2. tinjauan pustaka 2.1 korosi

14
4 Universitas Kristen Petra 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Korosi Peristiwa korosi terjadi akibat reaksi kimia antara material logam dengan lingkungan sekitar yang menyebabkan degradasi pada logam tersebut. Peristiwa korosi pada material logam terjadi pada kondisi asam (pH < 7). Pada umumnya, tulangan baja pada beton bertulang dilindungi oleh selimut beton yang merupakan lingkungan dengan kadar alkalinitas yang tinggi (pH 11-13) (Broomfield, 2006). Proses pencampuran semen dan air membentuk sifat alkali beton sehingga senyawa Ca(OH)2 dari semen melepas ion OH - . Ion-ion tersebut membawa sifat alkali dari beton dan menempel pada permukaan tulangan baja. Hal ini menyebabkan terbentuknya lapisan pasif dari senyawa Fe(OH)2 yang akan melindungi tulangan baja dari korosi (Maryoto, 2014). Namun, lapisan pasif ini dapat rusak dan menjadi tidak stabil jika bereaksi dengan ion klorida (Cl - ) (Maaddawy, Chahrour & Soudki, 2006). Permukaan beton yang berpori menyebabkan ion-ion klorida yang berasal dari air laut masuk ke dalam beton hingga bertemu dengan tulangan pada beton tersebut. Selain itu, gas CO2 di udara akan bereaksi dengan kalsium yang ada pada beton dan menyebabkan terjadinya proses karbonasi (carbonation). Kedua hal tersebut menyebabkan kerusakan pada lapisan pasif pada beton sehingga terjadi korosi pada tulangan baja (Hansson, Poursaee, & Jaffer, 2012). Jika lapisan pasif tulangan rusak, tulangan baja akan bereaksi dengan air dan oksigen sehingga menyebabkan korosi. Atom-atom Fe yang ada dalam tulangan melepas elektron dan menjadi ion Fe 2+ atau Fe 3+ . Peristiwa korosi merupakan sebuah proses elektrokimia yang terdiri dari reaksi katodik dan anodik antara permukaan tulangan baja dengan lingkungan sekitar (Berrocal, 2015). Reaksi katodik dan anodik yang terjadi pada peristiwa korosi adalah sebagai berikut: Reaksi oksidasi anodik yang terjadi pada tulangan baja:

Upload: others

Post on 28-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Korosi

4

Universitas Kristen Petra

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Korosi

Peristiwa korosi terjadi akibat reaksi kimia antara material logam dengan

lingkungan sekitar yang menyebabkan degradasi pada logam tersebut. Peristiwa

korosi pada material logam terjadi pada kondisi asam (pH < 7). Pada umumnya,

tulangan baja pada beton bertulang dilindungi oleh selimut beton yang merupakan

lingkungan dengan kadar alkalinitas yang tinggi (pH 11-13) (Broomfield, 2006).

Proses pencampuran semen dan air membentuk sifat alkali beton sehingga

senyawa Ca(OH)2 dari semen melepas ion OH-. Ion-ion tersebut membawa sifat

alkali dari beton dan menempel pada permukaan tulangan baja. Hal ini

menyebabkan terbentuknya lapisan pasif dari senyawa Fe(OH)2 yang akan

melindungi tulangan baja dari korosi (Maryoto, 2014).

Namun, lapisan pasif ini dapat rusak dan menjadi tidak stabil jika bereaksi

dengan ion klorida (Cl-) (Maaddawy, Chahrour & Soudki, 2006). Permukaan

beton yang berpori menyebabkan ion-ion klorida yang berasal dari air laut masuk

ke dalam beton hingga bertemu dengan tulangan pada beton tersebut. Selain itu,

gas CO2 di udara akan bereaksi dengan kalsium yang ada pada beton dan

menyebabkan terjadinya proses karbonasi (carbonation). Kedua hal tersebut

menyebabkan kerusakan pada lapisan pasif pada beton sehingga terjadi korosi

pada tulangan baja (Hansson, Poursaee, & Jaffer, 2012).

