. Oleh
karenanya, ketiga pemohon meminta MK untuk membatalkan pasal dan ayat tersebut dalam
UU SJSN. Pasal 5 UU SJSN menyebutkan bahwa Pasal 5 ayat (I) yang berbunyi "Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial hams dibentuk dengan undang-undang". Sedangkan Pasal 5
ayat (2) yang berbunyi "Sejak berlakunya undang-undang ini,badan penyelenggara jaminan
so sial yang ada dinyatakan sebagaiBadan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut undang-
undang ini". Sementara Pasal 5 ayat (3), yang berbunyi "Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (I) adalah: a. Perusahaan Perseroan (persero)
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK); b. Perusahaan Perseroan (persero) Dana
Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN); c. Perusahaan Perseroan (Persero)
Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); d. Perusahaan
Perseroan (persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES)" Pasal5 ayat (4) berbunyi
"Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud pada ayat (3),
dapat dibentuk yang baru dengan undang-undang". Keputusan MK tentang Permohonan
Pada hal 237 Keputusan MK berbunyi "Menimbang, dengan pertimbangan pertimbangan
sebagaimana diuraikan di atas, terlepas dari terbukti-tidaknya daliI-daliI Pemohon dalam
pemeriksaan terhadap materi permohonan a quo, telah jelas bagi Mahkamah bahwa
Pemohon I cukup memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UUMK
sehingga memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon
dalam permohonan a quo;" Pada hal 239 keputusan MK berbunyi "Menimbang, berdasarkan
uraian di atas, tampak nyata bahwa Pemohon II tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud Pasal 51 ayat (1) UUMK serta syarat kerugian konstitusional yang telah menjadi
pendirian Mahkamah sebagaimana telah diuraikan di atas, sehingga Mahkamah AKN dalam
SJSN 157 HThabrany berpendapat bahwa Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum
(legal standing) dalam permohonan a quo;" Pada hal 240 keputusan MK berbunyi "Oleh
karena itu, Mahkamah berpendapat, Pemohon III baik sebagai perorangan warga negara
Indonesia maupun atas nama PERBAPEL JPKM, tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud Pasal 51 ayat (1) UUMK sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kedudukan
hukum (legal standing) dalam permohonan a quo;" Terhadap Isi gugatan, Keputusan MK
menyatakan (Hal 263-272) ". bahwa berdasarkan uraian di atas dan sete1ah membaca
se1uruh Penje1asan undang-undang a quo, Mahkamah berpendapat, sepanjang
menyangkut sistem jaminan sosial yang dipilih, UU SJSN telah cukup memenuhi maksud
Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, yakni bahwa sistem yang dipilih itu mencakup se1uruh rakyat
dengan maksud untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang 1emah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan; • bahwa oleh karena sistem jaminan sosia1
yang dipilih, menurut pendapat Mahkamah, te1ah memenuhi maksud Pasa1 34 ayat (2)
UUD 1945, maka berarti UU SJSN dengan sendirinya juga merupakan penegasan
kewajiban negara terhadap hak atas jaminan so sial sebagai bagian dari hak asasi manusia,
sebagaimana dimaksud Pasa1 28H ayat (3) UUD 1945, yang mewajibkan negara untuk
menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan menjamin pemenuhannya (to fulfil);
Menimbang, kendati Mahkamah berpendapat bahwa, sepanjang menyangkut sistem yang
dipilih, UU SJSN te1ah memenuhi ketentuan Pasa1 34 ayat (2) UUD 1945, Mahkamah
masih perlu mempertimbangkan 1ebih 1anjut apakah undang-undang a quo te1ah tepat
da1am mengimp1ementasikan pengertian "Negara" da1am Pasa1 34 ayat (2) UUD 1945.
Terhadap pertanyaan tersebut, Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut: •
bahwa, secara historis, cita negara yang tertuang da1am alinea keempat Pembukaan UUD
1945, tidak terlepas dari arus utama (mainstream) pemikiran yang berkembang pada saat
UUD 1945 disusun, yakni pemikiran yang dikena1 sebagai paham negara kesejahteraan
(welfare state atau welvaart staat), yang mewajibkan negara bertanggungjawab da1am
urusan kesejahteraan rakyatnya, yang antara lain di da1amnya termasuk fungsi negara
untuk mengembangkan jaminan sosia1 (social security) bagi rakyatnya; AKN dalam SJSN
158 HThabrany • bahwa paham negara kesejahteraan dimaksud tercermin pula dalam judul
Bab XIV UUD 1945 yang berbunyi "KESEJAHTERAAN SO SIAL" yang dengan Perubahan
Keempat menjadi "PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SO SIAL" .
