hukumkesehatanblog.files.wordpress.com file · web viewuntuk mengetahui bagaimana dampak pemasungan...
Post on 21-Mar-2019
222 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MAKALAH
PEMASUNGAN ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA
BAB I
PENDAHULUAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Sosiologi Hukum
ALFONSUS AGUS AINARO S 17/417833/PHK/09725
CESHARIA HARDINI 17/417836/PHK/09728
MARIA FAUSTINA BEATA 17/417840/PHK/09732
SAMI SETIAWAN 17/417846/PHK/09738
PROGRAM STUDI PASCASARJANA
MAGISTER HUKUM KESEHATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia adalah sebuah negara hukum, hal tersebut telah ditegaskan dalam pasal 1
ayat (3) UUD 1945. Dalam sebuah negara hukum terdapat pengakuan terhadap jaminan
hak-hak asasi manusia yang secara tegas dilindungi oleh konstitusi. Tujuan dari hukum
adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Selain itu hukum
bertujuan mengatur masyarakat agar bertindak tertib dalam pergaulan hidup secara damai,
menjaga agar masyarakat tidak bertindak anarki dengan main hakim sendiri dan menjamin
keadilan bagi setiap orang akan hak-haknya sehinggga tercipta masyarakat yang teratur,
bahagia, dan damai.
Hak seseorang untuk memperoleh kesehatan yang secara yuridis di atur dalam
konstitusi kita pada pasal 28 H UUD 1945, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memproleh pelayanan kesehatan1, memperoleh pelayanan kesehatanpun secara rinci
di atur tentang bagaimana setiap orang berhak mendapatkannya, yang pada dasarnya setiap
kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyrakat
yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non diskriminatif, partisipatif,
dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumberdaya manusia Indonesia, serta
peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional.2
1 Pasal 28 H, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 19452 Konsideran butir b, Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Setiap orang berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan tentunya dengan porsi
yang berbeda, dalam artian seseorang dengan ODGJ tidak dapat di samakan dengan orang
pada umumnya, karena Seorang ODGJ berhak mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa di
fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau, sesuai dengan standar pelayanan
Kesehatan Jiwa, mendapatkan jaminan atas ketersediaan obat psikofarmaka sesuai dengan
kebutuhannya, memberikan persetujuan atas tindakan medis yang dilakukan terhadapnya,
mendapatkan informasi yang jujur dan lengkap tentang data kesehatan jiwanya termasuk
tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan
dengan kompetensi di bidang Kesehatan Jiwa, mendapatkan pelindungan dari setiap bentuk
penelantaran, kekerasan, eksploitasi, serta diskriminasi, mendapatkan kebutuhan sosial
sesuai dengan tingkat gangguan jiwa dan mengelola sendiri harta benda miliknya dan/atau
yang diserahkan kepadanya3, namun Ironisnya yang terjadi dimasyarakat, mereka yang
mengalami gangguan jiwa masih mendapatkan perlakuan diskriminatif, mendapatkan
stigma, dan tersingkir dari lingkungannya. Banyaknya penderita gangguan jiwa berat yang
tidak mendapat penanganan secara medis dikarenakan oleh faktor-faktor seperti
kekurangan biaya, rendahnya pengetahuan keluarga dan masyarakat sekitar terkait dengan
gejala gangguan jiwa, dan sebagainya. Sehingga masih banyak penderita gangguan jiwa
yang dipasung oleh anggota keluarganya, agar tidak mencederai dirinya dan/atau menyakiti
orang lain di sekitarnya. Di Indonesia, lebih dari 57.000 orang dengan disabilitas
psikososial (kondisi kesehatan kejiwaan), setidaknya sekali dalam hidup mereka pernah
dipasung – dibelenggu atau dikurung di ruang tertutup.4
3 Pasal 70, Undang-Undang No 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa4 Human Rights Watch. 2016. Hidup di Neraka: Kekerasan Terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial diIndonesia. Diakses melalui http://www.hrw.org, diakses pada tanggal 7 oktober 2017
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana dampak pemasungan terhadap ODGJ di tinjau dari prespektif sosial dan
prespektif hukum?