Jika lapisan pasif tulangan rusak, tulangan baja akan bereaksi dengan air

dan oksigen sehingga menyebabkan korosi. Atom-atom Fe yang ada dalam

tulangan melepas elektron dan menjadi ion Fe2+ atau Fe3+. Peristiwa korosi

merupakan sebuah proses elektrokimia yang terdiri dari reaksi katodik dan anodik

antara permukaan tulangan baja dengan lingkungan sekitar (Berrocal, 2015).

Reaksi katodik dan anodik yang terjadi pada peristiwa korosi adalah sebagai

berikut:

Reaksi oksidasi anodik yang terjadi pada tulangan baja:

Page 2: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Korosi

5

Universitas Kristen Petra

𝐹𝑒 → 𝐹𝑒2+ + 2𝑒− (2.1)

Reaksi reduksi katodik yang terjadi pada lingkungan di sekitar tulangan baja:

1

2𝑂2 + 𝐻2𝑂 + 2𝑒− → 2(𝑂𝐻)− (2.2)

Melalui reaksi tersebut, terbentuklah ion hidroksil 𝑂𝐻− yang

meningkatkan sifat alkali dari beton dan memperkuat lapis pasif sehingga

menghambat pengaruh karbonisasi dan ion klorida pada katoda seperti pada

Gambar 2.1 (Broomfield, 2006).

Gambar 2.1. Mekanisme terjadinya korosi pada tulangan dalam beton

Sumber: Byrne, Homes, & Norton (2016)

Dengan adanya ion hidroksil yang terbentuk pada reaksi katoda, ion

Ferrous (Fe2+) akan membentuk Ferrous Hidroksida seperti reaksi berikut:

𝐹𝑒2+ + 2(𝑂𝐻)− → 𝐹𝑒(𝑂𝐻)2 (2.3)

(Ferrous Hidroksida)

4𝐹𝑒(𝑂𝐻)2 + 𝑂2 + 2𝐻2𝑂 → 4𝐹𝑒(𝑂𝐻)3 (2.4)

(Ferric Hidroksida)

2𝐹𝑒(𝑂𝐻)3 → 𝐹𝑒2𝑂3𝐻2𝑂 + 2𝐻2𝑂 (2.5)

(Hydrasi Ferric Oksida/ Karat)

Korosi dapat mengakibatkan pengurangan luas permukaan baja tulangan

dan juga menghasilkan volume Ferric Hidroksida 𝐹𝑒(𝑂𝐻)3 enam hingga sepuluh

kali lipat lebih besar dari volume baja yang teroksidasi sehingga memberikan

tegangan tarik destruktif pada selimut beton di sekitarnya yang menyebabkan

Page 3: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Korosi

6

Universitas Kristen Petra

keretakan (crack) dan pengelupasan selimut beton (spalling) seperti pada Gambar

2.2 (Broomfield, 2006).

Gambar 2.2. Volume relatif dari produk korosi Fe terhadap logam acuan

Sumber: Broomfield (2006)

2.2 Fiber Reinforced Polymer

Fiber reinforced polymer (FRP) merupakan sebuah material komposit

yang digunakan sebagai material perkuatan struktur beton dalam dunia konstruksi.

Material FRP memiliki keunggulan dibandingkan dengan material konstruksi

konvensional karena sifat dasar FRP yang memiliki kekuatan tarik yang sangat

tinggi, massa jenis yang ringan, tidak mudah berkarat, serta memiliki modulus

elastisitas yang tinggi (Panimayam, Chinnadurai, & Anuradha, 2017). Selain itu,

material FRP dapat tersedia dalam berbagai bentuk yang dapat disesuaikan

dengan kondisi lapangan (formability) sehingga tidak memerlukan area yang luas

dalam proses pelaksanaan dan tidak memerlukan joint meskipun bentang yang

harus diperkuat cukup panjang. Penggunaan FRP pada konstruksi bangunan

meningkatkan keamanan dan mengurangi jumlah tenaga yang dibutuhkan pada

proses pelaksanaan dengan performa yang cenderung sustainable dan biaya yang

rendah.

