2. tinjauan pustaka 2.1 korosi
Post on 28-Oct-2021
2 Views
Preview:
TRANSCRIPT
4
Universitas Kristen Petra
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Korosi
Peristiwa korosi terjadi akibat reaksi kimia antara material logam dengan
lingkungan sekitar yang menyebabkan degradasi pada logam tersebut. Peristiwa
korosi pada material logam terjadi pada kondisi asam (pH < 7). Pada umumnya,
tulangan baja pada beton bertulang dilindungi oleh selimut beton yang merupakan
lingkungan dengan kadar alkalinitas yang tinggi (pH 11-13) (Broomfield, 2006).
Proses pencampuran semen dan air membentuk sifat alkali beton sehingga
senyawa Ca(OH)2 dari semen melepas ion OH-. Ion-ion tersebut membawa sifat
alkali dari beton dan menempel pada permukaan tulangan baja. Hal ini
menyebabkan terbentuknya lapisan pasif dari senyawa Fe(OH)2 yang akan
melindungi tulangan baja dari korosi (Maryoto, 2014).
Namun, lapisan pasif ini dapat rusak dan menjadi tidak stabil jika bereaksi
dengan ion klorida (Cl-) (Maaddawy, Chahrour & Soudki, 2006). Permukaan
beton yang berpori menyebabkan ion-ion klorida yang berasal dari air laut masuk
ke dalam beton hingga bertemu dengan tulangan pada beton tersebut. Selain itu,
gas CO2 di udara akan bereaksi dengan kalsium yang ada pada beton dan
menyebabkan terjadinya proses karbonasi (carbonation). Kedua hal tersebut
menyebabkan kerusakan pada lapisan pasif pada beton sehingga terjadi korosi
pada tulangan baja (Hansson, Poursaee, & Jaffer, 2012).
Jika lapisan pasif tulangan rusak, tulangan baja akan bereaksi dengan air
dan oksigen sehingga menyebabkan korosi. Atom-atom Fe yang ada dalam
tulangan melepas elektron dan menjadi ion Fe2+ atau Fe3+. Peristiwa korosi
merupakan sebuah proses elektrokimia yang terdiri dari reaksi katodik dan anodik
antara permukaan tulangan baja dengan lingkungan sekitar (Berrocal, 2015).
Reaksi katodik dan anodik yang terjadi pada peristiwa korosi adalah sebagai
berikut:
Reaksi oksidasi anodik yang terjadi pada tulangan baja:
5
Universitas Kristen Petra
πΉπ β πΉπ2+ + 2πβ (2.1)
Reaksi reduksi katodik yang terjadi pada lingkungan di sekitar tulangan baja:
1
2π2 + π»2π + 2πβ β 2(ππ»)β (2.2)
Melalui reaksi tersebut, terbentuklah ion hidroksil ππ»β yang
meningkatkan sifat alkali dari beton dan memperkuat lapis pasif sehingga
menghambat pengaruh karbonisasi dan ion klorida pada katoda seperti pada
Gambar 2.1 (Broomfield, 2006).
Gambar 2.1. Mekanisme terjadinya korosi pada tulangan dalam beton
Sumber: Byrne, Homes, & Norton (2016)
Dengan adanya ion hidroksil yang terbentuk pada reaksi katoda, ion
Ferrous (Fe2+) akan membentuk Ferrous Hidroksida seperti reaksi berikut:
πΉπ2+ + 2(ππ»)β β πΉπ(ππ»)2 (2.3)
(Ferrous Hidroksida)
4πΉπ(ππ»)2 + π2 + 2π»2π β 4πΉπ(ππ»)3 (2.4)
(Ferric Hidroksida)
2πΉπ(ππ»)3 β πΉπ2π3π»2π + 2π»2π (2.5)
(Hydrasi Ferric Oksida/ Karat)
Korosi dapat mengakibatkan pengurangan luas permukaan baja tulangan
dan juga menghasilkan volume Ferric Hidroksida πΉπ(ππ»)3 enam hingga sepuluh
kali lipat lebih besar dari volume baja yang teroksidasi sehingga memberikan
tegangan tarik destruktif pada selimut beton di sekitarnya yang menyebabkan
6
Universitas Kristen Petra
keretakan (crack) dan pengelupasan selimut beton (spalling) seperti pada Gambar
2.2 (Broomfield, 2006).
