alutsista kebanggaan tni angkatan laut dari masa ke

20
1 Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke masa Vol. 4 No. 3 Oktober - Desember 2014 ISSN. 1907-2058-xx ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke masa Menegakkan Kemerdekaan dengan Kapal Kayu Sang Legenda RI Irian-201 yang Misterius Alutsista Karya Anak Bangsa

Upload: vuongbao

Post on 12-Jan-2017

244 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

1Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT

dari masa ke masa

Vol. 4 No. 3 Oktober - Desember 2014

ISSN. 1907-2058-xx

ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT

dari masa ke masa

Menegakkan Kemerdekaan dengan Kapal Kayu

Sang Legenda RI Irian-201yang Misterius

Alutsista Karya Anak Bangsa

Page 2: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

2 Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

Pengantar Redaksi

Pembina Laksamana Pertama TNI

Manahan Simorangkir, S.E., M.Sc.Pengarah

Kolonel Marinir Bambang HulliantoPemimpin Redaksi

Kolonel Laut (P) Rony E. TuranganWakil Pemimpin Redaksi

Letkol Laut (KH) Drs. Syarif Thoyib, M.Si.

Redaktur PelaksanaMayor Laut (KH) Suratno, S.S.

Sekretaris Redaksi Pembina IV/A Iwan Bahariyanto, S.Sos.

Bendahara RedaksiKapten Laut (KH/W) Jurniah

Staf RedaksiMayor Laut (KH) Agustinus Imam, S.Sos., M.M.

Penata III/C Adi Patrianto Singgih, S.S.,Tata Letak/LayoutKLK TTU Anggara

M. Sulaiman

Alamat RedaksiSubdisjarah Dispenal, Gedung B IV Lt. 2 Mabes TNI AL Cilangkap Jakarta Timur 13870

Telp :(021) 8723311 Fax : (021) 8710628 Email : [email protected]

Tujuan utama pertahanan negara adalah untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. Untuk menjamin amanat konstitusi ini, pemerintah RI sejak awal kelahirannya secara bertahap terus mendorong peningkatan postur pertahanan dan mempercepat modernisasi alutsista TNI termasuk alutsista TNI AL. Hal ini dilakukan agar kekuatan yang dimiliki mampu menghadapi berbagai ragam ancaman baik tradisional maupun non tradisional termasuk melakukan peperangan modern yang sarat dengan teknologi canggih.

Dalam sejarahnya, perkembangan alustista yang dimiliki TNI AL berjalan secara dinamis dengan kebijakan politik dan kondisi anggaran negara. Pada awal kemerdekaan tahun 1945, alutsista yang dimiliki TNI AL relatif merupakan hasil pengambilalihan dari Kaigun (AL Jepang). Sedangkan pada akhir tahun 1949 hingga awal 1950-an mendapatkan hibah alutsista dari Belanda sebagai tindak lanjut dari perjanjian KMB dan pengakuan kedaulatan RI. Tahun

1950-1959, adalah awal pembelian berbagai alutsista modern TNI AL dari beberapa negara terutama dari negara barat. Puncaknya adalah pada masa 1959-1965 pengadaan besar-besaran alutsista strategis terutama dari Uni Sovyet, sejalan dengan upaya merebut Irian Barat dari Belanda.

Pada era berikutnya (masa 1965-1998), peningkatan postur pertahanan tetap dilaksanakan namun tidak sehebat masa 1959-1965. Pada masa 1998-2014, modernisasi dan penambahan alutsista cukup signifikan, dan tercermin pada penampilan alutsista yang digelar pada HUT ke-69 TNI di Surabaya. Modernisasi dan penambahan alutsista TNI/TNI AL, bukanlah untuk menggelorakan perlombaan senjata di kawasan, bukan pula untuk menjadikan Indonesia bangsa yang agresif, karena politik luar negeri Indonesia senantiasa dibimbing oleh kehendak untuk memperbanyak sahabat dan meniadakan musuh. Bagi TNI/TNI AL, ketangguhan alutsista juga diproyekskan untuk meningkatkan kontribusi dalam operasi perdamaian dunia, serta berbagai operasi militer selain perang di seluruh wilayah Indonesia (Syarif).Selamat membaca.

Page 3: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

3Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

Oleh sebab itu, sejak awal pembentukannya di tahun 1945 TNI AL yang kala itu masih menyandang nama Badan Keamanan Rakyat bagian Laut (BKR Laut) berupaya keras mewujudkan ketersediaan alutsista yang mampu mendukung tugas dan fungsinya. BKR Laut sendiri dibentuk pada tanggal 10 September 1945 sebagai tindak lanjut dari keputusan pemerintah membentuk BKR pada tanggal 22 Agustus 1945. Saat itu, langkah awal yang ditempuh para pejuang bahari adalah mengambil alih dan menguasai alutsista beserta seluruh fasilitas angkatan laut dari tangan pasukan pendudukan Jepang. Meskipun Jepang merupakan pihak yang kalah dalam Perang Pasifik (1941 – 1945), namun masih memegang teguh persenjataan dan kendali kenegaraan di Jawa dan Sumatera secara de facto. Selain itu, guna menjaga status quo di Indonesia, Komando Sekutu di Asia Tenggara atau South East Asia Command (SEAC) telah menginstruksikan kepada pimpinan Jepang agar menjaga keamanan dan ketertiban sementara menunggu kedatangan pasukan induk Sekutu. Pasukan Sekutu yang akan mengambil alih kekuasaan dari Jepang tergabung dalam Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI), yang terdiri dari tiga divisi India dan di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Phillip Christison. Secara resmi rombongan Sekutu yang di dalamnya turut bergabung personel sipil dan militer Hindia Belanda, adalah untuk melucuti dan memulangkan balatentara Jepang sekaligus merepatriasi eks tawanan perang Sekutu, serta memulihkan kembali kekuasaan Hindia Belanda.

