asuransi_kesehatan_nasional

Post on 16-Aug-2015

244 Views

Category:

Documents

6 Downloads

Preview:

Click to see full reader

DESCRIPTION

asuransi

TRANSCRIPT

ASURANSI KESEHATAN NASIONAL

PERHIMPUNAN AHLI MANAJEMEN JAMINAN DAN ASURANSI KESEHATAN INDONESIA

ASURANSI KESEHATAN NASIONAL Edisi Oktober 2005 Hasbullah Thabrany

PERHIMPUNAN AHLI MANAJEMEN JAMINAN DAN ASURANSI KESEHATAN INDONESIA

ASURANSIKESEHATAN NASIONAL Edisi Oktober 2005 Hasbullah Thabrany Edisi Oktober

2005 Edisi ini merupakan adaptasi, penyempumaan dan penyesuaian yang ide dasarnya

diambil dari buku " Asuransi Kesehatan di Indonesia" yang diterbitkan oleh Pusat Kajian

Ekonomi Kesehatan, tahun 2002 Asuransi Kesehatan N asional Buku ini dipersiapkan

sebagai bahan utama pendidikan profesi asuransi kesehatan yang diujikan oleh PAMJAKl.

Untuk informasi lengkap tentang pendidikan profesi asuransi kesehatan silahkan kunjungi

website P AMJAKl di www.pamjaki.org Hak Cipta dilindungi undang-undang Dilarang

memperbanyak isi buku ini baik sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin

tertulis dari Penerbit P AMJAKI (Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Ahli Asuransi

Kesehatan Indonesia), Jakarta. Sanksi Pelanggaran Pasal 44 : Undang-undang No. 7 tahun

1987 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta 1.

Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu

ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)

tahun danJ atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) 2. Barang

siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada

umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun danJ atau denda

paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluhjuta rupiah) KATA PENGANTAR Keinginan untuk

menerbitkan bahan pendidikan profesi untuk ujian Ahli Asuransi Kesehatan sudah lama

diidamkan oleh Pengurus P AMJAKI, namun demikian, perkembangan perasuransian dan

kesibukan penulis yang juga merupakan pengurus P AMJAKI menyebabkan keinginan

tersebut baru kali ini terwujud. Sebelum buku ini disusun, ujian P AMJAKI menggunakan

buku Asuransi Kesehatan di Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Ekonomi

Kesehatan FKM UI. Dengan semangat tinggi untuk meningkatkan dan memperbaiki buku-

buku pegangan untuk ujian PAMJAKI, akhimya PAMJAKI berhasil menyelesaikan 3 (tiga)

buku dasar pendidikan profesi ahli asuransi kesehatan, yang diantaranya adalah Asuransi

Kesehatan N asional ini. Sumber utama penulisan buku ini masih diambil dari buku Asuransi

Kesehatan di Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI.

Namun demikian, untuk memperkaya pembahasan buku ini penulis mengisi bahasan

dengan perkembangan asuransi kesehatan di Indonesia dalam bab-bab berikut: Introduksi

Asuransi Kesehatan, Asuransi Kesehatan PNS, JPK Jamsostek, Asuransi Komersial,

Asuransi Kesehatan Nasional : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia, Sistem

Pembayaran Fasilitas Kesehatan dan Asuransi Kesehatan Nasional Dalam Sistem Jaminan

Sosial Nasional: Kami berharap buku ini dapat memudahkan calon peserta ujian dalam

mempersiapkan diri menghadapi ujian P AMJAKI untuk memperoleh pengakuan sebagai

profesional, baik sebagai Ajun Ahli Asuransi Kesehatan ataupun Ahli Asuransi Kesehatan.

Diharapkan buku ini bermanfaat pula bagi para mahasiswa di bidang kesehatan ataupun

praktisi asuransi dalam mencari bahan-bahan rujukan yang terkait dengan asuransi

kesehatan. Akhir kata, untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dimas a depan PAMJAKI

mengundang para pembaca untuk memberikan kritik dan saran bagi penyempumaan buku

ini. Kritik dan saran dapat disampaikan melalui sekretariat@pam;aki.org. Selamat belajar,

semoga sukses! Oktober 2005 PAMJAKI i DAFTAR 181 Kata Pengantar .i Daftar Isi ii Bab 1

Introduksi Asuransi Kesehatan 1 Bab2 Asuransi Kesehatan Pegawai Negeri Sipil .40 Bab3

JPK Jamsostek 55 Bab4 Asuransi Kesehatan Komersial di Indonesia 67 BabS Asuransi

Kesehatan Nasional : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 92 Bab6 Sistem

Pembayaran Fasilitas Kesehatan 118 Bab7 Asuransi Kesehatan Nasional Dalam Sistem

Jaminan Sosial Nasional 135 ii BABI Introduksi Asuransi Kesehatan 1.1. Pendahuluan

Pemahaman tentang asuransi kesehatan di Indonesia masih sangat beragam. Dahulu

banyak yang menganggap bahwa JPKM adalah bukan asuransi kesehatan, apalagi asuransi

kesehatan komersial; kemudian JPKM dianggap sebagai asuransi sosial karena dijual

umumnya kepada masyarakat miskin di daerah-daerah. Asuransi kesehatan sosial (social

health insurance) adalah suatu mekanisme pendanaan pelayanan kesehatan yang semakin

banyak digunakan di seluruh dunia karena kehandalan sistem ini dalam menjamin

kebutuhan kesehatan rakyat suatu negara. Namun di Indonesia pemahaman tentang

asuransi kesehatan so sial masih sangat rendah karena sejak lama kita hanya mendapatkan

informasi yang bias tentang asuransi kesehatan yang didominasi dari Amerika yang

didominasi oleh asuransi kesehatan komersial. Literatur yang mengupas asuransi kesehatan

sosial juga sangat terbatas. Kebanyakan dosen maupun mahasiswa di bidang kesehatan

tidak memahami asuransi sosial. Pola pikir (mind set) kebanyakan sarjana kita sudah

diarahkan kepada segala sesuatu yang bersifat komersial, termasuk dalam pelayanan

rumah sakit. Sehingga, begitu ada kata "sosial", seperti dalam "asuransi sosial" dan "fungsi

sosial rumah sakit" maka hal itu hampir selalu difahami dengan pelayanan atau program

untuk orang miskin. Sesungguhnya asuransi sosial bukanlah asuransi untuk orang miskin.

Fungsi so sial bukanlah fungsi orang miskin. Ini merupakan kekeliruan besar yang sudah

mendarah daging di Indonesia yang menghambat pembangunan kesehatan yang

berkeadilan sesuai amanat UUD45. Bahkan konsep Undang undang Kesehatan yang

dikeluarkan tahun 1992 (UU nomor 23/1992) jelas-jelas memerintahkan Pemerintah dan

mendorong pengembangan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang

diambil dari konsep HMO (Health Maintenance Organization) yang merupakan salah satu

bentuk asuransi komersial kesehatan. Para pengembang JPKM di Depkes-pun, tidak

banyak yang memahami bahwa HMO dan JPKM sesungguhnya asuransi komersial yang

tidak sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa mewujudkan sistem kesehatan yang

berkeadilan (egaliter). Akibatnya, asuransi kesehatan sosial di Indonesia tidak berkembang

baik sampai tahun 2005 ini. Selain Indonesia, negara negara di Asia pada umumnya

memang tertinggal dalam pengembangan asuransi kesehatan sosial. Pada tanggal 7-9

Maret 2005, WHO kantor regional Asia-Pasifik, Asia Tenggara, dan Timur Tengah

berkumpul di Manila untuk menggariskan kebijakan dan pedoman pengembangan asuransi

kesehatan sosial di wilayah Asia-Pasifik dan Timur Tengah. Berbagai ahli dalam bidang

asuransi kesehatan atau pendanaan kesehatan diundang untuk perumusan tersebut.

Karena variasi sistem pendanaan di Asia yang ada sekarang ini, disepakati tujuan yang lebih

luas dari pengembangan asuransi kesehatan sosial yaitu mewujudkan akses universal

kepada pelayanan kesehatan. Selain asuransi kesehatan sosial, sistem pendanaan melalui

pajak (National Health Service) dengan menyediakan pelayanan Introduksi Asuransi

Kesehatan 1 HThabrany kesehatan secara gratis atau hampir gratis kepada seluruh

penduduk, seperti yang dilakukan Malaysia, Sri Lanka, dan Muangtai juga mampu

menyediakan akses universal tersebut. Dalam bab ini kita akan memusatkan pembahasan

kita pada pemahaman tentang asuransi dan asuransi kesehatan sosial. Karena luasnya

masalah asuransi kesehatan sosial, bab ini hanya membahas garis-garis besar asuransi

kesehatan sosial. Pembaca yang ingin mengetahui lebih dalam tentang praktek-praktek

asuransi kesehatan so sial dapat membaca buku lain atau mengikuti ujian asuransi

kesehatan yang diselenggarakan oleh P AMJAKI (perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan

dan Asuransi Kesehatan Indonesia) 1.2. Rasional Asuransi Dalam kamus atau

perbendaharaan kata bangsa Indonesia, kata asuransi tidak dikenal. Akan tetapi istilah

"jaminan" atau "tanggungan" sudah lama dikenal di Indonesia. Kata asuransi berasal dari

bahasa Inggris insurance, yang berasal dari akar kata in-sure yang berarti "memastikan".

Dalam konteks asuransi kesehatan, asuransi memastikan bahwa seseorang yang menderita

sakit akan mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya tanpa hams mempertimbangkan

keadaan ekonominya. Ada pihak yang menjamin atau menanggung biaya pengobatan atau

perawatannya. Pihak yang menjamin ini dalam bahasa Inggris disebut insurer atau dalam

UU Asuransi disebut asuradur. Asuransi merupakan jawaban atas sifat ketidak-pastian

(uncertain) dari kejadian sakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan. Untuk memastikan

bahwa kebutuhan pelayanan kesehatan dapat dibiayai secara memadai, maka seseorang

atau kelompok kecil orang melakukan transfer risiko kepada pihak lain yang disebut insurer,

asuradur, ataupun badan penyelenggara jaminan/asuransi. Sebagai ilustrasi, andaikan di

suatu kota terdapat satu juta penduduk yang setiap tahunnya terdapat 3.000 orang yang

dirawat di rumah sakit. Tidak ada seorang pendudukpun yang tahu pasti siapa yang akan

masuk rumah sakit pada suatu bulan atau suatu hari tertentu. Misalkan setiap perawatan di

rumah sakit membutuhkan dana sebesar Rp 1 juta. Bisa jadi hari ini keluarga tukang becak

yang masuk rumah sakit, maka sangat sulit baginya membayar Rp 1 juta. Apa yang hams

dilakukan? Apakah setiap hari kita hams meminta sumbangan untuk keluarga seperti tukang

becak. Tentu hal itu bisa dilakukan. Akan tetapi bagaimana kita menjamin bahwa setiap hari

terkumpul sumbangan yang memadai untuk mendanai kebutuhan perawatan di rumah sakit

yang rata-rata 7-10 orang setiap hari. Tentu masyarakatpun akan bosan mengumpulkan

atau memberikan sumbangan terus menerus. Bisa jadi seorang direktur bank setempat yang

bergaji Rp 25 juta sebulan, yang hari itu dirawat. Jika biaya perawatan yang hams

dibayarnya juga sebesar Rp 1 juta, tidak ada masalah. Direktur bank tersebut mampu

membayarnya, akan tetapi jika biaya perawatan sampai Rp 50 juta, mungkin direktur bank

tersebut juga bisa jatuh miskin. Untungnya, untuk seorang direktur seringkali biaya

perawatan tersebut ditanggung oleh perusahaan. Karena sifat uncertain, maka biaya

perawatan untuk keluarga tukang becakpun dapat saja mencapai Rp 50 juta. Dalam hal ini,

hampir dapat dipastikan bahwa si tukang becak akan terpaksa meninggal atau cacat seumur

hidup yang akan menjadi beban masyarakat juga. Terjadi ketidak-adilan sosial disini. Yang

berpenghasilan rendah yang tidak sanggup bayar tidak ada yang menjamin, sementara yang

bergaji tinggi justeru dijamin. Introduksi Asuransi Kesehatan 2 HThabrany Secara statistik

dapat dihitung bahwa setiap orang memiliki probabilitas 0,003 (yaitu 3.000 orang dibagi

1.000.000 penduduk) untuk masuk rumah sakit. Jika rata-rata tagihan rumah sakit untuk tiap

perawatan adalah sebesar Rp I juta, maka setiap tahun dibutuhkan dana sebesar 3.000

(orang) x Rp I juta atau sarna dengan Rp 3 milyar. Walikota setempat cukup cermat

mengamati masalah ini. Dia bilang, dari pada setiap orang was-was memikirkan biaya

perawatan setiap jika ia atau keluarganya sakit, atau setiap hari kita mencari sumbangan

untuk mereka yang tidak mampu membayar-yang bisa jadi juga diri kita, mengapa tidak

semua orang membayar saja sarna rata. "Nanti saya yang atur", ujarnya. Jika kebutuhan

biaya Rp 3 milyar dibagi rata kepada satu juta penduduk, maka tiap kepala cukup membayar

Rp 3.000 setahun (Rp 3 milyar dibagi 1.000.000 penduduk). Bukankah membayar Rp 3.000

per orang per tahun merupakan beban ringan! Tukang becakpun sanggup mengiur sebesar

itu. Setelah dana Rp 3 milyar terkumpul, tidak ada lagi penduduk yang kesulitan membayar

tagihan rumah sakit. Jika ada yang sakit, yang kaya atau yang miskin, tidak perlu lagi

memikirkan biaya perawatan. Walikota akan mengambil dana dari pot (pool) yang terkumpul

dan membayarkannya ke rumah sakit. Beres? Teorinya begitu. Dalarn praktek, tidak

semudah itu. Sebab, selalu saja ada orang yang tidak mau bayar iuran meskipun hanya Rp

3.000 per orang per tahun. Bagaimana dengan biaya administrasi? Bagaimana jika terjadi

peningkatan biaya pelayanan? Dan masih banyak lagi yang menjadi masalah. Masalah-

masalah selanjutnya itulah yang dibahas dalarn buku ini. Dari ilustrasi diatas, dapat diarnbil

kesimpulan bahwa asuransi adalah suatu mekanisme gotong royong yang dikelola secara

formal dengan hak dan kewajiban yang disepakati secara jelas. Dengan masing-masing

penduduk membayar atau mengiur Rp 3.000 per tahun, siapa saja yang perlu perawatan

akan dibiayai dari dana yang terkumpul. Dalarn istilah asuransi, kegotong-royongan ini

disebut juga risk sharing. Dari segi dana yang terkumpul (pool), maka asuransi juga dapat

disebut sebagai suatu mekanisme risk pooling. Dana dari masing-masing penduduk

dikumpulkan untuk kepentingan bersarna. Oleh karenanya, asuransi dapat juga disebut

suatu mekanisme hibah bersarna. Dana yang terkumpul merupakan hibah dari masing-

masing penduduk yang akan digunakan untuk kepentingan bersarna. Dengan demikian

iuran atau premi yang telah dibayar dari masing masing anggota, jelas bukan tabungan dan

karenanya tiap-tiap anggota tidak berhak meminta kembali dana yang sudah dibayarkan

atau diiurkan, meskipun ia tidak pemah sakit dan karenanya tidak pemah menggunakan

dana itu. 1.3. Risiko dan Risiko Sakit 1.3.1. Pemahaman tentang Risiko Di Indonesia banyak

orang menggunakan istilah resiko, bukan risiko. Sesungguhnya ada perbedaan makna

antara resiko dan risiko. Dalarn bidang asuransi istilah "resiko" digunakan untuk hal-hal yang

sifatnya spekulatif. Sebagi contoh, seorang berdagang mobil mempunyai resiko rugi apabila

ia tidak hati-hati mengelola usahanya atau tidak mengikuti perkembangan pasar mobil.

Sedangkan istilah "risiko" digunakan dalam asuransi untuk kejadian-kejadian yang dapat

diasuransikan yang sifatnya bukan spekulatif. Risiko ini disebut juga pure risk atau risiko

mumi. Dalam bahasa Indonesia memang kita tidak Introduksi Asuransi Kesehatan 3

HThabrany memiliki istilah asal atau akar kata tentang risiko. Sebab risiko diterjemahkan

dari bahasa Inggris risk. Akan tetapi kalau kita pelajari benar, sesungguhnya risk berkaitan

dengan bahasa Arab rizk yang kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi rejeki.

Keduanya mempunyai aspek ketidak-pastian, terkait takdir. Risiko bersifat tidak pasti

(uncertain), demikian juga rejeki. Keduanya di Indonesia dikaitkan erat dengan takdir.

Asuransi sesungguhnya merupakan suatu cara mengelola risiko. Dalam buku Asuransi

Kesehatan di Indonesia, Thabrany (2001)1 telah membahas dasar-dasar asuransi

kesehatan. Dalam bab ini, dasar-dasar tersebut disajikan kembali dengan modifikasi yang

lebih mudah difahami mahasiswa. Umumnya kita tidak memperdalam kata kata risiko atau

resiko. Seseorang sering berbicara bahwa untuk melakukan suatu tindakan ada risikonya,

biasanya kita mengerti apa yang dimaksudkan. Ada bahayanya. Seberapa besar bahaya

tersebut, tidaklah diketahui dimuka oleh siapapun. Kita hanya bisa mengira ngira probabilitas

kejadiannya dan besarnya (berat-ringannya) risiko tersebut. Disini ada ketidakpastian

(uncertainty) tentang terjadinya dan besarnya risiko tersebut. Biasanya yang disebut risiko

mempunyai konotasi negatif yaitu umumnya orang mengartikan risiko sebagai sesuatu yang

dapat mencelakakan atau merugikan diri, sesuatu yang tidak diharapkan. Sebenarnya,

dalam pengertian ketidakpastian, ada juga risiko keberuntungan. Dalam konteks ini, kata

keberuntungan itupun merupakan suatu risiko, yaitu risiko positif, risiko yang diharapkan,

yang kita bedakan sebagai resiko. Tetapi yang menjadi fokus perhatian dunia asuransi

adalah risiko dalam kaitannya dengan kerugian baik berupa materiil maupun berupa

kehilangan kesempatan berproduksi seperti terkena suatu penyakit berat. Kata rejeki

mengandung ketidak-pastian juga, sebab dalam kepercayaan kebanyakan orang Indonesia,

rejeki setiap orang sudah ditetapkan oleh Tuhan akan tetapi kita tidak pemah tahu berapa

banyak akan kita peroleh dan kapan akan kita peroleh. Cuma saja, rejeki mempunyai

konotasi positif. Jadi rejeki adalah suatu ketidak-pastian yang diharapkan. Sedangkan risiko

merupakan ketidak-pastian yang tidak diharapkan. Oleh karenanya, asuransi bukanlah suatu

mekanisme untuk untung-untungan, untuk mendapatkan rejeki. Dalam setiap langkah

kehidupan kita, selalu saja ada risiko yang menyertai kehidupan kita, baik yang kecil seperti

terjatuh karena suatu kerikil sampai yang besar seperti kecelakaan lalu lintas yang dapat

menimbulkan kematian. Beruntung bahwa Tuhan telah memberikan sifat alamiah manusia

yang selalu menghindarkan diri dari berbagai risiko. Setiap orang mempunyai cara tersendiri

untuk menghindarkan dirinya dari berbagai risiko. Secara umum, cara-cara menghindarkan

diri dari berbagai risiko hidup dapat dikelompokan menjadi empat kelompok besar yang akan

dibahas di bawah ini. 1.3.2. Cara-cara Menghindari Risiko Dalam ilmu manajemen risiko

atau risk management, kita mengenal beberapa teknik menghadapi risiko yang dapat terjadi

pada semua aspek kehidupan kita. Teknik-teknik tersebut adalah (vaughan, ... literatur): 1.

Menghindarkan risiko (risk avoidance). Kalau kita merokok, ada risiko terkena penyakit

kanker pam atau penyakit jantung (kardiovaskuler). Salah satu cara Introduksi Asuransi

Kesehatan 4 HThabrany menghindari terjadinya risiko terkena penyakit pam atau jantung

tersebut adalah menghindari bahan-bahan karsinogen (yang menyebabkan kanker) yang

terkandung dalarn rokok. Kalau kita tidak ingin mendapat kecelakaan pesawat terbang,

jangan pemah naik pesawat terbang. Banyak orang melakukan teknik manajemen ini untuk

risiko besar yang mudah tampak. Seseorang akan menghindari naik gunung yang terjal

tanpa alat pengarnan, karena risiko jatuh ke jurang tarnpak dengan mata telanjang. Tetapi

banyak orang tidak menyadari kalau risiko besar itu tidak tarnpak sekarang atau risiko itu

baru terjadi 20-30 tahun mendatang seperti risiko merokok. Disinilah perlunya upaya

penyadaran masyarakat tentang berbagai risiko kehidupan. Karena tidak semua orang

mampu melihat atau merasakan berbagai risiko kehidupan atau kalaupun seseorang mampu

mengenali risiko---belum tentu ia marnpu menghindarinya, maka mekanisme

menghindarkan risiko saja tidak cukup untuk melindungi diri dari risiko yang begitu banyak

dalarn kehidupan ini. 2. Mengurangi risiko (risk reduction). Karena berbagai alasan, kita tidak

bisa menghindari sarna sekali dari kemungkinan terjadinya suatu risiko pada diri kita, kita

dapat mengurangi akibat risiko yang terjadi pada diri kita. Contohnya, kita membuat

jembatan penyeberangan atau larnpu khusus penyeberangan untuk mengurangi jumlah

orang yang menderita kecelakaan lalu lintas. Dengan demikian, pengemudi kendaraan akan

berhati-hati. Atau jika ada jembatan penyeberangan, maka risiko tertabrak mobil akan

menjadi lebih kecil, tetapi tidak meniadakan sarna sekali. Seorang pengendara sepeda

motor diwajibkan memakai helm karena tidak ada satu orangpun yang bisa seratus persen

terhindar dari kecelekaan berkendara sepeda motor. Jika helm digunakan, maka beratnya

risiko (severity of risk) dapat dikurangi, sehingga seseorang dapat terhindar dari kematian

atau gegar otak yang memerlukan biaya perawatan sangat besar. Perawatan intensif

selarna 7 (tujuh) hari di rumah sakit bagi penderita gegar otak di tahun 2005 ini dapat

mencapai lebih dari Rp 20 juta. Tetapi, bagi kebanyakan pengendara sepeda motor, yang

belum pemah menyaksikan betapa dahsyatnya akibat gegar otak dan berapa mahalnya

biaya perawatan akibat gegar otak, tidak menyadari hal itu. Kalaupun mereka mengenakan

helm, seringkali sekedar untuk menghindari dari terkena penalti akibat pelanggaran (tilang)

peraturan lalu lintas oleh polisi yang sesungguhnya merupakan risiko kecil (yang hanya

sebesar ratusan ribu rupiah saja). Imunisasi terhadap penyakit hepatitis (radang hati), yang

dapat berkembang menjadi kanker hati yang perlu biaya mahal dalarn perawatan atau dapat

mematikan pada usia muda, merupakan suatu upaya pengurangan risiko. Karena prilaku

manusia yang tidak selalu menyadari risiko besar itu, maka mekanisme menurunkan risiko

saja tidak memadai. Imunisasi hepatitis tidak menjamin seratus persen bahwa setiap orang

yang telah diimunisasi pasti tidak terkena kanker hati. Masih perlu mekanisme manajemen

risiko lain. 3. Memindahkan risiko (risk transfer). Karena sebaik apapun upaya mengurangi

risiko yang telah kita lakukan tidak menjarnin 100% bahwa kita akan terbebas dari segala

risiko, maka kita dapat melindungi diri kita dengan tarneng lapis ketiga dari manajemen

risiko yaitu mentransfer risiko diri kita ke pihak lain. Kita dapat memindahkan seluruh atau

sebagian risiko kepada pihak lain (yang dapat berupa perusahaan asuransi, badan

penyelenggara jarninan sosial, pemerintah, atau apapun Introduksi Asuransi Kesehatan 5

HThabrany nama badan tersebut) dengan membayar sejumlah premi atau iuran, baik dalam

jumlah nominal tertentu maupun dalamjumlah relatifberupa prosentase dari gaji atau harga

pembelian (transaksi). Dengan teknik manajemen risiko ini, risiko yang ditransfer hanyalah

risiko finansial, bukan risiko secara keseluruhan. Ada sebagian risiko yang tidak bisa

ditransfer, misalnya rasa sakit. Ini merupakan prinsip yang sangat fundamental di dalam

asuransi. Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa setiap saat sesungguhnya ada risiko

kematian dan sesungguhnya risiko kematian itu (yang menimbulkan risiko ketiadaan dana

bagi ahli warisnya untuk hidup sehari-hari atau untuk membiayai pendidikan anak) dapat

ditransfer dengan membeli asuransi jiwa. Itulah sebabnya, kebanyakan orang di negara

berkembang tidak membeli asuransi jiwa, karena banyak orang tidak melihat kematian

sebagai suatu risiko finansial bagi ahli warisnya. 4. Mengambil risiko (risk asumption). Jika

risiko tidak bisa dihindari, tidak bisa dikurangi, dan tidak memadai atau tidak sanggup

ditransfer, maka altematif terakhir adalah mengambil atau menerima risiko (sebagai takdir).

Tidak semua orang bersikap rasional dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen risiko

tersebut diatas. Ada orang yang tidak perduli dengan risiko yang dihadapinya, dia ambil atau

terima suatu risiko apa adanya. Orang yang berprilaku demikian disebut pengambil risiko

(risk taker). Apabila semua orang bersikap sebagai pengambil risiko, maka usaha asuransi

tidak akan pemah terjadi. Sebaliknya, jika seseorang bersikap sebagai penghindari risiko

(risk averter) maka ia menghindari, mengurangi, atau mentransfer risiko yang mungkin

terjadi pada dirinya. Apabila banyak orang bersikap menghindari risiko, maka demand

terhadap usaha asuransi akan tumbuh. 1.3.3. Risiko yang dapat diasuransikan Diatas telah

dijelaskan empat kelompok besar manajemen risiko dimana asuransi merupakan cara

terakhir sebelum kita terima atau ambil. Tidak semua risiko dapat diasuransikan. Ada

persyaratan risiko yang dapat diasuransikan (insurable risks). Kita tidak mungkin

mengasuransikan semua risiko, dari yang paling kecil seperti terserang pilek saja atau

kehilangan sebuah pinsil sampai yang besar sekaligus seperti kehilangan nyawa atau rumah

tinggal. Ada beberapa syarat di mana suatu risiko; baik itu risiko kehilangan harta benda,

risiko kebakaran, risiko sakit, risiko kecelakaan dan sebagainya, dapat diasuransikan.

Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut. 1. Risiko tersebut haruslah bersifat

murni (pure). Menurut sifat kejadiannya, risiko dapat timbul benar-benar sebagai suatu

kebetulan atau accidental dan dapat timbul karena suatu perbuatan spekulatif. Risiko mumi

adalah risiko yang tidak dibuat-buat, disengaja, atau dicari-cari bahkan tidak dapat dihindari

dalam jangka pendek. Orang berdagang mempunyai risiko rugi, tetapi risiko rugi tersebut

dapat dihindari dengan manajemen yang baik, belanja yang hat-hati, dan sebagainya. Risiko

rugi akibat suatu usaha dagang merupakan risiko spekulatif yang tidak dapat diasuransikan.

Oleh karenanya tidak ada asuransi yang menawarkan pertanggungan kalau suatu Introduksi

Asuransi Kesehatan 6 HThabrany perusahaan merugi. Suatu risiko yang timbul akibat suatu

tindakan kesengajaan karena ingin mendapatkan santunan asuransi misalnya, maka risiko

yang timbul tidak dapat diasuransikan. Contoh, seseorang mempunyai asuransi kematian

yang besarannya-katakanlah satu milyar rupiah-dapat saja dibunuh oleh ahli warisnya guna

mendapatkan manfaatijaminan asuransi sebesar satu milyar rupiah. Kematian yang

disebabkan karena kesengajaan seperti itu tidak dapat ditanggung. Seseorang yang sengaja

mencoba bunuh diri dengan meminum racun serangga dan gagal sehingga perlu perawatan

di rumah sakit tidak berhak atas jaminan perawatan, karena risiko sakitnya bukanlah risiko

murni. Sakit kanker, yang membutuhkan perawatan yang lama dan mahal, tidak pemah

diharapakan oleh si penderita dan karenanya penyakit kanker merupakan risiko murni yang

dapat diasuransikan atau dijamin oleh asuransi. 2. Risiko haruslah defmitif. Pengertian

definitif artinya bahwa risiko dapat dengan pasti ditentukan kejadiannya dan difahami

bersama tentang terjadi atau tidak terjadi. Risiko sakit dan kematian ditetapkan dengan surat

keterangan dokter. Risiko kecelakaan lalu lintas ditetapkan dengan surat keterangan polisi.

Risiko kebakaran ditetapkan dengan berita acara dan bukti-bukti lain seperti foto kejadian. 3.

Risiko haruslah bersifat statis. Suatu risiko dapat bersifat statis, artinya probabilitas

kejadiannya relatif statis atau konstan tanpa dipengaruhi perubahan politik dan ekonomi

suatu negara. Sebaliknya suatu risiko bisnis bersifat dinamis yaitu sangat dipengaruhi

stabilitas politik dan ekonomi. Tentu saja, risiko yang benar-benar statis dalam jangka

panjang tidak banyak. Risiko seseorang terserang kanker atau gagal jantung akan relatif

statis, tidak dipengaruhi keadaan ekonomi dan politik. Dalam jangka panjang tentu saja

risiko serangan jantung juga dipengaruhi keadaan ekonomi. Di negara maju, yang relatif

kaya dan pola makan enak yang mengandung banyak lemak relatif tinggi, maka probabilits

terkena serangan jantung lebih tinggi dibandingkan dengan risiko serangan jantung di

negara miskin. 4. Risiko berdampak fmansial. Suatu risiko dapat mempunyai dampak

finansial maupun tidak. Risiko yang dapat diasuransikan, karena transfer risiko dilakukan

dengan membayar premi atau kontribusi, haruslah yang berdampak fmansial. Suatu

kecelakaan diri misalnya mempunyai dampak finansial berupa biaya prawatan dan atau

kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan. Selain berdampak finansial, suatu

kecelakaan juga menimbulkan rasa nyeri dan jika kecelakaan tersebut menimbulkan

kematian atau kecacatan, maka risiko tersebut menimbulkan beban psikologis yang besar.

Tentu saja yang dapat diasuransikan hanyalah risiko yang bersifat finansial berupa biaya

perawatan, kehilangan jiwa atau kecacatan yang berdampak pada kehilangan penghasilan.

Maka asuransi dapat menawarkan penggantian biaya pengobatan dan perawatan (baik

dengan uang atau pelayanan) maupun uang tunai sebagai pengganti kehilangan

penghasilan yang hilang akibat kematian atau kecacatan. 5. Risiko haruslah measurable

atau quantifiable. adalah syarat di mana besamya kerugian finansial akibat risiko tersebut

dapat diketahui dengan tingkat akurasi yang Introduksi Asuransi Kesehatan 7 HThabrany

tinggi. Kalau seorang sakit, hams jelas diketahui bahwa orang itu menderita sakit sewaktu

berada di Bogor, dirawat di suatu rumah sakit di Bogor, dan membutuhkan biaya perawatan

sebesar-katakanlah Rp 20 juta. Besaran biaya perawatan tersebut merupakan syarat

dimana suatu skema asuransi dapat berjalan. Rasa sakit sangat sulit diukur, meskipun kita

punya berbagai instrumen, karena rasa sakit sangat subyektif sifatnya. Itulah syarat yang

diperlukan sehingga baik pemegang polis (peserta) maupun asuradur dapat mempunyai

kesepakatan suatu kontrak pertanggungan/jaminan. Dalam hal asuransi jiwa, kita sangat

sulit mengukur berapa besar kerugian finansial akibat suatu kematian. Dalam hal ini, maka

biasanya asuradur menawarkan jumlah tertentu yang akan dipilih pemegang polis/peserta

untuk disepakati sebagai jumlah yang akan diasuransikan. Pilihan jumlah tertentu ini disebut

quantifiable (dapat ditetapkan jumlahnya) sehingga dapat dihitung premi yang hams

dibayarkan. 6. Ukuran risiko haruslah besar (large). Ukuran risiko (severity) memang relatif

dan dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu lain. Risiko

biaya rawat inap sebesar Rp 5 juta bisa dinilai besar oleh yang berpenghasilan rendah akan

tetapi dinilai kecil oleh yang berpenghasilan diatas Rp 50 juta sebulan. Sebuah sistem

asuransi harus secara cermat menilai risiko mana yang akan diasuransikan. Dalam asuransi

kesehatan, kecenderungan di dunia adalah menjamin pelayanan kesehatan secara

komprehensif karena ada kaitan antara risiko yang besaran rupiahnya kecil, misalnya

pengobatan dokter untuk gejala demam, karena jika tidak dijamin bisa jadi gejala tersebut

merupakan suatu kasus demam berdarah yang mematikan yang memerlukan biaya

perawatan yang mahal. Jadi menjamin pelayanan kesehatan komprehensif merupakan

kombinasi penurunan risiko (risk reduction) dan transfer risiko. Suatu skema asuransi yang

hanya menanggung risiko yang kecil, misalnya hanya pengobatan di puskesmas-seperti

yang dulu dipraktekkan dengan skema dana sehat atau JPKM, tidak memenuhi syarat

asuransi. Oleh karena itu, dimanapun di dunia, model asuransi mikro seperti itu tidak

memiliki sustainabilitas (kesinambungan) jangka panjang. Umumnya skema semacam itu

berusia pendek dan tidak menjadi besar. Selain persyaratan sifat atau jenis risiko diatas, ada

beberapa persyaratan yang terkait dengan teknis asuransi dan kelayakan suatu risiko

diasuransikan. Yang dimaksud dengan kelayakan disini adalah khususnya kelayakan dalam

aspek ekonomis. Suatu produk asuransi yang preminya terlalu mahal tidak bisa dijual atau

tidak menarik bagi masyarakat untuk ikut asuransi tersebut. Harga premi atau besaran iuran

yang menghabiskan 30% penghasilan seseorang untuk premi atau iuran asuransi tidak

layak untuk dikembangkan. Persyaratan teknis asuransi adalah besamya probabilitas

kejadian, besamya populasi yang terkena risiko suatu kejadian, dan besamya pool. 1.

Probabilitas suatu kejadian risiko relatif kecil. Ukuran probabilitas besar dan kecil juga relatif.

Akan tetapi suatu kejadian yang lebih dari 50% kemungkinan terjadinya (dalam bahasa

statistik disebut probabilitas >0,5) akan menyebabkan biaya premi menjadi besar dan tidak

menarik untuk diasuransikan. Kejadian gagal ginjal yang membutuhkan hemodialisa atau

cuci darah seminggu dua kali mempunyai Introduksi Asuransi Kesehatan 8 HThabrany

probabilitas sangat kecil, yaitu kurang dari satu kejadian per 1.000 orang (p < 0,001).

Demikian juga kejadian kecelakaan pesawat terbang jauh lebih kecil lagi yaitu umumnya

kurang dari satu per 100.000 penerbangan. Probabilitas yang kecil menghasilkan besaran

premi atau iuran yang juga kecil. 2. Kerugian tidaklah boleh mengenai sejumlah

penduduk/peserta yang besar jumlahnya atau katastrofik (catastrophic) bagi asuradur.

Pengertian katastrofik dapat berarti unitnya yang besar artinya banyak orang yang terkena

kerugian pada saat yang bersamaan. Contohnya, kerugian yang terjadi akibat perang atau

bencana alam besar seperti Tsunami di Aceh yang mengenai penduduk yang banyak

dengan besarnya kerugian mencapai triliunan rupiah tidak dijamin oleh asuransi karena

praktis suatu usaha asuransi akan bangkrut. Suatu penyakit yang menjadi wabah, mengenai

banyak orang, tidak dijamin asuransi akan tetapi dijamin pemerintah melalui suatu undang

undang wabah. Perusahaan asuransi tidak menanggung, atau mengecualikan dari jaminan

(exception), segala bentuk perawatan rumah sakit atau dokter sebagai akibat bencana alam

besar, peperangan ataupun suatu wabah. Katastropik juga dapat berarti besarnya risiko

yang terlalu besar atau terlalu mahal. Dalam bidang kesehatan, biaya perawatan di ruang

intensif yang lebih dari satu tahun pasti membutuhkan biaya yang bisa mencapai milyaran

rupiah. Besarnya biaya medis katastropik bervariasi sesuai dengan kemampuan ekonomi

suatu negara. WHO memberikan definisi biaya medis katastropik bagi rumah tangga jika

biaya pengobatan atau perawatan menghabiskan lebih dari 40% penghasilan rumah tangga

(WHO, 2000).2 Akan tetapi biaya medis yang bersifat katastropik bagi rumah tangga ini

justeru merupakan suatu persyaratan untuk diasuransikan. Dalam buku-buku teks asuransi

kesehatan, biaya perawatan yang mahal sering disebut kasus-kasus major medicals (biaya

medis mahal). 3. Hams ada sejumlah penduduk atau masyarakat yang homogen yang

cukup besar yang akan terkena risiko yang ikut serta dalam suatu skema asuransi.

Maksudnya adalah jika suatu asuransi diikuti oleh hanya sepuluh orang saja sedangkan

risiko yang timbul dapat bervariasi dari--katakanlah seribu rupiah sampai satu milyar rupiah,

maka iuran atau peremi dari peserta asuransi yang sepuluh orang ini tidak dapat menutupi

kebutuhan dana apabila risiko yang diasuransikan terjadi. Risiko yang diperoleh dari sepuluh

orang tersebut tidak bisa dijadikan patokan untuk menghitung besarnya risiko yang akan

timbul. Semakin besar suatu peserta semakin tinggi tingkat akurasi prediksi biaya yang

dibutuhkan untuk menjamin risiko. Dengan demikian, akan semakin kuat kemampuan

finansial sebuah perusahaan asuransi. Persyaratan besarnya jumlah peserta atau

pemegang polis merupakan suatu aplikasi hukum matematik yang disebut hukum angka

besar (the law of the large number). Hukum ini menyebabkan semakin banyak usaha

asuransi yang melakukan merjer (bergabung) agar lebih kuat bersaing atau lebih mampu

mengendalikan biaya atau mempunyai tingkat efisiensi yang tinggi. Program asuransi

kesehatan sosial selalu memenuhi hukum angka besar ini karena sifatnya yang wajib.

Sebaliknya usaha asuransi kesehatan komersial seringkali bangkrut karena tidak mampu

memiliki jumlah peserta atau pemegang polis yang cukup besar. Introduksi Asuransi

Kesehatan 9 HThabrany 1.4. lenis Asuransi Diatas telah dibahas bahwa asuransi

merupakan cara manajemen risiko dimana seseorang atau sekelompok kecil orang (yang

disebut pemegang polis/policy holder atau peserta/participant) melakukan transfer risiko

yang dihadapinya dengan membayar premi (iuran atau kontribusi) kepada pihak asuransi

(yang disebut asuradur/insurer atau badan penyelenggara asuransi). Dalam hal pemegang

polis atau peserta bersifat perseorangan, maka ia akan manjamin dirinya sendiri dan atau

termasuk anggota keluarganya. Dalam hal pemegang polis atau peserta bersifat kelompok

kecil (misalnya suatu perusahaan atau instansi), maka yang dijamin biasanya anggota

kelompok tersebut (karyawan dan anggota keluarganya). Dengan pembayaran premi/ iuran

tersebut, maka segala risiko biaya yang terjadi akibat kejadian yang telah disepakati dalam

perjanjian kontrak (atau ditetapkan dalam peraturan) yang terjadi pada pemegang polis,

peserta, dan anggota keluarganya (tergantung dari spesifikasi dalam kontrak) akan menjadi

kewajiban asuradur. Orang-orang yang termasuk dalam daftar yang dijamin dalam kontrak

atau peraturan disebut tertanggung atau insured. Risiko yang hams ditanggung asuradur

disebut benefit atau "manfaat" asuransi, yang besamya atau scopenya ditetapkan dimuka

dalam kontrak atau peraturan. Dalam asuransi kesehatan, manfaat ini sering disebut paket

jaminan (benefit package/packet) karena berbeda dengan manfaat asuransi jiwa atau

kerugian yang sering dalam bentuk sejumlah uang, manfaat asuransi kesehatan pada

umumnya berbentuk daftar pelayanan kesehatan yang dijamin oleh asuradur. Secara

sederhana pengertian asuransi dapat digambarkan dengan ilustrasi berikut. Wajib/Sukarela

Premi Asuradur Peserta Manfaat III Uang/pelayanan Dari ilustrasi diatas dapat dilihat bahwa

ada dua elemen utama terselenggaranya asuransi yaitu ada pembayaran premi/ iuran dan

ada benefit! manfaat. Kedua elemen inilah yang mengikat kedua pihak (para pihak): peserta

dan asuradur. Pada hakikatnya dalam asuransi, secara umum, para pihak memiliki hak dan

kewajiban sebagaimana layaknya Introduksi Asuransi Kesehatan 10 HThabrany sebuah

kontrak. Tertanggung merupakan orang yang mempunyai kewajiban membayar premi.

Dalam program Jamsostek, Askes dan JPKM, yang nantinya semua akan diatur dalam

Sistem Jaminan Sosial Nasional, tertanggung disebut peserta-tanpa membedakan siapa

yang membayar iuran. Di dalam asuransi kesehatan tradisionall konvensional, yaitu asuransi

kesehatan yang dijual oleh perusahaan asuransi yang manfaatnya ditetapkan atau dibatasi

dengan nilai jumlah uang tertentu, peserta disebut pemegang polis (policy holder) dan

anggota keluarga yang dijamin disebut tertanggung. Dalam asuransi kesehatan yang

dikelola oleh bukan perusahaan asuransi di Amerika (yang biasa dikenal di Indonesia

dengan managed care) tertanggung disebut anggota atau member. Pemegang polis atau

peserta berkewajiban membayar premi/iuran sedangkan tertanggung tidak selalu

merupakan orang yang hams membayar premi. Asuradur adalah orang atau badan yang

telah menerima premi dan karenanya mempunyai kewajiban membayar atau menanggung

manfaat asuransi. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 571/572 tahun 1993 tentang

JPKM, yang dimasa datang JPKM sukarela ini hanya akan menjual produk asuransi

kesehatan suplemen, asuradur ini disebut Badan Penyelenggara JPKM yang disingkat

Bapel. 1.5. Kontrak Asuransi Mekanisme asuransi merupakan hubungan kontraktual dimana

peserta mempunyai kewajiban membayar premi dan mempunyai hak mendapatkan manfaat

asuransi. Asuradur mempunyai hak menerima pembayaran premi dan berkewajiban

membayarkan manfaat, baik langsung kepada tertanggung dalam bentuk uang maupun

membayarkan manfaat tersebut kepada pihak ketiga yang memberikan pelayanan seperti

bengkel mobil atau fasilitas kesehatan. Namun demikian, dibandingkan dengan hubungan

kontraktuallainnya, kontrak asuransi memiliki ciri khas yang secara bersama-sama tidak

dimiliki oleh hubungan kontraktual lainnya. Karena kekhasan kontrak asuransi inilah, maka

pengelolaan atau bisnis asuransi sangat ketat diatur atau dilaksanakan langsung oleh

pemerintah. Ciri khas kontrak asuransi tersebut adalah sebagai berikut: Kontrak kondisional.

Dalam kontrak asuransi, kewajiban asuradur baru akan terjadi jika kondisi tertentu (sakit

atau kehilangan harta benda) terjadi pada diri tertanggung. Apabila tertanggung tidak

mengalami kejadian tersebut, maka tidak ada kewajiban bagi asuradur. Kontrak lain, seperti

kontrak pembelian barang atau sewa gedung, tidak memiliki sifat kondisional ini. Oleh

karena itu, dalam kontrak asuransi seperti asuransi kesehatan pegawai negeri, pegawai

yang lebih dari 20 tahun tidak pemah sakit sedangkan ia terus membayar iuran (karena

bersifat wajib dan langsung dipotong dari gajinya), tidak berhak menuntut uang iurannya

kembali kepada Askes. Secara hukum, hal ini sah. Berbeda dengan kontrak tabungan hari

tua (yang disebut Dana Pensiun Lembaga Keuangan-DPLK) di bank, penabung atau ahli

warisnya berhak mendapatkan kembali uang yang disimpannya secara rutin tiap bulan pada

suatu waktu tertentu atau setelah penabung meninggal dunia. Kontrak unilateral. Pada

umumnya kontrak bersifat bilateral dalam artian masing masing pihak mempunyai kewajiban

dan hak dan masing-masing dapat dituntut jika salah satu pihak tidak melaksanakan

kewajibannya. Dalam kontrak asuransi, pihak yang dapat dituntut karena tidak memenuhi

kewajibannya hanyalah pihak asuradur. Apabila tertanggung Introduksi Asuransi Kesehatan

11 HThabrany tidak memenuhi kewajibannya, tidak membayar premi, ia tidak dapat dituntut.

Akan tetapi haknya otomatis hilang atau kontrak otomatis terputus (yang dalarn istilah

asuransi komersial disebut lapse). Kontrak unilateral ini merupakan padanan (offset) dari

sifat kondisional dimana kewajiban membayar manfaat asuransi tidak selalu harus dilakukan

oleh asuradur. Kontrak Aleatory. Kontrak pada umumnya mempunyai keseimbangan nilai

tukar (economic value) antara kewajiban dan hak bagi pihak pertarna maupun pihak kedua.

Salah satu pihak dapat (sah) menerima nilai yang jauh lebih besar dari kewajiban yang

dibayarkannya, tanpa ada hitungan hutang atau dapat digugat untuk membayar selisih nilai

tukar. Sebagai contoh, seseorang yang menjadi peserta asuransi kesehatan membayar

premi sebesar Rp 250.000 tiap bulan. Baru saja empat bulan ia membayar premi (total premi

yang dibayar menjadi 4 x Rp 250.000 atau sarna dengan Rp 1 juta), ia terkena serangan

jantung dan memerlukan pembedahan yang memakan biaya (nilai tukar) Rp 150 juta yang

dalarn kontrak asuransi tersebut memang pembedahan jantung ditanggung penuh. Maka

peserta ini berhak menerima operasi jantung tanpa ada kewajiban membayar selisih biaya

bedah jantung dengan premi yang telah dibayarnya. Sebab, tanpa kontrak aleatori,

sesungguhnya peserta tersebut baru membayar sebesar Rp 1 juta sedangkan ia sudah

menerima Rp 150 juta. Dalam kontrak asuransi, peserta tersebut tidak berhutang Rp 149

juta. Jika saja ia berhenti menjadi peserta setelah itu, dengan tidak membayar premi lagi

misalnya, maka ia tidak dapat dituntut untuk melunasi selisih biaya yang besarnya Rp 149

juta. Sebaliknya, seorang peserta atau pemegang polis bisa saja telah membayar premi

sebesar Rp 250.000 sebulan untuk masa 10 tahun (atau sama dengan 10 tahun x 12 bulan

x Rp 250.000 = Rp 30 juta, tanpa hitungan bunga) akan tetapi ia tidak pemah sakit dan

karenanya tidak pemah mengklaim manfaat asuransi. Maka ia tidak berhak sarna sekali atas

manfaat asuransi (menerima hak senilai Rp 0 rupiah). Sedangkan asuradur telah menerima

Rp 30 juta (plus bunga) tanpa kewajiban membayar apapun kepada tertanggung. Kontrak

Adhesi. Dalarn ikatan kontrak pada umumnya kedua belah pihak mempunyai informasi yang

relatif seimbang tentang nilai tukar dan kualitas barang atau jasa. Dalarn kontrak asuransi,

pihak peserta atau pemegang polis--khususnya dalarn asuransi individual, tidak memiliki

informasi yang seimbang dengan informasi yang dimiliki asuradur. Asuradur tahu lebih

banyak tentang besarnya probabilitas sakit dan biaya-biaya pengobatan yang terkait

sementara pihak peserta tidak mampu mengetahuinya dengan baik. Akibatnya, sulit bagi

peserta untuk menilai apakah premi yang dikenakan murah, wajar, atau terlalu mahal.

Dalarn kata lain, peserta dalarn posisi yang lemah (ignorance). Itulah sebabnya, dalarn

industri asuransi dimanapun di dunia, pemerintah selalu mengatur dan mengawasi dengan

ketat berbagai aspek penyelenggaraan asuransi baik dalam hal paket jaminan, isi dan

bahasa polis, bahkan besamya huruf dalarn polis, dan berbagai persyaratan asuradur yang

menjarnin peserta akan menerima haknya, jika obyek asuransi terjadi. Dalarn dunia

asuransi, kontrak semacam ini sering disebut sebagai kontrak take it or leave it. Introduksi

Asuransi Kesehatan 12 HThabrany 1.6. Pembayaran Premi Dalam pembayaran premi,

menurut sifat kepesertaannya, kita dapat membagi asuransi menjadi dua golongan besar

yaitu pembayaran premi yang bersifat wajib dan bersifat sukarela (lihat ilustrasi). Dalam

asuransi sosial kepesertaan bersifat wajib, dalam asuransi komersial tidak ada kewajiban

seseorang untuk ikut atau membeli asuransi. Sifat membeli merupakan suatu transaksi

sukarela dalam perdagangan (commerce). Atas dasar kewajiban menjadi peserta inilah,

asuransi secara garis besar dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu asuransi sosial dan

asuransi komersial. Banyak pihak di Indonesia yang mengasosiasikan asuransi sosial

sebagai asuransi bagi kelompok masyarakat dengan ekonomi lemah, sehingga pada

awalnya JPKM dinyatakan sebagai bukan asuransi komersial. Dalam literatur asuransi dan

jaminan sosial, kepesertaan yang bersifat wajib merupakan ciri utama dari asuransi sosial.

1.6.1. Asuransi Sosial Banyak pihak di Indonesia yang mempunyai pengertian yang keliru

tentang asuransi so sial. Kebanyakan orang beranggapan bahwa asuransi sosial adalah

suatu program asuransi untuk masyarakat miskin atau kurang mampu. Dalam banyak

kesempatan interaksi dengan masyarakat di kalangan sektor kesehatan, banyak yang

beranggapan bahwa Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang

diperkenalkan Departemen Kesehatan (Depkes) juga merupakan program jaminan untuk

masyarakat miskin. Hal ini barangkali terkait dengan program JPKM dalam rangka Jaring

Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) dimana Depkes memberikan insentif kepada

organisasi di kabupaten yang disebut pra bapel (hadan penyelenggara) untuk

mengembangkan JPKM. Program JPSBK ini memberikan dana Rp 10.000 per tahun untuk

tiap keluarga miskin (gakin) kepada pra bapel yang berjumlah 354 di seluruh Indonesia

dimana Rp 800 diantaranya digunakan oleh pra bapel untuk administrasi. Diharapkan bahwa

setelah dua tahun program ini, pra bapel dapat membuat produk JPKM dan menjualnya

kepada masyarakat selain gakin. Mungkin dengan program inilah maka terbentuk

pemahaman bahwa program JPKM adalah program asuransi sosial. Sebenarnya, konsep

JPKM adalah konsep asuransi komersial yang dilandasi oleh kepesertaan sukarela. Diskusi

lebih lanjut tentang hal ini akan diberikan kemudian. Dalam Undang-Undang No 2/92

tentang asuransi disebutkan bahwa program asuransi so sial adalah program asuransi yang

diselenggarakan secara wajib berdasarkan suatu undang undang, dengan tujuan untuk

memberikan perlindungan dasar bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam UU ini disebutkan

bahwa program asuransi sosial hanya dapat diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik

Negara (pasal 14). Namun demikian, tidak ada penjelasan lebih rinci tentang asuransi sosial

dalam UU tersebut. Untuk lebih menjelaskan tentang apa, mengapa dan bagaimana

asuransi sosial dilaksanakan, berikut ini akan dijelaskan berbagai rasional dan contoh-

contoh program asuransi sosial di dunia dan di Indonesia. Mengapa harus diwajibkan?

Apakah dalam jaman era globalisasi ini masih perlu mewajibkan setiap tenaga kerja atau

setiap penduduk untuk menjadi peserta asuransi kesehatan seperti halnya asuransi

kesehatan pegawai negeri? Mengapa harus dikelola secara Introduksi Asuransi Kesehatan

13 HThabrany terpusat oleh satu badan penyelenggara pemerintah? Monopolikah itu

namanya? Bukankah kini jamannya privatisasi? Mengapa tidak dilepaskan kepada

mekanisme pasar karena pasar begitu kuat dan mampu mengatasi berbagai masalah?

Bukankah kini jamannya otonomi daerah sehingga sehamsnya daerah diberi kewenangan

mengurus masing-masing. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu kerap kali muncul sewaktu

saya presentasi di berbagai kesempatan dan daerah. Di atas sudah dijelaskan bahwa

pelayanan kesehatan memiliki ciri uncertainty dan akses terhadap pelayanan kesehatan

merupakan hak asasi setiap penduduk. Deklarasi PBB tahun 1948 telah jelas menyebutkan

bahwa setiap penduduk berhak atas jaminan kesehatan manakala ia sakit. Apakah setiap

orang memiliki visi dan kesadaran akan risiko yang dihadapinya di kemudian hari? Meskipun

banyak orang menyadari akan risiko dirinya, pada umumnya kita tidak mempunyai kemauan

dan kemampuan yang memadai untuk mencukupi kebutuhan menutup risiko sakit yang

terjadi di masa depan. Orang-orang muda akan ambil risiko, risk taker, terhadap masa

depannya karena pengalamannya menunjukkan bahwa mereka jarang sakit. Ancaman sakit

10-20 tahun ke depan dinilainya terlalu jauh untuk dipikirkan sekarang. Pada umumnya

mereka tidak akan membeli, secara sukarela dan sadar, asuransi untuk masa jauh ke depan

tersebut meskipun mereka mampu membeli. Sebaliknya, orang-tua dan sebagian orang

yang punya penyakit kronis, bersedia membeli asuransi karena pengalamannya membayar

biaya berobat yang mahal. Namun penghasilan mereka sudah jauh berkurang. Meskipun

penghasilannya cukup, biaya pengobatan sudah jauh lebih besar dari penghasilanya.

Orang-orang seperti ini mau membeli asuransi, akan tetapi jika hanya orang-orang tersebut

yang mau membeli, perusahaan asuransi/bapel akan menarik premi sangat besar untuk

menutupi biaya berobat yang tinggi. Atau mereka tidak bersedia menjamin orang-orang yang

risikonya sub standar (diatas rata-rata). Akibatnya mereka tidak bisa dijamin. Jika orang-

orang yang sudah sakit-sakitan tersebut menderita penyakit menular, penyakitnya tidak bisa

disembuhkan. Penyakit menular yang tidak dapat disembuhkan, karena tidak sanggup

berobat dan tidak ada perusahaan asuransil bapel yang mau menjaminnya, akan

mengancam semua orang disekitamya, karena penyakitnya dapat menular kepada orang

lain (ekstemalitas). Meskipun mereka tidak menderita penyakit menular, jika penyakit

mereka sudah sangat parah, dan mereka tidak mampu membayar, pada akhimya banyak

pihak hams turun tangan membantu. Inilah prikemanusiaan yang beradab. Tidak ada di

dunia manapun dimana orang-orang seperti itu dibiarkan menderita tanpa bantuan. Jika

bantuan diberikan secara sukarela, jumlahnya seringkali tidak memadai. Ancaman sakit

seperti itu dapat terkena siapa saja, tua maupun muda, kaya maupun miskin. Oleh karena

setiap orang suatu ketika akan dapat menderita seperti itu, maka untuk menjamin semua

orang tidak tambah menderita karena tidak memiliki dana yang memadai, maka perlu

diwajibkan untuk berasuransi. Jika tidak diwajibkan, maka yang sakit-sakitan akan beli

asuransi sebagai alat gotong royong atau solidaritas sosial. Sementara yang sehat dan yang

muda merasa tidak perlu dan karenanya tidak membeli asuransi. Dengan demikian tidak

mungkin terselenggara gotong-royong antara kelompok kaya-miskin dan antara yang sehat

dengan yang sakit. Jadi asuransi sosial bertujuan untuk menjamin semua orang yang

memerlukan pelayanan kesehatan akan mendapatkannya tanpa perduli status ekonomi atau

usianya. Inilah Introduksi Asuransi Kesehatan 14 HThabrany prinsip keadilan sosial (social

equity/social justice) yang menjadi falsafah hidup semua orang di dunia. Jadi asuransi sosial

memiliki fungsi redistribusi hak dan kewajiban antara berbagai kelompok masyarakat: kaya-

miskin, sehat-sakit, muda-tua, risiko rendah-risiko tinggi. Inilah hakikat peradaban manusia

yang dapat diwujudkan dengan penyelenggaraan asuransi so sial. Oleh karenanya, tidak

ada satu negarapun di dunia-- baik itu negara liberal seperti Amerika maupun negara yang

lebih dekat ke sosialis, yang tidak memiliki sistem asuransi so sial atau jaminan oleh negara

langsung. Di Amerika misalnya, semua orang-tanpa kecuali, yang mempunyai penghasilan

hams membayar premi Medicare. Medicare adalah program asuransi sosial kesehatan untuk

orang tua/pensiunan (usia 65 tahun keatas) untuk orang orang yang menderita penyakit

terminal-penyakit yang tidak bisa sembuh. Setiap yang berpenghasilan otomatis dipotong

sebesar 1,45% penghasilannya untuk premi Medicare yang jaminannya baru diperoleh jika

ia berusia pensiun (65 tahun keatas). Majikannya, pemberi kerja, wajib juga menambahkan

1,45% gaji yang dibayarkan untuk premi asuransi tersebut. Jadi jumlahnya 2,9% dari

gaji/upah sebulan. Negara-negara Eropa yang lebih kuat ikatan sosialnya atau negara-

negara Asia seperti Jepang, Korea, Taiwan, Filipina, dan Muangtai; juga menyelenggarakan

sistem asuransi sosial. Ada yang digabungkan dengan sistem jaminan sosial (social

security) ada juga negara yang membuat undang-undang asuransi sosial khusus untuk

kesehatan seperti Taiwan, Filipina, Kanada, dan Jerman. Tanpa diwajibkan, maka tidak

semua orang akan ikut serta. Cina yang komunis juga menyelenggarakan sistem asuransi

sosial untuk rakyatnya. Jadi mewajibkan penduduk ikut serta dalam asuransi sosial bukanlah

pemerkosaan hak akan tetapi justeru untuk pemenuhan hak asasi yang dibiayai secara

kolektif. Membayar pajak adalah suatu kewajiban di negara manapun. Apakah kewajiban

membayar pajak merupakan pelanggaran hak asasi manusia? Kalau ada yang menjawab

ya, maka semua negara di dunia ini melanggar HAM. Mempunyai kartu penduduk atau

paspor adalah suatu kewajiban penduduk, dimanapun dan di negara manapun ia berada.

Jadi tidak seperti apa yang digambarkan oleh sebagian orang bahwa menyelenggarakan

asuransi yang bersifat wajib adalah bertentangan dengan fitrah manusia madani (civilized

society). Justeru masyarakat madani memiliki banyak sekali kewajiban individu terhadap

masyarakat secara kolektif. Inilah bentuk perwujudan kehidupan berbudaya. Sesuatu yang

sifatnya wajib hams diatur oleh yang paling kuasa. Dalam kehidupan bemegara, yang paling

kuasa adalah undang-undang yang dibuat oleh wakil rakyat. Itulah sebabnya, sebuah

asuransi sosial yang memenuhi syarat haruslah diatur berdasarkan undang undang. Di

Indonesia, salah satu contoh asuransi sosial yang diatur UU adalah jaminan pemeliharaan

kesehatan dalam Undang-undang No. 3/1992 tentang Jamsostek. Mekanisme adverse

selection. Dalam asuransi sosial, manfaat/paket jaminan ditetapkan oleh UU sama atau

relatif sama bagi seluruh peserta dengan tujuan memenuhi kebutuhan para anggotanya.

Seringkali manfaat ini disebut paket dasar. Dalam asuransi putus kerja atau pensiun,

besarnya manfaat memang relatif rendah untuk memenuhi kebutuhan minimum hidup,

cukup untuk makan, transportasi, perumahan, dan pendidikan. Manfaat pasti tidak diberikan

agar pesertanya dapat Introduksi Asuransi Kesehatan 15 HThabrany hidup mewah. N amun

untuk asuransi kesehatan, di Indonesia sayangnya banyak memiliki pemahaman sarna yaitu

menjamin pelayanan kesehatan dengan biaya murah. Sehingga kasus berat dan mahal tidak

dijamin. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip asuransi berat sama dipikul. Sebab yang menjadi

kebutuhan dasar, yang mempertahankan seseorang hidup dan berproduksi seringkali

justeru pelayanan operasi atau perawatan intensif di rumah sakit. Oleh karenanya, di

negara-negara lain, pada umumnya asuransi sosial dimulai dengan manjamin pelayanan

rawat inap, bukan rawat jalan yang murah. Tujuan penyelenggaraan asuransi so sial ini

adalah terpenuhinya kebutuhan penduduk, atau populasi tertentu, yang tanpa asuransi

sosial kemungkinan besar mereka tidak mampu memenuhinya sendiri-sendiri. Atau jika

mereka secara sukarela (komersial) membeli asuransi, mereka tidak sanggup atau tidak

punya disiplin cukup untuk membeli. Dalam asuransi sosial, premi ditetapkan oleh peraturan

yang besarnya umumnya proporsional terhadap pendapatan/upah. Kombinasi paket

jaminan/manfaat asuransi yang sama dengan premi yang proporsional upah memfasilitasi

terjadinya equity egaliter (keadilan yang merata). Secara singkat equity egaliter berarti you

get what you need yang lebih pas untuk kesehatan. Dalam prinsip equity egaliter

dilaksanakan prinsip seseorang hams mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan

kebutuhan medis yang ada pada dirinya tetapi membayar sesuai dengan kemampuan

ekonomi dirinya. Itulah sebabnya peserta diharuskan membayar persentase tertentu dari

upahnya. Hal ini memungkinkan pemerintah memenuhi hak asasi pelayanan kesehatan

seperti yang termaktub dalam UUD kita pasal 28H. Hal ini merupakan penjabaran lebih

lanjut dari sila keadilan sosial dalam Pancasila. Seluruh negara maju dan menengah

menggunakan prinsip asuransi sosial ini, baik yang terintegrasi denganjaminan sosial (social

security) lainnya maupun yang dikelola tersendiri. Contoh equity liberter adalah pelayanan

kesehatan yang umumnya berlaku di Indonesia sekarang ini. Seorang manajer yang sakit

tifus masuk rumah sakit dan memilih perawatan di kelas VIP dengan membayar biaya

perawatan per hari Rp 250.000,- plus jasa dokter, obat, pemeriksaan penunjang medis, dsb.

Ia mendapat perawatan dari suster yang cantik-cantik, doktemya berkunjung paling sedikit

sekali dalam sehari (argo dokter jalan terus), dan mendapat pilihan makanan yang enak.

Total biaya perawatan waktu pulang adalah Rp 5 juta. Adilkah (equitykah)? Tentu adil,

sebab dia bayar mahal sehingga ia mendapatkan pelayanan sesuai dengan yang ia bayar.

Seorang pedagang sayur gendongan menderita sakit tifus dan tidak diterima dirawat di RS

Swasta karena tidak mampu membayar uang muka yang diminta. Dengan menahan

berbagai rasa sakit dan panas di badan, ia hams pergi ke RS pemerintah yang mau

menerimanya tanpa uang muka. Ia kemudian di rawat di kelas 11m dengan bangsal yang

rame, kamar mandi bersama, kebersihan ruangan dan bau yang kurang nyaman, serta

makanan yang standar. Dokter memeriksanya tiga hari sekali dan perawatnya kurang

ramah. Maklum karena perawat mendapat gaji UMR. Setelah dirawat 10 hari ia pulang

dengan hanya membayar Rp 500.000,-. Adilkah? Cukup adil. Sebab ia hanya mampu

membayar pelayanan yang seperti itu. Seorang tukang ojek yang menderita tifus tetapi takut

ke rumah sakit karena ia sering mendengar tetangga dan kenalannya yang dirawat di RS

menghabiskan ratusan ribu sampai Introduksi Asuransi Kesehatan 16 HThabrany jutaan

rupiah. Setelah berusaha mengobati sendiri dengan berbagai obat penurun panas tidak

sembuh, akhimya ia pingsan karena rupanya telah tejadi perforasi (kebocoran) usus.

Akhimya oleh tetangganya ia di bawa ke rumah sakit dan terpaksa hams masuk perawatan

intensif (ICU) dan pembedahan. la beruntung karena diberikan dispensasi untuk membayar

uang muka seadanya. Setelah pulang ia hams membayar Rp 5 juta, yang paling banyak

untuk perawatan intensif selarna dua hari yang memakan biaya Rp 3,5 juta. Karena

berhutang, ia hams menjual motomya dan masih meminjarn uang dari sanak keluarga untuk

melunasi tagihan rumah sakit tersebut. la tidak lagi berfikir darimana mencari nafkah setelah

itu, karena motor yang menjadi satu-satunya modal telah dilego. Untuk makan keluarga

setelah sembuh, terserah nasiblah. Adilkah? Menurut pandangan liberter, adil. Sebab ia

memang bemasib jelek dan berprilaku jelek takut berobat sejak dini. Seorang tukang ojek

lainnya yang juga menderita tifus dengan perforasi dan hams masuk ICU tetapi bemasib

kurang baik, karena rumah sakit yang didatanginya meminta uang muka Rp 3 juta dan ia

tidak memilikinya. Akhimya ia terpaksa pulang dengan menanda tangani surat "pulang

paksa" dimana risiko setelah pulang menjadi tanggung jawabnya sendiri. Dua hari kemudian

ia meninggal dunia. Adilkah? Menurut pandangan liberter mumi, adil! Sebab memang ia

tidak mampu membayar. Pandangan egaliter menilai bahwa equity liberter baik untuk hal-hal

di luar kesehatan. Untuk kesehatan sangat tidak adil dan tidak manusiawi jika seorang yang

hanya karena tidak punya uang pada saat ia sakit hams kehilangan mata pencaharian dan

menyengsarakan hidup keluarganya atau meninggal dunia seperti dua kasus terakhir.

Pandangan equity egaliter dalarn pelayanan kesehatan menilai bahwa kedua orang pada

contoh terakhir sehamsnya mendapat pengobatan paling tidak seperti tukang sayur

gendong. Pasien harus mendapatkan pengobatan sesuai dengan kondisi medisnya dan

tidak tergantung pada kemampuannya membayar, apalagi sarnpai meninggal dunia. Lalu

siapa yang membiayainya? Untuk itulah hams diselenggarakan asuransi sosial dimana baik

si manajer maupun si tukang sayur atau tukang ojek membayar premi dimuka sebesar,

misalnya 5% dari penghasilannya. Mungkin sang manajer membayar premi Rp 250.000 per

bulan sedangkan si tukang sayur membayar Rp 10.000 sebulan dan tukang ojek membayar

Rp 20.000 sebulan untuk seluruh keluarganya. Pada waktu mereka sakit, rumah sakit tidak

perlu meminta uang muka. Si pasien tidak hams takut berobat ke rumah sakit karena ia telah

memiliki jaminan dan mengetahui bahwa ia tidak perlu membayar rumah sakit, kecuali

sejumlah iur biaya yang besamya terjangkau atau sarna sekali tidak membayar apa-apa.

Termasuk obat-obatan dan biaya ICU jika diperlukan, ia tidak perlu lagi membayar atau

hanya membayar iur biaya yang kecil. Hak perawatannya mungkin di kelas II atau kelas III.

Inilah yang disebut equity egaliter. Sang manajer yang ingin dirawat di ruang VIP dapat

menarnbah selisih biaya saja. Mungkin akhimya sang manajer hanya membayar biaya

tarnbahan ruangan dan makanan yang besamya hanya Rp 1-2 juta saja. Pada prinsipnya

premi asuransi sosial mirip pajak tetapi tidak progresif, bahkan cenderung regresif. Dalarn

peraturan pajak, mereka yang berpenghasilan tinggi dikenakan pajak dengan prosentase

yang tinggi pula. Ini berlaku di seluruh dunia. Di Indonesia kalau kita berpenghasilan Rp 1

juta sebulan, maka pajak penghasilan yang hams dibayar adalah Introduksi Asuransi

Kesehatan 17 HThabrany 5% dari penghasilan kena pajak. Tetapi jika penghasilan kita

mencapai Rp 100 juta sebulan, maka pajak penghasilan yang hams kita bayar mencapai

35% dari penghasilan diatas Rp 200 juta setahun. Dalam asuransi sosial, justeru seringkali

diberlakukan batas maksimum. Misalnya premi asuransi so sial adalah 5% dari penghasilan

sampai batas Rp 5 juta. Artinya, jika penghasilan kita Rp 1 juta sebulan, maka kita bayar

premi sebesar Rp 50.000 sebulan untuk sekeluarga. Sedangkan jika penghasilan kita

sebesar Rp 10 juta sebulan, premi yang hams kita bayar adalah 5%x Rp 5 juta (batas

maksimal) atau hanya sebesar Rp 250.000 saja. Jika penghasilan kita Rp 100 juta sebulan,

maka premi yang kita bayar juga hanya Rp 250.000 saja. Perbedaan lain dengan pajak

adalah penggunaannya. Pada asuransi sosial, penggunaan dana hanya terbatas untuk

kegiatan atau benefit yang telah ditetapkan. Tidak bisa lain. Sementara penerimaan pajak

dapat digunakan untuk berbagai program yang tidak ditentukan dimuka. Itulah sebabnya,

premi asuransi sosial atau jaminan sosial sering disebut sebagai social security tax, jadi

sangat mirip dengan ear-marked tax. Karena sifatnya yang wajib dan mirip dengan

pengenaan pajak, maka pengelolaan asuransi sosial haruslah secara not for profit (nirlaba).

