akasia dalam masa malaise

Upload: rio-mastri

Post on 03-Mar-2016

123 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

menceritakan tentang ketahanan akasia dalam masa malaise

TRANSCRIPT

82

BAB IPENDAHULUANA. Latar belakang masalah

Sumatera Barat telah lama dikenal sebagai penghasil rempah-rempah dan bahan mineral, bandar-bandar pelabuhan di sepanjang pesisir pantai barat Sumatera seperti Tiku, Ulakan, Pariaman, Padang, Salido, dan Inderapura telah memberikan kontribusi yang besar dalam sistem perdagangan di kawasan Sumatera Westkust yang telah menjadi tempat kegiatan ekspor-impor selama beberapa abad.

Kehidupan ekonomi masyarakat Minangkabau setelah kedatangan kolonial Belanda bertumpu pada sektor perdagangan international dan pertanian. Di sektor perdagangan komoditi hasil alam Minangkabau, yang mana telah merubah struktur sosial dan ekonomi masyarakat Minangkabau secara bertahap.

Sebelum depresi ekonomi melanda, Hindia-Belanda sedang mengalami pertumbuhan ekonomi. Hal ini tampak pada perkembangan perusahaan-perusahaan dagang di Hindia-Belanda. Perusahaan mengalami kemajuan pesat dan keuntungan berlipat ganda disebabkan oleh permintaan besar terhadap produksi di Hindia-Belanda. Pemerintah Hindia-Belanda berupaya menunjukkan bahwa daerah koloninya merupakan wilayah yang terbuka bagi ekonomi dunia, dengan cara pemerintah Hindia-Belanda berusaha menambah produksi.Tabel 1Tabel Harga Hasil Komoditi Ekspor Sumatera Westkust di Pasar Padang pada Periode Malaise 1926-1929Hasil Komoditi1926192719281929

Jan- JunJul DesJan-JunJul DesJan- JunJul- DesJan-JunJul-Des

Kopi41 f40 f39 f39 f40 f42 f39 f39 f

Akasia32 f30 f26 f26 f25 f26 f20 f19 f

Kopra16 f17 f15 f15 f14 f14 f15 f15 f

Pala35 f35 f35 f41 f35 f33 f30 f28 f

Gambir40 f45 f42 f48 f43 f44 f35 f36 f

Sumber : Rekapitulasi Surat Kabar Tani edisi 1926-1929 arsip koleksi

perpustakaan PDIKM Padang Panjang.Meningkatnya perdagangan di Hindia-Belanda juga memberi dampak dengan meningkatnya mentalitas ekonomi masyarakat Minangkabau. Akibat perdagangan yang berorientasi global, semakin membuat produksi hasil alam Minangkabau banyak diminati seperti kopi, akasia, getah, gambir dan tanaman komoditi ekspor lainnya. Yang menjadikan kawasan Sumatera Westkust sebagai ladang penghasilan yang menguntungkan bagi pemerintah Hindia-Belanda.Namun terjadinya krisis malaise pada 1930 berdampak terhadap hasil perdagangan masyarakat di Hindia-Belanda. Pola kehidupan masyarakat berubah disebabkan kondisi keuangan yang sulit pada masa itu. Aktivitas perdagangan menjadi lesu dan kebijakan devaluasi yang dilakukan pemerintah Hindia-Belanda dianggap gagal karena dalam kenyataannya tidak mungkin menurunkan biaya dan pengeluaran sesuai dengan menurunnya hasil produksi dan pemasukan. Merosotnya komoditi perdagangan di Hindia-Belanda, terutama daerah Sumatera Westkusts yang merupakan salah satu pilar penting daerah produksi Hindia-Belanda seperti kopi, akasia, gambir dan kopra, yang menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial ekonomi masyarakat di Sumatera Westkust khususnya.Di daerah Sumatra Westkust perdagangan dan pertanian merupakan mata pencaharian utama anak negeri, masyarakat menggantungkan hidup dengan mengandalkan komoditi kopi, karet, dan kopra. Namun ketika depresi meleset menghempaskan komoditi ekspor Minangkabau ke titik terendah membuat ekonomi masyarakat terpuruk dalam kemiskinan dan pengganguran.

Perdagangan kopi yang selama berpuluh-puluh tahun telah mampu merubah kondisi ekonomi masyarakat Minangkabau tidak bisa diharapkan lagi. Menumpuknya jumlah persediaan kopi membuat pemerintah Hindia-Belanda pada masa itu terpaksa membuang berton-ton kopi ke laut dan ada juga yang dibakar. Terjadinya penumpukan produksi akibat para kapitalis Belanda mengeksploitasi kopi sebelum krisis melanda.

Hal ini juga berlaku untuk komoditi lain seperti kopra, getah dan tebu yang mengalami penumpukan produksi dan banyaknya biaya yang harus dikeluarkan sehingga jumlah produksi yang menumpuk dan pemerintah Hindia-Belanda harus menyetujui perjanjian Chadbourne, yaitu pembatasan jumlah produksi untuk komoditi tebu dan karet. Namun tidak semua komoditi ekspor Alam Minangkabau jatuh tapai, ada hasil alam Minangkabau yang masih bisa diperdagangakan dan dapat menjadi penyelamat juga menjadi nilai tambah ekonomi masyarakat pada masa krisis, yaitu akasia. Akasia merupakan komoditi terbaik setelah kopi dan juga banyak digemari oleh pedagang asing, yang mana pembudayaan tanaman ini di daerah pedalaman tidak banyak membutuhkan tenaga dan biaya.Perdagangan akasia di Minangkabau cenderung tidak terlalu terpengaruhi oleh krisis malaise, dan menjadi pembeda sekaligus memiliki gerak tersendiri dalam ekonomi perdagangan komoditi ekspor di Minangkabau. Hal ini disebabkan karena perdagangan akasia di Minangkabau tidak mengalami apa yang disebut Over Productie atau melimpahnya persediaan. Hal ini disebabkan karena sistem produksi tanaman akasia memiliki proses yang berbeda dengan tanaman ekspor lainnya. Untuk memproduksi akasia siap panen membutuhkan waktu 6 sampai 8 tahun, dan itu hanya bisa sekali panen tidak berkelanjutan seperti komoditi kopi, karet, dan teh. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk produksi akasia membuat perdagangan akasia Minangkabau memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sistem produksi masyarakat pedalaman yang mana sistem produksinya juga tidak merata. Dengan rentang waktu yang cukup lama tersebut sehingga hasil produksi akasia tidaklah datang ke pasar dengan jumlah yang berlimpah-limpah.Ketidakmerataan sistem produksi akasia pada daerah-daerah di pedalaman Minangkabau juga menjadi faktor yang menentukan hasil produksi, hal ini disatu sisi telah memberikan sebuah ciri khas dan perbedaan produksi akasia dengan tanaman kopi, karet, dan tebu. Sebelum malaise melanda, perhatian masyarakat pada tanaman akasia hanyalah dianggap sebagai budidaya sukarela masyarakat pedalaman.

Namun hal ini berubah ketika kopi, getah, tebu dan gula tidak bisa diandalkan lagi untuk diperdagangkan, tetapi tanaman akasia dengan ciri khas tersendiri dari sistem produksinya telah memberikan perbedaan terhadap ekonomi masyarakat pada masa krisis ekonomi malaise. Proses produksi akasia yang tidak merata di daerah pedalaman Minangkabau, dan hanya pada daerah tertentu saja yang menghasilkan akasia seperti kawasan Afdeling Agam dan Afdeling Tanah Datar yang telah memberikan beberapa keuntungan kepada penduduk setempat yang memanfaatkan akasia pada masa malaise. Para petani dan pedagang mampu mencari celah atau alternatif lain selain kopi, gambir dan kopra yang harganya turun saat krisis malaise melanda. Salah satu cara yang telah mereka lakukan adalah dengan meningkatkan intensitas perdagangan akasia pada masa malaise, disatu sisi mendorong masyarakat untuk tetap mempertahankan perdagangan yang berorientasi ekspor walaupun beberapa daerah di Jawa pada masa itu masyarakatnya kembali ke tanaman subsistensi.Sedangkan di Minangkabau pola perdagangannya tidak sama dengan di jawa, di jawa perdagangan hanya fokus dilakukan pada satu komoditas saja. Dan di Minangkabau masyarakatnya tidak bisa hanya memperdagangkan dan terfokus pada satu hasil komoditi saja. Di bawah berikut peneliti memberikan gambaran tabel harga perbandingan antara komoditas Kopi dan Akasia pada masa Malaise yang di ekspor di pasar Padang.Tabel 2Perbandingan Harga Akasia dengan Kopi di Pasar Padang pada Periode Malaise 1930-1935Hasil Komoditi193019311932193319341935

Jan- JunJul - DesJan-JunJul DesJan- JunJul- DesJan-JunJul-DesJan-JulJul-DesJanJunJul-Des

Aka-

Sia19 f18 f18 f14 f16 f15 f17 f16 f17 f18 f19 f19 f

Kopi18 f19 f17 f15 f15 f17 f14 f12 f13 f14 f14f12 f

Sumber : Hasil rekapitulasi surat kabar Tani periode 1930-1935 arsip perpustakaan PDIKM Padang PanjangDari data diatas dapat dilihat, bahwa pada tahun-tahun awal terjadinya krisis ekonomi malaise harga jual komoditas akasia dapat melebihi kopi, walaupun memiliki perbandingan harga yang tipis. Walaupun pada tahun-tahun awal selama terjadinya krisis malaise harga akasia sempat beberapa kali mengalami penurunan, namun pada pertengahan terjadinya krisis malaise harga akasia lebih mendominasi dibandingkan kopi. Hal ini sedikit memberikan gambaran bahwa perdagangan akasia telah mengalami pergeseran selama masa malaise, sebelumnya para pedagang hanya menjual produksi akasia kepada toke (pengumpul di pelabuhan) dengan harga pasaran yang telah ditentukan di pasaran. Namun seiring terjadinya krisis malaise pedagangan akasia tidak lagi dilakukan seperti biasa, taktik perdagangan yang di jalankan di pasar dengan melonjakan harga ketika akasia sedikit di pasaran. Akibat banyaknya hasil yang ditahan oleh masyarakat dipedalaman, sehingga ketika harga dinaikkan, maka berbondong-bondonglah akasia didatangkan ke pasar, namun justru sebaliknya ketika produksi akasia banyak maka harga di pasar dibanting turun. Begitupula yang dilakukan oleh para pedagang atau tuan-tuan tengkulak dengan para pedagang Amerika dan Eropa untuk memenuhi kontak-kontrak perjanjian dagang mereka. Perdagangan Akasia telah menjadi ekonomi alternatif bagi para petani dan pedagang pada masa krisis ekonomi Malaise di daerah pedalaman, terutama kawasan dataran tinggi Agam dan Tanah Datar. Dan para petanipun dipedalaman memiliki peranan penting untuk harga atas komoditi akasia. Para petani tidak akan mau menjual dengan harga yang murah, sehingga para petani memilih untuk menumpuk produksinya di daerah pedalaman, supaya para pedagang atau pengumpul membelinya dengan harga yang tinggi.

