akting supali dalam pementasan yang berjudul

16
e-ISSN: 2550-0058 p-ISSN: 2615-1642 Roci Marciano 1 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018 AKTING SUPALI DALAM PEMENTASAN YANG BERJUDUL SUPALI GENDENG WEDOKAN ROCI MARCIANO Dosen Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta [email protected] ABSTRAK Ludruk telah menjadi teater tradisi yang memiliki makna sebagai media pembelajaran yang baik di masyarakat, khususnya Jawa Timur. Hidupnya Ludruk juga tidak terlepas dari peran serta aktor yang menjadi icon, sehingga ludruk sebagai kesenian menjadi sangat dekat dengan penontonnya, seperti Supali yang bahkan tidak berjarak dengan masyarakat. Sosok Supali telah menjadi ikon dalam setiap pementasan yang diperankannya, sehingga disetiap kehadirannya dalam pementasan selalu dihadiri oleh penggemarnya yakni masyarakat khususnya Jawa Timur. Melalui penelitian ini pula dapat mengetahui struktur dan tekstur tentang lakon SGW dan bagaimanakah gaya akting Supali dalam berperan. Mengapa meneliti gaya akting Supali? Karena tema penelitian masih sesuai dalam mengikuti perkembangan gaya akting di Indonesia, ludruk Jawa Timur khususnya, dan juga melihat semakin hilangnya esensi gaya akting aktor-aktor Indonesia baik dalam film dan teater yang lebih terpengaruh dengan metode atau gaya akting aktor-aktor Barat. Penelitian gaya akting Supali dalam lakon Supali Gendeng Wedokan, diharapkan mampu menjadi pembanding sebagai pilihan untuk menjadi salah satu gaya acting untuk di aplikasikan di kancah perteateran Indonesia. Kata kunci: penelitian gaya akting, SGW, ludruk, aktor, Jawa Timur, teater. A. PENDAHULUAN Ludruk sebagai suatu jenis kesenian yang berasal dari daerah Jawa Timur berasal dari pergerakan seorang aktor, meskipun tokoh yang sedang menyajikan ludruk tersebut tidak mengetahaui dirinya seseorang yang disebut dengan istilah aktor. Sebab ludruk diketahui berasal dari daerah Jombang, yakni ketika seorang bernama Pak Santik (aktor) di desa Ceweng, Kecamatan Jombang, yang mempunyai sifat humoris dan lucu, yang didesak oleh kebutuhan hidup. Berkeliling seorang diri sambil menari dan bernyanyi dan sedikit berceritera, lalu memperoleh uang atas kegiatannya, dan dari sinilah lahir apa yang disebut dengan Lerok Barangan, yakni suatu bentuk ludruk yang mula-mula dilakukan seorang diri. Dalam perkembangannya ada juga yang disebut dengan Ludruk Garingan, yaitu ludruk yang dimainkan seorang diri dengan tidak diiringi oleh tetabuhan apapun (Ahmad, 2006: 151-152).

Upload: others

Post on 17-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: AKTING SUPALI DALAM PEMENTASAN YANG BERJUDUL

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Roci Marciano

1 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018

AKTING SUPALI DALAM PEMENTASAN YANG BERJUDUL

SUPALI GENDENG WEDOKAN

ROCI MARCIANO

Dosen Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta

[email protected]

ABSTRAK

Ludruk telah menjadi teater tradisi yang memiliki makna sebagai media pembelajaran yang baik di

masyarakat, khususnya Jawa Timur. Hidupnya Ludruk juga tidak terlepas dari peran serta aktor

yang menjadi icon, sehingga ludruk sebagai kesenian menjadi sangat dekat dengan penontonnya,

seperti Supali yang bahkan tidak berjarak dengan masyarakat. Sosok Supali telah menjadi ikon

dalam setiap pementasan yang diperankannya, sehingga disetiap kehadirannya dalam pementasan

selalu dihadiri oleh penggemarnya yakni masyarakat khususnya Jawa Timur. Melalui penelitian ini

pula dapat mengetahui struktur dan tekstur tentang lakon SGW dan bagaimanakah gaya akting

Supali dalam berperan. Mengapa meneliti gaya akting Supali? Karena tema penelitian masih sesuai

dalam mengikuti perkembangan gaya akting di Indonesia, ludruk Jawa Timur khususnya, dan juga

melihat semakin hilangnya esensi gaya akting aktor-aktor Indonesia baik dalam film dan teater yang

lebih terpengaruh dengan metode atau gaya akting aktor-aktor Barat. Penelitian gaya akting Supali

dalam lakon Supali Gendeng Wedokan, diharapkan mampu menjadi pembanding sebagai pilihan

untuk menjadi salah satu gaya acting untuk di aplikasikan di kancah perteateran Indonesia.

Kata kunci: penelitian gaya akting, SGW, ludruk, aktor, Jawa Timur, teater.

A. PENDAHULUAN

Ludruk sebagai suatu jenis kesenian yang berasal dari daerah Jawa Timur berasal dari

pergerakan seorang aktor, meskipun tokoh yang sedang menyajikan ludruk tersebut tidak

mengetahaui dirinya seseorang yang disebut dengan istilah aktor. Sebab ludruk diketahui berasal

dari daerah Jombang, yakni ketika seorang bernama Pak Santik (aktor) di desa Ceweng, Kecamatan

Jombang, yang mempunyai sifat humoris dan lucu, yang didesak oleh kebutuhan hidup. Berkeliling

seorang diri sambil menari dan bernyanyi dan sedikit berceritera, lalu memperoleh uang atas

kegiatannya, dan dari sinilah lahir apa yang disebut dengan Lerok Barangan, yakni suatu bentuk

ludruk yang mula-mula dilakukan seorang diri. Dalam perkembangannya ada juga yang disebut

dengan Ludruk Garingan, yaitu ludruk yang dimainkan seorang diri dengan tidak diiringi oleh

tetabuhan apapun (Ahmad, 2006: 151-152).

