agonis kolinergik

21
AGONIS KOLINERGIK Sistem saraf kita terdiri dari dua kelompok yaitu susunan saraf pusat (SSP) otak dan sumsum tulang belakang, dan susunan saraf perifer. Sistem saraf perifer dibagi menjadi sistem saraf otonom dan somatik. Sistem saraf otonom mengendalikan kontraksi otot jantung dan otot polos, serta sekresi kelenjar. Sistem saraf somatik mempersarafi otot skelet selama pergerakan voluntar dan menghantarkan informasi sensorik, seperti nyeri dan sentuhan. Sistem saraf otonom lebih lanjut dibagi menjadi sistem simpatis dan parasimpatis, yang umumnya berlawanan satu sama lain. Sebagai contoh, sistem simpatis umumnya bersifat katabolik, mengeluarkan energi ( sistem ” Fight or Flight ). Sistem ini meningkatkan frekuensi jantung, mendilatasi bronki, dan mengurangi sekresi, sedangkan saraf parasimpatis bersifat anabolik, menyimpan energi, misalnya menurunkan frekuensi jantung, menstimulasi fungsi gastrointestinal . Pada individu yang sedang beristirahat, sistem parasimpatis mendominasi pada sebagian besar organ, mengakibatkan denyut jantung relatif lambat, sekresi adekuat, dan motilitas usus yang sesuai. Tetapi, pada orang yang sedang stres, sistem simpatis mendominasi, mengalihkan energi untuk fungsi-fungsi yang membuat orang fight or flight ( misal peningkatan oksigenasi jaringan dengan bronkodilatasi dan peningkatan curah jantung ). Obat – obat yang mempengaruhi saraf otonom dibagi dalam dua subgrup sesuai dengan mekanisme kerjanya terhadap tipe neuron yang dipengaruhi. Grup pertama, obat – obat kolinergika bekerja terhadap reseptor yang diaktifkan oleh asetilkolin. Grup kedua obat – obat adrenergik yang bekerja terhadap reseptor yang dipacu oleh norepinefrin atau epinefrin. Obat kolinergik dan

Upload: pandu-deistiarto

Post on 29-Jun-2015

1.654 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: AGONIS KOLINERGIK

AGONIS KOLINERGIK

Sistem saraf kita terdiri dari dua kelompok yaitu susunan saraf pusat (SSP) otak dan sumsum

tulang belakang, dan susunan saraf perifer. Sistem saraf perifer dibagi menjadi sistem saraf otonom

dan somatik. Sistem saraf otonom mengendalikan kontraksi otot jantung dan otot polos, serta sekresi

kelenjar. Sistem saraf somatik mempersarafi otot skelet selama pergerakan voluntar dan

menghantarkan informasi sensorik, seperti nyeri dan sentuhan.

            Sistem saraf otonom lebih lanjut dibagi menjadi sistem simpatis dan parasimpatis, yang

umumnya berlawanan satu sama lain. Sebagai contoh, sistem simpatis umumnya bersifat katabolik,

mengeluarkan energi ( sistem ” Fight or Flight ). Sistem ini meningkatkan frekuensi jantung,

mendilatasi bronki, dan mengurangi sekresi, sedangkan saraf parasimpatis bersifat anabolik,

menyimpan energi, misalnya menurunkan frekuensi jantung, menstimulasi fungsi gastrointestinal.

Pada individu yang sedang beristirahat, sistem parasimpatis mendominasi pada sebagian besar

organ, mengakibatkan denyut jantung relatif lambat, sekresi adekuat, dan motilitas usus yang sesuai.

Tetapi, pada orang yang sedang stres, sistem simpatis mendominasi, mengalihkan energi untuk

fungsi-fungsi yang membuat orang fight or flight ( misal peningkatan oksigenasi jaringan dengan

bronkodilatasi dan peningkatan curah jantung ).

Obat – obat yang mempengaruhi saraf otonom dibagi dalam dua subgrup sesuai dengan mekanisme

kerjanya terhadap tipe neuron yang dipengaruhi. Grup pertama, obat – obat kolinergika bekerja

terhadap reseptor yang diaktifkan oleh asetilkolin. Grup kedua obat – obat adrenergik  yang bekerja

terhadap reseptor yang dipacu oleh norepinefrin atau epinefrin. Obat kolinergik dan adrenegik bekerja

dengan memacu atau menyekat neuron dalam sistem saraf otonom.

Kolinergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat

menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena

melepaskan neurohormon asetilkolin (Ach) diujung – ujung neuronnya.

            Obat kolinergika singkatnya disebut kolinergik  juga disebut parasimpatomimetik, berarti obat

yang kerja serupa perangsangan saraf parasimpatis. Tetapi karena ada saraf, yang secara anatomis

termasuk saraf simpatis, yang transmitornya asetilkolin maka istilah obat kolinergik lebih tepat

daripada istilah parasimpatomimetik.

