ahmadiyah qadian}dalam perspektif komunikasi...
TRANSCRIPT
331
AHMADIYAH QADIAN}DALAM PERSPEKTIF
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA: KAJIAN
TENTANG AGAMA DI RUANG PUBLIK
Disertasi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Doktor dalam Bidang DakwahdanKomunikasi
Oleh:
JufriAlkatiri
12.3.00.0.07.01.0030
Promotor
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA
Prof. Dr. Murodi, MA
KONSENTRASI DAKWAH DAN KOMUNIKASI
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
332
2014 M/1435 H
333
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI
Disertasi dengan judul: “Ahmadiyah QadianDalam
Perspektif Komunikasi Antarbudaya: Kajian Tentang Agama
Di Ruang Publik” yang ditulis oleh Jufri Alkatiri, NIM
12.3.00.0.07.01.0030 telah lulus dan diperbaiki sesuai saran dan
masukan Tim Penguji pada Ujian Pendahuluan Disertasi hari Rabu,
18 Juni 2014, dan disetujui untuk diajukan pada sidang Ujian
Terbuka (Promosi).
TIM PENGUJI
N
No Nama Penguji
Keterangan/
Tanda tangan
1
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA
Ketua Sidang/merangkap Penguji
Tanggal..........
2
Prof. Dr. Suwito, MA
Penguji 1
Tanggal..........
3
Prof. Dr. Zainun Kamal, MA
Penguji 2
\ Tanggal.........
4
Prof. Dr.Soedijarto, MA
Penguji 3
Tanggal..........
5
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA
Pembimbing/merangkap Penguji 1
Tanggal.........
Prof. Dr. Murodi, MA
334
6 Pembimbing/Merangkap Penguji 2
Tanggal …..…
335
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Jufri Alkatiri
NIM : 12.3.00.0.07.01.0030
Konsentrasi : Dakwah dan Komunikasi
Dengan ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:
“Ahmadiyah Qadian Dalam Perspektif Komunikasi
Antarbudaya: Kajian Tentang Agama Di Ruang Publik”adalah
karya asli saya, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan
sumbernya. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di
dalamnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya yang dapat
berakibat pada pembatalan gelar kesarjanaan saya.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya
tanpa paksaan dari siapa pun.
Jakarta, Mei 2014
Yang Menyatakan
JufriAlkatiri
336
337
KATA PENGANTAR
Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Segala puji dan syukur penulis panjatkan pada Alla>h swt,
semata karena anugerah-Nya, penulis mampu menyelesaikan tugas
akhir disertasi pada Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi di
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta ini. S{alawat serta salam semoga senantiasa
tercurah kepada baginda Rasu>lulla>h Muh{ammad saw, keluarga,
sahabat, serta umat terkasihnya.
Disertasi sederhana ini bermuladari keinginan penulis untuk
turut andil menyumbangkan pemikiran tentang keilmuan dakwah
dan komunikasi, terutama da’wah bi al-h}a>l yaitu dakwah yang
disertai tindakan nyata dan komunikasi antarbudaya Ahmadiyah
Qadian dengan Islam arus utama. Penulis menyadari, apa yang
penulis suguhkan melalui disertasi sederhana ini belum mampu
memberikan informasi dan kontribusi baru bagi perkembangan
ilmu dakwah dan komunikasi. Meskipunbegitu,
penulisberusahasemaksimalmungkinuntukmenyajikan yang
terbaik.Kekuranganini menyadarkan penulis, bahwa tugas akhir ini
mustahil terselesaikan tanpa dukungan dan bantuan, baik moril
maupun meteril dari banyak pihak. Karena itu, kesadaran penulis
untukmengucapkanterima kasih sebesar-besarnya, terutama
kepada:
Pertama,Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. H. Azyumardi
338
Azra MA, seorang intelektual-organik yang pikiran dan sepak
terjang beliau senantiasa menjadi inspirasi dan teladan bagi
penulis, mahasiswa dan kalangan akademik.
Kedua, pembimbing disertasi Prof. Dr. H. Azyumardi Azra
MA dan Prof. Dr. H. Murodi MA, yang dengan ketekunan dan
keikhlasannya terus mendampingi dan mengarahkan penulis, baik
secara teknis maupun substansi, hingga disertasi ini layak diajukan
ke sidang munaqasah. Mohon maaf, jika selama bimbingan penulis
banyak merepotkan dan mengganggu waktunya. Semoga Alla>h Swt
mencatat amal baik untuk kesediaan Prof AzyumardiAzra dan Prof
Dr. Murodi. Tidak lupa untuk Prof. Dr. H. Suwito MA, dan Prof
Dr. Andi Faisal Bakti MA yang memberikan dorongan dan
semangat dalam merampungkan disertasi ini.
Ketiga, para dosen dan pegawai akademik Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta; Prof. Dr. H. Suwito, Prof. Dr. H. Thib Raya, Prof. Dr.
Zainul Kamal, Prof. Dr. Atho Mudzhar, Prof. Dr. Bambang
Pranowo, Prof. Dr. Ikhsan Tanggok, Prof. Dr. Hj. Amany Lubis,
Prof. Dr. Sukron Kamil, Dr. Fuad Jabali, Dr. Yusuf Rahman, Dr.
Asep Syaepuddin Djahar, Dr. Muhbib, Dr. Muhammad Zuhdi, Prof.
Dr. Musdah Mulia (ICRP),dan Dr. Suparto, serta staf dan
karyawan Sekolah Pascasarjana UIN dan teman-teman sesama
mahasiswa Sekolah Pascasarjana. Mohon maaf, jika selama
berinteraksi penulis terlalu banyak minta dilayani, sementara
penulis tidak mampu memberikan apapun. Semoga kebaikan
mereka dibalas kebaikan pula oleh-Nya.
Keempat, isteri tercinta penulis, Ir. Ries Mariana, yang tiada
bosan mendampingi, memotivasi, dan memberi masukan berharga
bagi penulis. Kala semangat mengendur dan kebosanan
menghampiri, dialah sosok yang tidak henti-hentinya melecut
penulis untuk terus berlari sekencang-kencangnya dan tidak perlu
berputus asa. Juga kedua putri penulis, Dikara Maitri Pradipta
Alkarisya dan Anindita Keumalahayati Alkarisya yang bersedia
mengalah mengijinkan ayahnya kuliah lagi mengambil S3 di
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,padahal
mereka juga sedang merampungkan studinya di FISIP Jurusan
Hubungan Internasional UNAIR Surabaya dan Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia Depok. Bukan itu saja, Dikara yang juga
339
sedang menyusun skripsinya justrumemotivasi ayahnya untuk
cepat sidangpromosidoktor.
Kelima, ayahanda dan ibunda penulis, almarhum Syamsuir
dan almarhumah Halimatun serta kedua bapak dan ibu mertua
almarhum Roeslan Prawirodisastro danalmarhumah Hajjah
Supinah, serta kakak penulis Hj.Umi Nur Rochyati, SPd, MM.
Keenam, teman-teman di News Liputan 6 SCTV yang
memberikan dorongan dan memotivasi penulis untuk secepatnya
merampungkan studi doktoral di Sekolah Pascasarjana Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ketujuh, Muballigh, Pimpinan dan Pengurus PB Jamaat
Ahmadiyah Indonesia di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Parung
Bogor terutama Amir Nasional H. Abdul Basit, Ustad Zafrulloh
Ahmad Pontoh, Ustad Rakeeman R.A.M Jumaan, Ustad Fadhal
Ahmad, dan Ekky Sobandi, MSi. Selain itu, ucapan terimakasih
penulis untuk Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Ketua Umum
MUI Pusat Prof. Dr. Din Syamsuddin, Rois Syuriah PBNU KH
Masdar Mashudi, Prof Dr. Adnan Buyung Nasution,Direktur
Wahid Institute Ahmad Suedi, Setara Institute Jakarta, dan
Anggota Dewan Pakar Lembaga Kebudayaan Betawi Abdul Chaer
untuk menyediakan waktunya diwawancarai dan berdiskusi dengan
penulis.
Sebagai kalam pamungkas, penulis menyadari bahwa
disertasi ini masih jauh dari yang diharapkan. Karenanya, penulis
membuka tangan lebar-lebar untuk menerima saran, kritik, atau
masukan yang konstruktif dari siapapun, untuk kelengkapan
disertasi ini. Luruskan dan tamballah kekurangan-kekurangan yang
bertebaran di lembaran-lembaran disertasi ini. Semoga saran, kritik
atau masukan pembaca menjadi bagian dari tawa>s}aw bi al-h}aqq, dan mendapat balasan setimpal dari-Nya. Akhirnya, terima kasih
kepada siapa pun yang menilai disertasi ini ada maupun tidak ada
maknanya.
Sekian dan terima kasih. Wassalam.
Jakarta, Mei 2014
JUFRI ALKATIRI
340
341
342
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan membuktikan bahwa perbedaan
agama berpengaruh signifikan terhadap proses komunikasi
antarabudaya. Semakin eksklusif suatu budaya semakin mudah
menimbulkan konflik antarbudaya. Semakin kecil ruang
komunikasi semakin terbuka konflik fisik antarumat beragama.
Kesimpulan ini merupakan elaborasi lebih lanjut dari teori
Larry A. Samovar dalam Communication between Cultures (2007)
yang mengatakan bahwa komunikasi antara umat Islam arus utama
dengan Jemaat Ahmadiyah tidak mudah dilakukan karenamemiliki
latar belakang agama dan budaya yang berbeda. Joseph A. DeVito
dalam Human Communication (1996) mengungkapkan bahwa
semakin besar perbedaan budaya semakin sulit komunikasi
antarbudaya dilakukan.
Disertasi ini mendukung teori Judith N. Martin dan Thomas
K. Nakayama dalam bukunya Communication in Contexts, Intercultural Communication in Contexts (New York: Mc Graw-
Hill, 2004), perbedaan dan penafsiran agama seringkali menjadi
akar konflik budaya. Dan disertasiinimemperkuat pemikiran Jurgen
Habermas dalam, Religion in the Public Sphere, bahwa agama di
ruang publik dituntut melepaskan klaim sebagaisatu-satunya yang
memiliki otoritas untuk menafsirkan dan menentukan cara hidup
yang legitimated. Agama ketika masuk ke ruang publik harus
ditafsirkan secara sekuler, berdasarkan prinsip rasionalitas.
Disertasiiniadalahpenelitiankualitatifdenganmetode
wawancara, dokumentasi, dan
partisipatoris.Penelitianinimenggunakanpendekatanantropologiko
munikasidengan cara menguraikan, menjabarkan, dan
mengelompokkan fakta-fakta yang kemudian dianalisis dan
memberikan pemahaman serta penjelasan, sehingga terungkap
penyebab konflik Jemaat Ahmadiyah Qadian dengan Islam arus
utama. Sumber datayang digunakan adalah primer dansekunder,
kemudian dianalisis dengan teori komunikasi antarbudaya dan
teoriinteraksisimboliksecaradeskriptif analitis.
343
ABSTRACT
This thesis is intended to prove that religious difference
brings significant impact on cross cultural communication process.
More exclusive is a culture, more cross cultural conflicts take
place. Smaller communication space will promote more open
physical conflict amongst religious community.
The conclusion of this thesis is a deeper elaboration of
Theory Larry A. Samovar in Communication between Cultures
(2007) which states that the communications among Muslim
people of Jemaat Ahmadiyah is not easy to conduct as they have
different cultural and religion background. Joseph A. DeVito in
Human Communication (1996) stated that wider different culture
promotes a more complicated cross cultural communications.
This thesis supports the notion stated by Judith N.
Martin and Thomas K. Nakayama in his book Communication in Contexts, Intercultural Communication in Contexts (New York:
Mc Graw-Hill, 2004), the difference and perception of religion has
been the root problem of cultural conflict. This thesis is also
strengthen by the idea of Jurgen Habermas in Religion in the Public Sphere, that religion in public area is forced to release the
claim as the only authorized party to make the perception and
decide a legitimated lifestyle. When religion entered the public area, it should be perceived as secular, based on rationality principles. This thesis is the qualitative research in methods of
interviewing, documentation, and participatory. This research use
approach anthropology communication by means of expounding,
describe, and group of facts then analyzed and provide
understanding and explanations, so unfold cause conflict with
Islamic Ahmadiyah Qadian the mainstream. Sources of data used is
the primary and secondary, then analyzed with the theory of
intercultural communication and symbolic interaction theory is
descriptive analytic.
344
الملخص
. يهدفهذاالبحثإلىإثباتأناالختالفاتالدينيةذلاتأثريدالفىعمليةاالتصالبينالثقافات. وكلمااحنصرتثقافةرلتمعمافتسهلتعلىتحقيقالصراعاتبينالثقافات
. وكلماضاقتمساحةاالتصاالتبينأفراداجملتمعفانفتحتالصراعاتادلاديةبينهم االتصاالتبينالثقافات, مساوار. وهذهالنتيجةهيمزيدمنوالتوضيحاتلنظريةالريأ
(Communication between Cultures)(2007) ,حيثيقوالناالتصاالتبينادلسلمينومعجماعةأمحديةليسمنالسهولةبالقيامبينهمالختالفخلفياهتمالدينية
Human)االتصاالتالبشرية, ديفيتويف. وهكذاكاجنوسيفأ. والثقافية
Communication)(1996)
. يعربأهنكلمازادتاالختالفاتالثقافيةفازدادتالصعوباتفيالتواصلبينالثقافات. وكانتهذهالنتيجةتؤيدنظريةجوديثن
االتصاالتفيسياقات,التواصلبينالثقافاتوالسياقاتناكايامافيكتاهبما.مارتنوتوماسك(Communication in Contexts, Intercultural Communication in
Contexts( )2004,مكغراوهيل :نيويورك .). حيثقاألناالختالففيتفسريالنصوصالدينيةيؤديفيكثريمناألحيانإلىالصراعالثقافيعنداجملتمع
Religion in the Public)الدينفياجملااللعام, وتؤيدهذهالدراسةأيضاالرأجييورغينهابرماس
Sphere)حيثقاألنالدينفيالفضاءالعاممطلوبعلىإخالعهاعتباراوحيدافىصحةتفسريه . .وهكذاأنالدينعندمادخلفيالفضاءالعاميجبتفسريهتفسرياعلمانيامستنداإلىمبدأالعقالنية
أماادلصدرالرئيسيلهذاالبحثهواحلواراتادلتعمقةمععددمنمصادرمعتمدعليهامثاللرئيسلمجلسالعلماءاإلندونيسياوالرئيسلهيئةالتنفيذيةهنضةالعلماءوالرئيسلهيئةالتنفيذيةجلماعةأمحديةإندونيسياببار وجنوبوجوروجاكرتاوالرئيسلهيئةالتنفيذيةحملمديةومعهدالوحيدومعهدالسيتاراووزارةالبحوثلشئونالدينية
345
( عطاءمظهر)وأحدعضوسابقمنالديوانإلرشادالرئيساجلمهوريةاألندونيساعدنانوأعضاءهيئةالتدريسكليةالدراساتال
باإلضافةإلىذلك,ادلالحظاتادليدانيةمعاجلماه.عليافىجامعةشريفهدايةاللهاإلسالميةاحلكوميةجباكرتا. يرادلسلمينوالطائفةمناجلماعةاألمحدية
وكذالكالبياناتالتجريبيةادلتعلقةبوجودودينامياتأتباعأمحديةبإندونيسياوالدراساتادلتعلقةبأمحديةفيمعظ .مالبلداناإلسالمية
. وتكوهنذهالدراسةالبحثالنوعيباستخدامادلنهجاحملادثةوالتوثيقوادلشاركةوتستخدمأيضاهذهالدراسةادلنهجاألنثروبولوجيواالتصاالتعنطريقاخلطوطالعريضةووصفهاوتصنيفاحل
. قائقالتيتليهامثتحليلمنخاللتوفريادلفامهوالتفاسريحتىتكتشفقضيةالصراعمعادلسلمينومجاعةأمحديةوفيحينأمنصادرالبياناتالثانويةهيبعضالكتابامتثاللكتبوادلقاالتواجملالتالتيتمكنأنتوفرادلعلوماتوادلعرفةمناليت
. ارالرئيسيألمحديةمثيتمتحلياللبياناتالتيتمجمعهاعنطريقنظريةالتواصاللرمزيبينالثقافاتوباستخدامادلنهجالوصفيالتحليلي
. التواصلبينالثقافات,والعنف,واألمحدية :الكلماتالرئيسية
346
PEDOMAN TRANSLETERASI ARAB-LATIN
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
alif Tidak ا
dilambangkan
Tidak
dilambangkan
ba b be ب
ta t te ت
sa th te dan ha ث
Jim j je ج
ha ḥ ha (titik di bawah) ح
kha kh ka dan ha خ
dal d de د
zal dh de dan ha ذ
ra r er ر
zai z zet ز
sin s es س
shin sh es dan ha ش
sad ṣ es (dengan titik di ص
bawah)
dad ḍ de (dengan titik di ض
bawah)
ta ṭ te (dengan titik di ط
347
bawah)
za ẓ zet (dengan titik di ظ
bawah)
ain ...‘..... Koma terbalik di‘ ع
atas
gain gh ge dan ha غ
fa f ef ف
qaf q qi ق
kaf k ka ك
lam l el ل
mim m em م
nun n en ن
wau w we و
ha h ha ه
hamzah ...’ ... apostrof ء
ya y ye ي
Catatan:
Huruf al-madd berupa al-alif dilambangkan dengan ā seperti qāla
(قال)Huruf al-madd berupa al-wāw dilambangkan dengan ū seperti qālū
(قالوا)Huruf al-madd berupa al-yā’ dilambangkan dengan ī seperti qīla
(قيل)Huruf al-tā’ al-marbūṭah (ة) yang terletak di akhir kata ditulis h,
Sedangkan al-tā’ al-marbūṭah (ة) yang menjadi al-muḍāf ditulis t
seperti wazārat al-tarbiyah ( Sedangkan, kata yang di .(وزارة الرتبية
akhirnya al-tā’al-marbūṭah (ة) yang menjadi ṣifat dan mawṣūf
ditulis h seperti al-risālah al-qaṣīrah (الرسالة القصرية) Tanda bintang (*) adalah pemisah antara al-‘arūḍ(penggalan bait
pertama) dengan al-ḍarb (penggalan bait kedua) dalam bait-bait
puisi.
