alat bukti kelompok 11.docx

42
RESUME TENTANG ALAT BUKTI DALAM HUKUM ACARA PERDATA Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Hukum Acara Perdata Oleh : Miasari Maharta Dewi 110110110198 Andi Dini Tenri Liu 110110110200 Nadya Clara Marcheleim 110110110201 Vega Nidia Atmawijaya 110110110202 Galura Wirayudanto 110110110203 Rio Wirananda 110110110204 Dosen : Dr. H. Isis Ikhwansyah, S.H., M.H., CN. Pupung Faisal, S.H., M.H. FAKULTAS HUKUM

Upload: vega-nidia-atmawijaya

Post on 03-Jan-2016

68 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

RESUME TENTANG ALAT BUKTI DALAM HUKUM ACARA PERDATA

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Hukum Acara Perdata

Oleh :

Miasari Maharta Dewi 110110110198

Andi Dini Tenri Liu 110110110200

Nadya Clara Marcheleim 110110110201

Vega Nidia Atmawijaya 110110110202

Galura Wirayudanto 110110110203

Rio Wirananda 110110110204

Dosen :

Dr. H. Isis Ikhwansyah, S.H., M.H., CN.

Pupung Faisal, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG2013

Page 2: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

1. ALAT BUKTI TERTULISAlat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-

hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti tertulis

diantaranya sebagai berikut.Pertama  adalah surat ialah sesuatu yang memuat tanda-tanda

bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah

pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.

Menurut Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, berpendapat bahwa alat bukti surat atau

tulisan adalah : “segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk

mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai

pembuktian”.1

Surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu:

- Akta, adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang

menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja

untuk pembuktian

- Bukan akta

Sedangkan akta itu sendiri ada dua macam, yaitu :

- Akta otentik

- Akta dibawah tangan

Sedangkan menurut UU No.5 / 1986 pasal 101 bahwa surat sebagai alat bukti terdiri

atas tiga jenis,2 yaitu :

(1) Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum,

yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat ini dengan

maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang

tercantum di dalamnya

1Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet. I., Yogyakarta : 1972, hal. 1002Pasal 101 UU No.5/1986

Page 3: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

(2) Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditanda tangani oleh pihak-

pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti

tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya

(3) Surat-surat lain yang bukan akta.

Akta otentik ada dua macam, yaitu :

a. Akta yang dibuat oleh pejabat (Ambtelijk Akten)

b. Akta yang dibuat dihadapan pejabat (Partij Akten)

2. Perbedaan antara Ambtelijk Akten dan Partij Akten3

NO Aspek/Unsur Ambtelijk Akten Partij Akten

1 Inisiatif dari Perjabat bersangkutan karena

jabatannya

Para pihak karena

kepentingannya

2 Isi akta Ditentukan oleh pejabat yang

bersangkutan berdasarkan

UU

Ditentukan oleh para

pihak

3 Ditanda tangani oleh Pejabat itu sendiri tanpa

pihak lain

Para pihak dan pejabat

yang bersangkutan

4 Kekuatan bukti Tidak dapat digugat kecuali

palsu

Dapat digugat dengan

pembuktian sebaliknya

Bila mana salah satu pihak yang bersengketa membantah keaslian alat bukti surat

yang diajukan oleh pihak lawan, maka hakim dapat melakukan pemeriksaan terhadap

bantahan itu dan kemudian mempertimbangkan dalam putusan akhir mengenai nilai

pembuktiannya. Apabila dalam pemeriksaan persidangan ternyata ada alat bukti tertulis

tersebut ada pada badan atau pejabat TUN, maka hakim dapat memerintahkan badan atau

pejabat TUN tersebut untuk segera menyediakan alat bukti tersebut. Masing-masing alat

3Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 149

Page 4: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

bukti yang berupa surat atau tulisan itu mempunyai bobot kekuatan pembuktian sendiri-

sendiri dan hakim yang akan menentukan bobot atau nilai pembuktian tersebut.4

Pada prinsipnya, kekuatan bukti suatu alat bukti surat terletak pada akta aslinya.

Tindasan, foto copy, dan salinan akta yang aslinya masih ada, hanya dapat dipercaya apabila

tindasan, foto copy dan salinan itu sesuai dengan aslinya. Dalam hubungan ini, hakim dapat

memerintahkan kepada para pihak agar memperlihatkan aslinya sebagai bahan perbandingan,

tetapi apabila lawan mengakui atau tidak membantahnya maka tindasan, foto copy, dan

salinan akta tersebut mempunyai kekuatan pembukti seperti yang asli.5

*AKTA OTENTIK

Diatur dalam pasal 1868 KUHPer yang berbunyi

“suatu akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang undang

oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang unutk itu ditempat akta dibuat”6

Dalam penjelasan pasal ini akta otentik dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang

berwenang yang disebut pejabat umum,apabila yang membuatnya tidak cakap atau tidak

berwenang atau bentuknya cacat maka menurut pasal 1869 KUHper :

-akta tersebut tidka sah atau tidak memenuhisyarat formil sebagai akta otentik,oleh sebab itu

tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik.

-Namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan

dengan syarat apabla akta tersebut ditanda tanganni oleh kedua pihak.

Nilai kekuatan pembuktian akta otentik

1.bila terpenuhi syarat fomil dan materill maka:

a.pada dirinya lansung mencakupi batas minimal pembuktian tanpa bantuan alat bukti

lain.

4Yos Johan Utama, Kiat Berperkara di Peradilan Tata Usaha Negara, Badan Penerbbit UNDIP Semarang, t.th., hal. 485Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung, 1992, hal. 576KUHPER pasal 1868

Page 5: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

b.Lansung sah sebagai alat bukti otentik

c.Lansung melekat nilai kekuatan pembuktian,sempurna,mengikat,

d.Hakim wajib terikat,menganggap akta otentik tersebut benar dan sempurna.

2.Kualitas kekuatan pembuktian akta otentik tidak bersifat memaksa terhadapnya dapat

diajukan bukti lawan.

*AKTA BAWAH TANGAN

Diatur dalam pasal 1874 KUHPer pasal 286 RGB:

-tuilsan atau akta yang ditanda tangani dibawah tangan

-tidak dibuat dan ditanda tanganni dihadapan pejabat yang berwenang,dibauat sendiri oleh

para pihak.