OBAT – OBAT AGONIS KOLINERGIK

Page 2: AGONIS KOLINERGIK

Obat-obat otonom adalah obat –obat yang dapat mempengaruhi penerusan impuls dalam

SSO dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan, atau penguraian

neurotransmitter atau mempengaruhi kerjanya atas reseptor khusus. Akibatnya adalah

dipengaruhinya fungsi otot polos dan organ, jantung, dan kelenjar.

Obat kolinergik singkatnya disebut kolinergik  juga disebut parasimpatomimetik, berarti obat

yang kerja serupa perangsangan saraf parasimpatis. Tetapi karena ada saraf, yang secara anatomis

termasuk saraf simpatis, yang transmitornya asetilkolin maka istilah obat kolinergik lebih tepat

daripada istilah parasimpatomimetik.

Obat kolinergik dibagi dalam tiga golongan : (1) Ester kolin ; dalam golongan ini

termasuk :asetilkolin, metakolin, karbakol, betanekol (2) Antikolinesterase, termasuk

didalamnya : eserin (fisostigmin), prostigmin (neostigmin), diisopropil-fluorofosfat (DFP), dan

insektisid golongan organofosfat ; dan (3) Alkaloid tumbuhan, yaitu : muskarin, pilokarpin, dan

arekolin.

            Parasimpatomimetik ( kolinergik ), yang merangsang organ-organ yang dilayani saraf

parasimpatik dan meniru efek perangsangan dengan asetilkolin, misalnya pilokarpin dan fisostigmin.

PARASIMPATOMIMETIK ( KOLINERGIK )

      Serabut preganglionik yang berakhir pada medula adrenalis , ganglia otonom (simpatis dan

parasimpatis) dan serabut pasca ganglionik dari divisi parasimpatis menggunakan asetilkolin sebagai

suatu neurotransmiter. Neuron kolinergik mempersarafi otot voluntar dari sistem somatik dan dijumpai

pula dalam sistem saraf pusat (SSP). 

Neurotransmisi pada neuron kolinergik

Neurotransmisi dalam neuron kolinergik meliputi 6 tahap, yaitu :

1.    Sintesis asetilkolin : kolin diangkut dari cairan ekstrasel ke dalam sitoplasma neuron kolinergik oleh

suatu sistem pembawa yang bersamaan dengan masuknya natrium. Enzim koline asetiltransferase

(CAT) mengkatalisis reaksi kolin dengan asetil CoA untuk membentuk asetilkolin dalam sitosol.

2.    Penyimpanan asetilkolin dalam vesikel : asetilkolin dikemas ke dalam vesikel-vesikel melalui suatu

proses transpor aktif yang berpasangan dengan keluarnya proton dari sel. Vesikel yang matang tidak

saja mengandung asetilkolin tetapi juga adenosin trifosfat dan proteoglikan.

3.    Pelepasan asetilkolin : jika suatu potensial kerja yang dipropagasi oleh kerja kanal bervoltase peka Na

tiba pada suatu ujung saraf, maka kanal-kanal bervoltase peka Ca pada membran prasinaptik

Page 3: AGONIS KOLINERGIK

terbuka, yang menyebabkan peningkatan kadar Ca di dalam sel. Peningkatan kadar Ca ini memacu

fusi vesikel-vesikel sinaptik dengan membran sel dan melepas kandungan asetilkolinnya ke dalam

celah sinaps.

4.    Ikatan pada reseptor : asetilkolin yang dilepas dari vesikel sinaptik berdifusi melewati ruangan sinaptik

dan mengikat baik reseptor pascasinaptik pada sel sasaran maupun reseptor prasinaptik pada

membran neuron yang melepas asetilkolin. Ikatan pada reseptor ini menimbulkan suatu respons

biologi dalam sel seperti mulainya suatu impuls saraf pada serabut pasca ganglionik atau aktivasi

sejumlah enzim tertentu didalam sel efektor sebagai perantara pada reaksi molekul ” second

messenger ”.

5.    Penghancuran asetilkolin : sinyal pada tempat efektor pasca sambungan secepatnya diakhiri. Proses

ini terjadi di dalam celah sinaptik dengan enzim asetilkolinesterase memecah asetilkolin menjadi kolin

dan asetat.

6.    Daur ulang kolin : kolin mungkin ditangkap kembali melalui suatu sistem ambilan kembali berafinitas

tinggi yang berpasangan dengan Na ke dalam neuron, yang kemudian diasetilasi dan disimpan

hingga dilepas lagi oleh potensial kerja berikutnya.