Gambar 2.2. Volume relatif dari produk korosi Fe terhadap logam acuan
Sumber: Broomfield (2006)
2.2 Fiber Reinforced Polymer
Fiber reinforced polymer (FRP) merupakan sebuah material komposit
yang digunakan sebagai material perkuatan struktur beton dalam dunia konstruksi.
Material FRP memiliki keunggulan dibandingkan dengan material konstruksi
konvensional karena sifat dasar FRP yang memiliki kekuatan tarik yang sangat
tinggi, massa jenis yang ringan, tidak mudah berkarat, serta memiliki modulus
elastisitas yang tinggi (Panimayam, Chinnadurai, & Anuradha, 2017). Selain itu,
material FRP dapat tersedia dalam berbagai bentuk yang dapat disesuaikan
dengan kondisi lapangan (formability) sehingga tidak memerlukan area yang luas
dalam proses pelaksanaan dan tidak memerlukan joint meskipun bentang yang
harus diperkuat cukup panjang. Penggunaan FRP pada konstruksi bangunan
meningkatkan keamanan dan mengurangi jumlah tenaga yang dibutuhkan pada
proses pelaksanaan dengan performa yang cenderung sustainable dan biaya yang
rendah.
Berdasarkan material dasarnya, FRP yang umum digunakan terbagi
menjadi tiga jenis yaitu carbon FRP (CFRP), aramid FRP (AFRP), dan glass FRP
(GFRP). Carbon FRP didefinisikan sebagai serat yang mengandung setidaknya
7
Universitas Kristen Petra
90% berat karbon. Umumnya digunakan graphite fiber yang merupakan serat
dengan karbon di atas 95% beratnya. Carbon FRP memiliki potensi service life
yang lebih baik jika dibandingkan dengan aramid FRP dan glass FRP serta
memiliki kekuatan tarik yang lebih tinggi daripada tulangan baja (Panimayam,
Chinnadurai, & Anuradha, 2017). Selain itu, carbon FRP juga memiliki kekuatan
yang relatif lebih tinggi dibanding glass FRP (Achmad, Soerhadjono, & Tavio,
2012). Komposit carbon fiber cocok untuk aplikasi struktur yang harus memenuhi
persyaratan kekuatan, kekakuan, ringan, dan ketahanan terhadap fatigue (Oprisan,
Taranu, Munteanu, & Entuc, 2010). Carbon FRP yang beredar di pasaran
memiliki bentuk plate (strip), fabric (wrap), dan rod (tulangan).
Carbon FRP merupakan material yang memiliki ketahanan yang baik
terhadap reaksi kimia sehingga cocok digunakan pada lingkungan yang korosif.
Hal tersebut disebabkan karena carbon FRP bersifat kedap air dan udara sehingga
bisa mencegah masuknya ion klorida dan senyawa merusak lainnya ke dalam
tulangan (Lu, Hu, Li, & Tang, 2018). Selain itu, carbon FRP merupakan
konduktor listrik yang baik serta memiliki electrochemical properties yang baik
pula sehingga bisa digunakan sebagai anoda dalam sistem perlindungan katodik
(Zhu, Zhu, Han, Liu, & Xing, 2014). Tabel 2.1 menunjukkan bahwa carbon
memiliki nilai potensial yang lebih positif dibandingkan dengan tulangan (besi)
sehingga carbon FRP bisa digunakan sebagai anoda dalam sistem ICCP.
