aktivitas antioksidan nanokurkuminoid temulawak...
TRANSCRIPT
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN NANOKURKUMINOID
TEMULAWAK LOKAL CIEMAS PADA TIKUS
SPRAGUE-DAWLEY BETINA
SURYADI ATMAJA
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Antioksidan
Nanokurkuminoid Temulawak Lokal Ciemas Pada Tikus Sprague-Dawley Betina
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Penelitian ini
merupakan bagian dari proyek penelitian Hibah Kompetitif Penelitian Strategis
Unggulan Nasional tahun 2011 atas nama Dr Laksmi Ambarsari MS dkk dengan
judul Produksi Nanokurkuminoid Berbasis Bahan Baku Terstandar Secara
Genetik Dan Metabolik Untuk Meningkatkan Nilai Tambah Biodiversitas Lokal
Demi Kemajuan Bangsa. Proyek penelitian ini didanai oleh DIKTI dengan nomor
kontrak 476/SP2H/PL/Dit.Litabmas/V/2011. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Suryadi Atmaja
NIM G84090060
ABSTRAK
SURYADI ATMAJA. Aktivitas Antioksidan Nanokurkuminoid Temulawak
Lokal Ciemas Pada Tikus Sprague-Dawley Betina. Dibimbing oleh LAKSMI
AMBARSARI dan WARAS NURCHOLIS.
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan tanaman khas Indonesia
yang memiliki aktivitas antioksidan. Pengujian klinis memperlihatkan bahwa
kurkumin aman pada dosis tinggi (12 gram/hari) tetapi memiliki bioavailabilitas
yang rendah. Sistem penghantaran melalui pembuatan nanopartikel tersalut lemak
padat dibuat untuk meningkatkan bioavailabilitas kurkuminoid. Penelitian ini
bertujuan mengukur aktivitas antioksidan nanokurkuminoid temulawak tersalut
lemak padat pada tikus betina yang diinduksi CCl4. Analisis aktivitas antioksidan
dilakukan dengan mengukur kadar malondialdehida (MDA) serta aktivitas enzim
superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase (GPX) dan peroksidase
(POX). Ukuran nanokurkuminoid yang diperoleh 114.4±33.8 nm dengan indeks
polidispersitas 0.218 dan efisiensi penjerapan 79%. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian nanokurkuminoid dosis 1500 mg/kg BB pada tikus betina yang
diinduksi CCl4 mampu menurunkan kadar MDA (4.34 nmol/mL) serta
meningkatkan aktivitas SOD (64.70%), GPX (3208.02 mU/mL) dan POX (3.13
mU/mL). Hasil ini menunjukkan sediaan nanokurkuminoid memiliki aktivitas
antioksidan.
Kata kunci: antioksidan, CCl4, nanokurkuminoid, SLN, Sprague-dawley betina.
ABSTRACT
SURYADI ATMAJA. Antioxidant Activity of Nanocurcuminoid Turmeric Var.
Ciemas on Female Sprague-Dawley. Supervised by LAKSMI AMBARSARI and
WARAS NURCHOLIS.
Java turmeric (Curcuma xanthorrhiza) is a typical Indonesian plants that
have antioxidant activity. Clinical testing showed that curcumin safe at high doses
(12 g/day) but has low bioavailability. Delivery systems by making of solid lipid
nanoparticles made to improve bioavailability of curcuminoids. This study aims to
measure antioxidant activity of nanocurcuminoid coated solid lipid in female rat
induced by CCl4. Analysis of antioxidant activity by measuring Malondialdehyde
(MDA) levels and activity of superoxide dismutase (SOD), gluthatione peroxidase
(GPX) and peroxidase (POX). Nanocurcuminoids size that obtained was
114.4±33.8 nm with polydispersity index 0.218 and adsorption efficiency 79%.
The results showed that administration of nanokurkuminoid dose of 1500 mg/kg
in female rats induced by CCl4 were able to reduce levels of MDA (4.34
nmol/mL) and increasing the activity of SOD (64.70 %), GPx (3208.02 mU/mL)
and POX (3.13 mU/mL). These results indicate nanokurkuminoid have
antioxidant activity.
Keywords: antioxidant, CCl4, female sprague-dawley, nanocurcuminoid, SLN.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biokimia
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN NANOKURKUMINOID
TEMULAWAK LOKAL CIEMAS PADA TIKUS
SPRAGUE-DAWLEY BETINA
SURYADI ATMAJA
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Aktivitas Antioksidan Nanokurkuminoid Temulawak Lokal
Ciemas Pada Tikus Sprague-Dawley Betina
Nama : Suryadi Atmaja
NIM : G84090060
Disetujui oleh
Dr Laksmi Ambarsari, MS
Pembimbing I
Waras Nurcholis S.Si, MSi
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. I Made Artika, M.App.Sc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah nanokurkuminoid, dengan judul Aktivitas
Antioksidan Nanokurkuminoid Temulawak Lokal Ciemas Pada Tikus Sprague-
Dawley Betina .
Terima kasih penulis ucapkan pada DIKTI yang telah mendanai proyek
penelitian kepada Dr Laksmi Ambarsari MS, sehingga penelitian ini yang
merupakan bagian dari proyek penelitian Hibah Kompetitif Penelitian Strategis
Unggulan Nasional dengan judul Produksi Nanokurkuminoid Berbasis Bahan
Baku Terstandar Secara Genetik Dan Metabolik Untuk Meningkatkan Nilai
Tambah Biodiversitas Lokal Demi Kemajuan Bangsa dapat terlaksana. Terima
kasih pula penulis sampaikan kepada Dr Laksmi Ambarsari, MS dan Waras
Nurcholis S.Si, MSi selaku pembimbing, serta teman-teman seperjuangan tim
aktivitas antioksidan nanokurkuminoid in vivo: Edwin A, M. Budi R, dan Rizka F.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai Agustus 2013 bertempat
di Laboratorium Penelitian Biokimia, Laboratorium Kimia Fisik Departemen
Kimia, Laboratorium Biomaterial Departemen Fisika, Laboratorium Pusat Studi
Satwa Primata, dan Laboratorarium Pusat Studi Biofarmaka, Bogor.
Oleh karena itu penghargaan penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang
telah membantu terlaksananya penelitian ini, Pak Muslih dari Sekolah Pasca
Sarjana Kimia, Pak Mail dari Lab. Kimia Fisik, Mba Ina dari Lab. Biomaterial
Fisika, drh. Devi Kartika dari Pusat Studi Satwa Primata, dan semua pihak di
PSB. Di samping itu juga kepada Yuthika, Eks Mark Up’s, keluarga besar
Sylvalestari, keluarga besar Asrama Sylvapinus, Uni Konservasi Fauna dan
keluarga besar Biokimia 46 atas saran dan bantuan dalam penyusunan karya
ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2014
Suryadi Atmaja
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
METODE 2
Alat dan Bahan 2
Prosedur Penelitian 2
HASIL 6
Ekstrak Kurkuminoid dan Sediaan Nanokurkuminoid 6
Karakteristik Sediaan Nanokurkuminoid 6
Kondisi dan Bobot Badan Tikus Selama Percobaan 7
Aktivitas Antioksidan In Vivo 8
PEMBAHASAN 10
Ekstrak Kurkuminoid 10
Karakteristik Sediaan Nanokurkuminoid 11
Kondisi dan Bobot Badan Tikus Selama Percobaan 12
Aktivitas Antioksidan In Vivo 13
SIMPULAN DAN SARAN 16
DAFTAR PUSTAKA 16
LAMPIRAN 19
RIWAYAT HIDUP 21
DAFTAR GAMBAR
1 Hasil ekstraksi kurkumioid dan pembuatan sediaan serta perbedaannya 6
2 Distribusi ukuran partikel nanokurkuminoid menggunakan PSA 7
3 Hati tikus betina (A) kelompok normal, (B) kelompok CCl4 7
4 Kurva perubahan bobot badan tikus 8
5 Grafik kadar lipid peroksida pada berbagai kelompok perlakuan 9
6 Grafik aktivitas inhibisi enzim superoksida dismutase (SOD) 9
7 Grafik aktivitas enzim Gluthation peroksidase (GPX) 10
8 Grafik aktivitas enzim peroksidase (POX) 10
9 Struktur Kurkuminoid 11
10 Mekanisme pertahanan tubuh melawan ROS oleh enzim antioksidan 14
DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram alir penelitian 19
2 Pengukuran efisiensi penjerapan kurkuminoid 20
3 Hasil pengukuran ukuran partikel 21
PENDAHULUAN
Temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb) merupakan tanaman khas
Indonesia dari family Zingiberaceae yang rimpangnya biasa digunakan sebagai
obat tradisional. Tanaman ini merupakan salah satu dari sembilan jenis tanaman
unggulan dari Direktorat Jenderal Pengolahan Obat dan Makanan yang memiliki
banyak manfaat sebagai bahan obat (Hadipoentyanti & Syahid 2007). Menurut
Sidik et al. (1995) rimpang temulawak mengandung beberapa senyawa yaitu pati
(48-59.64%), kurkuminoid (1.6-2.2%), dan minyak atsiri (1.48-1.63%).
