alur pemikiran filsafat

Upload: hendra-wijaya

Post on 13-Jul-2015

298 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

1

Apakah Filsafat ituSaat ini hampir semua orang tengah dihadapkan pada berbagai konsepsi tentang kehidupan dan zaman (dunia) yang serba filosofis; yang dihasilkan oleh dua faktor. Pertama, konsepsi religius dan etis warisan; Kedua, semacam penelitian yang bisa disebut ilmiah dalam pengertian yang luas.

2

Kedua factor ini ini memberi pengaruh terhadap kelangsungan kehidupan seseorang manusia. Sehingga, kesejahteraan seseorang sesungguhnya sangat ditentukan oleh kemampuan dirinya untuk menjadi filsuf yang baik dengan berbagai proposisi yang berbeda namun tetap mencirikan filsafat. Dalam arus kehidupan sehari-hari, kita manusia hampir tidak bisa melepaskan diri dari berbagai persoalan yang sedikit banyak akan mempengaruhi keberlangsungan kehidupan kita manusia. Persoalan itu berkutat pada persoalan pribadi, rumah tangga, keluarga, lingkungan sekitar, masyarakat, bangsa dan bahkan agama. Persoalan itu muncul secara seketika baik menimpa dirinya sendiri ataupun orang lain. Salahsatu contoh peristiwa (persoalan) yang sedang dirasakan adalah kehadiran saya di ruangan seminar ini, dan berbarangan dengan itu, andapun mengalami peristiwa yang sama. Masing-masing dari kita ini dalam menghadapi persoalan ini ada yang menganggapnya hal ini sebagai peristiwa biasa, dan itu tak perlu untuk dipikirkan secara serius, namun juga di antara kita ada yang menganggapnya sebagai sebuah peristiwa yang mengherankan dan kagum. Dengan refleksi kemanusiaannya ia mulai merenungkan dan bertanya-tanya terhadap berbagai peristiwa yang terjadi seperti di atas tadi; ia mulai mengadakan introspeksi atau mawas diri, lalu mengadakan permenungan yang mendalam, bahkan ia mulai berusaha untuk mencari jawabannya. Proses kegiatan semacam itu sekalipun tidak disadarinya, sesungguhnya pada saat itu telah terjadi peristiwa pemikiran filosofis dalam diri orang tersebut. Dan ini menindikasikan bahwa filsafat bukan milik orang-orang tertentu sajamelainkan ciri khas dari kemanusiaan, karena berfilsafat itu adalah bertanya-tanya, disertai rasa kagum dan heran. Persoalan itu berkutat pada persoalan pribadi, rumah tangga, keluarga, lingkungan sekitar, masyarakat, bangsa dan bahkan agama. Persoalan itu muncul secara seketika baik menimpa dirinya sendiri ataupun orang lain. Salahsatu contoh peristiwa (persoalan) yang sedang dirasakan adalah kehadiran saya di ruangan seminar ini, dan berbarangan dengan itu, andapun mengalami peristiwa yang sama. Masing-masing dari kita ini dalam menghadapi persoalan ini ada yang menganggapnya hal ini sebagai peristiwa biasa, dan itu tak perlu untuk dipikirkan secara serius, namun juga di antara kita ada yang

