persepsi partai politik terhadap iklan politik/persepsi... · dijual dalam kampanye dan janji-janji...
TRANSCRIPT
Persepsi partai politik terhadap iklan politik
(studi dekriptif kualitatif tentang persepsi pengurus dewan pimpinan cabang partai demokrat, partai
golkar dan partai demokrasi indonesia perjuangan kota surakarta terhadap iklan politik pasangan
calon presiden susilo bambang yudhoyono dan calon Wakil Presiden Boediono versi indomie pada
pemilu 2009 di televisi)
SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai gelar Sarjana Sosial pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi
Oleh :
Yudha Yogi Prabawa
D.0203149
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui/dipertahankan di depan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 20 Januari 2010 Pembimbing,
Drs. Mursito, BM. SU NIP. 19530727 198009 1 001
LEMBAR PENGESAHAN
Telah diuji dan disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Pada hari :
Tanggal :
Panitia Ujian Skripsi : 1. Ketua : Prof. Drs. Totok Sarsito, SU, MA ( ) NIP. 194904281979031001 2. Sekretaris : Nora Nailul A, S.Sos, M.LMEd,Hons. ( ) NIP. 198104292005012002 3. Penguji : Drs Mursito, BM, SU ( ) NIP. 195307271980031001
Mengetahui, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Dekan,
Drs Supriyadi SN, SU NIP.19601009 198601 1001
MOTTO
Surodiro jayaningrat Lebur dening pangastuti
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan Untuk ibu
Yang selalu sabar dan terus berdoa Yudhanya selesai kuliah
KATA PENGANTAR
Segala ketundukan dan pengabdian tertinggi hanya kepada Alloh SWT. Saya
bersyukur kepada-Nya karena masih diberikan berbagai nikmat. Salah satu wujud nikmat
yang diberikan pada saya adalah selesainya penyusunan skripsi ini. Saya sangat berharap
mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang menghendaki kebenaran.
Dalam proses penyusunan ini saya telah dibantu oleh beberapa orang dan lembaga.
Untuk itu saya ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berjasa membantu
peneliti dalam menyusun skripsi ini. Pihak-pihak tersebut antara lain :
1. Drs. Supriyadi SN, SU, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret.
2. Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph. D, selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
3. Drs. Mursito BM, SU, selaku dosen pembimbing yang telah membantu mengarahkan
peneliti pada logika keilmuan, kaedah penelitian dan kaedah penulisan ilmiah.
4. Seluruh Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret.
5. Pengurus DPC Partai Demokrat Kota Surakarta, DPC Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan Kota Surakarta, DPD Partai Golkar Kota Surakarta yang telah bersedia
menjadi responden dan terima kasih telah diijinkan mengakses beberapa data partai.
6. Seluruh rekan-rekan Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret.
7. Seluruh pihak baik individu dan instansi yang belum disebutkan, terima kasih sudah
membantu selesainya penyusunan skripsi ini.
Surakarta, 18 Januari 2010 Penulis,
Yudha Yogi Prabawa
DAFTAR ISI
Halaman judul ........................................................................................................... i
Lembar persetujuan ...................................................................................................ii
Lembar pengesahan ...................................................................................................iii
Motto..........................................................................................................................iv
Kata pengantar ...........................................................................................................v
Persembahan .............................................................................................................vii
Daftar isi ...................................................................................................................viii
Abstrak ......................................................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH...............................................................................11
C. TUJUAN PENELITIAN................................................................................11
D. MANFAAT PENELITIAN ...........................................................................11
E. KAJIAN PUSTAKA
1. Komunikasi Politik ...............................................................................12
2. Iklan Politik ..........................................................................................13
3. Persepsi .................................................................................................21
4. Iklan dan Pencitraan Politik .................................................................27
F. METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis Penelitian .....................................................................................30
2. Lokasi Penelitian...................................................................................31
3. Teknik Pengunpulan Data ....................................................................32
4. Teknik Analisa Data ............................................................................32
5. Teknik Validitas Data ..........................................................................33
BAB II DESKRIPSI KOTA SURAKARTA, PARTAI DEMOKRASI INDONESIA
PERJUANGAN, PARTAI GOLKAR DAN PARTAI DEMOKRAT
A. KOTA SURAKARTA...................................................................................35
B. DPC PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN .....................39
C. DPC PARTAI GOLONGAN KARYA .........................................................44
D. DPC PARTAI DEMOKRAT ........................................................................50
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. PERSEPSI PARTAI POLITIK TERHADAP IKLAN POLITIK .................58
a. Tidak realistis........................................................................................61
b. Membentuk citra ...................................................................................66
c. Membantu meningkatkan keterkenalan ................................................71
d. Media sosialisasi program ....................................................................75
e. Berisi janji-janji ....................................................................................79
f. Berlebihan (narsis) ................................................................................82
g. Seragam ................................................................................................85
B. PERSEPSI PARTAI POLITIK TERHADAP IKLAN POLTIK
SBY-BOEDIONO VERSI INDOMIE DI TELEVISI PADA
PEMLU 2009 ...............................................................................................89
a. Persepsi Terhadap Pesan Verbal Iklan..................................................90
b. Persepsi Terhadap Pesan Non-Verbal Iklan ........................................96
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ...................................................................................................101
B. Saran ..............................................................................................................102
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................103
ABSTRAK
Ada fenomena menarik yang layak dicatat terkait perkembangan komunikasi politik di indonesia satu dekade terkahir ini. Yaitu munculnya kampanye partai atau kandidat melalui iklan politik di televisi. Dilihat dari perspektif positif, iklan politik mempunyai manfaat. Jika penayangan iklan disertai dengan gagasan, memperhatikan etika, dan menghindari hal-hal yang menimbulkan keresahan dan permusuhan, media ini merupakan salah satu altenatif komunikasi politik yang baik. Iklan politik juga dinilai sebagai sarana yang efektif dan aman bagi masyarakat di bandingkan dengan pengerahan massa.
SBY dan Boediono juga menggunakan strategi iklan politik dalam pemilu 2009 lalu. Salah satu yang menarik adalah iklan SBY-Boediono versi Indomie. Iklan ini menjadi perbincangan yang menarik dalam berbagai kesempatan. Versi Indomie menggunakan pendekatan yang berbeda dalam komunikasi politiknya. Pesan verbal yang disampaikan dalam bentuk jingle Indomie yang telah dimodifikasi. Sedang pesan non verbal yang ditampilkan menggunakan penyanyi Mike Indonesian Idol dan menggunakan banyak orang sedang berjalan beramai-ramai seperti layaknya iklan Indomie pada umumnya.
Karena itu melalui penelitian ini peneliti bermaksud mencari tahu bagaimana persepsi partai politik terhadap iklan politik, khususnya iklan SBY-Boediono versi Indomie. Penelitian ini menggunakan metode diskriptif kualitatif. Subyek penelitian ini adalah Pengurus tiga partai politik di Solo, yaitu Pengurus DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, DPD Partai Golkar, DPC Partai Demokrat Kota Surakarta. Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan interview.
Dalam penelitian ini diperoleh simpulan bahwa persepsi mengenai iklan politik yang dimiliki partai politik bervariasi. Dalam persepsi partai politik terhadap iklan poltik secara umum ditemukan partai politk mempersepsikan iklan politik yaitu: pertama, cenderung tidak realistis isi materinya, kedua, membentuk citra, ketiga, meningkatkan keterkenalan, keempat, media sosialisasi program, kelima, berisi janji-janji, keenam, berlebihan dalam materi isinya, ketujuh, seragam dalam tampilannya.
Sementara mengenai persepsi partai politik terhadap iklan politik SBY-Boediono dipersepsikan juga bervariasi. Pihak Partai Golkar melihat iklan SBY hanya mengelabui pemilih (tidak realistis), terkesan berlebihan dan mengesankan SBY tidak percaya diri hingga harus menggunakan iklan Indomie yang sudah terkenal. Sementara PDI Perjuangan melihat persepsi diantaranya tidak kreatif, tidak tepat dan berlebihan. Lain halnya dengan Partai Demokrat. Menurutnya perspesi iklan ini kreatif, cerdas menyampaikan pesan lewat terobosan yang berbeda dan menjaga citra positif SBY. Dikatakan menjaga citra positif karena dalam seluruh iklan SBY (termasuk iklan versi Indomie) tidak pernah menyerang lawan politik lainnya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa kampanye Pilpres dalam Pemilu tahun 2009 menurut UU Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden berlangsung selama kurang dari dua bulan.
Hal itu terhitung sejak tiga hari sejak penetapan calon oleh KPU hingga tiga hari menjelang
hari pemungutan suara atau 8 Juli 2009. Disebutkan dalam undang-undang tersebut bahwa,
tiga hari setelah penetapan peserta pemilu Pilpres, partai politik dapat melaksanaan kampanye
politik dalam bentuk pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, media massa cetak dan
elektronik, penyebaran bahan kampanye dan pemasangan alat peraga di tempat umum.1
Hal ini tentunya akan membuat strategi pemasaran politik yang dilakukan oleh para
pelaku politik seperti partai politik dan calon presiden mengalami perubahan. Perubahan
strategi kampanye itu terlihat dari peninggalan cara konvensional seperti pengerahan massa
secara besar-besaran ke penggunaan strategi “public relations” dan pemanfaatan teknologi
informasi. Di sadari atau tidak pada saat era teknologi informasi sekarang ini media massa
memiliki kekuatan yang luar biasa dalam mengubah persepsi konstituen terhadap Parpol dan
calon presiden.2
Survei Lembaga Survey Indonesia (LSI) mengungkapkan bahwa terekam
kecenderungan yang mengarah pada perubahan peta kekuatan politik. Kekuatan elektoral
partai yang hingga kini diyakini menjadi mesin politik calon presiden, cenderung stagnan
atau menurun. Disebutkan pula bahwa stagnasi, penurunan, dan peningkatan kekuatan
1 Untuk pertemuan terbatas peraturan KPU No 42/2008 menyebutkan, jumlah peserta paling banyak untuk tingkat pusat 1.000 orang, provinsi 500, dan kabupaten /kota 250 orang. Kampanye harus dilakukan dalam ruang tertutup. Untuk pertemuan tahap tatap muka jumlah peserta dibatasi 250 orang. 2 Prof. Drs. Totok Sarsito,SU, MA. Seminar Kekuatan Media Massa Dalam Menyampaikan Iklan Politik. Program Studi Diploma Tiga Komunikasi Terapan FISIP Universitas Sebelas Maret. Surakarta 27 November 2008
elektoral berbagai partai tersebut terkait erat dengan gejala menguatnya peran media massa
menggantikan fungsi organisasi partai politik dalam menjangkau calon pemilih. LSI
menyebut fenomena ini sebagai “silent revolution” atau revolusi diam-diam, yang sedang
terjadi dalam kompetisi antar partai di Indonesia. Hal ini dicerminkan oleh munculnya
televisi sebagai medium utama penyebaran informasi politik dan sebagai medium persuasi
paling masif. Akibatnya, hanya partai yang mampu mengakses media secara sistematik
tampil lebih kompetitif dibanding partai yang tak mampu mengakses media.3
Media massa menjadi begitu penting, terutama selama periode kampanye pemilihan
umum. Selama periode ini media massa membanjiri khalayak dengan laporan-laporan
kampanye, pidato politik para calon, polling pendapat umum, dan iklan politik. Karena dalam
sistem politik demokrasi biasanya ada jaminan konstitusional untuk kebebasan pers maka
setiap periode kampanye media massa berusaha mempengaruhi khalayak dan menjadi bagian
dari proses pemilihan umum. Karena kecenderungan demikian maka sebagai konsekuensinya
media massa, seperti diungkapkan Craik (1987:65), menjadi kekuatan penentu dalam
pertarungan politik.4
Media massa atau sering diidentikkan dengan pers disebut-sebut sebagai kekuatan
keempat setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuatan yang dimiliki oleh media bisa
digunakan sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan namun di sisi lain juga dimanfaatkan
oleh masyarakat untuk mengontrol pemerintah. Media massa diyakini punya kekuatan yang
maha dahsyat untuk mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Bahkan media massa bisa
mengarahkan masyarakat seperti apa yang akan dibentuk atau dicitrakan di masa yang akan
datang. Media massa mampu membimbing dan mempengaruhi kehidupan di masa kini dan
masa datang.5
3 www.lsi.co.id, Oktober 2008 4 Jurnal IPTEK No.1 tahun ke-21, 2001, berjudul Persepsi Pemilih Terhadap Berita Kampanye, LIPI Jakarta. 5 McQuail dalam Nurudin, Media Massa dan Dehumanisasi dalam Komunikasi, Perubahan Sosial dan Dehumanisasi. 2005 hal 59
Strategi pencitraan dan teknologi pencitraan dikemas sedemikian rupa untuk
mempengaruhi persepsi, emosi, perasaan, kesadaran, dan opini public sehingga mereka dapat
digiring ke sebuah preferensi, pilihan dan keputusan politik.6 Citraan-citraan itulah yang
dijual dalam kampanye dan janji-janji politik di indonesia sehingga dalam pemilihan umum
orang akan dituntun memilih berdasarkan citra.7
Secara konkret proses pencitraan terhadap tokoh akan dituangkan dalam bentuk iklan
politik. Publik pun menemukan hal baru ketika di sela-sela iklan produk komersial muncul
iklan-iklan partai politik. Fenomena parpol beriklan sudah terlihat sejak November 1998,
ketika Gus Dur tampil dalam iklan PKB bertajuk ”Saya mendengar Indonesia menyanyi” di
stasiun televisi TPI dan sejumlah media cetak.8 Kemudian langkah PKB ini diikuti oleh
partai-partai lainnya.
Sementara pada Pemilu 2009 ini terdapat tiga nama pasangan Capres dan Cawapres
yang bersaing dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pasangan Capres Susilo Bambang
Yudhoyono dan Cawapres Budiono, Jusuf Kalla dan Wiranto, Megawati Soekarno Putri dan
Prabowo Subianto.
Ketiga pasangan Capres dan Cawapres ini tidak luput pula menampilkan iklan politik
di televisi. Iklan politik pertama pada Pemilu Capres 2009 muncul adalah milik Jusuf Kalla
dan Wiranto. Pasangan ini tampil pertama kali karena memang telah mencatatkan diri sebagai
pasangan Capres dan Cawapres pertama yang diumumkan ke publik. Setelah itu munculah
iklan politik Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan Megawati dan Prabowo menjadi yang
terakhir. Hal ini dikarenakan pada satu hari menjelang penutupan pendaftaran Capres dan
Cawapres di KPU, pasangan ini baru diperkenalkan kepada publik.
Menurut Baden iklan politik pada intinya lebih ditujukan untuk menggugah aspek
emosional dibandingkan intelektual. Stimulus ekonomi dalam iklan politik pada umumnya 6 Totok Sarsito, Op. Cit 7 Totok Sarsito, Op. Cit 8 Setiyono, Iklan dan Politik, 2008 hal 37
terbagi menjadi dua, yaitu rasa harap dan rasa takut. Rasa takut akan mendorong seseorang
memilih sosok pemimpin yang mendatangkan stabilitas, sedangkan rasa harap akan
mendorong seseorang memilih sosok pemimpin yang mendatangkan perubahan.9
Dalam iklan politik, stimulus emosi dapat disampaikan secara verbal maupun visual.
Secara verbal, paparan data statistik mengenai angka kemiskinan dan tingkat kematian dapat
memicu perasaan cemas audiens. Secara visual, adegan lingkungan yang nyaman dan
makmur dapat memacu rasa harap. Kombinasi antara stimulasi visual dan verbal yang
difokuskan ke sebuah ranah emosi tertentu di sebuah iklan politik akan meninggalkan kesan
yang kuat dalam ingatan audiens. Sebab, secara psikologis kesan-kesan emosional cenderung
disimpan di dalam memori jangka panjang.10
Oleh sebab itu tidak jarang iklan politik di Indonesia hanya menampilkan stimulus-
stimulus emosi dan bukan program-program konkret. Padahal beriklan dalam media massa
tidaklah sedikit nominal rupiah yang dikeluarkan. Angka-angka dana kampanye berhamburan
di media massa dengan nilai yang simpang siur. Majalah Cakram edisi April 200411
misalnya, menyebutkan bahwa PDI mempunyai alokasi paling besar, sekitar Rp 150 milyar.
Kemudian diikuti Partai Golkar Rp 30 milyar, PAN 20 milyar, PKPB Rp 20 milyar, PPP Rp
10 milyar, PKB Rp 10 milyar, dan PKS Rp 10 milyar. Setelah itu baru diikuti Partai
Demokrat, PBB, PDS dan PBR. Sebagai gambaran, ongkos iklan kampanye di media cetak
saja sebesar Rp 200 juta sekali terbit.
Dewan Pers memperkirakan,12 untuk Pemilu 2009 pendapatan iklan kampanye
pemilihan presiden yang diterima media massa nasional, hingga minggu ketiga Juni 2009,
sudah mencapai Rp 3 triliun. “Hitungan kasar omzet iklan sudah mencapai Rp 3 triliun
merupakan penerimaan media elektronik seperti televisi dan media cetak nasional,” kata
9 Sarsito Opcit 10 Ibid. 11 Setiyono, Opcit hal 97 12 KOMPAS, Wuih…Nilai Iklan Kampanye Pilpres Rp 3 Trilyun,edisi 29 juni 2009
Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara. Diperkirakan 70 persennya mengucur ke media
televisi. Televisi menjadi pilihan utama karena luas cakupan dan kecepatan penyampaiannya,
sehingga menjadi wahana kampanye yang efektif.13
Iklan politik tidak beda promosi produk. Keduanya berusaha menjual sesuatu kepada
sasaran konsumen tertentu. Memang iklan politik lebih rumit daripada, iklan sabun atau obat
nyamuk. Jika berhasil, iklan politik bisa meraih sejumlah target, seperti meningkatkan
popularitas calon, meyakinkan pemilih yang masih bingung, meraih dukungan, menyerang
pesaing dan penentang, menjelaskan visi dan misi, dan menjaga citra sang calon.14
Para ahli masih berbeda pendapat mengenai efektivitas iklan politik di televisi guna
memenangkan pemilu dan meraih suara sebanyak mungkin. Roderick Hart, profesor ilmu
politik Universitas Texas mengatakan, tidak ada kajian dan penelitian cukup yang bisa
memastikan apakah iklan politik bisa menggalang suara bagi para calon presiden.15
Ditambahkan, ada semacam kepercayaan di masyarakat, betapa pun kuatnya pengaruh
iklan politik di media massa, efektivitas iklan politik belum terjamin seperti halnya iklan
sabun atau produk lainnya. Berdasarkan penelitian, iklan politik hanya bermanfaat untuk
menambah kepopuleran, bukan meningkatkan elektabilitas.16
Padahal banyak kajian menunjukkan swing voters, pemilih berpindah dukungan
karena dipengaruhi iklan politik, kampanye, penampilan kandidat, atau program partai,
persentasenya sangat kecil. Di Amerika Serikat, jumlah swing voters hanya 15 persen dari
total pemilih. Indonesia sekitar 23 persen. Mereka inilah yang sebetulnya jadi sasaran utama
iklan politik karena sebetulnya sebagian besar pemilih sudah memiliki party identification.
Pemilih tipe ini loyal pada partainya serta tidak akan terpengaruh oleh kampanye atau iklan
13 KOMPAS, Opcit hal 94 14 KOMPAS, Senin 15 Maret 2004, Iklan Politik Di Televisi, 15 Ibid 16 Ibid
politik.17
Dilihat dari perspektif positif, iklan politik mempunyai manfaat. Jika penayangan
iklan disertai dengan gagasan, memperhatikan etika, dan menghindari hal-hal yang
menimbulkan keresahan dan permusuhan, media ini merupakan salah satu altenatif
komunikasi politik yang baik. Advertensi politik juga dinilai sebagai sarana yang efektif dan
aman bagi masyarakat di bandingkan dengan pengerahan massa.18
Pasangan Capres dan Cawapres Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono juga ikut
beriklan dalam pemilu 2009 ini. KOMPAS mencatat,19 tim sukses SBY Boediono membuat
14 versi iklan yang ditayangkan di televisi dalam pemilu 2009 ini.
Digarap oleh FOX INDONESIA sebagai biro iklannya, iklan-iklan politik SBY
Boediono cenderung menonjolkan program-program keberhasilan presiden SBY selama
menjabat. Program-program seperti : pemberantasan korupsi, bantuan langsung tunai,
penurunan harga BBM, pemberian kredit usaha rakyat (KUR) menjadi tema utama hampir
pada setiap iklan-iklannya. Setelah itu menjadi ciri khas diakhir semua iklannya yang
ditayangkan ditutup dengan kata LANJUTKAN.
Salah satu yang menarik untuk diamati adalah iklan versi INDOMIE. Disini iklan
politik dikemas dengan menggunakan jinggle mie instant merk Indomie yang dinyanyikan
oleh juara kontes idol, Mike. Iklan politik berdurasi 60 detik ini banyak menuai kritik.
Pakar komunikasi UI, Effendy Ghazali mengatakan, iklan itu sama sekali tidak ada
bobotnya dan tidak orisinal. Dicontohkannya, dengan mengambil jingle Indomie, iklan itu
menjadi tidak menarik. Tidak itu saja, substansi yang terkandung dalam iklan tersebut tidak
jelas. ''Iklan itu terkesan seperti sedang berjualan produk tertentu.” Jelasnya.20
Sementara menurut pengamat iklan politik Ahmad Danial, SBY sepertinya akan sulit
17 Ibid 18 Ibid 19 KOMPAS, 2 Juli 2009, Perang Iklan Politik Episode Akhir 20 KOMPAS, 17 Juni 2009, Iklan SBY-Boediono Tak Menarik
mengeruk untung dari iklan politik tersebut. "Figur SBY tidak sesuai dengan iklan tersebut.