Kehadiran personel Hindia Belanda tersebut mendapat protes bahkan tentangan dari pihak Indonesia. Namun, reaksi rakyat Indonesia ditanggapi dengan aksi-aksi provokatif dari Sekutu seperti pengambilalihan beberapa tempat strategis secara sepihak. Akibatnya, terjadilah sejumlah pertempuran sengit antara lain Pertempuran Ambarawa, Surabaya, Semarang, Kerawang – Bekasi,

Kemampuan TNI Angkatan Laut (TNI AL) dalam menjamin terwujudnya keamanan

dan tegaknya kedaulatan negara di laut serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terkait erat dengan kualitas dan kuantitas dari alat utama sistem senjata (alutsista) yang dimilikinya. Tingkat kemuktahiran teknologi alutsista yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu negara menjadi indikator akan kemampuannya dalam melindungi dan menjamin keamanan serta kedaulatan negara. Oleh sebab itu alutsista selain sebagai alat pertahanan negara juga mengandung faktor penggentar (deterrence). Kehadiran alutsista utamanya di wilayah-wilayah perbatasan menjadi unsur penegas kedaulatan NKRI.

PERKEMBANGAN ALUTSISTA TNI AL DARI MASA KE MASA

Menegakkan Kemerdekaan Dengan Kapal Kayu

Page 4: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

4 Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

dan sebagainya. Menghadapi tekanan yang demikian hebat, akhirnya pemerintah Indonesia menjadikan BKR sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 5 Oktober 1945. Dalam mengemban tugas negara, BKR Laut yang telah mentransformasikan dirinya menjadi TKR Laut selain melaksanakan tugas-tugas pertahanan juga sebagai pelopor penyebarluasan berita Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 dengan membentuk satuan-satuan ekspedisi lintas laut.

Dalam pelaksanaan ekspedisi lintas laut, alutsista eks Jepang merupakan materiil pertama andalan para pejuang bahari di samping beberapa kapal hasil sumbangan masyarakat. Alutsista eks Jepang tersebut merupakan kapal-kapal kayu, baik yang menggunakan motor maupun layar, hasil rampasan dari Jawa Unko Kaisya (Dinas Angkutan Laut di Jawa), Akatsuki Butai (Angkutan Laut Militer AD Jepang), Gunseikanbu Kaiji Sokyoku (Jawatan Pelayaran Pemerintah yang berpusat di Jakarta), dan sarana latih dari sekolah-sekolah pelayaran bentukan Jepang. Hanya para pejuang bahari dari Pangkalan AL Surabaya yang berhasil menguasai beberapa alutsista eks Kaigun (AL Jepang) jenis motor boat bersenjata dan kapal buru selam. Salah satu alutsista eks Kaigun yang pernah dioperasikan oleh para pejuang bahari Indonesia, adalah kapal buru selam S-115, yang dioperasikan oleh TKR Laut, Marine Keamanan Rakyat (MKR) dan Penataran Angkatan Laut (PAL)

Surabaya untuk melaksanakan operasi lintas laut ke Pulau Nyamukan. Tujuannya, untuk melucuti pasukan Jepang yang bertahan di pulau tersebut. Berbekal alutsista sederhana, seperti kapal kayu, pejuang bahari Indonesia berhasil menggelar operasi lintas laut untuk menyebarkan berita proklamasi dan merintis pembentukan unsur pemerintahan RI di tiap daerah. Operasi lintas laut tersebut bahkan digelar hingga ke mancanegara, yaitu Australia.

Awalnya, organisasi TKR Laut masih tersusun secara sederhana. Ketika dibentuk Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada pertengahan 1946, barulah disusun struktur yang sesuai dengan organisasi angkatan laut sesungguhnya, seperti pangkalan, corps armada sebagai unsur tempur laut dan corps mariniers sebagai unsur tempur darat. Pada tahapan ini, meskipun pengembangan kekuatan tidak dapat berjalan maksimal akibat terkendala minimnya kondisi keuangan negara dan hancurnya sebagian besar potensi sumber daya maritim. Selain itu, aksi militer dan penghancuran oleh angkatan perang Kerajaan Belanda turut memperpuruk upaya pembangunan kekuatan ALRI.

Salah satu upaya ALRI dalam membangun kekuatan armadanya, adalah dengan memodifikasi kapal-kapal kayu menjadi kapal perang. Hal tersebut tampak pada sosok kapal kayu milik Pangkalan III ALRI Cirebon hasil pembelian secara barter dengan luar-negeri, yaitu Gadjah Mada-408. Kapal kayu tersebut dipersenjatai dengan mitraliur kaliber 12,7 mm eks Jepang dan meriam kecil jenis pom-pom kaliber 20 mm. Kapal ALRI Gadjah Mada terlibat dalam pertempuran laut dengan kapal perusak AL Belanda Hr. Ms. Kortenaer di perairan Cirebon tanggal 5 Januari 1947 dan tenggelam bersama komandan kapalnya Letnan Muda Samadikoen beserta empat orang awaknya.

Menyadari alutsista AL Belanda jauh lebih superior, ALRI memilih untuk lebih memfokuskan pembangunan unsur armadanya pada pengadaan kapal-kapal cepat yang

RI Gadjah Mada-408 salah satu kapal perang generasi awal ALRI ketika sandar di Pangkalan III ALRI Cirebon.

Page 5: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

5Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

Babakan penting dalam pembangunan ALRI yang modern, berawal dengan diserahterimakannya sejumlah alutsista dari AL Kerajaan Belanda (Koninklijke Marine/KM) antara tahun 1949-1950 berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). KMB yang dilaksanakan akhir tahun 1949 tersebut berbuah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh pemerintah Belanda. Dengan diserahkannya alutsista eks Belanda tersebut, menempatkan TNI AL untuk pertama kalinya sebagai angkatan laut modern. Pada kurun waktu ini, program pengembangan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan industri kemaritiman menjadi prioritas utama. Hingga memasuki tahun 1958 fokus pengadaan alutsista tetap pada produk teknologi negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, Belanda, Jepang, dan Italia.

