bab ii akal dan pendidikan islam a. akal 1. pengertian...

33
14 BAB II AKAL DAN PENDIDIKAN ISLAM A. Akal 1. Pengertian Akal Mengenai akal, sesungguhnya tidak jelas sejak kapan menjadi kosa kata bahasa Indonesia. Yang jelas, ia diambil dari bahasa Arab ﹾﻞ ﹾﻌ ﹶﻟ, al-’aql atau ﹶﻞ ‘aqala. Kata ‘aql sendiri sudah digunakan oleh orang Arab sebelum datangnya agama Islam, yaitu pada masa pra-Islam. Akal hanya berarti kecerdasan praktis yang ditunjukkan seseorang dalam situasi yang berubah-ubah. Akal menurut pengertian pra-Islam itu, berhubungan dengan pemecahan masalah. 1 Lafadz ‘aql berasal dari kata ‘aqala-ya’qilu-’aqlan yang berarti habasa (menahan, mengikat), berarti juga ayada (mengokohkan); serta arti lainnya adalah fahima (memahami). Lafaz ‘aql juga disebut dengan al- qalb (hati). Disebut ‘aql (akal) karena akal itu mengikat pemiliknya dari kehancuran, maka orang yang berakal (‘aqil) adalah orang-orang yang dapat menahan amarahnya dan mengendalikan hawa nafsunya. 2 Karena dapat mengambil sikap dan tindakan yang bijaksana dalam menghadapi segala persoalan yang dihadapi. Istilah “akal” seringkali disamakan dengan istilah “otak” atau “ratio”. Meskipun keduanya merujuk adanya persamaan, tetapi juga mengandung perbedaan yang cukup mendasar. Pengertian “otak” misalnya adalah merujuk pada materi (jaringan saraf yang lembut) yang terdapat dalam tempurung kepala. Di samping terdapat pada manusia, otak juga terdapat pada binatang. Beda halnya akal hanya terdapat pada manusia, manusia bisa saja berotak tetapi tidak berakal seperti orang gila. 1 Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neuro Sain dan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 197. 2 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993), hlm. 98.

Upload: trinhlien

Post on 03-Feb-2018

239 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

14

BAB II

AKAL DAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Akal

1. Pengertian Akal

Mengenai akal, sesungguhnya tidak jelas sejak kapan menjadi kosa

kata bahasa Indonesia. Yang jelas, ia diambil dari bahasa Arab قلالع, al-’aql

atau قلع ‘aqala. Kata ‘aql sendiri sudah digunakan oleh orang Arab

sebelum datangnya agama Islam, yaitu pada masa pra-Islam. Akal hanya

berarti kecerdasan praktis yang ditunjukkan seseorang dalam situasi yang

berubah-ubah. Akal menurut pengertian pra-Islam itu, berhubungan

dengan pemecahan masalah.1

Lafadz ‘aql berasal dari kata ‘aqala-ya’qilu-’aqlan yang berarti

habasa (menahan, mengikat), berarti juga ayada (mengokohkan); serta arti

lainnya adalah fahima (memahami). Lafaz ‘aql juga disebut dengan al-

qalb (hati). Disebut ‘aql (akal) karena akal itu mengikat pemiliknya dari

kehancuran, maka orang yang berakal (‘aqil) adalah orang-orang yang

dapat menahan amarahnya dan mengendalikan hawa nafsunya.2 Karena

dapat mengambil sikap dan tindakan yang bijaksana dalam menghadapi

segala persoalan yang dihadapi.

Istilah “akal” seringkali disamakan dengan istilah “otak” atau

“ratio”. Meskipun keduanya merujuk adanya persamaan, tetapi juga

mengandung perbedaan yang cukup mendasar. Pengertian “otak” misalnya

adalah merujuk pada materi (jaringan saraf yang lembut) yang terdapat

dalam tempurung kepala. Di samping terdapat pada manusia, otak juga

terdapat pada binatang. Beda halnya akal hanya terdapat pada manusia,

manusia bisa saja berotak tetapi tidak berakal seperti orang gila.

1Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neuro Sain dan al-Qur’an, (Bandung: Mizan,

2002), hlm. 197. 2Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1993), hlm. 98.

15

Dalam al-Qur’an terdapat kurang lebih 49 kata yang muncul secara

variatif. Dengan bentuk kata kerja (fi’il) dan tak pernah disebut dalam

bentuk masdar (عقال), tetapi semuanya berasal dari kata dasar ‘aql, yaitu

;,kali (QS. II: 44, 73, 76, 242; III: 66, 118 24 تعقلون ,sekali (QS. 11: 75) عقلوه

IV: 32, 151; VII: 169; X: 16; XI: 51; XII: 2, 109; XXI: 10, 67; XXIII: 80;

XXVI: 28; XXVIII: 60; XXXVI: 62, XXVII: 138; XL: 67; XLIII: 3; LVII:

يعقلون sekali (QS. XXIX: 43), dan يعقلها ,sekali (QS. LXVII: 10) نعقلون ,(17

22 kali (QS. II: 164, 170, 171, V: 103; VIII: 22; X: 43, 100; XIII: 4; XVI:

12, 67; XII: 46; XXV: 44, XXIX: 35, 63; XXX: 24, 28; XXXVI: 68;

XXXIX: 43; XLV: 5; XLIX: 4; LIX: 14).3 Kata-kata tersebut dijumpai

sebanyak 49 kali yang tersebar dalam 30 surat dan 49 ayat. Di samping itu,

dalam al-Qur’an juga dikenal dengan istilah ulu al-ba>b yang diartikan

orang-orang yang berakal.

Dalam kenyataan yang kita rasakan, akal bukanlah wujud yang

berdiri sendiri, tetapi inheren dengan jati diri manusia. Akal merupakan

rahmat Allah, khususnya untuk manusia, dan karena akal inilah manusia

berbeda dengan makhluk lain.

Sekedar untuk mengetahui kata akal dengan sinonimnya yang lain,

Endang Saefuddin Anshori berpendapat bahwa dalam struktur manusia

ada satu potensi yang dinyatakan dengan perkataan ratio (latin), ‘aql

(Arab), budhi (Sanskerta), akal budi (satu perkataan yang tersusun dari

bahasa Arab dan Sansekerta), nous (Yunani), reason (Perancis dan

Inggris), verstand (Belanda) dan Vernunfi (Jerman).4

Menurut Harun Nasution, kata ‘aqala mengandung arti mengerti,

memahami dan berfikir. Izutsu menambahkan bahwa kata ‘aql masuk ke

dalam filsafat Islam dan mengalami perubahan arti. Dengan pengaruh

masuknya filsafat Yunani ke dalam filsafat Islam, kata al-’aql

3Muhammad Fu’ad Abd al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim,

(Lebanon: Dar al-Fikr, 1992), hlm. 594-595. 4Endang Saefuddin Anshori, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm.

150.

16

mengandung arti sama dengan nous. Dalam filsafat Yunani, nous

mengandung arti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Dengan

demikian, kemampuan pemahaman dan pemikiran tidak melalui al-qalb

yang berpusat di dada, tetapi melalui al-’aql yang berpusat di kepala.5

Endang Saefuddin Anshori mendefinisikan akal adalah suatu

potensi ruhaniah manusia yang berkesanggupan untuk mengerti sedikit

secara teoritis realistis kosmis yang mengelilinginya, dalam mana ia

sendiri juga termasuk, dan untuk secara praktis merubah dan

mempengaruhinya.6

Dari kedua pengertian tersebut, akal diartikan sebagai potensi

ruhaniah yang terdapat dalam manusia yang berkemampuan mengetahui,

mengingat, berangan-angan dan memahami suatu realitas kosmis dan

mampu merubahnnya.