Tabel 2.1. Perbandingan Nilai Potensial Elektrode Standar Karbon dengan Besi
Reaksi Reduksi Potensial Elektrode Standar (Volt)
Fe2+ + 2e- β Fe(s) -0.44
CO(g) + 2H+ + 2e- β C(s) + H2O +0.52
Sumber: Santhanam, Press, Miri, Bailey, & Takacs (2009)
2.3 Impressed Current Cathodic Protection (ICCP)
Cathodic protection (CP) merupakan salah satu teknik yang digunakan
untuk mencegah korosi dengan cara mengubah permukaan material logam
menjadi bersifat katodik (nilai potensial negatif). Perbedaan nilai potensial antara
daerah katodik dan anodik menyebabkan terjadinya pertukaran elektron antara
8
Universitas Kristen Petra
anoda dan katoda sehingga dapat menurunkan laju korosi sampai pada nilai
terkecil. Salah satu jenis perlindungan katodik yang sering digunakan adalah
impressed current cathodic protection (ICCP). Komponen utama dalam sistem
ICCP meliputi logam anoda, tulangan baja dalam beton (katoda), elektrolit,
monitoring device, dan sebuah DC power supply. Logam yang memiliki nilai
potensial yang lebih positif dibandingkan baja tulangan digunakan sebagai anoda.
Sistem ICCP sering digunakan menyelesaikan permasalahan korosi pada struktur
yang besar. Umur perlindungan yang lama dan kemampuan untuk mengontrol
korosi dalam semua kondisi merupakan alasan utama sistem ICCP populer untuk
digunakan (Wilson, Jawed, & Ngala, 2013).
Peristiwa korosi dapat dihindari dengan cara mencegah tulangan baja
kehilangan elektron dan berubah menjadi ion Ferrous (Fe2+). Hal ini dapat
dilakukan dengan mengalirkan elektron menuju tulangan baja melalui sistem
ICCP. Elektron yang mengalir menuju tulangan baja menyebabkan tulangan baja
menjadi terpolarisasi negatif sehingga menolak ion klorida yang dapat merusak
lapisan pasif tulangan tersebut. Ion-ion hidroksil (OH-) juga terbentuk disekitar
tulangan sehingga tulangan menjadi bersifat lebih basa dan mencegah terjadinya
korosi (Lu, Hu, Li, & Tang, 2018). Selain itu, gas hidrogen juga akan terbentuk
pada daerah katoda sebagai efek samping dari tulangan yang terpolarisasi negatif
(Thomas, n.d.). Sedangkan pada daerah anoda, terjadi reaksi oksidasi dimana ion-
ion pada daerah anoda akan melepaskan elektronnya. Elektron yang didapat
melalui reaksi oksidasi anoda kemudian mengalir ke sumber arus sehingga
terbentuklah rangkaian yang tertutup. Dengan besar arus yang sesuai maka laju
korosi pada tulangan baja akan terhambat (Byrne, Holmes, & Norton, 2016).
Pemilihan anoda yang tepat merupakan salah satu faktor penting dalam
mendesain sistem ICCP, khususnya jika sistem ICCP akan diaplikasikan pada
struktur beton bertulang yang memiliki nilai resistivity tinggi (Nguyen, Mangat,
Lambert, OβFlaherty, & Jones, 2014). Oleh karena itu, material yang digunakan
sebagai anoda harus dipilih secara spesifik agar bersifat konduktif terhadap aliran
listrik dan tahan lama terhadap reaksi oksidasi. Anoda ini kemudian dihubungkan
ke kutub positif dari sumber arus, sedangkan baja tulangan bertindak sebagai
9
Universitas Kristen Petra
katoda terhubung pada kutub negatif. Gambar 2.3 menunjukkan skema sistem
ICCP yang diberikan pada suatu struktur beton bertulang.
Untuk anoda yang ditempelkan pada permukaan beton bertulang, epoxy
yang digunakan untuk menempelkan anoda tersebut harus bersifat konduktif agar
aliran arus listrik dapat masuk ke tulangan baja. Epoxy yang sifatnya tidak atau
kurang konduktif bisa dimodifikasi dengan menggunakan conductive pigment
agar menjadi bersifat konduktif (Gadve, Mukherjee, & Malhotra, 2011). Salah
satu conductive pigment yang dapat digunakan dalam campuran epoxy adalah
bubuk grafit. Bubuk grafit dapat meningkatkan konduktifitas epoxy sehingga arus
listrik dapat mengalir ke dalam baja tulangan. Peningkatan konduktifitas epoxy
ditandai dengan semakin rendahnya nilai resistivity / hambatan dari epoxy
tersebut. Namun, pemberian bubuk grafit yang terlalu banyak dapat menyebabkan
menurunnya kekuatan ikatan antara anoda dengan permukaan beton bertulang.
