al-qur’anlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain-gdl-jou... · m. diserahkan ke...

15

Click here to load reader

Upload: duongdang

Post on 06-Feb-2018

223 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: al-Qur’anlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain-gdl-jou... · M. diserahkan ke sebuah madrasah 16 di Thus yang menyediakan beasiswa. ... berakhir. Saat itu, orang-orang

Hermeneutika al-Qur’ana l - G h a z a l i

Oleh Dede Rodin*

Kata Kunci: hermeneutika, ma’tsûr, ra’yu, eksoterik, esoterik, jawâhir, durar

Pendahuluan

Semua agama pada hakikatnya terbentuk berdasarkan wahyu dantafsir terhadap wahyu itu.1 Dalam Islam, wahyu terhimpun dalam al-Quransebagai manifestasinya yang terpenting, yang memperkenalkan dirinyasebagai petunjuk (hudan) untuk menjadi pedoman hidup manusia dalammenata kehidupannya (Qs. al-Baqarah [2]:185). Dalam Islam, al-Quranmenempati posisi sentral dalam membentuk ajaran, pemikiran danperadaban. Oleh karena itu, sejarah Islam tidak dapat dilepaskan darikeberadaan al-Quran. Penelitian tentang Islam yang mengabaikan faktoral-Quran akan sulit dipertanggungjawabkan validitasnya kecuali hanyamenyentuh kulit luarnya saja.2

Dalam kenyataan empirik, tak dapat dipungkiri, bahwa ketika ajaranal-Quran hendak dipahami dan dikomunikasikan dengan kehidupanmanusia yang pluralistik, diperlukan keterlibatan pemikiran yangmerupakan kreatifitas manusia dalam bentuk penafsiran. Perlunyapemahaman yang tepat terhadap al-Quran menjadikan kedudukan tafsir

Kajian al-Ghazali atas al-Quran merupakan titik tolakpemahamannya terhadap berbagai cabangpengetahuan keislaman. Hermeneutika al-Quranyang dibangunnya merupakan upayanya dalam“menghidupkan” (ihyâ’) ilmu-ilmu keagamaan, disamping untuk memproyeksikan peran dan nilai al-Quran di tengah-tengah masyarakat. Konsepsi al-Ghazali tentang al-Quran berangkat dari dua pijakandasar; sebagai seorang teolog Asy’ari dan sebagaisufi gnostik. Al-Ghazali berusaha memahami al-Quran dari berbagai dimensinya sesuai dengankarakteristik ayat dan surat. Metodologi penaf-sirannya menggabungkan keserasian metoderiwayat (bi al-ma’tsûr) dengan metode rasional(bi al-ra’y), serta makna lahir (eksoterik) denganmakna batin (esoterik). Hasil penyilangan berbagaimetode itu membawa implikasi pengembangandan pengayaan khazanah penafsiran al-Quran.

al-Qur’an

Page 2: al-Qur’anlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain-gdl-jou... · M. diserahkan ke sebuah madrasah 16 di Thus yang menyediakan beasiswa. ... berakhir. Saat itu, orang-orang

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede RodinHermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin

86 87

semakin penting, karena penafsiran merupakan cara untuk menjembatanikesenjangan antara perkembangan kehidupan yang progresif dengantulisan (Kitab Suci) yang sudah baku. Sejarah agama-agama adalah jugasejarah penafsiran Kitab Suci.3

Selama rentang waktu yang cukup panjang, khazanah intelektual Islamdiperkaya oleh berbagai macam perspektif dan metode penafsiran Al-Quran.4 Lahirnya berbagai metode dan pendekatan tafsir itu lebih banyakdisebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis.

Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H./1058-1111 M.) adalah intelektualMuslim yang pikiran-pikirannya banyak mempengaruhi umat Islam. Meskiia merupakan tokoh pemikir produk abad pertengahan, namun buahpikirannya sampai saat ini masih hidup subur, bahkan tertancap kuatdalam masyarakat Sunni Muslim.5 Ia adalah seorang pemikir yang tidaksaja mendalam, tapi juga sangat produktif dengan karya-karyanya yangmeliputi bidang kalam, filsafat, tasawuf, fiqh dan politik.6

Dalam peta pemikiran Islam, al-Ghazali adalah salah seorang yangdikenal ahli dalam bidang fiqh, teologi, filsafat dan tasawuf.7 Dengankarya monumentalnya, Tahâfut al-Falâsifah ia berhak menyandang gelarfilsuf. Sebagai seorang teolog hampir semua ahli sepakat memasukkanal-Ghazali ke dalam barisan para teolog pendukung Asy’ariyah, meskipunsebagian mereka memberikan penilaian khusus terhadap kerja al-Ghazalisebagai teolog yang unik.8 Dalam bidang tasawuf, al-Ghazali mendapatperhatian yang luar biasa dari berbagai ahli.9

Sedangkan ketokohannya dalam bidang tafsir belum banyak dikenal.Padahal ia telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam diskursuskajian tafsir al-Quran. Ia mempunyai gagasan cerdas dan liberal dalammemahami dan menafsirkan al-Quran. Bahkan, berdasarkan beberapacatatan ia pernah menulis karya tafsir, Yâqût al-Ta’wîl fî Tafsîr al-Tanzîlyang mencapai 40 jilid. Sayangnya, karya yang sangat berharga ini tidakdapat kita warisi.10

Disamping itu, al-Ghazali juga menulis sebuah kitab mengenai studial-Quran, Jawâhir al-Qur’ân dan Qânûn al-Ta’wîl11 dan satu bab khusus,Fahm al-Qur’ân wa Tafsîruhu bi al-Ra’y min Ghair al-naql yang tertuangdalam Ihyâ’ Ulûm al-Dîn. Dalam bidang tafsir al-Quran, al-Ghazalimendapat penilaian yang beragam dari para ahli. Al-Dzahabi memandangal-Ghazali sebagai orang yang paling banyak berbicara tentang tafsir ilmiah(al-tafsîr al-ilmy) dan mempopulerkannya di kalangan intelektual Islam.12

Adapun Ignaz Goldziher cenderung memasukkan al-Ghazali ke dalamkelompok tafsir sufi.13 Dengan latar belakang inilah, tulisan ini akanmengkaji tentang hermeneutika al-Quran al-Ghazali.

Biografi Intelektual Al-Ghazali

Al-Ghazali yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad ibnMuhammad al-Ghazali al-Thusi adalah seorang Persia asli yang lahir pada450 H./1058 M, di Gazaleh,14 sebuah kota kecil dekat Thus di Khurasan(Iran).15 Ia dilahirkan di tengah keluarga miskin. Ayahnya seorangpemintal wol (al-ghazzâl) yang saleh. Kehidupannya yang sederhanamengantarkan sang ayah untuk menjalani kehidupan sufi. Ketika ajalnyamendekat, ia berwasiat kepada sahabat karibnya, seorang sufi, untukmemelihara dua orang puteranya yang masih kecil dengan sedikit bekalwarisan yang ditinggalkannya. Sang sufi pun menerimanya. Namunkarena warisannya tidak mencukupi, al-Ghazali dan adiknya pada 1072M. diserahkan ke sebuah madrasah16 di Thus yang menyediakan beasiswa.Di sinilah awal perkembangan intelektual dan spiritual al-Ghazali yangmempengaruhi perjalanan hidup selanjutnya.17

Pada masa mudanya, al-Ghazali belajar di Khurasan yang ketika itumerupakan pusat ilmu pengetahuan. Ia juga belajar kepada ImamHaramain al-Juwaini, salah seorang guru besar di al-Nidzamiyah. Dimadrasah itu ia menekuni ilmu kalam, fiqh, filsafat, tasawuf, logika danilmu-ilmu lainnya.18 Berkat al-Juwaini, al-Ghazali kemudian diangkatmenjadi guru besar di Universitas Nidzamiyah pada 484 H dan mencapaikemasyhuran.

Dari segi politik, pada tahun 1055 M, tiga tahun sebelum al-Ghazalilahir, dominasi dinasti Buwaihi Syi’ah atas kekhalifahan Sunni di Bagdadberakhir. Saat itu, orang-orang Saljuk Turki di bawah pimpinan ThugrilBek menyingkirkan rezim Buwaihi dengan Baghdad –yang masihmerupakan pusat dunia Islam- kini berada di bawah kendali politik danmiliternya.

Cabang lain dinasti Saljuk juga berkuasa di Syiria sejak 1075 M. Karenaletaknya yang strategis, wilayah ini selalu menjadi rebutan para penguasa.Ketika al-Ghazali datang ke tempat itu, pemerintahan dipegang DaqqaqAbu Nashr yang memerintah sejak 488 H. Ia berhasil mendirikan beberapakerajaan Kristen di wilayah itu. Bangsa Saljuk juga merebut beberapapropinsi bagian timur ke dalam kekuasaan Sunni setelah lebih satu abadberada dalam dominasi Syi’ah. Satu-satunya tantangan serius bangsaSaljuk adalah dinasti Fatimiyyah di Mesir. Tetapi Alp Arslan terusmengkoordinasikan diri dan memperluas dominasinya. Dia merampasbeberapa wilayah baru di Asia Kecil dari tangan Bizantium dan memaksapenguasa Aleppo melepaskan pengaruhnya. Namun baru pada masa MalikSyah (1072-1092 M), dinasti Saljuk mencapai puncaknya dengankekuasaannya yang merentang dari Asia Tengah dan perbatasan Indiahingga Laut Tengah; dari Kaukasus dan Laut Aral sampai Laut Persia

Page 3: al-Qur’anlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain-gdl-jou... · M. diserahkan ke sebuah madrasah 16 di Thus yang menyediakan beasiswa. ... berakhir. Saat itu, orang-orang

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede RodinHermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin

88 89

dengan sedikit pengecualian atas Makkah dan Madinah. Setelah itudinasti Saljuk mengalami kemunduran, karena terjadinya perebutan tahtadan gangguan stabilitas keamanan dalam negeri yang dilancarkan kaumBatiniyah. Al-Ghazali hidup dan berprestasi pada kedua fase tersebut,baik pada masa kejayaan maupun kemundurannya menyusul pembunuhanatas Malik Syah pada 1092 M.