Jadi tidak tepat kalau Jamsostek dan Askes pegawai negeri dikelola oleh PT Persero yang

berorientasi laba (for profit). Ini suatu keajaiban dunia barangkali. Pengertian nirlaba hams

dipahami bahwa yang tidak mencari laba adalah badan atau lembaganya. Bukan juga berarti

bahwa lembaga tadi tidak boleh ada sisa dana. Bukan! Dulu istilah nirlaba dalam bahasa

Inggris disebut non profit (tidak ada laba atau sisa hasil usaha). Belakangan istilah itu telah

diluruskan menjadi not for profit artinya usaha yang dilakukan sarna sekali bukan untuk

mencari untung seperti layaknya perusahaan. Tetapi usaha atau upaya yang dilakukan

ditujukan untuk memberikan kesejahteraan sebesar besarnya bagi anggota. Jadi mirip

dengan negara. Negara tidak mencari laba, akan tetapi jika ada kelebihan anggaran, maka

anggaran itu dapat digunakan untuk tahun fiskal berikutnya atau untuk cadangan negara.

Jika lembaga pengelola asuransi sosial memiliki SHU, maka pemerintah tidak menarik PPh

(pajak penghasilan) badan. Sisa hasil usaha tersebut hams digunakan untuk kepentingan

peserta, seperti halnya bagi negara untuk kepentingan rakyat. Penggunaan SHU jika ada

dapat digunakan untuk perbaikan pelayanan, perluasan paket jaminan, atau dikembalikan

dalam bentuk potongan iuran pada periode berikutnya. Hams diingat bahwa meskipun

lembaga atau organisasi penyelenggara jaminan atau asuransi sosial bersifat nirlaba,

pegawai badan tersebut bersifat for profit. Setiap pegawai tetap wajib membayar PPh 21,

karena pegawai bersifat for profit. Jadi tidak benar kalau pegawai penyelenggara asuransi

sosial digaji rendah. Oleh kareanya pada umumnya penyelenggara asuransi sosial adalah

badan pemerintah atau kuasi pemerintah yang disebut Trust Fund atau dalam bahasa

Indonesia dapat diterjemahkan sebagai Dana Amanat. Bentuk Dana Amanat ini dimiliki oleh

seluruh peserta, mirip dengan model Usaha Bersama (mutual) pada Asuransi Jiwa Bersama

(AJB) Bumi Putera dimana pemegang sahamnya adalah seluruh pesertaipemegang polis.

Tetapi produk asuransi yang dijual Bumi Putera bersifat komersial, bukan asuransi sosial.

Asuransi sosial sering disebut sebagai asuransi publik (public insurance), untuk

membedakannya dengan asuransi swasta (private insurance) yang umumnya bersifat

komersial danfor profit. Ada banyak bentuk asuransi swasta yang komersial dan nirlaba. Di

Indonesia pandangan tentang pengelola publik sering bias karena pegawai di sektor publik

mendapat gaji yang sangat berbeda sehingga dalam memberikan pelayanan seringkali tidak

memuaskan Introduksi Asuransi Kesehatan 18 HThabrany atau meminta uang bawah meja.

Tak ada insentifbagi mereka untuk bekerja baik. Akibatnya, pandangan masyarakat tentang

pengelolaan lembaga publik atau pemerintahan pada umumnya buruk. Karena mereka

'pura-pura'nya digaji, maka mereka juga 'pura-pura' bekerja. Keunggulan Penyelenggaraan

asuransi sosial mempunyai banyak keunggulan mikro dan makro yang antara lain dapat

dijelaskan di bawah ini. 1. Tidak terjadi seleksi bias. Seleksi bias, khususnya adverse

selection atau anti seleksi, merupakan keadaan yang paling merugikan pihak asuradur.

Pada anti seleksi terjadi keadaan dimana orang-orang yang risiko tinggi atau di bawah

standar saja yang menjadi atau terus melanjutkan kepesertaan. Hal ini terjadi pada asuransi

yang sifatnya sukarelaJkomersial. Dalam asuransi sosial, dimana semua orang-paling tidak

dalam suatu kelompok tertentu seperti pegawai negeri atau pegawai swasta wajib ikut, tidak

terjadi anti seleksi. Yang memiliki risiko standar, sub standar, maupun diatas standar semua

ikut. Hal ini akan memungkinkan sebaran risiko yang baik sehingga perkiraan klaim/biaya

dapat dihitung lebih akurat. 2. Redistribusi/subsidi silang luas (equity egaliter). Karena

semua orang dalam suatu kelompok wajib ikut; baik yang kaya maupun yang miskin, yang

sehat maupun yang sakit, dan yang muda maupun yang tua; maka asuransi sosial

memungkinkan terjadinya subsidi silang yang luas. Yang kaya memberi subsidi kepada yang

miskin. Yang sehat memberi subsidi kepada yang sakit, dan yang muda memberi subsidi

kepada yang tua. Dalam asuransi komersial hanya terjadi subsidi antara yang sehat dengan

yang sakit saja. 3. Pool besar. Suatu mekanisme asuransi pada prinsipnya merupakan suatu

risk pool, suatu upaya menggabungkan risiko perorangan atau kumpulan kecil menjadi risiko

bersama dalam sebuah kumpulan yang jauh lebih besar. Semua anggota kelompok tanpa

kecuali harus ikut dalam asuransi sosial. Akibatnya pool atau kumpulan anggota menjadi

besar atau sangat besar. Sesuai dengan hukum angka besar, semakin besar anggota

semakin akurat prediksi berbagai kejadian. Ini hukum alamo Asuransi so sial memungkinkan

terjadinya pool yang sangat besar, sehingga prediksi biaya misalnya dapat lebih akurat.

Oleh karenanya, kemungkinan lembaga asuransi sosial bangkrut adalah jauh lebih kecil dari

lembaga asuransi komersial. 4. Menyumbang pertumbuhan ekonomi dengan penempatan

dana premi/iuran dan dana cadangan pada portofolio investasi seperti obligasi, deposito,

maupun saham. Pada umumnya portofolio investasi dana jaminan sosial/asuransi sosial

dibatasi agar tidak menganggu likuiditas dan solvabilitas program. 5. Administrasi

sederhana. Asuransi sosial biasanya mempunyai produk tunggal yaitu sama untuk semua

peserta, tidak seperti asuransi komersial yang produknya sangat Introduksi Asuransi

Kesehatan 19 HThabrany beragam. Akibatnya administrasi asuransi sosial jauh lebih

sederhana dan tidak membutuhkan kemampuan sekompleks yang dibutuhkan asuransi

komersial. Oleh karenanya pada umumnya negara yang kurang memiliki sumber daya

manusia yang faham berbagai seluk-beluk asuransi sekalipun mudah menerapkan asuransi

sosial. 6. Biaya administrasi murah. Selain produk dan administrasi sederhana, asuransi

sosial tidak membutuhkan rancangan paket terus-menerus, biaya pengumpulan dan analisis

data yang mahal, dan biaya pemasaran yang bisa menyerap 50% premi di tahun pertama.

Oleh karenanya biaya administrasi asuransi sosial di negara-negara maju pada umumnya

kurang dari 5% dari total premi yang diterima. Bandingkan dengan asuransi komersial yang

paling sedikit menghabiskan sekitar 12%, bahkan ada yang menghabiskan sampai 50% dari

premi yang diterima. 7. Memungkinkan pengenaan tarif fasilitas kesehatan seragam. Karena

pool yang besar, asuransi sosial memungkinkan pengaturan tarif fasilitas kesehatan yang

seragam sehingga semakin memudahkan administrasi dan membuat keseimbangan kerja

antar dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Tarif yang seragam ini memungkinkan juga

penerapan standar mutu tertentu yang menguntungkan peserta. 8. Memungkinkan kendali

biaya dengan buying power. Berbeda dengan mitos model organisasi managed care (seperti

HMO di Amerika dan bapel JPKM di Indonesia) yang membayar kapitasi dan pelayanan

terstruktur yang konon dapat mengendalikan biaya, asuransi sosial dapat mengendalikan

biaya lebih baik tanpa hams membayar dokter atau fasilitas kesehatan dengan sistem risiko,

seperti kapitasi. Meskipun lembaga asuransi sosial membayar fasilitas kesehatan per

pelayanan (fee for services) yang disenangi dokter, asuransi so sial masih mampu

mengendalikan biaya lebih baik dari model organisasi managed care. 9. Memungkinkan

peningkatan dan pemerataan pendapatan dokter/fasilitas kesehatan. Asuransi sosial

mempunyai pool yang besar dan menjamin lebih banyak orang dalam mendapatkan

pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Akibatnya lebih banyak orang mampu berobat.

Dengan kemampuan menerapkan tarif standar kepada fasilitas kesehatan, asuransi sosial

akan mampu memeratakan pendapatan para fasilitas kesehatan yang bersedia memenuhi

standar pelayanan dan tarif yang ditetapkan. Apabila asuransi sosial telah mencakup lebih

dari 60% penduduk, maka sebaran fasilitas kesehatanpun dapat lebih merata tanpa

pemerintah hams mewajibkan dokter bekerja di daerah-daerah. 10. Memungkinkan semua

penduduk tercakup. Orgasnisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memasukan faktor cakupan

asuransi kesehatan sebagai salah satu indikator kinerja sistem kesehatan negara-negara di

dunia.' Organisasi ini juga menganjurkan untuk perluasan cakupan hingga tercapai cakupan

universal, semua penduduk terjamin. Hal ini hanya mungkin jika asuransi yang

diselenggarakan adalah asuransi sosial yang mewajibkan semua penduduk menjadi

peserta, tentunya secara bertahap. Asuransi sosial memungkinkan terselenggaranya

solidaritas sosial maksimum atau 1 Laporan WHO 2000. Introduksi Asuransi Kesehatan 20

HThabrany memungkinkan terselenggaranya keadilan sosial (social justice). Pendekatan

asuransi komersial tidak mungkin mencakup seluruh penduduk dan memaksimalkan

solidaritas sosial. Kelemahan Selain berbagai keuntungan yang dapat dinikmati masyarakat

baik secara mikro maupun secara makro, asuransi sosial tidak lepas dari berbagai

kelemahan. Kelemahan kelemahan tersebut antara lain: 1. Pilihan terbatas. Karena asuransi

sosial mewajibkan penduduk dan pengelolanya yang paling tepat adalah suatu badan

pemerintah atau kuasi pemerintah, maka masyarakat tidak memiliki pilihan asuradur. Para

ahli umumnya berpendapat bahwa hal ini tidak begitu penting, karena pilihan yang lebih

penting adalah pilihan fasilitas kesehatannya. Asuransi sosial memungkinkan peserta bebas

memilih fasilitas kesehatan yang mana saja yang ia inginkan, karena fasilitas kesehatan

dapat dibayar secara FFS atau cara lain yang tidak mengikat. Berbeda dengan konsep

HMO/JPKM kini, yang memberikan pilihan asuradur tetapi setelah itu pilihan fasilitas

kesehatan terbatas pada yang telah mengikat kontrak. Mana yang lebih penting bagi

peserta: bebas memilih fasilitas kesehatan dengan biaya murah atau bebas memiliki

asuradur tetapi pilihan fasilitas kesehatan terbatas? 2. Manajemen kurang keratif/responsif.

Karena asuransi sosial mempunyai produk yang seragam dan biasanya tidak banyak

berubah, maka kurang insentif bagi pengelolanya untuk bekerja keras merespons terhadap

demand peserta. Apabila askes sosial dikelola oleh pegawai yang kurang selektif dan tidak

memberikan insentif pada yang berprestasi, maka manajemen cenderung kurang

memuaskan peserta. Seringkali juga karena penyelenggaranya tunggal, kurang ada

tantangan sehingga respons terhadap tuntutan peserta kurang cepat. 3. Pelayanan

seragam. Pelayanan yang seragam bagi semua peserta menyebabkan penduduk kelas

menengah atas kurang memiliki kebanggaan khusus. Kelompok ini pada umumnya ingin

berbeda dari kebanyakan penduduk, sehingga kelompok ini biasanya kurang suka dengan

sistem asuransi so sial. Pelayanan yang seragam juga sering menyebabkan waktu tunggu

yang lama sehingga kurang menarik bagi penduduk kelas atas. Namun demikian, lamanya

waktu tunggu yang tidak bisa diterima oleh kelas atas tertentu tidak bisa dijadikan alasan

untuk membubarkan sistem asuransi sosial yang berfungsi dan dinikmati lebih dari 90%

penduduk. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah biasanya memberikan kesempatan

kepada mereka membeli asuransi suplemen/tambahan seperti yang dikenal dengan

Medisup/Medigap di Amerika. Atau penduduk kelas atas dibiarkan tidak menggunakan

haknya dalam asuransi sosial atau jaminan pemerintah dan menggantinya dengan membeli

asuransi komersial seperti yang terjadi di Inggris. Introduksi Asuransi Kesehatan 21

HThabrany 4. Banyak fasilitas kesehatan yang tidak begitu suka. Profesional dokter

seringkali merasa kurang bebas dengan sistem asuransi sosial yang membayar mereka

dengan tarif seragam atau dengan model pembayaran lain yang kurang memaksimalkan

keuntungan dirinya. Pada umumnya fasilitas kesehatan lebih senang melayani orang

perorang yang membayar langsung dan dengan tarif yang ditentukannya sendiri. Tetapi

perlu dipahami bahwa semua negara-negara maju, kecuali Amerika, menerapkan sistem

asuransi sosial sebagai satu-satunya sistem atau sebagai sistem yang dominan di

negaranya 1.6.2. Asuransi Komersial Seperti telah dijelaskan dimuka, asuransi komersial

berbasis pada kepesertaan sukarela. Kata komersial berasal dari bahasa Inggris commerce

yang berarti berdagang. Dalam berdagang tentu tidak boleh ada paksaan. Dasarnya adalah

pedagang menawarkan barang atau jasanya dan sebagian masyarakat yang merasa

memerlukan barang atau jasa tersebut akan membelinya. Tidak ada paksaan bahwa

seseorang hams membeli barang tersebutljasa tersebut. Agar seorang pedagang atau suatu

perusahaan dapat menjual barang atau jasanya, maka ia hams bekerja keras memperoleh

informasi barang atau jasa apa yang diminati (ada demand) masyarakat. Kalau seorang

pedagang menjual barang yang tidak diminati masyarakat, maka barang atau jasa yang

dijualnya tidak akan laku dan pedagang tersebut akan merugi. Sebaliknya jika pedagang

tersebut sangat jeli melihat minat masyrakat calon konsumennya, maka ia dapat menjual

barang atau jasa dalam jumlah besar dan memperoleh laba yang besar pula. Oleh karena

itu model pedagang perorangan atau perusahaan for profit sangat cocok terjun di dunia

komersial ini. Basis komersial inilah yang membedakan sistem asuransi mekanisme pasar

dengan sistem asuransi sosial yang berbasis regulasi, bukan pasar. Asuransi komersial

merespons terhadap demand (permintaan) masyarakat sedangkan asuransi sosial

merespons terhadap needs (kebutuhan) masyarakat. Tujuan utama dari penyelenggaraan

asuransi kesehatan komersial ini adalah pemenuhan keinginan (demand) perorangan yang

beragam. Dengan demikian, perusahaan akan merancang berbagai produk, bahkan dapat

mencapai ribuan jenis produk, yang sesuai dengan permintaan masyarakat. Secara teoritis

bahkan dapat dibuat lebih dari satu juta produk, apabila demand masyrakat memang

bervariasi sebanyak itu. Disinilah letak pemborosan, tidak efisien, secara makro karena pada

akhimya untuk dapat menjual produk yang sangat bervariasi tersebut dibutuhkan biaya

besar. Biaya besar tersebut dibutuhkan untuk riset pasar, perancangan produk,

pengembangan sistem informasi, penjualan, komisi agen atau broker, dan keuntungan

perusahaan. Jangan heran jika ada perusahaan asuransi yang mematok biaya pelayanan

sebesar 50% dari premi yang dijual. Artinya, setiap 100 rupiah premi yang diterima, hanya

Rp 50 saja yang akan dibayarkan ke fasilitas kesehatan. Motif utama pengelola atau

asuradur adalah mencari laba. Itulah sebabnya asuransi model ini dikenal sebagai asuransi

komersial karena biasanya memang bertujuan dagang atau mencari untung. Namun bisa

saja suatu lembaga nirlaba, seperti yayasan atau perhimpunan masyarakat seperti Nahdatul

Ulama, Muhamadiah, perhimpunan katolik dll, menyelenggarakan model asuansi komerisal

tetapi tidak untuk mencari laba yang akan Introduksi Asuransi Kesehatan 22 HThabrany

dibagi-bagi kepada pemegang sahamnya. Laba yang diperoleh disumbangkan kepada yang

tidak marnpu dalarn berbagai bentuk seperti rabat harga premi atau bahkan pengobatan

gratis. Premi untuk asuransi ini disesuaikan dengan paket jaminan atau manfaat asuransi

yang ditanggung. Jadi asuransi model ini memulai dari penyusunan paket yang diperkirakan

diminati pembeli. Baru setelah itu harga premi dihitung untuk dijual. Di Indonesia paket paket

yang dijual sangat bervariasi dari hanya menjamin penyakit tertentu seperti penyakit kanker

atau gagal ginjal, paket komprehensif dengan paket platinum, emas, perak, perunggu,

plastik, dan mungkin kertas atau daun. Semakin tinggi atau luas jarninan dan semakin luks

jaminan paket yang dijual semakin mahal harga preminya. Asuransi ini memfasilitasi equity

liberter (You get what you pay for). Mereka yang miskin sudah pasti tidak bisa membeli

paket yang luas-misalnya menanggung pengobatan kanker, jantung, atau hemodialisa

karena harga preminya tidak terjangkau. Dalarn pelayanan tentu saja jika mereka sakit

kanker, terpaksa asuransi tidak menjaminnya. Sifat kontrak adhesi, dimana asuradur tahu

jauh lebih banyak dari pemegang polis atau peserta, khususnya perorangan, sangat kuat.

Peserta dapat saja membeli paket yang jauh lebih mahal dari yang sepantasnya. Agen yang

menjual dengan mudah dapat mengarahkan atau bahkan menggiring orang membeli produk

tertentu yang kurang sesuai dengan kondisinya. Perusahaan yang kurang bertanggung

jawab dapat saja lalai atau menghilang setelah menerima premi cukup besar. Atau

perusahaan yang hanya memikirkan keuntungannya dapat saja menghentikan atau tidak

memperpanjang asuransi orang-orang yang temyata memiliki penyakit kronis setelah

beberapa tahun menjadi peserta. Itulah sebabnya, jika opsi ini yang dipilih sebagai pilihan

dominan seperti di Amerika, maka banyak sekali peraturan yang mengikat perusahaan dan

praktek asuransi guna melindungi peserta yang berada pada posisi lemah. Tahun 1997

misalnya, di Amerika terdapat lebih dari 1,000 usulan peraturan di bidang asuransi

kesehatan.' Peraturan yang dikeluarkan pemerintah federal dan negara bagian Amerika,

bukan hanya mengatur solvensi perusahaan, akan tetapi mencakup pengaturan kontrak. Di

Indonesia pengaturan kontrak asuransi kesehatan sarna sekali belum ada. Tahun 1997

pemerintah federal Amerika mengeluarkan peraturan yang menyangkut protabilitas asuransi

dan batas boleh memberlakukan pre-existing conditions. Pada polis asuransi perorangan

ada peraturan tentang polis non cancellable, dimana perusahaan asuransi tidak boleh

menghentikan/membatalkan polis bahkan menaikan premi jika seorang peserta menderita

suatu penyakit kronis." Kegagalan pasar asuransi komersial/Swasta Karena sifat uncertainty

mengundang usaha asuransi, maka kini banyak pemain baru, Kolusi antara dokter-rumah

sakit dan perusahaan farmasi menyebabkan harga pelayanan kesehatan terus semakin

mahal. Risiko sakit perorangan semakin mahal, maka demand baru terbentuk; membeli

asuransi kesehatan. Bagaimana pentaripan asuransi? Tidak bisa dilepaskan dari tarif jasa

dokter, rumah sakit, obat, laboratorium, dan alat-alat medis lainnya. Bisakan asuransi

mendapatkan harga yang pantas (fair)? Sulit! Meskipun perusahaan 2 HIAA. Managed Care

part B. Washington, D.C., 1997 3 HIAA. Health Insurance Premier, Washington, D.C., 2000

Introduksi Asuransi Kesehatan 23 HThabrany asuransil bapel JPKM dapat memperoleh

harga yang lebih murah, mereka juga punya interes untuk mendapatkan untung. Sementara

provider masih tetap memiliki market power yang kuat. Tidak banyak pilihan bagi

perusahaan asuransi, kecuali mengeruk keuntungannya dari pihak pasien/ konsumen. Tentu

saja sebagai "perantara", perusahaan asuransil bapel JPKM akan mencari untung dari

kedua pihak, pihak peserta/ pemegang polis dan pihak provider. Maka kini, seorang

pasien/konsumen/peserta mendapatkan pelaku baru yang juga melirik kantong mereka.

Akankah konsumen mampu untuk memilih produk asuransi dan harga sesuai

kebutuhannya? Hampir tidak mungkin! Karena disini juga terjadi informasi asimetri.

Konsumen tidak mengetahui tingkat risiko dirinya dan hampir tidak mungkin mengetahui

apakah harga premi yang dibelinya pantas, terlalu murah, atau terlalu mahal. Sementara

penjual (perusahaan asuransi/bapel JPKM) dapat menciptakan produk dan cara pamasaran

yang menakutkan sehingga konsumen, jika ia mempunyai kemampuan keuangan, memilih

untuk membeli. Bagaimana dengan konsumen yang tidak mampu? Sejauh pasar belum

jenuh, asuradur akan memusatkan pada perhatian kepada pasar yang mampu membeli dan

profitable. Karena dalam pasar asuransi (swasta/sukarela) asuradur akan menetapkan premi

atas dasar risiko yang akan ditanggung (paket jaminan), risk based premium, maka

besarnya premi tidak dapat disesuaikan dengan kemampuan membeli seseorang. Maka

sudah dapat dipastikan bahwa penduduk yang miskin tidak akan mampu membeli premi.

Oleh karenanya, asuransi kesehatan swasta/sukarela/komersial tidak akan mampu

mencakup seluruh penduduk. Keinginan mencakup seluruh penduduk dengan mekanisme

asuransi kesehatan swasta hanyalah sebuah impian belaka. Hal ini dapat dibuktikan di

Amerika, yang menghabiskan lebih dari US$ 4.000 per kapita per tahun (tahun 2000 ini

diperkirakan Amerika menghabiskan US$ 1,8 triliun), akan tetapi lebih dari 40 juta

penduduknya (16%) tidak memiliki asuransi (HIAA, 1999)3. Dengan terbatasnya pasar dan

persaingan yang tinggi, volume penjualan tidak bisa mencapai jumlah yang besar.

Persaingan antara asuradur akan memaksa asuradur membuat produk spesifik yang juga

menyebabkan pool tidak optimal untuk mencakup berbagai pelayanan. Persaingan menjual

produk spesifik dan volume penjualan untuk masing-masing produk yang relatif kecil

menyebabkan contigency dan profit margin yang relatif besar. Perusahaan asuransi Amerika

menghabiskan rata-rata 12% faktor loading (biaya operasional, laba, dan berbagai biaya non

medis lainnya) (Shalala dan Reinhart, 1999). Departemen Kesehatan membolehkan bapel

menarik biaya loading sampai 30%.4 Asuradur swasta di Indonesia memiliki rasio klaim yang

bervariasi antara 40-70%, tergantung jenis produknya, sehingga menyebabkan biaya

tambahan bagi konsumen sebesar 30-60%. Jadi berbagai skenario dan fakta yang terjadi,

sudah dapat dipastikan bahwa asuransi kesehatan swasta tidak bisa menurunkan biaya

pelayanan kesehatan dan tidak mampu mencakup seluruh penduduk. Jelaslah

ketergantungan pada sistem asuransi kesehatan swasta/ komersial (termasuk disini sistem

JPKM yang sekarang berlaku) gagal menciptakan cakupan universal dan mencapai efisiensi

makro. Trade off antara risk pooling dan biaya yang ditanggung konsumen tidak seimbang.

Sementara itu, hampir semua negara menginginkan cakupan universal. Oleh karenanya, jika

kedua komponen tujuan, universal dan efisensi makro, ingin Introduksi Asuransi Kesehatan

24 HThabrany dicapai; maka membuat asuransi kesehatan swasta/ komersial akan gagal

mencapai tujuan tersebut. Semua negara-negara maju telah meratifikasi konvensi PBB

tentang hak asasi manusia dan menempatkan pelayanan kesehatan sebagai salah satu hak

dasar penduduk (fundamental human right). Sebagai konsekuensi peletakkan hak dasar ini

pemerintah mengusahakan suatu sistem kesehatan yang mampu mencakup seluruh

penduduk (universal) secara adil dan merata (equity). Negara-negara maju pada umumnya

mewujudkan peran serta masyarakat dalam pembiayaan dan penyediaan kesehatan publik

yang diatur oleh suatu undang-undang. Pembiayaan publik dimaksudkan adalah

pembiayaan oleh negara atau oleh sistem asuransi kesehatan sosial yang didasarkan oleh

undang-undang. Penyelenggara pembiayaan publik dapat suatu badan pemerintah dapat

pula badan swasta yang nirlaba. Penyediaan kesehatan publik adalah penyediaan rumah

sakit, klinik, pusat kesehatan, dan sebagainya yang disediakan oleh negara yang dapat

diselenggarakan secara otonom (terlepas dari birokrasi pemerintahan) ataupun tidak

otonom. Dengan menempatkan salah satu atau kedua faktor pembiayaan dan atau

penyediaan oleh publik (public not for profit enterprise) memungkinkan terselenggaranya

cakupan universal dan pemerataan yang adil. Penempatan kesehatan sebagai hak asasi

tidak selalu berarti bahwa pemerintah hams menyediakan seluruh pelayanan dengan cuma-

cuma. Yang dimaksud pendanaan oleh publik adalah pendanaan oleh pemerintah dalam

bentuk anggaran belanja negara atau oleh penyelenggara asuransi social atau jaminan

social. Penyelenggara asuransi/jaminan social dapat dikelola langsung oleh organisasi

birokrasi pemerintah atau dikelola oleh badan/agency yang dibentuk pemerintah yang

berfungsi otonom, tidak dipengaruhi birokrasi pemerintah. Di Indonesia, banyak orang

mengkhawatirkan penempatan kesehatan sebagai hak asasi akan menyebabkan beban

pemerintah menjadi sangat berat. Pada hakikatnya, pembiayaan maupun penyediaan

pelayanan dapat dilakukan oleh pemerintah bersama swasta yang secara umum dapat

dilihat dari gambar-l . Gambar-l. Matriks Pembiayaan dan Penyediaan (delivery) pelayanan

kesehatan Pembiayaan Penyediaan Publik Swasta Publik Inggris Indonesia dan negara

berkembang lainnya Swasta Kanada, Jerman, Jepang Amerika dan Taiwan * Jepang dan

Jerman menyerahkan sebagian besar pembiayaan dan penyediaan kepada sektor s was ta,

akan tetapi bersifai sosial (nirlaba) yang diatur oleh pemerintah, sementara Amerika

menyerahkan kepada mekanisme pasar (for profit dan not for profit). Apabila pembiayaan

diserahkan kepada sektor publik, yang bersifat sosial atau nirlaba, maka terdapat dua pilihan

utama yaitu pembiayaan dari penerimaan pajak (general tax revenue) seperti yang dilakukan

Inggris dan pembiayaan melalui asuransi sosial seperti Introduksi Asuransi Kesehatan 25

HThabrany yang dilakukan Kanada, Taiwan, Jepang dan Jerman. Kanada dan Taiwan

memberlakukan sistem monopoli Propinsi dan Negara dengan hanya menggunakan satu

badan penyelenggara, yang sering dikenal Asuransi Kesehatan Nasional. Sementara

Jerman dan Jepang menggunakan undang-undang wajib asuransi sosial kesehatan dengan

banyak penyelenggara dari pihak swasta yang nirlaba. Di Indonesia, pengertian asuransi

sosial sangat sering disalah artikan dengan pengertian derma atau pelayanan cuma-cuma.

Sementara penyelenggaraan asuransi sosial kesehatan yang sudah ada, program JPK

PNS/Askes dan program JPK Jamsostek, diselenggarakan oleh perusahaan publik yang

berbentuk badan hukum berorientasi laba (Persero). Hal ini menyebabkan semakin

kacaunya pemahaman asuransi sosial. Distorsi pemahaman ini menyebabkan sulitnya

usaha-usaha mengusahakan suatu sistem asuransi sosial yang konsisten. Asuransi sosial

adalah asuransi yang diselenggarakan atau diatur oleh pemerintah yang melindungi

golongan ekonomi lemah dan menjamin keadilan yang merata (equity). Untuk mencapai

tujuan tersebut, maka suatu asuransi sosial haruslah didasari pada suatu undang-undang

dengan pembayaran premi dan paket jaminan yang memungkinkan terjadinya pemerataan.

Dalam penyelenggaraanya, pada asuransi sosial mempunyai ciri (a) kepesertaan wajib bagi

sekelompok atau seluruh penduduk, (b) besaran premi ditetapkan oleh undang-undang,

umumnya proporsional terhadap pendapatan/gaji, dan (c) paketnya ditetapkan sama untuk

semua golongan pendapatan, yang biasanya sesuai dengan kebutuhan medis (Thabrany,

1999i. Dengan mekanisme ini, maka dimungkinkan tercapainya keadilan sosial yang

egaliter. Dari segi pembiayaan, asuransi sosial mempunyai keunggulan dalam mencapai

efisiensi makro karena tidak memerlukan biaya perancangan produk, pemasaran, dan

pencapaian skala ekonomi yang optimal. Taiwan misalnya hanya menghabiskan kurang dari

3% premi untuk biaya administrasi (Depkes Taiwan, 1997)6. Program Medicare di Amerika

hanya menghabiskan biaya administrasi sebesar 3-4% sementra asuransi komersial swasta

di Amerika menghabiskan rata-rata 12% (Shalala dan Reinhardt, 1999f Kekuatan 1.

Pemenuhan kebutuhan unik seseorang atau sekelompok orang. Karena sifat asuransi

komersial yang memenuhi demand, maka perusahaan asuransi akan bereaksi cepat

terhadap perubahan demand atau terhadap demand dari sekelompok orang. Oleh

karenanya asuransi kesehatan komersial akan lebih sesuai dengan permintaan kelompok

tertentu yang khususnya ingin mendapatkan pelayanan yang nyaman dan bergengsi.

Asuransi kesehatan komersial juga dapat memberikan pelayanan khusus kepada suatu

kelompok, misalnya perusahaan besar, dengan membuat paket khusus (tailor made) yang

sesuai dengan permintaan pembeli. 2. Merangsang pertumbuhan perdagangan/ ekonomi.

Besamya keuntungan yang dapat dijanjikan oleh asuransi kesehatan dapat merangsang

investor terjun menanam modalnya di sektor ini. Meskipun jika dibandingkan dengan

asuransi jiwa mungkin Introduksi Asuransi Kesehatan 26 HThabrany asuransi kesehatan

relatif kurang menguntungkan, tetapi penjualan asuransi kesehatan oleh perusahaan

asuransi jiwa akan menambah efisiensi perusahaan. Dana yang terkumpul dari premi

asuransi kesehatan juga dapat ditanam dalam berbagai portofolio investasi sehingga dapat

juga menyumbang pada pertumbuhan ekonomi. 3. Kepuasan peserta relatif lebih tinggi.

Karena asuransi komersial sangat fleksibel dalam menyusun paket jaminan dan banyaknya

pelaku menimbulkan persaingan, maka asuransi komersial dapat memenuhi selera

pesertanyaJ pemegang polisnya dengan cepat. Karenanya, dibandingkan dengan asuransi

sosial, kepuasan peserta pada umumnya lebih tinggi pada asuransi komersial. Namun

demikian harus disadari bahwa kepuasan yang lebih tinggi tersebut hams dibayar dengan

premi yang lebih mahal. 4. Produk akan sangat beragam sehingga memberikan pilihan bagi

konsumen. Dalam asuransi kesehatan komersial, setiap perusahaan atau bapel akan

merancang produk yang diharapkan dapat memenuhi permintaan calon konsumennya

(prospeknya). Bahkan setiap perusahan dapat menawarkan banyak produk. Akibatnya akan

banyak sekali tersedia produk yang dapat dipilih oleh prospek sesuai persepsi kebutuhannya

dan sesuai juga dengan kemampuan keuangannya. Kelemahan 1. Pool relatif kecil.

Bagaimanapun hebatnya perusahan asuransi komersial, pool jumlah peserta tidak akan

mampu menyamai pool asuransi sosial. Bahkan karena sifatnya yang komersial atau usaha

dagang maka usaha asuransi komersial terkena undang undang antimonopoli sehingga

pelakunya akan banyak. Dengan pelaku yang banyak, maka kepesertaan penduduk akan

tersebar di berbagai perusahaan asuransi yang menyebabkan skala ekonomi bisa tidak

tercapai. 2. Produk sangat beragam dan manajemen kompleks. Beragamnya produk

asuransi kesehatan, yang secara teoritis dapat mencapai jutaan jenis, selain memberikan

pilihan bagi konsumen juga menuntut manajemen yang kompleks. Administrasi kepesertaan

harus dibuat berdasarkan basis data perorangan. Apalagi jika tiap tertanggung dikenakan

biaya awal (deductible), coinsurance, dan batas maksimum yang berbeda-beda. Maka untuk

mengelolanya diperlukan kecermatan tersendiri yang lebih kompleks dari manajemen

nasabah bank. 3. Menyediakan Equity liberter. Bagi masyarakat yang tidak suka

memberikan bantuan kepada pihak yang lebih lemah atau kepada pihak lain, maka asuransi

komersial menyediakan fasilitas bagi mereka. Premi yang dibayar asuransi kesehatan

komersial disesuaikan dengan risiko kelompok dimana seseorang berada (bukan risiko tiap

orang). Disinilah terjadi you get what you pay for. Peserta yang membeli paket platinum

dapat pelayanan yang spesial yang sesuai dengan paketnya. Sementara yang membeli

paket standar hams puas dengan pelayanan yang sesuai dengan harga premi yang

dibayamya. Introduksi Asuransi Kesehatan 27 HThabrany 4. Biaya administrasi tinggi.

Karena kompleksnya produk asuransi komersial, maka biaya administrasi (loading) menjadi

relatif jauh lebih besar dibandingkan dengan sistem asuransi sosial. Perusahaan asuransi

komersial hams menyewa aktuaris, melakukan riset pasar, melakukan perbagai upaya

pemasaran dan penjualan, dan hams membayar dividen atas laba yang ditargetkan

pemegang saham. Seluruh biaya biaya tersebut pada akhimya hams dibayar oleh

pemegang polis/peserta. 5. Tidak mungkin mencapai cakupan universal. Seperti telah

dijelaskan diatas, penduduk/kelompok kecil yang meskipun memilik demand akan tetapi

tidak memiliki uang, tidak akan membeli asuransi. Akibatnya tidak mungkin seluruh

penduduk tercakup asuransi kesehatan. Maka di banyak negara asuransi kesehatan

komersial hanya bisa dijual sebagai produk suplemen atau asuransi tambahan terhadap

asuransi so sial kepada mereka yang ingin mendapat pelayanan yang lebih memuaskan. 6.

Secara makro tidak efisien. Dominasi asuransi kesehatan komersial, bukan sebagai produk

suplemen, akan menyebabkan pada akhimya biaya kesehatan tidak terkendali, meskipun

mayoritas produk yang dijual dalam bentuk managed care (bentuk JPKM sekarang). Hal ini

disebabkan oleh: pertama, tingginya biaya administrasi. Kedua, tidak mungkinnya penduduk

miskin membeli asuransi kesehatan yang mengakibatkan pemerintah tetap hams

mengeluarkan anggaran khusus untuk penduduk miskin. Ketiga, berbagai pelayanan yang

secara medis tidak esensial tetapi penting untuk menarik konsumen untuk membeli

dimasukan dalam paket. 1.7. Asuransi Sosial Kesehatan di Berbagai Negara dan Berbagai

Indikator Makro Kesehatan Seperti telah disampaikan diatas, negara-negara yang lebih

konsisten mencari cakupan universal dan efisiensi makro (biaya kesehatan nasional yang

rendah) tidak menggantungkan sistemnya pada asuransi kesehatan swasta, baik dalam

bentuk tradisional indemnitas maupun dalam bentuk managed care (HMO, PPO, maupun

POS). Tentu saja argumen teoritis yang dikemukan diatas tidak cukup meyakinkan tanpa

adanya data empirik. Data empirik yang menyajikan cakupan universal dan efisiensi makro

saja, juga tidak cukup meyakinkan manfaat asuransi sosial kesehatan (ASK). Oleh karena

itu kita hams juga melihat indikator outcome (keluaran) secara makro. Tujuan cakupan

universal dan efisiensi saja tidak memadai jika pelayanan yang diberikan tidak cukup

berkualitas. Untuk menentukan pelayanan yang berkualitas, antara lain, kita bisa melihatnya

dari keluaran yaitu status kesehatan. pengukuran status kesehatan yang lazim digunakan

adalah angka kematian bayi dan umur harapan hidup. Memang kedua indikator ini tidak

hanya dipengaruhi oleh sistem kesehatan, akan tetapi berbagai analisis menunjukkan

bahwa sistem tersebut mempunyai korelasi yang kuat terhadap keluaran status kesehatan.

Dalam Tabel-l disajikan perbandingan data empirik yang di olah dari karya Anderson dan

Paullier, 19998. Introduksi Asuransi Kesehatan 28 HThabrany Tabell Perbandingan model

asuransi, cakupan, biaya dan status kesehatan di berbagai negara maju. Askes %penddk

BiayaRIper Biaya Kes per Negara domi-nan dijamin hari (US$), kapita (US$), IMR, LE,

wntlpria, ASK 1996 1997 1996 1996 Amerika Komers 33,3 1.128 3.925 7,8 79,4/72,7

Australia Sosial 100 242 1.805 5,8 81,1175,2 Austria Sosial 99 109 1.793 5,1 80,2173,9

Belanda Sosial 72 225 1.838 5,2 80,4174,7 Belgia Sosial 99 263 1.747 6,0 81,0174,3 Ceko

Sosial 100 75 904 6,0 77,2170,5 Denmark Sosial 100 632 1.848 5,2 78,0/72,8 Finlandia

Sosial 100 168 1.447 4,0 80,5173,0 Inggris Negara, 100 320 1.347 6,1 79,3174,4 NHS

Islandia Sosial 100 192 2.005 5,5 80,6176,2 Itali Sosial 100 339 1.589 5,8 81,3174,9 Jepang

Sosial 100 83 1.741 3,8 83,6177,0 Jerman Sosial 92,2 228 2.339 5,0 79,9173,6 Kanada

Nasio-nal 100 489 2.095 6,0 81,5175,4 Korea Sosial 100 110 587 9,0 77,4/69,5 Luksemberg

Sosial 100 180 2.340 4,9 80,0173,0 Norwegia Sosial 100 123 1.814 4,0 81,1175,4 Perancis

Sosial 99,5 284 2.051 4,9 82,0174,1 Portugal Sosial 100 249 1.125 6,9 78,5171,2 Selandia

Barn Nasio-nal 100 254 1.352 7,4 79,8174,3 Spanyol Sosial 99,8 343 1.168 5,0 81,6174,4

Turki Sosial 66 73 260 42,2 70,5/65,9 Yunani Sosial 100 144 974 7,3 80,4175,1 Catatan:

RJ= rawat inap, IMR=infant mortality rate, LE=life expectancy. Dari tabe1 tersebut dapat kita

lihat bahwa Amerika yang merupakan satu-satunya negara maju yang menggantungkan

sistem asuransinya pada asuransi komersia1 mempunyai kinerja keuangan yang sangat

maha1, hampir dua kali biaya termaha1 di negara lain, dan 1ebih dari dua kali dari biaya

kesehatan di Jepang dan Jerman yang sarna-sarna memiliki banyak badan penye1enggara

asuransi kesehatan. Bahkan biaya rawat inap perhari di Amerika mencapai 5-10 kali 1ebih

maha1 dibandingkan negara-negara maju 1ainnya yang memiliki pendapatan per kapita

yang tidak jauh berbeda. Jika dilihat cakupan asuransinya, Amerika masih memiliki 17%

penduduk (43 juta jiwa) yang tidak mempunyai jaminan (uninsured). Sementara indikator

makro kesehatan, IMR dan LE, tidak menunjukan status yang 1ebih baik dari banyak negara

atau dari tetangganya Kanada. Data diatas menunjukkan angka-angka cross sectional yang

dapat menunjukkan bias waktu. Apakah tingginya biaya kesehatan di Amerika konsisten dari

waktu ke waktu? Berbagai literatur ekonomi kesehatan menunjukkan konsistensi tersebut.

Tentu saja, kita tidak bisa membandingkan angka-angka ni1ai nominal do1ar tersebut

dengan keadaan di Indonesia. Negara yang kaya memang akan menge1uarkan biaya besar

karena memang biaya hidup tinggi. Suatu ukuran yang dapat memantau beban finansia1

ada1ah besamya biaya kesehatan dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB).

Perkembangan persentase biaya kesehatan terhadap PDB di enam negara OECD, 1970-

1997 te1ah di1akukan oleh Ikegami dan Campbell (1999)9. Hasil penelitian tersebut

disajikan pada Gambar-2. Introduksi Asuransi Kesehatan 29 HThabrany Penelitian kedua

orang tersebut menunjukkan bahwa Amerika secara konsisten menghabiskan biaya

kesehatan sebagai prosentasi terhadap PDB yang terns meningkat tak terkendali.

Dibandingkan dengan Jepang dan Inggris yang memiliki sistem pembiayaan dan

penyediaan kesehatan yang terkendali (bukan managed care) temyata Amerika

menghabiskan jauh lebih besar, baik dalam nilai nominal dolar maupun dalam prosentase

terhadap PDB. Dari enam negara yang dibandingkan, hanya Amerikalah yang

menggantungkan pembiayaan kesehatan yang dominan kepada mekanisme pasar asuransi

kesehatan komersial/ swasta, termasuk berbagai bentuk managed care seperti HMO, PPO,

danPOS. Gambar-2 Perkembangan Biaya Kesehatan (% PDB) di Enam Negara Maju, 1970-

1997 16T~~~~~--=;=7e~~r-------------1 • Amerika 14 • Kanada 12 10 8 6 4 2 o +-------_r------

~r_------,_------_r--------r_----~ ------------------- --- :::: ~:~:- - - - - - - - - -~ - - - - - - - - - -~

-::::::: :~:::: ---------------------------------------------------------------- 1970 1975 1980 1985 1990

1997 Disusun dari data Health Affairs 1.8. Pemberian Benefit Dari segi pemberian atau

pembayaran manfaat kita dapat membagi jaminan asuransi menjadi dua bagian besar, yaitu

pembayaran manfaat dalam bentuk uang atau penggantian uang dan pemberian jaminan

berbentuk pelayanan. Dalam asuransi kesehatan, pembayaran dalam bentuk uang dikenal

dengan nama asuransi kesehatan tradisional yang dapat memberikan penggantian uang

lump sum, sejumlah tertentu (indemnitas) atau sesuai dengan tagihan (reimbursement).

Sedangkan manfaat yang diberikan dalam bentuk pelayanan kini dikenal dengan istilah

populer di Amerika sebagai managed care (pelayanan terkendali). Pemberian jaminan

dalam bentuk uang ataupun pelayanan dapat diberikan baik oleh asuransi kesehatan sosial

maupun asuransi kesehatan komersial. Introduksi Asuransi Kesehatan 30 HThabrany 1.8.1.

Jaminan Uang Tradisi asuransi, termasuk asuransi kesehatan, adalah memberikan

penggantian uang. Undang-undang No.2/92 tentang Asuransi di Indonesia juga mempunyai

definisi yang sarna. Dalarn asuransi kesehatan di masa lalu, dimana provider belum cukup

banyak dan moral hazard belum meluas, jaminan uang berjalan cukup baik. Dalarn praktek,

pemberian jarninan uang sering bermasalah karena mudahnya moral hazard terjadi dan

kesulitan teknis menentukan kebutuhan yang pas. Asuransi mobil di Indonesia juga

seringkali memberikan jaminan dalarn bentuk pelayanan jika mobil yang diasuransikan rusak

karena kecelakaan. Perusahaan asuransi biasanya mengirim mobil yang rusak ke bengkel

tertentu. Prinsip yang sarna digunakan dalam pelayanan kesehatan, dimana pasien hams

mendapat pengobatan atau perawatan di provider tertentu di rumah sakit atau klinik. Bukan

hanya bapel JPKM yang melakukan hal itu, perusahaan asuransi juga melakukan hal yang

sarna. Dalam asuransi kesehatan pemberian jarninan berupa uang hams dikelola lebih rumit

karena kebutuhan tidak selalu pas dengan uang jarninan sementara kebutuhan pelayanan

medis tidak dapat ditunda. Akibatnya permainan kuitansi atau pelayanan mudah

"disesuaikan" yang pada akhimya meningkatkan premi. Penggantian dengan kwitansi

mengundang moral hazard yang lebih tinggi lagi. Pemberian jarninan dalarn bentuk uang

dalam asuransi kesehatan mempunyai berbagai kelebihan dan kekurangan seperti: 1. Tidak

perlu ada kontrak atau kerja sarna dengan Pemberi Pelayanan Kesehatan (fasilitas

kesehatan, provider). Pada asuransi indemnitas dimana peserta dapat mengajukan klaim

berdasarkan kwitansi biaya berobat di rumah sakit tidak diperlukan kontrak khusus antara

perusahaan asuransi dengan provider. Pada umumnya produk indemnitas di Indonesia

hanya menanggung biaya rumah sakit. 2. Pilihan fasilitas kesehatan luas. Akibat tidak

adanya kontrak dengan fasilitas kesehatan, maka peserta atau tertanggung mempunyai

kebebasan memilih fasilitas kesehatan dimana ia akan mendapatkan pengobatan. Pilihan

yang luas ini sangat disukai orang-orang yang menghendaki pelayanan yang sesuai dengan

seleranya. Pada umumnya golongan ekonomi atas, apalagi yang mobilitasnya tinggi, sangat

menyukai asuransi model ini. Pilihan bebas ini dapat diberikan oleh usaha asuransi

komersial maupun asuransi sosial pada asuransi kecelakaan kerja (workers' compensation,

occupational injury, dll). 3. Pembayaran fasilitas kesehatan FFS. Karena jarninan diberikan

dalarn bentuk uang jumlah tertentu atau reimbursement dan tanpa ada kontrak, maka

pembayaran fasilitas kesehatan dilakukan sesuai dengan jasa yang diberikan (fee for

service). Cara pembayaran ini sangat disukai oleh fasilitas kesehatan karena fasilitas

kesehatan tidak perlu menanggung risiko finansiaI. 4. Kepuasan peserta lebih tinggi.

Kepuasan peserta tinggi karena mereka tidak hams mendapatkan pelayanan dari fasilitas

kesehatan yang belum mereka kenaI. Apabila mereka mendapatkan fasilitas kesehatan

yang kurang baik pelayanannya, peserta tidak bisa menyalahkan kepada asuradur.

Introduksi Asuransi Kesehatan 31 HThabrany lIustrasi asuransi kesehatan komersial dan

sosial Contoh asuransi kesehatan sosial. Pegawai negeri golongan IA bergaji Rp 500.000

per bulan dan membayar premi sebesar 2% dari gajinya atau Rp (2/100) x Rp 500.000 = Rp

5.000,- sebulan untuk satu keluarganya, satu istri dan dua anak. Jadi premi perbulan per

orang menjadi hanya sebesar Rp 1.250. Jika salah seorang anggota keluarganya hams

dirawat inap atau hams menjalani cuci darah, maka Askes menjaminnya (dengan tambahan

iur biaya saat ini). Pegawai negeri lain bergolongan IV C dengan gaji sebesar Rp 1.500.000

per bulan. Pegawai ini membayar premi 2% atau (2/100) x Rp 1.500.000,- atau = Rp 30.000

per keluarga per bulan. Karena anaknya sudah besar ia hanya menanggung istrinya. Jika

salah seorang dari keduanya hams rawat inap atau harus hemodialisa, maka Akses

menanggung pelayanan hemodialisa (saat ini dengan iur biaya) yang sarna besarnya seperti

pegawai golongan IA tadi. Contoh diatas menunjukkan adanya subsidi silang antara yang

lebih kaya kepada yang lebih miskin atau dari golongan IVC kepada golongan IA. Contoh

Asuransi Komersial (contoh ini adalah produk yang dijual di Jakarta dan Jawa Barat tanpa

menyebutkan nama perusahaannya). Sebuah perusahaan asuransi menjual paket standar

perawatan kelas III dengan premi Rp 12.500 per orang per bulan dan TIDAK menanggung

hemodialisa. Seorang pegawai atau pedagang bergaji Rp 500.000 dan memiliki dua anak

tidak akan mampu membeli paket ini karena ia hams membayar 4 x Rp 12.500 = Rp 60.000

per bulan. Ini sarna dengan 12% penghasilannya sebulan. Kalau anggota keluarga ini perlu

rawat inap atau hemodialisa, maka ia harus bayar sendiri. Jika ia tidak memiliki uang, maka

ya mungkin nyawa mengancam jiwanya karena tidak ada yang menanggung. Seorang

pengusaha kecil berpenghasilan Rp 5.000.000 sebulan merasa perlu memilki asuransi dan

membeli paket standar diatas. Dia memiliki dua anak dan satu istri juga, maka dia mampu

membayar Rp 60.000,- yang merupakan 1,2% dari penghasilannya. Akan tetapi karena

paketnya tidak menanggung hemodialisa, maka jika anggota keluarganya memerlukan

hemodialisa, perusahaan asuransi tidak menanggungnya. Ia tetap masih hams membayar

seluruh biaya cuci darah yang mungkin menghabiskan seluruh penghasilannya setiap bulan.

Jadi perlindungannya tidak memadai. Sebuah bapel JPKM menjual produknya dengan premi

sebesar Rp 15.000 per bulan dengan paket santunan rawat inap maksimum Rp 500.000 dan

tidak menanggung hemodialisa. Seorang penduduk dengan penghasilan sebesar Rp

500.000 dan mempunyai satu istri dan dua anak, hams membayar 12% penghasilannya (Rp

60.000) sebulan. Jikapun ia memaksakan membeli JPKM, jika ia perlu rawat inap berbiaya

Rp 3.000.000,- maka bapel tersebut hanya membayar Rp 500.000,- saja. Keluarga ini tidak

akan sanggup membayar sisa biaya perawatan yang lima kali lebih besar dari

penghasilannya. Kalau keluarganya perlu hemodialisa sudah pasti keluarga tersebut akan

bangkrut atau keluarganya terpaksa direlakan kembali ke pangkuan Ilahi. Introduksi

Asuransi Kesehatan 32 HThabrany 5. Kepuasan fasilitas kesehatan lebih tinggi.

Pembayaran jasa per pelayanan dan pilihan bebas fasilitas kesehatan memberikan

kepuasan tinggi kepada fasilitas kesehatan tidak ada risiko finansial. Provider yang mampu

memberikan pelayanan baik dan memuaskan akan mendapat lebih banyak pasien. 6. Fraud

atau kecurangan dan abuse atau pemakaian berlebihan sangat tinggi. Baik peserta maupun

fasilitas kesehatan tidak memiliki insentif untuk menggunakan pelayanan lebih sedikit akan

tetapi justeru sebaliknya. Peserta dapat merasa bahwa pelayanan kesehatan dapat mereka

terima dengan tidak perlu membayar. 7. Pengendalian mutu dan utilisasi kepada fasilitas

kesehatan tidak relevan Di Indonesia asuransi yang memberikan jaminan dalam bentuk

uang diberikan oleh perusahaan asuransi, baik yang langsung atau melalui kartu kredit.

Mereka menawarkan asuransi biaya perawatan dan pembedahan kepada pemegang kartu

kredit, selain kepada kumpulan seperti perusahaan. Asuransi kecelakaan Jasa raharja dan

Jaminan Kecelakaan Kerja Jamsostek juga memberikan jaminan dalam bentuk penggantian

uang atau sejumlah uang tertentu. Sebagian program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

(JPK) Jamsostek maupun JPK bagi pegawai negeri juga dapat memberikan penggantian

uang, khususnya untuk pelayanan yang bersifat gawat darurat. 1.8.2. Jaminan Pelayanan 1.

Perlu kerja samalkontrak dengan fasilitas kesehatan. Untuk bisa memberikan jaminan dalam

bentuk pelayanan, maka diperlukan sebuah ikatan kerja sama atau kontrak dengan fasilitas

kesehatan. Tentu saja tidak semua fasilitas kesehatan dapat dikontrak. Untuk itu ada proses

kredensialing. 2. Mengurangi moral hazard dari sisi pesertaipemegang polis. Pemberian

jaminan melalui fasilitas kesehatan yang dikontrak mempunyai dua keuntungan. Pertama,

peserta digiring pada pelayanan yang biayanyaitarifnya sudah disepakati atau diketahui

sehingga lebih mudah memperkirakan biayanya. Kedua, apabila kontrak dengan fasilitas

kesehatan disertai berbagai upaya kendali biaya dan moral hazard, misalnya dengan

pengunaan formularium yang disepakati, maka jaminan pelayanan dapat mengurangi biaya.

Kontrak dengan fasilitas kesehatan, hams disadari, tidak menjamin menghilangkan moral

hazard dari sisi fasilitas kesehatan itu sendiri. 3. Pembayaran fasilitas kesehatan dapat

bervariasi. Dengan melakukan kontrak dengan fasilitas kesehatan, maka terbuka

kemungkinan berbagai cara pembayaran kepada fasilitas kesehatan. Cara pembayaran

dapat dilakukan per jasa pelayanan yang disukai fasilitas kesehatan baik dengan rabat

tertentu atau tanpa rabat. Cara pembayaran lain adalah dengan tarif paket tertentu baik itu

per hari rawat, per tindakan, per diagnosis (di Indonesia belum berkembang), maupun

dengan pembayaran tanggung risiko yang disebut kapitasi. Introduksi Asuransi Kesehatan

33 HThabrany 4. Pilihan fasilitas kesehatan terbatas. Membuat kontrak dengan fasilitas

kesehatan tentu tidak bisa dilakukan terhadap semua fasilitas kesehatan yang ada di suatu

kota tertentu. Akibatnya adalah pilihan fasilitas kesehatan tidak bisa seluas pada pemberian

jaminan dalam bentuk uang atau penggantian biaya. Tertanggung hams memilih pelayanan

pada jaringan fasilitas kesehatan tertentu, paling tidak hams ada insentif agar tertanggung

mau menggunakan jaringan fasilitas kesehatan yang dikontrak. Jika tidak ada insentif

finansial, maka sistem kontrak pelayanan tidak akan berfungsi. 5. Kepuasan peserta menjadi

kurang. Kontrak fasilitas kesehatan yang mengakibatkan pilihan fasilitas kesehatan semakin

terbatas mempunyai potensi keluhan dan ketidak puasan peserta. Apabila ada sedikit saja

pelayanan yang peserta kurang berkenan, maka peserta akan mengeluh atau bahkan

mengadukan hal tersebut. 6. Perlu kendali mutu. Karena kontrak fasilitas kesehatan

memberikan pilihan fasilitas kesehatan terbatas, maka calon peserta hams diyakinkan

bahwa fasilitas kesehatan yang dikontrak mempunyai standar mutu tertentu. Hal ini

menimbulkan kehamsan asuradur melakukan berbagai upaya kendali mutu. Kendali mutu

melalui fasilitas kesehatan ini amat berguna untuk keperluan pemasaran atau kepuasan

peserta, atau memantau tanggung jawab pihak yang dikontrak terhadap berbagai standar.

Kendali mutu ini berlaku untuk semua asuradur yang melakukan kontrak pelayanan. Jadi

kendali mutu bukanlah monopoli organisasi managed care/bentuk JPKM. 7. Pada

pembayaran tertentu, misalnya kapitasi, perlu ada telaah utilisasi (utilization review). Apabila

pembayaran fasilitas kesehatan dilakukan dengan sistem yang berdasarkan risiko seperti

kapitasi, maka terdapat potensi dimana fasilitas kesehatan mengorbankan mutu pelayanan

atau mengurangi jumlah pelayanan yang sehamsnya diterima oleh tertanggung. Oleh

karenanya, cara pembayaran kapitasi secara intrinsik mengharuskan adanya telaah utilisasi.

1.9. Ringkasan Setelah berbagai model asuransi kesehatan dibahas diatas, maka di bawah

ini disajikan ringkasan berbagai aspek yang dapat dihasilkan dari jenis asuransi kesehatan

tersebut dan contoh-contoh yang ada di Indonesia dan di dunia. Introduksi Asuransi

Kesehatan 34 HThabrany Berbagai aspek yang dapat dihasilkan atau difasilitasi oleh

asuransi kesehatan sosial dan komersial ~ Sosial (Wajib) Komersial (Sukarela) Aspek Sifat

gotong royong antar Tua-muda Sehat-sakit golongan Kaya-rniskin Sehat-sakit Seleksi bias

Tidakada Adverse ataufavorable, tergantung keahlian bapel/ asuradur Prerni Not risk-related

Risk-related Biasanya proporsional (%) Biasanya dalarn jurnlah harga terhadap upah

tertentu Paket Sarna untuk seluruh peserta Bervariasi sesuai pilihan peserta KeadilanJ

equity Egaliter, sosial Liberter, individual Pilihan bapel/asuradur Biasanya tidak ada atau

kecil Luas Pilihan provider Umumnya sangat luas Pada model tradisional, umumnya Pada

penerapan teknik managed sangat luas care, pilihan jadi terbatas Pada model managed

care, pilihan terbatas Kemampuan pengendalian biaya Sangat tinggi Sangat rendah

Komnetisi bapel/asuradur Umumnva kecil/rendah Umumnva tinzzi Response pelayanan

medis Pemenuhan kebutuhan medis Pemenuhan perrnintaan medis (medical needs)

(demand) Badan penyelenggara Pemerintah atau quasi pemerintah Bebas (pemerintah atau

swasta) Bersifat nirlaba Bersifat pencari labalnirlaba Pembayaran fasilitas kesehatan

Bervariasi dari kapitasi sampai Bervariasi dari kapitasi sampai fee for service fee for service

Contoh badan asuransi/asuradur dan pemberian manfaat asuransi ~ Asuransi Sosial (wajib)

Asuransi Komersial Manfaat (sukarela) Uang (indemnitas/ Jasa Raharja, JKK Produk Lippo,

Metlife, ING, reimbursement) Jamsostek, Medicare di AS Aetna, Jiwasraya, Bringin, Kartu

kredit, dll, Askes tradisional di AS Pelayanan Askes wajib, JPK Jamsostek, Yang dijual oleh

PT Askes, /managed care AKN Kanada, AKN Taiwan, PT Allianz managed care, AKN

Filipina, AKN Korea, dan bapel JPKM AKN Muangtai, dan askes Di Amerika: Blue

CrosslBlue semua negara maju lainnya Shield, HMO, PPO, POS di dunia (managed care

organizations) AKN= Asuransi Kesehatan Nasional Introduksi Asuransi Kesehatan 35

HThabrany Matriks Pembiayaan dan Penyediaan (delivery) pelayanan kesehatan yang

dilaksanakan berbagai negara di dunia Pembiayaan Penyediaan Publik Swasta Publik

Inggris Indonesia dan negara berkembang lainnya Swasta lCanada, Jerman, Jepang

Amerika dan Taiwan • Jepang dan Jerman. menyerahkan sebagian besar pembiayaan dan

penyediaan kepada sektor swasta, akan tetapi bersifat sosial (nirlaba) yang diatur oleh

pemerintah, sementara Amerika menyerahkan kepada mekanisme pasar {for profit dan not

for profit). • Yang dimaksud dengan pembiayaan publik adalah pembiayaan dari dana

pemerintah atau asuransi sosial/ jaminan sosial Istilah Penting Negara Kesejahteraan

Jaminan sosial Asuransi sosial Public insurance Bantuan sosial Means test Asuransi

komersial Private insurance Asuradur Risk based premium Non-risk related premium Income

based premium Kebutuhan dasar layar (decent basic needs) Kebutuhan dasar kesehatan

Nirlabalnot for profit Pencari laba/For profit Dividen Badanhukum Dana AmanatITrust Fund

Wali amanat Board of Trustees/Majlis Wali Amanat Pengelolaan profesional Insurance/

Asuransi Risiko Telaah utilisasi/utilization review Uncertainty Introduksi Asuransi Kesehatan

36 HThabrany Risk avoidance Risk reduction Risk transfer Risk asumption Risk taker Risk

averter Measurable Quantifiable Populasi homogen Accidental Pure risk Catastrophic Risk

sharing Adverse selection/anti selection Bias selection Favorable selection

Insured/tertanggung Benefitlmanfaat Premi/iuranlkontribusi Sukarela/voluntary

Wajib/mandatory/compulsory Policy holder/pemegang polis Anggota/member Managed care

Kondisional Unilateral Aleatory Adhesi JPKM Gakin JPSBK Deklarasi PBB 1948

Ekstemalitas Social justice Social equity Medicare Market failure Equity egaliter Equity

liberter Pasal 28H UUD 45 amendemen Earmarked tax PT Persero SHU, sisa hasil usaha

PPh21 PPh badan U saha bersama/mutual Introduksi Asuransi Kesehatan 37 HThabrany

Risk pool Portofolio Biaya administrasi fasilitas kesehatan/provider Jasa per pelayanan/fee

for services Organisasi Kesehatan DuniaIWHO Medisup/Medigap Demand Need You get

what you need You get what you pay for Pre existing conditions Non cancellable Profitable

Contigency Profit margin Loading Fairness in health care financing Fundamental human

right Tailor made Antimonopoli Deductible Coinsurance Reimbursement Indemnitas Moral

hazard Workers' compensation Occupational injury Fraud Kredensialing Rujukan 5

Thabrany, Hasbullah. Asuransi Kesehatan di Indonesia. Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan

FKMUI, Depok 200l. WHO. World Health Report 2000. Geneva, 2001 Health Insurance

Association of America (HIAA). Source Book of Health Insurance Data. HIAA, Wahington

D.C., 1999. Depkes RI. Pembinaan Bapel JPKM: Kumpulan Materi. Depkes RI, Jakarta,

1995. Thabrany, H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter

Indonesia, Jakarta, 1999. Depkes Taiwan. Public Health in Taiwan, ROC. Taipei, 1997 2 3 4

6 Introduksi Asuransi Kesehatan 38 HThabrany 7 Shalala, DE dan Reinhardt UE. Interview:

Viewing the US Health Care System from Within: Candid TalkfromHHS. Health Affairs 18(3):

47-55,1999 Anderson, GF. And Paullier, JP. Health Spending, Access, and Outcomes:

Trends in Industrialized Countries; Health Affairs, 18(3):178-192 Ikegami, N dan Campbell,

JC. Health Care Reform in Japan: The Virtue of Muddling Trhouqh; Health Affairs 18(3):56-

75. 8 9 Introduksi Asuransi Kesehatan 39 HThabrany BAB2 Asuransi Kesehatan Pegawai

Negeri Sipil 2.1. Pendahuluan Penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pegawai negeri

sipil (PNS) dan keluarganya saat ini didasarkan atas Peraturan Pemerintah (PP) No 69/91

yang ditanda-tangani Presiden Suharto pada tanggal 23 Desember 1991. Dalam PP

tersebut istilah yang digunakan adalah jaminan pemeliharaan kesehatan, tidak disebutkan

asuransi kesehatan. Kata asuransi kesehatan dapat ditemui pada PP No 2/92 tentang

penunjukkan PT Asuransi Kesehatan Indonesia disingkat PT Askes sebagai badan

penyelenggara program pemeliharaan kesehatan PNS. Istilah asuransi kesehatan yang

disingkat askes digunakan karena istilah tersebut sudah sangat populer di kalangan peserta

pegawai negeri pada waktu badan penyelenggara bemama Perum Husada Bhakti yang

diatur oleh PP 22/1984 tentang Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri Sipil dan

Penerima Pensiun beserta anggota keluarganya. Asuransi kesehatan pegawai negeri sipil

merupakan suatu asuransi sosial yang diikuti oleh seluruh pegawai negeri dan pensiun

pegawai negeri dan merupakan program asuransi kesehatan tertua di Indonesia. Asuransi

sosial lain yang diikuti oleh seluruh peserta adalah asuransi kecelakaan lalu lintas yang

dikelola oleh PT Jasa Raharja. Namun demikian, asuransi kecelakaan tersebut juga

memberikan pertanggungan kematian. Asuransi kesehatan pegawai negeri, yang

selanjutnya disebut askes, juga merupakan satu-satunya asuransi kesehatan yang

mempunyai jumlah kepesertaan mencapai 13,8 juta jiwa. Dalam usianya yang lebih tua dari

usia negeri ini, jika diperhitungkan masa pemberian jaminan bagi pegawai negeri di jaman

penjajahan, telah banyak mengalami perubahan struktural. Meskipun dalam praktek PT

Asuransi Kesehatan Indonesia menawarkan produk produk asuransi kesehatan komersial

yang berbentuk JPKM, dalam Bab ini hanya akan dibahas porsi asuransi kesehatan sosial

(wajib). Porsi asuransi kesehatan komersial yang dijual PT Askes akan dibahas pada Bab 4

tentang JPKM karena kesamaan sifat produk yang dijual PT Askes dengan JPKM. Sistem

asuransi kesehatan wajib ini juga menggunakan teknik-teknik managed care seperti yang

digunakan oleh JPKM. Perbedaannya dengan JPKM adalah bahwa askes PNS ini bersifat

wajib atau merupakan bentuk asuransi sosial sehingga lebih tepat disebut Asuransi Sosial

Kesehatan Terkendali (managed social health insurance). 2.2. Sejarah Di jaman penjajah

Belanda, pegawai negeri yang berkebangsaan Eropa mendapat jaminan kesehatan yang

diatur oleh peraturan pemerintah Belanda (Staatsregeling Nol/34). AskesPNS 40 H

Thabrany Empat tahun kemudian jaminan ini diperluas kepada pegawai pemerintah pribumi

karena protes dari pegawai pribumi. Namun demikian terdapat perbedaan jaminan dimana

bangsa Eropa dan kelas atas pribumi dapat menggunakan fasilitas kesehatan swasta

sedangkan pegawai kelas menengah dan bawah hanya dapat menggunakan fasilitas

pemerintah. Sistem jaminan yang diberikan adalah sistem penggantian atau reimbursement

atas biaya pelayanan kesehatan dengan menunjukkan bukti kwitansi. Pengelola jaminan ini

adalah Departemen Kesehatan beserta kantor kesehatan, inspektur kesehatan, di propinsi.

Pada peri ode awal kemerdekaan yaitu di tahun 1948 sistem penggantian biaya berobat ini

diteruskan dengan tetap mempertahankan dua sistem pegawai tinggi dan rendah, hanya

saja batasannya adalah gaji bulanan 420g. Selain itu pada jaman awal kemerdekaan ini

pegawai dikenakan kontribusi 3% dari biaya yang diajukan sedangkan sisanya mendapat

penggantian dari Depkes, melalui Ikes. Di tahun 1949 setelah uang Indonesia sudah

digunakan, batas gaji diubah menjadi Rp 850 sebulan. Pengelolaan dana untuk penggantian

biaya berobat PNS ini dilakukan oleh Dinas Restitusi Dirjen Bina Waluya. Pegawai yang

sudah memasuki pensiun tidak mendapatkan penggantian biaya berobat. Dapat

dibayangkan bahwa dengan cara penggantian yang didasarkan atas jasa per pelayanan,

maka banyak terjadi penyalah-gunaan dan mendorong timbulnya moral hazard. Pada tahun

1960 Menteri Kesehatan waktu itu mengeluarkan instruksi untuk mengembangkan jaminan

kesehatan ini kepada pensiunan dan pegawai pemerintah dengan nama "Jakarta Pilot

Project" yang memang dimulai di Jakarta. Sistem penggantian biaya diganti dengan sistem

pembayaran langsung kepada PPK dan tidak lagi ada perbedaan antara yang golongan gaji

tinggi dengan golongan gaji rendah. Jaminanpun terbatas pada jaminan rawat inap dan

obat-obatan. Sistem pembayaran masih tetap menggunakan per pelayanan. Birokrasi

pemerintah menyebabkan sistem ini juga tidak efisien. Proyek ini berhasil memperluas

cakupan namun demikian biaya yang hams ditanggung pemerintah terus membengkak.

