3 makalah isi
Post on 18-Feb-2016
214 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu
fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek
transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Perubahan prinsip dan
kerangka berpikir atas penyelenggaraan pemerintahan sudah merupakan kebutuhan yang tak
terelakkan. Pemerintah wajib menerapkan kaidah-kaidah yang baik dalam menjalankan roda
pemerintahan, termasuk di dalamnya kaidah-kaidah dalam bidang pengelolaan keuangan
negara yang diwujudkan dalam bentuk penerapan prinsip good governance. Dalam rangka
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik itulah, pemerintah Republik Indonesia
melakukan reformasi di bidang pengelolaan keuangan negara.
Sistem pengendalian internal merupakan suatu komponen yang penting dalam
pengelolaan keuangan negara. Kegiatan operasional dapat dikatakan efektif bergantung pada
kebijakan manajemen. Jika pihak manajemen mengutamakan adanya pengendalian intern,
maka semua bagian dalam struktur organisasi pun akan mematuhi kebijakan dan prosedur
yang ditetapkan.
Menurut Pasal 1 pada Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah organisasi non-kementerian negara dan
instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan
perundang-undangan lainnya. Seperti dalam peraturan tersebut bahwa untuk mencapai
1
pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, trasnparan, dan akuntabel, lembaga wajib
melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintah tersebut berpedoman
pada Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).
Indonesia sudah cukup banyak memiliki perangkat hukum untuk mengatur
penyelenggaraan prinsip good governance. Kesemuanya mengamanatkan kepada presiden
untuk mengendalikan langsung penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik. Salah
satunya seperti yang ditegaskan pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara. Di sana dikatakan bahwa pengatur dan penyelenggara sistem
pengendalian intern pemerintah (SPIP) untuk mengelola transparansi keuangan negara adalah
kepala pemerintahan.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penyusun akan memberikan gambaran mengenai : Bagaimana
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah sebagai paradigma baru pengendalian pemerintah
dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dan manfaat Penulisan Makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
baik.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah sistem pengendalian intern
(SPI) yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah.
2.1.1 Sistem Pengendalian Intern (SPI)
Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan
yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan
keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan
efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap
peraturan perundang-undangan.
2.1.2 Pengawasan Intern
Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan,
dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam
rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai
dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan
pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governance)
3
2.2 Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance)
Terminologi Good Governance dalam bahasa dan pemahaman masyarakat termasuk
disebagian elite politik, sering rancu. Setidaknya ada tiga terminology yang sering rancu.
Good Governance (tata kelola pemerintahan yang baik), Good Government (pemerintahan
yang baik) dan Clean Government (tata pemerintahan yang bersih).
Good Governance menurut bank dunia (World Bank) adalah cara kekuasaan
digunakan dalam mengelolah berbagai sumber daya sosial dan ekonomi untuk pengembangan
masyarakat. Sedangkan menurut UNDP, Good Governance dimaknai sebagai praktik
penerapan kewenangan pengelolaan berbagai urusan penyelenggaraan Negara secara politik,
ekonomi, dan administrative disemua tingkatan.
2.2.1 Prinsip-Prinsip Tata Kelola Pemerintahan yang Baik
Tata kelola tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan
pemerintahan yang baik, yaitu transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sebagai unsur
utama. Terminologi good governance memang belum baku, tetapi sudah banyak definisi
yang coba membedah makna dari good governance. Namun demikian, tidak dapat disangkal
lagi bahwa good governance telah dianggap sebagai elemen penting untuk menjamin
kesejahteraan nasional (national prosperity). Berikut ini adalah prinsip-prinsip yang ada
dalam good governance :
a. Partisipasi (Participation)
Semua warga negara berhak terlibat dalam keputusan, baik langsung maupun
melalui lembaga perwakilan yang sah untuk mewakili kepentingan mereka. Paradigma
sebagai center for public harus diikuti dengan berbagai aturan sehingga proses sebuah
usaha dapat dilakukan dengan baik dan efisien, selain itu pemerintah juga harus menjadi
public server dengan memberikan pelayanan yang baik, efektif, efisien, tepat waktu serta
4
dengan biaya yang murah, sehingga mereka memiliki kepercayaan dari masyarakat.
Partisipasi masyarakat sangat berperan besar dalam pembangunan, salah satunya
diwujudkan dengan pajak.
b. Penegakan Hukum (Rule of Law)
Penegakan hukum adalah pengelolaan pemerintah yang profesional dan harus
didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa. Penegakan hukum sangat berguna
untuk menjaga stabilitas nasional. Karena suatu hukum bersifat tegas dan mengikat.