Berdasarkan material dasarnya, FRP yang umum digunakan terbagi

menjadi tiga jenis yaitu carbon FRP (CFRP), aramid FRP (AFRP), dan glass FRP

(GFRP). Carbon FRP didefinisikan sebagai serat yang mengandung setidaknya

Page 4: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Korosi

7

Universitas Kristen Petra

90% berat karbon. Umumnya digunakan graphite fiber yang merupakan serat

dengan karbon di atas 95% beratnya. Carbon FRP memiliki potensi service life

yang lebih baik jika dibandingkan dengan aramid FRP dan glass FRP serta

memiliki kekuatan tarik yang lebih tinggi daripada tulangan baja (Panimayam,

Chinnadurai, & Anuradha, 2017). Selain itu, carbon FRP juga memiliki kekuatan

yang relatif lebih tinggi dibanding glass FRP (Achmad, Soerhadjono, & Tavio,

2012). Komposit carbon fiber cocok untuk aplikasi struktur yang harus memenuhi

persyaratan kekuatan, kekakuan, ringan, dan ketahanan terhadap fatigue (Oprisan,

Taranu, Munteanu, & Entuc, 2010). Carbon FRP yang beredar di pasaran

memiliki bentuk plate (strip), fabric (wrap), dan rod (tulangan).

Carbon FRP merupakan material yang memiliki ketahanan yang baik

terhadap reaksi kimia sehingga cocok digunakan pada lingkungan yang korosif.

Hal tersebut disebabkan karena carbon FRP bersifat kedap air dan udara sehingga

bisa mencegah masuknya ion klorida dan senyawa merusak lainnya ke dalam

tulangan (Lu, Hu, Li, & Tang, 2018). Selain itu, carbon FRP merupakan

konduktor listrik yang baik serta memiliki electrochemical properties yang baik

pula sehingga bisa digunakan sebagai anoda dalam sistem perlindungan katodik

(Zhu, Zhu, Han, Liu, & Xing, 2014). Tabel 2.1 menunjukkan bahwa carbon

memiliki nilai potensial yang lebih positif dibandingkan dengan tulangan (besi)

sehingga carbon FRP bisa digunakan sebagai anoda dalam sistem ICCP.

Tabel 2.1. Perbandingan Nilai Potensial Elektrode Standar Karbon dengan Besi

Reaksi Reduksi Potensial Elektrode Standar (Volt)

Fe2+ + 2e- → Fe(s) -0.44

CO(g) + 2H+ + 2e- → C(s) + H2O +0.52

Sumber: Santhanam, Press, Miri, Bailey, & Takacs (2009)

2.3 Impressed Current Cathodic Protection (ICCP)

Cathodic protection (CP) merupakan salah satu teknik yang digunakan

untuk mencegah korosi dengan cara mengubah permukaan material logam

menjadi bersifat katodik (nilai potensial negatif). Perbedaan nilai potensial antara

daerah katodik dan anodik menyebabkan terjadinya pertukaran elektron antara

Page 5: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Korosi

8

Universitas Kristen Petra

anoda dan katoda sehingga dapat menurunkan laju korosi sampai pada nilai

terkecil. Salah satu jenis perlindungan katodik yang sering digunakan adalah

impressed current cathodic protection (ICCP). Komponen utama dalam sistem

ICCP meliputi logam anoda, tulangan baja dalam beton (katoda), elektrolit,

monitoring device, dan sebuah DC power supply. Logam yang memiliki nilai

potensial yang lebih positif dibandingkan baja tulangan digunakan sebagai anoda.

Sistem ICCP sering digunakan menyelesaikan permasalahan korosi pada struktur

yang besar. Umur perlindungan yang lama dan kemampuan untuk mengontrol

korosi dalam semua kondisi merupakan alasan utama sistem ICCP populer untuk

digunakan (Wilson, Jawed, & Ngala, 2013).

