232903702 case-anak-io-dan-juju
Post on 10-Jan-2017
500 Views
Preview:
TRANSCRIPT
CASE REPORT 2012
Homework Help
https://www.homeworkping.com/
Research Paper help
https://www.homeworkping.com/
Online Tutoring
https://www.homeworkping.com/STATUS PENDERITA
No. catatan medik : 01501844
Masuk RS : 22 Mei 2012
Pukul : 21.10 WIB
Tanggal Diperiksa : 25 Mei 2012
IDENTITAS
Identitas Pasien
Nama : An. N
Umur : 12 tahun (TTL : Garut, 17 September 1999)
Jenis kelamin : perempuan
Anak ke : 2 dari 4 bersaudara
Berat badan : 39 kg
Alamat : Jl. Ahmad Yani Gang Tanjung I, RT 004 No 909 Kota Wetan
Garut- Kota
Identitas Orang Tua
Ayah Ibu
Nama : Tn. A Nama : Ny. S
Umur :47 tahun Umur : 37 tahun
1
CASE REPORT 2012
Pendidikan : SMP Pendidikan : SD
Pekerjaan : Buruh Pekerjaan : Pedagang Kantin
I. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ibu pasien dan autoanamnesis (Tanggal 25 Mei 2012)
Keluhan utama : Batuk-batuk sejak 1 bulan SMRS
Keluhan tambahan :
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dibawa oleh orang tua dengan keluhan batuk-batuk sejak 1 bulan
SMRS. Batuk-batuk dirasakan semakin hebat pada malam hari. Batuknya disertai dahak yang
berwarna keputihan. Pasien juga merasa sesak terutama ketika batuk-batuk. Keluhan disertai
dengan demam yang hilang timbul sejak 3 bulan SMRS. Demam dirasakan sepanjang hari.
Pasien mengeluh adanya nyeri diseluruh bagian perut sejak 1 bulan SMRS. Nyeri
perut dirasakan hebat sehingga apabila perut ditekan pasien merasa kesakitan dan membuat
pasien sulit untuk bergerak akibat nyeri. Pasien mengaku jarang makan dan sedikit makan
akibat tidak nafsu makan. BAK dan BAB dirasakan lancar. Pasien juga merasa kedua kaki
lemas, sulit digerakkan dan susah untuk berjalan sejak 1 bulan SMRS.
Riwayat penurunan berat badan diakui pasien, menurut ibu pasien berat badan pasien
berkurang dari 43 kg ke 39 kg dalam waktu 1 bulan. Pasien juga mengeluh lemas sejak 1
bulan yang lalu dan tidak nafsu makan. Riwayat keringat malam diakui pasien. Riwayat
kontak dengan pamannya yang sedang dalam pengobatan paru selama 6 bulan.
Menurut ibu pasien, pasien suka terlihat mengantuk pada siang hari. Pasien juga lebih
sering tidur pada siang hari dan sulit dibangunkan dari biasanya. Namun, ibu pasien juga
mengeluh pada malam hari pasien sulit tidur akibat terganggu oleh batuk-batuknya yang
hebat.
Pasien sempat dibawa ke puskesmas dan dikatakan mempunyai penyakit mag serta
tipes. Pasien diberi 3 macam obat berwarna tablet berwarna hijau, putih, dan kuning yang
dikatakan merupakan obat mag dan antibiotik. Oleh karena pasien tidak kunjung sembuh
pasien dirujuk puskesmas ke RSUD Slamet Garut.
2
CASE REPORT 2012
Riwayat penyakit dahulu
Sebelumnya ibu penderita mengatakan bahwa pasien pernah mengalami batuk –batuk
selama + 1 bulan SMRS. Selama sakit tersebut pasien hanya berobat ke mantri namun tidak
ada perbaikan. Riwayat pengobatan TB sebelumnya disangkal. Riwayat amandel disangkal.
Riwayat keluar cairan dari hidung disangkal. Riwayat sakit jantung disangkal. Riwayat
berpergian jauh disangkal.
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga ada, paman dari pasien menderita
penyakit paru yang didiagnosa bronkhitis . Riwayat dalam keluarga pasien mengalami
kejang disangkal. Riwayat keluarga pasien mengalami batuk-batuk dalam waktu lama disertai
dengan keringat saat malam hari diakui.
Riwayat kehamilan
Pasien merupakan anak ke 2 dari 4 bersaudara. Selama hamil ibu pasien
memeriksakan kehamilannya di puskesmas dan posyandu secara rutin setiap sebulan sekali.
Selama hamil ibu pasien tidak ada keluhan. Ibu pasien juga tidak mengidap hipertensi dan
DM. Ibu pasien juga tidak merokok, tidak minum alkohol dan obat-obatan.
Riwayat persalinan
Pasien lahir di rumah ditolong oleh paraji, dengan usia kehamilan sembilan bulan,
lahir spontan, kepala lahir terlebih dahulu. Bayi lahir langsung menangis dengan berat badan
lahir 4000 gram dan panjang badan tidak diketahui. Riwayat kuning dan kebiruan pada bayi
disangkal.
Riwayat sosial-ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai buruh yang pekerjaan nya tidak tentu dengan
penghasilan rata-rata Rp. 50.000/hari. Ibu pasien sebagai pedagang kantin dengan
penghasilan 20.000/hari. Pasien tinggal serumah bersama kedua orang tua, 3 orang
saudaranya dan 1 orang pamannya. Rumah pasien berukuran 6 x 5 m2 dengan 2 ruang tamu, 2
kamar tidur yang berukuran 2 x 1 m2, 1 dapur yang ukuran 3x2 m2 dan kamar mandi yang
berukuran 1x1,5 m . Setiap ruangan terdapat jendela yang terdiri dari 2 jendela besar di
ruang tamu dan tiap kamar tidur terdiri dari jendela kecil. Lantai rumahnya berupa semen dan
atap terbuat dari genteng. Rumah pasien deket dengan pembuangan limbah pembuatan kulit
dan rumah pasien pencahayaan dari sinar matahari kurang dan lembab. Jika hujan turun
daerah rumah pasien sering terjadi banjir. 3
CASE REPORT 2012
Riwayat imunisasi
Umur Hep B BCG DPT POLIO CAMPAK
0 bulan - - - - -2 bulan - + - - -3 bulan - - - - -4 bulan - - - - -9 bulan - - - - -
Anamnesis makanan
Riwayat ASI sampai usia 2 tahun
Makan 3x hari dengan nasi + lauk pauk ( ayam, tempe, tahu, telur, ikan) + buah+
sayur- sayuran dan sering minum susu.
Anamnesis pertumbuhan
Pertumbuhan pasien terlihat sama dengan teman sebayanya dan mulai tumbuh gigi saat usia 6 bulan.
Anamnesis perkembangan
5 bulan : merangkak 7bulan : duduk 9bulan : mulai berjalan 11bulan : jalan 12ulan :ngomong 13ulan :berlari 2tahun :ngomong lengkap dan sudah mengerti
I. PEMERIKSAAN FISIK
Status Praesens
Keadaan umum
Kesadaran : Compos mentis tidak adekuat (apatis)
GCS = 14 (A4M6V5)
Kesan sakit : Tampak sakit berat
Ukuran antropometri
Berat badan : 39 kg
Panjang badan : 157 cm4
CASE REPORT 2012
Lingkar kepala : 51 cm
Lingkar perut : 60 cm
Lingkar lengan atas : 21 cm
Lingkar paha : 31 cm
Status gizi
BB/U : 39/41,5 x 100% = 94 % ( Normal)
TB/U : 157/151.5 x 100% = 103% (Normal)
BMI : BB/(TB)2 = 39/(1,57)2 = 15 (underweight)
Tanda vital
Tensi : 90/60 mmHg
Nadi : 70 x/menit, Reguler, equal, isi cukup
Respirasi : 50 x/menit, Cepat dangkal
Suhu : 37,1 oC
Status Generalis
Kelainan mukosa kulit/ subkutan yang menyeluruh :
Pucat : (+)
Kering dan mengkilap : (-)
Sianosis : (-)
Ikterus : (-)
Perdarahan : (-)
Edema umum : (-)
Turgor : kembali cepat
Pembesaran KGB : (+) di preaurikuler sinistra
KEPALA
5
CASE REPORT 2012
Bentuk : Normocephal, bulat, simetris
UUB : Datar, Menutup
Rambut : Hitam, ikal, tidak mudah dicabut, pertumbuhan lebat, signo de bandero (-)
Kulit : Kering, crazy pavement dermatosis (-)
Mata : Konjungtiva anemis (+/+) sklera ikterik (-/-), air mata (+/+), refleks cahaya (+/+), pupil bulat isokor diameter 3 mm, bercak bitot (-/-)
Telinga : Bentuk normal, simetris
Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), pernapasan cuping hidung (-/-)
Mulut : Bibir basah, sianosis (-), bercak koplik (-), angular chellosis (-), typhoid tongue (-)
Wajah : Tampak seperti orang tua (-), noma (-)
LEHER
Bentuk : Simetris
Trakhea : Di tengah
KGB : Teraba massa kenyal, mudah digerakan, tidak hiperemis, nyeri tekan positif di preaurikuler sinistra dengan ukuran 1x0,5 cm.
Retraksi suprsternal : (-)
THORAKS
Inspeksi : - Bentuk hemithorak kanan dan kiri asimetris, hemithorak kanan terlihat lebih cembung pada keadaan statis dan dinamis.
- Gerakan kedua hemithoraks asimetris, pada keadaan statis dan dinamis gerakan hemithorak kanan terlihat berkurang, retraksi sela iga (-).
Palpasi : Fremitus taktil dan vocal asimetris pada hemithorak kiri dan kanan, pada hemithorak kanan menurun.
6
CASE REPORT 2012
Perkusi : Pulmo : - Pada hemithorak kanan sonor pada ICS 1-3. Pada ICS 4 kebawah terdengar redup.
- sonor pada seluruh lapang hemithorak kiri.
Cor : - Jantung kanan : batas jantung kanan sulit dinilai.
- Jantung kiri : - Batas jantung kiri ICS 5 linea mid klavikula sinistra.
- Batas atas jantung ICS 2 linea parasternalis sinistra.
Auskultasi : Pulmo : - Terdengar rhonki basah sedang nyaring pada hemithorak kanan ICS 1-3. Pada ICS 4 kebawah terdengar suara pleural friction rub.
- Pada seluruh lapang hemithorak kiri terdengar suara rhonki basah sedang nyaring
Cor : Bunyi jantung I & II reguler murni, gallop (+) S3, murmur (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Permukaan tampak cembung tegang, retraksi epigastrium (-)
Auskultasi : BU (+) normal menurun
Perkusi : Terdengar redup pada 5 cm kearah kiri dari umbilkus, PS/PP +/+
Palpasi : NT (+)
Hepar : Sulit dinilai ( pasien kesakitan )
Lien : Tidak membesar ( pasien kesakitan )
Turgor : Kulit kembali cepat
GENITALIA EXTERNA
Kelamin : Perempuan, tidak ada pembesaran kelenjar inguinal, edema vulva (-)
EKSTREMITAS
Superior : akral teraba hangat, edema (-/-), sianosis (-/-), purpura (-/-)
Inferior : akral teraba hangat, edema (-/-), sianosis (-/-), purpura (-/-)
7
CASE REPORT 2012
STATUS NEUROLOGI
Kekuatan Motoris : -/-
-/-
Sensorik : Baik
Rangsang Meningeal : Kaku Kuduk (+)
Brudzinski I, II, III (+)
Reflek fisiologis : Trisep +/+ Bisep +/+ Brachioradialis +/+ `
KPR +/+ APR +/+
Refleks patologis : Babinsky +/+
Chaddock -/-
Oppenheim -/-
Schuffer -/-
Klonus +/+
Scoring TB
- Kontak : 2- Uji tuberculin : -- Berat badan/keadaan gizi : 0 - Demam tanpa sebab jelas : 1- Batuk kronik : 1- Pembesaran KBG : 1- Pembengkakan Sendi : 0- Rontgen Thorak : 2
Total skor : 7(TB Paru Positif)
II. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium
Tgl : 22-05-2012
8
CASE REPORT 2012
Hematologi
Darah Rutin
Hasil Nilai normal
Hemoglobin 8.9 g/dl 12.0- 16.0 g/dl
Hematokrit 29 % 35-47 %
Lekosit 10.600/mm3 3.800 – 10.600/mm3
Trombosit 461.000/mm3 150.000-440.000/mm3
Eritrosit 3.59 juta/mm3 3.6 – 5.8 juta/mm3
Hitung Jenis Lekosit
Basofil 0% 0-1%
Eosinofil 0% 1-6%
Batang 0% 3-5%
Segmen 87% 40-70%
Limfosit 13% 30-45%
Monosit 0% 2-10%
III. DIAGNOSIS BANDING
Pleuritis Exudativa ec TB + TB milier + Meningitis Purulenta + Peritonitis TB + decomposatio cordis ec anemia kronik + anemia kronik ec low intake + hipoalbuminemia et hiponatremia et hipokalemia ec low intake.
