skripsi peranan visum et repertum sebagai alat bukti …

87
SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN BERAT (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 2107/Pid.B/2016/PN MKS) OLEH: SRI NURFADILLAH DH PASHA B111 14 066 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

Upload: others

Post on 31-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

SKRIPSI

PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM

PEMBUKTIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN BERAT

(STUDI KASUS PUTUSAN NO. 2107/Pid.B/2016/PN MKS)

OLEH:

SRI NURFADILLAH DH PASHA

B111 14 066

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

Page 2: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

HALAMAN JUDUL

PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM

PEMBUKTIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN BERAT

(STUDI KASUS PUTUSAN NO. 2107/PID.B/2016/PN.MKS)

OLEH

SRI NURFADILLAH DH PASHA

B111 14 066

SKRIPSI

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana

dalam Program Kekhususan Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

Page 3: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

ii

Page 4: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa skripsi dari:

Nama : Sri Nurfadillah DH Pasha

Nomor Pokok : B 111 14 066

Bagian : Hukum Pidana

Judul : Peranan Visum et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam

Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan

Berat (Studi Kasus Putusan No. 2107/Pid.B/2016/PN

Mks)

Telah di periksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian Skripsi.

Makassar, Januari 2018

Pembimbing I

Prof.Dr.H. M. Said KarimS.H.,M.H.,M.Si.,CLA

NIP. 19620711 198703 1 001

Pembimbing II

Dr. Amir Ilyas.,S.H.,M.H.

NIP. 19800710 200604 1 001

Page 5: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

iv

Page 6: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

v

ABSTRAK

Sri Nurfadillah DH Pasha (B111 14 066) “Peranan Visum et Repertum

Sebagai Alat Bukti Dalam Pembuktian Terhadap Tindak Pidana

Penganiayaan Berat (Studi Kasus Putusan No. 2107/Pid.B/2016/PN.Mks).”

Dibimbing oleh Bapak M. Said Karim selaku pembimbing I dan Bapak Amir

Ilyas selaku pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui syarat-syarat sah untuk membuat

suatu visum et repertum agar menjadi alat bukti yang sah di muka

persidangan serta untuk mengetahui kekuatan pembuktian suatu visum et

repertum sebagai alat bukti dalam kasus penganiayaan berat dengan

Putusan No. 2107/Pid.B/2016/PN.Mks. Penelitian ini dilaksanakan di

Pengadilan Negeri Makassar dan di Kejaksaan Negeri Makassar dengan

metode penelitian menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara

penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa visum et repertum adalah laporan

yang dibuat oleh dokter ahli yang telah disumpah yang dapat dijadikan

sebagai alat bukti berupa surat ataupun keterangan ahli apabila dokter yang

membuat visum tersebut dipanggil ke muka persidangan untuk menjelaskan

tentang fakta-fakta yang telah ditemukan. Kekuatan visum et repertum

sebagai alat bukti cukup membantu bagi jaksa dalam menentukan arah

tuntutan yang akan diberikan kepada terdakwa dan bagi hakim visum et

repertum dapat membantu agar hakim dapat menjatuhkan putusan yang

seadil-adilnya. Meskipun visum et repertum tidak mutlak harus ada dalam

pembuktian suatu perkara pidana, akan tetapi visum et repertum sebaiknya

tetap dibuat dan dilampirkan apalagi tindak pidana yang berkaitan dengan

tubuh manusia sebagai objeknya untuk memperkuat keyakinan hakim dalam

menjatuhkan hukuman kepada terdakwa.

Page 7: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

vi

ABSTRACT

Sri Nurfadillah DH Pasha (B111 14 066) "The Role of Visum et Repertum as

Evidence of Serious Criminal Offences (Verdict Number 2107 / Pid.B / 2016 /

PN.Mks Case Study)." Advised by Said Karim as Advisor I and Amir Ilyas as

Advisor II.

This research was intended to find out the legal requirements to make visum

et repertum valid evidence in the trial and to perceive the value of visum et

repertum as evidence in the case of severe maltreatment with Verdict

Number 2107 / Pid.B / 2016 / PN.Mks. This research was conducted in

Makassar District Court and Makassar State Public Prosecutor’s Office by

using library research and field research techniques.

The results of this study indicated that visum et repertum is a report prepared

by a sworn doctor which can be used as evidence in the form of a letter or an

expert description if the doctor is called to testify at a trial. The value of visum

et repertum as evidence is helpful enough for the prosecutor in determining

the charge to be given against the defendant and as for the judge visum et

repertum can assist the judge to make the fairest judgment. Although visum

et repertum is not absolute in a trial of a criminal case, however visum et

repertum should still be made and attached especially for the crimes related

to the human body as the object to convince the judge in convicting the

defendant.

Page 8: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

vii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Segala Puji penulis panjatkan hanya untuk Allah SWT. Rasa

syukur yang tiada hingga penulis haturkan kepada-Nya yang telah

memberikan semua yang penulis butuhkan dalam hidup ini. Terima

kasih banyak Ya Allah untuk semua limpahan berkah, rezeki,

rahmat, hidayah, kesehatan yang Engkau titipkan, dan kesempatan

yang Engkau berikan kepadaku untuk menyelesaikan kuliahku

hingga penyusunan tugas skripsi ini dengan judul: Peranan Visum

et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam Pembuktian Terhadap

Tindak Pidana Penganiayaan Berat (Studi Kasus Putusan No.

2107/Pid.B/2016/PN.Mks).

Sholawat dan salam tak lupa penulis ucapkan pada

Rasulullah saw. Semoga cinta dan kasih sayang Sang Pemilik

Alam Semesta selalu tercurah untuk Rasulullah saw beserta

seluruh keluarga besarnya, sahabat-sahabatnya, dan para

pengikutnya.

Page 9: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

viii

Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat

dan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu M.A selaku

Rektor Universitas Hasanuddin, beserta Pembantu Rektor

lainnya.

2. Ibu Prof. Farida Patittingi, S.H,. M.Hum. selaku Dekan

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, beserta Pembantu

Dekan lainnya;

3. Pembimbing I dan Pembimbing II Penulis, Prof., Dr.,H. M.

Said Karim, S.H.,M.H.,M.Si.,CLA dan Dr. Amir Ilyas,

S.H.,M.H. yang telah memberikan tenaga, waktu, dan

pikiran, kesabaran dalam membimbing penulis

menyelesaikan skripsi ini, hingga skripsi ini layak untuk

dipertanggung jawabkan.

4. Tim penguji ujian skripsi, Bapak Prof. Dr. Muhadar, S.H.,

M.Si, Ibu Dr. Haerana, S.H., M.H dan Ibu Dr. Nur Azizah,

S.H., M.H., yang telah menyempatkan waktunya untuk

memeriksa skripsi ini dan memberikan masukan yang

sangat positif kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini

menjadi jauh lebih baik.

Page 10: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

ix

5. Bapak Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H., M.H,

selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Universitas Hasanuddin

beserta semua dosen hukum Pidana, yang telah

menyalurkan ilmunya pengetahuannya kepada penulis

sehingga wawasan penulis bertambah mengenai hukum

Pidana.

6. Para Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin yang telah menyalurkan ilmunya kepada

penulis sehingga pengetahuan penulis tentang ilmu hukum

bertambah.

7. Ketua Pengadilan Negeri Makassar dan Kepala

Kejaksaan Negeri Makassar yang telah membantu dan

memberikan data kepada penulis selama proses penelitian.

8. Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada kedua

orang tua Bapak H. Darwis Pasa, SH dan Ibu Hj.

Haslipa, SE yang telah memberikan kasih sayang, doa,

dan dukungan yang tak terhingga kepada penulis.

9. Untuk saudara-saudara saya Zaldi Adam Wardanha, SH.,

MH, Sartika Sari Wardanhi. S.Sos., M.I.Kom dan Sarah

Aziza Wardahni, terima kasih atas bantuannya dan

dukungannya kepada penulis.

Page 11: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

x

10. Terima Kasih kepada Dian, Angel, Edys, Indira, Iccang,

Titi atas segala dukungan dan hiburannya, semoga segera

mendapatkan gelar S.H.

11. Terima kasih kepada Teman-Teman Local Board Alsa LC

Unhas Periode 2015/2016 atas segala dukungan dan

bantuannya.

12. Pak Roni, Pak Budi, Pak Appang, Pak Usman, dan Kak

Tri serta seluruh staff Akademik FH – UH, terima kasih atas

segala bantuannya.

13. Terima Kasih kepada Teman-Teman KKN Seposko

Kelurahan Watang Bacukiki atas segala hiburan, motivasi,

dan bantuan yang diberikan kepada penulis.

14. Untuk teman-teman seperjuangan S.H., Nisa, Rana,

Melisa, Atirah, Tami, Sarah terima kasih atas bantuan dan

masukannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini.

15. Terima Kasih Kepada Muhammad Zuhal Dwi Saputra,

yang selalu membantu, memberikan motivasi, dan

memberikan waktunya untuk membantu penulis mulai

dari proposal hingga skripsi.

Page 12: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

xi

Penulis menyadari bahwa karya ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis

mengharapkan kritikan yang sifatnya membangun untuk perbaikan

dan penyempurnaan skripsi ini.

Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat berguna dalam

pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pada

umumnya dan hukum pidana pada khususnya.

Makassar, Januari 2018

Penulis

Page 13: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

xii

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul…………... ……….………………………………………....... i

Lembar Pengesahan…………... ……….………………………………....... ii

Persetujuan Pembimbing ……….………………………………………....... iii

Persetujuan Menempuh Ujian Skripsi…………... ……………………....... iv

Abstrak..…………….…………………….……………………………............. v

Kata Pengantar..…..…………………….……………………………............. vii

Daftar Isi …………….…………………….……………………………............ xii

BAB I Pendahuluan ………………………………………………………............ 1

A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………. 1

B. Rumusan Masalah……………………………………………………… 8

C. Tujuan Penelitian ………………………………………………………. 9

D. Manfaat Penelitian …………………………………………………….. 9

BAB II Tinjauan Pustaka ……………………………………………………….. 11

A. Tindak Pidana …………………………………………………………. 11

1. Pengertian Tindak Pidana ……………………………………. 11

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana…………………………………. 14

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana…………………………………….. 17

B. Pembuktian Dalam Perkara Pidana …………………………………. 22

1. Pengertian Pembuktian ………………………………………. 22

Page 14: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

xiii

2. Teori Pembuktian ……………………………………………… 25

3. Pembuktian Menurut KUHAP …………..……………………. 28

C. Visum et Repertum…………………………………………………..... 28

1. Pengertian Visum et Repertum………………………………. 28

2. Jenis dan Isi Visum et Repertum…………………………….. 32

3. Prosedur Permintaan Visum et Repertum............................ 36

D. Tindak Pidana Penganiayaan………………………………………… 37

1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan…………………... 37

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Penganiayaan…………………... 38

BAB III Metode Penelitian ………………………………………………..…… 48

A. Lokasi Penelitian …………………………………………..…………. 48

B. Jenis dan Sumber Data ………………………………………………. 48

C. Teknik Pengumpulan Data …………………………………………… 49

D. Analisis Data …………………………………………………………… 49

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan……………………………...…… 50

A. Syarat Suatu Visum et Repertum Agar Menjadi Alat Bukti yang

Sah……………………………………………………………………..… 50

1. Dasar Hukum Visum et Repertum……………………………. 50

2. Pihak yang Berhak Meminta Visum et Repertum…………... 53

3. Pihak yang Berhak Membuat Visum et Repertum………….. 54

4. Syarat Pembuatan Visum et Repertum................................ 55

5. Syarat Pencabutan Visum et Repertum…………………..…. 56

Page 15: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

xiv

6. Masa Pembuatan Visum et Repertum………………...…….. 57

B. Kekuatan Visum et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam Pembuktian

Terhadap Kasus Penganiayaan Berat Dalam Putusan No.

2107/Pid.B/2016/PN.Mks …………………………………………….. 58

1. Identitas Terdakwa……………….……………………………. 58

2. Uraian Singkat Perkara…………………………...…………... 59

3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum…….................................. 59

4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum……...…………………..…. 65

5. Amar Putusan Hakim…………………………………...…….. 66

6. Analisis Penulis……..…………………………………...…….. 67

BAB V Penutup ……………………………………………………………..…… 72

A. Kesimpulan……...…………………………………………..…………. 72

B. Saran………………….. ………………………………………………. 73

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 16: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di Indonesia, istilah negara hukum secara konstitusional telah dijelaskan

dengan tegas dalam penjelasan UUD 1945 bahwa “Negara Republik Indonesia

berdasar atas hukum (rechstaat)”, tidak berdasar atas kekuasaan belaka

(machstaat) dan terkandung amanat bahwa setiap manusia mendapatkan posisi

yang sama di mata hukum tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, dan

status sosial seseorang, atau yang lebih dikenal dengan istilah equality before

the law1.