Kurkuminoid merupakan senyawa utama yang terkandung dalam tanaman
obat temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan kunyit (Curcuma longa
Linn.). Senyawa ini memiliki beberapa khasiat yaitu sebagai antioksidan,
antiinflamasi, dan antihiperkolesterolemia (Peschel et al. 2006), antialergi
(Matsuda et al. 2004), dan antikanker (Park et al. 2004). Senyawa ini termasuk
golongan senyawa polifenol hidrofobik yang memiliki kerangka feruloilmetana
(Irving et al. 2011).
Pengujian klinis memperlihatkan kurkumin aman untuk manusia bahkan
sampai 12 gram/ hari (Bisht et al. 2011). Namun hasil lain juga menunjukkan
bahwa bioavaibilitas kurkumin sangat rendah pada manusia (0.006 ± 0.005 µg/mL
setelah 1 jam) pada serum darah (Shoba et al. 1998). Oleh karena itu diperlukan
metode alternatif dalam mengatasi rendahnya bioavaibilitas kurkumin. Salah satu
metode untuk mengatasi masalah tersebut melalui pembuatan nanopartikel yang
tersalut lemak padat (Mujib 2011).
Pembuatan nanopartikel dikembangkan sebagai metode pengantaran obat
pada dunia medis dan beberapa sistem nanopartikel yang dikembangkan untuk
penghantaran obat tersebut adalah nanopartikel lemak padat (bahan terdispersi
dalam lemak), liposom, misel, serta dendrimer (Howard 2011). Nanopartikel
lemak padat (solid lipid nanoparticle/SLN) adalah suatu sistem pembawa obat
baru yang berbasis teknologi nanopartikel dengan kisaran diameter 50-1000 nm
(Shi et al. 2012), sistem ini merupakan koloid pembawa submikron yang terdiri
atas lemak fisiologis, terdispersi dalam air atau dalam suatu surfaktan berair
(Kamble et al. 2010).
Nanopartikel lemak padat memiliki beberapa keuntungan diantaranya luas
permukaan yang besar, ukuran yang kecil dan kapasistas pemuatan obat yang
tinggi (Howard 2011). Selain itu keuntungan sistem pengantaran obat melalui
sistem ini memiliki tolerabilitas dan biodegradasi yang baik, bioavaibilitas tinggi,
efisiensi mengenai sasaran dan mudah dipersiapkan serta disterilisasi dalam skala
besar (Pang et al. 2009).
Mujib (2011) telah mendapatkan formulasi yang tepat dalam pembentukan
nanopartikel kurkuminoid tersalut lemak padat. Formulasi tersebut menghasilkan
nanopartikel dengan ukuran partikel kecil, seragam, kristalinitasnya baik dan
efisiensi penjerapannya tinggi (>70%). Metode ini dikembangkan dengan metode
homogenasi-ultrasonikasi pada amplitudo 20% selama 60 menit. Namun
penelitian lanjutan untuk mengukur aktivitas antioksidan dari nanopartikel
kurkuminoid lemak padat pada tikus betina yang diinduksi CCl4 belum pernah
dilakukan.
2
Penelitian ini bertujuan mengukur aktivitas antioksidan nanopartikel
kurkuminoid asal Ciemas tersalut lemak padat pada tikus betina dengan perlakuan
stress oksidatif yang diinduksi CCl4. Aktivitas antioksidan diukur dari kadar lipid
peroksida serta aktivitas enzim antioksidan hati yaitu SOD, POX, dan GPX.
Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal pemanfaatan
kurkuminoid sebagai sediaan fitofarmaka.
Hipotesis penelitian ini adalah pembuatan nanopartikel kurkuminoid
temulawak tersalut lemak padat dapat meningkatkan bioavabilitas kurkuminoid di
dalam tubuh. Hal tersebut ditunjukkan dengan penurunan kadar malondialdehida
serta peningkatan aktivitas enzim superoksida dismutase, peroksidase, dan
glutation peroksidase.
METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pengaduk magnet,
homogenizer (Ultra Turrax T18), ultrasonic processor (130 Watt 20 kHz, Cole-
Parmer), mikrosentrifusa (MIKRO 200R, Hettich Zentrifugen), spektrofotometer
UV-Vis (UV-1700 Pharmaspec), particle size analyzer (Delsa NanoC, Beckman
Coulter), microplate spectrophotometer (Epoch, BioTek) dan kandang percobaan.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu simplisia rimpang
temulawak hasil plantation Pusat Studi Biofarmaka dengan ukuran 100 mesh dan
kadar air 19.26%, asam palmitat (Merck), poloksamer 188 (BASF), air RO, etanol,
n-heksana, standar kurkuminoid, metanol, CCl4, pakan, air minum, sekam
(beeding), larutan pengukuran superoksida dismutase, peroksidase, glutation
peroksidase dan lipid peroksida serta tikus galur Sprague Dawley berasal dari
Pusat Studi Satwa Primata berumur 2-3 bulan dengan bobot 180-200 gram.
Prosedur Penelitian
Ekstraksi Kurkuminoid
Serbuk rimpang temulawak kering sebanyak 100 gram diekstraksi secara
maserasi dengan etanol (hasil dua kali distilasi) selama 48 jam. Ekstrak disaring
dan filtratnya dikumpulkan dalam labu ekstraksi. Kemudian ekstrak etanol hasil
maserasi difraksinasi cair-cair dengan n-heksana (1:1). Fraksi heksana dibuang
sedangkan fraksi etanol selanjutnya dihilangkan pelarutnya secara freeze drying
sehingga didapatkan kurkuminoid dalam bentuk pasta (Sutrisno et al. 2008
dengan modifikasi).
Pembuatan Sediaan Nanokurkuminoid Temulawak
Fase lemak terdiri atas 1 g asam palmitat dan 0.1 g kurkuminoid yang
dipanaskan pada suhu 75 °C sambil diaduk. Fase berair terdiri atas 0.5 g
poloksamer 188 dan air Reverse Osmosis (RO) 100 ml yang dipanaskan pada
suhu yang sama (75 °C) dengan fase lemak. Fase lemak didispersikan ke dalam
fase berair sambil diaduk. Emulsi yang dihasilkan kemudian dihomogenisasi
menggunakan homogenizer (Ultra Turrax T18) pada kecepatan 13500 rpm selama
3
5 menit, kemudian didinginkan pada penangas es. Selanjutnya emulsi
diultrasonikasi menggunakan ultrasonic processor (130 Watt 20 kHz, Cole-
Parmer) amplitudo 20% selama 60 menit. Setelah itu nanokurkuminoid yang
diperoleh didinginkan dalam lemari es sehingga dihasilkan nanokurkuminoid
yang stabil (Mujib 2011).
Efisiensi Penjerapan Nanokurkuminoid yang dihasilkan disentrifugasi dengan kecepatan 14000
rpm (18.626 ×G) pada suhu 4 °C selama 40 menit dan supernatannya didekantasi.
Residunya dicuci dengan metanol untuk mengekstraksi kurkuminoid yang terjerap
dan disentrifugasi kembali. Serapan supernatan metanol diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 425 nm. Konsentrasi kurkuminoid
terjerap diperoleh melalui perhitungan dengan menggunakan persamaan regresi
linear dari deret standar kurkuminoid (Yadav et al. 2008).
Ukuran Partikel
Nanokurkuminoid yang dihasilkan ditentukan ukuran partikel dan indeks
polidispersitasnya dengan teknik photon correlation spectroscopy (PCS)
menggunakan alat particle size analyzer (Delsa NanoC, Beckman Coulter).
Sediaan dilarutkan 1:1000 menggunakan aquades. Selanjutnya sampel
dimasukkan dalam alat dan diukur. Pengukuran dilakukan pada temperature 25 °C
dengan sudut deteksi 90 °. Pengukuran diulang sebanyak tiga kali (Pang et al.
2009).
Rancangan Percobaan dan Hewan Uji
Penelitian ini menggunakan 45 ekor tikus betina galur Sprague-Dawley
yang berasal dan dipelihara di laboratorium Pusat Studi Satwa Primata IPB,
berusia sekitar 8-12 minggu dengan berat badan sekitar 180-200 gram. Tikus
dibagi menjadi 9 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri atas 5 ekor
tikus betina. Sebelum percobaan, tikus ditimbang berat badan, konsumsi pakan
dan dilakukan pengambilan darah untuk baseline. Tikus Sprague Dawley
dikandangkan pada jenis kandang biasa dari plastik secara kelompok. Kondisi
gelap terang kandang diatur 12 jam gelap dan 12 jam terang, dengan suhu ruangan
kandang 23 oC. Selanjutnya tikus dibuat rusak hatinya dengan pemberian 0.7 mL/
kg BB CCl4 (25:75) (dalam olive oil) pada hari ke 3, 6, dan 9 secara
intraperitoneal kecuali kelompok normal. Bobot badan (BB) tikus ditimbang
setiap 3 hari sekali sampai hari ke 8 percobaan.
