skripsi peranan visum et repertum sebagai alat bukti …
TRANSCRIPT
SKRIPSI
PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM
PEMBUKTIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN BERAT
(STUDI KASUS PUTUSAN NO. 2107/Pid.B/2016/PN MKS)
OLEH:
SRI NURFADILLAH DH PASHA
B111 14 066
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
HALAMAN JUDUL
PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM
PEMBUKTIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN BERAT
(STUDI KASUS PUTUSAN NO. 2107/PID.B/2016/PN.MKS)
OLEH
SRI NURFADILLAH DH PASHA
B111 14 066
SKRIPSI
Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana
dalam Program Kekhususan Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ii
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Diterangkan bahwa skripsi dari:
Nama : Sri Nurfadillah DH Pasha
Nomor Pokok : B 111 14 066
Bagian : Hukum Pidana
Judul : Peranan Visum et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam
Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan
Berat (Studi Kasus Putusan No. 2107/Pid.B/2016/PN
Mks)
Telah di periksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian Skripsi.
Makassar, Januari 2018
Pembimbing I
Prof.Dr.H. M. Said KarimS.H.,M.H.,M.Si.,CLA
NIP. 19620711 198703 1 001
Pembimbing II
Dr. Amir Ilyas.,S.H.,M.H.
NIP. 19800710 200604 1 001
iv
v
ABSTRAK
Sri Nurfadillah DH Pasha (B111 14 066) “Peranan Visum et Repertum
Sebagai Alat Bukti Dalam Pembuktian Terhadap Tindak Pidana
Penganiayaan Berat (Studi Kasus Putusan No. 2107/Pid.B/2016/PN.Mks).”
Dibimbing oleh Bapak M. Said Karim selaku pembimbing I dan Bapak Amir
Ilyas selaku pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui syarat-syarat sah untuk membuat
suatu visum et repertum agar menjadi alat bukti yang sah di muka
persidangan serta untuk mengetahui kekuatan pembuktian suatu visum et
repertum sebagai alat bukti dalam kasus penganiayaan berat dengan
Putusan No. 2107/Pid.B/2016/PN.Mks. Penelitian ini dilaksanakan di
Pengadilan Negeri Makassar dan di Kejaksaan Negeri Makassar dengan
metode penelitian menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara
penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa visum et repertum adalah laporan
yang dibuat oleh dokter ahli yang telah disumpah yang dapat dijadikan
sebagai alat bukti berupa surat ataupun keterangan ahli apabila dokter yang
membuat visum tersebut dipanggil ke muka persidangan untuk menjelaskan
tentang fakta-fakta yang telah ditemukan. Kekuatan visum et repertum
sebagai alat bukti cukup membantu bagi jaksa dalam menentukan arah
tuntutan yang akan diberikan kepada terdakwa dan bagi hakim visum et
repertum dapat membantu agar hakim dapat menjatuhkan putusan yang
seadil-adilnya. Meskipun visum et repertum tidak mutlak harus ada dalam
pembuktian suatu perkara pidana, akan tetapi visum et repertum sebaiknya
tetap dibuat dan dilampirkan apalagi tindak pidana yang berkaitan dengan
tubuh manusia sebagai objeknya untuk memperkuat keyakinan hakim dalam
menjatuhkan hukuman kepada terdakwa.
vi
ABSTRACT
Sri Nurfadillah DH Pasha (B111 14 066) "The Role of Visum et Repertum as
Evidence of Serious Criminal Offences (Verdict Number 2107 / Pid.B / 2016 /
PN.Mks Case Study)." Advised by Said Karim as Advisor I and Amir Ilyas as
Advisor II.
This research was intended to find out the legal requirements to make visum
et repertum valid evidence in the trial and to perceive the value of visum et
repertum as evidence in the case of severe maltreatment with Verdict
Number 2107 / Pid.B / 2016 / PN.Mks. This research was conducted in
Makassar District Court and Makassar State Public Prosecutor’s Office by
using library research and field research techniques.
The results of this study indicated that visum et repertum is a report prepared
by a sworn doctor which can be used as evidence in the form of a letter or an
expert description if the doctor is called to testify at a trial. The value of visum
et repertum as evidence is helpful enough for the prosecutor in determining
the charge to be given against the defendant and as for the judge visum et
repertum can assist the judge to make the fairest judgment. Although visum
et repertum is not absolute in a trial of a criminal case, however visum et
repertum should still be made and attached especially for the crimes related
to the human body as the object to convince the judge in convicting the
defendant.
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
Segala Puji penulis panjatkan hanya untuk Allah SWT. Rasa
syukur yang tiada hingga penulis haturkan kepada-Nya yang telah
memberikan semua yang penulis butuhkan dalam hidup ini. Terima
kasih banyak Ya Allah untuk semua limpahan berkah, rezeki,
rahmat, hidayah, kesehatan yang Engkau titipkan, dan kesempatan
yang Engkau berikan kepadaku untuk menyelesaikan kuliahku
hingga penyusunan tugas skripsi ini dengan judul: Peranan Visum
et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam Pembuktian Terhadap
Tindak Pidana Penganiayaan Berat (Studi Kasus Putusan No.
2107/Pid.B/2016/PN.Mks).
Sholawat dan salam tak lupa penulis ucapkan pada
Rasulullah saw. Semoga cinta dan kasih sayang Sang Pemilik
Alam Semesta selalu tercurah untuk Rasulullah saw beserta
seluruh keluarga besarnya, sahabat-sahabatnya, dan para
pengikutnya.
viii
Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu M.A selaku
Rektor Universitas Hasanuddin, beserta Pembantu Rektor
lainnya.
2. Ibu Prof. Farida Patittingi, S.H,. M.Hum. selaku Dekan
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, beserta Pembantu
Dekan lainnya;
3. Pembimbing I dan Pembimbing II Penulis, Prof., Dr.,H. M.
Said Karim, S.H.,M.H.,M.Si.,CLA dan Dr. Amir Ilyas,
S.H.,M.H. yang telah memberikan tenaga, waktu, dan
pikiran, kesabaran dalam membimbing penulis
menyelesaikan skripsi ini, hingga skripsi ini layak untuk
dipertanggung jawabkan.
4. Tim penguji ujian skripsi, Bapak Prof. Dr. Muhadar, S.H.,
M.Si, Ibu Dr. Haerana, S.H., M.H dan Ibu Dr. Nur Azizah,
S.H., M.H., yang telah menyempatkan waktunya untuk
memeriksa skripsi ini dan memberikan masukan yang
sangat positif kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini
menjadi jauh lebih baik.
ix
5. Bapak Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H., M.H,
selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Universitas Hasanuddin
beserta semua dosen hukum Pidana, yang telah
menyalurkan ilmunya pengetahuannya kepada penulis
sehingga wawasan penulis bertambah mengenai hukum
Pidana.
6. Para Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin yang telah menyalurkan ilmunya kepada
penulis sehingga pengetahuan penulis tentang ilmu hukum
bertambah.
7. Ketua Pengadilan Negeri Makassar dan Kepala
Kejaksaan Negeri Makassar yang telah membantu dan
memberikan data kepada penulis selama proses penelitian.
8. Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada kedua
orang tua Bapak H. Darwis Pasa, SH dan Ibu Hj.
Haslipa, SE yang telah memberikan kasih sayang, doa,
dan dukungan yang tak terhingga kepada penulis.
9. Untuk saudara-saudara saya Zaldi Adam Wardanha, SH.,
MH, Sartika Sari Wardanhi. S.Sos., M.I.Kom dan Sarah
Aziza Wardahni, terima kasih atas bantuannya dan
dukungannya kepada penulis.
x
10. Terima Kasih kepada Dian, Angel, Edys, Indira, Iccang,
Titi atas segala dukungan dan hiburannya, semoga segera
mendapatkan gelar S.H.
11. Terima kasih kepada Teman-Teman Local Board Alsa LC
Unhas Periode 2015/2016 atas segala dukungan dan
bantuannya.
12. Pak Roni, Pak Budi, Pak Appang, Pak Usman, dan Kak
Tri serta seluruh staff Akademik FH – UH, terima kasih atas
segala bantuannya.
13. Terima Kasih kepada Teman-Teman KKN Seposko
Kelurahan Watang Bacukiki atas segala hiburan, motivasi,
dan bantuan yang diberikan kepada penulis.
14. Untuk teman-teman seperjuangan S.H., Nisa, Rana,
Melisa, Atirah, Tami, Sarah terima kasih atas bantuan dan
masukannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
15. Terima Kasih Kepada Muhammad Zuhal Dwi Saputra,
yang selalu membantu, memberikan motivasi, dan
memberikan waktunya untuk membantu penulis mulai
dari proposal hingga skripsi.
xi
Penulis menyadari bahwa karya ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis
mengharapkan kritikan yang sifatnya membangun untuk perbaikan
dan penyempurnaan skripsi ini.
Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat berguna dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pada
umumnya dan hukum pidana pada khususnya.
Makassar, Januari 2018
Penulis
xii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul…………... ……….………………………………………....... i
Lembar Pengesahan…………... ……….………………………………....... ii
Persetujuan Pembimbing ……….………………………………………....... iii
Persetujuan Menempuh Ujian Skripsi…………... ……………………....... iv
Abstrak..…………….…………………….……………………………............. v
Kata Pengantar..…..…………………….……………………………............. vii
Daftar Isi …………….…………………….……………………………............ xii
BAB I Pendahuluan ………………………………………………………............ 1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………… 8
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………………. 9
D. Manfaat Penelitian …………………………………………………….. 9
BAB II Tinjauan Pustaka ……………………………………………………….. 11
A. Tindak Pidana …………………………………………………………. 11
1. Pengertian Tindak Pidana ……………………………………. 11
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana…………………………………. 14
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana…………………………………….. 17
B. Pembuktian Dalam Perkara Pidana …………………………………. 22
1. Pengertian Pembuktian ………………………………………. 22
xiii
2. Teori Pembuktian ……………………………………………… 25
3. Pembuktian Menurut KUHAP …………..……………………. 28
C. Visum et Repertum…………………………………………………..... 28
1. Pengertian Visum et Repertum………………………………. 28
2. Jenis dan Isi Visum et Repertum…………………………….. 32
3. Prosedur Permintaan Visum et Repertum............................ 36
D. Tindak Pidana Penganiayaan………………………………………… 37
1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan…………………... 37
2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Penganiayaan…………………... 38
BAB III Metode Penelitian ………………………………………………..…… 48
A. Lokasi Penelitian …………………………………………..…………. 48
B. Jenis dan Sumber Data ………………………………………………. 48
C. Teknik Pengumpulan Data …………………………………………… 49
D. Analisis Data …………………………………………………………… 49
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan……………………………...…… 50
A. Syarat Suatu Visum et Repertum Agar Menjadi Alat Bukti yang
Sah……………………………………………………………………..… 50
1. Dasar Hukum Visum et Repertum……………………………. 50
2. Pihak yang Berhak Meminta Visum et Repertum…………... 53
3. Pihak yang Berhak Membuat Visum et Repertum………….. 54
4. Syarat Pembuatan Visum et Repertum................................ 55
5. Syarat Pencabutan Visum et Repertum…………………..…. 56
xiv
6. Masa Pembuatan Visum et Repertum………………...…….. 57
B. Kekuatan Visum et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam Pembuktian
Terhadap Kasus Penganiayaan Berat Dalam Putusan No.
2107/Pid.B/2016/PN.Mks …………………………………………….. 58
1. Identitas Terdakwa……………….……………………………. 58
2. Uraian Singkat Perkara…………………………...…………... 59
3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum…….................................. 59
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum……...…………………..…. 65
5. Amar Putusan Hakim…………………………………...…….. 66
6. Analisis Penulis……..…………………………………...…….. 67
BAB V Penutup ……………………………………………………………..…… 72
A. Kesimpulan……...…………………………………………..…………. 72
B. Saran………………….. ………………………………………………. 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia, istilah negara hukum secara konstitusional telah dijelaskan
dengan tegas dalam penjelasan UUD 1945 bahwa “Negara Republik Indonesia
berdasar atas hukum (rechstaat)”, tidak berdasar atas kekuasaan belaka
(machstaat) dan terkandung amanat bahwa setiap manusia mendapatkan posisi
yang sama di mata hukum tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, dan
status sosial seseorang, atau yang lebih dikenal dengan istilah equality before
the law1.