Apalagi meniru iklan jingle produk tertentu." Menurut dia, persepsi masyarakat Indonesia
tentang mie instan sulit diwakili oleh figur pasangan SBY-Boediono yang sama-sama berasal
dari Jawa Timur. "Mie instan itu kan tidak hanya didominasi masyarakat tertentu, semua
masyarakat menikmati mie," paparnya.21
Plesetan jingle iklan mie instan menjadi iklan politik SBY sepertinya jadi langkah
pragmatis tim sukses SBY untuk mendongkrak popularitas SBY. Siapa tahu dengan tampil
dalam iklan mie instan, SBY akan menjadi pilihan para penikmat mie instan.22
Sedangkan menurut Ketua DPP Partai Demokrat Andi Mallarangeng, Mie instan
harus diakui telah melekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Maka tak
aneh, jika iklan mie instan itu dinilai cukup efektif untuk mendongkrak popularitas SBY
dengan sedikit plesetan. Andi mengakui, faktor kedekatan dan kelekatan image Indomie di
benak masyarakat itulah yang jadi pertimbangan utama tim kampanye SBY mengadopsi
jingle itu. Upaya tim sukses SBY menyamakan aransemen jingle iklan politik dengan
iklan mie instan itu diyakini memiliki banyak keuntungan. Setidaknya, publik cukup mudah
mengingat iklan politik SBY.23
Dengan tingkat kebergantungan masyarakat Indonesia terhadap televisi begitu tinggi,
penelitian mengenai televisi dalam kaitannya dengan iklan politik dalam pemilu 2009
menjadi menarik dan penting. Penelitian ini mengambil titik fokus pada persoalan bagaimana
Persepsi Pengurus Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat, Partai Golkar dan Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan Kota Surakarta menafsirkan Iklan Politik Pasangan Calon
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Calon Wakil Presiden Boediono Versi Indomie
Pada Pemilu 2009 di Televisi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan
ilmiah yang bersifat awal yang dapat dikonfirmasi atau diintegrasikan ke dalam penelitian 21 www.inilah.com, Siapa Mau Mie Instant ‘Rasa’ SBY? 22 Ibid 23 ibid
lain demi kesimpulan kesimpulan yang lebih valid.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana persepsi Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat, Partai Golkar dan Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan Kotamadya Surakarta Terhadap Iklan Politik Pasangan
Calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Calon Wakil Presiden Boediono Versi
Indomie Pada Pemilu 2009 di Televisi?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana Persepsi Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat, Partai
Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kotamadya Surakarta Terhadap Iklan
Politik Pasangan Calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Calon Wakil Presiden
Boediono Versi Indomie Pada Pemilu 2009 di Televisi.
D. Manfaat Penelitian
1. Tercapainya tujuan penelitian diatas akan memberikan penjelasan tambahan
mengenai fenomena iklan politik dan pengaruhnya terhadap persepsi masyarakat.
2. Penelitian ini akan memperkaya kajian ilmu komunikasi dalam tataran studi
khalayak.
E. Kajian pustaka
1. Komunikasi Politik
Komunikasi politik telah dikenal sejak Cicero dan Aristoteles. Sebagai suatu bidang
kajian ilmiah, komunikasi politik melintasi berbagai disiplin dan dibesarkan secara lintas
disiplin.24
Ilmuwan komunikasi A. Muis25 menjelaskan bahwa istilah komunikasi politik
menunjuk kepada pesan sebagai objek formalnya, sehingga titik berat konsepnya terletak
pada komunikasi dan bukan pada politik. Pada hakekatnya komunikasi politik mengandung
informasi atau pesan tentang politik.
24 Anwar Arifin, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila, 1992 hal 8 25 ibid hal 9
Selain itu, Astrid26 mengartikan komunikasi politik sebagai suatu komunikasi yang
diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang
dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya melalui suatu
sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik. Dengan demikian melalui
kegiatan komunikasi politik terjadi pengkaitan masyarakat sosial dengan lingkup negara,
sehingga komunikasi politik merupakan sarana untuk pendidikan politik atau kesadaran
warga dalam hubungan kenegaraan.
Menurut Nimmo27 banyak aspek kehidupan politik dapat dilukiskan sebagai
komunikasi, dan bahkan komunikasi meliputi politik. Hal ini didasarkan pada pandangan
Mark Roelofs28 yang memandang politik sebagai pembicaraan.
Berdasarkan pandangan di atas jelas bahwa komunikasi dan politik saling melintasi,
dan bahkan saling mencakupi, dan keduanya telah menyatu menjadi kajian komunikasi
politik dan masing-masing memiliki banyak definisi, maka juga komunikasi politik memiliki
banyak rumusan dengan ruang lingkup yang beragam.29
Dengan memandang inti komunikasi sebagai proses interaksi sosial dan inti politik
sebagai konflik sosial. Nimmo30 merumuskan komunikasi politik sebagai kegiatan yang
bersifat politis atas dasar konsekuensi aktual dan potensial, yang menata perilaku dalam
kondisi konflik. Nimmo menggunakan formula Lasswell dalam menjelaskan luas lingkup
komunikasi politik, yaitu komunikator politik, pesan-pesan politik, media komunikasi politik,
khalayak politik dan efek politik. Berdasarkan ruang lingkup itu, terlihat bahwa surat kabar
dan saluran massa lainnya tercakup dalam kajian media komunikasi politik.
2. Iklan Politik
26 ibid hal.9 27 Dan Nimmo, Komunikasi Politik; Komunikator, Pesan dan Media , 2005 hal 9 28 ibid.hal 8. 29 ibid. hal.10. 30 Nimmo, op. cit.
Dalam marketing politik, gagasan mengenai image politik sangat penting. Marketing
politik adalah serangkaian aktivitas untuk menanamkan image politik di benak masyarakat
dan meyakinkan publik mengenainya. Pada akhirnya semua hal yang dilakukan partai politik
adalah mendefinisi dan mendefinisi ulang image yang telah ada.31
Menurut Adman Nursal dalam bukunya Political Marketing, pada dasarnya political
marketing adalah serangkaian aktivitas terencana, strategis tapi juga taktis, berdimensi jangka
panjang dan jangka pendek, untuk menyebarkan makna politik kepada para pemilih.
Tujuannya untuk membentuk dan menanamkan harapan, sikap, keyakinan, orientasi dan
perilaku pemilih.32
Promosi dalam bentuk iklan hanya merupakan satu subbagian dari strategi pemasaran
politik. Pergulatan orang-orang periklanan hanyalah satu bagian dari beberapa mata rantai
bauran pemasaran (marketing mix), yang lazim disingkat 4P (product, price, promotion dan
place). Jika memakai bauran pemasaran, product berarti partai, manusianya (misalnya ketua
umum), dan gagasan-gagasan partai yang akan disampaikan kepada konstituen. Price bisa
dilihat sebagai suatu harga untuk para pendukungnya misalnya iuran bulanan bagi pengurus
maupun kader, bisa juga atribut dan menchandising dari partai tersebut. Selanjutnya adalah
promotion atau suatu upaya periklanan, kehumasan, dan promosi untuk sebuah partai yang
di-mix sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Place merupakan tempat
konstituen dapat menemukan berbagai hal dari partai tersebut.33
Tentu saja konsep pemasaran yang lazim diterapkan untuk produk komersial tidak
bisa diterapkan begitu saja untuk kepentingan politik. Konsep political marketing
memerlukan pendekatan yang khas karena produk politik sangat berbeda dari produk
komersial, baik ditinjau dari karakteristik produk maupun karakter konsumen.34
31 Firmanzah, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, 2007, hal 232 32 Setiyono, iklan dan politik, menjaring suara dalam penelitian umum, 2008, hal 18 33 ibid. 34 ibid.
Sebuah iklan tidak akan ada tanpa adanya pesan. Tanpa pesan, iklan tidak akan
berwujud. Pesan yang disampaikan dalam iklan dapat berbentuk perpaduan antara pesan
verbal dan non verbal. Di dalam pesan verbal ia merupakan kata-kata yang tersusun dari
huruf vokal dan konsonan yang membentuk makna tertentu. Sementara semua pesan yang
bukan pesan verbal adalah pesan non verbal. Sepanjang bentuk non verbal tersebut
mengandung arti, maka dapat disebut pesan komunikasi.35
Sementara itu iklan politik berfungsi menyampaikan pesan verbal dan visual yang
sudah disusun secara persuasif dan komunikatif kepada khalayak. Dalam iklan pesan verbal
dan visual agak riskan untuk dipisahkan. Bila memposisikan sebagai audience, iklan harus
punya pesan verbal dan non verbal yang kredibel. Janjinya masuk akal, visinya jelas,
gambarnya menyentuh dan membuat nyaman calon pemilih.36
Menurut Dan Nimmo37, periklanan politik ditujukan kepada setiap individu yang
anonim. Hubungan antar individu dan calon pembeli adalah hubungan langsung, dalam arti,
tidak ada organisasi dan kepemimpinan yang seakan-akan dapat mengirimkan kelompok
pembeli itu kepada penjual. Karakteristik periklanan politik beroperasi sebagai komunikasi
satu kepada banyak terhadap individu-individu di dalam suatu massa yang heterogen dan
bukan sebagai anggota yang agak homogen. Periklanan bekerja dengan cara yang berbeda.
Pertama, sasarannya bukan individu di dalam suatu kelompok melainkan individu yang
independen, terpisah dari kelompoknya. Kedua, tujuannya bukan untuk mengidentifikasi
individu dengan kelompoknya, melainkan untuk menarik perhatian agar orang itu bertindak
dan memiliki pilihan tersendiri yang berbeda dengan orang lain.
Menurut Linda Lee Kaid38, iklan politik adalah proses komunikasi dimana seorang
sumber (biasanya kandidat atau partai politik) membeli atau memanfaatkan kesempatan
35 Rendra widyatama, Pengantar Periklanan, hal 17 36 Sumbo Tinarbuko, iklan politik dalam realitas media, hal 81 37 Nimmo, Op. Cit. 38 Sarsito, Op. Cit.
melalui media massa yang meng-exposure pesan-pesan politik dengan sengaja untuk
mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan perilaku politik masyarakat (audience). Berdasarkan
definisi tersebut, maka karakteristik iklan politik meliputi dua hal yaitu, kontrol pesan dan
penggunaan saluran komunikasi massa untuk mendistribusikan pesan.
Iklan politik saat ini menjadi upaya penting dari masing-masing kandidat presiden
untuk mengkomunikasikan pesan mereka terhadap pemilih. Dan, iklan politik juga
bermaksud untuk mendorong publik merasa lebih mantap unutk menjatuhkan pilihan
pertamanya.39
Menurut kaid dan Holtz Bacha (1995) mendefinisikan iklan politik televisi sebagai
moving image programming that is designed to promote the interest of given party or
individual. Untuk menekankan soal kontrol pesan politik tadi, mereka memperluas definisi
itu dengan menyodorkan definisi : any controlled message communicated through any
channel designed to promote the political interest of individuals, parties, groups,
government, or other organization. Definisi terakhir ini tidak saja menitikberatkan pada
aspek kontrol dan promosional dari iklan politik saja, tetapi juga membuka peluang
memasukan perbedaan iklan politik dari sisi format dan saluran penyampaian pesan politik.40
Sementara menurut sumbo tinarbuko, iklan politik adalah iklan yang meanwarkan
sesuatu berkaitan dengan politik. Iklan politik merupakan salah satu cara menyampaikan
pesan tentang individu, partai politik, dam visi misi yang dimiliki individu atau partai
politik.41
Sementara Baden42 mengungkapkan:
1. Iklan politik pada intinya lebih ditujukan untuk menggugah aspek emosional
dibanding intelektual.
39 Jane Levin, The Phenomenon Of Political Advertising 40 Akhmad Danial, Iklan Politik TV, 2009, hal 94 41 Sumbo tinarbuko, Iklan Politik Dalam Realitas Media, 2009 hal 58 42 Sarsito, Op. Cit.
2. Stimulus emosi iklan politik pada umumnya terbagi dua, yaitu rasa takut dan harap.
3. Rasa takut akan mendorong seseorang memilih sosok pemimpin yang mendatangkan
stabilitas, sedangkan rasa harap akan mendorong seseorang memilih sosok pemimpin
yang mendatangkan perubahan.
Menurut Garin Nugroho43, iklan politik seharusnya mengandung dua unsur: 1)
memberikan pendidikan politik dan, 2) melahirkan partisipasi politik masyarakat sehingga
implikasinya bisa melahirkan tindakan sosial. Selanjutnya Garin berpendapat bahwa iklan
politik berbeda dengan iklan komersial. Iklan politik adalah kemampuan mengajak partisipasi
dengan mengemas kenegarawanan dalam berbagai perspektif metode komunikasi. Ia
mengandung unsur ketulusan. Sementara iklan komersial adalah keterampilan mengelola
pameran perhatian untuk masyarakat menjadi pembeli.
Pesan iklan kampanye tampil dalam berbagai bentuk. Positif (memuji kebaikan
kandidat), negative (mengkritik yang lain), atau kontras (gabungan dari keduanya). Iklan bisa
berdasarkan isu atau pertanyaan mengenai karakter (atau berbagai kobinasi), mereka bisa
riang, humor, atau sangat serius; mereka bisa mengajak agar takut atau bangga; mereka bisa
menggunakan haknya di masa lampau atau menatap ke depan.44
Televisi dianggap lebih tepat sasaran karena daya jangkaunya luas dan mudah masuk
dalam ingatan bawah sadar konstituen. Pengelolaan kesan lewat televisi -- baik melalui
berita, acara khusus atau iklan -- sangatlah penting karena televisi dapat melipatgandakan
pengaruh impression management. Pemasangan iklan di sejumlah stasiun swasta juga
berdasarkan pengalaman Pemilu di negara-negara maju.45 Sumartono46 (2002: 6)
menyebutkan tiga kekuatan televisi, yaitu:
1. Efisiensi biaya. Banyak pengiklan memandang televisi sebagai media paling
43 Setiyono, Op. Cit 44 Paul freedman, Thirty Second Democracy: Campaign Advertising And American Elections 45 Setiyono, Op. Cit. 46 Sumartono, Terperangkap Dalam Iklan: Meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi, 2002 hal 6
efektif untuk menyampaikan pesan-pesan komersialnya. Salah satu
keunggulannya adalah kemampuan menjangkau khalayak sasaran yang sangat
luas. Jangkauan massal ini menimbulkan efisiensi biaya untuk menjangkau
setiap kepala.
2. Dampak yang kuat. Keunggulan lainnya adalah kemampuannya menimbulkan
dampak yang kuat terhadap konsumen, dengan tekanan pada sekaligus dua
indra: penglihatan dan pendengaran. Televisi juga mampu menciptakan
kelenturan bagi pekerjaan-pekerjaan kreatif dengan mengkombinasikan gerakan,
kecantikan, suara, warna, drama, dan humor.
3. Pengaruh yang kuat. Televisi mempunyai pengaruh yang kuat untuk
mempengaruhi persepsi khalayak sasaran. Kebanyakan calon pembeli lebih
percaya pada perusahaan yang mengiklankan produknya di televisi daripada
yang tidak sama sekali. Ini adalah cerminan bonafiditas pengiklan.
Tiga kekuatan tersebut menjadikan televisi sebagai prioritas bagi partai politik untuk
mengiklankan dirinya. Selain itu, televisi dianggap efektif menanamkan persepsi sang tokoh
parpol kepada masyarakat.47
Iklan politik, khususnya iklan audiovisual, memainkan peranan strategis dalam
political marketing. Riset Falkow dan Cwalian dan Kaid48 menunjukkan, iklan politik
berguna untuk beberapa hal:
1. Membentuk citra kontestan dan sikap emosional terhadap kandidat.
2. Membantu para pemilih untuk terlepas dari ketidakpastian memilih karena
mempunyai kecenderungan untuk memilih kontestan tertentu.
3. Alat untuk melakukan rekonfigurasi citra kontestan.
47 Setiyono, Op. Cit. 48 ibid
4. Mengarahkan minat untuk memilih kontestan tertentu.
5. Mempengaruhi opini publik tentang isu-isu tertentu.
6. Memberi pengaruh terhadap evaluasi dan interpretasi para pemilih terhadap
kandidat dan even-even politik.
Meski iklan hanya satu bauran dalam mata rantai pemasaran, tapi terbukti iklan lebih
sedap dipandang dan lebih sering ditonton ketimbang acara debat, berita dan sejenisnya.
Bahkan jika melihat hasil survei LP3ES, iklan televisi dianggap sebagai jenis kampanye
paling efektif.49
Seperti halnya iklan komersial, persepsi khalayak menjadi parameter atas benar-salah
atau baik-buruk suatu iklan politik. Suatu iklan dianggap melanggar etika manakala persepsi
yang ditimbulkannya tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut khalayak tersebut. Indonesia
juga dapat menggunakan rujukan baku yang ada, karena di seluruh dunia menerapkan
prinsip-prinsip etika yang berlaku secara universal. Prinsip-prinsip itu adalah50 :
1. Iklan harus jujur, bertanggungjawab dan tidak bertentangan dengan hukum.
2. Tidak menyinggung perasaan dan merendahkan martabat negara, agama, susila, adat,
budaya, suku dan golongan.
3. Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat.
Pesan-pesan periklanan politik adalah sama dengan pesan-pesan produk komersial. Ia
harus sesuai dengan kebutuhan khalayak sasarannya. Ia juga meyakinkan stakeholders,
membangun ekuitas merek dan mendorong penjualan. Namun yang lebih penting dari itu
adalah bahwa pesan-pesan periklanan harus dibangun atas dasar kebenaran.
3. Persepsi
49 ibid. 50 ibid.
Soeryono Soekanto memberikan penjelasan bahwa arti penting dari komunikasi adalah
ketika seseorang membertikan tafsir pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan,
gerak-gerik badaniyah, atau sikap) perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang
tersebut.51
Definisi-definisi tentang persepsi menekankan pada penafsiran, interpretasi, pemaknaan
terhadap sensasi, stimuli atau pesan. Definisi yang diungkapkan John R. Wernburg dan
Wiliam W. Wilmot misalnya, persepsi adalah cara organisme memberi makna.52 Rudolf F
Verderberg, persepsi adalah proses menafsirkan informasi inderawi.53 Sedangkan J Cohen,
persepsi didefinisaikan sebagai intepretasi bermakna atas sensasi sebagai representatif obyek
eksternal.54 Dalam bukunya Psikologi Komunikasi, Jalaludin Rakhmat mendefinisikan
persepsi adalah pengalaman obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh
dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.55
Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson dalam bukunya An Introduction To Human
Comunication: Understanding and Sharing menjelaskan, awalanya persepsi dianggap
sebagai perekam rangsangan, yang sederhana seperti video recorder. Namun kemudian
persepsi dianggap sebagai proses aktif. Disini manusia aktif dalam proses persepsi, dimana
pikiran kita mampu memilih, mengorganisasikan dan memaknai apa-apa yang kita inderai.56
Dari definisi diatas jelas bahwa persepsi merupakan proses penafsiran terhadap pesan.
Dengan demikian persepsi terjadi setelah ada komunikasi. Atau dengan kata lain komunikasi
mempengaruhi persepsi. Ada faktor-faktor lain –mendahului atau berbarengan dengan proses
komunikasi- yang juga mempengaruhi persepsi.
51 Soeryono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 1974, hal. 176 52 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, 2003, hal. 167 53 ibid 54 ibid 55 Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, 2001, hal 51 56 Judy C. Pearson, Paul E. Nelson, An Introduction to Human Communication: Understanding and Sharing, 2000, hal 26
Faktor lain yang mempengaruhi persepsi yaitu: people’s past experiences and roles,
dan cultures and co-cultures.57 People’s past experience and roles (pengalaman masa lalu
dan peranan). Setiap orang memiliki pengalaman, baik yang menyenangkan atau sebaliknya.
Pengalaman seseorang akan mempengaruhi cara dia memaknai kondisi yang sedang terjadi
dan yang akan datang. Seorang tentara yang pada hari pertama bertugas sudah dimarahi
komandan, akan membuatnya lebih berhati-hati saat bertemu komandan tersebut pada hari
berikutnya. Anak-anak yang hidup dalam masa kecil di daerah konflik yang penuh dengan
keterbatasan, kekerasan, dan ketidakadilan. Maka apabila mereka ditanya cita-cita,
kebanyakan dari anak laki-laki akan menjadi tentara sedangkan anak perempuan akan
menjadi perawat.
Role is the part an individual plays in a group; an individual’s functions or expeted
behaviour.58 Roles atau peranan sangat erat hubungannya dengan status atau kedudukan.
Roles, sebagai aspek dari status, bersifat dinamis. Artinya orang lain akan selalu
mengharapkan peranan atau fungsi yang biasa kita berikan, apa pun status kita. Soeryono
Soekanto59 mengutip Levinson, mengatakan peranan paling sedikit mencakup tiga hal, yaitu:
1. Peranan adalah meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat.
2. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu
dalam masyarakat sebagai organisasi.
3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilakuan individu yang penting bagi
struktur sosial.
Status dan peranan seseorang akan mempengaruhi konteks berkomunikasi: kepada siapa
berbicara, bagaimana berbicara, bahasa yang digunakan, posisi tubuh dan sebagainya.
Seorang mahasiswa yang memiliki dosen orang tuanya sendiri, maka berkomunikasi di 57 ibid. 58 ibid. hal. 29. 59 Soekanto, Op. Cit. hal. 131
rumah dengan di kampus akan berbeda. Demikian juga seorang yang menjadi dosen, pejabat,
tokoh masyarakat akan menanggapi suatu kejadian dengan mempertimbangkan statusnya.
Cultures and co-cultures (kultur dan subkultur). Culture dapat diartikan as a system of
shared beliefs, values, customs, behaviours, and artifacts, that the members of society use to
cope with one another and with their world.60 Sedangkan co- culture is a whose beliefs or
behaviour groupdistinguish it from the larger culture of which it is a part and with which it
shared numerous similarities.61 Untuk semakin jelas membedakan kultur dan sub kultur, kita
ambil saja contoh kultur bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sebagai kultur dapat dibuktikan
dengan adanya bahasa, pandangan hidup dan sebagainya. Sementara di dalamnya terdapat
berbagai sub kultur seperti jawa, sunda, aceh, batak, dan sebagainya yang memiliki
karakteristik sendiri (bahasa, sistem kemasyarakatan, kesenian dan lain-lain). Meskipun
bangsa Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa namun apabila diteliti, mempunyai dasar-
dasar yang sama. Persamaan itu yang menjadi kultur bangsa Indonesia.62
Perbedaan kultur dan sub kultur akan menimbulkan persepsi yang berbeda. Berciuman
dengan teman lawan jenis ketika bertemu, dianggap biasa bagi orang-orang barat tapi sangat
tabu dan hina bagi orang indonesia. Kata cokot bagi orang jawa bermakna gigit sedangkan
bagi orang sunda bermakna ambil. Tersenyum sampai terlihat giginya barangkali
melambangkan keakraban, tapi bagi orang papua pedalaman menunjukan gigi berarti
menantang.