Pleuritis Exudativa ec TB + TB milier + Meningitis Serosa Grade 2 ec TB + Peritonitis TB + decomposatio cordis ec anemia kronik + anemia kronik ec low + hipoalbuminemia et hiponatremia et hipokalemia ec low intake
IV. DIAGNOSIS KERJA
Pleuritis Exudativa ec TB + TB milier + Meningitis Serosa Grade 2 ec TB + Peritonitis TB + decomposatio cordis grade III ec anemia kronik + anemia kronik ec low intake + hipoalbuminemia et hiponatremia et hipokalemia ec low intake.
V. PENATALAKSANAAN
9
CASE REPORT 2012
Terapi umum
1. Istirahat ; Tirah baring2. Pemberian O2 2-3 liter/menit3. Diet : Tinggi kalori Tinggi protein dengan kalori
Terapi khusus
Infus Asering = 20 gtt/menit (makro) Inj.cefotaxim = 2 x 1 gr Tab Prednisone 3-3-2 tablet Pulv Rifampisin 1 x 585 mg Pulv Isoniazid 1 x 390 mg Pulv Vit B6 1 x 10 mg Pulv Pirazinamid 2 x 585 mg Inj streptomisin 1x750 mg Paracetamol 3x3/4 tablet Syr Ambroxol 3 x cth 1 Transfusi PRC 1x600 cc Inj furosemide 1x1 ampul
VI. USULAN PEMERIKSAAN
Pemeriksaan hematologi: darah rutin (Hb, Ht, Lekosit, Trombosit, Eritrosit,
hitung jenis, LED).
Kimia Klinik: protein total, albumin, SGOT, SGPT, Ureum, Kreatinin, Glukosa
dara sewaktu, Kalium, natrium
Rontgen Thorak Lateral dextra
Rontgen abdomen posisi
Mantoux test
Pungsi lumbal dan pemeriksaan cairan serebrospinal (Glukosa, Protein, sel, dan
mkrobiologis ).
EKG
Mielografi atau MRI.
VII. PROGNOSIS Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
10
CASE REPORT 2012
Quo ad sanationam : dubia ad malam
FOLLOW UP
TANGGAL SUBJEKTIF OBJEKTIF INSTRUKSI
24 Mei
2012
Sesak (+)
batuk (+)
KU = sakit berat KS = compos mentisT = 110/70 mmHgN = 70 x/mnt regular, equal, isi cukupR = 50 x/mntS = 37,1°CKepala : UUB menutupMata: CA (+/+),SI (-/-), edema palpebtra -/-, air mata +/+Hidung : PCH (-/-), sekret (-/-)Mulut: SPO (-), mukosa bibir lembab, Leher :pembesaran KGB (-), retraksi suprasternal (-)ThoraksI : Gerak hemitoraks kanan tertinggal disbanding kiri.Bentuk hemitorak kanan dan kiri asimetris, hemitorak kanan terlihat lebih cembung dibanding kiriP: fremitus taktil pada hemitorak kanan tertinggal dibanding hemitorak kiri Fremitus vocal hemitorak kanan < disbanding hemitorak kiriP: Pada hemitorak ditemukan sonor pada sela iga 1-3 kanan. Pada sela iga 4 ke bawah terdengar redup.Pada hemitorak kiri terdengar sonor.A: pulmo : VBS kanan-kiri asimetris, terdengar rhonki basah sedang nyaring
Terapi umumO2 2-3 liter/mTerapi khusus Inf Assering 20
gtt/menit Inj Cefotaxime: 2 x 1
gr IV Inj streptomisin 1x1
gr IV Tab Rimpamfisin
1x1 cap Tab INH 1x11/4 cap Tab Vit B6 1x10 mg Tab Pirazinamid
1x1cap Syr Ambroxol 3x1cth
11
CASE REPORT 2012
pada hemitorak kiri, Pada hemitprak kanan sela iga 1-3 terdengar rhonki basah sedang nyaring . pada sela iga 4 terdengar pleural friction rub.whezzing (-/-)Cor: batas jantung kanan sulit dinilaiBatas jantung kiri sela iga 5 midclavicula sinistraBatas atas jantung sela iga 2 linea para sternalis sinistra.A: BJI-BJII reguler, murmur (-); Gallop (+) s3-s4.AbdomenI: cembung tegangA: BU (+) menurunP: hepar dan lien sulit baikP: pekak samping/pekak pindah -/-EkstremitasAkral: teraba hangat, edema pretibial (-/-), sianosis (-)Status NeurologisRangsang Meningens kaku kuduk (+)Bruzunsky I, II,III (+)
LaboratoriumHEMATOLOGIDarah rutin
Hb : 8,02g/dl Ht : 27 % Lekosit: 10.600/mm3
Trombosit :407.000/mm3
Eritrosit : 3.25 juta/mm3
Kimia Klinik Glukosa Daah Sewaktu : 93
mg/dl 25- Mei
2012
Sesak (+)
batuk (+)
KU = sakit berat KS = compos mentisT = 90/60 mmHgN = 144 x/mnt regular, equal, isi cukupR = 52 x/mntS = 36,6°CKepala : UUB menutupMata: CA (+/+),SI (-/-), edema palpebtra -/-, air mata +/+
Terapi umumO2 2-3 liter/mTerapi khusus Inf Assering 20
gtt/menit Inj Cefotaxime: 2 x 1
gr IV Inj streptomisin 1x1
12
CASE REPORT 2012
Hidung : PCH (-/-), sekret (-/-)Mulut: SPO (-), mukosa bibir lembab, Leher :pembesaran KGB (-), retraksi suprasternal (-)ThoraksI : Gerak hemitoraks kanan tertinggal disbanding kiri.Bentuk hemitorak kanan dan kiri asimetris, hemitorak kanan terlihat lebih cembung dibanding kiriP: fremitus taktil pada hemitorak kanan tertinggal dibanding hemitorak kiri Fremitus vocal hemitorak kanan < disbanding hemitorak kiriP: Pada hemitorak ditemukan sonor pada sela iga 1-3 kanan. Pada sela iga 4 ke bawah terdengar redup.Pada hemitorak kiri terdengar sonor.A: pulmo : VBS kanan-kiri asimetris, terdengar rhonki basah sedang nyaring pada hemitorak kiri, Pada hemitprak kanan sela iga 1-3 terdengar rhonki basah sedang nyaring . pada sela iga 4 terdengar pleural friction rub.whezzing (-/-) Cor: batas jantung kanan sulit dinilaiBatas jantung kiri sela iga 5 midclavicula sinistraBatas atas jantung sela iga 2 linea para sternalis sinistra.A: BJI-BJII reguler, murmur (-);Gallop (+) s3-s4.AbdomenI: cembung tegangA: BU (+) menurunP: hepar dan lien sulit baikP: pekak samping/pekak pindah -/-EkstremitasAkral: teraba hangat, edema pretibial (-/-), sianosis (-)Status NeurologisRangsang Meningens kaku kuduk (+)Bruzunsky I, II,III (+)
gr IV Tab Rimpamfisin
1x1 cap Tab INH 1x11/4 cap Tab Vit B6 1x10 mg Tab Pirazinamid
1x1cap Syr Ambroxol 3x1cth
13
CASE REPORT 2012
LaboratoriumHEMATOLOGIDarah rutin
Hb : 10,9 g/dl Ht : 35 % Lekosit :11.400 /mm3
Trombosit : 291.000/mm3
Eritrosit : 4.34 juta/mm3
Hitung Jenis Lekosit Basofil : 0% Eosinofil : 0% Batang : 0% Segmen : 90% Limfosit : 10 % Monosit : 0%
Kimia Klinik Protein total: 6.00 g/dl Albumin : 2.66 mg/dl SGOT : 63 U/L SGPT : 21 U/L Ureum : 24 mg/dl Kreatinin : 0.42 mg/dl
26- Mei
2012
Sesak (+)
batuk (+)
KU = sakit berat KS = compos mentisT = 110/90 mmHgN = 130x/mnt regular, equal, isi cukupR = 50 x/mntS = 37,1°CKepala : UUB menutupMata: CA (+/+),SI (-/-), edema palpebtra -/-, air mata +/+Hidung : PCH (-/-), sekret (-/-)Mulut: SPO (-), mukosa bibir lembab, Leher :pembesaran KGB (-), retraksi suprasternal (-)ThoraksI : Gerak hemitoraks kanan tertinggal dibanding kiri.Bentuk hemitorak kanan dan kiri asimetris, hemitorak kanan terlihat lebih
Terapi umumO2 2-3 liter/mTerapi khusus Inf Assering 20
gtt/menit Inj Cefotaxime: 2 x 1
gr IV Inj streptomisin 1x1
gr IV Tab Rimpamfisin
1x1 cap Tab INH 1x11/4 cap Tab Vit B6 1x10 mg Tab Pirazinamid
1x1cap Syr Ambroxol 3x1cth
14
CASE REPORT 2012
cembung dibanding kiriP: fremitus taktil pada hemitorak kanan tertinggal dibanding hemitorak kiri Fremitus vocal hemitorak kanan < disbanding hemitorak kiriP: Pada hemitorak ditemukan sonor pada sela iga 1-3 kanan. Pada sela iga 4 ke bawah terdengar redup.Pada hemitorak kiri terdengar sonor.A: pulmo : VBS kanan-kiri asimetris, terdengar rhonki basah sedang nyaring pada hemitorak kiri, Pada hemitprak kanan sela iga 1-3 terdengar rhonki basah sedang nyaring . pada sela iga 4 terdengar pleural friction rub.whezzing (-/-) Cor: batas jantung kanan sulit dinilaiBatas jantung kiri sela iga 5 midclavicula sinistraBatas atas jantung sela iga 2 linea para sternalis sinistra.A: BJI-BJII reguler, murmur (-);Gallop (+) s3-s4.AbdomenI: cembung tegangA: BU (+) menurunP: hepar dan lien sulit baikP: pekak samping/pekak pindah -/-EkstremitasAkral: teraba hangat, edema pretibial (-/-), sianosis (-)Status NeurologisRangsang Meningens kaku kuduk (+)Bruzunsky I, II,III (+)
LaboratoriumKimia Klinis
Natrium : 124 mEq/L Kalium :3,3 mEq/L
27 Mei
2012
Pasien pulang paksa
15
CASE REPORT 2012
RESUME
1. Anamnesa
Seorang anak, perempuan, 12 tahun, BB = 39 dengan keluhan batuk-batuk sejak 1 bulan SMRS. Batuknya disertai dahak yang berwarna keputihan dan dirasakan memburuk pada malam hari. Pasien juga merasa sesak terutama ketika batuk-batuk, aktivitas dan pada malam hari. Keluhan disertai dengan demam yang hilang timbul sejak 3 bulan SMRS. Pasien mengeluh adanya nyeri diseluruh bagian perut sejak 1 bulan SMRS. Pasien mengaku jarang makan dan sedikit maka. Pasien juga merasa kedua kaki lemas.
