antihistamin medikamentosa alergi
Post on 31-Dec-2014
55 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Antihistamin Medikamentosa Alergi, Jenis dan Farmakokinetiknya
Antihistamin adalah obat dengan efek antagonis terhadap histamin. Di pasaran banyak dijumpai berbagai jenis antihistamin dengan berbagai macam indikasinya. Antihistamin terutama dipergunakan untuk terapi simtomatik terhadap reaksi alergi atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin berlebih. Penggunaan antihistamin secara rasional perlu dipelajari untuk lebih menjelaskan perannya dalam terapi karena pada saat ini banyak antihistamin generasi baru yang diajukan sebagai obat yang banyak menjanjikan keuntungan.
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi
efek histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor –
histamin (penghambatan saingan). Pada awalnya hanya dikenal satu
tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor
khusus pada tahun 1972, yang disebut reseptor-H2,maka secara
farmakologi reseptor histamin dapat dibagi dalam dua tipe , yaitu
reseptor-H1 da reseptor-H2. Berdasarkan penemuan ini, antihistamin
juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni antagonis reseptor-H1
(sH1-blockers atau antihistaminika) dan antagonis reseptor H2 ( H2-
blockers atau zat penghambat-asam)
Pada garis besarnya antihistamin dibagi dalam 2 golongan besar
1. Menghambat reseptor H1 H1-blockers (antihistaminika
klasik) Mengantagonir histamin dengan jalan memblok reseptor-H1
di otot licin dari dinding pembuluh,bronchi dan saluran
cerna,kandung kemih dan rahim. Begitu pula melawan efek
histamine di kapiler dan ujung saraf (gatal, flare reaction). Efeknya
adalah simtomatis, antihistmin tidak dapat menghindarkan
timbulnya reaksi alergi Dahulu antihistamin dibagi secara kimiawi
dalam 7-8 kelompok, tetapi kini digunakan penggolongan dalam 2
kelompok atas dasar kerjanya terhadap SSP, yakni zat-zat generasi
ke-1 dan ke-2.
2. Menghambat reseptor H2. H2-blockers (Penghambat asma)
obat-obat ini menghambat secara efektif sekresi asam lambung
yang meningkat akibat histamine, dengan jalan persaingan
terhadap reseptor-H2 di lambung. Efeknya adalah berkurangnya
hipersekresi asam klorida, juga mengurangi vasodilatasi dan
tekanan darah menurun. Senyawa ini banyak digunakan pada
terapi tukak lambug usus guna mengurangi sekresi HCl dan
pepsin, juga sebagai zat pelindung tambahan pada terapi dengan
kortikosteroida. Lagi pula sering kali bersama suatu zat stimulator
motilitas lambung (cisaprida) pada penderita reflux. Penghambat
asam yang dewasa ini banyak digunakan adalah simetidin,
ranitidine, famotidin, nizatidin dan roksatidin yang merupakan
senyawa-senyawa heterosiklis dari histamin.
Antihistamin adalah antagonis reseptor histamin H1 (AH1). Semua
kelas antihistamin H1 struktur kimianya menyerupai histamin.
Berbagai Jenis AntihistaminH1-receptor antagonists
Dalam penggunaan umum, antihistamin merujuk hanya untuk
antagonis H1, juga dikenal sebagai antihistamin H1. Telah ditemukan
bahwa antihistamin H1-agonis adalah benar-benar berlawanan
dengan reseptor histamin H1. Secara klinis, H1 antagonis digunakan
untuk mengobati reaksi alergi. Sedasi adalah efek samping yang
umum, dan antagonis H1 tertentu, seperti diphenhydramine dan
Doksilamin, juga digunakan untuk mengobati insomnia. Namun,
antihistamin generasi kedua ini tidak melewati penghalang darah-
otak, dan dengan demikian tidak menyebabkan kantuk.
Azelastine
Brompheniramine
Buclizine
Bromodiphenhydramine
Carbinoxamine
Cetirizine
Chlorpromazine (antipsychotic)
Cyclizine
Chlorpheniramine
Chlorodiphenhydramine
Clemastine
Cyproheptadine
Desloratadine
Dexbrompheniramine
Deschlorpheniramine
Dexchlorpheniramine
Dimenhydrinate (most commonly used as an antiemetic)
Dimetindene
Diphenhydramine (Benadryl)
Doxylamine (most commonly used as an OTC sedative)
Ebastine
Embramine
Fexofenadine
Levocetirizine
Loratadine
Meclozine (sering digunakansebagai antiemetik)
Olopatadine
Orphenadrine (sejenis diphenhydramine digunakan terutama
sebagai relaksan otot rangka dan anti-Parkinson)
Phenindamine
Pheniramine
Phenyltoloxamine
Promethazine
Pyrilamine
Quetiapine (antipsychotic)
Rupatadine
Tripelennamine
Triprolidine
H2-receptor antagonists
Antagonis H2, seperti antagonis H1, juga agonis dan antagonis
terbalik tidak benar. H2 reseptor histamin, ditemukan terutama di sel
parietal dari mukosa lambung, digunakan untuk mengurangi sekresi
asam lambung, mengobati kondisi pencernaan termasuk tukak
lambung dan penyakit gastroesophageal reflux.