Sembilan kelompok perlakuan tikus terbagi atas kelompok I, II, III, IV
berturut-turut diberi perlakuan nanokurkuminoid 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB,
1500 mg/kg BB dan ekstrak kurkuminoid ciemas 100 mg/kg BB. Kelompok V, VI,
merupakan kontrol positif yang berturut-turut diberi perlakuan, vit. C 36 mg/kg
BB dan standar kurkumin 20 mg/kg BB. Kelompok VII, VIII merupakan kontrol
negatif yang diberi perlakuan nanopartikel kosong 100 mg/kg BB dan CCl4 tanpa
pencekokan. Kelompok IX adalah kelompok normal tanpa pemberian CCl4 dan
pencekokan.
Semua sediaan diberikan secara oral dalam bentuk larutan dalam air,
menggunakan sonde lambung. Masing-masing hewan coba dieuthanasi pada hari
ke-10. Tikus diambil hatinya, dicuci dengan larutan fisiologis dingin dan
4
disimpan pada -20 °C sampai dilakukan preparasi sampel yang digunakan untuk
setiap uji enzim. Aktivitas oksidasi diukur dengan menentukan konsentrasi lipid
peroksida dan aktivitas enzim SOD, POX, GPX untuk menentukan efek
antioksidan sediaan yang diuji. (Konatham et al. 2010 dengan modifikasi).
Pengukuran Lipid Peroksida (MDA)
Analisis kadar MDA menggunakan kit lipid peroxidation (MDA)
colorimetric/fluorometric assay kit yang diperoleh dari BioVision (Milpitas, CA,
USA) dengan metode merujuk pada Ohkawa et al. (1979) yaitu jaringan hati
sebanyak 10 mg dihomogenkan dalam 300 µL lisis buffer MDA (mengandung 3
µL BHT 100x). Selanjutnya homogenat disentrifugasi pada 13000 g, 10 menit,
4 °C, lalu dipisahkan supernatannya. Supernatan diambil sebanyak masing-masing
200 µL ke dalam tabung mikrosentrifus.
Kurva standar dibuat menggunakan standar MDA dengan konsentrasi 0, 4, 8,
12, 16 dan 20 nmol/200 µL dalam tabung mikrosentrifus. Selanjutnya Sebanyak
600 µL larutan TBA ditambahkan dalam setiap tabung standar dan sampel lalu
diinkubasi pada suhu 95 °C selama 60 menit. Setelah itu langsung didinginkan
sampai suhu kamar dalam penangas es selama 10 menit. Kemudian dipipet
masing-masing 200 µL ke microplate dan diukur pada 532 nm menggunakan
microplate spectrophotometer (Epoch, BioTek).
Pengukuran Superoksida Dismutase (SOD) Hati
Pengukuran aktivitas SOD menggunakan kit superoxide dismutase (SOD)
activity assay kit yang diperoleh dari BioVision (Milpitas, CA, USA) dengan
metode merujuk pada McCord dan Fridovich (1969) yaitu jaringan hati dibilas
dahulu dengan PBS atau 150 mM KCl, kemudian dihomogenkan dalam 0.1 M
Tris-HCl (pH 7.4 yang mengandung 0.5% Triton X-100, 5 mM β-ME, 0.1 mg/mL
PMSF) dingin. Setelah itu homogenat disentrifus pada kecepatan 14000 g, 5 menit,
4 °C, lalu dipisahkan supernatannya.
Supernatan sebanyak 20 µL ditambahkan ke sumur sampel dan sumur
blanko 2 pada microplate. Akuades ditambahkan 20 µL ke sumur blanko 1 dan
blanko 3. Selanjutnya 200 µL larutan WST ditambahkan pada setiap sumur.
Setelah itu ditambahkan buffer dilusi ke sumur blanko 1 dan blanko 3, sedangkan
pada sumur sampel dan blanko 1 ditambahkan larutan enzim masing-masing
sebanyak 20 µL dan diaduk rata. Selanjutnya microplate diinkubasi pada 37 °C
selama 20 menit dan diukur pada 450 nm menggunakan microplate
spectrophotometer (Epoch, BioTek).
Pengukuran Glutathion Peroksidase (GPX)
Pengukuran aktivitas GPX menggunakan kit glutathione peroxidase activity
colorimetric assay kit yang diperoleh dari BioVision (Milpitas, CA, USA) dengan
metode merujuk pada Flohé dan Gunzler (1984) yaitu jaringan hati sebanyak 0.1 g
dihomogenkan dalam 0.2 mL larutan bufer dingin. Selanjutnya homogenat
disentrifugasi pada 10000 g, 15 menit, 4 °C, lalu dipisahkan supernatannya.
Supernatan dan standar GPX murni ditambahkan masing-masing sebanyak
10 µL ke sumur sampel dan kontrol positif. Setelah itu ditambahkan 40 µL buffer
assay ke masing-masing sumur. Sebanyak 50 µL buffer assay juga ditambahkan
ke sumur lain sebagai kontrol reagen. Kemudian masing-masing sumur
5
ditambahkan pereaksi campuran (33 µL buffer assay, 3 µL NADPH 40 mM, 2 µL
Glutathione reduktase, 2 µL GSH), lalu diaduk. Selanjutnya campuran tersebut
diinkubasi selama 15 menit dan ditambahkan 10 µL Cumene hidroperoksida
untuk memulai reaksi GPX. Setelah itu diukur OD pada 340 nm, kemudian
diinkubasi pada 25 °C selama 5 menit dan diukur kembali pada 340 nm. Kurva
standar dibuat menggunakan NADPH dengan konsentrasi 0, 20, 40, 60, 80, 100
nmol/100 µL tiap sumur yang diencerkan dengan buffer assay. Kurva standar
diukur pada 340 nm menggunakan microplate spectrophotometer (Epoch,
BioTek).
Pengukuran Peroksidase (POX)
Pengukuran aktivitas POX menggunakan kit peroxidase activity
colorimetric/fluorometric assay kit yang diperoleh dari BioVision (Milpitas, CA,
USA) dengan metode merujuk pada Aebi (1984) yaitu jaringan hati sebanyak 0.1
g dihomogenkan dalam 0.2 mL larutan bufer dingin. Selanjutnya homogenat
disentrifugasi pada 1000 g, 15 menit, 4 °C, lalu dipisahkan supernatannya.
Supernatan sebanyak 10 µL ditempatkan pada sumur microplate dan
ditambahkan 40 µL buffer assay. Kontrol positif adalah larutan HRP (1:199 dalam
buffer assay) yang diambil 1 µL dan ditambahkan 49 µL buffer assay. Selanjutnya
sampel dan standar positif masing-masing ditambahkan 50 µL pereaksi campuran
(46 µL buffer assay, 2 µL OxiRed dan 2 µL H2O2). Selanjutnya diaduk dan
diinkubasi selama 3 menit pada 37 °C dilanjutkan pengukuran OD pada 570 nm
(A0). Setelah itu diinkubasi kembali pada suhu 37 °C dan diukur OD pada 570 nm
setiap 30 menit sampai 2 jam (A1).
Sedangkan untuk kurva standar dibuat menggunakan H2O2 dengan
konsentrasi 0, 1, 2, 3, 4, 5 nmol/50 µL tiap sumur. Selanjutnya masing-masing
ditambahkan 50 µL pereaksi campuran (2 µL Probe OxiRed dan 48 µL HRP
kontrol positif). Selanjutnya campuran diaduk dan diinkubasi selama 5 menit pada
37 °C dilajutkan pengukuran OD pada 570 nm menggunakan microplate
spectrophotometer (Epoch, BioTek).
Prosedur Analisis Data
Rancangan acak lengkap digunakan pada rancangan penelitian ini. Data
yang diperoleh dianalisis dengan metode ANOVA (analysis of variance) pada
tingkat kepercayaan 95% dan taraf α = 0.05. Model rancangan tersebut adalah
sebagai berikut.
Yij = µ + τ + εi
Keterangan:
Yij = pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = Pengaruh rataan umum
τ = Pengaruh rataan ke-i
εi = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Uji lanjut yang digunakan adalah uji Duncan pada selang kepercayaan
95%, taraf α = 0.05. Semua data dianalisis dengan program SPSS 11.5. (Mattjik
dan Sumertajaya 2000).
6
HASIL
Ekstrak Kurkuminoid dan Sediaan Nanokurkuminoid
Ekstraksi kurkuminoid dari 100 g temulawak lokal Ciemas yang
dimaserasi menggunakan etanol 96% selama 48 jam dan dikeringbekukan (Freeze
drying) menghasilkan rendemen sebesar 7.50% dalam bentuk pasta (Gambar 1a).
Kurkuminoid yang diperoleh selanjutnya dibuat menjadi sediaan nanokurkumioid
dan larutan ekstrak kurkuminoid dalam air (50% w/v) sebagai pembanding.
Sediaan nanokurkuminoid yang diperoleh memiliki penampakan warna
kuning cerah berbentuk emulsi keruh yang stabil, larut sempurna tanpa ada
gumpalan dalam sediaan (Gambar 1b). Ini menunjukkan kurkuminoid telah
terlarut dan tersebar merata dalam larutan. Hal tersebut berbeda dengan larutan
ekstrak kurkuminoid bebas dalam air, dapat terlihat partikel-partikel besar
kurkuminoid mengapung dan tak larut air (Gambar 1c).
