ahok dan persepsi komunikasi politik

11
AHOK DAN PERSEPSI KOMUNIKASI POLITIK Suharto, M. Si. (Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Palu dan Penggiat Komunikasi Politik) ***** Basuki Tjahaya Purnama atau yang lebih populer disapa Ahok, secara sepintas dapat diberikan nilai terbaik kepadanya sebagai komunikator politik yang ‘sukses’. Konsistensi akan gaya dan model komunikasi yang tampak dalam desain komunikasi politiknya meneguhkannya sebagai salah satu newsmaker politik yang telah menempati posisi teratas sebagai figur komunikator politik pemimpin opini. Sikap istiqomah dalam berkomunikasi gubernur DKI Jakarta tersebut, sejak mulai tampil sebagai wakil gubernur terpilih pendamping gubernur terpilih Joko Widodo pada pemilihan gubernur 2012 lalu, hingga kini sikap dan perilaku komunikasi Ahok nyaris tidak pernah berubah. Adalah gaya bahasa yang kerap dinilai tidak santun, tidak sopan dan tidak etis membuat bekas Bupati Belitung Timur itu menuai kritikan, kecaman baik 1

Upload: attock-suharto

Post on 14-Apr-2017

12 views

Category:

Leadership & Management


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ahok dan persepsi komunikasi politik

AHOK DAN PERSEPSI KOMUNIKASI POLITIK

Suharto, M. Si.(Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Palu dan Penggiat Komunikasi Politik)

*****

Basuki Tjahaya Purnama atau yang lebih populer disapa Ahok, secara

sepintas dapat diberikan nilai terbaik kepadanya sebagai komunikator politik yang

‘sukses’. Konsistensi akan gaya dan model komunikasi yang tampak dalam desain

komunikasi politiknya meneguhkannya sebagai salah satu newsmaker politik yang

telah menempati posisi teratas sebagai figur komunikator politik pemimpin opini.

Sikap istiqomah dalam berkomunikasi gubernur DKI Jakarta tersebut,

sejak mulai tampil sebagai wakil gubernur terpilih pendamping gubernur terpilih

Joko Widodo pada pemilihan gubernur 2012 lalu, hingga kini sikap dan perilaku

komunikasi Ahok nyaris tidak pernah berubah. Adalah gaya bahasa yang kerap

dinilai tidak santun, tidak sopan dan tidak etis membuat bekas Bupati Belitung

Timur itu menuai kritikan, kecaman baik langsung maupun melalui media massa

dan media sosial. Berbagai macam kritikan dan beribu macam komentar miring

acapkali mengiringi prilaku politik dan gaya kepemimpinannya.

Ahok kemudian perlahan-lahan menjelma sebagai aktor politik yang

dinilai di satu sisi sebagai perambah jalan demokrasi dan reformasi birokrasi.

Akibat dari akting-akting politik yang diperagakan selama memimpin Jakarta

sebagai Gubernur dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi

program-program pembangunannya menimbulkan efek signifikan terhadap

perubahan pola sikap dan prilaku pemerintahan dan layanan birokrasi yang berani

1

Page 2: Ahok dan persepsi komunikasi politik

memutus mata rantai budaya birokratis yang seremonial belaka, perilaku korup

dan bahkan mengamputasi model pemerintahan kongkalikong dengan lembaga

legislatif.

Namun, di sisi lainnya, perjalanan Ahok memimpin ibukota oleh sebagian

lainnya mempersepsikan gaya kepemimpinan Ahok sedikit Bar-barian, diktator

ataupun tidak berprikemanusiaan. Golongan orang-orang yang dapat

dikategorikan sebagai Ahokphobia, musuh Ahok ataupun penantang dan atau

politicall inters group yang doyan berposisi sebagai oposisi dalam dan di luar

pemerintahan Ahok beranggapan bahwa alumni sekolah politik partai golkar

tersebut sangat kasar, tidak beretika dan bahkan kerjanya menggusur warga DKI

tanpa ampun dan tanpa berprikemanusiaan.

Pertanyaannya menyusul kemudian, adalah jika ditimbang-timbang baik

sepintas maupun secara mendalam, maka ada konklusi sementara yang dapat kita

tarik benang merahnya. Yakni, jika Ahok dianggap sebagai pemimpin yang tak

‘manusiawi’, tidak sopan dan sangat reaktif, lalu kenapa warga Jakarta tidak

merapatkan barisan untuk menurunkan Ahok sebelum masa tugasnya berakhir?