Dalam negara hukum, hukum merupakan pilar utama dalam mengatur
segala kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di Indonesia
menganut konsep negara hukum pancasila yang artinya suatu sistem hukum
yang didirikan berdasarkan asas-asas dan kaidah atau norma-norma yang
terkandung atau tercermin dari nilai yang ada dalam pencasila sebagai dasar
kehidupan bermasyarakat. Dalam artian bahwa suatu negara yang memiliki
konsep negara hukum pancasila selalu mengatur segala tindakan dan tingkah
laku masyarakatnya berdasarkan atas Undang-undang yang berlaku untuk
menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian warga negara
Indonesia agar sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam Pancasila
11 Bridgen. Pol. Drs. Suharto dan Jonaedi Efendi, Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara
Pidana Cet I, PT. Prestasi Pustakarya, Jakarta, 2010, hlm 3.
2
dan UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak atas rasa aman dan bebas
dari segala bentuk kejahatan2.
Demi mewujudkan negara hukum yang tertib guna mencapai tujuan
negara Republik Indonesia, tidaklah jarang terjadi permasalahan-permasalahan
yang beragam di dalam kehidupan bermasyarakat meskipun segala tingkah laku
dan perbuatan telah diatur dalam setiap Undang-undang tapi kejahatan masih
juga marak terjadi di negara ini. Salah satu contohnya adalah kejahatan
terhadap nyawa atau biasa disebut pembunuhan.3
Ada berbagai macam cara untuk melakukan pembunuhan baik dengan
berencana maupun yang tidak direncanakan, tahap-tahap pembunuhan pun
biasanya diawali dengan adanya penganiayaan kepada korban yang mana
akhir-akhir ini tidak jarang mengakibatkan kematian bagi korbannya. Seorang
yang telah melakukan tindak pidana sudah seharusnya bertanggung jawab dan
di adili sesuai dengan hukum yang berlaku.4
Tujuan hukum acara pidana sebagaimana yang telah kita ketahui adalah
berupaya untukmencari dan menemukan atau setidak-tidaknya mendekati
kebenaran materiil. Hal tersebut senada dengan yang disebutkan oleh Van
Bemmelen dalam bukunya “Strafordering Leerbook Van Het Nederlandsch Straf
2 Yopi Gunawan dan Kristian, Perkembangan Konsep Negara Hukum & Negara Hukum Pancasila, Refika Aditama, Bandung, 2015, hlm 92. 3 Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm 2. 4 Ibid, hlm 131.
3
Procesrecht” (Undang-undang di Belanda yang memuat tentang hukum acara
pidana).5
Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah yang
bertugas dan memiliki wewenang dibidang penuntutan dan melaksanakan tugas
dibidang penyidikan dan penuntutan perkara pidan serta wewenang lain
berdasarkan undang- undang. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam
proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari suatu
kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat
dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu
perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan
penuntutan maupun pada tahap sidang selanjutnya. Upaya yang dilakukan
aparat penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana
tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Pasal 6 ayat (2)
tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :
“Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena
alat bukti yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa
seorang yang dianggap bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan
yang dituduhkan atas dirinya”.6
Adanya ketentuan Undang-undang tersebut maka dalam proses
penyelesaian perkara pidana aparat penegak hukum haruslah berkewajiban
5 Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 1999, hlm 15. 6 M. Yahya Harahap, Pmembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi kedua, Jakarta, 2008, hlm 72.
4
untuk mengumpulkan bukti yang sesuai dengan perkara pidana yang
ditanganinya. Hakim dalam menjatuhkan pidana diatur dalam Pasal 183 KUHAP
yang berbunyi :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan
pada suatu tindak piadan benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya”.
Adapun yang dimaksud mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana
yang telah dijelaskan diatas dan yang telah ditentukan dan diatur dalam
Undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) pada Pasal 184 ayat (1) yang berbunyi :7
“Alat bukti yang sah ialah :
1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan terdakwa
Kebenaran materiil dan keadilan menjadi suatu tujuan dalam rangka
proses acara pidana sehingga aparat penegak hukum, dituntut untuk bertindak
dan melaksanakan tugas sebagai realisasi dari asas negara hukum. Salah satu
bentuk upaya hakim dalam menegakkan dan mencari serta menemukan
kebenaran materiil dalam menyelesaikan atau memutuskan suatu perkara
pidana adalah dengan kejelian dalam menggunakan alat bukti dalam proses
pembuktian dimuka sidang pengadilan guna membuat terang suatu tindak
7 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
5
pidana.8 Salah satu tindak pidana yang sulit dilakukan pembuktian terhadapnya
adalah tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa
orang lain.
Di dalam usaha memperoleh bukti bukti yang diperlukan guna
mengungkap kebenaran dari suatu perkara pidana, maka seringkali para
penegak hukum meminta bantuan kepada seorang ahli dalam rangka mencari
kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.9
Mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan KUHAP pada
Pasal 120 ayat (1) yang berbunyi :
“Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat ahli atau
orang yang memiliki keahlian khusus”.
Pada proses penyidikan perkara pidana yang menyangkut dengan akibat
luka pada tubuh atau yang menimbulkan gangguan kesehatan atau yang
menyebabkan meninggalnya seseorang, dimana terdapat akibat-akibat tersebut
patut diduga telah terjadi tindak pidana. Oleh sebab itu, dibutuhkan seorang
dokter dengan ilmu kedokteran kehakiman yang dimilikinya untuk membantu
proses penyidikan. Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh ahli kedokteran
kehakiman atas korban atau barang bukti yang diserahkan oleh penyidik dan
8 Waluyadi, Op, cit, hlm 43. 9 DC Marbun, Handout Hukum Pidana. Universitas Pembangunan Nasional Jawa Timur, 10 Februari 2009
6
akan membuat laporan dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukannya.10 Salah
satu alat bukti yang dapat digunakan penyidik untuk mengungkapkan tindak
pidana penganiayaan yang menyebabkan orang meninggal dunia adalah alat
bukti surat. Alat bukti surat memang ada banyak jenisnya, salah satu
diantaranya adalah laporan dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh para ahli
kedokteran kehakiman atau biasa dikenal dengan istilah visum et repertum.
Visum et repertum memang tidak dicantumkan dalam KUHAP secara
tegas, namun visum et repertum berfungsi sebagai laporan tertulis untuk
kepentingan peradilan atas permintaan penegak hukum yang berwenang di sini
khususnya oleh penyidik. Visum et repertum merupakan keterangan ahli yang
dibuat oleh dokter sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara IKAHI dan IDI
tahun 1986 di Jakarta, yaitu untuk membedakan dengan surat keterangan ahli
lainnya11 dan dibuat berdasarkan terhadap segala seuatu yang dilihat dan
ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu
menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya.
Peranan visum et repertum memberikan tugas sepenuhnya kepada
dokter sebagai pelaksana di lapangan untuk membantu jaksa dalam
menentukan arah dakwaan yang akan didakwakan terhadap terdakwa, serta
membantu hakim dalam menemukan kebenaran materiil dalam memutuskan
10 R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokeran Kehakiman Edisi Kedua,Tarsito, Bandung, 1983, hlm 21. 11 Abdul Mun’im Idries, Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik, Sagung Seto, Jakarta, 2009, hlm 10.
7
perkara pidana. Dokter pun ikut serta dalam memberikan pendapat berdasarkan
ilmu pengetahuan yang dimilikinya dalam pemeriksaan perkara pidana, apabila
berhubungan dengan bagian dari tubuh manusia. Pendapat dari dokter
diperlukan karena seorang jaksa sebagai penuntut umum dalam suatu perkara
tidak dibekali dengan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan anatomi tubuh
manusia dalam rangka menemukan suatu kebenaran materiil atas perkara
pidana.
Namun pada kenyataan yang terjadi saat ini masih banyak orang yang
belum paham dengan pentingnya melakukan visum setelah mengalami
penganiayaan yang menimbulkan luka atau menyebabkan kematian. Seperti
salah satu contoh berita yang dimuat dalam media online mengenai kasus
penganiayaan yang terjadi di Malang yang menyebabkan kematian Fikri
Dolasmantya Surya mahasiswa jurusan Planologi ITN. Fikri tewas saat
mengikuti kegiatan serupa ospek di kampusnya.
Kasatreskrim Polres Malang mengatakan tidak berkenannya keluarga
melaukan autopsi jasad Fikri menjadi hambatan dalam penerapan Pasal 351
KUHP sebab yang dibutuhkan keterangan ahli adalah penyebab kematian
berupa hasil autopsi yang berguna sebagai pemeriksaan luka di luar maupun
luka di dalam secara lebih rinci karena apabila mengandalkan visum maka
hanya luka-luka luar yang akan teridentifikasi sedangkan penyebab
kematiannya tidak diketahui karena di dalam visum tidak cantumkan alasan
seseorang meninggal dunia.
8
Oleh sebab itu, diperlukan Ilmu Kedokteran Kehakiman untuk membantu
para penegak hukum dalam hal menentukan hubungan kausalitas antara suatu
perbuatan dengan akibat yang ditimbulkanya dari perbuatan tersebut. Sutomo
Tjokronegoro mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Kedokteran
Kehakiman adalah penggunaan ilmu kedokteran untuk kepentingan
pengadilan.12
Berdasarkan uraian diatas maka penulis akan membahas lebih lanjut
dalam bentuk suatu skripsi dengan judul “Peranan Visum et Repertum
Sebagai Alat Bukti Dalam Pembuktian Terhadap Tindak Pidana
Penganiayaan Berat (Studi Kasus Putusan No.
2107/Pid.B/2016/PN.Makassar)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut diatas, maka
rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana persyaratan suatu visum et repertum agar dapat menjadi alat
bukti yang sah?
2. Bagaimana kekuatan visum et repertum sebagai alat bukti dalam
pembuktian terhadap kasus penganiayaan berat dalam putusan No.
2107/Pid.B/2016/PN.Makassar?
12 Waluyadi, Op, cit, hlm 1-2.
9
C. Tujuan Penelitian
Berangkat dari rumusan masalah di atas maka adapun tujuan penulisan
skripsi ini adalah untuk memberikan jawaban atas rumusan masalah di atas,
yaitu :
1. Untuk mengetahui persyaratan suatu visum et repertum agar dapat
menjadi alat bukti yang sah
2. Untuk mengetahui kekuatan visum et repertum sebagai alat bukti dalam
pembuktian terhadap kasus penganiayaan berat dalam putusan No.
2107/Pid.B/2016/PN.Makassar
D. Kegunaan Penelitian
Penulisan skripsi ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut :
1. Bagi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, hasil penelitian
ini dapat disumbangan sebagai penambah wawasan penelitian di bidang
Hukum Pidana, khususnya tentang peranan visum et repertum dalam
membantu arah dakwaan terhadap kasus penganiayaan yang
mengakibatkan hilangnya nyawa.
2. Bagi penulis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana untuk
menambah wawasan mengenai peranan visum et repertum dalam suatu
tindak pidana penganiayaan, serta merupakan sarana untuk menerapkan
ilmu pengetahuan yang diperoleh di bangku kuliah di lapangan.
3. Bagi peneliti lain hasil ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan
dari hasil penelitian yang sejenis.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana dalam bahasa Latin disebut dengan Delictum
atau Delicta. Dalam bahas Jerman disebut delict, dalam bahasa Perancis
disebut delit.13 Namun, dalam pembentukan undang-undang kita telah
menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita
kenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukun
Pidana tanpa memberikan penjelasan mengenai apa yang sebenarnya
dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit” tersebut.
Perkataan “feit” itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti “sebagian
dari suatu kenyataan” sedangkan “strafbaar” berarti “dapat dihukum”. Jadi,
secara harfiah perkataan” strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai
“sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang
tentu tidak tepat, oleh karena kelak kita akan ketahui bahwa yang dapat
dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan
kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan. Oleh karena itu, bahwa
pembentuk undang-undang kita itu tidak memberikan suatu penjelasan
mengenai apa yang sebenarnya telah ia maksud dengan perkataan
13 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm 7.
11
“strafbaar feit”, maka timbullah di dalam doktrin sebagai pendapat tentang
sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut.14
Simons , menyatakan bahwa:
“strafbaar feit (terjemahan harfiah: peristiwa pidana) ialah perbuatan
melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang
yang mampu bertanggungjawab.”15
Van Hamel merumuskan sebagai berikut:
“strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang
dirumuskandalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut
dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan”16
Sulitnya memberikan pengertian terhadap strafbaar feit, membuat
para ahli mencoba untuk memberikan definisi masing-masing dari sudut
pandang mereka yang menimbulkan banyaknya ketidakseragaman
rumusan dan penggunaan istilah strafbaar feit.