Pola perdagangan yang dilakukan oleh petani-pedagang dari daerah pedalaman memiliki peran khusus dalam dinamika daerah rantau dan daerah darek, petani-pedagang umumnya memiliki lahan dan menghasilkan produksi pertanian sendiri. Petani-pedagang dari daerah darek membawa barang dagangannya dengan menggunakan pedati, walaupun juga ada yang berjalan kaki lengkap dengan perlengkapan barang daganganya menuju pelabuhan. Mereka menempuh jarak yang jauh dan akan singgah di daerah yang mereka lalui untuk menjual bahkan membeli barang dagangan yang baru seperti Akasia, kopi, gambir, pala dan padi. Biasanya mereka akan menetap 4 sampai 5 bulan di daerah pesisir untuk berdagang dan juga tidak heran kelas pedagang seperti ini memiliki banyak istri untuk sekurang-kurang mencari tempat bermalam. Setelah barang dagangan habis maka mereka akan kembali lagi pedalaman untuk memanen hasil pertanian dan biasanya mereka akan lebih lama di daerah pedalaman dibandingkan daerah pesisir.Tak jarang banyak di antara para kelas petani-pedagang ini sukses menjadi saudagar yang makmur, salah seorang tokoh yang terkenal pada abad ke 19 yaitu Pato Rajo yang berdomisili di Pariaman, Pato Rajo yang kedua orang tuanya berasal dari daerah Agam memulai usaha dengan modal hanya dua ringgit meriam, dengan modal tersebut Pato rajo berdagan kulit manis, kulit kerbau dan barang keperluan sehari-hari berangkat menuju daerah Pariaman, karena kejujurannya Pato Rajo mendapat kepercayaan dari orang-orang Belanda untuk dilibatkan dalam perdagangan kulit manis dan garam yang telah di monopoli oleh Belanda. Hingga akhirnya Pato Rajo mempunyai kekayaan sebesar 100.000 rial atau sama dengan F 2 (dua Florin Spanyol ) sayangnya akibat gaya hidup Pato Rajo yang berfoya-foya dan juga banyak istri membuat kekayaannya merosot. Di Hindia-Belanda hanya Sumatera Westkust sajalah yang menghasilkan akasia, dan di Minangkabau sendiri tanaman ini tumbuh liar sekitar dataran tinggi luhak Agam dan Tanah Datar, Akasia yang tumbuh di dataran ini ialah Akasia yang berjenis (Cinnamomum Burmannii)atau di pasaran eropa dikenal dengan Kaneel Cassia Padang. Daerah penghasil akasia di dataran tinggi Minangkabau yaitu daerah Agam seperti Malalak, Canduang dan kawasan lembah Tanah Datar didominasi oleh daerah yang subur Sungai Jambu, Batipuah, Sikaladi, batu taba dan daerah III koto (Turawan, Padang Luar, dan Galogandang) daerah penghasil komoditi ini memiliki kultur masyarakat berdagang dan merantau yang kuat. Di kawasan ini tanaman subsistensi dan eksporpun diproduksi secara berdampingan dan akan di perdagangakan pada setiap hari pakan (pasar) seperti pakan senayan di Simabur, Pakan Sabtu di Balimbing, dan pakan Selasa di Rambatan. Selanjutnya hasil tanaman ekspor dibawa ke pelabuhan melalui jalur darat. dan juga menggunakan jalur laut dari Bandar-bandar pelabuhan Tiku, Pariaman untuk dibawa ke Padang (Teluk Bayur).Sedangkan di daerah Agam yang mana merupakan penghasil kualitas akasia terbaik di pedalaman Minangkabau memiliki lahan yang curam dan terjal dan tidak memungkinkan untuk menggantungkan kehidupan di sektor tanaman padi sawah, sehingga tanaman ekspor pun menjadi pilihan utama, dengan akses jalan yang dekat ke pantai barat sumatera ekonomi perdagangan Agam sangat tinggi intensitasnya dan juga banyak memunculkan kelas petani-pedagang yang sukses menjadi saudagar yang kaya.

Tanah-tanah lereng dan perbukitan telah dimanfaatkan oleh masyarakat Agam dengan menanam tanaman akasia, pemanfaatan tanah perbukitan dan lereng tersebut membuka kesempatan bagi masyarakat akan sumber tanaman baru dan pergeseran budidaya kopi ke budidaya tanaman ekspor dan akasia salah satunya, pembudidayaan akasia tidak membutuhkan biaya dan modal yang besar untuk perwatannya tidak seperti tanaman kopi, karet,dan gambir. Hal ini pulalah yang membuat masyarakat menyukai budidaya ini, dan memang benar-benar mampu meringankan masyarakat pada masa-masa sulit.Dengan ciri khas tersendiri dari perdagangan akasia di Sumatera Westkust pada masa malaise, beberapa periode telah menunjukan bagaimana perdagangan akasia memberikan kesejukan ditengah-tengah krisis yang melanda, walaupun sedikit akan tetapi sangat berarti pada masa-masa sulit, yang mana hal ini tidak mampu diberikan oleh komoditi ekspor utama seperti kopi, getah,dan kopra. Perdagangan akasia menjadi salah satu alternatif jalan yang telah membantu perekonomian masyarakat ketika harga kopi jatuh akibat krisis malaise, dan produksi karet mengalami masalah yang berbedabanyaknya biaya yang dibutuhkan dan pemerintah tidak sanggup untuk mengatur jumlah produksinya. Dan juga perdagangan gula yang menumpuk produksinya, akibat sistem kapitalis Belanda yang membuat kopi, karet,dan gula dengan mengekploitasi secara besar-besaran yang mengakibatkan terjadinya kelebihan produksi (over produksi). Namun perdagangan akasia mendapat perhatian dari mayarakat pedalaman sebagai komoditi utama untuk menggantikan pedagangan kopi. Yang mana seperti diketahui bahwa perdagangan kopi sebelum malaise di Sumatera Westkust telah banyak mendatangkan keuntungan bagi kedua pihak, baik pemerintah Belanda maupun masyarakat Minangkabau yang berada di pedalaman.

Dengan hal ini perdagangan akasia di Sumatera Westkust pada masa krisis malaise telah mampu memberikan warna tersendiri dalam sosial-ekonomi masyarakat Minangkabau dan peneliti tertarik untuk menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul Perdagangan Accasia Kulit Manis di kawasan pedalaman Sumatera Westkust pada masa krisis ekonomi Malaise 1930-1935.B. Rumusan Dan Batasan Masalah1. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penelitian yang mana keterlibatan masyarakat Minangkabau terhadap perubahan sosial dan pengembangan ekonomi lokal, telah membawa masyarakat pedalaman Minangkabau ke dalam tahapan dimana lahirnya mental ekonomi masyarakat pedalaman yang mana membedakannya dengan masyarakat pedalaman lainnya, dan meningkatnya individulitas dengan di dukung ciri khas masyarakat Minangkabau yang dinamis dan suka berdagang telah melibatkan mereka secara langsung maupun tidak langsung dalam percaturan perdagangan international.

Produksi akasia atau kayu manis di Sumatera Barat telah memberikan warna tersendiri dan memiliki ruang geraknya sendiri dalam perdagangan international, terutama pada masa-masa sulit akibat depresi ekonomi malaise pada masa Hindia-Belanda. Yang mana sebelumnya akasia tidak mendapat perhatian yang utama sebelum masa malaise hal ini disebabkan sistem kapitalisme dan konjungtur perekonomian masyarakat yang dipengaruhi oleh kekuatan politik ekonomi Kolonial.

Untuk memfokuskan rumusan masalah dari penelitian di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian.

1. Bagaimana pola dan jaringan perdagangan akasia didaerah pedalaman Sumatera Westkust pada masa malaise.?

2. Bagaimana kondisi sosial-ekonomi petani dan pedagangpada masa malaise.?2. Batasan Masalah

Dikarenakan banyaknya kendala yang dihadapi peneliti dalam penelitian ini, dan supaya penulisan tidak keluar dari konteks yang telah di tentukan maka batasan temporal dari topik penelitian diatas adalah 1930 sampai 1935 yang mana pada tahun 1930, mulainya depresi ekonomi malaise melanda negara-negara produsen termasuk Hindia-Belanda, yang mengakibatkan jatuhnya produksi perdagangan international. Dan 1935 mulai membaiknya keadaan perdagangan internasional pasca malaise.

Sedangkan batasan spatial dalam topik penelitian ini adalah daerah Sumatera Westkust yang meliputi daerah pesisir (Padangsche Benenlanden) dan daerah pedalaman Minangkabau (Padangsche Bovenlanden).C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah.

Untuk memberikan gambaran bagaimana perdagangan akasia atau kayu manis mempengaruhi sistem ekonomi masyarakat Minangkabau dan memiliki dampak terhadap ekonomi masyarakat pada masa krisis malaise.2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitan atas sebagai berikut :

1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan kajian sejarah, khususnya dalam bidang kajian sosial-ekonomi masyarakat.2. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan memperdalam pengetahuan penulis mengenai perdagangan kulit manis di Sumatera Barat pada masa Hindia-Belanda.

3. Dapat bermanfaat dan berguna sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya dalam kajian sosial-ekonomi masyarakat.D. Tinjauan Pustaka1. Studi Relevan

Penelitian tentang sosial-ekonomi masyarakat petani telah banyak dilakukan, khususnya tentang petani kulit manis, penelitian Novariani, Perkebunan Cassiavera rakyat di pulau Sungkar Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (1970-2002). Padang :Skripsi jurusan Sejarah Fakultas ilmu Sosial Universitas Negeri Padang 2007.Yang mana dalam kajian Novariani dengan adanya perkebunan Cassiavera telah meningakatkan ekonomi domestik rakyat pulau Sungkar, mendapatkan kehidupan yang lebih baik, taraf hidup yang meningkat dan mampu untuk menunaikan ibadah haji dari perkebunan Cassiavera.Dan penelitian dari Defi Afrianti Kehidupan Social-Ekonomi petani kulit manis di kabupaten Tanah Datar (1980-2000). Padang: Skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sejarah Universitas Negeri Padang 2007. Juga memberikan gambaran meningatnya kehidupan sosial ekonomi petani kulit manis di kabupaten Tanah Datar, meningkatnya taraf hidup masyarakat, petani mampu melanjutkan pendidikan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan meningkatnya status sosial para petani. Selanjutnya penelitian Afrisa Ansal Sejarah Sosial Ekonomi Studi tentang kehidupan petani kulit manis di nagari Malalak Kabupaten agam (1970-1999). Padang: Skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas 2005. Dalam penelitian Afrisa Ansal juga tidak jauh berbeda dengan dua kajian yang sebelumnya, meningkatnya kondisi sosial-ekonomi masyarakat Malalak dengan adanya perkebunan kulit manis, menjadi petani Kulit manis di nagari Malalak merupakan pilihan utama di kawasan ini karena kondisi geografis nagari Malalak sendiri yang tidak memungkinkan untuk bertanam padi sawah.Dari ketiga penelitan sebelumnya yang menjadi persamaan ialah bagaimana kondisi sosial-ekonomi masyarakat dengan adanya perdagangan kulit manis, dan sekaligus yang menjadi pembeda ialah jika dari ketiga penelitian sebelumnya periode penelitian sebelumnya setelah Indonesia Merdeka yakni periode 1970-2002 yang mana dalam penelitian ini memfokuskan periode pada masa Hindia-Belanda yakni 1930-1935. Yang mana seperti diketahui memiliki banyak perbedaan dalam sistem sosial dan ekonomi masyarakat.2. KonseptualPerdagangan international bukanlah sesuatu hal yang baru, menurut Adam Smith perdagangan international adalah suatu hubungan kerjasama ekonomi yang dilakukan oleh negara yang satu dengan negara lain yang berkaitan dengan barang dan jasa sehingga mampu membawa suatu kemakmuran bagi suatu negara.

Teori dari Hecksher-Ohlin yang menjelaskan pola perdagangan international dan terjadinya perbedaan harga antar negara, secara teoritis HecksherOhlin mengajukan konsep proporsi dalam penggunaan faktor produksi terhadap pola perdagangan. Teori Dari Hecksher-Ohlin memiliki konsep bahwa komoditas dengan faktor produksi, yaitu tenaga kerja dan modal dan selera konsumen yang identik dengan homogenous di setiap negara. Jadi teori Hecksher Ohlin mengatakan bahwa negara yang berlimpah faktor produksi akan mengekspor komoditas yang intensif.

Pola perdagangan ini juga dilakukan oleh Hindia-belanda dengan para kapitalis-kapitalis Belanda dan Inggris. Oleh karena itu negara-negara kaya secara agresif mendominasi ekonomi, politik terhadap negara miskin dengan sistem kapitalisme modal kepada negara-negara miskin.Jatuhnya perekonomian Hindia-Belanda pada masa krisis malaise yang berdampak kepada sosial-ekonomi masyarakat dengan mundurnya perdagangan ekspor sebagai mata pencaharian utama rakyat dan kondisi keuangan yag sulit. Malaise dalam kamus besar bahasa Indonesia (malaise) adalah keadaan yang serba sulit (terutama dl bidang perekonomian), Awalnya dimulai tahun 1930 ditandai dengan mulai terkenanya depresi ekonomi yang melanda dunia. Depresi ekonomi atau malaise yang terjadi pada awal tahun 1930-an merupakan akibat dari eksploitatifnya investor dalam memacu pertumbuhan ekonomi setelah berakhirnya Perang Dunia I dan kejatuhan Wall Street pada bulan Oktober 1929.

Proses kelebihan produksi tersebut memuncak pada tahun 1929, dimana perekeonomian Eropa dan Amerika Serikat mengalami depresi hebat. Inilah yang menyebabkan lembaga-lembaga perekonomian ambruk, bank-bank tutup, dan pabrik serta perusahaan perkebunan bangkrut dan kemudian berkembang kearah timbulnya depresi besar yang melanda dunia dan depresi ekonomi lebih terasa di negara-negara jajahan.Krisis ekonomi (Malaise) ini membawa kondisi-kondisi pertanian yang memburuk di Hindia-Belanda, ketika harga-harga dan perdagangan luar negeri terus merosot dan kredit mengering. Hindia-Belanda sebagai pensuplai bahan mentah untuk industri pun sangat kentara dengan hal ini, terbukti selama sepuluh tahun pabrik dan perusahaan perkebunan mengurangi aktivitasnya. Kemudian terjadi pembatalan proyek-proyek besar, pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pabrik sehingga menimbulkan pangangguran. E. Metode PenelitianDalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian desktiptif-analitik adapun langkah-langkah atau metode yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut.1. Heuristik,Heuristik adalah kegiatan mencari dan menemukan sumber yang diperlukan. Sumber yang diperlukan berdasarkan bentuk penyajiannya, sumber-sumber sejarah terdiri atas arsip, dokumen, buku, majalah/jurnal, surat kabar. Peneliti menggunakan arsip dan dokumen sekunder zaman Hindia-Belanda periode 1898-1935 yang didapatkan di perpustakan pusat dokumentasi dan informasi kebudayaan Minangkabau di Padang Panjang, selanjutnya peneliti menggunakan jasa penerjemah untuk menerjemahkan arsip dan dokumen berbahasa Belanda ke dalam Bahasa Indonesia.Dalam penelitian ini peneliti juga menggunakan buku-buku yang terdapat di perpustakan jurusan Sejarah dan perpustakaan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Padang. Dan juga peneliti menggunakan jurnal dan surat kabar versi elektronik media internet.