Nilai-nilai yang ada dalam kultur dan subkultur mengarahkan, memberi batasan
anggotanya, dan mengontrol setiap individu yang menjadi anggotanya. Misalnya nilai agama
tentang halal dan haram akan dijadikan rujukan pemeluknya dalam mempersepsi sekaligus
menentukan pilihan makanan dan pekerjaan. Nilai kebersamaan yang dijunjung tinggi oleh
60 Pearson, Op. Cit. hal 29 61 Ibid. hal 30. 62 Soekanto, Op. Cit. hal 41
masyarakat Jepang, menuntun mereka agar bermusyawarah dalam setiap mengambil
keputusan.
Namun nilai-nilai yang mempengaruhi individu tidak hanya berdasar dari kultur dan
subkultur. Organisasi atau kelompok social yang kita ikuti, nilai-nilainya juga mempengaruhi
kita. Perangkat aturan yang diterapkan baik tertulis maupun tidak akan menuntun persepsi,
sikap dan perilaku kita. Seperti dalam masyarakat, dalam organisasi ada proses kaderisasi
dimana nilai-nilai dalam organisasi disosialisasikan kepada setiap anggotanya. Organisasi
atau kelompok sosial tersebut antara lain lembaga pendidikan, lembaga profesi, partai
politik, kelompok agama, komunitas etnik, dan komunitas lainnya.
Theodore Newcomb menyebut kelompok-kelompok tersebut sebagai reference group
(kelompok rujukan) yaitu merupakan kelompok yang digunakan sebagai alat ukur untuk
menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap.63
Jalaludin Rakhmat menyebut faktor lain yang mempengaruhi persepsi, yaitu: faktor
perhatian, faktor fungsional, dan faktor struktural.64 Perhatian adalah proses mental ketika
stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya
melemah. Perhatian dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang
mempengaruhi perhatian, yaitu: faktor sosiopsikologis, motif sosiogenesis, sikap, kebiasaan,
dan kemauan. Sedangkan faktor eksternal, antara lain: gerakan, intensitas stimuli, kebaruan,
dan perulangan.
Faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi seperti: kebutuhan, pengalaman masa
lalu dan hal-hal lain yang termasuk faktor personal. Faktor-faktor fungsional yang
mempengaruhi persepsi lazim juga disebut sebagai kerangka rujukan. Uang Rp. 100.000,-
dinilai sedikit bagi orang yang berpenghasilan jutaan rupiah. Tapi uang yang sama dihargai
jauh lebih besar oleh tukang becak atau buruh pabrik. Sedangkan Faktor struktural berasal
63 ibid. hal. 145-146 64 Rakhmat, Op. Cit. hal. 51-62.
dari sifat-sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf
individu.
4. Iklan dan Pencitraan Politik
Di masa lampau bahkan hingga saat ini pun, politik selalu mendapatkan cap buruk.
Bisa dimengerti, karena memang begitu banyak keburukan yang terjadi dalam politik dan
partai politik. Kesan buruk mengenai politik dan partai politik inilah yang harus diubah.
Masalahnya menjadi semakin mendesak bagi partai politik seiring dengan semakin
meningkatnya persaingan. Masing-masing partai politik akan berusaha sekuat tenaga untuk
menciptakan pencitraan yang positif di kalangan pemilih.65
Ketika semua partai politik melakukan hal yang sama, yaitu membeberkan rancangan
program kerja mereka, maka partai politik membutuhkan citra (image) untuk membedakan
satu partai politik dengan partai politik lainnya. Firmanzah66 merangkum pendapat-pendapat
pakar mengenai definisi image politik. Gioia dan Thomas mengatakan bahwa image terkait
erat dengan identitas. Sementara itu menurut Dutton et al., image biasanya diartikan sebagai
cara anggota organisasi dalam melihat kesan dan citra yang berada di benak orang.
Sedangkan menurut Peteraf dan Shanley, image bukan sekedar masalah persepsi atau
identifikasi saja, tetapi juga memerlukan pelekatan (attachment) suatu individu terhadap
kelompok atau grup. Pelekatan ini dapat dilakukan secara rasional maupun emosional.
Kemudian menurut Harrop, image politik dapat mencerminkan tingkat kepercayaan dan
kompetensi tertentu partai politik.
Citra (Image) politik didefinisikan sebagai konstruksi atas representasi dan persepsi
masyarakat (publik) akan suatu partai politik atau individu mengenai semua hal yang terkait
dengan aktivitas politik. Image politik tidak selalu mencerminkan realitas objektif. Suatu
65 Firmanzah, Op. Cit. hal 229 66 ibid. hal. 230
image politik juga dapat mencerminkan hal yang tidak real atau imajinasi yang terkadang
bisa berbeda dengan kenyataan fisik.67
Citra (image) dan realitas menjadi dua kutub yang terus tarik menarik. Citra (image)
telah berubah menjadi sebuah mesin politik yang bergerak kian cepat. Strategi pencitraan dan
teknologi pencitraan atau imagologi dikemas sedemikian rupa untuk mempengaruhi persepsi,
emosi, perasaan, kesadaran dan opini publik sehingga mereka dapat digiring ke sebuah
preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu.68 Image politik dapat diciptakan, dibangun
atau diperkuat. Image politik dapat melemah, meluntur dan hilang dalam sistem kognitif
masyarakat. Image politik yang bagus dari suatu partai politik akan memberikan efek yang
positif terhadap pemilih guna memberikan suaranya dalam pemilihan umum.69
Image partai politik sangat sulit ditiru karena sangat sulit pula membangunnya.
Terdapat beberapa hal yang terkait dalam strategi pembangunan image politik.70 Pertama,
untuk membangun image dibutuhkan waktu relatif lama. Kedua, membangun image
dibutuhkan konsistensi dari semua hal yang dilakukan partai politik bersangkutan, seperti
platform partai, program kerja, reputasi pemimpin partai latar belakang partai dan retorika
partai. Ketiga, image politik adalah kesan dan persepsi publik terhadap apa saja yang
dilakukan partai politik. Keempat, image politik terdapat dalam kesadaran publik yang
berasal dari memori kolektif masyarakat.
Membangun image politik dan sampai di masyarakat sesuai dengan apa yang
diharapkan suatu partai politik bukanlah hal yang mudah dan dapat cepat dicapai. Untuk itu,
ada hal yang harus dilakukan terus menerus oleh partai politik, yaitu komunikasi politik.71
Salah satu bentuk komunikasi politik adalah iklan politik di media massa. Menurut
Baden iklan politik pada intinya lebih ditujukan untuk menggugah aspek emosional
67 Ibid, hal. 230-231 68 Sarsito, Op. Cit. 69 Firmanzah, Op. Cit, hal 231 70 ibid. hal 232 71 Ibid. hal. 232-233
dibandingkan intelektual. Stimulus ekonomi dalam iklan politik pada umumnya terbagi
menjadi dua, yaitu rasa harap dan rasa takut. Rasa takut akan mendorong seseorang memilih
sosok pemimpin yang mendatangkan stabilitas, sedangkan rasa harap akan mendorong
seseorang memilih sosok pemimpin yang mendatangkan perubahan.72
Menurut Harold Mendelson ada 2 pertanyaan yang harus dijawab oleh pengiklan
politik dalam merumuskan kampanyenya
1. Apa yang memotivasi khalayak.
2. Apa karakteristik kepribadian dan sosial khalayak.
Hal yang memotivasi khalayak bisa berupa kebutuhan, harapan, cita-cita, dan
sebagainya. Sementara karakteristik sosial khalayak dipengaruhi oleh demografi. Artinya
pada pola komunikasi mereka dipengaruhi oleh, misalnya: kebiasaan menonton televisi, usia,
jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan lain-lain.73
Dalam iklan politik, stimulus emosi dapat disampingkan secara verbal maupun visual.
Secara verbal, paparan data statistik mengenai angka kemiskinan dan tingkat kematian dapat
memicu perasaan cemas audiens. Secara visual, adegan lingkungan yang nyaman dan
makmur dapat memacu rasa harap. Kombinasi antara stimulasi visual dan verbal yang
difokuskan ke sebuah ranah emosi tertentu di sebuah iklan politik akan meninggalkan kesan
yang kuat dalam ingatan audiens. Sebab, secara psikologis kesan-kesan emosional cenderung
disimpan di dalam memori jangka panjang.74 Oleh sebab itu tidak jarang iklan politik di
Indonesia hanya menampilkan stimulus-stimulus emosi dan bukan program-program konkret.
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
72 Sarsito, Op. Cit. 73 Dan Nimmo, Op. Cit. 74 Ibid.
penelitian ini menggunakan rancangan pengambilan sampel dengan purposive
sampling, yaitu memilih orang-orang tertentu karena dianggap (berdasarkan penilaian
tertentu) mewakili statistik, dan tingkat signifikasi. Peneliti menggunakan metode penelitian
deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu suatu metode yang memaparkan situasi atau
peristiwa. Metode deskriptif ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji
hipotesis, atau memberi prediksi. Tujuan utama penelitian diskriptif adalah menggambarkan
sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa
sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.75 Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data kualitatif. Sehingga penjelasan mengenai persepsi dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya diarahkan pada analisa kualitatif. Dengan demikian sifat penelitian ini
adalah deskriptif kualitatif.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi yang dijadikan tempat dalam penelitian ini adalah Dewan Pimpinan Cabang
Partai Demokrat, Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kotamadya
Surakarta. Penulis mendasarkan pada beberapa hal sehingga memilih sebagai lokasi
penelitian.
a. Mesin politik. Ketiga partai tersebut merupakan mesin politik utama dari tiga calon
presiden yang bertarung dalam pemilu presiden dan wapres tahun 2009. Di Kota
Surakarta, ketiga partai ini juga mempunyai massa yang cukup banyak.
b. Kedekatan. Secara geografis, peneliti memiliki kedekatan dengan lokasi penelitian
karena peneliti tinggal di wilayah Kota Surakarta. Sehingga memungkinkan bagi
peneliti lebih memahami kondisi Kota Surakarta. Dengan demikian diharapkan
hasil penelitian ini akan mampu menjelaskan lebih dalam realita yang terjadi di
75 Consuelo G. Sevilla, Pengantar Metode Penelitian, Terjemahan Alimudin Tuwu, Jakarta, 1993, halaman 71
kota tersebut. Secara teknis, faktor kedekatan geografis ini juga memudahkan
peneliti dalam mengumpulkan data.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan fase sangat penting dalam suatu penelitian. Karena
dengan kata-kata itulah peneliti bisa menjawab permasalahan-permasalahan yang
diajukannya, tentunya melalui proses analisis data. Teknik pengumpulan data yang dilakukan
peneliti antara lain:
a. Wawancara: peneliti mengadakan kegiatan tanya jawab secara langsung dan
mendalam dengan pihak-pihak yang terkait, yaitu: pihak pengurus DPC partai.
b. Studi pustaka: pengumpulan data dan teori dengan menggunakan berbagai
macam buku, majalah, internet serta informasi lainnya.
4. Teknis Analisa Data
Analisa dilakukan pada saat data pengumpulan data berlangsung dan setelah
pengumpulan data dalam periode tertentu. Menurut Miles dan Huberman (1984),
mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisa data kualitatif dilakukan secara intensif dan
terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.
Komponen utama proses analisa menurut Miles dan Huberman (dalam Sutopo: 9)
terdiri dari tiga unsur, yaitu:
a. Reduksi data
Merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data dari
fieldnote. Proses ini berlangsung sepanjang penelitian.
b. Sajian data
Suatu rakitan organisasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan
penelitian dapat dilakukan. Sajian data mengacu pada rumusan masalah yang telah
dirumuskan sebagai pertanyaan penelitian, sehingga narasi yang tersaji merupakan
deskripsi mengenai kondisi yang rinci untuk menceritakan dan menjawab setiap
permasalahan yang ada.
c. Penarikan simpulan dan verifikasi
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan mencatat berbagai pola, pernyataan,
konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat, dan berbagai proposisi.
Simpulan akhir tidak akan terjadi sampai ada waktu proses pengumpulan data berakhir.
Simpulan kemudian di verifikasi agar dapat dipertanggungjawabkan dengan melakukan
diskusi dengan informan.
5. Teknik Validitas data
Untuk mengetahui keabsahan data, peneliti menggunakan teknik trianggulasi dengan
sumber dimana dalam menganalisis data peneliti membandingkan dan mengecek ulang
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda
dalam penelitian ini. Hal ini dapat dicapai dengan jalan:
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang
dikatakan secara pribadi.
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.
4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan
pandangan orang seperti rakyat biassa, orang berpendidikan menengah atau tinggi,
orang berada dan orang pemerintahan.
5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
BAB II
DESKRIPSI KOTA SURAKARTA, PARTAI DEMOKRASI INDONESIA
PERJUANGAN, PARTAI GOLONGAN KARYA DAN PARTAI DEMOKRAT
A. KOTA SURAKARTA
Surakarta pada awalnya adalah sebuah perkampungan kecil bernama Desa Sala yang
sebagian besar wilayahnya berupa rawa-rawa. Nama Sala merupakan gabungan dari kata
‘Desa’ dan ‘Ala’ (jelek). Masing-masing suku kata terakhir ‘Sa’ dan ‘La’ digabung menjadi
‘Sala’ atau biasa dilafalkan menjadi Solo. Disebut Desa Ala (desa jelek) karena daerahnya
berupa rawa-rawa yang cukup dalam.76 Namun demikian Desa Sala dipilih Sunan Paku
Buwana II untuk memindah Keraton Kartosuro yang telah hancur akibat pertempuran yang
terkenal dengan peristiwa Geger Pecinan.77
Geger Pecinan terjadi pada tahun 1740. Kerusuhan ini dilakukan oleh orang-orang
dari etnis cina dan merupakan kerusuhan yang terbesar dalam sejarah mataram. Kerusuhan
ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh intimidasi yang disertai pembunuhan oleh belanda
terhadap etnis cina yang ada di Batavia. Akibatnya terjadi petempuran dari etnis cina di
Batavia yang selanjutnya menjalar sampai ke semua wilayah jawa, termasuk Kerajaan
Mataram.78
Meskipun keraton dapat dipertahankan, namun karena pertempuran sangat dahsyat
menyebabkan bangunan keraton hancur dan Paku Buwono II menyingkir ke Ponorogo.
sehingga setelah perang usai, PB II memerintahkan agar menjadi daerah baru. Sebenarnya
ada tiga pilihan tempat yang akan digunakan untuk memindah pusat kerajaan. Yaitu : Desa
76 Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta.Jakarta 1999.hal 8 77 Ibid. hal 74 78 ibid, hal 68.
Kadipala, Desa Sala, dan Desa Sanasewu. Dengan berbagai pertimbangan akirnya Desa Sala
dipilih untuk mendirikan keraton yang baru sebagai pusat ibukota kerajaan.79
Keraton yang baru mulai didirikan pada tahun 1745. Setelah keraton selesai didirikan
kemudian Sunan Paku Buwana II memindah semua yang ada di Keraton Kartosuro ke
keraton baru di Kota Sala. Sejak perpindahan itu Sunan Paku Buwana II mengganti nama
Desa Sala menjadi Surakarta Hadiningrat.80 Kemudian masyarakat biasa menyebutnya
dangan nama Surakarta.
Untuk lebih mengetahui kondisi dan perkembangan Kota Solo beberapa tahun
terakhir, berikut deskripsi Kota Solo dari berbagai aspek. Namun perlu disampaikan
sebelumnya bahwa gambaran umum dihimpun dari berbagai sumber. Deskripsi Kota Solo
dari poin satu dan poin dua disarikan dari rencana pembangunan jangka panjang daerah
(RPJPD) Kota Surakarta tahun 2005-2025 yang diterbitakan Pemerintah Kota Surakarta pada
tahun 2006. Untuk poin-poin tersebut peneliti juga menambah beberapa data yang berasal
dari sumber lain yaitu Situs Resmi Pemerintah Kota Surakarta, www.surakarta.go.id
sedangkan untuk poin beriktunya dari berbagai sumber, baik referensi buku, media internet
atau data dari instansi tertentu.
1. Kondisi Fisik
Kota Solo atau biasa disebut Kota Surakarta merupakan dataran rendah yang terletak
antara 11045’ 15’’ – 11045’ 35’’ Bujur Timur dan 70’ 36’’ – 70’ 56’’ Lintang Selatan.
Dengan demikian Solo beriklim tropis. Wilayah Solo berada pada ketinggian sekitar 92 meter
diatas permukaan air laut. Kota Solo diapit oleh tiga gunung, yaitu : Gunung Lawu dibagian
timur, Gunung Merbabu dan Gunung Merapi di bagian barat. Sehingga wilayah tersebut
merupakan cekungan solo yang biasa disebut Solo Basin. Wilayah Solo juga dilalui tiga
sungai, yaitu Sungai Pepe, Sungai Jenes, dan Bengawan Solo. Sehingga tanah di Solo
79 Ibid, hal 73-74. 80 Ibid, hal 84.
sebagian besar meruakan endapan aluvial dari vulkanik merapi dan endapan dari Bengawan
Solo.
Luas wilayah Solo sekitar 44 kilometer persegi yang dibatasi oleh tiga kabupaten di
sekitarnya. Di sebelah barat, Kota Solo berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan
Kabupaten Karanganyar, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan
Kabupaten Karanganyar, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan
Kabupaten Sukoharjo sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo.
Secara administrasi Kota Solo terbagi dalam lima kecamatan, yaitu Kecamatan Jebres,
Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Serengan, Kecamatan Laweyan, dan Kecamatan
Banjarsari. Wilayah yang terluas adalah Kecamatan Banjarsari yang mencapai 33,63 % dari
luas wilayah Kota Solo. Tiap-tiap kecamatan terbagi menjadi beberapa kelurahan kemudian
rukun warga, rukun tetangga, dan kepala keluarga. Kota Solo memiliki 51 kelurahan, 692
rukun warga, 2.644 rukun tetangga, dan 123.360 kepala keluarga.
2. Kondisi Demografi
Berdasarkan sensus penduduk tahun 1980, jumlah penduduk Kota Solo sebesar
469.532 jiwa. Sepuluh tahun kemudian, berdasarkan sensus penduduk tahun 1990, jumlah
tersebut meningkat menjadi 503.827 jiwa atau meningkat 0,73 % per tahun. Sepuluh tahun
berikutnya, berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, tercatat penduduk Kota Solo turun
menjadi 490.214 jiwa. Pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 497.234 jiwa. Sedangkan
pada tahun 2004 mengalami peningkatan yang cukup tinggi sebesar 2,17 % menjadi 510.711
jiwa.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005, jumlah penduduk
Kota Solo mencapai 534.540 jiwa dengan rasio jenis kelaminn laki-laki 250.868 jiwa dan
perempuan 283.672 jiwa. Sex ratio penduduk Kota Solo adalah 96,06. Berarti setiap 100
orang perempuan terdapat 96 laki-laki.
Tingkat kepadatan Kota Solo pada tahun 2004 mencapai 11.599 jiwa/km. Daerah
yang terdapat pada tahun 2004 adalah Kecamatan Pasar Kliwon dengan angka kepadatan
penduduknya sebesar 16.207 jiwa/km. Sedangkan wilayah dengan tingkat kepadatan terendah
adalah Kecamatan Laweyan dengan tingkat kepadatan 10.566 jiwa/km. Berdasarkan jumlah
penduduk sebenarnya Kecamatan Laweyan memiliki jumlah penduduk yang lebih besar
dibandingkan Kecamatan Pasar Kliwon. Namun wilayah Kecamatan Laweyan lebih luas
dibandingkan wilayah Kecamatan Pasar Kliwon sehingga tingkat kepadatan di Kecamatan
Laweyan lebih kecil dibandingkan Kecamatan Pasar Kliwon.
Pada tahun 2005 tingkat kepadatan penduduk Kota Solo mencapai 12.148 jiwa/km.
Wilayah dengan kepadatan tertinggi masih berada di Kecamatan Pasar Kliwon yaitu 16.282
jiwa/km. Demikian juga wilayah dengan kepadatan terendah masih berada di Kecamatan
Laweyan yaitu 10.595 jiwa/km.
Pada tahun 2005 penduduk Kota Solo yang berada pada usia 65 tahun atau lebih
berjumlah 36.344 jiwa. Penduduk yang memiliki usia dibawah 15 tahun berjumlah 122.344
jiwa. Sedangkan penduduk yang berada pada usia produktif, yaitu usia 15-64 tahun sebesar
375.692 jiwa. Berdasarkan angka tersebut dapat disimpulakan bahwa angka ketergantungan
penduduk Kota Solo pada tahun 2005 mencapai 42,28 %. Dengan demikian berarti setiap 100
peduduk usia produktif menangung 43 orang penduduk usia tidak produktif.
B. PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN (PDI-P)
1. Sejarah PDI perjuangan
Dalam penelitian ini objek penelitian yang jadi sasaran adalah kader PDI perjuangan
Kota Surakarta yang masuk dalam jajaran struktural partai. Secara kesejarahan PDI
perjuangan berawal dari berfusinya Partai Nasional Indonesia (PARKINDO) dan Partai
Murba menjadi Partai Demokrasi Indonesia pada tanggal 10 Januari 1973. Yang dalam
perkembangannya, pada tanggal 1 Februari 1999 PDI berubah menjadi PDI Perjuangan
dalam bentuk badan hukum. Paratai Demokrasi Indonesia Perjuangan berasaskan pancasila.
2. Arah Kebijakan PDI Perjuangan
a. Tujuan Umum Partai
1. Mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagaimana yang
dimasud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2. Membangun masyarakat pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
demokratis, adil dan makmur.
b. Tujuan Khusus Partai
1. Menghimpun dan membangun kekuatan politik rakyat.
2. Memperjuangkan kepentingan rakyat bidang ekonomi, sosial, dan budaya secara
demokratis.
3. Berjuang mendapatkan kekuasaan politik secara konstitusional guna mewujudkan
pemerintahan yang melindungi segenap bangsa indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan
ketertiban dunia.
3. Jenjang Kepengurusan Partai
Terdapat enam jenjang kepengurusan dalam Anggaran Dasar PDI Perjuangan, yaitu:
a. Dewan Pimpinan Pusat Partai disingkat DPP yang meliputi wilayah NKRI (Negara
Kesatuan Republik Indonesia)
b. Dewan Pimpinan Daerah partai disingkat DPD yang meliputi wilayah Provinsi.
c. Dewan Pimpinan Cabang disingkat DPC yang meliputi wilayah Kabupaten /Kota.
d. Pengurus Anak Cabang disingkat PAC yang meliputi wilayah Kecamatan.
e. Pengurus Ranting Partai yang meliputi wilayah Desa/Kelurahan.
f. Pengurus Anak Ranting Partai yang meliputi wilayah Dusun/Dukuh/Rukun
Warga/Lorong/Gang/ atau sejenisnya.