Reseptor Kolinergik

            Reseptor kolinergik terdapat dalam semua ganglia, sinaps dan neuron postganglioner sari SP,

juga dipelat – pelat ujung motorik (otot lurik) dan di bagian Susunan Saraf Pusat yang disebut sistem

ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan, reseptor ini dapat dibagi dalam dua

jenis, yakni reseptor muskarin dan reseptor nikotin, yang masing – masing menghasilkan efek

berlainan.

A.   Reseptor muskarinik

Muskarin adalah derivat-furan  yang bersifat sangat beracun dan terdapat sebagai alkalloida

pada jamur merah Amanita muscaria.

Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu suatu alkaloid

yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor muskarinik ini menunjukkan

afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan studi ikatan (binding study) dan penghambat

tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas reseptor muskarinik seperti M1, M2, M3, M4, dan M5.

Asetilkolin (ACh) bekerja tidak selektif dan merangsang ketiga tipe reseptor –M, serupa dengan

adrenalin dan NA dari sistem simpatis (SS), yang juga merangsang secara tak selektif reseptor –alfa

Page 4: AGONIS KOLINERGIK

dan –beta adrenergis. Obat – obat yang mengaktifasi reseptor M1, M2, atau M3 secara selektif hingga

kini belum ditemukan.

1.    Lokasi reseptor muskarinik : reseptor musfkarinik ini dijumpai dalam ganglia sistem saraf tepi dan

organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksorin. Secara khusus,

walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik terdafpat dafldam neuron, namun reseptor M1

ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat dalam otot jantung dan otot

polos, dan reseptor M3 ditemukan dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. [Catatan; obat – oabt yang

bekerja muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik  dalam jaringan tadi, tetapi dalam

kadar tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula].

2.    Mekanisme transduksi sinyal asetilkolin : sejumlah mekfanisme molekular yang berbeda terjadi

dengan menimbulkan sinyal yang disebabkan setelah asetilkolin mengikat reseptor muskarinik.

Sebagai contoh, bila reseptor M1 atau M2 diaktifkan, maka reseptor ini mengalami perubahan

konformfasi dan berinteraksi dengan protein G, yang selanjutnya akan mengaktifkan fosfolipase C.

Akibatnya akan terjadi hidrolisis  fosfatidilinositol-(4,5)-bifosfat (PIP2) mejadi diasilgliserol (DAG) dan

inositol (1,4,5)-trifosfat (IP3) yang akan menyebabkan peningkatan  kadar Ca intrasel. Kation ini

selanjutnya akan berinteraksi untuk memacu atau menghambat enzim-enzim, atau menyebabkan

hiparpolarisasi, sekresi atau kontraksi. Sebaliknya, aktivasi subtipe M2 pada otot jantung memacu

protein G yang menghambat  adenililsiklase dan mempertinggi konduktan K, sehingga denyut dan

kontraksiotot jantung akan menurun.

3.    Agonis dan antagonis muskarinik : Beberapa upaya dikerjakan untuk mengembangkan agonis dan

antagonis yang ditujukan terhadap subtipe reseptor spesifik. Sebagai contoh, pirenzepin, obat

antikolinergik trisiklik, secara selektif menghambat reseptor muskarinik M1, seperti yang terdapat pada

mukosa lambung. Dalam dosis terapi, obat ini tidak menimbulkan banyak efek samping seperti halnya

obat yang tidak spesifik terhadap subtipe M1. oleh karena itu, pirenzepin cocok untuk mengobati tukak

lambung dan duodenum.

Subtipe dan karakteristik kolinoseptor

Tipe reseptor Lokasi Mekanisme

Page 5: AGONIS KOLINERGIK

M1

M2

M3

M4

M5

Nm

NN

SarafJantung, saraf, otot polos

Kelenjar, otot polos, endometrium? SSP

? SSPHubungan neuromusukular otot skletalBadan sel pascaganglionik, dendrit

IP3, aliran DAGPenghambatan produksi cAMP, aktivasi kanal K.IP3, aliran DAGPenghambatan produksi cAMP.IP3, aliran DAG

Depolarisasi kanal ion N, K

Depolarisasi kanal ion Na, K

B.   Reseptor Nikotin (N)

Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dafpat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas lemah

terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik, namun setelah itu akan

menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat didalam sistem saraf pusat (SSP),

medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular. Obat – obat yang bekerja

nikotinik akan memacu reseptor nikotinik  yang terdapat dadflam jaringan tadi. Reseptor nikotinik

pada ganglia otonom berbeda dengan reseptor yang terdapat pada sambungan neuromuskular.

Sebagai contoh, reseptor ganglionik secara selektif dihambat oleh heksametonium, sedangkan

reseptor pada sambunan neuromuskular secara spesifik dihambat oleh tubokurarin.