Kemudian, dalam pandangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai lembaga
yang berwenang membuat dan mengubah undang-undang dasar, fungsi negara untuk
mengembangkan jaminan sosial dimaksud bukan hanya dipandang masih tetap re1evan
melainkan justru dipertegas guna mewujudkan cita-cita kesejahteraan umum sebagaimana
dimaksud oleh Pembukaan UUD 1945 alinea keempat; hal mana temyata dari
ditambahkannya tiga ayat ke dalam Pasal 34 UUD 1945 pada saat MPR melakukan
perubahan terhadap UUD 1945 untuk kali keempat; • bahwa, dengan demikian, terminologi
"negara" dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, dalam hubungannya dengan paham negara
kesejahteraan, sesungguhnya lebih menunjuk kepada pelaksanaan fungsi pelayanan sosial
negara bagi rakyat atau warga negaranya. Sehingga, fungsi tersebut merupakan bagian dari
fungsi-fungsi pemegang kekuasaan pemerintahan negara menurut UUD 1945. Agar fungsi
dimaksud dapat berjalan, maka pemegang kekuasaan pemerintahan negara membutuhkan
wewenang; • bahwa, menurut UUD 1945, kekuasaan pemerintahan negara dilaksanakan
oleh Pemerintah (Pusat) dan Pemerintahan Daerah, sehingga pada Pemerintahan Daerah
pun melekat pula fungsi pelayanan sosial dimaksud. Dengan demikian, Pemerintahan
Daerah juga memiliki wewenang guna melaksanakan fungsi dimaksud. Hal itu sebagai
konsekuensi logis dari dianutnya ajaran otonomi, sebagaimana diatur terutama dalam Pasal
18 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, "Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten,
dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan", sementara pada ayat (5)-nya ditegaskan bahwa otonomi yang
dimaksud adalah otonomi yang seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undangundang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat; • bahwa Pemerintahan Daerah
juga memiliki wewenang dalam rangka pelaksanaan fungsi pelayanan sosial negara lebih
jauh telah dituangkan dalam UU Pemda, sebagaimana terutama temyata dari bunyi Pasal 22
huruf h UU Pemda yang bahkan secara tegas menyebutkan bahwa pengembangan sistem
jaminan sosial merupakan kewajiban daerah. Sementara itu, menurut Pasal 167 ayat (1) dan
(2) UU Pemda, pengembangan sistem jaminan sosial dimasukkan sebagai bidang yang
anggarannya hams diprioritaskan sebagai bagian dari upaya perlindungan dan peningkatan
kualitas kehidupan masyarakat dalam AKN dalam SJSN 159 HThabrany rangka pemenuhan
kewajiban daerah sebagaimana dimaksud Pasal 22 hurufh UU Pemda; Menimbang bahwa,
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, meskipun Mahkamah berpendapat bahwa
UU SJSN telah cukup memenuhi maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, dalam arti bahwa
sistem jaminan sosial yang dipilih UU SJSN telah cukup menjabarkan maksud Undang-
Undang Dasar yang menghendaki agar sistem jaminan sosial yang dikembangkan
mencakup seluruh rakyat dan bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, namun Mahkamah tidak
sependapat dengan pendirian Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat yang
menyatakan bahwa kewenangan untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial tersebut
secara eksklusif merupakan kewenangan Pemerintah (Pusat), sebagaimana tercermin dari
ketentuan dalam Pasal 5, khususnya ayat (4), UU SJSN. Sebab, jika diartikan demikian, hal
itu akan bertentangan dengan makna pengertian negara yang di dalamnya mencakup
Pemerintah (pusat) maupun Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18
ayat (5) UUD 1945, yang kemudian dijabarkan dalam UU Pemda. Atas dasar Pasal 22 huruf
h UU Pemda, Pemerintahan Daerah mempunyai kewajiban untuk mengembangkan sistem
jaminan sosial. Namun, Mahkamah juga tidak sependapat dengan Pemohon yang
mendaliIkan kewenangan untuk mengembangkan sistem jaminan sosial secara eksklusif
merupakan kewenangan Daerah dengan argumentasi bahwa sesuai dengan ajaran otonomi
yang seluas-luasnya, yang menurut Pemohon sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945
sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam UU Pemda khususnya Pasal 22 dan Pasal167