Page 2: AKTING SUPALI DALAM PEMENTASAN YANG BERJUDUL

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Roci Marciano

2 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018

Meskipun akhir-akhir ini ludruk mengalami pasang surut dalam eksistensi, Seperti yang

diungkapkan oleh Kasiyanto Kasemin (1999) yang mengatakan bahwa; akhir-akhir ini ludruk

kurang menguntungkan sebagai komoditi komersial, karena ada kecendrungan kesenian tradisi

Jawa Timur ini kurang mendapat sambutan dari masyarakat (Kasiyanto, 1999: 2). Pernyataan ini

penulis bantah karena melihat kondisi di lapangan tidaklah demikian, melihat masih bergairahnya

masyarakat Jawa Timur dalam mengapresiasi kesenian ludruk. Jika sambutan dari kaum akademisi

atau terpelajar bisa saja benar, sebab setiap kali ludruk di pentaskan jarang terpublish tulisan dalam

bentuk kritik yang membangun atas pementasan ludruk yang berlangsung.

Padahal di masa kejayaannya, ludruk sempat menjadi hiburan primadona bagi masyarakat,

khususnya masyarakat Jawa Timur, dan juga menjadi alat politik bagi oknum-oknum tertentu.

Seperti yang pernah dikatakan Peacock, dua manajer rombongan ludruk tampaknya telah berhasil

meningkatkan statusnya dengan mengambil bagian dalam partai politik PNI dan PKI. Karena para

partisipan ludruk kebanyakan adalah orang-orang abangan, mereka tidak akan bisa memasuki

hirarki birokratis kementrian agama pemerintah pusat yang penuh warna keislaman (Peacock,

2005:142). Berdasarkan kutipan tersebut jelas bahwa pada masa Orde Lama ludruk terbagi

kedalam dua golongan, yaitu ludruk yang berada dalam ikatan LEKRA (Lembaga Kebudayaan

Rakyat) dan ludruk dalam ikatan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional).

Terlepas dari persoalan yang telah diterangkan di atas, berbicara soal ludruk tidak akan

pernah bisa melupakan hal-hal penting lain yang tergabung di dalamnya, seperti masalah

kesejarahan atau asal-usul, manfaat, bentuk penyajian, kemasan, pemain, dan lain sebagainya.

Terutama aktor, karena memang pada dasarnya seni pertunjukan yang menghadirkan cerita sebagai

sajian utamanya, akan sangat bergantung pada tokoh aktor yang berperan di dalamnya. Seperti

Teater Bangsawan (1870-an di Penang) yang memiliki pemain wanita pertama yang menjadi

primadona yaitu Cik Tot, teater Orion yang dikenal dengan Miss Riboet’s Orion (1925), The Malay

Opera Dardanela (1926) dengan bintang panggungnya Tan Tjeng Bok, Dewi Dja, Riboet II, dan

Astaman dan penulis naskah Andjar Asmara, yang bahkan mendapat gelar dengan sebutan sebagai

“Dardanela’s big five” (Sumardjo, 102 & 108: 1997).

Hal ini menegaskan bahwa sukses atau tidaknya pementasan, ditentukan oleh seorang

pemeran yang membawakan lakon sebagai tontonan utamanya yaitu, berkat peran aktor yang hadir

dalam mendukung pementasan. Mengingat banyaknya peran positif seni pertunjukan ini sebagai

warisan bangsa, karena cukup unik dan menarik, maka sudah sepantasnya generasi selanjutnya

memiliki kesadaran untuk menjaga, mempertahankan, melestarikan dan mengembangkan kesenian

Page 3: AKTING SUPALI DALAM PEMENTASAN YANG BERJUDUL

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Roci Marciano

3 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018

ini menjadi kesenian yang bisa diapresiasi secara Nasional dan Internasional. Selain itu ludruk dan

aktor yang berperan di dalamnya juga merupakan cerminan masa lalu yang memberikan arti besar

tentang penggambaran perjuangan masyarakat Indonesia.

Salah seorang tokoh sekaligus aktor ludruk yang akan penulis bahas disini adalah

Almarhum Supali, seorang pelaku seni tradisi yang banyak memberikan sumbangan pada dunia

kesenian tradisional Indonesia khususnya ludruk hingga akhir hayatnya. Eksistensi Supali ini juga

seiring dengan pernyataan Setiawan (2012) yang mengatakan; “Supali menjadi faktor penting di

balik besarnya gaung LKBM. Berbicara LKBM berarti berbicara tentang Supali. Darinya senantiasa

memunculkan rangkaian kejutan yang selama ini mandul dimiliki oleh kelompok ludruk lain. Sebut

saja misalnya nuansa dagelan serta drama yang secara khusus menggunakan gending-gending

karyanya. Ia menjadi maestro lawak, yang namanya tidak semata mampu untuk disandingkan

dengan tokoh-tokoh ludruk lainnya, namun juga abadi di hati masyarakat pecinta ludruk Jawa

Timur”

Pementasan ini memuat keunikan Supali dalam membawakan perannya ketika berada di atas

panggung. Penulis merasa bahwa dalam pementasan lakon SGW, Supali sukses membawakan

perannya, dan membuat penontonnya terus mengingatnya sehingga dampaknya mengalami

kesuksesan untuk Perdana Record pada masanya. Seperti yang dikatakan Raharja (2011)

mengatakan; “Di luar tugasnya sebagai pelawak LKBM, ia juga mengembangkan sayapnya melalui

dunia musik, terutama campursari. Untuk mendukung kegelisahannya tersebut, pada tahun 2005 ia

mendirikan HSP Production yang membidangi seluruh bentuk kesenian yang bersifat hiburan.

Tidak berselang lama, ia kemudian juga mendirikan Grup Campursari yang diberinya nama

Omnata. Grup ini lantas di daftarkannya secara resmi ke Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan

Pariwisata Kabupaten Mojokerto untuk memperoleh nomor induk kesenian. Kegelisahannya dalam

bidang musik inilah yang kemudian dijadikan pertimbangan oleh Drs. H. Eko Edy Susanto, M. Si,

selaku Ketua Umum Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto (DKKM), mendapuk Cak Supali

sebagai pengurus dalam Biro Musik Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto untuk masa bakti 2010

- 2015. Sebelumnya, Cak Supali juga menjadi pengurus DKKM periode 2005 - 2010 sebagai Biro

Seni Tradisi yang diketuai oleh Hardjono WS”.

Secara umum masyarakat tahu bahwa Supali juga tokoh di LKBM. LKBM juga ikut

merasakan dampaknya, karena Supali menjadi salah satu idola tokoh luduruk di Jawa Timur.