C. TUJUAN
Untuk mengetahui bagaimana dampak pemasungan terhadap ODGJ di tinjau dari
prespektif sosial dan prespektif hukum.
D. MANFAAT
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
sebuah karya tulis ilmiah yang berguna dalam pengembangan ilmu hukum untuk di telaah
dan dipelajari lebih lanjut, khususnya untuk memahami dampak dari pemasungan secara
hukum dan secara sosiologis.
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran atau
informasi yang dapat disumbangkan pada masyarakat luas sehingga masyarakat
mengetahui dan menyadari bahwa penderita gangguan jiwa itu memiliki hak yang sama
seperti manusia normal lainnya dan penderita gangguan jiwa harus di jauhkan dari
tindakan pemasungan dan pelaku tindakan pemasungan dapat dikenakan sanksi.
E. BATASAN KONSEP
1. Orang Dengan Gangguan Jiwa
Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
Orang Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang yang
mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam
bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai
manusia.
2. Pasung
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pasung adalah alat untuk menghukum orang, berbentuk kayu apit atau kayu berlubang,
dipasangkan pada kaki, tangan, atau leher.
Definisi ini berkaitan dengan pemasungan yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah proses, cara, perbuatan memasung.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum Pemasungan
Pemasungan berasal dari kata pasung yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
berarti alat untuk menghukum orang, berbentuk kayu apit atau kayu berlubang,
dipasangkan pada kaki, tangan, atau leher. Dijelaskan pula secara gramatikal,
pemasungan adalah proses, cara, perbuatan memasung. Pemasungan adalah cara
membatasi orang agar tidak bertindak bebas, biasanya dilakukan karena orang
mengalami gangguan mental dan keluarganya tidak sanggup lagi membiayai
pengobatannya secara medis.5
Pemasungan dapat ditegorikan melanggar pasal 28 I Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia yang mengatur bahwa setiap orang memiliki hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun. Pemasungan adalah tindakan yang menghalangi setiap orang dengan
gangguan jiwa memperoleh dan melaksanakan hak-haknya sebagai warga negara
meliputi hak memperoleh pengobatan, hak memperoleh penghasilan, hak memperoleh
pendidikan/pekerjaan, hak memperoleh kehidupan sosial.6 Beberapa hal yang
mempengaruhi dilakukannya pemasungan terhadap penanganan gangguan jiwa antara
lain melakukan perilaku kekerasan, menganggu, keluyuran, perilaku aneh : misalnya
makan sampah, keluarga sibuk, tidak ada alternatif solusi (putus asa), jauh dari
pelayanan kesehatan, tidak ada obat, sangat sayang, malu, atau kurangnya
pengetahuan.7
5 Wahyu Koncoro, 2010, Tip Hukum Praktis : Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga, Raih Asa Sukses,Depok, hlm. 2246 Penanganan Gangguan Jiwa Dengan Pasung, http://dinkes.pasuruankota.go.id/penanganan-gangguan-jiwa-dengan-pasung/, diakses 10 Oktober 2017, pukul 20.55 WIB7 Ibid.
Secara umum, hukum telah memberikan sanksi bagi orang yang melakukan
pemasungan melalui pasal 333 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berisi :
(1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(4) Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan.
B. Tinjauan Umum Orang Dengan Gangguan Jiwa
Secara leksikal, pengertian orang dengan gangguan jiwa sudah diatur dalam
pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Orang
Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang yang
mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam
bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai
manusia. Dapat dikatakan bahwa ODGJ adalah orang yang kesehatan jiwanya tidak
sempurna dan masuk dalam kategori orang dengan masalah kejiwaan yaitu orang yang
mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau
kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa.8 Kesepahaman
yang harus dicapai mengenai kesehatan jiwa sendiri adalah kondisi dimana seorang
individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu
tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara
produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.9
ODGJ sebagai manusia memiliki hak asasi yang menurut definisi Perserikatan
Bangsa-bangsa adalah hak yang melekat dengan kemanusiaan kita sendiri,yang tanpa
hak itu kita mustahil hidup sebagai manusia. Hal ini menunjukkan secara otomatis
bahwa ODGJ berhak memperoleh pelayanan kesehatan tertulis bahwa upaya
kesehatan jiwa berasaskan keadilan, perikemanusiaan, manfaat, transparansi, 8 Pasal 1 butir 2, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa9 Pasal 1 butir 1 dalam Ibid.