Karakteristik Sediaan Nanokurkuminoid
Karakteristik sediaan nanokurkuminoid temulawak yang baik dapat
diamati dari tiga parameter dalam pengukurannya, yaitu ukuran partikel, indeks
polidispersitas (IP) dan efisiensi penjerapan. Hasil pengukuran partikel
nanokurkuminoid berada pada kisaran 86.9-362.4 nm dengan rata-rata ukuran
partikel 114.4±33.8 nm (Lampiran 3). Hal tersebut menunjukkan sediaan yang
diperoleh telah masuk dalam kisaran ukuran sistem nanopartikel tersalut lemak
padat, yaitu sebesar 50-1000 nm (Sinha et al. 2010). Selain itu sediaan yang
dihasilkan memiliki nilai Indeks Polidispersitas (IP) sebesar 0.218 (Gambar 2).
Hal tersebut menunjukkan ukuran keseragaman ukuran partikel sediaan, semakin
kecil nilai IP menunjukkan ukuran partikel semakin seragam. Nanopartikel yang
memiliki nilai IP < 0.3 menunjukkan hasil yang sudah cukup seragam (Sinha et
al, 2010). Hasil pengukuran efisiensi penjerapan sediaan nanokurkuminoid
temulawak lokal Ciemas menunjukkan nilai sebesar 79% (Lampiran 2). Hasil
tersebut sesuai dengan penelitian Sinha et al. (2010) karena mampu menjerap zat
aktif lebih dari 70% (70 mg dari 100 mg).
Gambar 1 Hasil ekstraksi kurkumioid dan pembuatan sediaan serta perbedaannya;
kurkuminoid hasil ekstraksi temulawak lokal Ciemas (a), sediaan
nanokurkuminoid (b), dan larutan ekstrak kurkuminoid dalam air (c)
A B C
7
Gambar 2 Distribusi ukuran partikel nanokurkuminoid menggunakan PSA
Kondisi dan Bobot Badan Tikus Selama Percobaan
Perilaku tikus selama percobaan menunjukkan perilaku normal. Kondisi
awal bobot badan (BB) tikus berbeda pada setiap kelompoknya, namun BB tiap
tikus dalam satu kelompok tidak berbeda jauh. Perubahan BB tikus tiap kelompok
perlakuan ditunjukkan Gambar 4. Semua kelompok perlakuan mengalami
kenaikan BB pada penimbangan pertama (hari ke-2). Penurunan BB terlihat pada
penimbangan kedua (hari ke-4) pada kelompok perlakuan CCl4, ekstrak, standar
kurkumin, vit. C, nano 50 dan nano 100. Sedangkan pada kelompok perlakuan
normal, nano 1500 dan nano kosong tidak terjadi penurunan. Selanjutnya
kenaikan BB terjadi dari hari ke-4 perlakuan pada kelompok ekstrak, nano 50 dan
nano 100, BB terus naik sampai akhir percobaan. BB kelompok CCl4 cenderung
stabil, tidak ada perubahan BB yang tinggi. Akan tetapi kelompok nano kosong
yang seharusnya hasilnya tidak jauh berbeda dengan kelompok CCl4, BBnya tetap
naik. Selain itu kelompok normal yang seharusnya peningkatan BBnya tinggi
tetapi hasil menunjukkan BBnya hanya meningkat sedikit saja. Hal ini juga
menunjukkan bahwa kondisi tubuh tikus pada percobaan ini berbeda-
beda/beragam.
Pengamatan fisik hati tikus pada kelompok CCl4 menunjukkan telah terjadi
nekrosis sel hati yang ditandai adanya benjolan putih pada hati tikus (Gambar 3).
Hal tersebut juga terjadi pada hati tikus kelompok vit. C, nano 50 mg, dan nano
kosong. Sedangkan hati tikus kelompok normal tidak mengalami hal tersebut.
Hasil ini menunjukkan pemberian perlakuan CCl4 memberikan efek radikal bebas
yang ditandai adanya nekrosis pada hati tikus, namun tingkat kerusakan tidak
terlalu berat karena tikus kelompok perlakuan tetap mengalami peningkatan BB.
Gambar 3 Kurva perubahan bobot badan tikus
130
140
150
160
170
180
0 2 4 6 8
bo
bo
t b
adan
(gr
am)
waktu (hari)
normal
vit. C
std kurkumin
CCL4
nano kosong
ekstrak
nano 50
nano 100
nano 1500
8
Gambar 4 Hati tikus betina (A) kelompok normal, (B) kelompok CCl4
Aktivitas Antioksidan In Vivo
Kadar MDA dari tiap kelompok percobaan ditunjukkan Gambar 5. Kadar
MDA yang tinggi menunjukkan efek radikal bebas yang tinggi atau rendahnya
aktivitas antioksidan. Kadar MDA kelompok normal menunjukkan hasil yang
lebih tinggi dibandingkan kelompok CCl4, standar kurkumin, nano kosong dan
perlakuan nanokurkuminoid, tetapi lebih rendah dibandingkan kelompok
perlakuan vit. C. Hasil ini menunjukkan kondisi tikus kelompok normal sedang
sakit, karena kadar MDAnya lebih tinggi dibanding kelompok CCl4. Perhitungan
secara statistik menunjukkan kadar MDA seluruh kelompok perlakuan tidak
berbeda nyata (P>0.05). Hasil tersebut menunjukkan tidak terdapat pengaruh
signifikan terhadap perubahan kadar MDA oleh perlakuan, namun pola yang
ditunjukkan memperlihatkan pemberian nanokurkuminoid dapat menurunkan
kadar MDA dibandingkan kelompok normal dan CCl4.
Aktivitas inhibisi SOD ditunjukkan Gambar 6. Aktivitas inhibisi SOD
yang semakin tinggi menandakan adanya aktivitas antioksidan. Kelompok normal
menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya. Namun
bila dibandingkan antara aktivitas inhibisi SOD kelompok nanokurkuminoid
dengan kelompok CCl4, hasilnya lebih tinggi dibandingkan kelompok CCl4.
Secara statistik, aktivitas inhibisi SOD seluruh kelompok perlakuan tidak berbeda
nyata (P>0.05). Hasil tersebut menunjukkan tidak terdapat pengaruh signifikan
terhadap peningkatan % inhibisi SOD, namun pola yang ditunjukkan
memperlihatkan pemberian nanokurkuminoid dapat memberikan efek antioksidan
dibandingkan kelompok normal dan CCl4.
Aktivitas GPX ditunjukkan Gambar 7. Aktivitas GPX yang semakin tinggi
menunjukkan adanya aktivitas antioksidan. Kelompok normal menunjukkan
aktivitas GPX terendah dibandingkan semua kelompok. Kelompok
nanokurkuminoid 1500 mg menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan
standar kurkumin dan ekstrak (P>0.05). Sedangkan kelompok vit. C,
nanokurkumin 50 mg dan 100 mg tidak berbeda nyata dengan kelompok CCl4
(P>0.05). Hal tersebut menunjukkan pemberian nanokurkuminoid 1500 mg setara
dengan pemberian ekstrak dan standar kurkumin. Sedangkan pemberian vit. C,
nanokurkuminoid 50 mg dan 100 mg tidak berbeda nyata dengan perlakuan CCl4.
Secara umum perlakuan nanokurkuminoid dapat meningkatkan aktivitas GPX
dibanding kelompok normal.
Aktivitas POX ditunjukkan Gambar 8. Aktivitas POX yang semakin tinggi
menunjukkan adanya aktivitas antioksidan. Kelompok normal, vit. C,
nanokurkuminoid 50 mg dan nano kosong tidak berbeda nyata dengan kelompok
CCl4 (P>0.05). Sedangkan kelompok nanokurkuminoid 100 mg dan 1500 mg
tidak berbeda nyata dengan kelompok standar kurkuminoid (P>0.05). Aktivitas
sel hati yang
mengalami nekrosis
9
kedua grup tersebut berbeda nyata satu dan lainnya. Hal tersebut menunjukkan
pemberian nanokurkuminoid 100 mg dan 1500 mg hampir setara dengan
pemberian standar kurkumin dan dapat meningkatkan aktivitas POX. Pemberian
vit. C, nanokurkuminoid 50 mg dan ekstrak yang tidak berbeda nyata dengan
perlakuan CCl4 menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh signifikan dalam
menaikkan aktivitas POX.