Pompe memberikan dua macam definisi, yaitu yang bersifat teoritis
dan yang bersifat perundang-undangan. Strafbaar feit secara teoritis yaitu:
“suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang
sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang
pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah
perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan
hukum. Definisi tersebut sekaligus menggambarkan tujuan hukum
pidana, yaitu mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan
kesejahtraan umum yang sesuai dengan UUD 1945.17
14 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, hlm 181. 15 Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm 224. 16 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2015, hlm 61. 17 Lamintang, Op. cit, hlm 182.
12
Van Hattum berpendapat bahwa suatu tindakan itu tidak dapat
dipisahkan dari orang yang telah melakukan tindakan tersebut. Beliau
mengatakan bahwa:
“straf verdienend mempunyai arti sebagai “pantas untuk dihukum”
sehingga perkataan “strafbaar feit” seperti yang telah digunakan oleh
pembentuk undang-undang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana itu secara “eliptis” haruslah diartikan sebagai suatu “tindakan
yang karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat
seseorang menjadi dapat dihukum”.18
Moeljatno dalam memberikan definisi tentang strafbaar feit,
menggunakan istilah perbuatan pidana. Beliau memberikan pengertian
perbuatan pidana sebagai berikut:
“perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan, dimana
disertai dengan ancaman pidana tertentu bagi yang melanggar aturan
tersebut.”
Sementara itu, Jonkers memberikan definisi tentang strafbaar feit
menjadi 2 bagian yaitu:
a. Definisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit sebagai kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang-Undang.
b. Definisi panjang memberikan pengertian strafbaar feit sebagai suatu
kelakuan yang melawan hukum yang dilakukan baik dengan sengaja maupun lalai oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dari pengertian Jonkers tersebut maka dapat ditarik kesimpuan
mengenai unsur-unsur dari suatu strafbaar feit, yaitu:
a. Perbuatan melawan hukum; b. Dengan sengaja; c. Dapat dipertanggungjawabkan;
18 Ibid, hlm 184.
13
d. Diancam pidana. Andi Zainal Abidin mengemukakan istilah yang paling tepat ialah
delik, karena beberapa faktor alasan sebagai berikut:19
a. Bersifat universal dan dikenal dimana-mana; b. Lebih singkat, efisien, dan netral. Dapat mencakup delik-delik
khusus yang subjeknya badan hukum, badan, orang mati: c. Orang yang memakai istilah strafbaar feit, tindak pidana, dan
perbuatan pidana juga menggunakan delik; d. Luas pengertiannya sehingga meliputi juga delik-delik yang
diwujudkan oleh korporasi menurut hukum pidana ekonomi Indonesia;
e. Tidak menimbulkan kejanggalan seperti “peristiwa pidana” (bukan peristiwa yang dapat dipidana melainkan pembuatnya).
Dari banyaknya istilah mengenai strafbaar feit yang telah
dijelaskan diatas maka Penulis lebih setuju untuk menggunakan istilah
tindak pidana dengan pertimbangan bahwa istilah tindak pidana bukan lagi
menjadi istilah yang jarang diketahui oleh masyarakat Indonesia dan istilah
tersebut telah digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana itu pada umunya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur
yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yaitu unsur
subjektif dan unsur objektif.
Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau
yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala
19 Zainal Abidin, Op. cit, hlm 231-232.
14
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur subjektif dari suatu tindak
pidana itu adalah sebagai berikut:
a. Kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa);
b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti
yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
c. Berbagai maksud atau oogmerk seperti pencurian (Pasal 362
KUHP), pemerasan (368 KUHP), penipuan (378 KUHP), dan lain-
lain;
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad, seperti yang
terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
e. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan
tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si
pelaku itu harus dilakukan. Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah
sebagai berikut:
a. Sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid;
b. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai
negeri dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan
sebagai pengurus suatu perseroan terbatas, dalam kejahatan
menurut Pasal 398 KUHP;
15
c. Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab
dengan suatu kenyataan sebagai akibat.20
Semua unsur yang terkandung dalam unsur subjektif dan unsur
objektif merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat pisahkan. Artinya,
jika salah satu saja unsur tindak pidana tidak terpenuhi, maka bisa saja
terdakwa dibebaskan dari tuntutan.
Satochid Kartanegara mengungkapkan unsur delik terdiri atas
unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia yaitu:
a. Suatu tindakan; b. Suatu akibat; c. Keadaan (omstandigheid).
Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-
Undang.
Unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat
berupa:
a. Kemampuan dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid);
b. Kesalahan (schuld).21
Simons, membagi unsur tindak pidana sebagai berikut:22
20 Leden Marpaung, Op. cit, hlm 11. 21 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, 1998, hlm 184-186. 22 Sudarto, Hukum Pidana 1, Yayasan Soedarto d/a Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1990, hlm 41.
16
a. Unsur objektif, terdiri atas: 1) Perbuatan orang; 2) Akibat yang kehilangan dari perbuatan tersebut; 3) Keadaan tertentu yang menyertai perbuatan tersebut.
b. Unsur subjektif, terdiri atas: 1) Orang yang mampu untuk bertanggungjawab; 2) Adanya kesalahan yang mengiringi perbuatan.
Sementara itu, menurut Moeljatno bahwa unsur atau elemen dari
pebuatan pidana adalah:
1) Kelakuan dan akibat (pebuatan); 2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan; 3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; 4) Unsur melawan hukum yang objektif; 5) Unsur melawan hukum yang subjektif.23
3. Jenis – Jenis Tindak Pidana
Setelah selesai mencoba menjabarkan beberapa tindak pidana ke
dalam unsurnya dan berusaha memberi arti setepat-tepatnya, sekarang
penulis akan membahas mengenai pembagian yang terpenting dari tindak
pidana baik yang telah dilakukan oleh pembentukan undang-undang
sendiri maupun yang telah dilakukan oleh para ahli hukum pidana di
dalam ilmu pengetahuaan hukum pidana. Pada mulanya para ahli hukum
itu telah membagi tindak pidana ke dalam tiga jenis tindakan yang mereka
sebut criminal atrocissima, atrocia, dan levia yang didasarkan pada
sesuatu asas tertentu, melainkan hanya didasarkan pada berat ringannya
kejahatan, dimana berat ringannya kejahatan itu semata-mata hanyalah
23 Moeljatno, Hak Asasi Manusia Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Undip Semarang, 2002, hlm 63.
17
meraka dasarkan pada berat-berat ringannya hukuman yang telah
diancamkan terhadap masing-masing kejahatan.
Di dalam perkembangan selanjutnya, yakni dalam usaha
menemukan suatu pembagian yang lebih tepat dari tindakan-tindakan
melawan hukum yang dianggap sesuai dengan kebutuhan akan adanya
sistem yang lebih logis bagi Kitab Undang-Undang Pidana yang
didasarkan pada asas-asas tertentu, para guru besar telah membuat
suatu pembagian dari tindakan-tindakan melawan hukum ke dalam dua
macam “onrecht”, yang pertama disebut “crimineel onrecht” adalah setiap
tindakan melawan hukum yang menurut sifatnya adalah bertentangan
dengan “rechtsorde” atau “tertib hukum”, yang kedua disebut “policie
onrecht” adalah setiap tindakan melawan hukum yang menurut sifatnya
adalah bertentangan dengan “kepentingan-kepentingan yang terdapat di
dalam masyarakat”.24
Pembagian di dalam tindakan-tindakan yang oleh para pembentuk
dari Kitab Undang-Undang Hukun Pidana kita telah disebut sebagai
kejahatan-kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran-pelanggaran
(overtredingen) dan dibagi ke dalam buku ke-2 dan buku ke-3 melainkan
juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam
perundang-undangan pidana sebagai keseluruhan.25
24 Lamintang, Op. cit, hlm 209. 25 Ibid, hlm 210-211.
18
Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana selanjutnya masih
terdapat sejumlah pembagian-pembagian lainnya yaitu sebagai berikut:
a. Doleuse Delicten dan Culpose Delicten
Doleuse delicten ialah perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana yang dilakukan dengan sengaja. Culpose delicten
ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang
dilakukan dengan kealpaan.
b. Formele Delicten dan Materiele Delicten
Pada umumnya rumusan-rumusan delik di dalam KUHP itu
merupakan rumusan dari apa yang disebut voltooid delict, yakni
delik yang selesai dilakukan oleh pelaku sebenarnya. Formeel
delicten ialah rumusan undang-undang yang menitikberatkan
kelakuan yang dilarang dan diancam dengan undang-undang.
Adapun materiele delicten adalah rumusan undang-undang yang
menitikberatkan akibat yang dilarang dan diancam dengan undang-
undang.
c. Commisie Delicten dan Ommise Delicten
Suatu tindak pidana itu dapat terdiri dari suatu pelanggaran
terhadap suatu larangan atau dapat juga terdiri dari suatu
pelanggaran terhadap suatu keharusan. Commisie delicten atau
delicta commisionis ialah delik-delik berupa pelanggaran terhadap
larangan-larangan di dalam undang-undang. Ommisie delicten atau
19
delicta ommisionis ialah delik-delik berupa pelanggaran terhadap
keharusan-keharusan menurut undang-undang.
d. Zelfstandige Delicten dan Voortgezette Delicten
Zelfstandige delicten ialah delik yang berdiri sendiri yang terdiri
atas satu perbuatan tertentu. Voortgezette delicten ialah delik yang
pada hakikatnya merupakan suatu kumpulan dari beberapa delik
yang berdiri sendiri yang karena sifatnya dianggap sebagai satu
delik.
e. Alfopende Delicten dan Voortdurande Delicten
Alfopende delicten ialah delik yang terdiri atas satu atau lebih
tindakan untuk menyelesaikan suatu kejahatan. Voordurande
Delicten ialah delik yang terdiri dari satu atau lebih tindakan untuk
menimbulkan suatu keadaan yang bertentangan dengan suatu
norma.
f. Enkelvoudige Delicten dan Samengestelde Delicten
Enkelvoudige delicten ialah delik yang pelakunya telah dapat
dihukum dengan satu kali saja melakukan tindakan yang dilarang
oleh undang-undang. Samengestelde delicten ialah delik yang
pelakunya hanya dapat dihukum menurut suatu ketentuan pidana
tertentu apabila pelaku tersebut telah berulangkali melakukan
tindakan yang sama yang dilarang oleh undang-undang.
20
g. Eenvoudige Delicten dan Gequalificeerde Delicten
Eenvoudige delicten atau delik sederhana ialah delik dalam
bentuk pokok seperti yang telah dirumuskan oleh pembentuk
undang-undang sedangkan gequalificeerde delicten ialah delik yang
mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur yang memberatkan
atau juga disebut geprivilegieerde delicten yaitu delik yang
mempunyai bentuk pokok dan disertai unsur yang meringankan.
h. Polietieke Delicten dan Commune Delicten
Politieke delicten ialah delik yang dilakukan karena adanya
unsur politik, antara lain:
1) Gemengde politieke delicten yang merupakan pencurian
terhadap dokumen negara.
2) Zuivere politieke delicten yang merupakan kejahatan
pengkhianatan intern dan pengkhianatan ekstern.
3) Connexe polietieke delicten yang merupakan kejahatan
menyembunyikan senjata. Commune delicten ialah delik
yang ditujukan pada kejahatan yang tidak termasuk
keamanan negara.
i. Delicta Propria dan Commune Delicten
Delicta propia adalah delik yang hanya dilakukan oleh orang
tertentu karena suatu kualitas, sedangkan commune delicten ialah
delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang pada umumnya.
21
j. Pengelompokan Delict Berdasarkan Kepentingan Hukum yang
Dilindungi
Misalnya, delik aduan, delik harta kekayaan, dan lainnya. Delik
aduan ialah suatu delik yang hanya boleh dituntut jika ada
pengaduan dari orang yang menderita delik. Delik putuatif ialah
suatu perbuatan (tetapi belum termasuk perbuatan pidana) yang
disangka delik. Akibatnya, orang yang bersangkutan tidak dapat
dipidana sebab ia memang tidak melakukan delik. Jadi, delik putuatif
dapat disebut delik sangkaan.26
B. Pembuktian Dalam Perkara Pidana
1. Pengertian Pembuktian
Dikaji secara umum pembuktian berasal dari kata “bukti” yang
berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk
memperlihatkan kebenaran suatu hal.27 Pada umumnya dalam hukum
acara pidana (formeel strafrecht/starfprocesrecht) pada khususnya aspek
pembuktian memegang peranan menentukan untuk menyatakan
kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim. Dalam
kegiatan penyidikan mengumpulkan alat-alat pembuktian merupakan
target penting untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi.