2. Kritik SumberKritik Sumber adalah melakukan penyeleksian terhadap sumber-sumber yang di temukan, berikutnya adalah melakukan kritik untuk memperoleh keabsahan sumber. Kritik ekstern menilai (autensitas) sumber apakah sumber itu benar-benar sumber yang diperlukan?. Apakah sumber itu asli, turunan, atau palsu.dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang ditelusuri melalui kritik intern. Setelah melalui berbagai pertimbangan maka data-data yang peneliti dapatkan merupakan data sekunder dan turunan yang didapatkan di perpustakan pusat dokumentasi dan informasi kebudayaan Minangkabau (PDIKM).3. Interpretasi

Setelah fakta untuk mengungkap dan membahas masalah yang diteliti cukup memadai, kemudian dilakukan interpretasi, yaitu penafsiran akan makna fakta dan hubungan antara satu fakta dengan fakta lain. Penafsiran atas fakta harus dilandasi oleh sikap obyektif. Rekonstruksi peristiwa sejarah harus menghasilkan sejarah yang benar atau mendekati kebenaran.4. Historiografi

Kegiatan terakhir dari penelitian sejarah (metode sejarah) adalah merangkaikan fakta berikut maknanya secara kronologis/diakronis dan sistematis, menjadi tulisan sejarah sebagai kisah. Kedua sifat uraian itu harus benar-benar tampak, karena kedua hal itu merupakan bagian dari ciri karya sejarah ilmiah, sekaligus ciri sejarah sebagai ilmu.BAB II

MINANGKABAU DALAM PERIODE AKHIR ABAD KE XIX DAN AWAL ABAD KE XXA. Geografis dan DemografisSumatera Barat merupakan daerah yang dihiasi oleh jejaran Bukit Barisan. Bukit Barisan membujur di sepanjang punggung Sumatra. Sumatera Barat dikelilingi oleh gununggunung, yang senangtiasa menjaga dan mengawasi bumi Minangkabau, yakni Gunung Merapi, Gunung Sago, Gunung Singgalang, Gunung Talang, Gunung Pasaman. Wilayah Sumatera Barat terdapat daerah yang paling subur. Daerah ini di sebut darek (darat dalam bahasa Indonesia) atau daerah pedalaman, daerah kebalikan dari darek,yakni rantau adalah daerah luar dari darek atau daerah perbatasan.Daerah Sumatera Barat lebih dikenal dengan Keresidenan Sumatera Westkust yang juga termasuk didalamnya keresidenan Bengkulen. Batas-batas keresidenan Sumatera Westkust sebelah utara berbatasan dengan Residentie Tapanuli, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia dan Bengkulen, sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia dan; sebelah timur berbatasan Riau atau lebih di kenal dengan Sumatera Ostkusts. Semua itu pada umumnya berada dalam wilayah budaya Minangkabau, kecuali Kepulauan Mentawai. Namun, dalam pandangan budaya masyarakat Minangkabau, secara kultural mereka tidak mengenal batas-batas (geografis) wilayah Minangkabau dengan menggunakan istilah Utara, Selatan, Barat, dan Timur. Akan tetapi batas-batas wilayah tersebut mereka kenal seperti yang tertuang dalam pidato adat:

Dari ombak nan badabua

Sampai kasikilang Aia Bangih

Masuak ka Rao Mapat TungguaLapeh ka sialang balantak basiDari taratak aia itamHinggo aia babaliak mudiakSampai ka durian ditakuak rajoLapeh ka buayo putiah daguak

Pengertiannya sebagaimana yang diuraikan Idrus Hakimy Datuk Rajo Penghulu; dari ombak nan badabuo maksudnya, daerah pantai barat yaitu Sumatera Barat sekarang; sampai ka sikilang aia bangih yang meliputi daerah-daerah yang terletak di sekitar Pasaman Timur seperti, Air Bangis, Ampalu, Cubadak, dan Simpang Tonang. Daerah-daerah tersebut berdekatan dengan Sibolga (Tapanuli Selatan, Sumatera Utara); masuak ka Rao Mapat Tunggul adalah daerah disekitar Rao (Pasaman Timur) yang berbatasan dengan Muara Sipongi (Tapanuli Selatan, Sumatera Utara); dan lapeh ka sialang balantak basi yaitu, daerah yang terletak di sekitar Gunung Mas, dan Gunung Sailan yang berbatasan dengan daerah Pasia Pangaraian, Riau.Selanjutnya dari taratak aia itam, adalah daerah di sekitar Bangkinang (Kabupaten Kampar, Riau); hinggo aia babaliak mudiak yakni, daerah pesisir sebelah Timur Pulau Sumatera (dalam Propinsi Riau), yang airnya berbalik ke hulu waktu pasang naik. Daerahnya adalah Teluk Kuantan, Lubuk Jambi, Rengat, Basrah, Kuala Tungkal, dan Pangian; sampai ka durian ditakuak rajo, ialah daerah-daerah yang terletak dalam wilayah Propinsi Jambi, sebelah barat meliputi daerah Muaro Bungo, Muaro Tebo, dan Muaro Tembesi; lapeh ka buayo putiah daguak, daerah yang terletak di sekitar Indropuro (Pesisir Selatan) yang berbatasan dengan daerah Propinsi Bengkulu sebelah utara.

Wilayah darek merupakan kawasan pedalaman Minangkabau yang dalam kepustakaan Belanda disebut dengan Padangsche Bovenlanden atau Padang darat merupakan jantung utama wilayah Minangkabau yang juga dikenal dengan Luhak nan tigo, yakni Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, Dan Luhak Limapuluh Koto. Luhak Tanah Datar yang berada dikawasan lembah yang subur merupakan taman Edennya kawasan Minangkabau dan juga merupakan titik awal perseberan nenek moyang orang Minangkabau.

Sedangkan Luhak Agam dianggap sebagai luhak tengah yang mana merupakan penyebaran orang Minangkabau arah utara dikawasan lereng-lereng perbukitan, kondisi geografis Agam yang berbukit-bukit dan terjal membuat terjadinya persaingan hidup yang keras. Dan yang terakhir ialah Luhak Limapuluh Koto juga dianggap sebagai luhak bungsu yang berada dikawasan lembah yang subur. Dalam sistem pemerintahan Belanda membagi wilayah Padangsche Bovenlanden dengan beberapa Afdeling, tiap-tiap Afdeling memiliki Onderafdeling, Distrik, dan Onderdistriknya masing-masing. Berikut ini beberapa pembagian Afdeling Agam, Tanah Datar dan Solok pasca 1914-1929 dan para Demangnya di Padangsche Bovenlanden.

A. Afdeling Agam yang dibagi menjadi 5 Onderafdeling, 5 Distrik, 15 Onderdistrik :

Onderafdeling Agam terdiri dari :

1. Distrik Bukit Tinggi dipimpin oleh demang Yahya Datuk Kayo1. Onderdistrik Banuhampu (dengan kurai) langsung dibawah demang Bukittinggi.2. Onderdistrik IV Koto, dengan Demang Salim Rajo Mudo di kotogadang

3. Onderdistrik Sungai Pua, dengan Demang Khatib Sutan Rajo Ameh di Sariak.

2. Distrik IV Angkek dengan dipimpin oleh demang Samad Dt .Sati di Banjolalam

1. Onderdistrik IV angkek dibawah demang IV Angkek

2. Onderdistrik Baso dengan Demang Jamin Dt. Mangkuto Sati3. Onderdistrik Canduang, dengan demang Lutan sutan Marajo.

3. Distrik Tilatang dengan dengan Demang Jaar Dt. Batuahdi Pakan Kamih

1. Onderdistrik Tilapang langsung dibawah demang Tilatang

2. Onderdistrik Kamang ( dengan Magek dan Salo ) dengan Demang Dt. Rajo Alam3. Onderdistrik VII-Lurah (dengan Batang Palupuah) dengan Demang Marzuki Dt.Sati di Palupuah

4. Distrik Maninjau dengan dengan demangnya Dullah Dt. Paduko Tuan1. Onderdistrik VI Koto langsung dibawah Demang Maninjau

2. Onderdistrik IV Koto langsung dibawah demang Maninjau

3. Onderdistrik Lubuk Basuang (dengan III-Luhak, dan Tiku) dengan Demangnya Osman Sutan Pamenen.

5. Distrik Matua demangnya Intan Dt.Mangkuto Sati.1. Onderdistrik Matua (dengan andaleh) langsung dibawah demang Matua.

2. Onderdistrik Palembayan dengan dengan demang Saidi Muhammad Datuk Tan Ameh.

B. Afdeling Tanah Datar yang dibagi menjadi 3 Onderafdeling, 6 Distrik, dan 17 Onderdistrik :

Onderafdeling Batusangkar terdiri dari :

1. Distrik Batusangkar

1. Onderdistrik Batusangkar (dengan Pagaruyung, Tanjung, Sungai Patai, Baringin dan Sipurut ) langsung dibawah demang Batusangkar

2. Onderdistrik Saruaso (dengan Padang Gantiang ) dengan Demang Said Rangkayo Basa di Tanjung Barulak

3. Onderdistrik Salimpauang (dengan Sumaniak) dengan demang Nur Sutan Parpatiah di Tabek Patah.

2. Distrik Pariangan demang Samad Sutan Pamenen di Tabek

1. Onderdistrik V Kaum dengan Sungai jambu langsung dibawah demang Pariangan

2. Onderdistrik Pariangan ( dengan Simawang) dengan demang Gindo Asin Dt.Bongsu di Balai Gadang

3. Onderdistrik Sungaitarab (dengan rao- rao dan gurun) dengan demang Yunas Sutan Marajo Lelo.3. Onderafdeling Sawah Lunto.

4. Distrik Sawah Lunto dengan demangnya Marzuki Dt. Bandaro Panjang1. Onderdistrik Sawahlunto (dengan Silungkang, durian, Sapan dan Kubanglunto) langsung dibawah demang Sawahlunto

2. Onderdistrik Padang Sibusuak ( dengan Batumanjur, Pamuatan dan Koto Baru) langsung dibawah demang Sawahlunto

3. Onderdistrik Talawi dengan demang Gani Sutan Basa2. Onderafdeling Sijunjuang

1. Distrik Sijunjuang dibawah demang Hitam Dt.Rajo Palembang1. Onderdistrik Sijunjung (dengan Lubuktarab) langsung dibawah demang Sijunjung

2. Onderdistrik Koto VII demang Kadir Sri Marajo.3. Onderdistrik Sungaibatang (dengan padang tarab, V dan VI Koto) dengan demang Said Bagindo Khatib2. Distrik Buo dibawah pimpinan demang Makhudum Dunia1. Onderdistrik Buo langsung dibawah Demang Buo

2. Onderdistrik Lintau langsung dibawah demang Buo

3. Onderdistrik Kumanis (dengan Sumpur) dengan Demang Rahman Bagindo Marah.

3. Distrik Batanghari dengan demang Hamzah Rajodi Sungai Dareh

1. Onderdistrik Batanghari (dengan Pulau Punjung, siguntur, Sitiung, Sikabau, Tabing Tinggi, Gunung Medan, Sungaiduo, Tabah, Sungai Timpoh dan Jao, Pucuk Rantau, Indragiri, Sungai Besar, Padang Laweh dan Batuijar) langsung dibawah demang batanghari.

2. Onderdistrik Koto Besar (dengan Koto Padang, Tiumang, Bonjol, Kotobaru, Pulaumainan, Indramar, Tangjung alam, Sungai Limau, dan Batu Kangkung) dengan dengan demang Wirio Harjo.C. Afdeling Solok dibagi menjadi 3 Onderafdeling, 4 Distrik dan 10 Onderdistrik :

1. Onderafdeling Solok terdiri dari

1. Distrik Solok

1. Onderdistrik Solok (dengan salayo, Gantung ciri, dan Muaro Paneh) langsung dibawah demang solok

2. Onderdistrik Saoklaweh (dengan Kinari, VI-Koto, dan Panyakalan) langsung dibawah demang solok

3. Onderdistrik Talang (dengan Guguk dan Cupak) dengan demang Hamid Dt.Rajo Intan.2. Distrik Singkarak dengan demang Tahir Sutan Jamaris.1. Onderdistrik Singkarak dan saningbakar langsung dibawah demang singkarak.2. Ondrafdeling Alahan Panjang

1. Distrik Alahan Panjang

1. Onderdistrik Alahan Panjang langsung dibawah demang alahan Panjang

2. Onderdistrik Supayang dengan Sirukam dan III Koto) dengan Demang Jamil panggulu sati di kubang nan duo.

3. Onderdistrik Koto anau, dengan demang Hasan Sutan Mangkutodi Bukit Sileh.

3. Onderafdeling Muaro Labuah

1. Distrik Muaro Labuah dengan demang Nindih Dt. Bagindo1. Onderdistrik Sungai Pagu langsung dibawah demang Muara labuah.