Gambar 5 Grafik kadar MDA pada berbagai kelompok perlakuan
Gambar 6 Grafik aktivitas inhibisi enzim superoksida dismutase (SOD)
5.31±0.24a
5.98±3.02a
4.59±1.61a 4.56±3.52a
3.5±0.71a
5.01±1.17a
3.52±0.55a 3.77±2.76a
4.34±1.53a
0
1
2
3
4
5
6
7
normal vit C std
kurkumin
CCL4 nano
kosong
ekstrak nano
50mg
nano
100mg
nano
1500mg
[MD
A]
(nm
ol/
mL)
41.07±7.63a
75.25±25.88a
45.85±43.58a
49.72±1.56a
66.74±11.58a 71.66±20.37a
73.07±4.72a
71.38±7.85a 64.7±3.69a
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
normal vit C std
kurkumin
CCl4 nano
kosong
ekstrak nano
50mg
nano
100mg
nano
1500mg
akti
vita
s SO
D (
%in
hib
isi)
10
Gambar 7 Grafik aktivitas enzim Gluthation peroksidase (GPX)
Gambar 8 Grafik aktivitas enzim peroksidase (POX)
Keterangan: Huruf-huruf pada diagram batang yang berbeda menunjukkan
berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji t-student)
PEMBAHASAN
Ekstrak Kurkuminoid
Ekstraksi merupakan cara untuk memisahkan campuran beberapa zat
menjadi komponen-komponen yang terpisah. Ekstraksi temulawak terdiri dari
beragam metode diantaranya refluks, sonikasi dan maserasi (Mujahid et al. 2012).
Maserasi adalah perendaman sampel dengan pelarut yang digunakan pada suhu
ruangan (Darwis 2000). Penelitian ini menggunakan metode maserasi untuk
mengekstrak kurkuminoid dari simplisia temulawak. Maserasi digunakan karena
merupakan metode yang lebih praktis dan efisien serta menghasilkan kadar
kurkuminoid yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode refluks dan sonikasi
(Mujahid et al. 2012).
87.72±11.49a
4047.62±2622bc
1674.81±2019abc
3574.56±2664bc
951.754±713ab
2917.29±2208abc
4621.55±1459bc
4245.61±1200bc
3208.02±1349abc
-1000
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
normal vit C std
kurkumin
CCL4 nano
kosong
ekstrak nano
50mg
nano
100mg
nano
1500mg
akti
vita
s G
PX
(m
U/m
L)
2.32±1.33ab 2.22±0.34ab
3.25±0.35b
1.95±1.12ab 2.02±0.68ab
0.94±0.93a
2.31±0.27ab
3.23±0.91b 3.13±0.28b
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
normal Vit C std
kurkumin
kontrol
ccl4
nano
kosong
ekstrak nano 50
mg
nano 100
mg
nano
1500 mg
akti
vita
s P
OX
(m
U/m
L)
11
Gambar 9 Struktur Kurkuminoid (Aggarwal et al. 2006)
Pelarut yang paling baik untuk ekstraksi kurkuminoid adalah aseton
dengan defatisasi untuk mendapatkan rendemen dan kadar kurkuminoid yang
tinggi, defatisisasi adalah penghilangan lemak dan senyawa non polar lain yang
terkandung dalam simplisia (Sari et al. 2013). Akan tetapi menurut BPOM (2010)
penggunaan pelarut untuk ekstraksi tumbuhan sebagai herbal hanya diperbolehkan
untuk etanol, air, atau campuran etanol-air. Oleh karena itu pada penelitian ini
digunakan etanol 96% sebagai pelarut dan dilakukan defatisasi menggunakan n-
heksana.
Senyawa kurkuminoid pada rimpang temulawak terdiri atas dua
komponen, yaitu kurkumin dan demetoksikurkumin. Sedangkan pada rimpang
kunyit terdiri atas tiga komponen, yaitu kurkumin, demetoksikurkumin dan
bisdemetoksikurkumin (Afifah 2003). Struktur dari kurkuminoid dapat dilihat
pada Gambar 9.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, rendemen yang didapatkan
sebesar 7.50%. Hasil ini cukup baik dan tidak jauh berbeda dengan hasil yang
didapatkan oleh Mujib (2011) yaitu sebesar 7.62% untuk temulawak aksesi
Balittro. Faktor-faktor yang mempengaruhi ekstraksi kurkuminoid adalah pelarut,
waktu, ketebalan dinding dan membran sel (Nurcholis 2008), ukuran simplisia,
kepolaran pelarut (Sari et al. 2013), suhu, dan pengadukan (Sembiring et al.
2006).
Pelarut akan merendam bahan tanaman pada proses maserasi. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan
tekanan antara di dalam dan di luar sel. Sehingga metabolit sekunder yang
terdapat dalam sitoplasma akan terlarut dalam etanol yang digunakan. Hal
tersebutlah yang menentukan besar kecilnya rendemen yang dihasilkan dalam
suatu proses ekstraksi secara maserasi. Ketebalan dinding dan membran sel
sebagai salah satu penentu keberhasilan ditentukan oleh faktor genetik dari
masing-masing aksesi (Nurcholis 2008).
Karakteristik Sediaan Nanokurkuminoid
Sediaan nanokurkuminoid dibuat menggunakan sistem nanopartikel
tersalut lemak padat (solid lipid nanoparticle/SLN). Menurut Sinha et al, (2010)
SLN merupakan partikel lemak padat yang mempunyai ukuran 50-1000 nm yang
terdispersi dalam air atau larutan surfaktan. Terdiri dari inti padat yang hidrofobik
dengan lapisan fosfolipid monolayer. Inti lemak padatnya mengandung zat aktif
yang terdispersi atau terlarut dalam matriks lipid. Inti partikel lemak padat pada
sediaan ini adalah asam palmitat, dan zat aktif yang digunakan adalah
kurkuminoid. Komposisi sediaan pada penelitian ini menggunakan formulasi
12
terbaik hasil penelitian Mujib (2011) yaitu asam palmitat 1% : kurkuminoid 0.1%
: poloksamer 188 0.5% (b/v) dengan volume 100 ml
Merujuk pada hasil penelitian Mujib (2011) yang menyatakan bahwa hasil
analisis difraksi sinar X memperlihatkan puncak karakteristik nanokurkuminoid
memiliki pola yang sama dengan asam palmitat, tetapi dengan intensitasnya yang
lebih rendah karena adanya kurkuminoid yang tersalut dalam partikel lemak
padat. Maka nanokurkuminoid telah berhasil dibuat.
Pencirian yang tepat dibutuhkan untuk pengendalian mutu sediaan
nanokurkuminoid. Analisis ukuran partikel ditujukan untuk pencirian dan
pengendalian mutu dari sediaan yang dibuat (Mujib 2011). Ukuran partikel dalam
sediaan diukur menggunakan metode photon correlation spectroscopy (PCS).
Sediaan ditentukan ukuran rata-rata partikelnya menggunakan alat particle size
analyzer Delsa NanoC (Beckman Coulter) yang dapat mengukur partikel 0.6 nm
hingga 7 μm. PCS mengukur fluktuasi intensitas sinar yang dihamburkan oleh
pergerakan partikel pada skala waktu mikrodetik. Keuntungan metode ini yaitu,
cepat, tidak memerlukan kalibrasi, dan peka terhadap partikel submikron
(Menhert dan Mader 2001).
Sediaan nanokurkuminoid yang dihasilkan berukuran 114.4±33.8 nm
dengan kisaran ukuran partikel 86.9-362.4 nm. Hasil ini menunjukkan ukuran
yang lebih kecil yang dihasilkan oleh Mujib (2011) sebesar 199.0±99.6 nm.
Keseragaman ukuran partikel dapat diketahui dari nilai indeks polidispersitas (IP).
IP merupakan ukuran lebarnya distribusi ukuran partikel. Berdasarkan pengukuran
nilai IP yang dhasilkan adalah sebesar 0.218 yang berarti sistem emulsi memiliki
distibusi ukuran partikel yang sempit dan mengindikasikan proses pembuatan
emulsi yang baik (Mujib 2011). Hal tersebut karena nilai IP lebih kecil dari 0.3
menunjukkan bahwa ukuran partikel memiliki distribusi yang sempit dan nilai IP
lebih besar dari 0.3 menunjukkan distribusi yang lebar (Yen et al. 2008).
Efisiensi penjerapan adalah analisis untuk mengetahui kapasitas pemuatan
obat yang dinyatakan dalam persen obat terjerap dalam fase lemak terhadap obat
yang ditambahkan (Parhi & Suresh 2010). Menurut Mujib (2011) sistem
penghantaran obat harus memiliki kapasitas pemuatan obat yang tinggi dan
bertahan lama. Efisiensi penjerapan pada penelitian ini ditentukan dengan metode
langsung, yaitu dengan mengekstraksi kurkuminoid terjerap menggunakan
methanol. Setelah itu dipisahkan dengan medium pendispersinya melalui
sentrifugasi, kemudian diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 424 nm. Berdasarkan tabel 1, efisiensi penjerapan kurkuminoid pada
sediaan diatas 70% yaitu sebesar 79%. Hasil yang didapatkan tidak berbeda jauh
dengan hasil yang didapatkan oleh Mujib (2011) sebesar 77.65%. Efisiensi
penjerapan dipengaruhi oleh banyaknya zat aktif yang ditambahkan pada
pembuatan nanopartikel dan kelarutan zat aktif dalam lemak cair (Mujib 2011).