Bahkan Aris Setiawan juga menuliskan bahwa namanya sejajar dengan maestro ludruk lainnya

seperti Kartolo, Sapari, Umi Kalsum, Sidik dan Agus Kuprit. Namun berbeda dari para seniornya

Page 4: AKTING SUPALI DALAM PEMENTASAN YANG BERJUDUL

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Roci Marciano

4 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018

itu, Supali berjuang bukan lewat jalur rekaman kaset komersial. Ia justru dengan teguh

menziarahkan hidupnya untuk dibesarkan dari panggung ludruk tobong, berpentas dari satu pintu

rumah ke rumah yang lain. Tidak hanya itu, di balik kelihaiannya dalam mengocok perut

masyarakat, Supali adalah musisi dan komposer musik yang handal. Tak kurang 50 lagu campursari

dan konser gamelan untuk ludruk telah diciptakannya. Salah satu karyanya yang paling monumental

dan hingga detik ini masih membahana di pangung-panggung musik gamelan Nusantara adalah

‘sambel kemangi’.

Banyaknya prestasi yang dilakukan Supali seperti pada keterangan di atas, akhirnya penulis

memilih salah satu diantaranya, yaitu pementasan lakon SGW. Kesuksessan Supali dalam

membawakan perannya dalam lakon SGW inilah yang kemudian merangsang rasa penasaran

penulis untuk melakukan penelitian lebih dalam tentang akting atau gaya akting Supali. Dalam

penelitian ini penulis akan menyingkap apakah Supali melakukan akting atau seni akting yang

disebut juga dengan gaya akting atau justru malah tidak berakting, hal inilah yang akan disingkap

pada penelitian ini.

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan ini juga beralasan karena sebelumnya, telah cukup lama teater modern Indonesia

banyak menggali teori-teori dramaturgi teater Barat (Sahid, 2013: 9). Teori yang membantu untuk

membaca gaya akting Supali juga beberapa menggunakan metode teori akting dalam teater Barat,

namun tidak menutup kemungkinan berdasarkan penelitian ini bisa menemukan metode baru

tentang gaya akting yang telah diwujudkan oleh Supali selama masa karirnya menjadi aktor ludruk.

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menawarkan konsep, ide dan gagasan penelitian yang berdasarkan versi penulis adalah suatu

kebaruan.

2. Menguji metode penelitian keilmuan pemeranan yang telah dipelajari selama ini, untuk

diterapkan dalam mata kuliah seni peran yang diajarkan di Jurusan Teater STKW.

3. Memperkaya bentuk-bentuk penelitian di kampus STKW Surabaya.

4. Mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang dipelajari sejak tahun 2007 hingga sekarang dalam

bentuk penelitian tentang gaya akting.

Page 5: AKTING SUPALI DALAM PEMENTASAN YANG BERJUDUL

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Roci Marciano

5 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018

C. MANFAAT PENELITIAN

1. Menambah wawasan dan pengalaman bagi Penulis tentang gaya berperan yang diciptakan

oleh Supali sebagai salah satu gaya akting di Indonesia.

2. Sebagai referensi dan bahan pustaka mengenai Supali dengan Gaya aktingnya

3. Sebagai bahan referensi, karena penelitian yang dilakukan saat ini dan sebelumnya belum

pernah ditulis.

D. PEMBAHASAN

Menganalisis gaya akting Supali dalam pementasan lakon SGW berasal dari ide karya dan

Sutradara Cak Bowo yang diproduksi oleh Perdana Record. Pementasan SGW adalah pementasan

lawak ludruk dengan ide cerita dan sutradara Cak Bowo. Cak Bowo dalam pementasan ini juga

merangkap sebagai pemain yang kemudian berperan menjadi solusi akhir cerita. Dalam cerita

lakon SGW, sudah dilakukan pengkajian melalui struktur dan tekstur, yang kemudian memutuskan

bahwa Supali adalah pemain utama, yang juga bertugas sebagai penarik garis dari keseluruhan

cerita yang disajikan kepada penonton (point of interes). Tugas fundamental aktor adalah

“menemukan, mengadopsi, dan memerankan” topeng yang tepat (Harrop & Epstein, 1982: 10).

Dalam pembukaan pementasan SGW ini di awali dengan berbunyinya suara keprakan

gendang sebagai tanda musik pembuka adegan pertama. Masuklah Supali dan Langgeng dengan

menari bersamaan. Tampak dari tarian yang dibawakan oleh Supali dan Langgeng, ialah tari

improvisasi. Adegan pembuka dengan hadirnya Supali, telah melakukan demonstrasi tubuhnya

sebagai perangkat untuk berakting, meskipun tubuh yang dihadirkan dalam menari sengaja dibuat-

buat atau direkayasa dan karikatural, terkadang dilakukan secara slapstick. Kemunculan dengan

menari inilah yang menjadi penanda awal bahwa Supali dan Langgeng masuk ke area panggung,

yang disebut juga area beraktingya para aktor. Mungkin ada yang beranggapan persoalan ini tidak

penting, tetapi sebenarnya justru kasus-kasus perbatasan antara akting dan bukan-akting ini yang

akan memperdalam pemahaman tentang teori akting dan hakekat seni akting (Kirby, 1998: 80).

Pada saat menari di beberapa adegan termasuk awal, juga tampak gaya Supali yang

berakting pura-pura mau jatuh, dan aksi tersebut dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan

efek tawa pada penonton. Supali mengeluarkan beberapa teknik dalam jogednya, di antaranya gerak

pantomime dan tubuh yang karikatural, tidak berpola, kasar dan tanpa rancangan yang dilatihkan,

apa yang tampak dari demonstrasi tubuh Supali adalah berdasarkan memori tubuh yang selalu

digunakan saat berperan dalam setiap pementasan dan adegan ini berlangsung selama lima menit.

Page 6: AKTING SUPALI DALAM PEMENTASAN YANG BERJUDUL

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Roci Marciano

6 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018

Setelah lima menit menari secara improvisasi kemudian terdengar kata stop-stop dan Supali

langsung merespon property handphone yang mengantung di ikat pinggannya seakan mematikan

musik yang mengiringi tarian mereka.

Gambar:

Akting Supali saat menari improvisasi

(foto koleksi Perdana Record, tahun 2006).