-secara umum terdiri dari segala jenis tulisan yang tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat

meliputi surat-surat,register register.

Segala bentuk tulisan atau akta yang bukan akta otentik adalah akta bawah

tangan,akan tetap dari segi hukum pembuktian agar suatu tulisan bernilai sebagai akta bawah

tangan diperlukan persyratan pokok :

1.surat atau akta tersebut ditanda tangani

2.isi yang diterangkan didalamnya menyangkut perbuatan hukum.

3.sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum yang disebut ddalmnya.7

2. BUKTI SAKSI – SAKSI DAN SAKSI AHLI

Mengenai alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR (ps. 165-179

RBg), 1895 dan 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di

persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan

dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di

7Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, hal. 26

Page 6: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

persidangan.8 Jadi, keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau

kejadian yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperoleh secara

berfikir tidaklah merupakan kesaksian. Keterangan saksi haruslah diberikan secara lisan dan

pribadi di persidangan, jadi harus diberitahukan sendiri dan tidak diwakilkan serta tidak boleh

dibuat secara tertulis. Terhadap saksi yang telah dipanggil dengan patut dan tidak dating

diberi sanksi dan terhadap saksi yang telah dating di persidangan enggan memberi keterangan

dapat diberi sanksi juga.9

Yang dapat didengar sebagai saksi adalah pihak ketiga dan bukan salah satu pihak

yang berperkara (ps. 139 ayat 1 HIR). Baik pihak formil maupun materiil tidak boleh

didengar sebagai saksi. Dalam Hukum Acara Perdata pembuktian dengan saksi sangat

penting artinya, terutama untuk perjanjian – perjanjian dalam hukum adat, dimana pada

umumnya karena adanya saling percaya – mempercayai tidak dibuat sehelai surat pun.10

Dapat tidaknya seorang saksi dipercaya tergantung pada banyak hal yang harus

diperhatikan oleh hakim sebagaimana dinyatakan dalam pasal 172 HIR bahwa dalam

mempertimbangkan nilai kesaksian hakim harus memperhatikan kesesuaian atau kecocokan

antara keterangan para saksi, kesesuaian kesaksian dengan apa yang diketahui dari segi lain

tentang perkara yang disengketakan, pertimbangan yang mungkin ada pada saksi untuk

menuturkan kesaksiannya, cara hidup, adat istiadat serta martabat para saksi dan segala

sesuatu yang sekiranya mempengaruhi tentang dapat tidaknya dipercaya seorang saksi.

Dalam setiap kesaksian harus disebut segala sebab pengetahuan saksi (ps. 171 ayat 1

HIR , 1907 BW). Tidaklah cukup kalau saksi hanya menerangkan bahwa ia mengetahui

peristiwanya. Kesaksian hanyalah dibolehkan dalam pemberitahuan dari orang yang

mengetahui dengan mata kepala sendiri (ratio sciendi). Keterangan saksi yang bukan

merupakan pengetahuan dan pengalaman sendiri tidak dapat membuktikan kebenaran

8 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hlm. 1689 Sudikno Mertokusumo, Ibid. hlm. 16910 Retnowulan Sutantio et. al, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, hlm. 70

Page 7: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

persaksiannya. Mengenai keterangan seorang saksi yang diperoleh dari pihak ketiga atau

testimonium de auditu, pada umumnya tidak diperkenankan karena keterangan itu tidak

berhubungan dengan peristiwa yang dialami sendiri. Dengan demikian, saksi de auditu bukan

merupakan alat bukti dan tidak perlu dipertimbangkan.11

Keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lainnya tidak dianggap sebagai

pembuktian yang cukup seperti dalam asas yang ada pada pasal 169 HIR yaitu seorang saksi

bukan saksi atau unus testis nullus testis. Dalam hal dua orang saksi atau lebih yang memberi

keterangan tentang kejadian yang berlainan tidaklah merupakan unus testis karena

berdasarkan arrest HR 25 November 1948 mengatakan bahwa dua keterangan saksi

mengenai dua peristiwa yang berbeda bersama – sama merupakan bukti yang cukup. Akan

tetapi penilaian mengenai hal tersebut kembali diserahkan kepada penilaian hakim.

Pada asasnya setiap orang yang bukan salah satu pihak dapat didengar sebagai saksi

dan apabila telah dipanggil oleh pengadilan wajib memberi kesaksian. Kewajiban untuk

memberi kesaksian serta sanksi – sanksi yang diancamkan apabila mereka tidak

memenuhinya diatur dalam pasal 139 HIR. Walaupun setiap orang dapat menjadi saksi, tetapi

terdapat pula golongan orang yang dianggap tidak mampu untuk bertindak menjadi saksi,

dibedakan menjadi :

a. Mereka yang tidak mampu secara mutlak (absolute), hakim dilarang untuk mendengar

mereka sebagai saksi, mereka ini ialah :

1) Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah

satu pihak (ps. 145 ayat 1 HIR).

2) Suami atau isteri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai (ps. 145 ayat 1)

b. Mereka yang tidak mampu secara nisbi (relative), adalah mereka yang boleh didengar

tetapi tidak sebagai saksi diantaranya :

1) Anak – anak yang belum mencapai umur 15 tahun (ps. 145 ayat 1 jo. Ayat 4 HIR)

11 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm 172

Page 8: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

2) Orang gila meskipun kadang ingatannya sehat (ps. 145 ayat 1 HIR)

Selain golongan yang telah disebut di atas, terdapat pula golongan yang atas

permintaan mereka sendiri dibebaskan dari kewajibannya untuk memberi kesaksian. Mereka

ini adalah :

a. Saudara laki – laki dan perempuan serta ipar laki – laki dan perempuan dari salah satu

pihak.

b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki – laki dan

perempuan dari suami atau isteri salah satu pihak.

c. Semua orang yang karena martabat, jabatan atau hubungan kerja yang sah diwajibkan

mempunyai rahasia. Hak mengundurkan diri ini diberikan kepada dokter, advocaat,

notaris dan polisi.

Seorang saksi mempunyai kewajiban tertentu diantaranya kewajiban untuk

menghadap, kewajiban untuk bersumpah dan kewajiban untuk memberi keterangan.