Riwayat penurunan berat badan diakui pasien. Riwayat keringat malam diakui pasien. Riwayat kontak dengan pamannya yang sedang dalam pengobatan paru selama 6 bulan. Menurut ibu pasien, pasien suka terlihat mengantuk pada siang hari. Oleh karena pasien tidak kunjung sembuh pasien dirujuk puskesmas ke RSUD Slamet Garut.
2. Pemeriksaan fisik
KU : SB
KS : CM
Status gizi
BB/U : 39/41,5 x 100% = 94 % ( Normal)
TB/U : 157/151.5 x 100% = 103% (Normal)
BMI : BB/(TB)2 = 39/(1,57)2 = 15 (underweight)
Tanda vital
Tensi : 90/60 mmHg
Nadi : 70 x/menit, Reguler, equal, isi cukup
Respirasi : 50 x/menit, Cepat dangkal
Suhu : 37,1 oC
UUB : Datar, Menutup
Mata : Konjungtiva anemis (+/+) sklera ikterik (-/-), air mata (+/+)16
CASE REPORT 2012
Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), pernapasan cuping hidung (-/-)
Mulut : Bibir basah, sianosis (-)
Leher : Trakea di tengah, KGB teraba massa kenyal, dengan ukuran 1x0,5 cm di preaurikuler sinistra, Retraksi suprsternal : (-)
Thorak :
Inspeksi : - Bentuk hemithorak kanan dan kiri asimetris, hemithorak kanan terlihat lebih cembung.
- Gerakan hemithorak kanan terlihat berkurang.
Palpasi : Fremitus taktil dan vocal pada hemithorak kanan menurun.
Perkusi : Pulmo : - Pada hemithorak kanan sonor pada ICS 1-3. Pada ICS 4 kebawah terdengar redup.
Cor : - Jantung kanan : batas jantung kanan sulit dinilai.
Auskultasi : Pulmo : - Terdengar rhonki basah sedang nyaring pada hemithorak kanan ICS 1-3. Pada ICS 4 kebawah terdengar suara pleural friction rub.
- Pada seluruh lapang hemithorak kiri terdengar suara rhonki basah sedang nyaring
Cor : Bunyi jantung I & II reguler murni, gallop (+) S3, murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi : Permukaan tampak cembung tegangAuskultasi : BU (+) menurun
Perkusi : Terdengar redup pada 5 cm kearah kiri dari umbilkus, PS/PP +/+
Palpasi : NT (+) pada seluruh quadran abdomen
Hepar dan Lien : Sulit dinilai ( pasien kesakitan )
Turgor : Kulit kembali cepat
Extremitas : Teraba hangat, edema (-/-), sianosis (-/-)
17
CASE REPORT 2012
Status Neurologi
Kekuatan Motoris : 5/5
3/3
Sensorik : Baik
Rangsang Meningeal : Kaku Kuduk (+)
Brudzinski I, II, III (+)
Reflek fisiologis : Trisep +/+ Bisep +/+ Brachioradialis +/+ `
KPR +/+ APR +/+
Refleks patologis : Babinsky +/+
Klonus +/+
Scoring TB
Total skor : 7 (TB Paru Positif)
18
CASE REPORT 2012
PEMBAHASAN
1. Pleuritis Exudativa ec TB + TB milier
Dari anamnesa didapatkan :
- Batuk lama sejak 1 bulan SMRS
- Sesak sejak 1 bulan SMRS
- Demam sejak 3 bulan SMRS
- Adanya penurunan berat badan dan keringat malam.
- Adanya kontak penderita dengan paman pasien.
- Scoring TB : 7 ( positif )
Dari pemeriksaan fisik :
- Frekuensi Nafas : 50 x/menit
- Thorak
Inspeksi : - Bentuk hemithorak kanan dan kiri asimetris, hemithorak kanan terlihat lebih cembung.
- Gerakan hemithorak kanan terlihat berkurang.
Palpasi : Fremitus taktil dan vocal pada hemithorak kanan menurun.
Perkusi : Pulmo : - Pada hemithorak kanan sonor pada ICS 1-3. Pada ICS 4 kebawah terdengar redup.
Auskultasi : Pulmo : - Terdengar rhonki basah sedang nyaring pada hemithorak kanan ICS 1-3. Pada ICS 4 kebawah terdengar suara pleural friction rub.
- Pada seluruh lapang hemithorak kiri terdengar suara rhonki basah sedang nyaring
Dari rontgen thorak :
- Ditemukan adanya perselebungan pada lapang paru kanan atas sampai
bawah
19
CASE REPORT 2012
- Tampak bercakan halus dengan bentuk yang khas dengan ukuran
seragam pada kedua lapang paru ( milli yang tersebar pada seluruh
lapangan paru.
Kesan : Kp duplek aktif + Efusi pleura dextra
2. Meningitis Serosa Grade 2 ec TB Paru
Dari anamnesa didapatkan :
- Pasien terlihat mengantuk sepanjang hari
- Jika pasien tertidur lebih lama dan sulit dibangunkan
- Pasien sulit untuk diajak komunikasi
- Skor Tb 7 ( positif )
Dari pemeriksaan fisik :
- Kesadaran compos mentis tidak adekuat ( apatis )
Status Neurologi
Kekuatan Motoris : 5/5
3/3
Sensorik : Baik
Rangsang Meningeal : Kaku Kuduk (+)
Brudzinski I, II, III (+)
Reflek fisiologis : Trisep +/+ Bisep +/+ Brachioradialis +/+ `
KPR +/+ APR +/+
Refleks patologis : Babinsky +/+
Klonus +/+
3. Peritonitis TB
Dari Anamnesa didapatkan :
- Pasien mengeluh adanya nyeri diseluruh bagian perut sejak 1
bulan SMRS.
- Nyeri perut dirasakan hebat sehingga apabila perut ditekan
pasien merasa kesakitan.
20
CASE REPORT 2012
Pada pemeriksaan fisik :
Abdomen :
Inspeksi : Permukaan tampak cembung tegangAuskultasi : BU (+) menurun
Perkusi : Terdengar redup pada 5 cm kearah kiri dari umbilkus, PS/PP +/+
Palpasi : NT (+) pada seluruh quadran abdomen
Hepar dan Lien : Sulit dinilai ( pasien kesakitan )
4. Decomposatio cordis Grade III ec Anemia kronik
Pada anamnesis didapatkan :
- Sesak sejak 1 bulan SMRS
- Sesak saat beraktivitas ringan ( contoh : pergi keWC )
- Sesak pada malam hari sehingga pasien terbangun
- Batuk pada malam hari
Pada pemeriksaan fisik :
- Cor : Bunyi jantung I & II reguler murni, gallop (+) S3, murmur (-)
Pemeriksaan Lab :
Hematologi
Darah Rutin
Hasil Nilai normal
Hemoglobin 8.9 g/dl 12.0- 16.0 g/dl
Hematokrit 29 % 35-47 %
Lekosit 10.600/mm3 3.800 – 10.600/mm3
Trombosit 461.000/mm3 150.000-440.000/mm3
Eritrosit 3.59 juta/mm3 3.6 – 5.8 juta/mm3
5. Anemia Kronik ec Low intake
21
CASE REPORT 2012
Pada anamnesis didapatkan :
- Pasien mengeluh lemas dan pucat
- Pasien mengeluh tidak nafsu makan
Pada pemeriksaan fisik :
Mata : conjungtiva anemis +/+
Pemeriksaan Lab :
Hematologi (tgl 22-05-2012)
Darah Rutin
Hasil Nilai normal
Hemoglobin 8.9 g/dl 12.0- 16.0 g/dl
Hematokrit 29 % 35-47 %
Eritrosit 3.59% 3.6 – 5.6%
Hematologi (tgl 24-05-2012)
Darah Rutin
Hasil Nilai normal
Hemoglobin 8.2 g/dl 12.0- 16.0 g/dl
Hematokrit 27 % 35-47 %
Eritrosit 3.25% 3.6 – 5.6%
Hematologi (tgl 22-05-2012)
Darah Rutin
Hasil Nilai normal
Hemoglobin 8.9 g/dl 12.0- 16.0 g/dl
Hematokrit 29 % 35-47 %
Eritrosit 3.59% 3.6 – 5.6%
Hematologi (tgl 25-05-2012) Hasil Nilai normal
22
CASE REPORT 2012
Darah Rutin
Hemoglobin 10.9 g/dl 12.0- 16.0 g/dl
Hematokrit 35 % 35-47 %
Eritrosit 4.34% 3.6 – 5.6%
6. Hipoalbuminemia et hiponatremia et hipokalemia ec low intake
Pada anamnesis didapatkan :
- Pasien mengeluh lemas.
- Pasien mengeluh tidak nafsu makan
Pada pemeriksaan fisik :
-pasien terlihat lemah.
-Mata : konjutiva anemis +/+
Pemeriksaan Lab :
Laboratorium (25-05-2012)Kimia Klinik
Protein total: 6.00 g/dl Albumin : 2.66 mg/dl
Laboratorium (26-05-2012) Kimia Klinis
Natrium : 124 mEq/L Kalium :3,3 mEq/L
23
CASE REPORT 2012
TB MILIER
1. DEFINISI
Tuberkulosis milier merupakan jenis tuberkulosis yang bervariasi mulai dari infeksi
kronis, progresif lambat, hingga penyakit fulminan akut, yang disebabkan penyebaran
hematogen atau limfogen dari bahan kaseosa terinfeksi ke dalam aliran darah dan mengenai
banyak organ dengan tuberkel-tuberkel mirip benih padi. Tuberkulosis jenis ini bisa terjadi
pada semua golongan umur, namun sebagian besar penderita berumur kurang dari 5 tahun.
2. EPIDEMIOLOGI
Menurut penyelidikan WHO dan UNICEF di daerah Yogyakarta 0,6% penduduk
menderita TB dengan basil tuberkulosis positif dalam dahaknya, dengan perbedaan
prevalensi antara di kota dan di desa masing-masing 0,5 – 0,8% dan 0,3 – 0,4%. Uji
tuberkulin pada 50% penduduk menunjukkan hasil positif dengan perincian berdasarkan
golongan umur sebagai berikut :
1 – 6 tahun : 25,9%
7 – 14 tahun : 42,4%
15 tahun ke atas : 58,6%
3. ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. Kuman
ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan.
Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati
dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang
gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama
beberapa tahun. Fraksi protein basil tuberculosis menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan
24
CASE REPORT 2012
lemaknya menyebabkan sifat tahan asam dan merupakan faktor penyebab terjadinya fibrosis
dan terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel. Basil TB tidak membentuk toksin (baik
endotoksin maupun eksotoksin)
4. PATOGENESIS
5. GEJALA KLINIS
Anak umumnya mengalami gejala kronis seperti batuk yang tak kunjung sembuh,
demam, dan turunnya berat badan atau tidak naiknya berat badan terutama setelah menjalani
program perbaikan gizi (nutritional rehabilitation). Batuk kronik didefinisikan sebagai batuk
yang tak kunjung sembuh dan tidak membaik selama lebih dari 21 hari (3 minggu). Demam
di sini didefinisikan sebagai demam lebih dari 380C selama 14 hari setelah kemungkinan
penyebab lain dapat disingkirkan.
