akal menurut ibn thufayl skripsirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... ·...
TRANSCRIPT
AKAL MENURUT IBN THUFAYL
SkripsiDiajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh
ENDANG RUSDIANANIM: 1112033100057
JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2019 M
iii
ABSTRAK
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diciptakan Allahmempunyai banyak kelebihan jika dibandingkan dengan mahkluk lain. Satu halyang membuat manusia lebih baik dari mahkluk yang lain yaitu, manusia mampuberpikir dengan akalnya, karena manusia dianugerahi oleh Allah dengan akalsehingga dengannya manusia mampu memilih, mempertimbangkan, menentukandan mempertanggungjawabkan jalan pikirannya sendiri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kemampuan akal manusiadalam memperoleh pengetahuan dan kebenaran yang terdapat dalam karyaseorang tokoh. Penelitian dalam skripsi ini dapat digolongkan dalam “penelitiankepustakaan”, mengenai teks naskah atau buku. Pendekatan penelitian skripsi inimenggunakan pendekatan kualitatif yang bersumber dari data-data primer dandata-data sekunder.
Sekilas, kisah Ḥayy bin Yaqzhān karya Ibn Thufayl seperti kisah dongengatau hayalan, tetapi jika kalimat “Ḥayy bin Yaqzhān” diganti dengan “akal” danjika pulau yang jauh itu dianggap bumi yang kita diami ini, tentulah kisah itumenjadi sejarah yang benar, tidak ada tanda-tanda hayalan sama sekali didalamnya. Pikiran-pikiran tentang ma’rifah, wujud, iman kepada Tuhan dankeutamaannya, nampak jelas di celah-celah kisahnya, bagaimana akal berangsur-angsur mencapai pengetahuan (ma’rifah), sehingga ia mengetahui Tuhan,kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Inti pemikiran Ibn Thufayl dalam kisah ini adalah tidak adanyapertentangan antara akal dan wahyu, karena keduanya sama- sama berakhir padasatu tujuan yaitu ma’rifah terhadap Tuhan.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan yang maha pengasih dan maha
penyayang. Engkau yang selalu memberikan karunia dan nikmat kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurah limpahkan kepada Rasulullah Saw, kepada keluarganya,
sahabat-sahabatnya, dan kita sebagai umatnya yang menanti pertolongannya di
akhirat nanti. Aamiin.
Penulis ucapkan syukur kepada Allah Swt. atas selesainya penulisan dan
penyusunan skripsi yang berjudul “AKAL MENURUT IBN THUFAYL”
sebagai tugas akhir akademis pada Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam di Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Berkat
bantuan, bimbingan, dan dukungan berbagai pihak yang senantiasa selalu
membantu agar penulisan ini dapat terselesaikan. Karena itu perkenankanlah
penulis untuk menyampaikan ucapan banyak terima kasih terkhusus kepada:
1. Drs. Nanang Tahqiq, M.A. selaku dosen pembimbing skripsi
yang selalu meluangkan waktunya di tengah kesibukan dan
aktifitas padatnya untuk membimbing dan mengarahkan penulis
demi perbaikan dan hasil skripsi yang mendekati sempurna.
2. Dra. Tien Rohmatin, MA selaku ketua Prodi Aqidah dan Filsafat
Islam dan Dr. Abdul Hakim Wahid, MA selaku Prodi Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan yang maha pengasih dan maha
penyayang. Engkau yang selalu memberikan karunia dan nikmat kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurah limpahkan kepada Rasulullah Saw, kepada keluarganya,
sahabat-sahabatnya, dan kita sebagai umatnya yang menanti pertolongannya di
akhirat nanti. Aamiin.
Penulis ucapkan syukur kepada Allah Swt. atas selesainya penulisan dan
penyusunan skripsi yang berjudul “AKAL MENURUT IBN THUFAYL”
sebagai tugas akhir akademis pada Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam di Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Berkat
bantuan, bimbingan, dan dukungan berbagai pihak yang senantiasa selalu
membantu agar penulisan ini dapat terselesaikan. Karena itu perkenankanlah
penulis untuk menyampaikan ucapan banyak terima kasih terkhusus kepada:
1. Drs. Nanang Tahqiq, M.A. selaku dosen pembimbing skripsi
yang selalu meluangkan waktunya di tengah kesibukan dan
aktifitas padatnya untuk membimbing dan mengarahkan penulis
demi perbaikan dan hasil skripsi yang mendekati sempurna.
2. Dra. Tien Rohmatin, MA selaku ketua Prodi Aqidah dan Filsafat
Islam dan Dr. Abdul Hakim Wahid, MA selaku Prodi Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan yang maha pengasih dan maha
penyayang. Engkau yang selalu memberikan karunia dan nikmat kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurah limpahkan kepada Rasulullah Saw, kepada keluarganya,
sahabat-sahabatnya, dan kita sebagai umatnya yang menanti pertolongannya di
akhirat nanti. Aamiin.
Penulis ucapkan syukur kepada Allah Swt. atas selesainya penulisan dan
penyusunan skripsi yang berjudul “AKAL MENURUT IBN THUFAYL”
sebagai tugas akhir akademis pada Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam di Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Berkat
bantuan, bimbingan, dan dukungan berbagai pihak yang senantiasa selalu
membantu agar penulisan ini dapat terselesaikan. Karena itu perkenankanlah
penulis untuk menyampaikan ucapan banyak terima kasih terkhusus kepada:
1. Drs. Nanang Tahqiq, M.A. selaku dosen pembimbing skripsi
yang selalu meluangkan waktunya di tengah kesibukan dan
aktifitas padatnya untuk membimbing dan mengarahkan penulis
demi perbaikan dan hasil skripsi yang mendekati sempurna.
2. Dra. Tien Rohmatin, MA selaku ketua Prodi Aqidah dan Filsafat
Islam dan Dr. Abdul Hakim Wahid, MA selaku Prodi Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam.
vi
3. Dr. Abdul Hakim Wahid, MA selaku dosen penasihat akademik
saya yang selalu berkenan ditemui ketika penulisan menemukan
kesulitan selama perkuliahan dan berkenan membimbing dalam
penulisan proposal skripsi penulis.
4. Jajaran Dekanat Fakultas Ushuluddin dan khusus kepada seluruh
Dosen jurusan Aqidah dan Filsafat Islam yang senantiasa ikhlas
memberikan perkuliahan dan membimbing selama penulis belajar
di Jurusan Aqidah Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Kepada yang tercinta Bapak Abdul Rosad, kepada Ibu Engkom
Sri Wahyuni yang cinta dan kasih sayangnya tak pernah padam
dan selalu mengingatkan penulis untuk menyelesaikan tugas
akhir. Semoga Allah ridho segala amaliyah bapak dan ibu.
6. Kepada adik saya Pandi Ali Mustofa, Ihsan Pathurohman, dan
Romzul Q, serta, kepada seluruh keluarga besar dari kedua orang
tua, sanak sodara, yang telah memberikan subangsih demi
keberlangsungan penulis menyelesaikan tugas akhir ini.
7. Teman-teman seperjuangan Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam
angkatan 2012 yang selalu membuat rindu dengan diskusi-diskusi
selama masa perkuliahan.
8. Kepada Sofa Alawiyah beserta keluarga besar yang senantiasa
menyemangati penulis menyelesaikan tugas akhir ini.
9. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya
(HIMALAYA-JAKARTA) yang senantiasa mendukung dan
menyemangati penulis.
vii
10. Kepada Irfan Sanusi, Arip Nurahman, Rifqi Taufikul Hafidzh
yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan tugas akhir
dari awal penulisan hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan. Adapun segala kekurangan dan kesalahan
pada skripsi ini menjadi tanggung jawab penulis. Harapan penulis, semoga skripsi
ini dapat bermanfaat untuk perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Ciputat, 02 Mei 2019Penulis
Endang Rusdiana
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
ا a ط thب b ظ zh
ت t ع ‘
ث ts غ gh
ج J ف f
ح ḥ ق q
خ kh ك k
د d ل l
ذ dz م m
ر r ن n
ز z و w
س s ه h
ش sy ء ʼص sh ي y
ض dh ة h
x
Vokal Panjang
آ ā
إى ī
أو ū
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
LEMBAR PERNYATAAN.................................................................................i
ABSTRAK........................................................................................... ................ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................iii
PEDOMAN TRANSLITERASI.......................................................................iv
DAFTAR ISI...................................................................................... ..................v
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah........................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................4
C. Batasan Masalah....................................................................................5
D. Tujuan Penelitian...................................................................................5
E. Manfaat Penelitian.................................................................................5
F. Tinjauan Pustaka...................................................................................5
G. Metode Penelitian..................................................................................7
BAB II BIOGRAFI IBN THUFAYL.................................................................9
A. Karir.......................................................................................................9
B. Latar Belakang Pemikiran....................................................................15
C. Karya-karya..........................................................................................24
BAB III DEFINISI AKAL................................................................................26
A. Definisi Akal dalam Teologi................................................................26
B. Definisi Akal dalam Falsafat...............................................................38
C. Definisi Akal menurut Ibn Thufayl......................................................41
ix
BAB IV PERANAN AKAL DALAM MEMEROLEH PENGETAHUAN
MENURUT IBN THUFAYL........................................................................... 44
A. Metode Akal dalam memperoleh Pengetahuan...................................44
B. Hubungan Akal dan Agama.................................................................48
C. Fase-fase Perkembangan Akal.............................................................53
BAB V PENUTUP..............................................................................................60
A. Kesimpulan...........................................................................................60
B. Saran......................................................................................................61
1
BAB I
A. Latar Belakang Masalah
Akal adalah satu-satunya kekuatan yang dimiliki oleh manusia, sekaligus
menjadi pembeda antara manusia dari mahluk lain di dunia ini. Akal merupakan
tonggak kehidupan manusia dan dasar pembinaan budi pekerti mulia yang
menjadi dasar sumber kehidupan dan kebahagiaan hidup manusia. Akal
merupakan suatu karunia Tuhan yang luhur yang diberikan kepada manusia.
Dengan akal manusia bisa berpikir tentang dirinya dan juga alam sekitarnya. Akal
pula yang bisa membedakan antara manusia dari mahluk lain. Dengan akalnya
manusia juga bisa membedakan mana hal baik dan mana hal buruk sebagai
tuntunan kehidupan manusia secara personal, dan kommunal. Dengan akalnya
manusia berusaha mengatasi setiap kesulitan-kesulitan yang ditemuinya dalam
kehidupan.
Selain akal, teori pengetahuan mengatakan bahwa suatu pengetahuan
bersumber dari pengalaman yang diterima oleh kesan inderawi. Pernyataan ini
berpendapat bahwa untuk menemukan sebuah pengetahuan, diperlukan adanya
sebuah pengalaman. Dengan demikian, bahwa untuk membuktikan sebuah
kebenaran akan suatu pengetahuan, diperlukan adanya upaya penelitian di
lapangan, observasi.1
Epistemologi2 selalu menjadi bahan menarik untuk dikaji karena di sinilah
dasar-dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan yang diperoleh manusia
1 Muhammad Alfan, Filsafat Modern, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 171.2 Epistemologi berasal dari bahasa Yunani epistēmē, artinya "pengetahuan", dan logos,
artinya "diskursus" adalah cabang falsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat
2
sebagai bahan pijakan mereka. Konsep-konsep ilmu pengetahuan yang
berkembang pesat pada saat ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya
dapat ditelusuri akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya. Di
dalam gaya hidup masyarakat sekarang yang serba modern dengan berbagai
kemudahan yang ditawarkan lewat kecanggihan teknologi di masayarakat,
ternyata banyak yang tak hanya menggunakan rujukan epistemologi yang serba
rasional dalam menemukan pengetahuan dan kebenaran mereka. Tetapi ada juga
yang masih mempercayai kekuatan magis sebagai sumber pengetahuan dan
kebenarannya, ada juga yang mengombinasikan antara rasional dengan mistik, di
mana mereka tidak hanya bepikir rasional tetapi juga melakukan praktik atau
amalan-amalan magis untuk pengetahuan baru mereka. Di beberapa kasus banyak
terjadi seorang akademisi di samping bergelut dengan dunia pengetahuan yang
rasional, di sisi lain dia juga percaya pengetahuan yang diraih melalui keajaiban-
keajaiban.3
Dalam sejarah perkembangan Islam, ilmu pengetahuan berkembang sangat
pesat dengan banyaknya tokoh-tokoh besar dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan. Para sarjana muslim menitik beratkan pengetahuan pada sumber
pengetahuan yang rasional sebagai solusi atau penjabaran atas kerumitan dalil-
dalil dan dogma-dogma agama sehingga kerumitan dalam agama bisa dipahami
lebih rasional.
pengetahuan, pengandaian-pengandaian, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenaipengetahuan yang dimiliki. Lihat Kenneth T. Gallagher, The Philosophy of Knowledge, terj P.Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 5.
3 Murtadha Muthahhari, Man and Universe, terj Ilyas Hasan (Jakarta: Lentera Basritama,2002), h. 183.
3
Ibn Thufayl adalah seorang tokoh falsafat Islam yang sangat berpengaruh,
failasuf dari kawasan Islam Barat yang hidup pada masa pemerintahan Daulah
Muwaḥḥidūn di Andalusia4 Spanyol. Nama lengkapnya adalah Abū Bakr
Muḥammad İbn Abd al-Mālik İbn Thufayl. Ia lahir di Wadi Asy (Guardix)
berdekatan dengan Granada sekitar tahun 500 H/1106 M. Ia menguasai berbagai
macam ilmu pengetahuan di antaranya ilmu kedokteran, astronomi, dan falsafat.
Salah satu pemikiran Ibn Thufayl sangat menarik untuk diteliti adalah pendapat
tentang keagungan akal manusia. Menurut Ibn Thufayl, akal manusia memiliki
potensi yang amat besar untuk tumbuh dengan kualitas akal yang ia miliki. Andai
potensi akal itu diasah secara tajam akan mengantarkan sesorang menjadi failasuf
atau sufi. Akal yang dimilikinya tidak saja mampu menguak alam empiris,
melainkan juga mampu memahami alam metafisik, bahkan hatinya juga dapat
dikembangkan sedemikian rupa hingga dapat mengalami musyāhadah
(persaksian) keindahan cahaya Ilahi dan alam metafisik lainnya.5
Dalam kisah Ḥayy bin Yaqzhān Ibnu Thufayl dengan rinci menjelaskan
bagaimana akal manusia yang tanpa bimbingan wahyu mampu mencapai
kebenaran tentang Tuhan, dunia dan juga alam ruhaniah yang tidak kontradiktif
dengan kebenaran wahyu.
Akal manusia dapat menemukan kebenaran tanpa bantuan dari agama,
yaitu pengetahuan yang ia dapatkan melalui panca indera dan percobaan,
4 Andalusia merupakan pintu gerbang masuknya Islam ke benua Eropa. Kota Andalusiaterletak di barat daya benua Eropa, yakni di semenanjung Iberia. Kini, semenanjung lberiaterpecah menjadi dua negara, yakni Spanyol dan Portugal. Bangsa Arab menyebutnya dengan al-Andalus yang diambil dari kata Vandalusia, Vandalusia sendiri berasal dari kata Vandal. Iamerupakan sebuah suku di Eropa yang datang menyerbu semenanjung lberia sebelum dikuasaioleh bangsa Arab. Lihat W. Montgomery Watt, A History of Islamic Spain, (Edinburgh: TheUniversity Press, 1967), h. 17.
5 Amroeni Drajat, Filsafat Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 67.
4
pengetahuan yang merupakan hasil atau penarikan kesimpulan atas percobaan
yang ia lakukan, atau pengetahuan yang diberikan alam penciptaan dan perusakan
(alam semesta) hingga sampai ke kebenaran tertinggi. Pengetahuan ini
ditanamkan Tuhan ke dalam diri manusia sehingga dapat menerima gagasan-
gagasan dan kecenderungan aktif untuk menyelidiki, sebab “semua orang menurut
fitrahnya memiliki hasrat untuk mengetahui”6
Dalam kisah Ḥayy bin Yaqzhān İbn Thufayl menggambarkan tokoh utama
dalam cerita sebagai lambang perjalanan akal manusia. Ḥayy merupakan seorang
anak manusia yang hidup terasing dari manusia yang lain. Di dalam hutan ia
dibesarkan dalam asuhan rusa sampai ia tumbuh menjadi manusia dewasa.
Dengan akal dan kesucian jiwanya Ḥayy menjadi seorang anak manusia dewasa
yang sempurna. Dia mempunyai pengetahuan seperti manusia biasa, dan bisa
membedakan mana baik dan mana yang buruk, dan mampu menyelesaikan
masalah-masalah seputar kehidupannya. Dia mampu memahami fenomena-
fenomena yang terjadi di alam, bahkan memahami bukan hanya sebagai gejala
alam biasa, namun untuk sesuatu pengetahuan yang luhur tentang eksistensi
Tuhan yang telah menciptakan seluruh alam semesta ini.