Padahal sistem ini tidak membayar jasa dokter. Karena jasa dokter tidak dibayar inilah

akhimya sistem ini tidak juga memberikan keadilan yang merata, karena pegawai yang

miskin tidak mendapatkan pelayanan yang sarna dengan pegawai yang kaya yang mampu

membayar dokter. Pilot ini menyebabkan pemerintah defisit sebesar Rp 600 juta pada saat

itu. Sejalan dengan konsep kewajiban masyarakat untuk ikut bertanggung jawab atas

kesehatannya, maka mulai dipikirkan untuk menggalang pembiyaan dari pegawai negeri

sendiri. Pada tahun 1966 Menteri Kesehatan Siwabessy mengeluarkan instruksi

pembentukan Komite "Dana Sakit" dengan iuran dari pegawai negeri sendiri. Dana yang

dihimpun hams digunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan peserta, bukan untuk

mencari laba bagi pengelola. Sayangnya komite tersebut tidak berhasil menelurkan konsep

yang diharapkan. Pada tahun 1968 Menkes kemudian membentuk Panitia Pembentukan

Badan Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun. Pada masa itu

pemerintahan Orde Baru masih mengalami kesulitan keuangan akibat Pemberontak PKI di

tahun 1965. Mulai tahun anggaran 1968/69 pemerintah tidak lagi mengalokasikan dana

untuk penggantian biaya kesehatan pegawai negeri. Pada 18 Maret 1968, Menteri Tenaga

Kerja Awaloedin Djamin membentuk Tim Kerja Kesejahteraan Pegawai Negeri (TKKPN)

setelah upaya memperoleh persetujuan dari Presiden tidak berhasil. Tim ini mendirikan

tonggak sejarah penting AskesPNS 41 H Thabrany berkembangnya asuransi kesehatan

wajib di Indonesia. Modal awa1 ada1ah 50% dana kesejahteraan pegawai negeri yang

se1ama itu te1ah terkumpu1 dari potongan 10% gaji pegawai aktif dan 5% uang pensiun.

Badan hukum pengelola dikuatkan oleh Kepres No 230 tangga1 15 Juli 1968 yang

merupakan cika1 baka1 PT Askes Indonesia. Untuk mendanai program tersebut

dike1uarkan Kepres no 122/68 menetapkan potongan gaji pegawai negeri sebesar 5% untuk

membiayai pemeliharaan kesehatan. Se1ama Pelita I sampai Pelita III atau sejak tahun

1968 sampai tahun 1984, asuransi kesehatan pegawai negeri ini dikelola oleh suatu badan

yang disebut Badan Penye1enggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang berada

di Departemen Kesehatan. luran untuk asuransi kesehatan ini besamya 5% dari gaji pokok.

Pada awa1nya jaminan diberikan dengan bebas dimana peserta dapat memilih fasilitas

kesehatan pemerintah atau swasta dengan pembayaran fee for service. Manajemen masih

sangat sentralistis. Pemakaian berlebihan tentu saja tidak dapat dihindari, tidak heran pada

awa1nya program ini juga menga1ami defisit anggaran. Pada tahun 1970 besamya iuran

dikurangi menjadi hanya 3,89% gaji pokok untuk pegawai aktif sementara pensiunan masih

mengiur 5% dari pensiun yang diterima yang diatur dengan Kepres No. 22170. Sampai

dengan tahun 1973, berbagai upaya pengendalian biaya dan pe1ayanan terus di1akukan

guna menye1amatkan program ini dari kebangkrutan. Bahkan upaya untuk memperluas

program asuransi kesehatan PNS kepada masyarakat non PNS sebenamya sudah mu1ai

dipikirkan pada periode ini. Pada periode yang sama mutu pe1ayanan sudah mu1ai

mendapat perhatian dan karena berbagai standar pe1ayanan dan pengaturan obat sudah

mu1ai di1akukan. Pada tahun 1974, besar iuran dikurangi 1agi dari 3,89% mejadi 2,75% gaji

pokok, pensiunan tetap membayar iuran 5%. Pada tahun 1977 dike1uarkan Kepres No 8177

yang menetapkan potongan iuran sebesar 2% gaji pokok yang berlaku bagi pegawai aktif

dan pensiunan. Sistem kapitasi kepada puskesmas sudah mu1ai diperkenalkan pada tahun

1979 di Jakarta. Se1ama periode ini dasar-dasar pengendalian biaya yang kini dikena1

dengan teknik managed care sudah di1aksanakan oleh BPDPK. Pada tahun 1980 jumlah

anak yang ditanggung dibatasi sebanyak-banyak tiga orang. Untuk meningkatkan

profesionalitas dan mengurangi birokrasi maka pada tahun 1984 pengelolaan asuransi

kesehatan PNS ini mu1ai dipisahkan dari Depkes me1a1ui PP No. 22 dan 23 tahun 1984.

Perubahan bentuk badan ini juga untuk menyesuaikan diri fungsi pengelolaan dana

masyrakat yang tidak bisa dikelola menurut sistem akuntansi pemerintahan yang masih

terikat dengan ICW (Indische Comptabiliteit Wet) yang menghamskan sega1a dana disetor

ke kas negara. Mu1ai tahun 1984 itu BPDPK berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum

Husada Bhakti atau disingkat Perum PHB. Menteri teknis yang mengawasi PHB ini tetap

Menteri Kesehatan. Prakteknya, penye1enggaraan Perum PHB baru di1aksanakan secara

penuh pada 23 April tahun 1986. Di daerah-daerah dibentuk Kantor Cabang yang terus

berkembang seja1an dengan pertambahan jum1ah pegawai negeri. Pada awa1 tahun 1992

jum1ah cabang di se1uruh Indonesia sudah berjum1ah 27 cabang, masing-masing satu

cabang di tiap propinsi. Pada masa PHB ini1ah tenaga-tenaga khusus yang mengerti

masa1ah asuransi kesehatan mu1ai dididik. Untuk pendidikan ini PHB bekerja sama dengan

Pusdiklat Depkes RI, USAID, dan Zieken Fonds Be1anda. Pada masa ini sistem pe1ayanan

terkendali dengan menggunakan teknik-teknik managed care semakin dimantapkan. Daftar

obat yang dijamin disusun berdasarkan Daftar Obat Esensia1 Nasiona1 dan diperkena1kan

dengan nama Daftar P1afon Harga Obat, DPHO, di tahun 1987. Berbeda dengan bentuk

BPDK, pada masa AskesPNS 42 H Thabrany Perum PHB ini sumber dana tidak lagi hanya

bergantung dari iuran peserta akan tetapi sudah dapat ditambahkan dari penghasilan

investasi dana yang belum terpakai. Untuk lebih memberikan keluwesan perusahaan,

menjawab tantangan jaman, dan memenuhi peraturan yang telah dikeluarkan sebelumnya,

maka status PHB ditingkatkan menjadi PT Persero melalui PP No. 6/92 dengan nama PT

Asuransi Kesehatan Indonesia disingkat dengan nama PT Askes. Dengan bentuk Persero

ini, Askes diberikan wewenang untuk memperluas kepesertaan kepada berbagai badan

usaha pemerintah maupun swasta. Pada awalnya kewenangan ini sempat menimbulkan

ketegangan antara PT Askes dan PT Jamsostek yang ditunjuk untuk mengelola JPK untuk

pegawai swasta. Namun setelah komunikasi semakin baik, terdapat saling pengertian yang

baik. PT Askes memang mendapat kemudahan dari PP 14/93 yang mengatur bahwa

perusahaan yang memberikan jaminan lebih baik boleh tidak mendaftarkan diri pada PT

Jamsostek. Bagi mereka yang ingin mengetahui lebih rinci sejarah asuransi kesehatan PNS

ini dapat membaca buku Historical Development PT Askes Indonesia:' 2.3. Peserta Peserta

Askes PNS diatur oleh PP 69/91 sebagai berikut: 1. Peserta adalah Calon dan Pegawai

Negeri Sipil, Penerima Pensiun, Veteran dan Perintis Kemerdekaan. Pegawai negeri sipil

aktif di lingkungan TNI dan Polri dan anggota aktif TNI dan Polri tidak wajib menjadi peserta

Askes karena mereka mendapat jaminan dari sistem jaminan kesehatan bagi TNI dan Polri

yang dikelola Departemen Hankam. 2. Penerima Pensiun meliputi: a. Pegawai Negeri Sipil

yang berhenti dengan hak pensiun; b. Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan

Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Pertahanan Keamanan dan Angkatan

Bersenjata Republik Indonesia yang berhenti dengan hak pensiun; c. Pejabat Negara yang

berhenti dengan hak pensiun; d. Janda atau duda atau anak yatim piatu dari Pegawai Negeri

Sipil, Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia serta Pejabat Negara yang mendapat

hak pensiun 3. Keluarga yang ditanggung meliputi isteri atau suami dari peserta dan anak

yang sah atau anak angkat dari peserta sesuai peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Semua yang tersebut diatas wajib menjadi peserta Askes dengan pembayaran

premi yang dipotong langsung dari gaji atau pensiun mereka. Dengan alasan untuk

meningkatkan efisiensi dan perluasan kepesertaan, pegawai badan usaha dan badan

lainnya serta penerima pensiunnya dapat menjadi peserta Askes dengan cara membayar

premi tersendiri. Masa menjadi peserta dimulai pada waktu iuran dipotong dari gaji seorang

pegawai atau pembayaran premi oleh badan non pemerintah. Masa kepesertaan berhenti

jika iuran atau 1 __ Historical Development PT (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia. PT

Askes. Jakarta, 1995 AskesPNS 43 H Thabrany premi tidak lagi dibayarkan. Peraturan

pemerintah itu juga mengatur kewajiban peserta sebagai berikut: I. Peserta wajib

memberikan keterangan yang sebenarnya tentang jati dirinya beserta keluarganya untuk

penyusunan data peserta. 2. Peserta beserta keluarganya wajib memiliki tanda pengenal diri

yang diterbitkan oleh Badan Penyelenggara, 3. Peserta dan keluarganya wajib mengetahui

dan mentaati peraturan penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan. 2.4. Premi Pegawai

Negeri Sipil, Penerima Pensiun wajib membayar iuran setiap bulan yang besarnya serta tata

cara pemungutannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Besarnya premi yang

ditetapkan Kepres saat ini adalah 2% dari gaji pokok pegawai negeri. Pemerintah sebagai

majikan mulai ikut membayar iuran sebesar 0,5% upah di tahun 2004 dan akan terus

dinaikan secara bertahap. Kewajiban Pemerintah tersebut ditetapkan dengan PP 28/2003.

Sebelum otonomi daerah, pemungutan iuran Askes dilakukan langsung oleh Dirjen

Anggaran Departemen Keuangan dengan cara pemotongan langsung dana gaji pegawai

sebelum gaji tersebut dikirimkan kepada bendaharawan pembayar gaji di berbagai instansi

pemerintah. Setelah masa otonomi daerah, pemotongan gaji dilakukan oleh bendaharawan

pembayar gaji di daerah yang kemudian menyetorkannya ke Dirjen Anggaran. Barulah

kemudian Dirjen Anggaran menyerahkan dana tersebut kepada PT Askes. luran untuk

Veteran dan Perintis Kemerdekaan, ditanggung Pemerintah atas beban Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara. luran atau premi dari badan lainnya yang ikut program

Askes secara sukarela/komersial diatur dan ditagih langsung oleh PT Askes. Dari tabel 2.1

dapat dilihat perkembangan jumlah peserta dan penerimaan premi peserta wajib dari tahun

ke tahun. Jumlah penerimaan premi telah meningkat dari Rp 104 milyar di tahun 1989

menjadi Rp 519 milyar di tahun 1999. Hal ini menunjukkan pertumbuhan penerimaan premi

rata-rata sebesar 17, I % per tahun selama II tahun. Sementara jumlah pegawai dan pensiun

yang menjadi peserta mengalami pertumbuhan dari 3,7 juta pegawai menjadi 5,1 juta

pegawai. Sementara itu jumlah tertanggung telah meningkat dari 11,8 juta di tahun 1989

menjadi 13,7 juta di tahun 1999. Perhatikan bahwa jumlah peserta dan tertanggung

mengalami penurunan di antara tahun 1994-1996. Hal tersebut disebabkan karena

perbaikan sistem informasi sehingga data ganda dapat dikurangi. Selain itu, penurunan

jumlah tertanggung yang cukup drastis disebabkan karena perubahan kebijakan jaminan

jumlah anak yang ditanggung dari tiga orang menjadi hanya dua orang saja. Jumlah premi

yang diterima perkaryawan mengalami kenaikan dari Rp 28.136 di tahun 1989 atau Rp

2.345 per pegawai per bulan menjadi Rp 101.272 tahun 1999 atau Rp 8.349 per pegawai

per bulan. Jika diperhitungkan be saran premi per tertanggung, maka penerimaan premi di

tahun 1989 adalah Rp 8.786 atau Rp 732 per kapita per bulan dan AskesPNS 44 H

Thabrany Rp 37.844 di tahun 1999 atau sebesar Rp 3.154 per kapita per bulan. Tentu saja

jumlah tersebut sangat kecil dibandingkan dengan paketjaminan komprehensifyang hams

dijamin. Jika diperhitungkan dengan nilai konstan 1993, penerimaan premi PT Askes dari

tahun 1992 meningkat dari Rp 193 milyar menjadi Rp 257 milyar di tahun 1997 akan tetapi

kemudian menurun menjadi hanya Rp 175 milyar di tahun 1999. Apabila diperhitungkan

penerimaan premi per pegawai dengan harga konstan, maka penerimaan premi tertinggi

diterima tahun 1993 sebesar Rp 50.756 per pegawai per tahun dan terendah pada tahun

1998 dengan jumlah premi Rp 33.134 per pegawai per tahun. Apabila diperhitungkan

dengan penerimaan premi per kapita per tahun dengan harga konstan 1993, maka premi

tertinggi diperoleh pada tahun 1993 dan terendah juga pada tahun 1998 dengan hanya

12.284 per kapita. Artinya pada tahun 1998, Askes hanya menerima premi sebesar Rp

1.023 per kapita per bulan pada harga konstan 1993. Dengan melihat penurunan premi riiI,

maka dapat dipastikan bahwa pelayanan yang diberikan tidak mungkin mengalami

perbaikan dibandingkan dengan kualitas pelayanan di tahun 1993. Masalah utama

penerimaan premi pegawai negeri adalah kecilnya gaji pokok pegawai negeri yang

menyebabkan juga rendahnya premi yang diterima. Penggajian pegawai negeri

menggunakan sistem penggajian gaji pokok, tunjangan-tunjangan keluarga, jabatan,

tunjangan perbaikan penghasilan, dU., dan penghasilan tambahan dari honor proyek.

Meskipun dalam prakteknya pegawai negeri merupakan kelompok yang relatif lebih kaya

dibandingkan dengan pegawai swasta', premi dari gaji pokok pegawai negeri menjadi sangat

kecil, Karena besarnya premi hanya diperhitungkan dari gaji pokok. Baru pada tahun 2001

ini pemerintah mengubah sistem penggajian "pura-pura" menjadi gaji yang "lebih realistis",

meskipun belum memadai, dengan memasukkan tunjangan ke dalam komponen gaji pokok.

Besarnya penerimaan Askes dengan perubahan kebijakan tersebut diperkirakan dapat

meningkat sampai dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Masalah kedua dari premi Askes ini

adalah kenaikan gaji pokok pegawai negeri tidak selalu mengikuti perubahan biaya

kesehatan atau perubahan harga-harga pelayanan kesehatan dan obat. Bahkan kenaikan

tersebut tidak dapat ditentukan periodenya. Pada suatu ketika kenaikan gaji dapat berlaku

tiga tahun sekali akan tetapi pada waktu lain bisa terjadi perubahan kenaikan gaji setahun

setelah perubahan gaji sebelumnya. 2 Thabrany, H. Pegawai Negeri Memang Lebih Kaya.

Kompas 1996. AskesPNS 45 H Thabrany TabeI2.1. Perkembangan peserta wajib dan

besarnya iuran per peserta dan tertanggung PT Askes Indonesia, 1989-1999 Penerimaan

Premi premi (Rp Jumlah peserta /peserta /th Jumlah Premi/tertanggung/ Tahun [uta)

(pegawai) I(Rp) tertanazuna th (Rp) 1989 104.132 3.701.024 28.136 11.852.220 8.786 1990

112.232 4.021.075 27.911 12.486.084 8.989 1991 112.220 4.241.556 26.457 13.304.182

8.435 1992 179.500 4.446.110 40.372 13.951.215 12.866 1993 241.787 4.763.733 50.756

14.162.680 17.072 1994 268.800 5.075.329 52.962 18.449.601 14.569 1995 292.266

5.326.994 54.865 15.783.935 18.517 1996 318.319 5.513.026 57.739 16.478.587 19.317

1997 418.507 5.451.267 76.772 15.853.439 26.398 1998 475.919 5.034.450 94.532

13.579.991 35.046 1999 519.169 5.126.474 101.272 13.718.754 37.844 Diolah dari

berbagai sumber Buku Kegiatan Perasuransian 1995-1999, dan Buku Historical

Development PT Askes 19953. Tabel2.2 Penerimaan premi PT Askes Indonesia tahun

1992-1999 menurut harga konstan 1993 Penerimaan Premi /pegawai/ Premi /kapita Tahun

premi (Rp jt) tahun (Rp) /tahun (Rp) 1992 193.011 43.411 13.835 1993 241.787 50.756

17.072 1994 244.364 48.147 13.245 1995 243.555 45.721 15.431 1996 243.549 44.177

14.780 1997 257.068 47.158 16.215 1998 166.814 33.134 12.284 1999 175.099 34.156

12.763 3 __ Laporan Kegiatan Usaha Perasuransian Indonesia, 1995. Direktorat Asuransi,

Depkeu RI, 1996 ___ Laporan Kegiatan U saha Perasuransian Indonesia, 1999. Direktorat

Asuransi, Depkeu RI, 2000 AskesPNS 46 H Thabrany 2.5. Paket laminan Secara teori, PT

Askes hams memberikan jaminan yang disebut komprehensif meliputi upaya peningkatan!

promosi, pencegahan, penyembuhan, dan pemulihan kesehatan. Namun dalam prakteknya,

jaminan yang diberikan lebih ditekankan pada penyembuhan dan pemulihan dengan

mengenakan iur biaya (cost sharing) yang cukup besar, meskipun pelayanan diberikan di

dalam jaringan PPK yang ditunjuk. Dalam Pasal 12 PP 69/91 memang disebutkan bahwa "

Semua biaya yang melebihi standar pelayanan dan tarif sebagaimana yang ditetapkan

Menteri Kesehatan menjadi beban dan tanggung jawab peserta". Menyadari bahwa iuran

peserta tidak akan mencukupi untuk membiayai jaminan yang hams disediakan oleh PT

Askes, maka peraturan menggariskan bahwa jaminan tersebut terutama diberikan di PPK

pemerintah, dengan sistem pelayanan terstruktur. Peserta hams menggunakan pelayanan

puskesmas dulu sebelum bisa mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan di rumah sakit

pemerintah, dan beberapa RS swasta yang bersedia. Untuk mencukupi pembiayaannya,

maka tarif ke puskesmas dan RS pemerintah yang hams dibayar oleh PT Askes ditetapkan

oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri

Kesehatan. Tarif yang hams dibayar PT Askes kepada PPK pemerintah, khususnya RS,

ditetapkan secara nasional dengan memberikan pembagian kelas RS. Tarif untuk RS tipe B

lebih mahal dari tarif untuk RS tipe C dan D. Perbedaan biaya dan tarif Perda (Peraturan

Daerah) antar daerah tidak terakomodir. Akibatnya, RS di kota besar dimana tarifPerda dan

tarif yang ditetapkan sendiri oleh RS (untuk perawatan di kelas II dan kelas I) banyak

mengeluh akibat rendahnya tarif SKB. Beberapa RS di kota kecil dimana Perda menetapkan

tarif yang amat rendah, tarif SKB bisa jadi lebih tinggi dari tarif Perda atau tarif yang

ditetapkan RS sendiri. Akan tetapi untuk RS di kota besar, tarif SKB bisa jadi sangat jauh

dari tarif Perda atau tarif yang ditetapkan RS. Akibatnya RS merasa mendapat beban dalam

melayani pasien Askes dan karenanya pelayanan kepada peserta Askes dinilai kurang

mendapat perhatian. Hal ini menimbulkan banyak keluhan, khususnya dari kalangan kelas

menengah. Berbagai survei kepuasan peserta baik yang dilakukan oleh Askes maupun oleh

pihak lain menunjukkan sebagian besar (84-97%) peserta merasa puas dengan berbagai

tingkat pelayanan. Namun demikian, penilaian hasil survei hams dikaji lebih dalam

bagaimana pengukuran dan bagaimana data kepuasan peserta diperoleh. Selanjutnya pada

era persaingan ketat sekarang ini, berbagai usaha mentargetkan kepuasan 100% untuk

mampu bersaing. Pemeriksaan dan pengobatan rawat jalan pertama hams dilakukan di

puskesmas. Setiap pegawai negeri yang telah mendaftarkan diri dan keluarganya sebagai

peserta Askes, dengan membawa bukti-bukti bahwa yang bersangkutan adalah pegawai

negeri, memilih satu puskesmas dimana ia dan keluarganya akan berobat. PT Askes telah

melakukan kontrak pembayaran kapitasi kepada Dinas Kesehatan untuk memberikan

pelayanan rawat jalan tingkat I di puskesmas. Obat-obatan yang dibutuhkan disediakan di

puskesmas dan harga obat ini sudah diperhitungkan dalam kontrak pembayaran kapitasi.

Apabila dokter di puskesmas menilai perlu perawatan mjukan, maka dokter akan memjuknya

ke RS terdekat. Dalam prakteknya, khususnya di kota besar, banyak peserta yang datang ke

puskemas hanya AskesPNS 47 H Thabrany meminta surat rujukan ke rumah sakit. Dengan

cara ini , seluruh pegawai negeri yang tinggal di berbagai kota dan desa, misalnya guru-guru

SD dan petugas puskesmas sendiri, akan mendapatkan pelayanan di puskesmas di seluruh

tanah air. Di Puskesmas tersebut merupakan pelayanan kesehatan dasar. Namun demikian,

menurut PP 69/91, pelayanan kesehatan dasar dapat juga diberikan oleh dokter umum,

dokter gigi, balai pengobatan, balai kesehatan ibu dan anak (BKIA) , rumah bersalin dan

sarana kesehatan dasar lainnya. Hanya saja, untuk asuransi kesehatan wajib ini, pelayanan

oleh dokter umum belum bisa dilakukan secara luas karena minimnya biaya kapitasi. Uji

coba sudah dilakukan di Jawa Timur atas biaya dari Proyek Kesehatan IV Depkes, akan

tetapi perluasan penggunaan dokter umum praktek sore atau dokter keluarga belum

dilakukan. Padahal jika premi cukup memadai, sistem pelayanan melalui dokter keluarga

akan sangat besar pengaruhnya tehadap efisiensi sistem kesehatan di Indonesia.

Pelayanan kesehatan rujukan adalah pelayanan kesehatan yang diberikan melalui sarana

pelayanan kesehatan rujukan antara lain dokter spesialis, dokter gigi, rumah sakit, dan

sarana pelayanan kesehatan spesialistik lainnya. Termasuk dalam pelayanan kesehatan

tersebut diatas adalah pelayanan persalinan yang diberikan oleh pusat kesehatan

masyarakat (puskesmas), balai pengobatan ibu dan anak (BKIA), rumah bersalin dan

rumah-rumah sakit. Rawat jalan rujukan dapat diperoleh di rumah sakit terdekat, pada

umumnya rumah sakit pemerintah daerah, pusat, atau rumah sakit tentara atau Polri. Di

rumah sakit, pasien Askes sehamsnya diperiksa oleh spesialis yang diperlukan. Namun

dalam praktek di daerah, pemeriksaan rawat jalan rujukan tidak selalu dilakukan oleh

spesialis yang diperlukan karena ketiadaan tenaga spesialis tersebut. Apabila dalam

pelayanan rujukan diperlukan pemeriksaan laboratorium, radiologi, atau tindakan medik lain,

maka dokter spesilis di rumah sakit dapat merujuk pasien ke dokter atau sarana lainnya. Hal

ini disebut rujukan II. Pemeriksaan atau tindakan medik penunjang yang ditanggung antara

lain berbagai pemeriksaan laboratorium yang diperlukan, pemeriksaan radiologi sampai CT

Scan. Namun pemeriksaan CT Scan hanya dibatasi untuk CT Scan kepala satu kali,

sementara CT Scan organ tubuh lainnya tidak dijamin. Perawatan dengan menginap di

rumah sakit dapat dilakukan di rumah sakit pemerintah, termasuk rumah sakit tentara dan

Polri, atau di rumah sakit swasta yang ditunjuk. Pasien hams mendapatkan surat rujukan

dari dokter puskesmas. Untuk pegawai negeri golongan I dan II kelas perawatan yang

diberikan adalah kelas III di rumah sakit pemerintah. Sementara untuk untuk golongan III

diberikan perawatan di kelas II, dan untuk golongan IV diberikan perawatan di kelas I RS

pemerintah. Lama hari perawatan secara teori tidak dibatasi. Namun peserta hams

membayar cost sharing untuk lama hari perawatan yang melebih 180 hari sesuai kelasnya.

Tindakan bedah mencakup berbagai tindakan bedah kecil sampai bedah besar seperti

bedah jantung dijamin sesuai dengan tarif yang ditetapkan Menteri. Untuk kasus bedah

jantung, sesuai dengan SK Menkes, PT Askes hanya memberikan penggantian maksimum

sekitar Rp 50 juta rupiah. Apabila biaya perawatan temyata melebihi dari yang dijamin PT

Askes, misalnya karena peserta meminta perawatan di kelas yang lebih tinggi atau

menerima obat yang di luar daftar DPHO, maka peserta hams membayar kelebihan

biayanya. Yang dimaksud dengan AskesPNS 48 H Thabrany kelebihan biaya yang menjadi

tanggung jawab peserta adalah apabila peserta mempergunakan pemeliharaan kesehatan

yang melebihi standar pelayanan kesehatan. Karena standar pelayanan ini tidak tersedia

secara luas dan tidak dipahami oleh para peserta, seringkali dalam penerimaan rawat inap---

khususnya di kota besar, seorang peserta hams membayar cukup mahal. Beberapa keluhan

peserta dan RS menyampaikan bahwa biaya yang dijamin oleh PT Askes, sesuai dengan

SKB Menteri, hanya menutupi sekitar 20% biaya saja. PT Askes sendiri secara jujur

mengakui bahwa penggantian biaya sesuai SKB memang jauh dari biaya yang dibutuhkan

untuk memberikan pelayanan. Pada saat buku ini ditulis, perubahan tarif lama yang sudah

berlangsung sekitar tiga tahun untuk Askes sedang dalam proses. Sejalan dengan

perubahan sistem gaji pokok PNS, maka diharapkan tahun 2001 ini penerimaan premi PT

Askes akan meningkat tajam dan karenanya pembayaran ke RS dapat ditingkatkan. Pada

sistem penggantian biaya rumah sakit sekarang ini, praktis nilai asuransi PNS menjadi

sangat kecil. Sebab dalam banyak hal, besarnya selisih biaya yang hams ditanggung

peserta bisa lebih besar dari biaya yang ditanggung Askes. Obat-obat yang diperlukan

diresepkan oleh dokter rumah sakit. Pasien mengambil obat-obat tersebut di apotik yang

ditunjuk. Jika obat-obat yang diresepkan termasuk dalam Daftar Pelafon Harga Obat

(DPHO) maka pasien tidak perlu membayar lagi. Namun apabila obat yang diresepkan tidak

termasuk dalam DPHO, maka pasien hams membayar sendiri. Daftar obat Askes

dikembangkan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian klinik dan farmakologik untuk

menjamin bahwa obat-obat yang masuk dalam DPHO adalah obat-obat yang secara

esensial dibutuhkan oleh peserta dalam berbagai kasus penyakit yang diderita. Obat DPHO

bukanlah obat generik, akan tetapi obat yang dibutuhkan dapat diberikan dengan harga

yang memenuhi plafon tertentu. Bisa jadi suatu obat bermerek lokal, mee too drug, yang

oleh pasien dianggap sebagai obat paten masuk dalam DPHO. Obat penyakit kanker juga

termasuk dalam daftar obat yang ditanggung Askes. Sebenarnya obat-obat yang tidak

termasuk dalam DPHO akan tetapi mutlak dibutuhkan oleh pasien masih dapat ditanggung

asal ada surat keterangan dokter bahwa obat tersebut secara medis dibutuhkan. Misalnya

sebuah antibiotik mahal bisa ditanggung untuk suatu kasus penyakit infeksi, apabila dari

hasil uji sensitifitas obat (kultur) temyata obat tersebutlah yang bisa menyembuhkan.

Tindakan hemodialisa, cuci darah, dan transplantasi ginjal juga ditanggung oleh Askes. Hal

ini tentu saja membuat biaya yang sedikit itu menjadi sangat kurang jika sebagian besar

biaya semua pelayanan hams ditanggung. Biaya untuk tindakan hemodialisa saja saat ini

sudah melampaui Rp 30 milyar setahun. 2.6. Kinerja Dalam usianya yang melebihi 30 tahun,

termasuk ketika menjadi BPDPK, PT Askes telah mengalami pasang surut yang cukup

bervariasi. Sebagai perusahaan asuransi, Askes hams menunjukkan kemampuan

solvabilitas keuangan yang memadai untuk memenuhi berbagai kewajibannya. Sebagai

suatu asuransi kesehatan sosial yang menerapkan prinsip prinsip managed care PT Askes

hams mampu mengendalikan biaya berapapun besarnya penerimaan. Jika di dalam

pembahasan mengenai premi telah digambarkan bahwa premi yang diterima sangat kecil

bila dibandingkan dengan kewajiban Askes untuk menanggung AskesPNS 49 H Thabrany

begitu 1uas pe1ayanan, maka di bawah ini disajikan rasio klaim terhadap premi dan

terhadap penerimaan total. Penerimaan PT Askes bersumber dari penerimaan premi dan

dari penerimaan investasi dan penerimaan lain-lain. Sejak sebe1um menjadi PT Askes,

dana-dana cadangan teknis dan ke1ebihan dana (sete1ah dipotong pajak penghasi1an

badan, tantiem atau bonus bagi pengelola, dan dividen kepada pemerintah) disimpan

da1arn bentuk berbagai instrumen investasi. Tarnpak pada garnbar 2.1 perkembangan aset,

investasi, dan cadangan teknis PT Askes dari tahun ke tahun. Hams disadari disini bahwa

berkembangnya aset dan investasi sejak tahun 1993 antara lain juga ikut dipengaruhi oleh

perkembangan bisnis asuransi komersia1nya, meskipun jumlahnya masih jauh 1ebih keci1

dibandingkan dengan aset dan investasi dari program sosia1nya. Tarnpak bahwa di tahun

1993 PT Askes te1ah memiliki aset sebesar Rp 400 mi1yar dengan investasi sebesar Rp

353 mi1yar. Cadangan teknis yang dikelola pada saat itu berjumlah Rp 115 mi1yar. Pada

tahun 1999 aset PT Askes te1ah berkembang menjadi Rp 702 mi1yar dan investasi sebesar

Rp 610 mi1yar. Cadangan teknis di tahun 1999 mencapai harnpir Rp 256 mi1yar. Melihat

kinerja keuangan tersebut, Sampai tahun 1999 PT Askes masih mempunyai kinerja

keuangan yang baik, yang da1arn kriteria pemeriksa pemerintah (BPKlBPKP) masuk

kategori sehat. Gambar 2.1 Perkembangan aset, investasi, dan cadangan teknis PT Askes

Indonesia 1993-1999 1993 1994 1995 1996 Tahun 1997 1998 1999

800.-------------------------------------------------. 600 f3 Aset m Investasi EI Cad Tek ~ ~ ~400 ~

200 o Sumber: Berbagai Laporan Kegiatan Usaha Perasuransian Indonesia, 1993-1999.

Apabi1a dilihat dari kemampuan PT Askes mengendalikan biaya, maka tarnpaknya Askes

masih mampu mengendalikan biaya pe1ayanan. Perkembangan penerimaan premi menurut

harga berlaku hanya tumbuh rata-rata sebesar 17,1 % setahun se1ama kurun waktu 1989-

1999, akan tetapi perkembangan biaya kesehatan se1arna periode yang sarna tumbuh

dengan rata-rata sebesar 19,2% setahun. Perkembangan biaya kesehatan tersebut te1ah

memperhitungkan berbagai upaya pengendalian biaya. Ke1arnbatan pertumbuhan

penerimaan premi ini dapat ditutupi dengan penerimaan lain-lain seperti hasi1 investasi.

Da1arn kurun waktu lima be1as tahun 1ebih, 1984-1999, Askes PNS mempunyai rasio klaim

terhadap AskesPNS 50 H Thabrany penerimaan premi tahun yang sarna berkisar antara

54,5% sampai 93,3%. Rasio terendah terjadi di tahun 1993 sedangkan rasio tertinggi terjadi

di tahun 1991. Rata-rata rasio klaim terhadap penerimaan premi selama kurun waktu

tersebut adalah 72,1%. Cukup menggembirakan bahwa selama krisis ekonomi berlangsung

di Indonesia, khususnya tahun 1998 -1999, rasio klaim terhadap premi masih dapat ditekan

sampai 76,7% dan 82,4%. Pada kolom ketiga disajikan data rasio klaim terhadap total

pendapatan Askes. Tampak bahwa jika dilihat dari kinerja keuangan saja, Askes memiliki

kinerja yang baik karena rata-rata selama 15 tahun tersebut Askes hanya menghabiskan

60% dana yang diterima untuk biaya kesehatan. Jika dilihat dari kedua rasio klaim tersebut,

Askes sehamsnya masih mampu memberikan pelayanan yang lebih baik kepada

pesertanya. Rasio klaim tersebut baik untuk program asuransi komersial yang tentu saja

hams membukukan keuangan yang memadai bagi pemegang saham. Rasio klaim ini sangat

jauh lebih rendah dari rasio klaim kebanyakan program asuransi sosial di negara lain. Selisih

antara penerimaan premi dan klaim dikenal dengan biaya administrasi untuk program

asuransi sosial. Jadi selama 15 tahun, rata-rata biaya administrasi adalah 27,9% dari premi

yang diterima. Angka ini jauh lebih tinggi dari biaya administrasi asuransi sosial di Amerika

(Medicare) yang 4%, Medicare Canada juga 4%, asuransi kesehatan nasional di Taiwan

bahkan hanya 3%, dan asuransi kesehatan sosial pluralistik di Jerman hanya menghabiskan

5% biaya administrasi", Besarnya prosentasi biaya administrasi dipengaruhi oleh besaran

premi yang diterima. Semakin besar premi yang diterima akan semakin kecil porsi biaya

administrasi. Di negara-negara maju dimana besaran premi sudah diperhitungkan dengan

baik dan dibuat untuk memberikan pelayanan yang memadai, maka rasio biaya administrai

akan jauh lebih rendah. Sayangnya di Indonesia belum ada standar berapa biaya

administrasi yang layak untuk suatu program asuransi sosial. 2.7. Upaya Pengendalian

Biaya dan masalah yang dihadapi Peraturan pemerintah menghamskan badan

penyelenggara, dalam hal ini PT Askes, terus mengembangkan sistem guna memenuhi

kebutuhan pelayanan kesehatan pesertanya. Untuk itu, peraturan ini memberikan pedoman

pembayaran PPK dan penarikan dana melalui berbagai cara seperti iuran biaya (co

payment, cost sharing), pembayaran berdasarkanjumlah peserta (sistem kapitasi), sistem

anggaran! budget, sistem tarif berdasarkan kelompok pelayanan (sistem paket), dan tarif

berdasarkan diagnosa (DRG). Oleh karenanya PT Askes telah melaksanakan berbagai uji

coba sistem pembayaran kapitasi parsial, kapitasi "total" dan pembayaran sistem paket.

Pembayaran kapitasi total yang diselenggarakan oleh Askes belumlah merupakan

pembayaran kapitasi total yang kita kenaI di Amerika. Sebab pembayaran kapitasi total yang

dilakukan Askes tidak mentransfer risiko sepenuhnya kepada PPK. Dalam pembayaran

sistem kapitasi total Askes, Dinas Kesehatan diberikan plafon untuk pembayaran rawat jalan

rujukan dan rawat inap. Pembayaran ke rumah sakit tetap dilakukan oleh PT Askes. Dinas

Kesehatan hanya mendapat bonus jika jumlah rujukan tidak 4 Thabrany, H. Kegagalan

Asuransi Kesehatan Komersial. MKI, Juni 2000. AskesPNS 51 H Thabrany melampuai target

tertentu. Hal ini tentu saja tidak memberikan risiko berarti bagi Dinas Kesehatan untuk

mengendalikan biaya. Selain itu, para dokter dan manajer (kepada Dinas) juga tidak

mendapat insentif yang memadai untuk mengendalikan biaya karena biaya yang diterima

Puskesmas bukanlah menjadi hak mereka. 01eh karenanya sistem pembayaran kapitasi

yang dilakukan Askes tidak memberikan pengendalian biaya yang besar seperti yang

diharapkan terjadi secara teori atau yang terjadi di negara-negara maju. Namun demikian,

sistem kapitasi ini telah memberikan penurunan tren kenaikan biaya seperti yang dilaporkan

Sulastomo.' Tabel2.3 Perkembangan rasio klaim (biaya kesehatan) terhadap premi diterima

dan terhadap total pendapatan PT Askes, 1984-1999 Rasio Rasio klaim klaim/premi /total

Tahun diterima pendatan 1984 68,1% 62,3% 1985 83,0% 75,2% 1986 63,6% 57,3% 1987

70,3% 59,1% 1988 65,5% 52,2% 1989 72,2% 56,1% 1990 83,3% 67,3% 1991 93,3% 66,9%

1992 67,1% 53,2% 1993 54,5% 45,6% 1994 64,0% 54,7% 1995 66,9% 58,1% 1996 73,1%

61,8% 1997 68,8% 63,4% 1998 76,7% 61,1% 1999 82,4% 65,8% Rata-rata 72,1% 60,0%

Pembayaran prospektif yang digariskan oleh PP tersebut mengandung konsekuensi

pengorbanan mutu pelayanan dan utilisasi. Hal ini sudah diantisipasi dan karenanya PPK

yang dikontrak diharuskan memberikan pelayanan kesehatan sebaik-baiknya sesuai dengan

kebutuhan medis. Tentu saja karena pelayanan diberikan di fasilitas pemerintah dan dikelola

5 Sulastomo. Sistem Pembayran Kapitasi di PT Askes. Dalam Thabrany H dan Hidayat B

(Ed). Pembayaraan Kapitasi. FKMUI, Depok, 1998. AskesPNS 52 H Thabrany oleh pegawai

negeri, seharusnya hal itu tidak terjadi. Namun dalam praktek tentu bisa dimaklumi jika tidak

semua tenaga kerja di PPK memahami peraturan ini. Dalam prakteknya, banyak keluhan

peserta yang merasa tidak diberi penjelasan tentang hak-haknya. Sebenarnya dalam

peraturan disebutkan bahwa peserta berhak memperoleh penjelasan dari Pemberi

Pelayanan Kesehatan. Namun tidak semua PPKjuga memahami apa yang terjadi pada

sistem asuransi kesehatan pegawai negeri. Banyak tenaga kerja di PPK bahkan direktur RS

yang selalu mengeluh bahwa mereka dibayar dengan tidak memadai, dan tentu saja hal

berpengaruh pada pelayanan yang mereka lakukan. Falsafah dasar pembayaran Askes

kepada PPK diatur oleh SKB Menkes dan Mendagri adalah untuk mencukupi iuran yang

memang disadari tidak memadai. Surat ketetapan tarif ini bersifat nasional dengan

pengelompokan jenis RS bukan daerah. Pada kota-kota besar, biaya pelayanan jauh lebih

mahal karena memang tuntuan tenaga kerja di rumah sakit, fasilitas, dan biaya-biaya

operasional jauh lebih tinggi dari biaya rumah sakit sejenis di daerah. Tentu saja

pembayaran yang sama antara rumah sakit di kota besar dan di daerah menimbulkan

kesenjangan. Rumah sakit di kota pada umumnya tidak puas dengan besarnya penggantian

dari Askes sementara RS di kota kabupaten tidak mempersoalkan, bahkan bisa jadi lebih

senang dengan pembayaran Askes. Banyak dearah yang mematok tarif Perda perawatan,

pemeriksaan penunjang, dan tindakan medis yang sangat rendah, dengan harapan biaya

tersebut dapat terjangkau oleh semua pihak. Pada masa otonomi daerah, pembayaran

dengan tarif SKB menjadi masalah karena kini RSUD merasa tidak ada kaitan struktural

kerja dengan Depdagri atau Depkes. Oleh karenanya SKB Menkes dan Mendagri yang

mengatur pembayaran Askes ke RSUD dinilai tidak lagi cocok. Untuk RSUD di daerah yang

secara historis menetapkan tarif yang relatif rendah, pembayaran Askes mungkin tidak jadi

masalah. Akan tetapi RSUD di kota besar yang ingin mendapatkan pemulihan biaya (cost

recovery rate) yang memadai, bisa jadi tarif yang ditetapkan jauh lebih tinggi dari

kemampuan Askes membayar. Oleh karenanya mulai ada suara-suara yang tidak menerima

tarif SKB. Namun demikian, sampai saat ini hal tersebut belum sampai pada penolakan

pasien Askes. Jalan keluar yang dikeluarkan oleh PT Askes adalah dengan memberikan

kewenangan kepada RS untuk menagih langsung selisih biaya antara tarif RS dengan

besarnya biaya yang dibayar Askes kepada pasien. Hal ini memang tidak bertentangan

dengan PP 69 karena memang disitu iur biaya dibenarkan. Namun yang menjadi masalah

adalah berapa besarnya iur biaya tersebut. Di negara-negara lain iur biaya biasanya

terbatas sebagai alat kendali utilisasi tetapi tidak memberatkan peserta. Di Amerika dan

Jepang, iur biaya biasanya berkisar pada 20-30% saja dengan batas maksium tertentu.

Namun dalam kasus Askes banyak keluhan bahwa iur biaya menjadi besar sekali, lebih

besar dari yang dijamin oleh Askes. Jika hal ini terus berlanjut asuransi menjadi tidak ada

manfaatnya. Dalam perjalanan Askes yang melampaui usia 30 tahun, banyak terjadi

perubahan demografis dan epidemiologis pada peserta. Penyakit kronis semakin meningkat

sementara iuran dihitung atas dasar pola penyakit lama yang masih lebih banyak penyakit

menular. Pengobatan penyakit kronis memakan waktu lama dan memakan biaya yang jauh

lebih besar daripada pengobatan penyakit menular. Sebagai ilustrasi dapat dilihat

perkembangan kasus AskesPNS 53 H Thabrany gaga1 ginja1 dan tindakan hemodialisa

(Tabe1 2.3) yang menunjukkan kenaikan pesat dari tahun ke tahun. Kasus- kasus seperti ini

dapat menyerap dana sampai 10% dari total biaya kesehatan. 01eh karenanya sehamsnya

besaran premi disesuaikan dengan perkembangan po1a penyakit tersebut. Apabi1a ha1 ini

tidak di1akukan sementara PT Askes masih tetap berbentuk PT Persero, maka manfaat

Askes kepada pesertanya akan semakin menurun. Table 2.3 Tren kenaikan jumlah

penderita gagal ginjal dan tindakan hemodialisis 1989-1994 Tahun Jum1ah Jumlah

penderita tindakan 1989 481 23.882 1990 800 32.336 1991 1.059 42.511 1992 1.327 53.735

1993 1.567 65.015 1994 1.740 80.421 Upaya pengendalian biaya me1a1ui negosiasi

dengan rumah sakit dan puskesmas atau menghimbau dokter spesialis menggunakan obat

yang 1ebih rasiona1 menghadapi berbagai kenda1a. Salah satu kenda1a penting ada1ah

bentuk badan hukum PT Persero yang tidak seja1an dengan penye1enggaraan asuransi

sosial. Sejak awa1 Menteri Siwabessy mengharapkan pengumpu1an dana asuransi

kesehatan ini bukan untuk cari untung. Namun demikian, pandangan pengambi1 keputusan

pemerintah hanya melihat bahwa bentuk Persero 1ebih mampu meningkatkan mutu

pe1ayanan dan menghasi1kan 1aba tanpa melihat misi utama asuransi sosial. Banyak RS

yang mengatakan bahwa "mas a kami RSU hams mensubsidi PT yang mencari untung?".

Dengan pembayaran RS yang jauh 1ebih rendah sehingga direktur RS hams memutar aka1

menutupi selisih biaya untuk pasien Askes berarti RS mensubsidi Askes. Sementara PT

Askes terns membukukan 1aba. Hal ini yang menimbu1kan kecemburuan di ka1angan

pengelola RS pemerintah. Sementara itu, 1aba yang dipero1ah Askes tidak dirasakan

manfaatnya oleh peserta, padaha1 setiap bulan gaji peserta dipotong sebagai premi. Sarna

ha1nya dengan Jamsostek, bentuk Persero ini mernpakan bentuk yang tidak konsisten

sebagai pengelola asuransi sosial. Sehamsnya lab a yang diterima menjadi hak peserta

bukan hak pemerintah, sebagai pemegang saham. Ketidak sesuaian ini sebenamya dapat

dise1esaikan apabi1a PP yang mengatur PT Askes, meskipun berbentuk Persero,

disebutkan khusus sebagai 1embaga not for profit. Contoh ha1 ini terdapat di Filipina

dimana the Philippine Health Insurance Corporation je1as-je1as disebutkan sebagai

1embaga nir1aba. AskesPNS 54 H Thabrany BAB3 lPK lamsostek 3.1. Pendahuluan

Program Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) merupakan suatu program jaminan yang

diselenggarakan pemerintah untuk memenuhi Konvensi ILO (International Labour

Organization) tentang hak-hak tenaga kerja yang meliputi program jaminan hari tua (JHT),

jaminan kematian (JKM), jaminan kecelakaan kerja (JKK), dan jaminan pemeliharaan

kesehatan (JPK). Sebagai salah satu negara yang meratifikasi (negara pihak) konvensi

international tersebut yang sudah disepakati hampir setengah abad yang lalu, Indonesia

berkewajiban memenuhi hak-hak tenaga kerja. Dalam pemenuhan hak-hak tenaga kerja

tersebut, Indonesia telah mengeluarkan UU No.3/1992 tentang Jamsostek. Undang-undang

ini dikeluarkan dalam waktu hanya semingga setelah UU No. 2/92, tentang asuransi yang

secara eskplisit memberikan ijin kepada perusahaan asuransi jiwa dan kerugian untuk

menjual produk asuransi kesehatan. Program jaminan sosial merupakan program yang

diselenggarakan oleh semua negara maju di dunia dan merupakan program pemerintah

dalam rangka ketahanan nasional dalam bidang sosial. Luasnya program jaminan sosial

tergantung dari kemampuan ekonomi dan kemampuan umum suatu negara. Organisi tenaga

kerja dunia dalam Konvensi Jaminan Sosial No 102/52 menetapkan sembilan macam

program yang merupakan bagian dari jaminan sosial, yaitu: pemeliharaan kesehatan,

tunjangan sakit, jaminan hamil dan bersalin (maternity benefit), santunan kecelakaan kerja,

tunjangan cacat, tunjangan kematian, tunjangan hari tua, santunan pengangguran, dan

tunjangan keluarga. Secara umum Indonesia sudah hampir memenuhi kesembilan program

tersebut, hanya saja beberapa program digabung menjadi satu. Istilah program JPK yang

digunakan memang tidak lepas dari pengaruh Departemen Kesehatan yang pada saat yang

sama mengembangkan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM)

yang akan dibahas pada Bab 4. Program Jamsostek wajib diikuti oleh seluruh pemberi kerja

(perusahaan, dalam artian seluruh lembaga yang menjalin hubungan ketenaga-kerjaan

termasuk diantranya lembaga seperti yayasan, rumah sakit, sekolah, lembaga swadaya

masyarakat, dsb.). Untuk tahap pertama program ini hanya diwajibkan kepada pemberi kerja

atau majikan yang memiliki 10 orang karyawan atau lebih, atau membayar upah lebih dari

Rp 1 juta per bulan. Jadi pemberi kerja yang hanya memiliki empat orang karyawan tetapi

membayar upah (bukan gaji pokok, tetapi take home pay) lebih dari Rp 1 juta untuk keempat

karyawan tersebut, wajib mengikut sertakan tenaga kerjanya pada program Jamsostek. UU

Jamsostek kemudian dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No 14/93 yang menjabarkan

lebih lanjut tentang program secara rinci. Lebih lanjut, pasal-pasal dalam PP JPK Jamsostek

55 HThabrany tersebut dijabarkan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 5/93. Dalam

UU No 2/92 tidak disebutkan bahwa penyelenggara program Jamsostek adalah PT

(Persero) Jamsostek. Penunjukkan PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara adalah

berdasarkan PP No 36/95. Sebelum PP ini dikeluarkan penyelenggaraan Jamsostek

dilaksanakan oleh PT Astek yang merupakan pendahulu PT Jamsostek. 3.2. Perbedaan lPK

lamsostek dengan Program lamsostek Lainnya Seperti telah dijelaskan diatas, program JPK

Jamsostek adalah bagian dari program jaminan sosial tenaga kerja. Akan tetapi,

dibandingkan dengan tiga program lainnya, program JPK memiliki perbedaan sebagai

berikut: 1. Program JPK merupakan program yang manfaatnya (benefit) diberikan dalam

bentuk pelayanan sementra ketiga program lainnya manfaat diberikan dalam bentuk uang

tunai. 2. Yang menjadi tertanggung (berhak menerima manfaat) tidak hanya tenaga kerja

akan tetapi anggota keluarga tenaga kerja juga berhak memperoleh jaminan 3. Sifat

kepesertaan JPK adalah wajib bersyarat sementra ketiga program lainnya wajib mutlak.

Pemberi kerja yang telah memiliki program JPK yang lebih baik boleh tidak mendaftarkan

karyawannya kepada PT Jamsostek. 4. Besarnya kontribusi/premi antara tenaga kerja lajang

dan tenaga kerja yang telah berkeluarga berbeda besarnya. Untuk tenaga kerja lajang

besamya premi adalah 3% upah sementara untuk tenaga kerja kawin besarnya premi

adalah 6% dari upah sebulan. 5. Terdapat batas penghasilan dimana kontribusi karyawan

dibatasi (cap/ceiling) sampai upah sebesar Rp 1 juta per bulan. Jadi untuk tenaga kerja

kawin yang bergaji Rp 5 juta per bulan besarnya premi adalah Rp 60.000 (6%), sama be

saran premi untuk tenaga kerja bergai Rp 1 juta. 6. Bersama dengan program JKK dan JKM,

program JPK merupakan program berbasis asuransi sosial sedangkan program JHT

berbasis program tabungan. 3.3. Manfaat/Paket laminan lPK lamsostek Pemberian paket

JPK Jamsostek menggunakan teknik-teknik managed care, khususnya HMO di Amerika.

Oleh karena itu, jaminan yang diberikan meliputi aspek promotif, preventif, kuratif, dan

rehabilitatif akan tetapi aspek kuratif dan rehabilitatif lebih ditekankan. Secara singkat paket

jaminan JPK dijelaskan dalam UU menjamin pelayanan sebagai berikut: 1. Rawat jalan

tingkat pertama 2. Rawat jalan tingkat lanjutan/rujukan 3. Rawat inap minimal rawat mondok

satu hari dengan rujukan. Pelayanan rawat inap diberikan di RSU pusat dan daerah dan RS

Swasta yang ditunjuk JPK Jamsostek 56 HThabrany 4. Pemeriksaan kehamilan dan

pertolongan persalinan baik persalinan normal maupun persalinan patologis dan/atau gugur

kandungan 5. Penunjang diagnostik yang dipandang perlu oleh pelaksana pelayanan

kesehatan rujukan yang meliputi pemeriksaan laboratorium, radiologi, dan pemeriksaan

penunjang lain 6. Pelayanan khusus yang meliputi kaca mata, prothese gigi, alat bantu

dengar, prothese anggota gerak, dan prothese mata. 7. Pelayanan gawat darurat yang

merupakan pelayanan yang hams segera dilakukan untuk menghindari hal yang fatal bagi

penderita. Paket jaminan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam PP 14/93 dan dalam

Peraturan Menaker No. 05/Men/1993. Secara rinei jabaran lebih lanjut tentang JPK adalah

sebagai berikut: Table 1. Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek Menurut

Peraturan yang berlaku Paket Diatur PP 14/93, pasal Diatur Permenaker 05/93 pasal 20-40

33-46 Jumlah Istri/suami yang sah dan anak tertanggung sebanyak-banyaknya 3 (tiga)

orang Paketjaminan Semua tertanggung berhak atas paket jaminan dasar diberikan secara

menyeluruh, terstruktur, terpadu, dan berkesinambunzan Pemberian 1. Pelayanan diberikan

oleh Paket rawat jalan tingkat I meliputi pelayanan pelaksana pelayanan pelayanan:

kesehatan (PPK) 1. Bimbingan dan konsultasi berdasarkan petjanjian 2. Pemeriksaan

kehamilan, nifas, dan ibu tertulis dengan PT menyusui Jamsostek 3. Keluarga berencana 2.

PT Jamsostek membayar 4. Imunisasi bayi, anak, dan ibu menyusui PPK secara praupaya

5. Pemeriksaan dan pengobatan dokter dengan sistem kapitasi umum 3. Pelayanan

diberikan sesuai 6. Pemeriksaan dan pengobatan dokter gigi kebutuhan medis dan 7.

Pemeriksaan laboratorium sederhana standar pelayanan dengan 8. Tindakan medis

sederhana memperhatikan mutu 9. Obat DOEN (Daftar Obat Esensial pelayanan Nasional)

Plus 4. Tertanggung dapat 10. Rujukan ke rawat jalan II memilih PPK yang Pelayanan

rujukan meliputi: ditunjuk badan 1. Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter penyelenggara

spesialis 5. Dalam keadaan tertentu 2. Pemeriksaan penunjang diagnostik tertanggung

dapat lanjutan menerima pelayanan dari 3. Obat DOEN Plus atau generik PPK di luar yang

ditunjuk 4. Tindakan khusus lainnya JPK Jamsostek 57 HThabrany Paket Diatur PP 14/93,

pasal Diatur Permenaker 05/93 pasal 20-40 33-46 Pelayanan 1. Pelayanan rawat jalan I 1.

PPK I meliputi: Balai pengobatan, kesehatan diberikan oleh PPK I Puskesmas, dan Dokter

umum praktek rujukan 2. Apabila diperlukan swasta rujukan, maka PPK I hams 2. Peserta

hams memilih satu PPK I dimana memberikan surat rujukan ia akan mendapat pelayanan

tingkat I kepada PPK rujukan yang 3. Pelayanan dokter spesialis memerlukan ditunjuk

rujuan dari PPK I 4. Pelayanan tindakan/pemeriksaan spesialistik memerlukan rujukan dari

dokter spesialis Pelayanan 1. Pelayanan rawat inap yang 1. Pelayanan rawat inap meliputi:

rawat inap melebihi ketentuan pemeriksaan dokter, tindakan medis, Menaker maka selisih

penunjang diagnostik, obat DOEN biayanya hams dibayar Plus/generik, menginap dan

makan sendiri oleh peserta 2. Maksimum rawat inap adalah 60 hari termasuk perawatan

ICU/ICCU untuk tiap jenis penyakit dalam satu tahun 3. Maksimum rawat inap ICU?ICCU

adalah 20 hari 4. Standar rawat inap adalah di kelas II RS pemerintah atau kelas III RS

Swasta Pelayanan 1. Dalam keadaan gawat Termasuk kategori gawat darurat adalah: gawat

darurat darurat tertanggung dapat 1. Kecelakaan/ruda paksa bukan akibat langsung

menerima kerja pelayanan dari PPK 2. Seranganjantung terdekat 3. Serangan asma berat 2.

Apabila diperlukan rawat 4. Kejang inap, maka dalam tempo 7 5. Pendarahan berat (tujuh)

hari peserta hams 6. Muntah berak dengan dehidrasi menyerahkan bukti bahwa 7.

Kehilangan kesadaran/koma termasuk ia masih bekerja ayan 3. Apabila perawatan 8.

Gelisah atau gangguanjiwa diberikan di luar RS yang 9. Persalinan mendadak, perdarahan,

dan ditunjuk, maka jaminan ketuban pecah dini hanya diberikan sampai 7 (tujuh) hari

dengan standar biaya yang ditetapkan JPK Jamsostek 58 HThabrany Paket Diatur PP

14/93, pasal Diatur Permenaker 05/93 pasal 20-40 33-46 Pelayanan 1. Diberikan di rumah

1. Hanya persalinan I, II, dan III yang kehamilan dan bersalin yang ditunjuk ditanggung yang

ditolong dokter persalinan 2. Apabila terdapat umum, bidan atau dukun yang diakui

penyulitlkomplikasi maka 2. Apabila sewaktu masuk Jamsostek pelayanan dapat diberikan

sudah memiliki tiga anak, persalinan diRS tidak lagi ditanggung 3. Persalinan yang

ditanggung adalah jika usia kehamilan mencapai 26 minggu atau lebih 4. Lama menginap

persalinan yang ditanggung adalah antara 3-5 hari, termasuk perawatan ibu dan bayi 5.

Persalinan dengan penyulit yang memerlukan tindakan spesialistik diperhitungkan sebagai

kasus rawat inap biasa 6. Biaya persalinan normal tiap anak Rp 50.000 (1993), Rp 75.00 di

tahun 1997 dankiniRp •... Obat 1. Resep obat hams diambil Obat yang ditanggung adalah

obat yang di apotik yang ditunjuk termasuk dalam DOEN Plus atau generik. 2. Obat yang

diberikan Jumlahjenis obat dalam daftar ini adalah standar obat yang mencakup •.. jenis

obat ditetapkan Jamsostek 3. Apabila obat yang diberikan di luar standar, maka selisih biaya

menjadi tanggungan peserta JPK Jamsostek 59 HThabrany Paket Diatur PP 14/93, pasal

Diatur Permenaker 05/93 pasal 20-40 33-46 Pelayanan 1. Kaca mata hanya diberikan 1.

Tindakan diagnostik yang ditanggung khusus melalui optik yang meliputi pemeriksaan

elektro ditunjuk atas dasar resep ensefalografi (EEG), elektro dr. spesialis mata kardiografi

(BeG), Ultra sonografi 2. Prothese mata hanya (USG), dan computerized tomography

diberikan melalui RS atau scanning (CT-scan). perusahaan alat kesehatan Besamya

maksimum biaya penggantian atas resep dr. spesialis adalah sebagai berikut (1997): mata

2. Frame dan lensa Rp 60.000 3. Prothese gigi diberikan di 3. Lensa tiap dua tahun Rp

30.000 balai pengobatan gigi yang 4. Frame tiap tiga tahun Rp 20.000 ditunjuk atas dasar

resep 5. Prothese mata Rp 100.000 seorang drg. 6. Prothese gigi Rp 100.000 4. Alat bantu

dengar 7. Prothese tangan Rp 125.000 diberikan di RS atau 8. Prothese kaki Rp 150.000

perushaan alat kesehatna 9. Alat bantu dengar Rp 100.000 yang ditunjuk atas dasar 10.

Penggantian prothese dan orthese resep dr. spesialis THT akibat rusak atau hilag tidak

diganti 5. Prothese anggota gerak hanya diberikan di RS Rehabilitasi atas dasar resep dr.

spesialis Lain-lain 1. PT Jamsostek melakukan Pelayanan yang dipantau meliputi angka

pemantauan mutu kunjungan, pemakaian obat, rujukan pelayanan yang diberikan penunjang

diagnostik, dan lama perawatan olehPPK Pelayanan yang tidak ditanggung oleh JPK

Jamsostek adalah: I. Pelayanan kesehatan di luar PPK yang ditunjuk 2. Penyakit atau

cedera yang diakibatkan karena hubungan kerja dan karena kesengajaan 3. Penyakit yang

diakibatkan oleh alkohol, narkotik, penyakit kelamin, dan AIDS 4. Perawatan kosmetik 5.

Pemeriksaan kesehatan berkala (medical check up) 6. Transplantasi organ tubuh, termasuk

sumsum tulang 7. Pemeriksaan dan tindakan untuk kesuburan/fertilitas 8. Penyakit kanker 9.

Hemodialisa 10. Obat-obat vitamin, berbentuk makanan tambahan atau susu, susu bayi,

obat gosok, obat infertilitas, dan obat kanker. 11. Alat perawatan seperti termometer dan

eskap 12. Biaya transportasi ke dan dari PPK 13. Biaya tindakan medik superspesialistik

JPK Jamsostek 60 HThabrany Seperti telah dijelaskan diatas, program JPK Jamsostek

menggunakan teknik-teknik HMO dalam pengendalian biayanya. Teknik-teknik yang

digunakan adalah: 1. Peserta hams menggunakan PPK I yang telah menjalin kontrak

dengan Jamsostek. Apabila peserta tidak menggunakan PPK I yang ditunjuk, maka peserta

hams menanggung sendiri biaya pelayanan, kecuali dalam keadaan gawat darurat. 2. Untuk

mendapatkan pelayanan rujukan seperti pemeriksaan oleh dokter spesialis atau perawatan

di rumah sakit, diperlukan surat rujukan dari PPK I. Tanpa rujukan peserta tidak dapat

mendapatkan pelayanan rujukan 3. Pembayaran kepada PPK dilakukan dengan sistem

kapitasi. Dalam prakteknya, pembayaran kapitasi pada umumnya dilakukan kepada PPK I

saja. Sedangkan kepada rumah sakit, pembayaran kapitasi hanya dilakukan pada daerah

tertentu yang jumlah pesertanya memadai (purwoko dan Masud, 1998). Di Jakarta dan di

berbagai cabang lainnya, PT Jamsostek mengontrakkan kepada bapel JPKM (kini tidak lagi

menjadi kehamsan) secara kapitasi untuk selanjutnya melakukan kontrak kepada berbagai

PPK. Bapel JPKM dan badan lainnya ini disebut Main Provider. 4. Mengadakan telaah

utilisasi dan pengendalian mutu pelayanan. Ratio pelayanan rujukan dengan kunjungan PPK

I yang terlalu rendah atau terlalu tinggi merupakan indikasi untuk telaah selanjutnya. Begitu

juga dengan lama hari rawat yang panjang atau terlalu pendek menjadi indikator untuk

telaah utilisasi. 3.4. Perkembangan lPK lamsostek Program JPK Jamsostek dimulai dengan

penyelenggaraan pilot proyek Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Tenaga Kerja di lima

Propinsi selama lima tahun sebelum UU Jamsostek disahkan. Jumlah peserta mencapai

lebih dari 70.000 orang. Pengelolaan uji coba dilakukan oleh PT Asuransi Sosial Tenaga

Kerja (Astek) yang juga sebuah persero yang pada waktu itu hanya mengelola asuransi

kecelakaan kerja. Atas dasar uji coba yang bersifat sukarela itulah kemudian JPK Jamsostek

diperluas dengan menjadikan program JPK wajib melalui UU Jamsostek. Namun demikian

dalam PP 14/93, kewajiban itu dibatasi hanya pada pemberi kerja yang belum memberikan

jaminan kesehatan yang lebih baik dari yang diberikan oleh JPK Jamsostek. Klausul

opsional (opt-out) ini antara lain, menurut satu sumber di Jamsostek sendiri, menunjukkan

bahwa PT Jamsostek belum siap untuk mengelola jumlah peserta yang sangat besar. Disisi

lain, dalam proses perundang-undangan, banyak sekali perusahaan asuransi yang menuntut

agar mereka diberikan ruang untuk berbisnis dalam bidang asuransi kesehatan. Apalagi UU

No 2/92 tentang asuransi juga dikeluarkan pada bulan Februari juga dan peraturan

pemerintah untuk kedua UU tersebut juga baru dikeluarkan setahun kemudian. Antara UU

dan dikeluarkannya PP cukup banyak tersedia waktu melobi pemerintah untuk mengatur

pelaksanaan program Jamsostek. Oleh karenanya dapat dipahami bahwa pada akhimya

kemudian PP 14/93 memberikan peluang kepada perusahaan asuransi untuk mengambil

kue dalam program JPK Jamsostek. JPK Jamsostek 61 HThabrany Provisi opt-out dimana

perusahaan atau pemberi kerja (untuk mudahnya selanjutnya disebut perusahaan) dapat

membeli asuransi kesehatan atau menyediakan sendiri pelayanan kesehatan sangat

mempengaruhi perkembangan program JPK Jamsostek. Meskipun klausul tersebut

menyebutkan bahwa perusahaan yang diberikan harus lebih baik dari yang diberikan JPK

Jamsostek, dalam prakteknya hal ini belum bisa dikendalikan. Pada bulan Februari 1998,

Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan surat keputusan menteri tentang kriteria pelayanan

yang lebih baik. Permenaker No 5/93 juga mengharuskan perusahaan tersebut

menyampaikan laporan secara periodik tentang jaminan kesehatan yang diberikan kepada

karyawannya. Namun demikian, hingga saat ini penegakkan hukum tentang hal ini belum

berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya perusahaan yang tidak memberikan jaminan

kesehatan kepada karyawannya, alias melanggar UU Jamsostek, tidak mendapatkan

sangsi. Tentu saja hal ini tidak mendorong perusahaan untuk bergabung dengan Jamsostek.

Di lain pihak, banyak perushaan yang menilai bahwa jaminan yang diberikan Jamsostek

tidak memenuhi harapan mereka, baik kualitasnya maupun jumlahnya. Akibatnya, banyak

perusahaan yang tidak mendaftarkan karyawannya ke Jamsostek. 01eh kerena itu

perkembangan kepesertaan JPK Jamsostek berjalan sangat lamban, jika dibandingkan

dengan potensi jumlah peserta yang memenuhi syarat. Tabel 3.1 menyajikan perkembangan

jumlah perusahaan, peserta (tenaga kerja), tertanggung (anggota keluarga), besarnya

penerimaan premi JPK dan rasio klaim (biaya medis) terhadap premi yang diterima.

Tabel3.1 Perkembangan Jumlah Peserta dan Tertanggung JPK Jamsostek, 1991-2000

Tahun Pemberi Tenaga Kerja Tertanggung Premi diterima Rasio biaya Kerja (RpOOO)

medis (%) 1991 723 85,926 199,695 4,553,000 63.9 1992 958 110,345 238,022 8,280,000

62.2 1993 3,419 256,402 537,173 13,657,000 59.1 1994 5,624 458,257 963,619 28,263,000

67.5 1995 8,034 698,052 1,414,175 44,365,000 80.7 1996 9,452 961,594 1,725,618

64,314,563 79,7 1997 10,892 989,094 1,949,011 86,233,060 76.1 1998 14,225 1,110,478

2,338,075 100,220,435 88.5 1999 15,628 1,235,818 2,567,576 136,103,858 74,6 2000

16,707 1,321,844 2,699,977 155,360,770 65,4 Rata-rata Rata-rata tumbuh 53% 40% 38%

51% 72% 91-2000 (%) ... Sumber: PT Jamsostek, Divisi JPK, 2001 Jika dilihat dari

pertumbuhan jumlah perusahaan, peserta, dan penerimaan premi maka kinerja yang JPK

Jamsostek cukup baik. Jumlah perusahaan yang mendaftarkan karyawannya ke JPK

Jamsostek meningkat rata-rata 53% setahun. Jumlah karyawan meningkat rata-rata 40%

setahun sedangkan jumlah tertanggung meningkat hanya 38% per JPK Jamsostek 62

HThabrany tahun. Artinya, semakin hari lebih banyak karyawan bujang atau keluarga kecil

yang bergabung dengan JPK Jamsostek. Data ini juga menunjukkan bahwa kebanyakan

hanya perusahaan kecil, rata-rata 91 karyawan per perusahaan selama 10 tahun, yang

mendaftarkan diri pada program JPK Jamsostek. Namun apabila dibandingkan dengan

jumlah tenaga kerja yang seharusnya mendaftar pada JPK Jamsostek, jumlah tersebut

masih sangat sedikit. Peraturan Pemerintah No. 14/93 yang mewajibkan pemberi kerja yang

membayar upah lebih dari Rp 1 juta per bulan wajib mendaftarkan karyawannya kepada

Jamsostek. Peraturan ini masih berlaku sampai saat ini. Apabila peraturan ini ditegakkan,

maka paling tidak 100 juta orang seharusnya sudah mendapatkanjaminan dari JPK

Jamsostek. Perorangan yang mempunyai seorang sopir dan dua pembantu sudah terkena

kewajiban ini, karena untuk ukuran Jakarta dengan upah minimum Rp 426.000 per bulan,

orang tersebut sudah termasuk pemberi kerja yang wajib mendaftarkan ke JPK Jamsostek.

