ala bio
TRANSCRIPT
5/13/2018 Ala Bio - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ala-bio 1/6
Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007 109
Itik alabio merupakan salah satu plasma
nutfah unggas lokal yang mempunyaikeunggulan sebagai penghasil telur. Itik
ini telah lama dipelihara dan berkembang
di Kalimantan Selatan, terutama di
Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS),
Hulu Sungai Tengah (HST), dan Hulu
Sungai Utara (HSU). Populasi itik alabio
di Kalimantan Selatan tahun 2006 tercatat
3.487.002 ekor (Dinas Peternakan Provinsi
Kalimantan Selatan 2006).
Pemeliharaan itik alabio mempunyai
prospek yang cerah seiring dengan ber-
tambahnya jumlah penduduk dan me-
ningkatnya kesadaran masyarakat akan
konsumsi protein hewani asal ternak,
ditunjang dengan kemampuan sumber
daya manusia yang memadai (Fathurrahim
2000). Namun demikian, pengembanganitik alabio berorientasi agribisnis spesifik
lokasi menghadapai berbagai masalah,
antara lain penanganan bibit dan pasca-
panen yang belum optimal sehingga bibit
yang dihasilkan berkualitas rendah serta
hasil pascapanen belum banyak diminati
oleh konsumen. Penanganan praproduksi
dan pascaproduksi yang belum memenuhi
standar mengakibatkan bibit itik yang
dihasilkan belum seragam, dan kerusakan
pascaproduksi masih tinggi (Dinas
Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan
1995). Keragaan itik alabio meliputi
produksi telur 220−250 butir/ekor/tahun,
puncak produksi 92,70%, bobot telur 59−
65 g/butir, konsumsi pakan 155−190 g/
ekor/hari, dewasa kelamin 179 hari, dayatunas 90,38%, daya tetas 79,49−80%,
mortalitas setelah menetas 0,75−1%, bobot
badan betina umur 6 bulan 1,60 kg dan
jantan 1,75 kg (Rohaeni dan Tarmudji
1994; BPTP Kalimantan Selatan 2005;
Suryana dan Tiro 2007).
Menurut Biyatmoko (2005b), itik
alabio mempunyai nilai ekonomis yang
tinggi seperti halnya unggas lain. Usaha
itik alabio menjadi mata pencaharian
utama bagi 46,81% peternak di Kabupaten
HSS, HST, dan HSU, dengan rata-rata
pengalaman beternak 9,69 tahun. Kontri-
busi itik alabio terhadap produksi telur di
Kalimantan Selatan tahun 2002−2004
PROSPEK DAN PELUANG PENGEMBANGAN ITIK
ALABIO DI KALIMANTAN SELATAN
Suryana
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Jalan Panglima Batur Barat No. 4, Banjarbaru 70711
ABSTRAK
Usaha tani itik alabio telah dilakukan sejak lama di Kalimantan Selatan dan merupakan usaha pokok masyarakat
terutama di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Beternak itik ini dapat memberikan kontribusi yang memadai terhadap
pendapatan keluarga. Skala kepemilikan bervariasi antara 200−7.000 ekor/peternak. Usaha tani itik alabio kini
sudah mengarah ke spesialisasi usaha yaitu produksi telur tetas, telur konsumsi, penetasan, dan pembesaran.
Pengembangan itik Alabio cukup prospektif karena ditunjang oleh ketersediaan bibit dan pasar, keterampilan
peternak yang memadai, sosial-budaya menerima, dan dukungan pemerintah daerah. Permasalahan dalam beternak
itik alabio adalah belum adanya standardisasi bibit, kualitas pejantan menurun, pencatatan produksi belum optimal,
mahalnya harga pakan, ketersediaan bahan pakan lokal bergantung musim, serta penanganan pascapanen dan penyakit yang belum memadai. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan pemetaan wilayah untuk
pemurnian itik alabio atau pembangunan village breeding center, penyuluhan tentang pencatatan produksi yang
baik, seleksi pejantan unggul, pembuatan formula pakan berkualitas dan harganya murah dengan memberdayakan
sumber-sumber bahan pakan lokal, perbaikan penanganan pascapanen, serta pencegahan dan pengendalian penyakit
secara intensif, terutama di ruang penetasan dan lingkungannya.
Kata kunci: Itik alabio, usaha tani, Kalimantan Selatan
ABSTRACT
Prospect and probability of alabio duck farming development in South Kalimantan
Alabio duck farming is a main income source of the people in South Kalimantan especially in Hulu Sungai Utara
district. This duck farming gives a major contribution to family income. The scale of farm is variable which is
between 200−7,000 ducks each farm. The duck farming is conducted for breeder, layer, hatcher, and for duck meat.
The main constraints of alabio duck farming are expensive feedstuff price, limited local feedstuff supplies,
inappropriate disease control and postharvest handling. While potency that they have is breed, farmer skill,
market, social-culture, and government support. The solution of the problems is proposed, namely increasing
male breeder quality, extension on production recording, making formulated diet and supplies of feedstuffs,
improvement of postharvest handling and disease control especially in the hatchery rooms and its environment.