Selain itu, pemberian grafit juga mengurangi workability dari epoxy sehingga
pemasangan anoda dan proses kontrol kualitas epoxy semakin sulit.
Gambar 2.3. Ilustrasi skema ICCP pada beton bertulang
Sumber: Byrne, Homes, & Norton (2016)
Selain pemilihan material anoda, faktor penting lain yang harus
diperhatikan dalam mendesain sistem ICCP adalah current density. Hal ini
disebabkan karena current density mempengaruhi ikatan antara tulangan baja dan
beton serta mempengaruhi efektifitas dari perlindungan katodik. Dalam jangka
waktu yang lama, current density yang terlalu besar dapat memperlemah ikatan
10
Universitas Kristen Petra
antara tulangan baja dan beton. Hal ini terjadi karena semakin besar dan lama
current density diberikan, maka semakin banyak gas hidrogen yang terbentuk
pada permukaan tulangan (Bahekar & Gadve, 2017). Current density yang terlalu
besar juga menimbulkan efek samping berupa degradasi anoda dan berkurangnya
kekuatan lekatan antara anoda dengan beton bertulang (Zhang, Tang, & Zack,
2016). Namun, jika current density yang diberikan terlalu kecil, maka
perlindungan katodik pada tulangan menjadi kurang efektif.
Banyak standar yang menyarankan besarnya current density yang cocok
untuk perlindungan katodik, salah satunya BS EN 12696:2012 yang menyarankan
current density sebesar 2 - 20 mA/m2 untuk permukaan baja yang telah
mengalami korosi dan current density sebesar 0,2 - 2 mA/m2 untuk mencegah
terjadinya korosi pada baja.
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menguji performa
penggunaan CFRP laminate sebagai anoda dalam sistem ICCP. Nguyen et.al
menemukan bahwa penggunaan CFRP laminate sebagai anoda telah terbukti bisa
mengurangi korosi dan juga tanpa ada pengurangan yang signifikan dalam
kemampuan CFRP laminate dalam menahan beban. Mereka menyimpulkan
bahwa dual system CFRP memang dapat dilakukan (Nguyen, Mangat, Lambert,
OβFlaherty, & Jones, 2014). Selain itu, penelitian lain mengenai keberhasilan
ICCP dengan menggunakan CFRP dengan berbagai kondisi karat yang berbeda-
beda telah dilakukan oleh Bahekar et. al dan Lu et. al (Bahekar & Gadve, 2017)
(Lu, Hu, Li, & Tang, 2018). Hanya saja, masih sedikit penelitian yang dilakukan
berkaitan dengan pengaruh modifikasi epoxy dengan conductive pigment terhadap
efektifitas dari ICCP. Selain itu, penelitian diatas hanya berfokus meneliti
kemampuan CFRP menahan beban saja, tetapi belum ada yang meneliti terhadap
bond strength antara CFRP yang digunakan dengan struktur beton.
2.4 Half Cell Potential Test
Half cell potential test merupakan metode pengujian yang menggunakan
nilai beda potensial antara tulangan dengan sebuah reference electrode sebagai
dasar untuk mengidentifikasi aktifitas korosi baja tulangan dalam beton. Half cell
potential test bisa digunakan untuk semua jenis struktur beton bertulang tanpa
11
Universitas Kristen Petra
memperhatikan tebal selimut beton, diameter dan jenis tulangan, serta detailing
dari struktur tersebut (Elsener, 2003). Perbedaan nilai potensial tersebut juga
dapat digunakan untuk mengukur efektifitas dari perlindungan katodik yang
diberikan pada tulangan. Nilai beda potensial diperoleh dengan bantuan voltmeter.
Pengukuran korosi dengan metode half cell potential test dilakukan dengan
menggunakan standard ASTM C876-09 βStandart Test Method for Half Cell
Potentials of Uncoated Reinforcing Stell in Concreteβ.