SAKSI AHLI

Merupakan keterangan dari pihak ketiga yang obyektif dan bertujuan untuk

membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri.12 Pada

umumnya hakim menggunakan keterangan seorang ahli agar memperoleh pengetahuan yang

lebih mendalam tentang sesuatu yang hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu, misalnya

tentang hal – hal yang bersifat teknis. Bahkan mengenai hukum pun hakim dapat meminta

bantuan seorang ahli, misalnya untuk mengetahui hukum adat setempat, kepala adat atau

suku dapat didengar sebagai ahli.

Keterangan ahli diatur dalam pasal 154 HIR, tetapi mengenai siapa atau apa yang

disebut ahli tidak ditegaskan oleh pasal tersebut, sehingga dengan demikian tentang ahli atau

tidaknya seseorang tidak ditentukan oleh pengetahuannya atau keahliannya yang khusus,

12 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 197

Page 9: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

tetapi ditentukan oleh pengangkatannya oleh hakim.13 Laporan seorang ahli yang telah

diangkat dapat diberikan baik secara lisan maupun tulisan yang diteguhkan dengan sumpah.

Lalu antara saksi dan saksi ahli yang menjadi perbedaannya diantarannya :

Kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan ahli lain untuk memberikan

pendapatnya. Sedangkan saksi pada umumnya tidak diperbolehkan demikian karena

saksi tidak boleh diganti dengan saksi lain.

Apabila dalam saksi kita mengenal asas satu saksi bukan saksi (unus testis nullus

testis), tidak demikian dengan ahli. Satu ahli cukup untuk didengar mengenai satu

peristiwa.

Seorang ahli pada umumnya mempunyai keahlian tertentu yang berhubungan dengan

peristiwa yang disengketakan, sedangkan saksi tidak memerlukan keahlian tertentu.

Seorang saksi memberi keterangan yang dialaminya sendiri sebelum terjadi proses,

sedangkan ahli memberikan pendapat atau kesimpulannya tentang suatu peristiwa

yang disengketakan selama terjadinya proses.

Saksi harus memberikan keterangan secara lisan, keterangan saksi yang ditulis

merupakan alat bukti tertulis, sedangkan keterangan ahli yang ditulis tidak termasuk

dalam alat bukti tertulis.

Hakim terikat untuk mendengar saksi yang akan memberikan keterangan tentang

peristiwa yang relevan, sedangkan mengenai ahli, hakim bebas untuk mendengar atau

tidak.14

Apabila saksi maupun ahli didengar di persidangan, maka keterangan maupun apa

yang terjadi di persidangan yang relevan harus dicatat dalam berita acara persidangan dan

kalaupun keterangan ahli yang telah dicatat dalam berita acara tidak digunakan oleh hakim

maka alasannya mengapa tidak digunakan harus dimuat dalam putusannya.

13 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 19814 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 199

Page 10: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

3. PERSANGKAAN

Apabila dalam suatu pemeriksaan perkara perdata sukar untuk mendapatkan saksi

yang melihat,mendengar atau merasakan sendiri maka peristiwa hukum yang harus

dibuktikan diusahakan agar dapat dibuktikannya dengan persangkaan-persangkaan. Kata-kata

“Persangkaan” dalam pasal 163 HIR dirasa kurang tepat, seharusnya adalah persangkaan-

persangkaan karena satu persangkaan saja tidak cukup untuk membuktikan sesuatu,

dibutuhkan banyak persangkaan.15

Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang dianggap telah

terbukti, lalu peristiwa yang dikenal, karena suatu peristiwa yang belum terbukti. Yang

menarik kesimpulan tersebut adalah hakim atau undang-undang. Persangkaan Hakim adalah

sehubungan dengan adanya gugatan, perceraian yang didasarkan atas perzinahan. Adalah

sukar sekali untuk menemukan saksi-saksi yang melihat sendiri waktu perzinahan tersebut

terjadi. Oleh karena itu sudah menjadi yurisprudensi tetap, bahwa apabila dua orang pria dan

wanita dewasa yang bukan suami-isteri itu tidur bersama satu kamar yang hanya mempunyai

satu tempat tidur maka untuk perbuatan perzinahan telah terdapat satu persangkaan hakim.

Persangkaan Hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas, dengan perkataan

lain terserah kepada penilaian hakim yang bersangkutan, kekuatan bukti apa yang akan

diberikan kepada persangkaan hakim tertentu itu, apakah akan dianggap sebagai alat bukti

yang berkekuatan sempurna atau sebagai bukti permulaan atau tidak diberi kekuatan apapun

juga.16

Bab keempat buku keempat BW, tegasnya pasal 1915 dan seterusnya mengatur

tentang persangkaan-persangkaan. Selain persangkaan hakim, dikenal juga persangkaan

undang-undang. Menurut pasal 1916 BW, persangkaan undang-undang ialah persangkaan

15 Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam teori dan praktik,Bandung : Mandar Maju, 2009, hlm. 7716 Retnowulan Sutantio et. al, Ibid. hlm. 77

Page 11: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan

tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu.

Persangkaan – persangkaan semacam itu diantaranya17 :

1. Perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena semata-mata demi sifat

dan wujudnya dianggap telah melakukan untuk menyelundupi suatu ketentuan

undang-undang

2. Hal-hal dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan

utang disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu

3. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah

salah satu pihak

4. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan hakim yang telah

memperoleh kekuatan mutlak

Sehubungan dengan macam-macam persangkaan undang-undang tersebut yang dikenal

dalam BW harus dikemukakan bahwa karena BW hanya berlaku untuk golongan-golongan

tertentu saja, maka persangkaan-persangkaan undang-undang tersebut diatas dalam hukum

acara perdata kita harus anggap sebagai bahan perbandingan saja, yang oleh hakim masih

harus dipertimbangkan apakah dalam suatu kasus tertentu, berlaku ketentuan-ketentuan

tersebut.18

Dalam persoalan adat waris, sering dipergunakan persangkaan hakim, bahwa oleh karena

penggugat sudah dua puluh tahun lebih tinggal diam tanpa ada sesuatu alasan yang sah hal itu

memberi persangkaan hakim yang beralasan, bahwa penggugat sesungguhnya tidak berhak

atas sawah/tanah yang dipersengketakan lagi.