Akal dalam pandangan sufi sebagaimana pendapat al-Hakim al-

Tirmidzi yang dikutip oleh Muhammad Abdullah asy-Syarqawi dalam

buku Sufisme dan Akal berpendapat:

…. Akal dibagi menjadi dua macam. Pertama, akal yang mengetahui persoalan dunianya, akal seperti ini berasal dari instink yang terdapat pada umumnya anak-anak Adam as., kecuali seseorang yang di dalamnya terdapat penyimpangan, semisal orang gila dan anak kecil. Pada mereka, kadar akal instink ini memiliki perbedaan tingkatan. Kedua, akal yang mengetahui persoalan akhiratnya. Akal seperti ini berasal dari cahaya hidayah dan kedekatan hubungan (dari Allah) yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang mengesakan Allah dan tidak dimiliki oleh mereka yang menyekutukan Allah. Dan akal seperti ini memiliki perbedaan tingkatan di antara kaum muwahiddin (orang-orang yang mengesakan Allah). Dikatakan ‘aql (yang juga berarti bersinar) karena kebodohan adalah kegelapan, di mana ilmunya berada di dalam hati. Apabila cahaya dan penglihatan akal ini mampu mengalahkan kegelapan (kesesatan), maka kesesatan ini akan hilang dan yang ada hanyalah akal …7

5Harun Nasution, Akal dan Wahyu, (Jakarta: UII Press, 1986), hlm. 7. 6Endang Saefuddin Anshori, loc. cit. 7Muhammad Abdullah asy-Syarqawi, Sufisme dan Akal, (Bandung: Pustaka Hidayah,

2003), hlm. 163.

17

Kecerdasan dari aktivitas akal pertama (akal instink) berasal dari

argumentasi bahwa di antara manusia terdapat perbedaan keunggulan yang

berdasarkan pada kecerdasan otak. Akal ini terbentuk dari petunjuk tabiat

alamiah, sedangkan akal kedua (akal dari Allah) terbentuk dari petunjuk

iman. Siapa yang terhalang dari akal pertama (akal instink atau fitrah)

berarti disebut orang bodoh. Dengan sendirinya dia tidak memiliki

petunjuk atau hidayah iman.

Untuk memperjelas perbedaan karakteristik kedua akal di atas,

Muhammad Abdullah asy-Syarqawi meringkasnya dalam bentuk tabel

berikut ini:8

Akal Instink atau Akal Fitrah Akal Iman atau Akal Dari Allah

a. Mengetahui persoalan dunia saja

b. Terdapat pada banyak anak

Adam

c. Terbentuk dari hidayah alamiah

d. Sebagian dari ilmunya adalah

intelegensia (kecerdasan)

e. Menjadi hujjah/argumentasi bagi

pemiliknya

f. Siapa yang terhalang dari akal ini

berarti dia seorang yang bodoh,

gila dan sombong

a. Mengetahui persoalan akhirat

b. Hanya dimiliki kaum tauhid

dan tidak kaum musyrik

c. Terbentuk dari hidayah iman

d. Perbedaan derajat di antara

kaum tauhid terhadap akal ini

adalah perbedaan yang tetap

luhur

Dari penjelasan akal di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang

dimaksud akal adalah potensi ruhaniah manusia sebagai daya berfikir yang

terdapat dalam jiwa yang mempunyai kemampuan ilmu pengetahuan dan

keahlian dengan cara berfikir, menyadari dan memahami hakikat sesuatu

yang dimaksud dan dapat juga mendayagunakan potensi akliahnya untuk

mengatasi berbagai problem kehidupan.

8Ibid., hlm. 165.

18

Kemuliaan akal itu tidak lain karena kemampuan mengerti,

memahami dan berfikir tentang hakikat sesuatu, memberi kekuatan

mental, beradaptasi dengan alam realitas, dapat menghasilkan pemikiran,

inovatif yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dengan kemampuan

dan kecerdasan akal yang dimiliki manusia, maka dapat digunakan untuk

merencanakan sebuah kurikulum pendidikan, khususnya pendidikan Islam

yang sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan kecerdasan akal pula

manusia dapat menentukan cita-cita hidupnya dengan optimis dan

bertanggung jawab.

Jadi, dalam pandangan Islam yang dimaksud dengan akal bukanlah

otak, tetapi merupakan daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya

yang digambarkan oleh al-Qur’an memperoleh pengetahuan dengan

memperhatikan fenomena-fenomena alam sekitarnya.

2. Jenis-jenis Akal Manusia

Berdasarkan objek penelitian, akal manusia yang terdapat dalam

ayat 190 dan 191 yang titik tekannya pada kata ulul al-ba>b, yaitu orang

orang yang mempunyai akal, maka akal manusia dapat dibedakan menjadi

dua jenis sebagai berikut:

a. Akal jasmani

Akal jasmani yaitu salah satu organ tubuh yang terletak di

kepala. Di mana akal ini menggunakan daya kognisi (al-mudrikah)

dalam otak (al-dimagh) untuk proses berfikir. Objek pemikirannya

adalah hal-hal yang bersifat sensoris dan empiris.

b. Akal ruhani

Akal ruhani yaitu akal abstrak yang mampu memperoleh

pengetahuan abstrak, metafisika, seperti memahami proses penciptaan

langit dan bumi.9 Akal ini selalu dihubungkan dengan qalb. Karena

9Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dan al-

Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 167.

19

akal ruhani menjadi puncak kemampuan manusia di bidang

kecerdasan, pengetahuan, penalaran dan lain sebagainya.10

Baik akal jasmani dan akal ruhani yang ada di dalam diri manusia.

Pada waktu masih hidup di dunia adalah links (persambungan,

berhubungan). Akal merupakan pemancar yang dapat mengirim sinyal

makhluk kepada Allah dan sebaliknya juga dapat menerima sinyal dari

Allah. Sinyal yang diterima dari Allah akan melahirkan sebuah

kecerdasan. Bila kecerdasan akal jasmani dapat mengimbangi kecerdasan

akal ruhani, maka berarti kecerdasan akal jasmani telah mengikuti

kecerdasan ruhani yang sebenarnya.11 Inilah yang sebenarnya disebut

dengan istilah kecerdasan spiritual (spritual quotient). Kecerdasan spiritual

tidak semudah seperti yang dibayangkan. Pencahariannya adalah

sepanjang hidup dengan selalu membersihkan akal dan hati. Jadi,

pemahaman surat Ali Imran ayat 190-191 sesungguhnya adalah modal

utama untuk memperoleh kecerdasan spirtitual.

Al-Kindi sebagaimana dikutip oleh Mulyadi Kartanegara

mengemukakan, bahwa dalam jiwa menusia terdapat tiga daya, yaitu daya

bernafsu yang bertempat di perut, daya berani yang terdapat dalam dada

dan daya berfikir yang terdapat dalam kepala. Oleh karena itu, para filosof

muslim sepakat bahwa akal sebagai daya berfikir manusia yang terletak di

kepala dibagi menjadi dua, yaitu akal praktis dan akal teoritis.12 Akal

praktis adalah akal yang menerima arti-arti yang berasal dari materi

melalui indera pengingat, sedangkan akal teoritis adalah menangkap arti-

arti murni, yaitu arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi, seperti

Tuhan, roh dan malaikat. Akal praktis memusatkan diri pada alam materi,

sedangkan akal teoritis sebaliknya bersifat metafisis, mencurahkan

perhatian pada alam immateri.13

10Ibid., hlm. 166. 11Azhari Aziz, Samudra dan Setia Budi: Hakikat Akal Jasmani dan Rohani, Bagian 1,

(Bekasi: Yayasan Majlis Ta’lim HDH, 2004), hlm. 118. 12Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam,

(Bandung: Mizan, 2003), hlm. 24. 13Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 98.

20

Sebagaimana yang dikutip oleh William C. Chittick dalam bukunya

yang berjudul Jalan Cinta Sang Sufi mengemukakan bahwa akal manusia

dibagi menjadi dua. Pertama adalah akal universal, yaitu akal yang dapat

melihat dan memahami makna dari setiap bentuk, melihat hakikat segala

sesuatu. Kedua adalah akal parsial, yaitu akal yang tidak dapat

mengetahui sesuatu yang belum pernah dia. Akal universal pada

hekikatnya adalah satu dan hanya terdapat pada para rasul, nabi dan orang-

orang suci. Manusia biasa tidak sampai pada tingkatan akal ini, karena

akal mereka terselimuti oleh akal kegelapan nafs.

Akal parsial memerlukan makanan dan minuman dari luar melalui

belajar dan mengkaji kejadian alam sekitar. Akal universal mampu

mencukupi dirinya sendiri, tidak memerlukan makanan dari luar.14 Yang

dapat menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru adalah akal universal.

Akal parsial membutuhkan guru dan akal universal adalah guru, dia tidak

memerlukan sesuatu.