Peristiwa korosi dapat dihindari dengan cara mencegah tulangan baja

kehilangan elektron dan berubah menjadi ion Ferrous (Fe2+). Hal ini dapat

dilakukan dengan mengalirkan elektron menuju tulangan baja melalui sistem

ICCP. Elektron yang mengalir menuju tulangan baja menyebabkan tulangan baja

menjadi terpolarisasi negatif sehingga menolak ion klorida yang dapat merusak

lapisan pasif tulangan tersebut. Ion-ion hidroksil (OH-) juga terbentuk disekitar

tulangan sehingga tulangan menjadi bersifat lebih basa dan mencegah terjadinya

korosi (Lu, Hu, Li, & Tang, 2018). Selain itu, gas hidrogen juga akan terbentuk

pada daerah katoda sebagai efek samping dari tulangan yang terpolarisasi negatif

(Thomas, n.d.). Sedangkan pada daerah anoda, terjadi reaksi oksidasi dimana ion-

ion pada daerah anoda akan melepaskan elektronnya. Elektron yang didapat

melalui reaksi oksidasi anoda kemudian mengalir ke sumber arus sehingga

terbentuklah rangkaian yang tertutup. Dengan besar arus yang sesuai maka laju

korosi pada tulangan baja akan terhambat (Byrne, Holmes, & Norton, 2016).

Pemilihan anoda yang tepat merupakan salah satu faktor penting dalam

mendesain sistem ICCP, khususnya jika sistem ICCP akan diaplikasikan pada

struktur beton bertulang yang memiliki nilai resistivity tinggi (Nguyen, Mangat,

Lambert, O’Flaherty, & Jones, 2014). Oleh karena itu, material yang digunakan

sebagai anoda harus dipilih secara spesifik agar bersifat konduktif terhadap aliran

listrik dan tahan lama terhadap reaksi oksidasi. Anoda ini kemudian dihubungkan

ke kutub positif dari sumber arus, sedangkan baja tulangan bertindak sebagai

Page 6: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Korosi

9

Universitas Kristen Petra

katoda terhubung pada kutub negatif. Gambar 2.3 menunjukkan skema sistem

ICCP yang diberikan pada suatu struktur beton bertulang.

Untuk anoda yang ditempelkan pada permukaan beton bertulang, epoxy

yang digunakan untuk menempelkan anoda tersebut harus bersifat konduktif agar

aliran arus listrik dapat masuk ke tulangan baja. Epoxy yang sifatnya tidak atau

kurang konduktif bisa dimodifikasi dengan menggunakan conductive pigment

agar menjadi bersifat konduktif (Gadve, Mukherjee, & Malhotra, 2011). Salah

satu conductive pigment yang dapat digunakan dalam campuran epoxy adalah

bubuk grafit. Bubuk grafit dapat meningkatkan konduktifitas epoxy sehingga arus

listrik dapat mengalir ke dalam baja tulangan. Peningkatan konduktifitas epoxy

ditandai dengan semakin rendahnya nilai resistivity / hambatan dari epoxy

tersebut. Namun, pemberian bubuk grafit yang terlalu banyak dapat menyebabkan

menurunnya kekuatan ikatan antara anoda dengan permukaan beton bertulang.

Selain itu, pemberian grafit juga mengurangi workability dari epoxy sehingga

pemasangan anoda dan proses kontrol kualitas epoxy semakin sulit.