Jika dilihat jumlah tertanggung yang hanya mencapai 2,7 juta jiwa di tahun 2000, jumlah ini

kurang dari 3% dari jumlah penduduk yang memenuhi syarat. Jika dibandingkan dengan

jumlah tenaga kerja yang terdaftar pada ketiga program Jamsostek lainnya yang mencapai

18,8 juta jiwa, pendaftar JPK hanya mencapai 1,3 tenaga kerja. Ini berarti hanya 6,9%

tenaga kerja yang mengambil JPK dari seluruh peserta terdaftar', Jika dibandingkan dengan

potensi tenaga kerja yang menjalin hubungan kerja, yang menurut survei ILO berjumlah 56,2

juta", maka jumlah tenaga kerja terdaftar pada JPK hanya 2,5% dari potensi tenaga kerja.

Pertumbuhan penerimaan premi mencapai rata-rata 51 % per tahun dari Rp 4,5 milyar di

tahun 1991 menjadi Rp 155 milyar di tahun 2000. Namun demikian, jika dibandingkan

dengan penerimaan premi oleh perushaan asuransi komersial, maka besarnya premi yang

diterima JPK Jamsostek jauh lebih rendah. Total premi asuransi kesehatan dan kecelakaan

diri dari perusahaan asuransi komersial di tahun 1999 mencapai Rp 722 milyar.' Jika

diperhitungkan besamya premi yang diterima per kapita, maka di tahun 1991 JPK Jamsostek

menerima premi sebesar Rp 22.800 per kapita per tahun sedangkan di tahun 2000 besarnya

mencapai Rp 57,542 per kapita per tahun. Jika jumlah itu dibagi 12, maka premi bulanan

yang diterima JPK Jamsostek di tahun 2000 hanya mencapai Rp 4.795,-. Jelas jumlah

tersebut sangat kecil untuk menutupi kebutuhan kesehatan yang relatif luas. Bandingkan

dengan premi sebesar Rp 125.520 per jiwa per bulan untuk jaminan rawat inap saja dengan

santunan tahun pertama Rp 100.000,- yang dijual PT Central Asia Raya.' Namun jia dilihat

dari rasio klaim yang rata-rata hanya 72% dari premi yang diterima, PT Jamsostek tidak

mengalami kerugian dalam mengelola JPK. Hal ini dapat terjadi karena pelayanan yang

diberikan menggunakan teknik-teknik managed care tertutup sehingga biaya dapat

terkendali. Hanya saja untuk bisa mengendalikan biaya yang sekecil itu, diperlukan upaya

yangkeras. Jika diperhatikan besarnya kontribusi dari gaji per tenaga kerja (TK) maka

tampak bahwa tenaga kerja yang terdaftar pada umumnya adalah tenaga kerja berupah

rendah. Jika pada tahun 2000 rata-rata premi per tenaga kerja adalah Rp 9.794, maka dapat

diperkirakan besarnya upah tenaga kerja tersebut. Jika diambil rata-rata premi sebesar 4,5%

maka upah per 1 Djaelani. F. Perkembangan Asuransi Kesehatan di Indonesia. Seminar N

asional Asuransi Kesehatan, Jakarta, Oktober 2000. 2 Iklan pada harlan Kompas, 22

September 2001 JPK Jamsostek 63 HThabrany bulan tenaga kerja yang didaftarkan rata-

rata hanya Rp 217,650 per bulan. Jelas upah tersebut merupakan upah di bawah upah

minimum. Perkembangan premi per tenaga kerja hanya tumbuh sebesar rata-rata 11 %

dalam sembilan tahun terakhir dan premi per kapita tumbuh rata-rata dengan 13% per

tahun. Jelas perkembangan premi ini tidak bisa mengikuti perkembangan biaya kesehatan

yang lebih tinggi. Tabel3.2 Analisis perkembangan premi JPK Jamsostek, 1991-2000 Premi

ier bulan Ratio Ratio Pertumbuhan (%) Tahun PerTK Per kapita TTGITK TKipers PremilTK

Premi/ kapita 1991 4.416 1.900 2,3 119 - - 1992 6.253 2.899 2,2 115 42% 53% 1993 4.439

2.119 2,1 75 -29% -27% 1994 5.140 2.444 2,1 81 16% 15% 1995 5.296 2.614 2,0 87 3% 7%

1996 5.574 3.106 1,8 102 5% 19% 1997 7.265 3.687 2,0 91 30% 19% 1998 7.521 3.572 2,1

78 4% -3% 1999 9.178 4.417 2,1 79 22% 24% 2000 9.794 4.795 2,0 79 7% 9% Rata-rata

2,1 91 11% 13% 3.5. Masalah-masalah yang dihadapi Dalam perkembangan JPK

Jamsostek yang hampir 10 tahun, tampak jelas sekali bahwa JPK Jamsostek tidak masih

jauh dari tujuan jaminan sosial untuk memberikan perlindungan yang memadai kepada

seluruh tenaga kerja dan keluarganya. Tujuan tersebut tidak bisa tercapai tanpa perubahan

mendasar berbagai peraturan JPK Jamsostek. Berbagai masalah struktural yang terdapat

dalam peraturan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Opsi boleh tidak ikut JPK Jamsostek

dimanfaatkan oleh perusahaan untuk tidak mengikuti JPK Jamsostek. Disinyalir banyak

perusahaan yang tidak memberikan jaminan kesehatan kepada karyawannya sekalipun

tidak mendaftarkan tenaga kerjanya ke JPK Jamsostek. 2. Batas gaji untuk perhitungan

premi yang masih tetap Rp 1 juta sebulan sering ditafsirkan sebagai hanya pegawai yang

bergaji rendah saja yang wajib ikut JPK Jamsostek. Padahal sebenarnya seluruh tenaga

kerja harus menjadi peserta, akan tetapi untuk yang gajinya lebih dari Rp 1 juta hanya

membayar premi maksimum Rp 60.000. Batas ini membuat iuran JPK tidak akan memadai

untuk memberikan pelayanan yang bermutu dan lebih luas. Jika hal ini berlanjut, maka

pelayanan yang JPK Jamsostek 64 HThabrany diberikan JPK Jamsostek akan semakin

menurun kualitasnya. Batas besaran upah ini juga menyebabkan tidak optimalnya subsidi

silang yang diharapkan terjadi pada program jaminan sosial. 3. Hanya perusahaan yang

diwajibkan membayar premi sementara tenaga kerja tidak diwajibkan. Hal ini tidak

menimbulkan rasa memiliki oleh tenaga kerja. Di berbagai belahan dunia, tenaga kerja

biasanya ikut berkontribusi sehingga terdapat rasa memiliki karena merekajuga ikut

membayar. Bagi pengusaha, kewajiban yang hanya dibebankan kepadanya sering

dirasakan sebagai beban sehingga banyak yang tidak melaporkan besar upah atau jumlah

karyawan yang sebenarnya untuk mengurangi kewajiban membayar premi. 4. Jaminan

kesehatan ini tidak diberikan kepada mereka yang telah pensiun atau tidak lagi dalam

hubungan kerja. Akibatnya, para pensiunan yang tidak lagi menerima upah dan mempunyai

risiko sakit yang lebih tinggi tidak mendapatkan jaminan. Hal ini menjadi beban yang berat

bagi penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia. Begitu juga mereka yang terkena pemutusan

hubungan kerja (PHK) tidak mendapatkan jaminan selama mereka belum bekerja di tempat

baru. 5. Batas jaminan sampai anak ketiga dan persalinan ketiga yang bertujuan untuk

menunjang program KB menimbulkan diskriminasi bagi anak keempat. Hal ini akan menjadi

beban berat bagi tenaga kerja, khususnya bila anak keempat atau persalinan keempat

menderita suatu penyakit atau penyulit berat. 6. Cakupan pelayanan yang tidak menjamin

pengobatan kanker dan hemodialisa dapat memberatkan ekonomi tenaga kerja, bukan saja

bagi mereka yang berpenghasilan rendah tetapi juga yang berpenghasilan tinggi. 7.

Rumitnya pengelolaan JPK dan tingginya rasio klaim dibandingkan dengan tiga program

lainnya tentu saja kurang memberi insentif kepada PT Jamsostek sendiri untuk mendorong

pertumbuhan peserta yang tinggi. Hal ini juga ditambah kurangnya tenaga yang menguasai

dan mau memberikan perhatian khusus kepada JPK Jamsostek. 8. Penegakan hukum

terhadap pelanggaran oleh perusahaan, seperti pelaporan upah yang lebih rendah dari yang

sebenarnya, tidak mendaftarkan JPK padahal juga tidak memberikan jaminan, dan berbagai

pelanggaran lainnya tidak berada pada PT Jamsostek. Penegakkan hukum merupakan

kewenangan Depnakertrans. Visi dan pemahaman pentingnya jaminan sosial antara

petugas di PT Jamsostek dan di Depnakertrans mungkin sangat berbeda sehingga tidak

terjadi koordinasi yang baik. 9. Besarnya denda bagi perusahaan yang melanggar sebesar

Rp 50 juta merupakan sanksi yang ringan sehingga tidak mendorong perusahaan untuk

secara aktif mengikuti program ini. 10. Rumitnya manajemen akibat tingginya mutasi tenaga

kerja, baik karena pindah kerja, perubahan status perkawinan, penambahan atau

pengurangan anggota keluarga, dsb., belum ditunjang oleh sistem informasi yang memadai.

11. Bentuk badan hukum PT Persero yang bersifat pencari laba tidak konsisten dengan sifat

penyelenggaraan jaminan sosial yang wajib yang bertujuan memaksimalkan pelayanan bagi

peserta. Bentuk badan hukum ini juga telah menimbulkan banyak campur tangan

pemerintah, selaku pemegang saham, terhadap manajemen Jamsostek. Sehamsnya

pesertalah yang lebih menentukan manajemen. Oleh karenanya perubahan bentuk badan

hukum menjadi Trust Fund yang dikendalikan secara tri- JPK Jamsostek 65 HThabrany

partit (pengusaha, tenaga kerja, dan pemerintah) sedang dalam pertimbangan. Selain itu,

karena bentuk persero ini juga timbul kesalah-fahaman bahwa Jamsostek bertentangan

dengan UU anti monopoli. Undang-undang anti monopoli berlaku untuk usaha memproduksi

sesuatu yang sifatnya sukarela, sementara program Jamsostek merupakan program wajib

yang merupakan kepentingan orang banyak tidak berlaku. 01eh karenanya di berbagai

belahan dunia, jaminan sosial tidak masuk dalam subyek yang terkena UU anti monopoli

dan hal ini diatur pada pasal 51 UU No5/99 tentang Larangan Praktek Monopoli. Surat

Pembaca Kompas, tanggal 23 Desember 2003, hal 5 Tanggal17 November 2003, saya

mengajukan klaim penggantian biaya atas istri saya yang dirawat inap di rumah sakit akibat

kecelakaan. Saya mengajukan klaim kepada PT Jamsostek Cabang Salemba, Jakarta,

temyata ditolak. Kelangkapan surat yang saya ajukan memang salin an, tetapi sarat hukum

dan sah karena telah dilegalisasi oleh pihak rumah sakit sesuai dengan aslinya. Sementara

surat kuitansi yang asli digunakan untuk klaim asuransi lainnya. Kalau memiliki tiga asuransi,

apakah sebanyak itu pula kuitansi asli harus dibuat untuk mengajukan klaim? Sementara

pihak rumah sakit hanya mengeluarkan satu kuitansi asli dan satu salin an yang telah

dilegaliasi. Mengacu pada ketentuan PT Jamsostek yang meminta kuitansi asli pula, berarti

dari sekian banyak asuransi hanya dapat satu klaim asuransi, semen tara premi dibayar

terus TONI Kmp Baru Kb Koja RT 012 RW 016, Penjaringan, Jakarta Utara i Jamsostek web

data, 2001 ii JLO. National labor force survey, 2000 JPK Jamsostek 66 HThabrany BAB4

Asuransi Kesehatan Komersial di Indonesia 4.1. lPKM Program Jaminan Pemeliharaan

Kesehatan Masyarakat (JPKM) mulai dikenal luas setelah dikeluarkan UU No 23/92 tetang

kesehatan yang pada pasal 66 menggariskan bahwa pemerintah mengembangkan,

membina dan mendorong JPKM sebagai cara pemeliharaan kesehatan praupaya

berasaskan usaha bersama dan kekeluargaan. Sebelum JPKM masuk dalam UU kesehatan

tersebut, berbagai upaya memobilisasi dana masyarakat dengan menggunakan prinsip

asuransi telah dilakukan antara lain dengan program DUKM (Dana Upaya Kesehatan

Masyrakat) dan uji coba PKTK oleh PT Astek. Dengan memobilisasi dana masyarakat

diharapkan mutu pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan tanpa hams meningkatkan

anggaran pemerintah. Konsep yang ditawarkan adalah secara perlahan pembiayaan

kesehatan hams ditanggung masyarakat sementara pemerintah akan lebih berfungsi

sebagai regulator. Upaya memobilisasi dana masyarakat tidak terlepas dari berbagai upaya

swastanisasi di dunia yang memandang bahwa dominasi upaya pemerintah dalam berbagai

aspek kehidupan masyarakat akan menghadapi masalah biaya, efisiensi, dan mutu

pelayanan. Program swastanisasi besar-besaran dilaksanakan di Inggris pada masa

Perdana Menteri Margaret Tacher untuk berbagai program pemerintahnya pada awal tahun

80an. Perusahaan penerbangan British Airways dan radio serta televisi BBC yang tadinya

dikelola pemerintah merupakan contoh bentuk swastaniasi upaya pemerintah Inggris. Sejak

itu gelombang privatisasi di dunia terus meluas. Di dalam sistem kesehatan Indonesia upaya

itu antara lain dapat dilihat dari upaya menggerakan pembiayaan kesehatan oleh

masyarakat dan transformasi RSVP menjadi RS Perjan (Perusahaan Jawatan). Namun

demikian, di Inggris sendiri sistem pelayanan kesehatan masih tetap dikelola pemerintah

dengan sistem National Health Service. Tetapi reformasi NHS terus berjalan hingga saat ini.

Dalam kerangka pikir inilah program JPKM yang bertujuan untuk memobilisasi dana

masyarakat guna membiayai pelayanan kesehatan dikembangkan. Perkembangan JPKM

tidak lepas dari peran pemerintah Amerika Serikat melalui program bantuan

pembangunannya (the United States Agency for International Development, USA/D). Pada

tahun 1988 USAID membiayai proyek Analisis Kebijakan Ekonomi Kesehatan (AKEK) di

Depkes selama lima tahun. Dalam proyek inilah antara lain berkembang pemikiran-

pemikiran pembiayaan kesehatan yang semua dikenal dengan konsep Dana Upaya

Kesehatan Masyarakat (DUKM) yang secara operasional dijabarkan dalam bentuk JPKM.

Karena seperti biasanya proyek-proyek USAID selalu membawa konsultan dari Amerika

yang secara tidak langsung mempengaruhi pemikiran yang pada waktu itu sangat populer di

Amerika. Selama pertengahan tahun 1970an dan pertengahan 1980an Askes Komersial di

Indonesia 67 H Thabrany memang banyak sekali publikasi-publikasi yang mengemukakan

keberhasilan model Health Maintenance Organization (HMO) di Amerika dalam

mengendalikan biaya kesehatan. Sebenarnya keberhasilan HMO di Amerika dalam

pengendalian biaya kesehatan relatif dibandingkan dengan model asuransi kesehatan

tradisional. Artinya, keberhasilan HMO di Amerika hanya dibandingkan dengan model

asuransi lain yang ada di Amerika, tidak dibandingkan dengan model asuransi yang ada di

negara-negara maju lainnya yang mempunyai kemampuan pengendalian biayajauh lebih

kuat dari HMO. N amun demikian, karena proyek AKEK dan berbagai proyek pembiayaan

kesehatan lainnya di Indonesia selama dekade tahun 1980an lebih banyak didominasi oleh

pengaruh Amerika, maka tidaklah mengherankan jika konsep sistem pembiayaan kesehatan

kita pada waktu itu (hingga saat ini) lebih banyak mengikuti pola Amerika yang boros dan

tidak egaliter. Sementara pengaruh donor-donor dari negara-negara lain pada waktu itu tidak

banyak. Hal ini tidak saja berlaku dalam model JPKM, akan tetapi juga mempengaruhi

sistem asuransi lainnya dan sistem lainnya seperti sistem pendidikan dan keuangan. Pada

prinsipnya JPKM merupakan program asuransi kesehatan komersial yang mengambil

bentuk managed care, khususnya bentuk HMO di Amerika. Dalam ayat 4 pasal 66 UU 23/92

yang sama disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan JPKM

diatur oleh Peraturan Pemerintah. N amun demikian, sampai saat ini PP dimaksud belum

pemah berhasil dikeluarkan. 4.1.1. Peraturan JPKM Penyelenggaraan JPKM sampai saat ini

masih menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan (permenkes) No. 527 dan 571 tahun

1993, padahal amanat UU 23/1992, pasa166 ayat 4 menghamskan pengaturan lebih lanjut

dari JPKM diatur oleh Peraturan Pemerintah. Sebenarnya usulan PP tentang JPKM sudah

diajukan oleh Depkes untuk disahkan sebagai peraturan JPKM yang isinya tidak banyak

berbeda dengan dua Perarturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 527 dan 571 tahun

1993. Namun demikian, sampai saat ini PP tersebut tidak pemah disetujui ditingkat

nasional/diluar Departemen kesehatan. Dalam penjelasannya, Dirjen Binkesmas pemah

menyampaikan kepada media masa bahwa karena ketiadaan PP padahal program JPKM

hendak digerakkan, maka Permenkes tersebut digunakan sebagai landasan peraturan.

Secara hukum, Permenkes kurang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi sektor lain,

apalagi dengan sistem peraturan perundangan baru di Indonesia, Permenkes tidak lagi

tercantum dalam hirarki perundangan. Hirarki perundangan secara berurutan adalah

UUD45, UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan terakhir Peraturan Daerah.

Jika dipelajari dengan seksama, tampak bahwa Permenkes 527 dan 571 mengandung

banyak pengulangan dan mengatur hal-hal yang tidak esensial, sehingga jika dilaksanakan

secara konsekuen, maka bapel JPKM akan sulit menjual produknya. Hal ini berbeda dengan

peraturan asuransi yang lebih luwes. Sebagai contoh pada pasal 7 Permenkes 527

mengatur paket dasar hams mempertimbangkan pola penyakit, pola pemanfaatan, pola

biaya rata-rata, pola jenis dan jumlah sarana kesehatan. Contoh lain tentang pembayaran

kapitasi (pasal 24) yang hams sesuai karakteristik peserta dan penyesuaian besarnya

pembayaran hams mendapat persetujuan Dirjen. Untuk memudahkan Askes Komersial di

Indonesia 68 H Thabrany para pembaca, dibawah ini disajikan rangkuman kedua peraturan

tersebut. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 527/93 dan nomor 571 /93 mengatur hal-hal

sebagai berikut: 1 Tujuan program JPKM adalah mewujudkan derajat kesehatan masyarakat

yang optimal melalui: 1. Pembudayaan prilaku hidup sehat 2. Penciptaan kemandirian

masyarakat dalam memilih dan membiayai pelayanan kesehatan yang diperlukan 3.

Penyelenggaraan PK paripurna dengan mengutamakan upaya peningkatan kesehatan dan

pencegahan penyakit 4. Pemberian jaminan kepada setiap peserta untuk mendapatkan PK

yang sesuai dengan kebutuhannya, bermutu, dan berkesinambungan 5. Penyelenggaraan

pemeliharaan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna Paket jaminan 1. Paket

jaminan mencakup pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, penyembuhan, dan

dilaksanakan secara paripurna (komprehensif), berkesinambungan, dan bermutu. Paket

tersebut hams disusun sesuai dengan kebutuhan peserta. 2. Paket terbagi atas paket dasar

dan paket tambahan. Paket dasar yang wajib diselenggarakan oleh sebuah bapel. Karena

bapel dapat menjual paket tambahan hanya setelah menjual paket dasar, maka paket dasar

ini pada hakikatnya sama dengan peraturan minimum benefit dalam peraturan asuransi

kesehatan di Amerika. 3. Paket pemeliharaan dasar adalah sebagai berikut: a. Rawat jalan

meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (pemulihan) sesuai kebutuhan medis.

Pelayanan ini hams mencakup imunisasi, keluraga berencana, pelayanan ibu dan anak

dengan catatan pelayanan persalinan hanya diberikan sampai anak kedua. b. Rawat inap

sesuai kebutuhan medis meliputi 5(1ima) hari rawat. c. Pemeriksaan penunjang meliputi

radio diagnostik dan atau ultrasonografi, laboratorium klinik. 4. Paket tambahan

dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bapel dengan peserta 5. Dalam keadaan gawat

darurat peserta dapat memperoleh pelayanan pada setiap PPK. 6. Peserta tidak perlu

membayar lagi di PPK apabila pelayanan yang diberikan sesuai dengan paket yang

dipilihnya ___ Landasan Hukum Penyelenggaraan JPKM. Dirjen Bina Peran Serta

Masyarakat, Depkes, 1996 Askes Komersial di Indonesia 69 H Thabrany Badan

Penyelenggara (bapel) 1. Badan penyelenggara hams berbentuk badan hukum pemerintah

atau swasta yang dapat berupa Perseroan Terbatas atau Koperasi. 2. Badan penyelenggara

hams mendapat ijin operasional dari Depkes. Syarat untuk mengajukan ijin adalah: a. Hasil

studi kelayakan dengan kesimpulan layak b. Memiliki rencana usaha yang meliputi:

organisasi, tenaga yang memenuhi kualifikasi yang diperlukan, jaringan PPK, dan

tatalaksana penyelenggaraan c. Memiliki rencana operasional setiap tahun yang mencakup

peserta, modal, dana cadangan, investasi, paket, pembiayaan, dan ketenagaan. d. Memiliki

modal dan dana cadangan 3. Penyelenggaraan JPKM hams terpisah dari program lain

secara organisasi, pengelolaan, tenaga, sarana dan dana 4. Bapel wajib menyelenggarakan

paket dasar 5. Bapel hams meminta persetujuan Dirjen tentang besarnya atau perubahan

besar beban biaya (premi) penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan 6. Bapel membuat

ketentuan tertulis mengenai informasi bagi peserta dan PPK, paket, dan tata cara

memperoleh pelayanan 7. Pembentukan kantor cabang jika peserta lebih dari 500 orang dan

kantor pembantu cabang jika peserta kurang dari 500 orang di suatu wilayah hams

mendapat persetujuan dari Dirjen (Kesmas). 8. Kantor cabang mempunyai fungsi yang sama

denga bapel 9. Kantor pembantu cabang berfungsi: mewakili kantor pusatlcabang,

pemasaran, pendaftaran peserta, mengelola keuangan, melaporkan kegiatan pengelolaan

keuangan ke kantor cabang/pusat, mendistribusikan kartu peserta, dan membantu

menangani keluhan peserta 10. Bapel hams: a. Memiliki modal paling sedikit sama dengan

anggaran operasional satu tahun pertama. b. Memiliki Dana cadangan sebanyak 25% dari

anggaran pelayanan kesehatan satu tahun yang disesuaikan tiap tahun. Dana cadangan ini

hams berbentuk Deposito atas nama Menteri Kesehatan c. Hams menyisihkan sebagian

sisa hasil usaha untuk cadangan teknis d. Menyediakan dana setiap bulan paling sedikit

sama dengan 3 (tiga) bulan anggaran pemeliharaan kesehatan, dalam bentuk tunai atau

saldo bank. e. Investasi dana hams mempertimbangkan kelangsungan penyelenggaraan

dan hanya dapat ditanam dalam bentuk: deposito, obligasi, tanah, atau tanah dan bangunan

f. Memberikan kemudahan kepada peserta dalam bentuk: memberikan kartu peserta,

menyediakan PPK, memberi informasi yang jelas kepada peserta g. Menampung dan

menyelesaikan segala keluhan peserta untuk memperoleh pelayanan 11. Badan

penyelenggara dapat mengiklankan produknya tetapi hams jujur dan bertanggung jawab

serta tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Pelaksanaan iklan hams terlebih

dahulu mendapat persetujuan dari Dirjen. Askes Komersial di Indonesia 70 H Thabrany 12.

Bapel hams melakukan pemantauan standar pelayanan, mutu pelayanan, dan

saranaJprasarana yang dimiliki PPK 13. Bapel hams membayar PPK dengan cara kapitasi

berdasarkan perhitungan yang hams dapat dikaji ulang. 14. Bapel dan PPK secara bersama

hams menyediakan dana cadangan untuk pelayanan peserta. Dana cadangan tersebut

dihimpun dengan menahan sebagian pembayaran kapitasi kepada PPK yang besarnya

antara 15-45% dari seluruh pembayaran bapel yang hams tercantum dalam kontrak. Dana

cadangan ini hams dimanfaatkan untuk kepentingan PPK, peserta, dan bapel dengan

terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Dirjen. 15. Bapel hams melakukan koordinasi

dengan bapellain dalam hal peserta memiliki jaminan ganda yang hams dinyatakan dalam

kontrak. 16. Bapel hams melakukan pencatatan pelaporan yang mencakup: laporan

bulanan, tahunan, evaluasi pelaksanaan tiap 6 (enam) bulan, rencana perluasan, dan

kegiatan lain yang diperlukan. Laporan tersebut hams disampaikan kepada Dirjen/pejabat

yang ditunjuk. 17. Badan yang tidak memenuhi peraturan diatas diancam denda Rp 500 juta

atau kurungan penjara paling lama 15 tahun sesuai dengan UU 23/92 pasal 80(2).

Kepesertaan 1. Setiap orang, secara perorangan atau kelompok, dapat menjadi peserta

program JPKM 2. Setiap orang yang menjadi peserta pada lebih dari satu bapel hams

melaporkan untuk koordinasi manfaat 3. Kepesertaan dapat dilakukan setiap saat. Untuk

peserta perorangan, beban biaya paket tidak boleh melebihi 110% paket terendah. 4.

Pembayaran beban biaya PK wajib dilakukan setiap bulan atau untuk jangka waktu tertentu

5. Kepesertaan setiap orang mulai berlaku saat kesepakatan ditanda-tangani 6. Peserta

berhak mengajukan keluhan dan memperoleh penyelesaian atas keluhan yang diajukan

Masalah utama dalam peraturan JPKM adalah bahwa program JPKM berusaha untuk

memenuhi kebutuhan (bukan permintaan) masyarakat dengan mengutamakan usaha

promotif dan preventif melalui sistem komersial. Padahal sistem komersial kurang perduli

dengan kebutuhan (need) akan tetapi lebih menekankan pada aspek permintaan (demand).

Sehingga jika suatu bapel dipaksakan hams menjual produk yang mengutamakan promotif

dan preventif, yang nota bene lebih merupakan barang publik, tentu saja akan sulit

mendapatkan pembeli. Dalam peraturan tersebut tampak tidak sesuainya tujuan program

dan rancang bangun program yang tercermin dalam kedua Permenkes tersebut. 4.1.2.

JPKM dan HMO Secara garis besar antara JPKM dan HMO terdapat banyak sekali

persamaan dan sedikit perbedaan. Secara umum persamaan antara JPKM dan HMO

adalah: Askes Komersial di Indonesia 71 H Thabrany 1. Kerniripan narna. Sarna-sarna

rnenggunakan kata pemeliharaan kesehatan (health maintenance) 2. Tidak diatur UU

asuransi. Keduanya sarna-sarna diatur oleh UU tersendiri. 3. Kepesertaan sukarela. Di

Indonesia tidak begitu jelas, disebut kepesertaan aktif, tetapi yang jelas bukan wajib

(compulsory/mandatory) 4. Sarna-sarna rnernberikan jarninan dalarn bentuk pelayanan

pada PPK tertentu. 5. Sistern terutup, Sarna-sarna rnenggunakan sistern tertutup, artinya

apabila peserta berobat di luar jaringan PPK yang dikontrak, bapellHMO tidak rnenanggung.

6. Pernbayaran kapitasi. Narnun pernbayaran kapitasi tidak lagi rnenjadi ciri HMO sekarang,

karena dalarn praktek tidak rnungkin HMO hanya rnernbayar secara kapitasi. 7. Pelayanan

kornprehensif. Sarna-sarna rnengklairn rnernberikan pelayanan kornprehensif 8. Keharusan

prograrn jaga rnutu. Meskipun dalarn praktek di Indonesia hal ini belum berjalan sesuai yang

diharapkan 9. Keharusan prograrn rnanajernen utilisasi. Juga di Indonesia belum berjalan

sebagairnana yang diharapkan 10. Keharusan penanganan keluhan. Juga di Indonesia

belum berjalan sebagaimana yang diharapkan Selain persarnaan diatas, terdapat beberapa

perbedaan penting, yaitu: 1. Perijinan dan pengawasan. Di Indonesia perijinan bapel

diberikan oleh Depkes. Di Amerika, Depkes hanya rnernberi rekornendasi, sedangkan

perijian dan pengawasan dilakukan oleh Departernen Asuransi yang lebih rnerniliki

kernarnpuan untuk rnengawasi usaha asuransi 2. Pengaturan. Di Amerika peraturan HMO

yang dikendalikan oleh pernerintah pusat (federal) hanyalah untuk HMO yang ingin

rnendapatkan kualifikasi pernerintah federal. Pada umumnya HMO diatur oleh peraturan

pernerintah negara bagian berdasarkan NAIC MHO Model Act (suatu kerangka peraturan

yang dibuat oleh Asosiasi Direktur Departernen Asuransi negara bagian). Di Indonesia

pertauran JPKM bersifat nasional. 3. Badan penyelenggara. Di Indonesa badan

penyelenggara digiring kepada bentuk for profit sernentara di Amerika badan not for profit

yang dirangsang untuk rnendirikan HMO dengan berbagai insentif. Oleh karenanya di

Arnerika narna badan penyelenggara disebut dengan kata Organization, karena serikat

pekerja, yayasan, atau universitas juga dapat rnendirikan HMO. 4. Persyaratan permodalan.

Di Amerika modal HMO hams dikaitkan dengan risiko/tanggung jawab HMO (risk base

capital). Di Indonesia, persyaratan permodalan HMO rnasih terlalu rendah sehingga

rnenirnbulkan potensi kesulitan solvabilitas. Secara lebih rinci, perbedaan dan persarnaan

JPKM dan HMO di Amerika dapat dilihat dari tabel berikut ini. Askes Komersial di Indonesia

72 H Thabrany Persamaan dan Perbedaan JPKM dan HMO di Amerika Item JPKM HMO

Dasar Respons terhadap uncertainty. Respons terhadap uncertainty. Transfer Transfer risiko

risiko Dasarhukum UU 23/92 (belum dilengkapi dengan Undang-undang HMO untuk

federally PP yang dibutuhkan) qualified HMO (1973 dan amanedemen Permenkes 527 dan

571/1993, selanjutnya) dan NAIC HMO Model 568/1996 Tujuan • Pembudayaan prilaku

hidup • Memastikan bahwa kebutuhan sehat pelayanan kesehatan peserta terpenuhi •

Kemandirian masyarakat dalam • Meningkatkan derajat kesehatan membiayai pelayanan •

Meningkatkan produktifitas kerja kesehatan • Pemberian pelayanan yang berhasil •

Meningkatkan derajat guna dan berdaya guna kesehatan • Pemberian pelayanan yang

berhasil guna dan berdaya guna Kepesertaan Sukarelalaktif Sukarela Kontrak • Unilateral •

Unilateral • Kondisional • Kondisional • Aleatory • Aleatory • Adhesi • adhesi Transfer risiko

Dengan membavar prerni Dengan membayar iuran/prerni Pooling risiko Pooling risiko

perorangan, Pooling risiko perorangan, kelompok kelompok homogen dan heterogen

homogen dan heterogen (community rating) (community & adjusted community rating)

Sharing risiko Sharing risiko antara yang sakit dan Sharing risiko antara yang sakit dan yang

yang sehat, provider dan payer. sehat, provider dan payer. Payer/HMO tanzzunz risiko

penuh Yang dapat menjadi Suatu yang berbadan hukum. Secara Perorangan, serikat

pekerja, organisasi, bapel eskplisit PT, BUMN, BUMD, dan LSM, Yayasan, Perusahaan

Koperasi Bapel yang didorong Berbagai bentuk. Misalnya Bapel nirlaba mendapat hibah

modal tetapi pemerintah pemberian JPSBK diberikan baik bapel for profit hanya diberikan

jaminan yang berbentuk yayasan maupun PT pinjaman Perijinan dan Departemen

Kesehatan Departemen asuransi dan (+ HCFA pengawasan keuangan untuk Federally

Qualified HMO) Concern terhadap Harus Harus solvency Pemasaran dan Fokus pada

kumpulan F okus pada kumpulan underwriting Ancaman bias selection Ada Ada Ancaman

moral hazard Ada Ada Kontrol terhadap Belum ada aturan khusus Open enrollement

adverse selection Kontrol terhadap moral Terutama kepada PPK. Melalui Terutama kepada

PPK (kinijuga melalui hazard peserta dalam bentuk paket terbatas peserta) Bentuk benefit

Melalui PPK secara tertutup, Melalui PPK secara tertutup, kecuali untuk kecuali untuk kasus

gawat darurat kasus gawat darurat Askes Komersial di Indonesia 73 H Thabrany Item JPKM

HMO Pelayanan Secara teori, belum pelaksanaan. Sudah dilaksanakan. Tidak ada tingkatan

komprehensif Permenkes mengatur paket dasar paket dasar komprehensif. tapi disebut

komprehensif Program promotif dan Harus ada Harus ada pencegahan Limitasi dan eksklusi

Dalam praktek sangat banyak Umumnya sedikit, kecuali beberapa pelavanan tertentu

Pembayaran PPK Secara teori hanya kapitasi. Dalam Dulu hanya kapitasi. Kini yang

terbanyak pelaksanaan sebagian besar tidak dengan FFS dengan diskon membavar kapitasi

Manajemen utilisasi Harus dilaksanakan. Dalam praktek Selalu ada. Penekanan melalui

provider belum berjalan karena PPK masih dengan juga melalui peserta jauh lebih kuat.

Berlum berkembang Ada prospective, concurrent, dan retrospective utilization revie.

Manajemen mutu Menjadi penting (dan suatu Menjadi penting untuk meyakinkan keharusan

menurut peraturan) penjualan dan menghindari moral hazard untuk meyakinkan penjualan

dan dariPPK menghindari moral hazard dari PPK Penanganan keluhan Diharuskan ada,

untuk menjamin Diharuskan ada, untuk menjamin bahwa bahwa pelayanan yang diberikan

pelayanan yang diberikan memenuhi memenuhi standar tertentu standar tertentu Upava

bisnis rutin Upaya bisnis rutin 4.1.3. JPKM sebagai asuransi Judul diatas mungkin

menggelitik sebagian orang dan juga dimasukkannya Bab 4 yang membahas JPKM di

dalam buku ini dapat dipertanyakan. Sampai saat ini masih banyak orang yang berpendapat

bahwa JPKM bukan asuransi. Alasannya adalah "asuransi memberi penggantian uang

sedangkan JPKM tidak memberikan penggantian uang". Topik ini sengaja disajikan disini

agar para pembaca dapat memahami benar berbagai pendapat yang ada di masyarakat.

Alasan yang dikemukakan diatas mungkin hanya benar secara peraturan perundang

undangan, karena dalam perakteknya perusahaan asuransi yang menjual asuransi

kesehatan tidak selalu memberi penggantian uang. Dalam UU No 2/92 definisi asuransi

memang berbeda dengan definisi JPKM. Dalam UU No 2/92 pada Bab I pasal 1 dijelaskan

defisini asuransi atau pertanggungan sebagai ''perjanjian antara dua pihak atau lebih,

dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima

premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,

kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum

kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu

peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas

meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan'", Dalam UU No 23/92 pasal 66

ayat 2 disebutkan "Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat merupakan cara

penyelenggaraan 2 __ Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Usaha

Perasuransian. Dirjen Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan RI. Jakarta 1993 Askes

Komersial di Indonesia 74 H Thabrany pemeliharaan kesehatan dan pembiayaannya,

dikelola secara terpadu untuk tujuan meningkatkan derajat kesehatan, wajib di/aksanakan

oleh setiap badan penyelenggara". Dalam Permenkes No 571/1993 dijelaskan bahwa JPKM

adalah suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna berdasarkan

asas usaha bersama dan kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang

terjamin serta pembiayaan yang di/aksanakan secara praupaya. Kemudian pada butir b

disebutkan Program JPKM adalah upaya pemeliharaan kesehatan untuk peserta suatu

badan penyelenggara yang pembiayaannya di/akukan secara praupaya dan dikelola

berdasarkan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat. i Jadi menurut definisi yang

digunakan oleh kedua UU tersebut, memang terdapat perbedaan. Undang-undang asuransi

memang menyebutkan kata 'penggantian', namun dalam prakteknya penggantian tidak

selalu dalam bentuk uang. Baik dalam asuransi kesehatan maupun asuransi kendaraan

bermotor, apabila terjadi peristiwa sakitlkerusakan kendaraan akibat kecelakaan, tidak

semua perusahaan asuransi memberikan penggantian dalam bentuk uang. Banyak

perusahaan asuransi yang mengganti biaya pengobatan dengan membayar langsung ke

rumah sakit yang ditunjuk. Banyak perusahaan asuransi yang menunjuk bengkel mobil

tertentu dimana tertanggung menerima beres perbaikan mobil yang rusak. Jadi soal

penggantian tidaklah hams berbentuk uang. Dalam dunia asuransi di Amerika hal ini

dilengkapi dengan pemyataan assignement of benefits yang ditanda tangani oleh pemegang

polis. Soal penggantian uang atau pemberian pelayanan (sebagai pengganti uang) hanyalah

suatu mekanisme pelaksanaan tanggung jawab badan penyelenggara atau asuradur dalam

memberikan benefit seperti yang telah dibahas dalam Bab I. Ciri manajemen utilisasi,

pembayaran kapitasi, pengendalian mutu, penanganan keluhan peserta dan "jurus-jurus"

lain yang ada di JPKM bukan merupakan ekslusi asuransi. Program-program tersebut

adalah bentuk upaya pengendalian biaya untuk mengurangi risiko biaya dan upaya

pemasaran, khususnya yang terkait dengan sistem pembayaran kapitasi kepada PPK.

Jurus-jurus JPKM adalah kiat manajemen yang hams dilakukan akibat pembayaran benefit

diberikan dalam bentuk pelayanan kepada PPK yang dikontrak dengan pembayaran

kapitasi. Seandainya perusahaan asuransi kesehatan tradisional melakukan kontrak kapitasi

juga, mereka akan melakukan hal itu meskipun tidak diatur oleh pemerintah. Menyatakan

bahwa "JPKM bukan asuransi" mempunyai konsekuensi standar ganda pada saat kita

berkomunikasi di dunia intemasional. Dari segi substansi, penulis berpendapat bahwa

perdebatan tentang hal ini tidak perlu dipermasalahkan, jika hanya untuk memuaskan salah

satu pendapat. Hal ini perlu dituntaskan karena hal ini membawa konsekuensi sosial,

ekonomi dan kebijakan yang dapat mengganggu tujuan Nasional dalam bidang kesehatan.

Perbedaan persepsi ini mempunyai dampak yang sangat serius dalam pengembangan

JPKM itu sendiri di kemudian hari. Beberapa pihak menganggap hal ini perlu ditegaskan

agar rujukan pelaksanaan program asuransi kesehatan atau JPKM menjadi jelas. Ada yang

berpendapat bahwa jika JPKM itu suatu asuransi, maka program JPKM hams tunduk pada

UU No. 2/92 tentang asuransi. Tetapi, jika JPKM bukan asuransi, maka UU No. 2/92 tidak

bisa digunakan untuk pengaturan atau rujukan program JPKM. Lalu bagaimana dengan UU

No. 3/92? Apakah program JPK Askes Komersial di Indonesia 75 H Thabrany Jamsostek itu

suatu JPKM atau asuransi kesehatan atau bukan? Kalau JPK Jamsostek adalah JPKM atau

asuransi, maka kenapa harus tunduk pada UU sendiri? Soal peraturan mana yang

mengatur; apakah itu UU No. 2/92, No. 3/92, atau UU No. 23/92, semuanya sarna saja bagi

penduduk atau peserta yang akan mendapatkan jaminan kesehatan. Semuanya adalah

undang-undang Negara RI. Semuanya disetujui oleh DPR dan diundangkan oleh Presiden.

Jadi semuanya sama-sama ikut mengatur agar penduduk mendapatkan pelayanan

kesehatan yang dibutuhkan. Kemanapun suatu program mengacu, tidak jadi masalah bagi

masyarakat. Semuanya dapat ditempatkan dan diatur bersama, sehingga bisa saling

memperkuat kepentingan Nasional di dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan,

produktifitas dan kualitas hidup rakyat. Secara objektif kita hams membandingkan ciri-ciri

kontrak asuransi dan kontrak JPKM. Apabila keduanya memiliki kesamaan, maka JPKM

adalah asuransi. Pada Bab I kita sudah membahas empat ciri utama kontrak asuransi yaitu

kondisional, unilateral, aleotary, dan adhesi. Keempat ciri kontrak tersebut juga terdapat

dalam JPKM dan JPK Jamsostek. Oleh karenanya, baik JPKM maupun JPK Jamsostek

merupakan juga asuransi yang tidak diselenggarakan oleh perusahaan asuransi. Literatur

international sangat jelas mengenai klasifikasi ini. Jika pada bagian terdahulu kita sudah

membahas persamaan dan perbedaan JPKM dengan HMO, yang sangat mirip, maka kita

bisa belajar juga dari yang terjadi di Amerika. Di Amerika, HMO memang juga bukan

perusahaan asuransi tetapi yang memberikan ijin dan yang mengawasi solvensi dan

berbagai masalah hubungan peserta HMO diatur oleh Departemen Asuransi. Karena

meskipun HMO bukan perusahaan asuransi, produk yang dijualnya adalah produk asuransi.

Untuk membuat pengoperasian HMO relatif standar di tingkat federal, maka the National

Association of Insurance Commisioner (NAIC) membuat apa yang disebut NAIC HMO

Model, yang merupakan dasar untuk pengaturan HMO di masing-masing negara bagian.

Dari kepentingan publik dan kesehatan masyarakat, apakah JPKM suatu asuransi

kesehatan atau bukan, menurut hemat penulis, tidak ada bedanya. Peserta JPKM atau

asuransi kesehatan hams dapat terlindungi dari kesulitan akses (karena biaya atau

ketiadaan fasilitas) apabila mereka terkena musibah suatu penyakit secara adil, terjangkau,

dan efisien secara nasional. Inilah yang menjadi tujuan kita bersama. Kita tidak ingin ada

orang sakit yang tidak bisa berobat karena tidak memiliki uang. Kita tidak ingin orang yang

tidak perlu berobat, lalu diobati hanya karena petugas kesehatan atau pemilik usaha di

bidang kesehatan memerlukan uang. Kita tidak ingin ada pelayanan untuk orang miskin dan

ada pelayanan untuk orang kaya. Yang kita inginkan adalah adanya pelayanan kesehatan

dan pemeliharaan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan medis seseorang, terlepas dari

status ekonomi orang tersebut (equity egaliter). Apakah mekanisme pemberian

pemeliharaan kesehatan itu diberikan melalui asuransi dengan penggantian biaya,

ditanggung pemerintah, ditanggung asuransi dengan jaminan pelayanan, atau ditanggung

JPKM dengan pelayanan di tempat tertentu; buat masyarakat tidak jadi masalah. Yang jadi

masalah bagi masyarakat adalah jika mereka tidak bisa mendapatkan jaminan yang

memadai atau mendapat jaminan yang memadai tetapi biayanya (premi, iuran, kontribusi,

dll) mahal. Askes Komersial di Indonesia 76 H Thabrany Konsekuensi serius dapat terjadi

jika kita bersikeras bahwa JPKM bukan asuransi dan karena JPKM tidak dikelola menurut

prinsip-prinsip asuransi. Hal ini akan membawa akibat sangat berat bagi peserta JPKM

sendiri. Peserta JPKM akan mudah sekali menjadi korban karena adanya kontrak adhesi

dimana peserta berada pada posisi lemah. Karena bisnis JPKM adalah bisnis risiko, maka

persyaratan permodalan dan manajemen hams diatur sangat ketat agar peserta tidak

dirugikan. Kasus bapel JPKM nIBI (International Health Benefit Indonesia) yang kini bangkrut

sementara dana deposito (modal) yang disetor di Depkes hanya sekitar 2,5% dari

kewajibannya yang tidak dibayarkan ke RS (menurut sebuah sumber), merupakan pelajaran

yang sangat berharga. Jika saja JPKM dikelola menurut prinsip-prinsip asuransi yang baik,

hal itu kecil kemungkinannya terjadi. Akibatnya banyak RS di Jakarta yang kehilangan

kepercayaan terhadap JPKM. Inilah salah satu contoh, akibat serius dari tidak tepatnya kita

menempatkan JPKM. Apakah Depkes tidak boleh mengatur asuransi kesehatan? Menurut

penulis, tidak ada alasan untuk itu. Di Amerika, Departemen Kesehatan dan Pelayanan

Sosial bahkan menyelenggarakan sendiri asuransi kesehatan sosial (Medicare), yang di

dalam administrasinya dikelola oleh Health Care Financing Administration (HIAA, 1996;

HIAA, 1995; Kongsvedt, 1 996)ii. Undang-undang asuransi sosial kesehatan di Jerman

diatur dan diawasi oleh Departemen Kesehatan Federaliii. Di Taiwan, Biro Asuransi

Kesehatan Nasional merupakan lembaga di bawah Departemen Kesehataniv. Tidak ada

alasan bahwa Departemen Kesehatan tidak boleh mengatur asuransi kesehatan, sehingga

JPKM hams bukan asuransi. 4.1.4. Perkembangan dan rencana ke depan Sampai dengan

saat ini terdapat 21 bapel yang telah mendapatkan ijin operasional JPKM dari Depkes.

Masih puluhan permohonan yang sedang dalam proses perolehan ijin. Pada umumnya

bapel yang telah mendapat ijin hanya bermodal sangat kecil untuk ukuran asuransi

kesehatan. Ada bapel yang hanya bermodalkan Rp 30 juta rupiah yang telah mendapatkan

ijin operasional dari Depkes. Bapel yang bermodal relatifbesar hanya memiliki modal Rp 500

juta saja. Hal ini tentu saja mempengaruhi kinerja penjualan dan pelayanan yang diberikan

oleh para bapel tersebut. Jumlah tertanggung sebuah bapel di tahun 1999 ada yang hanya

mencapai 441 jiwa sedangkan jumlah peserta bapel terbesar (di luar peserta perusahaan

asuransi) hanya berkisar pada 28.878 orang saja (yang pada akhir tahun 2000 telah

bangkrut karena kesulitan solvabilitas)", Jumlah tertanggung yang mampu diraih oleh bapel

JPKM tersebut adalah sebagai berikut: 3 Thabrany, H. Pujianto, Mundiharno, Djazuli.

Laporan Subsidi Silang Bapel dan Pemda. PT MJM-Dirat JPKM, Jakarta 2001 Askes

Komersial di Indonesia 77 H Thabrany Tabel4.1 Perkembangan jumlah tertanggung yang

diperoleh oleh bapel JPKM, 1998-1999 1998 1999 2000 Jumlah bapel 14 17 21 Jumlah

tertanazuna 108.000 108.000 286.734* Sumber: Profil Kesehatan 2000, Laporan Subsidi

Silang JPKM, Dirat JPKM. * Angka perkiraan dan termasuk peserta bapel IHBI dan BCS

yang telah bangkrut, yang berjumlah sekitar 30.000 tertanggung .. Produk yang dijual bapel

JPKM maupun oleh perusahaan asuransi sangat bervariasi dari yang hanya menanggung

perawatan di puskesmas dengan pembayaran kapitasi dan penggantian biaya rawat inap di

RS maksimum Rp 250.000 sampai yang menanggung perawatan di luar negeri. Paket

dengan jaminan sampai perawatan di luar negeri dijual oleh PT Askes Indonesia, yang akan

dibahas tersendiri di bagian belakang bab ini. Premi jual bervariasi dari Rp 1.000 sampai

yang berharga diatas Rp 100.000 per orang per bulan. Salah satu contoh paket dan

preminya dicantumkan dalam Bab I tentang ilustrasi produk asuransi kesehatan komersial

dan sosial. Penyebab lambatnya pertumbuhan bapel dan peserta JPKM antara lain adalah:

1. Konsep JPKM dinilai terlalu ideal padahal konsep tersebut bertumpu pada mekanisme

asuransi kesehatan komersial yang sehamsnya merespons permintaan. Akibatnya tidak

banyak investor berpengalaman yang berminat menanamkan modalnya dalam bidang ini. 2.

Peraturan bapel dan PPK yang tidak kondusif untuk bisnis jaminan dan terlalu birokratis.

Dalam prakteknya Depkes tidak mampu memantau dan menjamin peraturan yang dibuatnya

dipatuhi oleh badan penyelenggara. 3. Tersedia pilihan menjual asuransi kesehatan di luar

JPKM yaitu yang berdasarkan UU Asuransi. Perusahaan asuransi dapat menjual produk

asuransi kesehatan tradisional, yang lebih mudah dan menarik, maupun produk yang mirip

JPKM tanpa hams terikat pada peraturan JPKM. 4. Biaya kesehatan yang mahal belum

menjadi masalah utama pembiayaan kesehatan kita, bahkan justeru sebaliknya. Program

JPKM yang menjanjikan pengendalian biaya menjadi tidak re1evan. Hal ini sangat berbeda

dengan di Amerika dimana hampir semua orang sangat khawatir akan mahalnya biaya

kesehatan, sehingga berbagai upaya pengendalian biaya melalui managed care menjadi

pilihan yang menarik. 5. Contoh-contoh penyelenggaraan JPKM yang diselenggarakan

Depkes memberikan kesan bahwa JPKM adalah produk inferior. Percontohan JPKM di

Klaten dan di berbagai proyek HP IV menggunakan sarana puskesmas sebagai PPK dan

dengan premi yang hanya berkisar pada Rp 1.000 - Rp 2.000 per bulan. Hal ini sama sekali

tidak bisa meyakinkan pembeli bahwa JPKM mempunyai jurus jaga mutu atau meyakinkan

bahwa mutu pelayanan yang diberikan patut untuk dibeli. 6. Masih murahnya pelayanan

kesehatan yang dapat diperoleh di puskesmas dan rumah sakit pemerintah menyebabkan

masyarakat tidak merasakan sakit sebagai ancaman keuangan mereka di kemudian hari. 7.

Masih luasnya sikap risk taker di masyarakat dimana kesakitan dinilai sebagai suatu

fenomena alamiah yang harus diterima sebagai takdir. Askes Komersial di Indonesia 78 H

Thabrany 8. Masih kuatnya sifat gotong royong tradisional masyarakat dimana apabila salah

seorang keluarga atau kerabat sakit, masyarakat yang lain ikut membantu meringankan

beban biaya si sakit. 9. Belum memadainya sumber daya manusia yang mampu mengelola

asuransi kesehatan, apalagi JPKM yang manajemennya lebih kompleks dari pengelolaan

asuransi kesehatan tradisional 10. Belum baiknya peraturan dan penegakan hukum dalam

praktek asuransi kesehatan termasuk JPKM, sehingga kasus-kasus penyimpangan

penyelenggaraan asuransi kesehatan dan asuransi lainnya menjadi trauma masyarakat

yang mendorong mereka tidak berasuransi. Penjualan produk JPKM yang dijual perusahaan

asuransi lebih berkembang ketimbang yang dijual oleh bapel-bapel JPKM yang mendapat

ijin operasional dari Depkes. Produk JPKM antara lain juga di jual oleh perusahaan asuransi

sepert PT Askes, PT Tugu Mandiri, dan PT Allianz. Perkembangan produk JPKM yang dijual

oleh perusahaan asuransi jauh lebih banyak dari yang dijual oleh Bapel JPKM. Jumlah

tertanggung atau anggota yang mampu diraih oleh perusahaan asuransi jauh lebih banyak

dari yang mampu dijual oleh bapel JPKM. Jumlah peserta yang diraih PT Askes tahun 1999

sudah mencapai lebih dari 650 ribu peserta dari 2.239 perusahaan dan pada tahun 2001 ini

diperkirakan mencapai satu juta jiwa (Lihat Tabel 4.1). Perusahaan asuransi Tugu Mandiri

dan Allianz masing-masing telah mampu memperoleh lebih dari 50.000 peserta managed

care yang secara garis besar sarna dengan produk JPKM. Hal ini antara lain disebabkan

karena kepercayaan pembeli (perusahaan) jauh lebih tinggi kepada perusahaan asuransi

daripada kepada bapel JPKM. Kedua, pemilikan modal bapel JPKM pada umumnya sangat

lemah sehingga bapel tersebut tidak mampu merekrut tenaga profesional yang memadai

jumlah dan kualitasnya. Ketiga produk yang dijual bapel JPKM kurang mampu bersaing

(cakupan dan harganya) dengan produk yang dijual oleh perusahaan asuransi. Gambar 4.1.

Perkembangan penjualan produk HMO/JPKM PT Askes Indonesia, 1995-1999 700 600 500

400 300 200 100 o 1995 1996 1997 1998 1999 Sumber: Laporan Manajemen PT Askes

Indonesia, 1999 Askes Komersial di Indonesia 79 H Thabrany Perkembangan jumlah bapel

dan jumlah penduduk yang dijamin melalui bapel JPKM yang tidak memuaskan, kemudian

mendorong Depkes memperluas program ini. Pada waktu menjadi Menkes Prof. Farid

Moeloek berhasil meyakinkan Presiden Habibie bahwa kesehatan dan pendidikan

merupakan kunci keberhasilan Indonesia di dalam bersaing di dunia global. Untuk itu

dicanangkan Indonesia Sehat 2010 yang dimaksudkan untuk menjadikan setiap langkah

pembangunan berwawasan kesehatan. Dalam Indonesia Sehat 2010 ini terdapat empat pilar

utama yaitu: paradigma sehat, profesionalise, desentralisasi, dan JPKM. Masuknya JPKM

sebagai salah satu pilar Indonesia Sehat 2010 mendorong berbagai upaya untuk

memperluas JPKM. Dibentuklah Direktorat Khusus JPKM yang diharapkan dapat

memperkuat perkembangan JPKM. Sebelum itu, JPKM hanya diurus di bawah koordinasi

Sub Direktorat BIUK (Bina Institusi Upaya Kesehatan) yang tidak khusus menangani JPKM.

Untuk mendorong meluasnya cakupan bapel JPKM, maka dalam rangka program Jaring

Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) dikembangkan stimulasi JPKM dengan

pendirian pra bapel di setiap kotalkabupaten di akhir tahun 1998. Setiap pra bapel diberikan

dana sebesar Rp 10.000 per keluarga miskin untuk menjadikan keluarga tersebut anggota

JPKM. Pra bapel diberikan dana 8% (Rp 800 per keluarga) untuk biaya manajemen seperti

penerbitan kartu dan pemantauan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Sisa dana yang Rp

9.200 dibayarkan kepada puskesmas untuk digunakan khususnya untuk upaya promotif dan

preventif. Tercatat 354 pra bapel (termasuk beberapa bapel berijin) mendapatkan dana

stimulan tersebut. Direncanakan dana tersebut akan diberikan selama dua tahun dan

selama masa tersebut diharapkan para bapel dapat berkembang menjadi bapel penuh dan

mampu menjual produk JPKM kepada keluarga yang tidak miskin. Besamya dana yang

dikucurkan pemerintah seluruhnya berjumlah Rp 180 milyar. Program ini tidak mendapatkan

dana pada tahun kedua seperti yang direncanakan semula. Sampai saat ini pada umumnya

pra bapel tersebut belum atau tidak bisa berkembang menjadi bapel penuh. Selain alasan

dana tahun kedua yang tidak dikucurkan, hampir semua bapel yang dikembangkan tidak

memiliki modal sendiri yang memadai. Pada umumnya pra bapel tersebut juga tidak memiliki

pengalaman dalam berbisnis jaminan kesehatan sehingga tidak berkembang seperti yang

diharapkan. Menyadari bahwa JPKM secara sukarela tidak bisa berkembang seperti yang

diharapkan, maka Depkes berkeinginan menjadikan kepesertaan JPKM wajib. Sebenamya

bisa dihasilkan PP, akan tetapi PP tidak bisa bertentangan dengan UU Kesehatan yang

tidak menyebutkan keanggotaan JPKM bersifat wajib. Jadi jika JPKM mau diwajibkan, maka

tidak ada pilihan lain kecuali hams membuat suatu UU yang mewajibkan. Maka sejak

Desember 1998 dirancanglah RUU JPKM. Namun demikian sampai Oktober 2001 , draft

tersebut belum dibahas di DPR. 4.1.5. Masalah yang dihadapi Banyak pihak tidak melihat

bahwa JPKM berhasil merealisir model-model yang diharapkan. Penyebab utamanya adalah

terlalu idealnya program disusun yang tidak sesuai dengan keadaan pasar di Indonesia.

Konsep HMO yang terdengar rasional seperti menjamin Askes Komersial di Indonesia 80 H

Thabrany paket komprehensif, bermutu, dan berkesinambungan dengan biaya terkendali

tidak sesuai dengan keadaan pasar di Indonesia. Keinginan JPKM mampu mengendalikan

biaya dengan pembayaran kapitasi tidak ditunjang oleh pasar pelayanan yang 85% masih

didominasi pembayar per orangan dengan tingkat harga yang masih sangat rendah.

Pemberi pelayanan tidak suka dan tidak siap menerima pembayaran kapitasi, karena pasar

dari pasien perorangan masih sangat kuat. Tingkat persaingan antara PPKpun, kecuali di

kota besar seperti Jakarta, masih sangat rendah. Biaya kesehatan di Indonesia juga masih

sangat rendah sehingga tidak mendorong berbagai pihak memikirkan pengendalian biaya.

Bahkan masalah utama pembiayaan kesehatan di Indnesia adalah rendahnya pengeluaran

pemerintah dan masyarakat. Hal ini sangat berbeda dengan masalah pembiayaan

kesehatan di Amerika yang sudah memprihatinkan semua pihak. Dengan demikian, upaya

menerapkan konsep-konsep HMO di Indonesia tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan.

Jaminan komprehensif yang dijagokan pada akhirnya hanya sampai slogan belaka karena

kemampuan pembeli pada umumnya belum sanggup untuk menjamin pelayanan

komprehensif. Perusahaan asuransi besarpun tidak semuanya menjamin paket

komprehensif seperti yang diselenggarakan HMO di AS atau asuransi kesehatan lainnya di

dunia. Jaminan pelayanan yang bermutu sangat kontradiktif dengan percontohan JPKM dan

program JPKM JPSBK yang menggunakan puskesmas sebagai PPK. Meskipun pasien yang

berkunjung ke puskesmas di Jakarta setiap harinya memang banyak, pada umumnya

golongan menengah keatas, yang mampu tidak ke puskesmas. Mereka yang mampu,

bahkan yang kurang mampu sekalipun, lebih memilih ke dokter praktek sore untuk

mendapatkan pelayanan yang dipercaya lebih bermutu. Akibatnya timbul stigma bahwa

program JPKM adalah program untuk orang miskin. Dengan melekatnya citra puskesmas

yang bagi masyarakat menengah keatas dinilai tidak bermutu, maka kepercayaan terhadap

JPKM menjadi tererosi. Bercampur-baurnya konsep membantu yang miskin, menggerakan

pembiayaan oleh masyarakat model dana sehat, harapan efisiensi dari usaha pencari laba,

menjual premi sesuai kemampuan peserta, dan berbagai keinginan ideal lainnya bercampur

baur dalam konsep JPKM. Akibatnya program ini tidak bisa bergerak karena terlalu banyak

arah/ tujuan yang hendak dicapai. Terjadilah gerakan yang saling berlawanan sehingga

program tidak bergerak. Sebagai contoh, JPKM diharapkan sebagai program memandirikan

masyarakat dalam membiayai kesehatan, tetapi banyak pra bapel bahkan beberapa bapel

menempatkan target sasaran program JPKM justeru masyarakat ekonomi lemah. Program

JPKM ingin memberikan pelayanan bermutu dan dengan biaya terkendali, akan tetapi pra

bapel dan beberapa bapel menjual produknya dengan premi sesuai kesepakatan atau atas

dasar perhitungan tarif puskesmas. Jelas hal ini bertentangan dengan konsep komersial

yang menjadi bisnis utama badan usaha yang seharusnya menjawab permintaan.

Persyaratan bapel dan kewajiban bapel yang digariskan oleh Permenkes 527 dan 571 tidak

ditunjang oleh kemampuan pemerintah memantau, membina, dan mengawasi

penyelenggaraan sesuai dengan peraturan yang telah dibuat. Lemahnya kemampuan

keuangan dan manajemen para bapel berijin juga membuat pemerintah setengah-setengah

dalam mengendalikannya. Jika dikendalikan terlalu ketat, sesuai peraturan yang ada, bisa

jadi semua bapel akan mundur. Jika peraturan tidak ditegakkan maka akan menjadi

preseden yang tidak baik bagi perkembangan JPKM selanjutnya. Askes Komersial di

Indonesia 81 H Thabrany Singkatnya, JPKM tidak berkembang seperti yang diharapkan

karena terlalu banyak yang hendak dicapai oleh program ini pada situasi yang belum

memungkinkan untuk itu. If we want to get everything then we will get nothing. Agar JPKM

yang sudah menjadi salah satu pilar Indonesia Sehat 2010 dapat berkembang, perlu

perhatian serius dari pemerintah. Berbagai peraturan JPKM perlu ditinjau kembali (apabila

tujuan yang hendak dicapai tidak berubah) untuk lebih menyesuaikan JPKM dengan kondisi

lingkungan yang memungkinkannya berkembang. 4.2. Asuransi Kesehatan Tradisional

Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab I pasal 1, yang dimaksud asuransi kesehatan

tradisional adalah sistem asuransi yang pada umumnya memberikan penggantian dalam

bentuk uang tunai atau penggantian biaya berobat. Bentuk yang paling tradisional adalah

dimana asuradur tidak melakukan kontrak dengan PPK. Dalam prakteknya, bentuk ini

tidaklah banyak, baik di Indonesia maupun di Amerika. Di Indonesia banyak perusahaan

asuransi yang melakukan kontrak dengan PPK, khususnya rumah sakit, untuk memberikan

pelayanan kepada pemegang polis dan tertanggung kemudian RS tersebut melakukan

penagihan kepada asuradur. Pembayaran kepada RS biasanya dilakukan secara fee for

services (FFS). Dalam konteks seperti ini, tidak ada perbedaan berarti antara asuradur

tradisional dengan bapel JPKM, karena kebanyakan bapel JPKM juga membayar RS

menurut pelayanan yang diberikan (FFS). Hams disadari bahwa cara pembayaran tersebut

sangat tergantung pada kondisi pasar setempat dan tingkat persaingan asuransi. Dengan

demikian, membagi produk asuransi berdasarkan bentuk JPKM dan asuransi kesehatan

tradisional sangat sulit dilakukan. Faktanya perusahaan asuransi juga menjual produk yang

mirip dengan JPKM atau produk hibrid seperti PPO (preferred provider organization) di

Amerika. Untuk lebih memudahkan penyajian, apa yang akan dibahas di dalam bab ini

adalah produk-produk asuransi yang dijual oleh Perusahaan Asuransi yang beroperasi atas

dasar UU Asuransi No. 2/1992. Sejarah penjualan asuransi kesehatan tradisional

sebenamya telah berlangsung lama. Pada awal tahun 1970an perusahaan asuransi Nasuha

telah menjual produk asuransi kesehatan. Beberapa produk asuransi kesehatan penyakit

kanker telah juga dijual pada tahun 70an. Namun pada umumnya penjualan produk asuransi

kesehatan pada saat itu pada umumnya berbentuk produk tumpangan (rider) dan hanya

dijual oleh beberapa perusahaan asuransi saja. Produk asuransi kesehatan belum

mendapat perhatian masyarakat, peraturan belum jelas dan pasamya juga masih sangat

terbatas. Baru setelah UU No 2/92 mencantumkan bahwa perusahaan asuransi jiwa boleh

menjual produk asuransi kesehatan dan UU Jamsostek dikeluarkan seminggu kemudian,

maka penjualan asuransi kesehatan menjadi ramai. Askes Komersial di Indonesia 82 H

Thabrany 4.2.1. Landasan Hukum Kata kesehatan masuk dalarn UU No 2/92 pada dua

bagian yaitu pada bagian obyek asuransi dan pada pasal 1. Dalam pasal 4 disebutkan

"Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha di bidang asuransi jiwa,

asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan diri ... ".4 Pada awalnya pasal ini menimbulkan

kontroversi dan protes di kalangan perusahaan asuransi kerugian. Dalarn UU Asuransi,

usaha asuransi dibagi menjadi dua bagian besar yaitu: Asuransi kerugian dan asuransi jiwa.

Selain kedua bentuk usaha asuransi tersebut, terdapat usaha re-asuransi dan penunjang

asuransi seperti aktuaria, agen, dan penilai risiko yang diperkirakan menjadi beban asuradur

(underwriter). Melihat sifat risikonya, asuransi kesehatan merupakan asuransi kerugian

karena besarnya kehilangan dapat diukur dengan mudah, yaitu biaya pengobatan atau

perawatan akibat kehilangan kesehatan. Sementara pada asuransi jiwa, besarnya risiko

tidak bisa diukur akan tetapi bisa dikuantifikasi. Oleh karenanya sifat alarniah jenis asuransi

jiwa berbeda dengan asuransi kesehatan. Narnun, jika dilihat dari obyeknya sarna-sarna

manusia, usaha asuransi jiwa dan kesehatan sangat erat hubungannya. Itulah sebabnya

dalarn UU tersebut hanya disebutkan bahwa usaha asuransi jiwa dapat menjual asuransi

kesehatan sementara penegasan itu tidak perlu dilakukan karena asuransi kesehatan

merupakan asuransi kerugian. Jadi perusahaan asuransi kerugian secara otomatis boleh

menjual asuransi kesehatan. Banyak orang berpendapat bahwa adanya UU Asuransi, UU

Jamsostek dan UU Kesehatan menimbulkan konflik karena semuanya mengatur asuransi

kesehatan. Hal ini sebenamya tidak tepat. Undang-undang asuransi tidak mengatur asuransi

kesehatan. UU asuransi mengatur berbagai persyaratan modal, operasional, dan pelaporan

perusahaan asuransi, reasuransi, dan penunjang asuransi. Undang-undang asuransi sarna

sekali tidak mengatur kontrak spesifik asuransi kesehatan seperti halnya berbagai UU di

Amerika yang misalnya mengatur paket minimum, pre-existing condition, dan portabilitas.

Undang-undang dan peraturan lain yang merincinya hanya mengatur bisnis asuransi, tanpa

mengatur produk masing-masing asuransi. Sementara itu UU Kesehatan juga tidak

mengatur asuransi kesehatan meskipun dalarn pasal 66 disebutkan bahwa pemerintah

mendorong pengembangan JPKM, yang merupakan salah satu produk asuransi kesehatan.

Namun demikian, dalarn pengaturan JPKM selanjutnya yang diatur dengan Permenkes,

pada hakikatnya Permenkes tersebut memang mengatur bisnis asuransi kesehatan yang

dijual oleh bukan perusahaan asuransi (yaitu oleh bapel JPKM). Memang di Amerika, produk

yang sarna dengan JPKM (HMO) umumnya diatur oleh Departemen Asuransi karena

meskipun produk HMO sarna sekali tidak menggunakan narna asuransi, pada hakikatnya

produk yang dijual adalah produk asuransi kesehatan. 4.2.2. Produk asuransi kesehatan

traditional dan manfaat pelayanan Produk asuransi kesehatan tradisional dapat dibagi

menjadi dua bagian besar yaitu produk asuransi kumpulan/grup dan produk perorangan.