3. Fungsi dan Manfaat Akal Manusia

Dalam kehidupannya, manusia sering menghadapi berbagai

masalah. Di mana masalah tersebut harus dipecahkan. Tanpa adanya

pemikiran yang sehat dan jernih, manusia tidak akan meyelesaikan

permasalahan tersebut. Manusia mempunyai akal yang dibuat berfikir

untuk menyejahterakan kehidupannya. Akal sangat berfungsi dalam

kehidupan ini, di antaranya sebagai khalifah Ilahi yang mengatur hidup

dan kehidupan di dunia.15 Kesejahteraan manusia hanya akan terwujud

bila dia mempergunakan akalnya.

Menurut hemat penulis, akal adalah suatu kekuatan yang

tersembunyi yang dengannya segala sesuatu dapat diserap. Karena akal

14William C. Chittick, “The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi”, terj.,

Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi, (Yogyakarta: Qalam, 2001), hlm. 50-51.

15A. Sadali dkk. (ed.), Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 13.

21

mempunyai fungsi membedakan sesuatu yang benar dan salah, bersih dan

kotor, bermanfaat dan bermadlarat, baik dan buruk. Dengan akal pula kita

bisa merancang sebuah kurikulum-kurikulum baru dalam pendidikan.

Islam memerintahkan agar dengan kemampuan akalnya manusia

mengamati kelakuan alam, melalui observasi yang kritis dan sistematis

akan terkumpul data penelitian empirik.16 Dari pernyataan ini, akal

manusia akan bermanfaat penuh, untuk mengoptimalkan daya pikirnya.

Karena Allah SWT. tidak menciptakan sesuatu yang ada di dunia ini,

kecuali ciptaan itu bermanfaat. Dengan demikian, bila manusia selalu

berdzikir dan bertafakkur kepada Allah, maka akal manusia akan

bermanfaat baginya. Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat

al-Nahl ayat 10-13 sebagai berikut:

هو الذي أنزل من السماء ماء لكم منه شراب ومنه شجر فيه ينبت لكم به الزرع والزيتون والنخيل والأعناب ومن )10(تسيمون

وسخر لكم الليل ) 11(كل الثمرات إن في ذلك لآية لقوم يتفكرونوالنهار والشمس والقمر والنجوم مسخرات بأمره إن في ذلك لآيات

وما ذرأ لكم في الأرض مختلفا ألوانه إن في ذلك )12(لقوم يعقلون ) 13 - 10:النحل) (13 (لآية لقوم يذكرون

10. Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. 11. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. 12. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya); 13. dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian

16Imam al-Ghazali, Hikmah Berfikir, (Gresik: Putra Pelajar, 1998), hlm. 18.

22

itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran. 17

Dengan akal, pikiran manusia yang tidak pernah berhenti meneliti

alam semesta itu, manusia berhasil merubah wajah dunia dan struktur

kehidupan di atasnya. Kalau tidak karena pikiran manusia yang aktif,

maka manusia akan tetap berada dalam keterbelakangan. Dunia tidak akan

pernah berubah seperti sekarang ini, andaikan manusia tidak mengaktifkan

rasio/akal pikirannya. Manusia akan tetap statis, tinggal dalam kejumudan,

beku tanpa perubahan dan tanpa kemajuan.

Akal yang ada dalam diri manusia menurut ajaran Islam tidak boleh

bergerak dan berjalan tanpa bimbingan, tanpa petunjuk. Petunjuk itu

datangnya dari Allah berupa wahyu yang membetulkan akal dalam

geraknya, kalau terjerumus ke lembah hitam. Dalam hal ini, akal berfungsi

sebagai pengendali nafsu dan efisiensi dalam mencapai tujuan praktis

seseorang.18

Karena manusia mempunyai sifat pelupa dan acuh tak acuh. Di

samping itu, dalam diri manusia terdapat hambatan-hambatan yang

menyebabkan ia tidak mampu mempergunakan akalnya dengan baik. Sifat

acuh tak acuh dan pelupa yang ada pada manusia itu menyebabkan ia

terlena dalam impian. Lupa diri dan lalai tidak melakukan apa yang

seharusnya dilakukan di dunia ini.19 Maka Allah memberikan petunjuk

pada manusia yang berupa untuk membangunkan manusia dari impiannya

serta mengingatkan manusia itu akan arti eksistensinya sebagai makhluk di

dunia.

17Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 403-

404. 18M. Amin Syukur, Intelektualisme Tasawuf Sufi: Studi Intelektualisme Tasawuf al-

Ghazali, (Semarang: Lembkota, 2002), hlm. 184. 19A. Sadali dkk. (ed.), op. cit., hlm. 18.

23

4. Cara Mengembangkan Akal Manusia

Dengan potensi akal pikiran manusia, Allah menyuruh manusia

untuk berfikir. Berfikir adalah kegiatan nafsiah memproses energi otak,

atau menghubungkan kapasitas manusia dengan segala apa yang ingin

manusia ketahui. Berfikir merupakan proses dialektis. Artinya selama kita

berfikir dalam pikiran kita sendiri terjadi tanya jawab dalam upaya

meletakkan hubungan antara ketahuan kita dengan objek yang ingin kita

ketahui dengan jelas. Tanya jawab inilah yang akan mengembangkan

pikiran kita dan selalu berfikir untuk mencari sebuah jawaban dari

pertanyaan. Akal tidak akan berhenti berfikir sebelum ia menemukan

jawaban.

Pada umumnya, objek pikir adalah sesuatu yang bersifat empiris

berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh dari penemuan,

percobaan dan pengamatan. Walaupun demikian, berfikir bukan hanya

menjadi alat untuk menambah muatan intelektual, melainkan adalah

pelangkap dari pendidikan seluruh kepribadian manusia.20

Manusia dalam kehidupannya sering menghadapi berbagai problem

yang membutuhkan pemecahan. Semua persoalan hidup yang dihadapi

manusia dan tidak diketahui jawabannya dipandang sebagai problem. Ini

terjadi bila manusia mempunyai tujuan tertentu yang ingin direalisasikan.

Namun tidak tahu caranya dan akhirnya gagal yang kemudian melahirkan

sebuah problem dalam kehidupannya. Untuk bisa memecahkaan persoalan

yang dihadapi, ada langkah-langkah tertentu (berfikir) dalam memecahkan

problem.21 Pertama, kesadaran akan adanya problem. Agar manusia bisa

sampai pada tujuan atau keinginan yang ingin dicapai, maka kesadaran

akan adanya problem ini merupakan langkah awal dalam proses

pemikiran. Kedua, penghimpunan data mengenai problem yang dihadapi.

Agar manusia mudah untuk menghimpun data, maka data dan informasi

yang sesuai dengan problemnya diambil dan data atau informasi yang

20Sukanto, Dinamika Islam dan Humaniora, (Solo: Indika Press, 1994), hlm. 63. 21Muhammad Utsman Najati, “al-Qur’an wa Ilmu al-Nafs”, terj. Al-Qur’an dan Ilmu

Jiwa, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 152-153.

24

tidak relevan (sesuai) harus ditinggalkan. Penghimpunan data yang relevan

dengan problem manusia, akan memudahkan membantunya dalam

memperjelas, memahami dan membatasi problem itu dengan teliti. Ketiga,

penyusunan hipotesis. Selama data dan informasi sedang dihimpun, pada

benak yang bersangkutan terbesit beberapa kemungkinan jalan keluar atau

hipotesa bagi problem tersebut. Keempat, penelitian terhadap hipotesa.

Pendapat sementara (hipotesa) dilakukan beberapa kali supaya

mendapatkan jawaban yang baik dengan program tersebut. Kelima,

pengujian kebenaran hipotesa. Setelah hipotesa-hipotesa yang tidak layak

dijauhkan dan hipotesa yang layak didapatkan, biasanya manusia akan

mengumpulkan berbagai data lain. Mengadakan pengamatan baru guna

mengetahui sejauhmana kebenaran hipotesis tersebut.

Inilah langkah-langkah berfikir yang biasanya diikuti dalam

memecahkan suatu problem. Langkah-langkah ini sendiri kita ikuti dalam

memecahkan semua problem dalam kehidupan kita sehari-hari. Langkah-

langkah ini juga dipakai oleh para ilmuwan yang melakukan percobaan

ilmiah dalam laboratorium.

Menurut kajian para psikolog, manusia yang kreatif dengan

pemikirannya akan mendapatkan ilham. Jenis ilham dalam pemikiran

kreatif sesungguhnya timbul dari akal seseorang ketika ia melakukan

aktivitas secara intens. Maksudnya, ketika seseorang sedang berfikir dan

mengabstrasikan suatu permasalahan dalam waktu yang cukup lama dan

belum menemukan jalan pemecahannya, maka lazimnya sesorang akan

mengendapkan permasalahaan tersebut dalam beberapa waktu.