ayat (1) dan (2), maka sepanjang suatu urusan oleh undang-undang tidak ditentukan
sebagai urusan atau kewenangan Pemerintah (Pusat), maka hal itu merupakan urusan atau
kewenangan Daerah. Mahkamah tidak sependapat dengan daliI Pemohon tersebut, sebab
jika jalan pikiran demikian diikuti, maka di satu pihak, besar kemungkinan terjadi keadaan di
mana hanya daerah-daerah tertentu saja yang mampu menyelenggarakan sistem jaminan
sosial dan itu pun tidak menjamin bahwa jaminan sosial yang diberikan tersebut cukup
memenuhi standar kebutuhan hidup yang layak antara daerah yang satu dengan daerah
yang lain, serta di lain pihak, jika karena alasan tertentu seseorang terpaksa hams pindah ke
lain daerah, tidak terdapat jaminan akan kelanjutan penikmatan hak atas jaminan sosial
orang yang bersangkutan setelah berada di daerah lain. Keadaan demikian akan
bertentangan dengan maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 yang menghendaki hak atas
jaminan sosial itu hams dapat dinikmati oleh setiap orang atau seluruh rakyat; AKN dalam
SJSN 160 HThabrany Menimbang, sejalan dengan pendapat Mahkamah bahwa
pengembangan sistem jaminan sosial adalah bagian dari pelaksanaan fungsi pelayanan
sosial negara yang kewenangan untuk menyelenggarakannya berada di tangan pemegang
kekuasaan pemerintahan negara, di mana kewajiban pelaksanaan sistem jaminan so sial
tersebut, sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 sebagaimana dijabarkan lebih lanjut
dalam UU Pemda khususnya Pasal 22 huruf h, bukan hanya menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat tetapi dapat juga menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah, maka UU
SJSN tidak boleh menutup peluang Pemerintahan Daerah untuk ikut juga mengembangkan
sistem jaminan sosial. Tertutupnya peluang Pemerintahan Daerah untuk ikut
mengembangkan sistem jaminan so sial dikarenakan adanya ketentuan dalam Pasal 5 UU
SJSN yang berbunyi: (1) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan
undangundang; (2) Sejak berlakunya undang-undang ini, badan penyelenggara
jaminansosial yang ada dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara JaminanSosial menurut
undang-undang ini; (3) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah: a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK); b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai
Negeri (TASPEN); c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ASABRI); d. Perusahaan Perseroan (persero) Asuransi Kesehatan
Indonesia (ASKES); (4) Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain
dimaksud pada ayat (3), dapat dibentuk yang baru dengan undangundang ". Menimbang,
dengan membaca dan memahami secara seksama seluruh ketentuan dalam Pasal 5 UU
SJSN di atas, tampak bahwa, di satu pihak, perumusan Pasal 5 di atas menutup peluang
Pemerintahan Daerah untuk ikut mengembangkan suatu sub-sistem jaminan sosial dalam
kerangka sistem jaminan sosial nasional sesuai dengan kewenangan yang diturunkan dari
ketentuan Pasal18 ayat (2) dan (5) UUD 1945. Di pihak lain, dalam ketentuan Pasal 5 itu
sendiri terdapat rumusan yang saling bertentangan serta sangat berpeluang menimbulkan
multi-interpretasi yang bermuara pada ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) yang oleh
karena itu bertentangan dengan Pasa128D ayat (1) UUD 1945. AKN dalam SJSN 161
HThabrany Dikatakan menutup peluang Pemerintahan Daerah oleh karena dengan adanya
Pasal 5 ayat (4) dan kaitannya dengan Pasal 5 ayat (I) UU SJSN tidak memungkinkan bagi
Pemerintahan Daerah untuk membentuk badan penyelenggara jaminan sosial tingkat
daerah. Padahal, sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan di atas, Pemerintahan
Daerah justru diwajibkan untuk mengembangkan sistem jaminan sosial. Oleh karena itu,
Pasal 5 ayat (I) UU SJSN hams ditafsirkan bahwa ketentuan tersebut adalah dimaksudkan
untuk pembentukan badan penyelenggara tingkat nasional yang berada di pusat, sedangkan
untuk pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah dapat dibentuk
dengan peraturan daerah dengan memenuhi ketentuan tentang sistem jaminan sosial
