aspek etik dan hukum kedokteran*)
Post on 01-Oct-2021
14 Views
Preview:
TRANSCRIPT
,
•
350 •
•
ASPEK ETIK DAN HUKUM KEDOKTERAN*)
_______ Oleh : H. Abdullah Cholil ______ -'-·
PENDAHULUAN :
"Imhotep dari Mesir, Hipocrates dari Yunani, Galenus dari Roma merupakan beberapa ahli pelopor kedokteran kuno yang telah meletakkan sendi-sendi permulaan untuk terbinanya suatu tradisi kedokteran yang mulia. Beserta semua tokoh dan orgal\isasi kedokteran yang tampil ke forum intemasional kemudian mereka bermaksud mendasarkan tradisi dan disiplin ke'dokteran terse but atas suatu etik pro fesional. Etik tersebut sepanjang masa mengutamakan penderita yang berobat demi keselamatan da·, kepentingannya".
Mukadimah KODEKI.
Kertas kerja ini dibuat dengan tujuan untuk membahas aspek etik kedokteran yang harus diperhatikan dalam
• rangka mengem bangkan hukum ke-dokteran di Indonesia, khususnya demi pembinaan, pemeliharaan dan pelayanan kedokteran yang sebaik-baiknya bagi masyarakat. Karena itu maka titik berat sorotan pembahasan dalam kertas kerja ini adalah dari kepentingan kehidupan masyarakat profesi kedokteran di Indonesia dalam rangka mengusahakan pe~'
kembangan keprofesiarr- yang positif di masa depan. Kehidupan ke profesian ' kedokteran yang positif akan berarti juga pelayanan, pemeliharaan'dan pembinaan kesehatan masyarakat bangsa Indonesia yang lebih baik .
Kertas kerja ini disusun berdasarkan penelaahan situasi kehidupan profesi
• kedokteran yang dirasakan oleh sebagi-an besar para dokter di Indonesia, khususnya dalam hubungan dengan dirasakan perlunya ada kepastian hukum dalam pengamalan profesi. Sistimatika kertas kerja ini disusun se bagai beriku t :
I. Pendahuluan II. Permasalahan III. Pembahasan IV. Kesimpulan dan Saran. . .
PERMASALAHAN:
Kalau kita simak bersama situasi masyarakat profesi kedokteran di Indonesia pada waktu terakhir ini, maka kita akan sependapat bahwa telah timbul adanya keresahan di kalangan para dokter mengenai perlindungan hukum terhadap pendalaman profesi. Khususnya setelah munculnya kasus dr. S. di Patio Dirasakan oleh sebagian besar ·para dokter di Indonesia pada waktu itu adanya kepincangan dalam perlindungan hukum terhadap pengamalan profesi. Memang masalah kasus Pati ini sempat mendapat sorotan yang tajam dan paling berbeda dari pelbagai kelompok masyarakat. Yang paling dirasakan tidak masuk akal bagi masyarakat profesi kedokteran ialah se-
• , Disajikan pada Simposium Hukum Kedokteran (Medical Law) BPHN-IDI, 6-7 Juni 1983.
•
•
•
,
• .
. Etik dan hukum kedokteran
orang dokter wanita di tempat yang jauh dari fasilitas kesehatan yang lengkap telah berusaha dengan bersungguhsungguh dan maksimal mengatasi keadaan kritis pasiennya sebagai akibat reaksi anephilatic-shock tetapi akhirnya gagal, ternyata dinyatakan bersalah menurut hukum.
Dalam hal pengamalan profesi, khususnya segal a akibat dari transaksi theurapeutis dokter dengan pasien, masyarakat kedokteran mempunyai etik profesional sebagai panduan. Di Indonesia etik profesional ini telah dikukuhkan oleh Musyawarah Nasional Etik Kedokteran berupa Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). ,
Di dalamnya telah dicantumkan 4 BAB terdiri dari 18 pasal serta dijelaskan masing-masing pasal secara lebih terperinci. Adanya KODEKI serta tersedianya aparat pengatur dan pembina etik dalarn organisasi profesi (MKEK) maupun Depkes (P3EK) dipandang oleh masyarakat profesi kedokteran di Indonesia sebagai telah cukup untuk mengatasi pelbagai akibat yang timbul dalarn hal hubungan dokter dan pa-
• Slen.