Walaupun TB luar paru-paru (extra pulmonary) seringkali tidak menunjukkan tanda yang
jelas, beberapa tanda cukup spesifik untuk memulai pemeriksaan dan penanganan sesegera
mungkin.
Tanda fisik seperti tonjolan di tulang belakang (gibbus) atau pembesaran kelenjar
getah bening leher yang tidak nyeri dengan pembentukan saluran tempat keluarnya nanah
(fistula) sangat sugestif untuk TB luar paru-paru. Radang selaput otak (meningitis) yang tidak
menunjukkan respon terhadap antibiotik, cairan pada rongga antara paru-paru dengan dinding
25
CASE REPORT 2012
dada (pleural effusion), cairan pada rongga selaput jantung (pericardial effusion), cairan pada
rongga perut (ascites), pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri tanpa
pembentukan fistula, pembengkakan sendi yang tidak nyeri, atau benjolan keras kemerahan
di lengan/kaki (erythema nodosum) juga merupakan tanda-tanda perlunya dilakukan
pemeriksaan TB lebih lanjut. Demam, berat badan turun atau tetap, serta anoreksia
menempati urutan atas sebagai gejala TB pada bayi. Hal ini sesuai dengan Miller. Batuk
merupakan gejala utama infeksi saluran nafas akut yang mencurigakan. TB biasanya batuk
lama yang bukan karena asma atau penyakit lain seperti pertusis. Kejang pada TB berat
(milier) mungkin akibat meningitis.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan pembesaran kelenjar getah bening dan
hepatosplenomegali. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa TB berat
(TB milier) sebagian besar akan melibatkan organ lain seperti hati, limpa, dan kelenjar
getah bening.
6. DIAGNOSIS
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menentukan diagnosis TB pada anak seperti uji
serologis, kultur M. tuberculosis dan lain-lain, namun masih belum mampu memastikan
diagnosis secara sederhana, murah, cepat dan akurat. TB dapat menyerang semua lapisan,
jenis kelamin dan usia. Bila TB terjadi pada masa bayi, diagnosis sering terlambat karena
keterlambatan bayi dibawa ke petugas kesehatan dalam hal ini dokter. Tidak jarang bayi
dibawa sudah dalam keadaan berat seperti TB milier atau meningitis. Karena
sulitnya memperoleh sediaan dahak pada anak, beberapa kriteria klinis yang sederhana telah
diajukan untuk mendiagnosis TB pada anak. Kriteria ini didasarkan pada kriteria WHO untuk
mendiagnosis TB pada anak. Diagnosis TB ditegakkan jika diperoleh 3 dari kriteria berikut
ini:
1. Tes tuberkulin kulit yang positif
2. Gejala kronis sesuai TB
3. Perubahan fisik sugestif untuk TB
4. X-ray dada sugestif untuk TB
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
26
CASE REPORT 2012
1. Tes tuberkulin kulit (Mantoux)
Tes ini dikategorikan sebagai positif jika ditemukan:
Indurasi (tonjolan keras) ≥ 5 mm pada anak berisiko tinggi. Definisi risiko tinggi
beberapa di antaranya adalah infeksi HIV dan kurang gizi yang berat. Kadang pada
anak dengan HIV, kurang gizi yang berat, atau masalah lain yang menurunkan
kekebalan tubuh, tes ini akan menunjukkan hasil negatif palsu karena kekebalan tubuh
yang cukup dibutuhkan untuk memberikan reaksi terhadap tes
Indurasi ≥ 10 mm pada anak lainnya, baik yang pernah menerima BCG atau tidak
2. X-ray dada
Pada sebagian besar kasus, X-ray dada akan menunjukkan perubahan yang
tipikal untuk TB. Gambaran X-ray paling umum adalah memutihnya suatu area di
paru-paru dalam jangka waktu yang lama (persistent opacification) dengan
pembesaran kelenjar getah bening di pangkal paru-paru (hilar) atau di sekitar
pangkal saluran udara (subcarinal). Gambaran perubahan di bagian atas atau
tengah paru-paru lebih umum ditemukan dibanding di bagian bawah. Anak dengan
gambaran seperti ini yang tidak membaik setelah pemberian antibiotik harus
menjalani pemeriksaan TB lebih lanjut. Gambaran X-ray dengan titik-titik putih yang
tersebar di seluruh paru-paru (miliari) sangat sugestif untuk TB.
Pasien remaja umumnya memiliki gambaran X-ray dada serupa dengan pasien
dewasa dengan adanya cairan di rongga pleura (pleural effusion) dan memutihnya bagian
puncak paru-paru dengan pembentukan lubang (cavity).
3. Tes bakteriologis
Pada anak, bahan untuk tes bakteriologis dapat diperoleh dari
dahak, pengambilan cairan (aspirasi) dari lambung, atau cara lainnya seperti biopsi
kelenjar getah bening. Pemeriksaan bakteriologis berperan penting terutama pada anak
dengan:
Kecurigaan resistensi terhadap obat
Infeksi HIV
Kasus yang kompleks atau parah
27
CASE REPORT 2012
Diagnosis yang tidak pasti
Dahak untuk diperiksa dengan mikroskop umumnya dapat diperoleh
pada anak ≥ 10 tahun. Pada anak di bawah 5 tahun, dahak sangat sulit diperoleh dan
sebagian besar akan menunjukkan hasil negatif. Seperti pada pasien dewasa,
pemeriksaan dahak membutuhkan 3 sediaan: yang diperoleh pada awal evaluasi, pada
pagi berikutnya, dan pada kunjungan berikutnya. Aspirasi cairan lambung dengan
selang khusus lambung yang dimasukkan dari hidung (nasogastric tube) dapat
dilakukan pada anak yang tidak dapat atau tidak mau mengeluarkan dahak. Cara
lain yang dapat dilakukan adalah induksi dahak.
4. Penggunaan Diagnostic Score Charts
Tabel Sistem Skoring diagnosis tuberculosis anak
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas Laporan keluarga, BTA (-) atau tidak tahu
Kavitas (+) BTA tidak jelas
BTA (+)
Uji tuberkulin negatif Positif (≥ 10 mm, atau ≥ 5 mm pada keadaan imunosupresi
Berat badan/keadaan gizi
BB/TB <90%> Klinis gizi buruk atau BB/TB <70%>
Demam tanpa sebab jelas
≥ 2 minggu
Batuk ≥ 3 minggu
Pembesaran kel.limfe kolli, aksila, inguinal
≥ 1 cm, jumlah > 1, tidak nyeri
Pembengkakan Ada
28
CASE REPORT 2012
tulang/sendi, panggul, lutut, tulang
pembengkakan
Foto rontgen Thoraks
Normal/ tidak jelas
Infiltrat
Pembesaran kelenjar
Konsolidasi segmental/lobar
atelektasis
Kalsifikasi + infiltrat
Pembesaran kelenjar + infiltr
7. PENATALAKSAN
Mengacu kepada ketentuan WHO, pengobatan TBC Milier pada prinsipnya sama dengan pengobatan TBC pada umumnya, yaitu perpaduan dari beberapa jenis antituberkulosa baik yang bakteriostatik maupun bakterisid, yaitu :
1. Isoniasid (H). Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pengobatan. Dosis harian : 5 mg/kg BB, dosis intermiten 3 x / minggu : 10 mg/kg BB.
2. Rifampisin (R). Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang tidak bisa dibunuh oleh Isoniasid. Dosis harian dan dosis intermiten sama, yaitu : 10 mg/kg BB.
3. Pirazinamid (Z). Bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berada di dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian : 25 mg/kg BB, dosis intermiten 35 mg/kg BB.
4. Streptomisin (S). Bersifat bakterisid, dosis harian dan intermiten sama, yaitu : 15 mg/kg BB.
5. Etambutol (E). Bersifat bakteriostatik, dosis harian : 15 mg/kg BB, dosis intermiten : 30 mg/kg BB.
Pengobatan dibagi dalam 2 tahap yaitu :
1. Tahap Intensif : Pada tahap ini kombinasi obat diberikan setiap hari selama 60 - 90 hari minum obat.
29
CASE REPORT 2012
2. Tahap Lanjutan : Jenis obat yang diberikan pada tahap ini lebih sedikit, tetapi dengan jangka waktu yang lebih lama, yaitu selama 4 - 5 bulan dengan 54 - 66 hari minum obat (3x/minggu).
Panduan Obat yang ada di Indonesia adalah :
1. Katagori I
- Tahap Intensif , 60 hari minum obat setiap hari dengan perpaduan obat sbb : Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E).
- Tahap lanjutan, 54 hari minum obat selama 4 bulan (3x/minggu), dengan paduan sbb: Isoniasid (H) dan Rifampisin (R).
Obat ini diberikan untuk :
a. Penderita baru TBC Paru BTA positif
b. Penderita TBC Paru BTA negatif, Rontgen positif sakit berat.
c. Penderita TBC ekstra paru berat.
2. Katagori II
- Tahap Intensif, selama 90 hari, terdiri dari 60 hari dengan paduan obat : Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) serta suntikan Streptomisin (S). Dan 30 hari dengan paduan seperti di atas minus suntikan Streptomisin (S).
- Tahap Lanjutan, selama 66 hari minum obat dalam 5 bulan (3x/minggu), dengan paduan : Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Etambutol (E).
Obat ini diberikan untuk :
a. Penderita kambuh (relaps).
b. Penderita gagal dengan pengobatan sebelumnya (failure).
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)
3. Katagori III
- Tahap Intensif, 60 hari minum obat setiap hari dengan perpaduan obat : Isoniazid (H), Rifampisin (R), dan Pirasinamid (Z).
- Tahap Lanjutan, 54 hari minum obat dalam 4 bulan (3x/minggu) dengan perpaduan obat : Isoniazid (H) dan Rifampisin (R).
Obat ini diberikan untuk :
a. Penderita baru TBC Paru BTA negatif, rontgen positif sakit ringan.
30
CASE REPORT 2012
b. Penderita TBC ekstra paru ringan.
4. Obat Sisipan
Obat ini diberikan kepada penderita yang mendapat pengobatan Katagori I atau Katagori II, dimana pada akhir pengobatan fase intensif hasil pemeriksaan BTA masih positif. Obat fase sisipan diberikan setiap hari selama 30 hari dengan perpaduan obat : Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E).
TBC Milier bersama dengan TBC dengan Meningitis, TBC Pleuritis Eksudatif, TBC Parikarditis Konstriktif, direkomendasikan untuk mendapat pengobatan dengan :
1. Katagori I, dan
2. Kortikosteroid, dengan dosis 30-40 mg/kg BB per hari, kemudian diturunkan secara bertahap sampai 5-10 mg/kg BB, dan lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.
31
CASE REPORT 2012
Pleuritis Exudativa TB
I. PatofisiologiPleuritis TB dapat merupakan manifestasi dari tuberkulosis primer atau tuberkulosis
post primer (reaktivasi). Hipotesis terbaru mengenai Pleuritis TB primer menyatakan bahwa pada 6-12 minggu setelah infeksi primer terjadi pecahnya fokus kaseosa subpleura ke kavitas pleura. Antigen mikobakterium TB memasuki kavitas pleura dan berinteraksi dengan Sel T yang sebelumnya telah tersensitisasi mikobakteria, hal ini berakibat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang menyebabkan terjadinya eksudasi oleh karena meningkatnya permeabilitas dan menurunnya klirens sehingga terjadi akumulasi cairan di kavitas pleura.
Cairan efusi ini secara umum adalah eksudat tapi dapat juga berupa serosanguineous dan biasanya mengandung sedikit basil TB. Beberapa kriteria yang mengarah ke Pleuritis TB primer :
(i). Adanya data tes PPD positif baru
(ii). Rontgen thorax dalam satu tahun terakhir tidak menunjukkan adanya kejadian tuberkolosis parenkim paru
(iii), Adenopati Hilus dengan atau tanpa penyakit parenkim.