Pasal 164 HIR, 284 Rbg, 1866 BW menyebut sebagai alat bukti sesudah saksi adalah

persangkaan-persangkaan. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan persangkaan tidak lain

17 Burgerlijk Wetboek, Pasal 191618 Ibid, op.cit., hlm. 79

Page 12: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. Misalnya, pembuktian daripada ketidakhadiran

seseorang pada suatu waktu di tempat tertentu dengan membuktikan kehadirannya pada

waktu yang sana di tempat lain. Dengan demikian maka setiap alat bukti dapat menjadi

persangkaan. Bahkan hakim dapat menggunakan peristiwa prosesuil maupun peristiwa notoir

sebagai persangkaan.19

Ada 2 bentuk persangkaan menurut undang-undang :

1. Praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang

memungkinkan adanya pembuktian lawan

2. Praesumptiones juris et de jure, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang tidak

memungkinkan pembuktian laan.

Persangkaan diatur dalam Pasal 172 HIR, Pasal 310 RBg, Pasal 1915-1922 BW.

4. PENGAKUAN

Dibedakannya antara pengertian hukum perdata materiil dengan hukum perdata

formal (hukum acara perdata) dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa keduanya memang

berbeda secara substansial.Hukum perdata materiil merupakan kumpulan kaidah hukum yang

mengatur atau berisi hak-hak dan kewajiban- kewajiban para subjek hukum. Sedangkan

hukum acara perdata adalah kumpulan kaidah hukum yang berisi tentang pengaturan

bagaimana cara-cara mempertahankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban apabila dilanggar

subjek hukum lain.

Kebutuhan terhadap hukum acara merupakan tuntutan dari hukum materiil itu sendiri.

Hal itu disebabkan tanpa ada hukum acara tentu saja perselisihan atau sengketa yang timbul

diantara para subjek hukum yang mengadakan hubungan hukum akan sangat sulit dipulihkan.

Oleh karena itu keberadaan hukum acara pada dasarnya adalah sebagai jaminan atas

penegakan hak atau kewenangan subjek hukum terhadap objek hukum tertentu.Pada akhirnya

tujuan dari adanya hukum acara adalah simultan dengan tujuan hukum secara keseluruhan

19 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 2009, hlm 179

Page 13: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

yakni terciptanya ketertiban dan ketenteraman masyarakat.

Hukum perdata materiil juga berbeda dengan hukum acara perdata, karena hukum

perdata materiil adalah hukum privat sedangkan hukum acara perdata adalah hukum publik.

Pembedaan ini pun terjadi karena adanya perbedaan kepentingan yang dilindungi. Hukum

perdata materiil berisi kaidah yang mengatur kepentingan individu atau perorangan

(mengandung sifat keperdataan) sedangkan hukum acara perdata sebagai kaidah yang

mengatur tentang bagaimana mempertahankan hukum materiil jika hukum materiil itu

dilanggar, ini menyangkut kepentingan umum (mengandung sifat publik).

Hukum acara perdata di samping mengandung sifat-sifat sebagai hukum publik, juga

mengandung sifat-sifat keperdataan. Sifat keperdataan itu tampak dalam hal kaidah-kaidah

yang mengatur tentang hak dan wewenang yang dilakukan oleh para pihak untuk

mempertahankan kepentingannya. Sedangkan sifat publiknya tampak dalam kaidah yang

mengatur tentang tata cara hakim sebagai aparatur negara menjalankan tugasnya dan terdapat

ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan oleh hakim yang harus ditaati.

Ketentuan-ketentuan yang bersifat publik tersebut tidak boleh dikesampingkan.

Umpamanya saja, kaidah tentang tata cara mengajukan gugatan, batas waktu mengajukan

banding maupun kasasi, tentang kekuatan alat-alat bukti yang diajukan para pihak di depan

sidang pengadilan, dan lain-lain.

Menyangkut masalah kekuatan pembuktian, mengingat kekuatan pembuktian dari

alat-alat bukti merupakan sifat publik dari hukum acara perdata, maka hakim diharuskan

percaya kepada kekuatan alat bukti yang diajukan para pihak. Dengan demikian hakim

perdata tidak boleh memeriksa secara mendalam tentang latar belakang pernyataan para

pihak di persidangan. Tentang apakah pengakuan yang dikemukakan itu palsu atau tidak,

demikian pula apakah sumpah yang diucapkan itu palsu atau tidak, itu semua merupakan

tugas dan wewenang hakim pidana.

Page 14: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

Sebagai alat bukti, Pengakuan mempunyai dasar hukum sebagaimana diatur dalam

pasal 174,175 dan 176 HIR, 311,312 dan 313 R.Bg dan pasal 1923-1928 BW. Menurut Prof.

MR.A.Pitlo sebagaimana yang dikutip oleh Teguh Samudera,SH mengemukakan bahwa:

Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia

mengakui apa- apa yang dikemukakan oleh pihak lawan.

Pengakuan masih diperselisihkan oleh para ahli hukum sebagai alat bukti. Prof. R.

Subekti,SH mengatakan bahwa tidak tepat memasukkan pengakuan sebagai alat bukti, karena

justru apabila dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak lain, maka yang mengemukakan dalil

itu dibebaskan dari pembuktian, sedangkan Prof. Schoeten dan Load Enggens berpendapat

bahwa pengakuan sebagai alat bukti merupakan hal yang tepat, karena suatu pengakuan di

muka hakim bersifat suatu pernyataan oleh salah satu pihak yang berperkara dalam proses

persidangan. Pengakuan merupakan pernyataan kehendak (wisverlaring) dari salah satu pihak

yang berperkara.Dengan demikian semua pernyataan yang bersifat pengakuan di muka hakim

merupakan suatu perbuatan hukum (rechtshadeling) dan setiap perlawanan hukum itu

merupakan suatu hal yang bersifat menentukan secara mutlak

(berchikkingshandeling).Demikian juga dengan pengakuan yang diucapkan oleh salah satu

pihak dalam persidangan, misalnya terhadap hal- hal kebendaan (vermogensrechten) yang

dimiliki sendiri perbuatan yang dilakukan sendiri olehnya.