Keywords: Alabio ducks, farming, South Kalimantan
5/13/2018 Ala Bio - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ala-bio 2/6
110 Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007
berkisar antara 53,73−54,14%, lebih tinggi
dibanding unggas lain, sementara
produksi dagingnya sekitar 3,35% atau
setara dengan 812.001 kg (Dinas Pe-
ternakan Provinsi Kalimantan Selatan
2004). Hasil penelitian di Kabupaten
Tanah Laut menunjukkan, itik alabio ber-
peran penting dalam menunjang pen-
dapatan keluarga, yaitu sebesar 42,09%
dari total pendapatan dari komoditas lain
yang diusahakan (Fakhriansyah dalam
Rohaeni dan Tarmudji 1994). Menurut
Zuraida (2004), kontribusi ternak itik
terhadap pendapatan rumah tangga petani
di Desa Setiab Kabupaten HST mencapai
58%. Usaha ini sangat diminati petani ka-
rena berpeluang meningkatkan pendapat-
an dan dapat diusahakan dalam skala
besar.
Upaya pengembangan itik alabio
dalam skala agribisnis mempunyai pe-luang dan prospek yang menjanjikan. Hal
ini ditunjukkan oleh hasil penjualan telur
di pasar alabio dan permintaan konsumen
yang terus meningkat. Rohaeni dan
Tarmudji (1994) mengemukakan bahwa
pengusahaan itik alabio akan berhasil jika
dikelola dengan menerapkan tata laksana
pemeliharaan yang baik. Namun demikian,
untuk lebih mengoptimalkan peran petani-
peternak diperlukan pembinaan yang
intensif serta peningkatan kelembagaan
kelompok tani-ternak, pemasaran danlembaga pendukung lainnya (Suryana dan
Darmawan 2007). Tulisan ini memberikan
gambaran tentang prospek dan per-
masalahan dalam pemeliharaan itik alabio
di Kalimantan Selatan.
KARAKTERISTlK UMUM
USAHA ITIK ALABIO
Tujuan Pemeliharaan
Tujuan pemeliharaan itik alabio di Kali-
mantan Selatan umumnya bergantung
pada kondisi masing-masing daerah. Di
Kabupaten HSU, pemeliharaan itik alabio
telah mengarah ke spesialisasi model
pengembangan usaha, yaitu penetasan
(hatchery ), penghasil telur tetas
(breeding ) dan telur konsumsi (laying )
serta usaha pembesaran itik dara (rearing )
(Nawhan 1991; Biyatmoko 2005a; Suryana
dan Tiro 2007). Di Kabupaten HST, pe-
meliharaan itik alabio hanya ditujukan
sebagai penghasil telur konsumsi dan
telur tetas. Telur konsumsi yang dihasilkan
dipasarkan melalui asosiasi pedagang
telur itik yang berada di Pasar Pantai
Hambawang (Setioko dan Istiana 1999;
Zuraida 2004). Telur tetas biasanya di-
tetaskan dengan mesin penetas untuk
memenuhi keperluan bibit dan sebagian
kecil dijual ke peternak di sekitarnya. Anak
itik yang dihasilkan diseleksi dan di-
pelihara sebagai penghasil telur.
Sistem Pemeliharaan dan Skala
Usaha
Itik alabio semula dipelihara dengan di-
gembalakan di rawa-rawa, sungai atau
persawahan yang dikenal dengan "sistem
lanting”. Pola pemeliharaan ini terutama
dilakukan di Kabupaten HST dan HSU,
namun kini sudah mulai ditinggalkan
meskipun masih ada beberapa peternak di
Kabupaten HST yang melakukannya
(Rohaeni 2005). Pemeliharaan itik dengan
sistem lanting dilakukan pada rumah
terapung di atas rawa dengan balok-balok
kayu sebagai pengapung. Pada bagian
lantai dibuatkan kandang itik dengan
hanya dikelilingi pagar bambu. Kapasitas
kandang sekitar 150−200 ekor (Setioko
1990). Seiring dengan meningkatnya nilai
ekonomi itik alabio, pemeliharaannya telah
berubah ke sistem semi-intensif atau
intensif (Setioko 1997; Ketaren 1998; Dinas
Peternakan Kabupaten HSU 1999;Biyatmoko 2005c).
Menurut Setioko (1997), itik Alabio
mempunyai kapasitas produksi telur yang
tinggi. Hal ini mungkin karena tersedianya
sumber pakan di rawa-rawa berupa ikan-
ikan kecil, ganggang dan hijauan lain serta
binatang lainnya. Produksi telur itik yang
dipelihara dengan sistem lanting mencapai
60−90% selama periode bertelur, atau rata-
rata 70% (Setioko 1990; 1997), sementara
yang dipelihara secara tradisional pro-
duksinya hanya 130 butir/ekor/tahun(Rohaeni dan Tarmudji 1994).