Half cell potential test dilakukan dengan cara menghubungkan kutub
positif dengan tulangan yang berada di dalam beton. Sedangkan kutub negatif
dihubungkan ke sebuah reference electrode. Setelah itu, reference electrode
ditempelkan pada permukaan beton untuk mengukur nilai beda potensial antara
tulangan terhadap reference electrode. Skema kerja pengukuran beda potensial
dengan metode half cell potential test dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Skema pengukuran potensial tulangan
Sumber: ASTM Committee G01 (2009)
Ada 3 jenis reference electrode yang digunakan dalam pengujian half cell
potential test: tembaga/tembaga sulfat (CuSO4), kalomel (Hg/Hg2Cl2), dan
perak/perak klorida (Ag/AgCl). Penggunaan reference electrode disesuaikan
kondisi lingkungan dimana half cell potential test akan dilakukan. Electrode
tembaga sulfat cocok digunakan untuk pengetesan di lapangan karena merupakan
elektroda yang paling kuat dan akurat, meskipun kesalahan pembacaan dapat
terjadi karena adanya kontaminasi pada permukaan beton atau tembaga sulfat
12
Universitas Kristen Petra
(Vassie, 1978). Untuk struktur beton yang berada di wilayah laut, pemilihan perak
klorida sebagai reference electrode sangat disarankan untuk menghindari
terjadinya kontaminasi klorida pada reference electrode (ASTM Committee G01,
2009).
Perbedaan tipe reference electrode yang digunakan menyebabkan
perbedaan hasil pembacaan pada half cell potential test. ASTM C876-09
menyatakan bahwa nilai beda potensial untuk menentukan aktifitas korosi harus
mengacu pada reaksi electrode tembaga jenuh. Jika reference electrode berbahan
perak atau kalomel digunakan, maka perlu dilakukan koreksi terhadap hasil
pembacaan yang didapatkan. Konversi hasil pembacaan half cell potential test
didasarkan pada beda potensial reference electrode yang digunakan dan reference
electrode tembaga terhadap standard hydrogen electrode (SHE) pada suhu 25oC
(Park, Miller, Sebastian, & Florida, 2009). Nilai beda potensial tersebut berbeda-
beda tergantung pada merk reference electrode yang digunakan. Persamaan 2.6
digunakan untuk menghitung hasil konversi pembacaan half cell potential test
terhadap elektroda tembaga.
Reading adjusted to CSE = P(RE) β P(CSE) + (reading vs RE) (2.6)
dimana P(RE) adalah beda potensial reference electrode yang digunakan pada
penelitian terhadap SHE; P(CSE) adalah beda potensial reference electrode
tembaga terhadap SHE; dan (reading vs RE) adalah hasil pembacaan voltmeter
dengan menggunakan reference electrode yang digunakan pada penelitian (Park,
Miller, Sebastian, & Florida, 2009).
Tabel 2.2. Hubungan antara Nilai Potensial dengan Korosi (Berdasarkan ASTM
C876)
Nilai Pembacaan Potensial
(mV) terhadap elektrode acuan
(Tembaga Sulfat-CuSO4 )
Peluang Terjadinya
Korosi (%)
< -350 90
-200 s.d -350 50
> -200 10
13
Universitas Kristen Petra
Peluang terjadinya korosi pada tulangan baja dapat diperkirakan melalui
hasil pembacaan half cell potential test. Semakin positif nilai beda potensial yang
terbaca, maka peluang terjadinya korosi juga semakin kecil. Hubungan antara
nilai beda potensial dengan peluang terjadinya korosi dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Dari besarnya nilai beda potensial yang terbaca, tingkat efektifitas dari sistem
ICCP dalam melindungi tulangan juga dapat diukur.
2.5 Pull-off Test
Pull-off test merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
mengukur kekuatan ikatan antara permukaan 2 buah material. Standar yang
digunakan dalam pull-off test adalah ASTM C1583 βTest Method for Tensile
Strength of Concrete Surfaces and the Bond Strength of Tensile Strength of
Concrete Repair and Overlay Materials by Direct Tension (Pull-off Method)β.