Reseptor nikotin terutama terdapat dipelat- pelat ujung myoneural dari otot kerangka dan di

ganglia otonom (simpatis dan parasimpatis). Stimulasi reseptor ini oleh kolinergika (neostigmin dan

piridostigmin) menimbulkan efek yang menyerupai efek adrenergika, jadi bersifat berlawanan sama

sekali. Misalnya vasokontriksi dengan naiknya tensi ringan, penguatan kegiatan jantung, juga

stimulasi SSP ringan. Pada dosis rendah, timbul kontraksi otot lurik, sedangkan pada dosis tinggi

terjadi depolarisasi dan blokade neuromuskular.

Mekanisme kerjanya berdasarkan stimulasi penerusan impuls di ganglia simpatis dan

stimulasi anak ginjal dengan sekresi noradrenalin. Disamping itu juga terjadi stimulasi ganglia

kolinergis (terutama di saluran lambung – usus dengan peningkatan peristaltik) dan pelat – pelat

ujung motoris otot lurik, dimana terdapat banyak reseptor  nikotin.

Efek nikotin dari ACh juga terdjadi pada perokok, yang disebabkan oleh sejumlah kecil nikotin

yang diserap kedalam darah melalui mukosa mulut.

Selektifitas parsiil (sebagian) untuk reseptor –M dan –N terdapat pada kolinergika klasik,

seperti pilokarpin, karbachol, dan aseklidin (glauchofrin). Obat – obat ini pada dosis biasa

Page 6: AGONIS KOLINERGIK

mengaktifasi beberapa tipe reseptor –M tanpa mempengaruhi reseptor nikotin. Sebaliknya,

kolinergika lain, seperti zat – zat antikolinesterase (neostigmin, piridostigmin), bekerja tidak selektif.

Kolinergika dapat dibagi menurut cara kerjanya, yaitu zat-zat dengan kerja langsung dan zat-

zat dengan kerja tak langsung.

a. Bekerja langsung : karbachol, pilokarpin, muskarin, dan arekolin (alkaloid dari pinang). Zat-

zat ini bekerja langsung terhadap organ-organ ujung dengan kerja utama yang mirip efek

muskarin dari ACh. Semuanya adalah zat-zat amonium kwartener yang bersifat hidrofil dan

sukar memasuki SSP, kecuali arekolin.

b. Bekerja tak langsung :  zat-zat antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin, piridostigmin.

Obat-obat ini merintangi penguraian ACh secara reversibel, yakni hanya untuk sementara.

Setelah zat-zat tersebut habis diuraikan oleh kolinesterase, ACh akan segera dirombak lagi.

·    Agonis Kolinergik Langsung

- Ester kolin, adalah kolin yang terikat pada derivat asetil dengan sebuah  ikatan ester. Ikatan ester

pada asetilkolin dan obat-obatan yang terkait dihidrolisa oleh enzim-enzim yang dikenal sebagai

kolinesterase. Golongan obat ini yaitu asetilkolin, metakolin, karbakol, betanekol, dan asam karbamat.

 - Alkaloid Kolinomimetik, berasal dari tumbuhan dengan ekstraksi alkali. Secara kimia berbeda dengan

ester kolin dan tidak dimetabolisme oleh kolinesterase.

- Nikotin, adalah salah satu obat yang paling sering digunakan. Nikotin merangsang SSP, melepaskan

epinefrin dari kelenjar adrenal, merangsang, dan kemudian memblok reseptor dalam ganglia dan

pada hubungan neuromuskular.

·         Penghambat Kolinesterase

Penghambat kolinesterase digolongkan menurut mekanisme kerjanya :

-       Penghambat ester karbamil, obatnya : fisostigmin, demekarium, ambenonium, piridostigmin

-       Edrofonium

-       Penghambat organofosfor, obatnya ; ekotiofat, diisopropilfluorofosfat, paration, malation.

 Penggunaan Klinik

Kolinergik terutama digunakan pada :

-       Glaukoma, obat yang bekerja dengan jalan midriasis seperti pilokarpin, karbakol, dan prostigmin.

-       miastenia gravis, contohnya neostigmin dan piridostigmin

Page 7: AGONIS KOLINERGIK

-       atonia, misalnya prostigmin, neostigmin.

Efek samping

Efek samping kolinergika adalah sama dengan efek dari stimulasi SP secara berlebihan, antara lain

mual, muntah-muntah, dan diare, juga meningkatnya sekresi ludah, dahak, keringat, dan air mata,

bradycardia, bronchokontriksi, serta depresi pernapasan.

Penggolongan Agonis Kolinergik

1. Agonis kolinergik bekerja langsung

 a.  Asetilkolin (ACh)

Asetilkolin adalah suatu senyawa amonium kuartener  yang  tidak mampu menembus membran.