Perwujudan good governance harus di imbangi dengan komitmen pemerintah untuk
menegakkan hukum yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
• Supremasi Hukum, yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara dan
peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
didasarkan pada hukum dan peraturan yang jelas dan tega dan dijamin
pelaksanaannya secara benar serta independen.
• Kepastian hukum, bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh
hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikasi dan tidak bertentangan antara satu
dengan lainnya.
• Hukum yang responsive, yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan aspirasi
msyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik secara
adil.
• Penegakan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif, yakni penegakan hukum
yang berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu jabatan maupun status
sosialnya sebagai contoh aparat penegak hukum yang melanggar kedisiplinan dan
hukum wajib dikenakan sanksi.
• Independensi peradilan, yakni peradilan yang bebas dari pengaruh penguasa atau
pengaruh lainnya.
5
c. Tranparasi (Transparency)
Akibat tidak adanya prinsip transparansi ini bangsa indonesia terjebak dalam
kubangan korupsi yang sangat parah. Salah satu yang dapat menimbulkan dan memberi
ruang gerak kegiatan korupsi adalah manajemen pemerintahan yang tidak baik. Dalam
pengelolaan negara, Goffer berpendapat bahwa terdapat delapan unsur yang harus
dilakukan secara transparasi, yaitu :
• Penetapan posisi dan jabatan.
• Kekayaan pejabat publik.
• Pemberian penghargaan.
• Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan.
• Kesehatan.
• Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik.
• Keamanan dan ketertiban.
• Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.
d. Peduli pada Stakeholders
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahanharus berusaha melayani
semua pihak yang berkepentingan.
e. Responsif (Responsiveness)
Prinsip responsif adalah bahwa pemerintah harus tanggap terhadap persoalan-
persoalan masyarakat secara umum. Pemerintah harus memenuhi kebutuhan
masyarakatnya, bukan menunggu masyarakat menyampaikan aspirasinya, tetapi
pemerintah harus proaktif dalam mempelajari dan mengalisa kebutuhan-kebutuhan
masyarakat. Jadi setiap unsur pemerintah harus memiliki dua etika yaitu etika individual
6
yang menuntut pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional. Dan
etika sosial yang menuntut pemerintah memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan
pubik. Orientasi kesepakatan atau Konsensus (Consensus Orientation).
f. Keadilan dan Kesetaraan (Equity)
Prinsip kesetaraan dan keadilan adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan
publik. Pemerintah harus bersikap dan berprilaku adil dalam memberikan pelayanan
terhadap publik tanpa mengenal perbedaan kedudukan, keyakinan, suku, dan kelas sosial.
g. Efektivitas (Effectifeness) dan Efisiensi (Efficiency)
Yaitu pemerintah harus berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektivitas biasanya
diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan
masyarakat dari berbagai kelopok dan lapisan sosial. Sedangkan asas efisiensi umumnya
diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Semakin kecil biaya yang dipakai untuk mencapai tujuan dan sasaran maka pemerintah
dalam kategori efisien.
h. Akuntabilitas (Accountability)
Prinsip akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pejabat publik terhadap
masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Setiap
pejabat publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan,
moral, maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas
akuntabilitas dalam upaya menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
i. Visi Strategis (Strategic Vision)
7
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang
akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam rangka realisasi good governance.
Dengan kata lain, kebijakan apapun yang akan diambil saat ini, harus diperhitungkan
akibatnya pada sepuluh atau dua puluh tahun ke depan. Tidak sekedar memiliki agenda
strategis untuk masa yang akan datang, seorang yang menempati jabatan publik atau
lembaga profesional lainnya harus mempunyai kemampuan menganalisis persoalan dan
tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya.
j. Demokrasi (Democracy)
Perumusan kebijakan pembangunan baik di pusat maupun daerah dilakukan melalui
mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh pihak eksekutif.
k. Profesionalisme dan Kompetensi (Profesionalism and competency)
Wujud nyata dari prinsip profesionalisme dan kompetensi dapat dilihat dari upaya
penilaian kebutuhan dan evaluasi yang dilakukan terhadap tingkat kemampuan dan
profesionalisme sumber daya manusia yang ada, dan dari upaya perbaikan atau
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
l. Desentralisasi (Decentralization)
Pendelegasian tugas dan kewenangan pusat kepada semua tingkatan aparat
sehingga dapat mempercepat proses pengambilan keputusan, serta memberikan
keleluasaan yang cukup untuk mengelola pelayanan publik dan mensukseskan
pembangunan di pusat maupun di daerah.
8
m. Kemitraan Dengan Dunia Usaha Swasta dan Masyarakat (Private Sector and Civil
Society Partnership)
Pembangunan masyarakat madani melalui peningkatan peran serta masyarakat dan
sektor swasta harus diberdayakan melalui pembentukan kerja sama atau kemitraan antara
pemerintah, swasta, dan masyarakat.