Akting yang menggunakan dialog akhirnya bisa di lihat pada adegan pertama. Dalam

konteks ini, dialog merupakan unsur penting di dalam drama (Sahid, 2013: 67). Dialog adalah

percakapan dua orang atau lebih. Karya sastra berbentuk drama biasanya sangat identik dengan

dialog. Biasannya dengan adanya dialog-lah watak dan karakter dari masing-masing tokoh di

sebuah lakon bisa terbaca oleh penonton (Sahid, 2000: 82).

1 Langgeng : heeeh... Stop stop stop stop reekk.. Stop rek .. Koncoku enek sing

kenek struk . Lhoh iki loh laaap (mlihat baju Supali) .. Oo. Ketoro

nek wong kedunyan kok li. / heeeh... Stop stop stop stop reekk..

Stop rek... Temanku ada yang kena struk. Lhoh ini loh nga (mlihat

baju Supali)... Oo. Ketauhan kamu kalau mementingkan hartamu

kok li

2 Supali : loh kok kedonyan / lah kok mementingkan hartamu

3 Langgeng : lah enak enak joget kok malah nyekeli hp ikuloh / lah enak enak

joget kok malah pengang hp ituloh

4 Supali : loooh... Iki maeng seng muni iki’e / lah tadi ini yang bunyi’e

Berdasarkan fakta dari kutipan dialog di atas, maka identifikasi gaya akting Supali bisa

diketahui, apakah suara dan teknik diksi terolah seperti para aktor yang memahami ilmu-ilmu

Page 7: AKTING SUPALI DALAM PEMENTASAN YANG BERJUDUL

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Roci Marciano

7 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018

keaktoran yang berangkat dari Barat.1 Setelah mengamati dengan seksama, maka tampak bahwa

Supali tidak menggunakan gaya akting yang dipahami secara keilmuan dalam seni peran realisme

yang menegaskan aktor dalam aktingnya memiliki system untuk mencipta secara organik (Sitorus,

2002: 32). Berhasilnya aktor menciptakan peran secara organik bertujuan untuk menciptakan

cerminan bagi penonton yakni, secara tidak langsung aktor menciptakan ilusi.

Dalam lakon SGW yang diamati untuk mengetahui gaya aktingnya, baik itu pengamatan

melalui dialog antara Supali dan Langgeng, tampak berkutat dalam ranah improvisasi yang banyak

memabahas seputar pengetahuan tentang hal-hal yang tercipta spontan. Sehingga dari akting yang

dilakukan Supali muncul beberapa dialek yang diungkapkan di antaranya ialah dialek Bali, tetapi

tubuh dan rasanya tidak menjadi orang Bali, hanya kemampuan verbal yang bisa menirukan dialek

Bali. Pada adegan ini bisa terlihat bahwa Supali melakukan split akting secara dialek, dari dialek

Jawa Timur sebagai bahasa ibu, ke dialek Bali sebagai hasil eksplorasi dalam improvisasi cerita.

Akting adalah berpura-pura, menirukan, merepresentasikan, memerankan. Seperti tampak

jelas dalam Happening, tidak seluruh pergelaran (performing) adalah akting (acting). Meski akting

kadang digunakan, pelaku dalam Happening umumnya cenderung tidak ‘menjadi’ siapa pun selain

dirinya sendiri; juga, dia tidak merepresentasikan atau berpura-pura sedang berada pada waktu atau

tempat yang berbeda dengan penonton. Mereka berjalan, berlari, berkata-kata, bernyanyi, mencuci

piring, menyapu, menjalankan mesin dan peralatan pentas dan seterusnya, tetapi ketika

melakukannya mereka tidak sedang menirukan atau memerankan orang lain (Kirby, 1998: 80).

Berdasarkan dari pernyataan Kirby ini maka jelas bahwa ada saatnya Supali berakting dan

ada saatnya Supali tidak berakting. Akting yang bisa dilihat pada Supali ialah pada saat Ia

mempraktekkan semua tiruan laku, dialek, jogged yang ia bisa, dan yang menarik serta membuat

lucu dari aktingnya ialah pada saat jogged poco-poco yang diplesetkan.

Gambar

Akting Supali saat menari poco-poco dan meniupkan ingusnya

(foto koleksi Perdana Record, tahun 2006).

1 Pemahaman Barat yang dimaksud dalam penelitian ini ialah metode yang secara umum telah diketahui oleh

khalayak umum khususnya di bidang seni peran teater. Pemahaman ilmu keaktoran yang diakui secara akdemisi ialah

metode aktingnya Stanislavsky dan Richard Bolelavsky.

Page 8: AKTING SUPALI DALAM PEMENTASAN YANG BERJUDUL

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Roci Marciano

8 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018

Dalam pementasan ini juga tampak aksi Supali yang berakting sarkasme dengan tiba-tiba

menyemprotkan ingusnya pada Langgeng (seperti adegan awal misalnya). Bahkan Supali yang

memiliki tutup kepala udeng batik ini melakukan adegan menyemprot ludah pada temannya.

Tampak akting yang dilakukan oleh para aktor seperti Supali dan Langgeng slapstik, seperti topi

dicopot dan di lempar sebagai bagian dari atraksi dalam lawak SGW, meskipun lemparan tersebut

adalah pura-pura sebagai ungkapan rasa kesal. Komedi pada umumnya melibatkan pemakaian

topeng-topeng manusia, permainan dengan kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan

manusia (Harrop&Epstein, 1982: 137). Akhirnya akting Supali pada adegan ini menandakan bahwa

gaya aktingnya yang digunakan ialah akting representatasi.

Akting representasi pada dasarnya berusaha untuk mengimitasikan dan mengilustrasikan

tingkah laku karakter. Aktor representasi percaya bahwa bentuk karakter diciptakan untuk dilihat

dan dieksekusi di atas panggung. Dengan kata lain, akting representasi berusaha memindahkan

“pyche” (jiwanya) sendiri untuk mengilustrasikan tingkah laku karakter yang dimainkan sehingga

penonton teralienasi dari si aktor. Tendensi akting representasi adalah formal dan cendrung

mengikuti “fashion” yang ada. Tetapi empati dengan tingkah laku manusia, keikut sertaan emosi

antara aktor dan penonton tidak ada (Sitorus, 2002: 19).