Namun dalarn kenyataartnya ternyata masih bisa timbul kasus Pati dengan segala akibat sampingannya. Seorang dokter yang tidak ada pelanggaran etik sarna sekali dinyatakan bersalah melanggar hukum. Akibat sampingan dari kasus Pati tersebut berupa keresahan dari kalangan dokter pasti juga akan mempengaruhi pelayanan kedokteran bagi masyarakat. Bisa berupa pelayanan substandard (pelayanan di bawah mutu yang seharusnya) ataupun mungkin pelayanan overstandard (pelayanan berlebih-Iebih an dari yang diperlukan). Kedua-dua-
- - -- - ---
nya tidak menguntungkan dan malah-- -
an merugikan bagi masyarakat. Karena itu sudah dirasakan perlu adanya hu-
,
•
351
kum formal yaitu hukum kedokteran yang marnpu memberlkan jaminan perlindungan hukum bagi pengamalan profesi kedokteran &. s~ping juga jaminan hukum bagi masyatakat yang menerima pelayanan kedokteran. Hukum fOIIllal ini semakin dirasakan karena memang sebagai akibat kemajuan pembangunan Indonesia, maka
•
masalah yang menyangkut pengamalan profesi kedokteran juga tidak sederhana lagi tapi makin kompleks sifatnya. Begitu pula kesadaran hukum masyarakat yang makin tinggi yang cenderung akan mencari penyelesaian formaldalam setiap masalah yang tirnbul dalam kehidupannya. Melihat kecenderungan seperti itu m~a di masa dekat ini secara mutlak ' hukum kedokteran sudah diperlukan adanya di Indonesia. Hukum kedokteran yang akan dikembangkan dan yang marnpu memberikan kepastian akan ' jaminan hukum bagi pemberi pelayanan kedokteran dan penerirnanya haruslah dengan demikian memperhatikan etik profesional . . Etik kedokteran mempunyiri ba-
• •
nyak aspek yang masing-masing ber-kaitan erat karen a saling menunjang dlllam menjamin tercapainya tujuan dan fungsi etik profesional tersebut. Kesemuanya demikehidupan dunia profesi kedokteran yang mantap. Kemantapan mana adalah sangat penting bagi pelayanan kedokteran untuk masyarakat yang sebaik-baiknya.
PEMBAHASAN :
Sebagairnana dikutip di bagian awal kertas kerja ini dari Mukadirnah KODEKI maka adanya etik profesional dalam dunia kedokteran sejak dulu dan sepanjang masa adalah untuk mengutamakan kepentingan dan leselamatan penderita yang berobat. Disamping tujuan tersebut di atas, maka etik profesional juga mengan-
. Juri 1984 •
'.
, ,
• • ,
. •
, ,
352
dung maksud menjamin bahwa penga~ malan profesi kedokteran dilakukan harus senantiasa dengan niat yang luhur dan dengan eara yang benar. Tujuan Jain dari etik profesional tersebut juga memberikan perlindungan ,
dan penjagaan terhadap citra profesi dokter karen a citra ini ikut menentukan keberhasilan suatu upaya pengobatan kepada penderita. Selanjutnya suatu etik profesional juga selalu bertujuan untuk memelihara adanya pelestarian dari profesi itu sendiri. Hal . ini merupakan manifestasi salah satu dari eiri Keprofesian adalah adanya mekanisme "self organizing, self diciplining & self perpetuating". KODEKI yang dihasilkan oleh Musyawarah KeIja Nasional Etik Kedokteran ke 2 bulan Desember 1981 memuat 4 bab yang terdiri dari 18 pasal. Kalau pasal-pasal terse but dicoba dikelompokkan sesuai deng~ tujuan etik l'rofesional di atas maka akan ter-. .
, lihat' se bagai beriku t: I
a. Pasal-pasal yang mengharuskan pengalaman profesi dengan motivasi yang benar sesuai dengan hake kat p,rofesi kedokteran sebagai pengabdi kemanusiaan (Pasal 1, Pasal 3, Pasal 10, Pasal 12 = 4 Pasal).
b. Pasal-pasal yang mengharuskan pengamalan profesi dengan cara yang benar (pasal 2, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11 = 5 Pasal). ,
c. Pasal-pasal yang bersifat menjaga ci-• •
tra profesi dokter(Pasal 4, Pasal 7, Pasal13, Pasal14 = 4 Pasal) . '
d. Pasal-pasal yang bersifat melestarikan profesi kedokteran (Pasal 6, Pa-
• • sal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 = 5 Pasal).