Pada perlindungan katodik, metode ini dapat digunakan untuk menguji
kekuatan ikatan antara material khusus yang digunakan sebagai anoda dengan
permukaan beton bertulang. Kekuatan ikatan antara material anoda dengan
permukaan beton bertulang sangat bergantung pada campuran epoxy yang
digunakan sebagai bahan untuk merekatkan anoda pada permukaan beton
bertulang.
Peralatan yang diperlukan dalam pull-off test terdiri dari mesin pull-off
portable, disk logam, epoxy, dan core drill. Sebuah disk logam ditempelkan di
atas specimen yang telah dicoring dan kemudian ditarik dengan menggunakan
mesin pull-off portable. Peningkatan gaya tarik disk logam secara bertahap dapat
diamati pada manometer digital dalam mesin tersebut. Hasil pembacaan gaya
dalam satuan kilo Newton (kN). Skema kerja pull-off test dapat dilihat pada
Gambar 2.5.
Dalam pull-off test, terdapat empat jenis kegagalan seperti pada Gambar
2.6 yaitu: (a) Kegagalan pada lapisan bawah (substrate) menandakan kekuatan
tarik pada permukaan sambungan (bond strength) lebih besar dibanding kekuatan
tarik lapisan bawah (substrate); (b) Kegagalan pada permukaan sambungan
menyatakan kekuatan tarik pada permukaan sambungan antara bagian atas
(overlay) dengan bagian bawah (substrate) lebih kecil dibandingkan kekuatan
14
Universitas Kristen Petra
Disk Logam Epoxy Sikadur-30 Epoxy Disk Logam
overlay dan subsrate; (c) Kegagalan pada lapisan atas (overlay) menandakan
kekuatan tarik pada permukaan sambungan lebih besar dibanding kekuatan tarik
lapisan atas (overlay); (d) Kegagalan pada sambungan disk logam pada lapisan
atas (overlay) karena lekatan disk logam dengan inti yang akan diuji kurang kuat.
Gambar 2.5. Skema kerja pull-off test
Sumber: Pallempati, Beneberu, & Yazdani (2016)
Gambar 2.6. Jenis-jenis kegagalan dalam pull-off test
Kegagalan tipe (a) lebih dianjurkan karena tipe ini menunjukkan kekuatan
tarik pada permukaan sambungan (bond strength) lebih besar dibanding kekuatan
tarik lapisan bawah. Sedangkan jika terjadi kegagalan tipe (d), maka hasil
pengujian dianggap tidak valid dan harus dibuang. Kegagalan terjadi pada bagian
terlemah dari spesimen sehingga tidak dapat diprediksi bagian mana yang akan
mengalami kegagalan. Jadi, perhitungan kekuatan tarik didapatkan dari hasil rata-
rata nilai kekuatan tarik dari jenis kegagalan yang sama. Menurut ACI 440.2R-08,
Beton CFRP
15
Universitas Kristen Petra
gaya tarik minimal untuk ikatan FRP dengan permukaan beton adalah 200 psi atau
1,4 MPa.
2.6 Accelerated Corrosion with Impressed Current Method
Impressed current method merupakan salah satu metode yang digunakan
untuk mempercepat laju korosi pada sebuah material logam dengan bantuan arus
listrik. Metode percepatan korosi ini diperlukan karena korosi yang terjadi secara
natural akibat difusi klorida membutuhkan waktu yang sangat lama (Zhu,
Francois, Fang, & Zhang, 2016). Pada metode ini, permukaan material logam
diubah menjadi anoda untuk memberikan korosi pada logam tersebut. Impressed
current method terbukti merupakan metode yang valid digunakan untuk
mensimulasikan korosi tulangan pada struktur beton bertulang dengan biaya dan
waktu yang relatif rendah dan singkat (Ahmad, 2009).