Pada masa al-Ghazali terjadi disintegrasi politik dan sosial keagamaan.Umat Islam terpecah ke dalam beberapa mazhab fiqh dan kalam, yangdengan sadar menanamkan fanatisme kelompok kepada pengikutnya.19

Penanaman fanatisme mazhab itu banyak melibatkan para ulama. Iniberkaitan dengan status ulama yang memiliki posisi tinggi dalam stratifikasisosial, di bawah status para penguasa. Dengan peran ulama, penguasadapat memperoleh legitimasi atas kekuasaannya di mata umat. Sebaliknya,dengan para penguasa, para ulama dapat memperoleh jabatan dankemuliaan disamping kemewahan hidup.20

Di sisi lain, interdependensi ulama dan penguasa pada masa itumembawa dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Paraulama berkompetisi dalam mempelajari berbagai ilmu. Peranan Nizhamal-Mulk dalam hal ini sangat besar. Ia mengeluarkan anggaran yang besardari perbendaharaan negara untuk kepentingan pengembangan ilmu.Meskipun, dalam beberapa hal, pengembangan ini banyak diarahkanuntuk mengantisipasi pengaruh filsafat dan kalam Mu’tazilah.21

Disamping itu ada kelompok sufi yang hidup eksklusif di zâwiyah(asrama sufi) dengan kehidupannya yang khas. Mereka dipandangkelompok yang tidak menghiraukan dunia.22 Status ini, oleh sebagiansufi digunakan untuk mendapatkan kemudahan hidup dan status sosialdengan sarana kehidupan sufi yang mereka tonjolkan.23

Konflik sosial yang terjadi di kalangan umat Islam pada masa al-Ghazali yang bersumber dari perbedaan persepsi terhadap ajaran agama,sebenarnya berpangkal dari adanya pelbagai pengaruh kultural terhadapIslam, seperti unsur-unsur non Islami yang masuk ke dalam pemikiranIslam. Diantara unsur kultural yang paling berpengaruh pada waktu ituadalah filsafat. Filsafat Yunani banyak diserap para teolog, filsafat Indiadiadaptasi kaum sufi, dan filsafat Persia banyak mempengaruhi doktrinSyi’ah dalam konsep imâmah.24 Tetapi yang lebih penting lagi, pada masaitu dalam mempropagandakan pahamnya, setiap aliran menggunakanfilsafat –terutama logika- sebagai alatnya, sehingga semua intelektualharus mempelajari filsafat terlebih dahulu.25 Dalam situasi dan masaseperti itulah, al-Ghazali lahir dan berkembang menjadi seorang pemikirterkemuka dalam sejarah.

Sebagaimana diakui dalam otobiografinya, banyak peristiwa danpengalaman pribadi Al-Ghazali yang mengakibatkan krisis

kepribadiannya. Perkenalan al-Ghazali dengan klaim-klaim metodologismutakallimun, filsuf, Batiniyah dan Sufi memberikan andil terhadap krisispribadinya yang pertama. Krisis ini tampaknya bersifat metodologis karenapada dasarnya merupakan krisis dalam menemukan tempat yang tepatbagi daya-daya kognitif dalam skema total pengetahuan. Secara khusus,krisis ini berkaitan dengan krisis menetapkan hubungan yang tepat antaraakal dan intuisi intelektual. Al-Ghazali telah dibingungkan olehpertentangan antara kehandalan akal sebagaimana dalam kasusmutakallimûn dan para filsuf, di satu pihak, dengan kehandalanpengalaman spiritual sebagaimana kasus para sufi dan Batiniyah, di lainpihak.

Al-Ghazali telah mencoba berbagai sumber pengetahuan yangdipergunakan para intelektual waktu itu. Hasilnya, semua itu diragukankredibilitasnya sebagai sumber pengetahuan yang meyakinkan, termasukteks-teks al-Quran dan hadis yang diambil pengertian lahirnya, karenamasih adanya pertentangan pendapat dengan dalil yang sama.26 Namun,kedua sumber pengetahuan yang masih dipegangnya, yaitu inderawi danpikiran dharûry (aksiomatis) setelah diuji lagi kredibilitasnya, keduanyapun meragukannya. Dengan tertolaknya kedua sumber pengetahuantersebut, al-Ghazali merasa tak punya pegangan lagi. Jadilah ia seorangsopist.

Krisis spiritual ini berlangsung selama dua bulan. Dalam pengakuannyaia baru terbebas dari krisis tersebut karena nûr yang diberikan Tuhansecara langsung untuk tetap meyakini kebenaran dharûry sebagai dasarpengetahuan yang meyakinkan.27 Dengan berpegang pada kredibilitaspikiran dharûry, al-Ghazali mulai meneliti secara partisipan terhadapempat golongan –mutakallimûn (teolog), filsuf, Batiniyah dan Sufi- denganmetodenya masing-masing untuk memperoleh pengetahuan hakikatsegala sesuatu. Selama di Bagdad, al-Ghazali menuntaskan studimendalamnya mengenai empat kelompok tersebut. Masa ini adalahperiode produktif penulisannya.

Pada bulan Rajab 488 H./Juli 1095 M, sekitar enam bulan setelahdiselesaikannya Tahâfut al-Falâsifah, al-Ghazali mengalami krisis pribadikedua karena sufismenya. Krisis ini jauh lebih parah daripada yangpertama karena menuntut keputusan untuk melepaskan kehidupanmenuju kehidupan lain yang secara esensial bertentangan dengansebelumnya. Krisis ini mempengaruhi kesehatan emosional dan fisiknya.Kondisi fisiknya begitu lemah sampai para dokter putus asa untukmenyembuhkannya. Di saat kemampuannya untuk membuat pilihanhilang, dia menyerahkan segala persoalannya kepada Tuhan dan mohonpetunjuk-Nya. Tuhan mengabulkan do’anya. Al-Ghazali sembuh danmerasa mendapat kemudahan untuk dapat meninggalkan jabatan

Page 4: al-Qur’anlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain-gdl-jou... · M. diserahkan ke sebuah madrasah 16 di Thus yang menyediakan beasiswa. ... berakhir. Saat itu, orang-orang

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede RodinHermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin

90 91

ketinggian status dan kemewahan hidup sebagai hasil karirintelektualnya. Dia merasa mudah untuk memulai kehidupan sebagaiseorang sufi guna memenuhi tuntutan jiwanya agar dapat memperolehpengetahuan yang meyakinkan.28

Pada bulan Dzulqa’dah 1095 M. al-Ghazali meninggalkan Bagdad. Iameninggalkan keluarga, jabatan serta kemewahan hidup untuk menjalanikehidupan sufi yang fakir dan zuhud. Setelah 11 tahun menempuhkehidupan asketik, ia telah merasakan apa yang ditawarkan sufismeberupa pengetahuan langsung yang diterima dari Allah.29

Di Bagdad, al-Ghazali tidak dapat sepenuhnya menjalankankehidupan sufi karena masalah keluarga dan gangguan lain.Ketidakpuasan itu mendorongnya meninggalkan Bagdad untuk kembalike kota asalnya, Thus, sekitar 1099 M. Periode 11 tahun spiritual al-Ghazali meyakinkan dirinya bahwa kaum sufi adalah orang-orang yangsecara unik menempuh jalan menuju Tuhan; cara hidup mereka adalahcara hidup yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang tercepat, danetika mereka adalah yang termurni, bahkan metode mereka adalah yangpaling tepat untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan sampaike tingkat matematis.30 Meskipun demikian, dia tetap selektif terhadappelbagai aliran atau konsepsi sufisme. Al-Ghazali menolak paham hulûldari al-Hallaj dan ittihâd dari al-Bisthami dengan dalil-dalil rasional.31

Setelah mencapai tingkat spiritualisme yang tinggi, pada 1106 M timbulkesadaran baru untuk keluar dari ‘uzlah dan zâwiyah, karena terjadinyadekadensi moral-religius pada kaum Muslimin, bahkan sampai kekalangan ulama sehingga diperlukan penanganan serius untukmengobatinya. Dorongan ini diperkuat oleh permintaan Fakhr al-Muluk(putera Nidzam al-Mulk) untuk kembali mengajar di Nizhamiyah.32

Pada 1110 M al-Ghazali kembali ke Thus. Di sana dia mendirikansebuah madrasah bagi para pengkaji ilmu-ilmu keagamaan dan tempatkhalwat para sufi di samping rumahnya. Dia tempat itu pula, diamenghabiskan sisa umurnya sebagai pengajar agama dan guru sufi danbanyak mencurahkan diri pada pendalaman ilmu hadis hingga wafat pada18 Desember 1111 M pada usia 53 tahun.

Hermeneutika al-Quran

Sebagai seorang pemikir Islam, al-Ghazali menjadikan al-Quransebagai dasar pemikiran dan sumber utama inspirasinya. Kepercayaankepada kemampuannya untuk mencapai sasaran yang terjauh dan betapapentingnya pengetahuan serta fungsinya; kesemuanya itu bersumber darial-Quran. Pandangan al-Ghazali tentang al-Quran sepenuhnya menyatudengan pribadinya; dengan perkembangan intelektual dan spiritualnyasejak muda sampai akhir hayatnya.

Dalam bidang studi al-Quran, al-Ghazali menulis beberapa karya,seperti Kitâb Âdâb al-Tilâwah al-Qur’ân yang dimuat dalam karya besarnya,Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn,33 Jawâhir al-Qur’ân yang ditulis sekitar tahun 495 H,pada saat al-Ghazali telah mencapai kematangan intelektual danspiritual.34 Dalam Jawâhir, al-Ghazali membagi inti al-Quran ke dalamilmu dan amal. Amal mengandung dua sisi; sisi positif yang harusditerapkan dan sisi negatif yang harus ditinggalkan. Dari sini lahir empatpuluh prinsip yang disebut dengan Kitâb al-Arbaîn fî Ushûl al-Dîn. Menurutbeberapa penelitian, al-Ghazali pernah menulis tafsir al-Quran, Yâqûtal-Ta’wîl fî Tafsîr al-Tanzîl yang mencapai 40 jilid. Sayangnya, kitab tafsiryang sangat penting ini tidak dapat kita warisi, sehingga karenanyabeberapa orientalis meragukan keberadaannya. Metode sufistik ayatcahaya (Qs. al-Nûr [24]:35) ditulis dalam karya khusus yang ditujukanuntuk para sufi, Misykât al-Anwâr.