I
(Bunyi ke 18 Pasal KODEKI tersebut dapat dilihat di lampiran). ,
I Dengan pengelompokan seperti di atas, akan menjadi jelas bahwa sesungguh-
,
I nya etik kedokteran mempunyai 2 tu-
Hukum dan Pembangunan
juan yang senantiasa berimbang yaitu tujuan mengutamakan kepentingan dan keselamatan penderita (yaitu pasal-pasal kelompok a dan b) di satu pihak serta tujuan perlindungan terhadap masyarakat profesi kedokteran sendiri (yaitu pasal-pasal kelompok c dan d) di lain pih~. Jadi sesungguhnya bilamana KODEKI diamalkan dan diterapkan secara baik, benar dan tepat maka kiranya segala masalah yang ada kaitan dengan transaksi therapeuntis dokter dengan pasien akan dapat dijamin secara baik terselesaikan. Memang harus diakui bahwa pasa'lpasal yang ada dalam KODEKI bersifat luas dan hanya garis besar saja. Sehingga sebagai ' panduan dan pedoman tingkah laku dokter masih belum mencukupi. Karena itulah maka Musyawarah KeIja Nasional Etik Kedokteran ke 2 juga telah menjabarkan lebih terperinci pasal demi pasal disesuaikan dengan perkembangan kemajuan ilmu kedokteran serta sistem nilai yang berlaku di tengah masyarakat sekarang. Penjabaran dan penjelasan mana pada saatnya secara berkala harus disempumakan lagi disesuaikan dengan tuntutan zaman. Dengan penjabaran terperin:ci tersebut diharapkan seluruh isi KODEKI dengan penjelasannya akan
I
mampu menjadi pedoman dan pandu-an bagi setiap dokter dalam pengamalan profesinya. Untuk menjaga dan membina penghayatan dan pengamalan KODEKI oleh setiap dokter dalam pengamalan profesinya maka ada 2 aparatur etik kedokteran, yaitu :
- MKEK (Majelis KeholInatan Etik Kedoktera,n), badan khusus dari organisasi profesi IDI.
- P3EK (Panitia PertimbangaI/- dan Pembinaan Etik Kedokteran),
, I
ba~an non struktural Dep. Kes. RI , ' . \
,
I
Etik dan hukum kedokteran
MKEK , badan khusus yang otonom dalam organisasi profesi IDI , adalah perangkat aparatur pembinaan etik kedokteran. Dalam AD/ART pasal 16 disebutkan sebagai mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk melakukan bim bingan, pengawasan dan penilaian dalam pelaksanaan Etik Kedokteran. Selanjutnya disebut kewajibannya yaitu antara lain memperjuangkan etik . kedokteran agar dapat ditegakkan di Indonesia. P3EK yang dibentuk berdasarkan Per. Men. Kes. Nomor 554 juga mempunyai tugas untuk memberi pertimbangan ten tang Etik Kedokteran kepada Menteri Kesehatan serta menyelesaikan persoalan etik kedokteran dengan mem beri pertim bangan dan usul kepada pejabat yang berwenang di bidang kesehatan. Secara legal fOlmal maka Panitia ini telah mempunyai landasan hukum dalam melaksanakan tugas pem binaan dan penyelesaian masalah etik kedokteran. Semua pelanggaran etik kedokteran yang dilakukan oleh dokter di Indonesia akan diselesaikan oleh salah satu
.