Rohaeni (2005) menyatakan bahwa
pemeliharaan itik alabio cukup beragam,
bergantung pada kebiasaan dan kondisi
alam. Di daerah sentra produksi seperti
Kabupaten HSU dan HST, pemeliharaan
itik dilakukan secara intensif dan semi-
intensif dengan skala pemeliharaan 500−
5.000 ekor/peternak. Menurut Setioko
(1997), usaha pemeliharaan itik secara
umum dapat dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu 1) skala kecil, itik yang dipelihara
kurang dari 500 ekor dengan sistem
pemeliharaan tradisional atau dilepas di
lahan rawa atau sawah, 2) skala sedang
dengan jumlah itik yang dipelihara 500−
5.000 ekor/peternak, dan 3) skala besar
dengan jumlah itik yang dipelihara lebih
dari 5.000 ekor/peternak dengan sistem
pemeliharaan secara intensif. Namun, ada
pula peternak yang memelihara itik alabio
secara semi-intensif, dengan skala usaha
25−200 ekor/kepala keluarga. Itik diumbar
atau dilepas dan diberi pakan tambahan
berupa cangkang udang, ikan rucah atau
rajungan untuk meningkatkan kualitas
warna kuning telur (Biyatmoko 2005c).
Pada sistem pemeliharaan secara intensif,
skala kepemilikan berkisar antara 200−7.000
ekor/kepala keluarga, dengan pemberian
pakan 2−3 kali sehari. Pakan terdiri atas
pakan komersial dicampur dedak, gabah,
sagu, ikan rucah, siput, dan hijauan rawa
atau ganggang (Biyatmoko 2005a).
POTENSI ITIK ALABIO
SEBAGAI PENGHASIL
TELUR DAN DAGING
Menurut Biyatmoko (2005a), itik alabio
termasuk itik lokal unggul dwi fungsi,
karena selain mampu memproduksi telur
yang tinggi, rata-rata 214,72 butir/tahun,
juga potensial sebagai penghasil daging
dibanding itik lokal lain di Indonesia,
seperti itik tegal, itik karawang, itik
mojosari, itik turi, itik magelang, dan itik bali. Populasi itik alabio di Kalimantan
Selatan selama 13 tahun terakhir menun-
jukkan perkembangan yang berfluktuasi
(Tabel 1). Pada tahun 1997−1999, populasi-
nya menurun. Penurunan populasi ini
disebabkan terjadinya krisis moneter yang
berimbas ke semua sektor, termasuk usaha
tani itik alabio. Pada saat krisis moneter,
daya beli peternak menurun sehingga
peternak tidak dapat membeli atau me-
nambah jumlah itik yang dipelihara.
Menurut laporan Dinas PeternakanKabupaten Hulu Sungai Utara (1999),
pada tahun 1998 populasi itik di Kabupaten
HSU menurun dari 640.079 ekor menjadi
hanya 197.392 ekor akibat kekeringan dan
krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Demikian pula jumlah peternak berkurang
5−10% (Suryana dan Darmawan 2007).
Padahal harga itik hidup pada tahun 1997−
2003 meningkat 9,74−11,11% antara harga
di tingkat petani dan pasaran (Tabel 2).
Pada tahun 1995 penjualan produk ini
mempunyai trend tertinggi sebesar
13,84%, dengan rata-rata mencapai 8,13%.
Perkembangan harga telur dan itik hidup
di tingkat petani dan pasaran menunjukkan
5/13/2018 Ala Bio - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ala-bio 3/6
Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007 111
rataan relatif tinggi 14,51%, dengan angka
penjualan tertinggi dicapai pada tahun
2002 sebesar 24,20%.
Tabel 3 menunjukkan bahwa produk-
si telur, umur pertama bertelur, dan
produksi terendah itik alabio terseleksi
lebih tinggi dibanding kontrol, sementara
puncak produksi tertinggi dicapai oleh itik
terseleksi turunan pertama, yaitu pada
bulan ke-3 sebesar 93,55%. Hal ini me-
nunjukkan bahwa itik terseleksi mem-
punyai kemampuan yang lebih baik
daripada tetuanya. Purba dan Manurung
(1999) melaporkan, produksi telur itik
alabio yang dipelihara secara intensif
hanya mencapai 68,23% pada bulan ke-2.
Itik yang berpotensi sebagai peng-
hasil daging adalah itik alabio jantan dan
itik serati, yaitu persilangan antara entog
jantan dan itik alabio betina (Setioko et al.
2000; Rostini 2005; Suryana dan Hasnelly2007). Namun, daging itik yang banyak
dijual umumnya berasal dari itik afkir atau
yang sudah tidak produktif lagi. Itik Alabio
jantan yang dihasilkan oleh sentra pe-
netasan di Desa Mamar, Kabupaten HSU
berkisar antara 30.000−60.000 ekor/
minggu. Namun, potensi ini masih belum
dimanfaatkan secara optimal sebagai
penghasil daging (Suryana dan Tiro
2007). Hal ini merupakan peluang yang baik
untuk pengembangan itik pedaging
karena anak itik jantan merupakan hasilsamping kegiatan penetasan yang
harganya lebih murah daripada harga telur
tetasnya (Rostini 2005).