Konsepsi al-Ghazali tentang al-Quran dan tujuan-tujuannyaberangkat dari dua pijakan dasar; sebagai teolog Asy’ari dan sebagai sufignostik. Pijakan yang pertama berangkat dari konsepsi Asy’ariyah atasteks al-Quran sebagai “sifat” dari sifat-sifat dzat Tuhan, sedangkan yangkedua tampak pada tujuan eksistensi manusia di bumi untukmerealisasikan kebahagiaan di akhirat. Kedua pijakan ini tidak sajamerumuskan konsepsi al-Ghazali atas al-Quran, tetapi jugamenggambarkan proyek pemikiran yang ditawarkannya seperti terlihatdalam berbagai karyanya untuk “menghidupkan” ilmu-ilmu keagamaan.35

Menurut al-Ghazali, al-Quran adalah sumber kebenaran yang berasaldari sumber segala kebenaran. Karena itu, al-Quran dilihat dari sisi manapun mengandung nilai kebenaran substansial. Kisah-kisahnya memberikaninspirasi para cendekiawan, hukum-hukum di dalamnya memuatkebijakan tertinggi bagi nilai-nilai kehidupan. Ia laksana cahaya yangmenyinari setiap orang dari kesesatan. Ia adalah obat bagi kepuasan dankedamaian jiwa. Sebaliknya, siapa saja yang mengganti isinya ataumengabaikannya, bencana Allah di dunia dan akhirat akan ditimpakankepadanya. Karenanya, siapa pun yang mencari pengetahuan di luar al-Quran akan tersesat.36

Di sisi lain, al-Ghazali menekankan esensi al-Quran sebagai KalamAllah dan ilmu-Nya. Sebagai Kalam Allah, al-Quran memuat seluruhmakna kalam-Nya, dan Kalam Allah juga berarti ilmu-Nya, “Kalam Allahadalah tunggal; ketunggalannya meliputi seluruh makna kalam.Sebagaimana ilmu-Nya juga tunggal; ketunggalannya meliputi seluruhpengetahuan; tak terlepas dari pengetahuan-Nya sedikit pun apa yangada di langit dan di bumi.”37

Page 5: al-Qur’anlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain-gdl-jou... · M. diserahkan ke sebuah madrasah 16 di Thus yang menyediakan beasiswa. ... berakhir. Saat itu, orang-orang

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede RodinHermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin

92 93

1. Klasifikasi Ilmu dan Ayat al-Quran

Konsep ihyâ’ al-Ghazali atas ilmu-ilmu agama mengasumsikan adanyadikotomi pengetahuan menjadi dua; ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia.Pada sisi lain, hal itu menggambarkan bahwa kecenderungan, paling tidakpada masa al-Ghazali, lebih memihak kepada ilmu-ilmu dunia dan kurangmemperhatikan ilmu-ilmu agama. Klasifikasi ilmu pengetahuan menurutal-Ghazali berasal dari dualitas yang tajam mengenai hubungan dunia-akhirat, bahkan ia menjadikan konsepsi ini sebagai batas minimal ilmupengetahuan yang sepatutnya diketahui oleh “ulama akhirat”. Meskidemikian, namun tidak ada salahnya menerima batas minimal kehidupanduniawi selama menjadi jalan menuju akhirat.38

Jika dikotomi dunia-akhirat ini berangkat dari pandangan sufistik,maka menurut al-Ghazali, konsep teks mengandung dikotomi lain yangberangkat dari konsep Asy’ari mengenai kalam Tuhan sebagai sifatdzâtiyyah, bukan sebagai perbuatan. Karena itu, pemisahan antara “sifatqadîmah” yang inheren dengan dzat Tuhan dengan tajalli di dunia dalambentuk teks al-Quran yang dibaca, menjadi sesuatu yang niscaya. Teksyang dibaca dan ditulis dalam mushaf hanyalah “imitasi” bagi sifat kalamyang qadîm. Ini berarti bahwa bahasa dalam teks tersebut merupakankulit yang di dalamnya tersimpan kandungan yang imanen dan qadîm.

Jika pemikiran Asy’ari sebelum al-Ghazali mengenai konsep kalamIlahi terbatas pada pembedaan antarsifat yang qadîm dan imitasi padabacaannya, maka dimensi sufistik pada pemikiran al-Ghazali dapatmembantunya dalam mengembangkan konsep tersebut melalui dikotomizahir-batin. Melalui dikotomi ini dimungkinkan bagi al-Quran adanyazahir dan batin, bukan saja pada sisi makna dan tanda, seperti yangtersebar pada pemikiran sufi, tetapi juga pada sisi struktur dalam narasidan susunan teks. Yang batin merupakan rahasia, mutiara-mutiara danhakikat-hakikat yang dikandung teks, sementara yang zahir merupakankulit dan bahasa yang menampilkan teks pada pemahaman kita.

Berdasarkan pesan dan tujuan al-Quran, al-Ghazali mengklasifi-kasikan ilmu-ilmu al-Quran ke dalam dua kategori; ilmu kulit dan ilmuisi. Untuk lebih memperjelas tentang persoalan ini, perhatikan diagramberikut ini:

Bahasa, menurut al-Ghazali, adalah medium yang dapat mengung-kapkan kulit luar teks. Efektifitas bahasa mulai dari tingkat bunyi danberakhir pada dataran semantik. Antara keduanya terdapat beberapatingkatan lain. Kesemuanya membentuk ilmu-ilmu yang dikategorikanilmu-ilmu kulit. Ilmu-ilmu ini diperoleh berdasarkan fenomena al-Quranberupa huruf-huruf dan bunyi yang terdiri dari lima ilmu. Pertama, ilmumakhârij al-hurûf (fonologi); ilmu yang berkaitan dengan cara membacateks. Kedua, ilmu bahasa al-Quran (filologi); ilmu yang mengkaji kata-kata dari segala aspeknya. Ketiga, ilmu i‘râb al-Qur’ân. Dari sini munculilmu yang keempat, yaitu ilmu qirâ’at dan berakhir pada ilmu tafsir zahir.39

Sistematika ini selain merupakan sistematika menaik dari partikularke universal dan dari bunyi ke makna, juga merupakan sistematika nilaidari yang terendah menuju ke yang tertinggi. Suatu ilmu semakin dekatke kulit nilainya semakin kecil, sementara nilainya akan bertambah jikamenjauhi kulit dan mendekati isi. Karena itu, ilmu-ilmu ini, meskipunsemuanya termasuk dalam dataran kulit, nilainya bertingkat-tingkat. Padabagian ini, ilmu tafsir zahir adalah yang paling dekat ke isi, sehinggamenyebabkan banyak orang mengira ilmu ini merupakan puncak ilmual-Quran dan merasa puas dengannya.40

Bila bahasa adalah baju (kulit) yang di baliknya terkandung maknabatin, maka ilmu bahasa hanya sekedar sarana dan perangkat untukmenembus makna yang lebih dalam. Tujuan keberadaan manusia adalah

Sumber: al-Ghazali, Jawâhir al-Qur’ân, hal. 12-22

ILMU-ILMU AL-QURAN

ILMU KULIT (Secara Fenomenologis)

ILMU ISI (Secara Substansial)

1. Ilmu Makhârij al-Hurûf (fonologi)

2. Ilmu Bahasa (filologi)

3. Ilmu I`râb 4. Ilmu Qira’at 5. Ilmu Tafsir Zahir

1. Ilmu Tauhid 2. Ilmu Eskatologi 3. Ilmu Tasawuf

Ilmu sejarah Ilmu Kalam Ilmu Fiqh

ILMU INTI ILMU PELENGKAP

Page 6: al-Qur’anlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain-gdl-jou... · M. diserahkan ke sebuah madrasah 16 di Thus yang menyediakan beasiswa. ... berakhir. Saat itu, orang-orang

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede RodinHermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin

94 95

merangkul Yang Mutlak dan mengalami fanâ’ dengan-Nya. Fungsi teksberubah menjadi sarana mengungkapkan Yang Mutlak dan sifat-sifat-Nya. Atas dasar ini, maka makna atau pengertian bukanlah tujuan, tetapiPengirim Yang Qadim itulah yang merupakan tujuan yang dicapai denganmenguraikan teks. Dengan demikian, kelima ilmu di atas berubahmenjadi sarana bagi tujuan-tujuan yang lain. Ulama-ulama bahasa danahli qiraat hanya berfungsi sebagai pemelihara dan pentransfer hasil-hasililmu mereka pada yang lainnya. Hanya ahli tarekat yang berjalan menujuAllahlah yang mampu menembus penutup dan kulit mutiara danmengeluarkan mutiara yang tersimpan di baliknya. Merekalah yang mampumencapai hakekat dan menyelam ke dalam lautan teks untukmengeluarkan hakekat tersebut.

Adapun ilmu isi dibagi dua; ilmu inti (tingkat atas) dan ilmupelengkap (tingkat bawah). Ilmu inti yang merupakan esensi al-Quranmeliputi tiga bagian; ilmu ma’rifatullâh (tauhid), ilmu tharîq al-sulûk ila al-Lâh (tasawuf), dan ilmu ta‘rîf al-Hâl ‘ind al-Wushûl (eskatologi). Sedangkanilmu pelengkap (tingkat bawah) berada pada lapisan bawah dari ilmu isial-Quran. Tetapi, ilmu-ilmu ini dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu duniaberada pada tingkat paling atas. Yang tergolong ke dalam kelompok iniadalah cerita-cerita dalam al-Quran (ilmu sejarah), ilmu kalam dan ilmufiqh.

Pandangannya bahwa al-Quran telah mengisyaratkan kepada berbagaiilmu pengetahuan telah memberi semangat baru bagi penafsiran ilmiah(al-tafsîr al-ilmy). Karena itu banyak pakar yang memandang al-Ghazalisebagai penggagas al-tafsîr al-’ilmy.41 Konsepsi ini tentu perludikembangkan lebih lanjut untuk menjadikan al-Quran sebagai pijakandan landasan baik pengembangan ilmu pengetahuan, baik ilmukemanusiaan, sosial maupun kealaman.

Dari klasifikasi ilmu pengetahuan dalam al-Quran, al-Ghazali membagiayat-ayat dan surat-surat al-Quran ke dalam enam kelompok,42 yaitu:(1) Ayat-ayat yang berkarakter tauhid, (2) Ayat-ayat yang berkaraktertasawuf, (3) Ayat-ayat yang berkarakter eskatologis, (4) Ayat-ayat yangberkarakter historis, (5) Ayat-ayat yang berkarakter kalam, dan (6) Ayat-ayat yang berkarakter fiqh.

Keenam kelompok ayat tersebut jika dirinci menjadi sepuluh kelompok,yaitu: (1) Penjelasan dzat Allah, (2) Penjelasan sifat-sifat Allah, (3)Penjelasan perbuatan-perbuatan Allah, (4) Penjelasan hari akhir(eskatologis), (5) Penjelasan jalan lurus (al-shirâth al-mustaqîm) melaluipenyucian jiwa, (6) Penjelasan jalan lurus melalui penghiasan diri denganakhlak baik, (7) Penjelasan kisah kekasih Allah, (8) Penjelasan kisahmusuh Allah, (9) Penjelasan argumentasi Allah terhadap orang kafir,dan (10) Penjelasan ketentuan-ketentuan hukum.43

Dengan demikian, klasifikasi ayat-ayat al-Quran menurut al-Ghazalididasarkan pada pembagian terhadap ilmu-ilmu yang di-istinbath-kan dariayat-ayat tersebut. Klasifikasi ini nampaknya didasarkan pada urutanhirarkis, dimana ayat-ayat yang nilainya tertinggi adalah ayat-ayat yangmenunjukkan tentang ma‘rifatullâh, ayat-ayat jawâhir, kemudian diikutioleh ayat-ayat yang menunjukkan jalan lurus (tasawuf), ayat-ayat durar.Al-Ghazali mempunyai kepentingan yang kuat untuk menjelaskan ayat-ayat jawâhir dan durar. Hal ini mengingat ayat-ayat tersebut yang munculdari signifikansinya lantaran dilâlah-nya yang mengacu pada prinsip-prinsippenting dalam sistem epistemologi al-Ghazali.