atau kerjasama kedua lembaga terse-but. Penyelesaian ataupun tindakan korcksi yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut senantiasa berpedoman pada KODEKI dan karenanya akan menjamin secara berim bang kepentingan dan kL'sclamatan pasicn di satu pihak dan kcp entingan dan kelestarian profesi kedokteran Ji lain pihak. Memang harus diakui bahwa pelanggaran suatu kode etik tidak menimbulkan sanksi formal bagi pelakunya. Maka dari itu tindakan koreksinYfi yang dapat dilakukan pada kasus pe-,
langgaran umumnya adalah tegoran dan bimbingan dan maksimal adalah saran untuk tindakan administratif dari Departemen Kesehatan, sebagai suatu langkah pencegahan akan kemungkinan keterulangan pelanggaran
•
353
yang sarna di masa depan atau pencegahan akan kemungkinan makin besarnya intensitas pelanggaran tersebut di masa depan. Ketiadaan sanksi formal ini menimbulkan ketidak puasan di kalangan organisasi profesi yang ingin menegakkan etik kedokteran sebaik-baiknya. Bagaimana etik kedokteran bisa ditegakkan lurus bilamana pelanggaran bisa dimungkinkan berjalan terus tanpa
•
kuasa menghentikannya. Itulah sebab-nya organisasi profesi IDI sudah lama memperjuangkan agar ijin praktek seorang dokter dikaitkan kepada organi--sasi profesi dengan segala tanggung ja-wabnya. Dengan demikian p etik akan dapat dimungkinkan diberikan sanksi yang cukup kuat untuk mengherttikan yaitu bilamana perlu dengan pencabutan ijin prakteknya. Memang perjuangan terse but telah memperoleh sebagian keberhasilannya, yaitu dengan terbitnya Per. Men. Kes. Nomor 560 dan 561 tentang ijin praktek perseorangan dokter umum dan dokter spesialis . Dalam permenkes tersebut dipersyaratkan seorang dokter umum/spesialis mendapatkan rekomendasi IDI bagi pengurusan pelmohonan ijin praktek perorangan. Masalahnya adalah bilamana ijin telah dikeluarkan oleh Depkes untuk praktek , kemudian yang bersangkutan melakukan suatu pelanggaran etik, kemudian oleh MKEK diambil keputusan untuk pencabutan rekomendasi IDI, apakah ijin praktek terse but otomatis gugur? Demikianlah untuk tegaknya pelaksanaan Etik Kedokteran dalam rangka menciptakan perlindungan terhadap penderita/masyarakat sekaligus juga Be
cara berimbang memberikan perlindungan terhadap kehidupan profesi demi pelayanan kedokteran kepada masyarakat yang sebaik-baiknya maka
. Juli 1984
•
•
354
kiranya hukum kedokteran yang akan dikem bangkan nanti perlu mengandung dukungan formal terhadap tegaknya kode etik kedokteran Indonesia. Hukum kedokteran tersebut hendak-
•
. nya memberikan peluang bagi efektifnya tindakan koreksi yang diLakukan oleh organisasi profesi bagi suatu pelanggaran etik kedokteran. Dalam kaitan dengan tidak adanya sanksi formal bagi suatu pelanggaran etik seperti disebutkan di atas, maka sering penderita/masyarakat juga merasa tidak puas dengan cara penanganan organisasi profesi terhadap pengaduan/ keluhan mereka tentang seorang dokter yang dianggap telah melanggar etik. Dinilai oleh masyarakat bahwa organisasi profesi sangat lamban menyelesaikan pengaduan mereka, atau malahandianggap otomatis selalu membela dan melindungi dokter anggoanya dengan mengorbankan kepentingan penderita/masyarakat. Sehingga seringkali mereka lebih cenderung untuk menempuh jalur formal dengan mengajukan pengaduannya melalui instansi penegak hukum (polisi, jaksa, kepala Pemerintahan wilayah, dan lainlain). Bilamana hal terakhir ini berlangsung terus maka sangat dirnungkinkan akan teIjadi suatu keadaan erosi citra profesi dokter pada umumnya dan dokter yang oersangkutan pada khususnya yang pada gilirannya juga akan mempengaruhi . efektifitas kemampuan pengobatan/pertolongan tenaga dokter terse but. Di sam ping itu dengan ma-
•
kin seringnya kejadian pengaduan se-macam itu akan menirnbulkan situasi ,. "angt psychose" di kalangan dunia profesi kedokteran sehingga akan menyebabkan efek sampingan terhadap mutu pelayanan kedokteran bagi rnasyarakat luas seperti pernah terjadi sebagai pengaruh samping, kasus dr. S. di Patio
HUkum dan Pembangunan
Maka demi menCegah teIjadinya gejala yang terakhir terse but di atas perlulah hukum kedokteran itu mengatur pula mekanisme yang jelas terhadap penanganan pengaduan dari penderita/masyarakat ten tang pengamalan profesi seorang dokter serta memberikan dukungan formal terhadap keputusan apapun yang diambil oleh aparat pembina etik kedokteran (MKEK dan P3EK) terhadap suatu kasus pelanggaran etik. Tentu saja selama kasus terse but tidak termasuk kategori kasus
•
pidana ataupun perdata. Hukum ke-dokteran yang akan dikembangkan hendaknya memuat ketentuan bahwa setiap masalah yang tim bul dari pengamalan profesi seorang dokter hendaknya diajukan kepada aparatur etik kedokteran yang ada (MKEK dan atau P3EK). Pengaduan yang diterima oleh lembaga penegak hukum hendaknya diteruskan oleh lembaga terse but kepada aparatur etik kedokteran. Aparatur etik kedokteran akan mempelajari dan menilai serta mengam bil keputusan tentang masalah terse but. Bilamana masalah terse but dinilai sebagai masalah etik profesional · maka akan diberikan putusan/sanksi sebagai penyelesaian. Bilamana memang masalah yang diproses ternyata menyangkut masalah pidana atau perdata, aparatur etik akan rnerujukkan kepada instansi resmi yang berwenang menyelesaikannya. Segala keputusan aparatur etik kedokteran tersebut baik berupa sanksi, rehabilitasi ataupun merujuk ke instansi resmi lain agar didukung oleh hukum kedokteran secara formal sehingga mengikat secara resmi dokter yang bersangkutan, masyarakat/pengadu, maupun instansi pemerintah.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Pasal-pasal dalam KODEKI dapat
•
Etik dan hukum kedokteran
dikelompokkan menjadi 4 , y: a. yang mengharuskan pen' nalan
profesi dengan motivasi . ng benar sesuai dengan hakekat profesi kedokteran sebagai pengabdi kemanusiaan.