Oleh karena dalam pasal 174-176 HIR, pasal 311-313 R.Bg. dan pasal 1923-1928 KUH

Perdata telah ditetapkan bahwa “pengakuan” merupakan alat bukti, maka demi kepastian

hukum harus dinyatakan bahwa pengakuan itu merupakan alat bukti yang sah menurut

hukum.

A. Faktor-faktor yang Mendukung Timbulnya Pengakuan

Hakim sebagai organ pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan

mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas,

Page 15: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.20Dalam menyelesaikan setiap sengketa

yang diajukan kepadanya, hakim memerlukan pembuktian terhadap peristiwa yang diajukan

para pihak.

Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup

kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang

kebenaran peristiwa yang diajukan.21

Menurut sifatnya alat bukti dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: Pertama,

bukti yang berasal dari diri para pihak (pengakuan dan sumpah). Kedua, alat-alat bukti yang

berasal dari luar diri para pihak (surat-surat, persangkaan hakim, dan keterangan para saksi).

Alat bukti yang berasal dari diri para pihak dan diberikan berdasarkan atas kejujuran

maka dapat dianggap terbukti sebagai suatu peristiwa tertentu. Sedangkan alat bukti yang

berasal dari luar para pihak kadang-kadang masih perlu didukung oleh alat-alat bukti lain,

terutama apabila peristiwanya tidak dapat dianggap terbukti. Umpamanya saja, hanya

terdapat satu orang saksi.Padahal diketahui dari adagium bahwa "satu saksi itu bukan saksi"

(Unus testis nullus testis).Keterangan seorang saksi tidak dianggap sebagai suatu kesaksian

yang kuat di dalam hukum.Hal itu terutama untuk menghindari adanya kelemahan-kelemahan

yang terkandung di dalam kesaksian itu.Kelemahan yang dimaksud, baik yang berasal dari

iktikad buruk orang yang memberi kesaksian itu maupun kelamahan yang tidak

disengaja.Sebagai contoh umpamanya, diajukan saksi seseorang yang kurang ingatannya.

Atau dapat juga saksi yang keterangannya diperoleh dari orang lain (kesaksian de auditu).

Padahal kesaksian de auditu tidak dapat dianggap sebagai alat bukti kesaksian.

Demikian pula halnya dengan alat bukti surat yang kemungkinannya masih harus

dibebani dengan alat bukti lain, jika peristiwanya masih belum dianggap terbukti. Ukuran

20Pasal 14 ayat (1) U.U. No. 14 Tahun 1970.Lihat pula penjelasan pasal tersebut.

21R.M. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara PerdataIndonesia. Yogyakarta:Liberty, 1985,halaman 107.

Page 16: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

perbedaan kekuatan sebagai alat bukti adalah karena besar atau kecilnya kemungkinan

mendekati kepada kebenaran.Akta otentik umpamanya, lebih besar kemungkinan mendekati

kepada kebenaran, karena telah dikuatkan oleh pejabat yang berwenang.Oleh karena itu

barangsiapa yang mengajukan akta otentik sebagai alat bukti di persidangan, maka akta

otentik tersebut mempunyai kekuatan bukti yang sempurna.Sebagai kon sekuensinya,

barangsiapa yang membantah keabsahan dari akta otentik itu harus membuktikan bahwa akta

tersebut tidak benar.Sebaliknya, menyangkut akta di bawah tangan, jika akta di bawah tangan

dibantah kebenarannya, maka barangsiapa yang mengajukan akta di bawah tangan tersebut

sebagai alat bukti, maka yang bersangkutan harus mebuktikan kebenarannya.

Kemudian menyangkut masalah bukti persangkaan hakim, untuk alat bukti ini masih

memerlukan adanya bukti-bukti lain. Ini disebabkan persangkaan hakim itu timbul

berdasarkan adanya bukti atau dalil-dalil lain yang diajukan para pihak.

a) Faktor Keinsyafan Batin Manusia"...Pengakuan di muka hakim di persidangan

(gerechtelijke bekentenis)merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang

tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan, yang

membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan

hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh

hakim tidak perlu lagi...".22

Dari batasan di atas dapat difahami bahwa pengakuan merupakan pernyataan

dari salah satu pihak di persidangan, yang timbul atas dorongan naluriah manusia.Naluri

manusia-lah yang mengarahkan untuk mewujudkan cita-cita kebenaran.Oleh karena itu maka

pengakuan yang jujur merupakan pernyataan dari salah satu pihak untuk mengemukakan

yang benar, walaupun merugikan dirinya sendiri.

O. Notohamidjojo,23dalam bukunya mengemukakan antara lain bahwa: "...keinsyafan

22R.M. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara... Op. Cit., halaman 107.

23O. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, Beberapa Bab dalam Filsafat Hukum. Jakarta: BPK

Page 17: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

batin atau nurani manusia adalah sebagai alat pengontrol dalam diri manusia untuk memihak

kepada yang baik dalam menghadapi suatu keadaan antara yang baik dan yang buruk, antara

salah dan benar...".

Pembahasan tentang pengakuan pada hakikatnya merupakan suatu tinjauan tentang

kepribadian manusia itu sendiri.Hal itu karena pengakuan timbul berdasarkan dorongan

keinsyafan batin manusia.Pengakuan itu berarti membenarkan tentang suatu hal atau

kejadian.Oleh karena itu maka pengakuan yang patut dihargai adalah pengakuan yang jujur

atau yang benar-benar timbul dari keinsyafan batin para pihak yang berperkara. Pengakuan

yang timbul karena keinsyafan batin ini tidak diragukan lagi bahwa akan selaras dengan

kebenaran, atau telah sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya telah terjadi.

b) Faktor Pemikiran yang Logis

Untuk menentukan kebenaran terhadap suatu kejadian atau peristiwa tertentu

diperlukan akal, sementara akal itu dimiliki oleh setiap orang.Akal itulah yang menjadi hakim

dalam diri seseorang yang senantiasa memberikan pertimbangan dalam menjatuhkan suatu

keputusan atas setiap kejadian.