Walaupun sebagai neurotransmiter saraf parasimpatis dan kolinergik, namun dalam terapi zat ini

kurang penting karena beragam kerjanya dan sangat cepat diinaktifkan oleh asetilkolinesterase.

Aktivitasnya berupa muskarinik dan nikotinik. Kerjanya termasuk :

-       Menurunkan denyut jantung dan curah jantung

-       Menurunkan tekanan darah.

-       Kerja lainnya : pada saluran cerna, asetilkolin dapat meningkatkan sekresi saliva, memacu sekresi

dan gerakan usus.

Farmakodinamik

Secara umum farmakodinamik dari ACh dibagi dalam dua golongan, yaitu terhadap : (1) kelenjar

eksokrin dan otot  polos, yang disebut efek muskarinik ; (2) ganglion (simpatis dan parasimpatis) dan

otot rangka yang disebut efek nikotinik, pembagian efek ACh ini didasarkan obat yang dapat

menghambatnya, yaitu atropin menghambat khusus efek muskarinik, dan nikotin dalam dosis besar

menghambat efek nikotinik asetilkolin terhadap ganglion.  Bila digunakan dosis yang berlebihan maka

atropin, nikotin dan kurare masing – masing dapat juga menghambat semua efek muskarinik dan

nikotinik ACh. Efek obat pada dosis toksik ini tidak dianggap sebagai efek farmakologik lagi, karena

sifat selektifnya hilang.

Kegunaan klinis

Jarang digunakan secara klinis

Sediaan dan posologi

         Asetilkolin klorida/bromida dapat diperoleh sebagai bubuk kering, dan dalam ampul berisi 200 mg.

Page 8: AGONIS KOLINERGIK

         Dosis : 10 – 100 mg IV.

         Kontra indikasi            

         Ulkus peptikum, penyakit arteri koroner, hiperteroid (fibrilasi atrium), asma, obstruksi kandung kemih

mekanis.

         Efek samping

         Ester kolin dapat mendatangkan serangan iskemia jantung pada penderita angina pektoris, karena

tekanan darah yang menurun mengurangi sirkulasi koroner. Penderita hipertiroidisme dapat

mengalami fibrasi atrium. Gejala keracunan pada umumnya berupa efek muskarinik dam nikotinik

yang berlebihan.

         Indikasi

         Meteorisme (gejala akibat penimbunan gas dalam saluran cerna), atonia kandung kemih dan retensi

urin, feokromositoma (digunakan untuk tes provokasi penyakit ini pada waktu tekanan darah

penderita sedang rendah).

         Nama Paten :  

         Miochol-E        ( Novartis Biochemie)

         Indikasi : Untuk menimbulkan miosis pada iris setelah pengangkatan lensa  pada op katarak,

keratoplasti, indektomi dan op segmen anterior yang lain.

         Dosis :0,5-2 ml ke dalam bilik anterior

         Perhatian : Agar miosis terjadi dengan cepat, maka gangguan anatomik yaitu sinekia anterior atau

posterior harus diatasi sebelum pemakaian. Gunakan setelah pengangkatan lensa  pada  katarak.

Wanita hamil dan menyusui

         Efek samping : Edema kornea, perkabutan kornea dan dekompensasi kornea, bradikardi, hipotensi,

muka merah, sesak napas dan berkeringat.

         Interaksi Obat : Asetilkolin Cl dan karbakol tidak efektif pada pasien yang  diterapi dengan AINS

topikal.

Betanekol

Betanekol mempunyai struktur yang berkaitan dengan asetilkolin; asetatnya diganti karbamat dan

kolinnya dimetilasi. Oleh karena itu senyawa  tidak dihidrolisis oleh asetilkolin esterase, walaupun

sebenarnya dapat dihidrolisis oleh esterase lainnya. Kerja nikotiniknya kecil atau tidak sama sekali ,

Page 9: AGONIS KOLINERGIK

tetapi kerja muskariniknya sangat kuat. Kerja utamanya adalah terhadap otot polos kandung kemih

dan saluran cerna. Masa kerjanya berlangsung 1 jam.

      Kerja : Betanekol memacu langsung reseptor muskarinik, sehingga tonus dan motilitas usus

meningkat, dan memacu pula otot detrusor kandung kemih sementara trigonum dan sfingter.

      Aplikasi terapi : untuk pengobatan urologi, obat ini digunakan untuk memacu kandung kemih

yang mengalami alori (atonic bladder), terutama retensi urin pasca persalinan atau pasca bedah non-

obstruksi.

      Efek samping : Betanekol dapat menimbulkan pacuan kolinergik umum. Termasuk dalam pacuan

ini adalah berkeringat, salivasi, kenerahan, penurunan tekanan darah, mual, nyeri abdomen, diare,

dan bronkospasme.