348
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................. i
SURAT PERNYATAAN ........................................................... iii
PERSETUJUAN PENGUJI ....................................... ................. v
KATA PENGANTAR ............................................................... vii
ABSTRAK ................................................................................. xi
PEDOMAN TRANSLETERASI ............................................... xv
DAFTAR ISI ............................................................................. xvii
BAB I PENDAHULUAN .................................................... 1
A. Latar Belakang Penelitian ................................... 1
B. Permasalahan ....................................................... 23
C. KajianPustaka ...................................................... 29
D. TujuanPenelitian ................................................. 33
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan .................... 35
F. Metode Penelitian ............................................... 36
G. Sistematika Penulisan ......................................... 39
349
BAB II KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DAN
AGAMA DI RUANG PUBLIK ............................... 43
A. PerbedaandanPenafsiran Agama
dalamIlmuKomunikasi ........................................ 43
B. Komunikasi Antarbudaya ................................... 48
1. Perspektif Teori di Ruang Publik ................ 55
2. Perspektif Terjadinya Konflik ...................... 64
a. Perspektif Komunikasi .......................... 67
b. Perspektif Budaya ................................. 70
c. Perspektif Komunikasi
Antarbudaya .......................................... 75
d. Perspektif Agama dalam
Komunikasi Antarbudaya ..................... 78
3. Komunikasi Budaya dan Dakwah ................ 81
C. Agama di Ruang Publik ..................................... 84
1. Ruang Publik(Public Sphere) ....................... 88
2. Diskursus Agama di RuangPublik ............... 89
3. Agama di RuangPublikdalamPerspektif
Islam ............................................................. 95
D. Konstruksi Moral
dalamKomunikasiAntarbudaya ........................... 96
BAB III AHMADIYAH : DINAMIKA PEMIKIRAN
DAN SOSIAL ......................................................... 105
A. FaktorSosio-Historis ........................................... 105
B. SejarahMasuknyaAhmadiyahke Indonesia ......... 109
1. PendiriAhmadiyahQadian ............................ 119
2. KebenaranAjaranAhmadiyahQadianVer
siAhmadiyah Lahore .................................... 121
a. Ahmadiyah Lahore ................................... 122
b. AhmadiyahQadian .................................... 123
3. MotivasiPengembanganAjaranAhmadiy
ahQadian ....................................................... 125
C. Ahmadiyah : Agama, Masyarakat, dan
Negara .................................................................. 126
D. ProfilJemaatAhmadiyah Indonesia ..................... 129
1. KondisiSosialBudaya ................................... 131
2. KondisiKeberagamanMasyarakat ................ 133
350
3. PetaKonflikdanKekerasan di Bogor
dan Jakarta .................................................... 134
E. Realitas JAI sebagaiKomunitas Islam
Marjinal ............................................................... 137
BAB IV AGAMA DI RUANG PUBLIK DALAM
KASUS AHMADIYAH DI BOGOR DAN
JAKARTA ............................................................... 143
A. Agama di
RuangPublikdalamPenerapanKomunikasi
JAI ....................................................................... 143
B. Kondisi Keberagaman Masyarakat .................... 150
1. Kehidupan Keagamaan di Bogor ................. 150
2. Kehidupan Keagamaan di Jakarta ................ 153
C. Pendekatan Kritik Budaya .................................. 156
D. Kondisi Sosial Budaya Indonesia ........................ 178
E. Keberagaman Umat yangRentanIntoleransi ....... 180
F. Ciri-CiriMasyarakatSipil: PrinsipdanNilai
Fundamental ........................................................ 189
G. Tindakan Kekerasan di Indonesia ....................... 193
BAB V KOMUNIKASI ANTARBUDAYA JEMAAT
AHMADIYAH INDONESIA (JAI) .......................... 201
A. Prinsip-Prinsip Komunikasi Antarbudaya ......... 201
B. Problem Komunikasi dalam Konteks
Komunikasi Antarbudaya.................................... 206
1. Etnosentris…………………………… ........ 211
2. Stereotip dan Prasangka (Prejudice).. .......... 223
C. Pola DakwahdanKomunikasi Islam ................... 228
D. Komunikasi Antarbudaya Ahmadiyah dalam
Proses ................................................................... 233
E. Sebab-SebabTerjadinyaKonflik .......................... 257
F. DampakKonflikAntara JAI denganUmat
IslamMainstream ................................................. 271
1. Verbal .......................................................... 289
2. Non-verbal. ................................................... 292
BAB VI PENUTUP ................................................................ 295
351
A. Kesimpulan .......................................................... 295
B. Saran dan Rekomendasi ...................................... 297
DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 301
GLOSSARI ................................................................................ 325
INDEKS ..................................................................................... 331
LAMPIRAN
DAFTAR WAWANCARA
BIOGRAFI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Perbedaan dan penafsiran agama, seringkali menjadi akar
konflik budaya. Identitas religius dapat menjadi satu dimensi
penting dari identitas banyak orang yang juga menjadi lahan
penting konflik antarbudaya. Identitas religius pun kerap tumpang
tindih dengan identitas rasial atau etnis. Keadaan itu membuat
352
makin sulit untuk melihat identitas religius sebagai bagian dari
agama tertentu saja.1
Bukan itu saja, identitas religius berpotensi untuk
membentuk identitas budaya.2 Islam Sunni, misalnya, sering
diidentifikasi sebagai konsep religius budaya Indonesia, sedangkan
kelompok lain, seperti Syi’ah atau Ahmadiyah, dipandang tidak
memiliki identitas kebudayaan di Indonesia.3 Kelompok-kelompok
tersebut sering dikaitkan dengan sejumlah konsep mutakhir,
misalnya transnasionalisme Islam4 atau internasionalisme Islam.
Salah satu akibatnya munculnya konflik antarbudaya.5 Karena itu,
perbedaan agama kerap menjadi akar konflik6 di banyak negara,
misalnya di Timur Tengah, Irlandia Utara, India, dan Pakistan,
hingga Bosnia-Herzegovina. Hingga saat ini pun, misalnya hal
serupa terjadi pada segelintir orang Arab-Amerika hidup di bawah
kecurigaan, bahkan penghambatan dalam beribadah yang dilakukan
1Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama, Intercultural
Communication in Contexts (New York: Mc Graw-Hill, 2004), 79. Martin dan
Nakayama mengatakan, bagaimana komunikasi mempengaruhi budaya. Budaya
tidak akan bisa terbentuk tanpa komunikasi. Pola-pola komunikasi yang
tentunya sesuai dengan latar belakang dan nilai-nilai budaya akan
menggambarkan identitas budaya seseorang maupun kelompok orang 2Lihat Tracy Novinger, Intercultural Communication A Practical Guade
(Austin USA: University of Texas Press), 2001. 3Lihat Brian Morris, Religion and Anthropology: A Critical Introduction
(New York, Cambridge University Press, 2006), 45 4Transnasionalisme Islam yaitu ideologi dan gerakan sosial politik dan
keagamaan yang lintas negara. Namun, dalam konteks NU, istilah
transnasionalisme diacu dan dirujukkan pada ideologi dan gerakan sosial politik
dan keagamaan yang tunggal dan mendunia dari Timur Tengah. Lihat sumber
https://fr-fr.facebook.com/notes/warga-nahdliyin-dukung-pancasila-tolak-
khilafah/nu-vis-a-vis-transnasionalisme, diakses, 30 Januari 2014 5Lihat Robert N. Bellah, Beyond Belief: Esei-Esei tentang Agama di
Dunia Modern (Jakarta: Paramadina, 2000), 11 6Nicola Colbran\, ‚Realities and Challenges in Realising Freedom of
Religion or Belief in Indonesia,‛ Norwegian Centre for Human Rights, Oslo,
Norway. The International Journal of Human Rights Vol. 14, No. 5 (September
2010): 678–704.
353
masyarakat di sekelilingnya sejalan dengan upaya pemerintah
Amerika Serikat untuk menekan terorisme.7
Sedangkan Karen Armstrong melihat agama menjadi
penyebab seluruh peperangan besar dalam sejarah umat manusia.
Pada kenyataannya, penyebab konflik biasanya akibat ketamakan,
kebencian, dan ambisi, namun dalam upaya untuk
mensterilkannya, emosi-emosi yang memperturutkan nafsu sendiri
ini kerap dibungkus dalam retorika agama.8 Agama memang
dianggap sebagai sumber ajaran keluruhan dan kerukunan. Namun
tidak jarang timbul gesekan antarpemeluk agama. Kenyataan ini
harus disadari, bukan sebagai bahan untuk provokasi namun
diharapkan masyarakat harus berupaya mengelola kemajemukan.
Agama, menurut cara pandang komunikasi antarbudaya,
tergolong ke dalam ranah budaya.9 Komunikasi jika ditinjau dalam
perspektif Islam, memiliki posisi yang sangat krusial. Menurut
Hamid Mowlana dan Joseph A. Kechichian dalam Communications Media, bahwa komunikasi telah menjadi bagian instrumental dan
integral dari Islam sejak awal sebagai gerakan religio-politik.10
Salah satu media yang diasumsikan mempunyai kekuatan untuk
memobilisasi massa adalah agama.11
Menurut Azyumardi Azra,
7Bandingkan dengan Helen Hardcare, "Religion and Civil Society in
Contemporary Japan", Japanese Journal of Religious Studies, 2004, 411,
http://nirc.nanzan-u.ac.jp/nfile/2851 (diakses pada tanggal 1 Juli 2013). 8Karen Armstrong, Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas
Kasih (Bandung: Penerbit Mizan 2013),10. 9Tariq Ramadhan, What I Believe (Oxford: Oxford University, 2010),
90-95.
10Hamid Mowlana dan Joseph A. Kechichian, ‚Communications Media,‛
The Oxford Encyclopedia of the Islamic World, http://www.oxfordislamicstudies.com/ article/opr/t236/e0157?_Hi=0&_pos=1, (diakses 30 Juni 2013).
11Clifford Geertz mendefinisikan agama sebagai simbol yang berperan
untuk membangun suasana yang kuat (resource), pervasive, dan tahan lama
dalam diri manusia dengan cara merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang
umum dan membungkus konsepsi-konsepsi itu dengan fakta. Lihat Daniel L. Pal,
Eight Theories of Religion (Lahore: Oxford University Press, 1966), 414,
Robert C. Trundle, (2011) agama dapat dipolitisir menjadi pembunuh ideologi
dan agama. Lihat Robert C. Trundle, ‚America’s Religion Versus Religion in
America: A Philosophic Profile‛, Journal for the Study of Religion and Ideologies, vol.11, issue 33 (2012), 3-20.
354
dalam Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme,12Modernisme Hingga Post-Modernisme,13 fundamentalisme Islam melancarkan jihad terhadap kaum muslim
yang dipandangnya telah menyimpang dari ajaran Islam yang
murni. Banyak mempraktikkan bid’ah, khurafat, takhayul, dan
semacamnya. Selain itu, dalam buku Membela Kebebasan Beragama:14 Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme,15 dan Pluralisme16
, Azra dalam menyikapi fenomena perbedaan teologi
antara paham Islam di luar mainstream seperti Lia Eden,
Ahmadiyah, Usman Roy, dan Syiah perlu secara terus menerus
dilakukan upaya dialog.
Di samping itu, menurut Azra, penting juga untuk
meninggalkan ego masing-masing dan dan lebih berhati-hati dalam
mengeluarkan statemen keagamaan, terutama bagi lembaga
12
Fundamentalisme sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau
agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-
dasar atau asas-asas (fondasi). Karenanya, kelompok-kelompok yang mengikuti
paham ini seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain bahkan yang
ada di lingkungan agamanya sendiri. Mereka menganggap diri sendiri lebih
murni dan dengan demikian juga lebih benar daripada lawan-lawan mereka yang
iman atau ajaran agamanya telah tercemar. 13
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996),37.
14Lihat juga Azyumardi Azra, Membela Kebebasan Beragama
Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, Budhy Munawar-
Rachman (ed) (Jakarta: Demokrasi Project Yayasan Abad Demokrasi: 2011),
266. 15
Liberalisme adalah suatu paham atau tradisi politik yang menjunjung
tinggi terhadap kebebasan. Secara umum paham ini ingin menciptakan sebuah
masyarakat yang menjamin adanya kebebasan berfikir, berpolitik dan kebebasan
dalam memiliki harta benda bagi setiap orang. Kata liberal berasal dari bahasa
Latin liber yang artinya adalah bebas, merdeka atau bukan hamba. Marcus
Aurelius (121-180) dalam tulisannya yang berjudul Meditation menjelaskan
dalam sistem pemerintahan yang mendasarkan pada kebebasan..kses 16
Pluralisme bukan hanya berarti actual plurality (kemajemukan atau
keaneragaman) yang justru menggambarkan kesan fragmentasi, bukan juga
sekedar ‚kebaikan negatif‛ sebagai lawan dari fanatisme, melainkan harus
dipahami sebagai ‚pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban‛
(genuine engagement of diversity within the bonds of civility). Lihat, Budi
Munzwar Rachman, Islam Pluralis,31; Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani : Arkeologi Pemikiran ‚Civil Siciety‛ dalam Iskam
Indonesia (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999),23-23.
355
keagamaan yang dianggap legitimate bagi umatnya. Karena
statemen, apalagi fatwa, mereka dapat dijadikan pemicu atau
alasan bagi kalangan tertentu untuk melakukan tindak kekerasan
terhadap aliran agama atau paham lainnya. Lembaga-lembaga
penting seperti MUI, misalnya, sepatutnya mengurangi
kecenderungan cepat-cepat mengeluarkan fatwa – tanpa terlebih
dahulu mengadakan dialog yang melibatkan pelbagai kalangan dan
elemen Islam yang berbeda paham teologinya. Dengan begitu dapat
tercipta fatwa yang dapat menyejukan suasana keberagamaan.
Jadi, setiap fatwa yang dibuat seyogianya harus lebih
mengutamakan dialog. Kecenderungan MUI belakangan ini,
senang cepat-cepat mengeluarkan fatwa, tetapi fatwa itu tidak
terlalu menolong penciptaan kehidupan intra-umat Islam yang
lebih baik.17
Fatwa pengharaman MUI terhadap pluralisme,
menurut Azra keliru. Sebab, fatwa MUI itu didasarkan pada
pemahaman yang tidak benar mengenai pluralisme. Pluralisme
sejatinya bukan mencampuradukkan atau sinkretisme agama.
Mendukung pluralisme, bukan berarti mencampuradukkan akidah
dengan agama-agama lain.18
Menurut Abdul Hadi, bangsa Indonesia harus kembali ke
UUD 1945. Ketika dalam UUD ada yang menyebutkan kebebasan
17
Lihat juga Azyumardi Azra, Membela Kebebasan Beragama
Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme….266-267. 18
Lihat juga Azyumardi Azra, Membela Kebebasan Beragama
Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme….267-268. Pengafirmasian saya terhadap pluralisme sama sekali tidak bertindak sinkretis
dalam beragama. Karena saya tidak menerima sinkretisme. Yang dimaksud
pluralisme, menurut hemat saya, sederhananya adalah mengakui bahwa di dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, terdapat bukan hanya orang Islam,
tetapi ada pemeluk agama lainnya. Kita harus mengakui bahwa setiap agama
dengan para pemeluknya masing-masing mempunyai hak yang sama untuk eksis
sebagaimana juga agama yang kita anut mempunyai hak atas keberadaannya.
Maka yang kemudian harus dibangun adalah perasaan saling menghormati,
tetapi bukan sinkretisme. Kalau ada yang menganggap bahwa menerima
pluralisme berarti kita melakukan sinkretisme keagamaan, maka pandangan
seperti itu kacau adanya. Untuk itu persepsi bahwa orang yang menerima
pluralisme berarti mengamini sinkretisme, harus ditolak. Orang Kristen juga
menolak itu, begitupun penganut agama lainnya. Jadi pada hematnya, jika
mereka menerima pandangan pluralisme, maka mereka harus tetap mengimani
agama yang dianutnya secara total.
356
beragama, tetapi harus diingat di situ bukan kebebasan seluas-
luasnya. Kebebasan agama hanya bisa diterapkan bagi kelompok-
kelompok yang memang asli lahir dari budaya Indonesia, seperti
NU dan Muhammadiyah. Sedangkan kelompok seperti Ahmadiyah,
tidak lain adalah alat kapitalis yang terusir dari negara asalnya.