Hal ini dimaksudkan untuk mengistirahatkan pikiran dan benak

dengan maksud pada saat yang lain ia akan kembali mengeluh lagi

problema yang belum terpecahkaan. Masa istirahat ini oleh para psikolog

disebut dengan masa inkubasi, di mana pada masa ini akan terjadi

perubahan-perubahan penting dalam ruang lingkup pemikiran seseorang.22

Pertama, pikiran akan terlepas dari sebagian beban penghambat yang

22M. Amin Syukur, op. cit., hlm. 96.

25

dirasakan mengganjal dan menjadi penghalangnya. Kedua, pikiran akan

terbebas (sementara) dari perasaan kegagalan yang menimpa dan

dirasakan menghadang, sehingga tidak dapat melanjutkan pemikirannya

untuk itu, setelah beristirahat dan kembali memikirkan permasalahan yang

dihadapi, maka pikiran akan lebih jernih dan agar setelah sebelumnya

mengalami pengendoran. Ketiga, dalam pikiran akan terjadi

pengorganisasian informasi-informasi yang membuat makin jelasnya

hubungan konsep-konsep atau ide-ide yang sebelumnya tidak tampak.

Demikian pula akan muncul pikiran-pikiran baru yang dapat

membawa pada jalan pemecahan permasalahan yang dihadapi. Dari

pernyataan di atas, penulis menangkap bahwa akal manusia bisa

berkembang dengan baik, bila manusia selalu berfikir, kreatif dan mencari

solusi-solusi permasalahan. Dari pemikiran itu, manusia akan menemukan

sebuah ide, ide akan diabstraksikan atau direalisasikan dalam kehidupan,

sehingga manusia akan mendapatkan kepuasan dalam hidup.

B. Pendidikan Islam

1. Pengertian Pendidikan Islam

Agama Islam adalah agama universal. Ia menganjurkan kepada

umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik dunia maupun

ukhrawi. Salah satu di antara anjuran Islam tersebut adalah mewajibkan

kepada umatnya untuk melaksanakan pendidikan. Karena menurut ajaran

Islam, pendidikan adalah kebutuhan manusia yang mutlak harus dipenuhi,

demi mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan

pendidikan itu pula manusia akan mendapatkan berbagai macam ilmu

pengetahuan untuk bekal dalam kehidupannya.23

Secara umum, pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia

untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dalam

masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian, bagaimanapun

sederhananya peradaban suatu masyarakat. Di dalamnya terjadi atau

23Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 98.

26

berlangsung suatu proses pendidikan. Oleh karena itu sering dinyatakan,

bahwa pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia.

Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia untuk

melestarikan hidupnya.24

Pendidikan dalam konteks Islam mengacu pada tiga term yaitu al-

tarbiyah, al-ta’lim dan al-ta’dib. Dari ketiga istilah tersebut term al-

tarbiyah yang terpopuler digunakan dalam praktek pendidikan Islam.

Sedangkan term al-ta’lim dan al-ta’dib jarang digunakan. Pada kedua

istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan

Islam, untuk itu perlu dikemukakan uraian dan analisis terhadap ketiga

term pendidikan Islam tersebut dengan beberapa argumentasi tersendiri

dari pendapat ahli pendidikan.25

a. Istilah al-Tarbiyah

Penggunaan istilah al-tarbiyah berasal dari kata rabb.

Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian

dasarnya menunjukkan tumbuh, berkembang, memelihara, mengatur

dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.

Penggunaan term al-tarbiyah untuk menunjuk makna

pendidikan Islam dapat dipahami dengan firman Allah SWT. dalam

surat al-Isra’ ayat 24:

وقل رة ومحالر الذل من احنا جمله فضاخا با كممهمحار )24: اإلسراء(ربياني صغريا

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik aku waktu kecil”. (QS. Al-Isra’: 24)26

24Ibid., hlm. 150. 25Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,

(Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 25. 26Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 428.

27

Abdurrahman al-Nahlawi salah seorang pengguna istilah al-

tarbiyah, berpendapat bahwa pendidikan berarti:

1) Memelihara fitrah

2) Menumbuhkan seluruh bakat dan kesiapannya

3) Mengarahkan fitrah dan seluruh bakatnya agar menjadi baik dan

sempurna dalam proses.27

Menurut beberapa ulama tidak sepakat dengan pendapat al-

Nahlawi, seperti Abdul Fatah Jalal, ahli pendidikan dari Universitas

al-Azhar, mengatakan bahwa pendidikan yang berlangsung pada fase

pertama pertumbuhan manusia, yaitu fase bayi dan kanak-kanak.

Masa anak sangat tergantung pada kasih sayang keluarga.28

b. Istilah al-Ta’li>m

Istilah al-Ta’li>m telah digunakan sejak periode awal

pelaksanaan pendidikan Islam. Merupakan para ahli, kata lain ini

lebih bersifat universal dibanding dengan al-Tarbiyah maupun al-

Ta’di>b. Rosyid Ridha, misalnya mengartikan al-Ta’li>m sebagai

proses tranmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa

adanya batasan dan ketentuan tertentu. Argumentasinya didasarkan

dengan merujuk pada ayat ini:

كملمعيو كيكمزيا وأيتن كمليلو عتي كموال منسر ا فيكملنسا أركم )151: البقرة(الكتاب والحكمة ويعلمكم ما لم تكونوا تعلمون

Sebagaimana (kami telah menyempurnakan ni’mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Q.S. al-Baqarah 2:151).29

27Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1991), hlm. 5. 28Abdul Fatah Jalal, “Azaz Pendidikan”, terj. Hery Noer Aly, Minal Ushul al-Tarbiyah fi

al-Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hlm. 28-29. 29Soenarjo, op. cit., hlm. 38

28

Kalimat wa yu’allima kum al-kitab wal al-hikmah dalam ayat

tersebut menjelaskan tentang aktivitas Rasulullah mengajarkan

tila>wat al-Qur’an kepada kaum Muslimin. Menurut Abdul Fatah

Jalal, yang telah dikutip oleh Syamsul Nizar mengatakan bahwa apa

yang dilakukan Rasul bukan hanya sekedar membuat umat Islam bisa

membaca, melainkan membawa kaum muslim kepada nilai

pendidikan tazkiyah al-nafs (penyucian diri) dari segala kotoran,

sehingga memungkinkannya menerima al-hikmah serta mempelajari

segala yang bermanfaat untuk diketahui. Oleh karena itu, makna al-

Ta’li>m tidak hanya terbatas pada pengetahuan teoritas, mengulang

secara lisan, pengetahuan dan keteampilan yang dibutuhkan dalam

kehidupan, perintah untuk melaksanakan pengetahuan dan pedoman

untuk berprilaku.30

Lafal ta’li>m ini dalam al-Qur’an disebut banyak sekali, ayat

yang oleh para ahli pendidikan dijadikan dasar (rujukan) proses

pengajaran (pendidikan) di antaranya adalah surat al-Baqarah ayat 31

dan 32:

بئوني ولائكة فقال أنلى المع مهضرع ا ثماء كلهمالأس مءاد لمعادقنيص متلاء إن كنؤاء هما )31(بأسا إلا ملن لا علم كانحبقالوا سكيمالح ليمالع تأن كا إننتلم32 - 31: اةرالبق) (32(ع(

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman “Sebutlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar”. Mereka menjawab “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah: 31-32) 31

30Syamsul, Nizar, op.cit., hlm. 27-28. 31Sebenarnya lafal “al-Hakim” diterjemahkan dengan “Maha Bijaksana” itu kurang tepat,

karena arti “al-Hakim” adalah sesuatu sesuai dengan sifat, guna faedahnya. Di sini diartikan dengan “makna bijaksana” karena dinggap arti tersebut hampir mendekati arti al-Hakim. Lihat, Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 14.