akuntabilitas, komprehensif, pelindungan, dan nondiskriminasi.10 Tujuan pelayanan
kesehatan adalah mencapai kondisi sehat yang pengertiannya dijelaskan dalam pasal 1
butir 1 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu keadaan
sehat,baik secara fisik, mental,spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara social dan ekonomis. Untuk mencapai tujuan
tersebut, bagi ODGJ harus dilakukan pelayanan kesehatan kuratif yaitu suatu kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan
penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau
pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.11
C. Analisis Pemasungan Terhadap ODGJ
Penyakit jiwa memberikan kerugian pada diri sendiri juga pada orang lain12 tapi
titik berat pembahasan ini adalah memberikan kerugian pada diri ODGJ sendiri. Rata-
rata ODGJ di Indonesia adalah penderita skizofrenia, hal ini dikemukakan bahwa
sekitar 99% pasien di RS Jiwa di Indonesia adalah penderita skizofrenia.13 Skizofrenia
sendiri adalah gangguan mental yang ditandai dengan simtom-simtom positif seperti
berbicara kacau,delusi, halusi, gangguan kongnitif, dan presepsi, juga simtom negatif
berupa berkurangnya keinginan bicara, miskinnya isi pembicaraan, afek yang datar,
dan terganggunya relasi personal. Penderitanya mengalami penurunan fungsi atau
ketidakmampuan menjalani hidupnya, sangat terhambat produktivitasnya, serta nyaris
terputusnya relasi dengan orang lain.14 Beberapa penderita skizofrenia tidak ditangani
dengan baik namun justru dipasung oleh keluarganya sendiri.15 Pemasungan berarti
tanpa penanganan. Semakin lama tidak ditangani, kerusakan otak niscaya makin
parah.16
10 Pasal 2 dalam Ibid.11 Pasal 1butir 14 dalam Ibid.12 Stefani Hid, 2008, OZ, Grasindo, Jakarta, hlm. xii13 Singgih Gunarso,2004, Dari Anak Sampai Usia Lanjut, BPK Gunung Mulia,Jakarta, hlm. 32814 Ibid.15 Kukuh Wibowo, 2014, Penderita Gangguan Jiwa Masih Banyak Dipasung, https://nasional.tempo.co/read/613434/penderita-gangguan-jiwa-masih-banyak-dipasung, diakses pada tanggal11 Oktober 2017 pukul 5.15 WIB16 Puji Lestari, dkk, Kecenderungan Atau Sikap Keluarga Penderita Gangguan Jiwa Terhadap Tindakan Pasung, http://ppnijateng.org/wp-content/uploads/2014/09/3.-KECENDERUNGAN-ATAU-SIKAP-KELUARGA-PENDERITA-GANGGUAN-JIWA-TERHADAP-TINDAKAN-PASUNG.pdf , hlm. 16, diakses pada 11 Oktober
Alasan keluarga melakukan pemasungan bermacam-macam diantaranya
mencegah klien melakukan tindak kekerasan yang dianggap membahayakan terhadap
dirinya atau orang lain, mencegah klien meninggalkan rumah dan mengganggu orang
lain, mencegah klien menyakiti diri seperti bunuh diri, ketidaktahuan serta
ketidakmampuan keluarga menangani klien apabila sedang kambuh, faktor kemiskinan
dan rendahnya pendidikan keluarga merupakan salah satu penyebab pasien gangguan
jiwa berat hidup terpasung.17 Ketidaktahuan pihak keluarga, rasa malu pihak keluarga,
penyakit yang tidak kunjung sembuh, tidak adanya biaya pengobatan, dan tindakan
keluaga untuk mengamankan lingkungan merupakan penyebab keluarga melakukan
pemasungan.18 Perawatan psikiatri dikatakan mahal karena gangguannya
bersifat jangka panjang.19 Biaya berobat yang harus ditanggung pasien tidak hanya
meliputi biaya yang langsung berkaitan dengan pelayanan medik seperti harga obat,
jasa konsultasi tetapi juga biaya spesifik lainnya seperti biaya transportasi ke rumah