Dalam mengklasifikasikan ayat-ayat al-Quran dan ilmu yangdihasilkan darinya, al-Ghazali menggunakan bahasa yang mempunyaisifat metaforis-personifikatif seperti ketika ia berbicara ilmu-ilmu kulitdan ilmu-ilmu isi. Terhadap ayat-ayat al-Quran, ia menggunakan tamsilkibrit ahmar (belerang merah), yâqût, durar (mutiara), zabarjud (batupermata), anbar (minyak wangi), ‘ûd (kayu gaharu), tiryaq (obat penawarracun), dan misk. Semua tamsil dan konsepsi ini menunjuk secaralangsung kepada hakikat-hakikat al-Quran, sementara isyaratnya padakandungan duniawi-materinya merupakan isyarat representatif yang tidaklangsung, yaitu isyarat-isyarat alegoris dan-metaforis.

Al-Ghazali melihat bahwa ayat-ayat al-Quran lebih berhak dengansebutan-sebutan tersebut daripada benda-benda aktual di alam. Dalamhal ini, norma yang menjadi sandarannya adalah bahwa ruh dan maknahakiki dari kata-kata tersebut teraplikasikan pada ayat-ayat al-Qurandan ilmu yang dihasilkannya.

Di sini al-Ghazali berinteraksi dengan bahasa sebagai simbol, bukansebagai sistem simbol. Maksudnya sebagai sekumpulan kata yang memilikidua dimensi; dimesi yang hakiki, yaitu makna rûhî malakûti (signified,penanda) dan dimensi luar atau simbol (signifier, yang ditandai), yaitu maknabahasa yang berlaku.44 Dalam konsep ini, yang penting bukan watak teks,karena teks apa pun dapat dita’wil secara simbolik. Sebaliknya, kata-kata dapat dipergunakan bukan untuk menunjuk pada makna malakût-nya secara langsung. Inilah yang dilakukan al-Ghazali tatkalamengklasifikasikan ayat-ayat al-Quran ke dalam jawâhir, durar, zamrud,dan yang lainnya.

Jika pengunggulan sebagian teks ayat atas yang lainnya merupakanhal yang tidak diterima secara umum, maka al-Ghazali memiliki konsepyang berbeda. Ia berpendapat bahwa ayat-ayat dan surat-surat al-Quranbertingkat-tingkat berdasarkan isinya (kandungannya). Jika para ulamaIslam, meskipun berbeda aliran, tidak mampu menggoyahkan dualitaskata dan makna dalam perdebatan mereka mengenai kemu’jizatan al-

Page 7: al-Qur’anlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain-gdl-jou... · M. diserahkan ke sebuah madrasah 16 di Thus yang menyediakan beasiswa. ... berakhir. Saat itu, orang-orang

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede RodinHermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin

96 97

Quran, maka dualitas kulit-inti (kata-makna) dalam konsep al-Ghazalitidak menghalanginya untuk menjalankan efektifitasnya.

Mungkin Anda mengatakan, dalam beberapa catatan ini Anda (al-Ghazali) mengkonsentrasikan sasaran pada upaya mengunggulkansebagian al-Quran atas sebagian lainnya, padahal semuanya adalah firmanAllah. Bagaimana mungkin sebagiannya berbeda dengan yang lainnya,dan bagaimana mungkin sebagiannya lebih utama dari yang lainnya?Ketahuilah bahwa cahaya hati nurani bila tidak dapat memberi petunjukkepada Anda dalam membedakan antara ayat kursi dengan ayatmudâyanah (Qs. Al-Baqarah [[2]:282), antara surat al-Ikhlas dengan suratal-Lahab, dan jiwamu yang menyimpang dan hanya taklid semata, makataklidlah pada sang pembawa risalah, Muhammad saw. Sebabkepadanyalah al-Quran diturunkan. Banyak hadis yang menunjukkankeutamaan beberapa ayat dan pahala yang berlipat ganda dalam membacasurat. Nabi saw bersabda, “Fâtihah al-Kitab merupakan ayat yang palingutama”, “Ayat kursi adalah penghulu al-Quran”, “Yâsîn merupakan jantungal-Quran dan Qul Huwa Allâh Ahad sebanding dengan sepertiga al-Quran”.Hadis-hadis yang berkenaan dengan keutamaan ayat-ayat al-Quran yangsecara khusus mengunggulkan beberapa ayat dan surat serta banyaknyapahala bila dibaca tidak terhitung jumlahnya.45

Bagi al-Ghazali dualitas kulit-inti tidak saja diterapkan pada teksdari segi klasifikasi makna-kata, tetapi juga pada klasifikasi internal teks,sebab alasannya bukan panjang pendeknya ayat atau surat, tetapikandungan yang diekspresikannya. Ayat atau surat yang pendek bisajadi lebih bernilai dari segi kandungannya daripada ayat atau surat yangpanjang. Kandungan yang menjadi tolok ukur itu tidak lain adalah ilmu-ilmu yang sudah dipaparkan di atas. Atas dasar ini, maka surat al-Ikhlassebanding dengan sepertiga al-Quran secara hakiki bukan metaforis,karena memuat prinsip-prinsip pokok al-Quran, yaitu pengetahuanmengenai Allah, akhirat dan jalan lurus.46

Pandangan al-Ghazali yang bersikukuh mengunggulkan sebagian ayatdan surat atas yang lainnya, berkaitan dengan konsep al-Ghazali tentangwujud (being), kehidupan, tujuan agama, teks dan fungsinya. Konsepsial-Ghazali tentang teks menjadikan teks berubah menjadi kode khususyang hanya kaum ârif dan ahli tahqiq yang dapat mengurai simbol-simbolnya (kode). Konsekuensinya, manusia awam hanya puas denganmembaca dan memahami tingkatan lahiriah makna teks. Dan tugas ârifadalah membekali orang awam dengan beberapa mutiara teks yangsedikit. Oleh karena itu, setelah al-Ghazali menjelaskan beberapa ayatdan surat yang memiliki kedudukan khusus dalam teks, berusahamemaparkan ayat-ayat permata (jawâhir) yang menunjuk ma’rifat kepada

Allah dalam satu untaian, kemudian terkumpul dalam satu untaian lainayat-ayat mutiara (durar) yang menunjuk kepada jalan lurus.

Sisi kelemahan konsepsi ini terletak pada agenda pembalikan segalasesuatu, dimulai dari wujud (being) dan berakhir pada teks. Agendatersebut mengubah teks menjadi sejumlah misteri yang amat sukar, yangsignifikansi dan nilainya bertingkatan. Kemasyhuran dan sambutan penuhgenerasi setelahnya atas pemikiran al-Ghazali yang mendominasi wacanaagama, merupakan persoalan yang perlu dianalisa. Hemat penulis,kemasyhuran ini dapat ditafsirkan melalui dualitas sistem pemikiran yangdilontarkan al-Ghazali, dimana ia menyuguhkan kepada masyarakat awamsarana keselamatan melalui perjalanan menuju akhirat, dan kepadakelompok dominan (para penguasa dan raja) menyuguhkan ideologiAsy’ariyah dengan segala pembenaran dan eklektisisme.

Penggunaan kata-kata jawâhir, durar, yâqût untuk menunjukkanbagian-bagian al-Quran, dari sisi ini, dapat dianggap sebagai saranasubstitusi (pengganti) bagi ahli ma’rifat di satu pihak, dan bagi kaumawam di lain pihak. Ini merupakan pengantar untuk berinteraksi denganteks tertulis (mushaf) sebagai “sesuatu” yang berharga dalam dirinya sendiritanpa mempertimbangkan kemampuan untuk melakukan pembacaan.

2. Sumber-sumber Penafsiran

Dalam memformulasikan sumber-sumber penafsiran al-Quran, al-Ghazali tidak menyebut urutannya secara eksplisit. Namun dari beberapapernyataannya, secara implisit ia menyebutkan empat sumber; yaknima’tsur, akal, kasyf dan isrâiliyyat.

Yang termasuk ke dalam sumber ma’tsûr adalah al-Quran, Hadis, danperkataan sahabat.47 Bagi al-Ghazali, al-Quran adalah sumber penafsiranyang sangat penting. Dia memandang al-Quran dengan ke-mutawâtir-annya diterima secara dharûri yang menjamin kebenarannya sebagaisumber penafsiran. Tetapi dari segi dilâlah (informasi yang dibawakan)belum tentu bisa diterima secara dharûri sehingga juga memberipengetahuan yang pasti (qath‘i). Bila informasinya tidak mengisyaratkanadanya pengertian alternatif, misalnya lafadznya khusus (khâs), makadilâlah-nya bisa diterima secara pasti. Tetapi bila mempunyai banyakalternatif, misalnya pernyataannya bersifat umum (‘âm), maka harusditerima dulu kebenaran sementara (zhanni). Bila argumen tersebutdibahas secara rasional baru dapat diterima secara qath‘i. Begitu pulahadis,48 perkataan sahabat dan tabi’in49 bersama-sama dengan al-Qurandipegangi sebagai sumber penafsiran

Adapun kredibilitas akal sebagai sumber penafsiran, dibedakan antaraakal (1) sebagai potensi berpikir dan pemikiran dharûri yang dekat dengangharîzah, dan (2) akal dalam pengertian pengetahuan yang dibina oleh

Page 8: al-Qur’anlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain-gdl-jou... · M. diserahkan ke sebuah madrasah 16 di Thus yang menyediakan beasiswa. ... berakhir. Saat itu, orang-orang

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede RodinHermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin

98 99

potensi berpikir tersebut, yang disebut dengan ilmu muktasabah. Akaldalam pengertian pertama sama sekali tidak diragukan kredibilitasnya.Sedangkan pada pengertian yang kedua diragukan sehingga perludiseleksi kebenarannya dengan menggunakan tolok ukur pemikirandharûri.

Suatu sumber yang cukup unik dalam penafsiran al-Ghazali adalahkasyf, yaitu mengetahui secara nyata apa yang ada di balik tabir yangberupa konsep-konsep immaterial dan hakikat segala sesuatu. Sumberini diterima secara dharûri karena pengalaman orang yang memperolehmimpi yang benar dan pengalaman batin seseorang yang mendapattambahan ilmu tidak melalui proses belajar dan menalar merupakancontoh manusia yang memperoleh pengetahuan dengan kekuatan al-nubuwwah. Begitu pula, pengalaman batin seorang sufi yang dapatmemperoleh kasyf, sehingga dapat menyaksikan hakikat segala sesuatudi lawh mahfûz, juga semacam al-nubuwwah. Semua itu diperoleh denganpenyaksian (musyâhadah) di dalam batin, sedangkan musyâhadah sepertiitu termasuk pengetahuan “sensual” internal yang dapat menghasilkanpengetahuan dharûri bagi yang mengalaminya.50

Al-Ghazali juga sering mengutip riwayat-riwayat isrâiliyyat, yaitusumber-sumber Yahudi dan kristen. Ia mengutip tradisi-tradisi tokohIbrahim, Musa, Dawud, Sulaiman, dan tokoh-tokoh lain dalam PerjanjianLama. Dia sering menunjuk kepada sejarah atau hikayat tentang Dawudyang menyerupai karya sendiri yang sering dirujuknya.