29

Ayat ini menunjukkan terjadi proses pengajaran (ta’li>m)

kepada Adam sekaligus menunjukkan kelebihannya karena ilmu yang

dimilikinya yang tidak diberikan Allah kepada para makhluk

lainnya.32 Maka proses ta’li>m itu hanya pada makhluk berakal.33

Berdasarkan kedua ayat tersebut di atas, lafaz ta’li>m (dari

term ’allama) itu condong pada aspek pemberian informasi. Karena

pengetahuan yang dimiliki itu semata-mata akibat pemberitahuan.

c. Istilah al-Ta’di>b

Lafal ta’di>b setidaknya memiliki empat macam arti, yaitu:

Pertama, education (pendidikan), Kedua, discipline (ketertiban),

Ketiga, punishment, chastisement (hukuman), Keempat, disciplinary

punishment (hukuman demi ketertiban). Nampaknya lafal ini lebih

mengarah kepada perbaikan tingkah laku.34

Menurut al-Attas istilah yang tepat untuk menunjukkan

pendidikan adalah al-Ta’di>b, konsep ini didukung atau didasarkan

pada hadits Nabi saw.:

أخبرنا محمد هو ابن سالم حدثنا احملاربى قال حدثنا صالح بن حيان قال رسول اهللا : قال عامر الشعبي حدثنى أبو بردة عن أبيه قال: قال

لمسه وليلى اهللا عص .. :هبفأد نسا فأحهلمعا وهبأديت نسا فأح 35)رواه البخارى... (تعليمها

Artinya: Muhammad (Ibnu Salam) telah menceritakan kepada kita, al-Maharib telah menceritakan kepada kita, ia berkata: S{aleh

32Karena telah mendapatkan pengajaran langsung dari Allah itu, Adam sebagai Bapak

umat manusia (Abu al-Nas) dimintai syafa’at oleh umatnya. Selain itu, akibat pemberian pengajaran itu, Allah menyuruh malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena pengetahuan akibat pengajaran itu menunjuk kelebihan..

33Adapun hewan atau binatang yang memiliki kecakapan atau ketrampilan untuk melakukan kegiatan tertentu itu bukanlah sebagai hasil dari proses ta’lim (pengajaran atau pendidikan). Sebab apa yang bisa dilakukan oleh binatang sebagai kemampuannya itu yang bersifat konstan jenis kapabilitas yang sejenis itu saja. Binatang itu hanya bisa melakukan aktivitas yang lebih tinggi nilai kualitasnya. Semua kemampuan itu merupakan hasil dari proses binatang disebut dressur, sedangkan bagi manusia disebut pengajaran (pendidikan).

34Mustofa Rahman dkk., Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 61.

35Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 29.

30

ibn Hayyan berkata: ‘Amir al-Sya’bi telah menceritakan kepadaku, yakni Abu Burdah dari bapaknya, ia berkata: Rasulullah saw. Bersada: ....Maka didiklah ia dengan didikan yang baik dan ajarlah ia dengan pengajaran yang baik.... (HR. Bukhari)

Berdasarkan pada konsep adab tersebut, al-Atas mendefinisikan

pendidikan sebagai berikut:

Pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang tempat yang tepat dari sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dari apa yang diketahui.36 Pengenalan berarti menemukan tempat yang tepat sehubungan

dengan yang dikenali, dan pengakuan berarti tindakan yang bertalian

dengan itu (‘amal), yang lahir sebagai akibat menemukan tempat yang

tepat dari apa yang diketahui.37

Syaikh Mus}tafa al-Ghulayani mengatakan bahwa pendidikan

adalah :

التربية هي غرس االخالق الفاضلة فى نفوس الناشئين وسقيها بماء اإلرشاد والنصيحة حتى تصبح ملكة من ملكات النفس ثم تكون

38.نفع الوطنثمرتها الفاضيلة واخلير وحب العمل لArtinya: “Pendidikan adalah menanamkan akhlak yang mulia dalam

jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan, kebaikan serta cinta bekerja yang berguna bagi tanah air”.

Imam al-Ghazali mengatakan bahwa pendidikan adalah proses

memanusiakan manusia, sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya

melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk

pengajaran secara bertahap, di mana proses pengajaran itu menjadi

36Hery Noer Aly, op. cit., hlm. 10. 37Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, “Konsep Pendidikan Islam”, terj. Hadar Baqir

dari The Concep of Education of Islam; an Frame Work for an Islamic Philoshophy of Education, (Bandung: Mizan, 1984), hlm. 61-62.

38Musthafa al-Ghulayani, Idhah al-Nasihin, (Pekalongan: Rajamurah, 1953), hlm. 189.

31

tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri

kepada Allah sehingga menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).39

Terlepas dari perdebatan makna dari ketiga term di atas, secara

terminology, para ahli pendidikan Islam telah mencoba

memformulasikan pengertian pendidikan Islam. Di antara batasan yang

sangat variatif teresbut adalah :

1) Menurut Ahmad D. Marimba, bahwa pendidikan Islam adalah

bimbingan atau bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap

perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya

kepribadian yang utama (insan kamil).40

2) Muhammad Fadhil al-Jamaly memberikan pengertian pendidikan

Islam adalah sebagai upaya mengembangkan, mendorong dan

mengajak manusia lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang

tertinggi dan kehidupan yang lebih mulia, sehingga terbentuk pribadi

yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan

maupun perbuatan.41

3) Azyumardi Azra dengan mengutip pendapat al-Qard}awi

menjelaskan tentang pendidikan Islam, yaitu pendidikan manusia

seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan

ketrampilan, karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk

hidup, baik dalam damai dan perang, dan menyiapkan untuk

menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya,

manis dan pahitnya. Azra juga mengutip pendapat Hasan

Langgulung, bahwa pendidikan Islam ialah proses penyiapan

generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan

39Abidin Ibn Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1998), hlm. 56. 40Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Alma’arif,

1962), hlm. 19. 41Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era

Modern dan Postmodern: Mencari Visi Baru Atas Realitas Baru Pendidikan Kita, (Yogyakarta: IRCISOD, 2004), hlm. 268.

32

dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk

beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.42

2. Tujuan Pendidikan Islam

Sebagai suatu kegiatan yang terencana, pendidikan Islam memiliki

kejelasan tujuan yang ingin dicapai, sehingga sulit dibayangkan, jika ada

suatu kegiatan tanpa memiliki kejelasan tujuan. Demikian pentingnya

tujuan tersebut, tidak mengherankan jika dijumpai kajian yang sungguh-

sungguh di kalangan para ahli mengenai tujuan tersebut. Hal itu bisa

dimengerti, karena tujuan pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat

penting. Ahmad D. Marimba sebagaimana yang di kutip oleh Abudin

Nata, misalnya menyebutkan ada empat fungsi tujuan pendidikan.

Pertama, tujuan berfungsi mengakhiri usaha. Kedua, tujuan berfungsi

mengarahkan usaha. Ketiga, tujuan dapat berfungsi sebagai titik pangkal

untuk mencapai tujuan-tujuan lain, dan keempat, fungsi dari tujuan ialah

memberi nilai (sifat) pada usaha itu.43

Oemar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, misalnya menjabarkan

tujuan pendidikan Islam meliputi sebagai berikut:

a. Tujuan yang berkaitan dengan individu yang mencakup perubahan, berupa pengetahun, tingkah laku, jasmani, rohani serta kemampuan-kemampua lain yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.

b. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, yang mencakup tingkah laku individu dalam masyarakat.

c. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai seni, ilmu, profesi dan kegiatan masyarakat.44 Sedangkan menurut Muhammad Atiyah al-Abrasy sebagaimana

yang di kutip oleh Bustani A. Ghani, menyimpulkan bahwa tujuan

pendidikan Islam terdiri atas lima sasaran, yaitu:

42Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,

1998), hlm. 5. 43Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Isla, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 45-

46. 44Oemar M. al-Toumy al-Syaibany, op. cit., hlm. 399.

33

a. Membentuk akhlak mulia b. Mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat c. Persiapan mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya d. Menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan perserta didik e. Mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.45

Sementara menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly, bahwa tujuan

pedidikan Islam menurut al-Qur’an meliputi sebagai berikut:

a. Menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia di antara makhluk Allah lainnya dan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini

b. Menjelaskan hubungannya sebagai makhluk sosial dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat

c. Menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta

d. Menjelaskan hubungannya dengan khalik sebagai pencipta alam semesta.