4. Kondisi PDI Perjuangan
Kota Surakarta merupakan wilayah kota, sehingga jenjang struktur partai adalah
Dewan Pimpinan Cabang (DPC) sampai dengan Anak Ranting. Berikut data jumlah kantor
sekretariat PDI Perjuangan Kota Surakarta.
Tabel II.1
Data sekretariat PDI Perjuangan Kota Surakarta
No sekertariat Jumlah
1 DPC 1
2 PAC 5
3 Ranting 51
4 Anak Ranting 591
(Sumber : Arsip AD/ART DPC Perjuangan Surakarta)
Dari data tersebut diatas jumlah sekretariat untuk DPC adalah 1 (satu); kantor
sekretariat PAC (Pengurus Anak Cabang) yang bertempat di Jalan Hasanudin No.28
Laweyan, Surakarta. Pada tingkat kecamatan terdapat 5 kantor yaitu PAC Laweyan, PAC
Jabres, PAC Serengan, PAC Pasar Kliwon, PAC Banjarsari. Sekretariat ranting berjumlah 51
yang berada di masing-masing kelurahan di seluruh Kota Surakarta. Jumlah anak ranting
yang tersebar di seluruh Kota Surakarta sebanyak 591 kepengurusan di tingkat RW. Jumlah
RW yang terdapat di Surakarta adalah 595 RW, berarti masih terdapat 4 RW yang belum
terbentuk dalam kepengurusan anak ranting.
a. Data Pengurus DPC PDI Perjuangan Surakarta
Tabel II.2
STRUKTUR PENGURUS DEWAN PIMPINAN CABANG PDIP PERJUANGAN
KOTA SURAKARTA MASA BAKTI 2005-2010
NO NAMA JABATAN
1 FX. Hadi Rudyatmo Ketua
2 Ir. Hariadi Saptono Wakil Ketua Bidang Politik dan Pemenangan pemilu
3 YF. Sukasno Wakil Ketua Bidang Keanggotaan dan Organisasi
4 Supardi Wakil Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi
5 Yayuk Purwani Wakil Ketua Pemberdayaan dan Kesra
6 Windu Winarso, SH Wakil Ketua Bidang Hukum, HAM dan Advokasi
7 Drs. ST. Hendratmo, SH,MM Sekretaris
8 Endah Tyasmini Wakil Sekretaris Bidang Internal
9 Maryuwono, SH Wakil Sekretaris Bidang Eksternal
10 Bambang Wijayanto Bendahara
11 Drs. Teguh Prakoso Wakil Bendahara Bidang Inventarisasi dan Kekayaan Partai
(Sumber : arsip AD/ART DPC PDI Perjuangan Surakarta)
Pada periode 2005-2010 DPC Kota Surakarta dipimpin oleh FX. Hadi Rudyatmo,
yang pada saat ini juga menjabat sebagai Wakil Walikota Kota Surakarta periode 2005-2010
yang berpasangan dengan Ir. Joko Widodo. Dilihat dari susunan struktur organisasi DPC PDI
Perjuangan Kota Surakarta terdiri dari 3 jenjang: a) Ketua; b) Sekretaris; c) Bendahara.
Untuk jenjang ketua langsung membawahi wakil-wakil ketua bidang yang ada di partai yang
berjumlah 5 orang. Sekretaris memiliki 2 orang wakil sekretaris untuk urusan internal dan
eksternal. Sedangkan bendahara memiliki 1 orang wakil untuk membantu pengelolaan
inventarisasi dan kekayaan partai.
b. Data Keanggotaan PDI Perjuangan
Tabel II.3
DATA PERSEBARAN ANGGOTA PDI PERJUANGAN TIAP
KECAMATAN SURAKARTA
No Kecamatan Laki-Laki Perempuan
1 Jebres 9.577 8.340
2 Laweyan 2.884 1.978
3 Serengan 2.442 1.823
4 Pasar Kliwon 4.343 3.163
5 Banjarsari 8.326 7.456
Jumlah 27.572 22.760
(Sumber : sekretariat PDI Perjuangan)
Dalam tabel diatas kita dapat melihat bahwa PDI-P merupakan partai dengan
keanggotaan total lebih dari 50.000 anggota. Jika dilihat dari tabel maka pendukung
terbanyak dari Kecamatan Jebres dengan total 18.897 anggota. Kemudian Kecamatan
Banjarsari berada di tempat kedua dengan anggota sebanyak 15.782 anggota. Kecamatan
Pasar Kliwon dengan jumlah anggota 7.506. sedangkan di wilayah Laweyan, PDI Perjuangan
beranggotakan 4.862 orang. Sementara jumlah paling kecil terlihat di Kecamatan Serengan
yaitu 4.265 anggota.
C. PARTAI GOLONGAN KARYA (GOLKAR)
1. Sejarah Partai Golkar
Organisasi ini didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964 dengan nama Sekretariat
Bersama Golongan Karya atau Sekber Golkar. Sekber Golkar merupakan perhimpunan 97
organisasi fungsional non afilisasi politik yang anggotanya terus berkembang hingga
mencapai 220 organisasi.
Selanjutya sejak pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 GOLKAR terus menerus
berhasil mengemban kepercayaan rakyat dengan memperoleh kemenangan sebagai mayoritas
tunggal. Setelah terjadinya gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa dalam
terjadinya peralihan kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada BJ Habibie maka diadakan
pembaharuan beberapa undang-undang dibidang politik dengan ditetapkan undang-undang
baru tentang partai politik, pemilihan umum, dan susunan dan kedudukan ke MPR, DPR, dan
DPRD.
Untuk menyesuaikan dengan ketentuan baru peraturan tersebut maka pada tanggal 7
Maret 1999 telah dilaksanakan deklarasi Partai Golongan Karya dan sejak saat itu secara
resmi Golkar menegaskan diri menjadi partai politik dalam posisi yang sejajar serta
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan partai politik lain. AD dan ART Partai
Golkar yang baru sudah ditetapkan dalam Munas Luar Biasa pada tanggal 9-11 Juli 1998
bersamaan dengan penetapan berbagai hasil Munas Luar Biasa kiranya sebagai manifestasi
pembaharuan dalam tubuh Golkar untuk tampil sesuai dengan tuntutan dan semangat
reformasi. Berdasarkan hasil Munas Luar Biasa tersebut, DPP Partai Golkar menegaskan
paradigma baru Partai Golongan Karya yang berintikan misi, visi dan platform perjuangan
Partai Golkar dalam era reformasi. Partai golongan karya dalam paradigma baru dan
diringkas sebagai golkar baru pada prinsipnya mengedepankan tema pokok perjuangannya
dengan semboyan : GOLKAR BARU, BERSATU UNTUK MAJU.
2. Arah kebijakan partai golkar
Dalam menyusun dan melaksanakan Program Umum Partai Golkar 2004-2009, Partai
Golkar berpegang pada kebijakan dalam Anggaran Dasar sebagai berikut:
a. Tujuan Partai Golkar
Dalam Anggaran Dasar Partai Golkar, tujuan Partai Golkar adalah
mempertahankan dan mengamalkan pancasila serta menegakan UUD 1945,
mewujudkan cita-cita bangsa sesuai dengan pembukaan UUD 1945, menciptakan
masyarakat adil dan makmur, materiil dan spriritual berdasarkan pancasila dan UUD
1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Visi dan Misi Partai Golkar
Visi Partai Golkar adalah mewujudkan masyarakat indonesia baru yag bersatu,
berdaulat, maju, modern, damai, adil, makmur, beriman dan bertaqwa, berkesadaran
hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam tatanan
masyarakat madani. Golkar memiliki dua misi yaitu menegakan, mengamankan dan
mempertahankan pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara demi persatuan
Indonesia; mewujudkan cita-cita proklamasi melalui pelaksanaan pembangunan
nasional di segala bidang untuk merealisasikan masyarakat yang demokratis dan
berdaulat, sejahtera, adil dan makmur, menegakan supremasi hukum dan menghormati
hak asasi manusia, serta terwujudnya ketertiban dan perdamaian dunia.
3. Jenjang Kepengurusan Partai
Dalam AD/ART Partai Golkar disebutkan, sedikitnya ada 5 jenjang kepengurusan
partai yaitu:
a. Dewan Pimpinan Pusat (DPP) adalah badan pelaksanaan tertingi partai yang bersifat
kolektif.
b. Dewan Pimpinan Daerah Provinsi (DPD Provinsi) adalah badan pelakasaan partai yang
bersifat kolektif di tingkat provinsi.
c. Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten / Kota (DPD Kota/Kabupaten) adalah badan
pelaksaan partai yang bersifat kolektif di tingkat Kabupaten/Kota.
d. Pimpinan Kecamatan adalah badan pelaksaan partai yang bersifat kolektif di tingkat
kecamatan.
e. Pimpinan Kelurahan adalah badan pelaksaan partai yang bersifat kolektif di tingkat
kelurahan.
4. Kondisi Partai Golkar Surakarta
Kota Surakarta yang merupakan wilayah kota sehingga struktur jenjang partai adalah
Dewan Pimpinan Daerah Kota (DPD Partai Golkar Kota Surakarta) sampai dengan Pimpinan
Kelurahan. Berikut data jumlah kantor Sekretariat Partai Golkar Surakarta.
Tabel II.4
Data Sekretariat DPD Golkar Surakarta
No Sekretariat Jumlah
1 DPD 1
2 Pimpinan Kecamatan 5
3 Pimpinan Kelurahan 51
(Sumber : Arsip DPD GOLKAR Surakarta 2009)
Dari data diatas terlihat golkar memiliki jenjang kepemimpinan hanya sampai pada
tingkat Pemimpin Kelurahan/Desa. DPD GOLKAR Surakarta memiliki satu kantor
Perwakilan Kota, 5 Kantor Pimpinan Kecamatan dan 51 Kesekretariatan Pimpinan
Kelurahan/Desa.
a. Kepengurusan DPD GOLKAR Kota Surakarta
Tabel II.5
Data Pengurus DPD Partai GOLKAR Kota Surakarta
Periode 2004-2009
No NAMA JABATAN
1 R.M. Koes Rahardjo Ketua
2 Drs. Bandung joko S, SH Wakil Ketua
3 Kusniah Sardjono Wakil Ketua
4 H. Suroto Mangun, ST Wakil Ketua
5 Dr. HM alaydrus Wakil Ketua
6 Jumadi Joko Santoso, SH Wakil Ketua
7 Ir. Bambang Soehardjanto Sekretaris
8 Drs. Bambang Triyanto, M. Pd Wakil Sekretaris
9 Zaena Mutholib Wakil Sekretaris
10 Drs. Agus nuryanto Wakil Sekretaris
11 Dra. Titi Endah Puji Wakil Sekretaris
12 FL. Irawan Joko, ST Bendahara
13 Sumini Subadio Wakil Bendahara
14 Heru Santoso, B. Sc Wakil Bendahara
( Sumber : Surat Kepuusan DPD Partai GOLKAR Prov Jawa Tengah
No. 14/GOLKAR I/X/2004)
Pada periode 2004-2009 DPD GOLKAR Kota Surakarta dipimpin oleh R.M. Koes
Raharjo, yang merupakan salah satu kerabat Keraton Kasunanan Surakarta. Dilihat dari
susunan struktur organisasi, DPD GOLKAR Kota Surakarta terdiri atas 3 jenjang: a) Ketua;
b) Sekretaris c) Bendahara. Untuk jenjang ketua langsung membawahi wakil-wakil ketua
partai yang berjumlah 5 orang. Sekretaris juga memiliki 5 orang wakil sekretaris. Sedangkan
bendahara hanya memiliki 2 orang wakil untuk membantu pengelolaan inventarisasi dan
kekayaan partai.
b. Data persebaran anggota Partai Golkar Kota Surakarta
DATA PERSEBARAN ANGGOTA DPD GOLKAR TIAP
KECAMATAN DI SURAKARTA
NO KECAMATAN JUMLAH
1 Jebres 1.093
2 Laweyan 2.131
3 Serengan 807
4 Pasar Kliwon 765
5 Banjarsari 1.400
jumlah 6.196
(sumber : Sekretariat DPD GOLKAR)
Dalam tabel diatas kita dapat melihat bahwa Partai Golkar memiliki anggota di
wilayah Surakarta dengan jumlah total 6.196 anggota. Jika dilihat dari tabel maka pendukung
terbanyak datang dari Kecamatan Laweyan dengan total 2.131 anggota. Kemudian
Kecamatan Banjarsari berada di tempat kedua dengan anggota sebanyak 1.400 anggota.
Kecamatan Laweyan dengan jumlah anggota 2131. Disusul Kecamatan Serengan dengan 807
anggota dan Pasar Kliwon yaitu 765 anggota.
D. PARTAI DEMOKRAT
1. Sejarah Partai Demokrat
Partai demokrat didirikan atas inisiatif Susilo Bambang Yudhoyono yang terilhami
oleh kekalahan terhormat Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilihan calon Wakil Presiden
dalam sidang MPR Tahun 2001. Dari perolehan suara dalam pemilihan Cawapres dan hasil
pooling public yang menunjukan popularitas yang ada pada diri SBY, beberapa orang
terpanggil nuraninya untuk membawa SBY menjadi Presiden RI untuk masa mendatang.
Pada tanggal 12 Agustus 2001 pukul 17.00 WIB diadakan rapat yang dipimpin
langsung oleh SBY di Apartemen Hilton. Di lingkungan kantor Menkopolkam juga didakan
diskusi-diskusi untuk pendirian sebuah partai bagi kendaraan politik SBY dipimpin oleh Drs.
A. Yani Wachid (Alm). Pada tanggal 19 Agustus 2001, SBY memimpin langsung pertemuan
yang merupakan cikal bakal pendirian Partai Demokrat. Dalam pertemuan tersebut, Vence
Rumangkang menyatakan bahwa rencana pendirian partai akan tetap dilaksanakan dan
hasilnya akan dilaporkan kepada SBY.
Pada tanggal 10 September 2001 jam 10.00 WIB Partai Demokrat didaftarkan ke
Departemen Kehakiman dan HAM RI oleh Vence Rumangkang, Prof . Dr. Subur
Budhisantoso, Prof. Dr. Irsan Tanjung, Drs. Sutan Bhatogana MBA, Prof. Dr. Rusli Ramli
dan Prof. Dr. RF. Saragih, SH, MH dan diterima oleh Ka SUBDIT Pendaftaran Departemen
Kehakiman dan HAM. Kemudian pada tanggal 25 September 2001 terbitlah Surat Keputusan
Kenkeh dan HAM Nomor M.MU.06.08.-138 tentang pendaftaran dan pengesahan Partai
Demokrat. Dengan surat keputusan tersebut Partai Demokrat telah resmi menjadi salah satu
partai politik di Indonesia dan pada tanggal 9 Oktober 2001 Departemen Kehakiman dan
HAM RI mengeluarkan Lembaran Berita Negara Nomor : 81 Tahun 2001 tentang
pengesahan. Partai Demokrat dan Lambang Partai Demokrat. Selanjutnya pada tanggal 17
Oktober 2002 di Jakarta Hilton Convention Center (JHCC), Partai Demokrat dideklarasikan
dan dilanjutkan dengan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) pertama pada tanggal 18-19
Oktober 2002 di Hotel Indonesia yang dihadiri Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan
Pimpinan Cabang (DPC) seluruh Indonesia.
2. Arah Kebijakan Partai Demokrat.
Dalam menyusun dan melaksanakan program umum Partai Demokrat 2004-2009,
Partai Demokrat berpegang pada kebijakan dalam Anggaran Dasar sebagai berikut:
a. Tujuan
Partai Demokrat sebagai berikut:
1) Menegakkan, mempartahankan dan mengamankan Keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sesuai jiwa proklamasi kemerdekaan.
2) Mewujudkan cita-cita bangsa indonesia, sebagaimana dimaksud dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945.
3) Melakukan segala usaha dan ikhtiar untuk membangun masyarakat Indonesia baru
yang berwawasan nasionalisme, pluralisme, dan humanisme.
4) Meningkatkan partisipasi seluruh potensi bangsa dalam mewujudkan kehidupan
bernegara yang memiliki pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, serta dinamis
menuju terwujudnya Indonesia yang demokratis, sejahtera, maju dan modern, dalam
suasana aman dan penuh kedamaian lahir dan batin.
b. Visi partai
Partai Demokrat memiliki misi bersama masyarakat luas berperan mewujudkan
keinginan luhur rakyat Indonesia agar mencapai pencerahan dalam kehidupan kebangsaan
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, menjunjung tinggi semangat
nasionalisme, humanisme, dan internasionalisme, atas dasar ketaqwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa dalam tatanan dunia baru yang damai, demokratis, dan sejahtera.
c. Misi
Partai Demokrat memiliki misi sebagai berikut:
1) Memberikan garis yang jelas agar partai berfungsi secara optimal dengan peranan yang
signifikan didalam seluruh proses pembangunan indonesia baru yang dijiwai oleh
semangat reformasi serta pembaharuan dalam semua bidang kehidupan
kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan kedalam formasi semula sebagaimana
telah diikrarkan oleh para pejuang, pendiri pencetus proklamasi kemerdekaan
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan titik berat kepada upaya
mewujudkan perdamaian, demokrasi, dan kesejahteraan.
2) Meneruskan perjuangan bangsa dengan semangat kebangsaan baru dalam melanjutkan
dan merevisi strategi pembangunan nasional sebagai tumpuan sejarah bahwa kehadiran
Partai Demokrat adalah melanjutkan perjuangan generasi-generasi sebelumnya yang
telah aktif sepanjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia, sejak melawan penjajah
merebut kemerdekaan, merumuskan pancasila dan UUD 1945, mengisi kemerdekaan
secara berkesinambungan hingga memasuki era reformasi.
3) Memperjuangkan tegaknya persamaan hak dan kewajiban warga negara tanpa
membedakan ras, agama, suku dan golongan dalam rangka menciptakan masyarakat
sipil yang kuat, otonomi daerah yang luas serta terwujudnya representasi kedaulatan
rakyat pada struktur lembaga perwakilan dan permusyawaratan.
3. Jenjang Kepengurusan Partai Demokrat
Tingkatan kepengurusan Partai Demokrat terdiri dari:
a. Tingkat Pusat, disebut Dewan Pimpinan Pusat.
b. Tingkat Provinsi, disebut Dewan Pimpinan Daerah.
c. Tingkat Kabupaten/Kota, disebut Dewan Pimpinan Cabang.
d. Tingkat Kecamatan, disebut Dewan Pimpinan Anak Cabang.
e. Tingkat Kelurahan atau Desa, disebut Dewan Pimpinan Ranting.
f. Tingkat RW/Dusun disebut Pimpinan Anak Ranting.
4. Kondisi Partai Demokrat Surakarta
Kota Surakarta sesuai dengan AD/ART yang berlaku merupakan wilayah kota
sehingga jenjang partai adalah Dewan Pimpinan Cabang (DPC) sampai dengan Anak
Ranting. Berikut data jumlah kantor sekretariat DPC Partai Demokrat.
Tabel II.7
Data Sekretariat Partai Demokrat Kota Surakarta
No Sekretariat Jumlah
1 DPC 1
2 PAC 5
3 Ranting 51
4 Anak Ranting 595
(sumber : Arsip DPC Partai Demokrat Surakarta)
Dari data diatas jumlah sekretariat untuk DPC adalah 1 (satu) ; Kantor Sekretariat
PAC (Pengurus Anak Cabang) yang bertempat di jalan Setiabudi no.113 Mangkubumen,
Banjarsari, Surakarta. Pada Tingkat Kecamatan terdapat 5 kantor yaitu PAC Laweyan, PAC
Jebres, PAC Pasar Kliwon, PAC Banjarsari, PAC Serengan. Sekretariat Ranting 51 yang
berada di masing-masing kelurahan di seluruh Kota Surakarta. Jumlah anak ranting yang
tersebar di seluruh Kota Surakarta sebanyak 595 kepengurusan di tingkat RW. Sekretariat
Anak Ranting bersifat informal.
a) Data Pengurus DPC Partai Demokrat Surakarta
Tabel II. 8
STRUKTUR PENGURUS DEWAN PIMPINAN CABANG PARTAI DEMOKRAT
KOTA SURAKARTA MASA BAKTI 2007-2012
NO Nama Jabatan
1 Dr. KP. Eddy S. Wirabhumi Ketua
2 Supriyanto Sekretaris
3 Drs. H. Salimin, MM Bendahara
4 Satya Graha, SH Wakil Ketua Keanggotaan dan Kaderisasi
5 Dra. Wahyuning C, M. Si Wakil Ketua Pendidikan dan peningkatan SDM
6 Eko Srinardjo Wakil Ketua UKM, Perindustrian dan Perdagangan
7 Guntur Taufik Irawan Wakil Ketua Pemuda, Olahraga dan kominfo
8 Hj. Hadijah Ulfa Wakil Ketua Agama dan Aliran Kepercayaan
9 Sri Widaningsih Wakil Ketua Energi dan SDA
10 Pratihkno, SH Wakil Ketua Pemda dan Pertanahan
11 Ary Nuryandhani, S. Pd Wakil ketua pariwisata dan Kebudayaan
12 Dyah Liestriningsih, SH Wakil ketua HAM, Buruh, Tani dan Tenaga Kerja
13 Reny Widyawati, SE Wakil Ketua Pemberdayaan Perempuan
Pada periode tahun 2005-2010 DPC Partai Demokrat Surakarta dipimpin oleh Dr. KP.