Dalam negara hukum, hukum merupakan pilar utama dalam mengatur

segala kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di Indonesia

menganut konsep negara hukum pancasila yang artinya suatu sistem hukum

yang didirikan berdasarkan asas-asas dan kaidah atau norma-norma yang

terkandung atau tercermin dari nilai yang ada dalam pencasila sebagai dasar

kehidupan bermasyarakat. Dalam artian bahwa suatu negara yang memiliki

konsep negara hukum pancasila selalu mengatur segala tindakan dan tingkah

laku masyarakatnya berdasarkan atas Undang-undang yang berlaku untuk

menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian warga negara

Indonesia agar sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam Pancasila

11 Bridgen. Pol. Drs. Suharto dan Jonaedi Efendi, Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara

Pidana Cet I, PT. Prestasi Pustakarya, Jakarta, 2010, hlm 3.

Page 17: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

2

dan UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak atas rasa aman dan bebas

dari segala bentuk kejahatan2.

Demi mewujudkan negara hukum yang tertib guna mencapai tujuan

negara Republik Indonesia, tidaklah jarang terjadi permasalahan-permasalahan

yang beragam di dalam kehidupan bermasyarakat meskipun segala tingkah laku

dan perbuatan telah diatur dalam setiap Undang-undang tapi kejahatan masih

juga marak terjadi di negara ini. Salah satu contohnya adalah kejahatan

terhadap nyawa atau biasa disebut pembunuhan.3

Ada berbagai macam cara untuk melakukan pembunuhan baik dengan

berencana maupun yang tidak direncanakan, tahap-tahap pembunuhan pun

biasanya diawali dengan adanya penganiayaan kepada korban yang mana

akhir-akhir ini tidak jarang mengakibatkan kematian bagi korbannya. Seorang

yang telah melakukan tindak pidana sudah seharusnya bertanggung jawab dan

di adili sesuai dengan hukum yang berlaku.4

Tujuan hukum acara pidana sebagaimana yang telah kita ketahui adalah

berupaya untukmencari dan menemukan atau setidak-tidaknya mendekati

kebenaran materiil. Hal tersebut senada dengan yang disebutkan oleh Van

Bemmelen dalam bukunya “Strafordering Leerbook Van Het Nederlandsch Straf

2 Yopi Gunawan dan Kristian, Perkembangan Konsep Negara Hukum & Negara Hukum Pancasila, Refika Aditama, Bandung, 2015, hlm 92. 3 Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm 2. 4 Ibid, hlm 131.

Page 18: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

3

Procesrecht” (Undang-undang di Belanda yang memuat tentang hukum acara

pidana).5

Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah yang

bertugas dan memiliki wewenang dibidang penuntutan dan melaksanakan tugas

dibidang penyidikan dan penuntutan perkara pidan serta wewenang lain

berdasarkan undang- undang. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam

proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari suatu

kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat

dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum

dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu

perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan

penuntutan maupun pada tahap sidang selanjutnya. Upaya yang dilakukan

aparat penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana

tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Pasal 6 ayat (2)

tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :

“Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena

alat bukti yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa

seorang yang dianggap bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan

yang dituduhkan atas dirinya”.6

Adanya ketentuan Undang-undang tersebut maka dalam proses

penyelesaian perkara pidana aparat penegak hukum haruslah berkewajiban

5 Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 1999, hlm 15. 6 M. Yahya Harahap, Pmembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi kedua, Jakarta, 2008, hlm 72.

Page 19: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

4

untuk mengumpulkan bukti yang sesuai dengan perkara pidana yang

ditanganinya. Hakim dalam menjatuhkan pidana diatur dalam Pasal 183 KUHAP

yang berbunyi :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan

pada suatu tindak piadan benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya”.

Adapun yang dimaksud mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana

yang telah dijelaskan diatas dan yang telah ditentukan dan diatur dalam

Undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) pada Pasal 184 ayat (1) yang berbunyi :7

“Alat bukti yang sah ialah :

1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan terdakwa

Kebenaran materiil dan keadilan menjadi suatu tujuan dalam rangka

proses acara pidana sehingga aparat penegak hukum, dituntut untuk bertindak

dan melaksanakan tugas sebagai realisasi dari asas negara hukum. Salah satu

bentuk upaya hakim dalam menegakkan dan mencari serta menemukan

kebenaran materiil dalam menyelesaikan atau memutuskan suatu perkara

pidana adalah dengan kejelian dalam menggunakan alat bukti dalam proses

pembuktian dimuka sidang pengadilan guna membuat terang suatu tindak

7 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Page 20: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

5

pidana.8 Salah satu tindak pidana yang sulit dilakukan pembuktian terhadapnya

adalah tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa

orang lain.

Di dalam usaha memperoleh bukti bukti yang diperlukan guna

mengungkap kebenaran dari suatu perkara pidana, maka seringkali para

penegak hukum meminta bantuan kepada seorang ahli dalam rangka mencari

kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.9

Mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan KUHAP pada

Pasal 120 ayat (1) yang berbunyi :

“Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat ahli atau

orang yang memiliki keahlian khusus”.

Pada proses penyidikan perkara pidana yang menyangkut dengan akibat

luka pada tubuh atau yang menimbulkan gangguan kesehatan atau yang

menyebabkan meninggalnya seseorang, dimana terdapat akibat-akibat tersebut

patut diduga telah terjadi tindak pidana. Oleh sebab itu, dibutuhkan seorang

dokter dengan ilmu kedokteran kehakiman yang dimilikinya untuk membantu

proses penyidikan. Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh ahli kedokteran

kehakiman atas korban atau barang bukti yang diserahkan oleh penyidik dan

8 Waluyadi, Op, cit, hlm 43. 9 DC Marbun, Handout Hukum Pidana. Universitas Pembangunan Nasional Jawa Timur, 10 Februari 2009

Page 21: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

6

akan membuat laporan dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukannya.10 Salah

satu alat bukti yang dapat digunakan penyidik untuk mengungkapkan tindak

pidana penganiayaan yang menyebabkan orang meninggal dunia adalah alat

bukti surat. Alat bukti surat memang ada banyak jenisnya, salah satu

diantaranya adalah laporan dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh para ahli

kedokteran kehakiman atau biasa dikenal dengan istilah visum et repertum.

Visum et repertum memang tidak dicantumkan dalam KUHAP secara

tegas, namun visum et repertum berfungsi sebagai laporan tertulis untuk

kepentingan peradilan atas permintaan penegak hukum yang berwenang di sini

khususnya oleh penyidik. Visum et repertum merupakan keterangan ahli yang

dibuat oleh dokter sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara IKAHI dan IDI

tahun 1986 di Jakarta, yaitu untuk membedakan dengan surat keterangan ahli

lainnya11 dan dibuat berdasarkan terhadap segala seuatu yang dilihat dan

ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu

menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

Peranan visum et repertum memberikan tugas sepenuhnya kepada

dokter sebagai pelaksana di lapangan untuk membantu jaksa dalam

menentukan arah dakwaan yang akan didakwakan terhadap terdakwa, serta

membantu hakim dalam menemukan kebenaran materiil dalam memutuskan

10 R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokeran Kehakiman Edisi Kedua,Tarsito, Bandung, 1983, hlm 21. 11 Abdul Mun’im Idries, Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik, Sagung Seto, Jakarta, 2009, hlm 10.

Page 22: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

7

perkara pidana. Dokter pun ikut serta dalam memberikan pendapat berdasarkan

ilmu pengetahuan yang dimilikinya dalam pemeriksaan perkara pidana, apabila

berhubungan dengan bagian dari tubuh manusia. Pendapat dari dokter

diperlukan karena seorang jaksa sebagai penuntut umum dalam suatu perkara

tidak dibekali dengan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan anatomi tubuh

manusia dalam rangka menemukan suatu kebenaran materiil atas perkara

pidana.

Namun pada kenyataan yang terjadi saat ini masih banyak orang yang

belum paham dengan pentingnya melakukan visum setelah mengalami

penganiayaan yang menimbulkan luka atau menyebabkan kematian. Seperti

salah satu contoh berita yang dimuat dalam media online mengenai kasus

penganiayaan yang terjadi di Malang yang menyebabkan kematian Fikri

Dolasmantya Surya mahasiswa jurusan Planologi ITN. Fikri tewas saat

mengikuti kegiatan serupa ospek di kampusnya.

Kasatreskrim Polres Malang mengatakan tidak berkenannya keluarga

melaukan autopsi jasad Fikri menjadi hambatan dalam penerapan Pasal 351

KUHP sebab yang dibutuhkan keterangan ahli adalah penyebab kematian

berupa hasil autopsi yang berguna sebagai pemeriksaan luka di luar maupun

luka di dalam secara lebih rinci karena apabila mengandalkan visum maka

hanya luka-luka luar yang akan teridentifikasi sedangkan penyebab

kematiannya tidak diketahui karena di dalam visum tidak cantumkan alasan

seseorang meninggal dunia.

Page 23: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

8

Oleh sebab itu, diperlukan Ilmu Kedokteran Kehakiman untuk membantu

para penegak hukum dalam hal menentukan hubungan kausalitas antara suatu

perbuatan dengan akibat yang ditimbulkanya dari perbuatan tersebut. Sutomo

Tjokronegoro mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Kedokteran

Kehakiman adalah penggunaan ilmu kedokteran untuk kepentingan

pengadilan.12

Berdasarkan uraian diatas maka penulis akan membahas lebih lanjut

dalam bentuk suatu skripsi dengan judul “Peranan Visum et Repertum

Sebagai Alat Bukti Dalam Pembuktian Terhadap Tindak Pidana

Penganiayaan Berat (Studi Kasus Putusan No.

2107/Pid.B/2016/PN.Makassar)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut diatas, maka

rumusan masalah adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana persyaratan suatu visum et repertum agar dapat menjadi alat

bukti yang sah?

2. Bagaimana kekuatan visum et repertum sebagai alat bukti dalam

pembuktian terhadap kasus penganiayaan berat dalam putusan No.

2107/Pid.B/2016/PN.Makassar?

12 Waluyadi, Op, cit, hlm 1-2.

Page 24: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

9

C. Tujuan Penelitian

Berangkat dari rumusan masalah di atas maka adapun tujuan penulisan

skripsi ini adalah untuk memberikan jawaban atas rumusan masalah di atas,

yaitu :

1. Untuk mengetahui persyaratan suatu visum et repertum agar dapat

menjadi alat bukti yang sah

2. Untuk mengetahui kekuatan visum et repertum sebagai alat bukti dalam

pembuktian terhadap kasus penganiayaan berat dalam putusan No.

2107/Pid.B/2016/PN.Makassar

D. Kegunaan Penelitian

Penulisan skripsi ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut :

1. Bagi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, hasil penelitian

ini dapat disumbangan sebagai penambah wawasan penelitian di bidang

Hukum Pidana, khususnya tentang peranan visum et repertum dalam

membantu arah dakwaan terhadap kasus penganiayaan yang

mengakibatkan hilangnya nyawa.

2. Bagi penulis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana untuk

menambah wawasan mengenai peranan visum et repertum dalam suatu

tindak pidana penganiayaan, serta merupakan sarana untuk menerapkan

ilmu pengetahuan yang diperoleh di bangku kuliah di lapangan.

3. Bagi peneliti lain hasil ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan

dari hasil penelitian yang sejenis.

Page 25: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana dalam bahasa Latin disebut dengan Delictum

atau Delicta. Dalam bahas Jerman disebut delict, dalam bahasa Perancis

disebut delit.13 Namun, dalam pembentukan undang-undang kita telah

menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita

kenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukun

Pidana tanpa memberikan penjelasan mengenai apa yang sebenarnya

dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit” tersebut.

Perkataan “feit” itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti “sebagian

dari suatu kenyataan” sedangkan “strafbaar” berarti “dapat dihukum”. Jadi,

secara harfiah perkataan” strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai

“sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang

tentu tidak tepat, oleh karena kelak kita akan ketahui bahwa yang dapat

dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan

kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan. Oleh karena itu, bahwa

pembentuk undang-undang kita itu tidak memberikan suatu penjelasan

mengenai apa yang sebenarnya telah ia maksud dengan perkataan

13 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm 7.

Page 26: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

11

“strafbaar feit”, maka timbullah di dalam doktrin sebagai pendapat tentang

sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut.14

Simons , menyatakan bahwa:

“strafbaar feit (terjemahan harfiah: peristiwa pidana) ialah perbuatan

melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang

yang mampu bertanggungjawab.”15

Van Hamel merumuskan sebagai berikut:

“strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang

dirumuskandalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut

dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan”16

Sulitnya memberikan pengertian terhadap strafbaar feit, membuat

para ahli mencoba untuk memberikan definisi masing-masing dari sudut

pandang mereka yang menimbulkan banyaknya ketidakseragaman

rumusan dan penggunaan istilah strafbaar feit.