Faktor pikiran logis ini merupakan pendukung bagi para pihak untuk memberikan

pengakuan yang jujur, sebab akal yang ada padanya dapat menentukan pilihannya, untuk

melakukan yang sesuai dengan kebenaran sebagai yang diharapkan. Untuk dapat menentukan

pilihannya itu maka ia berpedoman kepada kaidah-kaidah tentang apa yang harus dilakukan

dalam kehidupan sehari-hari.

Soedjono Dirdjosisworo,24mengemukakan bahwa masalah kepatuhan hukum itu

menyangkut kemampuan individu dalam menghayati aturan hukum yang dibentuk.

Menghayati benar atau tidak kaidah hukum yang dihadapinya akan menetapkan pilihan sikap

Gunung Mulia, 1975, halaman 21.

24Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar tentang Psikologi Hukum. Bandung: Alumni, 1983, halaman 75.

Page 18: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

untuk patuh atau menyeleweng dari patokan kaidah yang ada. Kesadaran seseorang untuk

melakukan perilaku yang sesuai dengan hukum, berkaitan dengan penilaian yang diberikan

untuk melakukan perilaku tersebut.Penilaian tersebut timbul oleh karena manusia di dalam

menentukan kehendaknya sangat ditentukan oleh keserasian antara pikiran dengan

perasaannya.

Dalam HIR ketentuan yang mengatur perihal pengakuan adalah pasal-pasal 174, 175,

dan 176. Ada 2 (dua) macam pengakuan yang dikenal dalam hukum acara perdata, yaitu:

1. Pengakuan yang dilakukan di depan sidang

Menurut ketentuan pasal 174 HIR, bahwa pengakuan yang diucapkan di depan

hadapan hakim menjadi bukti yang cukup untuk memberiatkan orang yang mengaku itu, baik

pengakuan itu diucapkan sendiri, baik pun diucapkan oleh seorang yang istimewa dikuasakan

untuk melakukannya. Pengakuan yang dilakukan di depan sidang mempunyai kekuatan bukti

yang sempurna. Untuk pengakuan yang dilakukan di depan sidang mempunyai kekuatan

bukti yang sempurna. Untuk pengakuan yang dilakukan di depan sidang, hakim harus

menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu adalah benar, meskipun sesungguhnya

belum tentu benar, akan tetapi karena adanya pengakuan tersebut, gugatan yang didasarkan

atas dalil-dalil itu harus dikabulkan. Pengakuan di depan sidang tidak boleh ditarik kembali.

Pengecualian terhadap azas itu ialah, apabila pengakuan itu merupakan suatu kekhilafan

mengenai hal-hal yang terjadi. Suatu pengakuan di depan sidang dalam proses tertulis,

dilakukan tertulis dalam surat jawaban, di mana kekuatan pembuktiannya dipersamakan

sebagai suatu pengakuan secara lisan di depan sidang. Apabila ditinjau dari Burgerlijk

Wetboek, pengakuan yang dikemukakan di depan sidang merupakan persangkaan undang-

undang. Salah satu persangkaan undang-undang yang disebut dalam ketentuan pasal 1916

BW adalah pengakuan di depan sidang.

2. Pengakuan yang dilakukan di luar persidangan

Page 19: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

Dalam pasal 175 HIR diatur perihal pengakuan yang dilakukan diluar sidang yang

berbunyi, bahwa diserahkan kepada pertimbangan dan awasan hakim, akan menentukan

kekuatan mana akan diberikannya kepada suatu pengakuan dengan lisan yang diperbuat di

luar hukum. Mengenai pengakuan di luar sidang perihal penilaian terhadap kekuatan

pembuktiannya, diserahkan kepada kebijaksanaan hakim, atau dengan lain perkataan

merupakan bukti bebas. Hal itu berarti, bahwa hakim leluasa untuk memberi kekuatan

pembuktian, atau pula, hanya menganggap sebagai bukti permulaan.Bagi pengakuan di luar

sidang yang dilakukan secara lisan, apabila dikehendaki agar dianggap terbukti adanya

pengakuan semacam itu, masih harus dibuktikan lebih lanjut dengan saksi atau alat-alat bukti

lainnya.

Di samping pengertian pengakuan bulat atau pengakuan yang murni, di mana semua

dalil yang dikemukakan oleh pihak lawan diakui sepenuhnya, dalam hukum acara perdata

dikenal pula apa yang dinamakan pengakuan berembel-embel. Tentang pengakuan berembel-

embel ada 2 macam, yaitu:

1. Pengakuan dengan klausula

Contohnya: Benar saya berhutang, akan tetapi hutang tersebut sudah saya bayar. Benar saya

telah membelinya dan pula barangnya sudah saya terima, akan tetapi saya

sudah membayarnya harga barang tersebut.

2. Pengakuan dengan kualifikasi

Contohya: Benar saya membelinya, akan tetapi setelah dicoba dan saya setuju (di sini

ada syarat tangguh).

Pengakuan dengan kualifikasi ini menunjukkan, bahwa hubungan hukum antara

kedua belah pihak lain daripada yang menjadi dasar gugatan.

Pasal 176 HIR memuat azas “onsplitbaar aveu”, pengakuan yang tidak boleh dipisah-

pisah. Hal ini berarti kalau seperti dalam contoh di atas tadi seorang telah mengakui bahwa ia

Page 20: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

benar berhutang akan tetapi sudah membayar, maka itu berarti bukan suatu pengakuan bahwa

ia berhutang. Suatu pengakuan dengan embel-embel tadi berarti, bahwa ia menyangkal masih

berhutang; perihal adanya hutang masih harus dibuktikan. Maksud dari azas ini adalah untuk

melindungi pihak yang jujur, yang secara terus terang mengemukakan segala hal yang telah

terjadi dengan sebenarnya, oleh karena itu ia, sebagai orang yang jujur itu, harus dilindungi.

(Putusan Mahkamah Agung tertanggal 25 November 1976 No. 22 K/Sip/1973 yang

menyatakan: “Dalam hal ada pengakuan yang terpisah-pisah, hakim bebas untuk

menentukan berdasarkan rasa keadilan pada siapa harus dibebankan pembuktian”, termuat

dalam Yurisprudensi Indonesia 1978 – II, halaman 273).

Bagian terakhir dari pasal 176 HIR tersebut menyatakan, bahwa larangan memisah-

misahkan suatu pengakuan tidak berlaku lagi, apabila tergugat dalam pengakuannya tadi,

guna membebaskan dirinya telah mengemukakan peristiwa-peristiwa yang ternyata palsu.