Gambar 2.3. Ilustrasi skema ICCP pada beton bertulang

Sumber: Byrne, Homes, & Norton (2016)

Selain pemilihan material anoda, faktor penting lain yang harus

diperhatikan dalam mendesain sistem ICCP adalah current density. Hal ini

disebabkan karena current density mempengaruhi ikatan antara tulangan baja dan

beton serta mempengaruhi efektifitas dari perlindungan katodik. Dalam jangka

waktu yang lama, current density yang terlalu besar dapat memperlemah ikatan

Page 7: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Korosi

10

Universitas Kristen Petra

antara tulangan baja dan beton. Hal ini terjadi karena semakin besar dan lama

current density diberikan, maka semakin banyak gas hidrogen yang terbentuk

pada permukaan tulangan (Bahekar & Gadve, 2017). Current density yang terlalu

besar juga menimbulkan efek samping berupa degradasi anoda dan berkurangnya

kekuatan lekatan antara anoda dengan beton bertulang (Zhang, Tang, & Zack,

2016). Namun, jika current density yang diberikan terlalu kecil, maka

perlindungan katodik pada tulangan menjadi kurang efektif.

Banyak standar yang menyarankan besarnya current density yang cocok

untuk perlindungan katodik, salah satunya BS EN 12696:2012 yang menyarankan

current density sebesar 2 - 20 mA/m2 untuk permukaan baja yang telah

mengalami korosi dan current density sebesar 0,2 - 2 mA/m2 untuk mencegah

terjadinya korosi pada baja.

Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menguji performa

penggunaan CFRP laminate sebagai anoda dalam sistem ICCP. Nguyen et.al

menemukan bahwa penggunaan CFRP laminate sebagai anoda telah terbukti bisa

mengurangi korosi dan juga tanpa ada pengurangan yang signifikan dalam

kemampuan CFRP laminate dalam menahan beban. Mereka menyimpulkan

bahwa dual system CFRP memang dapat dilakukan (Nguyen, Mangat, Lambert,

O’Flaherty, & Jones, 2014). Selain itu, penelitian lain mengenai keberhasilan

ICCP dengan menggunakan CFRP dengan berbagai kondisi karat yang berbeda-

beda telah dilakukan oleh Bahekar et. al dan Lu et. al (Bahekar & Gadve, 2017)

(Lu, Hu, Li, & Tang, 2018). Hanya saja, masih sedikit penelitian yang dilakukan

berkaitan dengan pengaruh modifikasi epoxy dengan conductive pigment terhadap

efektifitas dari ICCP. Selain itu, penelitian diatas hanya berfokus meneliti

kemampuan CFRP menahan beban saja, tetapi belum ada yang meneliti terhadap

bond strength antara CFRP yang digunakan dengan struktur beton.

2.4 Half Cell Potential Test

Half cell potential test merupakan metode pengujian yang menggunakan

nilai beda potensial antara tulangan dengan sebuah reference electrode sebagai

dasar untuk mengidentifikasi aktifitas korosi baja tulangan dalam beton. Half cell

potential test bisa digunakan untuk semua jenis struktur beton bertulang tanpa

Page 8: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Korosi

11

Universitas Kristen Petra

memperhatikan tebal selimut beton, diameter dan jenis tulangan, serta detailing

dari struktur tersebut (Elsener, 2003). Perbedaan nilai potensial tersebut juga

dapat digunakan untuk mengukur efektifitas dari perlindungan katodik yang

diberikan pada tulangan. Nilai beda potensial diperoleh dengan bantuan voltmeter.

Pengukuran korosi dengan metode half cell potential test dilakukan dengan

menggunakan standard ASTM C876-09 “Standart Test Method for Half Cell

Potentials of Uncoated Reinforcing Stell in Concrete”.

Half cell potential test dilakukan dengan cara menghubungkan kutub

positif dengan tulangan yang berada di dalam beton. Sedangkan kutub negatif

dihubungkan ke sebuah reference electrode. Setelah itu, reference electrode

ditempelkan pada permukaan beton untuk mengukur nilai beda potensial antara

tulangan terhadap reference electrode. Skema kerja pengukuran beda potensial

dengan metode half cell potential test dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Skema pengukuran potensial tulangan

Sumber: ASTM Committee G01 (2009)