Alutsista yang memperkuat jajaran Armada ALRI pada awalnya merupakan bekas pakai (second-hand) eks AL Belanda, seperti tank M4A3 Sherman, kendaraan tempur pendarat amfibi (LVTH, LVTP dan DUKW), kapal perang jenis korvet (RI Radjawali, RI Hang Tuah, RI Pati Unus dan RI Banteng) dan jenis perusak (RI Gadjah Mada), lalu kapal-kapal penyapu ranjau dan patroli, sejumlah kapal angkut dan pendarat (LST dan LCI), serta pesawat patroli maritim jenis UF-2 Albatross.

Perkembangan paling signifikan di periode awal modernisasi alutsista ditandai dengan kedatangan empat kapal perang baru buatan Ansaldo, Leghorn, Italia, yaitu fregat RI Imam Bondjol, RI Untung Surapati serta

korvet RI Pattimura dan RI Sultan Hasanuddin. Keempatnya memperkuat jajaran Armada ALRI sejak tahun 1958. Di tahun yang sama, ALRI juga diperkuat sejumlah kapal patroli jenis buru selam kelas Kraljevica dari Yugoslavia. Selain itu secara bertahap, ALRI juga membeli kapal perang jenis Motor Torpedo Boat (MTB) kelas Jaguar dan Jerman Barat dan kelas P-6 dari Uni Soviet.

Menjelang kampanye militer Trikora merebut Irian Barat, satu-satunya wilayah RI eks Hindia Belanda yang masih dikuasai Belanda, tuntutan akan alutsista modern kian mengemuka. Hal tersebut didasari pertimbangan bahwa kekuatan militer Belanda di Irian Barat diperlengkapi alutsista modern dan termuktahir, sehingga untuk dapat mengimbanginya maka ALRI juga harus didukung alutsista serupa. Namun untuk memperoleh alutsista modern dari negara-negara Barat, yang pro-Belanda sebagai sesama anggota NATO, dapat dikatakan sangat sulit. Oleh sebab itu, tidak ada jalan

RI Irian-201 kapal perang legendaris jenis penjelajah kebanggaan TNI AL yang hadir menjadi pengawal Nusantara pada tahun 1960-an.

“The Outlaw” kapal cepat ALRI yang digunakan Mayor

Laut John Lie untuk menerobos blokade Belanda.

mampu menembus blokade laut Belanda dan bergerak lincah di perairan dangkal. Untuk itulah maka Perwakilan RI di luar negeri membeli sejumlah kapal cepat yang akan dioperasikan ALRI sebagai Armada Penerobos Blokade atau Blockade Runners. Salah satunya adalah kapal cepat ALRI bernama The Outlaw yang dinahkodai Mayor Laut John Lie.

Membangun Angkatan Laut Modern

Page 6: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

6 Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

lain, Indonesia harus mengubah haluannya, dari Blok Barat ke Blok Timur (Uni Soviet dan Pakta Warsawa). Perubahan afiliasi politik luar negeri tersebut dipandang tepat karena Blok Timur merupakan seteru Blok Barat di Era Perang Dingin.

Sejak tahun 1959 secara bertahap alutsista modern asal Uni Soviet masuk memperkuat jajaran TNI AL. Antara kurun waktu tahun 1960 sampai 1970 TNI AL telah tumbuh sebagai kekuatan pertahanan negara di laut yang lengkap, meliputi kemampuan peperangan atas air, bawah air, darat, dan udara. Alutsista TNI AL saat itu antara lain kapal selam kelas Whiskey, kapal penjelajah kelas Sverdlov, perusak kelas Skory, fregat kelas Riga, pesawat pengebom kelas menengah bertorpedo Illyushin IL-38, pesawat patroli anti kapal selam AS-4 Gannet, tank amfibi

ringan PT-76, dan sebagainya. Kehadiran alutsista modern tersebut berhasil memaksa Belanda untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI sekaligus menempatkan ALRI sebagai angkatan laut terkuat nomor dua di Asia.

Meskipun demikian, banyaknya alutsista modern yang memperkuat ALRI saat itu ternyata tidak diimbangi dengan ketersediaan SDM dan industri pendukung yang memadai. Segalanya harus diimpor langsung dari negara produsen. Sementara itu di sisi lain, dukungan keuangan negara belum mendukung. Kondisi kian kompleks ketika terjadi peristiwa makar Gerakan 30 September (G30S) yang dilakukan PKI pada tahun 1965. Peristiwa kelam tersebut

Pesawat udara ALRI anti kapal selam “Gannet” buatan Inggris sebagai sayap rajawali ALRI yang menjadi kepanjangan mata dan telinga KRI dalam mengawal Nusantara pada tahun 1960-an

berimbas terjadinya peralihan kepemimpinan nasional, yaitu dari Orde Lama ke Orde Baru. Berlangsungnya peralihan kepemimpinan, juga berdampak pada politik luar negeri yaitu lebih condong ke negara-negara nonkomunis dan negara-negara Barat.

RI Hang Tuah atau yang sebelumnya bernama Hr.MS.

Morotai adalah salah satu dari dua buah kapal perang

yang diserahkan Belanda saat serah terima kedaulatan di

Pangkalan Ujung, Surabaya.

RI Banteng kapal perang ex Belanda yang menjadi kekuatan ALRI pada periode tahun 1950-an

RI Gadjah Mada kapal pemburu torpedo dari Belanda

yang pernah menjadi tulang punggung ALRI.