Dalam kisah di atas, Ibn Thufayl ingin menyampaikan pesan kepada kita
bahwa akal yang dimilki manusia bisa sampai kepada pengetahuan tertinggi
dengan usaha dan perenungan mendalam atas sebuah fenomena yang terjadi di
alam semesta ini.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
6 Lenn E. Goodman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam terj Tim Mizan (Bandung :Mizan Media Utama, 2003) , h. 390.
5
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis ingin menarik pertanyaan-
pertanyaan dasar seputar keterkaitan antara pengetahuan manusia yang berasal
dari akal manusia tanpa bantuan dari agama, melainkan melalui panca indera dan
percobaan, dan perenungan. Dimanakah titik temu antara kebenaran yang
dilakukan oleh akal (falsafat) dengan kebenaran yang diperoleh melalui wahyu
(agama). Agar mendapatkan hasil yang sistematis serta tidak melebar
pembahasannya, dan tentunya menjadikan sebuah temuan baru dalam menambah
wawasan tentang pemikiran Ibn Thufayl, penulis merumuskan poin utama dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peranan akal dalam memperoleh pengetahuan menurut Ibn
Thufayl?
C. Tujuan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis memilki tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep akal menurut Ibn Thufayl sebagai salah satu
jalan untuk memperoleh kebenaran.
2. Untuk mendapat gelar Strata 1 (Sarjana Agama / S. Ag) di jurusan Aqidah
dan Falsafat Islam di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai sumbangan pemikiran di bidang Falsafat Islam dalam
menjelaskan salah satu konsep kebenaran.
2. Senantiasa merefleksi diri atau mengaktualisasikan konsep kebenaran ke
ranah aksi, demi tercapainya kematangan berpikir kita.
6
E. Tinjauan Pustaka
Pemikiran filosofis Ibn Thufayl sangat menarik untuk dikaji, sebagai salah
satu tokoh falsafat Islam yang terkenal dari Granada, Spanyol. Tokoh yang sangat
berpengaruh di dunia Islam dan memberikan sumbangsih yang banyak dalam ilmu
pengetahuan dan kedokteran. Pembahasan yang secara eksplisit menulis dalam
bahasa Indonesia tentang salah satu karya monumental dari tokoh İbn Thufayl
adalah Nurhidayah dengan Judul yang sama “Ḥayy Bin Yaqzhān/Manusia dalam
Asuhan Rusa”. Sebuah kisah yang menggambarkan perjalanan pengetahuan
seorang anak manusia yang hidup sebatang kara bernama Ḥayy bin Yaqzhān.
Dengan anugerah kekuatan jiwanya, ia memperoleh pengetahuan. Dari
pengetahuan yang ia dapatkan melalui panca indra dan percobaan, pengetahuan
yang merupakan hasil atau penarikan kesimpulan atas percobaan yang ia lakukan
atau pengetahuan yang diberikan alam penciptaan dan perusakan alam semesta
sehingga sampai ke titik pengetahuan tertinggi tentang teosofi ilahiyat7
Pembahasan lain yang pernah menyinggung pemikiran İbn Thufayl adalah
penelitan yang dilakukan oleh Ramlan Adi Kusumo dengan judul “Titik Temu
antara Falsafat dan Agama Menurut İbn Thufail”. Penelitian ini hanya
mendeskripsikan tentang pemikiran İbn Thufayl dalam menjelaskan sinkretisme
antara filsafat dan agama, bahwa filsafat dan agama mempunyai tujuan yang sama
yakni mencari kebenaran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa apa yang diperintahkan
syari’at Islam dan yang diketahui akal yang sehat adalah berupa kebenaran,
7 Ibn Tufail, Hayy ibn Yaqdzon/Manusia dalam Asuhan Rusa, terj Nurhidayah(Yogyakarta : Navila 2010).
7
kebaikan dan keindahan. Keduanya dapat bertemu dalam suatu titik yang tidak
diperselisihkan lagi.8
Lalu dalam pembahasan lain yang juga membahas tentang pemikiran Ibn
Thufayl adalah penelitian yang dilakukan oleh Achmad Sapei yang berjudul
“Akal dan Wahyu dalam Pandangan İbn Thufayl” peneletian ini menjelaskan
bahwa adanya harmonisasi antara kebenaran yang didapat dengan akal dengan
kebenaran dengan kebenaran wahyu dalam mencapai pengetahuan tentang Tuhan9
Sementara dalam buku Syekh Nadim al-Jisr dengan judul “Kisah mencari
Tuhan” menjelaskan beberapa pemikiran filosof muslim di antaranya adalah Ibn
Tufayl tentang kisah Ḥayy bin Yaqzhān, dalam bukunya diterangkan bahwa
pikiran-pikiran tentang ma’rifah, wujud, iman kepada Tuhan dan keutamaan,
nampak jelas dalam kisah Ḥayy bin Yaqzhān, bagaimana akal secara berangsur
menelaah tentang suatu fenomena yang kemudian menghasilkan kesimpulan
sampai kepada pengetahuan yang tertinggi yaitu tentang Tuhan.10
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam skripsi ini menggunakan metode
penenilitian kepustakaan (library research methods). Dalam hal ini bahan-bahan
pustaka diperlukan sebagai sumber ide untuk menggali (ekplorasi) pemikiran atau
gagasan baru, sebagai bahan dasar untuk melakukan penarikan kesimpulan dari
pernyataan yang umum ke pernyataan yang khusus (deduksi) dari pengetahuan
8 Ramlan Adi Kusumo, “Titik Temu antara Filsafat dan Agama Menurut Ibnu Thufail”,diseminarkan pada tanggal 14 Juni 2000 untuk meraih gelar S1, di Fakultas Ushuluddin, UINSUSKA Riau, Pekanbaru.
9 Achmad Sapei, “Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibn Thufayl” Skripsi jurusanAqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. tahun 2010.
10 Syekh Nadim al-Jisr, Kisah Mencari Tuhan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 79.
8
yang sudah ada, sehingga kerangka teori baru dapat dikembangkan, atau sebagai
dasar untuk pemecahan masalah (problem solving).
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan sumber premier dari
karya Abū Bakr Muḥammad İbn Abd al-Mālik İbn Thufayl yang berjudul “Ḥayy
bin Yaqzhān” yang diterjemahkan pada tahun 2010 oleh Nurhidayah. Serta
tulisan karya Lenn E. Goodman dalam buku “Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam”
bagian III (para filosof islam di wilayah barat islam), serta buku buku sekunder
lainnya.
Di samping itu, penulis juga menggunakan pendekatan deskriptif analisis.
Dalam buku Suharismi Arikunto dalam buku “Memahami Metode-metode
Penelitian” bahwa penelitian deskriptif ini dilakukan untuk tujuan
mendeskripsikan adanya suatu variable, gejala atau keadaan, bukan untuk menguji
hipotesis.11 Dalam hal ini penulis mencari berbagai literatur kemudian
menganalisanya.
11 Andi prastowo, Memahami Metode-metode Penelitian, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2011), h. 204.
9
BAB II
BIOGRAFI IBN THUFAYL
A. Karir
Nama lengkapnya adalah Abū Bakr Muḥammad İbn Abd al-Mālik İbn
Thufayl ia memiliki gelar al-Andalusĩ dan al-Qurthubī.1 Lahir di Wadi Asy
(Cadiz), timur laut Granada pada Abad ke-6 H/ke-12 M. Pada masa itu Wadi
Asy merupakan daerah bagian dari Andalusia yang kini disebut Spanyol.2
Tidak banyak tulisan yang mengungkap masa kecil Ibn Thufayl dan
remajanya, termasuk perjalanan intelektualnya. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa Ibn Thufayl berguru kepada pendahulunya Ibn Bājjah. Akan tetapi
informasi ini masih perlu diteliti lebih lanjut. Sebab seperti pernyataanya sendiri
di dalam pendahuluan risalahnya, bahwa Ibn Thufayl tidak pernah bertemu
dengan Ibn Bājjah secara langsung, meski ia sangat mengagumi Ibn Bājjah.3
Ibn Thufayl hidup dalam masa pergolakan politik yang luar biasa di antara
dua dinasti besar Islam. Pada tahun 1086 – 1248 M. terdapat dua dinasti besar
Islam yakni dinasti Murabbiṭūn (1086 – 1143 M.) dan dinasti Muwaḥḥidūn (1146
– 1253 M.) Dinasti-dinasti ini berasal dari Afrika Utara dan melakukan ekspansi
kekuasaan ke Andalusia atas undangan raja-raja Islam untuk membantu melawan
serangan Katolik Barat. Usaha tersebut mencapai keberhasilan sehingga dalam
1 Gelar (kunyah) Ibn Thufayl, menurut catatan beberapa buku biografi, bukan hanya al-Andalusī dan al-Qurthubī saja. Akan tetapi Ibn Thufayl juga diberi gelar atau julukan al-Ishabilī(dari Sevilla) dan al-Qaysī. Pemberian gelar al-Qays ini terkait dengan nasb Ibn Thufayl yangberakar kepada kabilah al-Qays, salah satu kabilah Arab yang ternama dan mempunyai kedudukantinggi di Andalusia.
2 M.M. Syarif M.A., Para Filosof Muslim. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan1998), h. 30.
3 Ibn Thufayl hayy Ibn Yaqdzhan, h. 112.
10
beberapa dekade terakhir Islam masih bisa bertahan di Spanyol. Namun pada
akhirnya kaum Katolik Barat dengan pasukannya yang besar dan kuat dapat
menghancurkan dinasti tersebut dan memaksanya kembali lagi ke Afrika Utara.4
Di Andalusia sedikit demi sedikit Islam kehilangan daerah kekuasaanya.
Mula-mula daerah Toledo yang direbut oleh Kristen pada tahun 1085 M.
Kemudian menyusul daerah Cordova yang dirampas oleh raja Alfonso VII dari
Castillia, selanjutnya Islam terus kehilangan kekuatan dengan direbutnya kota
Sevilla, Malaga, dan Granada.5
Pada saat itu, umat Islam Spanyol berada pada zaman Islam ortodoks.
Kehidupan sosial politik di Spanyol didasarkan pada keutuhan dogma-dogma
agama yang kaku. Para ulama pada saat itu berpegang kepada para fukaha dan
ahli Ḥadīts serta kriteria anti-falsafat, mereka berupaya menekan semua usaha
inovasi dengan cara intoleransi yang keras. Negara bekerjasama dengan kebijakan
ulama ortodoks ini dalam otoritas moral dan dan tingkat penindasannya. Semau
usaha rasionalisasi terhadap dogma agama bahkan usaha untuk menegaskan
kebenaran di hukum berupa bid’ah. Sikap intoleransi yang diberlakukan
pemerintah pada saat itu pun pada gilirannya mencapai tahap yang ekstrim.
Hukuman penjara dan hukuman mati merupakan hukuman biasa yang diterapkan
kepada para pembid’ah, seseorang bahkan dinyatakan kafir cukup dinilai dari
kata-katanya, sehingga pantas mendapatkan hukuman. Hukum seperti itu tidak
hanya ada di tataran teori, namun juga terdokumentasikan dalam catatan-catatan
4 Moh. Nurhakim, Sejarah dan peradaban Islam. (Malang: Universitas MuhammadiyahMalang, 2003).
5 Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik;Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam(Jakarta: Kencana, 2003), h. 223.
11
legal pemerintahan, sehingga bukti terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap
hukum tersebut pasti dituduh dan ditindak tanpa ampun.6
Rejim intoleransi dan ancaman tuduhan yang diembuskan pemerintah
menghalangi setiap usaha pemikiran bebas, atau di luar agama, sebagai
sumbernya. Setiap orang secara eksklusif dipaksa harus taat pada rumusan fiqh,
syariʻah dan dogma milik ulama resmi pemerintah. Sains matematika dan
astronomi dilemahkan, dihalangi oleh ortodoksi berkedok syariʻah dan ibadah.7
Matematika diterima hanya untuk penghitungan empiris dan kasus-kasus penting
saja, seperti pada aturan pembagian hak waris. Astronomi dibolehkan sejauh
observasi dan syarʻah membutuhkannya untuk menetapkan penghitungan
kalender Muslim, yang pada gilirannya, untuk terus memfasilitasi usaha
memertahankan ibadah-ibadah dan ajaran-ajaran agama.
Pada saat yang sama, para pemikir independen bermunculan di Cordova
kecintaan tinggi pada metode falsafat, salah satunya adalah Abd al-Aʻlā, ia
menolak kriteria muhaditsūn. Ia adalah orang yang memperthankan free will
(kehendak-bebas, bebas-berkehendak) sebagai lawan dari fatalisme8 milik kaum
ortodoks Spanyol. Selain itu, Faraj Ibn Sālim adalah seorang dokter dari Cordova
yang sempat lari dari Spanyol dan berkelana ke Iraq untuk menimba ilmu
6 Abū Jaʻfar Mughīts al-Toledanī, Kitāb al-Watsāʼiq al-Mustaʻmalah, manuskrip XLIV,koleksi Gayangos, h. 96.
7 Tuduhan untuk para pendosa dan tak beriman dalam agama merupakan ajaran wajibbagi setiap orang. Bahkan orang taat sederhana yang bukan bagian dari otoritas pun wajib dituduh.Oleh karenanya, hukum Islam di Spanyol pada saat itu merupakan institusi mapan yang berfungsisecara konstan, dan berada di bawah pengadilan pemerintah, tetapi independen dalam investigasidan tuduhan. Lihat Miguel Asỉ Palacios, The Mystical Philosophy of Ibn Masarra and HisFollowers, terj Nanang Tahqiq, (Ciputat: Hipius, 2017),h. 25.
8 Fatalisme adalah sebuah pandangan bahwa kehidupan manusia sudah ditentukan olehkehendak Allah. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996),h. 230.
12
pengetahuan. Ia bertemu dengan seorang guru bernama al-Jāḥiẓ,9 ia adalah salah
satu murid al-Naẓẓām, salah satu pendiri cabang Muʻtazilisme. Al-Jāḥiẓ adalah
orang yang corak pemikirannya terinspirasi aliran pemikiran rasionalistik yang ia
petik dari para failasuf naturalis Yunani. Tulisan-tulisan al-Jāḥiẓ mencakup
banyak ragam kitab, ditambah gaya tulisannya yang jelas, lugas, dan brilian, serta
tuturnya halus dan lembut dapat dengan mudah menumbuhkan rasa keingintahuan
bagi para pembaca Spanyol saat ia kembali negeri itu. Kendatipun kaum ortodoks
Spanyol tidak terlalu senang pada tawaran pemikiran yang di bawa Faraj Ibn
Sālim dengan gaya Muʻtazilah ini, mereka masih bisa berkompromi, sehingga
ilmu-ilmu rasionalis di Spanyol bisa bertahan sampai generasi selanjutnya, dengan
sembunyi-sembunyi dan masih terjadi kasus-kasus pembungkangan terhadap
karya-karya pemikiran yang mereka anggap membahayakan.10
Ibn Thufayl dididik dalam bidang kedokteran, astronomi, dan filsafat,
namun tidak diketahui dengan pasti kepada siapa dia berguru dalam memperoleh
pengetahuan tersebut. Dalam pembuka kisah Ḥayy İbn Yaqzhān yang ditulisnya
ia mengatakan tidak pernah bertemu dengan Ibn Bājjah.11
Namun, pada beberapa catatan yang penulis telusuri menyebutkan bahwa
Ibn Thufayl adalah penerus dari tokoh Ibn Bājjah (Avempace, lahir abad ke-5 H /
ke-11 M.) berdasarkan tempat ia hidup, yaitu di Andalusia (Spanyol), serta
9 Pentingnya pengaruh dari pemikiran Muʻtazili ini, adalah asal-muasal dari pemikiranindependennya dalam pemikiran Muslim Spanyol, serta menjadikan perlawanan terhadap doktrindogma-dogma agama yang pada saat itu begitu menguasai seluruh tatanan kehidupan sosial-masyarakat.
10 Miguel Asỉ Palacios, The Mystical Philosophy of Ibn Masarra and His Followers, terjNanang Tahqiq, (Ciputat: Hipius, 2017),h. 23.