Hal ini berarti, bahwa apabila penggugat bisa membuktikan, bahwa dalil-dalil yang

dikemukakan oleh tergugat sebagai pembebasan adalah palsu, maka pengakuan berembel-

embel tadi oleh hakim dapat dianggap sebagai pengakuan yang murni.

B. Nilai Pembuktian Pengakuan dalam Persidangan.

1. Nilai pembuktian pengakuan murni dan bulat.Batas minimal pembuktian pengakuan

murni dapat merujuk pada ketentuan pasal 174 HIR, 311 R.Bg dan 1925 BW:

a. Pengakuan murni mengandung nilai pembuktian yang:

sempurna (volledeg)

mengikat (bindend), dan

menentukan atau memaksa (beslisend, dwingend)

b. Oleh karena itu, alat bukti pengakuan murni dan bulat, dapat berdiri sendiri sebagai

alat bukti, dan tidak memerlukan tambahan atau dukungnan dari alat bukti yang lain.

c. Dengan demikian pada diri alat bukti pengakuan yang murni dan bulat, sudah

Page 21: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

dengan sendirinya tercapai batas minimal pembuktian.

2. Nilai pembuktian pengakuan bersyarat:

a. Tidak mempunyai nilai yang sempurna, mengikat dan menentukan.

b. Oleh karena itu tidak dapat berdiri sendiri,

c. Harus dibantu sekurang-kurangnya dengan salah satu alat bukti yang lain.

Maka nilai kekuatan pembuktiannya menjadi bersifat berkekuatan pembuktian

bebas.Pada kesempatan ini dapat juga ditambahkan bahwa Pencabutan atau

penarikan kembali pengakuan hanya dimungkinkan apabila:

Karena kekeliruan terhadap kenyataan peristiwa (dwaling).

Pencabutan diganti dengan keterangan yang dapat dibuktikan kebenarannya

dengan dalil baru.

Sebagai salah satu alat bukti di dalam hukum acara perdata, pengakuan tetap perlu

dipertahankan.Ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengakuan dapat menyelesaikan

suatu persoalan atau sengketa dengan menetapkan hak atau hukumnya antara para pihak yang

bersangkutan.Akan tetapi untuk menghindari pengakuan palsu dari salah satu pihak, maka

penggugat masih perlu dibebani dengan beban pembuktian, kendati sudah ada pengakuan dari

pihak lawan.

Kedua, Perkembangan yurisprudensi menunjukkan antara lain bahwa pengakuan

sebagai alat bukti tidak selalu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Oleh karena

itu untuk menilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim.Ini

berarti peranan pengakuan sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata sangat tergantung

kepada kasusnya masing-masing.

Ketiga, Ketentuan tentang pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbare

aveu) tetap perlu dipertahankan. Namun perlu diberi kebebasan kepada hakim untuk memberi

kekuatan pembuktian ini sebagai alat bukti yang sempurna atau tidak, tergantung pada

Page 22: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

keadaan yang bersangkutan. Hal ini perlu diperhatikan tidak lain untuk melindungi kedua

belah pihak secara proporsional.

Keempat, Dalam memeriksa perkara perdata, hakim seyogianya mengutamakan

kepentingan para pihak, daripada sifat formalnya hukum acara perdata. Artinya hakim perlu

menyelaraskan kaidah-kaidah hukum acara perdata dengan perkembangan masyarakat yang

menghendakinya.

Kelima, Dalam hukum acara perdata, hakim juga seyogianya tidak hanya mencari kebenaran

formal semata-mata, melainkan harus senantiasa berusaha mencari dan menemukan

kebenaran material.

Keenam, Mempercepat proses pemeriksaan dalam pembuktian adalah tugas hakim

dalam rangka mewujudkan proses pemeriksaan perkara yang sederhana, cepat, dan biaya

ringan.

5. SUMPAH

Pada hakekatnya sumpah merupakann tindakan yang bersifat religius yang digunakan

dalam pengadilan. Pada umunya sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang

diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan

sifat mahakuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau

janji yang tidak benar akan dihukum olehNya.25

Terdapat 2 (dua) macam sumpah yaitu sumpah promisoir dan sumpah assetoir atau

sumpah confirmatoir. Sumpah promisoir adalah sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak

melakukan sesuatu. Yang termasuk sumpah promisoir yaitu sumpah saksi dan sumpah (saksi

ahli). Sumpah assetoir atau sumpah confimatoir adalah sumpah untuk memberi keterangan

guna mneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak. Yang dimaksud sumpah

promissoir yaitu sumpah sebagai alat bukti.

25 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hlm.189

Page 23: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

Alat bukti sumpah diatur dalam pasal 155-158 dan 177 HIR, pasal 182-185 dan 314

Rbg, pasal 1929-1945 BW. Yang disumpah ialah salah satu pihak, penggugat atau tergugat,

oleh karena itu yang menjadi alat bukti adalah keterangan salah satu pihak yang dikuatkan

dengan dengan sumpah dan bukannya sumpah itu sendiri.26

Di dalam HIR disebutkan 3 (tiga) macam sumpah sebagai alat bukti:27

1) Sumpah Suppletoir

Sumpah suppletoir diatur dalam pasal 155 HIR, 182 Rbg, 1940 BW. Sumpah suppletoir

atau sumpah pelengkap ialah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya

kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa

sebagai dasar putusannya.

Tanpa adanya bukti sama sekali hakim tidak boleh memerintahkan atau membebani

sumpah suppletoir, demikian juga apabila alat buktinya cukup lengkap. Hakim yang

mempunyai inisiatif untuk membebani sumpah. Yang harus dipertimbangkan oleh hakim

ialah pihak manakah yang dengan bersumpah suppletoir itu sekiranya akan menjamin

kebenaran peristiwa yang menjadi sengketa. Pihak yang diperintahkan oleh hakim untuk

bersumpah suppletoir tidak boleh mengabaikan sumpah suppletoir tersebut kepada lawannya,

ia hanya dapat menolak atau menjalankannya.

2) Sumpah Penaksiran

Sumpah penaksiran diatur dalam pasal 155 HIR, pasal 182 Rbg, pasal 1940 BW. Sumpah

penaksiran ialah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat

untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian.