3

menganggapnya sebagai sebuah peristiwa yang mengherankan dan kagum. Dengan refleksi kemanusiaannya ia mulai merenungkan dan bertanya-tanya terhadap berbagai peristiwa yang terjadi seperti di atas tadi; ia mulai mengadakan introspeksi atau mawas diri, lalu mengadakan permenungan yang mendalam, bahkan ia mulai berusaha untuk mencari jawabannya. Proses kegiatan semacam itu sekalipun tidak disadarinya, sesungguhnya pada saat itu telah terjadi peristiwa pemikiran filosofis dalam diri orang tersebut. Dan ini mengindikasikan bahwa filsafat bukan milik orang-orang tertentu saja melainkan ciri khas dari kemanusiaan, karena berfilsafat itu adalah bertanya-tanya, disertai rasa kagum dan heran. Setiap orang sesungguhnya memiliki filsafat yang sekalipun kemungkinan ia sendiri tidak menyadarinya, kita semua tentunya mempunyai ide-ide tentang benda, tentang sejarah, tentang kehidupan dan bahkan kematian. Ide-ide semacam itu mengindikasikan adanya rasa kekaguman dan perasaan heran yang dikuti oleh sebuah pertanyaan. Di awal-awal perkembangan filsafat, kekaguman dan keheranan yang muncul di benak para filsuf hanya berkutat pada persoalan gejala-gejala alam. Misalnya, melihat gempa bumi, hujan lebat yang diikuti oleh halilintar dan bahkan banjir, atau melihat laut yang terbentang luas. Di saat seseorang itu kagum dan heran terhadap sesuatu yang dilihatnya, berarti ia tidak mengetahui dan sedang dihadapkan kepada sebuah persoalan. Persoalan inilah yang diperlukan jawaban oleh para filsuf. Dari mana sumber jawaban itu dapat diperoleh. Jawaban itu tentunya dengan melakukan refleksi filosofis. Sebab, filsafat tak dapat maju dengan metode matematika, karena matematika terbatas pada dunia yang dapat diukur. Juga tak dapat dijawab dengan metode fisika atau ilmu alam, karena kedua ilmu itu hanya terbatas pada dunia jasmani, dan juga ilmu hayat karena ia hanya berkutat pada dunia hayati. Refleksi adalah mencirikan kegiatan rohani. Salah satu dari kegiatan rohani itu adalah bertanya dan menanayakan tentang sesuatu. Untuk sampai kepada pemahaman yang menyeluruh, komprehensif tentang refleksi filosofis itu, maka diperlukan untuk mengenal dan memahami apa sesunggunya arti filsafat itu sendiri. Jika dilihat dari akar katanya yang bersumber dari bahasa Yunani dan diadobsi ke dalam bahasa Inggris - yang merupakan penggabungan dari kata philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada)

4

dan shophos (kebijaksanaan, pengetahuan, ketrampilan, pengalaman praktis dan intelegensia), menjadi philosophia (Loren Bagus: 242), maka menurut pemahaman penulis filsafat adalah termasuk dalam kategori ilmu pengetahuan yang paling luas cakupannya, yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains. Ketika seseorang ingin memahami filsafat, maka seseorang tidak bisa melepaskan porosnya dari dunia Yunani. Sebab, filsafat Yunani di awal-awal kemunculannya merupakan percampuran dari mitologi, mistisisme, matematika dan persepsi yang rusuh begitu rupa sehingga segalanya tidak beres dengan dunia. Yunani itu sesungguhnya kaya dengan kebudayaan dan sangatsangat kreatif, namun mereka dikitari oleh musuh-musuh yang saling iri hati dan saling bersaing. Tak jarang, beberapa kebudayaan besar tiba-tiba dihancurkan dan akhirnya terhapus dari peta dunia yang dikenal; dan apa yang tidak dihancurkan oleh perang, dihancurkan oleh alam. Lahirnya pemikiran filsafat Barat, diawali pada abad ke -6 SM dengan ditandai runtuhnya mitos-mitos yang selama ini menjadi pembenaran terhadap setiap kejadian alam. Manusia ketika itu berusaha mencari keterangan tentang asal muasal alam semesta, dan tentang kejadian yang berlangsung di dalamnya. Ada dua mite yang berkembang ketika itu, yaitu mitos kosmogoni, yang mencari tentang asal usul alam semesta, dan mitos kosmologi yang berusaha mencari keterangan tentang asal usul serta sifat kejadian alam semesta (Bertens, 1975: 12). Mitologi Yunani sekalipun telah memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang alam semesta, sayangnya jawabanjawaban tersebut diberikan dalam bentuk mite yang lolos dari kontrol akal (rasio). Cara berpikir semacam ini berlangsung sampai abad ke 6 SM. Sedangkan setelah itu orang-orang mulai mencari jawaban secara rasional tentang asal usul kejadian alam semesta. Ciri filsafat Yunani Kuno di awal-awal kelahirannya adalah perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai ikhtiar guna menemukan sesuatu asal mula (Arche) yang merupakan unsur awal terjadinya segala gejala. Thales (640-550 SM) menyimpulkan bahwa air merupakan arche (asas mula) dari segala sesuatu, hal ini didukung oleh kenyataan bahwa air meresapi seluruh benda-benda yang ada di jagad raya ini. Kemudian disusul oleh Disusul kemudian oleh Anaximender (611545 SM) to Aeporon (sesuatu yang tak terbatas). Anaximenes (588-524 SM) mengatakan udara, dengan asumsi bahwa udara merupakan unsur