Sebagai bagian dari pendukung perangkat akting, seperti kostum Supali yang berbaju hijau

garis hitam lurus ke bawah, mengenakan udeng batik, celana biru dan bersepatu sandal, property

handphone, dompet dan rokok, seting yang memiliki latar kain biru, lantai karpet hijau dan make-

up korektif. Menunjukkan bahwa lakon SGW ini tampak sederhana dan ingin menghadirkan apa

adanya. Intinya pada lakon SGW ini lebih ditonjolkan ide cerita dan kekuatan para aktor/aktrisnya.

Sehingga apa yang tampak sebagai perangkat untuk membantu akting Supali, tidak bisa dijadikan

sebagai tolok ukur sebagai untuk mengidentifikasi tokoh yang diperankan Supali, karena memang

Supali dalam lakon ini tidak memerankan siapa-siapa, melainkan memerankan dirinya sendiri yang

terkadang berpura-pura menjadi siapa saja yang diinginkannya.

Gambar

Akting Supali saat berdialog dengan Langgeng

(foto koleksi Perdana Record, tahun 2006)

Page 9: AKTING SUPALI DALAM PEMENTASAN YANG BERJUDUL

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Roci Marciano

9 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018

Dalam gaya Supali ketika berakting juga bisa dilihat ketika Ia sengaja melakukan salah

dalam mengucapkan kata, misalnya mengucapkan kata musik menjadi musim atau musir. Hal ini

akhirnya menjadi Cirri khas Supali dalam berakting disetiap pementasannya. Bagaiamana

mempertontonkan suatu kesalahan menjadi tontonan yang menarik, karena didalam bermain

komedi tampak bahwa suatu kesalahan bisa menimbulkan effek lucu pada penonton. Proses yang

mendasari semua kreativitas adalah bahwa setiap tindak penciptaan dimulai dari suatu jenis

impulse. Impulse itu bisa berupa ide, bisa berupa gambar, bisa bermuara dari imajinasi murni, atau

sebagaimana biasanya diasumsikan dalam dunia teater. Bisa berujud respon aktor terahadap teks

drama. Impulse adalah gerak kearah aksi (Harrop&Epstein, 1982: 4).

Keluar masuknya Supali dalam berakting membuat tontonan tidak jenuh untuk disaksikan.

Namun pada adegan dua ini pembahasan belum jelas, artinya belum tampak arah konflik cerita

yang akan dituju, para aktor masih sibuk berbicara dan bercerita melompat-lompat dari topik yang

satu dan topik lainnya, sehingga gagasan cerita belum mengarah seperti judul pementasan. Supali

dan Langgeng masih melucu, meskipun kelucuan yang tampak dengan gaya sarkasme, seperti

Supali yang di dorong mulutnya oleh Langgeng. Adagium “style is the man” mengandung

pengertian bahwa gaya merepresentasikan suatu pendekatan esensial kekehidupan yang

termanifestasi dalam pilihan-pilihan aksi (Harrop&Epstein, 1982: 5).

Selama pertunjukan berlangsung, pengolahan rasa memang tidak bisa dirasakan dalam

pertunjukan, terutama ketika para aktor sibuk dalam dagelannya, atau ketika melucu. Pertunjukan

ini ketika dimulai sudah membawa suasana yang bahagia, yakni munculnya Supali dan Langgeng

dengan menari improvisasi, sehingga ketika pertunjukan berlangsung, yang bisa dirasakan adalah

suasana canda dan tawa, meskipun dalam komedi tersebut disampaikan pesan-pesan moral secara

wajar. Akan tetapi pada saat Supali bernyanyi sholawatan yang nadanya sesuai dengan gending

karawitan, bisa dirasakan adanya rasa yang terolah sebagai perangkat keaktoran Supali. Tidaklah

mudah menyesuaikan nada melalui gending karawitan seperti yang di lakukan oleh Supali ketika

cek nada dengan pengrawit ninano, ninanonane nano. Bisa dirasakan bahwa Supali memang

seorang aktor yang baik olah rasanya. Demonstrasi gesture yang dibuat-buat yang ditampilkan oleh

aktor Supali dan Langgeng yakni, ketika Supali menampilkan gerak robotik pada saat selesainya

lagu sholawatan. Tubuh adalah sumber utama signifikansi, dan sarana untuk memahami hubungan

antara alam dan budaya dalam kehidupan manusia. Kita menggunakan tubuh, wajah, tangan dan

bagian tubuh lainnya untuk merepresentasikan dan mengkomunikasikan maksud, peran, kesan,

Page 10: AKTING SUPALI DALAM PEMENTASAN YANG BERJUDUL

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Roci Marciano

10 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018

kebutuhan dan seterusnya, bukan hanya memberi sinyal untuk kebutuhan biologis (Danesi, 2012:

74).

Pada beberapa pementasan yang banyak bersifat improvisasi, ia selalu membawa ciri

khasnya. Diantaranya menyanyikan lagu populer, qiro’at, dan beberapa campursari-an. Namun

bakat yang sangat menonjol dalam improvisasi musikal ialah memparodikan lirik-lirik lagu. Itu

terjadi pada pementasannya yang lain pula. Hal ini ditandai dengan ketika para aktor berbicara

selalu diiringi dengan gerak tangan yang tidak singkron dengan maksud perkataan, misalnya gerak

tangan yang monoton, tampak bahwa gesture yang hadir dari aktor tidak lahir dari bangunan

perasaan, melainkan tampak bagian dari efek improvisasi. Akting adalah pemeranan aksi-aksi fisik,

dan karenanya menolong aktor memperoleh suatu gambaran kongkrit mengenai bagaimana

seharusnya melakukan pemeranan gaya itu sendiri secara fisik (HarropEpstein, 1982: 11).

Komedi cendrung “bermain-main” dengan apa yang kemungkinan besar menyakitkan, dan

kebutuhan memelihara keseimbangan yang diperlukan, yakni kebutuhan memelihara

(mempertahankan:pen) jarak yang tepat dari realitas yang menyakitkan. Suatu pendekatan lincah

dan jenaka namun sama sekali serius, membuat pemeran komedi itu sendiri menjadi barangkali tes

terbesar terhadap kemampuan seorang aktor (Harrop&Epstein, 1982: 138). Tubuh Supali ketika

menari juga sesekali menggunakan kiting tangan yang biasanya di tarikan oleh para penari Jawa.