Bukan berarti dia tidak suka terhadap kelompok ini.19
Bagaimanapun kalau terjadi kekerasan terhadap mereka, negara
tetap harus melakukan tindakan tegas.
Agama, secara khusus sangat penting dalam pembicaraan
komunikasi antarbudaya, karena agama merupakan cara pandang
(worldview); sesuatu yang menuntun manusia dan menolong
manusia menentukan gambaran dunia ini dan bagaimana mereka
berperan dalam dunia tersebut.20
Cara pandang merupakan inti dari
perilaku manusia, karena suatu cara pandang akan menjelaskan
realitas dan mengajarkan seseorang untuk melakukan peran secara
efektif. 21 Islam di berbagai zaman dan di berbagai daerah di
Indonesia, berhadapan dengan adat dan struktur sosial setempat
19
Lihat juga Abdul Hadi WM, Membela Kebebasan Beragama Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme Budhy Munawar-
Rachman (ed) (Jakarta: Demokrasi Project Yayasan Abad Demokrasi: 2011), 85.
Bagi saya silakan saja Ahmadiyah hidup di negeri ini, kalau terjadi sesuatu atas
mereka, maka itu adalah tanggung jawab pemerintah. Saya ingat ketika terjadi
kerusuhan di Solo antara pendukung Sarekat Islam dengan masyarakat
Tionghoa, di mana persoalannya bukan karena agama, tetapi lebih oleh karena
motif ekonomi. Kalau sekarang seenaknya konglomerat membawa uang negara
ke luar negeri, bukankah wajar jika warga marah. Jangan lagi disebut konflik
etnis, ras, atau bahkan agama. Konsep SARA harus kita hilangkan. Biarkan
orang Kristen mengkritik orang Islam, begitu pun sebaliknya. Masalahnya
selama ini media masa tidak mampu menampung, akhirnya yang terjadi adalah
munculnya sekat-sekat kelompok agama. Penyebab itu semua, sebagaimana
sebelumnya saya katakan, karena menggejalanya budaya lisan. Jadi,
sebagaimana saya utarakan dari awal, pokok soalnya adalah pendidikan kita
yang tidak memiliki muatan kultur. 20
Lihat Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, Communication Between Cultures (New York: Oxford University Press, 1995),10.
21Lihat Andi Faisal Bakti, Nation Building, Kontribusi Komunikasi
Lintas Agama dan Budaya terhadap Kebangkitan Bangsa Indonesia (Jakarta:
Churia Press, 2006),185
357
yang amat berbeda-beda.22
Dengan demikian, berbeda-beda pula
perkembangan peranan agama dan pertimbangan-pertimbangan
sosial dengan adat dan struktur sosial dalam sejarah dan wilayah
Indonesia. Berbagai bentuk interaksi kongkret menunjukkan pula
keanekaragaman wajah Islam dalam manifestasi sejarahnya.
Hadirnya Islam di ruang publik secara umum bisa dilihat
sebagai penyebaran nilai, ajaran, dan simbol-simbol Islam pada
masyarakat dengan memanfaatkan ruang publik, yaitu ruang atau
arena, baik nyata maupun virtual yang digunakan secara bersama
oleh warga masyarakat untuk mengomunikasikan dan
menegosiasikan berbagai ide dan kepentingan, termasuk di
dalamnya pandangan dan kepentingan agama.23
Samovar, Porter,
dan Jain mendefinisikan komunikasi antarbudaya sebagai
intercultural communication occurs whenever a message producer is a member of one culture and a message receiver is a member of another.24
Komunikasi antarbudaya merupakan satu hal yang sama
kompleksnya dengan kebudayaan. Komunikasi antarbudaya terjadi
di antara komunikator dan komunikan yang memiliki latar
belakang kebudayaan berbeda. Sedangkan komunikasi
22
Lihat juga pendapat Silvio Ferrari, "Religion and the Development of
Civil Society", Internatioanl Journal for Religiuos Freedom Vol 4 Issue 2 2011,
35, http://www.iirf.eu/fileadmin/user_upload/Journal/ IJRF_Vol4-2.pdf (diakses
pada tanggal 30 Juni 2013). 23
Menggunakan perspektif Jurgen Habermas, pemaparan dan
pewacanaan Islam di ruang publik bagaimanapun mengandung dimensi politis
berbagai kekuatan sosial berusaha mengartikulasikan secara publik kepentingan-
kepentingan kepada Negara. Lihat, ‚Islam di Ruang Publik, Politik Identitas dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia‛, Sukron Kamil, Noorhaidi Hasan dan Irfan
Abubakar (ed), Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, 2-3. Maraknya Islam di ruang publik
khususnya selama periode reformasi ditunjukkan oleh beberapa indikasi yang
cukup menonjol. Di bidang politik, gejalan ini ditandai dengan lahirnya partai-
partai politik Islam baru yang aktif mendengungkan seruan-seruan Islamis dan
munculnya gerakan Islam militan seperti Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI),
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Front Pembela Islam (FPI). Di bidang
ekonomi, terjadi ekspansi bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnnya.
Di bidang kbudayaan, berkembang penerbitan buku-buku yang bertajuk Islam
dan berkembangnya industri film yang mengangkat tema-tema Islami, seperti
Ayat-Ayat Cinta. 24
Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antarbudaya (Jakarta:Pusat Antar-
Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun terbit), 24.
358
antarbudaya meliputi aspek komunikasi, sementara karakteristik
utama dari komunikasi yaitu makna. Komunikasi terjadi ketika
seseorang mengatribusikan makna pada tuturan atau tindakan
orang lain.
Dalam upaya meningkatkan hubungan baik antarumat
beragama, perlu dijalin komunikasi yang bersifat antarbudaya
(intercultural communication),25
dengan demikian, akan dapat
terjalin suasana keakraban antarpemeluk agama. Komunikasi juga
dapat dipahami sebagai satu proses simbolis, di mana realitas
diproduksi, dipertahankan, diperbaiki, dan ditransformasikan.26
Komunikasi antarbudaya, merupakan komunikasi antara orang-
orang yang berbeda kebudayaan, misalnya; antara suku bangsa,
etnik, ras, dan kelas sosial, tanpa kecuali komunikasi
antarkelompok. Contohnya, jemaat Ahmadiyah dan kelompok
Islam arus utama Indonesia. Pentingnya melakukan komunikasi
antarbudaya dalam melihat konflik Ahmadiyah dengan Islam arus
utama untuk mengkaji seberapa jauh fungsi dan peran komunikasi
antarbudaya yang dilakukan kelompok Ahmadiyah dalam
melakukan interaksi keagamaan dengan Islam mainstream. 27
Sejumlah pengertian tentang konflik antara lain adanya
pertentangan yang timbul di dalam seseorang maupun dengan
orang lain yang ada di sekitarnya. Konflik dapat berupa
perselisihan (disagreement), adanya keteganyan (the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua
pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antar
kedua belah pihak, sampai kepada mana pihak-pihak yang terlibat
memandang satu sama lain sebagai pengahalang dan pengganggu
tercapainya kebutuhan dan tujuan masing-masing.
25
Komunikasi antarbudaya perlu diterapkan dalam dialog dan interaksi
antarumat beragama sehari-hari. Menurut Roger dan Steinfatt (1999),
sebagaimana dikutif oleh Judy Pearson, et.al, bahwa yang dimaksud dengan
komunikasi antarbudaya adalah pertukaran informasi antarindividu yang tidak
sama dalam hal budaya. Judy Pearson, et.al, Human Communication (New York:
McGraw Hill,2003), 210. 26
Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, Communication Between Cultures, 10.
27Lihat juga Azyumardi Azra, Membela Kebebasan Beragama
Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme….256-257.
359
Dampak dari aksi kekerasan dapat mengarah kepada
tindakan fisik yang bersifat personal, artinya mengarah pada orang
atau kelompok tertentu yang dilakukan secara disengaja maupun
tidak disengaja. Pada dasarnya konflik dan kekerasan ada
perbedaan, namun keduanya memiliki hubungan erat. Tidak ada
kekerasan tanpa diawali konflik, sementara konflik tidak harus
berujung pada kekerasan. Kekerasan dapat terjadi jika pihak-pihak
yang terlibat di dalamnya tidak mampu menyelesaikannya.28
Dalam pandangan Habermas, agama di ruang publik dituntut untuk
melepaskan klaim sebagai yang satu-satunya memiliki otoritas
untuk menafsirkan dan menentukan cara hidup mana yang
legitimed.29 Agama ketika masuk ke ruang publik harus
ditafsirkan secara sekular berdasarkan prinsip rasionalitas.
Pandangannya ini dipengaruhi oleh konsep Demokrasi
Deliberatif30
, bahwa negara dan agama harus dipisahkan perannya.
28
Bandingkan dengan arti kekerasan (violence) secara etimologi berasal
dari bahasa latin ‚vis‛ yang artinya kekuatan, kehebatan, kedahsyatan dan
kekerasan dan ‚lotus‛ yang artinya membawa. Lihat Elly M. Setiadi dan Usman
Kolip, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 358-
359. Thomas Santoso dalam pengantar buku Teori-teori Kekerasan
mengungkapkan pendapat Johan Galtung, seorang kriminolog dari Norwegia,
yang mendefinisikan kekerasan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang
terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar, lihat Thomas
Santoso, eds. Teori-teori Kekerasan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002). Dalam
literatur Islam, kekerasan agresif dalam pengertian pembunuhan untuk mendapat
yang diinginkan, terjadi pertama kali dilakukan oleh Qobil terhap Habil, anak
Nabi Adam AS, karena memperebutkan perempuan jelita, Iqlimah, hingga
akhirnya terjadi kekerasan dalam bentuk pembunuhan terhadap Habil. Dalam al-
Qur’an kisah ini dapat dilihat dalam surah al-Maidah, 5:27-30. Lihat juga, Ala’i
Najib, ‚Perempuan dan Perdamaian: Catatan tentang Peacebuilding‛ dalam
Jurnal Taswirul Afkar, edisi No. 22 tahun 2007, 9. 29
Lihat F. Budi Hardiman, Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 230.
Mengenai konsep ‚Agama di Ruang Publik‛ Habermas menulis khusus tentang
itu dalam bukunya, Between Naturalism and Religion (New York: Polity Press,
2009) yang diterjemahkan dari buku asli Zwischen Naturalismus und Religion tahun 2005. Secara khusus pada sub-judul ‚Religion in The Public Sphere‛.
30Demokrasi Deliberatif dalam pengertian Habermas yaitu suatu upaya
untuk merekontruksi proses komunikasi dalam kontek negara demokratis.
Deliberatif: konsultasi, menimbang, dan musyawarah. Demokrasi deliberatif
adalah suatu pandangan yang diadopsi dari pemikiran Habermas, seorang
360
Meskipun demikian, Habermas mengakui bahwa agama adalah
pandangan hidup atau doktrin yang lengkap, namun ketika dibawa
ke ruang public, doktrin-doktrin metafisikanya harus dijelaskan
secara rasional.31
Agama di ruang publik mensyaratkan adanya
komunikasi dua arah atau dalam istilah Habermas disebut dengan
diskursus praktis.32
Dalam proses komunikasi ini terjadi diskusi di
ruang publik dengan mempertahankan ruang tersebut dalam
keadaan tetap netral, karena landasannya adalah rasionalitas bukan
doktrin-doktrin keagamaan yang bersifat personal. Doktrin-doktrin
itu disampaikan melalui bahasa yang dapat diterima oleh semua
orang, sehingga ada proses diskursus yang mengarah pada
konsensus.33
Negara terkait dengan agama di Ruang Publik, dalam
pandangan Habermas, harus bebas dari paham keberpihakan pada
salah satu agama. Agama harus tetap netral atau liberal: The consencus on constitutional principles in which all citizens must share pertains also to the principle of separation of church and state.
34 Terbukanya akses publik menjadi hal penting bagi
pergerakan komunikasi antarbudaya karena demi terwujudnya
kepentingan publik, sehingga free public sphere sangat
diperlukan.35
Peran agama, menurut Habermas, akan digantikan
pemikir dari aliran Frankfrut School. Inti pandangan ini adalah upaya bagaimana
mengaktifkan individu dalam masyarakat sebagai warga negara untuk
berkomunikasi, sehingga komunikasi yang terjadi pada level warga itu mampu
mempengaruhi pengambilan keputusan publik pada level sistem politik. Dalam
praktiknya, demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tatacara
pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah
melalui dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warganegara.
Partisipasi warga (citizen participation) merupakan inti dari demokrasi
deliberatif. Lihat Jurgen Habermas, Religion in Public Sphere, 125. 31
F. Budi Hardiman, Ruang Publik, 121. Lihat juga pemikiran Habermas
yang disarikan oleh F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif (Yogyakarta:
Kanisius, 2009), 74. 32
F. Budi Hardiman, Ruang Publik… 19. 33
Lihat Jurgen Habermas, Religion in Public Sphere, 120. 34
Jurgen Habermas, Religion on Public Sphere, 128. 35
Castells mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan ruang publik
adalah ruang komunikasi ide dan proyek yang muncul dari masyarakat dan
ditujukan kepada para pengambil keputusan di lembaga-lembaga masyarakat.
Manuel Castells, ‚The New Public Sphere: Global Civil Society,
361
oleh tindakan komunikatif serta konsensus-konsensus yang
dihasilkannya. Fungsi ekspresif serta integrasi sosial yang selama
ini dimainkan oleh praksis ritual keagamaan akan digantikan oleh
tindakan komunikatif.36
Sedangkan otoritas ‚Yang Kudus‛ secara
suksesif akan digantikan oleh otoritas dari konsensus-konsensus
yang tiap-tiap kali diupayakan. Seiring dengan berjalannya proses
modernisasi kekuasan dari ‚Yang Suci‛ disublimasikan menjadi
kekuasaan yang mengikat dari klaim-klaim keabsahan yang
senantiasa dapat dikritik.37
Untuk menguji teori Habermas
tersebut, penulis membandingkannya dengan teori Armando
Salvatore dan Mark Le Vine yang meragukan konsep public sphere
Jurgen Habermas mengenai kemampuan untuk menganalisis Islam
Publik. Dalam pandangan mereka, konsep Habermas terlalu
terbatas menjelasksn format dan akses ruang-ruang publik serta
tidak dapat menciptakan kesempatan mengklaim ulang kebaikan
bersama (common good) yang diupayakan oleh berbagai gerakan
kelompok sosial, termasuk kelompok sosial religius, yang tidak
merefleksikan semacam sekularitas yang diproduksi negara
modern dengan berbagai variannya seperti liberal, publik, dan
sosialis.38
Di beberapa daerah misalnya, di Lombok, Nusa
Tenggara Barat, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sering
mendapatkan perlakuan intimidasi, mulai penyegelan masjid
tempat mereka ibadah, sampai penjarahan hak milik mereka, serta
pengusiran secara paksa dari tanah kelahirannya.39
Sedangkan di
Communication Networks, and Global Governance‛, Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 616, Public Diplomacy in a
Changing World (Mar., 2008), 78, http://www.jstor.org/stable/25097995
(diakses pada tanggal 26 Juni 2013). 36
Jurgen Habermas Religion on Public Sphere, 128. 37
Lihat A. Sunarko dalam F. Budi Hardiman, Ruang Publik, 220. 38
Armando Salvatore dan Mark LeVine, ‚Recontructing The Public
Sphere in Muslim Majority Societies‛ dalam Religion, Social Pratice, And Contested Hegemonies: Recontructing the Public Sphere in Muslim Majurity Societies, Armando Salvatore dan Mark Le Vine (ed) (New York: Palgrave
Macmillan, 2005), 5-6. 39
Mengenai konflik Jemaat Ahmadiyah dan Non-Ahmadiyah di NTB,
terdapat penelitian khusus yang menyoroti hal tersebut. Lihat, Lalu Ahmad
Zaenuri, Konflik Jemaat Ahmadiyah dengan Masyarakat Non-Ahmadiyah (Studi
Kasus di Lombok NTB), Disertasi SPS UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 2009.
362
Kemang Parung, Bogor, Jawa Barat tahun 2005, 2007, tahun 2013,
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) mengalami hal serupa. Pada
tahun 2005, Ahmadiyah di Parung ini tergolong besar, bahkan
dikenal sebagai pusat kegiatan Ahmadiyah di Indonesia. JAI berada
di Desa Pondok Udik, Kemang memiliki pusat pendidikan kader,
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pesantren Mubarok, dan
perguruan tinggi Islam Ahmadiyah.