5

vital kehidupan. Pitagoras (580-500 SM) dengan konsep bilanganbilangan dengan dalilnya segitiga siku-siku. Dalam perkembangannya kemudian yang patut dicatat dalam rangka perkembangan ilmu pengetahuan adalah Demokritos (460-370 SM), Realitas terdiri dari banyak unsur yang disebutnya dengan atom (atomos (A) = tidak, tomos = terbagi. Atom tidak mempunyai kualitas dalam jumlah dan tak berhingga. Dan ini merupakan cikal bakal perkembangan Fisika, kimia dan biologi Dalam perkembangannya lebih lanjut lahir filsafat di abad-abad berikutnya yang pada puncaknya zaman renaissance, munculnya berbagai pendapat, misalnya Rasionalisme (Descartes), Empirisme (David Hume); Kritisisme (Immanuel Kant), idealisme (Cikal bakal Plato (Hegel); Positivisme (Auguste Comte); Marxisme (Karl Mark). Kontemporer: tentang bahasa (Logika) Rusel dan Wittgenstein. Dalam abad kontemporer ini ada suatu perbedaan yang fundamental dari abad-abad sebelumnya, jika sebelumnya masih ditemukan adanya sebuah anggapan bahwa filsafat membingungkan, karena orientasi pemahaman filsafat pada waktu itu masih dalam bentuk pernyataan-pernyataan tentang sesuatu yang khsusus. Akan tetapi saat ini, filsafat berupaya untuk memecahkan berbagai persolan yang muncul ke permukaan, dan berlangsungnya pemaham selama ini karena ketidak pahaman seseorang terhadap Logika.

Ciri-Ciri Berfikir Filsafat

Sampai saat ini di sebagian kalangan masyarakat akademisi dan kaum agamawan masih saja ditemukan adanya anggapan bahwa dengan belajar filsafat, akan menjadikan seseorang itu kering terhadap nilai-nilai agama. Aggapan semacam itu tidak dapat disalahkan sepenuhnya, apalagi ketika kita mencoba melihat dari berbagai perkembangan pemikiran kefilsafatan yang nampaknya unik dan juga menimbulkan gejolak. Pemikiran semacam itu terlihat jelas dari pengalaman Socrates (469-399 SM), seorang ahli filsafat Yunani, dieksekusi dengan hukuman mati minum racun, karena ia menyerang kepercayaan suci dari agama dan Negara. Filsafat itu juga bertugas untuk menghadapi berbagai problem pokok dari kehidupan dan akan mempersoalkan berbagai jawaban dari kehidupan yang diberikan oleh kalangan awam, prasangka dan masyarakat, dan akibatnya ia akan memunculkan keresahan. Saat ini manusia kontemporer mempergunakan kemampuan tanyanya sangat dahsyat terutama yang menyangkut isu-isu

6

fundamental yang berkaitan dengan kualitas dan sifat kehidupan kita yang agamis, akademis, ekonomis dan politis Manusia kontemporer sekarang ini mengalami adanya suatu kecenderungan untuk melakukan penolakan terhadap kepercayaankepercayaan dan institusi-institusi yang dulu diterima begitu saja. Akibatnya, ide-ide dan organisasi-organisasi yang dulu menyatukan kita di awal zaman sejarah kita, dalam banyak hal, telah kehilangan daya rekatnya. Akibat dari itu, mereka beranggapan bahwa berfilsafat itu hanya untuk kalangan tertentu saja. Padahal jika kita memperhatikan uraian terdahulu dan diperkuat dengan pendapat Peursen (1983:1), ternyata befilsafat itu merupakan kemungkinan yang sangat terbuka bagi setiap orang, di saat ia mampu mencoba untuk menorobos lingkaran kebiasaan yang tidak lagi mempersoalkan hal ihwal sehari-hari. Pemikiran filsafat hanya akan berhenti apabila pemikiran nonfilsafati juga berhenti. Filsafat adalah bersifat terus menerus (perennial). Kehidupan segi dalamnya dan lingkungan intelektualnya menghadapkan seseorang filosof kepada bentuk persoalan yang senantiasa mengalami perubahan dan sama sekali tidak akan membebaskannya dari tugas untuk berfikir lagi (Stephan Korner, 1971: 280). Dalam kondisi semacam ini, apa yang membuat kita semua untuk ikut terlibat dan bahkan harus bersifat filosofis dan menganggapnya sudah merupakan sebuah kebutuhan?. Jawabnya, karena filsafat itu bergulat dengan persoalan kepercayaan hidup. Filsafat itu berupaya untuk membongkar, menganalisis, mengklarifikasi, dan mengevaluasi prinsip-prinsip pertama jalan hidup kita (Jon K.Roth, 1974: 4). Dan dalam bentuk yang lain, filsafat berupaya untuk menyelidiki tentang sesuatu secara mendalam, membongkar kemunafikan dari berbagai persoalan kontemporer dalam bentuk teriakan frustasi dan tindakan emosional. Sehingga dari pengertian ini, maka sikap filosofis sudah seharusnya bergerak dari kantor-kantor akademik dan ruang kelas turun ke jalan dan pasar dunia. Saat ini kita hidup dalam suatu priode yang mirip dengan perkembangan terakhir dari kebudayaan Renaisance, Reformasi dan Revolusi Industri, di mana saat ini telah terjadi perubahan yang mendasar dalam cara manusia berpikir dalam nilai dan praktek. Saat ini manusia mempunyai kemampuan yang luar biasa dan spetakuler serta loncatan-loncatan raksasa dalam bidang sains, teknologi pertanian, kedokteran, ilmu-ilmu sosial dan sebagainya.