Produk asuransi kumpulan dapat dibedakan menjadi dua bagian besar yaitu: 4 __ Himpunan

Peraturan Perundang-undangan Bidang Usaha Asuransi. Dirjen Lembaga Keuangan RI,

1993. Askes Komersial di Indonesia 83 H Thabrany 1. Produk standar yang dibuat

perusahaan dimana pembeli tinggal memilih produk produk yang telah dibuat. Produk ini

sama dengan produk asuransi kesehatan perorangan dimana pembeli hanya bisa memilih

dari produk yang telah ada. Untuk produk kumpulan, produk standar ini dijual ke kumpulan

(umumnya masih ke perusahaan) yang relatif kecil, 2. Produk rancangan khusus (taylor

made) yang dibuat atas dasar permintaan pembeli yang menginginkan pelayanan tertentu

dijamin. Misalnya, ada perusahaan yang meminta jaminan rawat inap sampai 90 hari tanpa

memperhitungkan jumlah hari rawat di ICU. Ada perusahaan yang menginginkan

transplantasi ginjal dan sumsum ditanggung, Bahkan ada perusahaan yang menginginkan

tidak ada batasan. Mengingat sifatnya yang komersial, produk asuransi kesehatan dapat

sangat beragam yang mencerminkan kombinasi dari jaminan yang diberikan, cara

pembayaran manfaatlbenefit, besarnya biayalbeban sendiri, dan jaringan PPK yang boleh

digunakan, Jika dihitung kombinasi dari berbagai aspek tersebut diatas, maka secara teoritis

dapat tersusun lebih dari satu juta produk asuransi kesehatan. Hal tersebut tergantung dari

berbagai kombinasi, seperti : 1. Cakupan pelayanan yang ditanggung yang dapat bervariasi

dari pelayanan promotif preventif sampai pelayanan jangka panjang (long term care) (lihat

gambar 4.2). 2. Besamya biaya sendiri yang dapat berupa biaya pertama (deductible), iur

biaya (co payment/coinsurance), batas pertanggungan maksium (limit) per perawatan, per

penyakit, atau total manfaat setahun. 3. Cara pembayaran manfaatlbenefit yang dapat

berupa uang tunai tanpa terkait dengan pelayanan yang diberikan, penggantian biaya

dengan atau tanpa batas maksium per pelayanan atau per perawatan setelah tertanggung

membayar dulu di muka, pembayaran langsung ke PPK, ataupun kontrak pembayaran

khusus seperti kapitasi. 4. Pilihan PPK seperti dokter praktek, dokter spesialis, rumah sakit,

kelas perawatan, PPK tertentu yang telah dikontrak atau bebas memilih dimana saja,

tanggungan pelayanan kesehatan di dalam dan di luar negeri. 5. Pelayanan tambahan lain

yang digabungkan yang dapat berupa santunan kecelakaan diri, sakit pada waktu bepergian

ke luar negeri, santunan kematian, ongkos ambulan, biaya repatriasi/evakuasi, santunan

cacat tetap, dan pengembalian premi Askes Komersial di Indonesia 84 H Thabrany

Gambar4.2 Potensi Cakupan Pelayanan Dalam Paket Pertanggungan Asuransi Kesehatan

Promotif Sehat Mati 11/ ,,::)! Klinis .:-.:"" :"'":..;..:..;..:..:...:..:...:..:...:.;...: •.. :-...,. . Ganggu

kegiatan ::::::::::.:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::: :Ar. : :.: : d produlrtif:yg:hilang::::::: ............

i/Gagill: : : : : : : : : : : : : : : : : : : Pen: . embuhan' iak :seiii· . Utiiaicacat WaktulUmur Pada

umumnya paket jaminan yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi adalah sebagai berikut:

1. Rawat Inap di Rumah Sakit a. Biaya rawat inap • Umumnya masa rawat inap yang dijamin

bervariasi dari maksimum 60 hari sampai 365 hari setahun • Umumnya untuk setiap

perawatan di rumah sakit asuradur memberikan santunan berupa uang sejumlah tertentu,

misalnya Rp 100.000 Rp 500.000 per hari. Tertanggung dapat menggunakan dana tersebut

untuk membiayai perawatan dan atau keperluan lain misalnya transportasi, biaya keluarga di

rumah, dan lain-lain. b. Penggantian biaya ruang perawatan dan makanan (room & board) •

Mencakup biaya ruang, makanan, dan pelayanan asuhan keperawatan rutin. • Penggantian

biaya atas dasar plafonibatas maksimum per hari sesuai paket yang dibeli peserta atau

perusahaan. Biasanya penggantian mengacu pada tarif kamar tertentu di RS swasta,

misalnya kelas III, kelas II, dsb. • Penggantian biaya penuh sesuai tagihan rumah sakit.

Pada produk ini seringkali asuradur membayarkan langsung ke RS atas tagihan RS. Askes

Komersial di Indonesia 85 H Thabrany c. Biaya pelayanan dan bahan medis lain (biaya

aneka) • Biaya konsultasi dokter/visite yang dapat dibatasi jenisnya (dokter umum/spesialis)

atau jumlahnya per hari atau dalam bentuk maksimum biaya yang diganti. • Kebanyakan RS

membedakan jenis-jenis biaya ini dalam tagihan/k1aimnya. • Biaya obat atau bahan medis

yang masuk kelompok medicines, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan laboratorium,

pemakaian ruang operasi, dan pelayanan ambulan atau fasilitas lain. • Bebarapa produk

membatasi biaya obat pada obat-obat generik atau sesuai dengan resep dokter • Biaya

pembedahan yang mencakup sewa kamar operasi, bahan dan obat-obatan, dan honor

dokter bedah. • Biaya anestesi (jasa dan bahan) pada umumnya dimasukkan sebagai

komponen jaminan pembedahan. • Biaya-biaya ini dibayar dengan tiga cara: * Biaya

maksimum untuk tiap pelayanan yang diberikan. * Untuk pembedahan seringkali

digabungkan antara biaya dokter bedah dan anestesi dengan plafon penggantian tertentu.

Ada produk yang membedakan operasi khusus, sedang, kecil, dsb. * Dibayar penuh sesuai

tagihan rumah sakit d. Biaya Pelayanan Intensif (Intensive Care Unit) • Perawatan intesif

penyakit jantung (ICCU) atau pelayanan intensif umum (ICU) biasanya ditanggung sampai

maksimum jumlah hari, atau biaya, atau kombinasi keduanya. e. Biaya penunjang medik •

Biaya penunjang medik seperti laboratorium, radiologi, patologi anatomi, dan pemeriksaan

penunjang medis lain biasanya ditanggung dengan plafon tertentu. 2.Rawat Jalan • Rawat

jalan dokter umum maupun dokter spesialis biasanya ditanggung dengan plafon

penggantian tertentu. • Ada produk yang mengharuskan rujukan dari dokter umum untuk

menjamin perawatan oleh dokter spesialis • Biaya obat atau pemeriksaan penunjang

ditanggung dengan plafon tertentu per kali atau pertahun. 3. Asuransi Kecelakaan Diri

Asuransi kecelakaan diri (AKD) merupakan kombinasi dari asuransi kesehatan dan jiwa

karena jaminan yang diberikan tidak hanya terbatas pada biaya pengobatan apabila terjadi

kecelakaan. Justeru yang lebih ditawarkan dari AKD ini adalah jaminan cacat tetap dan

jaminan kematian akibat kecelakaan. Biasanya jaminan diberikan dalam bentuk Askes

Komersial di Indonesia 86 H Thabrany penggantian sejumlah uang apabila terjadi

kecelakaan yang memenuhi syarat pertanggungan, Perkembangan AKD dari segi premi

menempati urutan pertama asuransi kesehatan dalam periode awal. Namun demikian, kini

jumlah premi dari penjualan asuransi kesehatan yang bukan AKD sudah mulai melampaui

jumlah premi yang diperoleh perusahaan asuransi di Indonesia. 4. Asuransi Perjalanan

Asuransi perjalanan (travel insurance) kini juga mulai ramai diperdagangkan sejalan dengan

semakin banyaknya penduduk yang melakukan perjalanan untuk tujuan pekerjaan maupun

liburan. Asuransi perjalanan juga menjamin mahasiswa yang akan belajar di luar negeri.

Asuransi ini dijual untuk perjalanan satu minggu hingga satu tahun dan berlaku di seluruh

dunia. Paket jaminannya mencakup biaya perawatan/pengobatan selama perjalanan yang

diberikan dalam bentuk uang tunai, biaya evakuasi medis/repatriasi, santunan cacat, dan

mencakup santuan kematian. 5. Asuransi Kesehatan Pensiun Beberapa perusahaan

asuransi seperti Bringin Life dan Tugu Mandiri sudah menawarkan produk asuransi

kesehatan dengan pembayaran premi sekaligus atau berkala selama masa kerja. Jaminan

diberikan ketika pegawai tersebut memasuki usia pensiun sampai pegawai tersebut dan

pasangannya meninggal dunia. Karena saat ini tidak tersedia program pemerintah yang

menjamin pensiunan mendapatkan pelayanan kesehatan, produk seperti ini menarik pasar.

Namun demikian, banyak pembeli yang belum bisa yakin benar dengan produk yang

ditawarkan karena belum banyak pengalaman. Contoh paket yang ditawarkan oleh Asuransi

Bringin Life adalah: R awat man Paket Jaminan (Rp) ITEM A B C D Biaya Kamar & Makan /

Hari 250.000 125.000 75.000 50.000 Aneka Biaya Perawatan RS 10.000.000 5.000.000

3.000.000 2.000.000 Biaya Operasi 10.000.000 5.000.000 3.000.000 2.000.000 Kunjungan

Dokter / Hari 62.500 31.250 18.750 12.500 Maksimum santunan per tahun 48.125.000

24.062.500 14.437.500 9.625.000 Rawat jalan Rawat jalan juga ditanggung dengan jaminan

maksimum per tahun dan rincian sebagai berikut: A B 1.250.000 1.000.000 Askes Komersial

di Indonesia 87 H Thabrany Ruang Lingkup Rawat Jalan : a. Rawat Jalan Tingkat Pertama :

• Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter umum. • Pemeriksaan dan pengobatan oleh

dokter gigi • Pemberian obat-obatan sesuai dengan kebutuhan medis b. Rawat Jalan Tingkat

Lanjutan : • Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter spesialis • Pemberian obat-obatan

sesuai dengan kebutuhan medis c. Penunjang Diagnostik : • Pemeriksaan laboratorium klinik

dan pelayanan radiology • Pelayanan elektromedis : EEG, EKG, EMG dan USG • Pelayanan

Endoskopi, CT Scanning dan MRI d. Pelayanan Emergency (Gawat Darurat) : •

Kecelakaan/rudapaksa • Serangan jantung • Serangan asma berat • Kehilangan kesadaran •

Kejang dengan demam tinggi • Muntah berak disertai dehidrasi • Kolik (kejang perut) e.

Pelayanan Rehabilitasi • Kacamata • Gigi palsu • Alat Bantu dengar • Alat kesehatan : pin,

srew Askes Komersial di Indonesia 88 H Thabrany Contoh produk askes tradisional (dari

sebuah iklan di harian Kompas, 21 September 2001). Produk: Santunan tunai harian untuk

rawat inap Karakteristik produk/manfaat: * Santunan uang tunai, maksimal Rp 200.000

apabila peserta dirawat di rumah sakit di tahun pertama * BONUS tambahan santunan Rp

50.000 per hari untuk tahun kedua dan seterusnya * Lama kontrak delapan tahun Daya tarik

yang ditawarkan: * Uang kembali 100%. Seluruh premi yang dibayarkan akan dikembalikan

pada akhir tahun ke delapan, meskipun peserta telah mengajukan klaim berkali -kali * Bebas

memilih rumah sakit di dalam dan di luar negeri * Tidak perlu pemeriksaan kesehatan. *

Peserta diberikan waktu 15 hari untuk mempelajari polis. Apabila dalam 15 hari prospek

merasa polis tidak sesuai harapannya, maka polis dapat dibatalkan dan premi yang telah

dibayar dikembalikan 100% * Pendaftaran mudah, melalui pos atau fax. Tabel: Santunan

tunai harian dan per tahun (Rp) Masa PaketA PaketB PaketC kontrak Perhari Perth Perhari

Perth Perhari Perth Thke 1 100.000 36.500.000 150.000 54.750.000 200.000 73.000.000

Thke2 150.000 54.750.000 200.000 73.000.000 250.000 91.250.000 Thke3 200.000

73.000.000 250.000 91.250.000 300.000 109.500.000 Thke4 250.000 91.250.000 300.000

109.500.000 350.000 127.750.000 Thke5 300.000 109.500.000 350.000 127.750.000

400.000 146.000.000 Thke6 350.000 127.750.000 400.000 146.000.000 450.000

164.250.000 Thke7 400.000 146.000.000 450.000 164.250.000 500.000 182.500.000 Thke8

450.000 164.250.000 500.000 182.500.000 550.000 200.750.000 Tabel: Besarnya premi

bulanan per orang (Rp) Usia (tahun) PaketA PaketB PaketC 0-15 42.000 50.520 58.500 16-

39 125.250 148.500 171.750 40-44 168.750 200.250 232.500 45-49 230.250 272.250

314.250 50-54 338.250 399.750 462.000 55-57 406.500 485.250 563.250 Askes Komersial

di Indonesia 89 H Thabrany 4.2.3. Perkembangan Perkembangan kepesertaan dan

pero1ehan premi sete1ah dike1uarkannya undang undang asuransi menunjukkan

perkembangan yang menggembirakan perusahaan asuransi. N amun demikian, pasar

asuransi kesehatan tradisiona1 ini pada umumnya masih sangat terbatas di kota-kota besar

dan dari perusahaan-perusahaan yang cukup besar pula. Perkembangan penerimaan premi

dan klaim usaha asuransi kesehatan ada1ah seperti tercantum da1am tabe1 4.2. Tampak

da1am tabe1 tersebut perkembangan penerimaan premi oleh perusahaan asuransi

kerugian, yang menggabungkan 1aporan AKD dengan asuransi kesehatan. Tampak

pertumbuhan penerimaan premi melonjak tajam antara tahun 1996-1997. Be1um je1as

benar apa yang menyebabkan lonjakan penerimaan premi AKD dan Kesehatan ini. Namun

sete1ah tahun 1997 terjadi peningkatan yang pesat rata-rata mencapai 24% setahun. Jika

dibandingkan dengan penjua1an premi AKD dan Kesehatan yang di1akukan oleh

perusahaan asuransi jiwa, tampaknya perusasaan asuransi jiwa 1ebih mampu

memanfaatkan pe1uang asuransi kesehatan ini. Di tahun 1999 perusahaan asuransi jiwa

mampu mengumpu1kan premi sebesar hampir Rp 180 mi1yar dari produk AKD dan Rp 222

mi1yar dari asuransi kesehatan murni. Jika dilihat perbedaan antara perusahaan asuransi

nasiona1 dengan patungan, tampaknya perusahaan patungan dengan asing 1ebih mampu

mengeruk premi asuransi kesehatan. Hal ini mungkin terkait dengan tingkat kepercayaan

konsumen dan tingkat keahlian perusahaan asuransi international, khususnya perusahaan

asuransi Amerika yang te1ah banyak berpenga1aman menjua1 asuransi kesehatan. Jumlah

premi asuransi kesehatan tersebut tidak termasuk dengan besamya premi yang diterima

oleh PT Askes dari penjua1an produk asuransi kesehatan komersia1nya yang mencapai Rp

100 mi1yar tahun 1a1u. TabeI4.2. Perkembangan volume asuransi kesehatan dan

kecelakaan diri yang dijual perusahaan asuransi kerugian 1995-1999 (Rp juta) Premi

Pertumbuhan Tahun 1995 50.231 1996 54.243 8,0% 1997 145.568 168,4% 1998 180.130

23,7% 1999 225.049 24,9% Sumber: Laporan Kegiatan Asuransi 1999 Perkembangan

usaha asuransi kesehatan tradisiona1 di Indonesia memang baru tahap permu1aan yang

mu1ai berkembang sete1ah UU Jamsostek dike1uarkan. Pertumbuhan asuransi kesehatan

tradisiona1, se1ain disebabkan banyak usaha asuransi patungan yang te1ah

berpenga1aman menjua1 produk asuransi kesehatan, khususnya perusahaan asuransi yang

pernah beroperasi di Amerika, juga didorong oleh PP 14/93 tentang Jamsostek yang Askes

Komersial di Indonesia 90 H Thabrany membolehkan perusahaan yang sudah memberikan

pelayanan lebih baik untuk tidak ikut JPK Jamsostek. Tanpa klausul ini, usaha asuransi

kesehatan sulit berkembang lebih cepat lagi. Tabel4.3 Perkembangan penerimaan premi

AKD dan asuransi kesehatan 1998-1999 (Rpjuta) Jenis Premi 1999 Klaim 1999 perusahaan

AKD Askes AKD Askes ASURANSI KERUGIAN BUMN - Nasional 100.884,3 11.868,6

Patungan 76.029,8 28.409,0 Reasuransi 48.135,6 35.410,6 Total Asurnasi kerugian

225.049,70 75.688,2 ASURANSI nWA BUMN 2.465,4 608,5 Nasional 132.883,8 67.379.9

Patungan 44.455,7 154.906,8 Total 179.804,9 222.895,3 Asurnasi Jiwa Grand 627.749,9*

TOTAL Sumber: Laporan Kegiatan Asuransi 1999 *Jumlah tersebut tidak termasuk produk

Askes komersial yang dijual PT Askes yang masuk dalam kelompok JPKM i _ Landasan

Hukum Penyelenggaraan JPKM (kumpulan peraturan). Ditjen DPSM, Jakarta 1996. ii _

Managed care: Managed care: Integrating the Delivery and Financing of Health Care, Part A.

HIAA, Wshington D.C., 1995 __ Managed care: Managed care: Integrating the Delivery and

Financing of Health Care, Part B. HIAA, Wshington D.C., 1996 Kongstvedt, P.R. The

Managed Health Care Handbook. Third Ed. Aspen Publication, Gaithersburg, MD. 1996 iii _

Health Care in Germany. The Federal Ministry for Health, Germany. Kiel, Germany, 1995. iv

_ Bureau of National Health Insurance, Taiwan. Askes Komersial di Indonesia 91 H

Thabrany BABS Asuransi Kesehatan Nasional: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia

5.1. Pendahuluan Hampir 60 tahun lamanya, kita mendengungkan sila "Keadilan Sosial Bagi

Seluruh Rakyat dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab", tetapi sebagian besar penduduk

Indonesia belum merasakan adanya pelanggaran kedua sila tersebut apabila orang sakit

tidak dirawat karena tidak mampu membayar biaya perawatan. Penderitaan orang semacam

itu sudah dianggap suatu hal yang rutin dan diterima secara budaya. Kini semakin banyak

dokter dan rumah sakit yang semakin kurang mementingkan kesehatan pasiennya, tetapi

lebih memelihara tingkat penghasilannya. Pasien tidak mampu berbuat sesuatu karena

adanya informasi asimetri yang menempatkan pasien pada posisi lemah (consumer

ignorance). 1,2,3 Kecendrungan ini akan menambah beban berat bagi masyarakat miskin

dan yang tidak miskin sekalipun. Sampat saat ini belum ada kekuatan penyeimbang atas

informasi asimetri, kesenjangan informasi yang amat jauh, antara dokter/provider dengan

pasien yang hampir tak punya pengetahuan dan kemampuan dalam mengambil keputusan

konsumsi pelayanan kesehatan. Sebuah sistem asuransi kesehatan nasional merupakan

alat yang ampuh dalam mengatasi masalah informasi asimetri tersebut dalam menolong

konsumen (peserta/pasien) yang ignorance. Setelah dimulainya program jaminan kesehatan

masyarakat kurang mampu melalui subsidi iuran pemerintah untuk penduduk kurang

mampu, sekitar 54 juta jiwa, kini sekitar 145 juta penduduk masih terancam menjadi miskin

jika ia terserang penyakit berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit. Oleh

karenanya ada pemikiran untuk menjamin pelayanan perawatan di RS pemerintah kelas III,

apapun kelas ekonomi penduduk. Kita tidak mungkin mengandalkan mekanisme pasar

dalam mencegah dan menolong proses pemiskinan yang terus terjadi. Data-data survei

rumah tangga menunjukkan bahwa lebih dari 80% rumah tangga Indonesia menghabiskan

60% atau lebih dari pendapatannya sebulan untuk belanja makanan. Jika sebuah rumah

tangga hams membayar lebih dari 40% pendapatannya untuk berobat, maka rumah tangga

tersebut terancam mengorbankan konsumsi makanannya yang dapat menimbulkan

berbagai komplikasi penyakit dan komplikasi sosial ekonomi dari sebuah tatanan kehidupan

sebuah keluarga. Pemberian asuransi/jaminan kesehatan merupakan suatu upaya preventif

terhadap bertambah beratnya suatu penyakit, kematian, dan bahkan pencegahan terhadap

berbagai masalah so sial dan ekonomi. Inilah Paradigma baru yang hams kita pahami. AKN:

Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 92 H Thabrany 5.2. Mengapa Asuransi Kesehatan

Nasional ? Istilah asuransi di Indonesia sesungguhnya belum mendapat tempat yang cukup

baik karena pengalaman dan ketidak-tahuan penduduk. Praktek-praktek bisnis asuransi

yang masih sering menimbulkan kekecewaan pemegang polis (atau yang di Indonesia lebih

sering dikenal dengan istilah peserta), baik karena ketidak-fahaman peserta, polis yang

kurang melindungi peserta, polis yang tercetak dengan hump kecil dan sulit dibaca, maupun

karena tindakan moral hazard dari pengelola bisnis asuransi, telah menimbulkan image yang

kurang baik dari kata-kata asuransi. Ketidak-fahaman tentang asuransi di kalangan

masyarakat luas juga telah menimbulkan kesan negatif dari upaya-upaya penyediaan

asuransi secara nasional, baik dalam bidang kesehatan maupun dalam bidang perlindungan

hari tua maupun kematian. Kesanjeleknya pelayanan Askes (oleh PT Askes) yang dahulu

dirasakan oleh banyak peserta pegawai negeri golongan III dan IV masih banyak membekas

dan sering diungkapkan sebagai kelemahan nasional. Meskipun sesungguhnya banyak

perbaikan telah dilakukan Askes, namun sebagian masyarakat pegawai negeri dan swasta,

masih memiliki kesan pelayanan yang buruk. Kenyataannya PT Askes beberapa kali

mendapat penghargaan dari pengamat asuransi kesehatan dan pengamat BUMN sebagai

pengelola asuransi kesehatan terbaik. Tentu tidak mudah dan tidak cepat mengubah

persepsi yang sudah terlanjur kurang baik, khususnya oleh masyarakat kelas atas. Data

pemantauan Askes memang menunjukkan bahwa tingkat kepuasan peserta terhadap

pelayanan Askes mencapai sekitar 80%, artinya masih ada sekitar 20% peserta yang kurang

atau tidak puas. Sesungguhnya tingkat kepuasan ini merupakan tingkat yang tinggi untuk

suatu asuransi sosial. Praktek penyelenggaraan asuransi sosial juga telah terdistorsi,

dengan menyamakan badan penyelenggara sebagai unit bisnis yang hams mendapatkan

keuntungan finansial, sehingga menambah buruk kesan asuransi yang sesungguhnya

sangat netral dan merupakan alat ampuh dalam menjalin kegotong-royongan penduduk

dimanapun di dunia. Sejarah masih mencatat sampai saat ini bahwa lima badan

penyelenggara asuransi sosial, yaitu PT Askes Indonesia, PT Jamsostek, PT Taspen, PT

ASABRI, dan PT Jasa Raharja adalah BUMN Persero yang bertujuan mencari laba.4 Bentuk

badan hukum penyelenggara asuransi sosial yang merupakan PT Persero, yang secara

legal bertujuan mencari keuntungan dan inheren tidak mendapatkan subsidi pemerintah,

sama sekali tidak sesuai dengan prinsip universal, visi dan misi suatu program asuransi

sosial. Kebijakan masa lalu ini merupakan kebijakan 'keajaiban dunia ke delapan' di dunia,

karena sepanjang pengetahuan penulis, Indonesia adalah satu-satunya negara yang

menyelenggarakan program asuransi sosial dimana badan penyelenggaranya menyetorkan

laba bagi keuangan negara. Syukurlah, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional

(SJSN) telah melumskan penerapan konsep asuransi sosial dengan menetapkan keempat

BUMN tersebut sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang hams bersifat nirlaba.

Artinya, jika terdapat surplus operasional, maka dana surplus tersebut akan dikembalikan

sepenuhnya untuk manfaat bagi peserta. Pengaturan lebih • Istilah moral hazard umum

digunakan untuk tertanggung (insured), namun demikian perilaku untuk memanfaatkan

informasi asimetri guna menguntungkan pihaknya sesungguhnya dapat juga dilakukan oleh

pengelola asuransi. AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 93 H Thabrany rinci dari

prinsip nirlaba ini, pada saat ini sedang dalam proses perumusan yaitu perubahan PP

tentang BPJS yang kini masih PT Persero tersebut. Kata asuransi pernah 'diharamkan'

karena dinilai begitu jelek. Penggunaan kata asuransi pernah dihindari untuk 'membenarkan'

bahwa suatu upaya tidak terkena aturan UU asuransi. Sebagai gantinya digunakan istilah

'jaminan' yang diperdebatkan sebagai 'bukan asuransi'. Asuransi sebagai suatu instrumen

sosial mempunyai mekanisme transfer risiko, sebagai suatu instrumen yang sangat handal

dalam mengatasi berbagai risiko sosial dan ekonomi penduduk dimanapun di dunia. Segala

sesuatu yang mengandung unsur transfer risiko adalah asuransi. Tidak ada yang salah

sama sekali dengan asuransi. Dengan demikian, asuransi hams mendapat tempat yang

baik. Dalam bidang kesehatan, pelurusan istilah asuransi sudah dilakukan berbagai pihak,

antara lain oleh Professor Azrul Azwar, Sulastomo, dan Thabrany.5,6,7,8 Kini semakin

banyak orang memahami dan bahkan semakin banyak dokter dan pengambil keputusan

yang mendambakan meluasnya cakupan asuransi kesehatan. Sesungguhnya dunia

international telah lama menggunakan istilah asuransi kesehatan, baik dalam literatur

maupun dalam penyebutan program. Buku-buku teks yang mengupas manajemen risiko dan

asuransi selalu mengupas jaminan sosial dan asuransi sosial dalam sektor kesehatan. Judul

Asuransi Kesehatan Nasional (AKN) sengaja digunakan disini karena memang istilah AKN

(National Health Insurance) mudah difahami dan mudah dikomunikasikan, khususnya di

dunia internasional. Istilah AKN telah lama digunakan di Inggris, Kanada, Amerika Serikat,

Jepang, Taiwan, Filipina, Korea Selatan, dan Muangtai. Asuransi Kesehatan Nasional

sebagai suatu mekanisme transfer risiko dan pengumpulan dana (pooling risks), kegotong-

royongan (sharing risks), maupun pembayar (purchasing) pelayanan kesehatan bagi

penduduk merupakan pilihan yang paling handal dalam upaya memberikan jaminan

kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD pasal

28H ayat (1) dan pasal 34 ayat (2). 5.3. Asuransi Kesehatan Nasional di Berbagai Negara

Apa sesungguhnya Asuransi Kesehatan Nasional (AKN)? Istilah AKN (National Health

Insurance) kini semakin banyak digunakan di dunia internasional. Inggris merupakan negara

pertama yang memperkenal AKN di tahun 19119. Meskipun sistem kesehatan di Inggris kini

lebih dikenal dengan istilah National Health Service (NHS), sesungguhnya sistem tersebut

juga merupakan AKN yang dibiayai dari kontribusi wajib oleh tenaga kerja (termasuk di

sektor informal) dan pemberi kerja. Namun demikian, karena penyaluran dananya melalui

belanja negara langsung, semacam APBN di Indonesia, maka sistem di Inggris tersebut

lebih dikenal dengan NHS (tax-funded) ketimbang AKN. Negara-negara Eropa lain, pada

umumnya juga memiliki cakupan universal dengan sistem NHS yang mengikuti pola

Inggris.l'' Baik NHS maupun AKN mempunyai tujuan yang sama yaitu menjamin bahwa

seluruh penduduk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis

penduduk tersebut. Yang berbeda adalah bahwa pendanaannya AKN lebih bertumpu pada

kontribusi khusus yang bersifat wajib (yang ekivalen dengan pajak) dan dikelola secara

terpisah dari anggaran belanja AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 94 H

Thabrany negara, baik dikelola lanS.sunf. oleh pemerintah maupun oleh suatu badan kuasi

pemerintah yang otonom.U:' ,13,1 ,15 Meskipun AKN mempunyai kesamaan prinsip dan

tujuan, penyelenggaraan AKN di dunia sangat bervariasi. Kanada memperkenalkan AKN

yang kini disebut Medicare di tahun 1961 dengan prinsip dasar menjamin akses universal,

portabel, paket jaminan yang sama bagi semua penduduk dan dilaksanakan otonom di tiap

propinsi. Pendanaan AKN merupakan kombinasi dari kontribusi wajib dan subsidi dari

anggaran pemerintah pusat. Pada tahun itu, hanya rawat inap yang dijamin oleh AKN. Pada

tahun 1972, paketjaminan diperluas dengan rawat jalan. Kini seluruh penduduk Kanada

menikmati pelayanan kesehatan komprehensif tanpa hams memikirkan berapa besar biaya

yang mereka hams keluarkan dari kantong sendiri, jika mereka sakit berat sekalipun.

Beberapa jenis pelayanan rumah sakit dan obat yang bukan esensial yang tidak dijamin

AKN merupakan pangsa pasar asuransi kesehatan komersial. 16,17,18 Negara tetangga

Kanada telah lama bergelut untuk mewujudkan sebuah AKN. Pasa saat ini, AS mempunyai

asuransi kesehatan nasional rawat inap untuk penduduk diatas 65 tahun saja yang disebut

Medicare part A. Sekitar 50 juta penduduk AS yang berusia di bawah 65 tahun (sekitar 25%

penduduk usia produktif) tidak memiliki asuransi kesehatan. Ini merupakan suatu bukti

kegagalan mekanisme pasar dalam bidang kesehatan, karena AS memang didominisasi

oleh asuransi kesehatan komersial. Dengan belanja kesehatan per kapita lebih dari US$

5.000 per tahun, AS adalah satu-satunya negara maju yang tidak mampu memiliki asuransi

kesehatan nasional.!" Di Amerika di tahun 1970an, terdapat 15 usulan UU (Bill) AKN yang

semuanya kandas karena begitu banyak interes bisnis dan politik sehingga kepentingan

publik tidak terlindungi dengan baik.20 Di kala itu, 23% penduduk AS tidak memiliki asuransi

kesehatan yang didominasi oleh asuransi kesehatan komersial. Pada saat ini, 18%

penduduk AS yang tidak memiliki askes. Dalam hampir 30 tahun, AS tidak mampu

meningkatkan perluasan penduduk yang dicakup asuransi, yang dikala itu tinggal 23% saja.

Jelas sekali berbagai reformasi yang dilakukan Amerika dengan UU Portabilitas Asuransi

dan berbagai UU lain yang bertujuan memperluas cakupan asuransi, tanpa AKN, gagal

meningkatkan cakupan kepada seluruh penduduk. Inilah salah satu bukti market failure

dalam mencapai cakupan universal asuransi kesehatan. Sesungguhnya di AS telah

diusulkan puluhan model pendanaan dan penyelenggaraan yang dapat digolongkan menjadi

tiga model yaitu (1) kombinasi kontribusi wajib (payroll taxes) dan anggaran pemerintah, (2)

perluasan program Medicare dengan kontribusi wajib kepada seluruh penduduk, dan (3)

bantuan premi dari pemerintah untuk penduduk miskin dan tidak mampu.r' Upaya terakhir

untuk mewujudkan AKN di Amerika dilakukan oleh Presiden Bill Clinton di tahun 1993 yang

sekali lagi gaga! karena kekuatan perusahaan asuransi, yang memiliki dana lebih besar dan

takut kehilangan pasar, lebih mampu mempengaruhi anggota Kongres untuk menolak

usulan Clinton. Kegagalan AS dalam mengembangkan AKN, yang lebih mementingkan

kepentingan pebisnis asuransi, merupakan pelajaran yang hams sejak dini kita hindari.

Jerman dipandang sebagai negara pertama yang memperkenalkan asuransi kesehatan

sosial di jaman Otto von Bismark di tahun 1883. Pada masa lalu, jumlah badan AKN: Contoh

dan Masa Depannya di Indonesia 95 H Thabrany penyelenggara asuransi kesehatan so sial

(sickness funds), yang seluruhnya bersifat nirlaba, berjumlah ribuan. Namun demikian,

karena dorongan efisiensi dan portabilitas, banyak sickness funds yang merjer sehingga kini

jumlahnya sudah menyusut menjadi 420 saja. Semua penduduk dengan penghasilan di

bawah EUR 3.375 per bulan wajib marnbayar kontribusi yang kini mencapai 14% dari upah

sebulan. Penduduk yang berpenghasilan diatas itu, boleh tidak menjadi peserta sickness

funds, akan tetapi sekali mereka tidak ikut (opt out) dengan membeli asuransi kesehatan

komersial, mereka tidak diperkenankan ikut. Akibatnya, hanya 10% saja penduduk Jerman

yang membeli asuransi komersial.22,23,24,25 Jerman memang tidak memiliki satu lembaga

asuransi kesehatan yang secara khusus dirancang untuk menjarnin seluruh penduduk.

Namun demikian, Jerman telah menjamin seluruh penduduknya dengan biaya yang separuh

dari yang dikeluarkan Amerika. Karena hubungan sejarah dengan Jerman, sistem asuransi

kesehatan di Belanda sedikit banyak mengikuti pola-pola Jerman dengan modifikasi disana-

sini. Belanda sesungguhnya juga memberlakukan AKN dengan pooling risiko biaya medis

yang besar (exceptional medical expenses) yang dikelola oleh satu badan bersekala

nasional A WBZ. Sementara pelayanan kesehatan yang tidak mahal dikelola oleh berbagai

badan penyelenggara asuransi kesehatan sosial yang bersifat nirlaba yang diatur oleh UU

Sickness Funds Act (ZFW). Sebagian penduduk berpenghasilan tinggi dibolehkan untuk

membeli asuransi kesehatan komersial.26,27,28 Dengan model yang harnpir sarna dengan

model Jerman, sistem asuransi kesehatan di Belanda memiliki pendanaan yang berskala

Nasional untuk perawatan kasus-kasus medis yang mahal. Australia mengeluarkan UU

Asuransi Nasionalnya di tahun 1973 dengan memberikan jaminan pelayanan komprehensif

kepada seluruh penduduk Australia, baik yang berada di Australia maupun yang berada di

beberapa negara tetangga seperti di Selandia Baru dan warga negara beberapa negara

Eropa yang tinggal di Australia. Asuransi, yang juga disebut Medicare, ini dikelola oleh

Health Insurance Commisioner di tingkat negara Federal. Seluruh penduduk Australia tidak

pemah hams memikirkan biaya perawatan manakala mereka sakit dan karenanya penyakit

tidak akan membuat mereka jatuh miskin. Bagitu baiknya pengelolaan asuransi ini sehingga

untuk merangsang penduduk yang ingin membeli asuransi kesehatan swasta diberikan

perangsang pengurangan kontribusi asuransi wajib?9,30,31 Sebagai sekutu Jerman dalarn

Perang Dunia II di Asia, Jepang memiliki pola sistem asuransi kesehatan yang mengikuti

pola Jerman dengan berbagai modifikasi. Di Jepang istilah AKN (Kokuho, Kokumin Kenko

Hoken) digunakan untuk penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pekerja mandiri (self-

employed), pensiunan swasta maupun pegawai negeri, dan anggota keluarganya.

Penyelenggara AKN diserahkan kepada pemerintah daerah. Sementara asuransi kesehatan

bagi pekerja aktif di sektor formal diatur dengan UU asuransi sosial kesehatan secara

terpisah. Sesungguhnya Jepang telah memulai mengembangkan asuransi sosial kesehatan

sejak tahun 1922. Akan tetapi, mewajibkan asuransi kesehatan bagi pekerja sektor formal

saja tidak bisa menjarnin penduduk di sektor informal dan penduduk yang telah memasuki

usia pensiun mendapatkan jarninan kesehatan. Untuk memperluas jarninan kesehatan

kepada seluruh penduduk (universal coverage), Jepang kemudian memperluas cakupan

asuransi kesehatan dengan mengeluarkan UU AKN. Dalarn sistem asuransi kesehatan di

Jepang, AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 96 H Thabrany peserta dan

anggota keluarganya harus membayar urun biaya (cost sharing) yang bervariasi antara 20-

30% dari biaya kesehatan yang digunakannya. Bagian urun biaya inilah yang menjadi

pangsa pasar asuransi kesehatan komersial. 32,33,34 Negara Asia yang pertama kali

secara eksplisit menggunakan istilah AKN dengan melakukan pooling nasional adalah

Taiwan. Dengan komitmen Presiden yang sangat kuat UU AKN dikeluarkan di tahun 1995

yang dikelola tunggal oleh Biro NHI yang merupakan suatu Biro di dalam Depkes Taiwan.

Sistem AKN di Taiwan dimulai dengan menggabungkan penyelenggaraan asuransi

kesehatan bagi pegawai negeri, pegawai swasta, petani dan pekerja di sektor informal, yang

sebelumnya dikelola secara sendiri sendiri. Penggabungan tersebut telah meningkatkan

efisiensi dan kualitas pelayanan yang telah menjamin akses yang sama kepada seluruh

penduduk, dengan jaminan komprehensif yang sama, dan tingkat kepuasan peserta terus

meningkat diatas 70%. Sistem AKN di Taiwan merupakan salah satu sistem yang

menanggung pengobatan tradisional Cina dalam paket jaminan yang diberikan kepada

pesertanya.35,36,37,38,39 Korea Selatan memulai asuransi sosial pada Desember 1976

dengan mewajibkan perusahaan yang mempekerjakan 500 karyawan atau lebih, kemudian

diperluas sampai pemberi kerja dan satu orang karyawan, untuk menyediakan asuransi

kesehatan. Cakupan askes untuk pekerja mandiri sudah diuji-coba sejak tahun 1981 dan

pada tahun 1989 seluruh penduduk telah memiliki asuransi. Suatu prestasi yang luar biasa,

karena dalam waktu 12 tahun Korea telah mampu mencapai cakupan universal. Tetapi

penyelenggaraanya masih dikelola oleh lebih dari 300 badan asuransi kesehatan yang

bersifat nirlaba. Sejak tahun 2000, penyelenggaraan dikelola oleh satu badan national

dengan iuran maksimum 8% dari upah yang ditanggung bersama antara pekerja, pemberi

kerja dan subsidi pemerintah.40,41,42 Yang cukup mengejutkan adalah jawaban para

pengusaha Korea yang terheran-heran ketika ditanya oleh delegasi Indonesia tentang apa

keberatan mereka terhadap penyelenggaraan AKN di Korea. Keheranan mereka timbul

karena mereka merasa sangat terbantu dengan AKN sehingga mereka dapat berkonsentrasi

memikirkan bisnis mereka, tanpa harus memikirkan kesehatan karyawannya.

Penyelenggaraan AKN di Muangtai telah mulai diusulkan pada tahun 1996 dan kini sedang

dalam proses penggabungan tiga badan penyelenggara yang sesungguhnya sudah

mencakup seluruh penduduk (universal coverage). U sulan penyelenggaraan AKN di

Muangtai menggabungkan konsep satu Badan Nasional dengan desentralisasi pembayaran

kepada fasilitas kesehatan (area purchasing board).43 Asuransi kesehatan di Muangtai

terdiri atas sistem jaminan kesehatan pegawai negeri yang paket jaminannya amat liberal

dan menjamin tidak saja anggota keluarga pegawai, akan tetapi mencakup orang tua dan

mertua pegawai. Seluruh pegawai swasta mendapat jaminan kesehatan komprehensif

melalui Badan Jaminan Sosial yang dikelola oleh Depnaker. Sedangkan pekerja informal

memperoleh jaminan melalui National Health Security Office, sebuah lembaga independen

yang mengelola sistem 30 Baht. Dengan sistem 30 Baht, seluruh penduduk di luar pegawai

swasta dan pegawai negeri berhak mendapat pelayanan kesehatan komprehensif dengan

hanya membayar 30 Baht (Rp 6.000) sekali berobat atau dirawat, termasuk perawatan

intensif dan pembedahan.44,45,46,47 Dengan demikian, seluruh penduduk Muangtai kini

juga telah terbebas dari ancaman menjadi miskin dan dapat lebih produktif membangun

negaranya. AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 97 H Thabrany Filipina

merupakan negara berkembang setingkat Indonesia, yang memiliki penduduk tersebar di

lebih dari 7.000 pulau, yang menancapkan tekad AKN di akhir Milenium kedua. Di tahun

1995, Filipina berhasil mengeluarkan UU AKN yang menggabungkan penyelenggaraan

asuransi kesehatan bagi pegawai negeri dan pegawai swasta yang sebelumnya dikelola

sendiri-sendiri ke dalam suatu badan AKN. Sebagai negara berkembang yang kini

berpendapatan per kapita sedikit diatas US$ 1.000, Filipina merupakan negara berkembang

yang berhasil dalam mengembangkan AKN menuju cakupan seluruh penduduk. Memang

saat ini cakupan penduduknya baru mencapai sekitar 60% saja, namun demikian seluruh

pekerja di sektor formal telah menjadi peserta. Meskipun paket jaminannya belum

komprehensif, paling tidak Filipina sudah mampu meniadakan ancaman pemiskinan karena

sakit bagi sebagian besar penduduknya.48,49,50 5.4. Asuransi Kesehatan Sosial Sebagai

Tulang Punggung AKN Dari beberapa situasi yang saya sampaikan diatas, jelaslah bahwa

AKN merupakan suatu alat menjamin cakupan universal yang semakin banyak diterapkan

oleh negara maju maupun berkembang. Sistem AKN menjadi suatu altematif sistem NHS

yang semakin menunjukkan kehandalannya. Dalam praktek di beberapa negara, AKN dapat

diundangkan dalam satu UU tersendiri atau dapat digabungkan dengan UU JS seperti

Medicare di AS. Dalam prakteknya juga terdapat variasi dimana AKN dapat dikelola

seluruhnya secara sentral atau mengakomodir pengelolaan yang terdesentralisasi. Dimana

kemampuan manajemen suatu negara memadai, pengelolaan terpusat memberikan efisiensi

yang tinggi sehingga dana yang semakin terbatas dapat digunakan secara lebih optimal.

Sistem AKN juga dapat dikembangkan oleh negara maju maupun berkembang. Pada waktu

Departemen Kesehatan dipimpin oleh Professor Siwabessy, di tahun 1968 Menkes pada

waktu itu sudah mencita-citakan terwujudnya sebuah Sistem AKN.51,52 Kini tampaknya

harapan Siwabessy mulai tampak di ufuk era Reformasi Indonesia. Pemerintah telah

mengajukan UU SJSN pada tangga126 Januari 2004 yang lalu dan telah diundangkan oleh

Presiden Megawati pada hari terakhimya di Istana. Penanda-tanganan UU SJSN, yang

diberi nomor 40 tahun 2004, pada hari terakhir dengan mengundang lima Menteri terkait,

merupakan hal yang tidak biasa, mengandung makna simbolik bahwa Presiden Megawati

ingin menyampaikan "inilah yang bisa kuwariskan" untuk rakyat Indonesia. Klausul-klausul

yang mengatur jaminan kesehatan dalam UU SJSN tentan~ Jaminan Kesehatan memenuhi

kriteria sebagai suatu usulan National Health Insurance. Meskipun dalam UU SJSN tidak kita

dapati istilah Asuransi Kesehatan Nasional, apa yang diatur dalam pasal-pasal merupakan

upaya mewujudkan sebuah sistem AKN sebagai bagian dari SJSN. Dalam UU itu jelas

disebutkan bahwa Jaminan Kesehatan diselenggarakan berdasarkan mekanisme asuransi

sosial dan berlaku secara Nasional, oleh karenanya UU tersebut sesungguhnya merupakan

landasan terselenggaranya sebuah sistem AKN. Dengan demikian, kini kita akan memasuki

era baru dimana pemerintah telah memiliki komitmen yang tinggi untuk menyelenggarakan

AKN, yang ditahun 2005 telah dimulai dengan memberikan jaminan kesehatan bagi sekitar

54 juta penduduk termiskin melalui PT Askes. Seperti halnya di negara-negara lain yang

telah lebih dahulu AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 98 H Thabrany

menyelenggarakan AKN, komitmen pemerintah ini sangat dipengaruhi oleh komitmen

Presidennya. Presiden Megawati telah mempunyai komitmen untuk memulai

penyelenggaran AKN sejak ia menjadi Wakil Presiden. "Kalau orang lain bisa, masa kita

tidak bisa!". Itulah kata-kata singkat yang disampaikan Ibu Presiden pada waktu anggota

Tim SJSN melaporkan perkembangan dan hasil kerja Tim kepada beliau tanggal 20

Nopember 2003 di Istana Negara. Kini Kabinet Indonesia Bersatu, dibawah pimpinan

Presiden Susilo Bambang Yudoyono, program memberikan jaminan kepada penduduk

kurang mampu sudah dimulai. Mekanisme asuransi sosial sebagai suatu mekanisme pooling

dan sharing health risks merupakan barang baru di Indonesia namun sesungguhnya sudah

lama dikenal di dunia. Asuransi sosial sebagai tulang punggung dari sebuah sistem jaminan

sosiaI54,55,56 masih belum difahami oleh banyak pihak. Sampai saat inipun, belum banyak

pihak-baik di kalangan intelektual maupun orang awam, yang memahami konsep asuransi

sosial. Masih banyak pihak yang memahami asuransi sosial sebagai suatu asuransi untuk

orang miskin. Kata-kata 'sosial' di Indonesia telah melekat dengan 'orang miskin' yang tidak

mendapat prioritas atau dengan penyelenggaraan suatu kegiatan yang 'tidak didasarkan

pada perhitungan ekonomis'. Sehingga sering kali orang berasumsi bahwa asuransi sosial

adalah asuransi yang penyelenggaraanya tidak profesional, tidak baik, dan segala yang

negatif. Rancang bangun asuransi sosial di Indonesia selama ini telah menyuburkan

kesalah-fahaman tersebut. Disinilah perlunya pembaruan sistem asuransi/jaminan sosial di

Indonesia. Sesungguhnya defmisi asuransi sosial memang bervariasi, namun demikian,

semua definisi tersebut mempunyai empat elemen yang sama, yaitu:57,58,59,60,61 1.

Kepesertaan asuransi sosial bersifat wajib. Kewajiban menjadi peserta merupakan suatu

syarat mutlak, agar setiap orang mendapatkan perlindungan, terjamin atau terasuransikan.

Kelompok penduduk yang diwajibkan dapat mencakup suatu kelompok tertentu, misalnya

pegawai negeri, pegawai swasta dari perusahaan dengan jumlah karyawan tertentu, atau

seluruh penduduk. Kelompok penduduk yang diwajibkan, hanyalah sebuah tahapan untuk

menuju cakupan seluruh penduduk. Masih banyak yang sulit memahami bahwa pentahapan

mewajibkan kelompok-kelompok tertentu sebagai tidak adil atau tidak tepat. Sesungguhnya

pentahapan kewajiban adalah pendekatan manajemen untuk mencapai tujuan, yang

merupakan suatu keharusan-sebuah langkah awal sebelum ribuan langkah berikutnya

diambil, bukan sebuah tujuan akhir. Masih banyak pihak yang memahami kepesertaan wajib

sebagai sesuatu 'pemaksaan yang tidak perlu' sehingga masih banyak pihak yang belum

mendukung konsep SJSN kerena kesalah-fahaman ini. Sesungguhnya, wajib berkontribusi

pada AKN atau SJSN adalah dalam rangka memenuhi hak-hak kesehatan bagi penduduk,

sebagaimana wajib membayar pajak yang merupakan suatu keharusan di negara manapun

di dunia. 2. Paket jaminan, manfaat (benefit), yang dijamin adalah setara dengan kebutuhan

setiap peserta. Sesungguhnya asuransi sosial bertujuan memenuhi kebutuhan dasar

sehingga manfaat asuransi seringkali disebut 'perlindungan dasar'. Pemenuhan kebutuhan

dasar merupakan syarat mutlak agar setiap penduduk dapat berproduksi. Namun demikian,

pemahaman tentang 'perlindungan dasar kesehatan' seringkali AKN: Contoh dan Masa

Depannya di Indonesia 99 H Thabrany disamakan dengan perlindungan dasar kebutuhan

dasar lain seperti pangan, sandang, dan papan. Sesungguhnya kebutuhan dasar kesehatan

sangat berbeda dan tidak bisa disamakan dengan kebutuhan dasar lain, seperti yang akan

saya bahas lebih lanjut. Pemahaman yang tidak tepat tersebut, telah menyebabkan

rancangan manfaat (benefit design) jaminan sosial kita yang kini sudah berjalan, baik Askes

pegawai negeri maupun Jamsostek bagi pegawai swasta menjadi kurang optimal dalam

mengatasi risiko finansial yang terkait dengan risiko sakit. Alhamduli11ah, konsep AKN

dalam UU SJSN merupakan suatu perbaikan dari rancangan manfaat yang kurang optimal

tersebut. 3. Kontribusi (iuran, premi) merupakan proporsi dari pendapatan. Kontribusi yang

proporsional, biasanya persentase tertentu dari upah, gaji, atau penghasilan merupakan

suatu cara pendanaan yang menjamin bahwa setiap orang yang memiliki penghasilan

mampu mengiur. Jika diperhatikan dengan kewajiban membayar pajak yang juga

proporsional, maka kontribusi ini memang sangat mirip. Oleh karenanya di beberapa negara

sering disebut sosial security atau sosial insurance tax. Sesungguhnya kontribusi asuransi

sosial merupakan pajak yang penggunaannya khusus untuk mendanai manfaat (benefit)

asuransi wajib tersebut, sehingga kadang disebut juga earmarked tax. Namun demikian ada

sedikit perbedaan kontribusi wajib asuransi sosial yaitu umumnya sedikit regresif jika

dibandingkan be saran kontribusi pajak yang umumnya progresif. 4. Pengelolaannya bersifat

nirlaba (not for profit). Jika kita perhatikan penyelenggaraan asuransi sosial di seluruh dunia,

maka terdapat kesamaan pola penyelenggaraan yaitu dikelola oleh suatu badan pemerintah

atau oleh suatu badan kuasi pemerintah yang bersifat nirlaba. Indonesia merupakan satu-

satunya negara yang saat ini masih mengelola asuransi sosial oleh BUMN Persero yang

bersifat for profit. Untunglah, UU SJSN telah menempatkan pengelolaan asuransi sosial di

Indonesia yang konsisten dengan prinsip-prinsip universal. 5.5. Perlindungan Dasar

Kesehatan yang juga belum difahami Penetapan manfaat (benefit) AKN yang menjamin

kebutuhan dasar kesehatan dapat menjadi perdebatan panjang yang merugikan publik.

Saya mengamati bahwa pemahaman kebutuhan dasar kesehatan di Indonesia masih

beragam. Banyak pihak memahami kebutuhan dasar kesehatan sebagai pelayanan

kesehatan yang 'relatif murah'. Hal ini terjadi karena pada umumnya banyak pihak

menyamakan kebutuhan kesehatan dengan kebutuhan lain. Bahkan kebijakan kesehatan di

Indonesia belum secara khusus menempatkan kesehatan sebagai kebutuhan dasar yang

harus dapat diperoleh secara memadai. Karena sifat alamiah kebutuhan kesehatan yang

sangat berbeda dengan kebutuhan dasar lain, maka sesungguhnya kebutuhan dasar

kesehatan hams difahami dan diperlakukan secara berbeda. Pemahaman perbedaan

kebutuhan dasar kesehatan ini sangat penting dalam merancang jaminan yang bersifat

dasar dalam bidang kesehatan. Sebab, jaminan yang sifatnya diatas paket dasar menjadi

bagian asuransi kesehatan swasta atau AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 100

H Thabrany dilepas pada mekanisme pasar. Tanpa adanya keseragaman pemahaman

tentang kebutuhan dasar kesehatan, maka pengaturan AKN akan lebih menguntungkan

sebagian kecil orang yang berbisnis di bidang kesehatan, bukan memihak kepada

produktifitas penduduk secara keseluruhan. Pada akhimya, negaralah yang dirugikan.

Perbedaan fundamental adalah bahwa kebutuhan akan pelayanan kesehatan mempunyai

sifat ketidak pastian (uncertainty) sehingga kebutuhan biaya kesehatan pada tingkat rumah

tangga tidak dapat dihitung.62,63,64 Suatu keluarga muda yang relatif sehat mungkin tidak

pemah mempunyai kebutuhan berobat dalam satu tahun dan karenanya biaya kesehatan

rumah tangga itu menjadi nol. Sebaliknya suatu keluarga pensiunan dapat menghabiskan

biaya lebih dari Rp 2 juta sebulan untuk standar selera kualitas pelayanan dasar sekalipun.

Sebuah keluarga yang salah seorang anggota keluarganya hams masuk perawatan intensif

membutuhkan biaya puluhan juta rupiah. Apakah biaya kesehatan yang jutaan tersebut

untuk memenuhi bukan kebutuhan dasar atau diatas dasar? Apa sesungguhnya kebutuhan

dasar? Secara filosofis kebutuhan dasar dapat kita fahami sebagai kebutuhan seseorang

yang hidup yang apabila tidak dipenuhi ia tidak akan mampu berproduksi. Atas dasar asumsi

inilah, batas garis kemiskinan ditetapkan. Akan tetapi, batas garis kemiskinan (poverty line)

dapat bervariasi besar di antara berbagai negara karena tingkat penghasilan dan

pemahaman tentang kebutuhan dasar yang terus berkembang. Di Indonesia, kebutuhan

dasar pangan seseorang dipatok 2.100 kalori sehari. Kebutuhan kalori tersebut, dengan

minimum 44 gram protein, dapat dipenuhi dengan biaya Rp 8.500 per hari apabila ia

membeli bahan mentah dan memasak sendiri. Jelas makan di restoran yang berharga Rp

15.000 per kali makan saja, bukanlah kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar sandang dan

papan yang memungkinkan seseorang berproduksi, bersekolah atau bekerja, mudah

dihitung. Orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang, dan

papan tersebut kita sebut orang miskin. Apakah mereka yang tidak tergolong miskin selalu

mampu memenuhi kebutuhan perawatan atau pembedahan? Pasti tidak! Jika seseorang

yang membutuhkan perawatan intensif tidak dirawat, apakah ia bisa berproduksi? Pasti

tidak! Disinilah letak sulitnya menetapkan kebutuhan dasar kesehatan. Apakah perawatan di

ICU, pengobatan kanker, atau hemodialisa (cuci darah) bukankah kebutuhan-kebutuhan

dasar? Seseorang bahkan dapat meninggal, bukan hanya tidak berproduksi, jika kebutuhan

akan pengobatan atau perawatan tersebut tidak dipenuhi. Oleh karenanya lebih mudah

menetapkan besaran jaminan pensiun dasar daripada menetapkan jaminan kesehatan

dasar, apalagi kemudian ada interest bagi pihak swasta untuk menjual asuransi diatas

kebutuhan dasar. Di Indonesia terdapat banyak orang yang salah faham tentang arti

kebutuhan dasar pelayanan kesehatan sebagai pelayanan dasar rawat jalan tingkat pertama

atau pelayanan kesehatan yang murah biayanya seperti pengobatan di puskesmas. Rawat

jalan rujukan dan rawat inap sering disebut sebagai pelayanan sekunder dan tersier yang

kemudian diasosiasikan sebagai kebutuhan sekunder dan tersier. Faham ini sama sekali

bertentangan dengan asas kemanusiaan dan asas kebersamaan atau tanggung-jawab

bersama. Kalau kita renungkan kembali makna kebutuhan dasar adalah kebutuhan yang

memungkinkan seseorang hidup dan berproduksi, maka faham tersebut adalah keliru.

Faham yang banyak dianut adalah bahwa kebutuhan dasar kesehatan tidak terkait dengan

tingkat kesulitan atau tingkat biaya pelayanan kesehatan. Kebutuhan dasar kesehatan AKN:

Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 101 H Thabrany adalah kebutuhan akan

pelayanan yang merupakan upaya untuk mempertahankan hidup dan tingkat produktifitas

seseorang yang secara normatif diterima oleh norma-norma masyarakat. Atas dasar

pemahaman inilah, maka perlindungan dasar dalarn bidang kesehatan hamslah terkait

dengan kebutuhan medis. Suatu kebutuhan yang relatifbagi tiap orang dan hanya diketahui

oleh dokter yang memeriksa seseorang. Disinilah nanti, letak sulitnya mengelola sebuah

AKN. Dengan konsep dasar tersebut, maka pemberian bantuan biaya kesehatan hanya

kepada yang miskin saja, menurut kriteria yang kita gunakan sekarang, belumlah sesuai

dengan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebab mereka yang tidak tergolong

miskin, yang masih marnpu memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang, dan papan,

sering kali tidak marnpu memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Mereka itu, jika tidak

dijamin asuransi atau pemerintah, dimata kebutuhan medis adalah miskin (medically poor).

Itulah sebabnya, negara-negara persemakmuran dan negara-negara yang berorientasi

kesejahteraan (welfare oriented) menyediakan pelayanan kesehatan gratis untuk semua

penduduk, tidak hanya yang miskin. Itulah sebabnya dibutuhkan AKN yang menjamin

seluruh penduduk, yang kaya dan yang miskin. Fakta menunjukkan bahwa negara miskin

sekalipun, yang memberikan pelayanan kesehatan cuma-cuma, seperti Sri Lanka dan Kuba,

mempunyai status kesehatan yang lebih tinggi dari status kesehatan di negara kita yang

cenderung melepas pelayanan kesehatan kepada mekanisme pasar yang memberatkan

masyarakat. Itulah pula sebabnya, ketika Kanada memulai AKN di tahun 1961 pelayanan

perawatan dan rawat inaplah yang mulai dijarnin. Sejak pertarna kali diundangkan, Medicare

di Amerika (semacarn AKN untuk penduduk usia diatas 65 tahun dan penduduk dibawah

usia 65 tahun yang memiliki penyakit berat) hanya menanggung perawatan rumah sakit dan

perawatan yang berbiaya besar (Medicare part A) seperti yang telah dijelaskan di muka.

Filipina juga memalui AKNnya dengan menjamin biaya perawatan di RS. Inggris dan banyak

negara persemakmuran menjamin pelayanan rumah sakit tanpa hams membayar bagi

penduduknya/" Malaysia mengikuti pola NHS Inggris dimana setiap penduduk yang perlu

perawatan di rumah sakit hanya membayar RM 3 (setara dengan Rp 6.000) per hari, sudah

termasuk biaya obat, pembedahan, perawatan intensif bahkan jika di~erlukan bedah jantung

sekalipun. Banyak negara-negara lain juga berbuat yang sarna.66,6 ,68 Semua itu dilandasi

pada pemahaman bahwa kebutuhan dasar kesehatan bukanlah kebutuhan akan pelayanan

yang biayanya murah. Pemerintah dan DPR hendaknya memaharni benar hal ini dan tidak

terpengaruh pada tuntutan pihak-pihak yang mempunyai interes dalam berbisnis asuransi

kesehatan atau pelayanan kesehatan. Hal ini pemah terjadi pada waktu PP 14/1993 yang

mengatur Jamsostek, sehingga pengobatan kanker, hemodialisa, pengobatan penyakit

jantung yang mahal, dan pengobatan kelainan bawaan tidak dijamin. Melepaskan pemberi

kerja sendiri-sendiri membeli asuransi kesehatan untuk karyawannya, seperti yang

dibenarkan dalarn PP tersebut tidak akan menjamin bahwa setiap pekerja dan anggota

keluarganya dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan mereka.F' Hendaknya hal ini tidak

terulang lagi dalam PP yang mengatur jaminan kesehatan dalarn UU SJSN. AKN: Contoh

dan Masa Depannya di Indonesia 102 H Thabrany 5.6. Kebutuhan akan Asuransi Kesehatan

Banyak pihak yang menyatakan bahwa kita belum sanggup malaksanakan AKN seperti

yang dilakukan Malaysia, SriLanka, Muangtai atau Filipina. Sesungguhnya kita belum

memiliki visi dan faham yang sarna dan belum mempunyai kemauan untuk itu. Bukan belum

sanggup! Dana sesungguhnya merupakan alat untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dari

visi dan kemauan yang sarna tersebut. Bukankah Malaysia dan Srilanka telah memulai

kebijakan itu puluhan tahun yang lalu, di kala kondisi ekonominya lebih buruk dari keadaan

kita sekarang. Keraguan dan komentar-komentar tentang belum saatnya kita memikirkan

AKN merupakan pandangan yang kurang memperhatikan kebutuhan akan asuransi

kesehatan. Sesungguhnya kebutuhan (needs) akan asuransi kesehatan di Indonesia sangat

besar, akan tetapi permintaan (demand) terhadap asuransi kesehatan memang sangat kecil,

Kondisi tersebut bukanlah suatu anomali, karena prilaku masyarakat di negara manapun

sarna saja. Sering kita keliru dalarn mengarnbil kebijakan dengan menyampaikan argumen

bahwa masyarakat kita belum insurance minded. Manusia di seluruh dunia mempunyai

prilaku yang sarna, tidak cukup sadar dan tidak cukup bertindak dalarn menghadapi risiko

kesehatan di masa depan. Itulah sebabnya, tidak ada satu negara majupun, yang tidak

menjamin pelayanan kesehatan-baik melalui asuransi wajib ataupun melalui dana pajak (tax

funded), paling tidak untuk penduduk berusia lanjut dan berisiko tinggi seperti yang

dilakukan AS. Sesungguhnya inilah hakikat masyarakat berbudaya atau masyarakat madani

(civilized society), membuat sebuah sistem dimana pada akhirnya seluruh masyarakat

terjarnin. Tidak ada satu negarapun yang menunggu sampai ekonominya baik dan

masyarakatnya sadar akan asuransi kesehatan. Kesadaran akan sesuatu yang belum terjadi

memang hams dipaksakan. Oleh karenanya sebuah sistem AKN atau jarninan sosial

memerlukan sebuah undang-undang, yang bersifat memaksa untuk kepentingan dan

kebaikan masa depan penduduk itu sendiri. Kebutuhan akan asuransi dapat dilihat dari data-

data survei Susenas maupun survei-survei rumah tangga lainnya. Data-data survei secara

konsisten menunjukkan bahwa untuk membiayai rawat inap seorang anggota keluarga,

sebuah rumah tangga Indonesia hams mengeluarkan lebih dari sebulan gajinya.70,71

Tidaklah mengherankanjika pelayanan rawat inap di rumah sakit pemerintah sekalipun, lebih

banyak dinikmati oleh mereka yang kaya. Data menunjukkan bahwa 40,6 persen hari rawat

di RS publik/pemerintah dikonsumsi oleh 20% penduduk terkaya, sementara 20% penduduk

termiskin hanya mengkonsumsi 5,9% hari rawat.72 Penduduk di kelompok menengah ke

bawah merupakan penduduk yang mempunyai beban berat memikul biaya rumah sakit yang

mencapai 2-4 kali penghasilannya sebulan.73 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah

jelas memberikan pedoman terhadap kasus biaya kesehatan katastropik untuk

mengembangkan asuransi kesehatan'" sebagai upaya mencegah penurunan produktifitas

penduduk dan mencegah sebuah rumah tangga menjadi miskin. Jika setiap rumah tangga

dapat diorganisir dalarn sebuah sistem asuransi kesehatan dengan membayar 5-6%

penghasilannya sebulan, mereka tidak akan pemah menghadapi risiko finansial yang dapat

menjadikannya miskin. Pemerintah Singapura mewajibkan setiap rakyatnya menabung 6-

8% sebulan untuk biaya kesehatan." Korea, Muangtai, Taiwan, Filipina, Jepang, Mexico,

AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 103 H Thabrany dan negara-negara maju di

Eropa dan Amerika yang sudah melaksanakan asuransi/jaminan sosial secara luas

mewajibkan kontribusi antara 2,5%-14% dari upah atau penghasilan sebulan." Beban

kontribusi rutin sebesar itu, tentujauh lebih ringan dan tidak akan merusak tatanan ekonomi

rumah tangga. Apalagi, jika pemerintah memberikan subsidi kontribusi agar besaran

kontribusi bisa turun, seperti yang dilakukan Muangtai. Gambar . Skema Pengorganisasi

Pendanaan yang Direkomendasi WHO. Yes Publkgood? 1---+ No Yes---I 1----+ No I----Yes--

.•• I 1----+ No No I_--Yr=s ....--_---..;L...-_---._ No Yes------, L,~~~~._J~----t_---_1-------ks No

Yes J J 1001101 provide Hnanre pubHcly _--I 1------_ Leave 10 ~eg~ll~ted L..- __ ....•

pri11ale market 50urce:Adapted from MusgrOlre P,Publlc spending on health Glre: howare

different crnelia nelated7l1eaithPoJIcy, '199'),47(3): 207-223. Dikutip dari WHR 2000. 5.7.

Perlu Perubahan Cara Pandang Ada pihak-pihak yang memandang bahwa sesungguhnya

kita telah memiliki AKN atau NHS karena pemerintah sudah mensubsidi lebih dari 70% biaya

puskesmas dan rumah sakit. Yang kini menjadi beban masyarakat adalah urun biaya (cost-

sharing) saja. Sesungguhnya ide untuk meringankan beban biaya kesehatan rumah tangga

memang sudah lama kita pikirkan. Hanya saja, dalam implementasinya kita telah terjebak

pada semantik 'terjangkau', pada sistem yang kita ciptakan yang kurang memahami aspek

uncertainty atau un predictability biaya kesehatan di tingkat rumah tangga. Pembangunan

puskesmas dan rumah sakit pemerintah antara lain merupakan upaya agar pelayanan

kesehatan dapat dijangkau oleh sebagian besar penduduk secara geografis. Pemerintah

daerah menetapkan tarif pelayanan dengan prinsip "terjangkau" atau "affordable" oleh

semua pihak. Tetapi kita terjebak pada satu tarif jasa per pelayanan, yang tidak mungkin kita

memprediksi biaya akhir. Bagaimana mungkin kita bisa mengatakan pelayanan tersebut

terjangkau, kalau biaya akhir tidak pemah diketahui jumlahnya. Sebagai contoh, kita tidak

mungkin memastikan biaya akhir seorang yang dirawat di RS pemerintah kelas III yang

tarifnya berkisar Rp 20.000-Rp 50.000 per hari--tidak termasuk biaya obat dan tindakan

operasi. Berapa yang hams dibayar seorang yang dirawat selama 20 hari, dengan AKN:

Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 104 H Thabrany pembedahan, dan 7 hari di ICU?

Bisa jadi biaya akhir di RS pemerintah sekalipun mencapai diatas Rp 5 juta. Apakah tarif ini

terjangkau semua lapis an masyarakat? Seorang sarjana yang bergaji Rp 5 juta sebulan

sekalipun, tidak mampu membayar biaya tersebut, kecuali keluarganya harus puasa sebulan

penuh. Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa sesungguhnya kita telah

memiliki AKN atau NHS, tidak ditunjang oleh fakta dan secara konsepsional tidak valid.

Konsep "terjangkau" bisa digunakan dan valid digunakan untuk jasa transportasi, tarif listrik,

tarif telepon, dan sebagainya yang dapat dihitung kebutuhannya dan tidak menimbulkan

masalah kemanusiaan apabila konsumsinya dibatasi. Tetapi untuk kesehatan, konsep

terjangkau dengan model tarif pelayanan kesehatan per pelayanan sama sekali tidak valid.

Pemerintah Muangtai, karenanya, menerapkan kebijakan sederhana yang disebut '30 Baht

Policy', dimana setiap penduduk yang belum menjadi peserta jaminan sosial hanya

membayar 30 Baht (sekitar Rp 6.000) untuk setiap kali berobat di rumah sakit, baik hanya

rawat jalan maupun rawat inap---sudah termasuk obat-obatan dan pembedahan jika

diperlukan.77,78,79 Namun di Indonesia, justeru sebaliknya, banyak RS sudah diBUMNkan

dan bahkan di Jakarta RSUD dijadikan PT (Perseroan Terbatas) dan diminta mandiri dalam

pendanaan yang berdampak pada kenaikan tarif. Bukan itu saja, RS pemerintah menarik

tarif operasi yang bersifat emergensi di luar jam kerja 1,5 sampai dua kali lebih mahal dari

tarif bukan emergensi. Dan tarif yang memanfaatkan keterpojokan (karena emergensi di luar

jam kerja) tersebut memang diatur pemerintah (permenkes). Jelas sekali bahwa kebijakan

tersebut bukanlah kebijkan yang memihak rakyatlpublik, tetapi lebih memihak kepada

pengelola-yang nota bene adalah pegawai negeri. Ada berbagai kebijakan pelayanan

kesehatan kini, baik di pusat dan di daerah, akan menambah beban berat rumah tangga

dalam memenuhi kebutuhan hidup yang paling fundamental. Tampak asuransi kesehatan,

kita akan semakin banyak melakukan pelanggaran prinsip keadilan so sial dan kemanusiaan

yang beradab karena adanya kecendrungan kebijakan yang mengarah lebih banyak

memberatkan masyarakat. Penerapan konsep ability to pay (ATP) dan willingness to pay

(WTP) dalam penetapan tarif pelayanan kesehatan di fasilitas publik (pemerintah)

sesungguhnya juga tidak akan bermanfaat menolong penduduk dari beban finansial yang

berat, jika tarif ditetapkan secara jasa per pelayanan (fee for service, FFS). Banyak pihak

menyatakan bahwa tarif puskesmas dan RS sudah dihitung atas dasar ATPIWTP

masyarakat dan karenanya masyarakat tidak akan terbebani. Ini adalah juga suatu

kekeliruan konsep permasalahan tarif terjangkau, karena sifat kebutuhan yang "tidak pasti".