sakit dan biaya akomodasi lainnya.20
Selain alasan yang sering muncul mengapa keluarga memasung anggotanya
yang termasuk ODGJ, adanya stigma terhadap gangguan jiwa yang tidak hanya
menimbulkan konsekuensi negatif terhadap penderitanya tetapi juga bagi keluarganya,
meliputi sikap-sikap penolakan, penyangkalan, disisihkan, dan diisolasi, ODGJ pun
mempunyai risiko tinggi terhadap pelanggaran hak asasi manusia.21 Secara
berkelanjutan, pemasungan bagi ODGJ memiliki dampak negatif antara lain penderita
mengalami trauma, dendam kepada keluarga, merasa dibuang, rendah diri, dan putus
asa, lama-lama muncul depresi dan gejala niat bunuh diri, sedangkan dari sisi
pengobatan juga kontraproduktif yang menyebabkan obat dosis tinggi tidak mempan
lagi.22 ODGJ tidak hanya melawan penyakitnya namun juga harus melawan ‘penyakit’
masyarakat berupa stigma negative.
2011,pukul 6.50 WIB17 Meysa Becks, Masalah Psikososial Pasung Pada Pasien Gangguan Jiwa Yang Terjadi Di Masyarakat, http://ikhsanbeck.blogspot.co.id/2014/12/masalah-psikososial-pasung-pada-pasien.html, diakses pada 11 Oktober 2011,pukul 7.20 WIB18 Depkes, dalam Ibid.19 Videback,dalam Ibid.20 Djatmiko, dalam Ibid.21 Ibid.22 Puji Lestari, Loc. Cit.
D. Pandangan Hukum dan Teori Sosiologi Mengenai Pemasungan Terhadap ODGJ
Pemasungan terhadap ODGJ dapat dianalisis melalui beberapa teori sosiologi.
Analisis ini menggunakan pendekatan secara antropologis – personal. ODGJ juga erat
hubungannya dengan teori penjulukan (labeling theory) berkaitan rentetan julukan
“gila” atau “sinting” mengubah konsep diri sang korban yang awalnya “normal”
menjadi konsep diri baru (sinting atau gila) yang dibangun orang lain dan
diinternalisasikan sang korban.23 Selain itu fenomena pemasungan pada ODGJ dapat
ditelaah mengenai masalah sosial yang paling kuat melatar belakangi pemasungan,
serta fungsi social control dalam sosiologi dapat menjadi alasan pembenar terjadinya
pemasungan.
1. Pendekatan Antropologis – Personal
Manusia sebagai mahluk individu merupakan basic bahwa setiap pribadi
memiliki jati diri yang berbeda-beda. Setiap manusia memiliki tanggung jawab
dan hak- kewajibannya masing-masing. Hukum mengedepankan faham bahwa
individualisme memiliki tanggung jawab pribadi.24 Dalam hal pertanggung
jawaban, yang dapat dibebankan pertanggung jawaban salah satunya adalah
orang, namun untuk melaksanakan hak dan kewajiban orang tersebut harus
cakap.25 Pembebanan tanggung jawab ini dalam hukum diberi pembatasan
spesifik bahwa orang tersebut harus cakap hukum (termasuk pelaksanaan
kewajiban).
Syarat-syarat seorang dikatakan tidak cakap hukum menurut menurut
pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah
a) Orang-orang yang belum dewasab) Mereka yang berada dibawah pengampuanc) Wanita yang bersuami. (Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya Undang-
23 Deddy Mulyana, 2016, Pemasungan dan Teori Penjulukan, http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2016/05/01/pemasungan-dan-teori-penjulukan-368143, diakses pada 11 Oktober 2017 pukul 08.02 WIB24 Catatan Perkuliahan Sosiologi Hukum oleh Prof. Soedjito pada 19 September 201725 Wahjadi Dharmabrata, 2003,Psikiatri Forensik, Penerbit Buku Kedoktern EGC, Jakarta, hlm.87
Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Karena pasal 31 Undang-Undang ini menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.)