Kegunaan klinis

Menginduksi pengosongan kandung kemih yang tidak terobstruksi. Meningkatkan motilitas saluran

cerna setelah pembedahan.

Sediaan dan posologi

Betanekol klorida tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg atau dalam ampul yang mengandung 5 mg/ml.

Dosis : Dosis oral adalah 10 – 30 mg, sedangkan dosis subkutan 2,5 – 5,0 mg. Tidak boleh diberikan

IV atau IM.

Indikasi

Atonia kandung kemih dan retensi urin                              

c.    Karbakol

Karbakol sebagai muskarinik maupun nikotinik. Seperti betaanekol, obat ini adalah suatu ester asam

karbamat dan merupakan substrat  yang tidak cocok untuk asetilkolinesterase. Senyawa ini

dibiotransformasi oleh esterase lain dengan lambat sekali. Pemberian tunggal senyawa ini baru

berakhir efeknya setelah 1 jam.

      Kerja : Karbakol berefek sangat kuat terhadap sistem kardiovaskular dan sistem pencernaan

karena aktivitas pacu ganglion-nya dan mungkin tahap awalnya memacu dan kemudian mendepresi

sistem tersebut. Obat ini mampu melepas epinefrin dari medula adrenalis karena kerja nikotiniknya.

Penetesan lokal pada mata, dapat meniru efek asetilkolin yang menimbulkan miosis.

Page 10: AGONIS KOLINERGIK

      Penggunaan terapi : Karena potensi tinggi dan masa kerja yang  relatif lama, maka obat ini

jarang digunakan untuk maksud terapi, terkecuali pada mata sebagai obat miotikum untuk

menyebabkan kontraksi pupil dan turunnya tekanan dalam bola mata.

      Efek samping : Jika diberikan dalam dosis untuk oftalmologi maka efek sampingnya kecil atau

tidak ada sama sekali.

      Dosis : Pada glaukoma 3 dd 2 gtt dari larutan 1,5-3% (klorida), pada atonia usus/kandung kemih

akut oral 1-3 dd 4 mg.

Kegunaan klinis

Perbaikan gejala penyakit Alzheimer, miotikum untuk glaukoma.

Sediaan dan posologi

Karbakol klorida sebagai tablet 2 mg atau ampul 0,25 mg/ml; pemberian oral cukup efektif dengan

dosis 3 kali 0,2 – 0,8 mg.

Dosis subkutan adalah 0,2 – 0,4 mg. Preparat ini tidak boleh diberikan IV. Juga tersedia sebagai obat

tetes mata untuk miotikum.

Indikasi

 Digunakan sebagai miotikum pada glaukoma dan pada atonia organ dalam.

Alkaloid  pilodkarpin adalah suatu amin tersier dan stabil atau hidrolisis oleh asetilkolinesterase.

Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunanya senyawa ini ternyata sangat lemah. Pilokarpin

menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama digunakan untuk oftalmolgi

Kerja : Penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat  dan kontraksi otot

siliaris. Pada mata akan terjadi suatu spasme akomodasi dan penglihatanakan terpaku pada jarak

tertentu, sehingga sulit untuk memfokus suatu objek. 

     [Catatan : efek yang berlawanan dengan atropin, suatu penyekat muskarinik      pada mata].       Pilokarpin adalah salah satu pemacu sekresi kelenjar keringat, air mata      dan saliva, tetapi     obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian.

      Penggunaan terapi pada glaukoma : Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang

dapat menurunkan tekanan bola mata baika glaukoma bersudut sempit (disebut juga bersudut

tertutup) maupun bersudut lebar (bersudut terbuka). Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman

trabekular disekitar kanal Schlemm, sehingga tekanan dalam bola mata turun dengan segera akibat

Page 11: AGONIS KOLINERGIK

cairan humor keluar dengan lancar. Kerjanya ini dapat berlangsung dalam sehari dan dapat diulangi

kembali. Obat penyekat kolinesterase seperti isoflurotat dan ekotiofat, bekerja lebih lama lagi.

[Catatan : obat penghambat karbonik anhidrase, seperti azetazolamid, epinefrin, dan penyekat beta

adrenergik, timolol, efektif pula untuk pengobatan glaukoma  kronik, tetapi tidak dapat digunakan

dalam keadaan gawat menurunkan bola mata].

      Efek samping : Pilokarpin dapat mencapai otak dan menimbulkan gangguan SSP. Obat ini

merangsang keringat dan salivasi yang berlebihan.

      Kegunaan klinis

      Uji keringat fibrosis kistik, glaukoma (miotikum).

      Indikasi

      Sebagai miotikum pada glaukoma

      Dosis : pada glaukoma 2 – 4 dd 1 – 2 tetes larutan 1 -2 % (klorida, nitrat).