Pompe memberikan dua macam definisi, yaitu yang bersifat teoritis

dan yang bersifat perundang-undangan. Strafbaar feit secara teoritis yaitu:

“suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang

sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang

pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah

perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan

hukum. Definisi tersebut sekaligus menggambarkan tujuan hukum

pidana, yaitu mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan

kesejahtraan umum yang sesuai dengan UUD 1945.17

14 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, hlm 181. 15 Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm 224. 16 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2015, hlm 61. 17 Lamintang, Op. cit, hlm 182.

Page 27: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

12

Van Hattum berpendapat bahwa suatu tindakan itu tidak dapat

dipisahkan dari orang yang telah melakukan tindakan tersebut. Beliau

mengatakan bahwa:

“straf verdienend mempunyai arti sebagai “pantas untuk dihukum”

sehingga perkataan “strafbaar feit” seperti yang telah digunakan oleh

pembentuk undang-undang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana itu secara “eliptis” haruslah diartikan sebagai suatu “tindakan

yang karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat

seseorang menjadi dapat dihukum”.18

Moeljatno dalam memberikan definisi tentang strafbaar feit,

menggunakan istilah perbuatan pidana. Beliau memberikan pengertian

perbuatan pidana sebagai berikut:

“perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan, dimana

disertai dengan ancaman pidana tertentu bagi yang melanggar aturan

tersebut.”

Sementara itu, Jonkers memberikan definisi tentang strafbaar feit

menjadi 2 bagian yaitu:

a. Definisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit sebagai kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang-Undang.

b. Definisi panjang memberikan pengertian strafbaar feit sebagai suatu

kelakuan yang melawan hukum yang dilakukan baik dengan sengaja maupun lalai oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dari pengertian Jonkers tersebut maka dapat ditarik kesimpuan

mengenai unsur-unsur dari suatu strafbaar feit, yaitu:

a. Perbuatan melawan hukum; b. Dengan sengaja; c. Dapat dipertanggungjawabkan;

18 Ibid, hlm 184.

Page 28: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

13

d. Diancam pidana. Andi Zainal Abidin mengemukakan istilah yang paling tepat ialah

delik, karena beberapa faktor alasan sebagai berikut:19

a. Bersifat universal dan dikenal dimana-mana; b. Lebih singkat, efisien, dan netral. Dapat mencakup delik-delik

khusus yang subjeknya badan hukum, badan, orang mati: c. Orang yang memakai istilah strafbaar feit, tindak pidana, dan

perbuatan pidana juga menggunakan delik; d. Luas pengertiannya sehingga meliputi juga delik-delik yang

diwujudkan oleh korporasi menurut hukum pidana ekonomi Indonesia;

e. Tidak menimbulkan kejanggalan seperti “peristiwa pidana” (bukan peristiwa yang dapat dipidana melainkan pembuatnya).

Dari banyaknya istilah mengenai strafbaar feit yang telah

dijelaskan diatas maka Penulis lebih setuju untuk menggunakan istilah

tindak pidana dengan pertimbangan bahwa istilah tindak pidana bukan lagi

menjadi istilah yang jarang diketahui oleh masyarakat Indonesia dan istilah

tersebut telah digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana itu pada umunya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur

yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yaitu unsur

subjektif dan unsur objektif.

Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau

yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala

19 Zainal Abidin, Op. cit, hlm 231-232.

Page 29: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

14

sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur subjektif dari suatu tindak

pidana itu adalah sebagai berikut:

a. Kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa);

b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti

yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

c. Berbagai maksud atau oogmerk seperti pencurian (Pasal 362

KUHP), pemerasan (368 KUHP), penipuan (378 KUHP), dan lain-

lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad, seperti yang

terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

e. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan

tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan

keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si

pelaku itu harus dilakukan. Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah

sebagai berikut:

a. Sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid;

b. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai

negeri dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan

sebagai pengurus suatu perseroan terbatas, dalam kejahatan

menurut Pasal 398 KUHP;

Page 30: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

15

c. Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab

dengan suatu kenyataan sebagai akibat.20

Semua unsur yang terkandung dalam unsur subjektif dan unsur

objektif merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat pisahkan. Artinya,

jika salah satu saja unsur tindak pidana tidak terpenuhi, maka bisa saja

terdakwa dibebaskan dari tuntutan.

Satochid Kartanegara mengungkapkan unsur delik terdiri atas

unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia yaitu:

a. Suatu tindakan; b. Suatu akibat; c. Keadaan (omstandigheid).

Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-

Undang.

Unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat

berupa:

a. Kemampuan dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid);

b. Kesalahan (schuld).21

Simons, membagi unsur tindak pidana sebagai berikut:22

20 Leden Marpaung, Op. cit, hlm 11. 21 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, 1998, hlm 184-186. 22 Sudarto, Hukum Pidana 1, Yayasan Soedarto d/a Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1990, hlm 41.

Page 31: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

16

a. Unsur objektif, terdiri atas: 1) Perbuatan orang; 2) Akibat yang kehilangan dari perbuatan tersebut; 3) Keadaan tertentu yang menyertai perbuatan tersebut.

b. Unsur subjektif, terdiri atas: 1) Orang yang mampu untuk bertanggungjawab; 2) Adanya kesalahan yang mengiringi perbuatan.

Sementara itu, menurut Moeljatno bahwa unsur atau elemen dari

pebuatan pidana adalah:

1) Kelakuan dan akibat (pebuatan); 2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan; 3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; 4) Unsur melawan hukum yang objektif; 5) Unsur melawan hukum yang subjektif.23

3. Jenis – Jenis Tindak Pidana

Setelah selesai mencoba menjabarkan beberapa tindak pidana ke

dalam unsurnya dan berusaha memberi arti setepat-tepatnya, sekarang

penulis akan membahas mengenai pembagian yang terpenting dari tindak

pidana baik yang telah dilakukan oleh pembentukan undang-undang

sendiri maupun yang telah dilakukan oleh para ahli hukum pidana di

dalam ilmu pengetahuaan hukum pidana. Pada mulanya para ahli hukum

itu telah membagi tindak pidana ke dalam tiga jenis tindakan yang mereka

sebut criminal atrocissima, atrocia, dan levia yang didasarkan pada

sesuatu asas tertentu, melainkan hanya didasarkan pada berat ringannya

kejahatan, dimana berat ringannya kejahatan itu semata-mata hanyalah

23 Moeljatno, Hak Asasi Manusia Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Undip Semarang, 2002, hlm 63.

Page 32: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

17

meraka dasarkan pada berat-berat ringannya hukuman yang telah

diancamkan terhadap masing-masing kejahatan.

Di dalam perkembangan selanjutnya, yakni dalam usaha

menemukan suatu pembagian yang lebih tepat dari tindakan-tindakan

melawan hukum yang dianggap sesuai dengan kebutuhan akan adanya

sistem yang lebih logis bagi Kitab Undang-Undang Pidana yang

didasarkan pada asas-asas tertentu, para guru besar telah membuat

suatu pembagian dari tindakan-tindakan melawan hukum ke dalam dua

macam “onrecht”, yang pertama disebut “crimineel onrecht” adalah setiap

tindakan melawan hukum yang menurut sifatnya adalah bertentangan

dengan “rechtsorde” atau “tertib hukum”, yang kedua disebut “policie

onrecht” adalah setiap tindakan melawan hukum yang menurut sifatnya

adalah bertentangan dengan “kepentingan-kepentingan yang terdapat di

dalam masyarakat”.24

Pembagian di dalam tindakan-tindakan yang oleh para pembentuk

dari Kitab Undang-Undang Hukun Pidana kita telah disebut sebagai

kejahatan-kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran-pelanggaran

(overtredingen) dan dibagi ke dalam buku ke-2 dan buku ke-3 melainkan

juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam

perundang-undangan pidana sebagai keseluruhan.25

24 Lamintang, Op. cit, hlm 209. 25 Ibid, hlm 210-211.

Page 33: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

18

Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana selanjutnya masih

terdapat sejumlah pembagian-pembagian lainnya yaitu sebagai berikut:

a. Doleuse Delicten dan Culpose Delicten

Doleuse delicten ialah perbuatan yang dilarang dan diancam

dengan pidana yang dilakukan dengan sengaja. Culpose delicten

ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang

dilakukan dengan kealpaan.

b. Formele Delicten dan Materiele Delicten

Pada umumnya rumusan-rumusan delik di dalam KUHP itu

merupakan rumusan dari apa yang disebut voltooid delict, yakni

delik yang selesai dilakukan oleh pelaku sebenarnya. Formeel

delicten ialah rumusan undang-undang yang menitikberatkan

kelakuan yang dilarang dan diancam dengan undang-undang.

Adapun materiele delicten adalah rumusan undang-undang yang

menitikberatkan akibat yang dilarang dan diancam dengan undang-

undang.

c. Commisie Delicten dan Ommise Delicten

Suatu tindak pidana itu dapat terdiri dari suatu pelanggaran

terhadap suatu larangan atau dapat juga terdiri dari suatu

pelanggaran terhadap suatu keharusan. Commisie delicten atau

delicta commisionis ialah delik-delik berupa pelanggaran terhadap

larangan-larangan di dalam undang-undang. Ommisie delicten atau

Page 34: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

19

delicta ommisionis ialah delik-delik berupa pelanggaran terhadap

keharusan-keharusan menurut undang-undang.

d. Zelfstandige Delicten dan Voortgezette Delicten

Zelfstandige delicten ialah delik yang berdiri sendiri yang terdiri

atas satu perbuatan tertentu. Voortgezette delicten ialah delik yang

pada hakikatnya merupakan suatu kumpulan dari beberapa delik

yang berdiri sendiri yang karena sifatnya dianggap sebagai satu

delik.

e. Alfopende Delicten dan Voortdurande Delicten

Alfopende delicten ialah delik yang terdiri atas satu atau lebih

tindakan untuk menyelesaikan suatu kejahatan. Voordurande

Delicten ialah delik yang terdiri dari satu atau lebih tindakan untuk

menimbulkan suatu keadaan yang bertentangan dengan suatu

norma.

f. Enkelvoudige Delicten dan Samengestelde Delicten

Enkelvoudige delicten ialah delik yang pelakunya telah dapat

dihukum dengan satu kali saja melakukan tindakan yang dilarang

oleh undang-undang. Samengestelde delicten ialah delik yang

pelakunya hanya dapat dihukum menurut suatu ketentuan pidana

tertentu apabila pelaku tersebut telah berulangkali melakukan

tindakan yang sama yang dilarang oleh undang-undang.

Page 35: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

20

g. Eenvoudige Delicten dan Gequalificeerde Delicten

Eenvoudige delicten atau delik sederhana ialah delik dalam

bentuk pokok seperti yang telah dirumuskan oleh pembentuk

undang-undang sedangkan gequalificeerde delicten ialah delik yang

mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur yang memberatkan

atau juga disebut geprivilegieerde delicten yaitu delik yang

mempunyai bentuk pokok dan disertai unsur yang meringankan.

h. Polietieke Delicten dan Commune Delicten

Politieke delicten ialah delik yang dilakukan karena adanya

unsur politik, antara lain:

1) Gemengde politieke delicten yang merupakan pencurian

terhadap dokumen negara.

2) Zuivere politieke delicten yang merupakan kejahatan

pengkhianatan intern dan pengkhianatan ekstern.

3) Connexe polietieke delicten yang merupakan kejahatan

menyembunyikan senjata. Commune delicten ialah delik

yang ditujukan pada kejahatan yang tidak termasuk

keamanan negara.

i. Delicta Propria dan Commune Delicten

Delicta propia adalah delik yang hanya dilakukan oleh orang

tertentu karena suatu kualitas, sedangkan commune delicten ialah

delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang pada umumnya.

Page 36: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

21

j. Pengelompokan Delict Berdasarkan Kepentingan Hukum yang

Dilindungi

Misalnya, delik aduan, delik harta kekayaan, dan lainnya. Delik

aduan ialah suatu delik yang hanya boleh dituntut jika ada

pengaduan dari orang yang menderita delik. Delik putuatif ialah

suatu perbuatan (tetapi belum termasuk perbuatan pidana) yang

disangka delik. Akibatnya, orang yang bersangkutan tidak dapat

dipidana sebab ia memang tidak melakukan delik. Jadi, delik putuatif

dapat disebut delik sangkaan.26

B. Pembuktian Dalam Perkara Pidana

1. Pengertian Pembuktian

Dikaji secara umum pembuktian berasal dari kata “bukti” yang

berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk

memperlihatkan kebenaran suatu hal.27 Pada umumnya dalam hukum

acara pidana (formeel strafrecht/starfprocesrecht) pada khususnya aspek

pembuktian memegang peranan menentukan untuk menyatakan

kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim. Dalam

kegiatan penyidikan mengumpulkan alat-alat pembuktian merupakan

target penting untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi.