Maka, dapat dianalisis bahwa orang yang cakap hukum adalah :a) Seseorang yang berumur 21 tahun berdasar pasal 330 KUH Perdata
b) Seseorang yang berusia dibawah 21 tahun tetapi pernah menikah
c) Seseorang yang sedang tidak menjalani hukum
d) Berjiwa sehat dan berakal sehat.
Orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ adalah orang yang berada di
bawah pengampuan sehingga tidak dapat melakukan kewajiban dan pertanggung
jawaban hukum. Selayaknya warga Negara yang memiliki hak asasi,hak-hak
ODGJ diatur dalam pasal 70 ayat (1) Undang-undang Nomor18 Tahun 2014
Tentang Kesehatan Jiwa bahwa ODGJ berhak:
a.) Mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan yang
mudah dijangkau;
b.) Mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa sesuai dengan standar pelayanan
Kesehatan Jiwa;
c.) Mendapatkan jaminan atas ketersediaan obat psikofarmaka sesuaidengan
kebutuhannya;
d.) Memberikan persetujuan atas tindakan medis yang dilakukan terhadapnya;
e.) Mendapatkan informasi yang jujur dan lengkap tentang data kesehatan
jiwanya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan
diterimanya dari tenaga kesehatan dengan kompetensi di bidang Kesehatan
Jiwa;
f.) Mendapatkan pelindungan dari setiap bentuk penelantaran, kekerasan,
eksploitasi, serta diskriminasi;
g.) Mendapatkan kebutuhan sosial sesuai dengan tingkat gangguanjiwa; dan
h.) Mengelola sendiri harta benda miliknya dan/atau yang diserahkan kepadanya.
(Hak ODGJ untuk mengelola sendiri harta benda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf h hanya dapat dibatalkan atas penetapan pengadilan.)
Mengenai pertanggung jawaban dan kewajiban dari ODGJ sendiri,dapat
mengacu pada Torekenbaarheid atau kemampuan bertanggung jawab yang
seharusnya disimpulkan dari kelakuan individu itu sebagai suatu keseluruhan
dalam persektif terhadap dunia luar dan dunia dalam. Hal ini tidak dapat dilihat
hanya dari gejala gangguan jiwa,psikiater harus berpendapat dan menilai berdasar
tingkat kemanusiaan dan kebebasan sehingga sangat mempengaruhi tingkat atau
derajad pertanggung jawabannya. 26
Hal yang perlu diingat bahwa pengampuan diatur menurut pasal 433
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Tiga alasan untuk pengampuan adalah
keborosan, lemah akal budinya (imbisil / debisil), kekurangan daya berpikir (sakit
ingatan) dan dungu (termasuk yang disertai sering mengamuk). Dari klasifikasi
tersebut, ODGJ merupakan orang di bawah pengampuan. Definisi pengampuan
atau Curatelle bahwa seorang dewasa namun dianggap tidak cakap untuk
bertindak sesuai lalu lintas hukum, sehingga di tempatkan di bawah pertanggung
jawaban orang lain yang disebut Pengampu atau Curator yang kemudian
bertanggung jawab tindakan orang yang diampu.27
Melalui pendekatan antropologis – personal, manusia sebagai orang per
orang yang membentuk hukum sudah membentuk hukum yang sifatnya personal
dan dinamis. Saat diimplementasikan terhadap ODGJ,maka hukum secara tertulis
sudah mengakomodir hak dan kewajiban individu (berbasis hukum perdata).
Kemandirian dan daya juang yang kurang pada ODGJ membuatnya
menggantungkan pada pertolongan orang.