b. yang mengharuskan penga-malan profesi dengan cara y ang benar.
c. yang bersifat menjaga citra profesi kedokteran.
d. yang bersifat melestarikan profesi kedokteran .
2. Dengan demikian menjadi jelas bahwa ada dua tujuan berimbang dari KODEKI, yaitu di satu pihak mengutamakan kepentingan dan bagi penderita/masYiirakat dan di lain pihak 'memberikan perlin dungan terhadap dunia profesi kedokteran sendiri. Kedua hal ini penting demi pelayanan kedokteran yang sebaik-baiknya bagi rnasyarakat.
3. Ada dua aparatur etik kedokteran yang ada yaitu MKEK sebagai badan khusus organisasi profesi IDI dan P3EK sebagai badan extra struktural dari Departernen Kesehatan RI. Kedua lem baga ini berdasarkan AD/ART IDI (MKEK) dan Per. Men. Kes. Nornor 554 (P3EK) secara sendiri atau bersarna sudah mampu rnenyelesaikan setiap masalah yang berhubungan dengan pengamalan profesi kedokteran.
4. Pelanggaran etik tidak ada sanksi formalnya yang mengikat sehingga tindakan koreksi atas pelanggarannya dirasakan oleh organisasi profe-
• si menjadi kurang efektif pelaksana-annya dalam rangka menegakkan etik kedokteran.
5. Kctiadaan sanksi formal bagi pelanggaran etik juga menimbulkan
. ketidakpuasan di kalangan masyarakat yang merasa dirugikan akibat suatu pelanggaran etik oleh seorang
355
dokter. Akibatnya bisa timbul kecenderungan untuk mengadukan se-
, orang dokter karen a pengamalan profesinya kepada instansi pernerintah yang lain (Polisi, Kejaksaan , Kepala Pernerintah Wilayah) ..
6. Bilamana hal terse but menggejala maka akan menirnbulkan situasi "angt-psychose" di kalangan du-,
nia profesi kedokteran yang pada gilirannya akan mempengaruhi pelayall,!ln kedokteran bagi masyarakat.
7 . Kiranya sudah saatnya untuk dikern bangkan dan dibina hukurn kedokteran di Indonesia yang mampu rnenciptakan ketertiban dan kepastian hukum bagi kelancaran pelayanan kedokteran yang sebaikbaiknya untuk masyarakat.
•
B. SARAN
1. Pemerintah agar dapat menerbitkan hukum kedokteran untuk rnenjarnin kepastian hukum bagi pengarnalan profesi kedokteran, yang memuat beberapa aspek penting etik kedokteran sebagai berikut : - mernberikan jaminan perlindung
an secara berimbang antara kepentingan penderita/penerima pelayanan kedokteran dan ke-
•
pentingan kehidupan profesi ke-dokteran y ang harus bercitra luhur sebagai pengabdi kemanusiaan. Hal ini sangat penting bagi kebaikan dan efektifitas pelayanan kedokteran bagi masyara-kat. .
- mernberikan dukungan secara formal sehingga keputusan yang diam bil oleh aparat etik kedokteran mempunyai daya ikat resmi untuk dipatuhi dan dihargai oleh dokter, penderita/masyarakat, maupun instansi pemerintah dan aparat penegak hukum . memberikan kewenangan kepada aparat etik kedokteran sebagai
Juli 1984
•
356
instansi pertama untuk mengatasi semua masalah yang berhubungan dengan pengamalan profesi kedokteran dan menentukan
•
sendiri apakah penyelesaian masalah terse but akan diselesaikan sendiri karena memang tidak ada unsur pidana dan perdata atau merujuknya ke instansi penegak hukum bilamana diperlukan.