Proses korosi akibat impressed current method sama dengan proses korosi
akibat difusi klorida secara natural. Pertama-tama, lapisan pasif besi rusak, baik
akibat penetrasi ion klorida maupun arus listrik yang mengalir. Kemudian,
terbentuklah suatu produk yang bersifat sementara yang disebut green rust. Jika
green rust bereaksi dengan air dan oksigen, maka terbentuklah produk karat yang
berwarna merah kecoklatan (lepidocrocite, akageneite, goethite, dan produk
FeOOH lainnya) (Care & Raharinaivo, 2007). Selain itu, pola produk korosi yang
terbentuk juga sama. Pola produk korosi akibat korosi yang terjadi secara natural
dan akibat impressed current method sama-sama terdiri dari 3 lapisan: metallic
substrate (besi), lapisan produk korosi, dan beton atau mortar (Poupard, LβHostis,
Catinaud, & Petre-Lazar, 2006). Gambar 2.7 dan Gambar 2.8 menunjukkan pola
produk korosi yang dihasilkan dari dua metode tersebut.
Gambar 2.7. Pola produk korosi impressed current method
Sumber: Care & Raharinaivo (2007)
16
Universitas Kristen Petra
Gambar 2.8. Pola produk korosi secara natural akibat difusi klorida
Sumber: Poupard, LβHostis, Catinaud, & Petre-Lazar (2006)
Metode ini menggunakan arus DC konstan yang dialirkan ke baja tulangan
dalam beton untuk menghasilkan korosi dalam waktu yang relatif singkat.
Impressed current method memiliki prinsip yang sama dengan impressed current
cathodic protection, hanya saja tulangan baja berperan menjadi anoda yang akan
dikorbankan untuk melindungi material pada katoda. Tulangan baja didorong
untuk melepas elektron sehingga memicu terjadinya korosi. Pada Gambar 2.9,
dapat dilihat skema umum untuk memberikan korosi pada besi dengan metode
impressed current.
Agar impressed current method bisa mensimulasikan korosi yang terjadi
secara natural akibat penetrasi klorida dengan akurat, maka larutan elektrolit yang
digunakan harus mengandung klorida. Penggunaan larutan elektrolit yang
mengandung klorida juga akan menyebabkan proses korosi yang terjadi akibat
impressed current method memenuhi hukum elektrolisis Faraday (Care &
Raharinaivo, 2007).
Gambar 2.9. Skema pemberian korosi awal dengan metode impressed current
Yang dirusak (besi) Yang dilindungi
(stainless steel)
17
Universitas Kristen Petra
Baja tulangan yang akan diberi korosi diberi arus listrik DC konstan
sehingga terpolarisasi positif dan menjadi anoda. Material logam yang dipakai
sebagai katoda disambungkan ke kutub negatif dari sumber listrik DC. Hal ini
akan menyebabkan anion dari larutan elektrolit NaCl yang berupa ion Cl- akan
bergerak menuju ke tulangan baja (anoda) dan menjadi katalis proses korosi.
Berdasarkan rumus hukum elektrolisis Faraday, massa korosi teoritis yang
dihasilkan dari metode ini dapat diperoleh melalui persamaan:
ππ‘β = π .πΌπππ .π
πΉ(2.7)
dimana Mth adalah massa teoritis karat yang dihasilkan per unit area permukaan
tulangan (g/cm2); W adalah berat ekuivalen dari baja yang diambil sebagai rasio
dari berat atomik besi ke valensi besi (27,925 g); Iapp adalah densitas arus yang
diberikan (Amp/cm2); T adalah durasi pemberian arus (detik); dan F adalah
konstanta Faraday (96487 Amp-detik) (Ahmad, 2009).
Meskipun durasi pemberian arus listrik sudah sesuai dengan Persamaan
2.7, massa korosi aktual yang terbentuk bisa berbeda dengan massa teoritis yang
dihitung. Hal tersebut terjadi karena Persamaan 2.7 merupakan rumus untuk
kondisi ideal, dimana skema pemberian korosi awal sesuai dengan Gambar 2.9.
Perbedaan dengan kondisi ideal seperti: perbedaan skema korosi awal, adanya
resistivity beton, komposisi penyusun tulangan baja, properties dari material yang
digunakan untuk pengecoran mengakibatkan perbedaan massa korosi yang
terbentuk. (Ahmad, 2009).
top related