Beberapa Kapal Ex Koninklijke Marine (KM) Belanda yang diserah terimakan ke ALRI

Page 7: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

7Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

SANG LEGENDA RI IRIAN-201 YANG MISTERIUS

Perkembangan alutsista TNI AL tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan RI Irian-201. Para pemerhati alutsista TNI AL sampai saat ini masih penasaran dengan sosok kapal perang terbesar yang pernah dimiliki Indonesia tersebut. Untuk memperkuat persenjataannya Uni Sovyet membangun 14 kapal penjelajah ringan (light cruiser) kelas sverdlov. RI Irian sebelumnya adalah milik Angkatan Laut Uni Sovyet bernama Ordzonikidze (diambil dari nama seorang Menteri Perindustrian masa pemerintahan Nikita Khrushchev). Kapal dibuat di Admiralty Yard, Leningrad. Peletakan lunas pertama dilakukan pada tanggal 9 Oktober 1949 dan diluncurkan pada tanggal 17 September 1950 serta dioperasikan untuk pertama kalinya pada 30 Juni 1952. Di jajaran Armada Uni Sovyet, kapal perang yang ditakuti pihak NATO ini berpangkalan di Laut Baltik untuk mengimbangi kekuatan armada kapal perang pihak Barat. Pada saat Mayor Jenderal A.H. Nasution menjabat sebagai Menko Hankam/Kasab merintis modernisasi alutsista dan melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat mengajukan pinjaman untuk pembelian alutsista. Pengajuan pemerintah RI ini tidak ditanggapi dengan serius oleh pihak Amerika Serikat,

maka permintaan dukungan pembiayaan pengadaan alutsista diarahkan ke Uni Sovyet. Presiden Uni Sovyet memberikan lampu hijau kepada Indonesia dalam hal pembiayaan alat perang. Mungkinkah kesediaan negara beruang merah ini dalam membantu Indonesia ada kaitannya dengan politik, mengingat saat itu sedang terjadi perang dingin antara pihak Amerika dan sekutunya berhadapan dengan Uni Sovyet. Yang jelas, Presiden Nikita Khrushchev menindaklanjuti niat Indonesia ini dengan serius, terbukti pada awal 1960 melakukan kunjungan ke Jakarta dan menyetujui pinjaman untuk pembelian alutsista dengan kredit jangka panjang. Tidak diketahui berapa nilai pinjaman yang diberikan untuk mendatangkan berbagai jenis persenjataan untuk mempersenjatai ADRI, ALRI dan AURI menjadi kekuatan yang diperhitungkan di belahan bumi bagian selatan. Adapun tujuan perkuatan alutsista Indonesia ini diarahkan untuk menghadapi Belanda dalam melaksanakan operasi Trikora untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Indonesia. Salah satu kapal perang yang masuk dalam bidikan tim pengadaan alutsista RI adalah Ordzhonikidze, sebagai kapal penjelajah ringan. Tanggal 11 Januari 1961,

Page 8: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

8 Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

pemerintah Uni Sovyet memerintahkan kepada Central Design Bureau #17 untuk memodifikasi kapal Ordzhonikidze yang diperuntukkan bagi Indonesia agar ideal beroperasi di wilayah laut tropis. Untuk dapat menyesuaikan dengan cuaca tropis dengan temperatur suhu di atas 40 derajat Celcius, kelembaban udara 95% dan temperatur air laut di atas 30 derajat Celcius maka harus dilakukan modifikasi yang membutuhkan biaya cukup besar. Tim dari RI tidak setuju dengan rencana modifikasi tersebut dan akhirnya hanya dilakukan peningkatan instalasi mesin diesel untuk mendukung ventilator. Pada tanggal 14 Februari 1961 kapal ini tiba di Sevastopol, perbaikan ringan secepatnya dilakukan dan dilanjutkan dengan uji coba (sea trial) pada 5 April 1962. Tim dari ALRI yang akan mengawaki kapal modern pada masanya ini sudah melakukan training di kapal tersebut sejak perbaikan mulai dilakukan. Sudah bisa dibayangkan bagaimana sulitnya calon pengawak kapal canggih ini menguasai teknologi mesin dan persenjataan yang dimiliki kapal sekelas Ordzhonikidze. Selain itu, mereka harus menghadapi kendala bahasa dan penyesuaian cuaca yang sangat ekstrim. Setelah upgrade pada genset diesel penggerak ventilator diselesaikan, kapal berlayar menuju Indonesia dan tiba pada 5 Agustus 1962 di Surabaya. Kedatangan kapal perang terbesar yang pernah dimiliki Indonesia mendapat sambutan hangat dari seluruh bangsa Indonesia. Semangat nasionalisme yang didengungkan pemerintah dalam menghadapi Belanda yang menduduki Irian Barat saat itu semakin tinggi. Seiiring dengan keinginan untuk merebut kembali Irian Barat dari Belanda, kapal perang ini dinamakan RI Irian. Belanda mulai memperhitungkan peningkatan kekuatan alutsista RI secara signifikan dalam waktu yang relatif singkat, karena pada saat yang berurutan RI menerima alutsista berupa kapal, tank, pesawat pembom, kapal selam dan sebagainya. Perlahan tapi pasti, Belanda mengurangi kekuatan alat perangnya di Irian barat. Saingan terberat yang dimiliki Belanda, Hr.Ms. Karel Doorman yang ditempatkan di Irian Barat segera menyingkir untuk menghindari perang langsung dengan RI Irian. Dampak yang cukup meyakinkan setelah Amerika Serikat

sebagai sekutunya memaksa Belanda untuk keluar dari wilayah RI dan sepakat melakukan perundingan dengan Indonesia di PBB, New York, pada tanggal 15 Agustus 1962.