11 Amroeni Drajat. Filsafat Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 77.
13
kekagumann dia terhadap ilmu-ilmu metafisika, matematika, menjadikan Ibn
Thufayl adalah pendukung terbaik Ibn Bājjah.12
Ibn Thufayl tidak banyak meninggalkan karya bukan karena tidak banyak
menulis, tapi banyak dari karya-karyanya yang dibakar karena para ulama pada
waktu itu menganggap falsafat itu sesat. Kisahnya sama seperti muridnya Ibn
Rusyd, di mana karya karya Ibn Rusyd juga dibakar, namun Ibn Rusyd lebih
beruntung, karena banyak dari karya-karyanya yang diselamatkan oleh para
sarjana Yahudi pada masa itu yang kemudian disebut sebagai gerakan
Averroesme Yahudi.13
Adapun karir Ibn Thufayl, sebagai seorang dokter prestasinya
mengesankan sehingga dipercaya oleh banyak kalangan, sampai pada puncaknya
ia dipercaya sebagai dokter istana di Granada. Setelah sukses sebagai dokter
istana Khalifah pada saat itu mempercayakan posisi sekretaris pribadi kepada Ibn
Thufayl (549/1154 M.), kemudian tugasnya dipindahkan ke wilayah Cetua dan
Tangier (Maroko). Gubernur itu adalah putra Abū al-Mu’min seorang pendiri
daulah Muwaḥḥidūn yang berpusat di Marakesy (Maroko) lalu Ibn Thufayl
diangkat sebagai hakim sekaligus dokter pribadi untuk keluarga istana. Kemudian,
Ibn Thufayl mengabdi sebagai dokter istana pada Khalifah Abū Yaʻqūb Yūsuf
(tahun 1163 – 1184 M.). Pada pertemuan ini, Khalifah begitu kagum dengan
kecakapan Ibn Thufayl, khalifah Abū Yaʻqūb Yūsuf adalah orang yang gemar
terhadap ilmu pengetahuan, sehingga bisa sering bersama Ibn Thufayl
12 Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1991), h. 54.13 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 2013), h. 126.
14
menghabiskan waktu berjam-jam bahkan berhari-hari untuk berbincang ilmu
pengetahuan.14
Pada saat Ibn Thufayl menjabat sebagai menteri kebudayaan di masa
pemerintahan Abū Yaʻqūb Yūsuf, ia diizinkan mengundang banyak sarjana dan
orang terpelajar ke lingkungan istana, termasuk di dalmnya adalah Averroes (Ibn
Rusyd). Pada kesempatan itu, Ibn Thufayl memperkenalkan Ibn Rusyd kepada
yang mulia Abū Yaʻqūb Yūsuf (1169 M.), dari perkenalan itulah Abū Yaʻqūb
Yūsuf menyarankan Ibn Rusyd lewat Ibn Thufayl untuk mengulas karya-karya
Aristoteles.15
Kemudian ketika Ibn Thufayl pensiun dari jabatannya sebagai dokter
istana, posisinya digantikan oleh Ibn Rusyd (578 H / 1182 M.). Tetapi ia tetap
mendapat penghargaan dari Abū Yaʻqūb. Ibn Thufayl meninggal dunia di
Marakesy (Maroko) pada sekitar tahun 580 M/1184 H.16
Dari paparan di atas kita bisa menyaksikan kehidupan Ibn Thufayl dapat
dilihat sebagai sebuah kisah yang sukses. Dia banyak memberikan warna bagi
istana. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, astronomi, dan kedokteran ia
menarik perhatian banyak orang sehingga menjadikan inspirasi penting bagi ilmu
pengetahuan, serta jadi sumbangan berharga bagi dunia.
Sebagai seorang failasuf Muslim yang hidup pada tradisi Barat hidupnya
berada dalam masa penghujatan dari kaum Muslimin Eropa, dan juga perlawanan
14 M. Hadi Masruri, Ibn Thufayl: Jalan Pencerah Mencari Tuhan, (Yogyakarta. Lkis,2005), h. 22.
15 M. Hadi Masruri, Ibn Thufayl: Jalan Pencerah Mencari Tuhan, h. 23.16 Lenn E. Goodman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam terj Tim Mizan (Bandung :
Mizan Media Utama, 2003) h. 388.
15
dari para Yahudi dan Katolik, serta mendapat penentangan dari kaum agamawan
karena falsafatnya dianggap sesat dan membahayakan.
Kondisi tersebut, membuat kalangan ilmuwan Barat semakin jauh dari
agama, menurut mereka agama harus dipisahkan dari kehidupan sosial dan ilmu
pengetahuan, karena agama mereka lihat sebagai penghambat kemajuan,
keimanan kepada Tuhan pun dipandang sebagai hal yang sia-sia, juga terhadap
mitos yang harus diatasi sehingga tidak ada penghambat yang potensial dalam
pengetahuan sains dan terciptanya sebuah peradaban keilmuan yang besar tanpa
adanya iming-iming ataupun rasa takut akan inkuisisi17 dari pihak Gereja18
B. Latar Belakang Pemikiran
Ibn Thufayl adalah seorang failasuf yang menggunakan kisah dan simbol-
simbol sebagai alat untuk menjelaskan buah pikirannya. Di antara karyanya yang
terkenal adalah kisah Ḥayy ibn Yaqzhān19 (Manusia dalam Asuhan Rusa). Sebuah
kisah yang menceritakan pikirannya mengenai perkembangan akal manusia.
17 Inkuisisi adalah istilah pengadilan gerejawi khusus yang menangkap, mengadili, danmenghukum orang-orang bidaah. Praktik ini meluas sejak zaman Paus Innocntius III (1160-1216),dilandaskan pada keyakinan bahwa bidaah harus dibasmi karena merupakan ancaman terhadaptatanan sosial. Pada Tahun 1479, dengan persetujuan Paus Sixtus IV, Ferdinand V dan Isabelamenegakan Inkuisisi Spanyol untuk menangkap orang-orang beriman dari lingkungan Yahudi danIslam yang murtad lagi, yang dikenal dengan nama kaum Marranos dan Moriskos. Orang-orangyang dinyatakan bersalah oleh para inkuisitor biasanya diserahkan kepada negara untuk dihukum.Pada tahun 1542 Paus Paulus III mendirikan Sanctum Officum (Lembaga Pengadilan Tinggi)sebagai lembaga terakhir yang mengurusi tuntutan naik banding dalam hal pengadilan bidaah.Lihat Gerald O’ Collins, dan Edward G. Farrugia, A Concise Dictionary of Theology, terj I.Suharyo (Yogyakarta:Kanisius, 1996), h. 118.
18 Nur Fitriyana, Inkuisisi Gereja Katolik Terhadap Umat Islamdi Spanyo, .(Jurnal IlmuAgama UIN Raden Fatah, 2017) V. 17.2: 213-230.
19 Ḥayy adalah sebuah simbol dari sesuatu yang tidak pernah mati. Ḥayy yang berartihidup mengandung arti bahwa akal manusia, merupakan sumber dari yang ada sekaligus sumberpengetahuan. Akal juga merupakan sumber kehidupan. Ibn Thufayl menjadikan Ḥayy sebagaianak dari Yaqzhān. Yaqzhān yang berarti sadar adalah personifikasi dari Tuhan, Dzat yang tidakpernah lalai dan lengah, sehingga Ḥayy ibn Yaqzhān merupakan perwujudan dari akal yangsenantiasa berpikir, mengamati, dan meneliti guna mendapatkan kebenaran sejati. Lihat asy-Syaikh Kāmil Muḥammad Muḥammad ʻUwaidhah, Ibn Thufayl Failasūf al-Islām fi al-ʻUshūr al-Wusthā, (Bairut: Dār al-Kutub al-ʻIlmiyyah, 1993), h. 46.
16
Secara rinci ia menjelaskan bagaimana perkembangan akal manusia dari mulai
bayi yang tabula rasa (tanpa memiliki pengetahuan) sampai pada pengetahuan
tertinggi yaitu persaksian (musyahadah) terhadap Tuhan YMA. Ibn Thufayl
menggunakan kisah dan simbol-simbol dalam menuliskan karyanya bukan tanpa
alasan, hal ini dapat dipahami dari apa yang diungkapkannya pada Muqaddimah
dalam karya Ḥayy ibn Yaqzhān.20
Melalui kisah Ḥayy ibn Yaqzhān ini, Ibn Thufayl sebenarnya ingin
menunjukan kepada kita bahwa cara dan jalan untuk menuju hakikat kebenaran
tidaklah tunggal, akan tetapi banyak dan beragam. Ini berarti bahwa setiap orang
bisa mencapai kebenaran dengan cara dan jalannya sendiri. Selain itu, dalam kisah
Ḥayy ibn Yaqzhān juga mengindikasikan bahwa kebenaran tidak selalu bersumber
dari wahyu (agama), melainkan bisa juga diperoleh dari hasil pemikiran dan
perenungan manusia terhadap fenomena-fenomena alam yang ada di
sekelilingnya.
Dalam kisah tersebut, Ḥayy merupakan personifikasi dari perjalanan akal
manusia dan sekaligus menjadi tokoh sentral didalamnya. Dengan kekuatan akal
murni yang dimiliki seorang anak laki-laki yang hidup terasing tanpa asuhan ibu
kandung seperti layaknya kita dengan ibu kita, ia mampu menemukan kebenaran
Tuhan, yakni kebenaran yang oleh Ibn Thufayl disebut sebagai pengetahuan
tentang eksistensi. Pengetahuan ini dicapai melalui penalaran rasional, dengan
melewati tahapan dari pengetahuan fisika menuju pengetahuan metafisika.
20 Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam: Pengantar Falsafat PengetahuanIslam, (Jakarta: UI Press, 2006), h. 61.
17
Begitu kuatnya posisi akal dalam pemikiran falsafat Ibn Thufayl membuat
banyak orang berasumsi bahwa ia adalah seorang failasuf rasional yang
mengembangkan tradisi falsafat Peripatetik.21 Akan tetapi asumsi dan penilaian
itu perlu dikaji ulang. Dalam kenyataanya, Ibn Thufayl bukanlah seorang yang
rasionalis murni, yang didalam mencapai kebenaran hanya mengandalkan akal
semata, justru ia adalah seorang failasuf-iluminis.22 Dalam karyanya Ibn Thufayl
justru ia ingin memadukan antara dua model pemikiran yang berbeda, yakni
pemikiran falsafat yang mendasarkan pengetahuannya pada kekuatan rasio saja
dengan model pemikiran tasawuf yang lebih mendasarkan pengetahuannya pada
hasil olah spiritual. Dengan cara demikian, seseorang akan mampu mencapai
penglihatan batin dalam tingkatan ekstase23 total yang pada akhirnya akan sampai
kepada kebenaran sejati.
21 ‘Peripatetik’ adalah nama yang di terapkan kepada pengikut Aristoteles dalam aliranfalsafat. Mengenai penamaan parepatetik, ada dua asal-usul penamaan untuk pengikut Aristotelesini, yang pertama adalah hal yang paling umum diketahui yakni merujuk pada kebiasaanAristoteles yang suka berjalan-jalan/ berkeliling ketika sedang mengajar, jadi penamaan mengacupada metode mengajar Aristoteles kepada para pengikutnya.Kedua, bertolak dari kebiasaanAristoteles berjalan-jalan (metode mengajarnya), penamaan ini sama sekali tak ada hubungannyadengan kebiasaan Aristoteles yang suka berjalan-jalan ketika mengajar filsafat akan tetapipenamaan ini merujuk pada sebuah tempat yang digunakan mengajar oleh Aristoteles yaitu sebuahruangan yang ada digedung olah raga athena yang dalam tradisi yunani merupakan tempatbernaung/ruangan yang biasa disebut paripatos, seperti yang telah ditulis diatas sebagai salahsatu pengertian etimologisnya. Lihat Routledge, Encyclopedia of Philosophy, London and NewYork: Routledge (1998), h. 6421.
22 Istilah Iluminasi adalah kata dari serapan bahasa Inggris Illumination yang berartipenerangan dan atau cahaya, Falsafat ini berkenaan dengan cahaya, atau pencerahan langsung dariTuhan ke dalam diri Manusia. Tokoh Failasuf Muslim yang populer dengan falsafat iluminasiadalah Syihāb Al-Dīn Suhrawardī. Lihat Lenn E. Goodman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islamterj Tim Mizan (Bandung : Mizan Media Utama, 2003) h. 548.
23 Ekstase merupakan pandangan dan penglihatan oleh hati. Istilah dalam tasawuf disebutjuga (wajd) , dimana seorang salik (penempuh jalan spiritual) telah sampai pada hakikat, puncakdari hakikat itu adalah melihat Tuhan atau merasakan kehadiran Tuhan didalam hatinya. MenurutAbu Bakr al-Kalabazi Ekstase adalah suatu perasaan yang merasuki hati, entah itu berupa rasatakut, rasa sedih, atau bayangan kehidupan yang akan datang atau pengungkapan keadaan antaramanusia dengan Tuhan. Sedangkan menurut Abu Said al-Aʼrabi seorang sufi yang pernah menulis
18
Kisah yang ditojolkan dalam Ḥayy ibn Yaqzhān, seperti konsep manusia
dalam dambaan Aristoteles, yakni mempunyai hasrat bawaan untuk mengetahui.
Seorang anak yang dirawat oleh binatang, belajar dan bergantung segala sesuatu
kepadanya dan percaya kepada pengasuhnya. Kemauan dan kesungguhannya
menjadi pokok dalam pembicaraan tentang perkembangan psikologis Stoik
tentang konsep kesadaran moral. “Tidak ada cara lain yang lebih baik selain
penyesuaian diri kepada alam”.24 Masa kanak-kanak Ḥayy dilalui dengan belajar
tentang rasa malu, cemburu, meniru dan iri. Pada usia remaja Ḥayy sudah
mencapai pada usia penalaran praktis, mulai membuat pakaian untuk melindingi
tubuhnya dan senjata untuk berburu dan berkelahi dengan binatang. Ketika ibu
angkatnya sakit karena usia, ia belajar merawat dan berusaha menemukan sisi
aktif cinta, karna yang ada pada masa kanak-kanak hanyalah merupakan
ketergantungan pasif kepada yang ibu angkatnya. Ketika ibu angkatnya tidak lagi
bernafas dan bergerak (mati) ia coba menghidupkannya kembali, tetapi kemudian
usaha itu gagal dan kehidupan bagi ibu angkatnya telah pergi. Dan bahwa yang
ada didepan matanya hanya jasad yang tertinggal dan akan membusuk tanpa
adanya kuasa dirinya untuk mengatur dan beraktivitas lagi.
Ketika Ḥayy menemukan api dan menggunakannya untuk menerangi dan
memasak, ia berusaha mengaitkan sifat api dengan prinsip hidup ibu angkatnya
yang telah mati. Pada mulanya dia mengamati tubuh ibu angkatnya selalu hangat.
buku “al-Wajd” menjelaskan bahwa wajd adalah sesuatu yang terjadi saat mengingat sesuatu yangmenggelisahkan, atau rasa takut yang mencemaskan atau dikecam atas suatu kesalahan ataupembicaraan secara lemah lembut atau isyarat pada sesuatu yang bermanfaat atau merindukanpada sesuatu yang gaib atau kecewa atas sesuatu yang telah hilang atau menyesali apa yang telahlewat atau tertarik pada suatu kondisi spiritual atau mengajak pada kewajiban atau munajat denganrahasia hati, lihat Sudirman Tebba¸ Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase Spiritual, (Jakarta:Amabel Mulia Asa, 2006), h. 131.
24 Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, (Jakarta: Kanisius, 1996), h. 57.
19
Bahkan ketika Ḥayy kecil tubuh ibu angkatnya dijadikan tempat berlindung ketika
cuaca dingin. Namun, kini ia temukan kehangatan tubuh itu hilang. Pada saat itu
ia merenung dan berpikir, seperti layaknya tubuh ibu angkatnya api pun
dirasakannya Ḥayy begitu hangat, lalu ia mengira itulah yang hilang dari tubuh
ibu angkatnya, sehingga membuat Ḥayy tergila-gila kepada api dan siap untuk
menyembahnya. Ia lalu membedah tubuh ibu angkatnya dan menguak bagaimana
cara kerja anatomi tubuh dan fisiologisnya, tetapi kemudian ia lebih tertarik
minatnya ke hal-hal yang bersifat spiritual. Dari penyelidikannya secara cermat
diketahui bahwa penyebab kematian ibu angkatnya karena tidak berfungsinya
jantung sehingga roh yang ada didalam tubuh keluar. Karena itu kematian pada
dasarnya terjadi karena berpisahnya jiwa dengan tubuh. Dia meneruskan
perhatiannya dengan mempelajari jenis tumbuh-tumbuhan, berbagai ragam
binatang, serta menirukan suara-suara alam yang ada disekitarnya. Pada usia
dewasa awal, ia mulai berpikir serius tentang metafisika, ia memperhatikan
fenomena-fenomena angkasa dan keanekaragaman bentuk. Dalam
keanekaragaman tersebut Ḥayy menemukan bentuk organik dan kesatuan kosmos,
akhirnya ia berpendapat bahwa dibalik keanekaragaman itu terdapat asal yang
satu, punya kekuatan tersembunyi, suci tetapi tidak dapat dilihat. Inilah yang
disebutnya penyebab pertama atau pencipta alam semesta ini.25
Dari uraian di atas dapat dilihat bagaimana kecerdasan Ibn Thufayl dalam
menyajikan buah pikirannya melalui metafor-metafor dan simbol-simbul yang
sangat indah dan berharga. Bagaimana penjabaran dia tentang akal manusia di
analogikan dengan kelahiran seorang anak manusia dalam asuhan Rusa, tinggal
25 Ibn Tufayl, Hayy ibn Yaqdzon/Manusia dalam Asuhan Rusa, terj Nurhidayah(Yogyakarta : Navila 2010), h. 5.
20
dan tumbuh besar di dalam hutan, dan mempelajari segala sesuatu dengan
autodidak, tanpa tuntunan guru ataupun kitab-kitab sebagai alat untuk
memperoleh ilmu pengetahuan. Bahkan dalam akhir kisahnya pengetahuan yang
diperoleh autodidak pun tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran kebenaran yang
diperoleh melalui doktrin-doktrin kebenaran agama. Selagi dia mempertahankan
kesucian pikiran dan hatinya, ia juga bisa sampai kepada pengetahuan tertinggi
tentang musyahadah (persaksian), sebagaimana dilukiskan dalam al-Qur’ān surat
al-Anfāl ayat 18.