Demikian pula dalam hal penyidik menentukan seseorang berstatus
26 Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm 55-57. 27 Soedirjo, Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pembuktian, CV Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, hlm 47.
22
sebagai tersangka, setidak-tidaknya penyidik harus sudah menguasai alat
pembuktian yang disebut sebagai “bukti permulaan”. Selanjutnya apabila
penyidik sudah melakukan upaya paksa, misalnya penahanan terhadap
orang yang dianggap sebagai pelaku tindak pidana, maka tindakan
penyidik tersebut paling kurang harus di dasarkan pada ”bukti yang
cukup”.28
Upaya pengumpulan sarana pembuktia itu sudah berperan dan
berfungsi pada saat penyidik mulai melakukan penyidikan. Sehingga,
apabila penyidik dalam melakukan penyidikan kurang memahami atau
tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan sarana
pembuktian, maka tindakan penyidikan yang dilakukan gagal. Oleh sebab
itu, sebelum penyidik menggunakan kewenangannya untuk melakukan
penyelidikan, seyogyanya sejak awal telah memahami dan mendalami
segala sesuatu yang berkaitan dengan pembuktian sebab keberhasilan
jaksa dalam menyusun surat dakwaan dipengaruhi oleh keberhasilan
seorang penyidik dalam melakukan penyelidikan dan mengumpulkan alat
bukti.29
Proses pembuktian pada saat sidang pengadilan berguna untuk
menemukan kebenaran materiil akan peristiwa yang terjadi dan memberi
keyakinan pada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat
28 Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2004, hlm 13. 29 Ibid.
23
memberika putusan yang seadil-adilnya. Pada proses pembuktian ini ada
korelasi dan interaksi mengenai apa yang diterapkan hakim dalam
menemukan kebenaran materiil melalui tahap pembuktian, alat alat bukti
dan proses pembuktian terhadap aspek-aspek sebagai berikut:
a. Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti;
b. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan
yang didakwakan kepadanya;
c. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-
perbuatan itu;
d. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.30
Pada dasarnya perihal alat-alat bukti diatur pada Pasal 184 ayat
(1) KUHAP. Alat bukti yang sah adalah sebagai berikut:31
a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa
2. Teori Pembuktian
Terdapat 4 macam sistem atau teori pembuktian dalam perkara
pidana yaitu sebagai berikut:
a. Sistem atau Teori Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata
30 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No 31 Tahun 1999), CV Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm 99. 31 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
24
Sistem ini disebut juga conviction intime yaitu menentukan
salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan melalui
penilaian “keyakinan hakim” yang menentukan salah atau tidaknya
terdakwa. Darimana hakim menyimpulkan keyakinannya, tidak
menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan ini bisa disimpulkan
dari alat bukti yang diperiksa bisa juga langsung menarik keyakinan
dari keterangan atau pengakuan terdakwa.
Sistem ini sudah pasti mengandung kelemahan sebab hakim
dalam menjatuhkan hukuman semata-mata hanya didasari pada
keyakinan tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sehingga
sekalipun terdakwa bersalah dan telah terbukti, pembuktiannya
dapat dikesampingkan dan dapat dinyatakan tidak bersalah
sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti
berdasarkan alat bukti yang sah tetap dapat dihukum berdasarkan
keyakinan hakim.
Sistem ini seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib
terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan
hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem
pembuktian ini.
b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atau
Alasan yang logis
Sistem ini disebut juga conviction raisonce yaitu keyakinan
hakim tetap memegang peranan penting namun ”dibatasi” sebab
25
harus disertai dengan alasan-alasan yang jelas yang mendasari
keyakinannya atas kesalahan terdakwa dan harus “reasonable”
yakni berdasar alasan yang dapat diterima oleh akal dan logis.
c. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif
(Positief Wettelijke Bewijs Theorie)
Dalam sistem ini, keyakinan hakim tidak tidak ikut ambil bagian
dalam membuktikan kesalahan terdakwa sebab sistem ini
berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat bukti yang telah
ditentukan oleh undang-undang. Sistem ini mempunyai kebaikan
sebab hakim dituntut untuk mencari dan menemukan kebenaran
salah atau tidaknya terdakwa berdasarkan alat bukti dan bukan
hanya pada keyakinan semata.
d. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif
(Negatief Wettelijke Bewijs Theorie)
Sistem ini merupakan teori gabungan antara sistem
pembuktian hukum positif dan sistem pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim. Berdasarkan hasil penggabungan teori itu
munculah rumusan yang berbunyi “salah tidaknya seorang
terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Namun, teori memiliki kelemahan sebab apabila seorang terdakwa
sudah terbukti salah berdasarkan alat bukti yang ditemukan tapi jika
26
hakim memiliki keyakinan terdakwa tidak bersalah maka terdakwa
dapat dibebaskan.
Sekalipun secara teoritis antara kedua komponen itu tidak
saling dominan, tapi dalam praktek, secara terselubung unsur
keyakinan hakimlah yang paling menentukan dan dapat
melemparkan secara halus pembuktian yang cukup.32
3. Pembuktian Menurut KUHAP
Pembuktian harus didasarkan pada Pasal 183 KUHAP yang intinya
membahas mengenai hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali
memiliki bukti sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan Pasal ini
hampir sama bunyi dan maksud yang terkandung di dalam Pasal 294 HIR.
Dari kedua Pasal ini, sama-sama menganut sistem pembuktian secara
negatif dan sistem ini adalah sistem yang paling tepat digunakan dalam
penegakan hukum di Indonesia demi tegaknya keadilan, kebenaran dan
kepastian hukum.33
C. Visum et Repertum
1. Pengertian Visum et Repertum
Sebenarnya istilah VeR tidak ditemukan dalam KUHAP maupun
RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), melainkan hanya ditemukan
di dalam Staatsblad No. 350 Tahun 1937 tentang Visa Reperta. Visa
32 M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta, 1986, hlm 797-800. 33 Ibid, hlm 801.
27
Reperta merupakan bahasa latin, Visa berarti penyaksian atas pengakuan
telah melihat sesuatu dan Reperta berarti laporan.34 Sehingga visum et
repetum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat
berdasarkan sumpah, perihal apa yang diliat dan diketemukan atas bukti
hidup, mayat atau fisik ataupun barang buktilain, kemudian dilakukan
pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya.35
Dalam Stbl 1937 Nomor 350, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa
“visa reperta” para dokter yang dibuat atas sumpah jabatan, yang
diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di Indonesia
maupun atas sumpah khusus seperti dimaksud dalam Pasal 2, dalam
perkara pidana mempunyai kekuatan pembuktian sedangkan menurut
Pasal 10 Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M04.UM.01.06 tahun
1983 menyatakan bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman
disebut visum et repertum. Dalam KUHAP tidak disebut visum et repertum
tetapi menggunakan istilah alat bukti surat dan alat bukti keterangan ahli.
Menurut pendapat D Tjan Han Tjong visum et repertum merupakan
suatu hal yang penting dalam pembuktian karena menggantikan
sepenuhnya tanda bukti (corpus delicti), seperti diketahui dalam suatu
perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta
34 Iwan Aflanie (et.al), Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2017, hlm 46. 35 Tolib Setiady, Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman, Alfabeta, Bandung, 2009, hlm 39-40.
28
membinasakan nyawa manusia, maka tubuh si korban merupakan tanda
bukti (corpus delicti). 36
Abdul Mun’im Idris memberikan pengertian visum et repertum
adalah suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa
yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta
memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan
peradilan.
Menurut R. Atang Ranoemihardja apa yang dinamakan visum et
repertum adalah “yang dilihat atau ditemukan”, dengan demikian:
“visum et repertum adalah suatu keterangan dokter tentang apa yang
dilihat dan ditemukan di dalam melakukan pemeriksaan terhadap orang
luka atau terhadap mayat”.
Waluyadi menyatakan bahwa:37
“visum et repertum adalah keterangan dokter atas hasil pemeriksaan
terhadap seseorang yang luka atau terganggu kesehatannya atau mati,
yang diduga sebagai akibat kejahatan yang berdasarkan hasil
pemeriksaan tersebut dokter akan membuat kesimpulan tentang
perbuatan dan akibat dari perbuatan itu”.
Subekti dan Tjitrosudibi memberikan definisi sebagai berikut:38
“visum et repertum adalah suatu keterangan dokter yang memuat
kesimpulan suatu pemeriksaan yang telah dilakukannya, misalnya atas
36 Atang Ranoemihardja, Op. cit, hlm 18. 37 Tolib Setiady, Op. cit, hlm 41. 38 Ibid.
29
mayat seorang untuk menentukan sebab kematian dan lain sebagainya,
keterangan mana diperlukan oleh hakim dalam suatu perkara”.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan visum et repertum adalah
keterangan dokter atas hasil pemeriksaan terhadap seseorang yang luka
atau terganggu kesehatannya atau yang meninggal dunia (mayat) yang
diduga sebagai akibat kejahatan yang berdasarkan hasil pemeriksaan
tersebut dokter akan membuat kesimpulan perbuatan dan akibat dari
perbuatan itu.
Kewajiban dokter untuk membuat visum et repertum ini telah diatur
dalam Pasal 133 KUHAP. Pasal 133 KUHAP mengatur sebagai berikut:39
1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan menangani seorang korban, baik luka, keracunan ataupun mati, yang diduga karena peristiwa tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.
2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan secara tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakuakan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilakuakn dan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau bagian lain pada mayat.
Visum et Repertum berperan dalam proses pembuktian suatu
perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. VeR menguraikan
39 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
30
segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam
begian pemberitaan yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti
alat bukti. VeR juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai
hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di bagian dalam
kesimpulan.40
2. Jenis dan Isi Visum et Repertum
a. Visum et repertum bagi korban hidup yang terdiri dari:
1. VeR Sementara. Bentuknya adalah seperti struktur visum
lengkap akan tetapi belum disimpulkan. Visum tersebut dapat
digunaka sebagai bukti awal penyidikan. VeR sementara
diberikan setelah pemeriksaan dan korban ternyata perlu
diperiksa atau dirawat lebih lanjutb baik dirumah sakit
maupun dirumah. Pada kesimpulan VeR sementara tidak
dicantumkan kualifikasi daripada luka karena masih dalam
pengobatan atau perawatan belum selesai.
2. VeR Lanjutan. Bentuknya sama persis dengan VeR
sementara perbedaan letaknya pada fungsinya yaitu sebagai
sambungan dalam proses penyidikan perkara. VeR lanjutan
diberikan kepada korban setelah:
Sembuh;
Meninggal;
40 Iwan Aflanie, Op. cit, hlm 47.
31
Pindah rumah sakit;
Pindah dokter;
3. VeR Definitif. Merupakan VeR lengkap yang memuat semua
keterangan dan analisis dari hasil pemeriksaan. Bersifat
permanen dan berfungsi sebagai pengganti barang bukti
jenazah guna proses peradilan. VeR sementara dan lanjutan
dikenal juga sebagai surat keterangan medis sementara
sehingga dapat digunakan penyidik dalam operasional
pemeriksa perkara. Penyusunan VeR tidak terlepas dan
tertib dalam mengelola surat-surat kelengkapan administrasi.
Hal tersebut karena berkaitan erat dengan rahasia jabatan
dalam melakukan pemeriksaan.41
b. Apabila dihubungkan dengan hasil laporan pemeriksaan dokter
(ahli) yang tertuang dalam bentuk visum et repertum tersebut, maka
dikenal:42
1. visum et repertum tentang pemeriksaan luka (korban hidup);
2. visum et repertum tentang pemeriksaan mayat (jenazah);
3. visum et repertum tentang penggalian mayat;
4. visum et repertum di Tempat Kejadian Perkara (TKP);
5. visum et repertum pemeriksaan barang bukti.
Visum et repertum terdiri atas 5 bagian yaitu:
41 Ibid, hlm 48. 42 Tolib Setiady, Op. cit, hlm 44.
32
1. Pro Justitia. Kata ini diletakkan dibagian atas untuk menjelaskan
bahwa visum et repertum dibuat untuk tujuan peradilan. VeR tidak
memerlukan materai untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti di
depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum.