Spesifikasi TeknisKapal penjelajah ringan ini berbobot standar 13.600 ton, dengan bobot beban penuh mencapai 16.640 ton. Panjang secara keseluruhan 210 m ( sekitar dua kali panjang lapangan sepak bola, serta 205 m panjang garis air. Sedangkan lebar kapal 22 m, yang membuat kelihatan langsing kapal perang RI Irian dan draft 6,9 m. RI Irian didukung oleh tenaga penggerak 2 shaft geared steam turbin, 6 buah boiller KV-68 dan mampu menghasilkan tenaga 110.000 hp sampai 122.000 hp. Kapal dapat melaju dengan kecepatan 32,5 knot, awak kapal 1.250 orang. Untuk menggempur kekuatan lawan RI Irian dibekali dengan 12 senjata meriam kapal B-38/L57 kaliber 152 mm (6 buah di depan dan 6 buah di belakang)

Kapal penjelajah ringan kelas Ordzhonikidze yang dimiliki Angkatan Laut Uni Soviet adalah jenis kapal yang sama dengan RI Irian-201

Page 9: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

9Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

Page 10: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

10 Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

dalam 4 x 3 kubah (4 triple Mk5-bis turrets). Sebanyak 12 meriam model 1934/L56 kaliber 100 mm dalam formasi 6 x 2 SM-5-1. Untuk melawan serangan pesawat udara dilengkapi juga dengan 32 meriam anti serangan udara kaliber 37 mm. Untuk menghantam kapal selam, kapal perang kelas Sverdlov ini membawa 10 buah tabung torpedo kaliber 533 mm. Di samping dilengkapi senjata meriam dan torpedo, RI Irian juga memiliki perisai pelindung diri pada lambung kapal dengan ketebalan baja 100 mm, pada menara pengawas setebal 150 mm, ketebalan pada dek 50 mm dan kubah 75 mm. Dengan perisai ini maka tidak mengherankan kalau bobot kapal ini menjadi lebih besar. Jumlah awak buah kapal mencapai 1.250 orang (terdiri dari 60 orang perwira menengah, 75 perwira pengawas, dan 154 perwira pertama). Jarak jelajah maksimum yang mampu ditempuh mencapai 9.000 mil laut. Desain kapal yang dirancang untuk beroperasi di wilayah dingin ketika sampai di Indonesia yang bersuhu tropis menimbulkan kesulitan tersendiri bagi awak buah kapal RI Irian. Salah satu kejadian yang sangat mengenaskan saat terjadi kecelakaan yang menelan korban jiwa. Secara rutin dilakukan pengecekan ketel uap sambil melakukan pelatihan bagi anggotanya dan pada saat menghidupkan turboventilator terjadi ledakan keras karena pipa saluran uap pecah. Akibat ledakan tersebut, Pembantu Letnan Satu Sukardi, kopral M. Hitipeuw dan Kelasi Dua J. Biama terluka parah. Luka yang diderita Peltu Sukardi cukup serius dan dirawat selama dua hari di RSAL, Mintohardjo Jakarta tetapi akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Pemerintah RI memberikan penghargaan atas jasa-jasa Peltu Sukardi dengan Bintang Sakti pada tahun 1966. Disamping RI Irian, juga dilaporkan satu buah kapal selam rusak karena benturan hidroulis saat naik ke permukaan dan sebuah destroyer mengalami kerusakan. Analisis yang dapat diperoleh, berbagai kerusakan ini diakibatkan karena banyak peralatan yang tidak bisa dioperasikan secara optimal. RI Irian pada tahun 1964 sudah benar-benar tidak efektif untuk dioperasikan sehingga harus menjalani perbaikan dalam

skala besar di Vladivostok, Uni Sovyet tepatnya di galangan kapal Dalzavod. Para teknisi Uni Sovyet terkejut dengan kondisi RI Irian dan kerusakan kecil seharusnya dapat dilakukan oleh orang Indonesia tetapi tidak dilakukan. Dan satu hal yang unik, para pelaut Indonesia ini menambahkan satu ruangan untuk tempat ibadah bagi para awak kapal yang mayoritas muslim. Tentu hal ini tidak dikenal di negara berpaham komunis itu. Pada bulan Agustus 1964, RI Irian sudah selesai menjalani perbaikan dan segera berlayar menuju Indonesia dengan pengawalan destroyer Uni Sovyet.

RI Irian yang MisteriusSejak kembali ke Indonesia tahun 1964 untuk menjalankan pengabdiannya di ALRI, terjadi perubahan politik dalam negeri yang sangat berpengaruh terhadap nasib RI Irian. Dibawah kepemimpinan Jenderal Soeharto, negara berusaha melakukan pembangunan perekonomian untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Imbasnya dukungan untuk pembangunan alutsista menjadi berkurang termasuk perawatan RI Irian dan kapal perang lainnya yang terabaikan. Kondisi RI Irian semakin parah dan lambat laun kehilangan daya apung karena terjadi kebocoran di beberapa bagian lambung kapal. Dengan alasan kekurangan suku cadang dan biaya perawatan, RI Irian dibesituakan (scrap) di Taiwan pada tahun 1972. Tetapi ada yang mengatakan bahwa RI Irian dijual ke Jepang setelah senjatanya dipreteli, dan salah satu senjatanya dijadikan koleksi di museum. Sebuah analisis lain memberikan cerita yang lebih dramatis yang didasarkan pada kepentingan pengamanan teknologi persenjataan yang bernilai strategis bagi Uni Sovyet. Pada saat pelayaran menuju Taiwan dalam rangka scrap, RI Irian di cegat kapal perang Uni Sovyet dan diambil alih dengan kesepakatan tertentu agar persenjataan ini tidak jatuh ke pihak barat yang menjadi seterunya. Mayor Laut (KH)Drs. Suratno

Daftar Referensi :1. www.indonesiamatters.com/3735/kapal-kri-irian. Diunggah tanggal 23 Oktober 2014 pukul 06.25 WIB.2. Indomiliter.com/2012/09/05/Ini dia peninggalan kri irian. Diunggah tanggal 23 Oktober 2014, pukul 06.30.3. Cinta belanegara.blogspot.com/..../kri irian kapal perang terbesar. Diunggah tanggal 23 Oktober 2014 pukul 06.30 WIB.4. danielpunya.blogspot.com/.../kri irian jagoan masa lampau di lautan.ht...Diunggah tanggal 23 Oktober 2014 pukul 06.35 WIB.5. Id.wikipedia.org/wiki/KRI Irian. Diunggah tanggal 23 Oktober pukul 06.40 WIB.