Demikian pula dalam hal penyidik menentukan seseorang berstatus

26 Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm 55-57. 27 Soedirjo, Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pembuktian, CV Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, hlm 47.

Page 37: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

22

sebagai tersangka, setidak-tidaknya penyidik harus sudah menguasai alat

pembuktian yang disebut sebagai “bukti permulaan”. Selanjutnya apabila

penyidik sudah melakukan upaya paksa, misalnya penahanan terhadap

orang yang dianggap sebagai pelaku tindak pidana, maka tindakan

penyidik tersebut paling kurang harus di dasarkan pada ”bukti yang

cukup”.28

Upaya pengumpulan sarana pembuktia itu sudah berperan dan

berfungsi pada saat penyidik mulai melakukan penyidikan. Sehingga,

apabila penyidik dalam melakukan penyidikan kurang memahami atau

tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan sarana

pembuktian, maka tindakan penyidikan yang dilakukan gagal. Oleh sebab

itu, sebelum penyidik menggunakan kewenangannya untuk melakukan

penyelidikan, seyogyanya sejak awal telah memahami dan mendalami

segala sesuatu yang berkaitan dengan pembuktian sebab keberhasilan

jaksa dalam menyusun surat dakwaan dipengaruhi oleh keberhasilan

seorang penyidik dalam melakukan penyelidikan dan mengumpulkan alat

bukti.29

Proses pembuktian pada saat sidang pengadilan berguna untuk

menemukan kebenaran materiil akan peristiwa yang terjadi dan memberi

keyakinan pada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat

28 Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2004, hlm 13. 29 Ibid.

Page 38: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

23

memberika putusan yang seadil-adilnya. Pada proses pembuktian ini ada

korelasi dan interaksi mengenai apa yang diterapkan hakim dalam

menemukan kebenaran materiil melalui tahap pembuktian, alat alat bukti

dan proses pembuktian terhadap aspek-aspek sebagai berikut:

a. Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti;

b. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan

yang didakwakan kepadanya;

c. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-

perbuatan itu;

d. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.30

Pada dasarnya perihal alat-alat bukti diatur pada Pasal 184 ayat

(1) KUHAP. Alat bukti yang sah adalah sebagai berikut:31

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa

2. Teori Pembuktian

Terdapat 4 macam sistem atau teori pembuktian dalam perkara

pidana yaitu sebagai berikut:

a. Sistem atau Teori Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata

30 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No 31 Tahun 1999), CV Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm 99. 31 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Page 39: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

24

Sistem ini disebut juga conviction intime yaitu menentukan

salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan melalui

penilaian “keyakinan hakim” yang menentukan salah atau tidaknya

terdakwa. Darimana hakim menyimpulkan keyakinannya, tidak

menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan ini bisa disimpulkan

dari alat bukti yang diperiksa bisa juga langsung menarik keyakinan

dari keterangan atau pengakuan terdakwa.

Sistem ini sudah pasti mengandung kelemahan sebab hakim

dalam menjatuhkan hukuman semata-mata hanya didasari pada

keyakinan tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sehingga

sekalipun terdakwa bersalah dan telah terbukti, pembuktiannya

dapat dikesampingkan dan dapat dinyatakan tidak bersalah

sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti

berdasarkan alat bukti yang sah tetap dapat dihukum berdasarkan

keyakinan hakim.

Sistem ini seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib

terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan

hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem

pembuktian ini.

b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atau

Alasan yang logis

Sistem ini disebut juga conviction raisonce yaitu keyakinan

hakim tetap memegang peranan penting namun ”dibatasi” sebab

Page 40: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

25

harus disertai dengan alasan-alasan yang jelas yang mendasari

keyakinannya atas kesalahan terdakwa dan harus “reasonable”

yakni berdasar alasan yang dapat diterima oleh akal dan logis.

c. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif

(Positief Wettelijke Bewijs Theorie)

Dalam sistem ini, keyakinan hakim tidak tidak ikut ambil bagian

dalam membuktikan kesalahan terdakwa sebab sistem ini

berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat bukti yang telah

ditentukan oleh undang-undang. Sistem ini mempunyai kebaikan

sebab hakim dituntut untuk mencari dan menemukan kebenaran

salah atau tidaknya terdakwa berdasarkan alat bukti dan bukan

hanya pada keyakinan semata.

d. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif

(Negatief Wettelijke Bewijs Theorie)

Sistem ini merupakan teori gabungan antara sistem

pembuktian hukum positif dan sistem pembuktian berdasarkan

keyakinan hakim. Berdasarkan hasil penggabungan teori itu

munculah rumusan yang berbunyi “salah tidaknya seorang

terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada

cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Namun, teori memiliki kelemahan sebab apabila seorang terdakwa

sudah terbukti salah berdasarkan alat bukti yang ditemukan tapi jika

Page 41: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

26

hakim memiliki keyakinan terdakwa tidak bersalah maka terdakwa

dapat dibebaskan.

Sekalipun secara teoritis antara kedua komponen itu tidak

saling dominan, tapi dalam praktek, secara terselubung unsur

keyakinan hakimlah yang paling menentukan dan dapat

melemparkan secara halus pembuktian yang cukup.32

3. Pembuktian Menurut KUHAP

Pembuktian harus didasarkan pada Pasal 183 KUHAP yang intinya

membahas mengenai hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali

memiliki bukti sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan Pasal ini

hampir sama bunyi dan maksud yang terkandung di dalam Pasal 294 HIR.

Dari kedua Pasal ini, sama-sama menganut sistem pembuktian secara

negatif dan sistem ini adalah sistem yang paling tepat digunakan dalam

penegakan hukum di Indonesia demi tegaknya keadilan, kebenaran dan

kepastian hukum.33

C. Visum et Repertum

1. Pengertian Visum et Repertum

Sebenarnya istilah VeR tidak ditemukan dalam KUHAP maupun

RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), melainkan hanya ditemukan

di dalam Staatsblad No. 350 Tahun 1937 tentang Visa Reperta. Visa

32 M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta, 1986, hlm 797-800. 33 Ibid, hlm 801.

Page 42: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

27

Reperta merupakan bahasa latin, Visa berarti penyaksian atas pengakuan

telah melihat sesuatu dan Reperta berarti laporan.34 Sehingga visum et

repetum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat

berdasarkan sumpah, perihal apa yang diliat dan diketemukan atas bukti

hidup, mayat atau fisik ataupun barang buktilain, kemudian dilakukan

pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya.35

Dalam Stbl 1937 Nomor 350, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa

“visa reperta” para dokter yang dibuat atas sumpah jabatan, yang

diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di Indonesia

maupun atas sumpah khusus seperti dimaksud dalam Pasal 2, dalam

perkara pidana mempunyai kekuatan pembuktian sedangkan menurut

Pasal 10 Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M04.UM.01.06 tahun

1983 menyatakan bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman

disebut visum et repertum. Dalam KUHAP tidak disebut visum et repertum

tetapi menggunakan istilah alat bukti surat dan alat bukti keterangan ahli.

Menurut pendapat D Tjan Han Tjong visum et repertum merupakan

suatu hal yang penting dalam pembuktian karena menggantikan

sepenuhnya tanda bukti (corpus delicti), seperti diketahui dalam suatu

perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta

34 Iwan Aflanie (et.al), Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2017, hlm 46. 35 Tolib Setiady, Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman, Alfabeta, Bandung, 2009, hlm 39-40.

Page 43: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

28

membinasakan nyawa manusia, maka tubuh si korban merupakan tanda

bukti (corpus delicti). 36

Abdul Mun’im Idris memberikan pengertian visum et repertum

adalah suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa

yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta

memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan

peradilan.

Menurut R. Atang Ranoemihardja apa yang dinamakan visum et

repertum adalah “yang dilihat atau ditemukan”, dengan demikian:

“visum et repertum adalah suatu keterangan dokter tentang apa yang

dilihat dan ditemukan di dalam melakukan pemeriksaan terhadap orang

luka atau terhadap mayat”.

Waluyadi menyatakan bahwa:37

“visum et repertum adalah keterangan dokter atas hasil pemeriksaan

terhadap seseorang yang luka atau terganggu kesehatannya atau mati,

yang diduga sebagai akibat kejahatan yang berdasarkan hasil

pemeriksaan tersebut dokter akan membuat kesimpulan tentang

perbuatan dan akibat dari perbuatan itu”.

Subekti dan Tjitrosudibi memberikan definisi sebagai berikut:38

“visum et repertum adalah suatu keterangan dokter yang memuat

kesimpulan suatu pemeriksaan yang telah dilakukannya, misalnya atas

36 Atang Ranoemihardja, Op. cit, hlm 18. 37 Tolib Setiady, Op. cit, hlm 41. 38 Ibid.

Page 44: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

29

mayat seorang untuk menentukan sebab kematian dan lain sebagainya,

keterangan mana diperlukan oleh hakim dalam suatu perkara”.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan visum et repertum adalah

keterangan dokter atas hasil pemeriksaan terhadap seseorang yang luka

atau terganggu kesehatannya atau yang meninggal dunia (mayat) yang

diduga sebagai akibat kejahatan yang berdasarkan hasil pemeriksaan

tersebut dokter akan membuat kesimpulan perbuatan dan akibat dari

perbuatan itu.

Kewajiban dokter untuk membuat visum et repertum ini telah diatur

dalam Pasal 133 KUHAP. Pasal 133 KUHAP mengatur sebagai berikut:39

1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan menangani seorang korban, baik luka, keracunan ataupun mati, yang diduga karena peristiwa tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.

2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan secara tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakuakan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilakuakn dan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau bagian lain pada mayat.

Visum et Repertum berperan dalam proses pembuktian suatu

perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. VeR menguraikan

39 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Page 45: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

30

segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam

begian pemberitaan yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti

alat bukti. VeR juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai

hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di bagian dalam

kesimpulan.40

2. Jenis dan Isi Visum et Repertum

a. Visum et repertum bagi korban hidup yang terdiri dari:

1. VeR Sementara. Bentuknya adalah seperti struktur visum

lengkap akan tetapi belum disimpulkan. Visum tersebut dapat

digunaka sebagai bukti awal penyidikan. VeR sementara

diberikan setelah pemeriksaan dan korban ternyata perlu

diperiksa atau dirawat lebih lanjutb baik dirumah sakit

maupun dirumah. Pada kesimpulan VeR sementara tidak

dicantumkan kualifikasi daripada luka karena masih dalam

pengobatan atau perawatan belum selesai.

2. VeR Lanjutan. Bentuknya sama persis dengan VeR

sementara perbedaan letaknya pada fungsinya yaitu sebagai

sambungan dalam proses penyidikan perkara. VeR lanjutan

diberikan kepada korban setelah:

Sembuh;

Meninggal;

40 Iwan Aflanie, Op. cit, hlm 47.

Page 46: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

31

Pindah rumah sakit;

Pindah dokter;

3. VeR Definitif. Merupakan VeR lengkap yang memuat semua

keterangan dan analisis dari hasil pemeriksaan. Bersifat

permanen dan berfungsi sebagai pengganti barang bukti

jenazah guna proses peradilan. VeR sementara dan lanjutan

dikenal juga sebagai surat keterangan medis sementara

sehingga dapat digunakan penyidik dalam operasional

pemeriksa perkara. Penyusunan VeR tidak terlepas dan

tertib dalam mengelola surat-surat kelengkapan administrasi.

Hal tersebut karena berkaitan erat dengan rahasia jabatan

dalam melakukan pemeriksaan.41

b. Apabila dihubungkan dengan hasil laporan pemeriksaan dokter

(ahli) yang tertuang dalam bentuk visum et repertum tersebut, maka

dikenal:42

1. visum et repertum tentang pemeriksaan luka (korban hidup);

2. visum et repertum tentang pemeriksaan mayat (jenazah);

3. visum et repertum tentang penggalian mayat;

4. visum et repertum di Tempat Kejadian Perkara (TKP);

5. visum et repertum pemeriksaan barang bukti.

Visum et repertum terdiri atas 5 bagian yaitu:

41 Ibid, hlm 48. 42 Tolib Setiady, Op. cit, hlm 44.

Page 47: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

32

1. Pro Justitia. Kata ini diletakkan dibagian atas untuk menjelaskan

bahwa visum et repertum dibuat untuk tujuan peradilan. VeR tidak

memerlukan materai untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti di

depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum.