Umumnya, efusi yang terjadi pada Pleuritis TB primer berlangsung tanpa diketahui dan proses penyembuhan spontan terjadi pada 90% kasus. Pleuritis TB dapat berasal dari reaktivasi atau TB post primer. Reaktivasi dapat terjadi jika stasus imunitas pasien turun. Pada suatu penelitian disebutkan bahwa umur rata-rata pasien dengan reaktivasi TB adalah 44,6 tahun. Pada kasus Pleuritis TB rekativasi, dapat dideteksi TB parenkim paru secara radiografi dengan CT scan pada kebanyakan pasien. Infiltrasi dapat terlihat pada lobus superior atau segmen superior dari lobus inferior. Bekas lesi parenkim dapat ditemukan pada lobus superior, hal inilah yang khas pada TB reaktivasi. Efusi yang terjadi hampir umumnya ipsilateral dari infiltrat dan merupakan tanda adanya TB parenkim yang aktif. Efusi pada pleuritis TB dapat juga terjadi sebagai akibat penyebaran basil TB secara langsung dari lesi kavitas paru, dari aliran darah dan sistem limfatik pada TB post primer (reaktivasi). Penyebaran hematogen terjadi pada TB milier. Efusi pleura terjadi 10-30% dari kasus TB miler. Pada TB miler, efusi yang terjadi dapat masif dan bilateral. PPD test dapat negatif dan hasil pemerikasaan sputum biasanya juga negatif.
32
CASE REPORT 2012
II. Gambaran Klinis dan Sekuele
Gambaran klinis dari Pleuritis TB yang paling sering dilaporkan adalah batuk (71-94%), demam (71-100%), nyeri dada pleuritik (78-82%) dan dispneu. Batuk yang terjadi biasanya nonproduktif terutama ketika tidak terdapat lesi paru aktif. Keringat malam, sensasi mengigil, dyspneu, malaise, dan penurunan berat badan merupakan keluhan umum. Demam dan nyeri dada umumnya terdapat pada pasien muda, sedangkan batuk dan dyspneu umumnya pada pasien yang lebih tua.
Pemeriksaan fisik ditemukan berkurangnya suara nafas dan perkusi pekak diatas tempat efusi. Pleral friction rub dilaporkan pada 10% pasien. Pada keadaan tidak diberikannya obat anti tuberkulosis, resolusi dari efusi yang terjadi pada pleuritis TB biasanya spontan dalam beberapa bulan. Akan tetapi, setengah dari kasus yang tidak diterapi akan berkembang menjadi bentuk tuberkulosis paru dan ekstraparu yang lebih berat yang dapat berakibat pada kecacatan dan kematian. Sekule lain pada pleuritis TB primer adalah terjadinya sisa penebalan pleura yang potensial menyebabkan pembatasan ventilasi. Infeksi kronik aktif dapat mengawali berkembangnya tuberkulosa empyema. Pecahnya kavitas parenkim ke ruang pleura dapat berkembang menjadi fistula bronkhopleural dan pyo-pnemothoraks.
III. Metode Diagnosis
Pleuritis TB tidak selalu mudah didiagnosis, karena tidak selalu ada gambaran khas seperti adanya eksudat yang kaya limfosit pada cairan efusi, granuloma nekrotik kaseosa pada biopsi pleura, hasil positif dari pewarnaan Ziehl Neelsen atau kultur Lowenstein dari cairan efusi atau jaringan sampel dan sensitivitas kulit terhadap PPD.
Diagnosis dari Pleuritis TB secara umum ditegakkan dengan analisis cairan pleura dan biopsi pleura. Pada tahun-tahun terakhir ini, beberapa penelitian meneliti adanya penanda biokimia seperti ADA, ADA isoenzim, Lisozim, dan limfokin lain untuk meningkatkan efisiensi diagnosis.
Hasil thorakosintesis efusi pleura dari Pleuritis TB primer mempunyai karakteristik cairan eksudat dengan total kandungan protein pada cairan pleura >30g/dL, rasio LDH cairan pleura dibanding serum > 0,5 dan LDH total cairan pleura >200U. Cairan pleura mengandung dominan limfosit (sering lebih dari 75% dari semua materi seluler), sering dikiuti dengan kadar glukosa yang rendah. Sayangnya, dari kharakteristik diatas tidak ada yang spesifik untuk tuberkulosis, keadaan lain juga menunjukkan kharakteristik yang hampir mirip seperti efusi parapnemonia, keganasan, dan penyakit rheumatoid yang menyerang pleura.
Hasil pemeriksaan BTA cairan pleura jarang menunjukkan hasil positif (0-1%). Isolasi M.tuberculosis dari kultur cairan pleura hanya didapatkan pada 20-40% pasien Pleuritis TB. Pemeriksaan dengan PCR (polymerase chain reaction) didasarkan pada amplifikasi fragmen DNA mikobakterium. Karena efusi pada pleuritis TB mengandung
33
CASE REPORT 2012
sedikit basil TB, secara teori sensitivitasnya dapat ditingkatkan mengunakan PCR. Banyak penelitian yang mengevaluasi efikasi PCR untuk mendiagnosis pleuritis TB dan menunjukkan bahwa sensitivitas berkisar antara 20-90% dan spesifitas antara 78-100%.
V. Terapi
Penggunaan OAT extrapulmonal diapakai untuk mengobati kasus ini. Thorakosintesis berulang tidak diperlukan ketika diagnosis telah dapat ditegakkan dan terapi telah dimulai, tapi thorakosintesis mungkin diperlukan untuk mengurangi gejala.
34
CASE REPORT 2012
MENINGITIS TUBERKULOSIS
1. Defisni
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis.
2. INSIDENSI
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas
tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang semua usia, termasuk
bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi
dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur
dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis
tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka
kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan
gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan intelektual.
3. PATOFISIOLOGI
Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran tuberkulosis
primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat juga ditemukan di
abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak ditemukan adanya fokus primer
(1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan
kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan infeksi berat berupa tuberkulosis milier atau
hanya menimbulkan beberapa fokus metastase yang biasanya tenang .
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951.
Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak, selaput otak
atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama masa inkubasi
infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun jarang (Darto Saharso,
35
CASE REPORT 2012
1999). Bila penyebaran hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung
menyebabkan penyakit tuberkulosis primer seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis.
Meningitis tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi dari fokus tuberkulosis (TB pasca
primer). Salah satu pencetus proses reaktivasi tersebut adalah trauma kepala.
Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel. Tumpahan
protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang reaksi hipersensitivitas
yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang yang paling banyak terjadi di
basal otak. Selanjutnya meningitis yang menyeluruh akan berkembang.
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:
1. Araknoiditis proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang
melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut
di leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di
basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan
nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan
mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan
mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian
III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf
kranial II, maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur
bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII
akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen.
2. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi
membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya
radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan
sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri
cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila
infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang
terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia
ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis
perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan
36
CASE REPORT 2012
kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel,
proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri
cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena
selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan
trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas,
diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan
perubahan fibrin.
3. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan
mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis.
Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis akan
menyebabkan spinal block dan paraplegia (Kliegman, et al. 2004).
Gambaran patologi yang terjadi pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:
1. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier;
2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan meningitis yang
difus;
3. Acute inflammatory caseous meningitis
Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks
Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid
4. Meningitis proliferatif
Terlokalisasi, pada selaput otak
Difus dengan gambaran tidak jelas
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan pada setiap
pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, berat dan
lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang diberikan, virulensi
dan jumlah kuman juga merupakan faktor yang mempengaruhi.
37
CASE REPORT 2012
4. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberculosa dikelompokkan
dalam tiga stadium:
1. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu
Biasanya gejalanya tidak khas, timbul perlahan- lahan, tanpa kelainan neurologis
Gejala: * demam (tidak terlalu tinggi) * rasa lemah
* nafsu makan menurun (anorexia) * nyeri perut
* sakit kepala * tidur terganggu
* mual, muntah * konstipasi
* apatis * irritable
Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang sering
ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan suasana
hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin saja tanpa
disertai demam dan timbul kejang intermiten. Kejang bersifat umum dan didapatkan
sekitar 10-15%.
Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan
berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke stadium
III.
2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen.
Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas
lengkung serebri.
38
CASE REPORT 2012
Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada bayi.
Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di dasar otak
menyebabkan gangguan otak / batang otak.
Pada fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan
saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema ringan serta adanya
tuberkel di koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang
medulla spinalis. Hemiparesis yang timbul disebabkan karena infark/ iskemia,
quadriparesis dapat terjadi akibat infark bilateral atau edema otak yang berat.
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala utamanya,
sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih besar,
sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin menurun.
Gejala:
* Akibat rangsang meningen sakit kepala berat dan muntah
* Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak:
- disorientasi
- bingung
- kejang
- tremor
- hemibalismus / hemikorea
- hemiparesis / quadriparesis
- penurunan kesadaran
* Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial:
Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
39
CASE REPORT 2012
Tanda: - strabismus - diplopia
- ptosis - reaksi pupil lambat
- gangguan penglihatan kabur
3. Stadium III (koma / fase paralitik)
Terjadi percepatan penyakit, berlandsung selama ± 2-3 minggu
Gangguan fungsi otak semakin jelas.
Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi oleh
eksudat yang mengalami organisasi.
Gejala: * pernapasan irregular
* demam tinggi
* edema papil
* hiperglikemia
* kesadaran makin menurun, irritable dan apatik, mengantuk,
stupor, koma, otot ekstensor menjadi kaku dan spasme,
opistotonus, pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali.
* nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur
* hiperpireksia
* akhirnya, pasien dapat meninggal.
5. DIAGNOSIS
1. Scoring TB
Laboratorium
40
CASE REPORT 2012
- Dari hasil pemeriksaan laboratorium
o Darah: - anemia ringan
- peningkatan laju endap darah pada 80% kasus
o Cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan cara pungsi lumbal) :
- Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-
batang. Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah
berlangsung lama dan ada hambatan di medulla spinalis.
- Jumlah sel: 100 – 500 sel / μl. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan limfosit
sama banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel polimorfonuklear lebih
banyak (pleositosis mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase
akut dapat mencapai 1000 / mm3.
- Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm3). Hal ini
menyebabkan liquor cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan
pada permukaan dapat tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang
menunjukkan tingginya kadar fibrinogen (Iskandar Japardi, 2002).
- Kadar glukosa: biasanya menurun (<>liquor cerebrospinalis dikenal sebagai
hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal pada liquor cerebrospinalis
adalah ±60% dari kadar glukosa darah.
- Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun
- Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan
kuman (Darto Suharso. 1999., Herry Garna dan Nataprawira., 2005.,
Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi lumbal selama
3 hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil
pemeriksaan pungsi lumbal kedua dan ketiga (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
Dari pemeriksaan radiologi:
41
CASE REPORT 2012
- Foto toraks : dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.
- Pemeriksaan EEG (electroencephalography) menunjukkan kelainan kira-kira
pada 80% kasus berupa kelainan difus atau fokal (Darto Suharso. 1999).
- CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah
basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus.
Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) kepala pada pasien meningitis tuberkulosis adalah normal pada
awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang sering
ditemukan adalah enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus
komunikans yang disertai dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia
fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang
silent, biasanya di daerah korteks serebri atau talamus.