Nawhan (1991) dan Istiana et al.
(1998) mengemukakan bahwa hingga saat
ini hampir tidak ada peternak yang secara
khusus memelihara itik alabio jantan untuk
tujuan penghasil daging, karena hasil yang
diperoleh tidak sebanding dengan biaya
yang dikeluarkan. Dikemukakan lebih
lanjut, sebenarnya kualitas daging itik
alabio tidak kalah dengan itik Pekin asalkan
dipelihara dengan pemberian pakan khu-
sus untuk tujuan memproduksi daging.
Menurut Taufik dalam Nawhan (1991), itik
alabio jantan yang dipelihara selama 8
minggu dengan pakan berprotein kasar
15% dan energi metabolis 2.800 kkal/kg,
menghasilkan bobot badan rata-rata 1.300
g/ekor, dengan konversi pakan 3,30.
Pemeliharaan itik alabio jantan untuk tujuan
menghasilkan daging berkualitas prima
harus dilakukan sampai umur 12 minggu
(Rostini 2005). Penampilan itik alabio
jantan dibandingkan itik lainnya sebagai
penghasil daging disajikan pada Tabel 4.
Itik alabio jantan yang dipelihara sebagai
pedaging pada umur 12 minggu memiliki
bobot badan yang lebih tinggi dibanding
itik bali dan tegal, namun sedikit lebih
rendah dari itik khaki chambell. Demikian
Tabel 1. Perkembangan populasi itik
alabio di Kalimantan Selatan,
1993− − − − − 2005.
PopulasiPeningkatan
Tahun(ekor)
populasi
(%)
1993 2.491.897−
1994 2.596.090 4,18
1995 2.667.610 2,75
1996 3.060.652 14,73
1997 2.465.124 -19,46
1998 2.426.550 -1,56
1999 1.850.722 -23,73
2000 2.276.277 22,99
2001 2.454.150 7,81
2002 2.649.321 7,95
2003 2.748.628 3,75
2004 2.925.664 6,44
2005 3.487.002 16,09
Jumlah 34.099.687 41,94
Rata-rata 2.623.053 3,23
Sumber: Laporan Tahunan Dinas Peternakan
Provinsi Kalimantan Selatan 1993−2004.
Tabel 3. Produktivitas itik alabio terseleksi dan kontrol di Kalimantan
Selatan.
Parameter Itik seleksi Itik kontrol
Induk (P) Keturunan I (F1) I II
Rata-rata produksi telur (%) 58,102 59,942 52,801 53,111
Rata-rata produksi telur dariitik terseleksi (%) 60,652 65,502
− −
Puncak produksi (%) 80,692 93,552 71,621 68,231
(bulan ke-8) (bulan ke-3) (bulan ke-4) (bulan ke-2)
Umur pertama kali
bertelur (hari) 145 −1652 147 −1632 142−1651 1561
Rata-rata mortalitas
sampai dara (%) − 1,482 18,051−
Mortalitas saat dewasa (%) 3 ,502 0,642 41−
Rata-rata produksi terendah
dalam kelompok (%) 28,492 31,062− 18,761
Rata-rata produksi tertinggi
dalam kelompok (%) 72,892 72,252− −
Jumlah itik yang
diamati (ekor) 1.1002
2.0002
5001
5001
Sumber: 1Purba dan Manurung (1999); 2Setioko et al. (2000).
Tabel 2. Perkembangan harga telur dan itik alabio di Kalimantan Selatan,
1993− − − − − 2003.
TahunHarga telur (Rp/butir) Harga itik hidup (Rp/kg)
Tingkat petani Di pasaran Tingkat petani Di pasaran
1993 196 231 1.576 1.683
1994 225 255 3.425 3.620
1995 245 275 3.650 4.155
1996 279 410 4.575 4.734
1997 335 365 4.310 4.730
1998 627 688 10.691 11.435
1999 868 979 15.469 16.750
2000 750 875 16.500 17.477
2001 800 913 16.500 17.477
2002 719 893 18.000 20.000
2003 755 895 18.000 20.000
Jumlah 5.799 6.779 112.696 122.061
Rata-rata 527,18 616,27 10.245,09 11.096,45
Sumber: Laporan Tahunan Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan 1993−2004.
5/13/2018 Ala Bio - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ala-bio 4/6
112 Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007
pula konversi pakan lebih baik dibanding
itik tegal, tetapi lebih rendah dibanding
itik bali dan khaki chambell.