Pada tahun 2007 dan 2009 kelompok terbesar Jemaat
Ahmadiyah Qadian di Desa Manislor, Kuningan, Jawa Barat,
diserang dan dihancurkan oleh kelompok-kelompok masyarakat
yang mengatasnamakan Islam. Delapan rumah jemaat
dihancurkan, sementara tujuh masjid dirusak dan dibakar, tiga di
antaranya disegel aparat kepolisian. Dampak yang lebih
menakutkan, tiga warga Ahmadiyah dirawat di rumah sakit, satu di
antaranya mengalami luka tusukan benda tajam.40
Dalam kasus Ahmadiyah Qadian dengan Islam arus utama
bukan isu kebebasan beragama tetapi penafsiran perbedaan
paham kenabian. Menanggapi perbedaan tersebut, Pengurus Pusat
Jemaat Ahmadiyah membenarkan bahwa komunikasi yang mereka
lakukan selama ini pada umat Islam arus utama tidak sebaik dan
seintensif dengan umat Kristen maupun Katolik. Menurut salah
seorang pengurus PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Rakeeman
R.A.M. Jumaan, ada kesalahan persepsi komunikasi akibat warga
Ahmadiyah menjadi korban kekerasan karena ajaran Ahmadiyah
dianggap menyimang dan sesat.41
Perbedaan itu, didasarkan pada adanya pandangan yang
keliru terhadap keyakinan Ahmadiyah dalam hal khata>m al-nabi>yi>n. Padahal Ahmadiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad
saw adalah nabi yang terakhir dan tidak akan datang nabi lagi,
baik nabi lama maupun nabi baru.42
Sekelompok ormas Islam
menganggap ajaran Ahmadiyah Qadian dianggap melenceng dan
menyesatkan dari ajaran Islam sebenarnya karena mengakui
adanya nabi setelah Nabi Muhammad saw. Hal ini sangat
40
Majalah Madina, Edisi 3, Desember 2009. 41
Wawancara mendalam dengan Rakeeman RAM Jumaan, Pengurus
Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia, di Parung, Jawa Barat, 14 Pebruari 2014. 42
Wawancara mendalam dengan Rakeeman R>A>M Jumaan, Pengurus
Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia, di Parung, Jawa Barat, 14 Pebruari 2014.
363
bertentangan dengan pandangan umumnya kaum muslim yang
mempercayai Nabi Muhammad saw sebagai nabi terakhir.43
Menurut Goenawan Mohamad, presiden pertama Indonesia
Soekarno menghargai gerakan Ahmadiyah. Selama masa
pembuangannya di Ende, Nusa Tenggara Timur, dia pernah
didesas-desuskan mendirikan cabang Ahmadiyah, namun Soekarno
dalam sepucuk suratnya tahun 1936, membantah desas-desus
tersebut.
Saya tidak percaya bahwa Mirza Gulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula bahwa dia seorang mujaddid. Namun dia menyatakan mendapat banyak faedah dari buku-buku yang dikeluarkan Ahmadiyah, misalnya Mohammad the Prophet karya Mohammad Ali dan Het Evangelie van den daad karya Chawadja Kamaloeddin. Majalah Ahmadiyah, Islamic Review, kata Bung Karno, banyak memuat artikel yang bagus.
44
Mohamad menulis, pada waktu itu, Bung Karno tentu sadar
akan sikap negatif kalangan Islam, terutama Muhammadiyah,
terhadap Ahmadiyah yang terungkap sejak tahun 1929.45
Adanya
43
Lihat Lalu Ahmad Zuhaeri, ‚Konflik Jemaat Ahmadiyah dengan
Masyarakat Non Ahmadiyah‛ Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah, (2009), 15. 44
Goenawan Mohamad, ‚Dari Ende ke Arab Saudi‛, Majalah Prisma,
edisi khusus volume 32, No.2 dan No 3 tahun 2013), 152. 45
Namun dia, tidak menutup pintu bagi ide-ide yang dianggap baik dari
kalangan ini – ‚baik‛ dalam perspektif seorang penganjur modernitas.
Ahmadiyah adalah salah satu faktor penting di dalam pembaharuan pengertian
Islam di India,‛ kata Bung Karno dalam tulisannya, ‚Me-muda-kan Pengertian
Islam‛. Dalam hal ini Bung Karno tidak seorang diri. Seperti dia, sebelumnya,
Tjokroaminoto, juga mendapatkan Qur’an dari terjemahan dan tafsir seorang
ulama Ahmadiyah, Muhammad Ali, The Holy Qur’an. Organisasi pemuda Islam
yang berpengaruh, Jong Islamieten Bond, yang didirikan para pemuda terpelajar
pada tahun 1924 yang pernah mengundang seorang mubalig Ahmadiyah Lahore,
Wali Ahmad Baig, sebagai salah seorang pengajar di organisasi itu –
sebagaimana halnya tokoh Islam ‚reformis‛ lain, misalnya, A Fachruddin dari
Muhammadiyah. Meskipun demikian, ada hal yang tak akan mendekatkan
Bung Karno ke kalangan Ahmadiyah: Selain kultus mereka terhadap Mirza
Gulam Ahmad adalah apa yang dikatakan Bung Karno sebagai ‚kecintaan‛ para
pelopor Ahmadiyah ‚kepada imperialisme Inggris.‛ Semangat antikolonial
bertaut dengan keyakinan akan modernitas dan pandangan sejarah yang
364
perbedaan fundamental yang menyangkut soal posisi Muhammad
sebagai nabi terakhir itulah yang membuat umat Islam arus utama
merasa bahwa identitas religius mereka berbeda dengan jemaat
Ahmadiyah, bahkan mereka meminta Ahmadiyah tidak
menyatakan diri sebagai umat Islam.
Perasaan adanya ketidaksamaan identitas itu, menyebabkan
umat Islam arus utama merasa terganggu jika Ahmadiyah tetap
menyatakan diri sebagai Islam. Jika umat Islam secara keseluruhan
merupakan satu kelompok budaya, maka Ahmadiyah dianggap
tidak memiliki keyakinan dan persepsi yang sama dengan
kelompok Islam arus utama. Jadi jelas masalah utama dalam kasus
Ahmadiyah Qadian, bukan isu kebebasan beragama, tetapi
penafsiran perbedaan paham kenabian.46
Jika melihat Islam
sebagai budaya yang merupakan area penampilan yang cair dan
tidak baku, maka bisa dikatakan bahwa upaya negosiasi dan
kompetisi yang dilakukan Ahmadiyah dalam gelanggang Islam
belum berhasil, atau belum mencapai tujuannya. Penolakan keras
masih mendominasi dan terlegitimasi, walaupun penerimaan dari
beberapa kelompok Islam lainnya seperti; Jaringan Islam Liberal
(JIL) maupun kelompok Nasionalis Abdurrahman Wahid tetap
ada.47
Perpecahan keagamaan, akibat fanatisme sempit sering
dilukiskan sebagai bahaya sosial paling besar dan eksplosif bagi
Indonesia yang plural budaya, agama, dan suku bangsa. Padahal,
manusia dikenal sebagai makhluk Allah yang paling cerdas.
Kecerdasan yang dimiliki manusia menempatkannya sebagai
sebaik-baiknya ciptaaan Allah (ahsan al-taqwim).48 Dari segi
politik diperlukan suatu pemerintah yang kuat dan stabil, sekaligus
terbuka dan tanggap. Mengherankan apabila melihat keadaan yang
Marxistis – itulah yang mewarnai cara Bung Karno memandang Islam. Lihat
Gunawan Muhamad, ‚Dari Ende ke Arab Saudi‛, Majalah Prisma, 152. 46
Lihat Lalu Ahmad Zuhaeri, ‚Konflik Jemaat Ahmadiyah dengan
Masyarakat Non Ahmadiyah‛ Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah, (2009), 5. 47
Maman Suryaman, Fatwa Takfir MUI pada Ahmadiyah (Jakarta:
Muda Cendekia Indonesia, 2012), 2. 48
Qur’an Surat At-Tin; 4, ‚Sesungguhnya kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya‛ Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: CV. Diponogoro, 2005), 478.
365
tidak stabil dalam kehidupan beragama masih terus berlangsung di
Indonesia yang sudah merdeka 60 tahun, khususnya di zaman yang
modern ini.49
Fenomena konflik dan pemidanaan tersebut, menurut
Zainal Abidin Bagir, akibat menguatnya secara bersamaan dua
kelompok arus utama di masa reformasi yang terkadang saling
bersinggungan dan tidak mungkin untuk dihilangkan salah
satunya; arus pendukung hak asasi manusia yang menyuarakan
kebebasan beragama atau berkeyakinan dan arus pendukung
fundamentalisme yang menyuarakan pentingnya nilai-nilai
keagamaan dalam semua lini kehidupan, khususnya agama Islam.50
Konflik menjadi ironi dalam masyarakat yang heterogen, baik
antar-agama seperti dalam kasus Jemaat Kristen Yasmin di Bogor,
maupun intra-agama yaitu Ahmadiyah dan penganut Syiah. Kasus-
kasus tersebut belum terselesaikan, bahkan dampaknya bukan
saja traumatik secara psikologis, tetapi juga secara sosial, mereka
terusir dari kampung halamannya.
Menurut Suryadharma Ali, konflik berlatar belakang
agama adalah gejala wajar dalam masyarakat majemuk dalam
agama, suku, dan budaya seperti di Indonesia. Kasus-kasus
semacam itu jangan dikipas-kipasi atau ditunggangi kelompok
politik atau kepentingan.51
Selama tidak dikipas-kipasi, konflik itu
masih wajar terjadi. Sekecil apa pun kipas-kipas itu harus
diwaspadai karena jika berlanjut dari waktu ke waktu, lama-lama
terbentuk opini negatif.52
Namun Koordinator Program
49
Lihat Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan,1998),37. 50
Zainal Abidin Bagir, Jalan Tengah Mahkamah Konstitusi dan Kebebasan Beragama di Indonesia, dalam Ismail Hasani (ed.), Putusan Uji
Materi UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Setara
Institute, 2010), 31. 51
Lihat ‚Konflik Wajar, Jangan Tunggangi,‛ Kompas, 10 Juli 2013,
Rubrik Nasional, 2. 52
Lihat ‚Konflik Wajar Jangan Tunggangi.‛ Kompas, 10 Juli 2013,
Rubrik Nasional. Konflik selalu ada dalam kehidupan manusia, bahkan dalan
dalam peradaban atau negara yang maju maju sekalipun. Hal itu terjadi karena
manusia diberkati nafsu amarah. Untuk mengaturnya, agama dan negara
melarang pembunuhan, kekerasan, menghina, atau memfitnah satu sama lain.
366
Pascasarjana Psikologi Perdamaian Universitas Indonesia, Ichsan
Malik, tidak sependapat dengan Suryadharma Ali, bahwa konflik
adalah hal yang wajar, melainkan justru berbahaya. Pernyataan
Suryadharma Ali soal konflik dapat menjustifikasi bahwa sengketa
atau pertentangan dalam perbedaan dapat dibiarkan terus terjadi.
Potensi konflik tidak dapat dianggap wajar karena dapat mengarah
pada konflik terbuka.53
Perbedaan termasuk perbedaan suku, agama, ras, dan
antargolongan merupakan kodrat atau alamia namun,
ketidakmampuan menghadapi perbedaan menimbulkan atau
sengketa.54
Potensi konflik tidak dapat dianggap hal yang wajar
karena dapat mengarah pada konflik terbuka dengan berbagai aksi
kekerasan. Pemerintah hendaknya proaktif memfasilitasi
penanganan potensi konflik, bukan menganggap potensi konflik itu
sebagai hal yang wajar. Potensi konflik dengan berbagai latar
belakang agama perlu ditangani dengan pendekatan komunikasi,
seperti memberikan ruang dialog. Sedangkan dari sisi intelijen,
aparat keamanan harus melakukan deteksi dini agar potensi konflik
tidak mengarah pada kekerasan.55
Potensi konflik merupakan usaha
Terhadap sejumlah kekerasan berlatarbelakang agama, Suryadharma Ali
menegaskan, siapaun yang melakukan intimidasi atau kekerasan harus diproses
hukum. Tindak kekerasan oleh siapan kepada siapaun dengan alasan apapun
tidak bisa dibenarkan. Siapa pun yang melakukan kekerasan akan berhadapan
dengan hukum. 53
Lihat ‚Pernyataan Menag Berbahaya,‛ Kompas, 11 Juli 201. Rubrik
Nasional,2. 54
Sengketa yang tidak tertangani dengan baik dan dibiarkan berlarut-
larut akan mengarah kepada konflik. Jadi dalam konflik sudah terjadi kekerasan,
penghilangan hak hidup, penghilangan hak bertempat tinggal, hak bekerja, dan
hak-hak lainnya. Jika terjadi sengketa dalam perbedaan , pemerintah tidak boleh
membiarkan, melainkan memfasilitasi untuk menyelesaikan sengketa. Namun
yang terjadi selama ini , pemerintah cenderung membiarkan sengketa terjadi
berlarut-larut dan terakumulasi sehingga bermuara pada konflik. Dalam konflik-
konflik selama ini penyebabnya antara lain pertentangan atau sengketa
perbedaan, baik dalam perbedaan kepercayaan, perbedaan kebijakan atas
pengelolaan sumber daya alam, tidak tertangani dengan baik, terakumulasi, dan
bermuara pada konflik. Lihat ‚Pernyataan Menag Berbahaya,‛Kompas, 11 Juli
2013, Rubrik Nasional. 55
Lihat ‚Pernyataan Menteri Agama Berbahaya‛, Kompas, 11 Juli 2013,
Rubrik Nasional.
367
untuk mengingatkan perlunya menjaga kerukunan. Sebagai negara
majemuk dengan berbagai macam agama, suku, dan budaya,
sesama warga negara Indonesia memiliki potensi terjadinya
perpecahan. Upaya bijak untuk mengantisipasinya, semua elemen
bangsa perlu terus berusaha membangun kerukunan beragama dan
melakukan komunikasi secara terbuka apa adanya.
Pengaturan tentang tindak penodaan agama merupakan
produk sejarah peradaban manusia yang panjang dan bukan hanya
di negara-negara Muslim seperti Indonesia, tetapi juga di negara-
negara Kristen, seperti di Eropa. Pengaturan diperlukan untuk
mencegah terjadinya penistaan, penyalahgunaan, dan penodaan
agama.56
Padahal Islam itu, khususnya Islam Jawa merupakan
sistem keagamaan desa yang terdiri dari suatu integrasi yang
berimbang antara unsur-unsur animisme, Hindu, dan Islam. Suatu
sinkretisme57
utama orang Jawa yang merupakan tradisi rakyat
yang sebenarnya di pulau itu, dasar utama peradabannya tetapi
situasinya lebih kompleks dari itu.58
Sistem keagamaan ini
diasosiasikan dengan cara yang luas dan umum dengan desa orang
Jawa.59
Clifford Geertz melihat tiga sosok varian Islam Jawa salah
satunya adalah dari aspek residensial atau tempat tinggal
seseorang, di samping tradisi dan ritual sebagai metode untuk
menjustifikasi menjadi sosok abangan yang ada di pedesaan. Santri
di pesantren, dan priyayi di kantor birokrasi pemerintahan yang
56
M. Atho Mudzhar, ‚Pengaturan Kebebasan Beragama dan Penodaan
Agama di Indonesia dan Berbagai Negara,‛ http://www.
djpp.depkumham.go.id/files/doc/591_Pengaturan%20Kebebasan%20Beragama%
20dan%20Penodaan%20Agama.pdf, (diakses 5 Juni 2013). 57
Sinkretisme paham (aliran) baru yang merupakan perpaduan dari
beberapa paham (aliran) yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan,
dan sebagainya: Upacara Syiwa Buddha adalah ungkapan -- agama Buddha dan
Hindu. Lihat sumber: http://artikata.com/arti-351319-sinkretisme.html. Diakses,
30 Januari 2014. 58
Clifford Geertz, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa,
terj. Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983),2. 59
Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa,
3.
368
notabene di perkotaan. Sedangkan kelompok abangan di pasar atau
di lingkungan masyarakat biasa.60
Kekerasan seolah-olah menjadi saluran tunggal untuk
penyelesaian suatu masalah. Sentimen primordial, seperti suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA) begitu cepatnya tersulut.
Penggunaan simbol-simbol agama merupakan konflik yang paling
rawan, masif, dan destruktif. Sebab, agama memberikan pengaruh
yang sangat kuat dalam kehidupan bagi pemeluknya, baik secara
personal maupun sosial. Tidak mengherankan, dalam konflik
agama, para pelakunya merasa faktor penggeraknya merupakan
tujuan mulia. Konflik bernuansa agama merupakan tipe konflik
yang tidak mudah untuk diurai, tetapi bukan berarti konflik
tersebut tidak bisa dikelola dengan baik. George Weige memberi
penilaian secara seimbang bahwa agama dapat menjadi sumber
konflik sekaligus juga memiliki potensi kreatif yang dapat
berfungsi sebagai jaminan yang kuat untuk toleransi sosial,
pluralisme demokratis, dan resolusi konflik nir-kekerasan.61
Meskipun demikian, konflik berlatar belakang agama
sesungguhnya tidak melulu atas dasar agama atau motif sakral,
tetapi berkelindan dan malah diinisasi oleh motif-motif politik
kepentingan agama atau perebutan kekuasaan. Di sisi lain, agama
seringkali menjadi instrument pembenaran dalam membingkai
konflik. Menurut Syafii Maarif, dalam hal kebebasan beragama,
ternyata al-Qur’an lebih toleran dibanding dengan umat Islam
60
Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa,
6-7. 61
George Weige, ‚Religion and Peace, An Argument Complex‛ dalam
Resolving Third Word Conflict: Challenge for New Era, ed. Syeryl Brown dan
Kimber Schraub (Washington DC: US Institute of Peace Press, 1992), 173.