Konsep WTP yang banyak digunakan untuk evaluasi nilai hidup produktif dalam menghitung

opportunity losselo,81 bisa diterapkan jika tarif pelayanan ditetapkan per eposide

pengobatan. Survei-survei tentang ATP-WTP tidak akan valid selagi tarif pelayanan

puskesmas atau rumah sakit ditetapkan dengan FFS untuk masyrakat yang belum punya

asuransi karena adanya sifat uncertainty. Meskipun faktanya banyak masyarakat membayar,

maka pembayaran tersebut merupakan pembayaran terpaksa atauforced to pay (FTP)

dalam ke-penderitaan bukan karena kemauan dan kemampuannya membayar. Pertanyaan

yang paling mendasar kemudian muncul, yaitu, "apakah manusiawi dan normal jika

pemerintah memaksa penduduknya yang sedang menderita sakit membayar di luar

kemampuannya?" Data pasien di rumah sakit menunjukkan bahwa proporsi jumlah

penduduk miskin dan penduduk yang diberi keringanan sangat kecil di rumah-rumah sakit

AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 105 H Thabrany pemerintah (tidak usah kita

sajikan RS swasta) di Indonesia, jauh berada di bawah 5%. Artinya, penduduk tidak mampu

mempunyai dua pilihan, tidak berobat karena tidak punya uang atau dipaksa membayar---

dalam kependeritaan (lihat lampiran data pasien RS). Kejadian DBD yang luar biasa baru-

baru ini dapat menyadarkan kita akan ketidak-tepatan kebijakan tarif pelayanan kesehatan di

Indonesia. 5.8. Tantangan AKN Data-data survei maupun data dari fasilitas kesehatan jelas

menunjukkan bahwa terdapat barir finansial yang besar sekali bagi lebih dari 180 juta

penduduk Indonesia, dalam memenuhi kebutuhan kesehatan sebagai kebutuhan hidup yang

paling mendasar. Kebijakan publik yang ada sekarang ini belum mendukung terpenuhinya

hak-hak penduduk dalam bidang kesehatan seperti yang tercantum dalam UUD pasal

28H(I). Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa AKN merupakan suatu kehamsan.

Langkah yang ditempuh Pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan UU SJSN adalah

langkah yang sangat tepat. Kalau kita mengikuti berita atau artikel di surat kabar, sudah

berulang kali kita baca beberapa pandangan orang asing yang menolak sistem yang

mewajibkan asuransi kesehatan. Beberapa kali penulis terlibat perdebatan dengan the

International Bussiness Chambers of Commers yang dengan terbuka menyatakan menolak

AKN. Apa pasalnya? Tentu sebagai pengusaha, mereka ingin memperoleh keuntungan

yang besar dengan sedikit mungkin mengeluarkan biaya tenaga kerja. Seorang Konsultan

USAID malah pemah menyampaikan analisis bemada menakut-nakuti kepada Menko

Perekonomian, dengan menyatakan bahwa apabila SJSN dilaksanakan dalam waktu dekat,

maka akan terjadi pemutusan hubungan kerja sebanyak 300.000 orang per tahun. Apakah

benar demikian? Sesungguhnya, prilaku orang asing tersebut sudah dapat dibaca. Mereka

hanya ingin mengeruk keuntungan yang besar dari tenaga kerja murah bangsa Indonesia.

Dalam diskusi dan analisis yang lebih dalam terhadap pemyataan mereka, tampak jelas

bahwa mereka sama sekali tidak mengerti jaminan sosial, asuransi sosial maupun sistem

kesehatan. Jangankan sistem Indonesia, sistem yang berlaku di negerinya sendiri mereka

tak faham. Tidak pemah terjadi di dunia ada program jaminan sosial atau asuransi sosial

yang membuat sebuah usaha bangkrut. Kita memang harus berhati-hati dalam menanggapi

komentar orang asing, bisa jadi mereka mempunyai tujuan yang lebih jelek terhadap

kemajuan bangsa Indonesia. Akan sangat celaka, apabila mentalitas inlander masih kita

miliki, dengan mendengar begitu saja apa yang dikatakan orang asing, hanya karena ia

seorang bule! Buruh dan Pengusaha juga banyak yang terpengaruh provokasi penolakan

AKN dan kemudian menyatakan menolak atau meminta agar pembahasan RUU SJSN

ditunda.82 Dalam sebuah loka karya pembahsan RUU SJSN di Jakarta, tampak jelas di

mata penulis bahwa banyak serikat pekerja telah 'ditunggangi'. Dengan lantang mereka

menolak RUU SJSN dan menuntut perbaikan sistem Jamsostek. Ironinya, apa yang mereka

tuntut sudah jelas tercantum dalam RUU SJSN, sesuai dengan apa yang mereka tuntut!

Sebuah sistem jaminan sosial memang tidak lepas dari masalah politik praktis dan politik

bisnis. Saya AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 106 H Thabrany melihat tanda-

tanda yang amat jelas bahwa banyak serikat pekerja yang ditunggangi, sehingga tanpa

membaca dan memahami apa yang akan diatur dalam RUU SJSN, yang sesungguhnya

menjamin hak-hak mereka dengan lebih baik, justeru mereka tolak. Penunggangan serikat

pekerja dapat juga dilakukan oleh pihak-pihak yang menginginkan status quo dalam

penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia. Status quo memang dapat menguntungkan

beberapa pihak, namun rakyat akan terus menderita dan negara akan tetap mempunyai

ancaman stabilitas sosial. Inilah kenyataan kondisi di Indonesia, dimana tenaga kerja yang

berpendidikan lebih tinggi dari SLTA hanyalah 4,81 % dari 98,8 juta angkatan kerja.83

Pendidikan tenaga kerja yang rendah ini sangat mudah ditunggangi. Salah satu kendala dan

tantangan yang besar lain adalah kurangnya pemahaman tentang konsep asuransi sosial,

baik oleh pengambil keputusan, pemberi kerja, maupun tenaga kerja. Pemahaman yang

rendah tersebut menyebabkan rancangan asuransi sosial kita, askes pegawai negeri dan

askes pegawai swasta yang dikelola PT Jamsostek, menjadi lebih negatif. Kinerja PT Askes,

yang meskipun telah memiliki tingkat kepuasan yang sangat baik di kalangan yang pemah

menggunakan, sering dinilai sangat jelek oleh pegawai negeri golongan atas yang justeru

tidak pemah menggunakannya. Sulitnya PT Askes memenuhi harapan seluruh pegawai

negeri dan pensiunan, antara lain karena tingkat kontribusi (2%) yang sama sekali tidak

memadai untuk mendanai seluruh pelayanan yang hams disediakannya. Akibatnya, di masa

lalu pegawai negeri masih hams membayar urun biaya yang cukup besar." Untunglah dalam

dua tahun terakhir, Askes telah bekerja keras untuk mengubah persepsi yang keliru

tersebut. Demikian juga sikap pemberi kerja dan tenaga kerja swasta yang mempunyai

mindset kewajiban menjadi peserta sebagai suatu paksaan tak menguntungkan,

menyebabkan rendahnya partisipasi mereka pada program JPK Jamsostek. Sikap

pengambil keputusan dan masyarakat yang sangat kurang terpapar dengan kinerja AKN di

negara lain menjadi tantangan besar. Sosialisasi dan pendidikan kebijakan publik yang

memihak publik hams terus digalakkan. Masih banyak pengambil keputusan, tokoh

masyarakat, tokoh politik, bahkan akademisi yang masih memandang segala bentuk

peraturan yang mewajibkan penduduk atau pemberi kerja sebagai peraturan yang usang.

Mereka tidak sadar bahwa "hak" hanya dapat diperoleh setelah ada "kewajiban". Kewajiban

membayar kontribusi sama pentingnya dengan kewajiban membayar pajak. Tidak ada satu

negarapun di dunia yang tidak mewajibkan rakyatnya membayar pajak. Kosenkuensinya

adalah bahwa pengelolaan pungutan yang bersifat wajib hams dimonopoli oleh pemerintah

atau lembaga kuasi pemerintah yang dibentuk khusus oleh UU. Pada awal tahun 2005,

DPRD Jawa Timur, Satuan Pelaksana (Satpel) JPKM Rembang, dan Perhimpunan Bapel

JPKM (perbapel) mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas UU SJSN

khususnya pasal 5 yang menetapkan PT ASABRI, PT ASKES, PT Jamsostek, dan PT

Taspen sebagai BPJS yang dinilai monopolistis dan tidak memberi kesempatan daerah

mengembangkan jaminan social. Permohonan judicial review tersebut dipicu oleh SK

Menkes 1241 yang menunjuk PT Askes untuk menyelenggarakan program jaminan

kesehatan bagi lebih dari 36 juta penduduk dengan nilai dana sebesar Rp 2,1 Triliun. Hasil

keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) memang membatalkan pasal 5 ayat 2,3 dan 4 UU

SJSN karena dinilai menutup kemungkinan daerah mengembangkan jaminan social. Namun

demikan, MK tidak membatalkan keempat BPJS tersebut untuk menyelenggarakan jaminan

socsal tingkat nasional/pusat. UU SJSN dinilai telah menampung keinginan AKN: Contoh

dan Masa Depannya di Indonesia 107 H Thabrany UUD45 pasal 34 ayat 2, namun MK

menilai bahwa pemerintah daerah tidak boleh dilarang untuk mengembangkan jaminan

sosial. Yang menjadi tugas pemerintah selanjutnya adalah bagaimana koordinasi antara

program jaminan sosial, misalnya kesehatan, yang nasional yang juga mencakup penduduk

di daerah, dan yang dikembangkan oleh daerah. Koordinasi benefit hams diatur dalam PP

atau revisi UU SJSN, jika diperlukan kelak. Pembahasan lebih lanjut tentang hasil MK ini

dibahas dalam Bab7. Banyak pihak masih juga memandang segala bentuk monopoli adalah

pelanggaran UU Antimonopoli. Padahal kalau dibaca dengan baik, UU Antimonopoli

melarang usaha bisnis yang bersifat sukarela, bukan melarang pemerintah yang mengelola

suatu program untuk kepentingan orang banyak. Tidak ada satu negarapun di dunia yang

tidak memonopoli pengelolaan pajak, kebijakan moneter, pengadilan, dan pertahanan

keamanan. Pengelolaan jaminan sosial dan AKN di AS (Medicare), Kanada (Medicare),

Australia (Medicare), Taiwan (Medicare), Korea, Filipina (Medicare) seluruhnya juga

dimonopoli oleh pemerintah atau lembaga kuasi pemerintah. Kesalah-fahaman tentang

monopoli ini juga perlu diluruskan. Namun demikian perlu disadari bahwa segala sesuatu

yang pengelolaannya bersifat monopolistik memerlukan pengawasan dan pengendalian

publik yang efektif, agar kepentingan publik dan kepuasan publik tetap menjadi prioritas dan

terjadi good governance. Kita juga hams menyadari bahwa hanya 29,3% angkatan kerja

yang bekerja pada sektor formal sebagai karyawan. Selebihnya adalah pekerja mandiri

dengan atau tanpa dibantu keluarga atau buruh tetap (BPS 2001). Jika kita mampu

memperluas asuransi kesehatan kepada pekerja di sektor formal saja beserta anggota

keluarga dan orang tua mereka, maka kita sudah bisa menjamin sekitar separuh penduduk

Indonesia. Hal tersebut sudah akan berdampak besar bagi pembangunan sumber daya

manusia dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Upaya memperluas cakupan asuransi

kesehatan kepada pekerja di sektor informal sangatlah sulit. Oleh karenanya, upaya

pemerintah untuk memberikan subsidi melalui fasilitas atau cara lain yang lebih akurat,

misalnya dengan menetapkan tarif tetap untuk suatu episode pengobatan ketimbang untuk

tiap jenis pelayanan seperti yang dilakukan di Malaysia atau Muangtai, hams tetap

dipertahankan sampai seluruh penduduk menjadi peserta AKN. Penyelenggaraan AKN

memang merupakan upaya mulia dan tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan

dasar penduduk. Namun demikian, fakta yang terjadi di dunia menunjukkan bahwa

penyelenggaraan AKN tidak bisa dilepaskan dari masalah politik. Pelaku politik yang lebih

mementingkan interest kelompoknya dapat saja menolak inisiatif AKN yang diajukan partai

lain. Syukur alhamduli11ah, tampaknya hal ini tidak terjadi di kalangan pimpinan partai politik

di dalam Komisi VII DPR yang lalu dan Komisi IX DPR saat ini. Dukungan penuh semua

fraksi dalam UU asuransi sosial kesehatan nasional, yang merupakan inisiatif DPR periode

1999-2004 dan tidak ada perbedaan prinsip dengan yang diusulkan pemerintah dalam UU

SJSN, menunjukkan rendahnya interest golongan dalam hal ini. Begitu juga Komisi IX DPR

periode 2004- 2009 cukup solid mendukung kebijakan Depkes untuk menjamin penduduk

kurang mampu melalui PT Askes. Namun demikian, di tingkat bawah masih mungkin

terdapat sentimen golongan yang dapat mengurangi dukungan terhadap AKN. AKN: Contoh

dan Masa Depannya di Indonesia 108 H Thabrany Globalisasi dan kekuatan pasar memang

tidak dapat dihindari dan tidak perlu ditakutkan. Globalisasi dan kekuatan pasar memberikan

peluang dan sekaligus ancaman bagi kita, khsususnya dalam pengembangan sebuah AKN.

Suka atau tidak suka, kita saksikan banyaknya kesalah-fahaman tentang globalisasi yang

diartikan sebagai keharusan liberalisasi dan menyerahkan sepenuhnya nasib kita kepada

mekanisme pasar global yang kemudian diartikan bahwa mewajibkan pekerja menjadi

peserta AKN sebagai bertentangan dengan globalisasi. Banyak pengusaha, bahkan juga

pengambil keputusan, yang berpandangan demikian yang menjadi faktor penghambat

terselenggaranya AKN. Meskipun seluruh negara maju di dunia telah menyelenggarakan

asuransi sosial dalam berbagai bentuknya, perlu kita sadari bahwa akan tetap ada yang

tidak setuju dengan konsep asuransi so sial yang memandangnya hanya dari satu sisi saja

seperti beban biaya bagi dirinya atau bagi sektor publik. 85 Banyak pihak kita yang tidak

menyadari bahwa ada market failure yang bersumber dari tingginya informasi asimetri yang

mengharnskan sektor publik (pemerintah) turun tangan. Globalisasi dan kekuatan pasar

tidak akan menyelesaikan segala macam masalah ekonomi dan sosial sekaligus. Joseph

Stiglitz, seorang ekonom terkemuka pemenang hadiah Nobel Ekonomi yang banyak meneliti

masalah informasi asimetri, dalam bukunya yang terbit tahun lalu telah memperingatkan

dunia akan adanya bahaya disamping harapan dari globalisasi." Ketidak fahaman akan

sebuah sistem jaminan sosial dan globalisasi dapat menjadi penghambat besar bagi AKN.

Ketidak-fahaman tentang penyelenggaraan AKN khususnya dan jaminan sosial umumnya

dapat kita lihat dari sikap-sikap yang berpendapat bahwa pemerintah tidak bertanggung-

jawab atas gangguan kesehatan keuangan badan penyelenggara. Pertanyaan "bagaimana

kalau badan penyelenggara bangkrut?" dan "bagaimana distribusi kekayaan yang dimiliki

badan penyelenggara?" menunjukkan rendahnya pemahaman tentang sebuah sistem

jaminan sosial. Ada pula anggapan yang menyatakan bahwa pemerintah tidak perlu

mensubsidi badan peyelenggara, oleh karenanya badan penyelenggara diserahkan kepada

BUMN, yang memang dasar pemikirannya harus secara finansial mandiri. Aneh!, minggu ini

kita menyaksikan keputusan Bank Indonesia menutup dua bank swasta dan pemerintah

menjamin dana nasabah tidak hilang. Bagaimana mungkin pemerintah tidak perlu turun

tangan untuk suatu sistem jaminan sosial yang memberikan manfaat kepada seluruh

rakyatnya! Kekeliruan pandang inilah yang sedang kita hadapi di negeri ini. Di banyak

negara, bahkan seluruh biaya operasional didanai dari anggaran pemerintah di luar

kontribusi pemerintah sebagai bentuk subsidi secara langsung. Sesungguhnya, suatu sistem

jaminan sosial atau AKN dirancang untuk tidak akan bangkrut kecuali pemerintah bangkrut.

Keseimbangan antara dana tekumpul dan kewajiban dalam sebuah sistem AKN atau

jaminan sosial akan terns dipantau dan disesuaikan agar selalu likuid dan solven. Inilah

hakikat sebuah jaminan sosial yang belum cukup difahami oleh banyak pihak di Indonesia.

Masih banyak tantangan-tantangan lain yang harus diatasi agar UU SJSN yang meletakan

fondasi AKN dapat segera berjalan seperti yang direncanakan. Tantangan terbesar adalah

ketidak-tahuan dan kesalah-fahaman tentang asuransi sosial dan jaminan sosial. Di

Indonesia pendidikan kebijakan publik dan pembiayaan publik (public finance) masih sangat

kurang diberikan, sehingga mekanisme asuransi sosial sangat kurang difahami. Pendidikan

kita belum seimbang memberikan pendidikan dan pemahaman AKN: Contoh dan Masa

Depannya di Indonesia 109 H Thabrany tentang kekuatan pasar dan kegagalan pasar.

Kurangnya tenaga yang memaharni, mempunyai komitmen, dan menguasai manajemen

dapat merusak berbagai keutarnaan AKN. Dalarn jangka pendek, tantangan terbesar

tersebut dapat diatasi dengan sosialisasi, pendidikan, dan pelatihan; asal kita mau dan

punya tekad untuk itu. Dalarn jangka panjang, asuransi sosial dan jaminan sosial hams

masuk dalarn mata ajaran di bidang ekonomi, kesejahteraan, kebijakan publik, dan juga di

bidang kesehatan. 5.9. Prospek Asuransi Kesehatan Nasional Sebuah sistem jaminan sosial

ataupun AKN merupakan sebuah pekerjaan besar yang tidak bisa dikerjakan oleh hanya

sebagian kecil orang dalarn waktu singkat. Sebuah jaminan sosial ataupun AKN adalah

suatu alat yang handal dalarn meningkatkan tingkat kesejahteraan rakyat dan dalarn

melakukan redistribusi pendapatan dalam mewujudkan keadilan sosial. Oleh karenanya, UU

SJSN yang merumuskan AKN sebagai salah satu sub sistemnya akan sangat dipengaruhi

oleh komitmen dan dukungan pemerintah, dukungan pelaku bisnis, dukungan para pekerja,

dan dukungan para profesi kesehatan. Di penghujung Kabinet Gotong Royong tampak

secercah harapan terwujudnya sebuah SJSN. Komitmen Pemerintah dan DPR sudah

tarnpak, meskipun belum meluas. Kalau kita berpandangan positif, sesungguhnya sudah

ada kemajuan besar dalarn perjalanan bangsa Indonesia menuju terwujudnya kesejahteraan

yang semakin merata. Perubahan UUD yang secara eksplisit mencantumkan hak rakyat

terhadap jarninan sosial dan pelayanan kesehatan dan kewajiban negara mengembangkan

jaminan sosial bagi seluruh rakyat, sesungguhnya bangsa Indonesia sudah semakin sadar

akan pentingnya SJSN. Sarnpai dokumen perubahan UUD, memang kemajuan tersebut

sudah terlihat. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita telah benar-benar menyadari

bahwa perubahan UUD yang memaksa negara, pemerintah dan seluruh rakyat, untuk

mewujudkan sebuah SJSN Pada waktu penyusunan RUU SJSN, banyak pihak yang sangsi

bahwa RUU tersebut akan selesai dibahas. Pada pidato pengukuhan penulis di Universitas

Indonesia, penulis yakin betul bahwa RUU SJSN akan selesai dibahas sebelum penggantian

anggota DPR hasil Pemilu 2004. Banyak pihak yang pesimistis, meskipun anggota DPR di

Komisi VII-menurut pandangan saya, sebenarnya sudah cukup bulat. Jika kita perhatikan

dari kinerja para anggota Dewan, khususnya Komisi VII, tampak bahwa mereka sudah

membuat dua UU inisiatif yang sarna-sarna berupaya memperbaiki dan menempatkan

sistem jaminan sosial, termasuk AKN, pada jalur yang konsisten dengan prinsip-prinsip

universal sebuah jaminan sosial. Belum pemah terjadi anggota DPR dari berbagai fraksi

secara sadar dan aklarnasi berinisiatif mengusulkan UU Asoskenas dan UU Revisi UU

Jarnsostek, yang secara substansial keduanya mempunyai konsep dasar yang sarna

dengan UU SJSN yang diajukan pemerintah. Oleh karena UU SJSN ini merupakan arnanat

Sidang Umum MPR, maka saya yakin dan penuh harap bahwa UU SJSN akan dapat

disetujui sebelum Sidang Umum yang akan datang. Tentu saja, saya yakin bahwa para

anggota Dewan juga berupaya sekuat tenaga menyelesaikan tekadnya dan arnanatnya

sendiri AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 110 H Thabrany sebelum masa

jabatannya habis. Kini kita akan bertaruh lagi, apakah AKN yang diatur dalam UU SJSN

akan bisa dilaksanakan segera? Prospek yang baik dari AKN tidak saja dapat dilihat dari

komitmen pemerintah (termasuk Tim SJSN) dan para anggota Dewan, akan tetapi dukungan

lembaga intemasional seperti ILO (International Labour Organization), WHO (World Health

Organization), Uni Eropa, GTZ (Lembaga Bantuan Teknis Pemerintah Jerman), ADB (the

Asian Development Bank), Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor lainnya merupakan

suatu faktor positif. Tiga opsi bagi Indonesia telah diidentifikasi dan disebar-luaskan oleh ILO

Indonesia, termasuk diantaranya AKN secara virtual dan faktual'", dalam bentuk laporan

sebuah kajian kepada banyak pihak di dalam maupun di luar negeri. Disamping itu, WHO

Indonesia, GTZ, dan Uni Eropa telah berulang kali mensponsori berbagai studi, seminar,

loka-karya, maupun mensponsori tenaga ahli asing untuk memberikan bantuan teknis di

Indonesia dan mensponsori tenaga Indonesia belajar di negara lain. Bank Pembangunan

Asia dan Bank Dunia juga telah berperan penting dalam pembahaman sistem pembiayaan

publik dan dalam pengembangan asuransi kesehatan melalui hibah dan persetujuan

pendanaan program-program terkait dengan asuransi kesehatan dalam pinjaman yang

diberikan. Semua itu memberikan kontribusi yang besar dalam pemahaman masalah dan

opsi-opsi perbaikan sistemjaminan sosial di Indonesia. Banyak yang tidak menyadari bahwa

sesungguhnya kita telah memiliki pengalaman lebih dari 36 tahun dalam melaksanakan

sebuah sistem asuransi kesehatan so sial bagi pegawai negeri dan keluarganya. Disamping

keluhan dan hujatan yang sering kita dengar, yang umumnya datang dari kalangan atas

peserta, masa 36 tahun sesungguhnya merupakan pelajaran yang sangat berharga dan

merupakan pondasi yang kuat bagi perluasan asuransi kesehatan so sial. Selain

pengalaman askes pegawai negeri, askes sosial pegawai swasta juga sudah

diselenggarakan sejak 10 tahun yang lalu. Masalah kronis yang dimiliki askes sosial di

Indonesia, yang menyebabkan banyaknya keluhan dan hujatan, sesungguhnya bersumber

dari rancangan sistem itu yang dengan kontribusi sangat rendah (2% gaji pokok bagi PNS

dan pensiunan pegawai negeri) hams menjamin pelayanan komprehensif. Syukurlah, sejak

tahun 2003 yang lalu, melalui PP 2812003 pemerintah telah mulai menambah kontribusi

dalam rangka perbaikan asuransi ini. Tanpa adanya perbaikan asuransi kesehatan pegawai

negeri, AKN akan sulit berkembang. Syukurlah bahwa PT Askes secara konsisten terus

berupaya memperbaiki kinerjanya terus-menerus. Pengenalan dan promosi Jaminan

Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) oleh Depkes, baik yang berhasil maupun yang

tidak berhasil, telah pula memberikan kontribusi kepada evolusi dan pemahaman kita

terhadap pentingnya AKN. Program JPS BK (Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan)

yang telah diluncurkan sejak awal masa masa krisis, yang dibiayai dari uang pinjaman yang

kemudian diteruskan dengan program JPK Gakin sebagai bagian dari pengalihan dana

subsidi BBM, telah juga memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi pengembangan

AKN. Program bagi penduduk miskin tersebut, yang meskipun belum menyelesaikan seluruh

masalah, telah memberikan pemahaman lebih dalam bagi pentingnya pengembangan AKN.

Program ini menunjukkan semakin kuatnya komitmen pemerintah dalam menyediakan

kebutuhan dasar kesehatan, sebagai suatu investasi SDM menuju masa depan bangsa

Indonesia yang lebih kompetitif. AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 111 H

Thabrany Tanpa komitmen pemerintah yang kuat dan tanpa perubahan cara pandang

belanja kesehatan, dari sekedar membantu rakyat miskin menjadi suatu investasi SDM,

kinerja SDM kita akan terus terpuruk. Kita hams menyadari bahwa Indeks Pembangunan

Manusia kita semakin merosot ke urutan 112 dan Indeks Daya Saing Indonesia yang berada

diurutan ke 49 dari 49 negara yang disurvei. Negara-negara yang memiliki AKN dan sistem

jaminan sosial yang kuat mempunyai IPM dan indeks daya saing yang tinggi, bahkan

memiliki indeks tingkat korupsi yang rendah. Syukurlah hal ini semakin disadari oleh kita

semua. Semuanya itu, telah dan akan terus menarnbah kazanah ilmu kita dalarn bidang

asuransi kesehatan. Banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa AKN akan menurunkan

daya saing Indonesia di pasar intemasional. Bahkan, mC-menurut penulis dengan nada

menakut nakuti, menyatakan bahwa AKN akan menyebabkan perusahaan asing enggan

berinvestasi di Indonesia. Prakteknya di negara maju dan di negara industri bam, kontribusi

jaminan sosial-termasuk kesehatan tidak menurunkan daya saing perusahaan. Masalah di

Indonesia sesungguhnya bukan kontribusi jarninan sosial atau tunjangan karyawan

(employement benefits, perks) tetapi pungutan-pungatan liar yang menarnbah beban

pengusaha. Survei biaya kesehatan yang dilakukan oleh Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan

FKMUI menunjukkan bahwa rata-rata majikan telah mengeluarkan 5,24% dari upah tenaga

kerjanya untuk biaya kesehatan karyawannya.f Jika sebuah AKN dijalankan, maka

sesungguhnya tidak banyak beban tarnbahan bagi pemberi kerja. Yang akan terjadi adalah

efisiensi yang lebih tinggi karena pool dan volume peserta yang lebih besar. Tidak akan

mungkin terjadi bahwa pengeluaran yang hanya berkisar 5-6% dari upah karyawan dapat

membuat sebuah usaha bangkrut dan tidak kompetitif. Kita hams melihatnya tidak hanya

dari biaya, akan tetapi banyak manfaat lain seperti meningkatnya moral pekerja, rasa arnan,

produktifitas, dan bahkan kejujuran pekerja akan meningkat. Sebuah rumah tangga

sekalipun, jika hams mengeluarkan kontribusi setiap bulan sebesar 5% dari pengeluaran

rutinnya tidak akan membuat rumah tangga itu kolaps. Hams diingat bahwa pengeluaran

tersebut bukanlah pengeluaran sumbangan, akan tetapi pengeluaran kontijensi untuk

membiayai diri mereka sendiri. Untuk meyakinkan bahwa kontribusi untuk AKN tidak akan

membuat sebuah usaha bangkrut, saya menganalisis data-data dari Badan Pusat Statistik

tahun 1993 sarnpai tahun 2000. Temyata telah terjadi kenaikan upah riil tenaga kerja kita

yang cukup berarti sejak diundangkan UU Jarnsostek. Sejak tahun 1993 UU Jamsostek

sudah mewajibkan pemberi kerja memberikan kontribusi sebesar 12,7% upah (hanya 2%

kontribusi tenaga kerja). Temyata tingkat upah riil tetap meningkat. Artinya-beban tersebut

tidak mengurangi kemarnpuan perusahaan meningkatkan upah tenaga kerjanya. Analisis

lebih lanjut dari data tahun 2000 tentang proporsi biaya tenaga kerja terhadap biaya

produksi menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan hanya mengeluarkan 8,1% saja dari

biaya produksi untuk upah tenaga kerjanya. Jika kontribusi AKN sebesar 5% yang

sepenuhnya ditanggung perusahaan, maka dampak kontribusi tersebut terhadap

peningkatan biaya produksi hanyalah 0,05 x 8,1% atau hanya akan meningkatkan biaya

produksi sebesar 0,4%. Pecayakah kita bahwa kontribusi AKN yang diwajibkan kepada

pemberi kerja dapat menurunkan daya saing produk? Fakta sederhana saja menunjukkan

bahwa di pasar Indonesia terdapat begitu banyak produk dari negara-negara maju yang

mewajibkan pemberi kerja berkontribusi lebih besar dari itu. AKN: Contoh dan Masa

Depannya di Indonesia 112 H Thabrany Ditinjau dari persepsi tentang kemungkinan,

manfaat, dan kesediaan pemberi kerja mengikuti sebuah skema AKN, saya melakukan

sebuah survei kecil kepada 100 direktur/manajer sumber daya manusia di Jakarta. Survei

pendahuluan tersebut menunjukkan bahwa mayoritas direktur SDM mempunyai pandangan

positif tentang AKN. Bahkan 83% dari mereka setuju kalau AKN dimulai pada tahun 2004 ini.

Bahkan ketika ditanyakan apakah karyawan mereka keberatan membayar tambahan iuran

3%, 61 % menyatakan tidak. Meskipun survei ini baru merupakan survei pendahuluan dan

survei dengan sampel yang lebih besar masih diperlukan, sudah mulai tergambarkan bahwa

sesungguhnya apabila pemberi kerja dan pekerja memahami apa yang akan dilakukan oleh

sebuah sistem AKN, sesungguhnya mereka memahami manfaat besar bagi perusahaan dan

karyawannya. Hal ini konsisten dengan sikap para pengusaha di Korea Selatan dan

Muangtai yang saya temui. Dengan demikian, kita tidak perlu takut memulai pengembangan

AKN. Apabila penyelenggaraan AKN sudah bisa dirasakan manfaatnya, pengusaha bahkan

akan sangat mendukung seperti yang dilaporkan oleh Duque. 89 Sebuah sistem AKN

sesungguhnya tidak hanya berdampak besar pada akses pelayanan kesehatan yang

merupakan kebutuhan paling mendasar bagi manusia yang hidup di muka bumi ini. Sebuah

sistem AKN juga akan berdampak pada banyak aspek kehidupan manusia lain dan bahkan

kepada good governance, baik dalam pemerintahan maupun dalam mengelola suatu badan

usaha. Di Indonesia, saya yakin bahwa sistem AKN juga akan berdampak pada peningkatan

kepatuhan pembayar pajak, karena dalam AKN hubungan kontribusi wajib dengan manfaat

yang diterima oleh peserta akan sangat dekat. Hal ini merupakan suatu media pendidikan

kepatuhan penduduk dalam memberikan kontribusi untuk kepentingan bersama. Di bidang

praktek kedokteran, tidak diragukan lagi bahwa AKN mempunyai dampak besar bagi

profesionalisme praktek dokter dan rumah sakit. Sebuah sistem AKN akan lebih menjamin

terselenggaranya penataan praktek dokter keluarga yang amat dicita citakan oleh

Departemen Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia. Fakta-fakta di dunia menunjukkan

bahwa sistem praktek dokter keluarga hanya bisa berjalan apabila ditunjang oleh sebuah

sistem pembiayaan melalui AKN atau sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah. Sebuah sistem

AKN juga akan mendorong pemerataan distribusi dokter dan rumah sakit, karena terjadinya

maldistribusi dokter dan rumah sakit-yang terkonsentrasi di kota besar terjadi karena

'duit'nya ada di kota. Tanpa AKN, hanya masyarakat kotalah yang mampu membeli jasa

medik dokter maupun rumah sakit. Akan tetapi dengan AKN, yang menjamin semua orang,

uang akan terdistribusi lebih merata (money follow patients). Dokter, rumah sakit, dan

fasilitas kesehatan lainnya akan dengan sendirinya mengikuti distribusi peserta atau pasien.

Untuk mencakup seluruh penduduk kita memerlukan berbagai kondisi seperti, stabilitas

politik, stabilitas keamanan, porsi pekerja di sektor formal yang semakin meningkat,

infrastruktur perpajakan, tingkat pendatapan penduduk, jaringan PPK, dan kemampuan

manajemen." Akan tetapi, kita tidak boleh menunggu agar semua kondisi tersebut terpenuhi.

Akan terlalu banyak korban dan kesulitan jika kita menunggu kondisi tersebut terpenuhi.

Stabilitas politik dan keamanan merupakan prasyarat utama, sedangkan kondisi lainnya

dapat kita bangun bersama-sama dengan upaya perluasan cakupan AKN. Upaya untuk

mencapai cakupan universal melalui AKN dapat dimulai dari sektor yang AKN: Contoh dan

Masa Depannya di Indonesia 113 H Thabrany mudah dikelola, yaitu mencakup seluruh

pekerja di sektor formal terlebih dahulu seperti yang dilakukan berbagai negera di dunia. N

amun demikain, kita hams menyadari bahwa AKN adalah alat untuk mencapai cakupan

universal, bukan tujuan. Sebuah sistem AKN merupakan alat yang ampuh yang telah

dibuktikan di negara lain, khususnya di negara yang komitmen NHSnya rendah atau

penerimaan negara dari pajak relatif rendah. Tampaknya kondisi Indonesia, dimana belum

sampai 5% penduduk Indonesia yang telah memiliki NPWP dan karenanya rutin membayar

pajak, sistem AKN jauh lebih layak dari sistem NHS. Think big, start small, act now! Itulah

yang harus kita lakukan. Kita tidak boleh menunggu sampai ekonomi baik, sampai fasilitas

kesehatan siap, atau sampai kemampuan manajemen memadai. Pada waktu Otto von

Bismark memperkenalkan asuransi sosial kesehatan di tahun 1883, keadaan ekonomi

Jerman masih lebih jelek dari kondisi kita sekarang. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor

formal hanya 10% dari total tenaga kerja pada waktu itu." Pada waktu Inggris

memperkenalkan AKN di tahun 1911, dan kemudian mengubah menjadi NHS di tahun 1948,

kondisi ekonomi dan fasilitas kesehatannya juga tidak sebagus yang kita miliki sekarang.

Pada waktu Presiden Rosevelt di Amerika memperkenalkan jaminan sosial di tahun 1935,

yang kemudian diamandemen dengan manambah Medicare di tahun 1965, juga keadaan

ekonomi dan fasilitas kesehatan Amerika tidak sebaik yang kita miliki sekarang. Pada waktu

Malaysia memulai sistem NHSnya, atau Filipina memulai AKNnya, kondisinya juga belum

sebaik yang mereka miliki sekarang. Akan tetapi memang kita hams menyadari berbagai

keterbasan yang kita miliki. Kita hams melaksanakan AKN dengan tetap hati-hati dan

realistis. Ambisi yang terlalu besar hanya akan menghancurkan sistem yang akan kita

bangun. Fasilitas kesehatan dan mutu pelayanan yang disediakannya hams terns diperbaiki,

sambil kita memperluas cakupan kepesertaan. Manajemen AKN hams terus dikembangkan

untuk menjamin bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan memenuhi kebutuhan dan

harapan peserta dan kemudian seluruh penduduk. Evaluasi hams terus menerus dijalankan

agar kita dapat terus memperbaiki kinerja AKN. Segala tantangan, keberatan, dan ketidak-

puasan hams terus diatasi secara seksama dan tuntas. Program AKN baru akan berhasil

baik jika semua pemberi kerja, pekerja, dan seluruh peserta merasa perlu dan diuntungkan

dengan menjadi peserta AKN. Sering kita tidak menyadari bahwa sesungguhnya sebagian

besar rakyat kita tidak akan mampu memenuhi kebutuhan kesehatannya. Banyak diantara

kita pun bisa jadi tidak mampu membiayai pelayanan kesehatan yang kita perlukan di saat

kita memerlukannya, jika suatu penyakit berat dan mahal pengobatannya menimpa kita. Kita

tidak boleh mengatakan bahwa asuransi kesehatan tidak penting atau tidak kita perlukan

hanya karena kita belum pemah merasakan manfaat atau mengalami kebutuhan. Inilah

hakikat asuransi, menjamin masa depan, masa dimana kita belum pemah mengalaminya.

Inilah pula tantangan terbesar yang menyebabkan banyak pihak, tanpa menyadari bahwa

dirinya suatu ketika juga dapat jadi miskin karena sakit, tidak mendukung sebuah sistem

AKN. Kita memang hams menunjukkan bukti untuk meyakinkan banyak pihak. Untuk AKN:

Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 114 H Thabrany menujukkan bukti tersebut,

diperlukan keberanian bertindak. Tidak ada bukti, tanpa keberanian bertindak. Perjalanan

jauh dimulai dari langkah pertama yang kecil, bangunan besar dimulai dari pemasangan

batu yang kecil, dan rasa kenyang dimulai dengan sesuap makanan. Sebuah AKN yang

besar dapat kita mulai dengan menata batu satu persatu sampai ia menjadi bangunan

besar. Rujukan 1 Feldstein PJ. Health Care Economics. 4th Ed. Delmar Publ. Albany, NY,

USA. 1993 2 Henderson JW. Health Economics and Policy. 2nd Ed. South-Western

Thomson Learning. Mason, Ohio, USA 2002 3 Thabrany, H. Kegagalan Pasar dalam

Asuransi Kesehatan. MKl Juni 2001 4lihat UU 9/1969 BUMN jo UU BUMN 2003 5 Azwar, A.

Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta,

1996 6 Azwar, A. Catatan Tentang Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Yayasan

Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta, 1995 7 Sulastomo. Asuransi Kesehatan dan

Managed Care. PT Asuransi Kesehatan Indonesia, Jakarta. 1997 8 Thabrany. H. Introduksi

Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta, 1999 9 HIAA.

Gorup Health Insurance part A. HIAA, Washington DC. 1997 10 Dixon A and Mossialos E.

Health System in Eight Countries: Trends and Challenges. The European Observatory on

Health Care Systems. London, 2002 11 Henderson JW. Op Cit 12 Rejda, GE. Social

Insurance and Economic Security. 3rd Ed. Prentice Hall, New Jersey, USA. 1988 13

Friedlander WA and Apte RZ. Introduction to Social Welfare. Prentice Hall. Englewood, New

Jersey, USA, 1980 14 Keintz RM. NHI and Income Distribution. D.C. Health and Company,

Lexington, USA, 1976 15 Merritt Publishing, Glossary of Insurance Terms, Santa Monica,

CA, USA 1996 16 Tuohy CH. The Costs Of Constraint And Prospects For Health Care

Reform In Canada. Health Affairs: 21(3): 32-46,2002 17 Vayda E dan Deber RB. The

Canadian Health-Care System: A Devdelopmental Overview. Dalam Naylor D. Canadian

Health Care and The State. McGill-Queen's University Press. Montreal, Canada, 1992 18

Roemer MI. Health System of the World. Vol II. Oxford University Press. Oxford, UK. 1993

19 Thabrany, H. Kegagalan Pasar. Op Cit 20 Keintz RM. National Health Insurance and

Income Distribution. D.C. Health and Company, Lexington, USA, 1976 21 Rubin, HW.

Dictionary of Insurance Terms. 4th Ed. Barron's Educational Series, Inc. Hauppauge, NY,

USA 2000 22 Dixon and Mossialos. Op Cit. 23 Stier1e. F. German Health Insurance System.

Makalah disajikan pada Seminar Asuransi Kesehatan Sosial, Jakarta 2001 AKN: Contoh dan

Masa Depannya di Indonesia 115 H Thabrany 24 Rucket, P. Universal Coverage And

Equitable Access To Health Care: The European and German Experience. Makalah

disajikan pada Asia Pacific Summit on Health Insurance and Managed Care. Jakarta, 22-24

Mei, 2002 25 Lankers, e. The German Health Care System. Makalah disajikan pada

Kunjungan Tim SJSN di Berlin, 24 Juni 2003 26 Schoultz F. Competition in the Dutch Health

Care System. Rotterdam, 1995 27 Dixon and Mossialos. Op Cit 28 Roemer, Milton I. Op Cit

29 www.health.gov.au 30 Hall JIourenco RA and Viney R. Carrots and Sticks- The Fall and

Fall of Private Health Insurance in Australia. Health Econ 8 (8):653-660, 1999 31 Dixon A

and Mossialos E. Op Cit 32 Yoshikawa A, Bhattacharya J, Vogt WB. Health Economics of

Japan. University of Tokyo Press, Tokyo, 1996 33 Okimoto DI dan Yoshikawa A. Japan's

Health System: Efficiency and Effectiveness in Universal Care. Faulkner & Gray Inc. New

York, USA, 1993 34 Nitayarumphong S. Universal Coverage of Health Care: Challenges for

Developing Countries. Paper presented in Workshop of Thailand Universal Coverage. 2002

35 Lee YC, Chang HJ dan Lin PF. Global Budget Payment System: Lesson from Taiwan.

Makalah disajikan dalam Summit 36 BNHI. National Health Insurance Profile 2001. BNHI,

Taipei 2002 37 Liu CS. National Health Insurance in Taiwan. Makalah disajikan pada

Seminar Menyongsong Asuransi Kesehatan Nasional, Jakarta 3-5 Maret 2004 38 Rachel Lu

J and Hsiao We. Does Universal Health Insurance Make Health Care Unaffordable? Lessons

From Taiwan. Health Affairs: 22(3): 77-88,2003 39 Cheng TM. Taiwan's New National Health

Insurance: Genesis and And Experience So Far. Health Affairs: 22(3):61-76 40 Am-Gu.

National Health Insurance in Korea. Makalah disajikan dalam Loka Karya Sistem Jaminan

Sosial di Bali, 10-17 Februari 2004 41 Thabrany, H. Universal Coverage in Korea and

Thailand. Laporan kepada Proyek Social Health Insurance, Uni Eropa. Oktober 2003. 42

Park, . National Health Insurance in Korea, 2002. Research Division, NHIe. Memeograph

presented for an Indonesian delegate. 43 Pongpisut. Achieving Universal Coverage of

Health Care in Thailand through 30 Baht Policy. Makalah disampaikan pada SEAMIC

Conference, Chiang Mai, Thailand, 14-17 Januari 2002 44 Siamwalla A. Implementing

Universal Health Insurance. Dalam Pramualratana P dan Wibulpopprasert S. Health

Insurance Systems in Thailand. HSRI, Nonthaburi, Muangtai, 2002 45 Tangchareonsathien

V, Teokul, W dan Chanwongpaisal L. Thailand Health Financing System. Makalah disajikan

pada Loka Karya Social Health Insurance, Bangkok, 7-9 Juli 2003 46 SSO. Social Health

Insurance Scheme in Thailand. SSO, Bangkok 2002 47 WHO/SEARO. Social Health

Insurance: Report of a Regional Consultation. WHO, New Delhi, 2003 48 Novales MA dan

Alcantara MO. National Health Insurance Program in Philippines. Makalah disampaikan

pada Summit Jakarta 49 EkaPutri. A. National Health Insurance Program in Decentralized

Government in Archipelago Country: Lesson from the Philippine. Makalah Studio Asian

Scholarship Foundation, 2003. 50 WHO/SEARO.Social HI. Op Cit 51 Sulastomo. Asuransi

Kesehatan Sosial-Sebuah Pilihan. Raja Grafindo Persada. Jakarta 2002 AKN: Contoh dan

Masa Depannya di Indonesia 116 H Thabrany 52 Sutadji OA. Pengalaman PT Askes dalam

Menyelenggarakan Asuransi Kesehatan Sosial untuk Masyarakat Umum. Makalah

disampaikan pada Loka Karya Menyongsong AKN, Jakarta 3-4 Maret 2004. 53 UU SJSN,

2004 54 Dionne G. Hand Book of Insurance. Kluwer Publication, Boston, 2000 55 Rejda. Op

Cit 56 Rosen HS. Public Finance.5th Ed. MC-Graw Hill. New York, USA. 1999 57 Dionne G,

Op Cit. 58 Rosen, Oc Cit. 59 Rejda. Op Cit. 60 Butler Op Cit 61 WHO/SEARO Op Cit. 62

Thabrany, H. Rasional Pembayaran Kapitasi. yP illI. 2000 63 Feldstein. Op Cit 64 Hederson

Op Cit 65 Roemer. Op Cit 66 Thabrany, H. Rancang Bangun Sistem Jaminan Kesehatan.

Kompas 20-11-2001 67 Dixon Op Cit. 68 Roemer. Op Cit. 69 ILO Indonesia. Social Security

and Coverage for All: Restructuring Social Security Scheme in Indonesia-Issues and

Options. ILO, Jakarta 2002 70 Thabrany dkk. Review Pembiayaan Kesehatan Kesehatan di

Indonesia. Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan Universitas Indonesia, Depok, 2002 71 Saadah

F, Pradhan M, dan Sudarti. Indonesian Health Sector: Analysis of National Social Economic

Surveys for 1995,1997, and 1998. Mimegoraf, World Bank, 2001 72 Pradhan M and Prescott

N. Social Risk Menagement Options for Medical Care in Indonesia. Health Econ. 11: 431--

446 (2002) 73 Thabrany, H dkk. Review Pembiayaan. Op Cit 74 WHO. World Health Report

2000.p55, Geneva, 2001 75 Asher MG. The Pension System in Singapore. The World Bank,

Washington DC, USA, 1999 76 ILO Int. Social Security of the World. ILO, Geneva 2002 77

Viroj, T. Makalah dipresentasikan di Loka Karya SHI Bangkok, Juli 2003. 78 Pongpisut, Op

Cit. 79 SSO- Thailand. Op Cit 80 Yeung RM, Smith RD, McGhee SM. Willingness to pay and

size of health benefit: an integrated model to test for 'sensitivity to scale'. Health Econ. 1: ....

(2003) 81 Ryan M. A comparison of stated preferencemethods for estimating monetary

values. Health Econ. 4: (2003) 82 Jakarta Post, 13 Februari 2004 83 BPS. Statistik

Indonesia 2001. BPS, Jakarta, 2002 84 Sutadji. Op Cit. 85 Gertler P and Solon O. Who

Benefits from Social Health Insurance in Developing Countries. memeograf, Berkeley, USA,

2000 86 Stiglitz. J. The Roraring Ninties-Seeds of Destruction. Allen Lane. London, UK, 2003

87 ILO Indonesia. Op Cit 88 Chusnun, P. dkk. Laporan Survei Biaya Kesehatan Karyawan,

PKEK UI, 2003 89 Duque III FT. Universal Social Health Insurance Coverage in the

Philippine. Makalah disajikan pada Regional Consultation on SHI. Bangkok, 7-9 Juli 2003 90

Thabrany H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta 1999. 91 Rucket

P. Op Cit AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 117 H Thabrany BAB6 Sistem

Pembayaran Fasilitas Kesehatan 6.1. Pendahuluan Pelayanan kesehatan di Indonesia

tumbuh dan berkembang secara tradisional mengikuti perkembangan pasar dan sedikit

sekali pengaruh intervensi pemerintah dalam sistem pembayaran. Dokter, klinik, dan rumah

sakit pemerintah maupun swasta sama-sama menggunakan sistem pembayaran jasa per

pelayanan (fee for service) karena secara tradisional sistem itulah yang berkembang. Sistem

ini juga merupakan sistem paling sederhana yang tumbuh dan terus digunakan karena

tekanan untuk pengendalian biaya belum tampak. Di negara maju, baik di Eropa, Amerika,

maupun Asia, tekanan tingginya biaya kesehatan sudah lama dirasakan. Semua pihak ingin

mengendalikan biaya kesehatan tersebut, karena semua pihak sudah merasakan beban

ekonomi yang berat untuk membayar kontribusi asuransi kesehatan sosial atau anggaran

belanja negara, atau membeli premi asuransi kesehatan. Tekanan inilah yang mendorong

implementasi berbagai sistem pembayaran kepada fasilitas kesehatan. Di Indonesia, biaya

pelayanan kesehatan masih sangat rendah, bahkan boleh dikatakan masalah sesungguhnya

yang kita hadapi adalah masalah rendahnya biaya kesehatan, rendahnya akses kepada

fasilitas kesehatan, dan bukan mahalnya biaya kesehatan. Meskipun tekanan untuk

penerapan berbagai sistem pembayaran belum besar di Indonesia, praktek beberapa sistem

pembayaran altematif, selain jasa per pelayanan, sudah dilaksanakan oleh beberapa pihak

misalnya PT Askes Indonesia dan beberapa perusahaan yang sudah merasakan perlunya

kendali biaya. Dalam bab ini kita akan mengupas berbagai altematif sistem pembayaran

yang di masa datang, mau tidak mau, kita akan menerapkannya. Undang-undang Sistem

Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang akan mendorong tumbuhnya sistem asuransi

kesehatan sosial di Indonesia sudah mengantisipasi hal itu dan karenanya sudah

memberikan indikasi akan perlunya penerapan sistem pembayaran prospektif. Bahkan pada

tahun 2005 ini Departemen Kesehatan telah memulai penerapan SJSN tersebut dengan

memberikan jaminan kepada penduduk yang berobat ke puskesmas atau dirawat di RS

kelas III. Sistem jaminan oleh Pemerintah ini dikelola oleh PT Askes agar sistem

pembayaran dapat dilaksanakan guna mendorong efisiensi dalam sistem kesehatan

Indonesia. Dalam sistem tersebut, PT Askes sudah mencanangkan untuk membayar

puskesmas dengan sistem kapitasi dan membayar RS dengan sistem paket. Berbagai

sistem pembayaran lain akan dibahas dalam bab ini untuk memberikan pemahaman kepada

para pembaca. Sebelum kita memulai membahas sistem pembayaran, dalam bab ini akan

dibahas secara ringkas masalah-masalah dalam biaya kesehatan. Biaya kesehatan adalah

masukan (input) finansial yang diperlukan dalam rangka memproduksi pelayanan

kesehatan, baik yang bersifat promotif-preventif maupun yang bersifat kuratif-rehabilitatif.

Tidak ada dikotomi pembiayaan kesehatan untuk kegiatan promotif-preventif dengan kuratif-

rehabilitatif. Semua Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 118 H Thabrany kegiatan

tersebut merupakan suatu kesinambungan (continuum) yang perlu dilaksanakan guna

mencapai tujuan kesehatan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Masukan

finansial, berupa dana dari pemerintah maupun dari masyarakat kemudian dihitung per unit

pelayanan. Jumlah uang yang dibelanjakan untuk memproduksi satu unit atau kelompok unit

pelayanan merupakan biaya produksi pelayanan kesehatan. Fasilitas kesehatan kemudian

menagih atau meminta pasien membayar (baik langsung dari kantong pasien sendiri

maupun dari pihak pembayarnya) sejumlah uang yang biasanya lebih besar dari biaya

produksi. Tagihan ini disebut harga pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan. Harga

pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan merupakan biaya bagi pembayar. Sebagai

contoh, tagihan rumah sakit sebesar Rp 1.000.000 kepada seorang pasien peserta PT

Askes atau PT Jamsostek merupakan harga atau tarif (bukan biaya) bagi rumah sakit. Akan

tetapi, tagihan tersebut menjadi biaya bagi PT Askes atau PT Jamsostek karena besarnya

uang yang dibayarkan oleh kedua asuransi tersebut merupakan beban biaya yang hams

dikeluarkan dalam rangka produksi sistem asuransi yang dikelolanya. Dalam bab ini, fokus

pembahasan adalah biaya kesehatan yang diperlukan dalam memproduksi satu unit

pelayanan kesehatan. Berbagai faktor seperti biaya hidup pegawai fasilitas kesehatan,

tuntutan dokter, harga obat obatan, harga dan kelengkapan peralatan medis, biaya listrik,

biaya kebersihan, biaya perijinan dan sebagainya menentukan biaya pelayanan kesehatan

di fasilitas kesehatan. Pelayanan medis, khususnya di rumah sakit, mempunyai dilema yang

tidak dimiliki oleh pelayanan lain seperti pada pelayanan hotel, bengkel mobil, dan

pelayanan restoran. Pelayanan medis di rumah sakit merupakan pelayanan yang dibutuhkan

setiap orang di era modem, paling sedikit sekali dalam masa hidupnya. Pelayanan medis di

rumah sakit bersifat tidak pasti (uncertain) (Feldstein, 1998; Phelps; Rappaport;), baik waktu,

tempat, maupun besar biaya yang dibutuhkan (Thabrany, 2005).1 Karena sifat pelayanan

yang tidak pasti, maka tidak semua orang siap dengan uang yang dibutuhkan untuk

membiayai pelayanan tersebut. Di lain pihak, rumah sakit yang tidak mendapat pendanaan

sepenuhnya dari pemerintah mengalami dilema hams menutupi biaya-biaya yang

dikeluarkan seperti jasa dokter, bahan medis habis pakai, sewa alat medis, biaya listrik,

biaya pemeliharaan gedung, dan biaya-biaya modal atau investasi lainnya. Dalam

pelayanan rumah sakit, sering terdapat bad debt, yang merupakan biaya rumah sakit yang

tidak bisa ditagih kepada pasien atau keluarga pasien. Agar rumah sakit bisa terus

menyediakan pelayanan, besarnya bad debt hams dikompensasi dengan penerimaan lain,

yang seringkali dibebankan, baik secara eksplisit maupun diperhitungkan dalam rencana

perhitungan pentarifan, kepada pasien lain yang mampu membayar atau yang dibayar oleh

majikan pasien atau oleh perusahaan asuransi. 6.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya

kesehatan Pada garis besarnya, biaya pelayanan medis di rumah sakit terus meningkat dari

tahun ke tahun di negara manapun. Menurut Donald F Beck (1984i peningkatan biaya

pelayanan medis bersumber dari dua kelompok utama yaitu inflasi biaya normal dan biaya

pelayanan yang baru dan lebih baik. Komponen inflasi biaya rumah sakit mencakup dua

pertiga kenaikan biaya rumah sakit dan sepertiga kenaikan biaya bersumber dari pelayanan

teknologi baru yang lebih baik dan lebih mahal. Howard Smith dan Myron Fottler (1985)3

menyatakan Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 119 H Thabrany bahwa inflasi biaya

kesehatan selalu lebih tinggi dari inflasi biaya umum karena dalam banyak hal pimpinan

rumah sakit tidak punya kendali atas biaya pelayanan medis di rumah sakit itu. Selain rumah

sakit, kebijakan pemerintah, pembayar pihak ketiga seperti asuransi, tenaga kesehatan

sendiri, dan masyarakat tidak memiliki insentif untuk mengendalikan biaya. Apa yang

disampaikan oleh para ahli di Amerika dapat tampak jelas kita amati di Indonesia. Peraturan

Menteri Kesehatan menggariskan tarif pelayanan dengan mempertimbangkan biaya satuan

(unit cost). Berbagai buku pedoman dan pelatihan-pelatihan yang diberikan di berbagai

perguruan tinggi telah menerjemahkan biaya satuan dalam satuan terkecil seperti konsultasi

dokter, biaya imunisasi, biaya pasang pen, dan sebagainya. Karena dokter dibayar untuk

tiap konsultasi, bukan untuk satu episode pengobatan sampai pasien sembuh, maka dokter

akan senang memberikan konsultasi atau visite yang lebih banyak. Semakin banyak dokter

visite kepada pasien yang dirawat, semakin banyak penghasilannya. Di sisi lain, pasien

menilai bahwa dokter yang sering visite adalah dokter yang baik dan pasien lebih senang

jika dokter lebih sering visite. Jika pasien hams membayar sendiri, hampir tidak pemah

pasien menolak visite dokter karena menyadari bahwa biayanya akan tambah mahal. Pasien

juga tidak mampu mengetahui apakah visite dokter perlu sesering itu atau cukup sekali dua

kali. Apabila perawatan pasien dibayar oleh majikan atau asuransi, pasien tambah senang

dengan semakin banyak visite dokter, karena tidak ada beban biaya yang akan

dikeluarkannya. Hatinya semakin tenang dan menilai bahwa dokter tersebut baik sekali.

Sang dokter pun semakin senang, karena penghasilannya akan bertambah. Maka terjadilah

kolusi sempuma yang menyebabkan biaya perawatan tambah mahal. Kolusi dokter-pasien

dalam sebuah sistem dimana pasien tidak membayar sendiri sebagian besar biaya

kesehatan bagi dirinya mendapat pupuk yang subur dari kemajuan teknologi. Teknologi

sinar rontgen, sinar gama, dan bahkan gelombang suara telah digunakan dalam diagnosis

suatu penyakit seperti CT Scan, Gama Knife, dan USG tiga dimensi dan berwarna. Dokter

semakin suka dengan perkembangan teknologi tersebut karena banyak hal yang dahulu

tidak bisa diketahui kini bisa diketahui dengan lebih akurat. Namun hams disadari bahwa

teknologi baru tersebut mahal harganya, karena riset penemuannya ditambah marjin

keuntungan pembuat alat-alat canggih memang tinggi. Dokter tidak bertepuk sebelah

tangan, karena pasien yang mendapat pelayanan teknologi canggih yang bisa

didemonstrasikan di hadapannya juga merasa senang. Seorang ibu hamil akan sangat

senang diperlihatkan tampilan pemeriksaan USG tiga dimensi dan bewama. Yang tidak

diketahui oleh pasien adalah harga yang hams dibayar atas kesenangan dirinya dan

kesenangan dokter yang menggunakan alat tersebut. Maka jadilah teknologi baru dan lebih

baik menambah tingginya biaya diagnosis dan pengobatan di rumah sakit. Tingginya biaya

kesehatan yang diperlukan untuk memproduksi satu unit pelayanan menyebabkan rumah

sakit menagih (charge) ke pasien atau ke pihak penjamin (asuransi) semakin tinggi. Apalagi

jika rumah sakit tersebut bersifat pencari laba (for profit) dimana pemodal menuntut uang

yang ditanam untuk membangun rumah sakit dan berbagai biaya yang terkait dengan itu

kembali dalam jangka waktu tertentu. Seperti telah disinggung dimuka, sistem pembayaran

jasa per pelayanan (retrospektif, karena biasanya baru diketahui besarannya setelah seluruh

pelayanan diberikan kepada pasien), lebih mendorong tingginya tagihan yang hams dibayar

penjamin atau pasien. Tingginya tagihan rumah sakit, yang menjadi biaya bagi pihak

asuransi, mendorong pihak asuransi atau pemerintah (dalam Sistem Pembayaran Fasilitas

Kesehatan 120 H Thabrany hal biaya rumah sakit bagi penduduk dibayar pemerintah-seperti

yang dilakukan di Malaysia), untuk mengembangkan sistem pembayaran prospektif. Secara

umum, sistem pembayaran pelayanan rumah sakit dapat berbentuk satu atau lebih dari

pilihan berikut (Kongstvedt, 1996). • Sesuai tagihan, biasanya secara retrospektif dan sesuai

jasa per pelayanan • Sesuai tagihan akan tetapi dengan negosiasi diskonlrabat khusus •

Diagnostic related group • Kapitasi • Per kasus • Per diem • Bed leasing (sewa tempat tidur)

• Performance based incentives • Global budget 6.3. Sistem Pembayaran Retrospektif

Berbagai aspek pembayaran retrospektif Pembayaran retrospektif sesuai narnanya berarti

bahwa be saran biaya dan jumlah biaya yang hams dibayar oleh pasien atau pihak

pembayar, misalnya asuransi atau perusahaan majikan pasien, ditetapkan setelah

pelayanan diberikan. Kata retro berarti di belakang atau ditetapkan belakangan setelah

pelayanan diberikan. Cara pembayaran retrospektif merupakan cara pembayaran yang

sejak awal pelayanan kesehatan dikelola secara bisnis, artinya fihak fasilitas kesehatan

menetapkan tarif pelayanan. Oleh karenanya cara pembayaran ini disebut juga dengan cara

pembayaran tradisional atau fee for service (jasa per pelayanan). Di Indonesia, cara

pembayaran jasa per pelayanan sering disebut dengan istilah cara pembayaran out of

pocket (dari kantong sendiri). Penggunaan istilah cara pembayaran dari kantong sendiri

(DKS) untuk cara pembayaran jasa per pelayanan (IPP) sesungguhkan tidak tepat. Cara

pembayaran jasa per pelayanan adalah cara fasilitas kesehatan menagih biaya yang dirinci

menurut pelayanan yang diberikan, misalnya biaya untuk tiap visite dokter, infus, biaya

ruangan, tiap jenis obat yang diberikan, tiap jenis pemeriksaan laboratorium, dsb.

Sedangkan DKS merupakan sumber dana untuk membayar secara IPP. Pembayran DKS

dapat berbentuk IPP dan dapat juga berbentuk sejumlah uang tetap. Misalnya di Malaysia,

seorang pasien yang berobat di RS publik (RS pemerintah) hanya membayar 3 RM per hari

(setara dengan Rp 6.300 di tahun 2005) untuk setiap hari perawatan, meskipun perawatan

tersebut merupakan perawatan sakit ringan maupun perawatan untuk transplantasi ginjal.

Jumlah pembayaran DKS sendiri itu sudah termasuk obat-obtan dan segala macam

tindakan yang diberikan kepada pasien. Di Muangtai, pasien hanya membayar 30 Baht per

episode perawatan, artinya sarnpai pasien pulang dari rumah sakit tanpa memperhatikan

jumlah hari perawatan. Jadi cara pembayaran IPP tidak selalu sarna dengan cara

pembayaran DKS. Selain DKS, pembayaran IPP dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan

untuk seorang karyawan atau anggota keluarga karyawan tersebut yang menjadi

tanggungan perusahaan. Pembayaran IPP juga dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi

yang menjadi penanggung pembayaran seorang pasien yang telah Sistem Pembayaran

Fasilitas Kesehatan 121 H Thabrany membeli polis asuransi. Bahkan di Indonesia, berbeda

dengan teori yang dipromosikan, bapel-bapel Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarkat

(JPKM) juga masih membayar rumah sakit dengan cara pembayaran JPP. Kekeliruan faham

tersebut dapat difahami karena lebih dari 80% pelayanan rumah sakit di Indonesia memang

masih dibayar oleh pasien sendiri (bukan oleh asuransi maupun majikan) dan karenanya

sumber dananya adalah dari kantong keluarga pasien (DKS). Memang cara pembayaran

JPP akan tetap subur pada lingkungan dimana pasien tidak memiliki asuransi dan

membayar setiap pelayanan yang ditagih fasilitas kesehatan. Dari sisi pengendalian biaya

kesehatan, cara pembayaran JPP ini mempunyai kelemahan karena fasilitas kesehatan

maupun dokter akan terus dirangsang (mendapat insentif) untuk memberikan pelayanan

lebih banyak. Semakin banyak jenis pelayanan yang diberikan semakin banyak fasilitas

kesehatan atau dokter mendapatkan uang. Jangan heran kalau pada beberapa rumah sakit,

lima atau enam dokter spesialis berbeda melakukan visite kepada seroang pasien yang

sama setiap hari. Semakin banyak visite dokter, semakin banyak dokter tersebut

memperoleh jasa atau penghasilan. Begitu juga dengan jenis tindakan diagnosis seperti

laboratorium atau prosedur lainnya. Pasien akan ditagih untuk setiap jenis pemeriksaan.

Apabila dokter atau bahkan perawat-pada beberapa kasus mendapat insentif (berupa bonus

prosentase tertentu dari pemeriksaan), maka dokter atau perawat akan lebih banyak

meminta pemeriksaan lab untuk memantau kondisi medis pasiennya. Padahal visite atau

pemeriksaan berulang-ulang mungkin tidak memberikan manfaat pada pasiennya. Sebagai

contoh, visite pemeriksaan gula darah dua hari sekali mungkin juga sudah cukup untuk

proses penyembuhan pasien, akan tetapi karena ada rangsangan uang untuk visite atau

pemeriksaan gula darah setiap hari, maka hal itu dilakukan. Kondisi seperti ini disebut moral

hazard atau abuse dalam pelayanan kesehatan. Di negara maju, pemberian bonus seperti

itu dilarang oleh pemerintah karena pasien atau pihak pembayar dapat dirugikan oleh prilaku

tenaga kesehatan. Kesulitan besar pengendalian biaya dengan pembayaran JPP adalah

bahwa pasien tidak memahami apakah suatu pelayanan memang diperlukan, diperlukan

sesering yang diberikan, dan besarnya tiap-tiap tarif jasa. Oleh karena cara pembayaran

retrospektif ini mempunyai potensi pemborosan dan kenaikan biaya kesehatan, maka di

seluruh dunia, pemerintah berupaya mengendalikan biaya dengan melakukan cara

pembayaran prospetif yang akan dibahas kemudian dalam bab ini. Pembayaran retrospektif

yang pada umumnya berbentuk pembayaran JPP dapat bersumber dari: • Uang yang dimiliki

oleh pasien atau keluarga pasien atau DKS • Uang yang bersumber dari majikan pasien

atau keluarga pasien • Uang yang bersumber dari perusahaan atau badan asuransi/jaminan

sosial seperti PT Askes dan PT Jamsostek atau badan asuransi komersial seperti bapel

JPKM dan perusahaan asuransi • U ang pemerintah yang mengganti biaya seorang pasien

misalnya pada korban pemboman di Hotel Mariott atau di depan Kedutaan Besar Australia •

U ang yang bersumber dari lembaga donor seperti Dompet Duafa, Dana Kemanusiaan

Kompas, RCTI Peduli, Pundi Amal SCTV dll • U ang yang bersumber dari keluarga besar

pasien atau kerabat pasien yang menyumbang untuk pengobatan seorang pasien Sistem

Pembayaran Fasilitas Kesehatan 122 H Thabrany 6.4. Sistem Pembayaran Prospektif

Pembayaran retrospektif terdiri dari berbagai jenis pembayaran seperti diagnostic related

group, kapitasi, per diem, ambulatory care group, dan global budget. Di bawah ini akan

dibahas lebih dalam masing-masing sistem pembayaran prospektiftersebut. 6.4.1.

Diagnostic Related Group (DRG) Pengertian DRG dapat disederhanakan dengan cara

pembayaran dengan biaya satuan per diagnosis, bukan biaya satuan per jenis pelayanan

medis maupun non medis yang diberikan kepada seorang pasien dalam rangka

penyembuhan suatu penyakit. Sebagai contoh, jika seorang pasien menderita demam

berdarah, maka pembayaran ke rumah sakit sama besarnya untuk setiap kasus demam

berdarah, tanpa memperhatikan berapa hari pasien dirawat di sebuah rumah sakit dan jenis

rumah sakitnya. Pembayaran dilakukan berdasarkan diagnosis keluar pasien. Konsep DRG

sesungguhnya sederhana yaitu bahwa rumah sakit mendapat pembayaran berdasarkan

rata-rata biaya yang dihabiskan oleh berbagai rumah sakit untuk suatu diagnosis. Jika di

Jakarta misalnya terdapat 10 ribu kasus demam berdarah di tahun 2004 dan dari hasil

analisis biaya diperoleh angka rata-rata biaya per kasus misalnya adalah Rp 2 juta, maka

setiap rumah sakit di Jakarta yang mengobati pasien demam berdarah akan dibayar Rp 2

juta untuk setiap pasien. Sejarah Mengahadapi dilema biaya kesehatan di rumah sakit,

upaya pengendalian biaya rumah sakit sudah banyak dilakukan orang. Smith dan Fottler

(1985) menyampaikan bahwa upaya mendapatkan rata-rata biaya per diagnosis telah

dilakukan oleh rumah sakit akademik Yale-New Haven oleh Robert Fetter dan John

Thomson. Riset kedua ahli tersebut dimulai di tahun 1970 dengan tujuan untuk memperbaiki

proses telaah utilisasi. Telaah utilisasi adalah upaya untuk menilai apakah pemberian

berbagai tindakan medis, baik untuk diagnosis maupun untuk terapi, memang wajar dan

diperlukan atau ada indikasi penyalah-gunaan. Awalnya DRG yang dikembangkan di Yale

tersebut terdiri atas pengelompokan yang luas yang berdasarkan klasifikasi ICD-8-Clinical

Modification. Data yang digunakan mencakup data rumah sakit di tiga negara bagian

Amerika yaitu New Jersey, Connecticut, dan South Carolina dengan menghasilkan 83

katagori mayor diagnosis. Upaya pengelompokan dilakukan atas dasar tiga prinsip yaitu (1)

pengelompokan secara pengelolaan klinis yang mencakup klasifikasi anatomis dan

fisiologis; (2) jumlah kasus cukup banyak untuk menghasilkan informasi statistik yang

signifikan; dan (3) mencakup berbagai diagnosis dalam ICD-8-CM tanpa adanya overlap.