Ada 3 jenis reference electrode yang digunakan dalam pengujian half cell

potential test: tembaga/tembaga sulfat (CuSO4), kalomel (Hg/Hg2Cl2), dan

perak/perak klorida (Ag/AgCl). Penggunaan reference electrode disesuaikan

kondisi lingkungan dimana half cell potential test akan dilakukan. Electrode

tembaga sulfat cocok digunakan untuk pengetesan di lapangan karena merupakan

elektroda yang paling kuat dan akurat, meskipun kesalahan pembacaan dapat

terjadi karena adanya kontaminasi pada permukaan beton atau tembaga sulfat

Page 9: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Korosi

12

Universitas Kristen Petra

(Vassie, 1978). Untuk struktur beton yang berada di wilayah laut, pemilihan perak

klorida sebagai reference electrode sangat disarankan untuk menghindari

terjadinya kontaminasi klorida pada reference electrode (ASTM Committee G01,

2009).

Perbedaan tipe reference electrode yang digunakan menyebabkan

perbedaan hasil pembacaan pada half cell potential test. ASTM C876-09

menyatakan bahwa nilai beda potensial untuk menentukan aktifitas korosi harus

mengacu pada reaksi electrode tembaga jenuh. Jika reference electrode berbahan

perak atau kalomel digunakan, maka perlu dilakukan koreksi terhadap hasil

pembacaan yang didapatkan. Konversi hasil pembacaan half cell potential test

didasarkan pada beda potensial reference electrode yang digunakan dan reference

electrode tembaga terhadap standard hydrogen electrode (SHE) pada suhu 25oC

(Park, Miller, Sebastian, & Florida, 2009). Nilai beda potensial tersebut berbeda-

beda tergantung pada merk reference electrode yang digunakan. Persamaan 2.6

digunakan untuk menghitung hasil konversi pembacaan half cell potential test

terhadap elektroda tembaga.

Reading adjusted to CSE = P(RE) − P(CSE) + (reading vs RE) (2.6)

dimana P(RE) adalah beda potensial reference electrode yang digunakan pada

penelitian terhadap SHE; P(CSE) adalah beda potensial reference electrode

tembaga terhadap SHE; dan (reading vs RE) adalah hasil pembacaan voltmeter

dengan menggunakan reference electrode yang digunakan pada penelitian (Park,

Miller, Sebastian, & Florida, 2009).

Tabel 2.2. Hubungan antara Nilai Potensial dengan Korosi (Berdasarkan ASTM

C876)

Nilai Pembacaan Potensial

(mV) terhadap elektrode acuan

(Tembaga Sulfat-CuSO4 )

Peluang Terjadinya

Korosi (%)

< -350 90

-200 s.d -350 50

> -200 10

Page 10: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Korosi

13

Universitas Kristen Petra

Peluang terjadinya korosi pada tulangan baja dapat diperkirakan melalui

hasil pembacaan half cell potential test. Semakin positif nilai beda potensial yang

terbaca, maka peluang terjadinya korosi juga semakin kecil. Hubungan antara

nilai beda potensial dengan peluang terjadinya korosi dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Dari besarnya nilai beda potensial yang terbaca, tingkat efektifitas dari sistem

ICCP dalam melindungi tulangan juga dapat diukur.

2.5 Pull-off Test

Pull-off test merupakan salah satu metode yang digunakan untuk

mengukur kekuatan ikatan antara permukaan 2 buah material. Standar yang

digunakan dalam pull-off test adalah ASTM C1583 “Test Method for Tensile

Strength of Concrete Surfaces and the Bond Strength of Tensile Strength of

Concrete Repair and Overlay Materials by Direct Tension (Pull-off Method)”.

Pada perlindungan katodik, metode ini dapat digunakan untuk menguji

kekuatan ikatan antara material khusus yang digunakan sebagai anoda dengan

permukaan beton bertulang. Kekuatan ikatan antara material anoda dengan

permukaan beton bertulang sangat bergantung pada campuran epoxy yang

digunakan sebagai bahan untuk merekatkan anoda pada permukaan beton

bertulang.