Kondisi dan Bobot Badan Tikus Selama Percobaan
Kondisi tikus selama percobaan merupakan salah satu parameter yang
diamati pada penelitian secara in vivo. Salah satu syarat perlakuan hewan coba
adalah kondisi hewan dalam keadaan sehat, dengan salah satu parameter yang
diamati yaitu peningkatan bobot badan (Lu 2006). Hewan percobaan yang
digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley betina
13
berumur delapan minggu, berat badan 151.23±11.32 gram, berjumlah 27 ekor
tikus. Penggunaan tikus Sprague Dawley karena tikus ini mudah didapat dan
banyak digunakan dalam penelitian imunitas. Sebelum dilakukan percobaan, tikus
Sprague Dawley diadaptasi selama satu minggu. Masa adaptasi bertujuan agar
tikus dapat menyesuaikan dengan lingkungan baru (masa percobaan).
Peningkatan BB terjadi pada seluruh kelompok perlakuan dilihat pada saat
penimbangan kedua (hari ke-2). Peningkatan BB tikus dari semua kelompok
perlakuan menandakan tidak ada efek negatif dari pemberian sediaan, baik itu
nanokurkuminoid pada beragam dosis maupun perlakuan standar kurkumin, vit.
C, nano kosong, dan ekstrak. Hasil ini sesuai dengan penelitian Puspawati (2009)
yang menyatakan pemberian senyawa antioksidan tidak akan menurunkan bobot
badan tikus.
Penurunan BB terlihat pada penimbangan ketiga (hari ke-4). Hal tersebut
terjadi karena pada hari ke-3 dilakukan pemberian CCl4 bagi seluruh kelompok
perlakuan kecuali normal. Karbon tetraklorida (CCl4) digunakan untuk
menginduksi radikal bebas pada penelitian ini. Karbon tetraklorida diketahui
bersifat hepatotoxin, saat senyawa ini masuk dalam hati, senyawa ini dirubah
menjadi senyawa radikal bebas triklorometil (.CCl3/CCl3OO
.) oleh sitokrom P450
mikrosomal (Szymonik-Lesiuk et al. 2003). Radikal bebas triklorometil ini
selanjutnya akan bereaksi dengan gugus sulfohidril (GSH) dan protein. Ikatan
kovalen antara triklorometil ke protein selular memicu terbentuknya reaksi
berantai peroksidasi lipid membran yang pada akhirnya berujung pada nekrosis
sel (Samundeeswari et al. 2011).
Pemberian CCl4 pada hari ke-3 memberikan efek stress bagi tikus, karena
kondisi tersebut tidak dialami sebelumnya. Sehingga Kondisi tersebut
kemungkinan mempengaruhi nafsu makan tikus. Akan tetapi kelompok normal,
kelompok nanokurkuminoid 1500 mg dan nano kosong tidak mengalami
penurunan. Kelompok nanokurkuminoid 1500 mg tetap mengalami kenaikan
walaupun diberi perlakuan CCl4, kemungkinan hal tersebut akibat pengaruh
pemberian antioksidan nanokurkuminoid yang dapat menangkal efek radikal
bebas.Kelompok normal mengalami kenaikan BB tidak terlalu tinggi seperti
kelompok nanopartikel 1500 meskipun tidak diberi perlakuan injeksi CCl4. Selain
itu kelompok nano kosong pun mengalami kenaikan BB walau tidak mengandung
bahan antioksidan dan diberi perlakuan CCl4. Hasil ini berbeda dengan hasil yang
didapatkan Afitriansyah (2013) yang melakukan penelitian yang sama pada tikus
jantan, hasilnya menunjukkan hanya kelompok negatif (CCl4) yang mengalami
penurunan BB. Hal ini menunjukkan kondisi tikus betina selama percobaan
berbeda-beda/beragam. Kemungkinan hal ini disebabkan akibat adanya pengaruh
hormonal. Azevedo (2001) menyatakan hormon estrogen dapat meningkatkan
aktivitas enzim antioksidan. Kemungkan kondisi hormon yang berbeda pada tikus
betina menyebabkan kelompok normal maupun kelompok nano kosong
menunjukkan hasil yang tidak sesuai hipotesis awal.
Aktivitas Antioksidan In Vivo
Antioksidan merupakan senyawa kimia dalam jumlah rendah yang dapat
mencegah oksidasi seluler organel dengan meminimalkan kerusakan sel akibat
adanya Reactive Oxygen Substances (ROS) atau radikal bebas. Aktivitas
14
antioksidan in vivo dapat ditentukan dengan melihat beberapa penanda seperti
kadar lipid peroksida sebagai biomarker tingkat kerusakan sel akibat paparan
radikal bebas. Selain itu adalah enzim-enzim antioksidan, khususnya yang berada
di hati yaitu SOD, POX dan GPX (Niki 2010).
Malondialdehida merupakan hasil dari peroksidasi lipid akibat paparan
radikal bebas. Kadar MDA yang tinggi menandakan banyaknya radikal bebas
yang tidak tertahan oleh antioksidan (Rasool et al. 2011). Pada penelitian Rasool
et al. (2011) pemberian CCl4 pada tikus jantan yang diberi ekstrak etanol callus
Passiflora foetida menunjukkan kelompok perlakuan CCl4 memiliki kadar MDA
paling tinggi dibanding kelompok lainnya. Namun hasil pada penelitian ini
menunjukkan kadar MDA kelompok normal lebih tinggi daripada kelompok CCl4.
Kadar MDA yang tinggi pada kelompok tikus normal menandakan tikus berada
pada kondisi stress oksidatif (sakit), walaupun secara fisik tidak terlihat keanehan
pada kondisi tikus selama perlakuan. Sedangkan hasil yang didapatkan
Afitriansyah (2013) pada tikus jantan menunjukkan kadar MDA kelompok CCl4
lebih tinggi dibandingkan kelompok normal dan perlakuan nanokurkuminoid,
selain itu perlakuan nanokurkuminoid ciemas 100 dan 1500 mg dapat
menurunkan kadar MDA secara signifikan (P>0.05) dibanding kelompok CCl4
dan mendekati nilai normal. Hasil ini menunjukkan kondisi awal tikus secara
oksidatif berbeda. Kemungkinan hasil yang didapat diakibatkan oleh adanya
perbedaan hormon estrogen dari tiap kelompok. Menurut Azevedo (2001) hormon
estrogen pada tikus betina melindungi tulang dan otot perut, uterus serta hati dari
kerusakan, estrogen merupakan salah satu hormon yang berfungsi sebagai
antioksidan dalam tubuh. Perlakuan vit. C yang menunjukkan kadar MDA yang
lebih tinggi dibanding kelompok CCl4 diduga disebabkan penyerapan senyawa
vitamin C dalam tubuh tikus tidak optimal. Menurut Almatsier (2004) vitamin C
bersifat mudah larut dalam air sehingga mudah dikeluarkan dari dalam tubuh
melalui urin. Meskipun demikian, kadar MDA tikus kelompok perlakuan
nanokurkuminoid secara umum lebih rendah dibandingkan kelompok normal dan
CCl4.
Superoksida dismutase merupakan enzim yang mengubah anion
superoksida (O2-) menjadi bentuk hidrogen peroksida (H2O2) sehingga
mengurangi efek racun dari radikal bebas, semakin rendah nilai % inhibisi SOD
menandakan semakin besar pengaruh radikal bebas (Szymonik-Lesiuk et al.
2003). Mekanisme pertahanan tubuh melawan radikal bebas oleh enzim
antioksidan dapat dilihat pada Gambar 10. Hasil yang didapat pada penelitian ini
menunjukkan tidak terdapat pengaruh signifikan terhadap peningkatan % inhibisi
SOD dari semua kelompok perlakuan. Hal tersebut berbeda dengan hasil
penelitian Afitriasyah (2013) yang menyatakan perlakuan nanokurkuminoid
ciemas dosis 1500 mg pada tikus jantan dapat meningkatkan % inhibisi SOD.
Kemungkinan tidak berbeda nyatanya hasil karena hampir samanya tingkat
kerusakan sel akibat radikal bebas dari semua perlakuan yang ditunjukkan oleh
kadar MDA sehingga % inhibisi dari setiap kelompok tidak jauh berbeda.
Glutation peroksidase adalah metaloenzim yang mengandung selenium,
enzim ini mengkatalisis pengubahan hidrogen peroksida oleh glutation tereduksi
menjadi molekul yang tidak berbahaya, selain itu glutation peroksidase juga dapat
menghilangkan hidroperoksida lipid dari membran sel (Szymonik-Lesiuk et al.
2003).
15
Gambar 10 Mekanisme pertahanan tubuh melawan senyawa radikal bebas oksigen
(ROS) oleh enzim antioksidan (Mates et al. 1999)
Rasool et al. (2011) menyatakan pemberian CCl4 akan menurunkan
aktivitas enzim GPX dan pemberian perlakuan antioksidan dapat meningkatkan
aktivitas enzim GPX pada tikus yang diinjeksi CCl4 mendekati aktivitas tikus
normal. Namun pada penelitian ini terdapat hasil yang berbeda yaitu kelompok
normal memiliki aktivitas GPX yang rendah dan berbeda nyata dibandingkan
kelompok lainnya (P>0.05), sedangkan kelompok CCl4 memiliki aktivitas yang
tinggi. Hasil yang tinggi didapat juga pada perlakuan vit. C, nanokurkuminoid 50
mg dan 100 mg yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan CCl4. Sedangkan hasil
dari kelompok nanokurkuminoid 1500 mg tidak berbeda nyata dengan pemberian
standar kurkumin dan ekstrak. Pada penelitian Afitriansyah (2013) juga
didapatkan hasil yang menunjukkan aktivitas GPX pada kelompok normal
merupakan yang paling rendah, sedangkan kelompok CCl4 yang paling tinggi.