اد رمیت ولكن هللا رمى ولیبلى الموءمنین
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akantetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketikakamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untukmembinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orangmukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengarlagi Maha Mengetahui.”
Di dalam ayat ini Allah memberi tahu Nabi-Nya tentang dimensi-dimensi
peperangan yang tak kasat mata.
Dalam kisah Ḥayy, Ibn Thufayl mengisyaratkan dua jalan dasar
pengetahuan. Falsafat dan agama tidak bertentangan, akal dan wahyu tidak
bertentangan, mencapai pengetahuan Tuhan tidak hanya bisa diketahui melalui
wahyu (agama) tetapi juga dapat diketahui melalui penalaran akal, serta
perenungan (kontemplasi).
21
Agama penuh dengan perbandingan, persamaan dan persepsi-persepsi
antropomorfis,26 sehingga mudah dipahami oleh banyak orang. Falsafat
merupakan bagian dari kebenaran esotoris,27 yang menafsirkan lambang-lambang
agama agar mendapatkan pengertian yang hakiki.
Dalam roman Ibn Thufayl dikisahkan Ḥayy bertemu dengan Absal yang
merupakan representasi dari pengetahuan melalui perenungan (tasawuf). Absal
adalah manusia biasa yang datang dari pulau sebrang, ia pergi ke hutan (tempat
Ḥayy tinggal) untuk beruzlah (menyepi). Mereka bertemu dan akhirnya berteman,
Absal mengajari Ḥayy berbahasa, membaca, dan menulis agar keduanya dapat
saling berkomunikasi dan menceritakan kehidupan dan pengalamannya masing-
masing. Ḥayy bercerita tentang bagaimana ia sampai pada pengetahuan melalui
jalan indra, pengalaman, dan daya akal, serta bagaimana ia sampai pada hakikat
tentang sebab (al-ʻillah) kejadian alam jiwa, beserta spiritualitas, dan
keabadiannya, dimana hal itu ternyata sejalan dengan apa yang terkandung di
dalam syari’at.
Corak pemikiran falsafat iluminasi Ibn Thufayl adalah hasil dari
pembacaan dan interaksinya dengan tradisi falsafat yang ada pada masa itu, Ibn
Thufayl bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa pemikiran iluminasinya
adalah sebagai penjelasan atas rahasia-rahasia yang terkandung di dalam falsafat
26 Inggris:anthropomorphism; dari Yunani anthropos (manusia) dan morphe (bentuk),adalah gambaran tentang Tuhan, dewa/dewi, atau kekuatan-kekuatan alam sebagai memilikibentuk dan ciri-ciri manusiawi. Allah atau para dewata dipahami dalam bentuk manusia. LihatLorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta:Gramedia, 1996), h. 231.
27 Esoteris berasal dari bahasa Yunani esōteros lalu menjadi esōterikos, kata dasarnyaadalah esō, yang berarti di dalam atau sesuatu hal yang bersifat batin bahkah mistik. Lihat MediaZainul Bahri, Satu Tuhan Banyak Agama, (Jakarta: Mizan Publika, 2011), h. 16.
22
Ibn Sīnā. Oleh karena itu, pemikiran Ibn Sīnā sedikit banyak juga mempengaruhi
struktur pemikiran falsafat Ibn Thufayl.28
Bahkan kisah Ḥayy ibn Yaqzhān karya Ibn Thufayl bukanlah karya
pertama. Ibn Sīnā telah lebih dulu menulis dengan judul yang sama, simbol yang
sama serta menggunakan nama-nama yang sama Ḥayy ibn Yaqzhān karya Ibn
Sīnā menegaskan kekuatan akal dan keutamaanya dari segala yang dimiliki
manusia, termasuk naluri dan instingnya. Selain itu, Ibn Sīnā dalam karyanya
ingin menjelaskan bagaimana keterkaitan akal bawah dengan akal atas melalui
akal sepuluh yang merupakan sebab aktif dari segala yang ada yakni Tuhan.
Sedangkan kisah Ḥayy ibn Yaqzhān karya Ibn Thufayl, meskipun bercerita
tentang akal, namun ia lebih merupakan penegasan bahwa manusia dengan
kekuatan akal yang dimilikinya, mampu mencapai pengetahuan sejati tentang
Tuhan dan juga tentang hakikat yang ada, yakni melalui pengamatan indrawi,
penalaran rasional, dan pengetahuan intuitif. Selain itu, Ibn Thufayl juga ingin
menegaskan bahwa jalan menuju pengetahuan sejati tidak hanya bisa dicapai
melalui rasi, akan tetapi juga bisa diperoleh melalui intuisi. Oleh karena itu,
tokoh Ḥayy ibn Yaqzhān di dalam risalah Ibn Sİnā merupakan personifikasi dari
akal, sedangkan di dalam kisah Ḥayy ibn Yaqzhān karya Ibn Thufayl
melambangkan sosok manusia yang senantiasa hidup dengan mengoptimalkan
akal dan intuisinya secara bersamaan.29
Namun, Ibn Thufayl memilik gaya sendiri dari para failasuf pendahulunya,
ketidakpuasan Ibn Thufayl terhadap jalan yang ditempuh oleh para sufi, seperti
28 M. Hadi Masruri, Ibn Thufayl; Jalan pencerah Menuju Tuhan, h. 13.29 M. Hadi Masruri, Ibn Thufayl; Jalan pencerah Menuju Tuhan, h. 46.
23
yang ditempuh oleh al-Ghazali, ataupun gaya pemikiran rasionalis murni dari İbn
Bājjah, dalam kisah Ḥayy ibn Yaqzhān Ibn Thufayl berupaya menyelaraskan
pemikiran rasional perpatetik Aristoeles dengan pemikiran ilumninati Neo-
Platonisme.
Falsafat iluminasi adalah ajaran falsafat yang didasarkan pada penyinaran
(al-isyrâq) atau penyingkapan (al-kasyf) dan penglihatan batin (al-musyâhadah).
Hal tersebut terjadi melalui munculnya cahaya dari alam imateri yang menyinari
hati dan jiwa melalui tahapan-tahapan tertentu. Falsafat iluminati yang didalam
falsafat Ibn Sīnā dikenal dengan falsafat Timur bermula dari tradisi Persia kuno.30
Sedangkan falsafat Neo-Platonisme31 adalah pandangan falsafat yang
mengatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk menuju “Yang Esa” untuk
meraih kebahagiaan sejati yang bukan sensasi inderawi belaka melainkan
kesatuan dengan “The One” yang berkuasa atas alam semesta.32
Pemikiran Ibn Thufayl bukan hanya terletak pada metode sufi yang
mengesampingkan aspek rasionalitas, akan tetapi metode iluminasi juga penting
dan lebih valid dalam mencapai kebenaran sejati.33
C. Karya-Karya
30 Ziai, Hussein. Suhrawardi dan Filsafat Iluminasi, terj. Alif Muhammad dan Munir,(Bandung: Zaman, 1998.),h. 304.
31 Noe-Platonisme adalah hasil dari usaha rekontruksi modern tentang aliran falsafatmistik Plotinus, beberapa yang terpenting dari pemikran Neo-Platonisme adalah tentang Yang Esa(To hen) To hen teremanasikan dalam bentuk Nous, yang mana merupakan refleksi dari‘Yangsatu’, yang mana akhirnya akan terproyeksikan menjadi kenyataan fisik di sekitar kita. Di antaraNous, dan dunia inderawi, terdapat dunia jiwa, di mana seluruh jiwa kita bersemayam. Roh inidiproyeksikan ke dalam tubuh. Lhat Wibowo A. Setyo, Hidup Suskse Menurut Platon,(Yogyakarta: Kanisius,2010), h. 34.
32 Harun Wadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, 1,(Yogyakarta:Kanisius, 1980), h. 64.33 Ibn Thufail, Hayy Ibn Yaqzhan; Anak Alam Mencari Tuhan, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1997), h. 42.
24
Ibn Thufayl sebenarnya mempunyai beragam karya, baik dalam bidang
falsafat, maupun yang lainnya seperti fisika dan sastra astronomi, serta ilmu falak.
Dari sejumlah karya yang dinisbatkan kepadanya di antaranya : Risālah fī Asrār
al-Ḥikmah al-Masyriqiyyah (Ḥayy ibn Yaqzhān); Rasāʼil fī an-Nafs, fī Biqā al-
Masqūnah wa al-Ghayr al-Maskūmah. Selain itu Ibn Thufayl juga memiliki
beberapa buku tentang kedokteran, serta risalah yang berisi kumpulan surat-
menyurat yang ia lakukan dengan Ibn Rusyd dalam persoalan falsafat. Ibn Rusyd
menyatakan bahwa Ibn Thufayl mempunyai teori-teori yang cemerlang dalam
ilmu falak (astronomi) akan tetapi, semua karya Ibn Thufayl itu tidak ada yang
tersisa kecuali risalah Ḥayy ibn Yaqzhān.34
Ibn Thufayl terkenal sebagai failasuf Muslim yang gemar menuangkan
pemikiran kefalsafatannya melalui kisah-kisah yang ajaib dan penuh dengan nilai-
nilai kebenaran. Ia lahir dari keluarga suku Arab Bani Qays.35
Sebagai seorang dokter, failasuf, ahli matematika, ahli astronomi,
metafisika, penyair, dan lain sebagainya tentu Ibn Thufail memiliki banyak karya.
Sebagaimana kutipan yang dijelaskan Yoesoef Sou’yb dalam bukunya, Pemikiran
Islam Merobah Dunia:
“Ibn Thufayl konon banyak meninggalkan karya, Ibnu Khatimmenyebutkan bahwa Ibn Thufayl mengajarkan ketabiban di Granada danmenulis dua buah karya. Abdūl Wahīd al-Markashi mengatakan bahwa diasendiri menyaksikan dua buah karya Ibn Thufayl dalam bidang falsafatdan ilmu jiwa dan juga meninggalkan himpunan sajak yang berintikanfalsafat. Abī Isḥāq al-Batrūjī, seorang ahli astronomi terkenal mengatakan
34 M. Hadi Masruri, Jalan Pencerah Menuju Tuhan, h. 33.35 Yunasril Ali, Perkembangan Falsafi Dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
Cet.1, h. 8.
25
dalam bagian pertama karyanya, Ibn Thufayl bermaksud merombak teoriplatonomi (abad ke-2).”36
Kutipan di atas memberikan kejelasan bahwa Ibn Thufayl memiliki
banyak karya yang meliputi banyak bidang di samping juga surat kiriman Ibn
Thufayl kepada Ibn Rusyd, beberapa tema sempat ditulisnya, misalnya
kedokteran, astronomi, dan falsafat. Dari sekian buah karyanya, yang masih ada
sampai sekarang hanyalah sebuah karya saja yaitu roman falsafat yang berjudul
Risālah fī Asrār al-Ḥikmah al-Masyriqiyyah (Ḥayy ibn Yaqzhān); Rasāʼil fī an-
Nafs, fī Biqā al-Masqūnah wa al-Ghayr al-Maskūmah. Tentang Rahasia Falsafat
Timur, yang merupakan representasi pemikiran inti Ibn Thufayl dalam ranah
falsafat.
Kisah falsafat tersebut sangat berpengaruh pada zaman pertengahan. Hal
ini terbukti dengan banyaknya penerjemahan buku tersebut dalam berbagai
bahasa: bahasa Ibrani, Latin, Inggris, Belanda, Perancis, Spanyol, Jerman dan
Rusia. Pada zaman modern pun minat terhadap karya Ibn Thufayl itu tetap ada.
36 Yoesoef Sou’yb, Pemikiran Islam Merobah Dunia, (Jakarta: Maju, 1984), h. 245.
26
BAB III
DEFINISI AKAL
A. Definisi Akal dalam Teologi
Secara bahasa atau etimologi, akal adalah kata yang berasal dari serapan
bahasa Arab yaitu ‘aqala yang artinya adalah mengikat dan menahan, makna akal
adalah potensi yang ada dalam diri manusia yang berfungsi sebagai penahan atau
pengikat agar mereka tidak terjerumus pada satu tindakan yang salah, yang bisa
menimbulkan hal yang buruk bagi dirinya.1 Apabila manusia bisa menahan
amarah serta menahan diri dari perbuatan buruk, maka dia senantiasa akan
mengambil sikap yang bijaksana dalam berbagai hal di dalam kehidupannya.2
Sedangkan menurut terminologi, akal adalah alat untuk berpikir,
memahami, memberikan dalil dalam berpendapat. Artinya dengan akal, manusia
bisa berpikir tentang segala sesuatu, memahami segala fenomena, dan
mempublikasikannya, yang kemudian melahirkan sebuah ilmu pengetahuan,
tamaddun, dan peradaban. Di sinilah yang membedakan manusia dengan makhluk
lain.3
Istilah akal juga bisa diterjemahkan kedalam “ra’y” (opini, penalaran
independen, atau unaided reason), nalar (rasio atau reason), dan akal budi
(intellect) yang mengandung makna intuisi atau hati.
1 Quraish Shihab, Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam,(Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 88.
2 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 7.3 Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), h. 132.
27
Dalam kamus bahasa Arab kata ‘aqala berarti mengikat atau menahan.
Maka tali pengikat serban yang di pakai di Arab Saudi yang memiliki warna
beragam yakni hitam, dan terkadang emas, disebut ‘iqala’ dan menahan orang
dipenjara disebut iʻtaqala dan tempat tahanan disebut muʻtaqal.4
Dalam komunikasi atau lisan orang Arab, dijelaskan bahwa kata al-ʻaql
berarti menahan dan āqil ialah orang yang menahan diri dan mengekang hawa
nafsu. Banyak makna yang diartikan tentang ʻaqala. Sejatinya asli kata ʻaqala
ialah mengtikat dan menahan, dan orang āqil di zaman Jahiliyah dikenal dengan
Hamiyah atau darah yang panas, maksudnya ialah orang yang dapat menahan
amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi
kebijaksanaan dalam mengatasi persoalan.5
Islam menggambarkan akal sebagai pembimbing dari dalam. Prinsip-
prinsip agama tidak dapat diterima kalau bertentangan dengan penelitian rasional.
Dalam masalah-masalah sekunder (yang belum ada ketentuan hukum Islamnya),
akal telah diakui sebagai sumber ijtihad. Islam memandang akal sebagai sesuatu
yang baik, dan memandang tidak berakal sebagai buruk. Menurut hukum Islam,
gila atau mabuk, membatalkan wudhu, seperti kencing atau tidur. Islam
memerangi penggunaan setiap zat yang dapat menghilangkan kesadaran
(memabukkan), karena bertentangan dengan jalannya akal yang sehat. Akal
merupakan bagian integral dari agama.6
4 Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab,(Jakarta: Serambi,1992), h. 25.5 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 6.6 Murthadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, (Jakarta : PT. Lentera Basri Tama
2002), h. 195.
28
Di dalam hukum Islam ada ketentuan untuk melindungi akal, maka Islam
juga menghormati kehendak, yang merupakan kekuatan untuk melaksanakan apa
yang diperintahkan akal. Itulah sebabnya Islam memandang haram semua
aktivitas yang menghalangi penggunaan kekuatan-kehendak.
Menurut konsepsi Islam, manusia bukan hanya sekedar “homo erectus-
berkaki dua” yang hanya dapat besuara(bicara) dan berkuku lebar. Dari sudut
pandang al-Qur’ān, manusia adalah ciptaan Tuhan yang misterius dan dalam
untuk didefinisikan secara sederhana. Al-Qur’ān di samping menyanjung, juga
memandang rendah manusia. Al-Qur’ān sangat memuji manusia, dan juga
memperoloknya. Al-Qur’ān menggambarkan manusia sebagai mahluk yang lebih
tinggi daripada langit, bumi dan para malaikat, dan sekaligus menyatakan bahwa
manusia bahkan lebih rendah daripada setan dan binatang sekaligus. Al-Qur’an
berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki cukup kekuatan
untuk mengendalikan dunia, namun manusia juga sering kali terpuruk.