Eddy S. Wirabhumi, yang juga salah satu kerabat di Keraton Surakarta. Di lihat dari susunan
struktur organsasi DPC Partai Demokrat Surakarta terdiri dari 3 jenjang: a)Ketua ;
b)Sekretaris; c) Bendahara. Untuk jenjang ketua langsung membawahi wakil-wakil bidang
partai yang berjumlah 10 orang. Sekretaris memiliki 10 orang wakil sekretaris untuk urusan
internal dan eksternal. Sedangkan bendahara memiliki 8 orang wakil untuk membantu
pengelolaan inventarisasi dan kekayaan partai.
b) Data persebaran anggota DPC Partai Demokrat Surakarta
Tabel II.9
Data Persebaran Anggota Partai Demokrat Surakarta
No Kecamatan Jumlah
1 Jebres 3.100
2 Laweyan 3.889
3 Serengan 3.600
4 Pasar Kliwon 2.468
5 Banjarsari 2.990
jumlah 15.957
(sumber : Sekretariat DPC Partai Demokrat Surakarta)
Dalam tabel diatas kita dapat melihat bahwa DPC Partai Demokrat Surakarta
merupakan partai dengan anggota terbesar ke dua di wilayah Surakarta setelah PDI
Perjuangan dengan jumlah total 15.957. jika dilihat dari tabel maka pendukung terbanyak
datang dari Kecamatan Laweyan dengan total 3.889 anggota. Kemudian Kecamatan Serengan
berada di tempat kedua dengan anggota sebanyak 3.602 anggota. Kecamatan Jebres dengan
jumlah anggota 3.101. Disusul Banjarsari 2.910 orang dan Kecamatan Pasar Kliwon 2.468
orang.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa dalam perkembangan
demokrasi di Indonesia banyak terjadi perubahan-perubahan. Perubahan yang terjadi tidak
hanya dari sistem pemerintahan yang sedang berjalan, tetapi juga penerapan cara-cara baru
komunikasi politik oleh partai politik dalam menggalang massa. Salah satu cara terbaru
komunikasi politik yang dimaksud adalah iklan politik. Iklan politik dirasa merupakan cara
yang mampu menjawab bagaimana cara menciptakan citra dan mempengaruhi emosi calon
pemilih. Dalam politik saat ini, citra politik seorang tokoh, yang dibangun melalui media
massa seakan menjadi mantra yang diyakini mampu mempengaruhi calon pemilih. Melalui
media massa pula, maka persepsi, pandangan dan sikap politik masyarakat dibentuk bahkan
dimanipulasi.
Salah satu yang menarik untuk dikaji disini adalah persepsi partai politik yaitu
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Demokrat dan Partai Golongan Karya
terhadap iklan politik pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Boediyono versi Indomie di televisi pada Pemilu tahun 2009. Ketiga partai
politik tersebut merupakan tiga dari lima besar partai politik di Kota Surakarta. Untuk lebih
lanjut, persepsi dari tiga partai (PDI Perjuangan, GOLKAR dan Partai Demokrat) dapat
terlihat dari hasil penelitian berikut.
A. Persepsi Partai Politik Terhadap Iklan Politik
Iklan politik merupakan bagian dari komunikasi politik. Dikatakan begitu karena ia
sanggup menghubungkan partai politik dengan masyarakat, terutama calon pemilih tentang
pesan-pesan politiknya. Iklan politik lewat media televisi juga disebut-sebut sebagai wadah
penyebaran pesan politik yang cukup efektif dan modern. Ini disebabkan, sebagian besar
masyarakat indonesia saat ini memang sudah mengkonsumsi siaran televisi. Media iklan juga
sering dikatakan menjawab persoalan masa lalu bahwa kampanye politik tidak harus
menggunakan pengerahan massa besar-besaran.
Dalam penelitian penulis di lapangan, partai politik cenderung memiliki pengertian
yang sama dalam menterjemahkan iklan politik. Menurut PDI Perjuangan iklan politik
banyak diartikan secara sederhana sebagai iklan yang berisi pesan-pesan politik. Berikut
pengertian iklan politik menurut FX Hadi Rudiatmo, Ketua Umum PDI Perjuangan Kota
Surakarta.
“Menurut saya iklan politik merupakan salah satu alat komunikasi politik untuk menyampaikan pesan tentang politik. Hanya saja iklan politik seharusnya dipahami tidak sekedar jualan politik lho. Karena iklan politik mempunyai tanggung jawab mengenai isu-isu sosial dan bangsa daripada sekedar iklan. Semacam lebih cenderung mirip iklan layanan masyarakat lah daripada iklan komersil.”
Penekanan dari pengertian diatas bahwa iklan politik mempunyai tanggung jawab
dalam mengangkat isu sosial dan kebangsaan. Semacam dalam pengertian bahasa iklan, tidak
seharusnya dalam iklan politik bersifat hard sell saja. Beberapa materi iklan politik di
indonesia memang mempunyai kecenderungan bersifat langsung pada ajakan untuk memilih
nomor atau sombol tertentu. Padahal menurut pengertian yang dimaksud Rudi, iklan politik
harus membangun kecerdasan masyarakat lewat usaha mengangkat isu-isu sosial dan
kebangsaan serta menawarkan solusinya.
Sementara itu pengertian iklan politik menurut Dr. KP. Eddy S. Wirabumi, Ketua
DPC Partai Demokrat Kota Surakarta adalah sebagai berikut.
“Iklan yang menawarkan hal-hal yang berkaitan dengan politik. Tidak harus orang atau partai lho. Bisa juga berupa gagasan atau ide. Semacam iklan anjuran untuk tidak golput itu
iklan politik lho. Jangan hanya diartikan iklan cuman partai dan individu yang mencalonkan diri menjadi pemimpin tok.”
Senada dan hampir sependapat juga diungkapkan RM. Koes Rahardjo, Ketua DPD
Partai Golkar Kota Surakarta.
“Adalah iklan yang berisi tentang hal yang bersangkutan dengan kehidupan politik. Misalnya tentang partai poltik, pemilihan kepala daerah dan pemilihan wakil rakyat.”
Berdasar dari pemaparan diatas, iklan politik secara definisi memang diartikan
penyampaian pesan-pesan politik melewati media komunikasi guna mencapai tujuan politik.
Penggunaan iklan politik juga selain digunakan aktor politik juga merupakan sarana
penyampaian ide-ide atau gagasan-gagasan politik.
Sudut pandang pengertian ini juga mengungkapkan bahwa iklan politik tidak harus
berasal dari orang atau partai yang ingin dipilih. Pengertian iklan politik terlihat diperluas
dengan memberi contoh bahwa iklan anjuran untuk tidak Golput pun sudah menjadi iklan
politik. Ini didasarkan bahwa iklan anjuran untuk tidak Golput pun berisi pesan dan
penginformasian politik. Sehingga masuk dalam kategori iklan politik juga.
Iklan politik yang ditunjukan kepada masyarakat selanjutnya tentu saja mendapat
tanggapan. Menjadi menarik karena tentu saja bila pesan yang ingin disampaikan dari pihak
komunikator dalam hal ini calon aktor politik ternyata mendapat persepsi yang berbeda
dengan masyarakat yang menyaksikan. Oleh karena itu dalam membuat iklan, biasanya
digunakan jasa bantuan tim kreator pembuat iklan.
Bukan hal yang aneh bahwa dalam beriklan selalu digunakan tim kreator yang
berfungsi membuat iklan. Fungsi dari kreator ini tentu saja untuk membuat iklan yang
menarik, kreatif dan tentu saja pesannya dapat ditangkap oleh penonton. Jadi ada
kesepahaman dengan maksud si pembuat iklan. Kendati dalam pembuatannya sudah
dikonstruksi oleh tim kreatif iklan, tetap saja terjadi perbedaan persepsi antara individu satu
dengan yang lain. Bahkan tidak jarang persepsi yang terjadi di masyarakat ternyata tidak
sebangun dengan kreator iklan.
Selanjutnya menjadi menarik untuk dibahas mengenai bagaimana sebetulnya
persepsi partai politik terhadap iklan politik. Disini dipaparkan partai politik karena partai
politik adalah pihak yang intens dalam kegiatan politik. Jadi dalam menyimak sebuah iklan
politik tentu akan ada analisa yang didasari logika politik. Berikut selanjutnya akan
dipaparkan poin demi poin persepsi partai politik terhadap iklan politik.
a. Tidak Realistis
Partai politik melihat iklan politik cenderung tidak realistis dalam materi isinya.
Seluruh narasumber Partai Golkar dan PDI Perjuangan membenarkan hal itu. Menurut
mereka kecenderungan yang sama juga dapat dilihat dari iklan produk komersil, bahwa
dalam kenyataan sering tidak sama dengan cantuman dalam iklan. Hal ini menjadi dilematika
dalam iklan politik di indonesia. Bahwa pencantuman hal yang tidak realistis sering membuat
masyarakat menjadi jengah dan kurang tertarik lagi menyimak iklan politik.
Namun narasumber dari Partai Demokrat menyanggah hal itu. Berikut petikan
wawancara dengan Wirabumi, Ketua DPC Partai Demokrat Kota Surakarta
”Sering iklan politik secara umum tidak semuanya tidak realistis, mencantumkan hal yang bersifat retorika dan normatif. Tidak semuanya, memang ada yang tidak realistis. Beberapa ada yang berangkat dari data dan fakta. Seperti dari Iklan partai Demokrat. Selalu berdasarkan data dan hasil di lapangan. Untuk di negara maju, iklan politik menjadi alat yang ampuh untuk mempengaruhi pemilih. Disana iklan merupakan cara penginformasian politik bagus, efektif dan aman. Iklan politik kan solusi komunikasi poltik tidak harus dalam bentuk berkumpulnya massa yang sering diikuti pawai konvoi.”
Partai Demokrat melihat, iklan politik dipersepsikan oleh masyarakat seperti tidak
realistis memang merupakan hal yang wajar. Mengingat iklan politik di indonesia memang
hal yang masih baru. Dalam proses pembelajaran demokrasi, indonesia baru melakukan
pemilihan umum presiden secara langsung baru sejak tahun 2004. Sehingga proses
pembelajaran demokrasi masih butuh waktu untuk dimaklumi. Seperti diungkapkan
Wirabumi kembali berikut ini.
”Komunikasi politik dalam bentuk iklan politik kan baru sejak beberapa tahun terakhir. Jadi proses pembelajarannya masih awal. Sehingga perlu ditolerir bila masih ada kesalahan disana-sini. Pemilu presidan langsung saja baru sejak 2004 kemarin ya tho. Untuk sesuatu yang baru memang butuh waktu.”
Ketika penulis menayakan lebih dalam mengenai iklan politik Partai Demokrat,
bagaimana bila juga dipersepsikan oleh masyarakat termasuk iklan yang memasukan hal
tidak realistis. Pihak Partai Demokrat memilih jawaban diserahkan pada persepsi masyarakat
masing-masing.
”Hal yang wajar dalam politik bila partai lawan menganggap iklan kami tidak jujur. Itu hal yang biasa dalam politik. Kita serahkan pada persepsi masyarakat. Yang jelas pemerintahan dibawh SBY memang telah bekerja semampu mungkin. Untuk selanjutnya kita memohon dukungan bersama agar masalah-masalah bersama dan kekurangan yang belum-belum dapat diatasi bersama-sama. Saya pikir masyarakat bisa melihat kok. Kenyataanya kepercayaan masyarakat pada SBY masih tinggi. Sehingga terpilih lagi.”
Sementara itu narasumber dari PDI Perjuangan melihat bahwa iklan politik pada
dasarnya merupakan proses yang mengelabui pemilih. Banyak dari iklan politik berisi hal
yang tidak realistis. Menurut mereka konten isi sering berlawanan dengan kenyataan. Berikut
petikan wawancara dengan Hendratno, Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Surakarta.
”Sebelumnya ada perbedaan pengertian antara iklan politik dan informasi. Nah seharusnya, iklan politik ini masuk dalam kategori informasi. Informasi keberhasilan, bukan iklannya. Karena bila sudah berkaitan iklan pasti isinya yang bagus-bagus saja. Tapi yang penting apa yang sudah anda capai. Jadi ini informasi lebih tepat menurut saya daripada disebut iklan. Jadi informasi ini jujur antara keberhasilan yang sudah diraih dengan kekurangan selama ini yang belum. Yang namanya iklan kan semua kecap nomor satu. Ga da kecap nomor dua itu gak ada. Nah ini bohong ini namanya menyesatkan masyarakat. Dan intinya bila tidak sesuai dengan yang dijanjikan di iklan menurut saya pasti pemilih akan tahu. Dan tidak akan memilih untuk pemilihan selanjutya.”
Hal yang digarisbawahi dari pernyataan diatas adalah, pada dasarnya iklan memang
bertujuan meyakinkan pemilih. Sehingga menjadi hal yang mungkin terjadi adalah
penggunaan cara seperti klaim bahwa dirinya nomor satu seakan menjadi sesuatu yang wajar.
Sementara menurut Sukasno, Wakil Ketua PDI Perjuangan Kota Surakarta, iklan
politik memang pada dasarnya sering memanipulasi dari keadaan sebenarnya. Sehingga
menjadi hal yang sulit saat ini untuk mencari iklan politik yang jujur. Seringnya pesan dari
iklan politik cenderung berisi pesan normatif yang memberi harapan berlebihan kepada
masyarakat namun susah dalam implementasinya.
“Sulit untuk mencari iklan yang jujur dan apa adanya. Sebagian merupakan bentukan dari tim kreatif iklan ya tho. Kadang secara gambar saja yang kurang ditambah-tambahi. Apalagi pesan-pesan dan isi iklannya. Terlalu sempurna menurut saya. Lihat saja iklan SBY yang seakan-akan mencitrakan dirinya orang yang hebat banget. Seakan-akan semua jalan dipakai untuk menarik pemilh. Termasuk mengelabui pemilih gak peduli.”
Hal mendasar yang ditarik dari pernyataan Sukasno adalah hampir dari iklan politik di
indonesia berisi hal yang tidak jujur. Mulai dari tampilan visual hingga isi pesan iklan
merupakan hasil permak. Sehingga yang hadir dalam ranah kehidupan masyarakat adalah
visualisasi kebohongan yang hadir dalam setiap kehidupan. Dalam media massa, di jalan-
jalan, bahkan di depan rumah mereka masing-masing.
Hal ini bila benar, tentu menyalahi etika dalam beriklan. Seperti halnya iklan
komersial, persepsi khalayak menjadi parameter atas benar-salah atau baik-buruk suatu iklan
politik. Suatu iklan dianggap melanggar etika manakala persepsi yang ditimbulkannya tidak
sesuai dengan nilai-nilai yang dianut khalayak tersebut. Indonesia juga dapat menggunakan
rujukan baku yang ada, karena di seluruh dunia menerapkan prinsip-prinsip etika yang
berlaku secara universal. Prinsip-prinsip itu adalah iklan harus jujur bertanggungjawab dan
dibangun atas dasar kebenaran81.
Menjadi lebih menarik ketika selanjutnya penulis mencoba lebih dalam mengetahui
mengenai bagaimana sebetulnya iklan yang memenuhi standar jujur menurut PDI
Perjuangan. Berikut pernyataan dari Hendratno.
“Mengakui apa yang sudah dikerjakan, bisa yang baik-baik itu apa yang sudah dikerjakan, dan mengakui apa yang belum. Selama ini yang belum itu ga pernah diucapkan atau diakui. Itu kalo terkait iklan SBY yang saya lihat. Jadi jujur, apa adanya dan konsekuen lah. Itu jujur yang dalam pegertian sederhana lho. Belum jujur menurut agama. Lebih berat lagi tentunya. Nah sekarang ini jujur yang sederhana saja dalam iklan politik sudah menjadi hal yang jarang kita lihat.”
81 Setiyono Opcit hal 351
Selanjutnya menurut partai golkar, iklan poltik memang cenderung ada unsur tidak
realistis dalam penyampaiannya ke masyarakat. Wujud tidak realistis itu dalam kacamata
Partai Golkar terlihat dalam pemaparan program dalam iklan politik sering hanya sekedar
menebar harapan yang mengada-ada.
“Tidak ada kenyataanya. Bagai angin surga saja menurut saya. Program-programnya kok sering tidak realistis. Pendidikan gratis misalnya apanya yang gratis lawong biaya pendidikan pada kenyatannya malah naik. Sembako murah misalnya, apa nanti tidak justru malah menyengsarakan petani. Masalah beras saja begitu rumit. Pupuk begitu mahal, harga jual rendah, masalah infrastruktur irigasi juga terbengkalai bagaimana kok bisa murah dalam seratus hari. Ini kan tidak realistis.”
Pemaparan diatas memberikan gambaran bahwa beberapa iklan politik cenderung
menggunakan program yang normatif dan dalam iklan sering tidak dijelaskan bagaimana cara
program itu bisa menjadi dapat diimplementasikan di lapangan. Informan Partai Golkar
mengungkapkan, penggunaan cara-cara seperti itu seharusnya tidak dilakukan. Karena
akibatnya rakyat menjadi tidak percaya lagi terhadap iklan politik. Padahal menurut Partai
Golkar penggunaan iklan politik merupakan cara yang baik untuk memberikan informasi dan
melakukan pendidikan politik.
“Angka Golput kan tinggi ya, ini kan kalau dicermati tidak masalah di kartu pemilih tapi masalah kepedulian. Nah iklan politik ini seharusnya manjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Memberikan informasi lewat iklan itu murah tho. Lawong setiap keluarga punya televisi. Jadi bila iklan itu baik kan bisa memberikan info yang meningkatkan kepedulian politik. La iya to daripada harus bolos kerja untuk dengar visi dan program calon presiden dengan kampanye di lapangan kan mendingan melihat iklan poltik lewat televisi. Tapi kalo iklannya gak bener ya masyarakat jadinya kalau ada iklan mendingan diganti chanel-nya.”
Hal mendasar yang ditarik dari pernyataan diatas adalah iklan politik sebetulnya
merupakan media yang bagus untuk menawarkan visi, misi dan program kepada calon
pemilih. Namun, sering dalam tampilannya justru tidak realistis yang berakibat calon pemilih
menjadi kehilangan referensi pilihan dalam Pemilu.
b. Membentuk Citra
Partai politik mengamati iklan politik yang ditayangkan sering memperlihatkan citra
dari pengiklan merupakan citra bentukan. Hal ini menunjukan, iklan politk digunakan untuk
membentuk citra dari partai, caleg atau calon presiden saja.
Ini sependapat dengan Firmanzah dalam Marketing Politik, bahwa dalam marketing
politik, gagasan mengenai image politik sangat penting. Marketing politik adalah serangkaian
aktivitas untuk menanamkan image politik di benak masyarakat dan meyakinkan publik
mengenainya.82 Pada akhirnya semua hal yang dilakukan partai politik adalah mendefinisi
dan mendefinisi ulang image yang telah ada. Seperti juga berdasar hasil riset dari Falkow dan
Cwalian Kaid, iklan politik berguna untuk membentuk citra dan sikap emosional terhadap
kandidat.83
Narasumber dari PDI Perjuangan dan Partai Golkar membenarkan bahwa iklan
berguna dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap kandidat atau partai politik. Iklan
adalah proses pembentukan citra. Namun Partai Demokrat melihat wacana citra dalam iklan
pada dasarnya tidak bisa dipaksakan. Menolak dari pendapat dua partai lainnya, citra yang
tampil dalam iklan bila hasil bentukan, masyarakat pasti akan tahu. Selanjutnya tidak akan
mengikuti ajakan memilih.
“Kalo citra itu dibuat-buat masyarakat pasti bisa tahu mas. Masyarakat kita sekarang ini pinter-pinter. Malah taruhannya besar menurut saya. Dicitrakan baik bila masayrakat menilai lain malah bisa jadi bahan guyonan partai lain lho. Akhirnya malah gak jadi kepilih.”
Selanjutnya dituturkan pula bahwa pembentukan citra dalam iklan politik merupakan
sebuah proses yang berlangsung lama. Orang yang dicitrakan baik, memang sudah pada
dasarnya masyarakat sebelumnya mengenal dia baik. Partai yang dicitrakan peduli kepada
masyarakat, pasti pada awalnya sudah dikenal pula oleh rakyat pernah menolong dalam
waktu-waktu sebelumnya.
“Dalam bahasa jawa ada pepatah, wong nandur kui ngunduh. iklan itu tidak membentuk citra. Bila sudah dikenal baik sebelumnya tanpa beriklan pun orang akan mengenal kita baik.
82 Firmanzah, Opcit hal 232 83 Setiyono Opcit. Hal 346-347
Karena pada awalnya sudah mengenal. Parta juga lho. Ada yang mengatakan baik karena memang sudah ada karya yang dikenal dan bermanfaat bagi masyarakat. Tidak bisa mas, Kita iklan terus langsung terbentuk citra.”
Dibenarkan pula oleh Budi Riyanto, Ketua Bapilu DPC Partai Demokrat Kota
Surakarta, Iklan poltik tidak bisa membentuk citra. Tapi iklan politik diperlukan dalam
komuniksi politik modern saat ini. Hanya saja ditambahkan oleh Budi, memang bisa saja
masyarakat karena melihat iklan menjadi pada tingkat terpengaruh. Tapi untuk menjadi
memilih tentu diperlukan aksi nyata yang menyentuh meraka.
“Iklan itu semacam hal yang perlu mas. Tapi bukan terpenting. Membentuk citra itu harus dengan datang ke masyarakat dan menjawab semua kesulitan meraka dengan pengabdian. Itu mas namanya membentuk citra yang sebenarnya. Bukan melalui iklan saja. Masyarakat tentu akan memilih yang pernah mengerti mereka. Bukan karena pernah melihat saja di televisi.”
Pernyataan diatas menunjukan bahwa Partai Demokrat melihat iklan tidak tidak
relevan dengan pembentukan citra. Bahwa iklan kendati banyak dan deras menghantam
masayarakat, bila tidak didukung jaringan akar rumput di masyarakat akan cenderung seperti
angin lalu.
Ketika penulis menanyakan lalu bagaimanakah usaha yang dilakuakan oleh orang
atau partai yang baru pertama ikut dalam kompetisi? Apakah masyarakat sudah mengetahui
karyanya dan bagaimana menyampaikan visi dan misinya. Dan apakah salah menggunakan
iklan sebagai media membentuk citra diri di masyarakat? Partai Demokrat lewat pernyataan
Wirabumi menjawab bahwa tentu akan ada usaha-usaha yang dipikirkan oleh tim kampanye
guna membuat citra di masyarakat. Sedangkan untuk jawaban jelasnya wirabumi mengatakan
tidak dalam kapasitasnya menjawab pertanyaan itu.
Sementara itu Partai Golkar membenarkan kecenderungan bahwa iklan politik
berfungsi membentuk citra. Setiap kali melihat kemasan iklan politik di berbagai media
massa sang tokoh selalu dicitrakan berpendidikan tinggi, religius, santun, murah senyum, dan
ramah. Sang tokoh laksana malaikat pembawa warta gembira penuh kedamaian dan
kebijaksanaan. Sang tokoh seperti manusia dermawan yang selalu membantu yang lemah.
Sang tokoh menjadi juru selamat yang akan menyelesaikan semua masalah. Seperti berikut
petikan pernyataan dari Koes Rahardjo, Ketua DPD Partai Golkar Kota Surakarta.