Cimetidine
Famotidine
Lafutidine
Nizatidine
Ranitidine
Roxatidine
Experimental: H3- and H4-receptor antagonists
Obat ini baru dalam tahap eksperimental dan belum memiliki
penggunaan klinis, meskipun sejumlah obat ini sedang dalam
percobaan manusia. H3-antagonis memiliki stimulan dan efek
nootropic, dan sedang diselidiki untuk pengobatan kondisi seperti
ADHD, penyakit Alzheimer, dan skizofrenia, sedangkan H4-antagonis
tampaknya memiliki peran imunomodulator dan sedang diteliti
sebagai obat anti-inflamasi dan analgesik .
H3-receptor antagonists A-349,821
ABT-239
Ciproxifan
Clobenpropit
Conessine
Thioperamide
H4-receptor antagonists Thioperamide
JNJ 7777120
VUF-6002
Lainnya
Atipical antihistamin Obat ini menghambat aktivitas
enzimatik dekarboksilase histidin:
tritoqualine
catechin
Mast cell stabilizersMast cell stabilizers untuk menstabilkan sel mast untuk mencegah
degranulasi dan pelepasan mediator. Obat ini tidak biasanya
digolongkan sebagai antagonis histamin, tetapi memiliki indikasi
serupa.
Cromoglicate (cromolyn)
Nedocromil
Beta 2 (β2) adrenergic agonists
Obat Lain Dengan Khasiat Mirip AntihistaminBanyak obat yang digunakan untuk indikasi lain memiliki aktivitas
antihistaminergicyang tidak diinginkan
Antihistamin H1 dikelompokkan dalam AH1 tradisional atau
konvensional (generasi I), dan AH1 non-sedatif (generasi I). Mereka
dibagi dalam beberapa subkelas.
Etilendiamin Antazolin, tripelanamin, pirilamin.
Etanolamin Karbinoksamin, difenhidramin, doksilamin.
Alkilamin Klorfeniramin, deksklorfeniramin, dimetinden,
feniramin.
Piperazin Setirizin, homoklorsiklizin, hidroksizin, oksatomid.
Piperidin Siproheptadin.
Fenotiasin Prometasin.
Lain-Lain Akrivastin, astemizol, azatadin, klemastin,
levokobastin, loratadin, mebhidrolin, terfenadin, ketotifen.
Golongan antihistamin generasi baru adalah setirizin,
akrivastin, astemizol, levokobastin, loratadin, dan terfenadin.
Farmakokinetik
Absorbsi AH1 berjalan sangat cepat setelah pemberian secara
oral menyebabkan efek sistemik dalam waktu kurang dari 30
menit. Hepar merupakan tempat metabolisme utama (70-90%),
dengan sedikit obat yang diekskresi dalam urin dalam bentuk yang
tidak berubah.
Penggunaan klinis
Antihistamin adalah obat yang paling banyak dipakai sebagai terapi
simtomatik untuk reaksi alergi yang terjadi. Semua jenis antihistamin
sangat mirip aktivitas farmakologinya. Pemilihan antihistamin
terutama terhadap efek sampingnya dan bersifat individual. Pada
seorang pasien yang memberikan hasil kurang memuaskan dengan
satu jenis antihistamin dapat ditukar dengan jenis lain, terutama dari
subkelas yang berbeda.
Rinitis alergik musiman dan rinitis alergik perenial sangat
baik reaksinya terhadap antihistamin. Hampir 70-90% pasien
rinitis alergik musiman mengalami pengurangan gejala (bersin,
keluar ingus, sumbatan hidung). Hasil yang terbaik didapat
bilamana antihistamin diberikan sebelum kontak. Walaupun pada
rinitis vasomotor hasilnya kurang memuaskan tetapi efek
antikolinergiknya dapat mengurangi gejala pilek.