Bila dibandingkan pada hasil kelompok normal, kelompok vit. C,
nanokurkuminoid 50 dan 100 mg tidak berpengaruh dalam menangkal radikal
bebas bila dilihat efeknya yang tidak berbeda jauh dengan nilai kelompok CCl4.
Sedangkan perlakuan nanokurkuminoid 1500 mg menunjukkan efek yang lebih
baik dibanding perlakuan sebelumnya karena hampir setara dengan standar
kurkumin murni dan ekstrak kurkuminoid, walaupun konsentrasi kurkuminoid
terkandungnya lebih rendah (efisiensi penjerapan kurkuminoid dalam sediaan
79%). Secara umum perlakuan nanokurkuminoid dapat menaikkan aktivitas GPX
bila dibandingkan kelompok normal.
Peroksidase merupakan kelompok enzim yang mengubah hidrogen
peroksida menjadi air dan oksigen, dalam hal ini dihubungkan dengan aktivitas
enzim katalase sebagai enzim yang diproduksi tubuh. Menurut Rasool et al.
(2011) aktivitas katalase tikus yang diberi perlakuan CCl4 dan 500 mg ekstrak
etanol callus Passiflora foetida L sebagai antioksidan menunjukkan hasil yang
semakin meningkat. Hasil penelitian ini menunjukkan pemberian
16
nanokurkuminoid 100 mg dan 1500 mg hampir setara dengan pemberian standar
kurkumin dan dapat meningkatkan aktivitas POX dibandingkan kelompok CCl4
dan normal. Kelompok normal dan vit. C menunjukkan hasil yang tidak berbeda
nyata dengan kelompok CCl4, hal tersebut menunjukkan kondisi kelompok
normal yang mengalami stress oksidatif (sakit) dan kurang optimalnya efek dari
pemberian vit.C.
Berdasarkan keseluruhan pengukuran aktivitas antioksidan yang dilihat
dari kadar MDA dan aktivitas enzim antioksidan hati pada tikus betina, perlakuan
nanokurkuminoid ciemas pada berbagai dosis yang dibandingkan dengan
perlakuan vit.C, standar kurkumin, dan ekstrak kurkuminoid secara umum dapat
menurunkan kadar MDA, menaikkan aktivitas SOD, GPX dan POX. Selain itu,
hasil penelitian ini juga menunjukkan kemampuan nanokurkuminoid yang tidak
berbeda jauh dibanding pemberian standar kurkumin dan ekstrak kurkuminoid
walaupun konsentrasinya jauh berbeda. Bahan aktif yang diberikan pada tikus
untuk perlakuan nanokurkuminoid sebesar 0.3 mg dan 0.02 mg (dosis 1500 dan
100 mg/Kg BB nanokurkuminoid) sedangkan pada ekstrak dan standar kurkumin
sebesar 1.6 mg ( pada dosis 20 mg/Kg BB). Hal tersebut menunjukkan keefisienan
nanokurkuminoid dalam memberikan efek yang setara dengan ektrak yang tidak
dibuat nanopartikel. Sehingga pembentukan nanopartikel kurkuminoid ini lebih
ekonomis dalam penggunannya sebagai bahan aktif dibanding penggunaan
standar karena pengerjaannya sederhana dan tidak memerlukan bahan aktif yang
lebih banyak.
SIMPULAN DAN SARAN
Nanokurkuminoid temulawak lokal Ciemas berhasil dibuat dengan ukuran
partikel 114.4±33.8 nm dan indeks polidispersitas sebesar 0.218. Efisiensi
penjerapan kurkuminoid pada sediaan sebesar 79%. Hasil pengujian aktivitas
antioksidan nanokurkuminoid pada tikus betina yang diinduksi CCl4 menunjukkan
bahwa pemberian nanokurkuminoid dosis 1500 mg/kg BB mampu menurunkan
kadar MDA (4.34 nmol/mL) serta meningkatkan aktivitas SOD (64.70%), GPX
(3208.02 mU/mL) dan POX (3.13 mU/mL). Hasil ini menunjukkan sediaan
nanokurkuminoid memiliki aktivitas antioksidan. Penyalutan kurkuminoid oleh
lemak padat pada ukuran nano menunjukkan hasil lebih efisien dibanding
pemberian ektrak kurkuminoid langsung. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan
untuk mendapatkan dosis optimal sediaan nanokurkuminoid sebagai antioksidan
pada tikus betina.
DAFTAR PUSTAKA
[BPOM] Badan Pengawas Obat Dan Makanan. 2010. Acuan Sediaan Herbal.
Jakarta (ID): Direktorat OAI, deputi II, Badan POM RI.
Aebi H. 1984. Catalase in vitro. Methods Enzymol. 105:121-126.
Afifah E. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak Rimpang Penyembuh Aneka
Penyakit. Jakarta (ID): AgroMedia Pustaka.
17
Afitriansyah E. 2013. Status antioksidan tikus jantan diinduksi CCl4 dengan
perlakuan nanopartikel kurkuminoid temulawak lokal ciemas [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Aggarwal BB, Bhatt ID, Ichikawa H, Ahn KS, Sethi G, Sandur SK, Natarajan C,
Seeram N, Shishodia S. 2006. Turmeric: the Genus Curcuma. New York
(US): Taylor and Francis.
Anand P, Kunnumakkara AB, Newman RA, Aggarwal BB. 2007. Bioavailability
of curcumin: problems and promises. Molecular Pharmaceutics. 4:807–
818.
Azevedo RB, Lacava ZGM, Miyasaka CK, Chaves SB, Curi R. 2001. Regulation
of antioxidant in male and female rat macrophages by sex steroids.
Brazilian Journal of medical and biological research. 34(5):683-687.
Bisht S, Khan MA, Berkhit M, Bai H, Cornish T, Mizuma M, Rudek MA, Zhao
M, Maitra A, Ray B et al. 2011. A polymeric nanoparticle formulation of
curcumin (NanoCurcTM
) ameliorates CCl4-induced hepatic injury and
fibrosis through reduction of pro-inflammatory cytokines and stellate cell
activation. Laboratory Investigation. 91:1383-1395.
Darwis D. 2000. Teknik Dasar Laboratorium dalam Penelitian Senyawa Bahan
Alam Hayati. Workshop Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam
Bidang Kimia Organik Bahan Alam Hayati. Padang (ID): FMIPA
Universitas Andalas.
Flohé L dan Gunzler WA. 1984. Assays of glutathione peroxidase. Methods
Enzymol. 105:114-121.
Gogtay NJ, Bhatt HA, Dalvi SS, Kshirsagar NA. 2002. The use and safety of
nonallphatic indian medicine. Drug Saf. 25:1005-1019.
Hadipoentyanti E, Syahid SF. 2007. Respon temulawak (Curcuma xanthoriza
Roxb) hasil rimpang kultur jaringan generasi kedua terhadap pemupukan.
Jurnal littri. 13:106-110.
Howard M. 2011. Evaluation of the physicochemical properties and stability of
solid lipid nanoparticles designed for the delivery of dexamethasone to
tumors [disertasi]. Lexington (US): The Graduate School University Of
Kentucky.
Irving GRB, Ankur K, David PB, Karen B, William PS. 2011. Curcumin: the
potential for efficacy in gastrointestinal diseases. Best Practice &
Research Clinical Gastroenterology 25: 519-534.
Kamble VA, Jagdale DM, Kadan VJ. 2010. Solid lipid nanoparticles as drug
delivery system. International Journal of Pharma and Bio Sciences 1:1–9.
Konatham S, Nyathani HK, Bonepally CR, Yeannameneni PK, Aukunuru J. 2010.
Liposomal delivery of curcumin to liver. Turk J. Pharm. Sci. 7(2):89-98.
Lu F. 2006. Toksikologi Dasar: Asas, Organ sasaran, dan Penilaian Risiko.
Nugroho, penerjemah. Jakarta (ID): UI Pr. Terjemahan dari: Toxicology,
Fundamentals, Target Organs, and Risk Assesment.
Mangunwardoyo W, Deasywaty, Usia T. 2012. Antimicrobial and identification
of active compound Curcuma xanthorrhiza Roxb. IJBAS-IJENS. 12(01)
Mates JM, Peres-Gomez C, De Castro IN. 1999. Antioxidant enzymes and human
diseases. Clinical Biochemistry. 32(8):595-603.