“Dalam kemasan tayangan iklan poltik sang tokoh selalu terlihat merakyat. Blusukan di pasar tradisional dan pemukiman kumuh di pinggiran kota. Menyapa wong cilik penuh perhatian. Berbaur dengan masyarakat pedesaan dan warga miskin. Disana digambarkan, sang tokoh bersama penggiringnya ikut merasakan denyut kehidupan yang serba opo enenge. Iklan politik mesti ngono-ngono rata-rata.”
Koes kembali menambahkan, Ketika kita menyaksikan iklan poltik yang bertebaran
di berbagai jagad media, sebenarrnya kita sedang melihat upaya keras para Caleg dan
kandidat presiden mengkomunikasikan politiknya sebagai kenyataan yang tidak sebenarnya.
Dikatakan kenyataan yang tidak sebenarnya karena bila pengiklan politik menjual citra
dirinya yang sebenarnya, dirasa tidak mampu mendongkrak popularitas dan perolehan suara
di pertarungan pemilu.
Oleh sebab itu, untuk memenangkan pertarungan dibutuhkan realitas bentukan yang
sering disebut pencitraan diri. Realitas kedua ini tentu kadang tidak sesuai dengan kenyataan
yang ada.
“Gaung dari tetabuhan itu ditandai dengan upaya para caleg dan kandidat presiden berlarian menarik massa, lalu bagaimana caranya? Tentu saja dilakukan dengan cara instan. Kenapa instan? Dikarenakan para caleg dan kandidat preesiden tidak dikenal rakyat. Oleh karena itu upaya instan yang dilakukan guna mengakomodasi pencitraan dirinya, maka satu-satunya jalur lewat iklan poltik. Mereka berpendapat bahwa berbagai media iklan diyakini mempunyai kekuatan super. Ya tapi benar lho media massa sekarang itu pengeruhnya besar banget.”
Hal senada diungkapkan pula oleh Taufiqurahman, Wakil Sekretaris DPD Partai
Golkar Kota Surakarta.
“Tampilan iklan politik kemudian dipenuhi dengan proses pencitraan yang serba sempurna. Tampilan iklan poltik sejenis itu sudah menjadi rahasia umum, karena diyakini mampu memperkenalkan diri mereka di hadapan rakyat. Apalagi di Pemilu 2009 ini para caleg terbuai guyup pemilihan langsung. Mereka merasakan bak kaum selebritas yang ganteng, gagah, cantik, cerdas, santun, agamis, dan berbagai keunggulan lain. Dalam pemikiran mereka dengan memasang wajah mereka sebanyak mungkin para pemilih akan tertarik menjatuhkan pilihan pada dirinya.”
Dituturkan lagi oleh Taufiqurahman, oleh beberapa kalangan, kemudian semua itu
dianggap wajar dan manusiawi. Karena menurutnya karakteristik iklan politik memang
didedikasikan untuk memunculkan citra diri para caleg sesempurna mungkin. Secara teoritis
iklan poltik diposisikan sebagai media penyampai pesan verbal dan visual dari para caleg
kepada calon pemilih.
Sementara itu Partai PDI Perjuangan Kota Surakarta melihat dalam banyak iklan
politik banyak berguna untuk membentuk citra dari pengiklan. PDI Perjuangan meilhatnya
hal ini seperti juga terjadi dalam iklan produk komersiil. seluruh narasumber PDI Perjuangan
beranggapan bahwa iklan politik dapat merekonstruksi citra dan sikap emosional terhadap
kandidat. Berikut pernyataan Rudi.
“Masa kampanye singkat kan mas. Jadi momen itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Nah iklan poltik merupakan media yang pas menjawab itu semua. Melihat efek dari media kan luas. Sehingga para calon menggunakan media untuk mengakomodasi pencitraan dirinya. Apalagi media televisi. Setiap rumah saat ini uwes duwe televise. Bahkan saben sore mesti nonton. Ya tho?”
Pernyataan serupa juga diungkapkan Hendratno. Mengenai iklan politik yang sering
berguna untuk membentuk citra kontestan.
“Iklan politik ya kalo menurut saya, bisa menggiring emosi pemilih untuk memilih dirinya. Karena dalam iklan itu kan figur pengiklan seperti dibentuk oleh tim kreatif iklan mas. Bahwa dirinya baik, santun, bertanggung jawab, mampu menyelesaikan masalah-masalah di masyarakat, wes pokoke sing apik-apik lah.”
PDI Perjuangan menafsirkan pembentukan citra dapat diartikan dalam 2 pengertian.
Pertama menyangkut pihak yang belum dikenal dalam masyarakat. Iklan dapat berguna
dalam proses membentuk citra dan emosi pemilih tetang calon kontestan politik dari awal.
Seperti perkenalan dalam bahasa umumnya, menimbulakan kesan pertama. Saat-saat pertama
inilah yang coba dibentuk citranya sebaik mungkin dalam iklan politik yang ditayangkan.
Kedua, merekonstruksi citra. Ini menjadi mungkin bila masyarakat telah mengenal
calon konstestan lebih dulu. Jika citra yang didapat dari masyarakat juga tidak begitu baik,
maka yang dilakukan adalah iklan yang ditayangkan berisi upaya merekonstruksi ulang citra
yang ada di masyarakat. Seperti diungkapkan Sukasno berikut.
“Membentuk citra itu ada dua. Bila calon atau partai politik baru berkompetisi untuk yang pertama kalinya, iklan politik digunakan media kulonuwun. Ini kan saat-saat pertama jadi digunakan
membuat citra sebaik mungkin di masyarakat. Seperti kita kalo lagi ketemu pertama kan diusahakan berpenampilan sebaik mungkin, semanteb mungkin. Nah setelah itu untuk mereka yang sudah pernah berkompetisi dan citra di masyarakat belum begitu bagus, yaa butuh iklan juga untuk meyakinkan pemilih tho kalo dirinya sudah baik dan tidak seperti dulu lagi. Jadi semacam membentuk citra yang baru di masyarakat. untuk iklan politik capres kemarin yang menggunakan pencitraan baru bisa diihat di iklan Yusuf Kalla kemarin.”
Selanjutnya Sukasno menerangkan, untuk wujud pencitraan yang efektif kadang
secara tidak sungkan para kontestan politik berupaya menunjukan ke masyarakat dirinya juga
ikut merasakan penderitaan mereka. Adegan seperti ikut memakan nasi aking, menyambangi
petani di sawah, terjun di pesisir pantai menemui nelayan adalah sebagian contoh. Kendati
hal itu tidak dilakukan lagi ketika dirinya sudah terpilih menjadi wakil rakyat.
c. Membantu Meningkatkan Keterkenalan
Iklan politik dengan penyampaian pesan yang kreatif dan persuasif menjadi pilihan
yang sangat efektif untuk membangun perhatian dan minat serta membangun target audience
secara massal melalui media. Selain itu, iklan politik dibutuhkan untuk meningkatkan
awarness pemilih kepada calon legislatif dan calon presiden yang berlaga dalam perhelatan
Pemilu 2009.84
Seluruh informan dari partai poltik membenarkan bahwa iklan politik sanggup
meningkatkan keterkenalan di mata masyarakat. Terutama bagi mereka yang baru
berkompetisi untuk pertama kali tentu membutuhkan media guna mengakomodasi
kepentingannya.
Seperti dituturkan Sukasno, dirinya menerangkan kenapa harus memperkenalkan
diri? Apakah selama ini tidak dikenal? Tentu saja sampai dengan mereka nyaleg, para caleg
yang terhormat tidak pernah dekat dengan rakyatnya. Jalan pintas menurutnya, iklan politik
kemudian dimitoskan sebagai cara instan untuk memperkenalkan diri pada rakyat.
“Iklan dibutuhkan paling tidak untuk meningkatkan keterkenalan. Ini bisa dilihat dari kasus pemilu kemarin kan yang mencalonkan banyak. Dan tidak dari semua itu kan sudah dikenal. Jadi ya perlu lah beriklan.. Setidaknya untuk kulonuwun bahasanya. Jadi masyarakat mempunyai referensi. Namun untuk turun langsung dan berkomunikasi itu lebih menjadi
84 Sumbo Tinarbuko, Opcit hal 58.
kewajiban. Kalo iklan tok kan orang gak percaya mas. Lawong orang sekarang itu pinter-pinter.”
Menurut Sukasno, keberadaan iklan politik merupakan langkah pendukung selain
tentu saja harus turun langsung menemui masyarakat. Iklan politik menurut Sukasno adalah
jalan pintas dikarenakan kemampuannya yang mampu menjamah masyarakat hingga pelosok
pedalaman. Hal itu dikarenakan menurutnya, waktu yang terbatas tentu saja akan membatasi
kemampuan dari calon kontestan pemilu untuk menemui seluruh masyarakat.
Pandangan Sukasno hampir sependapat dengan Sekretaris Partai Demokrat,
Suprianto, bahwa iklan dirasa mampu meningkatkan keterkenalan di masyarakat. Tidak
hanya bagi yang baru pertama, iklan dirasa juga merupakan sesuatu yang cukup penting
dalam menjaga pemilih agar tidak tertarik kepada calon lain.
Komunikasi modern menurut Supriyanto, Pada akhirnya menuntut mereka untuk
harus beriklan. Berdasarkan pengalaman, mereka yang tidak beriklan kehilangan satu langkah
lebih cepat dalam upaya merayu pemilih. Dikatakan kalah cepat karena mungkin iklan
memang tidak mampu secara pasti menaikan angka pasti memilih namun, mampu membuat
calon aktor politik menjadi dipertimbangkan dalam keputusan memilih.
Dalam keyakinan Supriyanto, Hal ini menjadi penting mengingat persaingan dalam
komunikasi politik begitu berat, masyarakat sendiri juga dalam kehidupannya mulai tidak
menyukai komunikasi poltik tradisional yang dilakukan dalam bentuk pawai dan
pengumpulan massa. Sebagian dari mereka menilai hal itu tidak produktif dan kadang dalam
pelaksanaannya cenderung chaos.
“Iklan politik menjawab kebutuhan itu. Yang beriklan butuh terkenal dan masyarakat juga sekarang tidak suka model kampanye seperti dulu. Apalagi masyarakat sekarang konsumsi terhadap media kan besar. Ini sebuah peluang kalau bisa kita manfaatkan.”
Sementara menurut partai Partai Golkar, iklan memang dibutuhkan untuk menaikan
kepopuleran. Melalui koes raharjo, golkar berpendapat, iklan poltik dalam menaikan
keterkenalan, membutuhkan Tim kreatif dan konsultan periklanan. Ini dikarenakan, iklan
politik membutuhkan perhatian yang lebih dari sekedar iklan biasa.
Dipaparkan oleh Koes, arus yang begitu deras saat ini membuat hal yang ditangkap
oleh masyarakat adalah hal-hal yang berbeda dan mudah diingat. Jadi, tidak semua pesan
yang disampaikan dalam iklan akan diingat oleh pemirsa. Sehingga hanya iklan yang mampu
menembus arus yang begitu deras tadi yang mendapat tempat dibenak pemilih.
Ditambahkan lagi oleh Koes, penerapan iklan politik pun tidak seperti iklan komersiil.
Dikatakan begitu karena dalam iklan politik hal yang dikomunikasikan adalah pesan politik.
Sesuatu yang abstrak untuk dirasakan dan dilihat masyarakat. Manfaatnya pun tidak dalam
wujud yang langsung dirasakan. Namun butuh proses.
Kendati Koes sependapat iklan dapat meningkatkan keterkenalan, namun dia juga
sependapat dengan dengan Partai Demokrat bahwa iklan tidak mampu meningkatkan angka
kepemilihan. Namun mampu membuat pemilih mempertimbangkan aktor politik untuk
dipilih dalam perhelatan pemungutan suara.
“Itu saya sepakat iklan membuat jadi terkenal. Tapi tidak terlalu tepat menurut saya. keterkenalan merupakan suatu proses agar kita dapat dipilih. Bagaimana kita dapat terpilih bila dikenal saja tidak. Lihat kasus Prabowo, disitu kan bisa dilihat bahwa 2004 Prabowo hanya sedikit dikenal, namun lihat 2009, menjadi sangat dikenal. Tinggal butuh waktu untuk 2014 bagi Prabowo menjadi calon kuat presiden. Itu kan sebuah proses, dan saya melihat iklan politik merupakan salah satu jawaban dari proses itu. Salah satu cara ya, masih ada proses komunikasi politik yang lain selain iklan politk. Dalam politik itu dinamakan tahapan-tahapan yang harus dilewati.
Koes lalu mencontohkan hal yang lain, kegagalan iklan poltik Rizal Malarangeng
menunjukan bahwa popularitas tidak terlalu mempengaruhi elektabilitas. Popularitas
seseorang harus juga ditunjang dengan jaringan kader di tingkat akar rumput. Jaringan seperti
itu akan terpilin rapi jika selama waktu sebelumnya sudah berkarya nyata di masyarakat.
“Jika seseorang mau terjun ke politik dan ingin dikenal publiknya maka dia harus bekerja keras. Hasil kerja kerasnya itulah yang nanti akan berguna kelak. Tentu saja kerja keras itu tidak dalam hitungan bulan. Mereka harus turun ke rakyat sejak 10-15 tahun sebelumnya.”
Sejarah mencatat banyak politikus, Caleg, atau ketua partai politik mengejar
popularitas lewat iklan politik, namun realitas lapangan menunjukan sebaliknya. Mereka
secara kasatmata populer di hadapan publik dan calon pemilih namun lemah secara
elektabilitas. Dengan demikian kendati diguyur popularitas di depan public tidak serta merta
kemudian dipilih. Wakil rakyat tidak cukup hanya bermodalkan popularitas. Namun juga
pengalaman lapangan yang teruji ruang dan waktu. Rakyat pun perlu diyakinkan dengan
pengabdian tulus lewat sebuah karya nyata yang konkret.
d. Media Sosialisasi Program
Seluruh informan sangat sepakat bahwa iklan politik menjadi wadah yang tepat untuk
sosialisasi program politik. Baik program tersebut merupakan program baru maupun program
lama yang dicoba dingatkan kembali.
Ini seperti dalam teori Philip Kotller85 bahwa iklan mampu menjadi wadah untuk
menyampaikan informasi, membujuk maupun mengingatkan. Menyampaikan informasi yang
berharga bagi calon pemilih.
Hal ini dikaitkan dalam iklan politik bisa saja informasi sederhana seperti pergantian
nomor urut dan tanda logo dari partai misalnya. Informasi juga bisa berwujud juga semacam
pergantian cara memungut suara. Dari sebelumnya mencoblos menjadi mencontreng.
Sementara untuk fungsi membujuk, iklan dalam pendapat Kotler86 sering berguna bila
arus informasi menjadi semakin jenuh. Ini bisa berwujud bujukan untuk memilih, mengubah
persepsi mengenai citra politik dari calon tertentu. Sementara fungsi mengingatkan
dibutuhkan bila pesan politik dirasa perlu disampaikan lagi kepada pemilih agar semakin
yakin dan tidak tergoda untuk memilih yang lain.
85 Philip Kotler, manajemen pemasaran, analisis, perencanaan dan pengendalian, 1990 hal 88. 86 Ibid, hal 88
Seperti juga terdapat dalam hasil riset Falkow dan Cwalian Kaid, bahwa selain iklan
berguna untuk membentuk citra kontestan dan sikap emosional terhadap kandidat. Iklan
politik juga bermanfaat dalam mempengaruhi opini publik tentang isu-isu tertentu.87
Terkait dalam fungsi menyampaikan informasi program-program politik, partai PDI
Perjuangan memiliki penafsiran bahwa iklan poltik bila tidak berisi iklan yang berisi pesan
mengeanai program politik hanya terkesan merupakan sesuatu yang tidak mendidik. Hal ini
dipandang penting melihat iklan politik sering hanya berisi ajakan langsung untuk memilih
tanpa ada kejelasan mengenai sebetulnya apa program, visi dan misi sehingga dirasa
mencoba membodohi masyarakat.
Dikatakan membodohi masyarakat hal ini dikarenakan PDI Perjuangan lewat Ketua
DPC PDI Perjuangan Kota Surakarta, Rudi, melihat iklan politik tidak hanya sekedar jualan
poltik. Namun juga mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat. Seperti mangangkat isu-
isu sosial dan mempunyai tawaran formula solusi mengatasinya.
Sementara pendapat yang lain sesama informan PDI Perjuangan, Hendratno,
mengungkapkan, iklan lebih merupakan wahana penginformasian poltik. Informasi yang
disampaikan seharusnya menurut Hendratno merupakan informasi yang jujur dan tidak
terkesan merupakan sesuatu yang muluk-muluk saja. Karena sering menurutnya iklan hanya
bersifat menonjolkan dirinya sendiri. Seperti digambarkan oleh Hendratno dalam iklan kecap.
“…..Yang namanya iklan kan semua kecap nomor satu. Ga da kecap nomor dua itu gak ada. Nah ini bohong ini namanya menyesatkan masyarakat. Dan intinya bila tidak sesuai dengan yang dijanjikan di iklan menurut saya pasti pemilih akan tahu. Dan tidak akan memilih untuk pemilihan selanjutya.”
Sementara menurut Partai Demokrat, iklan lebih merupakan penyampaian informasi
politik yang ditujukan untuk pemilih agar tidak terjadi pemilih seakan-akan memilih kucing
dalam karung. Istilah ini merupakan istilah lama yang dikarenakan pemilih jaman orde baru
dimana pemilih tidak mengetahui siapa saja orang yang menjadi wakil suara dirinya. Namun
87 Setiyono, Opcit hal 346-347
saat ini istilah ini mengalami perluasan. Dikarenakan memilih dalam karung tidak hanya pada
batasan fisik saja, namun juga dalam artian program kerja yang akan dilakukan. Berikut
diutarakan Sekertaris DPC Partai Demokrat, Supriyanto.
“Dulu orang memilih kan seperti membeli kucing dalam karung. Ini tidak hanya sebatas kita tidak tahu siapa yang mewakili kita, namun juga program yang dia canangkan kita juga tidak tahu.”
Ditambahkan oleh Supriyanto, iklan politik seharusnya memenuhi target jangka
pendek dan jangka panjang dari penginformasian politik. Target jangka pendek disebutkan
oleh Supriyanto berupa pengertian dari pemilih dalam segera mampu mengerti mengenai
pesan yang dikomunikasikan. Pesan tersebut dapat berupa hal-hal dasar dalam diri
pengiklan. Seperti nomor urut, logo partai dan slogan.
Sedangkan mengenai target jangka panjang bisa berupa keinginan pengiklan agar
iklan dapat diintepretasikan dalam alam pikiran yang lebih dalam. Hal ini mengingat bisa
menyangkut hal yang tidak popular dan abstrak bagi diri pemirsa.
“Pesan pemberantasan korupsi dalam setiap iklan Partai Demokrat kan tidak mudah dimengertiu sebenarnya. Iklan ini gencar dikampanyekan tapi masyarakat melihat korupsi adalah hal yang biasa dan sulit untuk dibernatas. Maka kewat iklan dapat diinformasikan seperti bagaimana cara-cara konkret korupsi dapat diberantas. Sehingga menjadi target jangka panjang bagi pemilih adalah akhirnya pemilih sadar bahwa program ini penting dan sangat substansial.”
Sementara menurut Partai Golkar, iklan politik memang seharusnya memenuhi fungsi
menginformasikan program-program dan tidak hanya sekedar wahana membuai masyarakat
dengan mengharu biru saja. Dalam penuturan Taufiqurahman, iklan sering hanya membuai
emosi pemilih lewat kata-katanya.
Diungkapkan lagi penginformasian juga hendaknya secara cerdas dan tidak hanya
sekedar janji-janji yang membesarkan hati rakyat. Sudah bukan saatnya lagi iklan politik
hanya berkisar janji yang pada akhirnya tidak ditepati oleh wakil rakyat ketika sudah
mengemban amanah.
Penginformasian ditujukan pada dasarnya untuk mendidik politik masyarakat lebih
cerdas dan bertanggung jawab dalam memilih. Tidak hanya terpikat seorang calon dari
penampilan dan kemasan menarik dari iklan sebagaimana layaknya iklan produk komersiil.
“Ada tanggung jawab untuk mengemban amanah ketika sudah jadi terpilih. Jadi sebelum program dilakukan harusnya kita paparkan kepada masyarkat. Kalo merencanakan saja kita susah apalagi dalam melaksanakan. Pemilih seharusnya sadar kan hal ini. Tidak hanya melihat iklan yang emosional lalu memilihnya.”
e. Berisi Janji-Janji
Ada yang menarik ketika persepsi selanjutnya iklan politik oleh partai politik
cenderung dipersepsikan hanya berisi janji-janji. Tidak semua dari partai politik sependapat
dengan hal tersebut. Seluruh narasumber dari partai PDI Perjuangan membenarkan hal itu.
Sedangkan seluruh informan Partai Demokrat tidak setuju dengan pendapat tersebut. Menurut
Partai Demokrat pesan yang disampaikan dalam iklan politik adalah komitmen politik. Jadi
bukan sekedar janji-janji.
Dikatakan komitmen karena menurut Partai Demokrat iklan politik pesan yang
disampaikan harus bisa dipertanggungjawabkan kepada rakyat selaku pemberi amanah.
Komitmen yang diutarakan dalam iklan selanjutnya harus dilaksanakan sebaik-baiknya.
Partai Demokrat menggarisbawahi bahwa komitmen politik pada saat ini
diwujudkan dalam bentuk kontrak politik. Isinya sasaran target dan tujuan dari program serta
konsekuensi yang akan didapat seandainya tidak dilaksanakan. Kontrak ini menjadi batasan
yang memperkuat pernyataan dasar bahwa komitmen politik tadi tidak sekedar janji-janji
semata. Seperti diungkapkan Wirabumi berikut ini.
“Tidak mas, ini komitmen politik jadi bukan janji-janji. Seperti yang sudah kita ketahui selama ini pemerintahan sudah berusaha dengan keras untuk menepati komitmen tadi. Dan kita lihat rakyat juga kepercayaan terhadap pemerintah tinggi. Sehingga bisa terpilih lagi. Ini faktanya kan mas, bukan janji-janji.”
Sementara menurut pendapat Partai PDI Perjuangan, Sebagian besar iklan politik
dipersepsikan selalu saja berisi janji-janji. Dalam tanggapannya janji-janji iklan politik sering
disebut-sebut hanya sebatas sesuatu yang berwujud retorika saja. Banyak iklan politik di
Indonesia menawarkan janji-janji yang pada akhirnya setelah menjabat, janji-janji tersebut
tidak ditepati. Berikut seperti diutarakan Hendratno.