2. Pendahuluan. Kata pendahuluan sendiri tidak ditulis dalam VeR,
melainkan langsung dituliskan berupa kalimat-kalimat di bawah
judul. Bagian ini menerangkan, antara lain :
a. Identitas tempat pembuatan visum berdasarkan surat
permohonan mengenai jam, tanggal, dan tempat
b. Pernyataan dokter dan identitas dokter
c. Identitas peminta visum
d. Wilayah
e. Identitas korban
f. Identitas tempat perkara
3. Pemberitaan. Bagian ini berjudul "Hasil Pemeriksaan", berisi semua
keterangan pemeriksaan, berupa:
a. Apa yang dilihat, yang ditemukan sepanjang pengetahuan
kedokteran
b. Hasil konsultasi dengan teman sejawat lain
c. Untuk ahli bedah yang mengoperasi, dimintai keterangan apa
yang diperoleh.
d. Tidak dibenarkan menulis dengan kata-kata latin
e. Tidak dibenarkan menulis dengan angka, harus dengan huruf
33
untuk mencegah pemalsuan.
f. Tidak dibenarkan menulis diagnosis, melainkan hanya
menulis ciri-ciri, sifat, dan keadaan luka.
4. Kesimpulan. Landasannya subjektif medis (memuat pendapat
pemeriksa sesuai dengan pengetahuannya) dan hasil pemeriksaan
medis. Terdiri dari:
a. Memberikan informasi kepada pihak penyidik sehingga
mempermudah proses penyidikan;
b. Dasar membuat kesimpulan yaitu ilmu kedokteran forensik;
c. Dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah medis.
5. Penutup. Landasannya Undang-Undang No 8 Tahun 1981 dan
Lembaran Negara No 350 Tahun 1937 serta sumpah jabatan/dokter
yang berisi kesungguhan dan kejujuran tentang apa yang diuraikan
pemeriksa dalam VeR tersebut. Setelah penutup/kata terakhir
adalah tanda tangan dan nama dokter serta cap instansi dimana
dokter tersebut bekerja/bertugas.43
3. Prosedur Permintaan Visum et Repertum
Mengenai landasan hukum prosedur permohonan visum et
repertum dalam kaitannya dengan kasus-kasus pidana adalah
kewenangan berbagai pihak, termasuk di dalamnya pihak penyidik
43 Ibid hlm 51-53.
34
sebagai ujung tombak pengungkapan kasus-kasus pidana untuk meminta
bantuan ahli ilmu kedokteran kehakiman.44 Secara garis besar,
permohonan visum et repertum harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a. Permohonan harus dilakukan secara tertulis oleh pihak-pihak yang
diperkenankan untuk itu dan tidak diperkenankan untuk dilakukan
melalui lisan maupun melalui pesawat telepon;
b. Permohonan visum et repertum harus diserahkan oleh penyidik
bersamaan dengan korban, tersangka, dan juga barang bukti
kepada dokter ahli kedokteran kehakiman. Pertimbangan dari
keduanya adalah:
Mengenai permohonan visum et repertum yang harus dilakukan
secara tertulis, oleh karena permohonon berdimensi hukum.
Artinya, tanpa permohonan secara tertulis dokter tidak boleh
dengan serta merta melakukan pemeriksaan terhadap pasien
yang luka, seorang yang terganggu kesehatannya ataupun
seseorang yang mati akibat tindak pidana atau setidak-tidaknya
patut disangka sebagai korban tindak pidana. Demikian pula,
apabila dokter menolak permohonan yang dilakukan secara
tertulis maka ia pun akan dikenakan sanksi hukum.
44 Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktik Kedokteran, Djambatan, Jakarta, 2005, hlm 33.
35
Mengenai penyerahan korban, tersangka, alat bukti yang lain
didasrkan bahwa untuk dapat menyimpulkan hasil
pemeriksaannya, dokter tidak dapat melepaskan diri dari alat
bukti lainnya. Artinya, untuk sampai pada penentuan hubungan
sebab akibat, maka peranan alat bukti lain selain korban mutlak
diperlukan.45
D. Tindak Pidana Penganiayaan
1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan
Tindak pidana penganiayaan atau mishandeling itu diatur dalam
Bab ke- XX Buku ke-II KUHP yang dalam bentuk pokoknya diatur dalam
Pasal 351 ayat (1) sampai dengan ayat (5) KUHP. Yang dimaksud
penganiayaan adalah kesengajaan menimbulkan rasa sakit atau
menimbulkan luka pada tubuh orang lain. Dengan demikian, untuk
menyebut seseorang itu telah melakukan penganiayaan terhadap orang
lain maka orang tersebut harus mempunyai opzet atau suatu kesengajaan
untuk menimbulkan luka atau rasa sakit pada orang lain.46
Menurut Simons penganiayaan memiliki arti yaitu:
“yang paling tepat untuk memaknai penganiayaan dan sesuai dengan
maksud pembentuk undang-undang, suatu tindakan yang mendatangkan
rasa sakit atau menibulkan luka pada tubuh orang lain tidak dapat
dipandang sebagai suatu penganiayaan jika tindakan itu telah dilakukan
dengan maksud untuk menyembuhkan kesehatan badan. Adanya suatu
tujuan yang dapat dibenarkan sendiri tidak meniadakan sifatnya tindakan
45 Tolib Setiady, Op. cit, hlm 48-49. 46 Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa dan Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm 131-132.
36
tersebut sebagai suatu penganiayaan. Akan tetapi, jika tindakan-
tindakan yang mendatangkan rasa sakit itu sifatnya adalah demikian
ringan dan dapat memperoleh pembenarannya pada suatu tujuan yang
dapat dibenarkan maka tindakan-tindakan tersebut dapat dipandang
bukan sebagai suatu penganiayaan.”47
2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Penganiayaan
Dalam KUHP, tindak pidana penganiayaan dimasukkan ke dalam
tindak kejahatan dan diatur dalam buku II Bab XX Pasal 351 sampai
dengan Pasal 358 KUHP. Dari rumusa Pasal yang ada dalam KUHP, maka
tindak pidana penganiayaan dapat diklasifikasikan kedalam lima jenis
yaitu:
a. Penganiayaan Biasa
Pemberian kualifikasi sebagai penganiayaan biasa (gewone
mishandeling) yang dapat disebut juga dengan penganiayaan
bentuk pokok atau bentuk standar terhadap ketentuan Pasal 351
sungguh tepat, setidak-tidaknya untuk membedakannya dengan
bentuk bentuk penganiayaan lainnya.
Dilihat dari sudut cara pembentuk UU dalam merumuskan
penganiayaan, kejahatan ini mempunyai suatu keistimewaan.
Apabila pada rumusan-rumusan kejahatan lain, pembentuk UU
dalam membuat rumusannya adalah dengan menyebut unsur
tingkah laku dan unsur-unsur lainnya seperti kesalahan, melawan
hukum atau unsur mengenai obyeknya mengenai cara
47 Ibid.
37
melakukannya dan sebagainya, tetapi pada kejahatan yang diberi
kualifikasi penganiayaan (Pasal 351 ayat 1), dirumuskan dengan
sangat singkat yaitu dengan menyebut kualifikasinya sebagai
penganiayaan (mishandeling) dan menyebutkan ancaman
pidananya. Pasal 351 merumuskan sebagai berikut:
1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Oleh karena kejahatan penganiayaan yang dirumuskan pada
ayat 1 hanya memuat kualifikasi kejahatan dan ancaman pidananya
saja, maka dari rumusan itu saja tidak dapat dirinci unsur-unsurnya
yang oleh karena itu juga sekaligus tidak diketahui dengan jelas
tentang pengertiannya.
Istilah luka ringan tidak dikenal dalam rumusan bentuk-bentuk
penganiayaan karena dengan adanya istilah luka berat dalam Pasal
351 ayat (2) begitu juga dalam Pasal 353 ayat (2) jo Pasal 90, maka
luka ringan dapat diartikan sebagai suatu luka berat sebagaimana
yang dimaksudkan dalam Pasal 90, suatu pengertian kebalikan dari
luka berat. Pasal 90 merumuskan tentang macamnya luka berat,
yaitu:
1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak akan memberi
38
harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.
2) Tidak mampu untuk terus-menerus menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan atau mata pencaharia.
3) Kehilangan salah satu panca indera. 4) Mendapat cacat berat. 5) Menderita lumpuh. 6) Terganggu daya pikirnya selama empat minggu atau lebih. 7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Dengan memperhatikan rumusan Pasal 90 tersebut, dapat
disimpulkan bahwa Pasal tersebut tidak memberikan rumusan
tentang arti luka berat yang berlaku secara umum tetapi
menyebutkan bentuk dan macamnya luka berat atau keadaan-
keadaan tertentu pada tubuh manusia yang masuk ke dalam macam
luka berat. Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa luka yang
mempunyai arti terdapatnya perubahan pada rupa tubuh yang tidak
berupa luka-luka berat sebagaimana tersebut dalam Pasal 90
adalah sebagai luka ringan.
Berdasarkan uraian di atas, maka semakin jelas bahwa
penganiayaan ini adalah berupa tindak pidana materiil. Untuk
dipandang sebagai telah terjadinya penganiayaan secara sempurna,
sepenuhnya pada apakah akibat yang dituju telah terjadi ataukah
tidak.48
b. Penganiayaan Ringan
Kejahatan yang diveri kualifikasi sebagai penganiayaan ringan
48 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm 8-20.
39
(lichte mishandeling) oleh UU ialah penganiayaan yang dimuat
dalam Pasal 352, yang rumusannya sebagai berikut:
1) Kecuali yang disebut di dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
2) Percobaan untuk melakukan kejahatan itu tidak dipidana.
Jadi, Pasal di atas dikategorikan sebagai penganiayaan ringan
yang artinya tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian.49
c. Penganiayaan Dengan Direncakan Lebih Dahulu
Pasal 353 mengenai penganiayaan berencana merumuskan
sebagai berikut:
1) Penganiayaan yang dipikirkan lebih dahulu diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Salah satu unsur penting yang terdapat dalam rumusan tindak
pidana yang diatur dalam Pasal 353 ayat (1) KUHP itu ialah unsur
voorbedachte raad yang oleh penerjemah Indonesia biasanya telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata
49 Ibid, hlm 22.
40
direncanakan lebih dahulu.50
Dalam Pasal ini juga pada dasarnya mengandung tiga syarat,
yaitu:
1) Memutuskan kehendak dengan suasana tenang;
2) Tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak
sampai dengan pelaksanaan kehendak;
3) Pelaksanaan kehendak dalam suasana tenang.
Mengambil suatu kehendak dalam suasana tenang memiliki
arti bahwa dalam kehendak untuk melakukan suatu penganiayaan
tersebut, suasana batin dari pelaku dalam keadaan yang sedang
tidak tergesa-gesa dan tiba-tiba serta tidak dalam keadaan terpaksa
dan emosi yang tinggi.
Ada interval waktu yang cukup antara timbulnya kehendak dan
pelaksanaan kehendak. Waktu yang cukup ini relatif, dalam artian
bahwa tidak diukur dari lamanya waktu tertentu, melainkan
bergantung pada keadaan dan kejadian nyata yang telah terjadi.
Dalam tenggang waktu tersebut yang paling penting adalah tidak
terlalu singkat karena apabila waktunya singkat maka tidak ada
kesempatan untuk berpikir-pikir. Selain itu, dalam interval waktu
50 Lamintang dan Theo Lamintang, Op. cit, hlm 149.
41
tersebut, masih ada hubungan antara pengambilan keputusan
dengan pelaksanaan. Untuk mengetahui adanya hubungan dari
keduanya, maka dapat dilihat dari:51
1) Pelaku masih sempat berubah pikiran dan menarik
kehendaknya untuk menganiaya
2) Bila kehendaknya sudah bulat, ada cukup waktu untuk
memikirkan, misalnya bagaimana cara untuk melakukan
penganiayaan tersebut dan alat apa yang sebaiknya
digunakan untuk melancarkan aksinya.
Ketiga syarat tentang perencanaan tersebut, merupakan satu
kebulatan yang tidak terpisahkan, yang jika salah satu dari ketiga
tersebut hilang, maka unsur perencanaan tidak akan ada.
d. Penganiayaan Berat
Tindak pidana penganiayaan berat telah diatu dalam Pasal
354 ayat (1) dan (2) KUHP yang dirumuskan sebagai berikut:52
1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.
Yang dimaksud perbuatan di dalam rumusan Pasal 354 ayat
(2) KUHP di atas itu adalah kesengajaan menyebabkan atau
51 Adami Chazawi, Op. cit, hlm 27-28. 52 Ibid, hlm 32.
42
mendatangkan luka berat pada tubuh orang lain, dimana kata
kesengajaan menyebabkan luka berat pada tubuh orang lain itu
sendiri oleh undang-undang telah diberi kualifikasi sebagai
penganiayaan berat, hingga apabila orang berusaha menjabarkan
ketentuan pidana tentang penganiayaan berat yang dirumuskan
dalam Pasal 354 ayat (2) KUHP itu ke dalam unsur-unsur maka
orang akan mendapatkan pembagian dari unsur-unsurnya yaitu
sebagai berikut:53
1. Unsur subjektif : opzettelijk atau dengan sengaja
2. Unsur objektif :
Toebrengen atau menyebabkan;
Zwar lichamelijk letsel atau luka berat pada tubuh;
Een ander atau orang lain;
Ten govelge hebben atau yang mengakibatkan;
Den dood atau kematian.