2. Pendahuluan. Kata pendahuluan sendiri tidak ditulis dalam VeR,

melainkan langsung dituliskan berupa kalimat-kalimat di bawah

judul. Bagian ini menerangkan, antara lain :

a. Identitas tempat pembuatan visum berdasarkan surat

permohonan mengenai jam, tanggal, dan tempat

b. Pernyataan dokter dan identitas dokter

c. Identitas peminta visum

d. Wilayah

e. Identitas korban

f. Identitas tempat perkara

3. Pemberitaan. Bagian ini berjudul "Hasil Pemeriksaan", berisi semua

keterangan pemeriksaan, berupa:

a. Apa yang dilihat, yang ditemukan sepanjang pengetahuan

kedokteran

b. Hasil konsultasi dengan teman sejawat lain

c. Untuk ahli bedah yang mengoperasi, dimintai keterangan apa

yang diperoleh.

d. Tidak dibenarkan menulis dengan kata-kata latin

e. Tidak dibenarkan menulis dengan angka, harus dengan huruf

Page 48: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

33

untuk mencegah pemalsuan.

f. Tidak dibenarkan menulis diagnosis, melainkan hanya

menulis ciri-ciri, sifat, dan keadaan luka.

4. Kesimpulan. Landasannya subjektif medis (memuat pendapat

pemeriksa sesuai dengan pengetahuannya) dan hasil pemeriksaan

medis. Terdiri dari:

a. Memberikan informasi kepada pihak penyidik sehingga

mempermudah proses penyidikan;

b. Dasar membuat kesimpulan yaitu ilmu kedokteran forensik;

c. Dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah medis.

5. Penutup. Landasannya Undang-Undang No 8 Tahun 1981 dan

Lembaran Negara No 350 Tahun 1937 serta sumpah jabatan/dokter

yang berisi kesungguhan dan kejujuran tentang apa yang diuraikan

pemeriksa dalam VeR tersebut. Setelah penutup/kata terakhir

adalah tanda tangan dan nama dokter serta cap instansi dimana

dokter tersebut bekerja/bertugas.43

3. Prosedur Permintaan Visum et Repertum

Mengenai landasan hukum prosedur permohonan visum et

repertum dalam kaitannya dengan kasus-kasus pidana adalah

kewenangan berbagai pihak, termasuk di dalamnya pihak penyidik

43 Ibid hlm 51-53.

Page 49: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

34

sebagai ujung tombak pengungkapan kasus-kasus pidana untuk meminta

bantuan ahli ilmu kedokteran kehakiman.44 Secara garis besar,

permohonan visum et repertum harus memperhatikan hal-hal sebagai

berikut:

a. Permohonan harus dilakukan secara tertulis oleh pihak-pihak yang

diperkenankan untuk itu dan tidak diperkenankan untuk dilakukan

melalui lisan maupun melalui pesawat telepon;

b. Permohonan visum et repertum harus diserahkan oleh penyidik

bersamaan dengan korban, tersangka, dan juga barang bukti

kepada dokter ahli kedokteran kehakiman. Pertimbangan dari

keduanya adalah:

Mengenai permohonan visum et repertum yang harus dilakukan

secara tertulis, oleh karena permohonon berdimensi hukum.

Artinya, tanpa permohonan secara tertulis dokter tidak boleh

dengan serta merta melakukan pemeriksaan terhadap pasien

yang luka, seorang yang terganggu kesehatannya ataupun

seseorang yang mati akibat tindak pidana atau setidak-tidaknya

patut disangka sebagai korban tindak pidana. Demikian pula,

apabila dokter menolak permohonan yang dilakukan secara

tertulis maka ia pun akan dikenakan sanksi hukum.

44 Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktik Kedokteran, Djambatan, Jakarta, 2005, hlm 33.

Page 50: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

35

Mengenai penyerahan korban, tersangka, alat bukti yang lain

didasrkan bahwa untuk dapat menyimpulkan hasil

pemeriksaannya, dokter tidak dapat melepaskan diri dari alat

bukti lainnya. Artinya, untuk sampai pada penentuan hubungan

sebab akibat, maka peranan alat bukti lain selain korban mutlak

diperlukan.45

D. Tindak Pidana Penganiayaan

1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan

Tindak pidana penganiayaan atau mishandeling itu diatur dalam

Bab ke- XX Buku ke-II KUHP yang dalam bentuk pokoknya diatur dalam

Pasal 351 ayat (1) sampai dengan ayat (5) KUHP. Yang dimaksud

penganiayaan adalah kesengajaan menimbulkan rasa sakit atau

menimbulkan luka pada tubuh orang lain. Dengan demikian, untuk

menyebut seseorang itu telah melakukan penganiayaan terhadap orang

lain maka orang tersebut harus mempunyai opzet atau suatu kesengajaan

untuk menimbulkan luka atau rasa sakit pada orang lain.46

Menurut Simons penganiayaan memiliki arti yaitu:

“yang paling tepat untuk memaknai penganiayaan dan sesuai dengan

maksud pembentuk undang-undang, suatu tindakan yang mendatangkan

rasa sakit atau menibulkan luka pada tubuh orang lain tidak dapat

dipandang sebagai suatu penganiayaan jika tindakan itu telah dilakukan

dengan maksud untuk menyembuhkan kesehatan badan. Adanya suatu

tujuan yang dapat dibenarkan sendiri tidak meniadakan sifatnya tindakan

45 Tolib Setiady, Op. cit, hlm 48-49. 46 Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa dan Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm 131-132.

Page 51: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

36

tersebut sebagai suatu penganiayaan. Akan tetapi, jika tindakan-

tindakan yang mendatangkan rasa sakit itu sifatnya adalah demikian

ringan dan dapat memperoleh pembenarannya pada suatu tujuan yang

dapat dibenarkan maka tindakan-tindakan tersebut dapat dipandang

bukan sebagai suatu penganiayaan.”47

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Penganiayaan

Dalam KUHP, tindak pidana penganiayaan dimasukkan ke dalam

tindak kejahatan dan diatur dalam buku II Bab XX Pasal 351 sampai

dengan Pasal 358 KUHP. Dari rumusa Pasal yang ada dalam KUHP, maka

tindak pidana penganiayaan dapat diklasifikasikan kedalam lima jenis

yaitu:

a. Penganiayaan Biasa

Pemberian kualifikasi sebagai penganiayaan biasa (gewone

mishandeling) yang dapat disebut juga dengan penganiayaan

bentuk pokok atau bentuk standar terhadap ketentuan Pasal 351

sungguh tepat, setidak-tidaknya untuk membedakannya dengan

bentuk bentuk penganiayaan lainnya.

Dilihat dari sudut cara pembentuk UU dalam merumuskan

penganiayaan, kejahatan ini mempunyai suatu keistimewaan.

Apabila pada rumusan-rumusan kejahatan lain, pembentuk UU

dalam membuat rumusannya adalah dengan menyebut unsur

tingkah laku dan unsur-unsur lainnya seperti kesalahan, melawan

hukum atau unsur mengenai obyeknya mengenai cara

47 Ibid.

Page 52: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

37

melakukannya dan sebagainya, tetapi pada kejahatan yang diberi

kualifikasi penganiayaan (Pasal 351 ayat 1), dirumuskan dengan

sangat singkat yaitu dengan menyebut kualifikasinya sebagai

penganiayaan (mishandeling) dan menyebutkan ancaman

pidananya. Pasal 351 merumuskan sebagai berikut:

1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Oleh karena kejahatan penganiayaan yang dirumuskan pada

ayat 1 hanya memuat kualifikasi kejahatan dan ancaman pidananya

saja, maka dari rumusan itu saja tidak dapat dirinci unsur-unsurnya

yang oleh karena itu juga sekaligus tidak diketahui dengan jelas

tentang pengertiannya.

Istilah luka ringan tidak dikenal dalam rumusan bentuk-bentuk

penganiayaan karena dengan adanya istilah luka berat dalam Pasal

351 ayat (2) begitu juga dalam Pasal 353 ayat (2) jo Pasal 90, maka

luka ringan dapat diartikan sebagai suatu luka berat sebagaimana

yang dimaksudkan dalam Pasal 90, suatu pengertian kebalikan dari

luka berat. Pasal 90 merumuskan tentang macamnya luka berat,

yaitu:

1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak akan memberi

Page 53: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

38

harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.

2) Tidak mampu untuk terus-menerus menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan atau mata pencaharia.

3) Kehilangan salah satu panca indera. 4) Mendapat cacat berat. 5) Menderita lumpuh. 6) Terganggu daya pikirnya selama empat minggu atau lebih. 7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Dengan memperhatikan rumusan Pasal 90 tersebut, dapat

disimpulkan bahwa Pasal tersebut tidak memberikan rumusan

tentang arti luka berat yang berlaku secara umum tetapi

menyebutkan bentuk dan macamnya luka berat atau keadaan-

keadaan tertentu pada tubuh manusia yang masuk ke dalam macam

luka berat. Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa luka yang

mempunyai arti terdapatnya perubahan pada rupa tubuh yang tidak

berupa luka-luka berat sebagaimana tersebut dalam Pasal 90

adalah sebagai luka ringan.

Berdasarkan uraian di atas, maka semakin jelas bahwa

penganiayaan ini adalah berupa tindak pidana materiil. Untuk

dipandang sebagai telah terjadinya penganiayaan secara sempurna,

sepenuhnya pada apakah akibat yang dituju telah terjadi ataukah

tidak.48

b. Penganiayaan Ringan

Kejahatan yang diveri kualifikasi sebagai penganiayaan ringan

48 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm 8-20.

Page 54: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

39

(lichte mishandeling) oleh UU ialah penganiayaan yang dimuat

dalam Pasal 352, yang rumusannya sebagai berikut:

1) Kecuali yang disebut di dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.

2) Percobaan untuk melakukan kejahatan itu tidak dipidana.

Jadi, Pasal di atas dikategorikan sebagai penganiayaan ringan

yang artinya tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk

menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian.49

c. Penganiayaan Dengan Direncakan Lebih Dahulu

Pasal 353 mengenai penganiayaan berencana merumuskan

sebagai berikut:

1) Penganiayaan yang dipikirkan lebih dahulu diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Salah satu unsur penting yang terdapat dalam rumusan tindak

pidana yang diatur dalam Pasal 353 ayat (1) KUHP itu ialah unsur

voorbedachte raad yang oleh penerjemah Indonesia biasanya telah

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata

49 Ibid, hlm 22.

Page 55: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

40

direncanakan lebih dahulu.50

Dalam Pasal ini juga pada dasarnya mengandung tiga syarat,

yaitu:

1) Memutuskan kehendak dengan suasana tenang;

2) Tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak

sampai dengan pelaksanaan kehendak;

3) Pelaksanaan kehendak dalam suasana tenang.

Mengambil suatu kehendak dalam suasana tenang memiliki

arti bahwa dalam kehendak untuk melakukan suatu penganiayaan

tersebut, suasana batin dari pelaku dalam keadaan yang sedang

tidak tergesa-gesa dan tiba-tiba serta tidak dalam keadaan terpaksa

dan emosi yang tinggi.

Ada interval waktu yang cukup antara timbulnya kehendak dan

pelaksanaan kehendak. Waktu yang cukup ini relatif, dalam artian

bahwa tidak diukur dari lamanya waktu tertentu, melainkan

bergantung pada keadaan dan kejadian nyata yang telah terjadi.

Dalam tenggang waktu tersebut yang paling penting adalah tidak

terlalu singkat karena apabila waktunya singkat maka tidak ada

kesempatan untuk berpikir-pikir. Selain itu, dalam interval waktu

50 Lamintang dan Theo Lamintang, Op. cit, hlm 149.

Page 56: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

41

tersebut, masih ada hubungan antara pengambilan keputusan

dengan pelaksanaan. Untuk mengetahui adanya hubungan dari

keduanya, maka dapat dilihat dari:51

1) Pelaku masih sempat berubah pikiran dan menarik

kehendaknya untuk menganiaya

2) Bila kehendaknya sudah bulat, ada cukup waktu untuk

memikirkan, misalnya bagaimana cara untuk melakukan

penganiayaan tersebut dan alat apa yang sebaiknya

digunakan untuk melancarkan aksinya.

Ketiga syarat tentang perencanaan tersebut, merupakan satu

kebulatan yang tidak terpisahkan, yang jika salah satu dari ketiga

tersebut hilang, maka unsur perencanaan tidak akan ada.

d. Penganiayaan Berat

Tindak pidana penganiayaan berat telah diatu dalam Pasal

354 ayat (1) dan (2) KUHP yang dirumuskan sebagai berikut:52

1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Yang dimaksud perbuatan di dalam rumusan Pasal 354 ayat

(2) KUHP di atas itu adalah kesengajaan menyebabkan atau

51 Adami Chazawi, Op. cit, hlm 27-28. 52 Ibid, hlm 32.

Page 57: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

42

mendatangkan luka berat pada tubuh orang lain, dimana kata

kesengajaan menyebabkan luka berat pada tubuh orang lain itu

sendiri oleh undang-undang telah diberi kualifikasi sebagai

penganiayaan berat, hingga apabila orang berusaha menjabarkan

ketentuan pidana tentang penganiayaan berat yang dirumuskan

dalam Pasal 354 ayat (2) KUHP itu ke dalam unsur-unsur maka

orang akan mendapatkan pembagian dari unsur-unsurnya yaitu

sebagai berikut:53

1. Unsur subjektif : opzettelijk atau dengan sengaja

2. Unsur objektif :

Toebrengen atau menyebabkan;

Zwar lichamelijk letsel atau luka berat pada tubuh;

Een ander atau orang lain;

Ten govelge hebben atau yang mengakibatkan;

Den dood atau kematian.