Hakim karena jabatan dapat mengabulkan sejumlah uang yang harus dibayar oleh pihak

tergugat, besarnya kerugian akan ditetapkan atau ditaksir oleh pengadilan.28 Kekuatan

26 Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, hlm.8527 Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm.18928 Retnowulan Sutantio, Op.Cit, hlm.89

Page 24: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

sumpah penaksiran ini sama dengan sumpah suppletoir yang dimana bersifat sempurna dan

masih memungkinkan pembuktian lawan.

3) Sumpah Decisoir

Sumpah decisoir diatur dalam pasal 156 HIR, 183 Rbg, 1930 BW. Sumpah decisoir

adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya. Sumpah

decisoir menentukan siapa yang harus dikalahkan dan siapa yang harus dimenangkan. Pihak

yang meminta lawannya mengucapkan sumpah disebut deferent, sedangkan pihak yang harus

bersumpah disebut delaat.

Sumpah decisoir dapat dibebankan atau diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian

sama sekali, pembebanan sumpah decisoir ini dapat dilakukan setiap saat selama pemeriksaan

persidangan.

Akibat dari mengucapkan sumpah decisoir ini ialah bahwa kebenaran peristiwa yang

dimintakan sumpah menjadi pasti dan pihak lawan tidak boleh membuktikan bahwa sumpah

itu palsu, tanpa mengurangi wewenang jaksa untuk menuntut berdasarkan sumpah palsu

(pasal 242 KUHP), sehingga merupakan alat bukti yang bersifat menetukan. Menolak untuk

mengucapkan sumpah decisoir akan mengakibatkan dikalahkannya delaat. Siapa yang

dibebani sumpah decisoir tetapi menolak dan tidak juga mengembalikan sumpah kepada

deferent atau siapa yang memerintahkan pihak lawan untuk bersumpah, tetapi dikembalikan

oleh delaat kemudian deferent menolak untuk bersumpah, haruslah dikalahkan.

Tidak setiap sumpah decisoir dapat dikembalikan. Sumpah decisoir baru dapat

dikembalikan oleh delaat apabila sumpah itu bagi deferent berhubungan dengan perbuatan

yang dilakukannya sendiri dan bukan dilakukan bersama-sama, dengan pihak lawan (pasal

1933 BW). Sumpah decisoir dapat berupa sumpah pocong, sumpah mimbar (sumpah di

gereja) dan sumpah klenteng.

Page 25: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

Sumpah harus dilakukan dipersidangan, kecuali karena alas an-alasan yang sah

penyumpahan tidak dapat dilangsungkan dipersidangan, dan hanya dapat dilakukan di

hadapan lawannya (pasal 158 HIR, 185 Rbg, 1944-1945 BW)29

6. BUKTI ELEKTRONIK

Dengan berlakunya pengaturan tentang dokumen perusahaan, dapat dikatakan hukum

Indonesia sudah mulai menjangkau bukti elektronik, karena telah memberi kemungkinan

kepada dokumen perusahaan yang telah diberi kedudukan sebagai alat bukti tertulis otentik

untuk diamankan melalui penyimpanan dalam bentuk mikro film.30 Selanjutnya dokumen

tersebut dapat dijadikan alat bukti yang sah seandainya kelak terjadi sengketa ke pengadilan.

Dalam perkembangannya, UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik melalui Pasal 5 mengatur tentang bukti elektronik, yang mengatakan bahwa :

(1) Informasi dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti

yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah.

(2) Informasi dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) merupakan perluasaan dari alat bukti yang sah sesuai dengan

hukum acara yang berlaku di Indonesia.

(3) Informasi dan atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem

Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang – Undang ini.

(4) Ketentuan mengenai informasi dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) tidak berlaku untuk :

a. Surat yang menurut undang – undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan

b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang – undang harus dibuat dalam

bentuk akta notaries atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

29 Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm.19430 Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, hlm. 29

Page 26: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

Selanjutnya dalam pasal 6 mengatur bahwa dalam kaitannya dengan ketentuan yang

mengatur suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, untuk informasi elektronik

dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya

dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga

menerangkan suatu keadaan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum bentuk alat bukti

elektronik itu adalah informasi elektronik, dokumen elektronik dan keluaran computer

lainnya. Di samping itu, dalam praktik terjadinya pula pemeriksaan saksi sebagai alat bukti

dengan menggunakan perangkat elektronik yang dinamakan video conferences (atau

pemeriksaan saksi melalui teleconference). Hal ini dilakukan manakala saksi yang akan

diperiksa tidak dapat hadir secara fisik di persidangan karena berada di luar negeri, sementara

kesaksiannya sangat diperlukan dalam persidangan yang sedang berlangsung di pengadilan.

Pemeriksaan saksi jarak jauh ini dalam praktik pernah dilakukan pada perkara pidana,

tentunya hal ini dapat saja dilakukan dalam pemeriksaan sengketa perdata di pengadilan.31

Dalam bukunya, Efa Laela, menyatakan bahwa pemeriksaan saksi melalui

teleconference tidaklah bertentangan dengan hukum acara yang berlaku (HIR/RBg) yang

menentukan bahwa saksi harus memberikan keterangannya secara lisan dan pribadi langsung

di muka persidangan (sebagaimana tersirat dalam pasal 140 HIR/166 RBg ayat 1), hanya

terdapat perbedaan dalam hal tempat keberadaan saksi antara dunia maya dan nyata.

DAFTAR PUSTAKA

31 Efa Laela Fakhriah, Ibid. hlm. 31

Page 27: ALAT BUKTI KELOMPOK 11.docx

Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata. Bandung : Alumni,

2009

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

1996

O. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, Beberapa Bab dalam Filsafat Hukum.

Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975

Retnowulan Sutantio et. al, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung :

Mandar Maju, 2009

R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta : Pradnya Paramita, 1994

Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar tentang Psikologi Hukum. Bandung: Alumni, 1983

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara PerdataIndonesia. Yogyakarta:Liberty, 1985

Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Bandung : Alumni, 1992

Yos Johan Utama, Kiat Berperkara di Peradilan Tata Usaha Negara, Badan Penerbit UNDIP

Semarang, t.th