42
CASE REPORT 2012
PERITONITIS TBPeritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang jarang dijumpai yaitu sekitar 1– 5%
dari kasus TBanak. Umumnya terjadi pada dewasa dengan perbandingan perempuan lebih
sering dari laki-laki dengan perbandingan 2 : 1.Patogenesis peritonitis TB didahului oleh
infeksi M. tuberculosis yang menyebar secara hematogen ke organ-organ di luar paru
termasuk peritoneum. Dengan perjalanan waktu dan menurunnya daya tahan tubuh dapat
mengakibatkan terjadinya peritonitis TB. Cara lain adalah dengan penjalaran langsung dari
kelenjar mesenterika atau dari tuberkulosis usus. Pada peritoneum terjadi tuberkel dengan
massa perkijuan yang dapat membentuk satu kesatuan ( konfluen ). Pada perkembangan
selanjutnya dapat terjadi penggumpalan omentum di daerah epigastrium dan melekat pada
organ-organ abdomen yang pada akhirnya dapat menyebabkan obstruksi khusus. Di lain
pihak, kelenjar limfe yang terinfeksi dapat membesar yang menyebabkan penekanan pada
vena porta dengan akibat pelebaran vena dinding abdomen dan asites.
Umumnya gejala klinis umum TB pada anak dapat timbul disamping gejala khusus
peritonitis TB. Tanda yang dapat terlihat adalah ditemukanya massa intra abdomen, adanya
asites. Kadang-kadang ditemukan fenomena papan catur yaitu pada perabaan abdomen di
dapatkan adanya massa yang diselingi perabaan lunak, kadang-kadang didapat pada obstruksi
usus. Berdasarkan patogenesisnya manifestasi klinis tuberkulosis abdomen terbagi dua yaitu
terdapatnya asites dan adanya gambaran papan catur. Pemeriksaan penunjang yang
dianjurkan adalah sama dengan pemeriksaan pada TB secara umum. Untuk mengetahui
adanya peritonitis TB dapat dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen yaitu dijumpai
gambaran peritonitis, massa omentum dan asies. Apabila dijumpai asites maka diperlukan
pemeriksaan analisis cairan asites yang umumnya didapatkan peningkatan jumlah sel dengan
monosit dominant. Protein dan penurunan glukosa. Biopsi peritonium dapat dilakukan untuk
mencarigambaran patologis. Kultur M. tuberculosi dapat dilakukan dengan bahan cairan
asites ataupunbiopsi peritonium. Tatalaksana medikamentosa peritonitis tuberkulosis sama
dengan tata laksana TB ekstra pulmonal lain seperti skrofuloderma, spondilitis TB yaitu 43
CASE REPORT 2012
rifampisin, INH, dan pirazinamid. Pada keadaan obstruksi usus karena perlengketan perlu
dilakukan tindakan operasi.
DECOMPENSATIO CORDIS
DEFINISI
Gagal Jantung (decompensatio cordis/heart failure/HF) merupakan suatu sindrom klinis yang terjadi pada pasien yang mengalami abnormalitas (baik akibat keturunan atau didapat) pada struktur atau fungsi jantung sehingga menyebabkan terjadinya perkembangan rangkaian gejala klinis (fatigue dan sesak) dan tanda klinis (edema dan rales) yang mengakibatkan opname, kualitas hidup buruk, dan harapan hidup memendek.
ETIOLOGITerdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu :
1. Gangguan mekanik ; beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal atau bersamaan yaitu :
Beban tekanan Beban volume
Tamponade jantung atau konstriski perikard, jantung tidak dapat diastole
Obstruksi pengisian ventrikel
Aneurisma ventrikel
Disinergi ventrikel
Restriksi endokardial atu miokardial
2. Abnormalitas otot jantung
Primer : kardiomiopati, miokarditis metabolik (DM, gagal ginjal kronik, anemia) toksin atau sitostatika.
Sekunder: Iskemia, penyakit sistemik, penyakit infiltratif, korpulmonal
3. Gangguan irama jantung atau gangguan konduksi
Di samping itu penyebab gagal jantung berbeda-beda menurut kelompok umur, yakni pada masa neonatus, bayi dan anak
44
CASE REPORT 2012
Periode Neonatus
Disfungsi miokardium relatif jarang terjadi pada masa neonatus, dan bila ada biasanya berhubungan dengan asfiksia lahir, kelainan elektrolit atau gangguan metabolik lainnya. Lesi jantung kiri seperti sindrom hipoplasia jantung kiri, koarktasio aorta, atau stenosis aorta berat adalah penyebab penting gagal jantung pada 1 atau 2 minggu pertama.
Periode Bayi
Antara usia 1 bulan sampai 1 tahun penyebab tersering ialah kelainan struktural termasuk defek septum ventrikel, duktus arteriosus persisten atau defek septum atrioventrikularis. Gagal jantung pada lesi yang lebih kompleks seperti transposisi, ventrikel kanan dengan jalan keluar ganda, atresia tricuspid atau trunkus arteriosus biasanya juga terjadi pada periode ini.
Periode Anak
Gagal jantung pada penyakit jantung bawaan jarang dimulai setelah usia 1 tahun. Di negara maju, karena sebagian besar pasien dengan penyakit jantung bawaan yang berat sudah dioperasi, maka praktis gagal jantung bukan menjadi masalah pada pasien penyakit jantung bawaan setelah usia 1 tahun.
Etiologi Gagal Jantung
Fraksi Ejeksi Menurun (<40%) Penyakit Jantung Koroner Cardiomyopathi noniskemik dilatasiInfark Myokarda Kelainan genetic/familial
Iskemik Myokarda Gangguan infiltratifa
Pressure overload kronik Kerusakan akibat toxic/obat-obatanHipertensia Gangguan Metabolika
Penyakit katup obstruktifa Viral
Volume Overload kronik Penyakit ChagasPenyakit katup regurgitasi Gangguan ritmeShunting intrakardiak (left-to-right) Bradyarrhythmias kronikShunting extrakardiak Tachyarrhythmias kronikFraksi Ejeksi Normal (>40–50%) Hipertrofi Patologis Kardiomyopati restriktifPrimer (Kardiomyopati hipertrofi) Gangguan Infiltratif (amyloidosis,
sarcoidosis)Sekunder (hipertensi) Gangguan penyimpanan (hemochromatosis)Penuaan Fibrosis
45
CASE REPORT 2012
Gangguan EndomyocardialPulmonary Heart Disease Cor pulmonale Gangguan vaskuler pulmoner Keadaan High-Output Gangguan metabolik Peningkatan kebutuhan aliran darah berlebih Thyrotoxicosis Systemic arteriovenous shuntingGangguan Nutrisi (beriberi) Chronic anemia
aNote: Mengindikasikan keadaan yang dapat menyebabkan gagal jantung dengan fraksi
Patofisiologi Gagal Jantung
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu sistem tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga jantung tidak mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung ditandai dengan dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang nyata serta suatu keadaan patologik berupa penurunan fungsi jantung.
Respon terhadap jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi system saraf adrenergik.
Kemampuan jantung untuk memompa darah guna memenuhi kebutuhan tubuh ditentukan oleh curah jantung yang dipengaruhi oleh empar faktor yaitu: preload; yang setara dengan isi diastolik akhir, afterload; yaitu jumlah tahanan total yang harus melawan ejeksi ventrikel, kontraktilitas miokardium; yaitu kemampuan intrinsik otot jantung untuk menghasilkan tenaga dan berkontraksi tanpa tergantung kepada preload maupun afterload serta frekuensi denyut jantung.
Dalam hubungan ini, penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump function) dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa keadaan ditemukan beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai pompa tanpa terdapat depresi pada otot jantung intrinsik. Sebaliknya dapat pula terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi secara klinis tidak tampak tanda-tanda gagal jantung karena beban jantung yang ringan.
Pada awal gagal jantung, akibat CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohumoral.
46
CASE REPORT 2012
Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan hipertrofi/ dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi.
Mekanisme Kompensasi
Mekanisme adaptive atau kompensasi jantung dalam merespon keadaan yang menyebabkan kegagalan jantung tersebut antara lain
1. Mekanisme Frank-Starlin2. Aktivasi neurohormonal yang mempengaruhi beberapa sistem antara lain
sistem saraf simpatetik
3. Mekanisme Renin-Angiotensin-Aldosteron.
4. Peptida natriuretik dan substansi vasoaktif yang diproduksi secara local.
5. Hipertrofi otot jantung dan remodeling.
Manifestasi Klinik Gagal Jantung
Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien, beratnya gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang terlibat, apakah kedua ventrikel mengalami kegagalan serta derajat gangguan penampilan jantung.
Pada bayi, gejala Gagal jantung biasanya berpusat pada keluhan orang tuanya bahwa bayinya tidak kuat minum, lekas lelah, bernapas cepat, banyak berkeringat dan berat badannya sulit naik. Pasien defek septum ventrikel atau duktus arteriosus persisten yang besar seringkali tidak menunjukkan gejala pada hari-hari pertama, karena pirau yang terjadi masih minimal akibat tekanan ventrikel kanan dan arteri pulmonalis yang masih tinggi setelah beberapa minggu (2-12 minggu), biasanya pada bulan kedua atau ketiga, gejala gagal jantung baru nyata.
Anak yang lebih besar dapat mengeluh lekas lelah dan tampak kurang aktif, toleransi berkurang, batuk, mengi, sesak napas dari yang ringan (setelah aktivitas fisis tertentu), sampai sangat berat (sesak napas pada waktu istirahat).
Pasien dengan kelainan jantung yang dalam kompensasi karea pemberian obat gagal jantung, dapat menunjukkan gejala akut gagal jantung bila dihadapkan kepada stress, misalnya penyakit infeksi akut.
Pada gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri yang terjadi karena adanya gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri, biasanya ditemukan keluhan berupa perasaan badan lemah, berdebar-debar, sesak, batuk, anoreksia, keringat dingin.
Tanda obyektif yang tampak berupa takikardi, dispnea, ronki basah paru di bagian basal, bunyi jantung III, pulsus alternan. Pada gagal jantung kanan yang dapat terjadi karena gangguan atau hambatan daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan
47
CASE REPORT 2012
menurun, tanpa didahului oleh adanya Gagal jantung kiri, biasanya gejala yang ditemukan berupa edema tumit dan tungkai bawah, hepatomegali, lunak dan nyeri tekan; bendungan pada vena perifer (vena jugularis), gangguan gastrointestinal dan asites. Keluhan yang timbul berat badan bertambah akibat penambahan cairan badan, kaki bengkak, perut membuncit, perasaan tidak enak di epigastrium. (2)
Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan :
Gejala paru berupa : dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea. Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah, asites,
hepatomegali, dan edema perifer.
Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk sampai delirium.
Pada kasus akut, gejala yang khas ialah gejala edema paru yang meliputi : dyspnea, orthopnea, tachypnea, batuk-batuk dengan sputum berbusa, kadang-kadang hemoptisis, ditambah gejala low output seperti : takikardi, hipotensi dan oliguri beserta gejala-gejala penyakit penyebab atau pencetus lainnya seperti keluhan angina pectoris pada infark miokard akut. Apabila telah terjadi gangguan fungsi ventrikel yang berat, maka dapat ditemukn pulsus alternan. Pada keadaan yang sangat berat dapat terjadi syok kardioge.
Klasifikasi New York Heart Association Kapasitas Fungsional
Penilaian Objektif
Class I Pasien dengan penyakit jantung namun tanpa keterbatasan pada aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan keletihan, palpitasi, sesak, atau nyeri anginal
Class II Pasien dengan penyakit jantung yang menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik ringan. Pasien merasa nyaman pada waktu istirahat. Aktivitas fisik biasa mengakibatkan kelemahan, palpitasi, sesak, atau nyeri anginal.
Class III Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan keterbatasan bermakna pada aktivitas fisik. Pasien merasa nyaman pada waktu istirahat. Aktivitas fisik yang lebih ringan dari biasanya menyebabkan keletihan, palpitasi, sesak, dan nyeri anginal..
Class IV Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk menjalani aktivitas fisik apapun tanpa rasa tidak nyaman. Gejala gagal jantung atau sindroma angina dapat dialami bahkan pada saat istirahat. Jika aktivitas fisik dilakukan, maka rasa tidak nyaman semakin meningkat.