Jadi, dalam Pasal 354 ayat (2) KUHP itu, undang-undang

telah mensyaratkan bahwa pelaku memang telah menghendaki

(willens) untuk melakukan suatu perbuatan yang menimbulkan luka

berat pada tubuh orang lain dan mengetahui (wetens) akibat dari

perbuatannya.54

e. Penganiayaan Berat Berencana

53 Lamintang dan Theo Lamintang, Op. cit, hlm 160. 54 Lamintang dan Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1985, hlm 146.

Page 58: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

43

Penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu

diatur dalam Pasal 355 ayat (1) dan (2) KUHP yang dirumuskan

sebagai berikut:

1) Penganiayaan berat yang dipikirkan lebih dahulu diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Tindak pidana penganiayaan berat dengan direncanakan

lebih dahulu merupakan suatu gequalificeerde zware mishandeling

atau suatu penganiayaan berat dengan pemberatan yakni sama

yang diatu dalam Pasal 354 KUHP yang karena di dalamnya

terdapat suatu unsur yang memberatkan maka pidana yang

diancamkan terhadap pelakunya menjadi diperberat.

Unsur yang memberatkan itu adalah met voorbedachte atau

dengan direncanakan terlebih dahulu. Ini juga berarti bahwa

voorbedachte raad dalam rumusan Pasal 355 KUHP itu ialah bukan

merupakan unsur tindak pidana penganiayaan berat dan bukan pula

merupakan suatu strafverhogende omstandigheid ataupun yang

menurut istilah pembentuk undang-undang, ia merupakan suatu

persoonlijke omstandigheid die de straf verhoogd atau keadaan

pribadi yang membuat pidana yang dapat dijatuhkan kepadanya

menjadi diperberat, yakni istilah yang digunakan oleh pembentuk

undang-undang dalam merumuskan ketentuan pidana seperti yang

diatu dalam Pasal 58 KUHP.

Dengan demikian, kata voorbedachte raad itu hanya berlaku

Page 59: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

44

bagi pelakunya sendiri dan apabila dalam melakukan tindak

pidananya itu pelaku telah mendapat bantuan dari orang lain, maka

voorbedachte raad itu juga berlaku bagi orang yang telah

memberikan bantuannya (medeplichtige).55

55 Lamintang dan Theo Lamintang, Op. cit, hlm 175.

Page 60: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

45

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Lokasi Penelitian

Untuk memperoleh data-data dan informasi yang dibutuhkan, maka

Penulis memilih lokasi penelitian dilakukan di Kejaksaan Negeri Makassar

dengan pertimbangan terdapat tindak pidana penganiayaan yang

mengakibatkan hilangnya nyawa yang menimpa masyarakat di Kota Makassar

sesuai dengan skripsi ini.

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berkut:

1. Data Primer, merupakan data yang diperoleh melalui penelitian

lapangan yang dilakukan dengan cara wawancara dengan pihak

terkait sehubungan dengan Penulisan skripsi ini, dalam hal ini Jaksa

di Kejaksaan Negeri Makassar.

2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan

terhadap berbagai macam bahan bacaan berupa buku-buku

literatur, peraturan perundang-undangan, artikel-artikel hukum,

karangan ilmiah, dan bacaan-bacaan lainnya yang ada kaitannya

dengan masalah yang dibahas dalam Penulisan skripsi ini.

C. Teknik Pengumpulan Data

Page 61: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

46

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh data dan informasi

yang dibutuhkan melalui metode:

1. Metode Penelitian Kepustakaan adalah metode ini merupakan

upaya untuk mendapatkan data-data sekunder melalui bahan-bahan

bacaan berupa tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang-

undangan, teori-teori para ahli dan pendapat-pendapat dari pakar

kejaksaan melalui berbagai media.

2. Metode Penelitian Lapangan adalah suatu cara untuk memperoleh

data dengan melakukan penelitian langsung di lapangan melalui

proses wawancara atau pembicaraan langsung terhadap petugas

kejaksaan dan pejabat yang berwenang.

D. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif yaitu menganalisis

data yang diperoleh dari studi lapangan dan kepustaakaan dengan cara

menjelaskan dan menggambarkan kenyataan-kenyataan yang ditemui di

lapangan. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan normatif yaitu dengan

melakukan penjabaran atas fakta-fakta hasil penelitian.

Page 62: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

47

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persyaratan Suatu Visum et Repertum Agar Dapat Menjadi Alat Bukti Yang

Sah

Maksud dibuatnya suatu visum et repertum adalah sebagai pengganti

Corpus Delicti karena apa yang telah dilihat dan diketemukan dokter (ahli) itu

dilakukan seobjektif mungkin sebagai pengganti peristiwa/keadaan yang terjadi

dan pengganti bukti yang telah diperiksa dan menurut kenyataan atau fakta-

faktanya, sehingga berdasar atau pengaturan sebaik-baiknya atas dasar

keahliannya tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan yang akurat dan tepat.

Disamping itu, kemungkinan yang lain adalah apabila pada waktu dilakukan

pemeriksaan perkaranya tersebut di sidang pengadilan maka suatu luka yang

misalnya disebabkan karena adanya tindak pidana penganiayaan telah sembuh

atau korban yang telah meninggal akibat tindak pidana pembunuhan sewaktu

sidang dilakukan telah membusuk atau dikubur, maka guna mencegah

perubahan keadaan tersebut dibuatlah suatu visum et repertum.56

1. Dasar Hukum Visum et Repertum

Dasar-dasar hukum yang membahas mengenai visum et repertum

adalah sebagai berikut:

a. Staatsblad (Lembaran Negara) Nomor 350 Tahun 1937

56 R. Soeparmono, Keterangan Ahli & Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana, CV Mandar Maju, Bandung, 2016, hlm 88.

Page 63: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

48

Pasal 1 berbunyi “Visa Reperta seorang dokter yang dibuat

baik atas sumpah jabatannya yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajarannya di Negeri Belanda atau Indonesia merupakan alat bukti yang sah dalam perkara-perkara pidana, selama berisikan keterangan mengenai hal-hal yang dilihat dan ditemui oleh dokter pada benda yang diperiksa.

Pasal 2 ayat (1) berbunyi “Pada dokter yang tidak pernah mengucapkan sumpah jabatan baik di Negeri Belanda maupun di Indonesia sebagaimana tercantum dalam pasal 1 diatas dapat mengucapkan sumpah sebagai berikut: “Saya bersumpah (berjanji) bahwa sebagai seorag dokter

akan membuat pernyataan atau keterangan tertulis yang

diperlukan untuk kepentingan peradilan yang sebenar-

benarnya menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya.”

b. Pasal 133 KUHAP yang berbunyi: 1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan menangani seorang

korban, baik luka, keracunan ataupun mati, yang diduga karena peristiwa tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.

2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan secara tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakuakan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilakuakn dan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau bagian lain pada mayat.

c. Pasal 120 KUHAP yang berbunyi: “Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta

pendapat ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”.

d. Pasal 179 KUHAP yang berbunyi: 1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli

kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga sebagai mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan

Page 64: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

49

yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

e. Pasal 184 KUHAP yang berbunyi: 1) Keterangan saksi 2) Keterangan ahli 3) Surat 4) Petunjuk 5) Keterangan terdakwa

Sebagaimana yang kita ketahui visum et repertum adalah

sebuah surat yang berisi mengenai hal hal apa saja yang telah

ditemukan dan dilihat oleh dokter yang telah disumpah. Dengan

demikian, maka visum et repertum menurut alat bukti yang sah

dalam undang-undang termasuk ke dalam kategori alat bukti

surat.

f. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 15 November 1969, Nomor 10 K/Kr/1969 berbunyi: “Sebagai pengganti visum et repertum dapat juga didengar

sebagai keterangan saksi ahli”

Jadi, selain menjadi bukti surat visum juga dapat menjadi

bukti berupa keterangan ahli apabila dokter yang bersangkutan

dipanggil ke muka persidangan untuk menjelaskan hasil dari

visum yang telah dibuatnya.

2. Pihak Yang Berhak Meminta Visum et Repertum57

a. Penyidik adalah Polri dengan pangkat serendah-rendahnnya

57 Idem, hlm 37.

Page 65: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

50

Aipda (Ajudan Inspektur) sedangkan pangkat terendah untuk

penyidik pembantu adalah Bripda (Brigadir Dua). Namun, di

daerah terpencil bisa saja seorang Bripda diberi wewenang

sebaga penyidik. Untuk kasus yang melibatkan anggota TNI

(sebagai pelaku) maka yang bertindak sebagai penyidik adalah

Polisi Militer, sedangkan jika TNI (sebagai korban) maka yang

bertindak sebagai penyidik adalah Polisi Negara.

b. Hakim Pidana biasanya tidak langsung meminta visum et

repertum kepada dokter, akan tetapi hakim dapat

memerintahkan kepada jaksa untuk melengkapi berita acara

pemerikaan (BAP) dengan visum et repertum. Kemudian jaksa

melimpahkan permintaan hakim kepada penyidik.

c. Hakim Perdata berwenang meminta visum et repertum. Hal ini

diatur dalam HIR (Herziene Inlands Reglement) dikarenakan

disidang pengadilan perdata tidak ada jaksa, maka hakim dapat

langsung meminta visum et repertum kepada dokter.

d. Hakim Agama boleh meminta visum et repertum sebab telah

diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 10.

Hakim Agama hanya mengadili perkara yang menyangkut

agama Islam.

3. Pihak Yang Berhak Membuat Visum et Repertum

Berdasarkan Pasal 133 KUHAP yang berhak membuat visum yaitu:

Page 66: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

51

a. Ahli Kedokteran Kehakiman yang dimaksud disini adalah dokter

umum yang telah mengambil spesialis di bidang forensik dan

kedokteran kehakiman (medikolegal).

b. Dokter atau ahli lainnya. Sesuai standar pendidikan profesi

dokter, dokter umum yang selama pendidikannya sudah

mempelajari forensik klinik dan patologi forensik dan telah

mengucapkan sumpah jabatan setelah menyelesaikan

pendidikannya maka dokter tersebut berwenang untuk

memberikan pelayanan forensik.

Berdasarkan penjelasan di atas, seorang dokter yang bukan

spesialis forensik boleh membuat visum et repertum. Tetapi, di dalam

penjelasan Pasal 133 KUHAP dikatakan bahwa keterangan yang

diberikan oleh dokter forensik merupakan keterangan ahli sedangkan yang

dibuat oleh dokter selain spesialis forensik disebut petunjuk. Hal ini

diperjelas pada Pedoman Pelaksanaan KUHAP dalam Keputusan Menteri

Kehakiman RI No.M.01.PW.07.03 Tahun 1982 yang antara lain

menjelaskan bahwa keterangan yang dibuat oleh dokter bukan ahli

merupakan alat bukti petunjuk.

4. Syarat Pembuatan Visum et Repertum

1. Syarat formil dalam pembuatan suatu visum et repertum agar dapat

menjadi alat bukti yang sah sesuai dengan yang telah diatur di dalam

Instruksi Kapolri No. Pol: Ins/E/20/IX/75 adalah sebagai berikut:

a. Permintaan harus secara tertulis, menggunakan formulir

Page 67: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

52

permintaan yang sesuai dengan kasus yang ditangani. Hal ini

sesuai dengan Pasal 113 ayat (2) KUHAP;

b. Tidak dibenarkan untuk meminta visum et repertum tentang

kejadian yang telah lampau, sebab merupakan rahasia jabatan

dokter;

c. Pemeriksaan atas mayat dilakukan dengan cara beda, jika ada

keberatan dari pihak keluarga korban maka pihak polisi atau

pemeriksa memberikan penjelasan tentang pentingnya

dilakukan bedah mayat;

d. Polisi wajib menyaksikan dan mengikuti jalannya bedah mayat;

e. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka

polisi perlu pengamanan tempat dilakukannya bedah mayat.

2. Syarat materil pembuatan visum et repertum adalah menyangkut isi

dari suatu visum et repertum tersebut yaitu sesuai dengan kenyataan

yang ada pada tubuh korban yang diperiksa. Disamping itu isi dari

visum et repertum tersebut tidak bertentangan dengan Ilmu

Kedokteran yang telah teruji kebenarannya.