2. Per. Men. Kes. nomor 554 yang memberlkan landasan formal kepada P3EK perlu disempurnakan terutama menyangkut beberapa hal; - Tugas dan kewajiban P3EK agar
ditingkatkan sehingga tidak terbatas hanya memberlkan saran pertimbangan kepada pejabat di bidang kesehatan, tetapi meng-
"ambil keputusan yang final dan mengikat kepada semua pihak .
•
REFERENSI
1. Dokumen-MUKERNAS Etik Kedokteran ke-2; 2. KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia); 3. Sistem Kesehatan Nasional (Depkes);
• HUkum dan Pembangunan
Bilamana perlu juga disempurnakan susunan P3EK terse but se
memungkinkan peningkat an kemampuan melaksanakan tugasnya, baik atas coverage-ny a yaitu menangani bukan saja persoalan yang menyangkut profesi kedokteran tapi juga semua masalah di bidang kesehatan , maupun atas kualitasnya yaitu agar secara legal profesional lebih mampu menjalankan tugas yang diembannya.
Kiranya dapat disempurnakan menjadi surat keputusan bersarna antara Menteri Kesehatan dan Menteri Kehakiman sehingga setiap keputusan P3EK dapat memperoleh pengakuan formal dari instansi penegak hukum.
4. PERMENKES Nomor 554/Menkes/Per/XII/1982; S. AD/ART IDI; 6. Dokumen Team Pengkajian Hukum Kedokteran (BPHN); 7. Dokumen Pengurus Besar IDI.
Pasa! 1 •
• •
LAMPIRAN PASAL-P ASAL KODEKI
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter .
Pasa! 2 : Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi.
. Pasa! 3 : Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter tidak boleh dipengarulii oleh pertimbangan keuntungan pribadi.
Pasa! 4 : Perbuatan berikut dipandang bertentangan dengan etik : 4.1. Setiap perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri. . 4.2. Secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuan dan ketram
pilan kedokteran dalam segala bentuk, tanpa kebebasan profesi. 4 .3. Menerirna imbalan selain daripadajasa yang layak sesuai dengan jasanya,
kecuali dengan keikhlasan, sepengetahuan dan atau keheridak penderita .
,
Etik dan hukum kedokteran 357
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
Pasal II
Pasal12
Pasal13
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
• •
• •
• •
• •
• •
•
• •
• •
• •
• •
• •
• •
• •
• •
• •
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan makhluk insani, baik jasmani rnaupun rohani hanya diberikan untuk kepentjpgan penderita.
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumurnkan dan rnenerapkan setiap penemuan tehnik atau pengobatan baru yang belurn diuji kebenarannya.
Seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus mengutarnakan/rnendahulukan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), serta berusaha rnenjadi pendidik dan pengabdi rnasyarakat yang sebenarnya.
Setiap dokter dalam bekerja sarna dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakal harus mernelihara saling pengertian sebaikbaiknya.
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban rnelindungi hidup rnakhluk insani.
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan rnernpergunakan segala ilmu dan ketrarnpilannya untuk kepentingan penderita, Dalam hal ia tidak rnarnpu rnelakukan suatu perneriksaan atau pengobatan rnaka ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang rnernpunyai keahlian dalam penyakit terse but.
Setiap dokter harus mernberikan kesernpatan kepada penderita agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalarn beribadat dan atau dalarn rnasalah lainnya.
Setiap dokter wajib rnerahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya ten tang seorang penderita, bahkan juga setelah pen de rita itu rneninggal dunia.
Setiap dokter wajib rnelakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikernanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan rnampu untuk rnern berikannya.
Setiap dokter mernperlakukan ternan sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlukan.
Setiap dokter tidak boleh rnengarnbil alih penderita dari ternan sejawat tanpa persetujuannya.
Setiap dokter harus rnernelihara kesehatannya supaya dapat bekerja dengan baik.
Setiap dokter hendaknya senantiasa rnengikuti perkernbangan ilrnu pengetahuan dan tetap setia kepada cita-cita yang luhur.
Kehidupan laksana secangkir air tell. Semakin rakus kita meminumnya, semakin cepat pula kita sampai kepada ampasnya. (Barrie)
Juli 1984
top related