Sejumlah lembaga internasional juga menaruh perhatian besar tentang peran
agama dalam resolusi konflik dan merekomendasikannya menjadi bagian dari
penciptaan kohesi dan integrasi sosial. Di kalangan Muslim, upaya menggali
peran agama dalam resolusi konflik juga banyak dilakukan sejumlah sarjana lihat
di antaranya; Ralph H. Salmi, Cesar Adib Majul, George Kilpatrick Tanham,
Islam and Conflict Resolution: Theories and Practices (Lanham: University
Press of America, 1998); Abdul Aziz Said, Nathan C. Funk, Ayse S. Kadayifci, Peace and Conflict Resolution in Islam: Perception and Practice (Lanham:
University Press of America, 2001) ; Mohammed Abu-Nimer, Non Violence and Peace Building in Islam: Theory and Practice, (Florida: University Press of
Florida, 2003).
369
sendiri. Dia mengkritik sikap umat Islam yang cenderung intoleran
terhadap berbagai perbedaan agama, walaupun al-Qur’an telah
memberikan tuntutan untuk itu. Hal tersebut bisa saja terjadi
karena kurangnya rasa bertoleransi dalam memaknai agama yang
sesungguhnya. Padahal kebebasan untuk menentukan sebuah
agama mendapat jaminan dari kitab suci itu. Hal tersebut
tersimpul dalam kalimat la> ikra>ha fi> al-di>n (tidak ada paksaan
dalam sebuah agama).62
Hal ini bisa saja dipengaruhi kedewasaan
seseorang dalam melihat keyakinan dalam beragama. Sedangkan
dalam pandangan Peter L Berger, agama merupakan legitimasi
yang paling efektif.63
Kaitan agama dan politik, menurut Haryatmoko,
menyentuh tiga mekanisme pokok yaitu fungsi ideologis, faktor
identitas, dan legitimasi etis hubungan sosial. Sebagai ideologis,
agama menjadi perekat karena memberikan kerangka penafsiran
dalam pemaknaan hubungan-hubungan sosial. Sebagai fungsi
identitas, agama dapat didefinisikan sebagai kepemilikan
kelompok sosial tertentu yang dapat memberikan stabilitas sosial,
status, pandangan hidup, cara berfikir, dan etos. Sebagai fungsi
legitimasi etis hubungan sosial, agama menjadi pendukung suatu
tananan sosial yang bisa memunculkan fanatisme agama.64
Sosialisme religius,65
baik secara istilah maupun ide, bukanlah
sesuatu yang sama sekali baru, khususnya di Indonesia. Sudah ada
semenjak masa perkembangan Serikat Islam. Tetapi, istilah
Sosialisme Religius bukanlah monopoli golongan atau tokoh
khusus Islam saja. Bung Karno sendiri tidak sekali-dua kali
62
Lihat, Muhammad Qorib, ‚Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang
Pluralisme Agama‛ Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2012),40. 63
Lihat Sabhan SD, ‚Berhentilah Menjadi Bangsa Pemarah,‛ Kompas,
28 Juni 2013, Rubrik Opini. 64
Lihat Sabhan SD, ‚Berhentilah Menjadi Bangsa Pemarah‛, 37. 65
Sosialisme religious adalah pemikiran yang menggalang kekuatan
untuk memperjuangkan nasib masyarakat kecil dengan berlandaskan pada
dimensi religiusitas. Ideologi ini menjunjung tinggi nilai-nilai sosial dengan
berlandaskan pada nilai-nilai keagamaan atau ketuhanan. Sehingga batasan dari
pemikiran ini adalah nilai-nilai ketuhanan yang notabanenya tidak bisa diganggu
gugat. Sumber http://www.dakwatuna.com/2012/05/09/19967/sosialis-
religius/#axzz2rrEmlQ2n. Diakses, 30 Januri 2014.
370
memberi penegasan bahwa masyarakat yang dicita-citakannya
adalah suatu masyarakat sosialis-religius. Sebab untuk Bangsa
Indonesia, dasar Pancasila merupakan faktor pemberi warna dan
corak utama kepada setiap gagasan politik atau sosial yang
tumbuh.66
Indonesia yang masyarakatnya plural, dilihat dari budaya,
bahasa, dan agama, pengertian tentang masyarakat multikultural67
dan multikulturalisme68
tidaklah membuat Indonesia rawan
66
Lihat juga Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2007),5.
67Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan
terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat
multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan
hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas
tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat
yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing
yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut. Multikulturalisme masih
menjadi agenda yang belum terselesaikan di banyak bagian Eropa. Meski
dinamika demografi dan sosial budaya beberapa negara Eropa meniscayakan
penerapakn multikulturalisme dalam kehidupan para warganya yang kian
beragam. Lihat, Azyumardi Azra, ‚Multikulturalisme Indonesia dan Eropa,‛
Republika, 17 April 2014 Rubrik Resonansi. 68
Multikulturalisme adalah secara sederhana multikulturalisme berarti
keberagaman budaya. Istilah multikultural ini sering digunakan untuk
menggambarkan tentang kondisi masyarakat yang terdiri dari keberagaman
agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda. Selanjutnya dalam khasanah
keilmuan, istilah multikultural ini dibedakan ke dalam beberapa ekspresi yang
lebih sederhana, seperti pluralitas (plurality) mengandaikan adanya ‚hal-hal yang
lebih dari satu (many)‛, keragaman (diversity) menunjukkan bahwa keberadaan
yang ‚lebih dari satu‛ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tidak dapat
disamakan, dan multikultural (multicultural) itu sendiri. Munculnya pandangan
tentang kegagalan multikulturalisme di Eropa terkait dengan tidak terjadinya
akulturasi dan akomodasi budaya secara signifikan di antara para warga. Para
migran yang kian banyak datang dari Afrika, Asia Barat, dan Asia Selatan sejak
tahun 1950-an membuat masyarakat Eropa secara secara etnis dan agama kian
beragam. Namun, kaum migran yang kini banyak sudah generasi ketiga tetap
sulit berbaur dengan penduduk pribumi lokal. Mereka cenderung hidup dalam
perkampungan (enclave) miskin dan kumuh. Lihat, Azyumardi Azra,
‚Multikulturalisme Indonesia dan Eropa,‛ Republika, 17 April 2014.
371
terhadap keutuhan berbangsa dan bernegara. Justru sebaliknya,
bangsa Indonesia tetap terintegrasi dalam ke-ikaan dan kesatuan.69
Masyarakat plural adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih unsur-unsur atau tatanan-tatanan sosial yang hidup berdampingan tetapi tidak bercampur dan menyatu dan menyatu dalam satu unit politik tunggal. (Furnivall 1994:446) 70
Beberapa upaya negosiasi terus dilakukan Ahmadiyah agar
kelompok Islam arus utama menerima mereka. Misalnya, melalui
tulisan-tulisan penjelasan tentang ajaran mereka, yang mereka
anggap tidak bertentangan dengan Islam. Atribusi makna pun
dilekatkan oleh Islam arus utama pada Ahmadiyah saat kelompok
ini lalu menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad merupakan nabi
terakhir: Makna bahwa kelompok tersebut sesat. Selain itu,
reproduksi realitas yang dikomunikasikan saat kelompok
Ahmadiyah melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam pun
bertentangan dengan realitas yang selama ini dipercaya Islam arus
utama.
Keyakinan dalam masyarakat Islam arus utama bahwa
Muhammad saw merupakan nabi terakhir tidak dapat
dinegosiasikan, sehingga stereotip atau prasangka yang subyektif
muncul terhadap Ahmadiyah. Kasus yang didera Ahmadiyah pun
berkembang dalam berbagai konteks yang berbeda-beda. Konteks
konflik antar-kelompok Islam mainstream dan Ahmadiyah
berkembang menjadi konteks kehidupan negara saat MUI dan
Menteri Agama ikut mengambil sikap.71
Fatwa MUI menetapkan Ahmadiyah adalah sesat. Imbauan
Menteri Agama yang menyuruh kelompok tersebut tidak
menyatakan diri sebagai Islam, adalah wujud kekuasaan yang
menyebar dalam interaksi komunikasi antarbudaya dalam kasus
ini.72
Cara-cara agresif yang menyerang, baik verbal maupun fisik,
juga manifestasi kekuasaan Islam mainstream terhadap
69
Lihat Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia…17.
70Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia, 10.
71Maman Suryaman, Fatwa Takfir MUI pada Ahmadiyah, 2.
72Maman Suryaman, Fatwa Takfir MUI pada Ahmadiyah, 2.
372
Ahmadiyah.73
MUI menyatakan terbitnya fatwa tersebut telah
mendorong munculnya aksi anarkis terhadap jemaat Ahmadiyah.
Bahkan MUI menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah,
kebijakan dan langkah apa yang akan diberikan kepada Ahmadiyah
tersebut.74
Pada tahun 1979, Liga Islam sedunia mengeluarkan
fatwa mengenai ajaran Ahmadiyah sesat. Sebelumnya, tahun 1974,
pertemuan Liga Muslim Dunia di Makkah, Arab Saudi, yang
dihadiri delegasi 140 negara, telah mengeluarkan deklarasi yang
menilai Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Pemerintah Arab Saudi
menyatakan, aliran itu kafir dan tidak boleh ke Makkah untuk
menunaikan ibadah haji. Demikian pula Pemerintah Brunei
Darussalam dan Kerajaan Malaysia yang sejak 1975 melarang
ajaran Ahmadiyah masuk ke negara masing-masing.75
Sedangkan tahun 1980 MUI Pusat mengeluarkan fatwa
sesat Ahmadiyah. Fatwa ini, diperkuat oleh MUI pada tahun 2005,
namun Fatwa MUI tersebut mendapat perlawanan keras dari
73
Lihat ‚Fatwa MUI Pusat,‛ yang menegaskan soal ajaran Ahmadiyah
adalah sesat karena mengakui adanya nabi sesudah Nabi Muhammad saw. Dalam
Musyawarah Nasional (Munas) VII MUI tanggal 26-29 Juli 2005 M./19-22
Jumadil Akhir 1426 H. menegaskan kembali fatwa dan keputusan Munas II MUI
tahun 1980 tentang Ahmadiyah sebagai aliran yang berada di luar Islam, sesat
dan menyesatkan serta menghukumi orang yang mengikutinya sebagai murtad
(telah keluar dari Islam). Meski demikian, dalam fatwa tersebut MUI
menyerukan mereka yang telah terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah untuk
kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq) sejalan dengan al-
Qur’an dan Hadis. 74
Lihat juga pernyataan Yusril Ihza Mahendra yang menolak paham
Ahmadiyah. Satu landasan yang kuat untuk pelarangan Ahamdiyah di Indonesia
adalah dengan menelusuri asal tempat kelahirannya, India yang sekarang daerah
Pakistan. Di tempat kelahirannya sendiri, Pakistan, Ahmadiyah dilarang dan
ditetapkan sebagai paham di luar Islam dan pengikutnya sebagai non-Muslim.
Jika di tempat kelahirannya sendiri, Pakistan dianggap non-Muslim dan di Arab
Saudi tidak boleh naik haji karena dianggap non-Muslim, di Malaysia dilarang,
di enam puluh negara dilarang, mengapa di Indonesia pelarangannya dianggap
melanggar HAM di dunia lain tidak. Jadi, ketakutan terhadap pelanggaran HAM
dan kesediaan menerima akidah Islam dirusak orang bisa dipahami sebagai sikap
tidakterpuji.http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=vi
ew&id=20290&Itemid=52. Diakses 16 Juli 2013). 75
Lihat M. Amin Djamaluddin, Ahmadiyah Menodai Islam Kumpulan Fakta dan Data (Jakarta: Penerbit Lembaga Penelitian Dan Pengkajian Islam,
2007),138.
373
sejumlah kalangan dengan alasan hak asasi manusia dan
demokrasi.76
Bangsa Indonesia dilahirkan sebagai bangsa yang
plural. Tidak hanya pulaunya saja yang ribuan jumlahnya, akan
tetapi juga terdapat beragam suku bangsa dan agama serta
keyakinan yang dianut. Paling tidak, ada enam agama resmi yang
diakui oleh negara: Islam, Hindu, Buddha, Katolik, Protestan, dan
Konghucu, serta masih banyak lagi aliran kepercayaan yang tidak
secara resmi diakui oleh negara. Di dalam masing-masing agama
yang resmi pun masih terdapat macam-macam golongan.77
Dalam
menyikapi keberadaan Ahmadiyah, umat Islam Indonesia tidak
seharusnya ikut-ikutan melakukan apa yang telah dilakukan oleh
beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Pakitan,
Malaysia, dan Brunai Darussalam yang secara tegas menolak aliran
Ahmadiyah yang dikembangkan Mirza Ghulam Ahmad. Mengingat
ada perbedaan yang sangat mendasar antara konteks keindonesiaan
dengan konteks yang dihadapi oleh negara-negara berpenduduk
Muslim tersebut. Setidaknya ada tiga alasan utama, antara lain
Indonesia adalah negara majemuk yang sarat dengan nilai-nilai
toleransi.
Kemajemukan yang ada telah hadir di Indonesia sebelum
negara ini dilahirkan. Sebaliknya, Indonesia sebagai negara bangsa
terlahir justru karena adanya komitmen kemajemukan untuk hidup
bersama secara damai dan berdampingan.78
Agama-agama bukanlah
76
Lihat ‚Fatwa sesat MUI Pusat‛ dikeluarkan tahun 1980 yang
menyatakan bahwa ajaran Ahmadiyah Qadian sesat dan menyesatkan.‛
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=202
90&Itemid 52, diakses 16 Juli 2013. 77
Bandingkan Andi Faisal Bakti, Nation Building, Kontribusi Komunikasi Lintas Agama dan Budaya terhadap Kebangkitan Bangsa Indonesia (Jakarta:
Churia Press, 2006), 1-3. 78
Lihat Hasibullah Sastrawi, Ahmadiyah dan Keindonesiaan Kita (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011), 29. Kemajemukan adalah jati diri
sejati bangsa Indonesia. Eksistensi Indonesia sebagai negara sangat ditentukan
oleh kesadaran dan semangat kemajemukan warganya. Bangsa Indonesa
memiliki UUD 1945 pasal 28 E ayat 1 dan 2 yang memberi jaminan bagi
kebebasan beragama, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;
UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kevenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
Semua itu memuncak pada Bhinneka Tunggal Ika sebagai filosofi berbangsa dan
bernegara yang bahkan menjadi kebanggaan Presiden Amerika Serikat, Barack
374
sumber kekerasan, melainkan justru mengajarkan cinta kasih
kepada sesama manusia dengan latar belakang apa pun yang
diyakininya. Dari agama semestinya dapat dibangun masyarakat
yang damai dan menghargai semua kelompok yang berbeda-beda.
Semua agama mendorong umatnya untuk menemukan
kaidah emas yang penting untuk membangun kehidupan penuh
cinta kasih.79
Salah satu kaidah itu adalah pentingnya menelisik ke
dalam hati untuk menemukan apa yang membuat manusia tersakiti
dan menolak menimbulkan rasa sakit itu kepada orang lain. Semua
orang pernah menderita dan manusia wajib memahami
penderitaan itu.
Islam di berbagai zaman dan di berbagai daerah di Indonesia
berhadapan dengan adat dan struktur sosial setempat yang amat
berbeda-beda. Dengan demikian, berbeda-beda pula perkembangan
peranan agama dan pertimbangan-pertimbangan sosial dengan adat
dan struktur sosial dalam sejarah dan wilayah Indonesia. Berbagai
bentuk interaksi kongkrit tersebut menunjukkan pula
keanekaragaman wajah Islam dalam manifestasi sejarahnya.
Agama merupakan satu bentuk pengakuan dari pemeluk
agama terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa. Jadi semua agama
atau aliran keyakinan berdiri menuju satu kekuatan yang di luar
kekuatan manusia. Dialah yang menciptakan kehidupan dunia dan
kehidupan setelah di dunia. Ada banyak sebutan untuk Dia, seperti
Allah, Tuhan, Ilah, dan Sang Hyang Widi inti dari ajaran agama.80
Sejumlah sosiolog agama yang terilhami oleh pemikiran Robert K.
Merton memperkenalkan konsep fungsi menjadi dua, fungsi laten
dan manifes.81
Ada dua fungsi agama; fungsi yang tidak
dikehendaki yakni meningkatkan integrasi masyarakat untuk
kebutuhan ketenangan bathin dan solidaritas sosial. Sedangkan
Obama. Namun demikian, semua perundang-undangan dan filosofi kebangsaan
yang ada selama ini masih menjadi huruf mati di atas kertas. 79
Karen Armstrong, ‚Twelve Steps to a Compassionate Life,‛Kompas,
14 Juni 2013, Rubrik Nasional. 80
Lihat Azyumardi Azra, ‚Pendidikan Islam di Pesantren‛, Jurnal Pendidikan Pesantren 12 (2013), 12.
81George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi; Dari Teori
Klasik sampai Perkembangan Mutkahir Teori Sosial Postmodern. Terj. Nurhadi.
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), 272.
375
fungsi yang dikehendaki agama yaitu relasi antara manusia dengan
penciptanya yang ditandai dengan pelaksanaan perintah Tuhan dan
menjauhi larangan-Nya.