7

Revolusi teknologi sebagai anak kandung filsafat yang tercermin melalui berbagai sikap radikalisme telah melahirkan fluktuasi kondisi, berupa kesalahan besar dalam cara mengurus urusan-urusan manusia, sehingga manusia yang tadinya telah memperoleh kekuatan akibat iptek namun manusia itu sendiri lebih sering mempergunakan kekuatan-kekuatan itu untuk maksud-maksud yang lebih bersifat destruktif. Manusia telah memperluas jangkauan dan kuantitas pengetahuannya, namun hampir sama sekali belum mendekati idealideal individualis dan realisasi diri. Saat ini manusia telah menemukan cara-cara untuk memperoleh keamanan dan kenikmatan; pada waktu yang bersamaan mereka sendiri merasa dirinya tidak aman dan bahkan mereka tetap merasa risau oleh karena adanya ketidakyakinan akan arti dari kehidupan mereka dan mereka tidak tahu arah mana yang mereka pilih dalam kehidupan itu. Dari uraian di atas, maka filsafat itu secara sederhana dapat diartikan cinta atau kecenderungan terhadap kebijakan. Refleksi dari kecenderungan terhadap akan kebijakan itu tercermin ke dalam polarisasi berpikir filosofis yang mempunyai ciri khas dan karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan berbagai disiplin ilmu lain, dan itu juga yang membedakan filsafat dengan ilmu-ilmu lain tersebut.

8 Ciri Berfikir Filsafat1. 2.

3. 4.

5.

6.

7.

Radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akarnya, hingga sampai pada hakikat atau substansi yang dipikirkan. Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia. Kekhususan berpikir kefilsafatan menurut Jasper terletak pada aspek ke-umum-an nya. Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia. Misalnya apakah kebebasan itu? Koheren dan konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai dengan kaidah berpikir logis. Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi (pertentangan). Sistematik, artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu. Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berfikir secara kefilsafatan merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan. Bebas, artinya sampai pada batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas,

8

yakni bebas social, histories, cultural, bahkan religius dari prasangka-prasangka. 8. Bertanggungjawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sekaligus bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya. Paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri.(Rizal, 2001: 4)