Jogged-joged dilakukan secara improvisasi seperti gerakan pantomim, dan pada adegan dua ini

suasana yang dihadirkan masih berkutat pada kegembiraan, masih melucu dan cerita belum

menyinggung tema yang akan disampaikan. Komedi itu sendiri berkisar mulai dari bentuk humor

fisik yang paling kasar dan paling kasual sampai kepada pengekspresian kata-kata jenaka intelektual

yang paling elegan. Komedy rendah (low comedy) ke komedi tinggi (high comedi), farce kekomedi

tata karma (comedy of manners) (Harrop & Epstein, 1982: 137).

Aksi karikatural Supali yang membuat penonton tertawa terbahak, juga didukung pada

adegan saat Supali menyanyi lagu dangdut yang berjudul cup-cup dikecup. Supali mencium pipi

Langgeng dua kali hingga kemudian mencium ketiak Langgeng. Karena Langgeng curiga bahwa

Supali menciumnya dua kali secara berulang-ulang, dengan gaya dan posisi yang sama. Fokus

komedi adalah mengacaukan dan memulihkan “ekwilibrium” sang tokoh protagonist, kemenangan

sang protagonist oleh karena kecakapan verbal, kebertuntungan atau kekuatan. Atau penerimaan

kesialan oleh humor filosofis atau ironis (Harrop&&Epstein, 1982: 137). Supali dan Langgeng

saling bernyanyi dan kemudian mempraktekkan adegan dari setiap lagu yang dinyanyikan, pada

Page 11: AKTING SUPALI DALAM PEMENTASAN YANG BERJUDUL

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Roci Marciano

11 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018

saat adegan inilah terdengar bahwa suara Supali termasuk pada kategori bagus dan indah bila

didengarkan, meskipun gerak tangannya diulang-ulang.

Di dalam drama terdapat beberapa ide yang tidak sama, pengarang mewujudkannya dalam

bentuk watak-watak yang berbeda sehingga terjadilah penokohan. Seorang tokoh bergerak di atas

panggung oleh dorongan motivasi yang kemudian berkembang menjadi perbuatan atau watak yang

bisa diamati melalui identifikasi tokoh secara makhluk sosial, dan perwatakan tokoh dapat di

maknai apakah Flat Character (perwatakan dasar) atau Round Character (perwatakan bulat)

(Satoto, 2012: 44). Seperti yang dikatakan Evan Darwin Winet dalam penelitiannya terhadap gaya

akting di Indonesia bisa dilacak pada kutipan di bawah ini: “Sani looked to Konstantin Stanislavsky

as the answer to Ismail’s failure to discover a productive middle ground between technique and

spontaneity. He began his formal theatre studies with a brief sojourn at the Theaterschool of the

Hogeschool voor de Kunsten in Amsterdam in 1952 (Rosidi and Sani, 1997: xv). Either here or on

subsequent trips to the United States in 1954 (to Harvard) and 1956 (to the University of Southern

California), he became convinced that Indonesia’s path to its own version of Italian neorealism

depended on a Stanislavskian approach to akting. It can be surmised that he was drawn to

American Method more specifically at the time of his extended study of dramaturgy and

cinematography at USC in Los Angeles in 1956 (1997: xvii). Indeed, the akting manuals that

formed the canon of the Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI, Indonesian National Theatre

Academy) through Sani’s translations (Richard Boleslavsky’s The First Six Lesson) and

Stanislavsky’s American trilogy – An Actor Prepares, Building a Character and Creating a Role)

indicate that he followed the American, rather than the Russian or even European textual

traditions.12 Sani was not content, however, simply to translate. Through his philosophical

commitments to individualism, existentialism and postcolonial cultural nationalism, he developed a

unique understanding of American Method acting as indispensable to the Indonesian national

project. As head of Indonesia’s leading theatre academy, Sani built the entire training program

around this understanding (Winet, 210: 134)”

Joseph Chaikin, telah mencatat bahwa “gaya teater adalah berinterkoneksi dengan gaya

hidup dan gaya fikir, segala yang kita lihat membawa suatu rekomendasi untuk dilihat di dalam

suatu system persepsi tertentu (Harrop, 1982: 7). Pada adegan tiga ini Supali masih berperan dengan

gaya flat karakter, karena belum tampak transisi akting yang menonjol, aksi yang dilakukan ialah

mempraktekkan sinchan kartun Jepang yang sempat popular di layar kaca, sehingga yang bisa

dirasakan dan didengar sebagai akting Supali ialah pada olah suara.

Page 12: AKTING SUPALI DALAM PEMENTASAN YANG BERJUDUL

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Roci Marciano

12 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018

Saat Supali berakting ngambek, dengan spontan Ia berajalan bergaya seolah-olah seorang

model, aktingnya ini kemudian disebut juga dengan split akting, namun aksi yang dilakukan hanya

bersifat untuk memberi efek lucu pada penonton. Berbeda menurut penulis, bila diamati lebih detil

bahwa disinilah tampak kekuatan Supali sebagai seorang aktor ludruk. Ludruk tidak akan mampu

berkembang pesat dan bisa diterima oleh masyarakat luas jika orang-orang yang menaunginya tidak

mempunyai strategi penyampaian yang baik, untuk itu perlu diadakan pementasan yang terkemas

rapi dan menarik agar penyampaian kesenian tradisional ludruk bisa diwujudkan (Supriyanto, 2001:

7).

Gaya perwujudan eksternal suatu esensi internal, yang dengan sendirinya ditentukan oleh

pelbagai respon warisan dan lingkungan atau keadaan tertentu. (Harrop&Epstein, 1982: 5). Namun

pada adegan ini, ada satu hal yang kemudian menjadi hal menarik sebagai teknik akting Supali,

yakni pada saat Ia menatap kearah luar dan akting Supali seoalah-olah sedang melihat motor yang

Ia parkir, bahkan PS sebagai lawan bermainnya, sempat terkecoh dan tidak menduga bahwa apa

yang dimaksud Supali adalah sesuatu bercanda.

Penilaian ini akhirnya mengamati bahwa Supali mampu memberi sugesti dalam aktingnya

meskipun kemudian akting tersebut dipatahkan kembali. Setelah berakting dengan tatapan imaji

tersebut, kemudian Supali keluar dengan kalimat penutup bahwa Ia ingin membicarakan soal

niatnya pada orang tua perihal keinginannya untuk menikah, dan Ia juga berpesan kepada pacarnya

agar membicarakan persoalan pernikahan mereka kepada kedua orang tuanya.