Hasil percobaan penggunaan probio-
tik dan Azolla sp. dalam pakan terhadap
pertambahan bobot badan dan karkas itik
pejantan sampai umur 11 minggu me-
nunjukkan bahwa pemberian Azolla 5%
dan probiotik dapat meningkatkan per-
tambahan bobot badan sebesar 1.577,20
g/ekor, bobot karkas 800,50 g/ekor, dan
menurunkan konversi pakan menjadi 7,70
dibanding perlakuan lainnya, walaupun
konsumsi pakan tidak berbeda antarper-
lakuan. Pemberian probiotik sebagai
tambahan pakan tidak memberikan hasil
yang nyata (lstiana et al. 1998). Hal ini
menunjukkan bahwa Azolla dapat diper-
timbangkan sebagai bahan campuran
pakan mengingat potensinya cukup
melimpah.
PERMASALAHAN DALAM
PENGEMBANGAN ITIK
ALABIO
Permasalahan dalam usaha tani itik alabio
dijumpai baik dalam usaha penetasan,
pembesaran maupun produksi telur
konsumsi dan telur tetas.
Usaha Penetasan
Pada usaha penetasan, masalah yang
dijumpai antara lain adalah belum adanya
standardisasi bibit itik yang baik, mutu
bervariasi dan adanya bibit itik dari luar
yang dikhawatirkan dapat mengkonta-
minasi kemurnian itik alabio.
Usaha Pembesaran
Pada usaha pembesaran, umumnya pe-
ternak belum melakukan pencatatan yang
baik, terutama sejarah penyakit dan asal-
usul itik yang dipelihara, sehingga ke-
jelasan informasi belum sepenuhnya
terjamin.
Usaha Produksi Telur Konsumsi
Dalam usaha itik sebagai penghasil telur
konsumsi, peternak kesulitan menyedia-
kan bahan pakan basal berupa sagu,
karena ketersediaan pohon sagu makin
terbatas, bahkan peternak harus men-
datangkannya dari Kalimantan Tengah.
Selain itu, masa bertelur itik hanya 10−12
bulan, dan pada umur tersebut bulu itik
sudah mulai rontok sehingga banyak
peternak yang menjualnya karena kurang
efisien dari segi pakan. Harga pakan yang
makin melambung menyebabkan biaya
produksi terus meningkat. Kualitas pakan
sering di bawah standar, yakni protein
kasar berkisar 13−18%, energi metabolis
2.700 kkal/kg, sedangkan kandungan
kalsium (Ca) dan fosfor (P) belum ter-
pantau (Biyatmoko 2005a; 2005c).
Usaha Penghasil Telur Tetas
Pada umumnya seleksi itik pejantan
sebagai bibit dilakukan berdasarkan peng-
alaman peternak (Setioko dan Istiana
1999). Akibatnya, kualitas pejantan umum-
nya kurang baik dan dikhawatirkan terjadi
in breeding yang dapat menurunkan
produktivitas itik alabio.
Pascapanen
Pengolahan pascapanen daging dan telur
itik merupakan salah satu cara untuk me-
ningkatkan nilai tambah dalam upaya
mendongkrak pendapatan dan gizi masya-
rakat (Istianaet al. 1998). Beberapa bentuk
produk olahan dari itik adalah dendeng,
abon, sosis, dan bakso (Rohaeni 1996).
Permasalahan yang dihadapi dalam peng-
olahan daging itik adalah daging kurang
empuk dan pengemasan belum baik,
sehingga produk tidak dapat bertahan
lama. Kualitas dendeng itik kurang baik
bahkan ada yang aromanya kurang segar
atau sedikit berbau tengik sehingga
kurang disukai konsumen (Instalasi
Penelitian dan Pengkajian Teknologi
Pertanian Banjarbaru 1996). Telur biasa-
nya diawetkan menjadi telur asin, namun
kualitasnya masih beragam, terutamawarna kuning telurnya. Menurut Wasito
dan Rohaeni (1994), sebagian masyarakat
Kalimantan Selatan cenderung meng-
konsumsi telur itik yang warna kuning
telurnya lebih merah, atau orang setempat
menyebutnya “telur tambak”. Telur seperti
itu dihasilkan dari itik yang dipelihara
dengan cara digembala.
Penyakit
Penyakit merupakan salah satu aspek
yang perlu diperhatikan karena dapat
menurunkan produktivitas ternak. Be-
berapa penyakit pada itik alabio adalah
salmonelosis , kolibasilosis, cengesan atau
selesma, aflatoksikosis, dan aspergilosis.
Istiana (1994) telah berhasil mengisolasi
Salmonella sp. sebesar 27,30% dari sam-
pel telur tetas itik alabio berembrio mati.
Selanjutnya Istiana dan Suryana (1997)
melaporkan Salmonella berhasil diisolasi
dari sampel anak itik, telur, dedak dan pakan itik alabio yang dijual di pasar.
Laporan lain mengemukakan adanya
kontaminasi Salmonella sp. dan Aspergil-
lus sp. pada telur tetas dan pakan itik
alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara,
dengan tingkat kontaminasi masing-
masing 10,70% dan 31,80% (Utomo et al.