5. Syarat Pencabutan Visum et Repertum

a. Pencabutan permintaan visum et repertum pada prinsipnya

tidak dibenarkan. Bila terpaksa visum et repertum harus dicabut

kembali, maka dilaksanakan sesuai Instruksi Kapolri No. Pol:

Ins/E/20/IX/75. Dalam hal pencabutan tersebut hanya diberikan

oleh Komandan Kesatuan paling rendah tingkat Komres dan

Page 68: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

53

untuk kota besar hanya oleh Dan Tabes. Wewenang

pencabutan visum et repertum tidak dapat dilimpahkan kepada

pejabat/petugas bawahan. Namun, apabila ada suatu

perubahan atau perbaikan atas visum et repertum pada

dasarnya dapat dibenarkan asalkan disertai dengan alasan

yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya

serta harus ditandatangani oleh dokter ahli yang membuatnya.

Kecuali, beberapa hal yang tidak memungkinkan perbaikan

misalnya dokter yang bersangkutan pindah tugas, berhalangan,

berhenti, pensiun, dan lain-lain maka dapat dilakukan dan

diterbitkan oleh dokter ahli lain. Hal ini disebut visum et

repertum ulangan.

b. Pencabutan harus tertulis secara resmi dengan menggunakan

formulir pencabutan dan ditanda tangani oleh pejabat yang

disebutkan dalam instruksi tersebut, atau setidak setidaknya

petugas yang berhak. Dimana pangkatnya tingkat di atas

permintaan, setelah terlebih dahulu membahasnya secara

mendalam.

c. Dengan pencabutan visum et repertum, maka pihak peminta

harus menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada sesuatu yang

dapat diharapkan sebagai keterangan dari barang bukti berupa

manusia yang luka atau mati.

Page 69: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

54

6. Masa Pembuatan Visum et Repertum58

Tujuan permintaan visum yang lebih dini biasanya adalah sebagai

bahan laporan ke atasan penyidik dalam rangka pengembangan kasus

atau untuk dijadikan dasar penangkapan dan penahanan tersangka atau

untuk kepentingan lainnya. Pada keadaan ini, dokter sebaiknya

mengabulkan dan membuat visum sementara. Pada umumnya visum baru

mulai dikonsep dan diketik jika penyidiknya meminta atau menagih visum

yang pernah dimintanya. Tenggang waktu untuk meminta atau menagih

tersebut sampai selesainya visum biasanya berkisar antara beberapa hari

sampai sekitar satu atau dua minggu. Meskipun demikian, sebaiknya

pembuatan visum didasarkan atas lamanya penahanan yang diatur dalam

Pasal 24 KUHAP bahwa lamanya masa penahanan selama penyidikan

maksimum dalam 60 hari.

B. Kekuatan Visum et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam Pembuktian

Terhadap Kasus Penganiayaan Berat Dalam Putusan No.

2107/Pid.B/2016/PN.Mks

1. IDENTITAS TERDAKWA

Nama Lengkap : A. FAJRI Alias CONTRENG Bin ABD RAZID

Tempat Lahir : UJUNG PANDANG

Umur/Tgl Lahir : 21 Tahun / 1 Februari 1995

Jenis Kelamin : Laki-laki

58 Ibid.

Page 70: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

55

Kebangsaan : Indonesia

Tempat Tingal : Jl. Kalumpang No. 49 Kel Timongan Lompoa

Kec. Bontoala Kota Makassar

Agama : Islam

Pekerjaan : -

Pendidikan : SMA (Tamat)

2. URAIAN SINGKAT PERKARA

Telah terjadi tindak pidana Penganiayaan terhadap diri korban Sdra.

SYAMSUDDIN Alias SYAM dengan cara dibusur oleh Sdra. A. FAJRI Als

CONTRENG Bin ABD RAZID sehingga korban meninggal dunia pada hari

Jumat tanggal 01 Mei 2015 sekitar pukul 13.50 wita di rumah sakit Labuang

Baji Makassar adapun kejadian ini terjadi pada hari Sabtu tanggal 04 April

2015 sekitar pukul 21.00 wita di perempatan jalan Kalumpang, jalan

Mangadel dan jalan Datuk Ditiro, Kel. La’latang, Kec. Tallo Kota Makassar

dan motif penganiayaan ini karena A. FAJRI Als CONTRENG Bin ABD

RAZID menyimpan perasaan dendam kepada si korban karena korban

pernah membusur terdakwa sebanyak 3 kali.

3. DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM

PRIMAIR:

--Bahwa ia terdakwa A. FAJRI Als CONTRENG Bin ABD RAZID, pada hari

Sabtu tanggal 04 April 2015 sekitar jam 21.00 wita atau setidak-tidaknya

pada waktu lain pada tahun 2015, bertempat di di perempatan jalan

Kalumpang, jalan Mangadel dan jalan Datuk Ditiro, Kel. La’latang, Kec. Tallo

Page 71: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

56

Kota Makassar atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain dalam daerah

hukum Pengadilan Negeri Makassar, dengan sengaja menghilangkan nyawa

orang lain, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Bahwa pada awalnya terdakwa FAJRI Als CONTRENG Bin ABD

RAZID meminta tolong kepada temannya yang bernama Lk. IKBAL

untuk dibonceng sepeda motor pergi membeli minuman keras di Jl.

Datuk Ditiro Makassar setelah sampai di toko penjual minuman keras

ternyata toko tersebut tutup sehingga terdakwa pulang bersama

temannya tersebut dan saat melintas di Jl. Kalumpang Makassar saat

itu terdakwa melihat korban Lk. SYAMSUDDIN alias SYAM sementara

berdiri di depan dekker ujung Jl. Mangadel Makassar sehingga

terdakwa menyampaikan kepada temannya yakni Lk. IKBAL agar

menuju ke Jl. Pongtiku Makassar kemudian ke Jl. Datuk Ditiro dan

tepat saat berada di perempatan Jl. Kalumpang dengan Jl. Mangadel

dan Jl. Datuk Ditiro Kelurahan La’latang Kecamatan Tallo Makassar

maka terdakwa menyampaikan kepada Lk. IKBAL bahwa “pelan-pelan”

kemudian terdakwa mengambil anak panah (busur) lengkap dengan

ketapelnya yang sebelumnya terdakwa simpan disaku samping celana

yang sedang dikenakkannya kemudian terdakwa langsung melepaskan

anak panah (busur) ke arah korban Lk. SYAMSUDDIN alias SYAM

sebanyak 1 (satu) kali dan mengena atau menancap pada bagian perut

korban sebelah kiri setelah itu terdakwa pergi meninggalkan tempat

kejadiaan lalu terdakwa membuang ketapel yang terdakwa gunakan

Page 72: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

57

membusur korban dan selanjutnya terdakwa dengan menggunakan

mobil angkutan umum pergi ke Kab. Gowa, hingga akhirnya terdakwa

berhasil ditangkap dan akibat perbuatan terdakwa tersebut

mengakibatkan korban Lk. SYAMSUDDIN alias SYAM mengalami luka

tusuk pada bagian perutnya sebelah kiri dan akhirnya korban

meninggal dunia setelah dirawat inap selama 26 (dua puluh enam) hari

di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar.

Bahwa berdasarkan alat bukti surat berupa: Visum et Repertum dari

Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar Nomor:

2421/LB.01/yanmed/inst.forensik/8/2016 tanggal 21 Agustus 2016 yang

ditanda tangani oleh dr. Benny Mathius, M.Kes, Sp.f, yang hasil

pemeriksaannya terhadap korban Lk. SYAMDUDDIN, pada pokoknya

menyimpulkan sebagai berikut:

Telah dilakukan pemeriksaan terhadap korban, yang menurut penyidik

bernama SYAMSUDDIN, pada tanggal empat bulan April tahun dua

ribu lima belas, bertempat di IGD Rumah Sakit Umum Labuang Baji

Makassar dengan nomor rekam medic 318305. Dari hasil pemeriksaan

dapat disimpulkan bahwa korban masuk Rumah Sakit Daerah Labuang

Baji Makassar dengan satu buah anak panah busur yang tertancap

didaerah perut kiri atas akibat eksplorasi. Korban meninggal pada

tanggal 1 Mei 2015 pukul 13.50 wita setelah rapat inap selama 26 hari.

Penyebab kematian korban tidak dapat diketahui karena tidak

dilakukan otopsi (bedah mayat).

Page 73: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

58

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana

dalam pasal 338 KUHP.

SUBSIDAIR:

Bahwa ia terdakwa A. FAJRI Als CONTRENG Bin ABD RAZID bersama

dengan Lk. IKBAL (DPO) pada hari Sabtu tanggal 04 April 2015 sekitar jam

21.00 wita atau setidak-tidaknya pada waktu lain pada tahun 2015,

bertempat di di perempatan jalan Kalumpang, jalan Mangadel dan jalan

Datuk Ditiro, Kel. La’latang, Kec. Tallo Kota Makassar atau setidak-tidaknya

pada suatu tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Makassar,

baik sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang

turut serta melakukan perbuatan itu, dengan sengaja menghilangkan nyawa

orang lain, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Bahwa pada awalnya terdakwa FAJRI Als CONTRENG Bin ABD

RAZID meminta tolong kepada temannya yang bernama Lk. IKBAL

untuk dibonceng sepeda motor pergi membeli minuman keras di Jl.

Datuk Ditiro Makassar setelah sampai di toko penjual minuman keras

ternyata toko tersebut tutup sehingga terdakwa pulang bersama

temannya tersebut dan saat melintas di Jl. Kalumpang Makassar saat

itu terdakwa melihat korban Lk. SYAMSUDDIN alias SYAM sementara

berdiri di depan dekker ujung Jl. Mangadel Makassar sehingga

terdakwa menyampaikan kepada temannya yakni Lk. IKBAL agar

menuju ke Jl. Pongtiku Makassar kemudian ke Jl. Datuk Ditiro dan

tepat saat berada di perempatan Jl. Kalumpang dengan Jl. Mangadel

Page 74: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

59

dan Jl. Datuk Ditiro Kelurahan La’latang Kecamatan Tallo Makassar

maka terdakwa menyampaikan kepada Lk. IKBAL bahwa “pelan-pelan”

kemudian terdakwa mengambil anak panah (busur) lengkap dengan

ketapelnya yang sebelumnya terdakwa simpan disaku samping celana

yang sedang dikenakkannya kemudian terdakwa langsung melepaskan

anak panah (busur) ke arah korban Lk. SYAMSUDDIN alias SYAM

sebanyak 1 (satu) kali dan mengena atau menancap pada bagian perut

korban sebelah kiri setelah itu terdakwa pergi meninggalkan tempat

kejadiaan lalu terdakwa membuang ketapel yang terdakwa gunakan

membusur korban dan selanjutnya terdakwa dengan menggunakan

mobil angkutan umum pergi ke Kab. Gowa, hingga akhirnya terdakwa

berhasil ditangkap dan akibat perbuatan terdakwa tersebut

mengakibatkan korban Lk. SYAMSUDDIN alias SYAM mengalami luka

tusuk pada bagian perutnya sebelah kiri dan akhirnya korban

meninggal dunia setelah dirawat inap selama 26 (dua puluh enam) hari

di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar.

Bahwa berdasarkan alat bukti surat berupa: Visum et Repertum dari

Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar Nomor:

2421/LB.01/yanmed/inst.forensik/8/2016 tanggal 21 Agustus 2016 yang

ditanda tangani oleh dr. Benny Mathius, M.Kes, Sp.f, yang hasil

pemeriksaannya terhadap korban Lk. SYAMDUDDIN, pada pokoknya

menyimpulkan sebagai berikut:

Telah dilakukan pemeriksaan terhadap korban, yang menurut penyidik

Page 75: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

60

bernama SYAMSUDDIN, pada tanggal empat bulan April tahun dua

ribu lima belas, bertempat di IGD Rumah Sakit Umum Labuang Baji

Makassar dengan nomor rekam medic 318305. Dari hasil pemeriksaan

dapat disimpulkan bahwa korban masuk Rumah Sakit Daerah Labuang

Baji Makassar dengan satu buah anak panah busur yang tertancap

didaerah perut kiri atas akibat eksplorasi. Korban meninggal pada

tanggal 1 Mei 2015 pukul 13.50 wita setelah rapat inap selama 26 hari.

Penyebab kematian korban tidak dapat diketahui karena tidak

dilakukan otopsi (bedah mayat).

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana

dalam pasal 338 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

---------------------------------------atau-------------------------------------------

KEDUA:

--Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam

pidana dalam pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP.--

KETIGA:

--Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana

dalam pasal 351 ayat (3) KUHP.--

4. TUNTUTAN JAKSA PENUNTUT UMUM

Tuntutan pidana dari Jaksa Penuntut Umum sebagaimana dalam

surat dakwaannya yang pada pokoknya menuntut sebagai berikut:

1. Menyatakan bahwa terdakwa A. FAJRI Als CONTRENG Bin

ABD RAZID bersalah melakukan tindak pidana Penganiayaan

Page 76: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

61

yang mengakibatkan luka berat sebagaimana diatur dalam pasal

351 ayat (2) KUHP;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa A. FAJRI Als

CONTRENG Bin ABD RAZID dengan pidana penjara selama 6

(enam) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan

dengan perintah terdakwa tetap ditahan;

3. Menyatakan barang bukti berupa:

1 (satu) buah anak panah yang terbuat dari paku besi

dirampas untuk dimusnahkan

4. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.