Menurut al-Ghazali, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk

mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ini sesuai dengan tujuan penciptaan

manusia, yaitu:

)56: الذاريات(وما خلقت الجن واإلنس إال ليعبدون Tidaklah aku jadikan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku (QS. al-Dzariyah: 56)46

Ayat di atas menyatakan: Dan aku (Allah) tidak menciptakan Jin

dan manusia untuk satu manfaat yang kembali pada diri-Ku. Aku tidak

menciptakan mereka melainkan agar tujuan atau kesudahan aktivitas

mereka adalah beribadah kepada-Ku.47 Lebih jelasnya bahwa penciptaan

manusia itu tiada lain kecuali supaya mereka tunduk kepada Allah, dan

merendahkan diri. Yakni, bahwa setiap mahluk dari Jin dan manusia

tunduk kepada keputusan Allah, patuh kepada kehendak-Nya, dan

45Bustani A.Ghani, Dasa-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1984),

hlm.1-4. 46Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 862. 47Quraisy Shihab, Tafisir Al-Misbah,Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Vol. 13,

(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 355

34

menuruti apa yang telah dia takdirkan atas-Nya.48 Atau dengan kata yang

lebih singkat atau dan sering digunakan al-Qur’an untuk bertaqwa

kepada-Nya.

Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam

ini sebagai khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah

membekali manusia dengan seperangkat potensi. Dalam konteks ini,

maka pendidikan Islam harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah

pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga

dapat diwujudkan dalam bentuk kongkrit, dalam arti berkemampuan

menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi diri, masyarakat dan

lingkungannya sebagai realisasi fungsi dan tujuan penciptaannya, baik

sebagai khalifah maupun ‘abd.

Pendidikan Islam juga harus menciptakan manusia muslim yang

berilmu pengetahuan tinggi, di mana iman dan takwanya menjadi

pengendali dalam penerapan atau pengamalannya dalam masyarakat.

Bilamana tidak demikian, maka derajat dan martabat diri pribadinya

selaku hamba Allah akan merosot, bahkan akan membahayakan umat

manusia lainnya. Manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk

menciptakan cara hidup yang mensejahterakan diri dan masyarakat

adalah manusia yang di dalam dirinya tidak bersinar iman dan takwa.49

Dan pendidikan Islam perlu menanamkan ma’rifat (kesadaran) dalam diri

manusia terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah, dan kesadaran

selaku anggota masyarakat yang harus memiliki rasa tanggung jawab

sosial terhadap pembinaan masyarakatnya serta menanamkan

kemampuan manusia untuk mengelola, memanfaatkan alam sekitar

ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan manusia dan kegiatan

ibadahnya kepada Khalik pencipta alam itu sendiri.

Pendidikan yang demikian tidak hanya akan melahirkan anak

didik yang mempunyai komitmen terhadap ajaran agamanya, tetapi juga

48Hery Noer Aly, dkk., Terjemahan Tafsir Al-Maraghi,Jilid, 27, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 21.

49Samsul Nizar, op. cit.,, hlm. 22.

35

yang mampu mengoperasikan dinul Islam dalam kehidupan

bermasyarakat, dalam upaya mengaktualisasikan fungsi kekhalifahannya

dengan memecahkan berbagai permasalahan kehidupan yang timbul

dalam masyarakat.

Dengan demikian, pendidikan Islam bertugas di samping

menginternalisasikan atau menanamkan dalam pribadi nilai-nilai islami,

juga mengembangkan anak didik agar mampu melakukan pengamalan

nilai-nilai itu secara dinamis dan fleksibel dalam batas-batas konfigurasi

idealitas wahyu Tuhan. Hal ini berarti pendidikan Islam secara optimal

harus mampu mendidik anak didik agar memiliki ilmu pengetahuan yang

tinggi, sikap kritis dan peka terhadap persoalan sosial atau memiliki jiwa

berkorban demi orang lain dan sekaligus memiliki kematangan dalam

beriman, bertakwa dan mengamalkan hasil pendidikan yang

diperolehnya, sehingga menjadi pemikir yang sekaligus pengamal ajaran

Islam. Dengan kata lain, pendidikan Islam harus mampu menciptakan

para mujtahid baru dalam bidang kehidupan dunia ukhrawi yang

berkesinambungan secara interaktif tanpa pengkotakan antara kedua

bidang tersebut.

Di samping tujuan pendidikan Islam untuk mendekatkan diri

kepada Allah SWT. Sebagai Sang Pencipta, pendidikan Islam juga

menghendaki peserta didik untuk bertingkah laku yang mulia, untuk

menuju insan kamil sebagaimana yang dicontohkan dan diemban oleh

nabi Muhammad saw., yaitu untuk memperbaiki akhlak. Hal ini

sebagaimana sabda beliau:

انما : قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم: عن ابى هريرة قال 50 )رواه أمحد(تمم صالح األخالق بعثت أل

Artinya: Dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki akhlak”.(HR. Ahmad)

50Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Musnad Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Juz II, (Beirut: Darul

Kutub Ilmiyah, 1993), hlm. 504.

36

Dari rumusan tujuan pendidkan Islam yang dikemukakan oleh para

ahli di atas, maka terlihat bahwa mereka sepakat tentang tujuan akhir

pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian muslim, yaitu pribadi

yang taat kepada perintah Allah SWT. dan menjadi khalifah yang baik di

bumi.

3. Dasar-dasar Pendidikan Islam

Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan

kepribadian muslim, maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar-

dasar yang dijadikan landasan kerja. Dengan ini memberikan arah bagi

pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam konteks ini,

dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber

nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik ke

arah yang pencapaian pendidikan. Oleh karena itu, dasar yang terpenting

dari pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (hadits).51

Menetapkan al-Qur’an dan hadits sebagai dasar pendidikan Islam bukan

hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada kemauan

semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar

tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam

sejarah atau pengalaman kemanusiaan.52

Adapun dasar pelaksanaan pendidikan Islam terutama dalam al-

Qur’an surat asy-Syura ayat 52:

و ابا الكتري مدت تا كنا مرنأم ا منوحر كا إلينيحأو كذلكلكنان ومالاإليو كإنا وادنعب اء منشن ندي به مها نورن اهلنعج

)52: الشورى (لتهدي إلى صراط مستقيمDan demikian Kami wahyukan kepadamu (al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah al-Kitab (al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menunjukkan al-Qur’an itu cahaya yang Kami beri petunjuk dengan

51Syamsul Nizar, op. cit., hlm. 34. 52Ibid., hlm. 34-35.

37

dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. as-Syura’: 52) 53

Sunnah Rasul dalam pendidikan Islam yaitu mempunyai dua

fungsi: 1) Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam al-

Qur’an dan menjelaskan hal-hal yang tidak terdapat di dalamnya. 2)

Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah bersama

shahabat, perlakuannya terhadap anak-anak, dan pendidikan keimanan

yang pernah dilakukannya.

4. Materi Pendidikan Islam

Sasaran dan tujuan pendidikan tidak mungkin akan tercapai kecuali

materi pendidikan terseleksi dengan baik dan tepat. Istilah materi

digunakan di sini untuk sejumlah disiplin. Ilmu yang mengembangkan

basis kegiatan sekolah, dan biasanya diklasifikasikan dalam beberapa

subjek materi yang berbeda-beda. Materi dalam hal ini, intinya adalah

subtansi yang akan disampaikan dalam proses interaksi edukatif kepada

anak didik dalam rangka mencapai tujuan yang ingin dicapai.

Bahan pelajaran atau materi pendidikan adalah merupakan unsur

inti dalam kegiatan interaksi edukatif. Karena harus diupayakan untuk

dapat dikuasai oleh anak didik54 dalam rangka memenuhi kebutuhan anak

dalam pendidikan. Kebutuhan-kebutuhan anak itu dijelaskan oleh Verna

Hildebrand dalam bukunyta Introduction to Early Childhood Education

sebagai berikut:

a. The child needs to grow in independence b. The child needs to learn to give and share as well as recieve

affection c. The child needs to learn to get along with others d. The child needs to develop self control e. The child needs to learn the appropriate sex role f. The child needs to begin understanding his body

53Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 791. 54Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:

Rineka Cipta, 2000), hlm. 18.