3. Metodologi Penafsiran

Bagi al-Ghazali, al-Quran adalah sumber kebenaran dalam berbagaihal. Maka al-Quran harus dipandang dari berbagai sisi, karena iamempunyai banyak dimensi dan dapat dipahami melalui berbagai bidang.51

Karena itu, ia tidak puas dengan metode penafsiran yang ada. Sebagianorang mengabaikan sisi lahir ayat dan sumber-sumber yang diperolehsecara naql, sehingga penafsiran mereka tidak terkendalikan. Di lainpihak, ada yang berpegang kuat pada sisi lahir dan sumber-sumber naqlsehingga al-Quran nampak sebagai dogma-dogma hukum dan agamayang statis.52 Konflik antara keduanya mencuat, bahkan sampai pada tarafsaling mengkafirkan. Kondisi inilah yang memunculkan kritik al-Ghazaliatas metode tafsir yang berkembang pada masanya.

Para mufassir tradisional dalam mempertahankan tafsir bi al-ma’tsûrselalu merujuk kepada hadis, Man fassara al-Qur’ân bira’yihi falyatabawwa’maq‘adahu min al-nâr, “Barangsiapa yang menafsirkan al-Quran denganra’yu-nya, maka hendaklah dia menempati tempat di neraka”.53

Hadis ini kerap kali dipahami bahwa al-Quran hanya boleh dipahamidengan periwayatan (ma’tsûr). Menurut al-Ghazali, pandangan tersebut

sangat fatal karena dalam realitas sejarah penerapan prinsip tersebutsangat sulit dipertahankan. Hadis tersebut bukan berarti melarangseseorang untuk menafsirkan al-Quran dengan akal pikiran (ijtihad).Yang dimaksud adalah menafsirkan al-Quran dengan semata-matamengikuti hawa nafsu (al-ra’y al-fâsid al-muwâfiq li al-hawâ). Dengandemikian, menafsirkan al-Quran dengan ra’yu yang sahih dan tidaksemata-mata mengikuti hawa nafsu adalah sah-sah saja.54 Sebab denganakal itulah –meski bukan satu-satunya- wahyu al-Quran dapat dipahami.

Sanggahan al-Ghazali itu didasarkan pada beberapa alasan. Pertama,bila tafsir harus diperoleh melalui periwayatan dari Nabi saw saja, makaakan didapati sebagian kecil saja dari ayat al-Quran. Para pendukungpendapat ini seharusnya menolak penafsiran Ibn Abbas, Ibn Mas’ud danyang lainnya, karena sebagian ucapan itu termasuk penafsiran yangdengan ra’yu yang tidak pernah didengar dari Nabi. Kedua, para sahabatseringkali berbeda pendapat dalam menafsirkan sebagian ayat satu denganyang lainnya, sehingga tidak logis jika semua penafsiran itu berasal dariNabi. Ketiga, Nabi saw pernah berdoa untuk Ibn Abbas agar ia diberipemahaman dan pengetahuan tentang agama dan ta’wil.55 Jika ta’wîldimaksudkan berasal dari Nabi sebagaimana tanzîl, maka apa maknakeistimewaan itu? Keempat, di dalam al-Quran sendiri pemikiran(istinbâth) dipuji Allah (Qs. al-Nisâ’ [4]:83). Maka setiap orang bolehmengambil ketetapan hukum (ijtihad) sesuai dengan kemampuanintelektualitasnya.56

Menurut al-Ghazali tafsîr bi al-ma’tsûr bukan satu-satunya penafsiranyang sah, tetapi merupakan salahsatu metode yang penting dalammemahami al-Quran, karena tafsir ini dapat dijadikan penjaga kekeliruansebagaimana halnya kedudukan bahasa yang menjadi alat pemahaman.Setelah melihat tafsir sisi lahir, maka terbuka wilayah untuk pemahamandan istinbâth. Di sini tampak sekali perhatian tafsir batin (esoterik), dimanamenurutnya, hakikat-hakikat makna al-Quran hanya akan dicapai olehmereka yang menempuh perjalanan menuju ma‘rifatullâh sehingga akantersingkap rahasia-rahasia makna al-Quran melalui penyingkapan tabir(kasyf). Makna batin, menurut al-Ghazali, adalah pemikiran yangmendalam yang dicapai seseorang melalui perenungan, kontemplasi dankajian mendalam yang tidak bertentangan dengan makna lahir, tetapimerupakan bagian dari tamtsîl dan isyârat. Karena itu, ada ulama yangkeberatan dengan metode esoterik al-Ghazali. Ibn Taimiyyah, misalnya,menganggap metode intuitif yang dikembangkan al-Ghazali tidak sesuaidengan petunjuk-petunjuk dan hadis-hadis Nabi, bukan karenakelemahannya di bidang ini, tetapi karena terpengaruh oleh pemikiranfilsafat dan teologi.57 Ibn al-Jawzi termasuk ulama yang sangat kerasmenentang penafsiran-penafsiran sufistik al-Ghazali meskipun tidakbertentangan dengan aspek lahir.58

Page 9: al-Qur’anlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain-gdl-jou... · M. diserahkan ke sebuah madrasah 16 di Thus yang menyediakan beasiswa. ... berakhir. Saat itu, orang-orang

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede RodinHermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin

100 101

Di lain pihak, para filsuf dan mutakallim cenderung menggunakanra’yu dengan sangat bebas. Akibatnya, mereka seringkali mengabaikansumber-sumber naqli. Sikap tersebut, menurut al-Ghazali, telah membukapeluang bagi pemahaman yang bebas terhadap al-Quran, disampingsubyektifitas pribadi.59

Menurutnya pengertian ra’y pada hadis tersebut bukan dalam arti akalpikiran atau ijtihad, melainkan hawa nafsu yang menjadikan mufassirmemaksakan pra konsepsinya untuk menafsirkan ayat sesuai dengankepentingannya (vested interest) tanpa didasarkan metodologi yang jelasdan dapat diverifikasi kebenarannya secara metodologis. Menurutnya,tidak semua penafsiran bi al-ra’y dilarang. Yang tidak diperkenankanadalah al-ra’y al-fâsid (pikiran yang rusak), yakni menafsirkan al-Quranberdasarkan hawa nafsu semata.60 Karena itu, meski al-Ghazali memberipeluang bagi setiap orang untuk menafsirkan al-Quran sesuaikemampuannya, namun ia juga mensyaratkan beberapa hal bagi mufassir.

Dengan demikian, al-Ghazali tampaknya berusaha untukmenggabungkan kedua metode tersebut dalam memahami al-Quran.Baginya, penafsiran al-Quran tidak cukup mengandalkan akal saja danmengabaikan periwayatan atau sebaliknya. Masing-masing metodetersebut perlu mendapat tempat sesuai dengan porsinya masing-masing.Dalam konteks inilah, al-Ghazali mengkritik dua kelompok yangdianggapnya ekstrem; Hasyawiyah yang berpegang ketat kepada teks dantidak mau mempergunakan akal dan Mu’tazilah ekstrem serta para filsufyang sangat ketat berpegang pada akal dan kurang menghargaiperiwayatan.

Sementara itu, ada juga kelompok yang berpandangan bahwa al-Quranhanya bisa dipahami dari sisi zahirnya. Metode eksoterik ini banyak dianutpara fuqaha. Pandangan tersebut, menurut al-Ghazali, terlalu picik dansempit, padahal kemampuan orang dalam memahami al-Quranbertingkat-tingkat.61

Bagi al-Ghazali, al-Quran mengandung makna yang sangat luas bagimereka yang memiliki kecerdasan khusus (arbâb al-fahm).62 Asumsi inididasarkan pada sebuah hadis riwayat Ibn Hibban: Inna li al-Qur’ândzâhiran wa bâthinan wa haddan wa mathla‘an, “Sesungguhnya al-Quranitu mempunyai sisi zahir, batin, hadd dan mathla‘“.63 Dalam riwayat laindisebutkan, “Setiap ayat ada zahir dan batinnya, setiap huruf ada hadd-nyadan setiap hadd ada mathla-nya”. Menurut al-Ghazali, makna zahirberkaitan dengan ‘ilm al-mu‘âmalah (syari’at) dan makna batinberhubungan dengan ‘ilm al-mukâsyafah (hakikat).64

Di pihak lain, ada kelompok yang banyak menggunakan metodeesoterik dalam menafsirkan al-Quran, seperti kaum Ta’limiyah(Batiniyah). Al-Ghazali melukiskan mereka sebagai orang-orang yang

“mengklaim diri sebagai satu-satunya pemilik al-ta`lîmi dan penerimahak istimewa pengetahuan yang diperoleh dari imam yang ma’shûm”.65 Iajuga mengkritik para sufi dan Ikhwan al-Shafa yang cenderungmenafsirkan al-Quran dengan metode esoterik saja dan mengabaikanmakna lahiriahnya. Lewat penafsiran tersebut, kerapkali mereka membuatkekacauan, kegelisahan dan kerusakan iman serta intelektual umatIslam. Dampak inilah yang dikecam al-Ghazali.66 Untuk itu, iamengemukakan syarat lain bagi seorang mufassir, yaitu penafsirannyaharus sesuai dengan makna lahiriah, tidak boleh menyimpang darinyakarena penafsiran isyâri-shûfi hanya sebagai pelengkap dan kesempurnaanpemahaman atas al-Quran, bukan makna satu-satunya dan bukan maknaindependen.67

Hermeneutika dan metodologi al-Ghazali dalam menafsirkan al-Quran didasarkan pada pemahamannya atas tujuan dan maksud al-Qurandan perjalanannya yang panjang dalam mencari kebenaran hakiki.Metode penafsirannya merupakan salah satu upaya al-Ghazali dalammemproyeksikan peran dan nilai al-Quran di tengah-tengah masyarakatdalam rangka menempatkan al-Quran sebagai sumber pengetahuan dankebenaran tertinggi. Oleh karena itu upayanya melibatkan berbagaidisiplin yang dimilikinya, baik sebagai filsuf, teolog, faqih maupun sufi.