Cabang-Cabang FilsafatKarakteristik pemikiran filosofis seperti yang dikutip di atas, telah melahirkan pemetaan wilayah filsafat ke dalam tiga kategorisasi pertanyaan yang mendasar. Hal ini tidak berlebihan, kerena perkembangan paradigma Ilmu Pengetahuan saat ini lebih banyak dikembalikan pada keinginan orang untuk bertanya kemudian mencoba mencari jawabannya, serta bagaimana cara/langkah-langkah apa jawaban itu diperolehnya. Uapaya semcam ini akhirnya merampok dan memporakporandakan sebagian besar wilayah filsafat, dan yang tinggal hanya sedikit sekali. Meskipun sedikit, penulis mencoba untuk mengembalikan pada pemetaan yang mana pemetaan ini menyangkut tiga pertanyaan mendasar. Pertanyaan dasariyah itu terdiri dari: Pertama, tentang segala hal yang ada (being). Yang ada ini dibagi kepada dua kategori yaitu: ontologi (yang jelas-jelas ada) dan metafisika yang kemungkinan ada.. Dalam being, orang seringkali bertanya-tanya, sesungguhnya yang ada itu apa?. Apa yang dilihat di sekitar yang ada; kita seringkali melihat adanya planet, tata surya yang begitu teratur, astronomi, teori makro fisika, fisika quantum, dan lain sebagainya. Tapi masih ada yang disangsikan keberadaannya. Siapa yang percaya adanya hantu atau tuyul?. Adanya sesuatu yang tak dapat dijangkau oleh inderawi. misalnya jiwa, ilusi, eksistensi Tuhan (karena kita dalam ketakutan, mencari rasa aman dari adanya Tuhan). Tetapi yang jelasjelas harus kita sangsikan adalah kehadiran kita sendiri. Tapi bila itu tidak kita sangsikan, tetap saja ada yang menggelitik, yaitu apa yang kita lakukan dan apa yang seharusnya kita lakukan, apa yang kita alami dan bagaimana kita mengalami / menghayati itu. Di tengah-tengan penghayatan itu maka lahirlah teori kedua, yaitu teori nilai yang lebih dikenal dengan sebutan axiologi (nilainilai yang menjadi sumbu prilaku penghayatan dan pengalaman kita). Kita berbicara tentang penghayatan dan pengalaman mengenai perilaku kita, yaitu nilai apa yang dapat dikaitkan tentunya adalah nilai kebaikan. Apakah perilaku kita baik atau tidak, ini adalah bidang etika.

9

Dalam pengalaman penghayatan kita akan merespon segala sesuatu itu indah/tidak indah, masuk lagi bidang estetika. Maka pada bidang kedua ini menyangkut diri kita masing-masing dan menyangkut nilai yang menggerakkan kita. Ketiga, epistemologi. Objek material dari epistemologi ini adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat dari keberadaan pengetahuan tersebut. Dengan memperhatikan objek material dan formal dari epistemology tersebut di atas, maka paling tidak secara sederhana wilayah bahasan epistemology dapat ditelusuri melalui 4 (empat) pokok, yaitu sumber pengetahuan, struktur pengetahuan, keabsahan pengetahuan, batas-batas pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksudkan di sini adalah pengetahuan umum/pengetahuan sehari-hari atau eksistensial pragmatis, artinya berguna untuk diri kita. Secara lebih detail, bahwa wilayah pembahasan epistemologi itu meliputi berbagai persoalan, yaitu: asal muasal pengetahuan, peran serta pengalaman dan akal dalam melahirkan pengetahuan, hubungan antara pengetahuan dengan keniscayaan, hubungan antara pengetahuan dengan kebenaran, kemungkinan adanya skeptisisme universal, dan berbagai bentuk perubahan pengetahuan yang bersumber dari konseptualisasi baru mengenai dunia. Kesemua persoalan tersebut di atas berkait erat dengan persoalan penting filsafat lainnya seperti: kodrat kebenaran, kodrat pengalaman dan makna. (Blacburn, 1994: 123). Dari ketiga pemetaan wilayah filsafat seperti digambarkan di atas, dan dengan mengedepankan pemikiran epistemologis filosofis yang bercirikan pemikiran rasionalitas, lalu lahirlah logika. Logika, sebagai salahsatu cabang dari filsafat yang berkutat dengan persoalan pemikiran atau dengan kata lain kegiatan berpikir yang di dalammya terkandung: nalar, teori atau uraian. Dengan pengertian semacam itu, maka logika dapat dikategorikan sebagai sebuah ilmu, kecakapan atau alat untuk berpikir secara lurus. Sehingga yang menjadi objek material logika adalah pemikiran, sedangkan objek formalnya adalah kelurusan berpikir SUMBER BACAAN Bertens, K., 1979. Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius. Blacburn, Simon, 1994, The Oxford Dictionary of Philosophy, The Oxford University Press.

10

Corner, Stepan, 1971. Fundamental Question In Philosophy, Genius Book. John, K.Roth, 1974. The Problems of The Contemporary Philosophy of Religion. Publishing Company. Rizal, Mustansyir 2001. Filsafat Analitik Sejarah Perkembangan dan Peran para Tokohnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.