Jadi, dalam Pasal 354 ayat (2) KUHP itu, undang-undang
telah mensyaratkan bahwa pelaku memang telah menghendaki
(willens) untuk melakukan suatu perbuatan yang menimbulkan luka
berat pada tubuh orang lain dan mengetahui (wetens) akibat dari
perbuatannya.54
e. Penganiayaan Berat Berencana
53 Lamintang dan Theo Lamintang, Op. cit, hlm 160. 54 Lamintang dan Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1985, hlm 146.
43
Penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu
diatur dalam Pasal 355 ayat (1) dan (2) KUHP yang dirumuskan
sebagai berikut:
1) Penganiayaan berat yang dipikirkan lebih dahulu diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Tindak pidana penganiayaan berat dengan direncanakan
lebih dahulu merupakan suatu gequalificeerde zware mishandeling
atau suatu penganiayaan berat dengan pemberatan yakni sama
yang diatu dalam Pasal 354 KUHP yang karena di dalamnya
terdapat suatu unsur yang memberatkan maka pidana yang
diancamkan terhadap pelakunya menjadi diperberat.
Unsur yang memberatkan itu adalah met voorbedachte atau
dengan direncanakan terlebih dahulu. Ini juga berarti bahwa
voorbedachte raad dalam rumusan Pasal 355 KUHP itu ialah bukan
merupakan unsur tindak pidana penganiayaan berat dan bukan pula
merupakan suatu strafverhogende omstandigheid ataupun yang
menurut istilah pembentuk undang-undang, ia merupakan suatu
persoonlijke omstandigheid die de straf verhoogd atau keadaan
pribadi yang membuat pidana yang dapat dijatuhkan kepadanya
menjadi diperberat, yakni istilah yang digunakan oleh pembentuk
undang-undang dalam merumuskan ketentuan pidana seperti yang
diatu dalam Pasal 58 KUHP.
Dengan demikian, kata voorbedachte raad itu hanya berlaku
44
bagi pelakunya sendiri dan apabila dalam melakukan tindak
pidananya itu pelaku telah mendapat bantuan dari orang lain, maka
voorbedachte raad itu juga berlaku bagi orang yang telah
memberikan bantuannya (medeplichtige).55
55 Lamintang dan Theo Lamintang, Op. cit, hlm 175.
45
BAB III
METODE PENELITIAN
A.Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data-data dan informasi yang dibutuhkan, maka
Penulis memilih lokasi penelitian dilakukan di Kejaksaan Negeri Makassar
dengan pertimbangan terdapat tindak pidana penganiayaan yang
mengakibatkan hilangnya nyawa yang menimpa masyarakat di Kota Makassar
sesuai dengan skripsi ini.
B. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berkut:
1. Data Primer, merupakan data yang diperoleh melalui penelitian
lapangan yang dilakukan dengan cara wawancara dengan pihak
terkait sehubungan dengan Penulisan skripsi ini, dalam hal ini Jaksa
di Kejaksaan Negeri Makassar.
2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan
terhadap berbagai macam bahan bacaan berupa buku-buku
literatur, peraturan perundang-undangan, artikel-artikel hukum,
karangan ilmiah, dan bacaan-bacaan lainnya yang ada kaitannya
dengan masalah yang dibahas dalam Penulisan skripsi ini.
C. Teknik Pengumpulan Data
46
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh data dan informasi
yang dibutuhkan melalui metode:
1. Metode Penelitian Kepustakaan adalah metode ini merupakan
upaya untuk mendapatkan data-data sekunder melalui bahan-bahan
bacaan berupa tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang-
undangan, teori-teori para ahli dan pendapat-pendapat dari pakar
kejaksaan melalui berbagai media.
2. Metode Penelitian Lapangan adalah suatu cara untuk memperoleh
data dengan melakukan penelitian langsung di lapangan melalui
proses wawancara atau pembicaraan langsung terhadap petugas
kejaksaan dan pejabat yang berwenang.
D. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif yaitu menganalisis
data yang diperoleh dari studi lapangan dan kepustaakaan dengan cara
menjelaskan dan menggambarkan kenyataan-kenyataan yang ditemui di
lapangan. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan normatif yaitu dengan
melakukan penjabaran atas fakta-fakta hasil penelitian.
47
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persyaratan Suatu Visum et Repertum Agar Dapat Menjadi Alat Bukti Yang
Sah
Maksud dibuatnya suatu visum et repertum adalah sebagai pengganti
Corpus Delicti karena apa yang telah dilihat dan diketemukan dokter (ahli) itu
dilakukan seobjektif mungkin sebagai pengganti peristiwa/keadaan yang terjadi
dan pengganti bukti yang telah diperiksa dan menurut kenyataan atau fakta-
faktanya, sehingga berdasar atau pengaturan sebaik-baiknya atas dasar
keahliannya tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan yang akurat dan tepat.
Disamping itu, kemungkinan yang lain adalah apabila pada waktu dilakukan
pemeriksaan perkaranya tersebut di sidang pengadilan maka suatu luka yang
misalnya disebabkan karena adanya tindak pidana penganiayaan telah sembuh
atau korban yang telah meninggal akibat tindak pidana pembunuhan sewaktu
sidang dilakukan telah membusuk atau dikubur, maka guna mencegah
perubahan keadaan tersebut dibuatlah suatu visum et repertum.56
1. Dasar Hukum Visum et Repertum
Dasar-dasar hukum yang membahas mengenai visum et repertum
adalah sebagai berikut:
a. Staatsblad (Lembaran Negara) Nomor 350 Tahun 1937
56 R. Soeparmono, Keterangan Ahli & Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana, CV Mandar Maju, Bandung, 2016, hlm 88.
48
Pasal 1 berbunyi “Visa Reperta seorang dokter yang dibuat
baik atas sumpah jabatannya yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajarannya di Negeri Belanda atau Indonesia merupakan alat bukti yang sah dalam perkara-perkara pidana, selama berisikan keterangan mengenai hal-hal yang dilihat dan ditemui oleh dokter pada benda yang diperiksa.
Pasal 2 ayat (1) berbunyi “Pada dokter yang tidak pernah mengucapkan sumpah jabatan baik di Negeri Belanda maupun di Indonesia sebagaimana tercantum dalam pasal 1 diatas dapat mengucapkan sumpah sebagai berikut: “Saya bersumpah (berjanji) bahwa sebagai seorag dokter
akan membuat pernyataan atau keterangan tertulis yang
diperlukan untuk kepentingan peradilan yang sebenar-
benarnya menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya.”
b. Pasal 133 KUHAP yang berbunyi: 1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan menangani seorang
korban, baik luka, keracunan ataupun mati, yang diduga karena peristiwa tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.
2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan secara tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakuakan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilakuakn dan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau bagian lain pada mayat.
c. Pasal 120 KUHAP yang berbunyi: “Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta
pendapat ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”.
d. Pasal 179 KUHAP yang berbunyi: 1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga sebagai mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan
49
yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
e. Pasal 184 KUHAP yang berbunyi: 1) Keterangan saksi 2) Keterangan ahli 3) Surat 4) Petunjuk 5) Keterangan terdakwa
Sebagaimana yang kita ketahui visum et repertum adalah
sebuah surat yang berisi mengenai hal hal apa saja yang telah
ditemukan dan dilihat oleh dokter yang telah disumpah. Dengan
demikian, maka visum et repertum menurut alat bukti yang sah
dalam undang-undang termasuk ke dalam kategori alat bukti
surat.
f. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 15 November 1969, Nomor 10 K/Kr/1969 berbunyi: “Sebagai pengganti visum et repertum dapat juga didengar
sebagai keterangan saksi ahli”
Jadi, selain menjadi bukti surat visum juga dapat menjadi
bukti berupa keterangan ahli apabila dokter yang bersangkutan
dipanggil ke muka persidangan untuk menjelaskan hasil dari
visum yang telah dibuatnya.
2. Pihak Yang Berhak Meminta Visum et Repertum57
a. Penyidik adalah Polri dengan pangkat serendah-rendahnnya
57 Idem, hlm 37.
50
Aipda (Ajudan Inspektur) sedangkan pangkat terendah untuk
penyidik pembantu adalah Bripda (Brigadir Dua). Namun, di
daerah terpencil bisa saja seorang Bripda diberi wewenang
sebaga penyidik. Untuk kasus yang melibatkan anggota TNI
(sebagai pelaku) maka yang bertindak sebagai penyidik adalah
Polisi Militer, sedangkan jika TNI (sebagai korban) maka yang
bertindak sebagai penyidik adalah Polisi Negara.
b. Hakim Pidana biasanya tidak langsung meminta visum et
repertum kepada dokter, akan tetapi hakim dapat
memerintahkan kepada jaksa untuk melengkapi berita acara
pemerikaan (BAP) dengan visum et repertum. Kemudian jaksa
melimpahkan permintaan hakim kepada penyidik.
c. Hakim Perdata berwenang meminta visum et repertum. Hal ini
diatur dalam HIR (Herziene Inlands Reglement) dikarenakan
disidang pengadilan perdata tidak ada jaksa, maka hakim dapat
langsung meminta visum et repertum kepada dokter.
d. Hakim Agama boleh meminta visum et repertum sebab telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 10.
Hakim Agama hanya mengadili perkara yang menyangkut
agama Islam.
3. Pihak Yang Berhak Membuat Visum et Repertum
Berdasarkan Pasal 133 KUHAP yang berhak membuat visum yaitu:
51
a. Ahli Kedokteran Kehakiman yang dimaksud disini adalah dokter
umum yang telah mengambil spesialis di bidang forensik dan
kedokteran kehakiman (medikolegal).
b. Dokter atau ahli lainnya. Sesuai standar pendidikan profesi
dokter, dokter umum yang selama pendidikannya sudah
mempelajari forensik klinik dan patologi forensik dan telah
mengucapkan sumpah jabatan setelah menyelesaikan
pendidikannya maka dokter tersebut berwenang untuk
memberikan pelayanan forensik.
Berdasarkan penjelasan di atas, seorang dokter yang bukan
spesialis forensik boleh membuat visum et repertum. Tetapi, di dalam
penjelasan Pasal 133 KUHAP dikatakan bahwa keterangan yang
diberikan oleh dokter forensik merupakan keterangan ahli sedangkan yang
dibuat oleh dokter selain spesialis forensik disebut petunjuk. Hal ini
diperjelas pada Pedoman Pelaksanaan KUHAP dalam Keputusan Menteri
Kehakiman RI No.M.01.PW.07.03 Tahun 1982 yang antara lain
menjelaskan bahwa keterangan yang dibuat oleh dokter bukan ahli
merupakan alat bukti petunjuk.
4. Syarat Pembuatan Visum et Repertum
1. Syarat formil dalam pembuatan suatu visum et repertum agar dapat
menjadi alat bukti yang sah sesuai dengan yang telah diatur di dalam
Instruksi Kapolri No. Pol: Ins/E/20/IX/75 adalah sebagai berikut:
a. Permintaan harus secara tertulis, menggunakan formulir
52
permintaan yang sesuai dengan kasus yang ditangani. Hal ini
sesuai dengan Pasal 113 ayat (2) KUHAP;
b. Tidak dibenarkan untuk meminta visum et repertum tentang
kejadian yang telah lampau, sebab merupakan rahasia jabatan
dokter;
c. Pemeriksaan atas mayat dilakukan dengan cara beda, jika ada
keberatan dari pihak keluarga korban maka pihak polisi atau
pemeriksa memberikan penjelasan tentang pentingnya
dilakukan bedah mayat;
d. Polisi wajib menyaksikan dan mengikuti jalannya bedah mayat;
e. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka
polisi perlu pengamanan tempat dilakukannya bedah mayat.
2. Syarat materil pembuatan visum et repertum adalah menyangkut isi
dari suatu visum et repertum tersebut yaitu sesuai dengan kenyataan
yang ada pada tubuh korban yang diperiksa. Disamping itu isi dari
visum et repertum tersebut tidak bertentangan dengan Ilmu
Kedokteran yang telah teruji kebenarannya.