1995; Zahari dan Tarmudji 1999). Morta-
litas itik alabio selama pemeliharaan akibat
serangan penyakit berkisar 7,97−19,43%,
prolapsus oviduct 17,02%, paralisis atau
lumpuh 70,21%. Normilawati dalam
Biyatmoko (2005a) menyatakan bahwa
mortalitas selama periode starter mencapai
2,50%, grower 4,02%, dan layer 0,76%.
Tabel 4. Keragaan beberapa jenis itik umur 8− − − − − 12 minggu.
Parameter
Jenis itik Umur Bobot hidup Konversi Bobot dada Total lemak
(minggu)(g) pakan (g/kg karkas) (g/kg karkas)
Alabio 8 1.290 2,94 88 179
12 1.670 4,52 116 256
Bali 8 1.320 2,76 94 169
12 1.620 4,45 125 248
Tegal 8 1.250 3,76 105 169
12 1.530 5,47 150 273
Khaki Chambell 8 1.490 2,78 109 128
12 1.800 4,18 134 218
Sumber: Hetzel dalam Rostini (2005).
5/13/2018 Ala Bio - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ala-bio 5/6
Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007 113
PELUANG DAN STRATEGI
PENGEMBANGAN
Untuk mengatasi kemunduran bibit akibat
penggunaan itik pejantan yang berkualitas
rendah, perlu dilakukan seleksi dan pe-
muliaan secara teratur, terarah, dan te-
rencana sehingga diperoleh bibit yang
sesuai standar. Selain itu, untuk pengem-
bangan itik alabio secara khusus diperlu-
kan pemetaan daerah atau kawasan khu-
sus bagi pengembangan dan pemurnian
itik alabio (Biyatmoko 2005a). Selain itu,
perlu dibuat standardisasi bibit, pen-
cegahan kemungkinan tercemarnya itik
alabio oleh itik pendatang, dan pem-
bangunan pusat perbibitan skala pe-
desaan atau village breeding center,
sehingga diperoleh bibit itik yang murni
dengan kualitas yang dapat diandalkan
(Biyatmoko 2005c). Penyuluhan tentang pentingnya pencatatan pada usaha pem-
besaran dan penghasil telur tetas perlu
diintensifkan untuk meningkatkan pe-
ngetahuan peternak tentang hal itu.
Untuk mengantisipasi harga pakan
komersial yang melambung tinggi, perlu
digalakkan pemanfaatan bahan pakan lokal
alternatif untuk menekan biaya produksi,
sehingga keuntungan peternak dapat
ditingkatkan. Standardisasi pakan itik
alabio juga diperlukan. Diversifikasi bahan
baku pakan lokal, terutama budi dayatanaman sagu hendaknya direncanakan
secara baik dan berkesinambungan. Untuk
meningkatkan usaha itik alabio perlu
dibuat formulasi pakan murah dengan
memanfaatkan sumber protein lokal seperti
haliling, kalambuai atau keong dan remis,
serta beberapa gulma yang potensial dan
tersedia sepanjang tahun seperti eceng
gondok dan Azolla.
Selanjutnya dalam upaya mengatasi
rendahnya kualitas itik pejantan dan
betina penghasil telur tetas, perlu ada
standardisasi pejantan unggul agar telur
tetas yang dihasilkan berkualitas baik,
walaupun sampai saat ini daya tunasnya
mencapai 90,13% (Suryana dan Tiro 2007).
Penggunaan pejantan dalam kelompok
yang sama perlu dihindari agar tidak terjadi
in breeding pada kelompok tersebut.
Penanganan pascapanen itik alabio
perlu dilakukan lebih baik lagi agar produk
yang dihasilkan dapat bersaing di pasaran.
Pelatihan bagi peternak yang melaksana-
kan kegiatan pascapanen dapat mendu-kung upaya tersebut.
Untuk pencegahan dan pengendali-
an penyakit baik pada telur tetas, di tempat
penetasan, anak itik, itik dara dan dewasa
maupun lingkungannya, dapat dilakukan
peningkatan sanitasi dan fumigasi telur
tetas, mesin penetas, kandang dan per-
lengkapannya secara periodik. Istiana dan
Suryana (1993) mengemukakan bahwa
fumigasi pada telur tetas, ruang penetasan
dan lingkungannya dengan menggunakan
5% savlon dan 10% rodalon dapat me-nekan kehadiran bakteri Salmonella sp.
dan kapang. Untuk menghindari terjadi-
nya penyakit aflaktosikosis yang disebab-
kan oleh racun aflatoksin pada pakan,
hendaknya penyimpanan pakan tidak
terlalu lama. Dengan cara tersebut di-
harapkan produk yang dihasilkan bebas
cemaran mikroorganisme yang dapat me-
rugikan kesehatan ternak dan manusia.