2. Teori Penjulukan (Labeling Theory)
Penganut interaksionisme simbolis mengembangkan teori pemberian
label yang menempatkan focus pada siknifikansi label (nama atau reputasi yang
26 Ibid.27 Ibid, hlm. 91
diberikan.28 ODGJ sering mendapat label dengan sebutan : sakit, sinting, edan,
bahkan setiap daerah memiliki julukannya sendiri. Label cenderung menjadi
konsep diri dan membantu masuk ke jalur yang mendorong ke penyimpangan
atau pengalihan diri. 29
Kekuatan teori penjulukan ini sangat kuat,dilansir dari sebuah artikel
yang ditulis anggota dewan redaksi Pikiran Rakyat dan guru besar Fikom
Unpad, faktor apa yang menyebabkan orang “sakit jiwa”, salah satunya yang
sering luput dari pembahasan adalah problem komunikasi yang melibatkan
orang bersangkutan dengan lingkungannya. Meski merasa sebagai orang waras,
akhirnya bisa gila dalam arti sebenarnya jika setiap orang menuduh gila, apalagi
jika si penuduh itu orang-orang yang punya hubungan dekat, seperti orangtua
dan anggota keluarga lainnya. Kegilaan akan sempurna jika penguasa, media
massa dan media sosial pun menuduh demikian, dan menyebarkan hal itu ke
khalayak luas. 30 Pemikiran yang belum terpikirkan sebelumnya inilah yang
sering terjadi dalam masyarakat dan justru tidak menyembuhkan atau
setidakanya mengurangi gejala pada ODGJ.
Seorang dengan ODGJ sebaiknya tidak dihujani dengan stigma negatif.
Selain hal-hal yang mengkonstruksi ODGJ diberi treatment pasung, labeling ini
dapat juga terjadi pada keluarga. Keluarga yang malu dan tidak kuasa menahan
stigma mengenai anggotanya yang ODGJ akan memilih jalan praktis untuk
memasungnya.
3. Masalah Sosial dan Sosial Kontrol
Menurut hasil analisis dari Riskesdas tahun 2013 menunjukkan
bahwa hal yang paling dominan dalam dilakukannya pemasungan oleh keluarga
adalah faktor ekonomi, dimana keluarga dengan status ekonomi yang rendah
lebih sering melakukan pemasungan terhadap keluarga nya yang menderita
gangguan jiwa. Rendah nya status ekonomi keluarga bisa menyebabkan kurang
28 James Hensin, 2006, Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi, Penerbit Erlangga, Jakarta, hlm.15529 Ibid.30 Deddy Mulyana,Op. Cit.
nya pengetahuan tentang fasilitas-fasilitas kesehatan serta cara penanganan
ODGJ tanpa harus melakukan pemasungan. 31
Kemiskinan itu sendiri dapat diartikan kondisi dimana seseorang
tersebut tidak mampu untuk berusaha secara maksimal baik secara fisik ataupun
mental untuk masuk kedalam suatu kelompok tertentu. Ada beberapa kelompok
masyarakat yang tidak menganggap kemiskinan sebagai suatu masalah sosial,
karena mereka sudah ikhlas atas keadaan yang mereka capai sehingga
menganggap kemiskinan tersebut adalah takdir dari Tuhan jadi mereka tetap
menjalani kehidupannya sesuai apa adanya. Tetapi sekarang ini terutama di
kota-kota besar yang laju pertumbuhannya berlangsung pesat, kemiskinan
dianggap sebagai masalah social dimana keadaan ekonomi-sosial seseorang
menjadi satu tolok ukur derajat hidup seseorang. Hal tersebut bisa
mempengaruhi kehidupan orang tersebut di bidang-bidang kehidupan lainnya. 32
Dengan adanya keterbatasan keluarga akan akses atau informasi
tentang cara penanganan terhadap ODGJ, otomatis keluarga akan melakukan
hal-hal yang menurutnya bisa dilakukan untuk melindungi ODGJ ataupun
keluarga itu sendiri. Penyebaran rasa malu karena ada desas desus tentang