Salvatore dan Le Vine meragukan konsep public sphere
Jurgen Habermas yang menyatakan mampu menganalisis Islam
Publik. Dalam pandangan mereka, konsep Habermas terlalu
terbatas menjelasksn format dan akses ruang-ruang publik dan
tidak dapat menciptakan kesempatan mengklaim ulang kebaikan
bersama (common good) yang diupayakan oleh berbagai gerakan
kelompok sosial, termasuk kelompok sosial religius, yang tidak
merefleksikan semacam sekularitas yang diproduksi negara
modern dengan berbagai variannya seperti liberal, publik, dan
sosialis.82
Dengan mengambil tempat penelitian aktivitas Jemaat
Ahmadiyah Qadian di Parung, Bogor dan Jalan Balikpapan I/10
Jakarta Pusat, peneliti menyimpulkan terjadinya aksi kekerasan
yang kerap terjadi di masyarakat, khususnya menyangkut masalah
keyakinan beragama yang masuk ke ruang umum atau ruang
publik. Fenomena konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia,
khususnya pada Jemaat Ahmadiyah Qadian dalam menjalankan
teologi dan komunikasi antarbudaya yang cenderung eksklusif
mengakibatkan timbulnya aksi anarkis umat Islam arus utama.
Dalam teori Jurgen Habermas, Agama Di Ruang Publik (Religion in Public Sphere) disebutkan, agama dan kepercayaan apa pun
bebas beraktivitas di ruang publik, sejauh masing-masing
kelompok tidak melakukan komunikasi eksklusif untuk
menghindari terjadi mis-persepsi dan mis-komunikasi. Kekerasan yang dialami Jemaat Ahmadiyah Qadian di
Bogor dan Jakarta diteliti dengan perspektif antropologi
komunikasi karena selain mampu mengelaborasi sistem integrasi
82
Armando Salvatore dan Mark LeVine, ‚Recontructing The Public
Sphere in Muslim Majority Societies‛ dalam Religion, Social Pratice, And Contested Hegemonies: Recontructing the Public Sphere in Muslim Majurity Societies, Armando Salvatore dan Mark Le Vine (ed) (New York: Palgrave
Macmillan, 2005), 5-6.
376
sosial juga dapat mengidentifikasi potensi-potensi konflik yang
muncul di dalam masyarakat Islam.83
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Hubungan sosial dan komunikasi antarkelompok Islam arus
utama dengan Jemaat Ahmadiyah Qadian di Parung Bogor hingga
saat ini semakin tidak harmonis karena aktivitas masing-masing
dilakukan secara berkelompok. Begitu pula aktivitas keagamaan
dilakukan sehingga berdampak terhadap komunikasi antarbudaya
yang mengarah pada komunikasi eksklusif.84
Selain itu, kelompok
Ahmadiyah cenderung membangun stereotip internal yang dapat
menghambat mereka untuk mengikuti perkembangan dan
melakukan perubahan sosial bersama umat Islam mainstream. Hal
itu terjadi karena ada stigma dari sekelompok masyarakat Bogor
terhadap paham Ahmadiyah yang dianggap sesat dan menyesatkan.
Di sisi lain, lemahnya peran negara melindungi warga
kelompok minoritas berimbas terhadap instabilitas politik, sosial,
dan keamanan. Hal ini memungkinkan Islam arus utama bertindak
anarkis terhadap warga Ahmadiyah atas nama agama yang diakui
oleh negara. Banyak kasus seperti itu, kembali terulang sehingga
muncul persepsi pemerintah sepertinya melakukan pembiaran
sehingga peran negara dalam melindungi setiap warga negara tidak
terlihat. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan
sumber tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
merupakan sumber semangat bagi mereka yang hendak berdharma
bakti kepada negara dan bangsa.
Masalah lain, komunikasi Jemaat Ahmadiyah yang
cenderung kurang terbuka dengan lingkungan masyarakat di
sekitarnya, sebagai dampak atau trauma dari aksi kekerasan tahun
2005 lalu.85
Dengan demikian, akar masalah konflik kelompok
Ahmadiyah dengan Islam mainstream semakin terbuka. Sejalan
83
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 127. 84
Bentuk penelitian dengan cara partisipatoris dan dialog dengan Jemaat
Ahmadiyah dan umat Islam di Parung, Bogor, Jawa Barat. 14 Pebruari 2014. 85
Wawancara mendalam dengan Masdar Mashudi, Rois Suryah PB
Nahdatul Ulama, 7 Pebruari 2014.
377
dengan itu, pemerintah harus menyadari bahwa konflik tersebut
mempunyai dampak yang sangat berbahaya terhadap keutuhan dan
persatuan bangsa.
2. Pembatasan Masalah
Kehadiran Jemaat Ahmadiyah Qadian dalam ranah
komunikasi menarik perhatian banyak kalangan karena Ahmadiyah
dianggap sebagai alah satu aliran Islam yang tidak sejalan dengan
Majelis Ulama Indonesia yang merupakan presentasi dari umat
Islam arus utama. Selain itu, dikaitkan dengan adanya pelemahan
terhadap gerakan politik Islam.86
Walaupun ada kesulitan dalam
mengategorikan bahwa ajaran Ahmadiyah sesat, mengingat klaim
bahwa Ahmadiyah sama juga dengan Islam lain yang mengakui
Nabi Muhammad saw sebagai Rasul, dengan menyebut dua
kalimat syahadat, dan sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw.87
Muncul gejolak sosial antara Islam arus utama dengan Jemaat
Ahmadiyah dalam proses komunikasi sebagai sub-budaya dan
masyarakat Islam arus utama sebagai budaya dominan, diwarnai
oleh disintegrasi sosial, karena adanya perbedaan pemahaman
keagamaan yang kemudian menyebabkan proses komunikasi
terhambat. Terjadinya hambatan-hambatan tersebut antara lain
karena pola dan strategi komunikasi yang berbeda sehingga
memunculkan stereotip, prasangka (prejudice), dan etnosentris.
Selain itu tidak adanya kompetensi komunikator dan komunikasi
antarbudaya.88
Joseph A. DeVito membagi komunikasi antarbudaya
menjadi beberapa bagian; pertama, komunikasi antara dua budaya
yang berbeda. Kedua, komunikasi antar-ras seperti kulit putih dan
kulit hitam. Ketiga, komunikasi antarkelompok etnis seperti
komunikasi antaretnis Sunda dan etnis Batak. Keempat, komunikasi antarkelompok agama yang berbeda seperti
komunikasi antara orang Islam dan Kristen. Kelima, komunikasi
86
Wawancara mendalam dengan Ketua Umum MUI Pusat Din
Syamsuddin, di Jakarta, 7 Pebruari 2014. 87
Wawancara mendalam dengan muballigh Ahmadiyah Zafrullah Ahmad
Pontoh di PB JAI Cabang Jakarta, Jalan Balikpapan 1/10 Jakarta Pusat, 7
Pebruari 2014. 88
Lihat, Larry A. Samovar, et.al., Communication between Cultures (USA: Thomson Wasworth, 2007),312.
378
antarbangsa-bangsa yang berbeda, yang disebut juga dengan
komunikasi internasional seperti komunikasi antara orang
Indonesia dengan Amerika. Keenam, komunikasi antarsub-kultur
yang berbeda seperti komunikasi antara dokter dan pengacara.
Ketujuh, komunikasi antara sub-kultur dan kultur dominan, seperti
komunikasi antara kelompok homoseks dan heteroseks. Kedelapan,
komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda yaitu antara pria dan
wanita.89
Sedangkan komunikasi yang dikaji yaitu komunikasi sub-
budaya dan budaya dominan, di mana budaya Islam arus utama
merupakan budaya dominan yang telah berkembang lama di tanah
air. Bertolak dari latar belakang masalah dan kerangka pandang
tersebut, maka hasil penelitian ini mengkaji komunikasi
antarbudaya. Pembahasan serta kajian yang berhubungan dengan
komunikasi antarbudaya sebenarnya sangat luas. Oleh sebab itu,
untuk memudahkan penelitian, peneliti membahas masalah konflik
antarpemeluk agama, namun bukan menjadi fokus penulisan pada
konflik tersebut. Disertasi ini lebih fokus pada komunikasi
antarbudaya Ahmadiyah menggunakan pendekatan komunikasi
antropologi90
dengan bentuk penelitian riset partisipatoris.91
Hal
89
Joseph A. De Vito, Human Communication (USA: Harper Collins
Publishers Inc, 1991),432. Mengenai pembagian budaya menjadi sub budaya dan
budaya dominan. Lihat lebih lanjut, William B. Gudykunst dan Bella Mody
(edt.), dalam karyanya, Handbook of International and Intercultural Communication, Larry A. Samovar dalam karyanya Understanding Intercultural Communication dengan tema tentang Subcultures and Subgroup dan
Communication between Cultures dengan tema tentang The Dominat Culture serta Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama dalam Intercultural Communication in Conteks dengan tema tentang Co-Culture Communication.
90Antropologi komunikasi adalah ranah dalam antropologi yang
mempelajari cara kebudayaan yang melingkupi masyarakat melalui proses
komunikasi. Antropologi komunikasi merupakan sebuah perspektif yang
mengatakan ketertarikan kitapada bagaimana sebuah kebudayaan ditransmisikan
kepada orang-orang melalui proses komunikasi.Sebuah antropologi dari
komunikasi harus mengikuti penelitian lintas budaya dalam sebuah
negarakebangsaan, grup mionoritas, masyarakat asli, dan berbagai bentuk
organisasi sosial yangberkembang selama abad 21. Dalam masyarakat dimana
belum menjadi alat transmisi kebudayaan,maka tidak akan ada tempat untuk
antropologi komunikasi. Hubungan langsung antara antropologidan komunikasi
massa dimulai. Carey (1989) menerangkan proses ini dalam Communication as a
379
ini dilakukan agar kajian ini lebih terarah, sistematis, dan spesifik.
Namun, sebelumnya peneliti akan menguraikan terlebih dahulu
istilah-istilah yang terdapat dalam judul penelitian.
Menurut Iksan Tanggok, penelitian antropologi
merupakan bentuk penelitian dimana si peneliti masuk ke
dalam obyek penelitian dan mengungkapkan apa yang
terjadi dari obyek penelitian itu.92
Kajian ini, ingin melihat
dinamika dan metode komunikasi antarbudaya Ahmadiyah
Culture. Sebagai seorang sarjana komunikasi, dia mampu menghubungkan
konsep klasik, sepertiritual ke dalam sebuah teori baru, seperti simbol
antropologi dan memasukkan ke dalam definisikomunikasi. Sehingga dapat
dibedakan terdapat dua cara dalam memandang komunikasi yaitutransmission view dan ritual view. Sumber: https://www.academia.edu/4906862/Komunikasi.
Diakses, 30 Januari 2014. Konsep budaya yang relevan atau sesuai dengan
komunikasi, yakni masalah simbol, bahasa, dan pemaknaan. Antropologi adalah
salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat
suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan
orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang
berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.Antropologi lebih memusatkan pada
penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggaldalam arti kesatuan
masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi
tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan
kehidupansosialnya. Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca:
anthropos ) yang berarti manusia atau "orang", dan logos yang berarti wacana
dalam pengertian "bernalar", "berakal"). Antropologi mempelajari manusia
sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.Antropologi memiliki dua
sisi holistik dimana meneliti manusia pada tiap waktu dan tiapdimensi
kemanusiaannya. Arus utama inilah yang secara tradisional memisahkan
Antropologidari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan pada
perbandingan/perbedaan budaya antar manusia. Walaupun begitu sisi ini banyak
diperdebatkan dan menjadikontroversi sehingga metode Antropologi sekarang
seringkali dilakukan pada pemusatan penelitian pada penduduk yang merupakan
masyarakat tunggal. Sumber: https://www.academia.edu/4906862/Komunikasi.
Diakses, 30 Januari 2014. 91
Pembatasan masalah dapat dipilih berdasarkan permasalahan yang
paling mungkin, urgen, dan/laik. Masalah yang akan diteliti dapat dibatasi dari
segi waktu (periodeisasi), ruang (lokasi geografis), obyek atau lainnya…
Pemilihan terhadap masalah ini perlu diberikan alasan yang cukup, rasional dan
lengkap dengan menyajikan data pendukung. Lihat buku Pedoman Akademik
Program Magister dan Doktor Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011-2015, 69. 92
Iksan Tanggok, ‚Agama dan Perubahan Sosial,‛ materi kuliah, Sekolah
Pascasarjana Syarif Hidayatullah, Jakarta, November 2013.
380
yang merupakan suatu fenomena komunikasi antarbudaya.
Identitas religius Ahmadiyah menjadi dasar munculnya
konflik dengan Islam arus utama. Stereotipe dan prasangka
muncul dalam pikiran umat Islam mainstream terhadap
Ahmadiyah, yang selanjutnya memunculkan diskriminasi
terhadap kelompok tersebut. Bahkan diskriminasi yang
muncul telah mencapai bentuk diskriminasi institusional.
Terjadinya diskriminasi tersebut karena Ahmadiyah
dalam berkomunikasi tidak melakukan prinsip-prinsip dan
strategi komunikasi. Menurut, Jumaan, salah seorang
mubaligh Ahmadiyah Qadian, strategi komunikasi yang
dilakukan Ahmadiyah memang belum maksimal sehingga
sering terjadi misleading dengan umat Islam arus utama
dalam melihat ajaran Islam yang diterapkan Ahmadiyah.93
Sedangkan Ilya Sunarwinadi mengatakan, perkembangan
dunia saat ini yang makin menuju pada apa yang disebut
sebagai suatu global village (desa dunia), dengan
implikasinya pertemuan-pertemuan dan hubungan-
hubungan yang semakin meningkat menimbulkan minat dan
kesadaran akan perlunya mempelajari masalah-masalah
komunikasi antarbudaya. Terutama karena dari pertemuan-
pertemuan antarbudaya tersebut ternyata muncul
permasalahan-permasalahan sebagai akibat
ketidakmampuan dalam memahami pihak lain yang
berbeda dalam hal ideologi agama.94
Menurut Ilya
Sunarwinadi, kebudayaan, komunikasi, konteks, dan
kekuasaan merupakan empat komponen yang saling
berkaitan dalam upaya memahami komunikasi antarbudaya.
Kebudayaan dan komunikasi adalah dua hal inti.
Sedangkan konteks dan kekuasaan membentuk latar untuk
dapat lebih memahami komunikasi antarbudaya.
Kebudayaan sering dianggap sebagai konsep inti dalam
komunikasi antarbudaya. Karakteristik kebudayaan adalah
sesuatu yang dapat dipelajari, dapat ditukar dan dapat
93
Wawancara mendalam dengan Rakeeman RAM Jumaan, salah seorang
muballigh dan pimpinan PB. Ahmadiyah Parung, Jawa Barat, 14 Pebruari 2014. 94
Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antarbudaya (Jakarta: Pusat Antar-
Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, (tanpa tahun terbit),1.
381
berubah, itu terjadi hanya jika ada jaringan interaksi
antarmanusia dalam bentuk komunikasi antarpribadi
maupun antarkelompok budaya yang terus menerus.
Sedangkan Rogers dan Steinfatt mengatakan,
budaya merupakan cara hidup dari sekelompok orang,
susunan dari pembelajaran dan bagian pola pergerakan,
nilai-nilai, norma-norma, dan objek material. Dengan
demikian, budaya merupakan konsep umum yang memiliki
efek kekuatan yang sangat kuat dalam perjalanan
individu.95
Sedangkan budaya merupakan perkumpulan
yang bersifat religious, etnis, dan komunal yang membela
hak-hak kolektif, nilai-nilai, kepercayaan, keyakinan, dan
simbol-simbol.96
Ada sejumlah definisi kebudayaan, mulai
dari pola persepsi yang mempengaruhi komunikasi hingga
ajang persaingan dan konflik. Kebudayaan bukan hanya
sekadar satu aspek dari komunikasi antarbudaya. Tapi juga
aspek agama. Namun bagi Ahmadiyah, hal tersebut
terkesan diabaikan sehingga ketika berhadapan dengan
Islam arus utama yang terjadi justru benturan fisik.97
Dari
kesimpulan tersebut Ahmadiyah kurang memahami dan
memaknai pengertian komunikasi antarbudaya yang
memerlukan suatu pemahaman tentang konsep-konsep
komunikasi dan kebudayaan, serta saling ketergantungan
antara keduanya. Saling ketergantungan ini terbukti,
apabila disadari bahwa pola-pola komunikasi yang khas
dapat berkembang atau berubah dalam suatu kelompok
kebudayaan khusus tertentu.98
Selain itu kesamaan
tingkah laku antara satu generasi dengan generasi
95
Everett M. Rogers dan Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication (USA: Waveland Press, 1999), 79.
96Iwan Ismi Febriyanto, ‚Konsep dan Tipologi Civil Society dalamNegara
Demokrasi‛ dalam http://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2012/10/konsep-dan-
tipologi-civil-ciety-dalam. html (diakses pada tanggal 15 Juni 2013). 97
Wawancara mendalam dengan Rois Syuriah PB NU, H. Masdar F.
Mashudi, di Jakarta, 7 Pebruari 2014. 98
Lihat Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antarbudaya (Jakarta: Pusat
Antar-Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun terbit),
18.
382
berikutnya hanya dimungkinkan berkat digunakannya
sarana-sarana komunikasi.