3000.- (tiga ribu rupiah).

5. AMAR PTUSAN HAKIM

1. Menyatakan terdakwa A. FAJRI Als CONTRENG Bin ABD

RAZID, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana “Penganiayaan yang menyebabkan

mati”;

2. Memidana A. FAJRI Als CONTRENG Bin ABD RAZID oleh

karena itu dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun;

3. Menetapkan pidana yang dijatuhkan dikurangkan sepenuhnya

dengan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa;

4. Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan

sementara;

5. Menyatakan barang bukti berupa: 1 (satu) buah anak panah yang

Page 77: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

62

terbuat dari paku besi. Dirampas untuk dimusnahkan;

6. Membebani terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar

Rp. 3.000,- (tiga ribu rupiah);

6. ANALISIS PENULIS

Kedudukan visum et repertum di dalam hukum pembuktian dalam

proses acara pidana, dapat berkedudukan sebagai:

a. Alat bukti surat (Pasal 184 ayat (1) huruf c jo. 187, huruf c

KUHAP);

b. Keterangan ahli (Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 15

November 1969, Nomor 10 K/Kr/1969).

Sekalipun syarat untuk adanya visum et repertum tidak mutlak bagi

suatu perkara kejahatan tertentu (penganiayaan, pembunuhan, kejahatan

kealpaan, kejahatan kesusilaan, dan lain-lain) di dalam suatu proses

pemeriksaan di sidang Pengadilan, tetapi mengingat kedudukannya

sebagai alat bukti nantinya, bagi pengadilan adalah cukup penting. Hal ini

sejalan dengan pernyataan hakim Bonar Harianja SH., MH selaku hakim

ketua di dalam kasus No. 2107/Pid.B/2016/PN.Mks, berdasarkan hasil

wawancara dengan beliau mengatakan:59

“visum et repertum dalam konteks pembuktian memiliki 2 fungsi yaitu

sebagai keterangan ahli sekaligus bukti surat tapi visum sendiri

biasanya digunakan sebagai keterangan ahli. Untuk menyatakan

59 Wawancara dilakukan pada tanggal 03/01/2018 pukul 13.50 wita.

Page 78: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

63

seseorang bersalah atau tidak dibutuhkan minimal 2 alat bukti yah sah

sesuai dengan Pasal 183 KUHAP. Visum itu merupakan salah satu alat

bukti tapi visum tidak dapat berdiri sendiri harus ada bukti lain yang

menerangkan suatu tindak pidana karena visum lebih kepada

menerangkan adanya suatu akibat dari suatu perbuatan. Akibatnya

sudah diterangkan melalui visum tetapi perbuatannya tidak sebab

perbuatan ini bisa diterangkan melalui bukti berupa saksi, keterangan

saksi, maupun petunjuk. Jadi, dari sisi pembuktian visum et repertum

merupakan suatu alat bukti yang tidak dapat berdiri sendiri karena

harus didukung oleh bukti lainnya.”

Selaras dengan pendapat diatas, menurut Andi Unru, SH. selaku

jaksa yang menangani kasus 2107/Pid.B/2016/PN.Mks, berdasarkan hasil

wawancara dengan beliau mengatakan:60

“visum et repertum adalah suatu laporan yang dibuat oleh dokter ahli

dimana laporan tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti untuk

mengungkap suatu tindak pidana yang berkaitan dengan korban

pemerkosaan, pembunuhan serta penganiayaan dan visum et repertum

dibuat hanya untuk pemeriksaan luka luar pada tubuh si korban.

Seperti misalnya, dari hasil visum et repertum ditemukan hanya luka-

luka ringan maka terdakwa dapat dituntut dengan Pasal 351 ayat (1)

tetapi apabila luka yang ditemukan cukup parah maka terdakwa akan

60 Wawancara dilakukan pada tanggal 05/01/2018 pukul 10.00 wita.

Page 79: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

64

dituntut dengan Pasal 351 ayat (1) yaitu penganiayaan berat namun

apabila penganiayaan itu menyebabkan si korban meninggal dunia

maka terdakwa akan dituntut dengan Pasal 351 ayat (3). Pada

dasarnya peranan suatu visum et repertum sebagai alat bukti dalam

proses pembuktian di tingkat kejaksaan berfungsi sebagai acuan untuk

menentukan tuntutan seberapa berat atau ringannya Pasal yang akan

diberikan kepada si terdakwa.”

Namun, dari kasus di atas penyebab kematian korban tidak dapat

diketahui sebab keluarga korban menolak untuk di adakan autopsi sehingga

hakim hanya melihat dari hasil visumnya tetapi putusan yang dijatuhkan

kepada terdakwa adalah Pasal 351 ayat (3) sebab hakim Bonar Harianja

SH,. MH berpendapat:

“autopsi dilakukan untuk mengetahui hal mendetail dari korban agar

penyebab kematian dapat diketahui. Namun karena keluarga korban

menolak, saya selaku hakim yang menangani kasus ini, secara logika

korban terluka cukup parah karena adanya busur berkarat menancap

di perut kiri atas walaupun telah dilakukan operasi dan mungkin

menjadi salah satu penyebab kematian tapi penyebab awal dia masuk

rumah sakit dan dioperasi adalah karena busur itu. Sehingga saya dan

hakim anggota lainnya memutuskan untuk tetap menjatuhkan Pasal

351 ayat (3) kepada terdakwa.”

Berdasarkan pernyataan di atas, hakim dan jaksa menggunakan

visum et repertum sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam proses

Page 80: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

65

pembuktian untuk menemukan suatu titik terang dalam tindak pidana

penganiayaan berat Putusan Nomor 2107/Pid.B/2016/PN.Mks dan

kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada penilaian dan keyakinan

majelis hakim. Untuk lebih jelasnya berikut kesimpulan dari visum et

repertum yang dibuat atas sumpah jabatan oleh dr. Denny Mathius, M.Kes,

Sp.F:

a. Telah dilakukan pemeriksaan terhadap korban, yang menurut

surat visum bernama Syamsuddin, umur dua pulu satu tahun,

pada tanggal empat bulan April tahun dua ribu lima belas,

bertempat di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar

dengan nomor rekam medik 318305.

b. Dari hasil pemeriksaan luar ditemukan satu buah anak panah

busur dengan ujungnya terdapat tali rafia berwarna merah muda

yang tertancap di daerah perut kiri atas dengan ukuran panjang

luka satu koma lima sentimeter. Daerah tepi luka rata, tidak

terdapat memar, dan pendarahan aktif. Pasien di diagnosis

dengan Peritonitis Generalisata e.c vulnus ictum penetrans region

hipokondrium sinistra.

c. Pasien memerlukan penanganan berupa tindakan operasi

Laparatomy eksplorasi. Korban meninggal pada tanggal 1 Mei

2015 pada pukul 13.50 setelah rawat inap selama 26 hari.

Penyebab kematian korban tidak dapat diketahui karena tidak

dilakukannya otopsi (bedah mayat).

Page 81: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

66

Dengan adanya pengungkapan pernyataan di dalam bagian

kesimpulan dalam visum et repertum yang disebutkan oleh dokter (ahli)

atas dasar fakta-fakta, misalnya dalam hal perkara pembunuhan atau

penganiayaan dengan menggambarkan semua luka-luka, kelainan-

kelainan, dan hal-hal yang perlu disebutkan oleh dokter serta keadaan lain

yang dipandang penting sehubungan dengan kasus perkara itu, maka

segala hal yang dituliskan oleh dokter mengenai fakta-fakta dan keadaan

apa adanya tersebut akan mewujudkan suatu hasil pemeriksaan yang

dibuat berdasarkan kenyataan dan hasil tersebut amat berfaedah bagi jaksa

dalam membuktikan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan cukup

penting bagi hakim dalam pengambilan kesimpulan yang pasti baginya

untuk menambah keyakinannya dalam pengambilan keputusannya nanti.

Page 82: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

67

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dasar hukum visum et repertum agar dapat menjadi alat bukti yang sah

sudah cukup jelas di dalam Pasal 133 KUHAP dan syarat formil suatu visum

adalah harus diajukan secara tertulis dan tidak dibenarkan permintaan atas

peristiwa yang telah lampau. Untuk pemeriksaan mayat yang dilakukan

dengan cara bedah, polisi wajib menjelaskan pentingnya pemeriksaan

apabila keluarga korban menolak serta polisi juga wajib mengikuti jalannya

bedah mayat dan memberikan pengamanan di tempat dilakukannya bedah

mayat sedangkan syarat materilnya berkaitan dengan isi visum et repertum

menyangkut apa yang telah ditemukan pada tubuh korban serta tidak

bertentangan dengan ilmu kedokteran dan telah teruji kebenarannya.

2. Kekuatan pembuktian visum et repertum merupakan salah satu bukti yang

sah tetapi tidak dapat berdiri sendiri sebab harus ada bukti lain yang

mendukung untuk menerangkan adanya suatu perbuatan tindak pidana.

Pada dasarnya visum et repertum menurut alat bukti yang sah dalam Pasal

Pasal 184 ayat (1) huruf c jo. 187, huruf c KUHAP termasuk ke dalam

kategori alat bukti surat tetapi dapat menjadi keterangan ahli sesuai dengan

Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 15 November 1969, Nomor 10

K/Kr/1969, apabila dokter yang membuat visum tersebut dipanggil ke muka

persidangan untuk menjelaskan hasil yang telah ditemukannya sehingga,

Page 83: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

68

visum sebagai bukti surat dan visum sebagai keterangan ahli saling

berkaitan. Hasil dari visum tersebut akan berguna untuk membantu jaksa

dalam menetukan arah tuntutan yang akan diberikan kepada terdakwa dan

bagi hakim akan cukup mempengaruhi dalam pengambilan kesimpulan yang

pasti baginya untuk menambah keyakinannya dalam pengambilan

keputusannya nanti.

B. Saran

1. Dalam pembuatan suatu visum et repertum sebaiknya memperhatikan

syarat formil dan syarat materilnya agar dapat menjadi alat bukti yang sah di

muka persidangan.

2. Walaupun visum et repertum tidak mutlak harus ada sebagai alat bukti

dalam pembuktian suatu perkara pidana, akan tetapi untuk memperkuat

keyakinan hakim maka sebaiknya visum et repertum itu harus ada,

khususnya bagi tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap

nyawa.

3. Pembuatan visum et repertum seharusnya dilakukan oleh dokter forensik.

Namun, dokter umum yang selama pendidikannya sudah mempelajari

forensik klinik dan patologi forensik serta telah mengucapkan sumpah

jabatan setelah menyelesaikan pendidikannya, maka dokter tersebut

berwenang untuk memberikan pelayanan forensik.

Page 84: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

69

Daftar Pustaka

Buku :

Abdul Mun’im Idries, Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik, Sagung Seto, Jakarta, 2009. Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2013. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Tarsito, Bandung, 1983. Bridgen. Pol. Drs. Suharto dan Jonaedi Efendi, Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara Pidana (Cet. I; Jakarta: PT. Prestasi Pustakarya, 2010). DC Marbun, Handout Hukum Pidana, Universitas Pembangunan Nasional Jawa

Timur, 10 Februari 2009. Iwan Aflanie (et.al), Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2017. Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2004. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti. Bandung, 2013. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012. Lamintang dan Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1985. Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012. Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No 31 Tahun 1999), CV Mandar Maju, Bandung, 2001.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2015. Moeljatno, Hak Asasi Manusia Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit

Undip Semarang, 2002. M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta, 1986.

Page 85: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

70

M. Yahya Harahap, Pmembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua, Jakarta, 2008. Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000. R. Soeparmono, Keterangan Ahli & Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung, 2016. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, 1998. Sudarto, Hukum Pidana 1, Yayasan Soedarto d/a Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro, Semarang, 1990. Soedirjo, Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pembuktian, CV Akademika Pressindo, Jakarta, 1985 Tolib Setiady, Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman, Alfabeta, Bandung, 2009. Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktik Kedokteran, Djambatan, Jakarta, 2005. Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 1999. Yopi Gunawan dan Kristian, Perkembangan Konsep Negara Hukum & Negara Hukum Pancasila, Refika Aditama, Bandung, 2015. Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2014.

Peraturan Perundang-Undangan: Instruksi Kapolri No. Pol: Ins/E/20/IX/75 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 15 November 1969, Nomor 72 K/Kr/1969 Staatsblad (Lembaran Negara) Nomor 350 Tahun 1937 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Page 86: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

71

Page 87: SKRIPSI PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI …

72