Matsuda H, Tewtrakul S, Morikawa T, Nakamura A. 2004. Anti-allergic
principles from thai zedoary: structural requirements of curcuminoids for
18
inhibition of degranulation and effect on the release of TNF-a and IL-4 in
RBL-2H3 cells. Bioorg. Medicinal Chem. 12:5891-5898.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2000. Perancangan Percobaan Jilid 1 Edisi ke-2
dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. Bogor (ID): IPB Pr.
McCord JM dan Fridovich I. 1969. Superoxide dismutase an enzyme function for
erythrocuprein (hemocuprein). Journal of Biological Chemistry. 244
(22):6049-6055.
Menhert W dan Mader K. 2001. Solid lipid nanoparticles Production,
characterization, and applications. Advanced Drug Delivery Reviews.
47:165–196.
Mujahid R, Awal PKD, Nita S. 2012. Maserasi sebagai alternatif ekstraksi pada
penetapan kadar kurkuminoid simplisia temulawak (Curcuma xanthorriza
Roxb). Tawangmangu (ID): Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat
Tradisional Tawangmangu.
Mujib MA. 2011. Pencirian Nanopartikel Kurkuminoid Tersalut Lemak Padat
[tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Nikki E. 2010. Assessment of antioxidant capacity in vitro and in vivo. Free
Radic Biol Med. 49(4):503-515.doi:10.1016/j.freeradbiomed.2010.04.016.
Nurcholis W. 2008. Profil Senyawa Penciri dan Bioaktivitas Tanaman
Temulawak pada Agrobiofisik Berbeda [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Ohkawa H, Ohishi N, Yagi K. 1979. Assay for lipid peroxides in animal tissues
by thiobarbituric acid reaction. Analytical Biochemistry. 95: 351-358
Pang X, Cui F, Tian J, Chen J, Zhou J, Zhou W. 2009. Preparation and
characterization of magnetic solid lipid nanoparticles loaded with
ibuprofen. Asian Journal Of Pharmaceutical Science 4:132–137.
Parhi R, Suresh P. 2010. Production of Solid Lipid Nanoparticles-Drug Loading
and Release Mechanism. J. Chem Pharm. 2(1):211-227.
Park S, Chung S, Kim KM, Jung KC, Park C, Hahm ER, Yang CH. 2004.
Determination of binding constant of transcription factor myc–max/max–
max and E-box DNA: the effect of inhibitors on the binding. Biochim.
Biophys. Acta. 1670:217-228.
Parthasarathy VA, Chempakam B, Zachariah TJ. 2008. Chemistry of Spices.
Oxford (GB): CABI
Peschel D, Koerting R, Nass N. 2006. Curcumin induces changes in expression of
genes involved in cholesterol homeostasis. J. Nutr. Biochem. 18:113-119. Prangdimurti E, Muchtadi D, Astawan M, Zakaria FR. 2006. Aktivitas
antioksidan ekstrak daun suji. Jurnal Teknol dan Inddustri Pangan.
17(2):79-88.
Puspawati GKD. 2009. Kajian Aktivitas Proliferasi Limfosit dan Kapasitas
Antioksidan Sorgum (Sorghum bicolor L Moench) dan Jewawut
(Pennisetum sp) pada Tikus Sprague Dawley [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Rasool SN, Jaheerunnisa S, Jayaveera KN, Suresh KC. 2011. In vitro callus
induction and in vivo antioxidant activity of Passiflora foetida L. leaves.
International Journal of Applied Research In Natural Products. 4(1):1-10.
19
Samundeeswari C, Rajadurai M, Periasami R, Kancana G. 2011. Hepatoprotective
effect of herbitars, a polyherbal formulation against CCl4 induced
hepatotoxicity in rats. Journal of Pharmacy Research. 4(3): 676-679.
Sari DLN, Bambang C, Andri CK. 2013. Pengaruh jenis pelarut pada ekstraksi
kurkuminoid dari rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb).
Chem. Info 1(1): 101-107.
Sari L. 2006. Pemanfaatan obat tradisional dengan pertimbangan manfaat dan
keamannya. Majalah ilmu kefarmasian 3: 01-07.
Sembiring B, Ma’mun, Edi IG. 2006. Pengaruh kehalusan bahan dan lama
ekstraksi terhadap mutu ekstrak temulawak. Bul. Littro XVII(2):53-58.
Shi F, Ji-Hui Z, Ying L, Yong-Tai Z, Nian-Ping F. 2012. Preparation and
characterization of solid lipid nanoparticles loaded with frankincense and
myrrh oil. International Journal of Nanomedicine 7: 2033-2043.
Shoba G, Joy D, Joseph T, Majeed M, Rajendran R, Srinivas PS. 1998. Influence
of piperine on the pharmacokinetics of curcuminin animals and human
volunteers. Planta Med , 64(4): 353–6.
Sidik, Moelyono MW, Mutadi A. 1995. Temulawak (Curcuma Xanthoriza Roxb).
Jakarta (ID): Phyo Medika
Sinha VR, Saurabh S, Honey G, Vinay J. 2010. Solid lipid nanoparticles (SLN’S)-
trends and implications in drug targeting. International Journal of
Advances in Pharmaceutical Sciences 1: 212-238.
Szymonik-Lesiuk S, Czechowska G, Stryjecka-Zimmer M, Slomka M, Madro A,
Celinske K, Weilosz M. 2003. Catalase, superoxide dismutase, and
glutathione peroxidase activities in various rat tissues after carbon
tetrachloride intoxication. Journal of Hepato-biliary-Pancreatic Surgery.
10: 309-315.
Yadav V, Vinay P, Sarasija S, Yadav S. 2008. Curcumin loaded palmitic acid
microparticles. InPharm Communique 1:15–18.
Yen FL, Wu TH, Lin LT, Cham TM, Lin CC. 2008. Nanoparticles formulation of
Cucuta chinensis prevents acetaminophen-induced hepatotoxicity in rats.
Food and Chemical Toxicology 46: 1771–1777.
20
Lampiran 1 Diagram alir penelitian
21
Lampiran 2 Pengukuran efisiensi penjerapan kurkuminoid
Kurva standar ekstrak kurkuminoid
Pengenceran A [kurkumin] (mg/mL) efisiensi penjerapan (%)
10X 0.630 0.816 74.18
10 X 0.677 0.8767 79.70
10 X 0.706 0.914 83.09
Rata-rata 79
Persamaan linier untuk kurva standar ekstrak kurkuminoid adalah y =
7.744x-0.002, maka [kurkuminoid] didapatkan dengan memasukan absorbansi
sampel (A)
0.630 = 7.744x – 0.002
x = 0.630 + 0.002
7.744
x = 0.816 mg/mL
Sedangkan untuk efisiensi penjerapan didapatkan dengan :
Efisiensi penjerapan = onsentrasi kurkuminoid terjerap
onsentrasi kurkuminoid yang ditambahkan 00%
= 0.816 x 100%
1.10
= 74.18 %
y = 7.7443x - 0.002 R² = 0.984
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12
Ab
sorb
ansi
(A
)
[Kurkuminoid] (mg/mL)
22
Lampiran 3. Hasil pengukuran ukuran partikel
23
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 17 November 1989 dari ayah
Sulaeman dan ibu Euis Nawangsih. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga
bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari Sekolah Menengah Analis Kimia
Bogor (SMAKBo) dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI dan diterima di Departemen Biokimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama masa perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia
TPB tahun ajaran 2010/2011. Selain itu penulis aktif dalam berbagai organisasi
kemahasiswaan diantaranya Uni Konservasi Fauna (UKF) sebagai kadiv
Herbivora periode 2010-2012 dan koordinator departemen Kemasyarakatan
periode 2012-2013, CREBs (Community of Reasearch and Education in
Biochemistry) sebagai anggota RnE Metabolisme periode 2010-2011 dan Wakil
Ketua Umum periode 2011-2012, Asrama Sylvapinus sebagai koordinator seksi
keamanan periode 2011-2012 dan sebagai Ketua umum periode 2012-2013. Serta
anggota dari komunitas pecinta alam biokimia BIKPALA. Bulan Juli-Agustus
2012 penulis melaksanakan Praktik Lapang di Laboratorium Biokimia Balai
Besar Penelitian dan pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian (BB Biogen) Bogor dengan judul Isolasi Protein Dari Daun dan Bunga
Pukul Empat (Mirabilis jalapa L) dan Peranannya Dalam Mengendalikan
ChiVMV Tanaman Cabai Merah (Capsicum Annuum L).
Prestasi yang diperoleh penulis antara lain penerima dana DIKTI pada
Program Kreatifitas Mahasiswa (P M) bidang penelitian dengan judul “Membran
Selulosa Berbahan Dasar Limbah Kulit Nanas (Ananas Comusus): Aplikasi
Membran Sebagai Adsorben Zat Warna Tekstil Biru Metilena” tahun 2010 dan
“Bioremediasi Laut Terkontaminasi Minyak Bumi Menggunakan Bakteri
Teramobilisasi Dalam Matriks Selulosa” tahun 20 , finalis PIMNAS XXIV di
UNHAS Makassar tahun 2010, Ketua Lomba Karya Ilmiah Populer (LKIP)
Biokimia tahun 2010, dan team leader ekspedisi global UKF di Taman Nasional
Ujung Kulon tahun 2009.