Al-Ghazali berupaya meramu berbagai metode yang berkembang kedalam corak penafsirannya. Meski ia memberi tempat dan menekankanmetode penafsiran rasional (bi al-ra’y), ia juga menekankan danmemperhatikan penafsiran secara riwayat (bi al-ma’tsûr). Demikian halnya,meski ia sangat mengedepankan penafsiran sisi batin (esoterik), dia tidakmengabaikan makna lahirnya (eksoterik). Integralisasi berbagai metodepenafsiran tersebut disamping penekanan syarat dan prinsipnya adalahupayanya untuk membuka dinamisasi metode penafsiran yang prospektif,disamping mempertahankan otentisitas nilai al-Quran.

4. Urgensi Tafsir Al-Ghazali dalam Diskursus Tafsir al-Quran

Urgensi tafsir al-Ghazali dapat dilihat dari pengaruhnya terhadapulama setelahnya. Imam al-Nawawi adalah ulama yang banyak mengutipperkataan al-Ghazali dalam Ihyâ’, bahkan kerapkali dia mengutipnyasecara langsung. Dalam al-Tibyân, dia mengutip dari al-Ghazali sembilanmasalah dan kajiannya tentang tafsir merupakan ringkasan dari al-Ghazali.68 Al-Qurthubi juga banyak mengutip dari al-Ghazali –tanpamenyebutkan namanya- dalam penafsiran rasional.69 Mafâtih al-Ghaib –yang dikenal dengan al-Tafsîr al-Kabîr- juga banyak menanggapi danmengaplikasikan asas penafsiran yang diaktualkan al-Ghazali.70 Meskikarya besar yang ditulis al-Fakhr al-Razi (w. 606 H./1209 M.) ini tidaksepenuhnya sependapat dengan al-Ghazali, namun karya ini dipenuhi

Page 10: al-Qur’anlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain-gdl-jou... · M. diserahkan ke sebuah madrasah 16 di Thus yang menyediakan beasiswa. ... berakhir. Saat itu, orang-orang

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede RodinHermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin

102 103

pembahasan rasional menyangkut filsafat, teologi, ilmu fisika, astronomidan sebagainya sehingga sebagian ulama menilainya sebagai karya yangmemuat berbagai hal kecuali tafsir.71

Jalaluddin al-Suyuthi (849-911 H), dalam al-Itqân dan mukaddimahal-Iklîl fî Istinbâth al-Tanzîl juga menanggapi secara positif, bahkanmemperkuat gagasan al-Ghazali dalam upaya penggalian ilmu-ilmu darikandungan al-Quran seperti Qs. Al-An‘âm [6]:38, al-Nahl [16]:86, danhadis serta atsar sahabat.72 Dalam al-Itqân ia mengutip dua teks yangdinisbatkan kepada al-Nawawi, padahal al-Nawawi mengutipnya darial-Ghazali.73 Al-Suyuthi juga mendukung al-Ghazali tentang tafsiresoterik. Menurutnya, makna batin suatu ayat diperoleh melalui ilhamyang diberikan Allah kepada para sufi. Mereka sebenarnya tidakmenyatakan bahwa makna esoterik itu satu-satunya makna yang palingbenar.74

Diantara mufassir modern yang terpengaruh oleh al-Ghazali adalahMuhammad Abduh (1839-1905 M.).75 Abduh sependapat dengan al-Ghazali bahwa al-Quran adalah sumber segala ilmu pengetahuan dantafsir naqli saja tidak cukup untuk memahami Kitabullah. Karenanya,setiap orang boleh memahami al-Quran sesuai dengan intelektualitasnya.Pendapat ini sejalan dengan usaha Abduh untuk membebaskan umatdari taklid. Tetapi dia melarang tafsir bi al-ra’y yang didasarkan padakepentingan dan tujuan pribadi. Sebagaimana al-Ghazali, Abduh menolaktafsir yang hanya berlandaskan makna lahiriah bahasa tanpamemperhatikan periwayatan (manqûl). Dengan demikian, akal dan naqlharus disertakan secara bersama-sama dalam memahami al-Quran dengantidak mengenyampingkan petunjuk kebahasaan.76 Pengaruh al-Ghazaliterlihat dalam masalah-masalah akidah, kalam dan filsafat seperti padatafsir Qs. al-Lail [92]:17.77 Ketika menafsirkan Qs. al-Baqarah [2]:121,Abduh mengutip pendapat al-Ghazali dalam Ihyâ’ tentang hal-hal yangmenghalangi pemahaman al-Quran ketika membacanya.78

Demikian juga usaha al-Ghazali untuk menjaga al-Quran dari seranganberbagai kelompok, seperti kaum Batiniyah, dalam rangka menjagaotentisitas bahasa dan penafsirannya sebagaimana dipahami pada masaturunnya, menelusuri periwayatan untuk mengetahui maknanya. Dengandemikian, al-Ghazali telah bersaham dalam perumusan metodepemahaman al-Quran melalui pemahaman kosa kata al-Quran yangkemudian menjadi ciri analisis semiotik pada masa modern.

Hemat penulis, metode penafsiran al-Quran yang dikembangkan al-Ghazali erat kaitannya dengan program “pengayaan” (enrichment)khazanah metode tafsir al-Quran. Hasil penyilangan berbagai metodemau tidak mau membawa implikasi pemekaran, pengembangan, danpengayaan khazanah penafsiran al-Quran. Bercermin pada sejarah masa

lampau, sebenarnya al-Ghazali telah memiliki program pengayaan metodedengan keberaniannya mengakomodasi metode esoterik (tasawuf) kedalam wilayah syari’ah. Aturan-aturan syari’ah kemudian dapat dipahamioleh para pendukung spiritualitas, meskipun untuk ke sana, al-Ghazaliterlalu berani menggunakan hadis-hadis dha`îf. Sejatinya, tanpamenggunakan hadis-hadis lemah, kekuatan akal pikiran manusia dapatmerekonstruksi makna kedalaman spiritual keagamaan manusia. Tetapi,di sanalah terletak dilema al-Ghazali. Karena dia sudah terlebih dahulumengambil sikap anti intelektualitas Mu’tazilah dan juga karena khawatirkalau terpeleset ke pangkuan filsafat spekulatif yang pernah dikritiknya,maka dia lebih senang memilih hadis-hadis lemah untuk dijadikansandaran berpikirnya. Inilah sebabnya mengapa al-Ghazali tidak dikenalsebagai pencetus ijtihad, meskipun dalam merumuskan pemikirannya diabanyak menggunakan ijtihad.

Kesimpulan

Penelaahan secara serius terhadap pemikiran al-Ghazali akanmengarahkan kepada suatu kesimpulan bahwa gagasan untuk“menghidupkan” (ihyâ’) ilmu-ilmu keagamaan menampakkan pembaruanyang cukup signifikan dalam berbagai aspek. Untuk menangkap aspek-aspek itu, pertama kali dapat ditelusuri dari posisi al-Quran dalampemikiran al-Ghazali. Dalam membangun dan mengembangkanpembaruannya, Kitab Suci tersebut dijadikan sebagai rujukan utama.Dalam hal ini, al-Ghazali bersaham dalam memberikan kontribusi dalamdiskursus studi al-Quran.

Hermeneutika al-Quran yang dibangun al-Ghazali merupakan salahsatu upayanya dalam memproyeksikan peran dan nilai al-Quran di tengah-tengah masyarakat dalam rangka menempatkan al-Quran sebagai sumberpengetahuan dan kebenaran tertinggi. Oleh karena itu upayanyamelibatkan berbagai disiplin yang dimilikinya, baik sebagai filsuf, teolog,faqih maupun sufi.

Karena al-Quran memiliki dimensi penafsiran yang sangat luas, al-Ghazali berupaya meramu berbagai metode yang berkembang ke dalammetodologi penafsirannya. Penafsiran itu dapat dilakukan dari dimensieksoterik (makna lahir) melalui pendekatan bi al-riwâyah (ma’tsûr) danbi al-ra’y (ijtihad rasional) maupun dari dimensi esoterik (makna batin)melalui pendekatan irfâni, yaitu dengan menggunakan pendekatanpsikognosis melalui intuisi (kasyf).

Dengan demikian, ia menggabungkan keserasian makna lahir(eksoterik) dan makna batin (esoterik) serta penafsiran rasional (bi al-ra’y) yang memperhatikan periwayatan (bi al-ma’tsûr). Ia juga berusaha

Page 11: al-Qur’anlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain-gdl-jou... · M. diserahkan ke sebuah madrasah 16 di Thus yang menyediakan beasiswa. ... berakhir. Saat itu, orang-orang

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede RodinHermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin

104 105

memahami al-Quran dari berbagai dimensinya sesuai dengankarakteristik ayat dan surat. Karena tidak menggunakan satu metodedalam menafsirkan al-Quran, tampak bahwa al-Ghazali adalah mufassiryang sintesis-kreatif. Sintesis, karena al-Ghazali menggunakan danmeramu pelbagai metode penafsiran al-Quran yang muncul pada masanya.Kreatifitas al-Ghazali tampak dalam kemampuannya menggunakan danmeletakkan metode-metode tersebut pada proporsinya. Namun, karenapengetahuan dan pengalaman al-Ghazali yang luas dalam bidang tasawufyang menjadi piilihan terakhirnya, maka corak sufistik (esoterik) sangatmenonjol dalam penafsirannya.[]

Catatan Akhir:

*Penulis adalah dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.1G.C. Anawati, “Peninggalan Islam: Filsafat, Teologi dan Tasawuf”

dalam H.L. Beck dan N.J.S. Kaptein (ed.), Pandangan Barat terhadapLiteratur: Hukum Filosofi, Teologi dan Mistik Tradisi Islam, (Jakarta: INIS,1989), h. 45

2Muhammad Nur Ikhwan, Hermeneutika Al-Quran: Analisis PetaPerkembangan Tafsir Al-Quran Kontemporer, (Yogyakarta, IAIN, 1995), h.2

3Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, (New York:Columbia University Press, 1958), h. 73

4Ignaz Goldziher mengasumsikan lima richtungen (kecenderungan/aliran) dalam penafsiran al-Quran di kalangan umat Islam; (1) Penafsirantradisi (bi al-ma’tsûr), (2) Penafsiran dogmatis (al-aqîdat), (3) Penafsiranmistis (tashawwuf), (4) Penafsiran sektarian (al-firaq al-dîniyyah), dan (5)Penafsiran modenis (al-tamaddun al-islâmy). Lihat Ignaz Goldziher,Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmiy, (Lebanon: Dâr Iqra’, 1985)

5Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press,1979, ndedition), h. 245. Philip K. Hitti menggolongkan al-Ghazali sebagaisalah seorang yang paling menentukan jalannya sejarah Islam dan bangsa-bangsa Muslim. Bahkan dalam bidang pemikiran dan peletakan dasar-dasar ajaran Islam, al-Ghazali ditempatkan pada urutan kedua setelahRasulullah saw (Nurcholis Madjid, Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan,(Bandung: Mizan, 1991), h. 282.