38

g. The child needs to learn many large and small motor skills h. The child needs to begin to understand and control his physical

world i. The child needs to learns new words and how to use words in his

social an intellectual activity j. The child needs to begin to develop a notion abaout his

relationship to the word.55

Artinya: a. Anak membutuhkan perkembangan secara independen b. Anak membutuhkan untuk belajar memberi dalam berbagai hal

untuk menerima kasih sayang c. Anak butuh belajar untuk bergaul akrab dengan orang lain d. Anak butuh mengembangkan pengendalian diri e. Anak membutuhkan untuk belajar sesuai jenis kelamin dan peran

yang sesuai f. Anak butuh pemahaman terhadap badannya g. Anak butuh belajar banyak ketrampilan motorik dalam skala kecil

dan besar h. Anak butuh untuk memahami dan mengendalikan dunia fisiknya i. Anak butuh belajar kata-kata baru dan bagaimana cara

menggunakan kata-kata itu dalam hubungan sosialnya, yaitu suatu aktivitas intelektual

j. Anak harus mulai untuk kembangkan suatu dugaan tentang hubungannya kepada kata.

Materi pendidikan Islam yang dicanangkan al-Ghazali, baik itu di

rumah maupun di Madrasah Ibtida’iyah pada dasarnya meliputi:

pengetahuan yang menuntutnya adalah fard}u ‘ain bagi setiap muslim,

yaitu meliputi rukun iman, cara melakukan perintah-perintah Allah dan

prinsip-prinsip tingkah laku yang benar “dalam bentuknya yang paling

sederhana”. Al-Ghazali memandang mata pelajaran-mata pelajaran ini

menguntungkan, baik untuk pemenuhan praktis terhadap kewajiban-

kewajiab agama maupun sebagai alat untuk memperkuat keimanan anak-

anak.56 Oleh karena itu, hal yang terpokok yang perlu diserap oleh anak

55Verna Hildibrand, Introduction to Early Childhood Education, (New York: Macmillan

Publishing, 1971), hlm. 24-26. 56Mulyadi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bungan Rampai dari Chicago, (Jakarta:

Paramadina, 2000), hlm. 77.

39

adalah hal-hal yang berkaitan dengan keimanan, keislaman dan akhlak,57

seperti yang dikatakan oleh pikiran, diamalkan dalam kehidupan dalam

bentuk ibadah dan diungkapkan dalam bentuk perkataan, sikap, akhlak

(perangai) pergaulan dan kehidupan pada umumnya.

Untuk mewujudkan generasi yang kokoh iman dan islamnya,

Abdullah Nasih Ulwan sebagaimana dikutip oleh Raharjo menekankan

bahwa materi pendidikan yang bersifat mendasar dan universal. Materi-

materi pendidikan tersebut adalah pendidikan iman, akhlak, fisik,

intelektual, psikis, sosial dan seksual.58 Sedangkan menurut Chabib Thoha

memfokuskan materi pendidikan pada aspek pendidikan ibadah, pokok-

pokok ajaran Islam dan membaca al-Qur’an, pendidikan akhlak dan

pendidikan akidah Islamiyah.59 Sejalan dengan pemikiran Thoha, M.

Nipan Abdul Halim menambahkannya dengan pendidikan ekonomi dan

kesehatan sebagai penunjang tegaknya akidah, ibadah dan akhlak anak.60

Adapun yang mendasar adalah:

a. Pendidikan iman (akidah)

Pendidikan akidah adalah inti dari dasar keimanan seseorang

yang harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Sedemikian

mendasarnya pendidikan akidah ini bagi anak-anak, karena dengan

pendidikan inilah anak akan mengenali siapa Tuhannya, bagaimana

cara bersikap terhadap Tuhannya dan apa saja yang mesti mereka

perbuat dalam hidup ini.61

Materi pendidikan keimanan ini adalah untuk mengikat anak

dengan dasar-dasar iman, rukun Islam dan dasar-dasar syariah. Sejak

57Zakiah Daradjat, “Pendidikan Agama dalam Keluarga bagi Anak Usia 6-12 Tahun”,

dalam Ahmad Tafsir (ed.), Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 113.

58Raharjo, “Dr. Abdullah Nasih Ulwan: Pemikiran-pemikirannya dalam Bidang Pendidikan”, dalam Ruswan Thoyib (eds.), Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 62.

59Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 105.

60M . Nipan Abdul Halim, Anak Shaleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), hlm. 91.

61Ibid., hlm. 94.

40

anak mulai mengerti dan dapat memahami sesuatu. Adapun tujuan

mendasar dari pendidikan ini adalah agar anak hanya mengenal Islam

mengenai dirinya. Al-Qur’an sebagai imamnya dan Rasulullah sebagai

pemimpin dan teladannya.62 Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam

surat Luqman ayat 13 sebagai berikut:

لظلم كربالله إن الش ركشلا ت ينابي عظهي وهنه وان لابإذ قال لقموظيم13: لقمان. (ع(

Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberikan pelajaran kepadanya: “hai anakku janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar. (QS. Luqman: 114)63

b. Pendidikan ibadah

Materi pendidikan ibadah secara menyeluruh oleh para ulama

telah dikemas dalam sebuah disiplin ilmu yang dinamakan ilmu fikih

dan fikih Islam. Karena seluruh tata peribadatan telah dijelaskan di

dalamnya, sehingga perlu diperkenalkan sejak dini dan sedikit demi

sedikit dibiasakan dalam diri anak, agar kelak mereka tumbuh menjadi

insan-insan yang bertakwa.64 Pendidikan ibadah di sini, khususnya

pada pendidikan shalat yang merupakan tiang dari segala amal ibadah

sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah dalam surat Luqman ayat

17 sebagai berikut:

براصكر ونن المع هانوف ورعبالم رأملاة وأقم الص ينابا يلى مع )17: لقمان(. أصابك إن ذلك من عزم الأمور

Hai anakku! Dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. (QS. Luqman: 17)65

62Raharjo, op. cit., hlm. 62. 63Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 654. 64M. Nipan Abdul Halim, op. cit., hlm. 102. 65Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 655.

41

Pendidikan shalat dalam konteks ayat tersebut tidak hanya

terbatas tentang tata cara untuk menjalankan shalat yang lebih bersifat

fi’liyah, melainkan termasuk menanamkan nilai-nilai di balik ibadah

shalat. Anak harus mampu tampil sebagai pelopor amar ma’ruf nahi

munkar serta jiwanya teruji menjadi orang yang sabar.

c. Pendidikan akhlak (moral)

Pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar

moral dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan

dijadikan kebiasaan oleh anak masa analisa hingga menjadi seorang

mukallaf, seorang yang telah siap untuk mengarungi lautan kehidupan.

Tujuan dari pendidikan akhlak ini adalah untuk membentuk benteng

religius yang berakar pada hati sanubari. Benteng tersebut akan

memisahkan anak dari sifat-sifat negatif, kebiasaan, dosa dan tradisi

jahiliyah.66

Keluarga merupakan tempat pertama yang harus meletakkan

pendidikan akhlak dalam diri anak dengan jalan melatih dan

membiasakan hal-hal yang baik. Pendidikan akhlak tidak hanya

dikemukakan secara teoritik, melainkan disertai contoh-contoh

kongkrit untuk dihayati maknanya. Kemudian direfleksikan dalam

kehidupan kejiwaannya.67

d. Pendidikan intelektual adalah pembentukan dan pembinaan berfikir

anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, ilmu pengetahuan,

peradaban ilmiah dan modernisme serta kesadaran berfikir dan

berbudaya. Dengan demikian, ilmu rasio dan peradaban anak benar-

benar dapat terbina.68

Pendidikan intelektual ini sangat erat hubungannya dengan

pendidikan iman, moral dan fisik dalam rangka membentuk pribadi

66Raharjo, op. cit., hlm. 63. 67Chabib Thoha, op. cit., hlm. 108. 68Abdullah Nasih Ulwan, “Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam”, Juz I, terj. Saifullah Kamali

dan Hery Noer Ali, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: asy-Syifa’, 1981), hlm. 270.

42

anak secara integral dan di dalam mendidik anak secara sempurna agar

menjadi seorang insan yang konsisten dalam melaksanakan kewajiban,

risalah dan tanggung jawabnya. Pelaksanaan pendidikan intelektual ini

mencakup tiga masalah yang krusial dan saling terkait, yaitu kewajiban

mengajar, penyadaran berfikir dan pemeliharaan kesehatan

intelektual.69

Dengan diberikannya pokok-pokok pendidikan Islam tersebut

diharapkan anak akan tumbuh dewasa menjadi insan mukmin yang

benar-benar shaleh, insan yang kuat akidahnya, mantap ibadahnya,

mulia akhlaknya dan cemerlang pemikirannya, sehingga kepribadian

mereka terbentuk menjadi pribadi muslim yang kuat.