5. Syarat Pencabutan Visum et Repertum
a. Pencabutan permintaan visum et repertum pada prinsipnya
tidak dibenarkan. Bila terpaksa visum et repertum harus dicabut
kembali, maka dilaksanakan sesuai Instruksi Kapolri No. Pol:
Ins/E/20/IX/75. Dalam hal pencabutan tersebut hanya diberikan
oleh Komandan Kesatuan paling rendah tingkat Komres dan
53
untuk kota besar hanya oleh Dan Tabes. Wewenang
pencabutan visum et repertum tidak dapat dilimpahkan kepada
pejabat/petugas bawahan. Namun, apabila ada suatu
perubahan atau perbaikan atas visum et repertum pada
dasarnya dapat dibenarkan asalkan disertai dengan alasan
yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya
serta harus ditandatangani oleh dokter ahli yang membuatnya.
Kecuali, beberapa hal yang tidak memungkinkan perbaikan
misalnya dokter yang bersangkutan pindah tugas, berhalangan,
berhenti, pensiun, dan lain-lain maka dapat dilakukan dan
diterbitkan oleh dokter ahli lain. Hal ini disebut visum et
repertum ulangan.
b. Pencabutan harus tertulis secara resmi dengan menggunakan
formulir pencabutan dan ditanda tangani oleh pejabat yang
disebutkan dalam instruksi tersebut, atau setidak setidaknya
petugas yang berhak. Dimana pangkatnya tingkat di atas
permintaan, setelah terlebih dahulu membahasnya secara
mendalam.
c. Dengan pencabutan visum et repertum, maka pihak peminta
harus menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada sesuatu yang
dapat diharapkan sebagai keterangan dari barang bukti berupa
manusia yang luka atau mati.
54
6. Masa Pembuatan Visum et Repertum58
Tujuan permintaan visum yang lebih dini biasanya adalah sebagai
bahan laporan ke atasan penyidik dalam rangka pengembangan kasus
atau untuk dijadikan dasar penangkapan dan penahanan tersangka atau
untuk kepentingan lainnya. Pada keadaan ini, dokter sebaiknya
mengabulkan dan membuat visum sementara. Pada umumnya visum baru
mulai dikonsep dan diketik jika penyidiknya meminta atau menagih visum
yang pernah dimintanya. Tenggang waktu untuk meminta atau menagih
tersebut sampai selesainya visum biasanya berkisar antara beberapa hari
sampai sekitar satu atau dua minggu. Meskipun demikian, sebaiknya
pembuatan visum didasarkan atas lamanya penahanan yang diatur dalam
Pasal 24 KUHAP bahwa lamanya masa penahanan selama penyidikan
maksimum dalam 60 hari.
B. Kekuatan Visum et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam Pembuktian
Terhadap Kasus Penganiayaan Berat Dalam Putusan No.
2107/Pid.B/2016/PN.Mks
1. IDENTITAS TERDAKWA
Nama Lengkap : A. FAJRI Alias CONTRENG Bin ABD RAZID
Tempat Lahir : UJUNG PANDANG
Umur/Tgl Lahir : 21 Tahun / 1 Februari 1995
Jenis Kelamin : Laki-laki
58 Ibid.
55
Kebangsaan : Indonesia
Tempat Tingal : Jl. Kalumpang No. 49 Kel Timongan Lompoa
Kec. Bontoala Kota Makassar
Agama : Islam
Pekerjaan : -
Pendidikan : SMA (Tamat)
2. URAIAN SINGKAT PERKARA
Telah terjadi tindak pidana Penganiayaan terhadap diri korban Sdra.
SYAMSUDDIN Alias SYAM dengan cara dibusur oleh Sdra. A. FAJRI Als
CONTRENG Bin ABD RAZID sehingga korban meninggal dunia pada hari
Jumat tanggal 01 Mei 2015 sekitar pukul 13.50 wita di rumah sakit Labuang
Baji Makassar adapun kejadian ini terjadi pada hari Sabtu tanggal 04 April
2015 sekitar pukul 21.00 wita di perempatan jalan Kalumpang, jalan
Mangadel dan jalan Datuk Ditiro, Kel. La’latang, Kec. Tallo Kota Makassar
dan motif penganiayaan ini karena A. FAJRI Als CONTRENG Bin ABD
RAZID menyimpan perasaan dendam kepada si korban karena korban
pernah membusur terdakwa sebanyak 3 kali.
3. DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM
PRIMAIR:
--Bahwa ia terdakwa A. FAJRI Als CONTRENG Bin ABD RAZID, pada hari
Sabtu tanggal 04 April 2015 sekitar jam 21.00 wita atau setidak-tidaknya
pada waktu lain pada tahun 2015, bertempat di di perempatan jalan
Kalumpang, jalan Mangadel dan jalan Datuk Ditiro, Kel. La’latang, Kec. Tallo
56
Kota Makassar atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain dalam daerah
hukum Pengadilan Negeri Makassar, dengan sengaja menghilangkan nyawa
orang lain, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Bahwa pada awalnya terdakwa FAJRI Als CONTRENG Bin ABD
RAZID meminta tolong kepada temannya yang bernama Lk. IKBAL
untuk dibonceng sepeda motor pergi membeli minuman keras di Jl.
Datuk Ditiro Makassar setelah sampai di toko penjual minuman keras
ternyata toko tersebut tutup sehingga terdakwa pulang bersama
temannya tersebut dan saat melintas di Jl. Kalumpang Makassar saat
itu terdakwa melihat korban Lk. SYAMSUDDIN alias SYAM sementara
berdiri di depan dekker ujung Jl. Mangadel Makassar sehingga
terdakwa menyampaikan kepada temannya yakni Lk. IKBAL agar
menuju ke Jl. Pongtiku Makassar kemudian ke Jl. Datuk Ditiro dan
tepat saat berada di perempatan Jl. Kalumpang dengan Jl. Mangadel
dan Jl. Datuk Ditiro Kelurahan La’latang Kecamatan Tallo Makassar
maka terdakwa menyampaikan kepada Lk. IKBAL bahwa “pelan-pelan”
kemudian terdakwa mengambil anak panah (busur) lengkap dengan
ketapelnya yang sebelumnya terdakwa simpan disaku samping celana
yang sedang dikenakkannya kemudian terdakwa langsung melepaskan
anak panah (busur) ke arah korban Lk. SYAMSUDDIN alias SYAM
sebanyak 1 (satu) kali dan mengena atau menancap pada bagian perut
korban sebelah kiri setelah itu terdakwa pergi meninggalkan tempat
kejadiaan lalu terdakwa membuang ketapel yang terdakwa gunakan
57
membusur korban dan selanjutnya terdakwa dengan menggunakan
mobil angkutan umum pergi ke Kab. Gowa, hingga akhirnya terdakwa
berhasil ditangkap dan akibat perbuatan terdakwa tersebut
mengakibatkan korban Lk. SYAMSUDDIN alias SYAM mengalami luka
tusuk pada bagian perutnya sebelah kiri dan akhirnya korban
meninggal dunia setelah dirawat inap selama 26 (dua puluh enam) hari
di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar.
Bahwa berdasarkan alat bukti surat berupa: Visum et Repertum dari
Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar Nomor:
2421/LB.01/yanmed/inst.forensik/8/2016 tanggal 21 Agustus 2016 yang
ditanda tangani oleh dr. Benny Mathius, M.Kes, Sp.f, yang hasil
pemeriksaannya terhadap korban Lk. SYAMDUDDIN, pada pokoknya
menyimpulkan sebagai berikut:
Telah dilakukan pemeriksaan terhadap korban, yang menurut penyidik
bernama SYAMSUDDIN, pada tanggal empat bulan April tahun dua
ribu lima belas, bertempat di IGD Rumah Sakit Umum Labuang Baji
Makassar dengan nomor rekam medic 318305. Dari hasil pemeriksaan
dapat disimpulkan bahwa korban masuk Rumah Sakit Daerah Labuang
Baji Makassar dengan satu buah anak panah busur yang tertancap
didaerah perut kiri atas akibat eksplorasi. Korban meninggal pada
tanggal 1 Mei 2015 pukul 13.50 wita setelah rapat inap selama 26 hari.
Penyebab kematian korban tidak dapat diketahui karena tidak
dilakukan otopsi (bedah mayat).
58
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam pasal 338 KUHP.
SUBSIDAIR:
Bahwa ia terdakwa A. FAJRI Als CONTRENG Bin ABD RAZID bersama
dengan Lk. IKBAL (DPO) pada hari Sabtu tanggal 04 April 2015 sekitar jam
21.00 wita atau setidak-tidaknya pada waktu lain pada tahun 2015,
bertempat di di perempatan jalan Kalumpang, jalan Mangadel dan jalan
Datuk Ditiro, Kel. La’latang, Kec. Tallo Kota Makassar atau setidak-tidaknya
pada suatu tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Makassar,
baik sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang
turut serta melakukan perbuatan itu, dengan sengaja menghilangkan nyawa
orang lain, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Bahwa pada awalnya terdakwa FAJRI Als CONTRENG Bin ABD
RAZID meminta tolong kepada temannya yang bernama Lk. IKBAL
untuk dibonceng sepeda motor pergi membeli minuman keras di Jl.
Datuk Ditiro Makassar setelah sampai di toko penjual minuman keras
ternyata toko tersebut tutup sehingga terdakwa pulang bersama
temannya tersebut dan saat melintas di Jl. Kalumpang Makassar saat
itu terdakwa melihat korban Lk. SYAMSUDDIN alias SYAM sementara
berdiri di depan dekker ujung Jl. Mangadel Makassar sehingga
terdakwa menyampaikan kepada temannya yakni Lk. IKBAL agar
menuju ke Jl. Pongtiku Makassar kemudian ke Jl. Datuk Ditiro dan
tepat saat berada di perempatan Jl. Kalumpang dengan Jl. Mangadel
59
dan Jl. Datuk Ditiro Kelurahan La’latang Kecamatan Tallo Makassar
maka terdakwa menyampaikan kepada Lk. IKBAL bahwa “pelan-pelan”
kemudian terdakwa mengambil anak panah (busur) lengkap dengan
ketapelnya yang sebelumnya terdakwa simpan disaku samping celana
yang sedang dikenakkannya kemudian terdakwa langsung melepaskan
anak panah (busur) ke arah korban Lk. SYAMSUDDIN alias SYAM
sebanyak 1 (satu) kali dan mengena atau menancap pada bagian perut
korban sebelah kiri setelah itu terdakwa pergi meninggalkan tempat
kejadiaan lalu terdakwa membuang ketapel yang terdakwa gunakan
membusur korban dan selanjutnya terdakwa dengan menggunakan
mobil angkutan umum pergi ke Kab. Gowa, hingga akhirnya terdakwa
berhasil ditangkap dan akibat perbuatan terdakwa tersebut
mengakibatkan korban Lk. SYAMSUDDIN alias SYAM mengalami luka
tusuk pada bagian perutnya sebelah kiri dan akhirnya korban
meninggal dunia setelah dirawat inap selama 26 (dua puluh enam) hari
di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar.
Bahwa berdasarkan alat bukti surat berupa: Visum et Repertum dari
Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar Nomor:
2421/LB.01/yanmed/inst.forensik/8/2016 tanggal 21 Agustus 2016 yang
ditanda tangani oleh dr. Benny Mathius, M.Kes, Sp.f, yang hasil
pemeriksaannya terhadap korban Lk. SYAMDUDDIN, pada pokoknya
menyimpulkan sebagai berikut:
Telah dilakukan pemeriksaan terhadap korban, yang menurut penyidik
60
bernama SYAMSUDDIN, pada tanggal empat bulan April tahun dua
ribu lima belas, bertempat di IGD Rumah Sakit Umum Labuang Baji
Makassar dengan nomor rekam medic 318305. Dari hasil pemeriksaan
dapat disimpulkan bahwa korban masuk Rumah Sakit Daerah Labuang
Baji Makassar dengan satu buah anak panah busur yang tertancap
didaerah perut kiri atas akibat eksplorasi. Korban meninggal pada
tanggal 1 Mei 2015 pukul 13.50 wita setelah rapat inap selama 26 hari.
Penyebab kematian korban tidak dapat diketahui karena tidak
dilakukan otopsi (bedah mayat).
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam pasal 338 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
---------------------------------------atau-------------------------------------------
KEDUA:
--Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP.--
KETIGA:
--Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam pasal 351 ayat (3) KUHP.--
4. TUNTUTAN JAKSA PENUNTUT UMUM
Tuntutan pidana dari Jaksa Penuntut Umum sebagaimana dalam
surat dakwaannya yang pada pokoknya menuntut sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa terdakwa A. FAJRI Als CONTRENG Bin
ABD RAZID bersalah melakukan tindak pidana Penganiayaan
61
yang mengakibatkan luka berat sebagaimana diatur dalam pasal
351 ayat (2) KUHP;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa A. FAJRI Als
CONTRENG Bin ABD RAZID dengan pidana penjara selama 6
(enam) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan
dengan perintah terdakwa tetap ditahan;
3. Menyatakan barang bukti berupa:
1 (satu) buah anak panah yang terbuat dari paku besi
dirampas untuk dimusnahkan
4. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.