Kasus yang dialami Jemaat Ahmadiyah merupakan
fenomena komunikasi antarbudaya. Unsur identitas religius
menjadi dasar munculnya konflik. Stereotip dan prasangka
muncul dalam pikiran umat Islam mainstream terhadap
Ahmadiyah, yang selanjutnya memunculkan diskriminasi
terhadap kelompok ini. Bahkan diskriminasi yang muncul
telah mencapai bentuk diskriminasi institusional yang
mengarah ke tindakan kekerasan dan anarkis.
3. Permasalahan
Problem yang dihadapi Ahmadiyah, salah satunya
merupakan masalah komunikasi, sementara permasalahan konflik
Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan umat Islam mainstream dipengaruhi sejumlah faktor. Semakin transparan komunikasi
Ahmadiyah dengan umat Islam arus utama semakin sedikit
persepsi negatif terhadap Ahmadiyah. Dalam komunikasi
antarbudaya antara masyarakat yang memiliki faham keagamaan
berbeda akan muncul penafsiran yang berbeda pula karena itu
disarankan untuk melakukan komunikasi secara terbuka dan
strategi, termasuk melakukan komunikasi diplomasi.
Komunikasi antarbudaya yang dimaksud yaitu agama
karena 99
masuk dalam ranah budaya dan pandangan hidup,
sehingga ketika pahamnya berbeda maka akan terjadi benturan
nilai dan konflik horizontal.100
Mencermati banyaknya
permasalahan dan luasnya spektrum pembahasan, maka perlu
dilakukan pembatasan masalah. Pembatasan masalah mencakup
tiga hal; ruang (lokasi geografis), waktu (periodisasi), dan tema.101
Terkait dengan fenomena tersebut, dalam penelitian ini akan
99
Lihat Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antarbudaya….19-20. 100
Dalam perspektif ajaran Islam, kedudukan manusia di hadapan Tuhan
adalah sama, yang membedakan antara satu dengan lainnya adalah takwanya.
Lihat al-Qur’an, Surat al-Hujurat ayat 13. 101
Selengkapnya lihat Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor
Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2011-2015 khususnya halaman, 69.
383
dilakukan pembahasan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Apakah problem Ahmadiyah merupakan problem komunikasi
antarbudaya? Bagaimana komunikasi Ahmadiyah dalam
masyarakat dan dalam berorganisasi, serta persepsi Islam arus
utama? Bagaimana komunikasi antarbudaya Islam arus utama
dengan Jemaat Ahmadiyah di Bogor dan Jakarta?
2. Apa saja komunikasi yang dilakukan warga Ahmadiyah di
Bogor dan Jakarta terhadap umat Islam arus utama dalam relasi
komunikasi antarbudaya? Bagaimana proses konsensus yang
terjadi?
Pandangan dunia yang terbentuk antara manusia tidak
selalu sama dalam menilai sesuatu hal yang dipelajarinya melalui
agama atau kepercayaan, begitu juga dengan nilai-nilai yang
terbentuk dan perilakunya. Kalau hal ini tidak difahami oleh
individu-individu maupun kelompok yang berinteraksi dengan latar
belakang budaya yang berbeda akan menimbulkan hambatan dalam
berkomunikasi dalam arti kata komunikasi akan berjalan tidak
harmonis dan bahkan akan terjadi salah persepsi.102
Komunikasi
antarbudaya terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar
belakang budaya yang berbeda berinteraksi dalam transaksi
pertukaran pesan.103
C. Kajian Pustaka
Kajian mengenai hubungan antarumat beragama dengan
berbagai variannya telah banyak dilakukan para sarjana maupun
peneliti. Sebagian besar kajian terfokus pada hubungan antara
Kristen dan Islam, dua agama yang terkategori sebagai missionary religions yang dalam kondisi tertentu kerap memunculkan
ketegangan dan konflik. Adapun persoalan hubungan Islam arus
utama dengan Ahmadiyah di Indonesia belum banyak dikaji,
terutama dari sisi komunikasi antarbudaya.
Di Indonesia, setidaknya dalam dua dekade terakhir sering
terjadi konflik kekerasan maupun konflik antar-identitas religius
102
F. Budi Hardiman, Ruang Publik, 22. 103
Lihat Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2009), 38.
384
karena Ahmadiyah memiliki identitas religius yang berbeda dengan
identitas religius Islam arus utama di Indonesia. Kekerasan ini
terutama berlangsung menjelang dan setelah tumbangnya rezim
Orde Baru. Menurut laporan United Nation Support Facility for Indonesian Recovery (UNSFIR), selama periode 1990-2001
tercatat 6.208 jiwa meninggal akibat kekerasan sosial. Bentuk dan
persentase kekerasan sosial antara lain, communal conflict sebesar
76.9 persen, separatist violence sebesar 22.1 persen dan sisanya
berupa state-community violence (1 persen), serta industrial relations related violence (0.1 persen).
104 Dari sisi variasi kekerasan
komunal, kategori kekerasan etnis, agama dan konflik penduduk
asli dengan pendatang menempati rangking pertama (67.7 persen
dari total kekerasan).105
Sementara dari sisi sebaran wilayah,
kekerasan lebih banyak berlangsung di daerah kabupaten, bukan di
wilayah perkotaan.
Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Safei
mengatakan106
cita-cita tatanan sosial dalam al-Qur’an pada
dasarnya menegakkan sebuah tatanan masyarakat yang mulia, adil,
elegan, berwibawa, dan dapat bertahan di muka bumi. Tatanan
sosial tersebut merupakan tatanan masyarakat yang diyakini
sebagai anak kandung dari peradaban Islam, mencerminkan ciri-ciri
akhlak dan budi pekerti yang luhur, bersumber pada nilai dan
ajaran agama Islam sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw
pada saat daulah mada>niyyah berlangsung.
Tepatnya pada tahun 624 Masehi, setelah Rasulullah saw
mempelajari ciri-ciri dan struktur masyarakat di Madinah yang
cukup plural, muncullah inisiasi melakukan serangkaian perubahan
sosial, salah satu di antaranya adalah mengikat solidaritas untuk
membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru, sebuah
ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras dan etnis, seperti Bani>
Qauniqa, Bani> ‘Auf, Bani> Al-Najjar, dan lainnya yang beragam
104
Selengkapnya lihat Mohammad Zulfan Tadjoeddin, ‚Anatomi
Kekerasan Sosial dalam Konteks Transisi: Kasus Indonesia‛, Working Paper: 02-
/01-1 (Jakarta, UNSFIR, 2002), 32. 105
Mohammad Zulfan Tadjoeddin, ‚Anatomi Kekerasan Sosial, 43. 106
Anen Sutianto, ‚Reaktualisasi Masyarakat Madani dalam Kehidupan,‛
Pikiran Rakyat Bandung, Jumat, 17 September 2004. Rubrik Opini.
385
saat itu, juga termasuk dengan golongan Yahudi dan Nasrani.107
Perjanjian itu dikenal dengan Piagam Madinah (mi>tha>q al-Ma>dinah), yang pertama kalinya memperkenalkan umat manusia
tentang wawasan kebebasan (khususnya di bidang agama dan
politik), solidaritas, melakukan pertahanan secara bersama-sama.108
Piagam Madinah juga merupakan konstitusi yang mampu dijadikan
dasar bersama dalam konteks hidup bermasyarakat, sebuah
masyarakat madaniah yang memiliki nilai-nilai dan karakter adil,
egaliter, partisipatif, humanis, toleran dan demokratis yang
engutamakan musyawarah).109
Anen Setianto melakukan kajian
mengenai ciri-ciri utama dari masyarakat madani, seperti berikut
ini110
: terdapat tiga karakter utama : pertama, diakuinya semangat
pluralisme, sebab pluralitas telah menjadi keniscayaan, yang tidak
dapat dielakkan sehingga pluralitas merupakan suatu kaidah yang
abadi dalam pandangan al-Qur’an; kedua, tingginya sikap toleransi
(tasamuh), dan ketiga, tegaknya prinsip demokrasi
permusyawaratan.
Menurut padangan Nurcholish Madjid111
, membangun
masyarakat peradaban itulah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
saw dengan cara berdakwah dan diplomasi selama sepuluh tahun
di Madinah, sebuah masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis
dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-Nya.
Pertama, adanya semangat Rabbaniyah, sebagai jaminan agar
manusia tidak jatuh hina dan nista. Kedua, adanya kondisi
keluhuran budi atau ahklak sebagai pancaran spirit Rabbaniyyah
mewujud dalam semangat perikemanusiaan. Ini selaras dengan misi
Nabi Muhammad saw untuk menyempurnakan akhlak atau
berbagai keluhuran budi. Ketiga, adanya ciri-ciri egalitarisme,
107
Anen Sutianto, ‚Reaktualisasi Masyarakat Madani dalam
Kehidupan‛….57. 108
Nurcholis Madjid, ‛Menuju Masyarakat Madani‛ situs Edi
Cahyono’s Page, 2007. 109
Anen Sutianto, ‛Reaktualisasi Masyarakat Madani dalam
Kehidupan.... Sedangkan Robert A. Bellah, sosiolog menanggapi artikel tersebut
dan mengatakan ‚masyarakat madinah saat itu sarat dengan nilai, moral, maju,
beradab, dan sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan‛. 110
Anen Sutianto, ‛Reaktualisasi Masyarakat Madani dalam
Kehidupan‛..... 111
Nurcholis Madjid, ‛Menuju Masyarakat Madani......
386
penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise
seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan
partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan
kepemimpinan melalui pemilihan atau permusyawaratan, bukan
berdasarkan keturunan yang dikonstruksikan pada saat setelah
Nabi Muhammad saw wafat, tepatnya pada masa 30 tahun
Khulafa>ur-Ra>syidin. Keempat, berpangkal dari pandangan hidup
bersemangat ketuhanan dengan konsekuensi adanya tindakan
kebaikan kepada sesama manusia, sebagaimana dimaksudkan
dalam Surat Fushshilat : 33, masyarakat madani tegak berdiri di
atas landasan keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan
berpegang teguh pada hukum, sebagai amanat menjalankan
perintah Tuhan yang diperintahkan untuk dilaksanakan bagi yang
berhak, dan tugas suci setiap nabi adalah menegakkan keadilan di
antara manusia. Kelima, adanya tatanan hidup kolektif yang
memberikan ruang leluasa untuk melalakukan pengawasan sosial,
dimana hal ini hanya akan dapat berlangsung bilamana semangat
keterbukaan dalam masyarakat dapat diwujudkan atau dijamin.112
Keterbukaan merupakan konsekuensi dari kemanusiaan,
suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara optimis dan
positif, sebab setiap manusia pada dasarnya baik. Keenam, adanya
musyawarah sebagai wujud interaksi sosial yang positif, saling
memberikan hak untuk menyatakan pendapat, dan saling mengakui
adanya kewajiban mendengar pendapat orang lain. Musyawarah
juga sebagai media interaktif untuk saling mengingatkan tentang
kebenaran dan kebaikan serta ketabahan dalam mencari
penyelesaian masalah bersama, dalam suasana persamaan hak dan
kewajiban antara warga masyarakat. Ketujuh, tegaknya nilai-nilai
sosial yang luhur, seperti toleransi di tengah-tengah kondisi
pluralisme. Toleransi dan pluralisme adalah wujud dari ikatan
peradaban (bond of civility), bahwa masing-masing pribadi atau
kelompok dalam suatu lingkungan interaksi sosial yang lebih luas
memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan,
betatapapun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan
kehendak, pendapat ataupun pandangan sendiri.
112
Nurcholis Madjid, ‛Menuju Masyarakat Madani,‛ (situs Edi Cahyono’s
Page, 2007), 10-12
387
Penelitian yang mengungkap penyebab mendasar konflik
dilakukan Bertrand. Jacques Bertrand, dalam bukunya Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Menurut Bertrand, konflik yang
terjadi di Indonesia sangat terkait dengan kontruksi kebangsaan.113
Problem konflik antaragama, antarpaham, antarsuku, konflik antar-
identitas religius karena Ahmadiyah memiliki identitas religius
yang berbeda dengan identitas religius Islam arus utama di
Indonesia di berbagai daerah sesungguhnya sangat terkait dengan
belum tuntasnya kontruksi kebangsaan Indonesia. Menyangkut
konflik bernuansa agama, sebuah penelitian yang dilakukan tim
peneliti dari The Wahid Institute (WI) memaparkan banyak
kekerasan dan konflik komunal akibat politisasi agama.114
Menenurut The Wahid Institute, ada dua hal penting yang
menjadi penyebab terjadinya kekerasan dan konflik bernuansa
agama yaitu; pertama, adanya kekuatan kelompok-kelompok
yang dangkal dalam beragama yang mampu menggerakan massa
pendukung untuk menolak keberadaan kelompok lain yang
dianggap sesat. Kedua, adanya kecenderungan aparat negara yang
sering mengikuti tekanan kelompok-kelompok pemaksa ini.115
Negara sering kali kalah oleh kelompok penekan dan
kurang memberi pengayoman terhadap korban yang biasanya
merupakan kelompok minoritas. Demikianlah, tiga penelitian di
atas hanya menampilkan sisi kelam hubungan antaragama di
Indonesia yang berlangsung dalam kekerasan dan konflik. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan proses integrasi yang
sejatinya merupakan pola umum relasi antaragama, kurang tergali
secara maksimal.116
D. Tujuan Penelitian
113
Jacques Bertrand, Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia (New
York: Cambridge University Press, 2004),3. 114
Lihat Ahmad Suaedy, dkk., ed., Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute,
2007). 115
Ahmad Suaedy, dkk., ed., Politisasi Agama dan Konflik Komunal.. 357.
116Lihat juga tulisan Mohammad Zulfan Tadjoeddin, ‚Anatomi Kekerasan
Sosial,‛ 43.
388
Tujuan penelitian dalam disertasi ini, terutama meneliti
faktor-faktor dominan penyebab terjadinya persepsi komunikasi
antarbudaya Islam arus utama terhadap komunikasi Jemaat
Ahmadiyah. Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan,
peneliti beranggapan bahwa konflik antara Islam arus utama
dengan jemaat Ahmadiyah terjadi karena adanya kesalahan-
pahaman dalam komunikasi. Menurut peneliti masalah misleading
atau salah kaprah dalam berkomunikasi yang dilakukan Jemaat
Ahmadiyah maupun umat Islam arus utama sangat menarik untuk
dikaji karena meskipun dianggap pro dan kontra oleh umat Islam.
Adapun tujuan penelitian ini: Pertama, menganalisis latar
belakang munculnya persepsi komunikasi antarbudaya umat Islam
arus utama dengan Jemaat Ahmadiyah. Kedua, menganalisis
bentuk komunikasi antarbudaya yang dilakukan jemaat
Ahmadiyah di Parung dan Jakarta terhadap umat Islam arus
utama. Ketiga, menganalisis komunikasi praktis dari teori Agama
di Ruang Publik Jurgen Habermas yang dilakukan oleh kelompok
JAI, dan keempat, menganalisis proses konsensus yang terjadi
antara umat Islam mainstream dengan Jemaat Ahmadiyah.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif
berupa antropologi komunikasi untuk melihat berbagai situasi atau
realitas sosial yang berlaku. Selain itu, melakukan wawancara dan
mendatangi sejumlah sumber otoritatif, fairness, accountability, transparancy, dan tidak berpihak serta melakukan analisis
kepustakaan yang berhubungan dengan penelitian tersebut. Dalam
konteks komunikasi dan dakwah, melarang aktivitas jemaat
Ahmadiyah adalah bentuk ketidakadilan. Semua jenis penafsiran
dan keyakinan agama semestinya berkontestasi secara sehat untuk
meraih dukungan. Membatasi ruang gerak sebuah kelompok yang
memiliki corak pemahaman keagamaan tertentu sama dengan
menghalangi seorang peserta lomba lari dalam sebuah
perlombaan.117
Negara tidak punya kepentingan untuk menjaga
iman tertentu, betapa pun dominannya.118
Kalau sekelompok orang
merasa imannya terdesak oleh iman orang lain, jangan timpakan
117
Lihat Ahmad Suaedy, dkk., ed., Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di Indonesia, 47.
118Wawancara dengan Adnan Buyung Nasution di Jakarta, 13 Pebruari
2014.
389
beban kesalahan kepada negara.119
Kerangka pemikiran di atas
adalah ide utama dari konsep Agama di Ruang Publik Habermas.
Komunikasi antarbudaya membantu menciptakan realitas
budaya dari suatu komunitas.120
Komunikasi antarbudaya sebagai
suatu proses komunikasi simbolik, interpretif, transaksional, dan
kontestual yang dilakukan oleh sejumlah orang karena memiliki
perbedaan derajat kepentingan tertentu dalam memberikan
interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang
disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu,121
yang kemudian di
elaborasi berdasarkan fenomena yang terjadi. Dalam kasus ini
konflik Jemaat Ahmadiyah Qadian dengan umat Islam arus utama.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Sejauh ini belum ada buku yang secara khusus membahas
komunikasi antarbudaya Ahmadiyah, namun penelitian mengenai
fenomena konflik Ahmadiyah memang sudah banyak dilakukan
oleh para peneliti dengan fokus penelitian yang berbeda-beda.