Urtikaria akut sangat bermanfaat untuk mengurangi ruam dan
rasa gatal. Manfaatnya pada urtikaria kronik kurang dan pada
keadaan ini AH1 pilihan adalah yang berefek sel rendah dan
mempunyai masa kerja panjang, misal hidroksizin atau AH1
nonsedatif lainnya. Pemberiannya cukup sekali sehari sehing
meningkatkan kepatuhan. Apabila gejala belum diatasi dapat
dikombinasi dengan AH2, dan kalau perlu ditambah
simpatomimetik.
Reaksi anafilaksis akut antihistamin H1 digunakan sebagai
terapi tambahan setelah epinefrin. Preparat yang banyak dipakai
adalah difenhidramin. Pada serum sicknessantihistamin berfungsi
untuk mengurangi urtikaria tetapi mempunyai efek yang kecil
terhadap artralgia, demam, dan tidak mengurangi lama
penyakitnya. Pada dermatitis kontak dan erupsi obat fikstum,
antihistamin oral dapat mengurangi rasa gatal. Hindari
penggunaan antihistamin topikal karena dapat menyebabkan
sensititasi. Antihistamin juga dapat dipakai sebagai terapi
tambahan pada reaksi alergi obat dan reaksi akibat transfusi.
Efek samping
Mengantuk Antihistamin termasuk dalam golongan obat yang
sangat aman pemakaiannya. Efek samping yang sering terjadi
adalah rasa mengantuk dan gangguan kesadaran yang ringan
(somnolen).
Efek antikolinergik Pada pasien yang sensitif atau kalau
diberikan dalam dosis besar. Eksitasi, kegelisahan, mulut kering,
palpitasi dan retensi urin dapat terjadi. Pada pasien dengan
gangguan saraf pusat dapat terjadi kejang.
Diskrasia Meskipun efek samping ini jarang, tetapi kadang-
kadang dapat menimbulkan diskrasia darah, panas dan neuropati.
Sensitisasi Pada pemakaian topikal sensitisasi dapat terjadi
dan menimbulkan urtikaria, eksim dan petekie.
Chlorpheniramin maleat
Di Indonesia, Chlorpheniramin maleat atau lebih dikenal dengan
CTM merupakan salah satu antihistaminika yang memiliki efek
sedative (menimbulkan rasa kantuk). Namun, dalam
penggunaannya di masyarakat lebih sering sebagai obat tidur
dibanding antihistamin sendiri. Keberadaanya sebagai obat tunggal
maupun campuran dalam obat sakit kepala maupun influenza lebih
ditujukan untuk rasa kantuk yang ditimbulkan sehingga pengguna
dapat beristirahat. CTM memiliki indeks terapetik (batas
keamanan) cukup besar dengan efek samping dan toksisitas relatif
rendah. Untuk itu sangat perlu diketahui mekanisme aksi dari CTM
sehingga dapat menimbulkan efek antihistamin dalam tubuh
manusia. Menurut Dinamika Obat (ITB,1991), CTM merupakan
salah satu antihistaminika H1 (AH1) yang mampu mengusir
histamin secara kompetitif dari reseptornya (reseptor H1) dan
dengan demikian mampu meniadakan kerja histamin.
Di dalam tubuh adanya stimulasi reseptor H1 dapat
menimbulkan vasokontriksi pembuluh-pembuluh yang lebih besar,
kontraksi otot (bronkus, usus, uterus), kontraksi sel-sel endotel dan
kenaikan aliran limfe. Jika histamin mencapai kulit misal pada
gigitan serangga, maka terjadi pemerahan disertai rasa nyeri
akibat pelebaran kapiler atau terjadi pembengkakan yang gatal
akibat kenaikan tekanan pada kapiler. Histamin memegang peran
utama pada proses peradangan dan pada sistem imun.
CTM sebagai AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh
darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos. AH1 juga
bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas dan keadaan
lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebih. Dalam
Farmakologi dan Terapi edisi IV (FK-UI,1995) disebutkan bahwa
histamin endogen bersumber dari daging dan bakteri dalam lumen
usus atau kolon yang membentuk histamin dari histidin.
Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan sistem
saraf pusat dengan gejala seperti kantuk, berkurangnya
kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Efek samping ini
menguntungkan bagi pasien yang memerlukan istirahat namun
dirasa menggangu bagi mereka yang dituntut melakukan
pekerjaan dengan kewaspadaan tinggi. Oleh sebab itu, pengguna
CTM atau obat yang mengandung CTM dilarang mengendarai
kendaraan.
Rasa kantuk yang ditimbulkan setelah penggunaan CTM
merupakan efek samping dari obat tersebut. Sedangkan indikasi
CTM adalah sebagai antihistamin yang menghambat pengikatan
histamin pada resaptor histamin.