Peralatan yang diperlukan dalam pull-off test terdiri dari mesin pull-off

portable, disk logam, epoxy, dan core drill. Sebuah disk logam ditempelkan di

atas specimen yang telah dicoring dan kemudian ditarik dengan menggunakan

mesin pull-off portable. Peningkatan gaya tarik disk logam secara bertahap dapat

diamati pada manometer digital dalam mesin tersebut. Hasil pembacaan gaya

dalam satuan kilo Newton (kN). Skema kerja pull-off test dapat dilihat pada

Gambar 2.5.

Dalam pull-off test, terdapat empat jenis kegagalan seperti pada Gambar

2.6 yaitu: (a) Kegagalan pada lapisan bawah (substrate) menandakan kekuatan

tarik pada permukaan sambungan (bond strength) lebih besar dibanding kekuatan

tarik lapisan bawah (substrate); (b) Kegagalan pada permukaan sambungan

menyatakan kekuatan tarik pada permukaan sambungan antara bagian atas

(overlay) dengan bagian bawah (substrate) lebih kecil dibandingkan kekuatan

Page 11: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Korosi

14

Universitas Kristen Petra

Disk Logam Epoxy Sikadur-30 Epoxy Disk Logam

overlay dan subsrate; (c) Kegagalan pada lapisan atas (overlay) menandakan

kekuatan tarik pada permukaan sambungan lebih besar dibanding kekuatan tarik

lapisan atas (overlay); (d) Kegagalan pada sambungan disk logam pada lapisan

atas (overlay) karena lekatan disk logam dengan inti yang akan diuji kurang kuat.

Gambar 2.5. Skema kerja pull-off test

Sumber: Pallempati, Beneberu, & Yazdani (2016)

Gambar 2.6. Jenis-jenis kegagalan dalam pull-off test

Kegagalan tipe (a) lebih dianjurkan karena tipe ini menunjukkan kekuatan

tarik pada permukaan sambungan (bond strength) lebih besar dibanding kekuatan

tarik lapisan bawah. Sedangkan jika terjadi kegagalan tipe (d), maka hasil

pengujian dianggap tidak valid dan harus dibuang. Kegagalan terjadi pada bagian

terlemah dari spesimen sehingga tidak dapat diprediksi bagian mana yang akan

mengalami kegagalan. Jadi, perhitungan kekuatan tarik didapatkan dari hasil rata-

rata nilai kekuatan tarik dari jenis kegagalan yang sama. Menurut ACI 440.2R-08,

Beton CFRP

Page 12: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Korosi

15

Universitas Kristen Petra

gaya tarik minimal untuk ikatan FRP dengan permukaan beton adalah 200 psi atau

1,4 MPa.

2.6 Accelerated Corrosion with Impressed Current Method

Impressed current method merupakan salah satu metode yang digunakan

untuk mempercepat laju korosi pada sebuah material logam dengan bantuan arus

listrik. Metode percepatan korosi ini diperlukan karena korosi yang terjadi secara

natural akibat difusi klorida membutuhkan waktu yang sangat lama (Zhu,

Francois, Fang, & Zhang, 2016). Pada metode ini, permukaan material logam

diubah menjadi anoda untuk memberikan korosi pada logam tersebut. Impressed

current method terbukti merupakan metode yang valid digunakan untuk

mensimulasikan korosi tulangan pada struktur beton bertulang dengan biaya dan

waktu yang relatif rendah dan singkat (Ahmad, 2009).