Pengadeganan ini menjadi lucu dan bertambah seru karena terjadi perdebatan yang ganjil

melihat anak dan ibu sama tuanya yakni Supali dan IS. Akting yang muncul dari masing-masing

aktor tampak berpura-pura kaget karena Supali belum disunat, dengan pura-pura menampilkan rasa

sedih, PS cukup kecewa mengingat mengapa sampai setua ini Supali belum disunat. Akting yang

muncul dalam pengadeganan ini tidak menunjukkan kesungguhan dalam penyesalan, baik itu dari

PS maupun dari Supali itu sendiri. Seperti yang diungkapkan Harrop menyatakan: “The

‘temperance’, the focus and control are a function of the skill with which an actor creates a sign;

usually by the use of gestures: the doing of some physical activity, including speaking. The right

gesture will be the precise, integrated centre of everything taking place on stage at that moment. It

will have an inevitability in the way in which it illustrates the essence of the moment of action as

intuited by the playwright. It is calculated, but appears effortless—yet another of the dichotomies of

theatre.It will be the right choice, at the right moment, with the right dynamics. It will be articulated

Page 13: AKTING SUPALI DALAM PEMENTASAN YANG BERJUDUL

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Roci Marciano

13 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018

so as to command attention, while integrated to appear to have arisen unconsciously from the

character’s needs: a perfect balance of life and art” (Harrop, 2005: 45).

Tidak ada rasa takut untuk tidak menikah yang dialami Supali, secara tidak langsung aktor

bahkan Supali, hanya menyampaikan pesan cerita saja dalam pementasan ini, meskipun sesekali

mengeluarkan kehebatan aktingnya. Namun dari aktingnya tersebut tidak tampak bahwa Ia

konsisten mempertahankan karakter tokohnya yakni dirinya sendiri, namun dengan kemampuan

olah tubuh dan rasa, diketahui bahwa Supali memiliki ketrampilan akting yang mempesona dengan

kelucuannya.

1096 Ibu Supali : loh kok rencana? Lah awakmu wes tau lapo lapo ta ? / lah kok

rencana? Lah kamu sudah pernah ngapa ngapain ta ?

1097 Supali : loh yo dorong , mankane menikah terus ngunu hamil / lah ya belum,

mangkanya menikah terus begitu hamil

1098 Ibu Supali : mangkane... Wes ojok nak . Nek isok sunnato disik baru rabi /

mangkanyaa.. Wes jangan nak. Kalau bisa kamu khitan dulu baru

menikah

1099 Supali : loh lah yo opo rek .. Wong arek’e wes nuntut perkawinan’e / loh lah

gimana rek.. Wong anaknya sudah menuntut perkawinan’e

1100 Ibu Supali : Ibu Supali : waduh.. Lak bengong seh emak iki. / waduh.. Kan

ya bingung sih emak ini

1101 Supali : lah terus yo opo iki? / lah terus gimana ini?

1102 Ibu Supali lah kate rabi disik terus sunnat ngunu ta / lah mau nikah dulu terus

khitan begitu ta

1103 Supali : lah nanggap wayang iko lak gak sunnatku ta / loh sewa wayang dulu

itu kan khitanku ta

1104 Ibu Supali : ooo iko ta / ooo dulu itu ta

1105 Supali : lah iko.. / lah dulu itu

1106 Ibu Supali : sunat’e bapakmu ehehehe... Kok sunat’e bapakmu .. Kon iki kok ero

nek sunat nanggap wayang iku durung nak.. / khitannya bapak kamu

ehehehe... Kok khitannya bapak kamu.. Kamu ini kok tau kalau

khitan sewa wayang itu belum nak

1107 Supali : wes lah mak gak usah sunat gak opo opo tah mak / sudah lah mak

nggak usah khitan nggak apa apa lah mak

Page 14: AKTING SUPALI DALAM PEMENTASAN YANG BERJUDUL

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Roci Marciano

14 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018

1108 Ibu Supali : ndoh yo opo se / loh gimana seh?

Pada saat hadirnya klimaks ini, tidak tampak tanda-tanda akting di dalam diri aktor, bahkan

Supali, baik itu akting panik, bingung, dan berusaha mencari ide untuk menyelesaikan

permasalahan, akan tetapi para pemeran dalam pementasan SGW membawakannya lebih bersahaja

yakni dalam suasana canda tawa. Muncul dalam lakon klimaks tentu saja dibutuhkan ada solusi

untuk menyelesaikan permasalahannya. Solusinya ialah Ibu Supali memerintahkan Langgeng

memanggil calak, agar Supali bisa menikah, tetapi konflik disikapi dengan komedi sehingga yang

hadir adalah suasana lucu meskipun keadaan seharusnya tegang, di mana Supali sudah mulai

Gendeng Wedokan.

E. KESIMPULAN

Berdasarkan keseluruhan uraian yang telah dilakukan dalam bentuk anlisis di atas, jawaban

atas pertanyaan penelitian dalam rumusan masalah yang telah di paparkan adalah sebagai berikut.

Pertama, gaya akting Supali dalam pementasan “Supali Gendeng Wedokan” pada pertunjukan yang

di produksi Perdana REcord merupakan akting representasi yang memuat banyak unsure gaya

akting yang bisa diaplikasikan dalam satu-waktu pementasan. Penulis juga melihat bahwa Supali

melakukan mix-akting dalam pengaplikasiannya saat memerankan suatu tokoh, baik itu tokoh yang

di luar dirinya, maupun memainkan tokoh dirinya sendiri. Secara gaya akting Supali tampak lebih

mendominasi gaya karikatural. Dalam beberapa sesi juga bisa terlihat akting Supali seperti dalam

teater realisme yang bercampur dengan unsur-unsur teater Barat. Berkat kepintarannya dalam

mengolah akting tersebut secara stilisasi, maka akting Supali mampu menimbulkan efek alienasi

pada penonton.