Dan jika Ahok dinilai sebagai tokoh politik yang tidak layak untuk

dijadikan pemimpin, lalu kenapa warga Jakarta malah berlomba-lomba menjadi

relawan Ahok untuk mendukung Ahok kembali menjadi gubernur? Kenapa

sebagian besar ‘raksasa-raksasa’ partai politik seperti PDI Perjuangan dan Partai

Golkar kukuh menjadi garda depan mengusung Ahok bersama dengan partai-

partai politik lain seperti parta Nasdem dan Hanura?

2

Page 3: Ahok dan persepsi komunikasi politik

Persepsi Komunikasi

Menghadapi, mengamati dan ataupun melawan Ahok baik mediumnya

Ahok sebagai gubernur maupun kontennya Ahok sebagai kandidat gubernur, yang

dalam hal ini baik perkataan maupun tindakan-tindakan politik Ahok dinilai

‘membahayakan’, meresahkan dan bahkan menghina kaum tertentu adalah sebuah

gerak dinamik yang (kemungkinan) di bawah alam sadar kita kemudian bereaksi,

berteriak dan bahkan ‘menghukumnya’ sebagai sebuah tindakan yang semakin

mengasosiasikan dan mempersonifikasikan Ahok sebagai pemimpin hebat, politisi

kawakan dan birokrat terbaik.

Asumsinya sangat sederhana, bahwa apa yang dilakukan oleh orang-orang

atau sekelompok orang yang senantiasa menjadi lawan (bicara dan tanding) Ahok

di ranah politik adalah sebuah pertanda kesuksesan Ahok dalam melakukan

strategi komunikasi politik. Bahwa sebenarnya tindak-tindakan yang berlawanan

Ahok merupakan umpan balik dalam istilah komunikasi politik yang lahir akibat

adanya efek komunikasi yang telah dilakoni Ahok.

Proses kerja bentuk komunikasi politik Ahok itulah yang melahirkan

persepsi-persepsi komunikasi. Werner dan Jamer dalam bukunya tentang Teori

Komunikasi (2009) setidaknya mengamini perilaku komunikasi Ahok. Werner

dan James mengemukakan bahwa berdasarkan penelitian ilmiah pada persepsilah

seseorang bisa memahami kata-kata, suara dan gambar yang mereka tangkap

dalam pesan yang terjadi di setiap proses informasi.

3

Page 4: Ahok dan persepsi komunikasi politik

Persepsi merupakan salah satu inti dalam kerangka komunikasi politik,

dimana komunikator massa lanjut Werner dan James mengharapkan audiensnya

untuk memperhatikan pesan-pesan (politik) mereka, mempelajari isi pesan

tersebut, dan membuat perubahan pada perilaku atau keyakinan atau

menghasilkan respon-respon tingkah laku yang diinginkan.

Sebagai komunikator politik, Ahok saat bertindak sebagai sumber

informasi dan atau pengirim pesan dengan gaya dan prilakunya, entah mediumnya

media massa ataupun mediumnya di internal pemerintahannya, tidak ada yang

perlu dikhawatirkan. Tidak mesti ada orang keranjingan, kesurupan dan bahkan

ingin berprilaku kalap untuk menghantam balik Ahok. Sebab, yang perlu disadari

bahwa dinamika proses politik apapun yang dilakukan Ahok adalah sesuatu yang

secara subyektif adalah “benar” dan atau dapat di”benar”kan. Dan semua prilaku

dan gaya komunikasinya tidak semestinya harus reaktif dan membabi buta karena

itu adalah bagian dari strategi dan taktik dalam berpolitik yang sudah terdesain

secara matang dan sudah tentu terikut bilangan-bilangan atau hitung-hitungan

resikonya. Jelasnya, semua desain komunikasi politik yang diimplementasikan

dalam momentum dan proses politik selalu berbarengan dengan pengharapan si

pelaksana dan pelaku politik untuk memperoleh dampak politik yang sebesar-

besarnya dan sehebat-hebatnya. Meskipun harus gaduh, meskipun harus

berskalasi tinggi dan ataupun terpaksa harus berkonflik, maka spektasi politisi dan

komunikator politik akan adanya respon atau feedback senantiasa menjiwai dan

menafasi setiap gerak langkahnya.