Manusialah yang mengambil keputusan tentang dirinya sendiri dan yang
menentukan nasibnya sendiri.7
Di antara seluruh ciptaan, hanya manusialah yang memiliki kemampuan
paling tinggi untuk mendapatkan pengetahuan, sebagaimana dikatakan dalam QS.
al-Baqarah ayat 31-33 sebagai berikut:
ب أن ة فقال ئك ل م لى ٱل ع ھم ض ر لھا ثم ع ك اء م س م ٱأل اد لم ء ع و إن كنتم ء ال ؤ ھ اء م وني بأس
قین د كیم ق )٣١(.ص ح لیم ٱل ع ٱل إنك أنت تنا لم ا ع م م لنا إال ل ع ال نك ح ب م )٣٢(.الوا س ـاد ی ال ◌
ٱلس ب ی لم غ أع إني أقل لكم ألم قال ائھم م بأھم بأس ا أن فلم ائھم م ھم بأس بئ ت أن و لم م أع ض و ر ٱأل و
تمون تك ا كنتم م و دون ا تب )٣٣(م
7 Murthadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, h. 214.
29
Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat laluberfirman : “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamumemang benar” Mereka menjawab: “ Mahasuci Engkau, tidak ada yangkami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.Sesungguhnya Engkaulah yang maha Mengetahui lagi maha Bijaksana.”Allah berfirman: “Hai Adam, beritahulah mereka nama benda-benda ini.”Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama benda-benda itu,Allah berfirman “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwasesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahuiapa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (QS. al-Baqarah: 31-33.
Oleh sebab itu, akal begitu penting posisinya dalam Islam, sehingga al-
Qur’ān banyak menggunakan derivasi dari kata ini secara berulang-ulang. Belum
lagi persamaan sinonim atau kata-kata yang terkait dengannya. Sedemikian
penting posisi akal sehingga dalam Ḥadīts dikatakan “Tidak ada agama bagi
orang yang tidak punya (menggunakan) akal”.
Akal dalam pengertian Islam, tidaklah dimaknai sebagai otak saja, tetapi
adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang sebagian
digambarkan dalam al-Qurʻān. Memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan
alam sekitarnya.
Dalam teologi, akal dipakai dalam makna kemampuan logisnya. Prosesnya
bersifat dialektis (jadalī) yaitu berkaitan kepada baik-buruk yang telah dispakati
lalu kemudian dijadikan sebuah silogisme-silogisme baru yang logis. Disamping
itu, akal juga mempunyai daya untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan.
Akal, dengan kata lain, terutama bagi kaum Muʼtazilah mempunyai funsi dan
30
moral. Dalam pandangan Muʼtazilah akal adalah petunjuk jalan bagi manusia dan
yang membuat manusia menjadi pencipta perbuatannya.8
Dalam sejarah Islam, ada suatu aliran yang bahkan menjunjung tinggi
posisi akal, seperti Muʻtazilah dan Syiʻah, yang percaya bahwa akal nyaris bisa
mencapai kebenaran apapun, termasuk pengetahuan tentang Tuhan, baik buruk,
dan kewajiban melakukan hal baik serta menjauhi perbuatan yang buruk –
melewati Islam yang lain seperti Māturīdiyyah hingga kelompok tradisional
seperti Asyʻariyyah yang menempatkan akal bukan pada posisi tinggi dalam
penentuan tentang kebenaran.9
Dari paparan diatas, penulis dapat menyimpukan bahwa akal yang dimilki
manusia bahwa akal adalah karunia dari Tuhan yang hanya diberikan kepada
manusia, sebagai alat untuk berpikir dan mengatasi permasalahan-permasalahan
dalam kehidupan manusia, sementara agama juga menjunjung posisi akal sebagai
sesuatu yang bernilai, manusia yang berakal baik bisa menjadi makluk Allah yang
sangat mulia. Begitupun diahadapan manusia secara umum, manusia yang berakal
(berpikir) akan lebih di hargai karena ilmu yang diperolehnya melalui proses
berpikir dari pada mereka yang tidak menghargai akal yang Tuhan berikan
kepadanya.
B. Definisi Akal dalam Falsafat
Sementara dalam tulisan Charles Issawi, Failasuf Muslim yang berasal dari
Tunisia (1332 - 1406) Ibn Khaldūn, seorang ahli falsafat sejarah, bapak sosiologi
8 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia(Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 205
9 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 34.
31
dan sarjana ilmu-politik, menulis dalam karya utamanya Muqaddimah mengenai
akal, manusia dan binatang sebagai berikut:
“Kemudian ketahuilah, bahwa Allah membedakan manusia dari lain-lainhewan dengan kesanggupan berpikir, sumber dari segala kesempurnaan,dan puncak dari segala kemuliaan dan ketinggian di atas lain-lainmakhluk. Sebabnya ialah karena pengertian, yaitu kesadaran dalam diritentang yang terjadi di luar dirinya, hanyalah ada pada hewan saja, tidakterdapat pada lain-lain barang (yang makhluk). Sebab hewan menyadariakan apa yang ada di luar dirinya dengan perantaraan panca-indra(pengindraan, penglihatan pembauan, perasaan lidah dan penyentuhan)yang diberikan Allah kepadanya. Sekarang manusia memahami ini dengankekuatan memahami apa yang ada di luar dirinya dengan perantaraanpikirannya yang ada di balik panca-indranya. Pikiran bekerja denganperantaraan kekuatan yang ada di tengah-tengah otak yang memberikesanggupan kepadanya menangkap banyangan benda-benda yang bisaditerima oleh panca-indra dan kemudian mengembalikan benda-benda itudalam ingatannya sambil meringkasnya lagi bayangan-bayangan lain daribenda-benda itu. Refleksi terdiri dari penjamahan bayangan-bayangan ini(di balik perasaan) oleh akal, yang memecah atau menghimpun bayangan-bayangan itu (untuk membentuk bayangan-bayangan lain).”10
Memperhatikan kelebihan manusia jika dibandingkan dengan mahluk
yang lain, ada baiknya kita menoleh jauh ke belakang. Pada jaman sebelum
Masehi tepatnya pada sekitar tahun 384-322 sebelum Masehi, di Yunani telah
hidup seorang tokoh besar filsafat yakni Aristoteles. Secara rinci dia menjelaskan
definisi tentang siapa manusia. Menurut pandangan Aristoteles, manusia itu
adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang
berbicara berdasarkan akal-pikirannya (the animal that the reason).11
Dalam pengertian Aristoteles, pembagian jiwa dalam tiga kategori jiwa,
yaitu: jiwa tumbuh-tumbuhan, (berorientasi pada makanan), jiwa binatang
10 Charles Issawi, Filsafat Islam tentang Sejarah, salinan A. Mukti Ali (Jakarta, 1962), h.228.
11 Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat Dan Agama, (Surabaya : PT. Bina Ilmu,1975), h. 5.
32
(berorientasi pada nafsu seksualitas), dan jiwa manusia (jiwa yang sempurna
kemanusiaannya). Ketiga jiwa itu terdapat dalam diri manusia, serta mempunyai
daya dan orientasi masing-masing.12
Dalam pandangan Ibn Sīnā, akal terbagi ke dalam dua bagian, pertama
jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang. Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai
tiga daya pertama daya makan, kedua daya tumbuh, dan ketiga daya membiak.
Jiwa binatang memiliki dua daya yaitu daya penggerak dan daya pencercap. Daya
penggerak bisa berbentuk nafsu serta amarah, dan bisa juga disebut gerak tempat.
Daya mencerap terbagi dua, pertama mencerap dari luar melalui panca indera
lahir, yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dan lain lai, yang
kedua daya mencerap dari dalam melalui panca indera batin, yaitu, pertama indera
bersama, bertempat di bagian depan dari otak dan berfungsi menerima kesan-
kesan yang diperoleh panca indera luar dan meneruskannya ke indera batin.
Kedua indera penggambar juga bertempat di bagian depan otak. Tugasnya ialah
melepaskan kesan-kesan yang diteruskan indera bersama dari materinya. Ketiga
indera pengreka, indera pengreka bertempat di bagian tengah dari otak, bertugas
mengatur gambar-gambar yang telah dilepaskan dari materi dengan memisah-
misah dan kemudian menghubungkannya satu dengan yang lain. Keempat indera
penganggap, juga bertempat di bagian tengah otak dan mempunyai fungsi
menangkap arti-arti yang ditangkap dari gambaran-gambaran itu. Kelima indera
12 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 7.
33
pengingat, indera pengingat bertempat di bagian belakang dari otak dan bertugas
menyimpan arti-arti yang ditangkap oleh indera penganggap.13
Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang mempunyai lebih dari satu
daya, jiwa manusia hanya memiliki daya berpikir yang disebut akal. Akal terbagi
dua yaitu, pertama akal praktis yang menerima arti-arti yang berasal dari materi
melalui indera pengingat yang ada pada jiwa binatang. Kedua akal teoritis ialah
yang menangkap arti-arti murni, yaitu arti-arti yang tak pernah ada dalam dalam
materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, menangkap
kekhususan (particulars). Akal teoritis sebaiknya bersifat metafisik, mencurahkan
perhatian kepada dunia imateri dan menangkap keumumann (universals). Akal
praktis, jika dihubungkan dengan nafsu binatang, akan menimbulkan rasa malu,
sedih dan lain sebagainya, jika dihubungkan dengan daya penganggap dari indera
batin binatang ia akan memperbedakan yang baik dari apa yang rusak dan akan
menghasilkan kecakapan mencipta dalam diri manusia. Jika dihubungkan dengan
akal teoritis ia akan menimbulkan pendapat-pendapat yang masyhur, seperti
berdusta adalah tidak baik, bersikap tidak adil adalah tidak baik. Akal praktis
harus mengontrol dan memimpin jiwa binatang, dan kalau berhasil dalam
tugasnya, maka manusia bersangkutan akan mempunyai budi pekerti yang luhur.
Pada akal praktislah bergantung timbulnya kebajikan atau kejahatan seseorang.14
13 Zainal Abidin Ahmad, Ibn Sina: sarjana dan Filosof Besar Dunia, (Jakarta: BulanBintang, 1974), h. 270.
14 Zainal Abidin Ahmad, Ibn Sina: sarjana dan Filosof Besar Dunia, h. 269.
34
Akal teoretis mempunyai empat derajat. Pertama akal materil, merupakan
akal yang hanya potensi belaka, yaitu akal yang kesanggupannya untuk
menangkap arti-arti murni arti-arti yang tak pernah ada dalam materi. Kedua akal
bakat, yaitu akal yang kesanggupannya berpikir secara murni abstrak telah mulai
kelihatan. Ia dapat menangkap pengertian dan kaedah umum, seperti seluruh
lebuh besar daripada bahagian. Ketiga akal aktuil yaitu akal yang telah lebih
mudah dan telah lebih banyak dapat menangkap pengertian dan kaedah umum
dimaksud. Akal aktuil ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak itu, yang dapat
dikeluarkan setiap kali ia kehendaki. Keempat akal perolehan, yaitu akal yang
didalamnya arti-arti abstrak tersebut selamanya sedia untuk dikeluarkan dengan
mudah sekali.15
Akal dalam derajat keempat di atas merupakan tingkatan akal yang
tertinggi dan terkuat dayanya. Akal tersebut biasanya dimiliki oleh seorang
failasuf, akal inilah yang dapat memahami alam murni, hal abstrak yang tak
pernah ada dalam materi. Akal perolehan yang telah berkecimpung dalam
keabstrakan inilah yang dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Tuhan ke
alam materi.
Sedangkan menurut Suhrawardi, akal (al-ʻAql)16 merupakan realitas
pertama pada sistem metafisika yang merupakan hasil penciptaan dari proses
emanasi dari yang Wājib al-Wujūd. Apa yang disebut Suhrawardi sebagai al-Nūr
al-Awwal, al Nūr al-Aqrab atau al-Nūr al-adhīm tidak lain adalah al-Aql al-
15 Zainal Abidin Ahmad, Ibn Sina: Sarjana dan Filosof Besar Dunia, h. 271.16 Akal yang dimaksud di sini bukanlah akal manusiawi yang bersifat psikis dan temporal.
Namun akal yang merupakan subtansi potensial yang bersifat spiritual dan tidak ada hubunganlangsung dengan akal fisik manusiawi. Menurut Suhrawardi sendiri, akal adalah subtansikecahayaan yang dapat menerangi dan mengenali diri dan sumber asalnya serta dapat memberikanmodus eksistensial dan esensial bagi yang lainnya.
35
Awwal, akal pertama. Dengan kata lain pancaran dari cahaya ini mengandung
elemen-elemen yang berakal; cahaya pertama mempunyai pancaran akal yang
mempunyai pancaran yang ia dapatkan dari hasil pemikirannya terhadap cahaya
segala cahaya (al-Nūr al-Anwār) yang Wājib al-Wujūd itu.17
Akal sebagai al-Nūr al-Awwal berarti akal pada dasarnya bersubtansi
cahaya, dan tentu memiliki sifat dan watak cahaya yang diantaranya adalah
memberikan terang dan mampu bergerak dalam kecepatan yang sangat cepat
sebagaimana cahaya. Akallah yang di sebut sebagai substansi cahaya pertama
yang merupakan manifestasi penciptaan Tuhan. Sebagaimana diyakini oleh
Suhrawardi bahwa yang tercipta, atau makhluk pertama yang muncul dari proses
emanasi ketuhanan adalah akal.18 Maka akal yang bersbubtansi cahaya inilah yang
dimaksud sebagai cahaya pertama. Hal ini sekaligus menunjukan bahwa yang
dinamakan sebagai cahaya pertama kali, sebelum terciptanya segala macam
benda-benda yang bersinar di alam semesta, adalah akal. Maka sesungguhnya
tidak ada yang lebih dapat menerangi dunia ini seterang akal, yang selain
membuat dirinya terang (memikirkan diri) yang menyadari subtansinya berasal
dari Nūr al-Anwār Yang Satu, juga menjadikan penerang bagi realitas yang
lainnya (memikirkan objek di luar dirinya) yang merupakan realitas makhluk yang
plural.
Objek pemikiran dari al-ʻAql al-Awwal dengan demikian ada dua macam,
yaitu yang satu dan yang banyak. Objek yang satu itu bersifat wajib karena yang
17 Mustofa Ghalib, al-Suhrāwardī, (Baerut: Muassasah Izzuddin, 1982), h. 179.18 Lenn E. Goodman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam terj Tim Mizan (Bandung:
Mizan Media Utama, 2003) , h. 544.
36
satu adalah yang Wājib al-Wujūd inilah yang berupa akal. Demikian seterusnya
terjadi hierarkhi cahaya berikutnya yang berpikir pada objek yang wajib.19
Sementara objek pemikiran al-ʻAql al-Awwal terhadap yang banyak itu
bersifat mungkin bagi dirinya. Hal ini karena yang banyak itu bukanlah realitas
yang absolut hakiki. Ketika akal pertama ini memikirkan kemungkinannya dalam
dirinya maka mewujudkan suatu elemen-elemen langit dan pemikirannya tentang
dirinya sendiri mewujudkan jiwa.
Akal juga disebut Suhrawardi sebagai Nūr al-Aqrab, (cahaya yang
terdekat) maksudnya akal adalah hasil penciptaan pertama yang “terlahir” dari
emanasi tanazzuliah Allah. Dengan kedekatan ini berarti akal merupakan subtansi
yang paling mengetahui hakekat ketuhanan, paling tahu apa yang sebenarnya
dikehendaki Tuhan, dan paling awal mendapatkan segala informasi dari Tuhan
untuk segenap makhluk-Nya yang lain. Bahkan segala kebijakan Tuhan yang
berkenaan dengan makhluk-makhluk dalam semua tatanan hirarkhisnya, melalui
akal pertama ini dan akal ini pulalah yang diberi wewenang oleh Tuhan untuk
menyampaikannya atau meneruskannya kepada realitas makhluk yang berada
pada tatanan di bawahnya.
Sebutan lain akal adalah Nūr al-ʻAdhīm, cahaya agung. Keagunganannya
karena ia mendapatkan dari Dzat Yang Maha Agung, yang lebih agung dari
keagungannya (Nūr al-ʼAdham). Hal ini sudah merupakan mekanisme yang
berjalan secara otomatis, bahwa realitas penciptaan pertama dan terdekat dari
Yang Maha Agung akan menerima dan merepresentasikan keagungan-Nya lebih
19 Musthafa Ghalib, al-Suhrāwardī, (Baerut: Muassasah Izzuddin, 1982), h. 181.
37
banyak dari pada yang lainnya. Penamaan ini tidak berarti menyamai Tuhan yang
keagungannya bersifat Mutlak.