Melalui pemeranan improvisasi ini pula secara tidak langsung Supali bermain tidak berada

dibawah tekanan, dimana harus berkonsentrasi menjaga pikiran-pikiran tokoh, seperti dalam teater

modern yang berangkat dari naskah lakon. Pemeranan secara improvisasi inilah yang kemudian

membuat Supali tampak tenang dan wajar dalam menyampaikan pesan-pesan kebaikan saat

berakting. Kritik sosial yang dipaparkan Supali dalam pementasan lakon SGW ini juga berjalan

dengan lancar, meskipun kritik sosial tersebut tidak disampaikan secara fulgar, akan tetapi Supali

cukup berhasil menjadi contoh yang baik ketika memerankan dirinya dalam pementasan SGW.

Banyak pesan kebaikan yang bisa diterima oleh penonton saat Supali berakting, hal ini tentu saja

didukung berkat gaya akting Supali yang memerankan tokohnya secara representasi.

Page 15: AKTING SUPALI DALAM PEMENTASAN YANG BERJUDUL

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Roci Marciano

15 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018

Kedua ialah, kontribusi apa yang diberikan oleh Supali saat berperan dalam lakon “Supali

Gendeng Wedokan” terhadap penonton? Pertanyaan ini tentu saja bisa ditemukan karena telah

melakukan analisis struktur dan tekstur lakon SGW, serta berdasarkan analisis gaya akting Supali

yang telah di paparkan. Dalam pementasan ini, banyak memuat kritik sosial, terutama pada lakon

yang menggambarkan sifat serta karakter masyarakat Jawa Timur yang lebih terbuka, dan tidak

menjauhkan diri dari kekuasaan Ilahi saat ingin menyelesaikan permasalahan. Hal ini bisa dilihat,

didengar dan dirasakan, bahwa betapa pengetahuan Supali tentang agama juga tidak perlu

diragukan, terlepas dari bagaimana Supali mengaplikasikan kepribadiannya dalam kehidupan

realitas, akan tetapi secara tidak langsung, dengan pengetahuan Supali yang hapal ayat-ayat Al

Quran, setidaknya Supali telah menjadi bukti bahwa iqra’ itu penting, dan membawa pengetahuan

religiusnya di atas panggung.

Isu sosial yang berkaitan dengan persoalan pribadi seperti khitan kemudian hanya sebagai

pengantar dan cara untuk menyampaikan pesan-pesan moral yang dimuat dalam lakon SGW.

Banyak yang bisa dipetik setelah menyaksikan lakon SGW ini di antaranya ialah, bagaimana

memperat tali persahabatan yang dicontohkan dalam tokoh antara Supali dan langgeng, melihat

kesetian Supali pada sang pacar, patuhnya Supali pada IS dan mempercayai bahwa khitan sebagai

sesuatu keharusan dan kebaikan yang harus dilakukan agar pernikahan bisa berjalan sesuai seperti

apa yang diinginkan. Kontribusi Supali saat berperan dalam lakon SGW juga bisa dirasakan bahwa

menyampaikan pesan kebaikan bisa disajikan secara komedi. Permasalahan yang dipaparkan dalam

lakon ini secara simbolik mampu melintasi ruang dan waktu.

DAFTAR PUSTAKA

Acmad, A. Kasim. Mengenal Teater Tradisional di Indonesia. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

2006.

______,___. Pendidikan Seni Teater, Buku Guru Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Departemen

Pendidikan Dan Kebudayaan. PT. Tema Baru. 1990.

Danesi, Marcel. Pesan, Tanda, dan Makna, Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori

Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. 2012.

Donna, Soto-Morettini. The Philosophical Actor A Practical Meditation For Practicing Theatre

Artists. USA: Intellect, The University of Chicago Press. 2010.

Harrop, John. Akting Theatre concepts series. London: This edition published in the Taylor &

Francis e-Library, 2005.

Page 16: AKTING SUPALI DALAM PEMENTASAN YANG BERJUDUL

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Roci Marciano

16 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018

______,____& Epstein, Sabin R. Acting With Style (1982). Diterjemahkan oleh Yudiaryani.

Jurusan Teater, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta. 2008.

Kasemin, Kasiyanto. Ludruk Sebagai Teater Sosial, Kajian Kritis Terhadap Kehidupan, Peran dan

Fungsi Ludruk Sebagai Media Komunikasi. Surabaya: Airlangga University Press, 1999.

Kyrbi, Michael. “On Acting and Not-Acting” dalam Philip B. Zarrilli (ed.), Acting (Re)

Considered. London & New York: Routledge 1998. Diindonesiakan oleh Teuku

Ferdiansyah Tadjib & Landung Simatupang.

Peacock, James L. Ritus Modernisasi Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia, Depok:

Penerbit Desantara, 1968.

Satoto, Soediro. Analisis Drama Dan Teater. Yogyakarta: Ombak (Anggota IKAPI). 2012.

_____,_______. Analisis Drama Dan Teater Jilid 2. Yogyakarta: Ombak (Anggota IKAPI). 2012.

Scholes, Robert. Semiotic and Interpretation. New Haven and London: Yale University Press.

1982.

Supriyanto, Henri. Ludruk Jawa Timur, Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Manajemen dan

Himpunan Lakon. Jawa Timur: Dinas P dan K Provinsi Jawa Timur, 2001.

_________, Kidungan Ludruk. Malang: Pemerintah Jawa Timur Bekerja Sama Dengan Widya

Wacana Nusantara (Wicara), 2004.

Sahid, Nur. Interkulturalisme Dalam Teater. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia. 2000.

_________. Semiotika Teater. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

2004.

_________. Sosiologi Teater. Yogyakarta: Prastista. 2008.

_________. Estetika Teater Gandrik Yogyakarta Era Orde Baru Kajian Sosiologi Seni.

Yogyakarta: Badan Penerbit Institut Seni Indonesia Yogyakarta. 2013.

_________. Semiotika Untuk Teter, Tari, Wayang Purwa, dan Film. Yogyakarta: Gigih Pustaka

Mandiri. 2016.

Sitorus, Eka D. The Art Of Acting, Seni Peran Untuk Teater, Film dan TV. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka. 2002.

Sumardjo, Jakob. Perkembangan Teater dan Drama Indonesia. Bandung: STSI Press. 1997.

Susasnto, Eko Edy. Ludruk Karya Budaya, Mbeber Urip. Mojokerto: Paguyuban Ludruk Karya

Budaya Mojokerto. 2014.

Winet, Evan Darwin. Indonesian Postcolonial Theatre Spectral Genealogies and Absent Faces,

Studies In International Performance. New York: Palgrave Macmillan. 2010.