Sumber: Adaptasi dari New York Heart Association, Inc., Diseases of the Heart and Blood Vessels: Nomenclature and Criteria for Diagnosis, 6th ed. Boston, Little Brown, 1964, p. 114.
Diagnosis Gagal Jantung
48
CASE REPORT 2012
Bayi dan anak yang menderita gagal jantung yang lama biasanya mengalami gangguan pertumbuhan. Berat badan lebih terhambat daripada tinggi badan. Tanda yang penting adalah takikardi (150x/mnt atau lebih saat istirahat), serta takipne (50x/mnt atau lebih saat istirahat). Pada prekordium dapat teraba aktivitas jantung yang meningkat.
Bising jantung sering ditemukan pada auskultasi, yang tergantung dari kelainan struktural yang ada. Terdapatnya irama derap merupakan penemuan yang berarti, khususnya pada neonatus dan bayi kecil. Ronki juga sering ditemukan pada gagal jantung. Bendungan vena sistemik ditandai oleh peninggian tekanan vena jugular, serta refluks hepatojugular.
Kedua tanda ini sulit diperiksa pada neonatus dan bayi kecil, tampak sianosis perifer akibat penurunan perfusi di kulit dan peningkatan ekstraksi oksigen jaringan ekstremitas teraba dingin, pulsasi perifer melemah, tekanan darah sistemik menurun disertai penurunan capillary refill dan gelisah. Pulsus paradoksus (pirau kiri ke kanan yang besar), pulsus alternans (penurunan fungsi ventrikel stadium lanjut). Bising jantung menyokong diagnosis tetapi tidak adanya bising jantung tidak dapat menyingkirkan bahwa bukan gagal jantung.
Foto dada : dengan sedikit perkecualian, biasanya disertai kardiomegali. Paru tampak bendungan vena pulmonal.
Elektrokardiografi : di samping frekuensi QRS yang cepat atau disritmia, dapat ditemukan pembesaran ruang-ruang jantung serta tanda-tanda penyakit miokardium/ pericardium.
Ekokardiografi : M-mode dapat menilai kuantitas ruang jantung dan shortening fraction yaitu indeks fungsi jantung sebagai pompa. Pemeriksaan Doppler dan Doppler berwarna dapat menambah informasi secara bermakna.
Penatalaksanaan Gagal Jantung
Terdapat tiga aspek yang penting dalam menanggulangi Gagal jantung : pengobatan terhadap Gagal jantung, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan pengobatan terhadap faktor pencetus. Termasuk dalam pengobatan medikamentosa yaitu mengurangi retensi cairan dan garam, meningkatkan kontraktilitas dan mengurangi beban jantung.
Pengobatan umum meliputi istirahat, pengaturan suhu dan kelembaban, oksigen, pemberian cairan dan diet. Selain itu, penatalaksanaa gagal jantung juga berupa:
Medikamentosa :
Obat inotropik (digitalis, obat inotropik intravena), Vasodilator : (arteriolar dilator : hidralazin), (venodilator : nitrat, nitrogliserin),
(mixed dilator : prazosin, kaptopril, nitroprusid)
Diuretik
Pengobatan disritmia
49
CASE REPORT 2012
Pembedahan :
Penyakit jantung bawaan (paliatif, korektif) Penyakit jantung didapat (valvuloplasti, penggantian katup)
Komplikasi Gagal Jantung
Pada bayi dan anak yang menderita gagal jantung yang lama biasanya mengalami gangguan pertumbuhan. Berat badan lebih terhambat daripada tinggi badan. Pada gagal jantung kiri dengan gangguan pemompaan pada ventrikel kiri dapat mengakibatkan bendungan paru dan selanjutnya dapat menyebabkan ventrikel kanan berkompensasi dengan mengalami hipertrofi dan menimbulkan dispnea dan gangguan pada sistem pernapasan lainnya. Pada gagal jantung kanan dapat terjadi hepatomegali, ascites, bendungan pada vena perifer dan gangguan gastrointestinal.
Prognosis Gagal Jantung
Pada sebagian kecil pasien, gagal jantung yang berat terjadi pada hari/ minggu-minggu pertama pasca lahir, misalnya sindrom hipoplasia jantung kiri, atresia aorta, koarktasio aorta atau anomali total drainase vena pulmonalis dengan obstruksi. Terhadap mereka, terapi medikmentosa saja sulit memberikan hasil, tindakan invasif diperlukan segera setelah pasien stabil. Kegagalan untuk melakukan operasi pada golongan pasien ini hampir selalu akan berakhir dengan kematian.
Pada gagal jantung akibat PJB yang kurang berat, pendekatan awal adalah dengan terapi medis adekuat, bila ini terlihat menolong maka dapat diteruskan sambil menunggu saat yang bik untuk koreksi bedah.
Pada pasien penyakit jantung rematik yang berat yang disertai gagal jantung, obat-obat gagal jantung terus diberikan sementara pasien memperoleh profilaksis sekunder, pengobatan dengan profilaksis sekunder mungkin dapat memperbaiki keadaan jantung.
50
CASE REPORT 2012
ANEMIA PENYAKIT KRONIK Defenisi anemia penyakit kronik
Anemia penyakit kronik adalah anemia yang timbul setelah terjadinya proses infeksi atau inflamasi kronik. Biasanya anemia akan muncul setelah penderita mengalami penyakit tersebut selama 1–2 bulan.
Tumor dulunya memang merupakan salah satu penyebab anemia penyakit kronik, namun dari hasil studi yang terakhir tumor tidak lagi dimasukkan sebagai penyebab anemia penyakit kronik.
Etiologi anemia penyakit kronik
Anemia penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit/kondisi seperti infeksi kronik misalnya infeksi paru, endokarditis bakterial; inflamasi kronik misalnya artritis reumatoid, demam reumatik; lain–lain misalnya penyakit hati alkaholik, gagal jantung kongestif dan idiopatik:
Etiologi anemia penyakit kronik
No Infeksi kronik Inflamasi
kronik Lain–lain Idiopatik
01 Infeksi paru: abses,emfisema,
tuberkulosis, bronkiektasis
Artritis reumatoid Penyakit hati alkaholik
51
CASE REPORT 2012
02 Endokarditis bakterial Demam reumatik
Gagal jantung kongestif
03 Infeksi saluran kemih kronik
Lupus eritematosus sistemik (LES)
Tromboplebitis
04 Infeksi jamur kronik
Trauma berat Penyakit jantung iskemik
05 Human immunodeficiency
virus (HIV) Abses steril
06 Meningitis Vaskulitis
07 Osteomielitis Luka bakar
08 Infeksi sistem reproduksi wanita
Osteoartritis
(OA)
09 Penyakit inflamasi pelvik (PID: pelvic inflamatory disease)
Penyakit vaskular kolagen (Collagen vascular disease)
10 Polimialgia
11 Trauma panas
12 Ulkus dekubitus
13 Penyakit chron
1. segera setelah timbul panas. Juga pada pasien artritis reumatoid dijumpai hal yang sama.
2. Tidak adanya reaksi sumsum tulang terhadap adanya anemia pada penyakit kronik. Reaksi ini merupakan penyebab utama terjadinya anemia pada penyakit kronik. Kejadian ini telah dibuktikan pada binatang percobaan yang menderita infeksi kronik, dimana proses eritropoesisnya dapat ditingkatkan dengan merangsang binatang tersebut dengan pemberian eritropoetin.
3. Sering ditemukannya sideroblast berkurang dalam sumsum tulang disertai deposit besi bertambah dalam retikuloendotelial sistem, yang mana ini menunjukkan terjadinya gangguan pembebasan besi dari sel retikuloendotelial yang mengakibatkan berkurangnya penyedian untuk eritroblast.
52
CASE REPORT 2012
4. Terjadinya metabolisme besi yang abnormal. Gambaran ini terlihat dari adanya hipoferemia yang disebabkan oleh iron binding protein lactoferin yang berasal dari makrofag dan mediator leukosit endogen yang berasal dari leukosit dan makrofag. Hipoferemia dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang berespons terhadap pemendekan masa hidup eritrosit dan juga menyebabkan berkurangnya produksi eritropoetin yang aktif secara biologis.
5. Adanya hambatan terhadap proliferasi sel progenitor eritroid yang dilakukan oleh suatu faktor dalam serum atau suatu hasil dari makrofag sumsum tulang.
6. Kegagalan produksi transferin.
Gambaran klinis anemia penyakit kronik
Anemia pada penyakit kronik biasanya ringan sampai dengan sedang dan munculnya setelah 1–2 bulan menderita sakit. Biasanya anemianya tidak bertambah progresif atau stabil, dan mengenai berat ringannya anemia pada seorang penderita tergantung kepada berat dan lamanya menderita penyakit tersebut. Gambaran klinis dari anemianya sering tertutupi oleh gejala klinis dari penyakit yang mendasari (asimptomatik). Tetapi pada pasien–pasien dengan gangguan paru yang berat, demam, atau fisik dalam keadaan lemah akan menimbulkan berkurangnya kapasitas daya angkut oksigen dalam jumlah sedang, yang mana ini nantinya akan mencetuskan gejala. Pada pasien–pasien lansia, oleh karena adanya penyakit vaskular degeneratif kemungkinan akan ditemukan gejala–gejala kelelahan, lemah, klaudikasio intermiten, muka pucat dan pada jantung keluhannya dapat berupa palpitasi dan angina pektoris serta dapat terjadi gangguan serebral. Tanda fisik yang mungkin dapat dijumpai antara lain muka pucat, konjungtiva pucat dan takikardi.
Diagnosa anemia penyakit kronik
Diagnosis anemia penyakit kronik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan, antara lain dari:
1. Tanda dan gejala klinis anemia yang mungkin dapat dijumpai, misalnya muka pucat, konjungtiva pucat, cepat lelah, lemah, dan lain–lain.
2. Pemeriksaan laboratorium, antara lain:
a. Anemianya ringan sampai dengan sedang, dimana hemoglobinnya sekitar 7–11 gr/dL.
b. Gambaran morfologi darah tepi: biasanya normositik-normokromik atau mikrositik ringan. Gambaran mikrositik ringan dapat dijumpai pada sepertiga pasien anemia penyakit kronik.
c. Volume korpuskuler rata–rata (MCV: Mean Corpuscular Volume): normal atau menurun sedikit (≤ 80 fl).
d. Besi serum (Serum Iron): menurun (< 60 mug / dL). 53
CASE REPORT 2012
e. Mampu ikat besi (MIB = TIBC: Total Iron Binding Capacity): menurun (< 250 mug / dL).
f. Jenuh transferin (Saturasi transferin): menurun (< 20%).
g. Feritin serum: normal atau meninggi (> 100 ng/mL).
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan sumsum tulang dan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas (FEP: Free Erytrocyte Protophorphyrin), namun pemeriksaannya jarang dilakukan. Menginterpretasi hasil pemeriksaan sumsum tulang kemungkinannya sulit, oleh karena bentuk dan struktur sel–sel sumsum tulang dipengaruhi oleh penyakit dasarnya. Sedangkan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas memang cenderung meninggi pada pasien anemia penyakit kronik tetapi peninggiannya berjalan lambat dan tidak setinggi pada pasien anemia defisiensi besi. Peninggiannya juga sejalan dengan bertambah beratnya anemia. Oleh karena itu pemeriksaan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas lebih sering dilakukan pada pasien – pasien anemia defisiensi besi.
Penatalaksanaan anemia penyakit kronik Tidak ada terapi spesifik yang dapat kita berikan untuk anemia penyakit kronik,
kecuali pemberian terapi untuk penyakit yang mendasarinya. Biasanya apabila penyakit yang mendasarinya telah diberikan pengobatan dengan baik, maka anemianya juga akan membaik. Pemberian obat–obat hematinik seperti besi, asam folat, atau vitamin B12 pada pasien anemia penyakit kronik, tidak ada manfaatnya.