Akal pertama juga dinamai oleh Suhrawardi sebagai sosok Malaikat
kepala ataub Malaikat utama yang disebut juga sebagai Bahman.20 Dari akal
pertama inilah kemudian muncul atau beremanasi cahaya atau akal-akal yang lain.
Akal-akal tersebut disebut sebagai Sang Ibu. Sebutan Ibu tersebut karena ia
merupakan induk dari segala realitas, yang harus melaluinya penciptaan Tuhan.
Akal kedua juga mempunyai objek tujuan tiga jenis, sebagaimana akal
pertama, yang masing-masing akan melahirkan akal, jiwa dan langit-langit. Proses
tersebut berlangsung terus sampai pada lapisan langit-langit ke sembilan. Akal ke
sembilan mewajibkan adanya wujud langit bulan dan jiwanya, dan akal ke
sepuluh adalah apa yang disebut sebagai akal aktif (al-ʻaql al-faʼāl). Dari situ
berlimpahlah dunia elemen-elemen, dan akal setiap langit penyebabnya, dan
disertai juga penyebab bagi realitas dibawahnya. Dari akal kesepuluh juga
terdapat dunia elemen dengan materi dan bentuknya, serta terdapat jiwa-jiwa
manusia.21
Failasuf Barat modern yang memberikan gambaran pasti tentang akal juga
dikemukakan oleh Rene Descartes. Descartes lahir pada tahun 1596 dan
meninggal pada tahun 1650. Ia adalah terkenal dengan sebagai bapak
rasionalisme, ia adalah seorang failasuf yang merasa jenuh atas pemikiran Gereja
20 Bahman adalah nama atau sebutan Persia untuk Malaikat utama yang memilikitanggung jawab khusus dalam membantu proses penciptaan. Keberadaanya merupakan kesatuandari tujuh Malaikat yang disebut sebagai Amesha Spanta dalam tradisi Zoroastrian. Lihatwww.wikipedia.com
21 Imam Khanafi, “Relasi Jender dalam Metafisika Sufi: Studi Pemikiran Suhrawardi al-Isyrāqi” Desertasi program doktoral Studi Pemikiran Islam Sekolah Pascasarjana UIN SyarifHidayatullah Jakarta tahun 2007, h. 217.
38
saat itu. Pemikiran rasionalisnya dibangun karena ia merasa tidak puas terhadap
perkembangan falsafat yang amat lamban jika dibandinkan pada zaman
sebelumnya, ia melihat pada saat itu tokoh-tokoh Gereja yang mengatasnamakan
agama telah menyebabkan lambannya perkembangan pemikiran falsafat, ia ingin
falsafat dilepaskan dari dominasi agama Kristen, ia ingin falsafat dikembalikan
kepada semangat falsafat Yunani (renaissance) yaitu falsafat yang berbasis pada
akal.22
Metode yang digunakan Descartes adalah metode keraguan (cartesian
doubt) metode ini juga sering disebut cogito Descartes. Untuk menyakinkan orang
bahwa dasar falsafat haruslah akal, ia menyusun argumentasi yang amat terkena.
Argumen itu tentang dalam metode cogito tersebut. Untuk menemukan basis yang
kuat bagi falsafat, Descartes meragukan (lebih dahulu) segala sesuatu yang dapat
diragukan. Mula-mula ia mencoba meragukan semua yang dapat diindera, obyek
yang sebenarnya tidak mungkin diragukan, ia meragukan adanya badannya
sendiri. Keraguan itu menjadi mungkin karena pada pengalaman mimpi,
halusinasi, ilusi, dan juga pada pengalaman roh halus ada yang sebenarnya tidak
jelas itu jelas. Pada keempat keadaan itu seseorang dapat mengalami sesuatu
seolah-olah seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis
seperti tidak mimpi. Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi, dan kenyataan
gaib. Tidak ada batas yang jelas antara mimpi dan terjaga, oleh karena itu,
Descartes berkata “aku dapat meragukan bahwa aku duduk di sini dalam pakaian
siap untuk pergi ke luar; ya aku dapat meragukan itu karena kadang aku bermimpi
persis seperti itu, padahal aku ada di tempat tidur sedang bermimpi”. Menurut
22 Rene Descartes, Discourse on Method, terj Ahmad Farid Ma’ruf, (Yogyakarta:IRCiSoD, 2015), h. 14.
39
Descartes tidak ada batas yang jelas antara mimpi (sedang bermimpi) dan terjaga,
ketika kita sedang bermimpi rasa-rasanya seperti bukan mimpi.23
Begitu juga dalam halusinasi dan ilusi juga membawa kita kepada
pertanyaan: yang manakah sesungguhnya yang benar-benar ada, yang benar-benar
asli?. Benda-benda dalam mimpi, halusinasi, ilusi, dan kejadian alam roh halus,
itu bila dilihat dari posisi kita ketika sedang terjaga itu tidak ada. Akan tetapi
benda-benda itu sungguh ada bila dilihat dari posisi kita dalam mimpi, halusinasi,
dan roh halus, kita melihat dan mengalami benda-benda itu beneran ada.24
Pada langkah pertama ini, Descartes berhasil meragukan semua benda
yang dapat diindera. Menurut Descartes dalam keempat keadaan itu (mimpi,
halusinasi, ilusi, dan roh halus) juga dalam jaga, ada sesuatu yang selalu muncul
baik dalam jaga maupun dalam mimpi, yang selalu muncul itu adalah gerak,
jumlah, dan besaran (volume). Pada tahapan ini, Descartes mengajak kita untuk
berpendapat bahwa benda-benda ini lebih menyakinkan adanya, lalu Descartes
meragukannya kembali, kemudian ia meragukannya. Sampai tiba pada sebuah
kesimpulan bahwa semua hal bisa saja diragukan, kecuali suatu keadaan yang
menurut Descartes tidak dapat diragukan yaitu saya sedang ragu, jelas sekali saya
sedang ragu. Tidak dapat diragukan bahwa saya sedang ragu. Aku yang sedang
ragu itu disebabkan oleh aku berpikir. Kalau begitu aku berpikir pasti ada dan
23 Rene Descartes, Discourse on Method, terj Ahmad Farid Ma’ruf, h. 36.24 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, h. 134.
40
benar, jika aku berpikir ada, berarti aku ada sebab yang berpikir itu aku. Cogito
ergo sum, aku berpikir maka aku ada.25
Di sisi lain, ada failasuf Barat lain menyinggung persamaan antara
manusia dengan binatang, tokoh tersebut adalah Charles Robert Darwin (1809—
1882), penyelidik besar berkebangsaan Inggris, seorang peletak dasar pertama
teori descendesi (ilmu turunan) dan teori pilihan alam (natural selection).
Mengenai teorinya yang membahas tentang manusa tersebut, Darwin menyakini
bahwa; mahluk yang lebih tinggi berasal dari mahluk yang lebih rendah, sehingga
akhirnya semua mahluk hidup dapat dikembalikan kepada beberapa bentuk
semula. Darwin juga menempatkan manusia sejajar dengan binatang, dan
menerangkan terjadinya manusia dari sebab-sebab mekanis.26 Namun Darwin
juga menganggap adanya keistimewaan yang dimiliki manusia karena
kemampuan berpikirnya. Manusia adalah akhir dari sebuah evolusi panjang dari
makhluk hidup menurut Darwin. Sehingga pada bentuk manusialah bentuk
sempurna dari evolusi tercerminkan.
Dari beberapa penjelasan di atas kiranya kita mengetahui apa yang penting
dari manusia dan akalnya. Akal manusia adalah alat untuk menuntun manusia
hidup di dunia. Dengan akalnya manusia bisa membedakan mana baik mana
buruk, mana bermakna, mana tidak bermakna, serta akal yang sehat juga bisa
memperoleh pengetahuan tertinggi hingga sampai kepada pengetahuan yang
Ilahiyah. Namun bagi para failasuf iluminasi mempunyai pandangan tersendiri
25 Rene Descartes, Discourse on Method, terj Ahmad Farid Ma’ruf, (Yogyakarta:IRCiSoD, 2015), 17.
26 T.S.G. Mulia, dan K.A.H. Hiding, Ensiklopedia Indonesia, Jilid A-E. (BandungGravenhage), h. 373.
41
tentang akal, akal yang bukan hanya bersifat fisik, tetapi akal kosmis yang
menceritakan bagaimana awal mula penciptaan alam semesta melalui emananasi
(cahaya).
C. Definisi Akal menurut Ibn Thufayl
Ada perbedaan tersendiri yang membedakan pengertian akal dalam
pemikiran Ibn Thufayl, di dalam kisah Ḥayy bin Yaqzhān akal menempati posisi
yang sangat penting dalam kehidupan kita, hal itu terlihat dalam sosok Ḥayy yang
hidup terasing dalam hutan, jauh dari kebudayaan masyarakat, tanpa sentuhan
pengalaman akademik atau ajaran-ajaran dari luar, ia mampu melawati
kehiduapan dengan sempurna. Ia mampu mengetahui kematian rusa yang tanpa
sebab, mampu menklasifikasi hewan sesuai jenisnya, mampu berlindung dari
bahaya, hingga mampu mengetahui realitas tertinggi. Di dalam karyanya, Ibn
Thufayl memposisikan Ḥayy bin Yaqzhān sebagai akal faal atau jiwa yang suci,
yang berfikir, dan akal yang tetap hidup serta tidak pernah cacat. Kisah Ḥayy bin
Yaqzhān menggambarkan seorang anak manusia yang hanya menggunakan akal
aktifnya untuk mengungkap misteri kehidupan, seorang anak manusia yang
mampu hidup tanpa adanya unsur eksternal, seperti masyarakat, bahasa, agama,
budaya, bahasa, maupun dinamika sosial lainnya. Dalam kesendiriannya itu,
seorang anak manusia yang hanya memanfaatkan sumber-sumber alam dan
dengan kekuatan akal murninya, ternyata mampu mencapai pengetahuan sejati
tentang alam atas, yakni tentang kebenaran Tuhan dan kekelan jiwa. Kisah Ḥayy
bin Yaqzhān juga merupakan gambaran tentang fase-fase perkembangan akal
42
murni, dari alam materi atau alam bawah, hingga tahapan tertinggi di dalam
falsafat, yaitu alam metafisika.27
Bagi Ibn Thufayl, ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dengan indera,
karena pengetahuan bukan hanya proses pemahaman saja. Dari panca indera
dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan inderawi, hal-
hal lain yang bersifat metafisis juga dapat diketahui dengan akal dan intuisi,
ma’rifah dilakukan dengan dua cara, pikiran atau perenungan akal seperti yang
dilakukan oleh para failasuf, dan kasyf ruhani seperti yang biasa dilakukan oleh
kaum sufi. Kesesuaian antara nalar dan intuisi membentuk esensi epistemologi
Ibn Thufayl, hal ini bisa diperoleh siapa saja tergantung kepada latihan rohani,
tingkat pemikiran, dan renungan akalnya.28 Ma’rifah dengan kasyf ruhani,
menurut Ibn Thufayl depat diperoleh dengan latihan-latihan rohani dengan penuh
kesungguhan. Ma’rifah akan semakin jelas jika latihanya semakin tinggi dan
berbagai hakekat akan terungkap. Sinar terang yang menyenangkan akan
melingkupi orang yang melakukannya. Jiwanya akan menjadi sadar sepenuhnya
dan melihat apa yang tidak pernah dilihat mata, didengar oleh telinga, dan dirasa
oleh hati. Kasyf ruhani merupakan ektase yang tak dapat dilukiskan dengan kata-
kata, hanya merupakan simbol yang terbatas pada pengalaman indera.29
Disini kita melihat beberapa paparan tokoh-tokoh failasuf diatas
nampaknya ada sebuah distorsi yang cukup jauh dalam pemaknaan akal, namun
pada uraian ini kita lihat betapa hebat nya pemikiran Ibn Thufayl, ia berusaha
27 M. Hadi Masruri, Ibn Thufayl: Jalan Pencerah Menuju Tuhan, (Yogyakarta : Lkis2005), h. 37.
28 Machnun Husein. Kamus Filsafat Islam. (Jakarta: Rajawali. 1991), h. 534.29 Machnun Husein. Kamus Filsafat Islam. (Jakarta: Rajawali. 1991), h. 535.
43
menyelaraskan kedua kutub pemikiran antara tradisi falsafat peripatetik yang
dibangun di atas dasar rasio (akal) murni, yaitu melalui pemikiran rasional dengan
pemikiran tasawuf yang berdasarkan pada intuisi (melalui ilumninasi cahaya),
yang berakar pada tradisi falsafat timur, yakni falsafat Persia kuno, yang
cenderung neo-Platonistik.
44
BAB IV
PERANAN AKAL DALAM MEMEROLEH PENGETAHUAN MENURUT
IBN THUFAYL
A. Metode Akal dalam Memeroleh Pengetahuan
Dalam berpikir kita temui dua corak yang berbeda, bagi aliran realis
berpikir berarti mengenal objek, sedangkan bagi idealis, mengenal berarti
berpikir. Manusia berpikir menggunakan akal.
Menurut Ibn Thufayl akal memiliki keistimewaan, yaitu dapat mengetahui
hakikat keindahan (esthetic) dan hakikat kebaikan (the good). Di sisi lain yang
menarik dari pemikiran Ibn Thufayl adalah seorang failasuf yang melihat bahwa
agama dengan akal mempunyai tujuan yang sama, yakni mencari kebenaran .
keduanya tidak bertentangan menuju ke tujuan tersebut.
Adapun sumber pengetahuan menurut Ibn Thufayl yang paling jelas
memperlihatkan corak berpikirnya, yakni pada waktu pertemuan antara Ḥayy
dengan seorang ulama yang bernama Absal, perbincangan mereka mengenai
adanya Tuhan memperlihatkan keseseuaian. Dalam kesesuaian itulah sebenarnya
Ibn Thufayl ingin memperlihatkan bahwa dengan mempergunakan akal (falsafat)
manusia dapat menyelami makna dan tujuan agama.
Metode pengetahuan Ibn Thufayl menggunakan dua model yang berbeda
dan digunakan secara bersamaan antara rasio (ʼal-aql) dan intuisi ( adz-zaūq),
metode ini digunkan Ibn Thufayl untuk memperoleh pengetahuan yang sejati,
yakni tinggkatan tertingggi yang dapat dicapai oleh manusia melalui musyahadah
(persaksian).
45
Uraiana perkembangan alam pikiran dalam kisah Ḥayy bin Yaqzhān telah
memperlihatkan metode yang dipergunakan oleh Ibn Thufayl. Jika di ringkas, Ibn
Thufayl pada tahap pertama menggunakan metode empiris dalam cara
berpikirnya, kemudian tahap kedua menggunakan metode rasional dan intuitif.
Akal manusia menurut Ibn Thufayl kadang-kadang mengalami
ketumpulan dan ketidakmampuan dalam mengemukakan dalil-dalil pikiran, yaitu
ketika hendak menggambarkan keazalian mutlak, ketidakakhiran zaman, qadīm,
hudūts (baru) dan lain-lain yang sejenisnya. Manusia dengan akalnya sanggup
mengetahui dasar-dasar keutamaan dan dasar-dasar akhlak yang bersifat amali dan
kemasyarakatan, serta menjadikan keutamaan diri dengan keutamaan akhlak
tersebut, di samping menundukan keinginan-keinginan badan kepada hukum
pikiran, tanpa melalaikan hak badan atau meninggalkannya sama sekali.
Apa yang diperintahkan oleh Syariat Islam dan apa yang diketahui oleh
akal yang sehat dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan dan keindahan
dapat bertemu dalam satu titik tanpa diperselisihkan lagi.1
Berdasarkan metode yang digunakan untuk mencapai pengetahuan sejati,
Ibn Thufayl kemudian mengklasifikasi pengetahuan menjadi dua bagian, yakni
pengetahuan fisika (ath-thabīʼah). Dan pengetahuan metafisika (ma waraʼa ath-
thabīʼah). Pengetahuan fisika adalah pengetahuan tentang hakikat segala yang ada
di dalam kejadian dan kerusakan alam (ʼālam al-kaun wa al-fasād). Sementara
1 Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam, (Jakarta: UI: Press, 2006), h. 60.
46
pengetahuan metafisika adalah pengetahuan tentang alam luar (ʼālm al- khāriji)
atau alam atas (ʼālam al-aʼlā) termasuk di dalamnya pengetahuan tentang Tuhan.2
Menurut Ibn Thufayl seseorang dapat tumbuh dan berkembang menjadi
seorang failasuf yang bukan saja ahli dalam pengetahuan empiris, melainkan juga
menjadi seorang teosofos (al-ẖikām al-mutaʻallih) yang mampu mencapai
kebenaran Tuhan yang disebutnya sebagai pengetahuan sejati.3
Dalam perjalanan mencari pengetahuan fisika, Ibn Thufayl mendasarkan
pengetahuannya kepada metode penalaran diskursif, yang dalam pengetahuan
modern dikenal sebagai metode yang didasarkan pada pengamatan, observasi,
penelitian, peniruan, penemuan, eksperimen, penalaran, falsifikasi, analogi,
komparasi, dan deduksi. Dengan demikian, pengetahuan seperti ini, menurut Ibn
Thufayl bersifat didapat atau diperoleh.