      Nama paten :

·         Cendo Carpine                   ( Cendo )

      Tiap 5 ml tetes mata : pilokarpine –HCl 1%, 2%, 4%

            Indikasi : Anti glaukoma simplek kronis

            Kemasan : Botol 5ml 1% ; 2%; 3%; 4%; 6% 15 ml 1%; 2%; 3%; 4%;  6%

·         Epicarpine                            ( Cendo )

Tiap ml tetes mata ; Pilokarpin -HCl 20 mg, epinefrin 10 mg

Indikasi : Glaukoma terbuka

Kontra Indikasi : Glaukoma tertutup.

Kemasan : Botol 5 ml, 15 ml

2. Antikolinesterase (reversible)Fisostigmin

Fisostigmin adalah suatu alkaloid (senyawa nitrogen yang terdapat pada tumbuhan) yang merupakan

amin tersier. Obat ini merupakan substrat untuk kolinesterase, dan membentuk senyawa perantara

enzim-substrat yang relatif stabil yang berfungsi meng-inaktifkan secara reversibel-substrat yang

relatif stabil yang berfungsi meng-inaktifkan secara reversibel asetilkolin asetilkolinesterase.

Akibatnya terjadi potensiasi aktivitasi kolinergik diseluruh tubuh.

Page 12: AGONIS KOLINERGIK

      Kerja : fisostigmin bekerja cukup luas karena mampu memacu tidak saja tempat muskarinik dan

nikotinik sambungan neuromuskular. Lama kerja sekitar 2-4 jam. Obat ini dapat mencapai dan

memacu SSP.

      Penggunaan terapi : obat ini meningkatkan gerakan usus dan kandung kemih, sehingga

berkhasiat untuk mengobati kelumpuhan kedua organ tersebut. Bila diteteskan pada mata, maka

akan timbul miosis dan kekakuan akomodasi dan penurunan tekanan bola mata. Obat ini digunakan

untuk mengobati glaukoma, tetapi pilokarpin sebenarnya lebih efektif. Fisostigmin digunakan pula

untuk mengobati kerja antikolinergik yang berlebihan seperti atropin dalam dosis berlebihan,

fenotiazin, dan obat antidepresi trisiklik.

      Efek samping : Efek fisostigmin terhadap SSP mungkin menimbulkan kejang bila diberikan dalam

dosis besar. Dapat terjadi pula bradikardia. Hambatan terhadap asetilkolinesterase  pada sambungan

neuromuskular justru menimbulkan penumpukan asetilkolin dan pasti terjadi kelumpuhan otot rangka.

Namun demikian efek tadi jarang ditemukan bila obat digunakan dalam dosis terapetik

Kegunaan klinis :Glaukoma.     

Farmakokinetik : Mudah diserap melalui saluran cerna. Dihidrolisa oleh kolinesterase.

Nama paten : Eserine                 ( Cendo )

Tetes mata : Fisostigmina salisilat 0,25%.

 Indikasi : glaukoma, zat hambat kolinesterase memberi aktivis miotik. 

Kontra indikasi : penderita yang tidak memerlukan kontriksi seperti pada iritasi akut.

Kemasan : Botol 5ml, 15ml.

b.  Neostigmin

Neostigmin adalah suatu seyawa sintetik yang dapat menghambat asetilkolinesterase secara

reversibel seperti fisostigmin. Tetapi tidak seperti fisostigmin, obat ini lebih polar dan oleh sebab itu 

tidak dapat  masuk ke dalam SSP. Efeknya terhadap otot rangka lebih kuat dibanding fisostigmin, dan

dapat memacu kontraktivitas sebelum terjadi kelumpuhan. Masa kerja obat ini sedang saja biasanya

2-4 jam. Obat ini digunakan untuk memacu kandung kemih, dan saluran cerna, serta sebagai

antidotum keracunan tubokuranin dan obat penyekat neuronuskular kompetitif lainnya. Neostigmin

juga bermanfaat sebagai terapi simtomatik pada miastenia gravis , suatu penyakit autoimun yang

disebabkab oleh antibodi terhadap reseptor nikotinik yang terikat pada reseptor asetilkolin dari

Page 13: AGONIS KOLINERGIK

sambungan neuromuskular. Keadaan ini menimbulkan degradasi (penghancuran) reseptor nikotinik 

tersebut sehingga jumlahnya berkurang untuk berinteraksi dengan neurotransmiter. Efek samping

neurotransmiter termasuk diantaranya kerja pacuan kolinergik secara umum seperti salivasi, muka

merah dan panas, menurunnya tekanan darah, mual, nyeri perut, diare dan bronkopasme.

Dosis : Pada myastenia oral rata-rata 150 mg sehari dalam 4-6  dosis (bromida), pada glaukoma 1-2

tetes 3-5% larutan metilsulfat.