6Untuk mengetahui karya-karya yang ditulis al-Ghazali, lihat ‘Abdal-Rahman al-Badawi, Mu’allafât al-Ghazâli, (Mesir: al-Majlis al-A`lâ liRi`âyat al-Funûn wa al-Adâb wa al-`Ulûm al-Ijtimâ`iyyah, 1961)

7Cryl Glasse, Ensiklopedi Islam, terj. Ghufran A. Mas’udi, (Jakarta: PTRaja Grafindo Persada, 1996), h. 106

8Harun Nasution menganggapnya sebagai tokoh yang mengembalikanbeberapa doktrin tertentu kepada ajaran sang pendiri Asy’ariyah, al-Baqilani dan al-Juwaini yang lebih dekat kepada Mu’tazilah. Lihat HarunNasution, Teologi Islam, Jakarta: (Yayasan Penerbit Universitas Indonesia,1972), h. 69). Ibn Khaldun (w. 808 H./1406 M.) menganggap al-Ghazalisebagai teolog pertama yang menggunakan apa yang disebutnya al-tharîqahal-muta’akhkhirîn (metode para teolog mutaakhir) sebagai reaksi atastharîqah al-mutaqaddimîn (metode para teolog klasik) dalam Asy’ariyah(Ibn Khaldun, Muqaddimah, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t., h. 446). Syed AmeerAli, seorang modernis India, menilai al-Ghazali telah memberikanidealisme kepada Asy’ariyah yang sebelumnya hanya merupakan semacamteolog formalitas. Lihat Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, (Delhi: Idarah-i Adabiyyat-i Delli, 1978), h. 469

9Ibrahim Madkur memuji al-Ghazali sebagai pahlawan yang berjasabesar bagi pembentukan dan pengembangan tasawuf sunni. Lihat IbrahimMadkur, Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah: Manhajuhu wa Tathbîquhu, juz 1,(Kairo: Dâr al-Ma’arif, 1976), h. 66). Fazlur Rahman menggambarkanbahwa al-Ghazali tidak hanya membangun Islam ortodoks yang membuattasawuf sebagai bagian integralnya, tetapi juga adalah seorang pembarubesar tasawuf, yang memurnikan tasawuf dari unsur-unsur non Islamidan menempatkannya untuk melayani agama (Islam) ortodoks. Dengandemikian, ia melambangkan suatu langkah final dalam sejarahperkembangan yang panjang. Melalui pengaruhnya, tasawuf menerimapengakuan konsensus umat Islam (Lihat Fazlur Rahman, Islam, h. 140).Harun Nasution mengakui bahwa al-Ghazalilah yang membuat tasawufmenjadi halal bagi kaum syari’ah, setelah kaum ulama memandangnyasebagai hal yang menyeleweng dari Islam karena membawa konsep ittihâdal-Bisthami dan hulûl al-Hallaj (Lihat Harun Nasution, Falsafah danMistisisme dalam Islam, (Jakarta; Bulan Bintang, 1978), h. 78).

10Abdul Qadir bin Syaikh bin Abdullah al-Idrus, “Kitâb Ta`rîf al-AhyâBifadhâil al-Ihyâ’” dalam Ihyâ ̀ Ulûm al-Dîn, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h.11. Bdk. Abdurahman Badawi, Muallafât…, h. 199. Menurut Syed NawabAli, karya tersebut tidak dapat diselamatkan dari tragedi pembakaranperpustakaan Baghdad oleh tentara Mongol-Tartar pada abad ke-6 H./13 M. (Lihat Syed Nawab Ali, Some Morals and Religious Teachings of al-Ghazali, (Lahore: SH. M. Ashraf, 1946), h. 26)

11Dalam Qânûn al-Ta’wîl, al-Ghazali lebih banyak berbicara tentangkedudukan akal dan naql sebagai sumber pengetahuan. Nampaknya ialebih cenderung menggunakan keduanya sebagai sumber pengetahuansecara fungsional daripada struktural. Lihat al-Ghazali, Qânûl al-Ta’wîldalam Majmû‘ât Rasâil, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1996), h. 583

Page 12: al-Qur’anlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain-gdl-jou... · M. diserahkan ke sebuah madrasah 16 di Thus yang menyediakan beasiswa. ... berakhir. Saat itu, orang-orang

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede RodinHermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin

106 107

12al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, (Beirut: Dâr al-Kutubal-Hadîtsah, 1976), h. 476

13Ignaz Goldziher, Madzâhib…, h. 218-22214Menurut sumber yang otentik, sebutan al-Ghazali dinisbatkan

kepada kota kelahirannya tersebut . Lihat Paul Edward (ed.), TheEncyclopedia of Philosophy, vol. 3, (New York: Macmillan Publishing Co.,1967), h. 326

15Abdul Halim Mahmud, Qadiyyat al-Tashawwuf, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif,t.t.), h. 269.

16Mungkin madrasah yang dimaksud adalah madrasah Nizhamiyyah,karena madrasah tersebut banyak tersebar di berbagai kota (LihatKamaluddin Hilmi, al-Salâjiqah fî al-Târîkh wa al-Hadhârah, (Kuwait: Dâral-Buhûts al-Ilmiyyah, t.t.), h. 375)

17al-Subki, Thabaqât al-Syâfi‘iyyah al-Kubrâ, juz 6, (Mesir: Isâ al-Bâbal-Halabi, t.t.), h. 191

18al-Ghazali, Ihyâ’…, juz 1, h. 7. Bdk. Harun Nasution, Falsafah…, h.42

19Mustahafa Jawwad, “`Ashr al-Ghazâli” dalam Mahrajân al-Ghazalibi Dimasq, Abû Hâmid al-Ghazâli fî Dzikrâ al-Mi’awiyyah al-Tâsi`ah liMîlâdihi, (Kairo: al-Majlis al-A`lâ li Ri`âyah al-Funûn wa al-Adâb wa l-`Ulûm al-Ijtimâ`iyyah, 1962), h. 495

20Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fi Nadzr al-Ghazâli, (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1971), h. 15

21Ibid, h. 15-1722Khalid Muadz, “Dimasyq Ayyâm al-Ghazâli” dalam Abû Hâmid…,

h. 473-474, 48823Zaki Mubarak, al-Akhlâq ‘Ind al-Ghazâli, (Kairo: Dâr al-Kâtib al-

‘Arabi, 1924), h. 1924Abd al-Karim Utsman, Sîrah al-Ghazâli, (Damaskus: Dâr al-Fikr, t.t),

h. 2925Ibrahim Madkur, “al-Ghazâli al-Faylasûf” dalam Abû Hâmid…, h.

21326Sulaiman Dunya, al-Haqîqah…, h. 2527Ibid, h. 333-33428Ibid, h. 371-37629Ibid, h. 37130Ibid, h. 377-37831al-Ghazali, al-Maqshad al-Asnâ fî Syarh Asmâ’ al-Husnâ, (Mesir:

Maktabah al-Jundi, 1970), h. 147-14832al-Ghazali, al-Maqshad…, h. 386-39233Inti pembahasannya dalam rangka menjaga dan mengaktualkan Islam

dalam situasi dan kondisi apa pun sepanjang zaman. Karena itu, al-Ghazali

membagi pembahasannya ke dalam empat bab; (1) keutamaan al-Qurandan ahlinya, (2) Etika lahir dalam pembacaan al-Quran, (3) Etika batindalam pembacaan al-Quran, dan (4) Pemahaman dan penafsiran al-Quran.

34Latar belakang penulisannya dalam dilihat dari dua segi; eksternaldan internal. Segi eksternal berkaitan dengan situasi dan zaman yangmelingkupinya; kejayaan negara-negara Muslim yang salingmemperebutkan dukungan teologis dari publik. Persaingan itu didasarioleh pemahaman yang berbeda terhadap dogma agama dan pemikirannya.Karena itu setiap ulama berusaha menafsirkan al-Quran sesuai dengankecenderungannya untuk memperkokoh prinsip-prinsip ideologi yangdianutnya. Segi internal erat kaitannya dengan kondisi al-Ghazali ketikamenulis karya tersebut, sebagaimana diungkapkan dalam pengantarkaryanya, “Sungguh aku ingin membangunkan Anda dari tidur, wahaiorang yang banyak membaca al-Quran, yang menyibukkan diri untukmengkajinya sebagai sikap hidup, yang mereguk makna-maknanya yangzahir dan ringkas… Nah, saya ingin memberi petunjuk kepada Andauntuk mempelajari metode mereka yang telah berhasil menjelajahi,menyelami dan mengarungi samudera al-Quran, demi menjalinpersaudaraan sambil mengharap berkah do’a Anda.” (Lihat al-Ghazali,Jawâhir al-Qur’ân wa Duraruhu, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), h. 11)

35Nashr Hamid Abu Zeid, Mafhûm al-Nash: Dirâsah fî‘Ulûm al-Qur’ân,(Mesir: al-Ha’iah al-‘Ammah al-Mishriyyah li al-Kitâb, 1993), h. 278

36al-Ghazali, Jawâhir…, h. 1137al-Ghazali, al-Mustasfâ min ‘Ilm al-Ushûl, jilid 1, (Mesir: Dâr al-Fikr,

1322 H), h. 10138al-Ghazali, Ihyâ’, juz 1, h. 60, Bdk. al-Ghazali, Jawâhir…, h. 1639Ibid, h. 1840Ibid, h. 1941al-Dzahabi, al-Tafsîr…, juz 2, h. 47442Tiga yang pertama merupakan asas pokok al-Quran yang disebut al-

Ghazali sebagai Jawâhir al-Qur’ân (Permata al-Quran), berupa ilmu-ilmual-Quran. Dan tiga berikutnya merupakan pengembangan dan pelengkapyang diistilahkan dengan Durar al-Qur’ân (Mutiara al-Quran), berupamedia amaliahnya. (Lihat al-Ghazali, Jawâhir, h. 11-12)

43Ibid, h. 1744Dalam perspektif semiotik, bahasa adalah penanda (signified) yang

terkait dengan yang ditandai (signifier). Bagi Ferdinand de Saussure,seorang ahli linguistik, bahasa sebagai sistem tanda (sign) itu hanya dapatdikatakan sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa, bilamengekspresikan atau menyampaikan ide-ide atau pengertian-pengertian

Page 13: al-Qur’anlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain-gdl-jou... · M. diserahkan ke sebuah madrasah 16 di Thus yang menyediakan beasiswa. ... berakhir. Saat itu, orang-orang

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede RodinHermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin

108 109

tertentu. (Lihat Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss,Mitos dan Karya Sastra, (Yoyakarta: Galangpress, 2001), h. 36)

45Ibid, h. 2946Ibid, h. 3547Selain terminologi al-Quran dan Hadis secara langsung, al-Ghazali

juga menggunakan terminologi al-sam‘ ketika menyebut Kitab Suci danHadis ini. Dalam terminologi al-Ghazali, kata ini berarti wahyu yangditerima Nabi saw dari Allah, baik berupa al-Quran maupun Hadis.Dalam berbagai karyanya, al-Ghazali juga menggunakan terminologi al-Syar‘, al-Naql, dan al-Ahbâr untuk al-Quran dan Hadis.