Penelitian ini mengambil fokus yang berbeda dari penelitian-
penelitian yang telah ada, dimaksudkan untuk memberikan
sumbangan pemikiran yang positif bagi perkembangan
kehidupan keagamaan, dilihat dari disiplin ilmu komunikasi dan
dakwah.
Penelitian mengenai Ahmadiyyah misalnya telah dilakukan
oleh Lalu Ahmad Zaenuri dengan judul Konflik Jemaat Ahmadiyah
dengan Masyarakat Non-Ahmadiyah Studi Kasus di Lombok Nusa
Tenggara Barat122
dan Gerakan Ahmadiyah di Indonesia oleh
Iskandar Zulkarnaein, tahun 2000 Serta Respon Ormas Islam
terhadap Aliran Ahmadiyah di Indonesia. Namun, penelitian itu,
119Mohammad Zulfan Tadjoeddin, ‚Anatomi Kekerasan Sosial, 43.
120Bandingkan dengan Martin, Judith N. & Nakayama, Thomas K.,
Intercultural Communication in Contexts 3rd Edition (New York : Mc Graw
Hill, 2004), 79. 121
Lihat Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar), 2003. 122
Lalu Ahmad Zaenuri, ‚Konflik Jemaat Ahmadiyah dengan
Masyarakat Non-Ahmadiyah Studi Kasus di Lombok Nusa Tenggara Barat,‛
Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013).
390
bersifat teoritis sehingga tidak menyentuh realitas yang terjadi di
masyarakat.
Disertasi mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah itu, menggunakan metode kualitatif dengan fokus
bahasan pada aspek teologis yang menganalisis penyebab
terjadinya konflik dari sudut pandang perbandingan dengan
doktrin di antara umat Islam mainstream dengan JAI. Penelitian
lain, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah di Indonesia oleh Kunto
Sofianto, tahun 2014 mahasiswa Universitas Kebangsaan Malaysia
dan disertasi Catur Wahyudi, mahasiswa Sekolah Pascasarjana
UIN Jakarta, ‚Gerakan Civil Society pada Komunitas Islam
Marjinal dalam Kasus Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Bogor
(2014).‛
Sedangkan peneliti, mengkritisi pola komunikasi
antarbudaya antara umat Islam arus utama dengan Jemaat
Ahmadiyah yang berkonflik
di ruang publik.123
Penelitian yang
dilakukan peneliti memiliki cakupan berbeda dengan penelitian
terdahulu, baik dari aspek metode maupun fokusnya. Penelitian ini,
sebagaimana dikemukakan dalam tujuan penelitian, berusaha
menyoroti dari dua aspek: yaitu aspek normatif dan praktek
berkomunikasi di masyarakat, khususnya komunikasi antarbudaya
yang terjadi antargolongan yang berkonflik yaitu Jemaat
Ahmadiyah dan umat Islam Mainstream.
F. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi
komunikasi dengan partisipatoris pada Jmaat Ahmadiyah dan
melakukan wawancara langsung dengan sejumlah sumber yang
otoritatif, fairness, accountability, transparancy, dan tidak berpihak
berpihak
Menurut Guba seperti yang dikutip oleh Norman K. Denzin
dan Yvonna S. Lincoln dalam Handbook of Qualitative Research mengajukan tipologi yang mencakup empat paradigma:
123
Lihat Sukron Kamil, Noorhadi Hasan, dan Irfan Abubakar (ed), Islam di Ruang Publik. Politik Identitas dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia (Jakarta: Centerf for The Study of Religion and Culture-CSRC, 2013)
391
positivisme, postpositivisme, kritikal, dan konstruktivisme.124
Guba mengemukakan bahwa setiap paradigma membawa
implikasi metodologi masing-masing. Perbedaan antara paradigma
tersebut mencakup tiga dimensi, pertama, epistemologis yang
antara lain menyangkut asumsi dasar mengenai hubungan antara
peneliti dengan yang diteliti dalam proses memperoleh
pengetahuan mengenai objek yang diteliti. Kedua, ontologis yang
berkaitan dengan asumsi mengenai objek dan realitas sosial yang
diteliti. Ketiga, metodologis yang berisi asumsi-asumsi mengenai
bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang berhubungan
dengan suatu objek pengetahuan.
Sedangkan dalam penelitian komunikasi antarbudaya
adalah; Pertama, penelitian akan berfokus pada bentuk-bentuk dan
fungsi-fungsi komunikasi dalam hubungannya dengan interaksi
sosial sehari-hari. Kedua, subjek penelitian sebagai pelaku sosial
dipandang sebagai interpreter dari lingkungan sosial mereka
sendiri. Ketiga, penelitian dilakukan untuk menangkap konstruksi
124
Lihat Faizah, ‚Dakwah Salafiyyah di Lombok; Suatu Kajian
Komunikasi Antarbudaya,‛ Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, tahun
2010. Menurut Norman K. Denzim dan Yvonna S. Lincoln (edt.), dalam
Handbook of Qualitative Research (California: Sage Publication Inc. 2000),
Dalam konteks penelitian ini, peneliti mendasarkan diri pada paradigma
konstruktivisme. Apabila dilihat dari dimensi paradigma, karakteristik paradigm
konstruktivisme dapat dipaparkan sebagai berikut, pertama, dalam dimensi
ontologis (asumsi tentang realitas), realitas diasumsikan peneliti sebagai
konstruksi sosial dan kebenaran atas realitas ini bersifat relatif, ia berlaku dalam
konteks spesifik yang dinilai relevan oleh para pelaku sosial yang diteliti. Oleh
karena itu dikenal prinsip relativisme dalam memahami suatu realitas. Kedua,
dimensi epistemologis atau asumsi tentang relasi antara peneliti dengan yang
diteliti, interaksi antara peneliti dan yang diteliti diasumsikan ada, melalui
interaksi ini akan diperoleh pemahaman tentang realitas sebagai temuan
penelitian. Peran peneliti dalam kerangka ini adalah sebagai transaksionalis atau
subjektivis. Ketiga, dimensi aksiologis, dalam dimensi aksiologis atau asumsi
tentang nilai-nilai, peneliti berperan sebagai fasilitator yang menjembatani
keragaman subjektifitas para pelaku sosial. Nilai, etika dan pilihan moral peneliti
dalam kerangka ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses penelitian.
Keempat, dimensi metodologis atau asumsi tentang cara memperoleh
pengetahuan, penelitian dilakukan dengan cara reflektif/dialektik. Melakukan
penelitian secara reflektif berarti peneliti akan memberi tekanan pada cara-cara
empatik dan interaksi dialektis antara ia sebagai peneliti dengan mereka yang
diteliti.
392
dari anggota budaya. Keempat, fokus pengembangan teori ini
adalah relasi antara komunikasi dan budaya.125
Penelitian lainnya
menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus yang
menekankan pada perencanaan, pelaksana pengumpul data, dan
pada akhirnya menjadi pelopor dalam hasil
penelitiannnya.126
Seperti dikemukakan oleh Sarwono, bahwa
dalam tradisi riset dikenal ada dua jenis pendekatan utama
penelitian, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan
kuantitatif menekankan pada penggunaan angka-angka, rumus-
rumus statistik serta pengukuran, sementara pendekatan kualitatif
memfokuskan pada aspek kealamiahan data.127
Pendekatan kualitatif menekankan pada makna, penalaran,
definisi suatu situasi tertentu dalam konteks tertentu. Sedangkan
pendekatan kuantitatif mementingkan adanya variabel-variabel
sebagai obyek penelitian dan variabel-variabel tersebut harus
didefinisikan dalam bentuk operasionalisasi variabel
masing-masing.128
Adapun pendekatan kualitatif bertujuan untuk
mengembangkan pengertian, konsep-konsep, yang pada akhirnya
menjadi teori. Alasan penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif, karena untuk mengembangkan konsep antropologi
komunikasi, khususnya menganalisis konflik Jemaat Ahmadiyah
dari perspektif komunikasi antarbudaya: Kajian tentang Agama
Ruang Publik ( Religion in Public Sphire) Jurgen Habermas.
1. Sumber Data
Data Primer diperoleh dari sumber yang otoritatif, fair, dan
obyektif yang mengetahui tentang aktivitas komunikasi dan
keagamaan Ahmadiyah. Sedangkan data sekunder diperoleh dari
media audio visual, buku, majala\h, jurnal, dan artikel-artikel yang
berkaitan dengan Ahmadiyah.
125
M. Antonius Birowo (edt.), Metode Penelitian Komunikasi; Teori dan Aplikasi(Yogyakarta: Penerbit Gitanyali, 2004),108.
126Jonathan Sarwono, Metodologi Penelitian Kualitatif & Kuantitatif
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), 257. 127
Jonathan Sarwono, Metodologi Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, 257.
128Jonathan Sarwono, Metodologi Penelitian Kualitatif & Kuantitatif,
260.
393
2. Teknik Pengumpulan Data
Melakukan observasi dan pengamatan dan menganalisa
kegiatan-kegiatan yang dilakukan jemaah Ahmadiyah dalam
melakukan komunikasi dan kegiatan keagamaan ke dalam
lingkungan komunitas tersebut. Dalam observasi, peneliti terlibat
langsung dalam beberapa kegiatan yang dilakukan Ahmadiyah.
3. Wawancara
Wawancara bentuk percakapan dengan seseorang
atau kelompok masyarakat untuk maksud tertentu.
Wawancara memiliki tujuan untuk mengkonstruksi terkait
orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi,
tuntutan, kepedulian, dan kebutuhan lain.129
Wawancara
dilakukan terhadap orang atau kelompok yang kompeten.
Dalam penelitian ini yaitu warga Ahmadiyah, warga Islam
arus utama, pengamat, tokoh yang independen, dan
memiliki otoritatif.
4. Dokumentasi
Teknik dokumentasi merupakan suatu penyelidikan yang
dilakukan secara sistematis dan sengaja diadakan dengan
menggunakan alat indera terutama mata terhadap kejadian-
kejadian yang sedang berlangsung.130
Selain itu, observasi juga
didefinisikan sebagai perhatian yang terfokus terhadap kejadian,
gejala atau sesuatu dengan maksud mengungkapkan faktor-faktor
penyebabnya, dan menemukan kaedah-kaedah yang
mengaturnya.131
Pengumpulan data yang digunakan adalah teknik
kepustakaan (library research method). Data-data yang dikumpulkan adalah berupa data primer
dan data sekunder. Data primer yang dimaksud adalah buku-buku
yang berhubungan langsung dengan topik komunikasi antarbudaya
130
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisa Data (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011), 37-38. 131
Lihat Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisa Data..40.
394
dan agama di ruang publik Habermas sebagai bahan utama yang
berkaitan dengan fokus penelitian. Data sekunder yang dimaksud
adalah tulisan-tulisan maupun buku-buku yang membahas
masalah komunikasi dan kasus-kasus yang menimpa jemaat
Ahmadiyah Indonesia. Kesemua data primer dan sekunder itu
dituliskan pada daftar pustaka. Buku Primer132
dalam penelitian ini
mencakup: (1). Buku karya Jurgen Habermas, Between Natualism and Religion (2008) yang di dalamnya terdapat tulisan khusus
mengenai Religion in Public Sphere. (2). Jurnal karya Jurgen
Habermas, Religion in Public Sphere, yang dipublikasikan dalam
European Journal of Philosophy, tahun 2006. (3). Buku karya
Jurgen Habermas, Ruang Publik: Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis yang diterjemahkan pada tahun 2012. (4).
Buku karya Armando Salvatore and Mark Le Vine, Religion, Social Practice, and Contested Hegemoni, tahun 2006. (5). Buku
karya Karen Armstrong, Compassion 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih, tahun 2013, dan (6) Stephen W. Littlejohn, Teori Komunikasi 2009, yang di dalamnya terdapat teori utama
mengenai Komunikasi Antarbudaya sebagai teori pendukung.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini disusun
berdasarkan urutan logis pembahasan, agar mudah dipahami dan
berkesinambungan antara satu bab dengan bab yang lain.
Sistematika tersebut adalah sebagai berikut:
Bab I, merupakan bab pendahuluan studi ini. Di dalamnya
dijelaskan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang
diangkat dalam penelitian ini. Bab ini menjelaskan bahwa ide-ide
dan gagasan umum mengenai pluralisme agama hidup
berdampingan dengan orang yang beragama lain dan mestinya
menghargai perbedaan. Menjelaskan kerangka paradigmatik
pluralisme agama. Sebaliknya, jika seorang penganut agama
merasa dia hidup sendirian dan selalu memaksa orang lain agar
menerima keyakinannya, maka agama hanya akan menjadi mesin
bagi lahirnya berbagai keresahan sosial. Pada bab ini juga
diungkapkan mengenai kasus-kasus mengenai konflik yang
132Lihat Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisa Data…..42-43
395
menimpa Jemaat Ahmadiyah di Indonesia. Selain itu, juga dibahas
juga mengenai signifikansi peneltian, metodologi penelitian yang
digunakan sebagai alat analisis pada bab-bab selanjutnya.133
Bab II, Pada bab ini dibahas berbagai perspektif teori dan
model pemikiran komunikasi antarbudaya dan konstruksi moral
dalam agama di ruang pulik, sehingga dapat digambarkan peta
pemikiran berkenaan dengan kebebasan beragama di ruang publik
dan gerakan perkembangannya dalam komunikasi antarbudaya.
Bab ini juga menganalisa bagaimana subjektivitas ilmu
bekerja dalam komunikasi antarbudaya dalam agama di ruang
publik, sehingga menghasilkan sudut pandang dan juga
Islamophobia. Disertasi ini memakai sudut pandang komunikasi
untuk menganalisis Ahmadiyah dalam Perspektif Komunikasi
Antarbudaya.
Bab III, pada bab ketiga ini akan mengkaji Ahmadiyah
dalam perspektif Dinamika Pemikiran Sosial pada komunitas
Islam marjinal di salah satu negara Islam mayoritas, dan
gambaran umum tentang Ahmadiyah. Selain itu, tentang
kebenaran ajarannya, motivasi pengembangan ajaran Ahmadiyah di
Indonesia, dan Kebenaran Ajaran Ahmadiyah Qadian versi
Ahmadiyah Lahore
Bab IV, di bab ini penulis mengungkapkan Bagaimana
Peranan Agama di Ruang Publik dalam Kasus Ahmadiyah di Bogor
dan Jakarta. Selain itu, dijelaskan pula Peran Agama di Ruang
Publik dalam Penerapan Komunikasi JAI, Kondisi Keberagaman
Masyarakat, Kondisi Sosial Budaya di Indonesia, dan Anatomi
Konflik Sosial, serta Ciri-Ciri Masyarakat Sipil: Prinsip dan Nilai
Fundamental, dan Tindakan Kekerasan di Indonesia.
Bab V, bab ini membicarakan Komunikasi Antarbudaya
Ahmadiyah. Ada beberapa persoalan yang diangkat dalam bab ini.
Pertama Prinsip-prinsip Komunikasi Antarbudaya Kedua, Problem
Komunikasi dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya, Ketiga, Pola Komunikasi Islam, Keempat, Komunikasi Antarbudaya
Ahmadiyah dalam Proses, Kelima, Sebab-Sebab Terjadinya
133
Selengkapnya lihat buku ‚Pedoman Akademik Program Magister dan
Doktor Pengkajian Islam,‛ Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2011-2015 khususnya halaman, 69.
396
Konflik Antara JAI dengan Islam arus utama, dan Keenam,
Dampak Konflik Antara JAI dengan Umat Islam. Islam secara
teoritis adalah sebuah sistem nilai dan ajaran ilahiyah yang bersifat
transenden. Nilai dan ajaran tersebut sepanjang perjalan sejarah
telah membantu para penganutnya memahami realitas dalam
rangka mewujudkan pandangan hidup.134
Bab VI, berisi kesimpulan dari penelitian disertasi ini. Bab
ini menyimpulkan seluruh pembahasan yang dipaparkan pada bab-
bab sebelumnya. Bab ini juga memberikan jawaban terhadap
masalah-masalah yang menjadi fokus penelitian. Bab akhir ini juga
dilengkapi dengan sejumlah saran yang berguna bagi pertumbuhan,
pekembangan, dan toleransi dalam pluralisme hidup beragama,
khususnya di Indonesia, serta keterbatasan penelitian yang
dikerjakan peneliti.135
BAB II
KOMUNIKASI BUDAYA DAN AGAMA DI RUANG PUBLIK
Pada bab ini dibahas berbagai perspektif teori dan model
pemikiran komunikasi antarbudaya dan konstruksi moral dalam
agama di ruang pulik, sehingga dapat digambarkan peta pemikiran berkenaan dengan kebebasan beragama di ruang publik dan gerakan
perkembangannya dalam komunikasi antarbudaya.
Bab ini juga menganalisa bagaimana subjektivitas ilmu
bekerja pada komunikasi antarbudaya dalam agama di ruang
publik, sehingga menghasilkan sudut pandang ilmiah untuk melihat
Islamophobia. Disertasi ini menggunakan komunikasi untuk
menganalisis Ahmadiyah dalam Perspektif Komunikasi
Antarbudaya. Ada beberapa teori yang dipakai dalam disertasi ini
antara lain komunikasi antarbudaya dan agama di ruang publik,
134
Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Pengkajian Islam
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2011-2015 khususnya halaman, 69. 135
Selengkapnya lihat Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor
Pengkajian Islam…..69-72.