nasional sebagaimana diatur dalam UU SJSN; Sementara itu, dikatakan terdapat rumusan
yang saling bertentangan serta berpeluang menimbulkan ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid) karena pada ayat (I) dinyatakan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial hams dibentuk dengan undang-undang, sementara pada ayat (3) dikatakan bahwa
Persero JAMSOSTEK, Persero TASPEN, Persero ASABRI, dan Persero ASKES adalah
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal tidak
semua badan-badan tersebut dibentuk dengan undangundang. Seandainya pembentuk
undang-undang bermaksud menyatakan bahwa selama belum terbentuknya Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan-badan
sebagaimana disebutkan pada ayat (3) di atas diberi hak untuk bertindak sebagai badan
penyelenggara jaminan sosial, maka hal itu sudah cukup tertampung dalam Ketentuan
Peralihan pada Pasal 52 UU SJSN. Atau, jika dengan rumusan dalam Pasal 5 ayat (1) UU
SJSN di atas pembentuk undangundang bermaksud menyatakan bahwa badan
penyelenggara jaminan sosial hams memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam
undangundang yang maksudnya adalah UU SJSN a quo - maka penggunaan kata "dengan"
dalam ayat (1) tersebut tidak memungkinkan untuk diberi tafsir demikian. Karena makna
frasa "dengan undang-undang" berbeda dengan frasa "dalam undang-undang". Frasa
"dengan undang-undang" menunjuk pada pengertian bahwa pembentukan setiap badan
penyelenggara jaminan sosial hams dengan undang undang, sedangkan frasa "dalam
undang-undang" menunjuk pada pengertian bahwa pembentukan badan penyelenggara
jaminan sosial hams memenuhi ketentuan undang-undang. Ketentuan dalam Pasal 5 ayat
(4), makin memperkuat kesimpulan bahwa pembentuk undang undang memang bermaksud
menyatakan, badan penyelenggara jaminan sosial hams dibentuk dengan undang-undang
tersendiri. AKN dalam SJSN 162 HThabrany Kemungkinan tafsir lainnya adalah, dengan
rumusan dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU SJSN di atas, maka tidak ada lagi kebutuhan
untuk memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (I), sebab badan-badan sebagaimana yang disebut
pada ayat (2) dan (3) itulah yang dimaksud oleh ayat (I) dan pada saat yang sarna
sesungguhnya tidak ada kebutuhan bagi adanya rumusan sebagaimana tertuang dalam ayat
(4). Oleh karena itu, dengan menghubungkan ketentuan ayat (I), (2), (3), dan (4) dari Pasal 5
UU SJSN tersebut, maka tidak dapat ditarik kesimpulan lain kecuali bahwa memang
kehendak pembentuk undang-undang untuk menyatakan bahwa JAMSOSTEK, TASPEN,
ASABRI, dan ASKES sajalah yang merupakan badan penyelenggara jaminan sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta tidak mungkin lagi membentuk badan
penyelenggara jaminan sosial lain di luar itu. Kesimpulan demikian juga tercermin dari
keterangan Pemerintah, keterangan DPR, maupun keterangan para Ahli yang diajukan
Pemerintah sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Menimbang, oleh karena di satu
pihak, telah temyata bahwa Pasal 5 ayat (I), (2), (3), dan (4) UU SJSN saling berkait yang
sebagai akibatnya daerah menjadi tidak mempunyai peluang untuk mengembangkan sistem
jarninan sosial dan membentuk badan penyelenggara sosial, sementara di pihak lain
keberadaan undang undang yang mengatur tentang pembentukan badan penyelenggara
jaminan sosial nasional di tingkat pusat merupakan kebutuhan, maka Pasal 5 ayat (1) UU
SJSN cukup memenuhi kebutuhan dimaksud dan tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar sepanjang ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) UU SJSN tersebut ditafsirkan
semata-mata dalam rangka pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial nasional di
tingkat pus at. Menimbang bahwa, berdasarkan uraian-uraian dalam pertimbangan di atas,
sebagian daliI Pemohon yang menyangkut tertutupnya peluang Pemerintahan Daerah untuk
ikut mengembangkan suatu sistem jaminan sosial berdasarkan kewenangan yang
diturunkan dari Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945, sebagaimana telah dijabarkan lebih