anggota keluarga yang mengalami perilaku menyimpang akan menyebabkan
terjadinya hubungan yang sumbang antara keluarga tersebut dengan lingkungan
sekitar. Harapan dari keluarga tersebut dengan melakukan pemasungan antara
lain menciptakan situasi yang sedemikian rupa untuk ODGJ agar dipaksa untuk
patuh. Pengendalian sosial terutama bertujuan untuk mencapai stabilitas dengan
perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, dimana pengendalian social
tersebut bisa dilakukan oleh satu individu ke individu lainnya. 33
Beberapa faktor tersebut di dalam masyarakat atau keluarga
melakukan tindakan pemasungan sebagai hal yang lumrah dilakukan dalam
lingkungan karena untuk mencegah penderita ODGJ melakukan kekerasan
terhadap diri sendiri maupun orang lain. Selain itu, upaya ini dilakukan supaya
tidak kambuh dalam arti kata kabur dari rumah, perilaku kekerasan dan isolasi 31 Sri Idalani, 2015, Jurnal : Faktor Yang Paling Dominan Terhadap Pemasungan Orang Dengan Gangguan Jiwa Di Indonesia32 Soerjono Soekanto, 2012, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.32033 Ibid, hlm. 179
sosial. Faktor pendidikan dan kemiskinan juga menjadi salah satu hal penting
dimana dari sisi pendidikan masyarakat kurang paham tentang penanganan
ODGJ itu sendiri dan dari sisi ekonomi yaitu kemiskinan, serta anggapan
bahwa ODGJ tidak kunjung sembuh dan tindakan keluaga untuk mengamankan
lingkungan merupakan penyebab keluarga melakukan pemasungan. Kendala
ekonomi keluarga berpengaruh pada biaya pengobatan yang harus ditanggung
pasien atau keluarga ODGJ tidak hanya meliputi biaya yang langsung berkaitan
dengan pelayanan medik seperti harga obat, jasa konsultasi tetapi juga biaya
spesifik lainnya seperti biaya transportasi ke rumah sakit dan biaya akomodasi
lainnya.34
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang Overt Behavior , namun faktor
pengetahuan atau kognitif dapat dipengaruhi kecenderungan seseorang untuk
memilih ataupun tidak untuk melakukan suatu perbuatan. Niat dari perbuatan
ditentukan oleh sejauh mana individu memiliki sikap positif pada perilaku
tertentu serta sejauh mana dia memilih untuk melakukan perilaku itu dia
mendapat dukungan dari orang-orang lain yang berpengaruh dalam
kehidupannya. Seseorang yang mempunyai niat berperilaku tinggi, maka
seseorang yang bersangkutan akan melakukan perilaku tersebut. Namun jika
seseorang yang bersangkutan memiliki niat yang rendah maka perbuatan tidak
dilakukan atau terwujud. Maka dari itu, pengetahuan juga dapat berpengaruh
terhadap penanganan orang dengan ODGJ, karena semakin tinggi dan luas
pengetahuan seseorang, maka diharapkan dapat memperlakukan penanganan
ODGJ dengan baik begitu juga sebaliknya.35
34 Djatmiko, dalam Rohmadoni Aditya, Mundzakir, 2015, “Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Keluarga
Melakukan Pemasungan Pada Anggota Keluarga Dengan Gangguan Jiwa”, Tesis, Universitas Muhamadiyah
Surabaya
35 Notoatmodjo dalam Ibid.
Dalam melihat fenomena pemasungan terhadap ODGJ oleh keluarga,
apabila dilihat secara social dan hukum terjadi sebuah benturan. Bilamana
dilihat secara hukum kemudian keluarga sebagai pelaku pemasungan dikenai
pidana dengan ancaman pasal 333 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
dengan tuduhan merampas kemerdekaan seseorang dan dikenai sanksi pidana,
muncul fenomena siapa yang akan menjadi pengampu bagi ODGJ tersebut.