“Kalo saya pribadi melihat iklan politik di Indonesia selalu saja berisi janji-janji. Janji yang menurut saya seperti angin surga. Semuanya terkesan serba mudah, serba enak ta tho mas. Seandainya saya menjadi nanti akan saya buat ini.saya buat itu, kesannya kok seperti enak gitu lho. Nah tapi kalau sudah jadi sudah lupa dengan janji-janjinya. Jangan dikira rakyat gak peduli lho mas. Mereka ini niteni lho siapa wakil rakyat yang setelah jadi kok kenyataanya gak dilaksanakan.”
Sudut pandang dari pendapat diatas tentu seperti sudut pandang rakyat kebanyakan.
Sebagian besar dari rakyat memang selalu memperhatikan wakil rakyat yang sudah terpilih
pada akhirnya lupa dengan apa yang diucapkan sebelum terpilih.
Sukasno menambahkan, sering dalam janji politik hanya sebatas retorika saja. Tidak
pernah dilaksanakan. Artinya sering dalam perncangan program hanya bersifat nornmatif dan
ketika diwujudkan dalam program yang lebih detail menjadi hal yang mustahil untuk
dilaksanakan. Menurut Sukasno hal seperti ini harus dirubah dalam komunikasi politik
Indonesia. Selain tidak mendidik, sebetulnya posisi masyarakat sendiri juga jenuh dengan
iklan politik seperti ini.
Menjadi menarik ternyata berdasar hasil wawancara dengan partai golkar, satu
informan dari Partai Golkar mengungkapkan iklan politik memang selalu berisi janji-janji.
Sedangkan dua informan lagi menyatakan kurang sepakat jika iklan politik hanya berisi janji-
janji. Namun dia sebut ini merupakan sebuah tawaran program.
Satu informan yang menyebutkan iklan poltik adalah janji-janji yaitu
Taufiqurahman. Dirinya berpendapat, iklan politik pada dasarnya adalah iklan juga. Dimana
terdapat dalam iklan tentu saja pengakuan dirinya yang terbaik dan bujuk rayu. Bahwa iklan
politik kemudian berisi janji-janji adalah hal yang wajar. Namun menurutnya iklan seperti ini
pada hati pemilih tidak akan mendapat tempat. Dikarenakan menurut Taufiq, masyarakat di
Indonesia sudah cukup mempunyai bekal pengetahuan yang cukup untuk membedakan iklan
yang baik dan yang buruk.
Sedangkan menurut dua informan yang lain, yaitu Koes dan Supriyanto iklan politik
kurang tepat jika dipersepsikan hanya sekedar janji-janji. Muatan dalam iklan poltik lebih
tepat dikatakan sebagai pemaparan program. Pemaparan inilah yang pada akhirnya
dikomunikasikan lewat iklan kepada pemilih.
Partai Golkar melihat, kecenderungan iklan politik cenderung dipersepsikan sebagai
janji-janji dikarenakan selama ini iklan politik sebagian besar berisi seperti itu. Pesan yang
disampaikan seakan-akan memberi harapan yang besar kepada pemilih. Padahal aktor politik
tidak mempunyai rancangan yang jelas bagaimana program itu dapat dilakukan. Seperti
diutarakan oleh Koes berikut ini.
“Sebatas wacana saja. Tidak jarang iklan politik memang isinya janji-janji. Masyarakat sekarang juga masih saja terbuai dengan janji-janji. Mereka sebetulnya tidak bias disalahkan, karena kehidupan mereka memang rekoso. Dan mereka menginginkan perubahan. Nah iklan politik sering berisi wacana perubahan yang menjawab keinginan rakyat yang kehidupannya memang rekoso tersebut. Jadi disini menurut saya kan ada permintaan dan penawaran.”
Ditambahkan oleh Koes, iklan politik seharusnya menjawab kebutuhan masyarakat
akan perubahan tersebut, dan tidak seharusnya justru menggunakan kesempatan itu demi
kepentingannya.
“Sekali lagi kalo janji itu seharusnya program-program yang dapat diwujudkan dan tidak sekedar berwujud impian saja. Kasihan rakyat mereka kok menurut saya seperti dimanfaatkan saja.”
f. Berlebihan (Narsis)
Narsis tidak hanya diartikan sebagai kecenderungan pencarian kepuasan seksual
melalui tubuh sendiri. Tapi juga segala bentuk penyanjungan diri, pemuasan diri, atau
pemujaan diri. Sementara narsisme politik adalah kecenderungan pemujaan diri berlebihan
elit politik, yang membangun citra diri, meskipun itu bukan realitas diri yang sebenarnya.88
Semangat narsisme dalam iklan politik diwujudkan tampilan visual yang berupaya
meyakinkan masyarakat. Dalam iklan politik sering didedahkan lewat senyuman para aktor
politik. Realitas visualnya dipaksakan untuk dikonsumsi masyarakat. Dikatakan dipaksakan
88 Artikel Sigit Widagdo, “Zaman Narsisme”, Kedaulatan Rakyat, 22 Oktober 2008
karena menurut PDI Perjuangan, iklan seakan-akan keluar dari konteks asli tujuan utama
beriklan. Yaitu menginformasikan pesan-pesan politik. Justru pada iklan politik yang sering
disaksikan masyarakat hanya disuguhi penampilan narsis dari aktor politik dengan
penampilan yang sesempurna mungkin, dengan senyuman yang terbaik dan tatapan mata
yang diusahakan meyakinkan.
Atas fenomena seperti itu menurut PDI Perjuangan, sebetulnya para aktor politik
kita sebenarnya sedang mengadu nasib di dunia politik. Tanpa melihat bahwa tanggung
jawab sebagai pengemban amanah rakyat sebetulnya merupakan tugas mulia. Para aktor
politik yang menggunakan stategi narsis sebetulnya sedang menunjukan dirinya ingin instan
dalam bertarung di dunia politk. Dikatakan begitu karena dengan narsis itu menunjukan
dirinya sebetulnya tidak punya jam terbang. Belum pula memiliki prestasi yang
membanggakan masyarakat. Berikut petikan wawancara dengan Sukasno.
“Saya juga melihat iklan politik itu cenderung berlebihan. Proses iklan kok banyak dipahami sebagai pamer wajah dan gelar serta jor-joran dalam memperbanyak tampil di televisi. mereka semacam mengadu nasib menjadi sekelompok manusia terhormat. Mengupayakan diri menjadi orang yang dihormati. Jika ikhtiar terkabul, mereka mengemban tugas menjadi wakil rakyat. Sebuah amanah yang harus dijalankan dengan baik dan benar, agar kemakmuran rakyatnya dapat terjamin lahir dan batin. Seharusnya begitu ya tho. Tapi kadang kenyataanya jauh.”
Pada titik ini PDI Perjuangan melihat para aktor politik menjalankan aktivitas tebar
pesona sering mendandani dirinya dengan tampilan fisik yang sedemikian rupa dan slogan
yang persuasif : Berjuang untuk rakyat, Hidup adalah perbuatan, Bangkit negeriku harapan
itu masih ada. Penanda narsis yang lain dapat terlihat di depan dan belakang nama orang yang
berpartisipasi dalam kompetisi politik. Disana dicantumkan lengkap gelar akademis yang
diyakini dapat mendongkrak daya tarik aura fisiknya di depan publik. Seperti diungkapkan
FX Hadi Rudiatmo.
“Orang Indonesia kalo melihat gelar itu dihormati lho mas. Kalo punya gelar akademis itu diyakini menjadi priyayi lho. Dengan argumen itu banyak Caleg kan yang rame-rame mencantumkan gelar. Jadi dalam iklan politik tidak hanya persaingan penampilan saja. Namun juga gelar jadi menambah ramai persaingan. Penampilan memang memegang peranan
penting. Lawong kalo orangnya di iklan gak terlihat meyakinkan gak dipilih kok mas. Orang Indonesia kan masih terpikat luarnya saja tho.”
Benang merah dari pernyataan diatas adalah masyarakat Indonesia kadang masih
juga terpukau dengan penampilan luar yang terpampang dalam iklan politik. Ini dikarenakan
memang masyarakat kadanag tidak mengenal aktor politik dalam keseharian. Sehingga nilai-
nilai yang dia tangkap adalah yang tercantum dalam iklan saja. Jadi, menjadi hal yang wajar
ketika para aktor poltik selalu tampil tebar senyum di layar kaca televisi.
Ketika penulis menanyakan lebih dalam mengenai kewajaran fenomena ini
narasumber juga mengungkapkan hal yang serupa. Bahwa pengiklan cenderung beriklan
secara seperti itu karena juga masyarakat menginginkan pemimpin yang seperti itu. Jadi
semacam terjadi permintaan dan penawaran secara alami.
“Repot kadang dengan kondisi masyarakat kita. Yang penting enak dilihat penampilannya kendati tidak memenuhi kualifikasi sebagai orang yang mampu memecahkan persoalan rakyat gak papa. Kecenderungannya mereka kadang sudah capek darikerja jadi terkesan ra gagas dengan kondisi politik. Sehingga iklan yang serius dan menawarkan konsep politik yang bagus justru ora payu mas. Gak bisa disalahkan juga sebetulnya lha masyarakat maunya juga gitu.”
Sementara menurut Partai Golkar, lewat penuturan Koes Rahardjo, iklan politik
cenderung berlebihan dalam muatan iklannya. Beberapa iklan politik lebih menunjukan hal
yang sebetulnya diluar batas kenyataan. Satu hal juga yang dicatat dari pernyataan Koes
bahwa iklan politik penampilannya serba besar. Nomor besar, foto besar dengan pilihan huruf
yang besar. Hal ini menunjukannya keinginan untuk dikenal publik sangat besar dan
sekaligus menjadi kebanggaan dari kandidat politik untuk saling tebar pesona.
“Iklan politik kita kadang iseh kadang berlebihan. Seperti penonjolan keberhasilan democrat misalnya, menyontohkan keberhasilan penurunan harga BBM sampai tiga kali. Itu kan berlebihan. Lawong harganya memang turun dipasaran kok dikatkan keberhailan menurunkan harga. Kan lucu. Trus huruf-huruf dan foto juga serba besar. Bahkan berlomba gede-gedenan foto. Sampeyan juga analisa itu to. Malah tambah gayeng tapi isine ra ono to mas.”
Sementara Partai Demokrat tidak mau berkomentar lebih jauh dalam menanggapi
hal ini. Seperti dalam wawancara sebelumnya lebih memilih untuk menyerahkan kepada
pendapat mesing-masing dalam mempersepsikan hal ini.
g. Seragam
Partai politik memaknai iklan politik cenderung tampilannya seragam. Seluruh
narasumber dari PDI Perjuangan dan Partai Golkar membenarkan hal tersebut. Namun Partai
Demokrat menyanggah akan hal itu.
Partai Golkar melihat dalam Pemilu 2009 lalu melihat kondisi iklan poltik TV yang
dibuat, kondisinya masih sama. Isi pesan umumnya masih seragam, yaitu berisi ajakan
mencoblos tanda gambar serta lebih manampilkan figure atau tokoh partai. Harapan akan
perbaikan kualitas lewat wujudnya iklan politik yang menampilkan isu-isu dan program tetap
tidak terwujud. Padahal iklan politik adalah bukan barang baru. Karena sudah ada
pengalaman pemilu 1999 dan 2004. Berangkat dari kenyataan itu Koes berspekulasi bahwa
aktor politik masih mengandalkan basis massa tradisional yang mengandalakan figur dan
bukan karena program-programnya.
Kembali ditambahkan Koes, keseragaman konsep dari iklan poltik di Indonesia juga
disebabkan pengiklan dan tim kreatifnya miskin ide yang komprehensif dan tidak mampu
membahasakan ide-idenya dengan cara yang brilian. Parahnya lagi biaya yang dihabiskan
untuk iklan politik tidak sedikit.
“Iklan kita cenderung seragam mas. Kalo sampeyan lihat ya tho. Ada ngajak milih tanda gambar. Terus dalam tayangannya ada sosoknya. Kalo dalam democrat ya SBY kalo dalam PDI P bukan Mega tapi Sukarno. Gitu-gitu aja. Gak berubah-berubah. Padahal mahal lho, pake tim kreatif juga tapi kok gak kreatif idenya.”
Ditambahkan oleh Koes, fenomena sosial berbentuk perang wacana iklan politik
menggambarkan betapa politisi Indonesia biasa berpikir instan. Iklan politik yang mereka
sebar lebih mengedepankan raut muka caleg dan kandidat presiden dijadikan komoditas yang
dijual layaknya artis. Tampilannya juga seragam yaitu dengan andalan visualisasi peci,
deretan gelar akademik, dan aktivitas menyantuni orang miskin, cara ini masih diyakini
mempu mencitrakan sosok caleg dan kandidat presiden yang agamis, intelek, dan perhatian
kepada rakyat.
“Padahal, semua itu hanya seba permukaan. Iklan politik dengan memajang wajah, mengindikasikan, si pengiklan tidak merakyat. Mereka meposisikan dirinya bagaikan sebuah produk yang layak diperjual belikan.”
Sementara menurut PDI Perjuangan keseragaman iklan politik lebih disebabkan
kebutuhan akan iklan politik memang seperti itu. PDI Perjuangan berangkat dari pendapat
bahwa situasi kampanye di Indonesia cukup singkat dan persaingan cukup ketat. Sehingga
wajar saja bila komunikasi politik yang dilakukan adalah dengan ide-ide sedehana.
Penggunaan ide sederhana ini dirasa mampu menjawab kebutuhan akan pemilih
mengenai tanda gambar dan nomor urut aktor politik. Karena dua hal ini adalah hal paling
mendasar ketika pemilih berhadapan dengan surat suara.
Seperti diungkapkan Rudi, setiap tiba pemilihan umum nomor urut dan posisi tanda
gambar selalu berubah. Sehingga membutuhkan informasi mengenai hal tersebut. Iklan
politik dirasa mampu menjadi wahana yang menjawab kebutuhan tersebut.
“iklan yang baik itu kan yang memenuhi tujuan dari kita beriklan. Kalau kita beriklan tujuannya menjadi dikenal ya lewat iklan tersebut kita harus mempu menjadi dari sebelumnya tidak dikenal menjadi dikenal masyarakat. Bila tujuannya rakyat membentuk citra ya lewat iklan tersebut harus menjadi citranya lebih baik. Jadi semua sesuai kebutuhan mas. Sederhana saja tho.”
Dipaparkan kembali oleh Koes, seragam dalam tampilan iklan adalah hal yang
biasa. Jadi tidak perlu dibesar-besarkan. Menurut koes, bila penampilan ikla justru dibuat
terlalu berbeda bias menjadi kekagetan di masyarakat. Sejauh ini, iklan politik di Indonesia
kendati cenderung harus diakui monoton namun tidak pernah bersifat kampanye negatif.
“Di Amerika biasa lho mas iklan itu saling serang dan mencemoohkan. Nah di Indonesia iklan seperti di amerika kok tidak santun menurut saya. Kurang pas ya tho dengan budaya kita. Sejauh ini saya melihat iklan di Indonesia lebih baik daripada iklan di amerika soal etika berpolitik yang sehat. Pemilih Indonesia juga lebih menyukai cara santun seperti ini. Kalau kampanye negatif justru masyarakat bisa saja kehilangan simpati. Itu menurut pandangan saya.”
Sementara itu menurut Partai Demokrat, kurang sependapat bila iklan poltik di
Indonesia cenderung dipersepsikan seragam. Bagi Demokrat bila seragam hanya dimaknai
tampilan dari iklan politik bukanlah sesuatu analogi yang relevan.
Hal ini dikarenakan iklan politik memang menginformasikan pesan politik yang
dilakukan aktor politik. Sehingga wajar saja bila iklan menjadi kelihatan seperti sama antara
satu dan yang lain. Karena budaya dan latar belakang serta sasaran dari iklan adalah sama.
Lebih lanjut diungkapkan, iklan politik pada 2009 kemarin cukup beragam dan
kreatif dari segi penyampaian pesan yang diberikan. Seperti diungkapkan Wirabumi, iklan
politik Prabowo dan SBY merupakan contoh iklan yang kreatif dan mendobrak konsep lama
iklan politik di Indonesia.
‘‘Iklan Prabowo bercerita dengan pandai menurut saya. Beberapa media menyebut iklan Prabowo merupakan iklan terbaik. Saya cukup sependapat. Iklan Prabowo merupakan iklan yang menarik. Iklan SBY juga merupakan iklan yang menarik. Dari sisi efektifitas, bias dilihat lewat beberapa pesan poltik yang ada dalam iklan masih diingat oleh masyarakat hingga saat ini. Jadi saya tidak sepakat kalo iklan politik di Indonesia itu tampilannya seragam. Tapi kembali ke persepsi masyarakat tentunya akan menilai bagaimana.”
Dalam penilaian Demokrat tidak disangkal memang ada iklan yang tampilannya
sama antara satu partai dengan yang lain, namun menurutnya iklan poltik yang seragam lama-
kelamaan akan kehilangan pamornya. Hal ini mengingat para aktor poltik harus memiliki
identitas yang kuat dalam komunikasi politiknya. Identitas itu lalu diekspresikan dalam
bentuk nama, simbol, warna, dan tata cara yang disinergikan sedemikian rupa untuk
membedakan citra diri antar masing-masing kandidat yang bersaing. Pada tingkat lebih
lanjut, iklan juga harus mencantumkan standar kualitas tertentu, sehingga dapat mendorong
dari sebelumnya hanya mengenal menjadi memilih.
“Ada cara dalam ilmu marketing, dari sebelumnya iklan hanya dikenal menjadi akhirnya keputusan membeli. Memang harus ada proses dikenal dahulu agar akhirnya menjadi dipilih. Tapi untuk menuju hal itu, iklan kita harus berkualitas dan berbobot dalam muatannya. Tidak sekedar iklan saja.”
B. Persepsi Partai Politik Terhadap Iklan Politik Susilo Bambang Yudhoyono dan
Boediono Versi Indomie di Televisi Pada Pemilu 2009.
Sebuah iklan tidak akan ada tanpa adanya pesan. Tanpa pesan, iklan tidak akan
berwujud. Pesan yang disampaikan dalam iklan dapat berbentuk perpaduan antara pesan
verbal dan non verbal. Di dalam pesan verbal ia merupakan kata-kata yang tersusun dari
huruf vokal dan konsonan yang membentuk makna tertentu. Sementara semua pesan yang
bukan pesan verbal adalah pesan non verbal. Sepanjang bentuk non verbal tersebut
mengandung arti, maka dapat disebut pesan komunikasi.89
Sementara itu iklan politik berfungsi menyampaikan pesan verbal dan visual yang
sudah disusun secara persuasif dan komunikatif kepada khalayak. Dalam iklan pesan verbal
dan visual agak riskan untuk dipisahkan. Bila memposisikan sebagai audience, iklan harus
punya pesan verbal dan non verbal yang kredibel. Janjinya masuk akal, visinya jelas,
gambarnya menyentuh dan membuat nyaman calon pemilih.90
Selanjutnya untuk memahami persepsi tiga partai politik terhadap Iklan Politik
Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono versi Indomie di televisi, akan menjadi lebih
menarik bila penulis menyajikannya menjadi dua penyajian tersendiri. Yaitu persepsi
tarhadap pesan verbal dan non verbal (visualisasi iklan).
a. Persepsi Terhadap Pesan Verbal Iklan
Dari segi konten, iklan politik televisi yang lahir pada pemilu 1999, 2004 dan 2009
memiliki beberapa perkembangan. Setiyono91 menyebutkan, di awal kelahirannya pada
pemilu 1999, iklan-iklan politik TV tidak berbeda dengan iklan kecap, yaitu dalam arti tidak
ada pembedaan berarti antara iklan poltik dan iklan produk.
Setiyono sendiri kemudian berpendapat, seharusnya iklan politik di TV maupun
media lainnya, lebih berorientasi pada analisa terhadap masalah dan tawaran program 89 Rendra widyatama, Pengantar Periklanan, hal 17 90 Sumbo tinarbuko, iklan politik dalam realitas media, hal 81 91 Opcit, hal 36-37
bagaimana mengatasinya. Iklan politik seharusnya juga berisi visi dan misi parpol yang bisa
dijadikan dasar pijakan bagi pemilih untuk menentukan pilihan.
Meskipun demikian, Setiyono mengatakan, kondisi seperti itu dimungkinkan terjadi
karena pemilu 1999 merupakan pemilu bagi sebagian besar parpol. Akibatnya kebutuhan
untuk mengenalkan nama dan logo partai lebih mengemuka dibanding isu dan program.
Selain itu, meski sudah terbiasa untuk menangani klien non bisnis dengan memakai
merketing sosial, Pemilu 1999 juga merupakan pengalaman pertama bagi biro-biro iklan
untuk memasarkan klien non bisnis baru, yaitu partai politik.
Berlanjut ketika Pemilu 2004, konten iklan yang dibuat oleh Parpol peserta Pemilu
kondisinya sama saja. Isi dalam iklan menurut Setiyono cenderung masih menampilkan logo
Parpol dan nomor partai saja.
Meski begitu, dalam versi Setiyono Pemilu 2004 tidak hanya iklan politik Parpol
yang muncul namun juga iklan politik Capres. Iklan politik Prabowo Subianto dinilai contoh
iklan politik yang baik. Iklan ini bercerita tentang zaman ‘normal’ yang situasinya kemudian
berbeda setelah reformasi. Iklan itu kemudian mengemukakan impian tentang indonesia masa
depan yang dikaitkan dengan potensi kekayaan alam indonesia yang melimpah. Selain itu
iklan ini juga dirasa dengan cerdas mulai menampilakn sisi human interest Prabowo yang
berdiri di depan kelas layaknya guru SD, bermain bola dengan anak-anak dan sebagainya.
Sementara menurut Setiyono, pada 2009 dalam iklan politik Parpol dan Capres
mengalami banyak perkembangan. Dari kuantitas juga semakin banyak Parpol yang ikut serta
beriklan. Muatan iklan politik Gerindra, Demokrat, PKS dan PDI Perjuangan merupakan
iklan yang menarik. Iklan Gerindra diakui merupakan yang paling menonjol di ingatan
pemilih. Iklan PKS dan PDI perjuangan memberi warna tersendiri karena menggunakan
pendekatan berbeda. Yaitu pendekatan wacana terhadap ‘wong cilik’. Sementara Demokrat
menjadi partai yang ikut serta menggunakan metode lama yaitu ‘jualan’ figur.
Iklan politik Capres 2009 dalam analisa Setiyono juga mengalami perkembangan.