Sementara metode penemuan (al-iktisyāf) digunakan untuk mengetahui
rahasia yang terkandung di dalam benda. Misalnya dalam kisah Ḥayy membedah
jasad ibu angkatnya, sang rusa yang telah meninggal, sehingga ia mengetahui
dengan detail tentang seluruh bagian dari anggota tubuhnya, sekaligus fungsi dan
kegunaanya masing-masing. Bahkan melalui penalaran dan kekuatan rasionya, ia
berhasil menyikap rahasia yang tersembunyi dibalik jasad yang hidup, yakni
adanya daya yang ada diluar jasad yang materi, yang disebutnya sebagai ruh
hewani (ar-rūh al-hayawāni) yang merupakan penggerak bagi kehidupan. Metode
2 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004), h. 220
3 M, Hadi Masruri, Ibn Thufayl: Jalan Pencerah Mencari Tuhan, (Yogyakarta: Lakis,2005), h. 128.
47
penemuan itu kemudian dilanjutkan dengan metode eksperimen (at-tajribah) lalu
diuji atau falsifikasi (al-ikhtibār).4
Peniruan (al-muhākāt) adalah metode yang digunakan Ibn Thufayl dalam
kisah Ḥayy untuk mengamati berbagai prilaku binatang dan benda-benda yang
ada disekitarnya. Dengan cara itu, Ḥayy memperoleh kekuatan dan ketajaman
indera, serta memiliki kekuatan nalar yang tinggi. Hal itu ia lakukan misalnya,
untuk mempertahankan diri dari serangan binatang buas, atau menutupi badannya
dengan dedaunan sebagai pengganti bulu. Pengetahuan-pengetahuan seperti itu
terkadang diperolehnya secara kebetulan (al-mushādafah), namun terkadang juga
karena suatu kebutuhan yang ia rasakan, seperti bagaimna ia harus menyimpan
makanan dan membuat rumah sebagai tempat untuk berlindung.5
Selanjutnya metode komparasi (al-muqāranah), analogi (al-qiyās), dan
deduksi (al-istintāj). Metode-metode itu dalam cerita Ḥayy, nampak ketika Ḥayy
sedang membelah jasad ibu angkatnya, serta ketika ia mengamati seluruh benda
yag ada di dalam materi. Dengan metode itu, Ḥayy berhasil mengetahui sifat-sifat
dan tabiat setiap sesuatu, yang kemudian diketahui sebagai hukum alam dan
hukum kausalitas, hal tersebut membawa kepada kesimpulan bahwa segala
sesuatu yang ada terdiri atas empat elemen atau unsur (al-usthūqsat), pokok
unsur itu adalah tanah, air, apai, dan udara. Bahkan Ḥayy berhasil mengungkap
esensi yang menurutnya terdiri dari materi asal (al-hayūla) dan bentuk (ash-
shūrah). Pengetahuannya terhadap alam semesta membawanya pada kesimpulan
4 M, Hadi Masruri, Ibn Thufayl: Jalan Pencerah Mencari Tuhan, h. 116.
5 Ibn Thufayl, Ḥayy ibn Yaqzhān/Manusia dalam Asuhan Rusa, terj Nurhidayah,(Yogyakarta: Navila, 2010), h. 155.
48
adanya esensi lain yang memberikan bentuk bagi setiap benda, sehingga menjadi
beragam.6
Hal tersebut membawa Ḥayy pada kesimpulan tentang haikakat dirinya,
yang ia lihat mempunyai esensi terpisah dari jasadnya yang materi, yang
dengannya mampu mencapai pengetahuan. Esensi yang ada pada dirinya itulah
yang kemudian ia sebut sebagai esensi yang berpikir (adz-dzāt al-ʻarifah), yang
membedakannya dari binantang yang tidak memiliki daya berpikir.
B. Hubungan Akal dan Agama
Di dalam ajaran agama yang diwahyukan, ada dua jalan untuk
memperoleh pengetahuan, pertama jalan wahyu dalam arti komunikasi Tuhan
kepada manusia dan kedua jalan akal, yang dianugerahkan kepada manusia,
dengan memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan
pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan.
Akal, dalam pengertian Islam, tidak lah otak, melainkan daya berpikir
yang terdapat dalam jiwa manusia, yang sebagian digambarkan dalam al-Qur’ān.
Memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam
pengertian inilah yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang membawa
pengetahuan dari luar diri manusia yaitu dari Tuhan.7
Adapun kebenaran yang dibawa wahyu, diyakini kebenarannya bersifat
absolut dan mutlak. Sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui akal hanya
bersifat relatif, spekulatif, mungkin benar dan mungkin salah.
Falsafat, sebagai prosese berpikir akal yang sistematis memilki objek
kajian material dan formal. Objek kajian material falsafat adalah yang ada. Segala
6 Ibn Thufayl, Ḥayy ibn Yaqzhān/Manusia dalam Asuhan Rusa, terj Nurhidayah, h. 163.7 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (jakarta: UI-Press, 1986), h. 13.
49
yang ada mencakup “ada yang tampak” dan “ada yang tidak tampak” “ada” yang
tampak adalah alam fisik/empiris, sedangkan “ada” yang tidak tampak adalah
alam metafisika. Sebagian falasuf membagi objek kajian material falsafat menjadi
tiga bagian pokok, yaitu: yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam pikiran,
yang ada dalam kemungkinan.8 Adapun objek formal falsafat adalah sudut
pandang yang menyeluruh, rasional, bebas (radikal) dan objektif tentang yang
ada, agar dapat mencapai hakikatnya.9
Agama adalah sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh
manusia dengan selalu menggunakan interaksi dengan-Nya. Pokok persoalan
yang dibahas dalam agama adalah eksitensi Tuhan, manusia, dan hubungannya
antara manusia dengan Tuhan. Tuhan dan hubungan manusia dengan-Nya
merupakan aspek dari metafisika, sedangkan manusia sebagai mahluk dan bagian
dari benda alam termasuk dalam kategori fisika.
Kata agama berasal dari bahasa Sankskrit, yaitu dati kata “a” yang berarti
tidak, dan “gam” yang berarti pergi, jadi agama artinya tidak pergi: tetap
ditempat; di warisi turun-temurun. Agama memang mempunyai sifat yang
demikian. Pendapat lain mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci.
Selanjutnya dikatakan bahwa gam juga berarti tuntunan. Agama juga mempunyai
tuntunan, yaitu Kitab Suci.10
Kata al-dīn (agama) dalam bahasa Arab terdiri atas huruf “dal”, “ya”, dan
“nun”. Huruf-huruf ini bisa dibaca dengan dain yang berarti utang dan dīn yang
mempunyai arti agama dan hari kiamat. Ketiga arti tersebut sama-sama
8 Louis o. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj: Soejono Soemargono, (Yogyakarta: TiaraWacana, 2014), H. 88.
9 Lasiyo dan Yuwono, Pengantar Ilmu Falsafat, (Yogyakarta: Liberty, 1985), h. 6.10 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Rajawali pers, 2007), h. 2.
50
menunjukan adanya dua pihak yang berbeda. Pihak yang pertama berkedudukan
lebih tinggi, berkuasa, ditakuti, dan disegani oleh pihak kedua. Dalam agama,
Tuhan adalah sebagai pihak pertama yang lebih tinggi daripada manusia. Dalam
utang-piutang, yang mengutangi tentu lebih tinggi (kaya) ketimbang yang
berutang. Dalam masalah kiamat, tentu demikian juga, Tuhan yang memiliki hari
kiamat, sedangkan manusia yang dimiliki dan dia harus tunduk kepada si
pemilik.11
Dalam bahasa latin, Religi menurut suatu pendapat, berasal dari relegere,
yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama memang kumpulan cara-cara
mengabdi kepada Tuhan dan segala petunjuknya harus dibaca. Pendapat lain
mengatakan, religi berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran
agama memang mengikat bagi manusia, yakni mengikat manusia kepada Tuhan.12
Dari kata-kata tersebut memang ada kesamaan, yaitu ikatan yang harus
dipegang dan di patuhi oleh manusia. Ikatan itu berpengaruh sekali kepada
kehidupan manusia dan ikatan tersebut berasal dari kekuatan yang lebih tinggi.
Suatu kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera.
Dari kedua akar kata tersebut, didefinisikan dalam berbagai ungkapan,
antara lain pengakuan adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang
harus dipatuhi.
Persoalan wujud (being) merupakan unsur fundamentalis dari falsafat
iluminasi, termasuk Ibn Thufayl. Di dalam kisah Ḥayy bin Yaqzhān, menurut Ibn
Thufayl eksistensi (wujud) terbagi dua bagian, yaitu materi (al-māddah, al-
hayula) dan bentuk (ash-shūrah), keduanya muncul sebagai hasil proses emanasi
11 M. Quraish Shihab, Mahkota Tuntutan Ilahi, (Jakarta: Untagama, 1986), h. 35.12 Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran terhadap Agama, (Jakarta: Pustaka
Alhusna, 1984), h. 72.
51
dari Allah, kemudian menjelaskan bagaimana Ḥayy bin Yaqzhān mengenali
esensinya, yang mana hal itu dijadikan landasan untuk mengungkap misteri alam
semesta, terutama dari segala yang ada.
Pada perkembangannya, Ḥayy Ibn Yaqzhān mampu mengenali alam fisika
(ath-thabīah), dan kemudian alam metafisika (mā wāraʻa ath-thabīah), hingga
mampu mengungkap rahasia alam semesta yang membawanya pada kesimpulan
tentang adanya sumber asal dari segala realitas yang ada. Pengetahuan Ḥayy
berakhir pada Yang Wajib Ada (Wājib al-Wujūd). Yang Wajib Ada merupakan
esensi dari yang maha sempurna, yang senantiasa ia rindukan, dan yang
menjadikannya terus melakukan olah spiritual untuk dapat mencapai esensi-
Nya.13
Melalui karya filsafat Risālah fī Asrār al-Ḥikmah al-Masyriqiyyah (Ḥayy
ibn Yaqzhān); Rasāʼil fī an-Nafs, fī Biqā al-Masqūnah wa al-Ghayr al-
Maskūmah, Ibn Thufayl ingin menekankan bahwa antara akal dan wahyu tidak
bertentangan, dengan kata lain, falsafat dan agama.
Kebenaran tertinggi tentang Tuhan tidak hanya dapat diketahui dengan
wahyu, tetapi juga dapat diketahui dengan akal. Ḥayy yang terbebas dari pengaruh
ajaran Nabi, dapat sampai ke tingkat tertinggi dari ma’rifah terhadap Allah,
melalui akalnya dan melalui intuisi yang ia peroleh dengan jalan latihan
kerohanian, seperti berpuasa, shalat, dan lainnya.
Walaupun demikian, Ibn Thufayl menyadari, mengetahui, dan
berhubungan dengan Allah melalui pemikiran akal murni hanya dapat dilakukan
oleh orang-orang khusus (ahl al-maʼrifat). Orang awam tidak mampu
13 Ibn Thufayl, Ḥayy ibn Yaqzhān/Manusia dalam Asuhan Rusa, terj Nurhidayah, h. 247.
52
melakukannya. Karena itu, bagi orang awam sangat diperlukan adanya ajaran
agama yang dibawa oleh Nabi. Agama diturunkan untuk semua orang dalam
segala tingkatannya. Falsafat hanya dapat dijankau oleh orang-orang yang
bernalar tinggi. Agama melambangkan “dunia atas” dengan lambang-lambang
eksoteris. Agama juga berisi perbandingan, persamaan dan persepsi-persepsi yang
cukup mudah dipahami oleh banyak orang. Falsafat merupakan bagian dari
kebenaran esoteris, yang menafsirkan lambang-lambang itu tersebut agar
diperoleh pengertian-pengertian yang hakiki14
Dalam prakteknya, Ibn Thufayl berusaha dengan penuh kesungguhan
untuk memadukan antara falsafat dan agama Ḥayy dalam kisah falsafatnya ia
lambangkan sebagai akal aktif yang dapat berkomunikasi dengan Allah,
sedangkan Absal, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk esoteris,
yang membawa hakikat (kebenaran). Sementara Salman, ia lambangkan sebagai
wahyu (agama) dalam bentuk eksoterisnya, yang juga membawa kebenaran.
Kebenaran yang dihasilkan falsafat tidak bertentangan dengan kebenaran yang
dikehendaki agama karena sumbernya sama, yaitu dari Allah SWT.
Failasuf-failasuf Islam lain memberikan paparannya mnegenai akal
(falsafat) dan wahyu (agama), sejalan serasi dan harmonis.
Al-Kindi adalah failasuf pertama yang menjelaskan bahwa tidak ada
pertentangan antara agama dan falsafat. Titik temu antara keduanya terletak pada
kebenaran (al-hāq). Falsafat dalam pengertian Al-Kindi adalah pembahasan
tentang kebenaran, bukan hanya untuk diketahui saja melainkan harus di amalkan.
Agama datang untuk misi kebenaran, falsafat dalam tingkatan tertinggi derajatnya
14 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, h. 219.
53
adalah tentang Yang Maha Benar Pertama, yang menjadi sebab bagi tiap
kebenaran. Yang maha benar pertama adalah Tuhan Pencipta alam. Dengan
demikian antara agama dan falsafat ada persesuaian.15
Demikian juga menurut Al-Farabi, ia berkeyakinan bahwa antara agama
dan falsafat tidak ada pertentangan. Menurut pendapatnya kebenaran yang dibawa
wahyu dan kebenaran yang dihasilkan falsafat hakekatnya satu, walaupun
bentuknya berbeda-beda.16
İbn Miskawaih, yang dikenal dalam falsafat Islam sebagai failasuf akhlak,
juga berkeyakinan bahwa antara akal dan wahyu tidak ada pertentangan. Ia
berpendapat bahwa antara nabi dan failasuf tak ada perbedaan besar dan bahwa
hubungan antara keduanya sangat erat. Nabi sampai kepada hakikat-hakikat
karena pengaruh akal aktif atas daya imaginasinya. Hakekat-hakekat yang
diperoleh Nabi itu pulalah yang sampai kepada failasuf, tetapi melalui daya fikir
dan bukan daya imaginasi. Failasuf berusha dari bawah dengan melampaui
tingkat-tingkat indera luar, imaginasi dan akal, sedangkan Nabi memperolehnya
sebagai rahmat yang datang dari Tuhan.17
C. Fase-fase Perkembangan Akal
Dalam perspektif Ibn Thufayl, akal (rasio) tidak akan mampu mencapai
pengetahuan yang sejati, sebab akal termasuk bagian dari esensi yang dimiliki
manusia yakni esensi berdaya pikir (adz-dzât an-nâthiqah), dan pada kenyatannya
akal berada dalam materi atau diliputi oleh materi dalam bentuk jasad manusia.
15 Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam; Pengantar Pengetahuan FalsafatIslam, h. 40.
16 Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam; Pengantar Pengetahuan FalsafatIslam, h. 44.
17 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisime dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h.15.
54
Oleh karena itu, untuk mencapai pengetahuan sejati di dalam tingkatan tertinggi
al-istighrâq al-maẖdh atau al-fanâʻ at-tâmm (ekstase total), kekuatan akal harus
dibarengi dengan kekuatan intuisi sehingga menjadi manusia yang memiliki
intuisi kuat. Untuk mencapai tingkatan itu, menurut Ibn Thufayl seseorang harus
melakukan proses olah spiritual (ar-riyâdhah).
Dalam kisah kelahiran Ḥayy bin Yaqzhān diceritakan dalam dua versi:
Pertama, Ḥayy terlahir seperti kebanyakan manusia lainnya, yakni dilahirkan oleh
seorang ibu yang secara kebetulan adalah saudara kandung dari seorang raja di
sebuah pulau di India.18 Ayah Ḥayy bernama Yaqzhān, yang sebenarnya masih
kerabat dekat ibunya. Mereka menikah dengan sembunyi-sembunyi, karena
ditentang sang raja. Ketika ibunya memelihara, sang bayi yang kemudian diberi
nama Ḥayy bin Yaqzhān, diletakkan di dalam sebuah peti dan dihanyutkan ke laut,
dengan tujuan agar tidak diketahui oleh sang raja, karena takut akan ancaman dan
siksaanya. Peti yang berisi bayi Ḥayy bin Yaqzhān itu akhirnya terdampar di
sebuah pulau seberang. Secara kebetulan, datanglah seekor rusa yang sedang
mencari anaknya yang hilang. Ketika sang rusa mendengar tangis sang bayi dan
mengira adalah anaknya yang hilang, ia pun kemudian membawa bayi tersebut
dan mengasuhnya hingga besar.