Dengan menggunakan alogritme interaktif, pengelompokan lebih lanjut dilakukan dengan

memperhitungkan diagnosis sekunder, prosedur pembedahan, usia pasien, dan pelayanan

khusus, pada akhimya dihasilkan 383 DRG. Generasi kedua DRG dikembangkan di tahun

1981 untuk menyesuaikan DRG dengan pengelompokan diagnosis dalam ICD-9-CM. Pada

generasi kedua, data yang digunakan untuk menyusun DRG adalah data nasional dari 332

rumah sakit yang mencakup 400.000 Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 123 H

Thabrany catatan medis pasien yang keluar (discharged) rumah sakit. Pada generasi kedua

ini diperoleh 23 kelompok mayor yang menyangkut sistem tubuh yang terkena penyakit,

misalnya sistem pemafasan dan sistem pencemaan. Generasi kedua menghasilkan 467

DRG yang menyangkut ada tidaknya pembedahan dan komplikasi atau komorbiditas.

Komplikasi adalah penyulit suatu penyakit yang terjadi karena perjalan penyakit yang sudah

lanjut akibat terlambat diagnosis, pengobatan, atau ikut terganggunya sistem lain. Perforasi

usus merupakan suatu komplikasi dari penyakit tifus. Sedangkan komorbiditas adalah

adanya penyakit lain (yang tidak terkait dengan penyakit utama) yang secara kebetulan

terjadi secara kebetulan. Sebagai contoh, seorang yang menderita tifus bisa juga kebetulan

menderita diabetes mellitus. Secara formal, sistem pembayaran DRG digunakan oleh

pemerintah Amerika Serikat dalam program Medicare mulai tanggal 1 Oktober 1983 (Beck,

1984; Smith dan Fottler, 1985). Program Medicare adalah program asuransi sosial di

Amerika yang dananya dikumpulkan dari iuran wajib pekerja sebesar 1,45%

gaji/penghasilannya ditambah 1,45% lagi dari majikan pekerja. Namun demikian, dana yang

terkumpul tersebut hanya digunakan untuk membiayai perawatan rumah sakit dan

perawatanjangka panjang (long term care) bagi penduduk berusia 65 tahun keatas dan

penduduk yang menderita penyakit terminal (penyakit yang tidak bisa lagi disembuhkan)

seperti gagal ginjal. Jadi program Medicare merupakan program anak membiayai orang tua

yang dikelola secara nasional oleh pemerintah Federal Amerika. Kini sistem pembayaran

DRG juga digunakan dalam program Medicare di Australia, program Medicare di Taiwan,

program jaminan sosial di Muangtai, pembiayaan rumah sakit di Malaysia, dan juga program

asuransi kesehatan sosial di Jerman. Berbeda dengan program Medicare di Amerika,

program Medicare di Australia, Kanada, dan Taiwan merupakan program asuransi sosial

yang dibiayai dari iuran wajib seluruh penduduk yang berpenghasilan dan digunakan untuk

penduduk yang membayar iuran tersebut dan anggota keluarganya. Program Medicare di

luar Amerika merupakan program Asuransi Kesehatan Nasional (AKN). Indonesia juga

sudah merintis program AKN seperti yang diatur dalam Undang-undang nomor 40 tahun

2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Hanya saja program AKN di

Indonesia saat ini belum diterapkan terhadap seluruh penduduk. Diharapkan di tahun 2010

nanti, separuh penduduk Indonesia sudah mendapatkan jaminan kesehatan melalui SJSN.

Arti pembayaran DRG Dalam pembayaran DRG, rumah sakit maupun pihak pembayar tidak

lagi merinci tagihan dengan merinci pelayanan apa saja yang telah diberikan kepada

seorang pasien. Akan tetapi rumah sakit hanya menyampaikan diagnosis pasien waktu

pulang dan memasukan kode DRG untuk diagnosis tersebut. Besamya tagihan untuk

diagnosis tersebut sudah disepakati oleh seluruh rumah sakit di suatu wilayah dan pihak

pembayar misalnya badan asuransi/jaminan sosial atau tarif DRG tersebut telah ditetapkan

oleh pemerintah sebelum tagihan rumah sakit dikeluarkan. Contoh pembayaran DRG dari

program DRG di Australia dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Sistem Pembayaran

Fasilitas Kesehatan 124 H Thabrany Tabel: Contoh DRG dan besaran tarifDRG di Australia,

2004. DRG Description ALOS Average Cost per DRG ($) (Days) Total Direct Ohead DRG

AOIZ Liver Transplant 31.46 91,078 71,051 20,027 A02Z Multiple Organs Transplant 18.28

41,703 35,417 6,286 A03Z Lung Transplant 22.47 73,945 63,706 10,238 A04Z Bone Marrow

Transplant 22.34 29,427 23,743 5,685 A05Z Heart Transplant 19.62 60,568 51,615 8,953

A06Z Tracheostomy Any Age Any 29.76 52,976 40,678 12,298 Cond A40Z Ecmo - Cardiac

Surgery 16.14 48,748 37,440 11,308 A41Z Intubation Age<16 7.37 12,219 8,742 3,477 BOIZ

Ventricular Shunt Revision 5.85 6,458 4,737 1,721 B02A Craniotomy + Ccc 20.02 23,327

17,913 5,414 B02B Craniotomy + Smcc 11.10 12,757 9,771 2,986 B02C Craniotomy - Cc

7.88 9,947 7,609 2,338 B03A Spinal Procedures + Cscc 14.88 15,119 11,492 3,627 B03B

Spinal Procedures - Cscc 5.38 6,960 5,346 1,614 B04A Extracranial Vascular Pr +Cscc 8.11

9,006 6,733 2,273 Sumber: Website Department of Family Service Australia, 2004

Pembayaran dengan cara DRG mempunyai keutamaan sebagai berikut: • Memudahkan

administrasi pembayaran bagi rumah sakit dan pihak pembayar • Memudahkan pasien

memahami be saran biaya yang hams dibayarnya • Memudahkan penghitungan pendapatan

(revenue) rumah sakit • Memberikan insentif kepada rumah sakit dan tenaga kesehatan

untuk menggunakan sumber daya seefisien mungkin • Memudahkan pemahaman klien

dalam melakukan sosialisasi/pemasaran pelayanan rumah sakit • Memberikan surplus atau

laba yang lebih besar kepada rumah sakit yang lebih efisien dan menimbulkan kerugian bagi

rumah sakit yang tidak efisien. Aritnya cara pembayaran DRG akan mendorong rumah sakit

menjadi lebih profesional dan lebih efisien. Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 125 H

Thabrany Selain memberikan keutamaan, pembayaran DRG juga mempunyai kelemahan

sebagai berikut: • Penerapannnya membutuhkan pembayar pihak ketiga yang cukup

dominan, misalnya dengan sistem asuransi kesehatan nasional atau pemerintah yang

membayar pelayanan medis bagi rakyatnya • Penerapannya membutuhkan sistem informasi

kesehatan, khususnya pencatat rekam medis, yang akurat dan komprehensif. Sistem

komputerisasi dan teknologi kumputer kini sangat memudahkan penyelenggaraan sistem ini

• Sistem pembayaran DRG di dalam lingkungan rumah sakit yang mayoritas pasiennya

membayar dari kantong sendiri sulit dilaksanakan kecuali jika ada komitmen kuat pemerintah

yang diwujudkan dalam peraturan yang ditegakkan pelaksanaannya. • Pasien yang tidak

memiliki asuransi tidak akan sanggup membayar suatu biaya pelayanan medis untuk kasus-

kasus katastrofik (yang biaya pengobatan atau perawatannya besar) Cara pembayaran

DRG di Indonesia sudah menjadi wacana sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Namun

demikian, karena sistem asuransi kesehatan atau sistem pembayaran rumah sakit oleh

pemerintah belum berjalan dengan baik dan belum mencakup sebagian besar penduduk,

maka cara pembayaran DRG hanya sampai wacana. Berbagai seminar dan studi sudah

dilakukan, namun komitmen pemerintah untuk menggunakan cara pembayaran DRG untuk

mengendalikan biaya rumah sakit tampaknya masih sangat rendah. Rumah sakit sendiri

belum mendapat insentif atau rangsangan untuk menggunakan cara pembayaran DRG.

6.4.2. Pembayaran Kapitasi Sejarah singkat Cara pembayaran kapitasi sesungguhnya

sudah lama digunakan di Eropa, jauh sebelum HMO (Health Maintenance Organization),

yang kita tiru di Indonesia dengan nama IPKM, menggunakan sistem pembayaran kapitasi di

Amerika. Sistem asuransi kesehatan sosial di Belanda telah lebih dahulu membayar dokter

keluarga dengan cara pembayaran kapitasi untuk sejumlah orang yang menjadi tanggung-

jawab dokter keluarga. Di Jerman, asosiasi asuransi kesehatan sosial sesungguhnya

membayar kapitasi kepada asosiasi dokter di suatu wilayah dengan cara kapitasi. Dalam

sistem pembayaran kapitasi di Jerman, asosiasi dokter (semacam ikatan dokter) mendapat

dana dari badan asuransi kesehatan sosial berdasarkan jumlah orang yang akan dilayani di

wilayah dimana para dokter bergabung dalam asosiasi. Misalnya, di wilayah X ada 200.000

orang dan disepakati bahwa tiap orang mendapat pembayaran kapitasi, katakanlah, Euro

100 setahun; maka asosiasi dokter akan mendapatkan dana 200.000 x Euro 100 atau Euro

20 juta per tahun. Dana Euro 20 juta ini nantinya dikelola asosiasi dokter kepada para

anggotanya dengan cara IPP. Tetapi yang mengendalikan dana bukannya badan asuransi,

para dokter itu sendiri yang menjadi pengurus asosiasi yang akan membagikan dana Euro

20 juta kepada anggotanya. Di Eropa, hampir semua upaya asuransi kesehatan dilakukan

dalam bentuk asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib, jadi bukan jual-beli, dengan

cara setiap orang membayar iuran bulanan Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 126 H

Thabrany sejumlah prosentase tertentu dari gaji/upahnya. Penyelenggaranya adalah badan

asuransi, yang bukan perusahaan asuransi yang mencari untung. Badan asuransi tersebut

tidak mencari untung (nirlaba) dan karenanya lebih transparan dalarn manajemen dan

memiliki anggota harnpir seluruh penduduk. Di Amerika, upaya asuransi kesehatan

didominasi dengan sistem asuransi kesehatan komersial yang berupa jual-beli, baik dalarn

bentuk managed care seperti HMO maupun dalarn bentuk asuransi kesehatan tradisional. Di

Amerika pembayaran kapitasi lebih dikenal setelah Amerika mengeluarkan UU HMO di

tahun 1973 yang mendorong pembayaran kapitasi dari HMO kepada dokter dalarn praktek

grup dan perorangan (HIAA, Me A; Kongsvedt, 19964 ;Bolan,).5 Namun demikian,

pembayaran kapitasi kepada perorangan dokter praktek tidak berjalan di Amerika, karena

jumlah orang yang membeli asuransi HMO tidak banyak. Kebanyakan asuransi kesehatan

yang dijual di Amerika adalah asuransi kesehatan tradisional yang membayar fasilitas

kesehatan dengan lPP. Karena kondisi yang seperti itu, maka pembayaran kapitasi di

Amerika tidak berjalan sebaik pembayaran kapitasi di Eropa. Hakikaf pembayaran kapifasi

Pembayaran kapitasi merupakan suatu cara pengendalian biaya dengan menempatkan

fasilitas kesehatan pada posisi menanggung risiko, seluruhnya atau sebagian, dengan cara

menerima pembayaran atas dasar jumlah jiwa yang ditanggung. Di Amerika, ada keharusan

bahwa HMO merupakan badan penanggaung risiko penuh (asume risk), sehingga kapitasi

penuh kepada fasilitas kesehatan tidak berarti bahwa fasilitas kesehatan akan menanggung

segala risiko katastropik. 6 Ada mekanisme stop loss dalarn kontrak kapitasi penuh. Artinya,

kalau temyata jumlah orang yang berobat jauh lebih tinggi dari yang diperhitungkan atau

disepakati dimuka, maka HMO tetap bertanggung-jawab menambah dana kepada fasilitas

kesehatan yang dibayar secara kapitasi. Meskipun di Indonesia, secara eksplisit hal ini

belum diatur, mengingat sifat alamiah fasilitas kesehatan bukanlah risk bearer, maka

mekanisme stop loss hamslah juga diberlakukan, jika nanti cara pembayaran kapitasi ini

diterapkan. Hal ini sangat penting dalarn menjaga kesinarnbungan kontrak kapitasi.

Mekanisme pembayaran cara kapitasi ini merupakan cara meningkatkan efisiensi dengan

memanfaatkan mekanisme pasar pada sistem pembayar pihak ketiga, baik itu asuransi,

maupun pemerintah. Secara teoritis, pada situasi pasar kompetitif, fasilitas kesehatan akan

memasang tarif sarna dengan tarif rata-rata di pasar (average market cost). Di semua

negara hal ini tidak terjadi karena mekanisme pasar tidak berlaku dalam pelayanan

kesehatan. Di banyak negara Eropa, Asia, Amerika, dan Australia pemerintahlah yang

menentukan tarif, karena kegagalan mekanisme pasar. Pada pasar monopoli atau oligopoli,

fasilitas kesehatan dapat menetapkan harga diatas average cost. Dalarn prakteknya, jika

tidak ada pengaturan pemerintah fasilitas kesehatan secara virtual selalu berada dalarn

kondisi pasar monopoli/oligopoli. Jika pembayar membayar dengan kapitasi, fasilitas

kesehatan akan menekan biaya hingga paling tidak biaya per unit pelayanan yang diberikan

sarna atau lebih kecil dari average cost. Dengan demikian fasilitas kesehatan akan menekan

jumlah kunjungan sehingga revenue akan sarna dengan atau lebih besar dari revenue jika ia

hams melayani pasien dengan cara pembayaran lPP. Sistem Pembayaran Fasilitas

Kesehatan 127 H Thabrany Cara menghitung biaya kapitasi tidaklah sulit. Hanya saja, untuk

Indonesia saat ini barangkali data yang tersedia masih sangat terbatas. Tambahan, banyak

fasilitas kesehatan (health care provider) dan badan asuransi yang juga tidak memiliki

informasi yang cukup untuk bisa menghitung besar pembayaran kapitasi yang memuaskan

kedua belah pihak. Oleh karenanya, perlu dilakukan usaha bersarna untuk menghimpun

informasi yang akurat, agar baik fasilitas kesehatan maupun badan asuransi sarna-sama

menanggung risiko dan insentif finansial yang memadai. Jika pembagian risiko dan insentif

tidak memadai maka di masa datang akan banyak timbul konflik-konflik yang mengancarn

kesinarnbungan pembayaran kapitasi. Langkah-langkah menghitung biaya kapitasi adalah

sebagai berikut (Thabrany, 2001): 1. Menetapkan jenis-jenis pelayanan yang akan dicakup

dalarn pembayaran kapitasi 2. Menghitung angka utilisasi dalam satuan jumlah pengguna

per 1.000 populasi yang akan dibayar secara kapitasi 3. Mendapatkan rata-rata biaya per

jenis pelayanan untuk suatu wilayah 4. Menghitung biaya per kapita per bulan untuk tiap

jenis pelayanan 5. Menjumlahkan biaya per kapita per bulan untuk seluruh pelayanan.

Tabel: Contoh perhitungan kapitasi sebuah Perusahaan HMO di AS (dikutip dari Steenwyk,

1989)7 Jenis Pelayanan Rates /1000 orang/th Rata-rata biayaper pelayanan ($) Kapitasi per

orang per bulan ($) Kunjungan rawat jalan Kunjungan rumah sakit Kunjungan emergensi

Checkup BedahMinor Rawatinap Rawat pulang hari yang sarna Asisten bedah Kebidanan

Psikiatri Anestesi Imunisasi dan suntikan Lain Pelayanan medis lain 3.400 434,5 I 9,78 350

54,61 1,58 ~ 15_0~ ~ O:'~O f 0~,7--_5~1 ,200 1,00 s 2_40-----1 80,0 ; 1,~ f-' 4..:....5--;

""""""""""""""""""""",~"?..9.1.Q"",,,,;-1 -=-3z-, 1.:,...9-11 +-- 4..:....0 ---1 4?..9.,.Qj--- l=,5-=-0-11 I

15 225,0 O,~ a 2_5_, L?.Q.Q,.Q, 3"---,1_3---l1 "! -r-r- 250 85,0 1,7L 80 300,0 2,00 600 I 13,0

0,65 !----------o . 1.000 30,0 2,50 Total Kapitasi 29,73 Sistem Pembayaran Fasilitas

Kesehatan 128 H Thabrany Dalam situasi dimana pembayaran kapitasi sudah diberlakukan

secara luas, fasilitas kesehatan yang bersifat memaksimalkan laba dapat melakukan hal-hal

sebagai berikut (Thabrany, 2001):8 Reaksi posifif Kapifasi 1. Fasilitas kesehatan

memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, dengan menegakkan diagnosis yang tepat

dan memberikan pengobatan atau tindakan yang tepat. Dengan pelayanan yang baik ini,

pasien akan cepat sembuh dan tidak kembali ke fasilitas kesehatan untuk konsultasi atau

tindakan lebih lanjut yang menambah biaya. Taktik ini dilakukan oleh fasilitas kesehatan

yang berupaya mendapatkan keuntungan jangka pendek 2. Fasilitas kesehatan memberikan

pelayanan promotif dan preventif untuk mencegah insidens kesakitan. Apabila angka

kesakitan baru menurun, maka peserta tentu tidak perlu lagi berkunjung ke fasilitas

kesehatan yang akan menurunkan utilisasi menjadi lebih rendah dan biaya pelayanan

menjadi lebih kecil. Strategi ini dilakukan oleh fasilitas kesehatan untuk mendapatkan

keuntungan jangka panjang. Strategi ini hanya bisa dilakukan pada situasi ada pembayar

pihak ketiga tunggal atau beberapa pembayar (misalnya asuransi kesehatan atau

pemerintah). 3. Fasilitas kesehatan memberikan pelayanan yang pas, tidak lebih dan tidak

kurang, untuk mempertahankan efisiensi operasi dan tetap memegang jumlah pasien JK

sebagai income security. Hal ini akan berfungsi baik untuk mencari keuntungan jangka

pendek maupun jangka panjang dan jika situasi pasar sangat kompetitif, dimana fasilitas

kesehatan sulit mencari pasien/langganan baru. Reaksi negafif 1. Jika kapitasi yang

dibayarkan terpisah-pisah (parsial) antara pelayanan rawat jalan primer, rawat jalan rujukan

dan rawat inap rujukan dan tanpa diimbangi dengan insentif yang memadai untuk

mengurangi rujukan, fasilitas kesehatan akan dengan mudah merujuk pasiennya ke

spesialis atau merawat di rumah sakit. Dengan merujuk, waktunya untuk memeriksa menjadi

lebih cepat dan risiko finansial menjadi lebih kecil. Dengan demikian, fasilitas kesehatan

primer dan sekunder dapat mengantongi surplus jangka pendek yang dikehendaki. 2.

Fasilitas kesehatan dapat mempercepat waktu pelayanan sehingga tersedia waktu lebih

banyak untuk melayani pasien non jaminan atau yang membayar dengan JPP yang "dinilai"

membayar lebih banyak. Artinya mutu pelayanan dapat dikurangi, karena waktu pelayanan

yang singkat. Jika ini terjadi, pada kapitasi parsial pihak pembayar ketiga pada akhimya

dapat memikul biaya lebih besar karena efek akumulatif penyakit yang menjadi lebih mahal

di kemudian hari. Pasien yang tidak mendapatkan pelayanan rawat jalan yang memadai

akan menderita penyakit yang lebih berat, akibatnya biaya pengobatan sekunder dan tersier

menjadi lebih mahal. Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 129 H Thabrany 3. Fasilitas

kesehatan dapat tidak memberikan pelayanan dengan baik, supaya kunjungan pasien

kapitasi tidak cukup banyak. Hal ini menimbulkan banyaknya keluhan anggota atas

pelayanan yang tidak memuaskan. Untuk jangka pendek strategi ini mungkin berhasil

menarnbah surplus kepada fasilitas kesehatan, tetapi untuk jangka panjang hal ini akan

merugikan fasilitas kesehatan itu sendiri. Salah satu cara untuk mengevaluasi berbagai

reaksi negatif prilaku fasilitas kesehatan yang mendapatkan pembayaran kapitasi dan yang

mendapatkan pembayaran IPP adalah dengan mengevaluasi utilisasi biaya, status

kesehatan, dan kepuasan pasien. Di Indonesia, sepanjang pengetahuan saya, belum ada

evaluasi yang sahih dan terpercaya. Di Amerika, pada awal perkembangan HMO di mana

keluhan atas rendahnya kualitas pelayanan HMO sangat tinggi, penelitian eskperimental

dilakukan oleh Rand Corporation. Hasilnya tidak menunjukkan adanya penurunan mutu

pelayanan .pada HMO yang membayar kapitasi akan tetapi terdapat efisiensi sarnpai 30%

(Rand, 1993). Keseimbangan informasi antara fasilitas kesehatan dan badan asuransi

merupakan kunci sustainabilitas pembayaran kapitasi. Transfer risiko tidaklah berarti bahwa

fasilitas kesehatan harus menanggung rugi karena informasi yang tidak memadai. Trasfer

risiko dengan pembayaran kapitasi menempatkan fasilitas kesehatan pada risiko fluktuasi

utilisasi yang bukan katastropik dan memberikan insentif kepada fasilitas kesehatan untuk

menghindari moral hazard. Karena rentang risiko kapitasi bagi fasilitas kesehatan adalah

fluktuasi normal dan pemberian insentif kepada fasilitas kesehatan untuk melakukan usaha

usaha pencegahan guna mendapatkan laba yang memadai, maka informasi utilisasi

haruslah diketahui bersarna. Artinya, keterbukaan data utilisasi antara badan asuransi dan

fasilitas kesehatan harus cukup memadai agar be saran pembayaran kapitasi tidak

menyebabkan salah satu pihak menderita kerugian sistematis. Jadi dalam sistem

pembayaran kapitasi, telaah utilisasi (utilization review) mutlak diperlukan untuk dua hal.

Pertarna, telaah utilisasi dapat memberikan informasi kepada badan asuransi dan fasilitas

kesehatan tentang apakah pelayanan yang diberikan selarna ini sudah pas, pada titik

optimal, atau belum. Utilisasi di bawah optiomal menunjukkan mutu pelayanan yang tidak

memenuhi standar. Sementara utilisasi yang berlebihan merugikan fasilitas kesehatan.

Telaah utilisasi dilakukan pada fasilitas kesehatan yang dikontrak kapitasi dan fasilitas

kesehatan rujukan. Dengan demikian dapat dipantau fasilitas kesehatan mana yang rajin

merujuk dan mana yang kurang merujuk. Telaah utlisasi ini juga sangat penting untuk

mengetahui apakah keluhan anggotaipeserta tentang kualitas yang kurang memadai

memang terjadi. Keterbukaan dan saling percaya merupakan faktor yang sangat penting

yang secara periodik dikomunikasikan. Telaah utlisasi membutuhkan keterbukaan ini,

sehingga badan asuransi dan fasilitas kesehatan sarna-sarna mengetahui besarnya risiko

yang ditransfer dari badan asuransi ke fasilitas kesehatan. Dengan demikian, maka besaran

kapitasi menjadi fair (adil). Pembayaran kapitasi yang ditetapkan sepihak tidak akan

menghasilkan status kesehatan yang optimal dan merupakan ancaman kelangsungan

hubungan badan asuransi dan fasilitas kesehatan. Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan

130 H Thabrany Dalam mengkomunikasikan data utilisasi, badan asuransi dan fasilitas

kesehatan hams sama-sama menyadari bahwa terjadi variasi di dalam fasilitas kesehatan

dan di luar fasilitas kesehatan. Di dalam suatu fasilitas kesehatan terjadi variasi utilisasi dari

waktu ke waktu dan dari suatu kelompok penduduk ke kelompok penduduk lain. Sementara

di antara berbagai fasilitas kesehatan terjadi juga variasi yang sarna. Besaran pembayaran

kapitasi dihitung berdasarkan rata-rata utilisasi antar fasilitas kesehatan, bukan hanya

variasi yang terjadi di dalam suatu fasilitas kesehatan. Hal ini dapat menimbulkan salah

pengertian jika tidak dikomunikasikan dengan baik. Besarnya pembayaran kapitasi dengan

penyesuaian terhadap besarnya risiko yang hams ditanggung oleh suatu fasilitas kesehatan

atau suatu kelompok fasilitas kesehatan (adjusted capitation rate) dapat dilakukan untuk

lebih menjamin keadilan di antara fasilitas kesehatan. Namun hal ini tidak didasarkan atas

variasi utilisasi di dalam suatu fasilitas kesehatan, akan tetapi atas dasar variasi risiko

kelompok suatu fasilitas kesehatan yang berbeda dengan risiko rata-rata anggota

seluruhnya. 6.4.3. Pembayaran per kasusJpaket Sistem pembayaran per kasus (case rates)

banyak digunakan untuk membayar rumah sakit dalam kasus-kasus tertentu. Pembayaran

per kasus ini mirip dengan pembayaran DRG, yaitu dengan mengelompokan berbagai jenis

pelayanan menjadi satu kesatuan (Kongstvedt, 1996). Pengelompokan ini hams ditetapkan

dulu dimuka dan disetujui kedua belah pihak, yaitu pihak rumah sakit dan pihak pembayar.

Sebagai contoh, kelompok pelayanan yang disebut per kasus misalnya pelayanan

persalinan normal, persalinan dengan sectio, pelayanan ruang intensif akan tetapi tidak

berdasarkan diagnosis penyakit. Rumah sakit akan menerima pembayaran sejumlah

tertentu atas pelayanan suatu kasus, tanpa mempertimbangkan berapa banyak dan berapa

lama suatu kasus ditangani. Sebagai contoh yang paling umum adalah persalinan normal,

misalnya Rp 2 juta per persalinan normal. Rumah sakit akan mendapat pembayaran

sebesar Rp 2 juta, meskipun suatu persalinan ada persalinan yang memerlukan infus, partus

lama, ada perdarahan lebih dari normal, ada yang dirawat satu hari atau empat hari. Seperti

juga pada pembayaran DRG, dengan pembayaran per kasus, RS akan didorong untuk lebih

cermat dalam melakukan diagnosis, lebih hemat dalam menggunakan sumber daya, lebih

cermat dalam pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan penunjang lain. Apabila sebuah

RS yang telah sepakat mendapat pembayaran Rp 2 juta mampu melayani suatu persalinan

dengan biaya hanya Rp 1,5 juta, maka RS tersebut mendapat surplus atau laba. Akan

tetapi, kalau karena kecerobohan dokter, bidan atau perawat menyebabkan terjadi suatu

komplikasi, sehingga baik si ibu maupun si bayi dirawat lebih lama dan menghabiskan biaya

Rp 3 juta, maka rumah sakit tersebut akan merugi Rp 1 juta pada kasus itu. Di Indonesia

sesungguhnya pembayaran per kasus sudah sering digunakan dengan mengelompokan

pembedahan menjadi bedah mikro, bedah kecil, bedah sedang, bedah besar, bedah khusus,

perawatan satu hari (one day care) dan sebagainya. Yang belum terjadi di Indonesia adalah

tarif yang sarna untuk kasus yang sarna di berbagai rumah sakit. Akibatnya, pasien

perorangan yang hams membayar DKS tidak mempunyai pilihan yang tepat dan tidak selalu

dapat memilih tarif per kasus yang sesuai dengan kantongnya. Apabila pemerintah Sistem

Pembayaran Fasilitas Kesehatan 131 H Thabrany menetapkan tarif per kasus yang berlaku

sarna di semua rumah sakit di suatu daerah, maka kondisi pasien yang pada umumnya tidak

terlindungi asuransi akan lebih tertolong. Di Malaysia dan Singapura misalnya, pemerintah

bersama organisasi profesi telah menetapkan tarif untuk berbagai kasus di rumah sakit

swasta sehingga pasien bisa mengira-ngira besarnya yang harus ia bayar. Sedangkan untuk

RS publik di Malaysia, penduduk hanya membayar per diem yang sangat murah. Di

Muangtai pemerintahnya menerapkan sistem skema 30 Baht yang dikelola oleh Health

Security Office dengan membayar kapitasi ke rumah sakit. Setiap penduduk Muangtai yang

berusia 16-59 tahun yang bukan pegawai negeri dan bukan pegawai swasta (yang

keduanya sudah memiliki jaminan kesehatan) hanya membayar sebesar 30 Baht (sekitar Rp

6.000) setiap kali berobat atau dirawat. Pembayaran semacam ini bukanlah pembayaran per

kasus atau per episode pengobatan. Pembayaran seperti di Muangtai tersebut hanya

merupakan copayment, pembayaran formalitas bahwa perawatan yang diterimanya tidak

gratis. Hampir seluruh biaya perawatan tersebut sesungguhnya sudah dibayar oleh

pemerintah Muangtai kepada RS. 6.4.4. Pembayaran per diem Pembayaran per diem

merupakan pembayaran yang dinegosiasi dan disepakati dimuka yang didasari pada

pembayaran per hari perawatan, tanpa mempertimbangkan biaya yang dihabiskan oleh

rumah sakit (Kongstvedt, 1996). Misalnya suatu badan asuransi atau pemerintah membayar

per hari perawatan di kelas III sebesar Rp 250.000 per hari untuk kasus apapun yang sudah

mencakup biaya ruangan, jasa konsultasi/visite dokter, obat-obatan, pemeriksaan

laboratorium dan pemeriksanaan penunjang lainnya. Sebuah rumah sakit yang efisien dapat

mengendalikan biaya perawatan dengan memberikan obat yang paling cost effective,

memeriksa laboratorium hanya untuk jenis pemeriksaan yang memang diperlukan benar,

memiliki dokter yang dibayar gaji bulanan dan bonus, serta berbagai penghematan lainnya;

akan mendapatkan surplus. Esensi pembayaran per diem adalah pembayaran dalam sistem

mekanisme pasar, dimana RS hams memenuhi kebutuhan dananya sendiri yang tidak

mendapat dana dari pemerintah. Di Malaysia, penduduk Malaysia juga membayar per diem

untuk perawatan di RS pemerintah sebesar 3 RM per hari (sekitar Rp 6.300), meskipun si

pasien perlu dirawat di ruang perawatan intensif atau memerlukan transplantasi sumsum

tulang. Kalau penduduk Malaysia dirawat di Institut Jantung Nasional maka ia hanya

membayar 10 RM per hari. Meskipun pembayaran tersebut merupakan pembayaran per

diem, akan tetapi sifatnya berbeda. Karena sesungguhnya, biaya yang dihabiskan oleh

rumah sakit bisa jadi lebih dari 2.000 RM per hari. Hanya saja, pemerintah yang membayar

hampir seluruh biaya yang dihabiskan RS, bukan si pasien atau pembayar pihak ketiga.

Rumah sakit publik mendapatkan dana secara global, seperti yang akan dibahas dalam

kemudian. Pembayaran per diem yang berbasis pasar dapat juga dimodifikasi dengan

melakukan kombinasi kasus atau jenis tindakan (Kongstvedt, 1996). Sebagai contoh, RS

dapat negosiasi untuk mendapatkan pembayaran per diem untuk kasus pembedahan yang

berbeda dengan pembayaran per diem untuk kasus tanpa pembedahan. Demikian juga RS

dapat bemegosiasi Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 132 H Thabrany untuk

mendapatkan pembayaran per diem dengan atau tanpa perawatan intensif. Modifikasi lain

juga dapat dilakukan dengan sliding scale per diem. Dalam cara pembayaran ini, badan

asuransi yang membayar sejumlah tertentu hari rawat, misalnya kurang dari 1.000 hari rawat

per tahun, akan membayar sedikit lebih mahal per hari dibandingkan dengan badan asuransi

yang membayar lebih dari 3.000 hari rawat per tahun. Modifikasi per diem dapat juga

dilakukan dengan tarif per diem differensial. Pada pembayaran per diem differensial, rumah

sakit akan dibayar dengan tarif per diem yang lebih tinggi pada beberapa hari pertama dan

tarifper diem yang lebih rendah pada hari tertentu (misalnya hari ke lima) dan seterusnya.

6.4.5. Global budget Global budget (anggaran global) untuk RS banyak dilakukan di Eropa

(Sandier, dkk, 2002)10 dan juga di Malaysia. Sesungguhnya global budget merupakan cara

pendanaan rumah sakit oleh pemerintah atau suatu badan asuransi kesehatan nasional

dimana RS mendapat dana untuk membiayai seluruh kegiatannya untuk masa satu tahun.

Alokasi dana ke RS tersebut diperhitungkan dengan mempertimbangkan jumlah pelayanan

tahun sebelumnya, kegiatan lain yang diperkirakan akan dilaksanakan, dan kinerja RS

tersebut. Manajemen RS mempunyai keleluasaan mengatur dana anggaran global tersebut

untuk gaji dokter, belanja operasional, pemeliharaan RS, dll, Sistem ini pada umumnya

dilaksanakan di negara-negara dimana penduduk berhak mendapat pelayanan rumah sakit

tanpa hams membayar atau membayar sedikit copayment. Sebelumnya pendanaan

dilakukan dengan anggaran global, rumah sakit mendapat anggaran rutin dalam bentuk gaji

pegawai, belanja pemeliharan, belanja investasi dan sebagainya. Dengan model belanja

seperti anggaran belanja pemerintah Indonesia yang lalu, dimana ada anggaran rutin dan

anggaran pembangunan, dana yang mengalir ke rumah sakit sering tidak efisien atau

dikorupsi. Untuk memberi insentif kepada manajemen RS agar lebih efisien, maka

manajemen RS diberikan sejumlah dana atau anggaran global dengan kehamsan mencapai

target jumlah dan kualitas pelayanan tertentu kepada masyarakat yang menjadi tanggung

jawabnya. Dengan cara demikian, maka anggaran akan lebih terkendali. 6.5. Ringkasan

Pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan di rumah sakit, bukanlah pelayanan yang dapat

mengikuti hukum pasar seperti halnya pelayanan bengkel mobil atau pelayanan hotel.

Akibatnya, mekanisme pasar yang dapat mengendalikan biaya tidak terjadi di dalam

pelayanan kesehatan. Biaya pelayanan kesehatan terus meningkat dari tahun ke tahun yang

lebih besar dari peningkatan karena inflasi. Biaya pelayanan kesehatan meningkat karena

ada inflasi umum dan juga karena ada pelayanan baru dan peningkatan kualitas pelayanan

karena adanya teknologi dan tuntutan baru. Berbagai pihak berupaya melakukan

pengendalian biaya pelayanan kesehatan dengan berbagai cara pembayaran. Cara

pembayaran tradisional yang jumlahnya ditentukan setelah pelayanan diberikan

(pembayaran retrospektif) justeru memberikan dorongan bagi inflasi yang lebih tinggi dan

pemberian pelayanan baru yang semakin mahal. Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan

133 H Thabrany Para ahli ekonomi kesehatan kemudian mengembangkan berbagai cara

pembayaran prospektif, yaitu pembayaran yang jumlahnya sudah disepakati di muka,

meskipun pembayarannya dilakukan setelah pelayanan diberikan. Cara pembayaran

prospektif terdiri atas cara pembayaran kapitasi, pembayaran DRG, per kasus/paket, per

diem, ambulatory patient group, dan pembayaran anggaran global. Masing-masing cara

pembayaran membutuhkan syarat-syarat tertentu dan rumah sakit dapat menerima satu

atau lebih cara pembayaran. Rujukan 1 Thabrany, Hasbullah. 2005. Pendanaan Kesehatan

di Indonesia. RajaGrafindo Pers. Jakarta, 2005 2 Beck, Donald F. 1984. Principles of

Reimbursement in Health Care. Aspen Publication. Rockville, MD. USA. P 12 3 Smith,

Howard L. dan Fottler, Myron D. 1985. Prospective Payment. Aspen Publication. Rockville,

MD. USA.p2 4 Kongsvedt, Peter R. 1996. The Managed Health Cara Handbook. 3rd Ed.

Aspen Publication. Gaitersburg, MD, USA, 5 Bolan, Peter. Making Managed Healthcare

Work: A Practical Guide to Strategies and Solutions. 1993. Aspen Publication, Gaitersburg,

MD. USA 6 HIAA. 1997. Managed Care: Integrating Delivery and Financing of Health Care.

Part A. Washington, DC, USA. 7 Steenwyk. J. 1989. Costs and Utilization Rates:

Establishing Per Capita Budgets. dalam (Kongstvedt, P.R. Ed) The ManagedHealth Care

Handbook Aspen Pub., Rockville, NM. 8 Thabrany, Hasbullah. Rasional Pembayaran

Kapitasi. Yayasan Penerbitan IDL 2001 9 Rand Corporation. Free for All. 10 Sandier, Simon;

Polton, Dominique; Paris, Valerie; and Thomson, Sarah. 2002. France Health Care System.

Dalam Health Care Systems in Eight Countries: Trends and Challenges. Europen

Observatory Health Care System. Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 134 H Thabrany

BAB7 Asuransi Kesehatan Nasional Dalam Sistem laminan Sosial Nasional Sistem

pendaaan kesehatan di Indonesia kini menderita penyakit kronis dan masyarakat Indonesia

dapat menjadi miskin jika saja ada satu atau lebih anggota keluarganya yang hams dirawat

di rumah sakit, meskipun di RS pemerintah. Meminta pendanaan seluruhnya atau sebagian

besar dari anggaran belanja Pemerintah (baik pusat maupun daerah) seperti yang dilakukan

Muangtai dan Malaysia tidak bisa diharapkan saat ini. Kebanyakan pejabat kita belum

menerima konsep investasi kesehatan untuk pembangunan manusia Indonesia yang

tangguh. Karenanya anggaran kesehatan masih sangat minim dan pendanaan pelayanan

kesehatan, paling tidak biaya rumah sakit, bagi seluruh rakyat dinilai menghabiskan dana

publik. Dalam kondisi seperti ini, skema asuransi sosial yang bersifat wajib dan didanai dari

iuran yang proporsional terhadap penghasilan (prosentase upah, dan pasti terjangkau

semua pihak) merupakan solusi terbaik. Hal ini, Alhamdulillah, sudah disetujui DPR tanggal

28 September 2004 yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial

Nasional (SJSN). Upaya yang telah dirintis lebih dari tiga tahun akhimya membuahkan hasil

tahun 2004. Berikut ini disajikan suatu konsep lebih rinci dari UU SJSN tersebut, yang Insya

Allah akan diatur dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Namun sebelum

konsep pendanaan dan pengaturan manfaat SJSN tersebut dibahas rinci, untuk memberikan

pemahaman mengapa altematif tersebut terpilih, berikut ini disajikan berbagai keunggulan

dan kelemahan dari beberapa altematif terpilih. 7.1. Alternatif Penyelenggaraan, Suatu

Analisis Pilihan altematif penyelenggaraan asuransi kesehatan so sial dapat dianalisis dari

dua sisi penting yaitu dari sisi badan penyelenggara dan dari sisi paket jaminan atau

manfaat yang menjadi hak peserta. Badan penyelenggara dapat berbentuk badan tunggal di

tingkat nasional (single payer), dapat berbentuk badan tunggal di tiap daerah yang secara

aktuarial memenuhi hukum angka besar, dapat hanya beberapa badan di tingkat nasional

(oligo payer) atau oligopoli di tingkat daerah, dan dapat terdiri atas banyak badan

penyelenggara (multi payer) baik di tingkat nasional maupun daerah. Tiap pilihan

mempunyai keunggulan dalam efisiensi, efektifitas, dan kecepatan responsif terhadap

masalah di lapangan. Semua pilihan sah saja, tidak ada yang benar atau salah dalam hal ini.

Akan tetapi masing-masing altematif memiliki nilai plus dan minusnya. Pilihan altematif paket

jaminan (manfaat) sesungguhnya tidak banyak, kecuali kalau kita akan membahas secara

rinci masing-masing pelayanan yang dijamin dan yang tidak AKN dalam SJSN 135

HThabrany dijamin. Disini akan dibahas opsi tiga jenis manfaat yaitu manfaat rawat inap dan

biaya medis yang mahal saja yang dijamin, pelayanan komprehensif dengan urun biaya

(cost sharing) untuk pelayanan tertentu dalam rangka mengendalikan moral hazard, dan

komprehensif tanpa urun biaya. Secara ringkas kelebihan dan kekurangan masing-masing

opsi dapat dilihat pada matriks di bawah ini Paket jaminan dimulai dengan Penyelenggara

Opsi I. Rawat Inap Opsi Il, Komprehensif OpsillI. dan biaya mahal dengan cost sharing

Komprehensif tanpa cost sharing Single payer di Efisien, egaliter, Efisien, egaliter, Kurang

efisien, ega- tingkat Nasional manajemen paling manajemen lebih liter, manajemen atau

Provinsi . mudah, sustaina- kompleks, sustain- kompleks, sustaina- bilitas tinggi abilitas

tinggi bilitas tinggi Oligo payer di Efisien, egaliter Efisien, egaliter dalam Kurang efisien, ega

tingkat National dalam kelompok, kelompok, manajemen liter dalam kelom pok, atau Provinsi

manajemen paling lebih kompleks, manajemen kompleks, mudah, sustaina- sustainabilitas

tinggi sustaina bilitas tinggi bilitas tinggi Multi payer 1 di Kurang efisien, Kurang efisien,

egaliter Lebih kurang efi sien, pusatJ provinsi egaliter dalam kelom dalam kelom pok,

egaliter dalam kelom pok, manajemen mu manajemen mudah, risk pok, manaje men dah,

risk pool mung pool mungkin masalah, mudah, risk pool kin masalah, sustaina sustainabilitas

mungkin mungkin ma salah, bilitas mungkin masalah sustainabilitas mungkin masalah

masalah Multi payer 2 di Kurang efisien, Kurang efisien, egaliter Paling tidak efisien, tingkat

egaliter dalam dalam kelompok, egaliter makin terbatas, provinse~ab-kota kelompok,

manajemen kompleks, manajemen sukar, risk manajemen mudah, risk pool masalah, pool

masalah besar, risk pool masalah, ancaman sustainabilitas ancaman sustainabilitas

ancaman sustainabilitas Multipayer 3, Lebih kurang efisien, Kurang efisien, egaliter Paling

tidak efisien, dengan banyak egaliter dalam dalam egaliter makin terbatas, badan dari pusat

kelompok, kelompok,manajemen manajemen sukar, risk sampai kab-kota manajemen sukar,

kompleks, risk pool pool masalah besar, risk pool masalah, masalah, ancaman ancaman

sustainabilitas sustainabilitas sustainabilitas masalah AKN dalam SJSN 136 HThabrany

Sesungguhnya kelebihan dan kekurangan dari penyelenggaraan dan paket jaminan

pelayanan yang disediakan bervariasi luas. Yang banyak terjadi di beberapa negara, karena

latar belakang politik dan sosial yang beragam, variasi luas yang terjadi umumnya dalam

badan penyelenggara, bukan dalam paket jaminan. Setelah didiskusikan bersama oleh

berbagai unsur, altematif badan penyelenggara selaku payer mempunyai kelebihan dan

kekurangan tersebut dapat diringkas dan disederhanakan seperti disajikan dari hasil

rumusan sebagai berikut. Unsur Single Single Oligo Single Multi Multi payer payer payer

collector, payer payer Nasional Propinsi Nasional multi payer district I district II Efisiensi +++

++ ++++ +++ ++ ++ +/- Kualitas, konsumen + ++ ++ ++++ ++++ ++++ Kualitas, fasilitas ++++

+++ +++ +++ + +/- kesehatan Ketetjangkauan +++++ ++++ +++ ++ ++ +/- Keberlanjutan +++

++ +++++ +++++ +++ ++ +/- Subsidi silang +++++ ++++ ++++ ++++ + +/- Equity +++++ +++

+ +++ ++++ ++ +/- Portabilitas +++++ ++++ ++++ +++ ++ +/- Desentralisasi +/- +++ +/- ++ +

+++ ++++ Di dalam pengambilan keputusan bentuk yang paling pas untuk Indonesia kita

hams mencermati kelebihan dan kekurangan tersebut. Kombinasi beberapa bentuk dapat

dilakukan. Yang paling penting untuk diingat ialah bahwa salah satu bentuk mungkin pas

untuk saat ini kemudian pada masa yang akan datang dapat berubah menjadi bentuk yang

lain. Misalnya, untuk satu badan asuransi nasional meskipun banyak memiliki kelebihan

mungkin sulit dilakukan saat ini karena situasi politik yang belum memungkinkan. Dalam

prakteknya, pilihan bentuk badan penyelenggara merupakan pilihan yang paling sulit dan

paling dipengaruhi aspek politis dan kepentingan berbagai pihak. Undang-Undang SJSN

telah memberikan indikasi bahwa penyelenggaraan asuransi kesehatan nasional di

Indonesia paling tidak akan menjadi oligo-payer, ada dua badan penyelenggara jaminan

sosial (BPJS) yang menyelenggarakan, yaitu PT Askes dan PT Jamsostek (yang tidak lagi

bertujuan mencari laba, baca naskah UU SJSN terlampir). Pemerintah daerah tidak perlu

khawatir, sebab meskipun penyelenggara di daerah adalah kantor cabang PT Askes atau

PT Jamsostek, pekerjanya adalah orang daerah. Dana yang terkumpul juga dibayarkan

kepada fasilitas kesehatan daerah. Sehingga tidak terjadi aliran dana dari daerah ke pusat

yang digunakan olehpusat. AKN dalam SJSN 137 HThabrany 7.2. Rancangan Asuransi

Kesehatan Nasionallndonesia: Suatu Skenario Deklarasi Hak Asasi Manusia yang

dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa di tahun 1947 telah menempatkan kesehatan

sebagai salah satu hak asasi dan menyebutkan bahwa setiap penduduk berhak atas

jaminan manakala ia sakit. Deklarasi ini telah diikuti oleh Konvensi International Labor

Organization (ILO) No 52 tahun 1948 yang memberikan hak tenaga kerja atas sembilan

macam jaminan termasuk di antaranya Jaminan Kesehatan. Indonesia sebagai negara yang

telah meratifikasi konvensi tersebut secara bertahap wajib mewujudkan terselenggaranya

jaminan kesehatan bagi semua, sesuai dengan kemampuan dan perkembangan negara.

Untuk Pegawai Negeri dan keluarganya, Indonesia telah mewujudkan jaminan kesehatan

mereka sejak tahun 1968. Akan tetapi anak yang ditanggung hanya sampai dua anak dan

peserta masih hams membayar urun biaya yang cukup banyak untuk pelayanan yang

dijamin, khususnya pelayanan yang mahal biayanya. Meskipun secara proporsional

tampaknya tidak begitu besar, akan tetapi beban biaya riil masih besar. Sebagai contoh,

untuk operasi jantung memang PT Askes menjamin sampai Rp 112 juta, namun peserta

masih hams membayar sampai Rp 36 juta. Jumlah yang hams dibayar peserta pegawai

negeri tersebut, masih besar sekali, lebih dari satu tahun gajinya. Di tahun 1992 Indonesia

telah mengeluarkan UU Jamsostek yang juga mewajibkan majikan membayarkan iuran

untuk jaminan kesehatan. Sayang, karena PP 14/1993 membolehkan opt out (perusahaan

yang bisa memberikan pelayanan yang lebih baik boleh tidak ikut) cakupan program JPK

dari Jamsostek tidak lebih dari 1,2 juta tenaga kerja. Selain itu manfaatnya masih sangat

terbatas. Pengobatan penyakit kanker, sakit jantung, dan hemodialisa tidak dijamin. Ini

sangat ironis, sebab asuransi bertujuan menghilangkan beban biaya yang besar, tetapi

program JPK Jamsostek justeru tidak menjamin pelayanan yang mahal yang tidak sanggup

ditanggung sendiri oleh pekerja. Selain itu, pegawai swasta yang pensiun, yang

penghasilannya berkurang atau tidak ada sama sekali, usia yang tua memiliki risiko sakit

yang tinggi, tidak mendapat jaminan karena program Jamsostek hanya menjamin dikala

pekerja masih aktif. Kedua program jaminan tersebut (Askes dan Jamsostek) tidak

mengalami perbaikan berarti untuk masa yang cukup lama, sementara standar kebutuhan

hidup dan kebutuhan kesehatan telah berubah banyak. Program jaminan, yang dapat

digolongkan sebagai program jaminan sosial, juga belum cukup memadai. Program pensiun

untuk pegawai swasta masih belum terwujud sama sekali. Jumlah dana jaminan sosial yang

terkumpul oleh dua program jaminan hari tua dan pensiun (PT Jamsostek dan PT Taspen)

sampai saat ini masih kecil sekali, sekitar Rp 28 triliun, atau kurang dari 2 % dari Produk

Domestik Bruto. Jumlah tersebut tentu belum mempunyai daya ungkit ekonomi yang berarti

bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Untuk merealisasi komitmen global Indonesia

dalam bidang jaminan sosial, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat RI di tahun 2000 dan

2002 telah mengamendemen UUD 1945 dengan mencantumkan pasal 28H dan pasal 34

yang menugaskan pemerintah untuk mengembangkan Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat.

Secara universal jaminan sosial mencakup jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan

kematian, jaminan kecelakaan kerja, AKN dalam SJSN 138 HThabrany dan jaminan

kesehatan termasuk jaminan persalinan (maternity benefits). Dengan amendemen UUD

tersebut, maka landasan hukum untuk meningkatkan kesejahteraan (sekaligus

meningkatkan produktifitas rakyat dan negara) bagi seluruh rakyat dengan mengembangkan

dan memperluas jaminan sosial sudah sangat kuat. Untuk melaksanakan amanat

pengembangan jaminan sosial tersebut, Presiden telah mengeluarkan Kepres No. 20 tahun

2002 yang membentuk Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diketuai oleh almarhumah

Prof. Yaumil Agus Achir, pada waktu itu bertugas Deputi Wakil Presiden untuk

Kesejahteraan Sosial dan kemudian Kepala BKKBN. Sebelum dikeluarkan Keppres tersebut,

tim sudah dibentuk dibawah SK Menko Kesra dan kemudian SK Sekretaris Wakil Presiden

yang pada waktu itu masih dijabat oleh Megawati Seokarnoputri. Setelah Prof Yaumil

meninggal dunia, Dr. Sulastomo, MPH, AAK ditugasi menjadi Ketua Tim SJSN dengan

Kepres Nomor 110/2003. Penulis sendiri termasuk sebagai anggota Tim dan bertugas

sebagai Sekretaris Sub Tim Jaminan Kesehatan dan kemudian bertugas sebagai Konsultan

Asian Development Bank untuk membantu Tim menyusun Naskah Akademik dan RUU

SJSN sampai RUU disampaikan ke DPR. Sejak dibentuknya Tim, empat orang yang

berperan penting dalam pengembangan SJSN yaitu Prof. Indra Hattari, FSAI (aktuaris dan

ahli jaminan pensiun), Prof Sentanoe (ahli jamianan sosial), Prof Yaumil A. Achir, dan Drs.

Mungid telah meninggal dunia sebelum menyaksikan hasil karya besar bangsa. Dalam

merumuskan konsep jaminan so sial untuk Indonesia Tim menyepakati suatu jaminan sosial

hams dibangun diatas tiga pilar yaitu: Pilar pertama yang terbawah adalah pilar bantuan

sosial (social assistance) bagi mereka yang miskin dan tidak mampu atau tidak memiliki

penghasilan tetap yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.

Dalam prateksnya, bantuan sosial ini diwujudkan dengan bantuan iuran oleh pemerintah

agar mereka yang miskin dan tidak mampu dapat tetap menjadi peserta SJSN. Pilar kedua

adalah pilar asuransi sosial yang merupakan suatu sistem asuransi yang wajib diikuti bagi

semua penduduk yang mempunyai penghasilan (meskipun kecil) dengan membayar iuran

yang proporsional terhadap penghasilannya. Pilar satu dan pilar kedua ini merupakan

fondasi SJSN untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak yang harus diikuti dan diterima

oleh seluruh rakyat (pilar jaminan sosial publik). Pilar ketiga adalah pilar tambahan atau

suplemen bagi mereka yang menginginkan jaminan yang lebih besar dari kebutuhan standar

hidup yang layak dan mampu menyediakan jaminan tersebut (pilar jaminan swastaiprivat).

Pilar ini dapat diisi dengan membeli asuransi komersial (baik asuransi kesehatan, pensiun,

atau asuransi jiwa), tabungan sendiri, atau program-program lain yang dapat dilakukan oleh

perorangan atau kelompok seperti investasi saham, reksa dana, atau membeli properti

sebagai tabungan bagi dirinya atau keluarganya. Pada pilar ketiga jaminan kesejahteraan,

yang akan dipenuhi adalah keinginan (want, demand) sedangkan pada dua pilar pertama

yang dipenuhi adalah kebutuhan (need). AKN dalam SJSN 139 HThabrany Tim SJSN telah

menyepakati untuk mengembangkan substansi jaminan sosial yang meliputi jaminan

kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan

kematian. Semula disiapkan untuk menyediakan Jaminan Penanggulangan Pemutusan

Hubungan Kerja (JPPHK), namun karena keterlambatan selesainya konsep SJSN dan UU

Nomor 13/2003 tentang Ketenaga Kerjaan sudah mewajibkan majikan membayar pesangon

apabila terjadi PHK, maka JPPHK kemudian dihilangkan. Tim juga bersepakat untuk

memperbaiki sistem jaminan sosial yang ada (yang dikelola oleh PT ASABRI, PT Askes, PT

Jamsostek, dan PT Taspen) agar nantinya menjadi jaminan yang seragam tanpa

membedakan status pekerjaan penduduk. Pada awalnya konsep Jaminan Sosial Nasional

akan mendirikan tiga lembaga yaitu Lembaga Jaminan Sosial Nasional yang merupakan

suatu lembaga Tri Partit (Majelis Wali Amanat) yang berfungsi sebagai pengambil kebijakan

umum dan pengawasan yang tidak operasional. Selain itu dibentuk satu Administrasi

Jaminan Sosial Nasional yang bertugas mengelola kepesertaan, mengumpulkan iuran dan

mengelola dana. Terkahir adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang terdiri dari dua

badan yaitu Satu Badan yang mengelola program yang bersifat jangka panjang (jaminan

hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan pemutusan hubungan kerja) dan

satu Badan Penyelenggara Jaminan yang bersifat jangka pendek (jaminan kecelakaan kerja

dan jaminan pemeliharaan kesehatan). Namun demikian, karena berbagai ketakutan

kehilangan peran, usul ini ditolak beberapa wakil dari Departemen dan wakil Badan

Penyelenggara yang ada. Sebagai kompromi akhimya disepakati bahwa keempat badan

penyelenggara tetap beroperasi sendiri-sendiri tetapi hams berubah tujuan menjadi lembaga

yang nirlaba, seseuai dengan prinsip dasar penyelenggaraan jaminan sosial. Pada tahap ini

belum diputuskan apakah tugas keempat badan penyelenggara tersebut akan tetap atau

akan ada spesialisasi penyelenggaraan seperti yang diinginkan oleh sebagian anggota DPR

dan anggota Tim SJSN. Tim juga telah menyepakati untuk memperluas jaminan mulai

dengan penduduk yang bekerja dengan orang/badan dengan menerima upah dan penduduk

miskin. Kelompok penduduk ini semula disebut sektor formal yang merupakan sektor yang

paling mudah dike lola, namun karena dalam debat-debat di DPR tidak ada satu definisi

sektor formal dan informal yang pas, akhirnya istilah sektor formal dan informal dihapuskan.

Secara bertahap jaminan akan diperluas kepada yang tidak miskin yang tidak menerima

upah/gaji secara rutin seperti kelompok pedagang, petani, nelayan, dan pekerja rumah

tangga sehingga suatu saat seluruh rakyat mendapat jaminan untuk bisa hidup sehat, layak,

dan produktif. Pentahapan kepesertaan seperti ini tidak secara jelas, bisa difahami dalam

UU SJSN. Landasan Hukum yang kini tersedia dalam atau melandasi sistem jaminan sosial

di sektor kesehatan adalah: 1. UUD 1945 amendemen pasal 28H ayat 1, bahwa setiap

penduduk berhak atas pelayanan kesehatan dan ayat 3 bahwa setiap penduduk berhak atas

jaminan sosial. 2. UUD 1945 amendemen pasal 34 ayat 2, bahwa negara mengembangkan

sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat 3. UUD 1945 amendemen pasal 34 ayat 3, bahwa

negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan yang layak 4. UU No 3/1992

tentang Jamsostek 5. PP 69/1991 tentang JPK PNS 6. UU No 23/1992 tentang Kesehatan,

khususnya pasa166 AKN dalam SJSN 140 HThabrany 7. UU 43/1999 tentang pegawai

negeri sipil 8. PP Nomor 2812003 tentang asuransi kesehatan pegawai negeri. 7.3.

Ringkasan untuk sub sistem AKN Dasar pertimbangan utama perluasan AKN adalah

rendahnya cakupan asuransi kesehatan di Indonesia jika dibandingkan dengan cakupan

asuransi kesehatan di negara tetangga. Di Muangtai, sudah 100% penduduknya (cakupan

universal) memiliki jaminan kesehatan. Di Filipina, cakupan asuransi kesehatan nasional

sudah mencapai hampir 60% penduduk. Di Indonesia, data Susenas 2001 menunjukkan

bahwa baru sekitar 40 juta penduduk (20,2 %) memiliki jaminan kesehatan dengan manfaat

yang bervariasi. Dari jumlah itu, 6,8 % atau sekitar 13,2 juta penduduk memiliki jaminan

dalam bentuk Kartu SehatlJPK Gakin atau jaminan yang bersifat sementara. Dengan

demikian, hanya sekitar 27 juta penduduk (hampir 14 %) saja yang memiliki jaminan yang

berkesinambungan, ini tidak jauh berbeda dengan angka 13% penduduk yang terjamin di

tahun 1992. Padahal, data-data survei angkatan kerja maupun data Susenas menunjukkan

bahwa sekitar 30 juta penduduk bekerja di perusahaan, badan, atau pemerintah. Jika rata-

rata setiap pekerja memiliki tiga tanggungan saja, maka sekitar 90 juta jiwa sehamsnya

sudah memiliki jaminan kesehatan. Selain itu, jaminan yang dimiliki oleh 14 % penduduk

itupun tidak seragam dan tidak selalu memenuhi kebutuhan dasar medis karena masih

tingginya urun biaya (cost sharing) untuk pelayanan mahal seperti pengobatan kanker,

hemodialisa dan operasi jantung atau bahkan tidak dijamin sama sekali dalam program JPK

Jamsostek atau jaminan yang diberikan oleh perusahaan. Sebagian dari mereka yang

memiliki asuransi kesehatan atau JPKM (dibelikan oleh majikan) juga menerima manfaat

asuransi yang bervariasi yang tidak selalu memenuhi kebutuhan dasar medis pekerja dan

keluarganya. Rendahnya cakupan penduduk dan kurang memadainya jaminan kesehatan

disebabkan karena perundang-undangan yang ada telah lama tidak disesuaikan dengan

kebutuhan yang berubah dan belum difahaminya konsep dan manfaat jaminan atau asuransi

sosial. Oleh karenanya, perubahan perundangan untuk memperluas cakupan penduduk dan

memperbaiki manfaat jaminan sudah tidak dapat ditunda lagi. a. Tujuan dan Manfaat.

Perluasan program Asuransi Kesehatan Nasional dalam SJSN bertujuan untuk memperluas

cakupan penduduk yang memiliki jaminan kesehatan yang memenuhi kebutuhan dasar

medis, tanpa membedakan status ekonomi penduduk. Dengan pemenuhan kebutuhan dasar

medis, penduduk akan dengan tenang melakukan kegiatan produksinya setiap hari (belajar

dan bekerja) sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan negara melalui pajak

penghasilan atau pajak penjualan hasil produksi penduduk tersebut. Perlu dicatat bahwa

pengertian kebutuhan dasar medis bukanlah pelayanan medis (kesehatan) yang murah

harganya seperti pelayanan dokter praktek, puskesmas, atau obat generik. Kebutuhan dasar

medis adalah kebutuhan pelayanan medis yang memungkinkan seseorang hidup dan

berproduksi, sehingga termasuk disini pelayanan hemodialisa atau bedah jantung sekalipun,

AKN dalam SJSN 141 HThabrany selagi tindakan medis tersebut memang diperkirakan oleh

dokter (secara obyektif) akan efektif untuk penyembuhan atau mengembalikan produktifitas

pasien. Pelayanan perawatan di kelas I atau VIP di rumah sakit pemerintah atau RS swasta

bukanlah kebutuhan dasar medis. Pemberian obat yang sekedar menghilangkan gatal-gatal

atau menjadikan penampilan seseorang lebih gagah atau lebih cantik, bukanlah kebutuhan

dasar medis. b. Prinsip dasar AKN Penyelenggaraan AKN dilaksanakan berdasarkan

pnnsip-pnnsip asuransi sosial yang menjamin solidaritas luas diantara berbagai kelompok

penduduk, penerapan teknik kendali biaya (managed care), menjamin portabilitas dan

penyelenggaraan yang akuntabel, transparan, dan responsif. Untuk menjamin semua

penduduk turut serta, maka seluruh pemberi kerja diwajibkan mendaftarkan tenaga kerja

dan anggota keluarganya ke BPJS yang menyelenggarakan AKN dan sekaligus membayar

iuran secara rutin ke rekening BPJS tersebut. Besarnya iuran belum ditetapkan dalam UU

SJSN dan akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Namun besaran iuran diperkirakan

antara 5 %-6 % dari gaji/upah yang ditanggung bersama antara pemberi kerja dan tenaga

kerja. Pada program Jamsostek yang pada tahun 2004 masih berlaku, besaran iuran adalah

3% untuk pekerja lajang dan 6% untuk pekerja yang telah berkeluarga. Perbedaan besaran

iuran ini banyak disalah-gunakan pemberi kerja dengan mendaftarkan tenaga kerja,

umumnya wanita yang sudah berkeluarga, sebagai tenaga kerja lajang guna mengurangi

kewajibannya. Oleh karena itu, dalam SJSN seharusnya tidak lagi dibedakan antara pekerja

lajang dan pekerja yang telah berkeluarga, seperti yang juga diterapkan di seluruh negara di

dunia. Penduduk miskin akan didaftarkan oleh pemerintah (kemungkinan yang terbaik

adalah oleh Dinas Kesehatan atau Dinas Sosial) dari suatu Kota/kabupaten. luran penduduk

miskin dan tidak mampu (mempunyai penghasilan tetapi tidak mencukupi) akan dibayar oleh

Pemerintah. Besaran iuran penduduk miskin ini adalah nilai nominal tertentu. Dalam

prakteknya iuran ini hams diperhitungkan sebesar rata-rata iuran bagi pekerja di daerah

tersebut agar kebutuhan kecukupan dana (prinsip adequacy dalam perhitungan aktuaria

dapat terpenuhi). Bagi pekerja mandiri, iuran sebaiknya ditetapkan berdasarkan rata-rata

pendapatan dari berbagai kelompok pekerjaan. Misalnya untuk petani mandiri, tukang

becak, dan nelayan mandiri ada satu besar iuran. Untuk sopir taksi, pedagang kios di pasar,

atau pedagang kios di pusat perbelanjaan yang dikerjakan sendiri iurannya lebih tinggi dari

kelompok petani, karena nilai rata-rata penghasilan yang diperoleh (dari survei) lebih tinggi.

Peserta yang telah terdaftar (baik yang bayar sendiri iurannya, yang dibayarkan oleh

pemerintah atau pemberi kerja) akan mendapatkan kartu peserta untuk berobat di fasilitas

kesehatan yang mengikat kontrak dan sepakat memberikan pelayanan dengan standar mutu

yang ditetapkan BPJS. Dengan demikian, fasilitas kesehatan tidak boleh dan tidak perlu

membedakan pelayanan bagi kelompok miskin maupun kelompok yang berpenghasilan

rendah. Untuk mengendalikan moral hazard, setiap kali peserta memerlukan pelayanan

tertentu, maka peserta hams membayar urun biaya (cost sharing) yang tidak besar tetapi

cukup mengendalikan pelayanan dan biaya. Besaran urun biaya akan diatur dalam PP,

hendaknya bervariasi antara 10 %-30 % tergantung jenis pelayanan. Untuk menghindari

beban berat bagi peserta, maka urun biaya harus dibatasi sampai jumlah maksimum

tertentu, AKN dalam SJSN 142 HThabrany misalnya sebesar satu bulan UMP. Dana urun

biaya merupakan hak fasilitas kesehatan yang jumlahnya telah diperhitungkan dalam

kalkukasi pembayaran prospektif dari BPJS kepada fasilitas kesehatan. Untuk mengurangi

moral hazard dari sisi fasilitas kesehatan, maka BPJS hams melakukan telaah utilisasi

(utilization review) guna menjamin ketepatan penggunaan dan kualitas pelayanan yang

diterima peserta. c. Strategi pengembangan Undang-undang memang belum rinci

menggariskan strategi pengembangan program dan perluasan kepesertaan. Mudah-

mudahan dalam waktu dekat strategi tersebut dapat dirumuskan. Berikut ini disajikan strategi

hipotetis atau usulan strategi yang dapat digunakan untuk perluasan kepesertaan AKN

maupun pengembangan sistem pelayanan kepada anggota dan pembayaran kepada

fasilitas kesehatan. Karena pada saat ini masih banyak jumlah penduduk di sektor formal

yang belum memiliki jaminan, maka pada 5-10 tahun pertama perluasan kepesertaan akan

dipusatkan pada kelompok sektor formal, khususnya yang berada di perkotaan, dan

penduduk miskin sebagai pengganti program JPSBKlJPK Gakin yang kini sudah dimulai

oleh Depkes dengan menjaminkan sekitar 54 juta penduduk termiskin melalui subsidi iuran

ke PT Askes. Prioritas kedua kelompok ini didasarkan pada pertimbangan kemudahan

mengumpulkan iuran yang merupakan faktor esensial dalam suksesnya SJSN. Hal ini juga

berkaitan dengan ketersediaan dan kesiapan fasilitas kesehatan untuk melayani jumlah

peserta yang besar. Sasaran perluasan lima tahun pertama ditujukan kepada tenaga kerja

yang saat ini sama sekali belum memiliki jaminan. Pada saat yang bersamaan, Pemda

mendaftarkan dan membayarkan iuran penduduk miskin yang kini menerima JPK Gakin

kepada BPJS yang ditunjuk. Kepesertaa penduduk pekerja mandiri (sektor informal) hams

tetap terbuka secara aktif. Artinya penduduk itu sendiri yang berinisiatif mendaftar, akan

tetapi mereka hams siap membayar secara rutin, bukan hanya pada saat mereka menderita

sakit dan membutuhkan pelayanan. Penegakan hukum, atau upaya aktif BPJS mendatangi

penduduk sektor ini hendaknya tidak dilakukan dalam 10 tahun pertama, karena biaya

administratifnya akan sangat besar dan tidak sebanding dengan iuran yang akan terkumpul.

Untuk menjamin bahwa penduduk sektor informal dapat memenuhi kebutuhan dasr

medisnya, maka pelayanan kesehatan di fasilitas pemerintah masih hams tetap

mendapatkan subisidi yang ditujukan bagi mereka yang belum menjadi peserta AKN. d.