2. Onderdistrik Lolo Surian langsung dibawah demang Muaro labuah

3. Onderdistrik Lubuk Gadang (dengan XII Koto,Lubuk Aling, Sungai Kunit dan Talao ) dengan demang Umin Dt.Rajo

Kawasan pedalaman Minangkabau merupakan kawasan dengan penduduk paling padat, kawasan pedalaman rata-rata didiami oleh orang Minangkabau yang berbeda dari wilayah rantau yang banyak dihuni oleh berbagai ras dan suku. Kawasan pedalaman yang subur telah memberikan keuntungan dalam sektor pertanian dan juga kaya akan hasil tanaman ekspor yang mana tiap-tiap daerah memiliki ciri khas tanaman atau komoditas ekspornya masing-masing seperti Agam terkenal dengan kopi, akasia dan tebu, Tanah datar juga terkenal dengan kopi, akasia dan penghasil kulit dan Limapuluh koto yang terkenal dengan Gambirnya.Kehidupan masyarakat Minangkabau di tiap-tiap daerah atau luhak sangatlah berbeda-beda, orang Minangkabau yang berdomisili didaerah kawasan dataran rendah di mana dengan mudah dapat mengandalkan mata pencaharian pada hasil panen padiyang berlimpah ruah. Bagi penduduk dataran tinggi, suasana semacam ini hanyalah ibarat mengejar mimpi dan hanya sedikit sekali yang bisa diharapkan dari pertanian sawah. Akan tetapi gambaran orang Minangkabau sebagai pedagang akan nampak lebih menonjol untuk penduduk dataran tinggi.Karena itu secara geografis dan berhubungan dengan gaya hidup penduduknya, nagari-nagari Minangkabau dapat dibedakan kedalam kategori yang masing-masingnya berbeda-beda tipe. Di dataran tinggi pedalaman yang menjadi titik fokus sejarah dan kebudayaan Minangkabau yang utama, telah berkembang dua tipe gaya hidup penduduknya, yang pertama berdasarkan pertanian sawah dengan hasil padinya yang berlimpah, sedangkan yang kedua ialah tipe nagari-nagari marginal yang berada di sekitar lereng-lereng perbukitan dan pegunungan disini akan lebih menonjol sikap wirausahawan, namun struktur sosial dan spolitik dari kedua tipe nagari pedalaman ini pada prinsipnya sama-sama bertopang pada pokok hukum dan adat istiadat Minangkabau.

B. Sosial Budaya MasyarakatMinangkabau adalah suatu lingkungan adat yang terletak dalam daerah geografis administratif Sumatera Barat dan juga menjangkau ke sebagian barat daerah geografis administratif provinsi Riau, dan ke sebagian barat daerah administratif provinsi Jambi. Pada mulanya, yang masuk wilayah sosial kultural Minangkabau hanyalah tiga luhak (sekarang jadi daerah tingkat II) yaitu Luhak Agam, Luhak Tanah Datar, dan Luhak Lima Puluh Kota yang disebut Minangkabau asli. Dari keempat kawasan lembah yang menjadi pusat peradaban Minangkabau barisan perbukitan yang membatasi daerah lembah serta menjadi pembeda antara satu wilayah dengan yang lainnya, juga membedakan identitas sosial masyarakatnya sendiri.

Pengembangan identitas sosial itu tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pemukiman-pemukiman masyarakat Minangkabau. Pemukiman tersebut kemudian berjalan secara otonom dan dinamakan sebagai nagari. Nagari di Minangkabau tidak diperintah oleh raja, tapi penghulu raja bagi masyarakat Minangkabau hanya dikenal dalam wilayah rantau. Perkembangannya wilayah Minangkabau meluas sampai ke luar tiga luhak tersebut yang disebut Daerah Rantau. Wilayah rantau merupakan kawasan yang berada di luar luhak nan Tigo, Rantau luhak Agam meliputi pesisir barat sejak Pariaman sampai Air Bangis, Lubuk Sikaping dan Pasaman; Rantau Luhak Lima Puluh Kota meliputi Bangkinang, Lembah Kampar Kiri dan Kampar Kanan dan Rokan; rantau Luhak Tanah Datar meliputi Kubung Tiga Belas, pesisir barat dari Padang sampai Indra Pura, Kerinci dan Muara Labuh. Wilayah Minangkabau asli ditambah Daerah Rantau itulah yang secara geografis meliputi seluruh wilayah propinsi Sumatera Barat dan sebagian wilayah propinsi Riau dan Jambi.

Masyarakat Minangkabau telah menjalin interaksi dengan dunia luar ke pantai barat dan timur Sumatera. Interaksi dengan dunia luar itu jugalah yang kemudian memperluas wilayah rantau orang Minangkabau, bahkan sampai ke Negeri Sembilan Malaysia.Selain itu, keberadaan rantau dan perilaku merantau merupakan wujud dinamika sosial masyarakat dan budaya Minangkabau. Berhubung merantau merupakan perpindahan sementara maka interaksi rantau dan daerah asal ini tidak menjadi fondasi utama pembentukan nilai-nilai keminangkabauan, serta masuknya pemikiran-pemikiran baru yang memperkaya identitas sosio-budaya orang Minangkabau. Untuk itu daerah rantau dapat juga diidentifikasi secara sosio-kultural dengan Minangkabau.

Merantau merupakan salah satu karakteristik orang Minangakabau.Tinggal di kampung dengan hanya menjadi petani berarti kemiskinan, praktik merantau tidak hanya sekedar produk urbanisasi, tetapi merantau juga mengandung unsure pengalaman dan rasa penasaran telah berakar secara mendalam dalam sejarah dan sistem sosial Minangakabau. Dalam sistem sosial Minangkabau para pemuda-pemuda yang memang tidak mendapat kamar dalam rumah gadang, mesti pergi merantau untuk nanti sekembalinya bisa diserahi tanggung jawab sebagai ninik mamak atau pemangku adat di kaumnya. Menurut Tsuyoshi Kato budaya merantau masyarakat Minangkabau merupakan sebuah identitas atau ciri khas yang tidak bisa dihilangkan dari masyarakat Minangkabau, dan juga faktor pembagian harta pusaka yang mengharuskan laki-laki di Minangkabau untuk merantau. Awalnya merantau bertujuan untuk pemekaran nagari dikarenakan jumlah penduduk semakin bertambah, maka budaya merantaupun muncul akibat dorongan untuk memperluas daerah atau nagari sebagai tempat pencarian penghidupan, periode ini berlangsung dari masa legenda Minangkabau sampai awal abad ke sembilanbelas. Kedua periode abad ke sembilanbelas sampai tahun 1930an juga disebut dengan merantau sirkuler, yakni bertujuan untuk mencari penghidupan yang lebih layak dari pertanian. Sehingga pergi merantau bertujuan untuk menjadi berbagai profesi tertentu misalnya pegawai, saudagar, guru dan pengrajin. Merantau juga merupakan hasrat pribadi sebagai upaya menghindari kontrol matrilineal, namun mereka tidak memutuskan hubungan dengan kampung karena anak dan istri, bagi yang telah berkeluarga masih tinggal di kampung. Menjadi seorang tukang jahit dan berbisnis kuliner atau rumah makan merupakan ciri khas profesi tradisional yang di jalankan masyarakat Minangkabau, dengan menjadi pengusaha lebih menunjukan sifat yang merdeka dan bebas, disebabkan seorang Minang tidak mempunyai loyalitas yang cukup untuk bekerja di sebuah birokrasi, seorang Minang lebih memilih untuk mengekspresikan dirinya sendiri dari pada harus dibawah tekanan orang lain. Hal inipun sesuai dengan pepatah yang mengatakan elok manjadi kapalo samuik dari pado manjadi ikua gajah ( lebih baik menjadi kepala semut dari pada menjadi ekor gajah) yang mana maksudnya lebih baik menjadi pemimpin disebuah organisasi yang kecil dari pada menjadi pengikut di sebuah organisasi yang besar, hal ini tidak bisa dilepaskan dari sifat masyarakat Minangkabau yang terkenal egaliter.Hal inilah yang membuat masyarakat Minangkabau lebih memilih profesi sebagai pedagang, melalui berdagang mereka akan lebih bebas bereksplorasi menunjukkan identitas sosialnya dan kebanggaan menjadi seorang pedagang akan lebih nampak pada masyrakat Minangkabau khususnya yang berada di perantauan. 2. Kebijakan Politik Kolonial Belanda di Minangkabau pada akhir abad XIX dan awal Abad ke XX

1. Pengaruh Politik-Ekonomi

Tahun 1833 merupakan pemberontakan terakhir yang bercirikan kepemimpinan anggota keluarga kerajaan raja Minangkabau. Walaupun kehilangan kekuatan ningrat akan tetapi kekuatan Islam Paderi di Minangkabau mampu bertahan secara berkelanjutan dalam periode yang panjang, Perang Paderi termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.Setelah ikut terlibat dalam Perang Paderi dan kemudian memenanginya.

Belanda lalu membentuk pemerintahan sentralistis yang bersifat hirarkis di Minangkabau. Hanya pada dua lapisan bawah saja dari sususan hirarkis itu yang dialokasikan kepada bumiputera: gubernur (Belanda) residen (tiga keresidenan) (Belanda) asistenresiden (Belanda) controleur [kontrolir] (Belanda) kepala laras (bumiputera) kepala nagari (bumiputera).

Untuk mempertahankan status-quo, Belanda melakukan berbagai kebijakan agar format politik baru itu biasa berjalan dengan baik.Namun muncul berbagai reaksi dari masyarakat Minangkabau yang sudah terbiasa hidup dalam sistem politik republik nagari yang bersifat egaliter itu. Pada tahun 1901 Belanda memiliki panggilan untuk bertanggung jawab atas moral pribumi yang terbelakang, maka pemerintah Belanda menerapkan kebijakan etis yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat pribumi. Dengan adanya kebijakan etis maka suasana ekonomi dan politik di pedalaman Minangkabau mengalami kemajuan yang hebat pada masa itu dengan tingginya intensitas atau tanggapan masyarakat terhadap pendidikan dan pembuatan irigasi (waterleiding). Serta dimulainya pembangunan jalan-jalan kereta api untuk memperlancar proses pendistribusian komoditas ekspor ke pelabuhan. salah satu kebijakan politik yang sangat tidak disukai oleh rakyat Minangkabau ialah diterapkannya cukai pasar yang di rasakan secara universal di seluruh daerah pedalaman Minangkabau. Selanjutnya masyarakat juga sangat tidak menyukai adanya Jasa Kuli berdasarkan kebijakan Belanda desa-desa di pedalaman diwajibkan untuk memasok tenaga kuli, tiap-tiap distrik diminta untuk menyediakan sejumlah orang pada waktu tertentuuntuk bekerja seperti pembuatan jalan, mengantar barang dan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda.

Pengaruh politik Belanda yang paling utama khususnya dalam bidang ekonomi ialah Belanda berhasil melibatkan diri dalam usaha perdagangan yakni menghasilkan dan memperdagangkan kopi, dan tidak hanya kopi bahkan untuk jenis komoditi ekspor lainya seperti Akasia, Gambir yang mendatangkan keuntungan yang berlipat kepada pemerintah Belanda. Derap maju imprealis Belanda di Minangkabau yang diiringi dengan turut berperannya kekuatan ekonomi-politik Belanda yang semakin menancapkan kukunya dan mendatangkan keuntungan yang berlimpah, Belanda adalah sebuah negara yang ingin mengindustrialisasi dan memodernisasi negaranya dalam waktu yang sesingkatnya untuk itu upaya-upaya dalam bidang ekonomi dilakukan denga segala cara dan daerah Minangkabau tidak luput dari hal ini.