Versi kedua, Ḥayy terlahir dengan sendirinya melalui keajaiban alam,
yang berasal dari segumpal tanah merah (ikhtimār ath-thīnah) di perut bumi.
Tanah yang bergelembung itu terdiri dari dua bagian yang dipisahkan oleh selaput
yang sangat tipis, dan berisi sebuah zat udara yang sangat halus, sebagai tempat
bersemayamnya ruh dari Tuhan. Dari situlah tercipta sebuah embrio (janin) yang
18 Haidar Bagir, Buku saku filsafat islam. (Jakarta: Mizan, 2005.), h. 34.
55
mengalami perkembangan dan berevolusi menjadi seorang bayi yang secara
spontan menangis karena merasa lapar. Dalam keadaan seperti itulah seekor rusa
yang sedang mencari anaknya yang juga hilang. Rusa tersebut kemudian
memungut, menyusui, dan mengasuh bayi tersebut hingga besar.19
Walaupun berbeda, kedua pandangan di atas memiliki kesamaan dalam
kisah selanjutnya, dengan kata lain perbedaan hanya terjadi pada asal-usul
kelahiran bayi Ḥayy saja. Selanjutnya sang bayi terselamatkan dan hidupnya
berjalan normal karena diasuh oleh seekor rusa.
Setelah menemukan bayi tersebut, rusa itu merawatnya dengan kasih
sayang seperti anaknya sendiri, sampai pada akhirnya rusa itu mati dan Ḥayy pun
memikirkan terkait kematiannya. Sampai disini, Ibn Thufayl menyuguhkan kisah
Ḥayy bin Yaqzhān ini sebagai gambaran dari pemikiran falsafatnya, yakni tentang
beberapa tingkatan daya pikir manusia menuju pengetahuan yang hakiki
Fase-fase yang dilalui akal manusia dalam kisah Ḥayy bin Yaqzhān Ibn
Thufayl adalah sebagai berikut:
Fase pertama Ḥayy hidup dan beraktivitas mengikuti ibunya, yakni rusa.
Menginjak umur dua tahun Ḥayy mulai dapat melihat perbedaan antara sang rusa
dengan dirinya, seperti adanya bulu, cakar ekor dan sebagainya yang ada pada
sang rusa. Dalam fase ini ia mulai sadar dan membuat penutup aurat dengan daun-
daun, lalu mulai bisa menirukan suara-suara rusa, membuat tongkat untuk
perlindungan dirinya dari serangan binatang lain.
19 Ibn Thufayl, Ḥayy bin Yaqzhān : Anak alam mencari Tuhan, terj Ahmadie Thaha,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), h. 4.
56
Tetapi sampai pada waktu rusa meninggal, Ḥayy mulai beralih pada
penalaran yang metafisik-spekulatif. Dia mulai penasaran dengan matinya sang
rusa, dan mulai menyelidiki akibat kematian rusa tersebut. Ḥayy mengenali organ-
organ didalam tubuh rusa tersebut dan berusaha mengetahui penyebab
kematiannya, yankni terpisahnya ruh dengan tubuh rusa tersebut.20
Fase kedua, Ḥayy menemukan api yang menyala-nyala, dia akhirnya tahu
fungsi api sebagai penerang saat gelap, dan penghangat ketika dingin, juga
sebabgai pencipta pelezat makanan. Sampai ia mengetahui hangat api itu juga ada
dalam tubuh rusa (ibu angkatnya) lalu ia meneliti anatomi dan fisiologi tubuh ibu
angkatnya itu, ia menemukan ada saling keterkaitan antara organ yang satu
dengan organ yang lainnya, sekaligus fungsi-fungsinya. Pada saat itulah dia mulai
menemukan dunia spiritual, di mana setiap yang hidup terdapat dua unsur entitas
yakni jasmani dan ruhani. 21
Fase ketiga, dimulai ketika Ḥayy beranjak dewasa dan sudah mempunyai
kekuatan diri untuk bertahan hidup. Ia melakukan pengamatan terhadap alam yang
ada di sekitarnya. Ia mulai mengerti adanya klasifikasi hewan dan spesiesnya,
memahami fungsi-fungsi benda yang ada di sekitarnya. Akhirnya ia dapat
menyimpulkan ada kesamaan esensi dengan benda-benda tersebut. lalu ia
mengamati segala sesuatu yang hidup dan akhirnya ia mengerti sebab dan asal
kehidupan.
20 A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 27321 Majid Fakhiry, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1986), h. 368.
57
Fase keempat, ketika Ḥayy tidak lagi mengamati benda-benda indrawi
melainkan menglihkan pengamatannya pada benda benda samawi. Ḥayy melihat
ke angkasa yang berisi bintang-bintang sebagai benda, dan mendapat kesimpulan
bahwa mereka membentang dalam tiga dimensi, panjang, lebar, dan tinggi.
Semakin tajam pengamatan dan intuisinya ia memahami aktivitas alam beserta
kerteraturannya. Pengetahuannya tentang dunia kosmos, membawa Ḥayy pada
pengetahuan tentang kekekalan dan kebaruan alam semesta, dan setiap sesuatu
pasti hancur kecuali yang satu yakni Tuhan pencipta alam semesta ini.
Pada saat ia beranjak menuju dewasa matang, Ḥayy sampai pada
kesimpulan bahwa jiwa adalah sesuatu yang terpisah dari tubuh, dan keduanya
memiliki karakter yang berbeda. Ia terus meningkatkan perenungan dan intuisinya
sampai akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa kebahagian jiwa adalah ketika ia
mampu menyaksikan Tuhan. Ia mengetahui jiwa bersifat kekal, dan kekekalan
inilah yang akan mengantarkan ia bertemu sang Pencipta. Dalam hati Ḥayy sudah
tertanam pengetahuan tentang sang Pencipta, ia pun mengacuhkan segala
pengetahuan empirisnya dan berusaha menuju jalan bertemu dengan sang
Pencipta.
Fase keenam, Ḥayy sampai pada pemahaman tentang Tuhan, eksistensi tertinggi
yang kekal dan tak ada sebab bagi Wujud-Nya namun menjadi Sebab wujud
segala sesuatu. Ḥayy merenungkan segala panca indra yang dimilikinya, dan
mempersepsikan benda-benda materi. Dengan mengerti bahwa wujud itu terlepas
dari benda materi manapun, oleh karenanya Dia harus dilihat sebagai sesuatu yang
nonmateri. Ḥayy mendapati diri-Nya mempunyai esensi, yang merupakan
58
immaterial, dan hanya melalui esensi inilah ia dapat memikirkan tentang Wujud
yang sempurna.
Fase ketujuh, yaitu saat Ḥayy berusaha untuk menghilangkan esensi dan
keakuan dirinya. Ḥayy menghilangkan bayang-bayang duniawi dan terus menuju
sang Pencipta. Akhirnya dengan ketajaman dan kegigihannya dalam perenungan
ia mendapat suatu kondisi di mana ia merasakan ketiadaan dirinya tenggelam
dalam fana. Ḥayy mendapatkan maqamnya, tenggelam dalam kefanaan yang tak
terhingga.
Selanjutnya Ḥayy terus-menerus menjalaninya, hingga ia merasa sangat
mudah untuk mencapainya. Sehingga ia bisa mencapai maqam eksistensi kapan
pun ia mau dan dapat meninggalkannya sewaktu ia harus memenuhi kebutuhan
fisiknya.
Di sinilah kesempurnaan pengetahuan sejati Ḥayy dapatkan, ia ingin terus
menerus melakukannya sampai benar-benar tidak merasakan eksistensi dirinya
lagi. Ḥayy terus melakukan itu hingga memperoleh pengetahuan tentang esensi
dirinya yang tidak lain adalah esensi-Nya.
Demikian kisah roman Falsafat Ibn Thufayl menggambarkan kepada kita
bahwa kepercayaan kepada Tuhan adalah salah satu bagian dari fitrah manusia
yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal yang sehat dengan memperhatikan dan
merenungkan alam sekitarnya tentu akan sampai kepada Tuhan. Seorang anak
manusia yang hidup tanpa adanya unsur eksternal, seperti masyarakat, bahasa,
budaya, agama, maupun dinamika sosial lainnya. Dalam kesendiriannya itu,
seorang anak manusia yang hanya memanfaatkan sumber-sumber alam dan
59
dengan kekuatan akal murninya, ternyata mampu mencapai pengetahuan sejati
tentang alam atas, yakni tentang kebenaran Tuhan dan kekekalan jiwa. Kisah
Ḥayy bin Yaqzhān merupakan gambaran tentang fase-fase perkembangan akal
murni, dari alam materi atau alam bawah (ālam al adnâ) hingga tahapan tertinggi
di dalam falsafat yaitu metafisika (mâ warāʼ a ath-thabīʻah).22
Urutan-urutan tangga menuju makrifat (pengetahuan) oleh akal menurut
Ibn Thufayl, dimulai dari objek-objek indrawi yang khusus sampai kepada
pikiran-pikiran universal.
22 M. Hadi Masruri, Ibn Thufayl; Jalan pencerah mencari Tuhan, h. 37.
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, pemikiran falsafat Ibn Thufayl berusaha
untuk mencoba menggabungkan dua model pemikiran sekaligus. Pertama model
pemikiran yang berakar pada tradisi falsafat peripatetik. Struktur pemikiran ini
dibangun di atas dasar rasio (akal) murni, melalui pemikiran rasional. Kedua
pemikiran tasawuf yang berdasarkan pada intuisi (melalui ilumninasi cahaya).
Pemikiran ini berakar pada tradisi falsafat timur, yakni falsafat Persia kuno, yang
cenderung neo-Platonistik, namun dalam kemasan baru yang disebut falsafat
iluminasi (al-ẖikmah al-isyrāqiyyah).
Melalui kisah Ḥayy bin Yaqzhān Ibn Thufayl ingin menerangkan
bagaimana akal yang sehat akan mampu membawa manusia kepada pengetahuan-
pengetahuan yang agung dan universal, dengan melawati fase-fase dan latihan-
latihan yang terus dilakukan. Menurut Ibn Thufayl pengetahuan diskursif yang di
dasarkan pada rasio murni harus juga dibarengi dengan olah spiritual yang
panjang melalui tahapan-tahapan, sehingga diperoleh ketajaman intuisi, yang
dengannya manusia dapat mencapai tingkatan tertinggi, bahkan lebih tinggi dari
yang dicapai oleh para sufi, yakni ekstase total, dimana seorang teosofos
mencapai musyāhadah (persaksian)
Lepas dari apa yang telah dijelaskan diawal, menurut penulis, Ibn Thufayl
tamapak sebagai seorang failasuf yang telah mencapai tingkatan tertinggi yang
disebutnya sebagai puncak kebahagiaan dalam ekstase total. Ia kemudian berbagi
cerita perihal pengalaman pribadinya dalam musyāhadah dengan Tuhan dalam
61
kisah yang fiktif namun sangat elegan, Risālah fī Asrār al-Ḥikmah al-
Masyriqiyyah (Ḥayy ibn Yaqzhān); Rasāʼil fī an-Nafs, fī Biqā al-Masqūnah wa al-
Ghayr al-Maskūmah.
Saran
1. Penulis menyadari sekali pembahasan yang sudah penulis bahas dalam
skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu saran
dan kritik sangat penulis harapkan dari para pembaca untuk
menyempurnakan skripsi ini.
2. Penulis menyadari bahwa pendekatan penelitian tentang Akal Menurut
Ibn Thufayl masil belum terstruktur dan sistematis disajikan penulis
dalam penelitian ini.
3. Walaupun masih terdapat banyak kekurangan di dalam skripsi ini,
tentunya penulis berharap ada manfaat serta hikmah yang dapat
diambil oleh para pembaca khususnya mahasiswa dan mahasisiwi
Aqidah dan Falsafat.
62
62
DAFTAR PUSTAKA
A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
A. Setyo, Wibowo. Hidup Suskse Menurut Platon, Yogyakarta: Kanisius,2010.
Abbas, Arifin, Zainal, Perkembangan pikiran Terhadap Agama, Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1984.
Ahmad, Zainal Abidin. Ibn Sina: sarjana dan Filosof Besar Dunia, Jakarta:
Bulan Bintang, 1974.
Alfan, Muhammad, Filsafat Modern, Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Ali, Yunasril. Perkembangan Falsafi Dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Anshari, Endang Saifuddin. Ilmu Filsafat Dan Agama, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1975.
Anshari, Saifuddin .Ilmu Filsafat Dan Agama, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1975.
Arifin Abbas, Zainal. Perkembangan Pikiran terhadap Agama, Jakarta: Pustaka
Alhusna, 1984.
Bagir, Haidar. Buku saku filsafat islam. Jakarta: Mizan, 2005.
Bahri, Media Zainul. Satu Tuhan Banyak Agama, Jakarta: Mizan Publika, 2011.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama, Jakarta: Rajawali pers, 2007.
Dahlan, Abdul Aziz. “Filsafat”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam
Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2007.
Drajat, Amroeni, Filsafat Islam, Jakarta: Erlangga, 2006.
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Jaya. 1987.
Fitriyana, Nur. Inkuisisi Gereja Katolik Terhadap Umat Islamdi Spanyo, Jurnal IlmuAgama UIN Raden Fatah, 2017, V. 17.2: 213-230.
Gazalba, Sidi. Islam Integrasi Ilmu dan Kebudayaan, Jakarta: Tintamas, 1967.
Ghazali, Imam. Keajaiban Hati, terj: Nurhickmal, Jakarta: Tintamas, 1965.
Goodman, Lenn E, Ensiklopedia Tematis filsafat Islam Bandung: Mizan Media
Utama, 2003.
Hanafi ,Ahma. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1991.
Hussein, Ziai. Suhrawardi dan Filsafat Iluminasi, terj. Alif Muhammad dan
Munir, Bandung: Zaman, 1998.
Issawi, Charles. Filsafat Islam tentang Sejarah, salinan A. Mukti Ali, Jakarta,
1962).
63
Kartanegara, Mulyadhi. Gerbang kearifan: Sebuah Pengantar filsafat IslamJakarta: Lentera Hati, 2006.
Kattsoff ,Louis o. Pengantar Filsafat, terj: Soejono Soemargono, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2014.
Khanafi, Imam. “Relasi Jender dalam Metafisika Sufi: Studi Pemikiran
Suhrawardi al-Isyrāqi” Desertasi program doktoral Studi Pemikiran
Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
Lasiyo dan Yuwono, Pengantar Ilmu Falsafat, Yogyakarta: Liberty, 1985.
M.M. Syarif M.A. Para Filosof Muslim. Tim Penerjemah Mizan, Bandung:
Mizan 1998
Magnis Suseno, Franz. 13 Tokoh Etika, Jakarta: Kanisius, 1996.
Masruri, Hadi, Ibn Thufail Jalan Pencerah Mencari Tuhan, Yogyakarta: Lkis,
2005.
Miska Amien, Muhammad. Epistemologi Islam, Jakarta: UI: Press, 2006.
Muhammad bin Thufayl, Abu Bakar, Hayy Bin Yaqdzon, terj. Nurhidayah,
Yogyakarta: Navila, 2010.
Mulia, T.S.G. dan Hiding, K.A.H. Ensiklopedia Indonesia, Jilid A-E. Bandung
Gravenhage.
Muthahhari, Murtadha, Man and Universe, Terj Ilyas Hasan. Jakarta: PT Lentera
Basritama, 2002.
Nadim al-Jisr, Syekh, Kisah Mencari Tuhan, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI-Press, 1986.
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf, dan Ajarannya,
Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisime dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1987.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013.
Nurhakim, Moh. Sejarah dan peradaban Islam. Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang, 2003.
O’ Collins,Gerald, dan G. Farrugia,Edward, A Concise Dictionary of Theology,
terj I. Suharyo Yogyakarta: Kanisius, 1996.
64
Prastowo, Andi, Memahami Metode-metode Penelitian, Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011.
Ramlan Adi Kusumo, “Titik Temu antara Filsafat dan Agama Menurut Ibnu
Thufail”, diseminarkan pada tanggal 14 Juni 2000 untuk meraih gelar S1,di
Fakultas Ushuluddin, UIN SUSKA Riau, Pekanbaru.
Routledge, Encyclopedia of Philosophy, London and New York: Routledge, 1998
Sapei, Achmad, “Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibn Thufayl” Skrisi jurusan
Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2010.
Shihab, Quraish. Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam
Islam, Jakarta: Lentera Hati, 2005.
Sou’yb, Yoesoef. Pemikiran Islam Merobah Dunia, Jakarta: Maju, 1984.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik;Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Islam Jakarta: Kencana, 2003.
Tebba, Sudirman. Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase Spiritual, Jakarta:
Amabel Mulia Asa, 2006.
Wadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat, 1,Yogyakarta:Kanisius, 1980.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.
.