Page 11: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

11Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

Akibat dari perubahan kepemimpinan nasional tersebut, memasuki kurun waktu 1970-an kekuatan alutsista TNI AL kian merosot baik kualitas maupun kuantitasnya karena kesulitan memperoleh suku cadang. Saat itu, sebagai solusi terpaksa ditempuh langkah-langkah kanibalisasi suku cadang. Guna mempertahankan kemampuan operasional TNI AL, pemerintah berupaya mengganti sejumlah alutsista eks Rusia dengan produk Barat. Sejak akhir 1979-an, TNI AL mendatangkan beberapa alutsista baru dari negara Barat, antara lain fregat kelas Claud Jones (kelas Samadikun) dari Amerika, fregat kelas Fatahillah dan kelas

Van Speijk dari Belanda, kapal selam kelas U-209/1300 dari Jerman Barat, fregat kelas Tribal dari Inggris serta korvet kelas Ki Hadjar Dewantara dari Yugoslavia. Selain itu, TNI AL juga mendatangkan alutsista untuk patroli, seperti kelas Attack dan Carpentaria dari Australia. Sementara itu, alutsista udara yang memperkuat TNI AL antara lain helikopter anti kapal selam jenis Westland Wasp HAS buatan

Inggris, NAS 332 Super Puma dari Perancis dan pesawat patroli maritim GAF Nomad dari Australia. Sedangkan Korps Marinir mendapat jatah tank amfibi jenis AMX-10 dari Perancis dan BVP-2 dari Slovakia.

Memasuki akhir periode 1980-an, TNI AL berupaya melakukan pengadaan alutsista hasil produksi dalam negeri. Sebagai tindak lanjut dari kebijakan tersebut, PT PAL menjalin kerja sama dalam kerangka alih teknologi (transfer of technology/ToT) dengan Lürssen Werft dari Jerman Barat untuk merancang kapal perang jenis Fast Patrol Boat-57

(FPB-57). Pengadaan alutsista buatan lokal juga dilaksanakan pada unsur udara, yaitu pesawat terbang dan helikopter rancangan PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Keputusan melakukan pengembangan alutsista di dalam negeri sekaligus mengoptimalkan peran industri pertahanan nasional merupakan langkah tepat. Memasuki awal 1990-an beberapa negara Barat melakukan embargo

Mempertahankan Kemampuan

KRI Abdul Halim Perdanakusuma-355 salah satu kapal fregat jenis Van Speijk buatan Belanda

KRI Fatahillah-361 kapal fregat buatan Belanda menjadi andalan TNI AL untuk mengamankan perairan nusantara

Page 12: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

12 Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

militer akibat Insiden Dili 1991 yang semakin menambah kesulitan TNI AL. Akibatnya, beberapa alutsista terpaksa dinonaktifkan atau harus menjalani proses penggantian mesin utama dan sistem persenjataannya. Proses ini dikenal dengan istilah retrofit bagi tank dan panser amfibi Marinir serta repowering dan mid life modernization (MLM) bagi kapal-kapal perang TNI AL.

Meskipun sebagian alutsista telah menjalani serangkaian modernisasi dan penggantian mesin, namun hasil yang diharapkan tidak berjalan maksimal. Keterbatasan anggaran untuk MLM dan repowering telah menyebabkan banyak alutsista TNI AL yang mangkrak atau tidak mampu lagi beroperasi secara penuh. Sementara itu di sisi lain, tuntutan akan kehadiran unsur-unsur TNI AL terus mengemuka, utamanya ketika berbagai kasus kegiatan ilegal dan tindak kejahatan di laut kian kompleks. Tugas TNI AL semakin diperberat dengan kian maraknya masalah tapal batas di beberapa wilayah perbatasan laut. Ironisnya, tuntutan tersebut tidak diimbangi dengan kondisi siap operasi dari unsur-unsur TNI AL. Jumlah kapal

Kasal Dr. Marsetio mendampingi Panglima TNI dalam rangka gelar alutsista di Surabaya pada 12 Maret 2014.

yang mampu beroperasi tidak sebanding dengan luas wilayah yang harus dilindungi. Guna memenuhi kebutuhan alutsista TNI AL, pemerintah kemudian membeli kapal-kapal perang eks Jerman Timur dari kelas Parchim, Frosch dan Kondor II. Sejalan dengan hal tersebut, agar tidak berulang lagi dampak dari embargo militer sekaligus memperkuat ketahanan nasional, TNI AL secara konsisten membeli dan mengembangkan alutsistanya melalui optimalisasi industri pertahanan di dalam negeri, termasuk industri swasta dan menjalin bekerja sama dengan kalangan universitas.

KRI Pati Unus-384 salah satu armada korvet kelas Parchim

yang dimiliki TNI AL sedang menembakkan senjata anti

kapal selam RBU-6000

Page 13: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

13Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

Guna meningkatkan kemampuan Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT) yang meliputi kapal perang, pesawat

udara, marinir dan pangkalan, sekaligus memodernisasi alutsista, TNI AL merancang rencana strategis pembangunan kekuatan selama 20 tahun terkait pengadaan alutsista baru berteknologi termodern. Salah satu upaya dalam merancang postur kekuatan di masa-masa mendatang, TNI AL membuat standardisasi alutsista yang akan dibangun atau dibelinya. Kemudian dalam rangka memodernisasi alutsista, TNI AL memesan empat kapal perang jenis korvet generasi terbaru dari galangan Royal Schelde, Belanda. Secara bertahap, sejak tahun 2007 TNI AL menerima empat korvet baru dari Belanda dari kelas SIGMA (Ship Integrated Geometrical Modularity Approach) kelas Diponegoro. Keempat kapal tersebut selain diperlengkapi dengan sistem kendali tempur termuktahir, juga memiliki kemampuan “siluman” (stealth). Korvet SIGMA kelas Diponegoro kemudian menjadi acuan dalam proses pengadaan kapal-kapal perang berikutnya. Sebagai contoh, pembangunan