Berbagai kebijakan politik-ekonomi diterapkan Belanda baik itu secara langsung maupun perwakilan-perwakilan Belanda di daerah pedalaman, seperti penerapan penanaman perkebunan kopi, kebijakan wajib setor kopi kepada pemerintah Hindia-Belandapun dilakukan dan sekaligus hal yang sangat dibenci oleh rakyat Minangkabau. Bahkan pejabat-pejabat Belanda terlibat langsung untuk menginspeksi secara teratur diperkebunan-perkebuan untuk berbagai jenis komoditi ekspor.Namun berbagai kebijakan politik-ekonomi Belanda disatu sisi lainnya telah memberikan padangan dan pengaruh yang berbeda, akibat sistem tanam paksa khususnya untuk kopi secara tidak langsung telah menarik masyarakat Minangkabau yang berada dipedalaman kedalam ekonomi pasaran dunia, hal ini juga menumbuhkan sikap dinamis dan individualitas yang tinggi dalam masyarakat Minangkabau dalam orientasi ekonomi.

Selain itu dampak yang sangat berharga dari penetrasi politik ekonomi Belanda ialah berdirinya sekolah-sekolah sekuler yang mendapat tanggapan positif dari masyarakat Minangkabau dan memunculkan sekolah-sekolah nagari, hasil dari sistem pendidikan sekuler ini lahirnya generasi muda yang mampu membaca huruf Hollanda yang menjadi tunas elite politik Minangkabau.

2. Reputasi Ekonomi Kolonial Belanda

Berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintahan kolonial Belanda untuk meningkatkan penghasilan dari tanah jajahannya telah dilakukan, seperti penerapan Cultursteelseel terhadap tanaman kopi sebagai sumber komoditi utama ekonomi kolonial. Di Minangkabau berbagai kebijakan yang diterapkan pemerintah kolonial tidaklah berjalan sesuai harapa mereka, dalam penerapan sistem tanam paksa kopi Belanda mengalami kerugian yang cukup berarti, hal ini disebabkan sulitnya Belanda mengkontrolir daerah ini dan juga tanggapan yang tidak senang atas tanam paksa yang ditunjukan oleh masyarakat dengan menjual hasil kopi ke pantai Timur, dan Malaka, hal ini terkenal dengan pameo Melayu kopi daun.

Pada akhir abad ke 19, merupakan tahun-tahun dimana pemerintah Belanda mengalami kejayaan dan mendatangkan banyak keuntungan akibat penerapan sistem wajib setor kopi kepada pemerintah dan selanjutnya hasil kopi disetor ke gudang-gudang kopi milik Belanda (Pakhuis), namun masyarakat Minangkabau yang menentang sistem wajib setor kopi, selali mengelabui Belanda dan menolak menyerahkan hasil kopi sepenuhnya kepada Belanda, ketika harga komoditi kopi semakin naik di pasar dunia masyarakat justru tidak menyerahkan hasil kopi ke gudang milik Belanda, masyarakat Minangkabau justru malah menjualnya ke pantai Timur, Singapura, Malaka, bahkan sampai ke Penang. Dengan kerugian yang diderita Belanda maka system wajib setor kopi dihapuskan pada tahun 1908. Sehingga muncullah istilah God Verdomd Zeg (dasar Melayu kopi daun, tahunya hanya daun kopi) ketika Belanda sudah kesal. Selain melayu kopi daun Belanda juga mendapat tantangan dari para pialang Cina yang selalu menjadi batu sandungan bagi Belanda untuk mendapatkan kopi di pedalaman, para pialang Cina lebih suka mencari dan mendapatkan kopi dan komoditi lainnya secara langsung ke daerah pedalaman.

Walaupun adanya istilah Melayu kopi daun bukan berarti menggambarkan kegagalan sepenuhnya kebijakan ekonomi Belanda, Belanda cukup berhasil mendapatkan keuntungan yang berlimpah dari wajib setor kopi berlakunya system wajib setor kopi merupakan masa jayanya ekonomi pemerintah Belanda di Hindia-Belanda hingga sistim ini dihapus pada 1908. Dan tidak hanya bagi Belanda yang mendatangkan keuntungan, masyarakat Minangkabaupun juga mengalami dampak yang menguntungkan hasil penjualan kopi dijadikan oleh masyarakat sebagai investasi untuk menunaikan ibadah haji, dan masyarakat Minangkabau yang pulang dari timur tengah mendirikan sekolah-sekolah tradisional di surau. selain dari penjualan kopi, Belanda juga mendapatkan keuntungan dari komoditi ekspor lainnya seperti kopra, gambir, karet, dan akasia di untuk mendapatkan hasil tersebut Belanda membangun akses jalan-jalan yang menghubungkan ke daerah penghasil komoditi penting di daerah pedalaman. Dengan adanya akses yang memudahkan transportasi masyarakat hal ini juga meningkatkan ekonomi masyarkat di pedesaan sekaligus menciptakan pedagang dan wirausahawan yang bermental tangguh.3. Perkebunan rakyat

a. Kopi

Tanaman kopi di kawasan pantai barat pertama kali berkembang di kawasan pedalaman, tepatnya di Luhak Agam. Dari Luhak Agam tanaman kopi menyebar ke kawasan Limapuluh Koto dan Tanah Datar, tanaman kopi pertama kali diperkenalkan oleh penduduk yang telah menunaikan ibadah Haji ke Mekkah. Dan jenis kopi yang di perkenalkan ialah kopi Arabicca.

Pada awalnya kopi tumbuh berupa semak-semak yang lebih mirip hutan belukar dan yang diperdagangkan hanyalah daunnya saja, masyarakat menjualnya di pasar-pasar tradisional, tradisi meminum daun kopi sudah sangat lazim di kalangan masyarakat Minangkabau. Namun memasuki abad ke 18 kopi di Minangkabau muncul sebagai komoditas perdagangan dan telah di perjualbelikan di kota Padang dan para pedagang-pedagang Inggris dan Amerika pembeli utama di daerah ini.

Pemerintah Hindia-Belanda memulai hegemoninya mendapatkan kopi dari penduduk di pantai barat Sumatera dan pemerintah Hindia-Belanda menyadari tanaman kopi haruslah di manfaatkan semaksimal mungkin sebagai sumber utama kas pemerintahan. Dengan perjanjian Plakat Panjang Belanda mengajak penduduk di kawasan pedalaman untuk memperluas penanaman kopi serta menjual kopi ke gudang-gudang milik Belanda. Semua perkebunan kopi di kawasan pedalaman terutama dataran tinggi, di tingkatkan intensitas penanamannya beberapa perkebunan kopi di Agam seperti Canduang, Malalak, Dama Gadang (Lubuk Basung) dan di Batipuh, Sungai Jambu, Pariangan dan nagari Paninggahan Solok di kawasan Tanah Datar, selanjutnya samapi ke daerah Limapuluh koto.

Namun usaha pemerintah Hindia-Belanda ini tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, dikarenakan penduduk enggan menyerahkan kopi ke pada pemerintah Hindia-Belanda, alasan utama ialah harga beli yang ditetapkan oleh Belanda sangat rendah bila dibandingkan dengan para pedagang saudagar-saudagar asing.Salah satu perkebunan kopi di nagari Paninggahan yang terkenal dengan nama kopi Ulu, Pada areal seluas 1.050 Hayang berada di ketinggian 700 900 mdi atas permukaan laut, lereng bukit utara Danau Singkarakinilah pertama kali kopi robustadiperkenalkan di Sumatera Barat. Cerita berawal pada tahun 1826, saatPemerintah Kolonial Belanda memulaiprogram pembangunan perkebunankopi di Nagari Paninggahan untukmemenuhi kebutuhan ekspor.Menanggapi program tersebut, makabeberapa tokoh masyarakatPaninggahan menawarkan untukmembangun perkebunan kopi rakyat,dimana kopi yang diproduksi nantinyadijual kepada Pemerintah KolonialBelanda. Dengan pertimbangan bahwapembangunan perkebunan rakyat lebihmenguntungkan daripada membuatperkebunan pemerintah, baik dari segidana, tenaga maupun waktu, makausulan ini disetujui oleh Belanda sesuaidengan tawaran yang diajukan olehmasyarakat Paninggahan saat itu.Pada awal program, setiap pasanganyang baru menikah di daerahPaninggahan diwajibkan membukalahan seluas dua hektar untukmenanam kopi robusta pada arealhutan di daerah hulu (Ulu) perkebunan kopi yang dibangun olehmasyarakat Paninggahan menghasilkankopi robusta berkualitas tinggi,sehingga pada perkembangannyaPemerintah Kolonial Belandamelakukan monopoli terhadap hasilPerkebunan Kopi Ulu tersebut. DatukBungsu, salah satu tokoh masyarakat diPaninggahan menuturkan Ketika itupemerintah Belanda melarang kerassetiap masyarakat untuk memanfaatkandan mengkonsumsi kopi dari hasilpanen mereka sendiri.Seluruh biji kopiyang sudah dipanen, wajib diserahkankepada Belanda.Masyarakat Paninggahan hanyadiperbolehkan memanfaatkan daunkopi saja kalau mereka inginmerasakan minum kopi.Masyarakatterpaksa minum kopi yang berasal daridaun kopi yang dikeringkan. Kamimenyebutnya kopi daun (Kawa Daun) Hingga saatini pun, sebagian dari kami masih sukamengkonsumsi kopi daun.Akibat pelarangan tersebut, makatimbul reaksi penolakan masyarakatPaninggahan terhadap keberadaanperkebunan kopi Belanda. Pada tanggal21 Juni 1932, diadakanlah rapat nagariyang dipimpin oleh tokoh masyarakat(ninik mamak) setempat yangmenghasilkan sebuah surat untukditujukan kepada Majelis Volksraad diBatavia agar Perkebunan Kopi Uludikembalikan kepada masyarakat. Duatahun berselang, permintaan tersebutdikabulkan oleh Pemerintah Belanda.

Dari sepenggal cerita mengenai kopi di Nagari Paninggahan dapat kita lihat bagaimana terbentuknya perkebunan kopi rakyat di daerah pedalaman Minangkabau dengan kerja sama yang dilakukan dengan pemerintahan Hindia-Belanda, namun hasil perkebunan yang dikelola rakyat tidak mau diberikan sepenuhnya kepada Belanda karena sistem yang diterapkan yang memberatkan rakyat.b. AkasiaTanaman ini di namakan oleh penduduk Pantai Barat Sumatera dengan kayu manis, dinamakan demikian disebabkan rasa kulitnya yang manis dan harum tetapi tanaman ini juga bernilai tinggi sebagai komoditas ekspor penduduk. Akasia merupakan komoditas khas pantai barat sumatera, karena di Hindia-Belanda pada waktu itu hanya Pantai Barat Sumatera yang menghasilkan akasia. Tanaman ini selalu menempati posisi kedua setelah kopi sebagai ekspor dagang favorit di Pantai Barat Sumatera.

Akasia yang tumbuh didareah pedalaman Minangkabau dan di daerah bersuhu relatif dingin, sampai abad ke 20 tanaman ini hanya ditemukan di daerah-daerah yang terdapat di sekitar gunung Merapi, Singgalang di kawasan Agam dan Tanah Datar. Namun setelah pemerintah memberi perhatian khusu kepada tanaman ini maka penanamannya pun semakin meluas sampai ke daerah Mandailing.

Awalnya akasia bisa didapatkan di daerah hutan yang tumbuh dengan liar di kawasan Agam, ketika permintaan untuk akasia ini meningkat penduduk mulai membudidayakannya di kebun-kebun mereka. Yang paling disukai oleh masyarakat dalam membudidayakan akasia ialah proses dalam pembudidayaannya tidaklah rumit dan tidak memakan biaya yang banyak. Dengan menggali lobang untuk bibit Akasia setelah itu para petani hanya perlu menyiangi dari semak atau rumput liar, setelah itu petani diwajibkan membuang setiap ranting terbawah dari pohon Akasia, ini bertujuan supaya akasia bisa tumbuh tinggi tanpa banyak cabang.

Daerah Agam yang diyakini sebagai asal tanaman ini dan seterusnya menyebar ke arah Tanah Datar dan Lima Puluh Koto merupakan pilar penghasil komoditas ini, perkebunan-perkebunan akasia yang terdapat di daerah Agam seperi perkebunan di Pandai Sikek, Malalak, dan Canduang merupakan beberapa daerah di Luhak Agam yang terkenal sebagai penghasil akasia, selanjutnya untuk kawasan Tanah Datar beberapa daerah penghasil akasia yaitu Batipuah, Simabur, Sungai Jambu, Rambatan dan Sunagi Tarab. Sedangkan untuk kawasan Limapuluh Koto terkenal dengan daerah Mungka dan Suliki sebagai penghasil Akasia yang diekspor ke pantai Timur Sumatera bersamaan dengan Gambir.