Kelembagaan. Secara prinsip, Tim SJSN telah sepakat bahwa badan penyelenggara

hamslah bersifat nirlaba (prinsip Trust Fund atau Public Corporation). Ada berbagai pilihan

kelembagaan dari yang terpusat sampai yang tersebar (desentralisasi). Semakin terpusat,

penyelenggaraan semakin efisien dan semakin portabel tetapi juga kurang responsif

terhadap perubahan kebutuhan peserta. Sebaliknya semakin banyak penyelenggara maka

semakin tidak efisien dan tidak portabel akan tetapi semakin responsif terhadap perubahan

kebutuhan peserta. Agar penyelenggaraan benar-benar memihak kepada peserta, maka

biaya administrasi dibatasi AKN dalam SJSN 143 HThabrany sampai maksimum 5% dari

seluruh iuran yang diterima. Undang-Undang SJSN telah menyepakati mengambil bentuk

BPJS yang terpusat, yang kemungkinannya diberikan kepada PT Askes atau PT Jamsostek

atau kedua-duanya. Pilihan ini mempunyai potensi kurang responsif terhadap tuntutan

peserta di daerah. Untuk mengatasi hal itu, maka kantor cabang di daerah hams diberikan

otonomi luas dalam penyelenggarannya. Untuk antisipasi hal ini, UU telah menggariskan

bahwa besaran pembayaran dan cara pembayaran antara BPJS kepada fasilitas kesehatan

dinegosiasikan di tingkat wilayah. Hal ini akan menimbulkan perbedaan sistem pembayaran

dan besaran pembayaran antar daerah, yang memang memiliki karakteristik yang berbeda.

Ini adalah salah satu contoh otonomi kantor cabang di daerah yang diberikan UU untuk

menampung tuntutan masyarakat di daerah. Prinsip Dasar: • Prinsip solidaritas sosial atau

kegotong-royongan. Jaminan Kesehatan Nasional (AKN) diselenggarakan berdasarkan

mekanisme asuransi sosial yang wajib untuk menuju cakupan universal (universal coverage)

yang akan dicapai secara bertahap, sehingga tercipta subsidi silang antara yang kaya

kepada yang miskin, antara yang muda kepada yang tua, antara yang sehat kepada yang

sakit, dan antara daerah kaya ke daerah miskin. • Prinsip efisiensi. Manfaat terutama

diberikan dalam bentuk pelayanan yang terkendali, baik utilisasi maupun biayanya. manfaat

dalam bentuk santunan uang hanya diberikan untuk kondisi tertentu. Dalam efisiensi sistem

(pengendalian biaya), peserta diwajibkan membayar urun biaya dalam bentuk (co-insurance)

atau co-payment setiap kali peserta memanfaatkan pelayanan tertentu. Co-insurance adalah

pembayaran dalam bentuk prosentese tertentu dari biaya kesehatan yang dihabiskannya.

Sedangkan co-payment adalah pembayaran dalam jumlah tetap per kali kunjungan atau

perawatan. • Prinsip ekuitas. Program AKN diselenggarakan berdasarkan pnnsip keadilan

dimana setiap penduduk, tanpa memandang suku, bangsa, agama, aliran politik, dan status

ekonomi, hams memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan dasar

medisnya dan membayar iuran sesuai dengan kemampuan ekonominya. • Prinsip

portabilitas. Seorang peserta tidak boleh kehilangan perlindungan/jaminan bagi dirinya atau

anggota keluarganya apabila ia pindah tempat tinggal, pindah kerja, atau sementara tidak

bekerja. • Prinsip nirlaba (not for profit). Pengelolaan program AKN diselenggarakan atas

dasar tidak mencari atau memupuk laba untuk sekelompok orang atau pemerintah, akan

tetapi memaksimalkan pelayanan. Badan penyelenggara dibebaskan dari kewajiban

membayar pajak penghasilan badan (PPh Badan) atas sisa anggaran atau hasil usahalnilai

tambah. Badan penyelenggara juga tidak membayarkan dividen atas sisa anggaran atau

sisa hasil usaha atau keuntungan yang diperolehnya. Seluruh dana berupa sisa hasil usaha

atau anggaran yang tidak AKN dalam SJSN 144 HThabrany digunakan disimpan dan

diakumulasi dalam bentuk dana cadangan dari tahun ke tahun. Apabila jumlah dana

cadangan ini sangat besar suatu ketika, maka besaran iuran oleh seluruh peserta akan

diturunkan Prinsip tambahan yang perlu diperhatikan adalah: • Prinsip responsif.

Penyelenggaraan AKN hams responsif terhadap tuntutan peserta sesuai dengan perubahan

standar hidup para peserta yang mungkin berbeda dan terns berkembang di berbagai

daerah • Prinsip koordinasi manfaat. Dalam pemberian manfaat, tidak boleh terjadi duplikasi

jaminan atau pembayaran kepada fasilitas kesehatan antara program AKN dengan program

asuransi atau jaminan lain seperti jaminan kecelakaan lalu lintas yang menimpa seorang

peserta AKN. Koordinasi ini belum diatur dalam UU. Prinsip koordinasi ini menjadi penting

ketika Pemda mengembangkan (bukan yang berdiri sendiri) jaminan sosial lokal. Salah satu

contoh yang bisa diatur misalnya, jaminan kesehatan pusat menanggung biaya pengobatan

dan perawatan sementara jaminan kesehatan daerah menanggung biaya transportasi atau

menanggung urun biaya yang tidak dijamin oleh JKN yang bersifat nasional. 7.4. Key

Success Factor: Penyelenggaran AKN berhasil apabila: • Mendapat dukungan dari pemberi

kerja dan organisasi tenaga kerja yang memahami bahwa program tersebut pada akhimya

akan bermanfaat untuk meningkatkan produktifitas mereka. • Manfaat yang diberikan cukup

layak dan memadai jumlah dan mutunya. Oleh karenanya pelayanan medis yang mahal

hams dijamin, sementara pelayanan yang murah dapat dikurangi atau dikenakan urun biaya.

Besamya manfaat hams secara reguler, dalam periode yang wajar, disesuaikan dengan

kebutuhan peserta yang berkembang sejalan dengan peningkatan tarafhidupnya. • Jumlah

iuran hams cukup memadai untuk membiayai manfaat yang diberikan (prinsip adequacy).

Jumlah iuran yang melebihi manfaat yang diberikan akan lebih baik karena kelebihan dana

akan diakumulasi. Akan tetapi jumlah iuran yang terlalu besar dapat memberatkan sektor

usaha dan karenanya dapat menurunkan angka partisipasi. • Penyelenggaraan dilakukan

dengan profesional, transparan, bersih, dan bertanggung jawab. Oleh karenya seluruh

peserta hams bisa memperoleh informasi akurat tentang penyelenggaraan, besaran iuran

yang terkumpul, dan besamya dana yang dihabiskan untuk pelayanan dan biaya

manajemen. AKN dalam SJSN 145 HThabrany • Adanya kestabilan politik dan ekonomi

yang memungkinkan dunia usaha berkembang dengan inflasi yang terkendali dan

prediktabel • Adanya dukungan pemerintah yang kuat yang menjamin berbagai pihak

memenuhi kewajibannya. Dukungan pemerintah hams diwujudkan dalam bentuk pemberian

dana subsidi atau talangan jika diperlukan. Dengan demikian, seluruh peserta dan pemberi

kerja tidak merasa khawatir kalau temyata biaya kesehatan membengkak dan BPJS

bangkrut. Sperti halnya Bank Indonesia, BPJS hanya bisa bangkrut apabila pemerintah

bangkrut. Ketegasan kewajiban pemerintah ini sudah tercantum dalam UU, guna menjamin

tingkat kesehatan BPJS 7.5. Status Hukum Badan Penyelenggara Oleh karena mekanisme

Jaminan Kesehatan merupakan suatu mekanisme asuransi sosial yang bertujuan memenuhi

kebutuhan bersama (gotong royong) yang bersifat wajib, maka badan penyelenggara

hamslah bersifat nirlaba. Bentuk yang ideal adalah suatu badan hukum tersendiri, yang

bukan Perusahaan Terbatas dan bukan pula BUMNIBUMD. Bentuk usaha mutual (usaha

bersama) seperti AJB Bumi Putra merupakan altematif yang mendekati bentuk ideal. Semua

peserta adalah pemegang saham. Tidak ada pendiri atau pemegang saham yang

mempunyai hak veto atau suara mayoritas. Bentuk yang ideal dari Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial (BPJS) adalah sebagai suatu badan hukum tersendiri yang diatur dalam UU

SJSN, seperti halnya Bank Indonesia yang diatur oleh UU BI dan Dana Pensiun Pemberi

Kerja yang diatur oleh UU Nomor 11/1992 tentang Dana Pensiun. Bentuk badan hukum

seperti ini memungkinkan penyelenggaraan asuransi yang bertujuan sosial secara taat asas

dengan pengelolaan yang otonom, tanpa campur tangan birokrasi, dan tanpa konflik dengan

UU lain. Satu-satunya kekuasaan yang mengatur diatasnya adalah Undang undang yang

mengatumya. Namun demikian, dalam UU SJSN para pakar hukum dan sebagian birokrat

tidak setuju dengan bentuk badan khusus tersebut, kecuali jika ada UU khusus yang

mengatumya, seperti UU BI yang mengatur bentuk badan tersebut. Sesungguhnya UU Bank

Indonesia dan UU Dana Pensiun (UU nomor 11/1992) telah memberikan contoh bentuk

Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagai badan seperti itu. Perdebatan mengenai hal itu

berkepanjangan dan tidak selesai dalam satu tahun. Jalan tengah yang diambil akhimya

untuk sementara UU SJSN menggunakan bentuk Persero akan tetapi ada pengaturan

khusus yang krusial yaitu bersifat nirlaba oleh UU SJSN. Ini sementara dapat kita terima.

Akan kita lihat apabila dalam penyelenggaraannya nanti timbul konflik dengan UU BUMN

atau pengawas yang mengawasi BUMN, maka bentuk Persero hams diubah kembali.

Bantuk Persero seperti yang diatur oleh BUMN mengandung keunggulan dimana

penyelenggara mempunyai otonomi luas dalam mengelola pegawai dan dana. Tujuan

mencari laba, seperti yang tercantum dalam UU BUMN saja yang berbeda dengan BPJS

yang bertujuan nirlaba. Perbedaan lain adalah bahwa kepemilikan BPJS sepenuhnya milik

negara dan BPJS ini tidak boleh menjual satu sahampun kepada perseorangan atau badan.

Dalam UU sudah disebutkan bahwa sisa hasil usaha, pendapatan investasi, dan segala

macam dana yang tidak atau belum digunakan akan digunakan untuk sebesar-besamya

kepentingan peserta. Jadi tidak ada lagi dividen yang akan AKN dalam SJSN 146

HThabrany dibayarkan oleh PT Askes dan PT Jarnsostek kepada Pemerintah, seperti yang

selarna ini berlangsung, yang jumlahnya melebihi satu triliun rupiah setahun. Sejak BPJS

menyesuaikan diri, diharapkan tahun 2005 sudah selesai, maka dividen tersebut seluruhnya

akan masuk ke rekening peserta sesuai dengan jumlah iuran yang telah disetorkannya.

Dengan keluarnya UU SJSN, maka bapel-bapel JPKM yang sekarang ada atau pra bapel

yang sebelumnya mengelola JPKM JPSBK tidak bisa lagi beroperasi untuk melayani

kebutuhan dasar medis. Begitu juga dengan perusahaan asuransi atau perusahaan lain,

yang melakukan kontrak dengan perusahaan untuk menjarnin pelayananan atau biaya

kesehatan karyawan suatu perusahaan, tidak boleh lagi beroperasi untuk menjarnin

kebutuhan dasar medis. Mereka boleh beroperasi untuk menjual produk asuransi kesehatan

suplemen atau tambahan, yang tidak dijarnin oleh SJSN. Bisa saja sebuah perusahaan

membelikan asuransi kesehatan yang mencakup paket dasar tetapi tetap wajib iur untuk

SJSN. Tentu hal ini bersifat duplikatif dan menjadi lebih mahal bagi perusahaan. Bapel

JPKM dapat juga mengubah diri menjadi grup povider (kelompok fasilitas kesehatan) yang

melakukan kontrak dengan BPJS, atau menjadi lembaga penjamin manajemen mutu dan

utilisasi yang independen. 7.6. Struktur organisasi dan Manajemen Dalarn UU SJSN yang

belum memiliki Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang mengatur lebih rinci

penyelenggaraan, struktur organisasi BPJS tentu saja belum dirumuskan. Berbagai altematif

dapat dikembangkan untuk mengoptimalkan penyelenggaraan dan manajemen jaminan

kesehatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dan visi-misi penyelenggaraan jaminan

sosial, yang memihak rakyat banyak. Struktur organisasi dan manajemen akan diatur

kemudian, praktisnya setelah Dewan Jaminan Sosial Nasional dibentuk dan membuat

rumusan kebijakan umum. Sebagai sebuah Dewan yang berfungsi advokasi, pemantauan,

dan pengawasan, DJSN tidak bisa membuat peraturan dan tidak bisa menjadi lembaga

pengawal berjalannya AKN dengan baik. Fungsi pengawal dan penegakan hukum dapat

dilakukan oleh Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga Kerja, atau Departemen

Sosial. Dewan Jarninan Sosial Nasional akan segera dibentuk setelah UU SJSN ditanda

tangani Presiden tanggal 18 Oktober 2004. Anggota Dewan terdiri dari 15 orang yang terdiri

atas unsur Pemerintah, serikat pekerja, serikat pengusaha, tokoh atau para ahli dalam

bidang jaminan sosial (lihat naskah UU terlarnpir). Semula RUU SJSN dalam dalam

perdebatan di Panitia Kerja maupun Panitia Khusus jumlah masing-masing wakil akan

ditetapkan. Bahkan draf awal menyebutkan proses seleksi dan pengangkatan anggota

DJSN. Narnun, karena masalah tersebut cukup sulit diputuskan, maka UU tidak

menyebutkan. Presiden diharapkan akan menetapkan wakil-wakilnya secara bijaksana.

Dewan ini akan merumuskan dan menyinkronkan penyelenggaraan jaminan sosial bagi

seluruh rakyat. Nantinya, seluruh rakyat akan memiliki jaminan sosial yang sarna skemanya,

setara prosentase iurannya, dan setara manfaat yang akan diterima. Kesetaraan tidak

berarti sarna persis, sebab tidak bisa dipastikan semua peserta akan sarna pemah

menerima operasi ginjal, akan tetapi setara dimaksudkan sesuai dengan kebutuhan medis

peserta. Iurannya pun setara, artinya kalau pegawai negeri membayar 5% iuran dari gajinya,

maka pegawai swasta juga membayar 5% AKN dalam SJSN 147 HThabrany dari gajinya.

Dengan demikian tidak ada diskriminasi antar golongan pekerjaan. Tugas yang berat ini

hams dilaksanakan oleh Dewan dan diharapkan dapat selesai paling lama dalam waktu 5

(lima) tahun. Dewan ini memiliki kewenangan mengawasi dan mengevaluasi keempat BPJS

yang ditetapkan dalam UU. Untuk efisiensi dan efektifitas fungsi DJSN, maka harus ada

beberapa Komite yang terdiri dari para ahli dan yang sehari-hari mengerjakan evaluasi atas

penyelenggaraan jaminan sosial yang sesuai dengan UU SJSN. Komite dapat dibentuk

secara permanen untuk terus-menerus memantau penyelenggaraan, misalnya Komite

Investasi, agar BPJS tidak seenaknya menempatkan dana yang mungkin lebih didorong

atas kepentingan tertentu. Komite yang diperlukan antara lain: 1. Komite Aktuaria: tugasnya

adalah melakukan evaluasi rutin tentang iuran dan perkiraan biaya medis serta menerbitkan

tabel iuran, khususnya untuk pekerja mandiri dan penduduk miskin atau kurang mampu

secara berkala. 2. Komite Investasi: Komite ini sangat penting karena BPJS, khsusnya BPJS

penyelenggara program Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun akan mengakumulasi dan

menghimpun ratusan Triliun rupiah (Dana Amanat) di masa datang. Kalau saja dana

tersebut diinvestasikan pada portofolio yang tidak tepat, akan memberikan hasil

pengembangan dana yang kurang optimal. Idealnya, Dana Amanat akan memberikan hasil

yang lebih tinggi dari bunga Deposito, paling sedikit 2% diatas itu. Sehingga peserta akan

merasa puas dengan perkembangan dana yang mereka miliki. Komite ini bertugas

menyusun perumusan dan pedoman portofolio investasi bagi kantor pusat dan kantor

cabang BPJS. 3. Komite Perselisihan: Perselisihan akan selalu muncul pada operasi yang

begitu besar, apalagi dalam program AKN. Komite memantau dan menyelesaikan secara

internal berbagai perselisihan yang menyangkut pembayaran iuran, pembayaran kepada

fasilitas kesehatan, dan perselisihan lain yang melibatkan badan, peserta, pemberi kerja,

dan atau fasilitas kesehatan 4. Komite pelayanan: Komite ini khususnya diperlukan untuk

program AKN dengan tugas melakukan pemantauan dan perumusan jenis-jenis pelayanan,

obat dan bahan medis habis pakai yang dijamin atau tidak dijamin serta besaran urun biaya.

Komite juga melakukan evaluasi dan perumusan tentang mutu pelayanan fasilitas

kesehatan, persyaratan mutu pelayanan, dan merumuskan tentang pedomaan telaah

utilisasi terhadap pelayanan yang diberikan kepada peserta 7.7. Pengelolaan Keuangan

Pengelolaan keuangan merupakan inti keberhasilan program AKN. Apabila BPJS tidak

mampu mengelola dana, mulai dari penerimaan iuran, investasi, sampai pembayaran dan

pencadangan dana, maka kepercayaan peserta (dan pengusaha) akan hilang. Apabila

kepercayaan tersebut hilang, maka penyelenggaraan AKN dan SJSN otomatis berhenti atau

AKN dalam SJSN 148 HThabrany bubar. Risiko hancurnya penyelenggaraan SJSN adalah

risiko negara, bukan risiko perusahaan atau sekelompok orang pemegang saham, dalam hal

penyelenggaraan asuransi kesehatan komersial. Oleh karena itu, aturan pengelolaan

keuangan harus secara eksplisit dirumuskan dan hams ditaati betul oleh pengelola.

Pengelola harus dipilih dari orang-orang yang bersih dan mempunyai dedikasi tinggi untuk

mewujudkan terselenggaranya AKN yang baik. Beberapa elemen penting pengelolaan

keuangan yang patut dipertimangkan adalah: Paling lambat setiap tanggal 5 bulan berjalan,

pemberi kerja wajib menyetorkan potongan iuran pekerja dan menambahkan iuran yang

menjadi kewajibannya ke rekening BPJS. Misalnya, iuran untuk bulan Januari 2005 hams

sudah dibayarkan oleh pemberi kerja kepada BPJS paling lambat tanggal 5 Januari 2005.

Pengusaha yang lalai harus dikenakan sanksi berupa denda atau kalau terus-menerus lalai,

maka Direktur Keuangan atau Direktur Utama hams bisa diseret ke pengadilan atau dikenai

hukuman kurungan. Tanpa ada penegakan hukum yang tegas, khususnya dalam lima tahun

pertama penyelenggaraan, maka SJSN tidak akan berjalan baik. Lima tahun pertama amat

penting untuk meyakinkan semua pemberi kerja membayar iuran. Kalau pemberi kerja tidak

bisa yakin bahwa SJSN diselenggarakan dengan bersih, jujur, dan betul-betul memihak

peserta, maka akan sulit mengembangkan SJSN di kemudian hari. Praktisnya pembayaran

iuran akan dibayar sekaligus untuk semua program jaminan sosial, hanya saja kepada

rekening yang berbeda. Untuk keperluan pengawasan, BPJS bersama dengan pegawai

pengawas dari Departemen terkait dapat melakukan pemeriksaan sewaktu-waktu kepda

pemberi kerja dan mengajukannya ke pengadilan jika terdapat pelanggaran. Pengalaman

penyelenggaraan program Jamsostek menunjukkan bahwa banyak pemberi kerja yang tidak

jujur dengan laporan upah pekerja. Pemberi kerja melaporkan upah yang lebih rendah

kepada Jamsostek agar iurannya bisa lebih kecil. Ke depan, hal ini akan mudah dideteksi

oleh pekerja sendiri karena SJSN dirancang untuk lebih transparan. Badan Penyelenggara

diwajibkan melaporkan rekening peserta JHT dan JP setiap tahun. Dengan demikian apabila

pengusaha melaporkan upah yang lebih rendah, akan tampak dari akumulasi iuran yang

dibayarkan ke BPJS yang pada akhir tahun laporannya akan diterima setiap peserta. Selain

itu, peserta juga akan mengetahui dari tahun ke tahun besaran dana yang dimilikinya untuk

masa tuanya,. Akan tetapi peserta tidak boleh mengambilnya, karena dana tersebut baru

bisa diambil jika ia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Badan

pengelola AKN dalam lima tahun pertama, sebelum jumlah peserta cukup besar, hanya

dapat menggunakan iuran yang diterima untuk biaya administrasi maksimum 15% iuran,

pada tahun ke 6-10 besarnya biaya operasional hams maksimum 10%, dan menjadi

maksimum 5% pada tahun ke 11 dan seterusnya. Dengan demikian, penyelenggaraan AKN

ini akan lebih menguntungkan bagi perusahaan yang selama ini membeli asuransi

kesehatan yang mempunyai loading (biaya operasional, biaya pemasaran dan keuntungan)

yang mencapai 40% dari premi. Pembatasan ini sangat penting dirumuskan dalam

peraturan, agar semua peserta dan pemberi kerja yang akan mengiur mengetahui dengan

jelas bahwa mereka akan diuntungkan dengan pool yang besar yang dikelola secara

nasional. AKN dalam SJSN 149 HThabrany Dana yang terkumpul tidak selalu hams habis

pada tahun itu, akan tetapi hams cukup membiayai semua kebutuhan yang akan timbul di

tahun itu. Ini adalah prinsip solvabilitas. Untuk menjamin kecukupan dana ini, maka dana

yang terkumpul hams dikelola dengan sangat hati-hati (prudent) Dana yang belum

digunakan hams diinvestasikan agar memberikan nilai tambah untuk menutupi biaya yang

dibutuhkan dan untuk menambah dana cadangan. Akan tetapi investasi hams dilakukan

agar setiap saat dana dibutuhkan, dana tersebut dapat cairo Ini adalah prinsip likuiditas.

Manajemen keuangan hams benar-benar carmat agar tercapai kesimbangan antara

kebutuhan dana untuk membayar manfaat dan menginvestasikan yang belum diperlukan.

Untuk mencapai titik optium tersebut, tidak sembarang investasi dibolehkan. Investasi yang

berisiko tinggi, seperti saham dan properti hams dihindari, meskipun akan memberikan hasil

yang tinggi. Jikapun dibenarkan, proporsinya hams sangat dibatasi, misalnya tidak lebih dari

5% dari total dana yang dapat diinvestasikan. Untuk dana jaminan kesehatan, dana akan

lebih banyak diinvestasikan dalam bentuk deposito, reksa dana, dan sebagian mungkin

dalam instrumen investasi jangka pendek lain yang aman seperti SBI. Dana hari tua dan

pensiun yang digunakan dalam jangka panjang, hams ditanam dalam instrumen jangka

panjang. Akan tetapi untuk jaminan kesehatan yang kebutuhan nya setiap saat dapat terjadi,

instrumen investasi jangka panjang tidak diperlukan. 7.8. Kewajiban BPlS Secara garis

besar, UU SJSN mewajibkan BPJS untuk memberikan jaminan kepada seluruh peserta

sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh UU SJSN dan yang diatur oleh peraturan

pemerintah, dan atau DJSN. Karena sistem AKN menggunakan teknik managed care dalam

pengendalian biaya, maka timbul masalah dimana bisa terjadi di suatu daerah yang cukup

banyak pesertanya, tetapi fasilitas kesehatan yang akan dikontrak tidak memadai jumlahnya

dan tidak selalu menyediakan pelayanan atau dokter spesialis yang dibutuhkan. Sebagai

contoh, di Kalimantan bisa jadi banyak perusahaan kayu yang memiliki ribuan karyawan,

akan tetapi rumah sakit atau dokter spesialis mungkin tidak tersedia. Dalam hal itu, BPJS

wajib menyediakan tenaga (baik dari dalam maupun luar negeri) dan atau fasilitas

kesehatan guna memenuhi kebutuhan kesehatan para pesertanya. Apabila penyediaan

tenaga dan fasilitas tidak efisien atau terlalu mahal, BPJS wajib memberikan kompensasi

lain seperti memberikan penggantian biaya berobat. Disinilah pentingnya ada Komite

Pelayanan yang selalu memantau kondisi di berbagai daerah, kepuasan peserta dan

memantau kelayakan manfaat program. Komite pelayanan melakukan evaluasi terhadap

kepatuhan fasilitas kesehatan yang dikontrak atas standar pelayanan dan standar mutu

yang hams dipatuhi, yang telah ditetapkan BPJS dalam rangka menjamin mutu dan

kepuasan peserta. Komite pelayanan dapat meminta Direksi untuk memutuskan kontrak

kepada fasilitas kesehatan yang tidak mampu memenuhi standar yang ditetapkan. Inilah

yang dimaksud UU bahwa BPJS mengembangkan sistem pelayanan dan pembayaran.

Beberapa pihak di Depkes kurang memahami hal ini dan menilai bahwa UU SJSN terlalu

jauh memberikan kewenangan, kewenangan mengembangkan sistem pelayanan dan

pembayaran yang sehamsnya kewenangan Depkes, kepada BPJS. Sesungguhnya yang

diatur BPJS adalah kewenangan sistem pelayanan dan pembayaran yang AKN dalam SJSN

150 HThabrany terkait pelayanan kepada peserta, bukan sistem secara umum yang berlaku

bagi semua fasilitas kesehatan. Hanya fasilitas kesehatan yang mengikat kontrak dengan

BPJS-Iah yang terkena peraturan sistem pelayanan dan pembayaran BPJS. Sebagai

contoh, BPJS dapat mengembangkan sistem pelayanan terstruktur dengan pembayaran

kapitasi global ke rumah sakit, kapitasi parsial ke dokter keluarga, dan atau

mengembangkan sistem pembayaran DRG kepada rumah sakit. Undang-undang juga

mewajibkan BPJS untuk mengumumkan kinerja keuangan dan kinerja pelayanan (akses,

biaya satuan per group pelayanan atau diagnosis, kepuasan peserta per fasilitas dan

kota/kabupaten, dll), Hal ini sangat perlu untuk menjamin agar semua peserta memahami

segala macam masalah yang dihadapi dan memahami kalau misalnya diperlukan kenaikan

biaya iuran, pengendalian yang lebih ketat yang membutuhkan urun biaya lebih tinggi, dan

meningkatkan kepercayaan peserta kepada BPJS. Akan sangat baik jika BPJS

menyampaikan laporan tersebut atau mempublikasikan hasil-hasil penelitian yang

dibiayainya setiap enam bulan di paling sedikit 10 media masa nasional dan di website.

Meskipun UU tidak secara eksplisit mengatur hal itu, untuk kinerja yang terbaik, BPJS dapat

melakukan yang lebih dari itu guna menjamin transparansi dan pemahaman peserta akan

masalah yang dihadapi BPJS. Salah satu komponen penting dalam menjamin kepuasan

peserta adalah tugas BPJS untuk menerbitkan buku saku yang berisi hak dan kewajiban

peserta dan anggota keluarganya, tata cara memperoleh pelayanan, pelayanan yang

ditanggung/dijamin, dan jaminan yang tidak ditanggung, besaran urun biaya untuk berbagai

pelayanan, dll, Selain itu BPJS wajib menerbitkan revisi buku saku tersebut setiap terjadi

perubahan kebijakan iuran, paket pelayanan, maupun prosedur pelayanan dan

mencantumkan seluruh isi buku saku tersebut dalam website BPJS. Pengendalian mutu

pelayanan merupakan faktor yang juga tidak kalah pentingnya. Oleh karena itu BPJS wajib

mengembangkan sistem kendali mutu (quality assurance) di berbagai fasilitas yang

dikontrak di barbagai daerah. Seharusnyalah BPJS melakukan berbagai upaya untuk

menjamin bahwa setiap peserta akan mendapatkan pelayanan kesehatan dengan kualitas

terbaik menurut standar profesi dan kemampuan tenaga dan keuangan suatu daerah. 7.9.

Hak peserta Seperti dikemukakan diatas, BPJS wajib memberikan informasi yang rinci dan

jelas kepada seluruh peserta tentang hak-hak peserta. Hak terpenting peserta adalah hak

atas pelayanan. Idealnya, seperti tercantum dalam UU SJSN, manfaat yang diberikan

bersifat komprehensif dan diberikan di fasilitas kesehatan swasta atau fasilitas kesehatan

pemerintah yang mandiri (otonom) dimana birokrasi pemerintah yang tidak efisien tidak

mempengaruhi kinerja pelayanan. Namun dalam jangka pendek tentu tidak mungkin

mencapai hal itu, karena biaya yang mahal dan transformasi fasilitas kesehatan pemerintah

menjadi suatu badan otonom-yang dalam UU Perbendahaan Negara disebut Badan

Layanan Umum (BLU), belum memungkinkan. Untuk 10 tahun pertama masih dapat ditolerir

perbedaan AKN dalam SJSN 151 HThabrany manfaat non-medis antara peserta yang

iurannya dibayar oleh pemerintah (penduduk miskin dan tidak mampu) dan penduduk yang

membayar iuran penuh dari upahnya, ditarnbah iuran oleh majikannya. Fasilitas kesehatan

untuk penerima bantuan iuran (PBI) dapat digunakan hanya fasilitas kesehatan publik

seperti puskesmas dan rumah sakit publik (pemerintah) yang masih mendapat subsidi

pemerintah pusat maupun daerah. Dokter keluarga pada peri ode 10 tahun pertama akan

digunakan untuk melayani pegawai negeri dan pegawai swasta yang selarna ini sudah

mendapat jaminan pelayanan komprehensif. Untuk menjarnin pelayanan terstruktur dapat

terselenggara dengan memuaskan, fasilitas kesehatan yang dikontrak sebaiknya rumah

sakit yang memiliki dokter keluarga binaan dimana rumah sakit tersebut akan mendapatkan

rujukan. Rujukan dari dokter keluarga hams dikomunikasikan (pasien dikembalikan dengan

informasi pelayanan medis yang telah diberikan) oleh fasilitas kesehatan agar dokter

keluarga dapat mengikuti perkembangan penyakit pasien yang dirujuknya. Rujukan yang

kurang tepat hams diperbaiki agar tidak terulang kembali. Dokter keluarga ini akan menjadi

dokter primer yang berfungsi sebagai gatekeeper. Sejalan dengan konsep Indonesia Sehat,

dan paradigma pencegahan lebih baik dari pengobatan, maka BPJS harus memberikan

pelayanan pencegahan. Pelayanan kontrasespi dan konseling keluarga berencana

merupakan pelayanan pencegahan penting dalarn mengendalikan besarnya jumlah peserta

dalam jangka panjang. Untuk menurunkan angka kematian ibu dan kematian bayi, BPJS

harus mampu menyediakan Pelayanan ante natal lengkap, minimum 4 kali selarna

kehamilan dan pemeriksaan rutin setiap tiga bulan kepada ibu dan anaknya, sarnpai anak

mencapai usia lima tahun. BPJS harus mampu menjamin pemeriksaan medik rutin untuk

mendeteksi dini penyakit-penyakit kurang gizi dan penyakit infeksi kronis pada anak berusia

di bawah lima tahun. Program seperti ini akan jauh lebih cepat meningkatkan status

kesehatan yang selarna ini tidak cukup cepat meningkat. Angka kematian bayi dan ibu di Sri

Lanka dan Malaysia bisa jauh lebih rendah dari di Indonesia karena semua anak dan ibu

dapat menerima pelayanan tersebut secara gratis. Di Indonesia, seorang ibu yang bersalin

di puskesmas hams membayar tidak sedikit. Konon di Jakarta saat ini biaya persalinan di

puskemas dapat mencapai Rp 300.000. Dalarn kondisi seperti itu, tentu saja perempuan

miskin akan cendrung tidak ke puskesmas, tetapi ke dukun yang lebih murah atau tidak

sarna sekali. Kepada peserta yang relatif tua, pelayanan pencegahan dapat diberikan

dengan pemeriksaan medik berkala sederhana yang rinciannya ditetapkan DJSN tiap tiga

tahun sekali bagi peserta yang berusia 50 tahun atau lebih Banyak pihak yang mengkritisi

bahwa AKN hanya memberikan pelayanan kuratif dan tidak memberikan pelayanan preventif

kesehatan masyarakat. Hams disadari bahwa pelayanan kesehatan masyarakat seperti

penyuluhan masal, pembersihan lingkungan, dan penanganan polusi adalah tugas Dinas

Kesehatan yang hams didanai dari APBN/APBD. Meskipun demikian, pelayanan kuratif

pada hakikatnya juga memiliki nilai preventif untuk mencegah memberatnya kasus atau

kematian dini. Oleh karena itu, dalam AKN digariskan bahwa setiap peserta berhak atas

jaminan berupa pelayanan komprehensif. Meskipun ada peserta yang mungkin tidak

menggunakan haknya untuk kasus ringan seperti pilek dan alergi sederhana, mereka akan

menggunakan haknya dalarn pengobatan kasus-kasus rawat jalan mahal di rumah sakit dan

pelayanan perawatan di rumah sakit pemerintah atau swasta. AKN dalam SJSN 152

HThabrany Jaminan yang diberikan mencakup biaya pemeriksaan dokter keluarga dan

dokter spesialis, biaya perawatan, pemeriksaan penunjang, obat-obatan, bahan medis

lainnya sejauh secara medis diperlukan menurut standar profesi medis yang secara ilmiah

telah dibuktikan efektifitasnya. Ada juga yang mengkritik bahwa pelayanan hemodialisa dan

operasi jantung seharusnya tidak masuk dalam paket yang dijamin karena biayanya mahal.

Kritik ini sesungguhnya tidak tepat, karena pelayanan hemodialisa termasuk pelayanan

dasar medis, yang memungkinkan seseorang hidup dan berproduksi. Jika hemodialisa tidak

dijamin, maka peserta yang mengalami gagal ginjal total akan otomatis meninggal dunia

dalam dua minggu. Tentu hal ini tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan. Untuk pelayanan

kesehatan primer, untuk mencegah dan mengobati kasus-kasus yang tidak perlu ditangani

dokter spesialis, BPJS hams melakukan kontrak dengan dokter keluarga. Dokter keluarga

(termasuk dokter gigi) adalah dokter yang mendapat pelatihan khusus dan mendapat

sertifikasi dari organisasi profesi (seperti IDI dan PDGI) sebagai dokter yang berkonstrasi

pada pelayanan kepada suatu keluarga secara utuh. Akan sangat baik dan memungkinkan

dengan sistem AKN, dokter keluarga akan mendapat kontrak pelayanan dengan

pembayaran kapitasi. Untuk pelayanan rujukan, peserta dapat memilih pelayanan di klinik

spesialis atau di rumah sakit yang dikehendaki tetapi hams mendapatkan rujukan dari dokter

keluarga yang dipilihnya. Pembayaran kepada klinik spesialis dan rumah sakit dapat saja

masih berdasar jasa per pelayanan, akan tetapi dengan tarif yang diatur sarna di suatu

wilayah dan dapat mencakup obat-obatan sekaligus. Jadi klinik dan rumah sakit hams

bekerja sama dengan apotik untuk mengatur obat-obatan yang cost-effective, guna

menjamin pengendalian biaya dan pemberian pengobatan yang rasional. Secara rinci hal ini

harus diatur oleh BPJS. Hak perawatan peserta idealnya sarna untuk seluruh peserta, yang

di negara maju disebut sebagai semi-private room and board. Di Indonesia barangkali ruang

perawatan tersebut setara dengan ruang perawatan kelas II yang distandardisasi. Artinya,

BPJS menetapkan besar ruangan, jumlah tempat tidur, rasio TT terhadap dokter dan

perawat, serta standar pelayanan lainnya, terlepas dari status kepemilikan RS (pemerintah

atau swasta). Namun untuk pertama kali, karena variasi tingkat penghasilan, pendidikan,

dan status sosial, program AKN masih hams mentolerir perbedaan perawatan di rumah sakit

kelas III (tiga) untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) dan yang memiliki upah 200%

UMP. Misalnya, di Jakarta UMP tahun 2004 adalah Rp 720.000 per bulan, seorang pekerja

yang mendapatkan upah atau gaji sebesar sampai dengan Rp Rp 1.000.000 akan mendapat

perawatan di kelas III (baik RS publik maupun swasta). Karena upah Rp 1 jtua tersebut

dibawah 200% UMP yang besarannya adalah 200%x Rp 720.000 atau Rp 1.440.000. Tentu

BPJS hams mengembangkan standar perawatan kelas III yang dapat diterima. Pekerja

dengan gaji dibawah Rp 1 juta tersebut, tentu masih dapat menerima perawatan di kelas III.

Untuk pekerja yang bergaji lebih tinggi, misalnya diatas Rp 1.440.000 akan mendapat

perawatan di kelas II (dua). Peserta yang mempunyai upah > 500% UMP, misalnya, akan

mendapat perawatan di kelas I. Tetapi peserta yang ingin dirawat di kelas VIP hams

membayar sendirinya selisih biayanya atau selisih biaya tersebut dibayar oleh perusahaan

asuransi atau bapel JPKM swasta. Inilah prinsip koordinasi manfaat. AKN dalam SJSN 153

HThabrany Guna mengendalikan moral hazard, maka peserta diminta membayar urun biaya

sebagai rem yang telah digariskan dalam UU. Untuk setiap perawatan di rumah sakit

pemerintah atau swasta di kelas II keatas, peserta wajib membayar urun biaya sebesar 10%

dari biaya-biaya pemeriksaan dokter, perawatan, dan biaya pemeriksaan penunjang dan

urun biaya sebesar 20% dari biaya obat dan bahan habis pakai. Penerapan urun biaya bisa

menimbulkan beban berat bagi peserta, dan jika ini terjadi, tujuan SJSN tidak tercapai. Inilah

plus-minusnya asuransi. Oleh karena itu, pengenaan urun biaya hams mencapai angka

maksimum tertentu, misalnya sampai sebesar UMP. Apabila besaran urun biaya melampaui

UMP, maka peserta hanya membayar sebesar UMP di suatu wilayah. Ketentuan besaran

urun biaya ini hams tercantum dalam perjanjian kerja sarna antara BPJS dengan fasilitas

kesehatan dan peserta hams mendapat informasi tertulis dalam brosur atau website. Di

beberapa negara, urun biaya lebih besar dikenakan untuk pelayanan rawat jalan yang lebih

besar tingkat moral hazardnya ketimbang rawat inap. Bahkan di Filipina rawat jalan tidak

dijamin, alias peserta hams membayar urun biaya 100% dari biaya rawat jalan. Di Indonesia

kita bisa menggunakan sistem berbeda mengingat orang Indonesia cendrung maunya

berobat ke spesialis, meskipun sesungguhnya tidak perIu. Peserta sering minta dirujuk, ini

moral hazard namanya. Untuk menghindari hal tersebut maka setiap peserta dapat

diwajibkan membayar urun biaya sebesar 30% dari biaya obat rawat jalan spesialis dengan

biaya maksium sebesar UMP. 7.10. Pelayanan yang tidak ditanggung BPlS (eksklusi)

Jaminan kesehatan bertujuan untuk menjamin seseorang memenuhi kebutuhan medisnya

jika suatu penyakit atau kecelakaan terjadi yang sifatnya accidental, atau tidak dikehendaki.

Dengan demikian, pelayanan yang sifatnya keinginan dan bukan kebutuhan tidak dijamin

(eksklusi). Berbagai Pelayanan kesehatan yang bersifat kosmetik, baik berupa pemeriksaan,

pengobatan, maupun pembedahan tidak boleh dijamin. Selain itu pelayanan kesehatan yang

timbul atau yang merupakan akibat dari pemakaian obat terIarang (narkoba) dan

penggunaan minuman keras juga hams tidak dijamin. Jika dijamin, maka program AKN akan

menyubsidi prilaku yang tidak sehat dan ini akan merangsang prilaku yang buruk tersebut

terus berkembang. Penyakit kelamin atau penyakit yang terkait dengan prilaku tidak sehat

seperti gonore, HIV-AIDS juga seharusnya tidak dijamin. Dilema timbul pada penjaminan

HIV -AIDS, karena bayi dan ibu hamil bisa tekena padahal ia berprilaku baik. Akan tetapi

kalai secara umum dinyatakan kasus HIV-ADIS dijamin, maka mungkin dana AKN akan

banyak tersedot untuk pecandu narkotika dan pekerja seks komersial (baik perempuan, laki-

laki, maupun waria) yang sangat rawat terhadap AIDS. Maka penjaminan HIV-AIDS hams

dilakukan kasus per kasus. Disinilah perIunya ada Komite Pelayanan yang memberikan

penilaian secara rutin akan berhak-tidaknya sesorang terhadap pelayanan tertentu.

Pengguguran dan komplikasi dari pengguguran kandungan, kecuali upaya pengguguran

kehamilan dalam rangka menyelamatkan nyawa seorang ibu, juga sebaiknya tidak dijamin.

Terakhir, Pelayanan kesehatan yang timbul akibat upaya bunuh diri juga tidak perIu dijamin.

AKN dalam SJSN 154 HThabrany 7.11. Fasilitas Kesehatan Yang dimaksud dengan fasilitas

kesehatan adalah dokter keluarga, dokter spesialis, klinik praktek bersama, klinik 24 jam,

rumah bersalin, RS pemerintah, RS swasta, Apotik, Laboratorium klinik, laboratorium

radiologi, dan fasilitas lain yang akan ditetapkan oleh DJSN. Untuk menjamin bahwa setiap

peserta dan anggota keluarganya yang berhak menerima manfaat AKN menerima

pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, pelayanan harus diberikan oleh fasilitas

kesehatan yang diseleksi dan diterima oleh BPJS. Proses seleksi dan penerimaan untuk

dikontrak sebagai fasilitas kesehatan ini dikenal dengan istilah kredensialing (credentialing).

Puskesmas dan ruang perawatan kelas III RS pemerintah yang memberikan pelayanan

dengan tarif subsidi untuk sementara tidak dimasukan dalam kelompok fasilitas kesehatan

dalam BPJS karena fasilitas tersebut akan diarahkan untuk memberikan pelayanan kepada

penduduk yang belum terdaftar pada BPJS, sampai seluruh penduduk menjadi peserta

BPJS. BPJS membayar fasilitas kesehatan dengan tarifprospektif yang diarahkan pada

tarifpaket seperti kapitasi, tarifpaket rawatjalan, paket prosedur, paket per hari rawat, atau

paket per kelompok diagnosis (DRG). Sistem pembayaran kepada fasilitas kesehatan

dibahas dan disepekati dalam suatu musyawarah antara Kantor Cabang BPJS, Dinas

Kesehatan setempat, dan asosiasi profesi atau fasilitas kesehatan setempat. Besarnya

biaya pengobatan dan perawatan yang ditanggung oleh AKN ditetapkan bersama oleh Dinas

Kesehatan dan Asosiasi Fasilitas kesehatan setempat dengan mempertimbangkan

pemenuhan biaya produksi operasional fasilitas kesehatan dan total perkiraan biaya

pelayanan untuk seluruh peserta untuk satu tahun tidak melebihi 80% iuran setahun yang

terkumpul di suatu kotalkabupaten. Batasan 80% ini digunakan untuk memberikan ruang

ketersediaan dana cadangan (5%), dana untuk rujukan ke fasilitas kesehatan di provinsi

atau di ibu kota (10%) dan biaya operasional sebesar 5%. Fasilitas kesehatan yang

dikontrak mempunyai hak dan kewajiban atau tugas tertentu. Tugas pokok fasilitas

kesehatan adalah sebagai berikut: 1) Memberikan pelayanan kesehatan, termasuk promotif

preventif terhadap pasien, sesuai dengan kebutuhan medis peserta. 2) Memeriksa

kelayakan pengobatan peserta pada tingkat institusi. Pasien rujukan yang tidak memerlukan

perawatan tidak diperkenankan dirawat inap. 3) Mematuhi aturan manajemen utilisasi dan

manajemen mutu yang dikembangkan oleh BPJS sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi.

4) Mengisi basis data laporan utilisasi dan menyerahkan disket laporan atau

mengirimkannya melalui email ke Pusat Informasi BPJS setiap tanggal 10 untuk utilisasi

bulan sebelumnya. 5) Melakukan pembinaan dan jika mungkin memberikan kesempatan

kepada dokter primer untuk berinteraksi aktif dengan dokter spesialis yang merawat seorang

peserta dalam rangka memantau derajat kesehatan peserta yang menjadi tanggungannya.

6) Merujuk ke Dinas KesehatanIDinas Sosial setiap orang sakit yang belum menjadi peserta

tetapi tidak mampu membayar biaya perawatan/pengobatan yang dibutuhkannya untuk

menjadi peserta PBI. AKN dalam SJSN 155 HThabrany Tidak ada kewajiban tanpa hak dan

sebaliknya, maka fasilitas kesehatan mempunyai hak untuk: 1) Dilibatkan dalam melakukan

kontrak dengan BPJS apabila fasilitas kesehatan setuju dengan tarif yang telah ditetapkan

bersama BPJS daerah dengan asosiasi fasilitas kesehatan dan setuju dengan persyaratan

lain seperti manajemen mutu dan manajemen utilisasi. 2) Menerima pembayaran tepat

waktu sesuai dengan tarif prospektif yang disepakati dan mendapatkan pembayaran paling

lambat 15 hari setelah klaim (dalam hal pembayaran memerlukan klaim atau tagihan seperti

pada pembayaran sistem DRG), sesuai dengan ketetapan UU. 3) Secara bersama-sama

dalam suatu propinsi, fasilitas kesehatan berhak mengajukan permohonan peninjauan tarif

atau cara pembayaran dan kemudian bemegosiasi dengan difasilitasi oleh Dinas Kesehatan

setempet. 4) Mengatur cara pembayaran dokter spesialis yang bertugas atau berpraktek di

fasilitas kesehatan tersebut. 5) Mengambil keputusan medis atas peserta yang dirawat

sesuai dengan standar pelayanan medis yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi terkait

yang tertinggi, yang dapat diberikan di fasilitas kesehatan tersebut. 6) Dapat ikut serta dalam

pembahasan iuran oleh komite aktuaria, penetapan tarif dan penyelesaian perselisihan. 7)

Mendapatkan informasi tentang kinerja BPJS, peraturan-peraturan operasional yang terkait

dengan pelayanan dan informasi tentang data demografik peserta. 7.12. Penegakan hukum

Badan penyelenggara bersama Pemeriksa dari Departemen Terkait hams diberikan

kewenangan untuk melakukan inspeksi kepada pemberi kerja dan melaporkan setiap

pelanggaran pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya membayar iuran atau

melaporkan besaran iuran yang tidak sesuai dengan ketentutan UU. Kewenangan resmi

berada di Departemen, namun demikian secara praktis BPJS dapat dilibatkan untuk

bersama-sama melakukan inspeksi. Pemberi kerja yang terlambat membayarkan iurannya

dikenakan denda dari jumlah iuran yang hams dibayarkan untuk tiap bulan keterlambatan.

Pembayaran iuran dalam hitungan hari dikenakan denda rata-rata harian atas dasar

besarnya denda bulanan. Pemberi Kerja yang terlambat membayar iuran berturut-turut lebih

dari tiga kali dalam setahun juga hams dikenakan denda tambahan. Pemberi Kerja yang

tidak memenuhi kewajiban membayarkan iuran pada waktu yang itetapkan atau

membayarkan iuran tidak sesuai dengan peraturan perundangan dikenakan denda. Agar

permainan berlangsung seimbang, apabila terjadi kelalaian pada pihak BPJS, maka pihak

BPJS wajib membayar ganti rugi kepada pihak perusahaan yang lebih besar dari denda

yang dikenakan kepada pemberi kerja. AKN dalam SJSN 156 HThabrany 7.13.

Penyelenggaraan AKN Pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi Pada tanggal 1 Februari

2005, tiga pemohon masing-masing Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Timur,

Satuan Pelaksana Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (selanjutnya disebut

sebagai SATPEL JPKM) , dan Perhimpunan Badan Penyelenggara Jaminan Pemeliharaan

Kesehatan Masyarakat (selanjutnya disebut sebagai PERBAPEL JPKM) mengajukan

gugatan (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU SJSN. Para pemohon

menilai bahwa Pasal 5 ayat (I), ayat (2), (3) dan ayat (4) dan Pasal 52 tidak sesuai dengan

UUD45, bersifat monopolistis, tidak adil/selaras dengan UU Otonomi Daerah. Oleh

karenanya, ketiga pemohon meminta MK untuk membatalkan pasal dan ayat tersebut dalam

UU SJSN. Pasal 5 UU SJSN menyebutkan bahwa Pasal 5 ayat (I) yang berbunyi "Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial hams dibentuk dengan undang-undang". Sedangkan Pasal 5

ayat (2) yang berbunyi "Sejak berlakunya undang-undang ini,badan penyelenggara jaminan

so sial yang ada dinyatakan sebagaiBadan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut undang-

undang ini". Sementara Pasal 5 ayat (3), yang berbunyi "Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (I) adalah: a. Perusahaan Perseroan (persero)

Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK); b. Perusahaan Perseroan (persero) Dana

Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN); c. Perusahaan Perseroan (Persero)

Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); d. Perusahaan

Perseroan (persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES)" Pasal5 ayat (4) berbunyi

"Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud pada ayat (3),

dapat dibentuk yang baru dengan undang-undang". Keputusan MK tentang Permohonan

Pada hal 237 Keputusan MK berbunyi "Menimbang, dengan pertimbangan pertimbangan

sebagaimana diuraikan di atas, terlepas dari terbukti-tidaknya daliI-daliI Pemohon dalam

pemeriksaan terhadap materi permohonan a quo, telah jelas bagi Mahkamah bahwa

Pemohon I cukup memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UUMK

sehingga memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon

dalam permohonan a quo;" Pada hal 239 keputusan MK berbunyi "Menimbang, berdasarkan

uraian di atas, tampak nyata bahwa Pemohon II tidak memenuhi persyaratan sebagaimana

dimaksud Pasal 51 ayat (1) UUMK serta syarat kerugian konstitusional yang telah menjadi

pendirian Mahkamah sebagaimana telah diuraikan di atas, sehingga Mahkamah AKN dalam

SJSN 157 HThabrany berpendapat bahwa Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum

(legal standing) dalam permohonan a quo;" Pada hal 240 keputusan MK berbunyi "Oleh

karena itu, Mahkamah berpendapat, Pemohon III baik sebagai perorangan warga negara

Indonesia maupun atas nama PERBAPEL JPKM, tidak memenuhi persyaratan sebagaimana

dimaksud Pasal 51 ayat (1) UUMK sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kedudukan

hukum (legal standing) dalam permohonan a quo;" Terhadap Isi gugatan, Keputusan MK

menyatakan (Hal 263-272) ". bahwa berdasarkan uraian di atas dan sete1ah membaca

se1uruh Penje1asan undang-undang a quo, Mahkamah berpendapat, sepanjang

menyangkut sistem jaminan sosial yang dipilih, UU SJSN telah cukup memenuhi maksud

Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, yakni bahwa sistem yang dipilih itu mencakup se1uruh rakyat

dengan maksud untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang 1emah dan tidak

mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan; • bahwa oleh karena sistem jaminan sosia1

yang dipilih, menurut pendapat Mahkamah, te1ah memenuhi maksud Pasa1 34 ayat (2)

UUD 1945, maka berarti UU SJSN dengan sendirinya juga merupakan penegasan

kewajiban negara terhadap hak atas jaminan so sial sebagai bagian dari hak asasi manusia,

sebagaimana dimaksud Pasa1 28H ayat (3) UUD 1945, yang mewajibkan negara untuk

menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan menjamin pemenuhannya (to fulfil);

Menimbang, kendati Mahkamah berpendapat bahwa, sepanjang menyangkut sistem yang

dipilih, UU SJSN te1ah memenuhi ketentuan Pasa1 34 ayat (2) UUD 1945, Mahkamah

masih perlu mempertimbangkan 1ebih 1anjut apakah undang-undang a quo te1ah tepat

da1am mengimp1ementasikan pengertian "Negara" da1am Pasa1 34 ayat (2) UUD 1945.

Terhadap pertanyaan tersebut, Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut: •

bahwa, secara historis, cita negara yang tertuang da1am alinea keempat Pembukaan UUD

1945, tidak terlepas dari arus utama (mainstream) pemikiran yang berkembang pada saat

UUD 1945 disusun, yakni pemikiran yang dikena1 sebagai paham negara kesejahteraan

(welfare state atau welvaart staat), yang mewajibkan negara bertanggungjawab da1am

urusan kesejahteraan rakyatnya, yang antara lain di da1amnya termasuk fungsi negara

untuk mengembangkan jaminan sosia1 (social security) bagi rakyatnya; AKN dalam SJSN

158 HThabrany • bahwa paham negara kesejahteraan dimaksud tercermin pula dalam judul

Bab XIV UUD 1945 yang berbunyi "KESEJAHTERAAN SO SIAL" yang dengan Perubahan

Keempat menjadi "PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SO SIAL" .

Kemudian, dalam pandangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai lembaga

yang berwenang membuat dan mengubah undang-undang dasar, fungsi negara untuk

mengembangkan jaminan sosial dimaksud bukan hanya dipandang masih tetap re1evan

melainkan justru dipertegas guna mewujudkan cita-cita kesejahteraan umum sebagaimana

dimaksud oleh Pembukaan UUD 1945 alinea keempat; hal mana temyata dari

ditambahkannya tiga ayat ke dalam Pasal 34 UUD 1945 pada saat MPR melakukan

perubahan terhadap UUD 1945 untuk kali keempat; • bahwa, dengan demikian, terminologi

"negara" dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, dalam hubungannya dengan paham negara

kesejahteraan, sesungguhnya lebih menunjuk kepada pelaksanaan fungsi pelayanan sosial

negara bagi rakyat atau warga negaranya. Sehingga, fungsi tersebut merupakan bagian dari

fungsi-fungsi pemegang kekuasaan pemerintahan negara menurut UUD 1945. Agar fungsi

dimaksud dapat berjalan, maka pemegang kekuasaan pemerintahan negara membutuhkan

wewenang; • bahwa, menurut UUD 1945, kekuasaan pemerintahan negara dilaksanakan

oleh Pemerintah (Pusat) dan Pemerintahan Daerah, sehingga pada Pemerintahan Daerah

pun melekat pula fungsi pelayanan sosial dimaksud. Dengan demikian, Pemerintahan

Daerah juga memiliki wewenang guna melaksanakan fungsi dimaksud. Hal itu sebagai

konsekuensi logis dari dianutnya ajaran otonomi, sebagaimana diatur terutama dalam Pasal

18 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, "Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten,

dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan

tugas pembantuan", sementara pada ayat (5)-nya ditegaskan bahwa otonomi yang

dimaksud adalah otonomi yang seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh

undangundang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat; • bahwa Pemerintahan Daerah

juga memiliki wewenang dalam rangka pelaksanaan fungsi pelayanan sosial negara lebih

jauh telah dituangkan dalam UU Pemda, sebagaimana terutama temyata dari bunyi Pasal 22

huruf h UU Pemda yang bahkan secara tegas menyebutkan bahwa pengembangan sistem

jaminan sosial merupakan kewajiban daerah. Sementara itu, menurut Pasal 167 ayat (1) dan

(2) UU Pemda, pengembangan sistem jaminan sosial dimasukkan sebagai bidang yang

anggarannya hams diprioritaskan sebagai bagian dari upaya perlindungan dan peningkatan

kualitas kehidupan masyarakat dalam AKN dalam SJSN 159 HThabrany rangka pemenuhan

kewajiban daerah sebagaimana dimaksud Pasal 22 hurufh UU Pemda; Menimbang bahwa,

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, meskipun Mahkamah berpendapat bahwa

UU SJSN telah cukup memenuhi maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, dalam arti bahwa

sistem jaminan sosial yang dipilih UU SJSN telah cukup menjabarkan maksud Undang-

Undang Dasar yang menghendaki agar sistem jaminan sosial yang dikembangkan

mencakup seluruh rakyat dan bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang

lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, namun Mahkamah tidak

sependapat dengan pendirian Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat yang

menyatakan bahwa kewenangan untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial tersebut

secara eksklusif merupakan kewenangan Pemerintah (Pusat), sebagaimana tercermin dari

ketentuan dalam Pasal 5, khususnya ayat (4), UU SJSN. Sebab, jika diartikan demikian, hal

itu akan bertentangan dengan makna pengertian negara yang di dalamnya mencakup

Pemerintah (pusat) maupun Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18

ayat (5) UUD 1945, yang kemudian dijabarkan dalam UU Pemda. Atas dasar Pasal 22 huruf

h UU Pemda, Pemerintahan Daerah mempunyai kewajiban untuk mengembangkan sistem

jaminan sosial. Namun, Mahkamah juga tidak sependapat dengan Pemohon yang

mendaliIkan kewenangan untuk mengembangkan sistem jaminan sosial secara eksklusif

merupakan kewenangan Daerah dengan argumentasi bahwa sesuai dengan ajaran otonomi

yang seluas-luasnya, yang menurut Pemohon sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945

sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam UU Pemda khususnya Pasal 22 dan Pasal167

ayat (1) dan (2), maka sepanjang suatu urusan oleh undang-undang tidak ditentukan

sebagai urusan atau kewenangan Pemerintah (Pusat), maka hal itu merupakan urusan atau

kewenangan Daerah. Mahkamah tidak sependapat dengan daliI Pemohon tersebut, sebab

jika jalan pikiran demikian diikuti, maka di satu pihak, besar kemungkinan terjadi keadaan di

mana hanya daerah-daerah tertentu saja yang mampu menyelenggarakan sistem jaminan

sosial dan itu pun tidak menjamin bahwa jaminan sosial yang diberikan tersebut cukup

memenuhi standar kebutuhan hidup yang layak antara daerah yang satu dengan daerah

yang lain, serta di lain pihak, jika karena alasan tertentu seseorang terpaksa hams pindah ke

lain daerah, tidak terdapat jaminan akan kelanjutan penikmatan hak atas jaminan sosial

orang yang bersangkutan setelah berada di daerah lain. Keadaan demikian akan

bertentangan dengan maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 yang menghendaki hak atas

jaminan sosial itu hams dapat dinikmati oleh setiap orang atau seluruh rakyat; AKN dalam

SJSN 160 HThabrany Menimbang, sejalan dengan pendapat Mahkamah bahwa

pengembangan sistem jaminan sosial adalah bagian dari pelaksanaan fungsi pelayanan

sosial negara yang kewenangan untuk menyelenggarakannya berada di tangan pemegang

kekuasaan pemerintahan negara, di mana kewajiban pelaksanaan sistem jaminan so sial

tersebut, sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 sebagaimana dijabarkan lebih lanjut

dalam UU Pemda khususnya Pasal 22 huruf h, bukan hanya menjadi kewenangan

Pemerintah Pusat tetapi dapat juga menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah, maka UU

SJSN tidak boleh menutup peluang Pemerintahan Daerah untuk ikut juga mengembangkan

sistem jaminan sosial. Tertutupnya peluang Pemerintahan Daerah untuk ikut

mengembangkan sistem jaminan so sial dikarenakan adanya ketentuan dalam Pasal 5 UU

SJSN yang berbunyi: (1) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan

undangundang; (2) Sejak berlakunya undang-undang ini, badan penyelenggara

jaminansosial yang ada dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara JaminanSosial menurut

undang-undang ini; (3) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) adalah: a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja

(JAMSOSTEK); b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai

Negeri (TASPEN); c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata

Republik Indonesia (ASABRI); d. Perusahaan Perseroan (persero) Asuransi Kesehatan

Indonesia (ASKES); (4) Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain

dimaksud pada ayat (3), dapat dibentuk yang baru dengan undangundang ". Menimbang,

dengan membaca dan memahami secara seksama seluruh ketentuan dalam Pasal 5 UU

SJSN di atas, tampak bahwa, di satu pihak, perumusan Pasal 5 di atas menutup peluang

Pemerintahan Daerah untuk ikut mengembangkan suatu sub-sistem jaminan sosial dalam

kerangka sistem jaminan sosial nasional sesuai dengan kewenangan yang diturunkan dari

ketentuan Pasal18 ayat (2) dan (5) UUD 1945. Di pihak lain, dalam ketentuan Pasal 5 itu

sendiri terdapat rumusan yang saling bertentangan serta sangat berpeluang menimbulkan

multi-interpretasi yang bermuara pada ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) yang oleh

karena itu bertentangan dengan Pasa128D ayat (1) UUD 1945. AKN dalam SJSN 161

HThabrany Dikatakan menutup peluang Pemerintahan Daerah oleh karena dengan adanya

Pasal 5 ayat (4) dan kaitannya dengan Pasal 5 ayat (I) UU SJSN tidak memungkinkan bagi

Pemerintahan Daerah untuk membentuk badan penyelenggara jaminan sosial tingkat

daerah. Padahal, sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan di atas, Pemerintahan

Daerah justru diwajibkan untuk mengembangkan sistem jaminan sosial. Oleh karena itu,

Pasal 5 ayat (I) UU SJSN hams ditafsirkan bahwa ketentuan tersebut adalah dimaksudkan

untuk pembentukan badan penyelenggara tingkat nasional yang berada di pusat, sedangkan

untuk pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah dapat dibentuk

dengan peraturan daerah dengan memenuhi ketentuan tentang sistem jaminan sosial

nasional sebagaimana diatur dalam UU SJSN; Sementara itu, dikatakan terdapat rumusan

yang saling bertentangan serta berpeluang menimbulkan ketidakpastian hukum

(rechtsonzekerheid) karena pada ayat (I) dinyatakan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial hams dibentuk dengan undang-undang, sementara pada ayat (3) dikatakan bahwa

Persero JAMSOSTEK, Persero TASPEN, Persero ASABRI, dan Persero ASKES adalah

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal tidak

semua badan-badan tersebut dibentuk dengan undangundang. Seandainya pembentuk

undang-undang bermaksud menyatakan bahwa selama belum terbentuknya Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan-badan

sebagaimana disebutkan pada ayat (3) di atas diberi hak untuk bertindak sebagai badan

penyelenggara jaminan sosial, maka hal itu sudah cukup tertampung dalam Ketentuan

Peralihan pada Pasal 52 UU SJSN. Atau, jika dengan rumusan dalam Pasal 5 ayat (1) UU

SJSN di atas pembentuk undangundang bermaksud menyatakan bahwa badan

penyelenggara jaminan sosial hams memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam

undangundang yang maksudnya adalah UU SJSN a quo - maka penggunaan kata "dengan"

dalam ayat (1) tersebut tidak memungkinkan untuk diberi tafsir demikian. Karena makna

frasa "dengan undang-undang" berbeda dengan frasa "dalam undang-undang". Frasa

"dengan undang-undang" menunjuk pada pengertian bahwa pembentukan setiap badan

penyelenggara jaminan sosial hams dengan undang undang, sedangkan frasa "dalam

undang-undang" menunjuk pada pengertian bahwa pembentukan badan penyelenggara

jaminan sosial hams memenuhi ketentuan undang-undang. Ketentuan dalam Pasal 5 ayat

(4), makin memperkuat kesimpulan bahwa pembentuk undang undang memang bermaksud

menyatakan, badan penyelenggara jaminan sosial hams dibentuk dengan undang-undang

tersendiri. AKN dalam SJSN 162 HThabrany Kemungkinan tafsir lainnya adalah, dengan

rumusan dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU SJSN di atas, maka tidak ada lagi kebutuhan

untuk memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (I), sebab badan-badan sebagaimana yang disebut

pada ayat (2) dan (3) itulah yang dimaksud oleh ayat (I) dan pada saat yang sarna

sesungguhnya tidak ada kebutuhan bagi adanya rumusan sebagaimana tertuang dalam ayat

(4). Oleh karena itu, dengan menghubungkan ketentuan ayat (I), (2), (3), dan (4) dari Pasal 5

UU SJSN tersebut, maka tidak dapat ditarik kesimpulan lain kecuali bahwa memang

kehendak pembentuk undang-undang untuk menyatakan bahwa JAMSOSTEK, TASPEN,

ASABRI, dan ASKES sajalah yang merupakan badan penyelenggara jaminan sosial

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta tidak mungkin lagi membentuk badan

penyelenggara jaminan sosial lain di luar itu. Kesimpulan demikian juga tercermin dari

keterangan Pemerintah, keterangan DPR, maupun keterangan para Ahli yang diajukan

Pemerintah sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Menimbang, oleh karena di satu

pihak, telah temyata bahwa Pasal 5 ayat (I), (2), (3), dan (4) UU SJSN saling berkait yang

sebagai akibatnya daerah menjadi tidak mempunyai peluang untuk mengembangkan sistem

jarninan sosial dan membentuk badan penyelenggara sosial, sementara di pihak lain

keberadaan undang undang yang mengatur tentang pembentukan badan penyelenggara

jaminan sosial nasional di tingkat pusat merupakan kebutuhan, maka Pasal 5 ayat (1) UU

SJSN cukup memenuhi kebutuhan dimaksud dan tidak bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar sepanjang ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) UU SJSN tersebut ditafsirkan

semata-mata dalam rangka pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial nasional di

tingkat pus at. Menimbang bahwa, berdasarkan uraian-uraian dalam pertimbangan di atas,

sebagian daliI Pemohon yang menyangkut tertutupnya peluang Pemerintahan Daerah untuk

ikut mengembangkan suatu sistem jaminan sosial berdasarkan kewenangan yang

diturunkan dari Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945, sebagaimana telah dijabarkan lebih

lanjut khususnya dalam Pasal 22 huruf h UU Pemda, cukup beralasan, Sedangkan,

terhadap Pasal 52 UU SJSN yang juga dimohonkan pengujian oleh Pemohon, Mahkamah

berpendapat bahwa ketentuan Pasal 52 UU SJSN tersebut justru dibutuhkan untuk mengisi

kekosongan hukum (rechtsvacuum) dan menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid)

karena belum adanya badan penyelenggara jaminan sosial yang memenuhi persyaratan

agar UU SJSN dapat dilaksanakan. Dengan demikian permohonan Pemohon sepanjang

menyangkut Pasal52 UU SJSN, tidak cukup beralasan. AKN dalam SJSN 163 HThabrany

Menimbang bahwa, berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah

berpendapat permohonan Pemohon dapat dikabulkan untuk sebagian yaitu: • Pasal 5 ayat

(3), yang berbunyi "Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) adalah: a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja

(JAMSOSTEK); b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai

Negeri (TASPEN); c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata

Republik Indonesia (ASABRl); d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan

Indonesia (ASKES)" karena materi yang terkandung di dalamnya telah tertampung dalam

Pasal 52 yang apabila dipertahankan keberadaannya akan menimbulkan multitafsir dan

ketidakpastian hukum. • Pasal 5 ayat (2) yang berbunyi "Sejak berlakunya undang-undang

ini badan penyelenggara jaminan sosial yang ada dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial menurut undang-undang ini" karena walaupun tidak dimohonkan dalam

petitum namun ayat ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari ayat (3)

sehingga jika dipertahankan juga akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum

sebagaimana Pasal5 ayat (3). • Pasal 5 ayat (4) yang berbunyi "Dalam hal diperlukan Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud pada ayat (3), dapat dibentuk yang baru

dengan undang-undang" karena ternyata menutup peluang bagi Pemerintahan Daerah

untuk membentuk dan mengembangkan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah

dalam kerangka sistem jaminan sosial nasional. Sedangkan Pasal5 ayat (1) yang berbunyi

"Bad an Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan undang-undang"

tidakbertentangan dengan UUD 1945 asalkan ditafsirkan bahwa yang dimaksud oleh

ketentuan tersebut adalah pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat

nasional yang berada di Pusat. Dengan demikian permohonan Pemohon sepanjang

mengenai Pasal5 ayat (1), sebagaimana halnya Pasal52 UU SJSN, juga tidak cukup

beralasan. Mengingat Pasal 56 ayat (2) dan (5) serta Pasal 57 ayat (I) dan (3) Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; AKN

dalam SJSN 164 HThabrany MENGADILI Mengabulkan permohonan Pemohon untuk

sebagian; Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4456) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945; Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor

40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4456) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Menolak permohonan Pemohon

selebihnya; Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana

mestinya; Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan hakim yang dihadiri oleh 9

(sembilan) Hakim Konstitusi pada hari Kamis, 18 Agustus 2005, dan diucapkan dalam

Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini Rabu, 31

Agustus 2005" ARTI KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Keputusan MK tersebut pada

hakikatnya menetapkan bahwa keempat BPJS, A SABRI, ASKES, Jamsostek, dan Taspen

tetap berlaku untuk program jaminan sosial tingkat nasional (hal 270). Namun demikian,

apabila pemda berminat membentuk dan mengembangkan badan penyelenggara tingkat

daerah, tetapi bukan eksklusif hanya badan daerah itu saja yang beroperasi (hal 265), maka

pemda dapat membentuk badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah. Artinya, di

tiap daerah yang berminat mendirikan badan penyelenggara, dengan Perda, maka badan

tersebut perlu berkoordinasi dengan BPJS tingkat nasional/pusat. Pengaturan lebih lanjut

tentang peran badan penyelenggara daerah dapat diatur dalam Peraturan Pemerintah. AKN

dalam SJSN 165 HThabrany

top related