2.3 Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Sebagai Paradigma Baru
Pengendalian Pemerintahan
Indonesia sudah cukup banyak memiliki perangkat hukum untuk mengatur
penyelenggaraan prinsip good governance. Kesemuanya mengamanatkan kepada presiden
untuk mengendalikan langsung penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik. Salah
satunya seperti yang ditegaskan pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara. Di sana dikatakan bahwa pengatur dan penyelenggara sistem
pengendalian intern pemerintah (SPIP) untuk mengelola transparansi keuangan negara adalah
kepala pemerintahan.
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan bahwa pemegang kekuasaan
pemerintahan menurut undang-undang dasar berada di tangan presiden. Karena itu selaku
kepala pemerintahan, presiden wajib melaksanakan SPIP di seluruh organisasi pemerintahan.
Pengendalian internal akan melengkapi pengendalian eksternal yang sudah ditegakkan
pemerintah, seperti melalui lembaga kepolisian, kejaksaan, pemberantas korupsi, pengawas
keuangan maupun lembaga peradilan lainnya. Yang membedakan sistem pengendalian intern
ini adalah mekanisme pengendaliannya yang lebih menjamin kualitas dan kinerja
pemerintahan secara keseluruhan (apalagi jika berhasil diterapkan di seluruh lembaga
9
pemerintah pusat dan daerah). Prakondisi ini selanjutnya akan menghindarkan penyelenggara
negara dari tuntutan hukum administrasi, perdata maupun pidana.
SPIP (Sistem Pengendalian Intern Pemerintah) adalah sistem pengendalian intern
yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP mewajibkan
menteri/pimpinan lembaga, gubernur dan bupati/walikota untuk melakukan pengendalian
terhadap penyelenggaraan kegiatan pemerintahannya.
Tindakan pengendalian diperlukan untuk memberikan keyakinan yang memadai
(reasonable assurance) terhadap pencapaian efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan
penyelenggaraan pemerintahan negara. Pengendalian intern akan menciptakan keandalan
pelaporan keuangan, pengamanan aset negara dan ketaatan terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Tujuan akhir sistem pengendalian intern ini adalah untuk mencapai
efektivitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.
Pemerintah merasa perlu merumuskan SPIP karena telah terjadi perubahan dalam
penganggaran, sistem pencatatan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Hal ini
berdampak terhadap pendekatan sistem pengendalian internal, sehingga menjadi menjadi
tanggung jawab setiap pimpinan instansi --yang tentunya akan dibantu oleh Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).
Demi good governance, pengawasan intern dilakukan untuk memperkuat dan
menunjang efektivitas penyelenggaraan sistem pengendalian intern. Sistem pengendalian
yang semula berorientasi sekadar mematuhi ketentuan yang berlaku (compliance audit) akan
menuju sebagai tindakan audit yang dapat mengukur akuntabilitas operasional organisasi
(performance audit) dari kinerja aparat birokrasi.
Perubahan orientasi sistem pengendalian intern ini menjadikan presiden beserta
seluruh penyelenggara pemerintah di tingkat pusat dan daerah harus mampu melaksanakan
10
prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Langkah ini dimulai dari tahap perencanaan
sampai dengan proses pengendalian pada tahap pelaksanaannya. Situasi ini tentu saja
membuat presiden sangat membutuhkan sebuah sistem pengendalian internal. Sebab selaku
kepala negara (dan kepala pemerintahan), presiden bertugas sebagai pengelola, dan
penanggung gugat (akuntabilitas) pengelolaan keuangan negara. Tentu saja pengendalian
intern yang diperlukan tersebut harus merupakan sebuah sistem yang andal, menyeluruh,
utuh, serta berlaku efektif dalam mengikat tali koordinasi, dan membangun sistem
pengawasan antar-lembaga baik di tingkat pusat maupun daerah.
Sistem pengendalian intern merupakan proses integral pada tindakan dan kegiatan
yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai pemerintah.
Tindakan ini untuk memberi keyakinan yang memadai atas tercapainya tujuan organisasi
pemerintah yang optimal. Tentu saja optimalitas itu terjadi jika organisasi dapat berjalan
secara efektif dan efisien, memiliki keandalan pelaporan keuangan, menjalankan pengamanan
aset negara, dan taat terhadap peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, SPIP
dirumuskan secara komprehensif ke dalam lima unsur, yakni:
11
Gambar 2.1 Unsur SPIP
SPIP diadopsi dari sebuah konsep yang mencoba mengaitkan terjadinya perubahan
bertahap terhadap sistem pengendalian intern. Konsep ini telah disempurnakan berdasarkan
pengalaman selama menjalankan dan mempelajari sistem pengendalian intern. SPIP mencoba
meninggalkan pemahaman sistem pengendalian intern yang semula hanya berbasis
accounting control dan administrative control kemudian dapat dipadukan dengan unsur
lingkungan pengendalian (control environment). Meskipun demikian, SPIP masih tetap
mengaitkan tanggung jawab audit dengan laporan keuangan. Konsep SPIP diadopsi dari
sebuh grup studi: The Committee of Sponsoring Organization of the Treadway Commission
(COSO), berdasarkan publikasi laporan Internal Control-Integrated Framework (September
1992).