Mata rantai perdagangan komoditas ini dimulai dari petani yang menjualnya kepada pedagang pengumpul di pasar-pasar, hampir semua saudagar pengumpul ini adalah para saudagar-saudagar pribumi, dan selanjutnya para saudagar pribumi menjualnya kepada saudagar besar di kota Padang.c. Gambir

Tanaman Gambir merupakan ciri khas komoditas dari kawasan Lima Puluh Koto, tanaman gambir menyukai daerah yang berbuikit-bukit. Penduduk biasanya menanam tanaman ini di kaki-kaki dan lereng bukit yang kena cahaya matahari pagi. Penanaman dan perawatan gambir membutuhahkan banyak tenaga kerja dan juga membutuhkan organisasi untuk mengekspornya. Banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan untuk pembudidayaan dan membutuhkan modal yang besar juga pengorganisasian kerja untuk tahap penjualannya. Beberapa nagari yang mengusahakan penanaman Gambir ini dengan teratur adalah Sarilamak, Lubuak Tingko, Mungka, dan Halaban. Penduduk ke semua nagari ini menjadikan penanaman Gambir sebagai mata pencaharian utama mereka.

Tanaman gambir juga dijadikan salah satu komoditas andalan Pantai Barat Sumatera oleh pemerintah Hindia-Belanda ekspor gambir di tujukan ke Aceh, Bengkulu, Jawa, Penang, India, Singapura dan Malaka, untuk proses ekspor komoditas ini hampir seluruhnya dikuasai oleh saudagar besar Tiong Hoa.d. Kopra

Sejak abad ke 19 daging kelapa telah diolah menjadi kopra, kopra ini nantinya akan menjadi bahan dasar berbagai produk seperti sabun, margarine, dan minyak. Kelapa tumbuh dengan baik hampir diseluruh kawasan Pantai Barat dan pulau-pulau dilepas pantainya, kebanyakan penduduk Pantai Barat menanam kelapa di kebun-kebun mereka dengan tidak beraturan tidak ada perhatian khusus yang diberikan dalam membudidayakan tanaman ini. Kawasan Pariaman merupakan penghasil terbesar kopra seperti beberapa daerah yang terkenal Kiambang, Rimbo Bakung dan Buayan Jambak.

Penduduk Pariaman juga dikenal sebagai masyarakat yang memiliki keahlian membuat minyak kelapa. Pembuatan minyak kelapa semakin besar artinya ketika prasarana dan transpotasi pengangkutan minyak kelapa dari daerah pantai ke pedalaman ditemukan. Prasarananya ialah pedati yang ditarik oleh kerbau dan bambu sebagai wadah tempat minyak. Pengangkutan minyak dari pantai ke pedalaman dilakukan oleh para saudagar pribumi. Arti perdagangan kopra semakin bertambang seiring dengan dibukanya hubungan kapal langsung yang menghubungkan kota-kota di Pantai Barat dengan Pulau Penang dan Singapura. Saudagar yang terlibat dalam kegiatan perdagangan kopra mencakup pedagang pribumi, pedagang pengumpul dan saudagar besar di kota pelabuhan. Pembangunan jalan kereta api yang di lakukan Belanda dari Teluk Bayur ( Padang ) ke Naras (Pariaman) pada 1910 menjadikan daerah Pariaman sebagai pengekspor utama kopra di kawasam Pantai Barat Sumatera, daerah yang terkenal dengan penghasil kopranya ialah Kuraitaji, yang mana juga terdapat sebuah stasiun untuk mempermudah akses pendistribusian kopra ke pelabuhan. Dan di desa ini jugalah Belanda membangun sebuah pabrik minyak kelapa, sekarang daerah ini dikenal dengan nama kampung pabrik walaupun pabriknya sudah tidak ada lagi.Dapat dilihat bahwa komoditi kopra merupakan salah satu hasil produksi yang penting bagi Belanda, dengan produksi dan penyulingan minyak kopra yang di ekspor ke daerah Pantai Timur seperti Singapura, Penang, telah menunjukkan betapa berharganya hasil alam Pantai Barat Sumatera pada masa itu, dan hegemoni Belanda memonopolinya telah mendatangkan keuntungan yang berlimpah untuk kas Negara Belanda. Hal ini tak lepas dari kebijakan politik yang di terapkan oleh Belanda sendiri, namun di satu sisi masyarakat di daerah penghasil kopra mempunyai intensitas perekonomian yang tinggi dengan adanya pabrik penyulingan minyak yang dibuat oleh Belanda. Minyak yang di produksi nantinya akan di distribusikan oleh pribumi ke daerah-daerah pedalaman (darek) dan ke pelabuhan yang selanjutnya di ekspor ke Penang, dan Singapura.BAB III

PERDAGANGAN AKASIA PADA MASA MALAISEA. Daerah penghasil Akasia di pedalaman Minangkabau1. Kawasan Luhak Agam.

Kawasan Luhak Agam merupakan salah satu dari daerah yang terletak di daerah pedalaman Minangkabau sebagai daerah inti (core region). Kabupaten Agam memiliki garis pantai sepanjang 43 km dan sungai berukuran kecil yang bermuara di Samudera Hindia, seperti Batang Agam, dan Batang Antokan. Di kabupaten ini menjulang 2 gunung, yaitu gunung Marapi di kecamatan Banuhampu dan gunung Singgalang di kecamatan IV Koto yang masing-masing memiliki tinggi 2.891 meter dan 2.877 meter. Selain itu, membentang pula sebuah danau di kecamatan TanjungRaya yaitu danau Maninjau yang memiliki luas 9,95 km.

Daerah Agam yang memiliki daerah yang berbukit-bukit dan terjal serta ditutupi oleh hutan yang lebat membuat daerah Agam memiliki cuaca yang dingin dan sejuk di siang hari, akan tetapi kesempatan masyarakat untuk menggantungkan kehidupan dengan mengandalkan usaha padi sawah sangatlah sedikit tidak seperti daerah Luhak lainnya di Minangkabau.Karena kondisi alam Agam yang penuh dengan dataran tinggi yang terjal dan berbukit-bukit juga mencerminkan watak masyarakat yang keras dan penuh persaingan.

Menanam tanaman muda merupakan salah satu cara masyarakat Agam untuk menambah pendapatan ekonomi mereka, dengan menanam berbagai jenis sayuran dan umbi-umbian, dan juga berbagai tanaman komoditi ekspor seperti kopi dan akasia. Tanaman akasia dipercaya berasal dari Agam dan awalnya tumbuh liar di kawasan hutan Agam seperti tumbuhan semak belukar, tanaman akasia telah digunakan oleh mayarakat sebagai bahan obat-obatan dan juga kebiasaan masyarakat menyeduh teh dengan kulit manis untuk menghangatkan badan saat malam hari.Tanaman akasia telah diperjual belikan dipasar-pasar tradisional di kawasan Agam seperti pasar Matur, Pandai Sikek, dan Maninjau jauh sebelum Belanda menguasai komoditas ini, namun memasuki abad IX tanaman akasia mendapat perhatian yang besar dan disukai oleh para pedagang besar di pelabuhan disebabkan harga jualnya yang tinggi dan tidak memakan banyak tempat. Lonjakan terhadap permintaan akasia terjadi pada akhir abad ke 19 sampai awal abad ke 20.

Dengan adanya permintaan yang tinggi untuk tanaman akasia asal Minangkabau di pasaran Amerika dan Eropa, membuat masyarakat Minangkabau memiliki kesempatan baru, dan mempunyai peluang usaha baru untuk terjun ke dalam perdagangan international.Baik itu masyarakat pedalaman yang memproduksi yang melibatkan anggota keluarga, maupun para petani-pedagangan yang membawa akasia ke pelabuhan. Hal ini pun membuat masyarakat Minangkabau memiliki alternatif perekonomian lain selain ekspor perdagangan kopi.Tabel berikut ini memberikan sedikit gambaran tentang permintaan negara-negara Eropa dan Amerika akan akasia hasil masyarakat pedalaman Minangkabau pada periode awal akhir abad IX.Tabel Permintaan Accasia Sumatera Barat di pasaran Amerika Dan Eropa yang Dikeluarkan dari Emmahaven (Telukbayur) perode 1926-1927

NegaraJumlah

Amerika2.400 Pikoel

Nethderland1.200 Pikoel

Engeland (Inggris)950 Pikoel

Denmarken450 Pikoel

Duitschland400 Pikoel

Sumber: Surat Kabar Tani Edisi 1926 Arsip koleksi Perpustakaan PDIKM Padang Panjang.Beberapa daerah di kawasan Agam telah menjadi pilar penting penghasil akasia daerah-daerah seperti Malalak, Pandai Sikek, dan Candung, namun untuk di daerah Malalak merupakan perkebunan akasia terbesar di pedalaman Minangkabau dibawah controlir Hindia-Belanda, kawasan Malalak yang pada saat itu masuk ke Onderdistrik IV Koto, dengan Demangnya Salim Rajo Mudo. Akasia yang dihasilkan dari perkebunan ini ialah Cinanmomum Burmanii yang merupakan jenis tersendiri dan hanya terdapat di kawasan Sumatera Westkust, yang memiliki tekstur kulit yang tebal dan aroma yang menyengat.Selain di daerah Malalak, disebelah utara Agam juga terdapat perkebunan akasia yaitu didaerah Kamang termasuk nagari-nagari Kamang Mudik, Kamang Magek dan Tilatang.daerah Kamang yang mempunyai kondisi geografis yang berada pada dataran tinggi yang berbukit-bukit dan udara yang dingin dan sejuk yang mana merupakan habitat asli tanaman akasia, hal inilah yang membuat akasia yang berasal dari daerah Agam paling disukai di pantai barat Sumatera. Yang membedakan hasil produksi akasia dari Agam dengan daerah lainnya seperti Tanah Datar ialah, jika akasia yang berasal dari Agam mempunyai tekstur kulit yang lembut, tebal dan tidak mudah patah.Tercatat pada 1918 jumlah peroduksi akasia yang dikeluarkan di kawasan Agam mencapai 950 pikoel per tahun, dan memasuki pertengahan tahun 1925 jumlah produksipun meningkat mencapai 2000 pikoel dengan seiring tingginya permintaan dan minat pemerintah Hindia-Belanda terhadap tanaman ini. Data berikut memberikan perkiraan gambaran jumlah hasil produksi akasia di kawasan Afdeling Agam.NoTahunJumlah Produksi dalam Hitungan PikoelJumlah produksi dalam hitungan Kg

11918950 pikoel49.400 kg

219201.200 pikoel62.400 kg

319221.350 pikoel70.200 kg

419241.650 pikoel85.800 kg

519262.000 pikoel10.4000 kg

619282.200 pikoel114.400 kg

Jumlah9.350 pikoel486.200 kg

Tabel 4: Hasil Produksi Akasia di Kawasan Afdeling Agam Periode 1918-1928 Sumber: Rekapitulasi Surat kabar Tani edisi 1925-1928 arsip perpustakaan Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau Padang Panjang.

Dari data di atas dapat dilihat bagaimana selama periode 1918 sampai 1928 yang mana kurang lebih dari 11 tahun produksi akasia di kawasan Afdeling Agam Mencapai 9.350 pikoel, dan jika dikalkulasikan satu pikoel orang dewasa mencapai berat 52 kg maka total seluruh produksi yang dikeluarkan selama periode tersebut mencapai 486.200 kg atau 486.2 ton. Namun sangat disayangkan sekali peneliti tidak memiliki data berapa jumlah produksi akasia yang dikeluarkan oleh kawasan Afdeling Agam pada masa krisis ekonomi Malaise.Perdagangan akasia telah memberikan dampak sosial yang berbeda pada masyarakat, perdagangan Akasia telah mendorong masyarakat Agam untuk terjun langsung dalam percaturan perdagangan pasar dunia, daerah agam dengan ciri khas komoditi akasia telah mendapat perhatian khusus baik dari pedagangan Belanda, inggris dan Amerika di pantai barat Sumatera dan hasil produksi akasia Agam pun mampu bersaing dengan hasil produksi dari negara lain seperti Cina, Siam dan pulau Seylon. Jika dibandingkan dengan akasia yang berasal dari daerah pedalaman dengan akasia yang didatangkan oleh Belanda dari pulau Seylon, yang kemudian di budidayakan di Kebun Raya Bogor pohonnya memang tumbuh baik akan tetapi kulitnya terlalu kuat melekat pada pohonya, sehingga untuk dipanen berupa lembaran-lembaran panjang untuk memenuhi permintaan pasar sangatlah susah. Berbeda dengan akasia yang berasal dari daerah pedalaman Minangkabau yang mana kulitnya sangat mudah dilepaskan dari batangnya.

2. Kawasan Tanah Datar

Kawasan Luhak Tanah Datar dalam tambo merupakan titik awal persebaran nenek moyang orang Minangkabau secara geografis wilayah Kabupaten Tanah Datar terletak di tengah-tengah Provinsi Sumatera Barat, yaitu pada 0017" LS - 0039" LS dan 10019" BT 10051" BT dengan ketinggian rata-rata 400 sampai 1000 meter di atas permukaan laut. Kabupaten Tanah Datar adalah daerah agraris lebih 70% penduduknya bekerja pada sektor pertanian, baik pertanian tanaman pangan, perkebunan. Masyarakat Tanah Datar yang menggantungkan hidup dengan mengusahakan padi sawah hal ini disebabkan kondisi tanah yang subur dan berada dilembah gunung merapi serta sedikit sekali daerah yang berbukit yang terjal yang sangat jauh berbeda dari Agam juga penduduk yang ramai dan komunikatif.