Analisis ini dibuat cenderung melihat dari sisi social, dimana juga
memperhatikan peran keluarga dalam ODGJ dan pemenuhan hak nya secata
hukum karena keluarga adalah agen utama dalam terbentuknya sosialisasi
primer dan pembentukan kepribadian seseorang.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pemasungan tidak selayaknya dilakukan pada ODGJ karena pemasungan tidak hanya memberikan pembatasan secara fisik namun sekaligus membatasi hak asasi yang dapat menambah beban mental dari penderitanya. Dengan dilakukannya pemasungan akan menghambat pemberian pengobatan pada ODGJ karena pemasungan hanya secara praktis membatasi ruang gerak. Hal ini hanya mengatasi gejala secara temporer bukan menyembuhkan penyakit secara total bahkan tidak mengatasi masalah. Semakin lama gejala tersebut tidak ditangani dengan baik (hanya diredam dengan pemasungan) maka kerusakan otak yang terjadi semakin parah. Hal ini memperparah kondisi mental penderita karena ODGJ tidak dapat menyampaikan emosinya dan merasa terisolir sehingga membuatnya semakin tertekan. Peranan keluarga sangat dibutuhkan dalam penanganan atau proses pengobatan ODGJ karena penderita mengalami gangguan mental yang menyebabkan kelemahan mental dan kelemahan intelegensia, sehingga keluarga secara pribadi merupakan faktor utama penyembuhan pasien.
B. Saran
1. Bagi Pemerintah
Pemerintah sebagai pembentuk kebijakan dan untuk lebih menggiatkan kegiatan promosi kesehatan agar penyampaian informasi dan edukasi tentang ODGJ sampai ke keluarga.
2. Bagi Masyarakat
Masyarakat seharusnya tidak menjadikan ODGJ sebagai stigma yang harus dihindari (termasuk keluarganya) namun merangkul untuk hidup bermasyarakat layaknya warga biasa sehingga tindakan preventif dan rehebilitatif secara langsung terjadi dimasyarakat untuk mendigdayakan atau memanusiakan kembali ODGJ tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
James Hensin, 2006, Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi, Penerbit Erlangga, Jakarta
Singgih Gunarso,2004, Dari Anak Sampai Usia Lanjut, BPK Gunung Mulia,Jakarta
Soerjono Soekanto, 2012, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta
Stefani Hid, 2008, OZ, Grasindo, Jakarta
Wahjadi Dharmabrata, 2003,Psikiatri Forensik, Penerbit Buku Kedoktern EGC, Jakarta
Wahyu Koncoro, 2010, Tip Hukum Praktis : Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga,
Raih Asa Sukses,Depok
Jurnal :
Human Rights Watch. 2016.Jurnal : Hidup di Neraka: Kekerasan Terhadap Penyandang
Disabilitas Psikososial di Indonesia.
Puji Lestari, dkk, Jurnal : Kecenderungan Atau Sikap Keluarga Penderita Gangguan Jiwa
Terhadap Tindakan Pasung.
Rohmadoni Aditya, Mundzakir, 2015, “Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Keluarga
Melakukan Pemasungan Pada Anggota Keluarga Dengan Gangguan Jiwa”, Tesis,
Universitas Muhamadiyah Surabaya
Sri Idalani, 2015, Jurnal : Faktor Yang Paling Dominan Terhadap Pemasungan Orang Dengan
Gangguan Jiwa Di Indonesia.
Undang- undang :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
Sumber Lain dan Website :
Catatan Perkuliahan Sosiologi Hukum oleh Prof. Soedjito
Deddy Mulyana, 2016, Pemasungan dan Teori Penjulukan,
http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2016/05/01/pemasungan-dan-teori-penjulukan-
368143
Dinkes Pasuruan, Penanganan Gangguan Jiwa Dengan Pasung,
http://dinkes.pasuruankota.go.id/penanganan-gangguan-jiwa-dengan-pasung/
Kukuh Wibowo, 2014, Penderita Gangguan Jiwa Masih Banyak Dipasung,
https://nasional.tempo.co/read/613434/penderita-gangguan-jiwa-masih-banyak-dipasung
Meysa Becks, Masalah Psikososial Pasung Pada Pasien Gangguan Jiwa Yang Terjadi Di
Masyarakat, http://ikhsanbeck.blogspot.co.id/2014/12/masalah-psikososial-pasung-pada
pasien.html
top related