3000.- (tiga ribu rupiah).
5. AMAR PTUSAN HAKIM
1. Menyatakan terdakwa A. FAJRI Als CONTRENG Bin ABD
RAZID, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Penganiayaan yang menyebabkan
mati”;
2. Memidana A. FAJRI Als CONTRENG Bin ABD RAZID oleh
karena itu dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun;
3. Menetapkan pidana yang dijatuhkan dikurangkan sepenuhnya
dengan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa;
4. Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan
sementara;
5. Menyatakan barang bukti berupa: 1 (satu) buah anak panah yang
62
terbuat dari paku besi. Dirampas untuk dimusnahkan;
6. Membebani terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar
Rp. 3.000,- (tiga ribu rupiah);
6. ANALISIS PENULIS
Kedudukan visum et repertum di dalam hukum pembuktian dalam
proses acara pidana, dapat berkedudukan sebagai:
a. Alat bukti surat (Pasal 184 ayat (1) huruf c jo. 187, huruf c
KUHAP);
b. Keterangan ahli (Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 15
November 1969, Nomor 10 K/Kr/1969).
Sekalipun syarat untuk adanya visum et repertum tidak mutlak bagi
suatu perkara kejahatan tertentu (penganiayaan, pembunuhan, kejahatan
kealpaan, kejahatan kesusilaan, dan lain-lain) di dalam suatu proses
pemeriksaan di sidang Pengadilan, tetapi mengingat kedudukannya
sebagai alat bukti nantinya, bagi pengadilan adalah cukup penting. Hal ini
sejalan dengan pernyataan hakim Bonar Harianja SH., MH selaku hakim
ketua di dalam kasus No. 2107/Pid.B/2016/PN.Mks, berdasarkan hasil
wawancara dengan beliau mengatakan:59
“visum et repertum dalam konteks pembuktian memiliki 2 fungsi yaitu
sebagai keterangan ahli sekaligus bukti surat tapi visum sendiri
biasanya digunakan sebagai keterangan ahli. Untuk menyatakan
59 Wawancara dilakukan pada tanggal 03/01/2018 pukul 13.50 wita.
63
seseorang bersalah atau tidak dibutuhkan minimal 2 alat bukti yah sah
sesuai dengan Pasal 183 KUHAP. Visum itu merupakan salah satu alat
bukti tapi visum tidak dapat berdiri sendiri harus ada bukti lain yang
menerangkan suatu tindak pidana karena visum lebih kepada
menerangkan adanya suatu akibat dari suatu perbuatan. Akibatnya
sudah diterangkan melalui visum tetapi perbuatannya tidak sebab
perbuatan ini bisa diterangkan melalui bukti berupa saksi, keterangan
saksi, maupun petunjuk. Jadi, dari sisi pembuktian visum et repertum
merupakan suatu alat bukti yang tidak dapat berdiri sendiri karena
harus didukung oleh bukti lainnya.”
Selaras dengan pendapat diatas, menurut Andi Unru, SH. selaku
jaksa yang menangani kasus 2107/Pid.B/2016/PN.Mks, berdasarkan hasil
wawancara dengan beliau mengatakan:60
“visum et repertum adalah suatu laporan yang dibuat oleh dokter ahli
dimana laporan tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti untuk
mengungkap suatu tindak pidana yang berkaitan dengan korban
pemerkosaan, pembunuhan serta penganiayaan dan visum et repertum
dibuat hanya untuk pemeriksaan luka luar pada tubuh si korban.
Seperti misalnya, dari hasil visum et repertum ditemukan hanya luka-
luka ringan maka terdakwa dapat dituntut dengan Pasal 351 ayat (1)
tetapi apabila luka yang ditemukan cukup parah maka terdakwa akan
60 Wawancara dilakukan pada tanggal 05/01/2018 pukul 10.00 wita.
64
dituntut dengan Pasal 351 ayat (1) yaitu penganiayaan berat namun
apabila penganiayaan itu menyebabkan si korban meninggal dunia
maka terdakwa akan dituntut dengan Pasal 351 ayat (3). Pada
dasarnya peranan suatu visum et repertum sebagai alat bukti dalam
proses pembuktian di tingkat kejaksaan berfungsi sebagai acuan untuk
menentukan tuntutan seberapa berat atau ringannya Pasal yang akan
diberikan kepada si terdakwa.”
Namun, dari kasus di atas penyebab kematian korban tidak dapat
diketahui sebab keluarga korban menolak untuk di adakan autopsi sehingga
hakim hanya melihat dari hasil visumnya tetapi putusan yang dijatuhkan
kepada terdakwa adalah Pasal 351 ayat (3) sebab hakim Bonar Harianja
SH,. MH berpendapat:
“autopsi dilakukan untuk mengetahui hal mendetail dari korban agar
penyebab kematian dapat diketahui. Namun karena keluarga korban
menolak, saya selaku hakim yang menangani kasus ini, secara logika
korban terluka cukup parah karena adanya busur berkarat menancap
di perut kiri atas walaupun telah dilakukan operasi dan mungkin
menjadi salah satu penyebab kematian tapi penyebab awal dia masuk
rumah sakit dan dioperasi adalah karena busur itu. Sehingga saya dan
hakim anggota lainnya memutuskan untuk tetap menjatuhkan Pasal
351 ayat (3) kepada terdakwa.”
Berdasarkan pernyataan di atas, hakim dan jaksa menggunakan
visum et repertum sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam proses
65
pembuktian untuk menemukan suatu titik terang dalam tindak pidana
penganiayaan berat Putusan Nomor 2107/Pid.B/2016/PN.Mks dan
kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada penilaian dan keyakinan
majelis hakim. Untuk lebih jelasnya berikut kesimpulan dari visum et
repertum yang dibuat atas sumpah jabatan oleh dr. Denny Mathius, M.Kes,
Sp.F:
a. Telah dilakukan pemeriksaan terhadap korban, yang menurut
surat visum bernama Syamsuddin, umur dua pulu satu tahun,
pada tanggal empat bulan April tahun dua ribu lima belas,
bertempat di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar
dengan nomor rekam medik 318305.
b. Dari hasil pemeriksaan luar ditemukan satu buah anak panah
busur dengan ujungnya terdapat tali rafia berwarna merah muda
yang tertancap di daerah perut kiri atas dengan ukuran panjang
luka satu koma lima sentimeter. Daerah tepi luka rata, tidak
terdapat memar, dan pendarahan aktif. Pasien di diagnosis
dengan Peritonitis Generalisata e.c vulnus ictum penetrans region
hipokondrium sinistra.
c. Pasien memerlukan penanganan berupa tindakan operasi
Laparatomy eksplorasi. Korban meninggal pada tanggal 1 Mei
2015 pada pukul 13.50 setelah rawat inap selama 26 hari.
Penyebab kematian korban tidak dapat diketahui karena tidak
dilakukannya otopsi (bedah mayat).
66
Dengan adanya pengungkapan pernyataan di dalam bagian
kesimpulan dalam visum et repertum yang disebutkan oleh dokter (ahli)
atas dasar fakta-fakta, misalnya dalam hal perkara pembunuhan atau
penganiayaan dengan menggambarkan semua luka-luka, kelainan-
kelainan, dan hal-hal yang perlu disebutkan oleh dokter serta keadaan lain
yang dipandang penting sehubungan dengan kasus perkara itu, maka
segala hal yang dituliskan oleh dokter mengenai fakta-fakta dan keadaan
apa adanya tersebut akan mewujudkan suatu hasil pemeriksaan yang
dibuat berdasarkan kenyataan dan hasil tersebut amat berfaedah bagi jaksa
dalam membuktikan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan cukup
penting bagi hakim dalam pengambilan kesimpulan yang pasti baginya
untuk menambah keyakinannya dalam pengambilan keputusannya nanti.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dasar hukum visum et repertum agar dapat menjadi alat bukti yang sah
sudah cukup jelas di dalam Pasal 133 KUHAP dan syarat formil suatu visum
adalah harus diajukan secara tertulis dan tidak dibenarkan permintaan atas
peristiwa yang telah lampau. Untuk pemeriksaan mayat yang dilakukan
dengan cara bedah, polisi wajib menjelaskan pentingnya pemeriksaan
apabila keluarga korban menolak serta polisi juga wajib mengikuti jalannya
bedah mayat dan memberikan pengamanan di tempat dilakukannya bedah
mayat sedangkan syarat materilnya berkaitan dengan isi visum et repertum
menyangkut apa yang telah ditemukan pada tubuh korban serta tidak
bertentangan dengan ilmu kedokteran dan telah teruji kebenarannya.
2. Kekuatan pembuktian visum et repertum merupakan salah satu bukti yang
sah tetapi tidak dapat berdiri sendiri sebab harus ada bukti lain yang
mendukung untuk menerangkan adanya suatu perbuatan tindak pidana.
Pada dasarnya visum et repertum menurut alat bukti yang sah dalam Pasal
Pasal 184 ayat (1) huruf c jo. 187, huruf c KUHAP termasuk ke dalam
kategori alat bukti surat tetapi dapat menjadi keterangan ahli sesuai dengan
Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 15 November 1969, Nomor 10
K/Kr/1969, apabila dokter yang membuat visum tersebut dipanggil ke muka
persidangan untuk menjelaskan hasil yang telah ditemukannya sehingga,
68
visum sebagai bukti surat dan visum sebagai keterangan ahli saling
berkaitan. Hasil dari visum tersebut akan berguna untuk membantu jaksa
dalam menetukan arah tuntutan yang akan diberikan kepada terdakwa dan
bagi hakim akan cukup mempengaruhi dalam pengambilan kesimpulan yang
pasti baginya untuk menambah keyakinannya dalam pengambilan
keputusannya nanti.
B. Saran
1. Dalam pembuatan suatu visum et repertum sebaiknya memperhatikan
syarat formil dan syarat materilnya agar dapat menjadi alat bukti yang sah di
muka persidangan.
2. Walaupun visum et repertum tidak mutlak harus ada sebagai alat bukti
dalam pembuktian suatu perkara pidana, akan tetapi untuk memperkuat
keyakinan hakim maka sebaiknya visum et repertum itu harus ada,
khususnya bagi tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap
nyawa.
3. Pembuatan visum et repertum seharusnya dilakukan oleh dokter forensik.
Namun, dokter umum yang selama pendidikannya sudah mempelajari
forensik klinik dan patologi forensik serta telah mengucapkan sumpah
jabatan setelah menyelesaikan pendidikannya, maka dokter tersebut
berwenang untuk memberikan pelayanan forensik.
69
Daftar Pustaka
Buku :
Abdul Mun’im Idries, Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik, Sagung Seto, Jakarta, 2009. Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2013. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Tarsito, Bandung, 1983. Bridgen. Pol. Drs. Suharto dan Jonaedi Efendi, Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara Pidana (Cet. I; Jakarta: PT. Prestasi Pustakarya, 2010). DC Marbun, Handout Hukum Pidana, Universitas Pembangunan Nasional Jawa
Timur, 10 Februari 2009. Iwan Aflanie (et.al), Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2017. Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2004. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti. Bandung, 2013. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012. Lamintang dan Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1985. Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012. Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No 31 Tahun 1999), CV Mandar Maju, Bandung, 2001.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2015. Moeljatno, Hak Asasi Manusia Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Undip Semarang, 2002. M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta, 1986.
70
M. Yahya Harahap, Pmembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua, Jakarta, 2008. Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000. R. Soeparmono, Keterangan Ahli & Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung, 2016. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, 1998. Sudarto, Hukum Pidana 1, Yayasan Soedarto d/a Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, 1990. Soedirjo, Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pembuktian, CV Akademika Pressindo, Jakarta, 1985 Tolib Setiady, Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman, Alfabeta, Bandung, 2009. Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktik Kedokteran, Djambatan, Jakarta, 2005. Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 1999. Yopi Gunawan dan Kristian, Perkembangan Konsep Negara Hukum & Negara Hukum Pancasila, Refika Aditama, Bandung, 2015. Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2014.
Peraturan Perundang-Undangan: Instruksi Kapolri No. Pol: Ins/E/20/IX/75 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 15 November 1969, Nomor 72 K/Kr/1969 Staatsblad (Lembaran Negara) Nomor 350 Tahun 1937 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman.
71
72