Mekanisme kerja
Antihistamin bekerja dengan cara kompetisi dengan histamin
untuk suatu reseptor yang spesifik pada permukaan sel. Hampir
semua AH1 mempunyai kemampuan yang sama dalam memblok
histamin. Pemilihan antihistamin terutama adalah berkenaan
dengan efek sampingnya. Antihistamin juga lebih baik sebagai
pengobatan profilaksis daripada untuk mengatasi serangan.
Mula kerja AH1 nonsedatif relatif lebih lambat; afinitas
terhadap reseptor AH1 lebih kuat dan masa kerjanya lebih lama.
Astemizol, loratadin dan setirizin merupakan preparat dengan
masa kerja lama sehingga cukup diberi 1 kali sehari.
Beberapa jenis AH1 golongan baru dan ketotifen dapat
menstabilkan sel mast sehingga dapat mencegah pelepasan
histamin dan mediator kimia lainnya; juga ada yang menunjukkan
penghambatan terhadap ekspresi molekul adhesi (ICAM-1) dan
penghambatan adhesi antara eosinofil dan neutrofil pada sel
endotel. Oleh karena dapat mencegah pelepasan mediator kimia
dari sel mast, maka ketotifen dan beberapa jenis AH1 generasi
baru dapat digunakan sebagai terapi profilaksis yang lebih kuat
untuk reaksi alergi yang bersifat kronik.
EFEK SAMPING
Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping
walaupun jarang bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila
pengobatan diteruskan. Efek samping yang paling sering ialah
sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang dirawat di RS
atau pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini mengganggu
bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga
meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan.
Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain mungkin
dapat mengurangi efek sedasi ini. Astemizol, terfenadin, loratadin
tidak atau kurang menimbulkan sedasi. Efek samping yang
berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah,
penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah,
insomnia dan tremor.
Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu
makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium,
konstipasi atau diare, efek samping ini akan berkurang bila AH1
diberikan sewaktu makan.
Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut
kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan
lemah pada tangan. Insidens efek samping karena efek
antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat
antihistamin nonsedatif.
AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih
sering terjadi akibat penggunaan lokal berupa dermatitis alergik.
Demam dan foto sensitivitas juga pernah dilaporkan terjadi.
Selain itu pemberian terfenadin dengan dosis yang dianjurkan
pada pasien yang mendapat ketokonazol, troleandomisin,
eritromisin atau lain makrolid dapat memperpanjang interval QT
dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel. Hal ini juga dapat
terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat dan
pasien-pasien yang peka terhadap terjadinya perpanjangan interval
QT (seperti pasien hipokalemia).
Kemungkinan adanya hubungan kausal antara penggunaan
antihistamin non sedative dengan terjadinya aritmia yang berat
perlu dibuktikan lebih lanjut.
INTOKSIKASI AKUT AH1 Keracunan akut AH1 terjadi karena
obat golongan ini sering terdapat sebagai obat persediaan dalam
rumah tangga. Pada anak, keracunan terjadi karena kecelakaan,
sedangkan pada orang dewasa akibat usaha bunuh diri. Dosis 20-
30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak. Efek sentral AH1
merupakan efek yang berbahaya.
PAda anak kecil efek yang dominan ialah perangsangan dengan
manifestasi halusinasi, eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis dan
kejang. Kejang ini kadang-kadang disertai tremor dan pergerakan
atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar dikontrol.
Gejala lain mirip gejala keracunan atropine misalnya midriasis,
kemerahan di muka dan sering pula timbul demam. Akhirnya
terjadi koma dalam dengan kolaps kardiorespiratoar yang disusul
kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa, manifestasi
keracunan biasanya berupa depresi pada permulaan, kemudian
eksitasi dan akhirnya depresi SSP lebih lanjut.
PENGOBATAN INTOLSIKASI Pengobatan diberikan secara
simtomatik dan suportif karena tidak ada antidotum spesifik.
Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam yang ditimbulkan oleh
barbiturate. Pernapasan biasanya tidak mengalami gangguan yang
berat dan tekanan darah dapat dipertahankan secara baik. Bila
terjadi gagal napas, maka dilakukan napas buatan, tindakan ini
lebih baik daripada memberikan analeptic yang justru akan
mempermudah timbulnya konvulsi. Bila terjadi konvulsi, maka
diberikan thiopental atau diazepam.
Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang
menggunakan AH1 harus diperingatkan tentang kemungkinan
timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai campuran pada resep, harus
digunakan dengan hati-hati karena efek AH1 bersifat aditif dengan
alcohol, obat penenang atau hipnotik sedative.
top related