KESIMPULAN
Itik alabio mempunyai potensi sebagai
penghasil telur dan daging. Potensi itik
jantan sebagai sumber daging belum di-
manfaatkan secara optimal. Usaha tani itik
alabio di Kalimantan Selatan sudah meng-
arah ke spesialisasi usaha yaitu penghasil
telur tetas, telur konsumsi, penetasan dan
pembesaran atau itik dara.
Masalah dalam pengembangan itik
alabio adalah: 1) belum adanya standar-
disasi mutu bibit, 2) harga pakan yang berfluktuasi, 3) masa periode bertelur tidak
stabil dan belum adanya pencatatan yang
baik, 4) seleksi itik jantan masih didasarkan
pada pengalaman dan bukan pada kualitas
bibit yang baik, 5) penanganan pasca-
panen belum optimal sehingga produk
yang dihasilkan kurang disukai konsumen,
dan 6) gangguan penyakit. Untuk pen-
cegahan dan pengendalian penyakit, baik
di tempat penetasan, pada telur tetas, anak
itik, itik dara, dan itik dewasa perlu digalak-
kan sanitasi dan fumigasi ruang penetas-an, telur tetas, kandang dan peralatan
serta lingkungannya secara periodik.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kaliman-
tan Selatan. 2005. Analisis kebijakan pe-
ngembangan ternak itik di Kabupaten Hulu
Sungai Utara. Balai Pengkajian Teknologi Per-
tanian Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 6 hlm.
Biyatmoko, D. 2005a. Petunjuk Teknis dan
Saran Pengembangan Itik Alabio. Dinas
Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan,
Banjarbaru. 9 hlm.
Biyatmoko, D. 2005b. Disain pengembangan itik
di Kalimantan Selatan tahun 2006-2010.
Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Se-
latan, Banjarbaru. 23 hlm.
Biyatmoko, D. 2005c. Kajian arah pengembang-
an itik Alabio di masa depan. Makalah di-
sampaikan pada Ekspose Konsultan Pe-
ngembangan Ternak Kerbau dan Itik serta
Diseminasi Teknologi Peternakan Tahun2005. Banjarbaru, 11 Juli 2005. Dinas Peter-
nakan Provinsi Kalimantan Selatan, Banjar-
baru. 13 hlm.
Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan.
1993−2006. Laporan Tahunan. Dinas Pe-
ternakan Provinsi Kalimantan Selatan,
Banjarbaru. 57 hlm.
Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan.
2006. Evaluasi kinerja pembangunan peter-
nakan 2006 dan rencana kegiatan 2007.
Makalah disampaikan pada Rapat Evaluasi
Pembangunan Peternakan Kalimantan Sela-
tan, Banjarbaru, 16 Januari 2007. 18 hlm.
Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara.
1999. Laporan Tahunan. Dinas Peternakan
Kabupaten Hulu Sungai Utara, Amuntai. 59
hlm.
Fathurrahim, A.H. 2000. Prospek dan kebutuhan
teknologi sistem usaha tani itik Alabio di
lahan lebak Kalimantan Selatan. Makalah
disampaikan pada Temu Informasi Tekno-logi Pertanian, Banjarbaru, 19−20 Juli 2000.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kali-
mantan Selatan, Banjarbaru. 7 hlm.
Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi
Pertanian Banjarbaru. 1996. Pengkajian
daya tunas pada telur tetas itik Alabio betina
pascaproduksi dan pemanfaatan limbahnya.
Laporan Hasil Penelitian. Instalasi Peneliti-an dan Pengkajian Teknologi Pertanian,
Banjarbaru. 17 hlm.
Istiana. 1994. Kematian embrio akibat infeksi
bakteri pada telur tetas di penetasan itik
Alabio dan perkiraan kerugian ekonominya.
Penyakit Hewan XXVI(45): 36−40.
Istiana dan Suryana. 1993. Pengendalian salmo-
nellosis di tempat penetasan telur itik Alabio
dan lingkungannya. Laporan Hasil Peneliti-
an. Sub Balai Penelitian Veteriner Banjar-
baru. 42 hlm.
Istiana dan Suryana. 1997. Pemeriksaan bakte-
riologik terhadap anak dan telur itik, pakandan dedak yang berasal dari pasar Alabio
Kalimantan Selatan. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner 2(3): 208−211.
5/13/2018 Ala Bio - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ala-bio 6/6
114 Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007
Istiana, E.S. Rohaeni, B.N. Utomo, S.N. Ahmad,
dan E. Widjaja. 1998. Pengkajian sistem
usaha tani pola pengembangan itik Alabio di
sentra produksi dan di luar sentra produksi.
Laporan Hasil Penelitian. Instalasi Peneliti-
an dan Pengkajian Teknologi Pertanian,
Banjarbaru. 57 hlm.
Ketaren, P.P. 1998. Feed and feeding of duck in
Indonesia. Indonesian Agricultural Research
and Development Journal 20(3): 51−
56.