Di daerah Tanah Datar akasia juga merupakan mata dagangan yang disukai masyarakat disebabkan proses penanaman dan biaya perawatannya yang mudah dan biaya yang dikeluarkan sedikit untuk memproduksinya. Walaupaun akasia yang berasal dari kawasaan Tanah Datar tidak sebagus dari Agam namun tetap diminati para pedaganng di pelabuhan terdapat beberapa daerah atau nagari yang menjadi penghasil seperti Tanjung Alam yang berdekatan dengan Agam dan Payakumbuh, nagari Tanjung Alam memiliki kondisi daerah yang berhawa sejuk dengan tanah yang subur, sehingga untuk membudidayakan tanaman Akasia bukanlah hal yang mustahil di daerah ini.Selanjutnya nagari yang terletak dipinggang gunung merapi yaitu Sungai Jambu, daerah sungai Jambu merupakan penghasil akasia terbesar di kawasan Tanah Datar, di nagari Sungai Jambu tanaman akasia menghiasi setiap dataran tinggi dan lembah-lembah anak sungai bahkan hampir seluruh hutan dari sungai jambu sampai ke nagari paling ke utara yaitu Jambak Ulu ditutupi oleh tanaman akasia. Selanjutnya sepanjang aliran batang Bengkawas yang bermuara ke danau Ombilin nagari-nagari yang terkenal dengan Lareh Nan Panjang terdapat beberapa nagari seperti Galogandang, Padang Magek, Padang Luar, Turawan, Balimbiang, Bukit Tamasu, yang juga menghasilkan akasia, produksi akasia merupakan sesuatu yang wajib bagi masyarakat disini selain tanaman padi, kopi, dan tanaman ekspor lainnya. Sedangkan di kawasan Afdeling Tanah Datar pada tahun 1920 jumlah produksinya mencapai 450 pikoel per tahun, memang kawasan Afdeling Tanah Datar memiliki jumlah produksinya yang sedikit ketimbang Agam yang menjadi daerah produksi utama akasia. Walaupun demikian kawasan Afdeling Tanah Datar merupakan wilayah yang memiliki peran cukup besar dalam produksi akasia di daerah pedalaman.Data berikut memberikan perkiraan gambaran jumlah prodkusi akasia di kawasan Afdeling Tanah Datar.

Tabel 4No.TahunJumlah Produksi dalam Hitungan PikoelJumlah produksi dalam hitungan Kg

11920450 pikoel23.400 kg

21922950 pikoel49.400 kg

319261.100 pikoel57.200 kg

419281.400 pikoel72.800 kg

Jumlah3.900 pikoel202.800 kg

Hasil Produksi Akasia di Kawasan Afdeling Tanah Datar Periode 1920-1928Sumber: Rekapitulasi Surat kabar Tani edisi 1925-1928 arsip perpustakaan Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau Padang Panjang.

Dapat juga dilihat bahwa selama hampir 9 tahun di kawasan Afdeling Tanah Datar jumlah produksi akasia mencapai 3.900 pikoel atau setara dengan 202.800kg atau sama dengan 202.8 ton selama periode tersebut.Selama abad 19 sampai abad ke 20 akasia merupakan komoditas dagang terpenting di pantai barat Sumatera, kawasan Agam dan Tanah Datar di pedalaman yang merupakan penghasil akasia selama periode terebut telah memberikan dampak sosial-ekonomi yang beragam kepada masyarakat. Munculnya kelas petani-pedagang yang memiliki fleksibelitas dan dinamis yang mana mampu menjalani peran sebagai seorang petani dan ketika hasil produksi sudah siap dipanen maka mereka akan pergi ke daerah pantai barat Sumatera untuk memperdagangkan hasil-hasil produksi mereka.Kelas petani-pedaganag ini umumnya memiliki eksistensi diri yang bebas tanpa ada pihak yang mengekang, mereka bebas untuk berdagang dengan siapa saja biasanya para petani-pedagang ini tidak akan mau berdagang dengan Belanda atau pemerintah Hindia-Belanda. Mereka lebih suka berdagang dengan pedagang swasta Amerika dan Inggris serta saudagar Tiong-Hoa di Padang maupun di Pelabuhan. Jika menjual hasil produksi kepada Belanda mereka akan rugi dengan harga yang rendah yang di tetapkan oleh Belanda.

B. Pola Perdagangan Akasia1. Pasar dan Proses PendistribusianPenduduk Minangkabau yang mendiami kawasan pantai barat Sumatera maupun masyarakat yang ada di pedalaman menamakan pasar dengan istilah Balai/Pekan penamaan ini disebabkan hari pasar yang biasanya diselenggarakan atau diadakan satu kali dalam seminggu di setiap nagari-nagari yang berbeda, dan setiap nagari haruslah memeiliki pasarnya sendiri-sendiri. Pasar di suatu nagari diadakan pada hari tertentu itulah yang disebut sebagai hari balai atau hari pakan (Circulary Market). Oleh karena itu pasar-pasar mingguan tersebut sering juga disebut menurut hari pekannya, misalnya Pakan Senayan, Pakan Kamih, Pakan Salasa, Pakan Rabaa, Sistem ini telah melahirkan kelompok pedagang keliling yang melakukan aktivitas manggaleh babelok (berdagang keliling). Mereka berdagang dari pasar ke pasar, dari Senin hingga Seninnya lagi. Hari pasar dan suasana di pasar di nagari-nagari itu sering disebut dalam teks-teks lisan Minangkabau seperti kaba dan pantun.

Berdasarkan perkembangannya, pakan terbagi atas dua jenis, yaitu pakan ketek (kaciak) dan pakan gadang. Pakan ketek adalah pasar yang ruang lingkup operasionalnya melibatkan penduduk setempat atau paling jauh nagari tetangga yang terdekat. Pakan gadang merupakan pusat pasar bagi pasar-pasar kecil yang terdapat di sekelilingnya. Selain melibatkan jumlah pedagang yang lebih banyak dan lingkup geografis yang lebih luas, di Pakan Gadang juga terjadi interaksi sosial yang lebih komplek.Salah satu diantara Pakan Gadang atau pusat pasar yang terkenal pada abad ke-19 adalah Pasar Bukittinggi. Para pedagang yang datang membawa akasia pada tiap-tiap hari pasar akan menjadikan pasar sebagai tempat pos-pos penampungan dan selanjutnya proses pendistribusian akasia dilakukan oleh pedagang lain ke tempat penampungan selanjutnya, dalam proses pendistribusian ini terjadi hubungan sosial yang kompleks baik itu antara sesama pedagang pribumi maupun dengan pedagang pengumpul yang kebanyakan etnis Tiong Hoa, para pedagang pengumpul lebih senang menumpuk barang persediaan di gudang-gudang mereka dan menunggu saat-saat yang tepat untuk menjual atau mengekspor ketika barang benar-benar susah. atau langka didapatkan di pasar, maka ketika terjadi kelangkaan barang otomatis harga untuk komoditi akan mengalami lonjakan harga, dan hal inipun juga berlaku untuk komoditas akasia.

Para saudagar yang berjualan di pasar merupakan saudagar keliling dan para petani, yang menjual berbagai jenis komoditas pertanian serta menjual hasil kerajinan rumah tangga. Hampir semua barang yang dibutuhkan oleh dunia luar seperti kopi, akasia, gambir, lada dan lain-lain terdapat di pasar yang dibawa oleh saudagar keliling maupun para petani yang memproduksinya sendiri lalu menjual hasilnya ke pasar. Kondisi pasar umumnya terdiri dari beberapa los yang beratapkan ilalang dan warung, dengan ciri khas sebuah batang beringin besar yang berada di tengah-tengah pasar, biasanya dibawah batang beringin digunakan oleh para parewa pasar untuk bermain sepak rago setelah kegiatan pasar selesai.

Untuk hasil komoditas ekspor akasia, para petani yang memproduksinya biasanya menjual kepada saudagar pengumpul di pasar, terdapat beberapa pasar sebagai tempat pos-pos penampungan di kawasan Agam yaitu, pasar di daerah Maninjau, pasar Matur dan Pasar Bukittingi, di pasar Bukittingilah semua hasil komoditas ekspor Agam dikumpulkan, dan dibawa ke pasar Padang Panjang untuk selanjutnya dibawa ke pelabuhan dengan menggunakan kereta api melalui jalur Anai Pass. Begitu juga halnya dengan kawasan Afdelling Tanah Datar, pasar Batusangkar merupakan tempat pos penampungan terakhir dari komoditas yang dihasilkan di kawasan Afdelling Tanah Datar, untuk selanjutnya di bawa ke pasar Padang Panjang menuju pelabuhan melalui Anai Pass. Pasar Padang Panjang juga merupakan tempat pos penampungan terakhir seluruh tanaman ekspor di kawasan pedalaman Minangkabau, disebabkan akses yang mudah menuju kota pelabuhan dengan menggunakan kereta api melalui Anai Pass, dan Belanda membangun gudang-gudang yang berfungsi sebagai tempat penampungan di sekitar kawasan pasar Padang Panjang.Namun ada juga petani yang lebih suka mengantarkan komoditi sendiri ke pelabuhan dengan menggunakan pedati, memang memakan waktu yang lama akan tetapi mereka akan singgah di beberapa pasar di sepanjang jalan menuju pelabuhan seperi pasar Koto Hilalang, Sicincin, Kayu Tanam dan Lubuk Alung. Aktor yang bermain dalam proses pendistribusian di daerah pedalaman ini mayoritas merupakan pribumi, nantinya akan dijual kepada saudagar besar di kota Padang. Di pasar-pasar nagari, akasia juga merupakan mata dagangan yang sangat laris selain kopi, dan lada akasia dapat ditemukan di pasar-pasar setiap daerah yang menghasilkan komoditas ini.

Untuk kawasan Agam yang mana merupakan asal dari tanaman ini akasia dapat ditemukan di pasar-pasar nagari seperti pakan Rabaa dan Sabtu di Bukittinggi, Pasar Matur, dan pasar di daerah Pandai Sikek serta masih banyak lagi pasar-pasar nagari lainya yang menjual tanaman akasia, sedangkan untuk daerah Tanah Datar terdapat beberapa pasar-pasar nagari yang terkenal sebagai tempat memperjualbelikan hasil komoditas ekspor terutama akasia, seperti pasar Sungayang, Sungai Tarab, Pasar Simabur, Pasar Rambatan, Dan Pasar Belimbing dan masih banyak sub terkecil dari pasar-pasar nagari yang memainkan perannya sendiri-sendiri. Pentingnya pasar Nagari sebagai wadah untuk menampung para saudagar dan petani untuk mendapatkan akasia telah membuat mobilitas masyarakat petani disetiap nagari untuk meningkatkan hasil produksi mereka, akasia yang menjadi mata dagangan pilihan oleh masyarakat petani sebagai tanaman pendamping kopi, disebabkan proses perawatan dan panennya tidak rumit dan tidak memakan banyak tenaga kerja, dengan hasil keuntungan yang cukup besar itulah kenapa membudidayakan akasia di sukai masyarakat di pedalaman.2. Jalur dan Jaringan Perdagangan

Jaringan perdagangan akasia dimaksudkan disini ialah proses sosial yang terjadi ketika transaksi tukar-menukar barang antara para pelaku perdagangan yang meliputi petani, saudagar pribumi, Timur Asing, dan Eropa, untuk perdagangan akasia jaringan perdagangan dilakukan antara daerah pedalaman dengan daerah pantai yang mana hubungan perdagangan ini telah lama dilakukan di Minangkabau.Para pedagang dari daerah pedalaman sangat terbantu dengan adanya jalur kereta api Anai Pass dan Subang Pass yang menghubungkan ke kota pelabuhan, selama akhir abad XIX dan awal abad XX jalur kereta api merupakan hal yang sangat vital dalam proses pendistribusian berbagai hasil komoditas.Namun ada juga para pedagang yang masih mempertahankan dan mengikuti jalur-jalur kuno dari daerah pedalaman ke arah pantai Pariaman, Tiku dan Padang kebanyakan para pedagang ini memiliki pedati untuk membawa barang dagangannya, untuk diketahui bahwa sedikit sekali aliran sungai yang bisa dilayari di daerah pedalaman Minangkabau menuju daerah pantai, maka jalan-jalan setapak merupakan akses yang sangat penting bagi mereka.