5. Metode Pendidikan Islam

Metode pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting dalam

pendidikan, karena kenyataan materi pendidikan tidak akan dapat

dipelajari dan diterima secara efektif dan efesien, kecuali disampaikan

dengan cara-cara tertentu. Ketiadaan metode pendidikan yang efektif akan

menghambat dan membuang secara sia-sia waktu dan upaya pendidikan.

Istilah metode sebenarnya berarti jalan untuk mencapai tujuan.

Jadi, jalan itu bermacam-macam, begitu juga dengan metode.70 Metode

diartikan pula sebagai suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai

tujuan yang telah ditetapkan dalam pendidikan.71 Sedangkan menurut

Moh. Athiyah al-Abrasyi sebagaimana dikutip oleh Omar Muhammad al-

Thoumy mendefinisikan metode sebagai suatu jalan yang kita ikuti untuk

memberi faham kepada murid-murid segala macam pelajaran.72

Dalam konteks pendidikan Islam, tujuan untuk mengembangkan

sikap, pengetahuan, daya cipta dan ketrampilan pada anak dapat dicapai

69Raharjo, op. cit., hlm. 64. 70Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna,

1989), hlm.183 71Syaiful Bahri Djamarah, op. cit., hlm. 19 72Omar Muhammad al-Taumy al-Syaibani, “Falsafatut tarbiyah al-Islamiyah”, terj. Hasan

Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 551

43

melalui berbagai metode, maka metode yang digunakan untuk pendidikan

anak dalam Islam adalah melalui metode teladan, teguran, cerita,

pembiasaan dan melalui pengalaman-pengalaman kongkrit.73 Sedangkan

menurut M. Fadhil al-Jamaly menyebutkan metode dari sudut pandang al-

Qur’an, yaitu pemberi peringatan, pemberi pelajaran dan nasehat, historis,

keteladanan ibarat yang historis.74

Dari uraian dan penjelasan di atas dapat diketahui, bahwa metode

merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pendidikan. Tidak

ada metode satupun yang cocok untuk diterapkan, karena metode satu

dengan metode yang lain memiliki keunggulan dan kelemahan. Di antara

metode Pendidikan Islam tersebut sebagai berikut:

a. Metode keteladanan

Metode keteladanan berarti metode dengan memberi contoh,

baik berupa tingkah laku sifat cara berfikir dan sebagainya.75

Keteladanan memberikan pengaruh yang lebih besar dari pada omelan

atau nasehat.76 Ini sejalan dengan pendapat Nashih Ulwan,

sebagaimana dikutip oleh Raharjo yang menyatakan, bahwa metode

keteladanan adalah metode yang paling menentukan keberhasilan

dalam menentukan, mempersiapkan dan membentuk sikap dan prilaku

moral, spiritual dan sosial anak.

Metode keteladanan dalam pendidikan anak adalah metode

yang influitif yang paling meyakinkan keberhasilan dalam

mempersiapkan dan membentuk anak di dalam moral spiritual dan

sosial. Hal ini karena pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan

anak yang akan ditirunya dalam tindak tanduknya dan tata santunnya,

didasari atau tidak bahkan tercetak dalam jiwa dan perasaan suatu

73Muhammad Qutb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun, (Bandung: al-Ma’arif,

1993), hlm. 324. 74Muhammad Fadhil al-Jamaly, “Al-Falsafah al-Tarbiyah fi al-Qur’an”, terj. Judi al

Falasani, Konsep Pendidikan Qur’ani, (Solo: Ramadhani, 1993), hlm. 128-134 75Hery Noer Aly, op. cit., hlm. 178. 76Jaudah Muhammad Awwat, Manhaj Islam fi al-Tarbiyah al-Athfal, terj. Shihabuddin,

Mendidik Anak secara Islami, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hlm. 13.

44

gambaran pendidik, baik dalam ucapan dan perbuatan yang bersifat

material dan spiritual, yang diketahui atau tidak.77

Ini menunjukkan bahwa pendidikan dengan metode

keteladanan merupakan metode yang berhasil guna.

Di dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat yang menunjukkan

kepentingan penggunaan bentuk keteladanan dalam pendidikan. Di

antaranya terdapat dalam surat al-Ahza>b ayat 21 sebagai berikut:

و اللهجركان ي نة لمنسة حوول الله أسسفي ر كان لكم لقد )21: األحزاب. (واليوم الآخر وذكر الله كثريا

Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullh itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS. al-Ahzab: 21)78

Di antara faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dalam

pendidikan dan dalam kehidupan manusia sehari-hari adalah uswah

hasanah (suri tauladan) yang diikuti oleh anak-anak dan orang

dewasa.79 Ini menunjukkan pentingnya contoh teladan pergaulan yang

baik dalam usaha membentuk kepribadian seseorang. Dan di sini,

peran seorang guru berperan di mana ia harus bisa menjadi contoh

yang baik bagi anak-anak didiknya, karena dalam praktiknya anak

didik cenderung meneladani pendidiknya.

b. Metode pembiasaan

Pembiasaan merupakan salah satu metode pendidikan yang

sangat penting, terutama bagi anak-anak. Adapun pembiasaan yang

harus dikembangkan dalam diri anak mencakup tingkah laku,

ketrampilan, kecakapan dan pola pikir tertentu.80 Menurut Ahmad

Tafsir, pembiasaan merupakan teknik pendidikan yang jitu, walau ada

kritik terhadap metode ini. Karena cara ini tidak mendidik anak untuk

77Abdullah Nasih Ulwan, op. cit., Juz II, hlm. 2. 78Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 670. 79Muhammad Fadhil al-Jamaly, op. cit., hlm. 135. 80Hery Noer Aly, op. cit., hlm. 185.

45

menyadari dengan analisis apa yang dilakukannya. Oleh karena itu,

pembiasaan ini harus mengarah kepada kebiasaan yang baik.81

Bentuk metode pembiasaan yang harus ditanamkan dalam diri

anak adalah pembiasaan akidah, ibadah dan akhla>k al-kari>mah.82

Menanamkan kebiasaan itu sulit kadang-kadang memerlukan waktu

yang lama, kesulitan itu disebabkan pada mulanya seorang anak belum

mengenal secara praktis sesuatu yang hendak dibiasakan.

Dalam pendidikan anak, metode ini dapat diterapkan dengan

cara orang tua/guru, memberi atau melakukan kebiasaan-kebiasaan

yang baik, seperti hidup rukun, tolong menolong, jujur dan lain-lain.

Dengan sistem pengajaran semacam ini anak secara otomatis menjadi

terbiasa baik di sekolah maupun di keluarga.

Bertolak dari dasar-dasar yang Islami dan metode paedagogis

ini, maka wajib bagi setiap orang tua, pendidik, masyarakat dan media

masa berperan aktif untuk mencegah anak dari segala bentuk yang

membahayakaan akidah dan mendorong mereka untuk melakukan

tindak kejahatan dan kehinaan.83 Semua ini dilakukan dalam rangka

membantu untuk merealisasikan metode keteladanan supaya dapat

berjalan dengan baik di dalam membentuk diri pribadi anak menuju

yang lebih baik.

c. Metode Nasehat

Di antara metode pendidikan yang telah masyhur sejak

berabad-abad yang silam adalah metode pemberian

pembelajaran/nasehat. Metode ini digunakan dalam pendidikan untuk

membuka mata anak-anak pada hakekatnya sesuatu yang

mendorongnya menuju situasi luhur menghiasinya dengan akhlak

81Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1994), hlm. 144 82M. Nipan Abdul Halim, op. cit., hlm. 187. 83Abdullah Nasih Ulwan, op. cit., Juz II, hlm. 128-129.

46

mulia dan membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam. Metode ini

mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap jiwa dan perasaan.84

Metode ini sangat penting, karena seseorang kadang-kadang

lebih senang mendengarkan atau memperhatikan nasehat orang-orang

yang ia cintai dan ia jadikan tempat untuk mengadu segala

permasalahan.85 Dengan metode ini pendidik dapat menanamkan

pengaruh jiwa melalui pintunya yang tepat. Bahkan dengan metode ini

pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan anak

didik kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan serta kemajuan

masyarakat dan umat.

Dalam metode ini, pendidik hendaknya berusaha menimbulkan

kesan bagi anak didik, bahwa dia adalah yang mempunyai niat baik

dan sangat peduli terhadap kebaikan anak didik.

84Raharjo, op. cit., hlm. 69. 85Muhammad Fadhil al-Jamaly, op. cit., hlm. 130-131.