Belakangan ini telah dicoba untuk memberikan beberapa pengobatan yang mungkin dapat membantu pasien anemia penyakit kronik, antara lain:
1. Rekombinan eritropoetin (Epo), dapat diberikan pada pasien–pasien anemia penyakit kronik yang penyakit dasarnya artritis reumatoid, Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), dan inflamatory bowel disease. Dosisnya dapat dimulai dari 50–100 Unit/Kg, 3x seminggu, pemberiannya secara intra venous (IV) atau subcutan (SC). Bila dalam 2–3 minggu konsentrasi hemoglobin meningkat dan/atau feritin serum menurun, maka kita boleh menduga bahwa eritroit respons. Bila dengan dosis rendah responsnya belum adekuat, maka dosisnya dapat ditingkatkan sampai 150 Unit/Kg, 3x seminggu. Bila juga tidak ada respons, maka pemberian eritropoetin dihentikan dan dicari kemungkinan penyebab yang lain, seperti anemia defisiensi besi. Namun ada pula yang menganjurkan dosis eritropoetin dapat diberikan hingga 10.000–20.000 Unit, 3x seminggu.
2. Transfusi darah berupa packed red cell (PRC) dapat diberikan, bila anemianya telah memberikan keluhan atau gejala. Tetapi ini jarang diberikan oleh karena anemianya jarang sampai berat.
3. Prednisolon dosis rendah yang diberikan dalam jangka panjang. Diberikan pada pasien anemia penyakit kronik dengan penyakit dasarnya artritis temporal, reumatik dan polimialgia. Hemoglobin akan segera kembali normal demikian juga dengan gejala–gejala polimialgia akan segera hilang dengan cepat. Tetapi bila dalam beberapa hari tidak ada perbaikan, maka pemberian kortikosteroid tersebut segera dihentikan
54
CASE REPORT 2012
4. Kobalt klorida, juga bermanfaat untuk memperbaiki anemia pada penyakit kronik dengan cara kerjanya yaitu menstimulasi pelepasan eritropoetin, tetapi oleh karena efek toksiknya obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan.
Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia merupakan masalah yang sering dihadapai pada orang dengan kondisi medis akut atau kronik. Pada saat masuk rumah sakit sekitar 20 % pasien sudah menderita. Kadar albumin darah yang rendah menjadi predictor penting berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas. Pada penelitian meta-analisis didapatkan setiap penurunan albumin darah sebesar 10 g/L, anka mortalitas meningkat 137 % dan morbiditas 89%.
Kadar normal albumin dalam darah antara 3,5-4,5 g/dl, dengan jumlah total 300-500 g. Sintesis terjadi hanya di sel hati dengan produksi sekitar 15 g/ hari pada orang sehat, tetapi jumlah yang dihasilkan bervariasi signifikan pada berbagai tipe stress fisiologis. Waktu paruh albumin sekitar 20 hari, dengan kecepatan degradasi 4 % per hari.
Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh penurunan produksi albumin, sintesis yag tidak efektif karena kerusakan sel hati, kekurangan intake protein, peningkatan pengeluaran albumin karena penyakit lainnya, dan inflamasi akut maupun kronis
Malnutrisi protein, asam amino diperlukan dalam sintesa albumin, akibat dari defesiensi intake protein terjadi kerusakan pada reticulum endoplasma sel yang berpengaruh pada sintesis albumin dalan sel hati.
Sintesis yang tidak efektif, pada pasien dengan sirosis hepatis terjadi penurunan sintesis albumin karena berkurangnya jumlah sel hati. Selain itu terjadi penuruanan aliran darah portal ke hati yang menyebabkan maldistribusi nutrisi dan oksigen ke hati
Kehilangan protein ekstravaskular, kehilangan protein masiv pada penderita sindrom nefrotik. Darat terjadi kebocoran protein 3,5 gram dalam 24 jam. Kehilanan albumin juga dapat terjadi pasien dengan luka bakar yang luas.
Hemodilusi, pada pasien ascites, terjadi peningkatan cairan tubuh mengakibatkan penurunan kadar albumin walaupun sintesis albumin normal atau meningkat. Bisanya terjadi pada pasien sirosis hepatis dengan ascites.
55
CASE REPORT 2012
Inflamasi akut dan kronis, kadar albumin rendah karena inflamasi akut dan akan menjadi normal dalam beberapa minggu setelah inflamasi hilang. Pada inflamasi terjadi pelepasan cytokine (TBF, IL-6) sebagai akibat resposn inflamasi pada stress fisiologis (infeksi, bedah, trauma) mengakibatkan penurunan kadar albumin memlaui mekanisme: (1) Peningkatan permeabilitas vascular (mengijinkan albumin untuk berdifusi ke ruang ekstravaskular); (2) Peningkatan degradasi albumin; (3) Penurunan sintesis albumin (TNF-α yang berperan dalam penuruanan trankripsi gen albumin).
iponatremia adalah suatu kondisi dimana kadar Sodium atau natrium dalam serum (baca :darah) lebih rendah dari 135 mEq/L. Meskipun sebagian besar pasien dengan hiponatremia memiliki kadar sodium pada level 125-135 mEq/L dan asimptomatik, hiponatremia yang berat dapat menyebabkan pergerakan cairan akibat perubahan tekanan osmotik dari plasma ke dalam sel-sel otak, yang akanmenyebabkan mual, muntah, sakit kepala dan rasa lemah. Hiponatremia yang memburuk akan menyebabkan kebingungan, refleks yang menurun, kejang bahkan koma.
Pasien-pasien dengan hiponatremia berat dan disertai gejala yang khas,biasanya memiliki kadar sodium darah yang kurang dari 120 mEq/L. Penyebab dari hiponatremia yang berat adalah termasuk intoksikasi air (keracunan air) dan sindrom sekresi Anti Diuretik Hormon yang tidak tepat (inapropriate antidiuretic hormone secretion syndrome). Keracunan air dapat bersifat tidak disengaja, sebagai contoh pada pelari maraton yang meminum air secara berlebihan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang, namun tidak disertai penggantian elektrolit (sodium dan klorida) yang turut hilang melalui keringat. Contoh lainnya adalah pada penggunaan obat terlarang MDMA (3,4-methylenedioxymethamphetamine) atau yang lebih populer dengan ekstasi, yang akan menyebabkan hidrasi berlebihan. Selain itu, intoksikasi air dapat juga ditemukn pada pasien-pasien psikiatrik dengan keluhan polidipsia.
Secara umum, hiponatremia paling baik diterapi dengan cara menaikkan secara perlahan kadar sodium darah pasien. Dan sebagian besar para ahli sepakat bahwa usaha penaikan kadar sodium darah tersebut tidak boleh melebihi 10-12 mEq/L per harinya. Peningkatan kadar sodium darah yang terlalu cepat justru akan menyebabkan komplikasi yang lebih memperburuk keadaan (meski jarang terjadi) berupa myelinasi pons. Pasien yang mengalami myelinasi pons ini akan menderita kelumpuhan, sindrom "terkunci" (locked-in syndrome) dan bahkan kematian.
Pasien dengan kadar sodium darah diantara 100 hingga 110 mEq/L dan disertai gejala-gejala hiponatremia yang berat, haruslah segera diterapi untuk mencegah kerusakan saraf yang permanen. Dengan meningkatkan kadar sodium secara cepat, 3-6 mEq/L akan memberikan keseimbangan elektrolit antara otak dan tubuh sehingga keadaan pasien dapat terstabilkan.
Sampai saat ini belum ada studi besar yang terkontrol baik yang khusus mempelajari berbagai macam terapi untuk hiponatremia simptomatik. Rekomendasi saat ini berdasar atas berbagai
56
CASE REPORT 2012
kasus, hasil konsensus panel dan pendapat para ahli. Berdasar atas informasi yang tersedia, larutan hipertonik mestilah disiap-sediakan bagi individu-individu yang sebelumnya pernah mengalami kejang, koma atau kelainan neurologis fokal lainnya dan juga bagi mereka memiliki kadar sodium darah kurang dari 120 mEq/L (beberapa ahli berpendapat kurang dari 110 mEq/L)
Direkomendasikan bagi kelompok pasien-pasien ini, menerima 1,5 mL/kg larutan saline hipertonik 3% dalam jangka waktu kurang dari satu jam dan juga ditambahkan furosemide dosis kecil (20 mg) secara intravena untuk menjamin diuresis air dan menghambat sekresi ADH akibat rangsangan cairan hipertonik tadi. Terapi seperti ini akan meningkatkan kadar sodium darah pada level 1-2 mEq/L dalam satu jam. Infus kedua dapat diberikan pada jam berikutnya bila pasien masih menunjukkan gejala-gejala neurologis. Kejang dapat juga diterapi secara agresif dengan benzodiazepine.
Meskipun peningkatan 3-6 mEq/L akan dapat menstabilkan pasien dengan cepat, peningkatan total kadar sodium dalam 24 jam pertama perawatan, tidak boleh melampaui 10 - 12 mEq/L. Pemantauan kadar sodium darah ini harus dilakukan secara seksama tiap 2 jam sekali dalam ruang perawatan ICU. Bila kadar sodium serum meningkat terlalu cepat, pemberian infus D5W sementara dapat menolong.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahajoe N, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB, 2005, Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak, Unit Kerja Pulmonologi PP IDAI, Jakarta, halaman 54-56
2. Hassan Rusepno, Alatas Husein, at al editors. TB Milier dalam Tuberkulosis pada
Anak : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak vol 2. 4 th ed. Jakarta : Fakultas
Kedokteran UI ; 1985. p. 573-84.
3. Sandra. Informasi Singkat Tentang TB Anak. Multiply, Inc, 2007.
4. Bakhtiar dr. Kuman TB Mudah Serang Selaput Otak Anak. Pikiran Rakyat Cyber
Media, 2002.
5. TB pada Anak. Available at URL:http//www.medlinux.blogspot.com
6. Penyakit TB. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, 2002.
7. Supriyatno B, Nastiti, Noenoeng R, Budiman I, Said M, Setyanto B Darmawan, eds.
Cermin Dunia Kedokteran no. 137, 2002.
8. Mulyono D, Santoso Imam D. TB Milier dengan Tuberkuloma Intrakranial. Cermin
Dunia Kedokteran no. 115, 1997.
57
CASE REPORT 2012
9. Andra. TB pada Anak : The Great Imitator. Majalah Farmacia, vol. 6 no. 10, Mei
2007.
10. Gopi A, Madhavan SM, Sharma SK, et al. Diagnosis and Treatment of Tuberculosis
Pleural effusion in 2006. Chest 2007; 131: 880-889. Available at :
http://www.mdconsult.com/das/article/body/791574825/jorg=journal&source=MI&sp
=18253710&sid=629243738/N/576778/1.html
11. http://agusjati.blogspot.com/2008/02/pleuritis-tb.html diakses pada 20 juni 2012.
12. http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?
page=Diagnosis+dan+Penatalaksanaan+Tuberkulosis+Milier+pada+Anak diakses
pada 20 juni 2012.
13. Oesman I.N, 1994. Gagal Jantung. Dalam buku ajar kardiologi anak. Binarupa Aksara. Jakarta. Hal 425 – 441
14. Abdurachman N. 1987. Gagal Jantung. Dalam Ilmu Penyakit Dalam. Balai penerbit FKUI. Jakarta. Hal 193 – 204
15. Ontoseno T. 2005. Gagal Jantung Kongestif dan Penatalaksanaannya pada Anak. Simposium nasional perinatologi dan pediatric gawat darurat. IDAI Kal-Sel. Banjarmasin. Hal 89 – 103
16.
58
top related