Purba, M. dan T. Manurung. 1999. Produktivitas
ternak itik petelur pada pemeliharaan inten-
sif. Prosiding Seminar Nasional Peternakan
dan Veteriner. Jilid I. Bogor, 1−2 Desember
1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor. hlm. 374−380.
Nawhan, A. 1991. Usaha peternakan itik Alabio
( Anas platyrinchos Borneo) di Kalimantan
Selatan. Pidato Ilmiah pada Lustrum II dan
Wisuda VI Sarjana Negara Universitas Islam
Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad
Al Banjary. Banjarmasin, 26 Oktober 1991.
18 hlm.Rohaeni, E.S. dan Tarmudji. 1994. Potensi dan
kendala dalam pengembangan peternakan
itik Alabio di Kalimantan Selatan. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian
XVI(l): 4−6.
Rohaeni, E.S. 1996. Alternatif penganekaragam-
an pengolahan daging itik. Makalah disam-
paikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi
Pertanian Subsektor Peternakan. Banjar-
baru, 18−20 Desember 1999. Instalasi Pene-
litian dan Pengkajian Teknologi Pertanian
Banjarbaru. 8 hlm.
Rohaeni, E.S. 2005. Analisis kelayakan usaha
itik Alabio dengan sistem lanting di Kabupa-
ten Hulu Sungai Tengah. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteri-
ner. Bogor, 12−13 September 2005. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
Bogor. hlm. 845−850.
Rostini, T. 2005. Diseminasi teknologi terapan
dalam pembibitan itik pedaging unggul
melalui kajian persilangan antara itik Alabio
dengan itik Pekin dan entog di Kalimantan
Selatan. Makalah disampaikan pada Ekspose
Konsultan Pengembangan Ternak Kerbau
dan ltik serta Diseminasi Teknologi Pe-
ternakan Tahun 2005. Banjarbaru, 11 Juli
2005. Lembaga Swadaya Masyarakat
“Ventura“ Banjarbaru. 8 hlm.
Setioko, A.R. 1990. Pemeliharaan Itik di Indone-
sia. Balai Penetilian Ternak, Bogor. 36 hlm.
Setioko, A.R. 1997. Potensi itik sebagai penghasil
telur atau daging dan sistem seleksi yang baik
pada sentra baru pembibitan pedesaan.
Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi
Paket Teknologi Pertanian, Subsektor Pe-
ternakan. Banjarbaru, 15−16 Oktober 1997.
Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknolo-
gi Pertanian Banjarbaru. 31 hlm.
Setioko, A.R. dan Istiana. 1999. Pembibitan itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner. Jilid I. Bogor, 1−2 Desember 1999.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peter-
nakan, Bogor. hlm. 382−387.
Setioko, A.R., Istiana, dan E.S. Rohaeni. 2000.
Pengkajian peningkatan mutu itik Alabio
melalui program seleksi pada pembibitan
skala pedesaan. Makalah disampaikan pada
Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian
Subsektor Peternakan. Banjarbaru, 15−16
Agustus 2000. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Kalimantan Selatan, Banjarbaru.
13 hlm.
Suryana dan A. Darmawan. 2007. Peran kelompok
tani-ternak dalam meningkatkan produksi
telur itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai
Utara, Kalimantan Selatan. Jurnal Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian. In
press. 17 hlm.
Suryana dan B.W. Tiro. 2007. Keragaan pe-
netasan telur itik Alabio dengan sistem gabah
di Kalimantan Selatan. Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Papua. 17 hlm.
Suryana dan Z. Hasnelly. 2007. Peluang pengem- bangan itik serati sebagai alternatif penghasil
daging. Makalah disampaikan pada Seminar
Nasional Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sumatera Utara. 19 hlm.
Utomo, B.N., E.S. Rohaeni, dan Tarmudji. 1995.
Tingkat kontaminasi jasad renik pada telur
itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara,
Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasi-
onal Teknologi Veteriner untuk Meningkat-
kan Kesehatan Hewan dan Pengamanan
Bahan Pangan Asal Ternak. Bogor, 22−24
Maret 1995. Balai Penelitian Veteriner,
Bogor. hlm. 351−356.
Wasito dan E.S. Rohaeni. 1994. Beternak Itik Alabio. Kanisius, Yogyakarta. 156 hlm.
Zahari, P. dan Tarmudji. 1999. Aflatoksikosis
pada ternak itik Alabio di Kalimantan
Selatan. Prosiding Seminar Nasional Peter-
nakan dan Veteriner. Jilid I. Bogor, 1−2
Desember 1999. Pusat Penelitian dan Pe-
ngembangan Peternakan, Bogor. hlm. 408-
411.
Zuraida, R. 2004. Profil pengusahaan ternak itik
pada sistem usaha tani di lahan rawa lebak
(Studi kasus di Desa Setiab, Hulu Sungai
Tengah Kalimantan Selatan). Prosiding Se-
minar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Buku 1. Bogor, 4−5 Agustus 2004.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peter-
nakan, Bogor. hlm. 614−620.