lanjut khususnya dalam Pasal 22 huruf h UU Pemda, cukup beralasan, Sedangkan,
terhadap Pasal 52 UU SJSN yang juga dimohonkan pengujian oleh Pemohon, Mahkamah
berpendapat bahwa ketentuan Pasal 52 UU SJSN tersebut justru dibutuhkan untuk mengisi
kekosongan hukum (rechtsvacuum) dan menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid)
karena belum adanya badan penyelenggara jaminan sosial yang memenuhi persyaratan
agar UU SJSN dapat dilaksanakan. Dengan demikian permohonan Pemohon sepanjang
menyangkut Pasal52 UU SJSN, tidak cukup beralasan. AKN dalam SJSN 163 HThabrany
Menimbang bahwa, berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah
berpendapat permohonan Pemohon dapat dikabulkan untuk sebagian yaitu: • Pasal 5 ayat
(3), yang berbunyi "Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah: a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK); b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai
Negeri (TASPEN); c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ASABRl); d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan
Indonesia (ASKES)" karena materi yang terkandung di dalamnya telah tertampung dalam
Pasal 52 yang apabila dipertahankan keberadaannya akan menimbulkan multitafsir dan
ketidakpastian hukum. • Pasal 5 ayat (2) yang berbunyi "Sejak berlakunya undang-undang
ini badan penyelenggara jaminan sosial yang ada dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial menurut undang-undang ini" karena walaupun tidak dimohonkan dalam
petitum namun ayat ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari ayat (3)
sehingga jika dipertahankan juga akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum
sebagaimana Pasal5 ayat (3). • Pasal 5 ayat (4) yang berbunyi "Dalam hal diperlukan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud pada ayat (3), dapat dibentuk yang baru
dengan undang-undang" karena ternyata menutup peluang bagi Pemerintahan Daerah
untuk membentuk dan mengembangkan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah
dalam kerangka sistem jaminan sosial nasional. Sedangkan Pasal5 ayat (1) yang berbunyi
"Bad an Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan undang-undang"
tidakbertentangan dengan UUD 1945 asalkan ditafsirkan bahwa yang dimaksud oleh
ketentuan tersebut adalah pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat
nasional yang berada di Pusat. Dengan demikian permohonan Pemohon sepanjang
mengenai Pasal5 ayat (1), sebagaimana halnya Pasal52 UU SJSN, juga tidak cukup
beralasan. Mengingat Pasal 56 ayat (2) dan (5) serta Pasal 57 ayat (I) dan (3) Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; AKN
dalam SJSN 164 HThabrany MENGADILI Mengabulkan permohonan Pemohon untuk
sebagian; Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4456) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor
40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4456) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Menolak permohonan Pemohon
selebihnya; Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana
mestinya; Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan hakim yang dihadiri oleh 9
(sembilan) Hakim Konstitusi pada hari Kamis, 18 Agustus 2005, dan diucapkan dalam
Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini Rabu, 31
Agustus 2005" ARTI KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Keputusan MK tersebut pada
hakikatnya menetapkan bahwa keempat BPJS, A SABRI, ASKES, Jamsostek, dan Taspen
tetap berlaku untuk program jaminan sosial tingkat nasional (hal 270). Namun demikian,
apabila pemda berminat membentuk dan mengembangkan badan penyelenggara tingkat
daerah, tetapi bukan eksklusif hanya badan daerah itu saja yang beroperasi (hal 265), maka
pemda dapat membentuk badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah. Artinya, di
tiap daerah yang berminat mendirikan badan penyelenggara, dengan Perda, maka badan
tersebut perlu berkoordinasi dengan BPJS tingkat nasional/pusat. Pengaturan lebih lanjut
tentang peran badan penyelenggara daerah dapat diatur dalam Peraturan Pemerintah. AKN
dalam SJSN 165 HThabrany
top related