kapal cepat rudal (KCR) buatan galangan kapal nasional yaitu kelas Clurit (KCR-40) dan kelas Sampari (KCR-60), desain rancang bangunnya sepintas mirip dengan SIGMA. Selain kapal-kapal kombatan, TNI AL juga merancang pengadaan alutsista jenis angkut serbaguna yaitu Landing Platform Dock (LPD). Pengadaan LPD juga dilakukan melalui proses alih teknologi antara PT PAL dengan galangan kapal di Korea Selatan. Melalui proses alih teknologi tersebut, PT PAL berhasil meluncurkan dua kapal LPD kelas Banjarmasin pada 2007 dan 2013. Saat ini, salah satu industri swasta nasional yaitu PT Daya Radar Utama (DRU) yang berlokasi di Lampung, berhasil meluncurkan kapal LST pesanan TNI AL yang berfungsi khusus sebagai angkut tank berat milik TNI AD jenis Main Battle Tank (MBT) Leopard dari Belanda yaitu KRI Teluk Bintuni-520. Salah satu bukti kualitas produk nasional yang diakui oleh dunia, adalah kesertaan KRI Banda Aceh-593 dalam Latihan Bersama Multilateral Rimpac 2014 yang berlangsung di wilayah Hawaii, Amerika. Melalui latma multilateral ini, TNI AL berhasil membuktikan bahwa alutsista produk dalam

KRI Frans Kaisiepo-368 satu di antara empat kapal perang Korvet kelas SIGMA (Ship Integrated Geometrical Modular Approach), kapal modern untuk menunjang TNI AL sebagai World Class Navy.

TNI AL - World Class Navy

Page 14: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

14 Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

negeri dapat disejajarkan dengan buatan luar negeri, sehingga memenuhi kriteria sebagai World Class Navy (Angkatan Laut Berkelas Dunia). Prestasi serupa juga ditunjukkan pada penggunaan alutsista udara dan darat TNI AL yang lebih mengedepankan produk-produk dalam negeri.

Kemudian untuk semakin memperkuat kemampuan TNI AL, pemerintah membeli tiga fregat jenis Multi-Role Light Frigate (MRLF) kelas Bung Tomo dari Inggris, tiga kapal selam kelas Chang Bogo dari Korea Selatan, tank amfibi BMP-3F, BTR-80A, dan BTR-4 dari Rusia, serta helikopter anti kapal selam AS 565 Panther buatan Eurocopter yang berbasis di Perancis.

Belajar dari pengalaman masa lalu, saat sebagian besar alutsista terkendala kemampuan operasional dan tempurnya akibat terimbas embargo, maka kini TNI AL mulai menerapkan pengadaan alutsista dengan konsep multisumber dan modular. Pengadaan sistem senjata tidak lagi dalam satu paket dengan alutsista baik kapal, pesawat maupun kendaraan tempur amfibi. Kedua konsep tersebut dipandang ideal bagi TNI AL, karena dapat menyesuaikan dengan aspek anggaran, pemeliharaan, dan proses alih teknologi. Dengan kian menguatnya modernisasi dan semangat Cinta Produk Dalam Negeri di lingkungan TNI AL, maka TNI AL berhasil mewujudkan kemandirian nasional di bidang alutsista sekaligus menempatkannya sebagai bagian dari world class navy.

KRI Bung Tomo-357 (Insert) KRI John Lie-358 dan KRI Usman Harun- 359 tiga kapal fregat terbaru TNI AL jenis Multi- Role Light Frigate (MRLF) kelas Bung Tomo buatan Inggris.

Page 15: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

15Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

Sebagai institusi pertahanan negara, TNI Angkatan Laut (TNI AL) menaruh perhatian serius pada kemampuan alutsistanya,

baik secara kualitas maupun kuantitas. Pembangunan dan pengadaan alutsista hakekatnya diimplementasikan secara khusus karena keterkaitannya dengan perangkat teknologi canggih yang tidak mudah untuk diproduksi, dibeli, dioperasikan, dan tidak murah tentunya. Sebagai produk yang sarat teknologi tinggi maka proses pengadaannya pun memiliki kompleksitas tersendiri dan sering terkendala oleh faktor utama eksternal serta internal.

Faktor eksternal berpengaruh signifikan karena sebagian besar alutsista TNI AL merupakan produk impor, sehingga erat hubungannya dengan kebijakan luar negeri dan hubungan antara Indonesia dengan negara produsen, mulai dari kebijakan ekspor peralatan militer, kerja sama pertahanan, hingga masalah hak asasi manusia (HAM).

ALUTSISTA KARYA ANAK BANGSA

Sementara di lingkup internal, permasalahan utama yang dihadapi adalah terbatasnya anggaran negara sehingga memerlukan skala prioritas dalam penggunaannya. Selain itu, permasalahan internal lainnya adalah masih kuatnya stigma atau persepsi negatif terhadap kualitas produk dalam negeri. Sementara di sisi lain, yang mampu meminimalkan ekses dari ketergantungan pada luar negeri sekaligus memperkuat ketahanan nasional adalah tercapainya kemandirian nasional, khususnya produk pertahanan. Dengan demikian, revitalisasi industri strategis nasional melalui alih teknologi atau transfer of technology (ToT) merupakan langkah yang paling efektif dalam mewujudkan kemandirian nasional.

Upaya pengadaan alutsista produk dalam negeri bagi TNI AL bukanlah hal baru. Upaya tersebut telah dilaksanakan jauh sebelumnya. Jika menatap sejarah TNI AL pada masa Orde Lama hingga awal Orde

Page 16: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

16 Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

Baru, Komando Penataran Angkatan Laut (Konatal), yang sekarang bernama PT PAL, pernah membuat kapal perang jenis buru selam kelas Kalahitam sebanyak dua kapal. Program ini sempat terhenti pada awal 1970-an namun menjelang akhir 1980-an TNI AL kembali melanjutkan pembangunan alutsista di dalam negeri. Keputusan untuk melanjutkan program pembangunan alutsista di dalam negeri merupakan langkah tepat. Berakhirnya Perang Dingin pada awal 1990-an turut memberi perubahan pada situasi politik global. Masalah hak asasi manusia (HAM) menjadi salah satu agenda utama dalam jalinan hubungan internasional. Perubahan tersebut turut berimbas pada Indonesia yang dituding sebagai pelanggar HAM oleh beberapa negara maju, utamanya setelah terjadinya Insiden Dilli 1991, pelaksanaan Daerah Operasi Militer (DOM) 1989 - 1998 di Aceh, hingga pascareferendum di Timor Timur 1999.