Proses korosi akibat impressed current method sama dengan proses korosi

akibat difusi klorida secara natural. Pertama-tama, lapisan pasif besi rusak, baik

akibat penetrasi ion klorida maupun arus listrik yang mengalir. Kemudian,

terbentuklah suatu produk yang bersifat sementara yang disebut green rust. Jika

green rust bereaksi dengan air dan oksigen, maka terbentuklah produk karat yang

berwarna merah kecoklatan (lepidocrocite, akageneite, goethite, dan produk

FeOOH lainnya) (Care & Raharinaivo, 2007). Selain itu, pola produk korosi yang

terbentuk juga sama. Pola produk korosi akibat korosi yang terjadi secara natural

dan akibat impressed current method sama-sama terdiri dari 3 lapisan: metallic

substrate (besi), lapisan produk korosi, dan beton atau mortar (Poupard, L’Hostis,

Catinaud, & Petre-Lazar, 2006). Gambar 2.7 dan Gambar 2.8 menunjukkan pola

produk korosi yang dihasilkan dari dua metode tersebut.

Gambar 2.7. Pola produk korosi impressed current method

Sumber: Care & Raharinaivo (2007)

Page 13: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Korosi

16

Universitas Kristen Petra

Gambar 2.8. Pola produk korosi secara natural akibat difusi klorida

Sumber: Poupard, L’Hostis, Catinaud, & Petre-Lazar (2006)

Metode ini menggunakan arus DC konstan yang dialirkan ke baja tulangan

dalam beton untuk menghasilkan korosi dalam waktu yang relatif singkat.

Impressed current method memiliki prinsip yang sama dengan impressed current

cathodic protection, hanya saja tulangan baja berperan menjadi anoda yang akan

dikorbankan untuk melindungi material pada katoda. Tulangan baja didorong

untuk melepas elektron sehingga memicu terjadinya korosi. Pada Gambar 2.9,

dapat dilihat skema umum untuk memberikan korosi pada besi dengan metode

impressed current.

Agar impressed current method bisa mensimulasikan korosi yang terjadi

secara natural akibat penetrasi klorida dengan akurat, maka larutan elektrolit yang

digunakan harus mengandung klorida. Penggunaan larutan elektrolit yang

mengandung klorida juga akan menyebabkan proses korosi yang terjadi akibat

impressed current method memenuhi hukum elektrolisis Faraday (Care &

Raharinaivo, 2007).

Gambar 2.9. Skema pemberian korosi awal dengan metode impressed current

Yang dirusak (besi) Yang dilindungi

(stainless steel)

Page 14: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Korosi

17

Universitas Kristen Petra

Baja tulangan yang akan diberi korosi diberi arus listrik DC konstan

sehingga terpolarisasi positif dan menjadi anoda. Material logam yang dipakai

sebagai katoda disambungkan ke kutub negatif dari sumber listrik DC. Hal ini

akan menyebabkan anion dari larutan elektrolit NaCl yang berupa ion Cl- akan

bergerak menuju ke tulangan baja (anoda) dan menjadi katalis proses korosi.

Berdasarkan rumus hukum elektrolisis Faraday, massa korosi teoritis yang

dihasilkan dari metode ini dapat diperoleh melalui persamaan:

𝑀𝑡ℎ = 𝑊 .𝐼𝑎𝑝𝑝 .𝑇

𝐹(2.7)

dimana Mth adalah massa teoritis karat yang dihasilkan per unit area permukaan

tulangan (g/cm2); W adalah berat ekuivalen dari baja yang diambil sebagai rasio

dari berat atomik besi ke valensi besi (27,925 g); Iapp adalah densitas arus yang

diberikan (Amp/cm2); T adalah durasi pemberian arus (detik); dan F adalah

konstanta Faraday (96487 Amp-detik) (Ahmad, 2009).

Meskipun durasi pemberian arus listrik sudah sesuai dengan Persamaan

2.7, massa korosi aktual yang terbentuk bisa berbeda dengan massa teoritis yang

dihitung. Hal tersebut terjadi karena Persamaan 2.7 merupakan rumus untuk

kondisi ideal, dimana skema pemberian korosi awal sesuai dengan Gambar 2.9.

Perbedaan dengan kondisi ideal seperti: perbedaan skema korosi awal, adanya

resistivity beton, komposisi penyusun tulangan baja, properties dari material yang

digunakan untuk pengecoran mengakibatkan perbedaan massa korosi yang

terbentuk. (Ahmad, 2009).