4

Page 5: Ahok dan persepsi komunikasi politik

Komunikasi politik yang berdampak itulah yang dapat menguasai medan

tempur politik dan dapat menyita perhatian publik. Singkatnya, semakin banyak

orang atau kelompok orang yang tergoda untuk menanggapi, berasumsi dan

merespons setiap tindakan dari komunikasi politik tersebut, maka akan semakin

besar peluang komunikator politik tersebut untuk mewujudkan tujuan-tujuan

politiknya. Tidak tertutup kemungkinan, salah satu faktor utama dalam

kemenangan Ahok (misalnya jika Ahok terpilih kembali menjadi gubernur

mengungguli dua pasangan rivalnya yakni Anies Baswedan – Sandiaga S Uno dan

Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana) adalah akumulasi dari kepiawaian Ahok

dan timnya dalam mensiasati setiap dinamika yang menyerang secara

personifikasi Ahok.

Bukan pula hal yang muskil terjadi, bahwa persepsi berlebihan terhadap

Ahok secara pribadi akan berdampak buruk bagi lawan politiknya (keuntungan

politiknya malah ke Ahok). Karena asumsi dan persepsi berlebihan itu bisa

menjadi amunisi politik bagi Ahok untuk melakukan redesain komunikasi politik

dengan membangun opini publik yang seolah-olah serangan-serangan yang

dialamatkan kepadanya adalah bagian dari politicking yang bersumber dari lawan-

lawan politiknya, dengan memanfaatkan politicall presseure/inters group dan

golongan-golongan yang secara terbuka anti-Ahok, seperti FPI.

Belajar Politik Pada Ahok

Dengan tidak berada di salah satu bagian manapun pada konteks politik

dan kepentingan dalam membincang Ahok. Juga dengan tidak bermaksud ingin

membela ataupun membelakangi Ahok, tulisan ini pada gilirannya ikut tergoda

5

Page 6: Ahok dan persepsi komunikasi politik

dengan asumsi-asumsi sebagian kecil dari elemen masyarakat untuk turut

mempersepsikan Ahok sebagai tokoh politik yang patut terus memperoleh ruang

berimprovisasi secara politik. Lantaran kehadirannya telah membawa dampak

perubahan pola sikap dan perilaku kita di dalam berpolitik.

Eksistensi Ahok kemudian menjadi sangat penting untuk tetap di bukakan

jalan untuk mewujudkan nawacita politiknya. Sebab, tanpa Ahok dunia politik

kita (terkhusus di DKI Jakarta) tidak akan pernah sedinamis ini, baik sebelumnya

maupun sesudah Ahok habis masanya di arena politik.

Belajar pada Ahok, saya yakin bukanlah sebuah uangkapan dan

pengharapan (apalagi jalan pemaksaan) yang keliru, gila atau tidak waras.

Melainkan adalah sebuah jalan intropeksi dan sekaligus mawas diri bagi sebagian

orang atau kelompok (mayoritas) yang merasa lebih layak dari Ahok yang

notabene berasal dari golongan-golongan minoritas.

Menjadikan Ahok sebagai sekolah demokrasi dan atau sebagai kampus

politik adalah sebuah solusi jika ingin Ahok segera mengakhiri “masa

berlakunya” di langit politik Indonesia. Bukan sebaliknya, dengan mengambil

jalan berbeda apalagi berlawanan, maka yakinlah akan semakin memperpanjang

nafas dan gerak langkah Ahok, semakin membiarkan Ahok menggurita dan

bermetamorfosis sebagai golongan yang menjadi besar dan kuat.

Akhirnya, menghadapi Ahok tidak diperlukan asumsi metafisis, cukup

dengan asumsi matematis saja agar tidak menjadi bias bagi masa depan demokrasi

dan politik nasional.

6

Page 7: Ahok dan persepsi komunikasi politik

Harapan kita persepsi politik yang dominan lahir dari asumsi terhadap

Ahok bukanlah diibaratkan sebagai langkah mundur untuk meninggalkan budaya

dan hegemoni. Jangan sampai persepsi berlebihan berikut reaksinya yang

berdampak untuk semakin mengikis hegemoni itu dan melempangkan jalan bagi

tumbuhnya komunitas mayoritas baru. Sehingga dibutuhkan kesadaran individu

dan kesolehan sosial kita untuk melewati desas-desus berdemokrasi dan berpolitik

yang tidak gamang dan tetap memperlihatkan sikap dan aksi politik yang

mencerminkan seseorang dan ataupun segolongan orang layak dihormati sebagai

pemilik sah republik ini. []wallahu a’lam bissawwab

Palu, 22 Oktober 2016

Penulisd/a Perumahan Dosen Untad Blok C6/6 Kota Palu

HP / WA 081245273777Twitter: @Attock_Suharto

Facebook: Attock Lector SuhartoEmail: [email protected]

7