48Kredibilitas al-Quran dan hadis sebagai sumber penafsiranberpangkal dari kredibilitas Muhammad sebagai Nabi dan Rasul yangditerima secara dharûri (aksiomatis). Tetapi, karena Nabi Muhammadadalah seorang tokoh historis yang sudah berlalu beberapa abadsebelumnya masanya, maka al-Ghazali menggunakan kriteria “beritamutawatir”. Karena itu, al-Quran dan hadis yang diriwayatkan secaramutawatir tidak diragukan sama sekali kredibilitasnya. Adapun hadis-hadis yang tidak sampai ke derajat mutâwatir diragukan kredibilitasnya.

49Dalam Ihyâ’, al-Ghazali seringkali mengutip perkataan sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ibn Abbas, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairahdan para tabi’in. Tetapi dia seringkali tidak menyebutkan namanya.

50Al-Ghazali, al-Risâlah al-Laduniyyah…, h. 6451al-Ghazali, Ihyâ’…, juz 3, h. 130-13552Ibid, juz 3, h. 13453Dalam riwayat al-Turmudzi, redaksinya berbunyi, man qâla fi al-Qur’ân

bighairi ‘ilmin falyatabawwa’ maq‘adahû min al-nâr. Lihat al-Turmudzi, Shahîhal-Turmudzi, kitab “Tafsîr al-Qur’ân, hadis no. 2874 dalam CD Room,Mausû‘ât al-Hadîts:Kutub al-Tis‘ah, (Jeddah: Sakhr, 1995)

54Ibid, juz 1, h. 29255Redaksi doa tersebut adalah Allâhumma faqqihhu fi al-dîn wa ‘allimhu

al-ta’wîl. Lihat Musnad Ahmad bin Hanbal, hadis no. 2274 dalam CDRoom, Mausû‘ât al-Hadîts:Kutub al-Tis‘ah, (Jeddah: Sakhr, 1995)

56al-Ghazali, , Ihyâ’…, juz 1, h. 342-34357Ibn Taimiyyah, Naqd al-Mantiq, (Kairo: Mathba‘ah al-Sunnah al-

Muhammadiyah, 1951), h. 5458Ibn Jawzi, Talbîs Iblîs, (Kairo: Maktabah al-Mutanabbi, t.t.), h. 166,

323, dan 33359Ibid, h. 342-34360Ibid, h. 34361al-Ghazali, , Ihyâ’…, juz 1, h. 343. Bdk, Jawâhir…, h. 1362 al-Ghazali, , Ihyâ’…, juz 1, h. 346

63Hadis ini dikeluarkan oleh Ibn Hibban dalam Shahîh-nya dari IbnMas’ud dan juga diriwayatkan oleh perawi lain dengan redaksi yangberbeda dan sanad yang berlainan. Menurut al-Tustari, makna zhâhirdari segi bacaannya, makna bâthîn dari segi pemahamannya, makna hadddari segi hukumnya (halal haram), dan makna mathla‘ dari segi perolehanhati yang menangkap maksudnya, yakni pemahaman yang diperoleh dariAllah. Karena itu, makna zhâhir adalah pengetahuan bagi umum, danmakna bâthîn ditujukan kepada kalangan khusus. Lihat al-Tustari…, h.3.

64al-Ghazali, , Ihyâ’…, juz 1, h. 12065al-Ghazali, al-Munqidz…, h. 6566al-Ghazali, Jawâhir…, h. 1367Ibid, h. 1368al-Nawawi, al-Tibyân fî Adâb Hamalat al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-

Nafâis, 1987), h. 57-58, 62, 68, 72, 75, 10969al-Qurthubi, Fadhâil al-Qur’ân wa Adâb Tilâwatihi, (Kairo: al-

Maktabah al-Tsaqafiyyah, 1989), h. 44-46. Sikap al-Qurthubi yang tidakmau menyebut nama al-Ghazali –dia hanya menyebut 1 kali nama al-Ghazali dengan jelas- karena al-Qurthubi memiliki sikap negatif dankeras terhadap al-Ghazali, sampai-sampai dia menyebut beberapapenafsirannya sebagai ilhâd dan membahayakan akidah kaum Muslimin.Lihat al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, juz 4, (Beirut: Dâr Ihyâ’al-Turâts al-‘Arabi, 1976), h. 196-197

70Abd al-Majid Abd al-Salam al-Muhtasibi, al-Ittijâhât fî al-Tafsîr al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1973), h. 251

71al-Dzahabi, al-Tafsîr…, juz 1, h. 29672Ibid, juz 2, h. 477-47873Dua masalah itu adalah “berusaha untuk sedih dan menangis” dan

“penggabungan antara jahr dan isrâr”. Lihat al-Suyuthi, al-Itqân fî ̀ Ulûmal-Qur’ân, juz 1, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1979) h. 7 dan 108. Dia juga mengutipdari al-Ghazali yang berkaitan dengan tafsîr bi al-ra’y tanpa menyebutkannamanya. Ibid, juz 2, h.185.

74Ibid, juz 2, h. 19775‘Abd al-Ghaffâr, al-Imâm Muhammad Abduh wa Manhajuhu fî al-Tafsîr,

(Kairo: Dâr al-Anshâr, t.t.), h. 2876Ibid, h. 42-4377Muhammad Abduh, Tafsîr Juz ‘Amma, (Mesir: al-Manar, t.t.), h. 104-

10878Rasyîd Ridha, Tafsîr al-Manâr, juz 1, (Beirut, Dâr al-Ma’rifah, t.t.),

h. 448

Page 14: al-Qur’anlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain-gdl-jou... · M. diserahkan ke sebuah madrasah 16 di Thus yang menyediakan beasiswa. ... berakhir. Saat itu, orang-orang

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005 Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede RodinHermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin

110 111

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Ghaffâr, al-Imâm Muhammad Abduh wa Manhajuhu fî al-Tafsîr,Kairo: Dâr al-Anshâr, t.t.

Abdul Halim Mahmud, Qadiyyat al-Tashawwuf, Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.t.

Abd al-Karim Utsman, Sîrah al-Ghazâli, Damaskus: Dâr al-Fikr, t.t.

Abd al-Rahman al-Badawi, Mu’allafât al-Ghazâli, Mesir: al-Majlis al-A‘lâli Ri‘âyat al-Funûn wa al-Adâb wa al-‘Ulûm al-Ijtimâ‘iyyah, 1961

CD Room, Mausû‘ât al-Hadîts:Kutub al-Tis‘ah, Jeddah: Sakhr, 1995

al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, Beirut: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1976

Fahd ‘Abd al-Rahmân, Ittijâh al-Tafsîr fî al-Qarn al-Râbi’ al-Asyr, Mamlakahal-‘Arabiyyah al-Su‘ûdiyyah, 1986

Fazlur Rahman, Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1979

al-Ghazali, al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd, Mesir: Maktabah Muhammad Shâbih,1962

———, al-Maqshad al-Asnâ fî Syarh Asmâ’ al-Husnâ, Mesir: Maktabahal-Jundi, 1970

———, Majmû‘at Rasâil, Beirut: Dâr al-Fikr, 1996

———, al-Munqidz min al-Dhalâl, Beirut: Dâr al-Fikr, 1996

———, Jawâhir al-Qur’ân wa Duraruhu, Beirut: Dâr al-Fikr, 1997

———, Iljâm al-‘Awwâm ‘an ‘Ilm al-Kalâm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1996

———, al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, jilid 1, Mesir: Dâr al-Fikr, 1322 H

———, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.

Goldziher, Ignaz, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmiy, Lebanon: Dâr Iqra’, 1985

Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: Yayasan Penerbit UniversitasIndonesia, 1972

———, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978

H.L. Beck dan N.J.S. Kaptein (ed.), Pandangan Barat terhadap Literatur:Hukum Filosofi, Teologi dan Mistik Tradisi Islam, Jakarta: INIS, 1989

Ibn Khaldun, Muqaddimah, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.

Ibn Taimiyyah, Naqd al-Mantiq, Kairo: Mathba‘ah al-Sunnah al-Muhammadiyah, 1951

Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah: Manhajuhu wa Tathbîquhu,Kairo: Dâr al-Ma’arif, 1976

Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, New York: ColumbiaUniversity Preess, 1958

Kamaluddin Hilmi, al-Salâjiqah fî al-Târîkh wa al-Hadhârah, Kuwait: Dâral-Buhûts al-Ilmiyyah, t.t.

Mahrajân al-Ghazali bi Dimasq, Abû Hâmid al-Ghazâli fî Dzikrâ al-Mi’awiyyah al-Tâsi‘ah li Mîlâdihi, Kairo: al-Majlis al-A‘lâ li Ri‘âyahal-Funûn wa al-Adâb wa l-‘Ulûm al-Ijtimâ‘iyyah, 1962

Muhammad Nur Ikhwan, Hermeneutika Al-Quran: Analisis PetaPerkembangan Tafsir Al-Quran Kontemporer, Yogyakarta, IAINSunan Kalijaga, 1995

Nashr Hamid Abu Zeid, Mafhûm al-Nash: Dirâsah fî‘Ulûm al-Qur’ân, Mesir:al-Ha’iah al-‘Ammah al-Mishriyyah li al-Kitâb, 1993

al-Nawawi, al-Tibyân fî Adâb Hamalat al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Nafâis,1987

Nurcholis Madjid, Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung:Mizan, 1991

al-Qurthubi, Fadhâil al-Qur’ân wa Adâb Tilâwatihi, Kairo: al-Maktabahal-Tsaqafiyyah, 1989

Rasyîd Ridha, Tafsîr al-Manâr, Beirut, Dâr al-Ma’rifah, t.t.

al-Subki, Thabaqât al-Syâfi‘iyyah al-Kubrâ, juz 6, Mesir: Isâ al-Bâb al-Halabi,t.t.

Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fi Nadzr al-Ghazâli, Mesir: Dâr al-Ma‘ârif,1971

al-Suyuthi, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1979

Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, Delhi: Idarah-i Adabiyyat-i Delli,1978

Syed Nawab Ali, Some Morals and Religious Teachings of al-Ghazali, Lahore:SH. M. Ashraf, 1946

Zaki Mubarak, al-Akhlâq ‘Ind al-Ghazâli, Kairo: Dâr al-Kâtib al-‘Arabi,1924

Page 15: al-Qur’anlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain-gdl-jou... · M. diserahkan ke sebuah madrasah 16 di Thus yang menyediakan beasiswa. ... berakhir. Saat itu, orang-orang

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin

112