Bila pada 2004 iklan Capres didominasi oleh perang iklan yang tidak jelas arahnya. Tahun
2009 iklan politik berada pada arah yang bisa dibaca. Penggunaan saling klaim keberhasilan
program pemerintah, pengawasan program yang dijalankan pemerintah dan pembentukan
kembali citra di masyarakat. Jadi dalam 2009 iklan politik sebenarnya sudah menemukan
bentuk dan diharapkan pada 2014 iklan poltik akan semakin dewasa.
Iklan politik Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiyono versi indomie merupakan
salah satu dari 14 iklan politik capres yang ditayangkan di TV. Iklan ini berdurasi satu menit
dan ditayangkan di 10 stasiun televisi. Yaitu RCTI, SCTV, TPI, TRANS TV, TRANS 7,
METRO TV, TV ONE, INDOSIAR, ANTV dan TVRI.92
Dalam iklan ini pesan verbal yang disampaikan dalam iklan ini adalah
dinyanyikannya lagu modifikasi indomie oleh Mike Indonesian Idol. Selanjutnya dituliskan
pula slogan ‘SBY Presidenku’ di akhir iklan.
Persepsi partai politik terhadap pesan verbal iklan ini pun berbeda-beda. Partai
Demokrat sebagai pihak pengusung SBY mengungkapkan, iklan ini merupakan iklan yang
sederhana berdasar pesan verbal yang diungkapkan. Sehingga mudah diingat dan berkesan.
Penilaian Golkar dan PDI perjuangan berbeda lagi. Menurutnya konten pesan verbal yang
disampaikan adalah hal yang tidak jujur, tidak tepat dan berlebihan. Kendati berpendapat
demikian, satu informan dari Partai PDI Perjuangan dan Partai Golkar mengakui iklan ini
kreatif dan keluar dari pakem iklan namun efektif menjangkau pesannya ke pemilih.
Seperti diungkapkan PDI Perjuangan lewat Hendratno. Bahwa iklan itu
menggunakan jingle indomie merupakan sebuah terobosan yang tidak kreatif. Penggunaan
iklan politik seharusnya mencerdaskan pemilih dengan pendidikan poltik. Iklan poltik juga
92 Iklan Politik dan Dilematikanya, Wawasan, 23 Juni 2009
seharusnya menjadikan pemilih dari yang sebelumnya tidak mempunyai acuan menjadi
memiliki acuan ketika nanti memilih.
Diungkapkan lagi oleh Hendratno, penggunaan iklan politik adalah berkaitan
dengan penyampaian pesan politik. Jadi tidak menjadi menarik bila dikaitkan dengan
makanan seperti produk mie instan dan sama sekali tidak berhubungan dengan politik.
“Kesan dari iklan tersebut, ya konteksnya sebetulnya tidak cocok. Iklan Indomie kok dibuat iklan pilpres, tidak kreatif, seharusnya membuat suatu inovasi yang lain yang menarik tapi tidak berkaitan dengan makanan.”
Ketika penulis menanyakan lebih lanjut jika iklan ini tidak menarik dan kreatif,
apakah iklan ini termasuk iklan yang tidak efektif? Hendratno menambahkan, efektif iklan
tidak dapat diukur dari kreatif tidaknya iklan. Namun, ada lembaga tersendiri yang akan
mengukurnya. Ukuran ini juga bukan jaminan pemilih akan ikut memilih seperti diiklankan.
Tapi yang pasti iklan ini banyak diingat karena jingle indomie sudah bertahun-tahun didengar
masyarakat.
“Efektif secara pasti saya kurang tau ya. Karena kan ada lembaga tersendiri yang akan mengukur dari efektifitas iklan. Apakah pesannya tertangkap dan bagaimana kesan yang didapat dan lain sebagainya. Tapi berdasarkan dari tanggapan yang pernah saya dengar, ada yang mengatakan iklan ini cukup kreatif, tapi ada juga yang mengatakan SBY tidak percaya diri hingga harus menggunakan jingle indomie sebagai iklan. Jingle Indomie kan sangat terkenal karena sudah bertahun-tahun ditayangkan.”
Dari pernyataan diatas, Hendratno mengungkapkan ada tanggapan yang mengatakan
iklan ini adalah iklan yang menarik dan kreatif. Menjadi pertanyaan selanjutnya penulis
adalah pihak mana yang mengatakan iklan ini kreatif? Hendratno kembali memberikan
pernyataan berikut ini.
“Masyarakat bawah yang kekurangan informasi sangat bagus terhadap iklan ini. Karena iklannya sederhana dan pasti sudah dengar jingle indomie. Jadi lebih mudah dipengaruhi. Untuk masyarakat perkotaan ya rata-rata sulit dipengaruhi iklan. Karena sudah memiliki pilihan. Salah satunya dipengaruhi faktor pergaulan, wawasan dan informasi. Tapi bukan informasi iklan.”
Partai Golkar melalui penuturan Taufiqurahman melihat iklan ini mengesankan
SBY tidak percaya diri bertarung dengan calon lain. Apalagi menurut Taufiqurahman SBY
adalah incumbent. Secara kekuasaan dan popularitas sudah pasti dikenal. Jadi tidak perlu
beriklan seperti itu.
“Ya kesannya begini ya, karena iklan itu banyak dikenal orang lebih dulu, jadi mudah bagi SBY untuk mendapat simpati bagi masyarakat. Kesan saya pribadi dari iklan itu ada positif dan negatifnya. Negatifnya itu dia saat itu menjadi presiden jadi rasanya ga pantes bagi dia kok iklan seperti itu. Kaya gak percaya diri aja. Positifnya saya lihat justru iklan itu cukup kreatif. Karena sangat sederhana tapi efektif dalam menyampaikan pesan.”
Digarisbawahi dari pernyataan ini adalah Taufiqurahman melihat iklan ini
merupakan iklan kreatif. Merupakan iklan sederhana dan efektif menyampaikan pesan.
Selanjutnya penulis menanyakan apakah berarti iklan ini efektif terhadap masyarakat yang
melihat, Taufiqurahman memberikan penuturan berikut.
“Ya tergantung masyarakatnya mas, saya melihat masyarakat sangat tertarik. Tanggapan mereka sangat baik. iklan itu saya akui sangat kreatif, iklan itu sangat sederhana tapi mengena. Masyarakat juga sampai sekarang masih inget tentang iklan itu sampai sekarang. Itu tandanya iklan itu efektif. Dan termasuk menarik ya to. apalagi masyarakat bawah. Mereka ga mau tahu. Yang penting didengarnya enak. Sampai sekarang masih mereka nyanyikan. Pendukung SBY kalo demo untuk memepertegas dukungan mereka pada SBY masih menyanyikan jingle itu.”
Taufiqurahman menegaskan hal yang menonjol dalam iklan tersebut adalah
kesederhanaan dalam menyampaikan pesan. Pesan yang berwujud lagu jingle Indomie yang
dimodivikasi menjadi senjata ampuh menarik perhatian pemilih. Bahkan dijadikan yel-yel
hingga sekarang ketika pendukung SBY menegaskan dukungannya dalam membela program-
program pemerintah.
Sementara menurut Partai Demokrat lewat penuturan Wirabumi, iklan ini tidak
lebih memanfaatkan hal yang sudah dikenal selama ini oleh masyarakat. Jadi ini merupakan
sesuatu yang patut diapresiasi. Bahwa kemudian iklan ini meniru jingle mie instan,
merupakan hal yang wajar dan justru menjadikan menarik. Dirinya berpendapat iklan politik
tidak harus selalu berisi materi yang ‘berat’. Namun ada kalanya masyarakat diajak
keikutsertaannya dalam kegiatan politik lewat sesuatu yang ringan dan menghibur.
“Sebelum digunakan SBY iklan indomie ini kan sudah dikenal banyak orang. Image yang sudah dimiliki kan satu, menunjukan keunikan budaya nusantara. Kedua menggambarkan persamaan strata sosial. Bahwa mie adalah makanan yang sudah berkembang dalam semua strata sosial. Nah pada saat itu kemudian ditransfer manjadi iklan politik SBY, persepsi dan image itu juga yang muncul bahwa SBY menjadi dalam tanda kutip milik bangsa yang berbagai
warna itu tadi. Ini perlu dihargai lho. Sebuah hal yang bagus tho menjadikan iklan politik menarik dan ringan. Jadi masyarakat tidak segera mengganti chanel TV-nya dan mau mendengar pesan-pesan politik.”
Sementara menurut Budi Riyanto, mengenai pesan verbal dalam iklan politik SBY
berbunyi ‘SBY Presidenku’, adalah hal yang wajar. Bahwa dalam semua iklan politik
dicantumkan penyampaian slogan adalah hal yang wajib. Diartikannya, slogan menjadi pesan
utama dalam komunikasi politik.
Ditambahkan oleh Budi, slogan berisi rangkuman visi dan misi dari aktor politik
dalam hal ini Capres dan Cawapres. Slogan SBY Presidenku adalah menunjukan SBY
merupakan sosok yang masih diharapkan memimpin republik ini lima tahun ke depan.
“Bila slogan SBY waktu kampanye 2004 itu bersama kita bisa. Artinya kita bisa bersama-sama mewujudkan perubahan indonesia yang lebih baik. Untuk 2009 ini, SBY presidenku menerangkan sosok SBY adalah orang yang pernah menjadi presiden dan masih diharapkan untuk memimpin lagi. Karena secara hasil kepemimpinan berdasrkan survei dari Demokrat, kepemimpinan SBY lima tahun itu bagus. Dan juga masyarakat mengharap dirinya mencalonkan diri juga besar.”
Ditambahkan oleh Budi, untuk menjadikan slogan itu menjadi mudah diingat
digunakanlah jingle Indomie. Menurut Budi, jingle Indomie sudah familiar, ini
mempermudah bagi tim sukses untuk membuat slogan menjadi mudah diingat.
“Dan itu efektif kan, slogan kan kalo ada iramanya jadi mudah diingat.”
B. Persepsi Terhadap Pesan Non Verbal
“Sebuah gambar dapat mewakili beribu kata.” Melalui kata-kata tersebut, kita
semua dapat memperoleh sebuah pengertian bahwa betapa sebuah karya visual berupa
gambar, lukisan, atau pun foto, sanggup menguraikan sebuah makna. Makna tidak hanya
diurakan melalui pesan verbal saja. Namun juga dapat diutarakan melalui pesan non verbal.
Dalam komunikasi pesan verbal dan non verbal adalah saling melengkapi fungsinya.
Gambar merupakan salah satu wujud simbol atau bahasa visual yang didalammnya
terkandung struktur rupa seperti garis, bentuk, warna, dan komposisi. Ia dikelompokan dalam
komunikasi non verbal, dibedakan dengan bahasa verbal yang berwujud tulisan dan ucapan.
Upaya memberdayakan simbol-simbol visual berangkat dari kenyataan bahwa bahasa visual
memiliki karakteristik yang bersifat khas, bahkan istimewa, untuk menimbulkan efek tertentu
pada pengamatnya. Hal demikian ada kalanya sulit dicapai bila diungkapkan dengan bahasa
verbal.
Menurut partai politik, visualisasi Iklan Politik Susilo Bambang Yudhoyono dan
Boediono Versi Indomie di televisi dipersepsikan membentuk citra SBY diantaranya:
menjadi milik semua golongan, didukung masyarakat indonesia menjadi presiden lagi, dan
kesan bahagia akan kepemimpinan SBY selama ini dan mengharap untuk menjadi presiden
lagi.
Seluruh informan dari Partai Demokrat memiliki pendapat dengan persepsi ini.
Sedangkan tidak seluruh informan dari Partai Golkar sependapat dengan persepsi ini. Bahkan
masing-masing informan dari Partai Golkar memiliki argumen dan persepsi sendiri-sendiri.
Tercatat dua Informan dari Partai PDI perjuangan juga tidak sepakat dengan
persepsi diatas. Namun satu orang menyatakan sepakat sebatas SBY mempersepsikan
menjadi milik semua golongan. Seperti diungkapkan oleh Hendratno, iklan politik memang
harus menyampaikan dirinya adalah merupakan milik semua golongan. Dirinya
menyampaikan iklan PDI Perjuangan pun juga menggunakan penyampaian seperti itu.
“Iklan presiden ya harus seperti itu tho, gak boleh iklan presiden hanya milik satu golongan. Seperti milik PDI perjuangan juga begitu. Gak ada iklan politik hanya milik satu golongan. iklan politik ya untuk keseluruhan. Apa ada iklan politik yang hanya khusus untuk demokrat, ya gak ada tho. Nanti massa pemilih presiden hanya dari demokrat tok gak ada nambah dari yang lain. Jadi harus memenuhi semua suku, agama, ras, golongan termasuk domisili jawa dan luar jawa, semua harus tercakup.”
Ditambahkan oleh Hendratno, dirinya tidak sepakat dengan persepsi bahwa SBY
didukung oleh masyarakat banyak dan masyarakat puas akan kepemimpinan SBY. Sehingga
memohon SBY mencalonkan lagi untuk menjadi presiden. Menurutnya, masyarakat hanya
menilai dari penampilan saja.
“Selama ini SBY kan banyak bermain pencitraan. Jadinya masyarakat juga mudah terbentuk persepsinya. Karena masyarakat sebagian besar di indonesia itu kan banyak yang masyarakat bawah. Jadi mudah dipengaruhi oleh penampilan saja.”
Diungkapkan pula oleh Rudi, iklan tersebut secara non verbal tidak menyimpulkan
apapun. Hal yang ditonjolkan adalah jingle indomie dan tidak lebih dari itu. Ketidak
sepakatan mereka mengenai persepsi terhadap iklan politik SBY Boediono versi Indomie
dapat dimaknai sebagai refleksi dari kompleksitas cara mereka mengintepretasikan mengenai
iklan politik.
“Saya tidak melihat ada persangkaan seperti itu ya mas. Tidak dan sama sekali tidak. Jika iklan tersebut terkesan SBY diinginkan masyarakat menjadi presiden lagi menurut saya tidak. Tapi ya tergantung kepada pendapat masyarakat sendiri-sendiri. Kalo menurut saya kok tidak. Hal yang paling mengesankan hanya sebatas nyanyi indomie itu yang sangat berkesan.”
Sementara itu menurut Partai Golkar, lewat penuturan Taufiqurahman, iklan politik
SBY yang mengesankan SBY didukung oleh banyak pihak untuk menjadi presiden lagi
adalah sesuatu yang diluar batas wajar. Dirinya berpendapat, pembentukan citra lewat iklan
mengesankan SBY sendiri tidak sanggup membentuk citra di masyarakat lewat perbuatan dan
karyanya selama menjabat menjadi presiden.
“Itu kan sudah berlebihan menurut saya, ada daerah tertentu yang kenyataanya bukan menjadi daerah pendukung dia. Saya menangkapnya presiden milik semua suku bangsa itu benar, tapi itu kan kalo sudah jadi,gitu to. Dia menggunakan sebagai presiden untuk menjadikan wacana nah itu ga bener menurut saya. Kalo sebagai milik semua sebagai presiden itu oke, tapi kalo milik semua untuk Pilpres selanjutnya itu yang gak bener lagi.”
Namun Taufiqurahman menambahkan, masyarakat sendiri juga mau untuk
dipengaruhhi dan kurang selektif dalam menyeleksi dari iklan-iklan politik yang selama ini
ditayangkan. Sehingga mau saja terkena ramuan ‘citra positif’ dari SBY.
“Dalam iklan tersebut sangat memperlihatkan kalo SBY itu jujur, membentuk citra bahwa SBY jujur tegas, kalo bicara manteb, meyakinkan dan tenang. Padahal kita ga tau dibalik itu sebetulnya seperti apa. Dan masyarakat sudah cerdas untuk menilai itu. Jadi iklan politik itu lebih daripada penampilan ya to...dalam iklan politik itu sangat memperlihatkan kalo SBY itu jujur, berusaha membentuk citra kalo jujur. Tapi dari balik itu kan akhirnya kembali ke masyarakat tentang penilaian sebenarnya. Pada dasarnya masyarakat kan sudah melihat SBY dalam 5 tahun pemerintahannya. Jadi iklan politik itu lebih kepada penampilan ya to..itu berguna untuk masyarakat bawah, tapi kalo yang menengah ke atas dan sudah berlatar belakang pendidikan lain lagi. Selama ini pembentukan citra itu berlaku untuk masyarakat bawah.”
Taufiq kembali menegaskan, iklan politik adalah hasil konstruksi citra. Kendati
bertujuan menyampaikan pesan politik namuan kenyataanya, pesan yang disampaikan justru
menjadi tidak jelas.
“Saya melihat tidak hanya SBY, hampir semua. Tapi satu hal iklan politik adalah kebohongan publik, ini secara umum. Semua tampilan yang ada adalah hasil permak. Bahkan aktor politiknya ikut dibuatkan citra yang serba sempurna.”
Ketua DPC Golkar, Koes Rahardjo, juga senada pernyataan diatas. Menurutnya
iklan politik SBY tidak mengesankan SBY diinginkan oleh semua rakyat menjadi presiden
lagi. Tidak pula SBY didukung semua golongan.
“SBY diuntungkan sudah menjadi presiden ya. Jadi secara kekuasaan sudah tentu dia diuntungkan. Dan menurut saya iklan tersebut tidak benar kalo mengesankan SBY menjadi milik semua. Pasangan SBY Boediono justru bagi masyarakat luar jawa kurang mewakili mereka.”
Ketika penulis menanyakan lebih dalam bagaimana iklan politik yang mengesankan
semua golongan? Koes menerangkan seperti berikut ini.
“Iklan politik JK-Wiranto kan mencerminkan jawa dan luar jawa. Jadi merupakan wujud didukung semua golongan. Secara komposisi kan sudah pas kan mas. Tidak hanya dalam iklan mengesankan didukung semua golongan.”
Sementara menurut Partai Demokrat persepsi bahwa SBY merupakan milik semua
golongan adalah benar. Seperti diungkapkan Wirabumi, tidak ada maksud yang berlebihan
dari penampilan banyak orang dalam iklan poltik tersebut.
Bahkan menurut Wirabumi, penggunaan banyak orang tersebut menegaskan bahwa
SBY memang diinginkan oleh masyarakat untuk menjadi presiden lagi. Menurutnya hal ini
sudah didasarkan pula oleh survey dari Partai Demokrat.
“Tidak berlebihan menurut saya. Karena memang sudah ada dasarnya. Yaitu hasil survei bahwa SBY didukung dan diinginkan banyak orang menjadi presiden lagi. Tapi semua tentu punya penilaian sendiri-sendiri. Dalam berpolitik ini adalah hal yang wajar.”
Senada dengan Wirabumi, Supriyanto menambahkan, bahwa tim kreatif iklan SBY
tentu melihat segala keadaan yang ada di masyarakat sebelum membuat iklan politik SBY.
Bahwa SBY kemudian dalam iklan dipersepsikan diinginkan oleh semua lapisan masyarakat
adalah sebuah keadaan sebenarnya dari masyarakat.
Dalam penekanan Supriyanto, hasil survei yang dilakukan Partai Demokrat,
masyarakat cenderung melihat pemerintahan SBY banyak lebih baik dari beberapa
pemerintahan sebelumnya. Serta merasa program pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu
perlu didukung untuk pemerintahan selanjutnya.
“Semua menurut saya berdasarkan kenyataan. Jadi dalam iklan SBY didukung semua golongan itu sah-sah saja. Survey membuktikan hal tersebut. Dan kenyataannya juga benar kan, SBY menang telak dalam pemilu kemarin.”
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar. 1992. Komunikasi Politik dan Pers Pancasila. Jakarta: Media Sejahtera. Bungin, Burhan. 2006. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana. Firmanzah. 2007. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia. Thaha, Idris (Ed). 2004. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada. Tinarbuko, Sumbo. 2009. Iklan Politik dan Realitas Media. Yogyakarta: Jalasutra McQuail, Dennis. 1996. Teori Komunikasi Massa(ed). Jakarta: Erlangga. Mulyana, Deddy. 2004. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. Nimmo, Dan. 2005. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. Nurhajarini, Dwi. 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta Nurudin. 2005. Media Massa dan Dehumanisasi dalam Komunikasi, Perubahan Sosial dan
Dehumanisasi. Surakarta: Pustaka Rumpun Ilalang. Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKIS. Rakhmat, Jalaludin. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Robbins, Stephen P. 2002. Perilaku Organisasi. Jakarta: PT Prenhallindo.
Sekaran, Uma. 2006. Research Methods for Business: A Skill Building Approach. Third Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Setiyono. 2008. Iklan dan Politik, Menjaring Suara dalam Pemilihan Umum.
Jakarta:AdGOAL.Com. Severin, Werner J. dan James W. Tankard. Alih bahasa oleh Sugeng Hariyanto.2005. Teori
Komunikasi: Sejarah, Metode dan Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Kencana.
Sumartono. 2002. Terperangkap dalam Iklan: Meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi.
Bandung: Alfabeta.
Thaha, Idris (Ed). 2004. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Tim Penyusun Kamus. 1984. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Walgito, Bimo. 1994. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Andi Offset. Widyatama, Rendra. 2007. Pengantar Periklanan. Pustaka Book Publisher Sarsito, Totok. Surakarta 27 November 2008.Makalah Seminar Kekuatan Media dan Politik. Program Studi Diploma Tiga Komunikasi Terapan FISIP Universitas Sebelas Maret. KOMPAS, 29 Juni 2009 Wuih…Nilai Iklan Kampanye Pilpres Rp 3 Trilyun KOMPAS, 2 Juli 2009, Perang Iklan Politik Episode Akhir KOMPAS, 17 Juni 2009, Iklan SBY-Boediono Tak Menarik KOMPAS, 15 Maret 2004, Iklan Politik Di Televisi Levin, Jane. 2004. The Phenomenon Of Political Advertising.Australian Screen Education. Diakses Tanggal 30 Desember 2009 dari http://find.galegroup.com/gps/infomark.do?&contentSet=IAC-Documents&type=retrieve&tabID=T002&prodId=IPS&docId=A127159247&source=gale&srcprod=EAIM&userGroupName=iduns&version=1.0 Freedman, Paul. 2008. Thirty Second Democracy: Campaign Advertising And American Elections.The Hedgehog Review. Diakses Tanggal 30 Desember 2009 dari http://find.galegroup.com/gps/infomark.do?&contentSet=IAC-Documents&type=retrieve&tabID=T002&prodId=IPS&docId=A183048315&source=gale&srcprod=EAIM&userGroupName=iduns&version=1.0