12
Menurut COSO, pengendalian manajemen terdiri lima komponen utama yang saling
berkaitan. Komponen tersebut bersumber dari cara manajemen (pimpinan)
menyelenggarakan tugasnya. Jika kinerja pimpinan organisasi baik, maka seluruh komponen
utama tersebut akan menyatu (built in) dan saling menjalin (permeatted) di dalam proses
manajemen. Oleh COSO, lima komponen sistem pengendalian intern dirumuskan sebagai:
lingkungan pengendalian (control environment); penilaian resiko (risk assessment); aktivitas
pengendalian (control activities); informasi dan komunikasi (information and
communication); serta pemantauan (monitoring);
Dengan pengertian tersebut, sistem pengendalian intern diartikan sebagai rangkaian
kegiatan, prosedur, proses, dan aspek lain yang berkaitan dengan pencapaian tujuan
penciptaan pengendalian intern. Dalam perkembangannya, kemudian terjadi pergeseran
karakter pengendalian yang tidak hanya mencakup rangkaian kegiatan dan prosedur, namun
menjadi suatu proses yang integral yang dipengaruhi oleh setiap orang di dalam organisasi.
Keterlibatan seluruh sumber daya manusia tersebut menjadi strategi manajemen organisasi
untuk mengantisipasi ketidakpastian yang mungkin terjadi (dialami) ketika sedang mencapai
tujuan organisasi.
Akibatnya karakter pengendalian intern bergeser dari hard control menuju soft
control. Hal ini akan ditandai dengan peningkatan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas
kinerja organisasi. Capaian itu tidak hanya dilakukan melalui prosedur dan mekanisme
pengendalian tetapi juga dengan meningkatkan kompetensi, kepercayaan, nilai etika, dan
penyatuan pandangan terhadap visi, misi, dan strategi organisasi.
COSO menjelaskan bahwa ciri yang paling berpengaruh pada efektivitas
pengendalian terletak pada proses. Hal ini membawa konsekuensi bahwa kesadaran terhadap
pentingnya pengendalian tidak boleh hanya menjadi tanggung jawab pimpinan lembaga
(manajemen puncak). Kesadaran terhadap manfaat pengendalian harus tersebar ke seluruh
13
anggota organisasi, tidak hanya kepada unit dan bagian organisasi terkecil, tetapi juga sampai
ke tingkat individu.
Akibatnya seluruh anggota organisasi harus memandang pengendalian sebagai alat
untuk mencapai tujuan, dan tanggung jawab penerapannya menjadi kewajiban bersama.
Meskipun demikian agar penerapannya efektif, konsep COSO tetap mengakui suatu ”tone at
the top”. Karena itu, pimpinan Instansi Pemerintah tetap ditekankan untuk mengambil
peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan pengendalian intern ini.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan demikian, SPIP memiliki suatu pemahaman bahwa pengendalian dirancang
untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuan. Rancangan pengendalian yang
ditetapkan akan disesuaikan dengan bentuk, luasan, dan kedalaman dari tujuan dan ukuran
organisasi, karakter dan lingkungan di mana operasi organisasi akan dilaksanakan. Melalui
konsep ini tidak ada pengendalian generik yang langsung dapat ditiru dan diterapkan pada
organisasi lain. Sehingga pengendalian harus dirancang sesuai dengan ciri kegiatan serta
lingkungan yang melingkupinya.
Intinya, seluruh komponen bangsa harus mengawal pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP. Karena dari peraturan ini terlihat upaya
mandiri aparatur pemerintah untuk menciptakan dirinya sebagai pegawai negara yang
profesional, berani menghindar dari perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme, dan ingin
menciptakan budaya kerja yang beradab (mulia) di lingkungan organisasinya. Namun semua
semangat itu hendaknya dibarengi dengan langkah cepat pemerintah untuk menciptakan
tingkat kesejahteraan yang memadai bagi para aparaturnya. Sebab tanpa itu, apa pun bentuk
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pasti akan selalu menemui jalan buntu. Yakni, lagi-
lagi tidak mampu dijalankan dan ditegakkan dengan konsisten, penuh integritas, serta
bertanggung jawab.
15
top related