Kondisi tersebut melatarbelakangi mengemukanya kebijakan dari komunitas internasional untuk melakukan embargo militer terhadap Indonesia. Embargo ini berimbas serius pada kesiapan dan kelayakan operasi alutsista TNI AL. Meskipun saat ini embargo telah dicabut, namun hingga kini pembelian alutsista atau produk-produk militer lainnya

oleh TNI kerap dibayangi permasalahan HAM sehingga proses pengadaannya tidak berjalan secara utuh.

Dengan demikian penggunaan alutsista produksi dalam negeri merupakan langkah strategis yang mampu meningkatkan kemampuan operasional TNI tanpa harus mengorbankan kepentingan nasional. Dan, untuk mewujudkan kemandirian alutsista, maka faktor penguasaan teknologi canggih menjadi prasyarat mutlak. Permasalahannya, penguasaan teknologi alutsista tidak cukup hanya dengan mengirimkan tenaga ahli mengikuti pelatihan dan pendidikan ke negara-negara maju. Hal itu disebabkan teknologi alutsista merupakan produk yang berklasifikasi khusus dan sifatnya rahasia, sehingga tidak dapat sembarangan diberikan atau diakses oleh kepada pihak-pihak lain tanpa persetujuan pemerintah dari negara terkait.

KRI Makassar-590 kapal jenis Landing Platform Dock (LPD) merupakan kapal perang TNI AL hasil kerja sama antara TNI AL, PT PAL dan Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME), Korea Selatan.

Bertolak dari kondisi tersebut maka cara yang efektif dan efisien adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di TNI AL dalam hal penguasaan teknologi alutsista. Sebagai konsekuensi, maka TNI AL dituntut untuk membuat standardisasi alutsistanya sebagai acuan bagi pembuatan produk-produk berikutnya, kecuali pada

Page 17: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

17Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

perangkat elektronis yang sifatnya lebih dinamis, menyesuaikan perkembangan zaman. Sebagai implementasi dari upaya tersebut, TNI AL dan industri strategis nasional terkait menjalin kerja sama pertahanan dengan negara-negara industri maju untuk memproduksi alutsista di Indonesia. Inilah inti dari proses alih teknologi atau transfer of technology (ToT).

Sebagai langkah awal dalam merangkai kemandirian alutsista, TNI AL bersama PT PAL bekerja sama dengan galangan kapal Lürssen Werft, Jerman Barat, dalam kerangka alih teknologi. Melalui kerja sama teknologi tersebut, TNI AL berhasil membangun kapal perang jenis FPB-57 dalam lima varian, mulai dari Nav I hingga V. Kemudian dengan galangan kapal Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME), Korea Selatan, berhasil dibangun kapal perang jenis LPD kelas Banjarmasin. Semua itu adalah contoh dari upaya TNI AL untuk memperoleh alutsista melalui proses ToT.

Sementara untuk mendorong revitalisasi industri strategis di dalam negeri, baik swasta maupun BUMN, TNI AL secara

kontinyu berkontribusi dalam merancang alutsista untuk patroli dan kapal bantu. Melalui peran PT PAL dan Fasharkan TNI AL beserta beberapa galangan swasta nasional seperti PT Palindo Marine dan PT Koja Bahari berhasil dibangun beberapa alutsista, antara lain kapal patroli jenis PC, KCR, tunda samudra serta LST. Harapanya pada masa mendatang, industri kemaritiman nasional mampu memproduksi alutsista yang sesuai dengan kebutuhan TNI AL dengan didukung perangkat teknologi termuktahir. Dengan demikian, ketergantungan pada produk luar negeri dapat diminimalkan yang bersinergi juga dengan upaya mewujudkan ketahanan nasional melalui kemandirian alutsista.

Pada masa lalu, kerajaan-kerajaan Nusantara seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Demak, berhasil membangun alutsista bagi angkatan lautnya secara mandiri di dalam negeri dan tumbuh sebagai negeri yang berdaulat penuh di wilayah yurisdiksinya. Keahlian bangsa Indonesia dalam memproduksi sendiri kapal-kapal bertonase besar, baik untuk kepentingan perang maupun perniagaan, diakui oleh orang-orang Portugis dan Belanda.

Mewujudkan kemandirian alutsista bagi TNI AL bukanlah sebuah perjalanan yang mudah, dibutuhkan komitmen nasional yang kuat. Sudah saatnya bagi bangsa Indonesia untuk bangkit kembali meraih supremasi di laut sebagai bangsa maritim sekaligus mewujudkan sea power dalam makna sesungguhnya yang menempatkan TNI AL sebagai bagian dari World Class Navy.

Pesawat CN 235 220 NG MPA adalah pesawat terbang karya anak bangsa sebagai perpanjangan mata dan telinga armada TNI AL.

Helikopter Bell-412 EP produksi PT Dirgantara Indonesia.

Adi Patrianto

Page 18: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

18 Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

PARADE ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI AL

PADA HUT KE-69 TNI TAHUN 2014

DI SURABAYA

BMP 3F

Rudal anti kapal “Yakhont”

Page 19: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

19Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

KRI Nanggala-402 dan helikopter anti kapal selam “AS-565 Panther”

Satuan kapal eskorta tulang punggung armada

Page 20: ALUTSISTA KEBANGGAAN TNI ANGKATAN LAUT dari masa ke

20 Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman

KRI Banda Aceh-593

KRI Welang-808KRI Beladau-643

KRI Teluk Bintuni-520

A L U T S I S T A KARYA ANAK BANGSA