   Kegunaan klinis : Diagnosa dan pengobatan miastenia gravis, ileus paralitik, atoni otot detrusor

kandung kemih, pemulihan blokade neuromuskular setelah anastesi.

   Farmakokinetik : Diserap secara parenteral, dihancurkan dalam saluran cerna. Molekul bermuatan.

Tidak melewati sawar darah otak.

   Nama Paten : Prostigmin        ( Combiphar, ICN )

   Neostigmina sebagai garam metil sulfat 0,5 mg/ampul.

Indikasi : mastenia grafis, pencegahan dan pengobatan distensi sesudah operasi dan retensi kemih,

pembalikan efek zat blok neuromuskulus non depolarisasi.

Kontra indikasi : Hipersensitifitas, pasien peka bromida, peritonitis atau penyumbatan mekanik

saluran cerna atau saluran kemih.

Efek samping : gangguan fungsi saraf, gangguan pembuluh darah, intoksikasi saluran cerna.

Interaksi obat : antibiotik tertentu seperti neomisina streptomisina, dan kanamisina, menunjukkan

keaktifan blok depolar ringan tetapi nyata, yang dapat menguatkan blok neuromuskulus.

Kemasan : Ampul 0,5 mg/ml, dos 5 ampul 1 ml

c.  Piridogstigmin

      Piridogstrigmin adalah penghambat kolinesterase lain yang digunakan untuk pengobatan jangka

panjang miastenia gravis. Masa kerjanya lebih panjang (3-6 jam) dari neostigmin (sekitar 2-4 jam).

      Efek sampingnya lebih ringan dan terutama berupa gangguan lambung-usus. Mulai kerjanya

lebih lama.

      Dosis : oral 3-4 dd 30 mg (bromida)

      Kegunaan klinis : miastenia gravis

d.   Edrofonium

      Kerja edrofonium mirip dengan kerja neostigmin, kecuali obat ini lebih cepat diserap dan masa

kerjanya lebih singkat (sekitar 10-20 menit). Edrofonium adalah amin kuartener digunakan untuk

Page 14: AGONIS KOLINERGIK

mendiagnosa miastenia gravis. Injeksi intravena endrofonium  menyebabkdan peningkatan kekuatan

otot dengan cepat. Kelebihan dosis dari obat ini harus diperhatikan karena mungkin menimbulkan

efek kolinergik. Atropin adalah antidotumnya.

3. Antikolinesterase (Irreversibel)

a.      Isoflurofat

      Mekanisme kerja : Isoflurofat adalah organosfat yang terikat secara kofalen pada serin –OH 

pada sisi aktif asetikolinesterase. Sekali terikat, maka enzim menjadi tidak aktif secara permanen, dan

restorasi (pemulihan kembali) aktifitas asetikolinesterase memerlukan sintesis molekul enzim baru.

Setelah terjadi modifikasi kovalen asetikolinesterase, maka enzim yang terfosforikasi akan melepas

secara perlahan satu gugus isopropilnya. Kehilangan satu gugus akil. Yang sering disebut penuaan,

menjadi sulit sekali bagi reaktivator kimia seperti pradiloksin, untuk memecah ikatan antarasisa obat

dan enzim. Obat saraf yang baru, ditujukan untuk militer, bekerja setelah beberapa menit atau detik,

sedangkan DFT dalam 6-8 jam.

      Kerja : kerja obat ini meliputi pacuan kolinergik umum, kelumpuhan fungsi motor (yang

menimbulkan kesulitan bernafas) dan kejang. Koflurofat menimbulkan pola miosis kuat dan

bermanfaat  terapeutik. Atropin dosis besar mampu melawan semua efek sentral isoflurofat.

      Penggunaan terapi : Bentuk salep mata ini digunakan secara topikal dalam jangka panjang pada

pengobatan glaukoma sudut terbuka. Efeknya berakhir mendekati satu minggu setelah penetesan

tunggal .[Catatan : ektiofat adalah obat baru yang terikat pula secara kovalen pada

asetilkolinesterase. Kegunaanya sama dengan isoflurofat.

      Reaktifitas asetilkolinesterase : Pralidoksim (PAM) adalah senyawa piridinium sintetik  yang

mampu menginaktifkan kembali asetilkolinesterase yang terhambat. Keberadaan gugus bermuatan

dari obat ini memungkinkan pendekatan ditempat anionik enzim dimana tempat ini sangat penting

untuk menggeser organofosfat dan meregenerasi enzim. Bila obat diberikan sebelum terjadinya

penuaan enzim yang teralkilasi terjadi, maka tentu dapat menghilangkan efek soflurofat terkecuali

didalam SSP. Tetapi dengan adanya obat saraf yang baru  yang mampu menuakan kompleks enzim

dalam beberapa detik saja, maka pralidoksim menjadi kurang efektif.