Untuk daerah kawasan Agam terdapat jalan-jalan dari Tiku lewat Manggopoh dan menyusuri pinggir sungai batang Antokan dan juga menghubungakn kawsan Matua, selanjutnya selain menggunakan kereta api, juga terdapat ruas jalan Lembah Anai yang menghubungkan Pariaman dengan Padang Panjang dan Tanah Datar. Para pedagang yang datang dari pedalaman dengan menggunakan pedati yang ditrarik oleh kerbau akan lebih memilih jalur ini.Posisi daerah pedalaman Minangkabau yang berada ditengah-tengah tentulah sangat menguntungkan dalam dunia niaga, para saudagar di pedalaman mempunyai dua akses pintu keluar bagi kegiatan dagang mereka yaitu Pantai Barat dan Pantai Tmur, praktek dagang seperti ini telah dilakukan oleh saudagar Minangkabu sejak lama. Memasuki awal abad ke 20 keterlibatan saudagar Eropa dan Cina semakin bervariasi dan semakin intensif, hal ini tak lepas dari semakin membaiknya sarana dan prasarana transportasi, perkembagan ini merupakan buah dari kebijakan Pemerintahan HindiBelanda yang memberi kesempatan kepada saudagar non pribumi sebagai Transportannemer.

Peta.1 Peta Jalur Perdagangan Anai Pass dan Subang Pasdi Kawasan Pedalaman Minangkabau (PadangscheBovenlanden) Sumber : Internet, Arsip Digital minanglamo.blogspot.com Dari peta di atas dapat dilihat jalan jalan kereta api yang menghubungkan daerah pedalaman ke daerah kota pelabuhan Padang dan Pariaman. Usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda iini dalam meningkatkan jaringan perdagangan dengan daerah pedalaman sangatlah menguntungkan bagi masyarakat Minangkabau juga meningkatkan geliat ekonomi masyarakat. Berikut beberapa data tentang pembangunan jalan kereta api oleh pemerintah Hindia-Belanda di Sumatera Westkust. Tabel 5: Pembangunan Jalan Kereta Api di kawasan Residentie Sumatera Westkust periode Awal abad XXNo.Jalur KeretaTahun di bangunPanjang

1Padang Ombilin1889-1891128 km

2Pulau air Padang Panjang189171 km

3Padang Panjang Bukittinggi189119 km

4Padang-Padang Panjang-Solok189253 km

5Solok-Muaro Kalaban189223 km

6Padang-Teluk Bayur18927 km

7Teluk Bayur-Swahlunto189495 km

8Bukitting-Payakumbuh1896-190675 km

9Lubuk Alung-Pariaman-Sungai Limau1910-192155 km

Sumber: Zulfikri, Pembangunan rel dan Pengoperasian Kereta Api di Sumatera Barat dalam Jurnal. Pdf, engantar pameran pembukaan dan peresmian museum Kereta Api Sawahlunto pada 17 desember 2005.Dengan semakin bagusnya prasarana transportasi darat maka sarana transportasi yang digunakan pun semakin beragam, lebih baik dan cepat. Dengan bertambah mudahnya akses menuju kota pantai maka semakin membuat bergairahnya prekonomian masyarakat, para pedagangan dari pedalaman semakin mudah untuk melakukan transaksi dagang dan semakin menambah mobilitas jiwa saudagar mereka yang terkenal lihai dan cerdik, hal ini semakin membuka kesempatan baru dalam dunia kewirausahaan Minangkabau pada abad ke IX dan awal abad ke XX. Berikut ilustrasi bagaimana mata rantai dan proses pemasaran hasil akasia.

Jaringan perdagangan akasia antara daerah pedalaman sebagai penghasil komoditas ini dengan kota-kota pantai memiliki ikatan yang kuat, dengan adanya jaringan perdagangan tanaman kasia sebagai mata dagangan baru yang mampu mengimbangi tanaman ekspor utama kopi. Dan hal ini inipun tentunya menyebabkan munculnya persaingan yang tajam di antarasesama saudagar, baik antara sesama saudagar pribumi maupun Timur Asing dan Eropa, dengan didukung oleh modal yang kuat, politik pemerintahan yang memberi banyak kemudahan kepada saudagar Eropa dan Cina.

Maka peran saudagar pribumi dalam dunia niaga antara daerah pantai dengan daerah pedalaman semakin memperkecil peranan saudagar pribumi dan hanya sedikit sekali yang mampu bersaing dengan para saudagar Cina dan Eropa, kecualai perdagangan kain didaerah selatan seperti Silungkang yang tetap di pegang oleh saudagar Minangkabau. Sedangkan untuk komoditas ekspor utama seperti kopi, akasia, gambir, pala hampir dikendalikan oleh saudagar Cina maupun Eropa.3. Perdagangan Akasia dalam Masa MalaiseTelah disebutkan bahwa tahun 1930 merupakan puncak terjadinya krisis ekonomi yang berskala internasional, tentu saja, bagi wilayah Hindia-Belanda sangat terpukul dengan adanya krisis tersebut, karena banyak produksi yang berorientasi ekspor sangat rentan terhadap siklus perdagangan. Hindia-belanda yang merupakan negara agraris pada wakt itu termasuk wilayah yang perekonomian utamanya didasarkan pada pengekspor bahan-bahan mentah, disamping itu juga merupakan negara debitur, sehingga ketika terjadi krisis ekonomi malaise, maka Hindia-Belanda lebih sensitif terhadap kemerosotan ekonomi dibandikan negara-negara lain yang berdalam dalam kondisi yang berbeda. Oleh karena itu, di Indonesia pada saat itu harga-harga produk ekspor jatuh secara drastis, melebihi dari harga barang-barang impor. Akibatnya, perbandingan harga-harga barang impor dan ekspor tidaklah seimbang.

Seperti yang telah diketahui krisis ekonomi Malaise yang menyebabkan jatuhnya harga jual terhadap berbagai tanaman ekspor di Hindia-Belanda berdampak dengan terjadinya transformasi sosial-ekonomi masyarakat, hal ini disebakan masyarakat Hindia-Belanda pada masa itu yang rata-rata bergantung hidup dengan mengandalkan tanaman-tanaman ekspor seperti kopi, karet dan gula. Daerah Sumatera Westkus yang merupakan salah satu kawasan yang banyak mendatangkan keuntungan dalam hal tanaman ekspor bagi pemerintah Hindia-Belanda, juga tidak lepas dari cengkaram maut krisis ekonomi malaise, tanaman utama seperti kopi, gambir, pala, kopra dan karet mengalami penurunan harga jual, masyarakat di pedalaman yang telah lama menggantungkan hidup mereka dengan mengusahakan tanaman-tanaman ekspor mengalami goncangan ekonomi yang hebat.Tidak dapat dipungkiri depresi ekonomi memang benar-benar membuat masyarakat tidak dapat berbuat banyak masyarakat merasa putus asa dengan hasil komoditi mereka, selain untuk membiayai produksi yangsusah, juga membutuhkan modal yang cukup besar. Dalam kondisi yang semacam ini, tentu saja rakyat tidak dapat berharap banyak kepada pemerintah Hindia-Belanda untuk mengentaskan kesengsaraan. Kebijakan politik ekonomi Belanda yang dijalankan satu pihak dengan cara melakukan penghematan secara besar-besaran dan disisi lainya mempertahankan pendapatan ekspor terutama dihasil perkebunan, yang hanya menambah kesengsaraan bagi rakyat.

Pada masa-masa kritis ini harapan rakyat satu-satunya adalah kepada golongan menengah para pedagang dan kaum intelektual atau juga kaum pergerakan, kaum inilah yang banyak menolong kesengsaraan rakyat pada masa depresi ekonomi ini, berbagai usaha untuk menyesuaikan diri dari kaum pergerakan, antara lain dengan menjalankan politik kooperasi untuk membantu dalam bidang ekonomi rakyat.

Merosotnya perdagangan berdampak kepada masyarakat yang berada di pedalaman yang menggantungkan hidup mereka dari hasil tanaman ekspor mengalami kemiskinan, pengganguran, bahkan banyaknya terjadi aksi penjarahan, perampokan. krisis ekonomi malaise yang menjerumuskan masyarakat kedalam dilema sosial-ekonomi yang serba susah.

Perdagangan kopi yang mana sebelum depresi ekonomi malaise memberikan keuntungan yang besar bagi masyarakat maupun pemerintah Hindia-Belanda, hanya dalam sekejap mata jatuh nilai jualnya dan hal itu menyebabkan menumpuknya jumlah persedian kopi, menumpuknya jumlah persedian kopi juga disebabkan sistem eksploitasi masyarakat melalui kebijakan politik Hindia-Belanda, bahkan masyarakatpun mengeringkan sawah-sawah mereka untuk ditanami kopi.

Menumpuknya persedian kopi sehingga harga jual yang rendah, sedangkan untuk proses perawatan dan pemetikan hasil panen membutuhkan tenaga kerja dengan biaya yang sangat mahal, dan belum lagi ongkos pengiriman yang perlu dikeluarkan oleh petani, sehingga membuat masyarakat putus asa dan tidak dpat berharap banyak terhadap tanaman ini. Sawah-sawah yang dikeringkan dan ditanami kopi telah dibiarkan begitu saja bahkan di tumbuhi oleh semak-semak ilalang, dan banyak masyarakat yang kembali mengintensifkan tanaman subsistensi seperti padi, kentang, ubi untuk memenuhi kebutuhan hidup.Akan tetapi berbeda dengan tanaman akasia, akasia yang dibudidayakan oleh masyarakat di pedalaman justru mendapat perhatian pada masa krisis ekonomi Malaise, hal yang membuat ini terjadi ialah akasia sebelum ,malaise merupakan tanaman yang sering di tanam oleh masyarakat di lereng-lereng kebun kopi mereka sebagai tanaman pendamping, pada saat itu masyarakat hanya terfokus kepada kopi yang harganya mahal. Namun justru ketika wabah malaise melanda perdaganagn akasia mampu menjadi ekonomi alternatif bagi masyarakat di pedalaman dan jika dibandingan dengan jenis tanaman eskspor lainnya tanaman akasia lebih mudah proses memperusahakannya, bahkan akasia yang tumbuh liar di hutan-hutanpun tak luput dari sasaran masyarakat untuk dipanen, maka dengan proses pemeliharaan dan memperusahakannya yang mudah dan harga jualnya pun mampu melebihi kopi, kopra dan karet pada saat itu.

Komoditi akasia yang muncul sebagai alternatif ekonomi perdagangan bagi masyarakat di pedalaman telah menjadi pembeda dalam kasus depresi ekonomi malaise, seperti yang diketahui bahwa negara-negara produsen seperti Hindia-Belanda yang menyuplai bahan mentah untuk keperluan industri ke negara-negara maju di Eropa dan Amerika, sangatlah terpukul ekonominya di akibatkan terjadinya krisis malaise dampaknya pun sangatlah jelas dengan turunya harga terhadap hasil-hasil perkebunan untuk ekspor. Namun tidak semua hasil komoditi yang dibutuhkan oleh beberapa Negara-negar maju di Eropa dan Amerika mengalami penurunan permntaan, ini disebabkan akasia yang berasal dari daerah Sumatera Westkust menjadi bahan yang langka di pasaran, sedangkan akasia sangat dbutuhkan oleh masyarakat eropa pada musim dingin, selain itu masyarakat Eropa yang memilik cita rasa yang tinggi menjadikan akasia sebagai salah satu bumbu favorit mereka.Mampunya akasia bertahan ditengah-tengah badai Malaise telah menjadi nilai yang berharga bagi masyarakat, dan juga faktor daerah penghasil akasia yang tidak merata dan terbatas juga merupakan hal yang menyebabkan akasia agak susah di dapatkan di bandingkan tanaman-tanaman dagang lainnya. Namun disatu sisi lainya tanaman akasia memiliki kendala yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk panen, membutuhkan waktu kisaran 6-8 tahun untuk bisa memanen satu batang pohon akasia. Jadi akasia yang dipanen dan yang diusahakan rakyat merupakan akasia yang ditanam dengan cukup lama di sekitar lereng-lereng perbukitan di perkebunan kopi.

Akasia yang ditanam di sekitar perkebunan kopi bertujuan sebagai tanaman untuk pelindung kopi dari bahaya angin yang kencang yang bisa membuat batang dan dahan kopi menjadi patah, selain itu pohon akasia yang tinggi juga dijadikan oleh masyarakat di pedalaman sebagai tanda batas tanah, batas antara satu tanah perkebunan dengan pemilik lainya maka ditanam pohon akasia sebagai pembatasnya. Ketika krisis malaise tejadilah perubahan nilai dan fungsi dari tanaman tersebut, perdagangan akasia pada masa malaise merupakan sebuah transformasi nilai sosial dan ekonomi masyarakat, dan juga merupakan salah satustrategi untuk mempertahankan hidup bagi para petani dan pedagang.Transformasi sosial dan ekonomi yang telah dilakukan masyarakat petani dan pedagang dari produk akasia telah menunjukan munculnya kedinamisan perorangan masyarakat untuk memperbaiki perekonomian, dengan ciri individualitas yang meningkat dan bahkan tidak menutup kemungkinan adanya pola pokir kapitalis yang muncul pada saat itu dalam diri masyarakat pedalaman. Walaupun masih terikat dengan budaya orang Minangkabau. Kecendrungan orang Minangkabau menjadi pedag