agama.docx

21
MAKALAH PSIKOLOGI PENDIDIKAN TENTANG AGAMA ( Rombel 16 ,405-406 / D4-325) Oleh: 1. 2. 3. 4. 5. UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

Upload: mas-brow

Post on 23-Dec-2015

214 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

psikologi pendidikan tentang agama

TRANSCRIPT

Page 1: agama.docx

MAKALAH PSIKOLOGI PENDIDIKAN TENTANG

AGAMA

( Rombel 16 ,405-406 / D4-325)

Oleh:

1.

2.

3.

4.

5.

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2014

Page 2: agama.docx

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Manusia merupakan makhluk hidup yang sangat istimewa, karena manusia berbeda dengan makhluk yang lainnya. Manusia diberi akal dan pikiran untuk bertindak sesuai dengan etika dan nilai – nilai moral yang berlaku sesuai dengan kehendaknya, lingkungan, dan ajaran agama yang di anutnya. Nilai – nilai dan norma – norma yang memberikan arah dan makna bagi manusia dalam bertindak ialah agama.Seorang sosiolog agama bernama Elizabeth K. Nottingham berpendapat bahwa agama bukan sesuatu yang dapat dipahami melalui definisi melainkan melalui deskripsi (penggambaran). Tak ada satu pun definisi tentang agama yang benar – benar memuaskan.Menurut gambara Elizabeth K. Nottingham, agama adalah gejala yang begitu sering “terdapat dimana –mana”, dan agama berkaitan dengan usaha – usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta. Selain itu agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna, dan juga perasaan takut dan ngeri. Meskipun perhatian tertuju keada adanya suatu dunia yang tak dapat dilihat (akhirat), namun agama melibatkan dirinya dalam masalah – masalah kehidupan sehari – hari di dunia (Elizabeth K. Nottingham, 1985: 3-4).Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat Adikordrati (Supernatural) ternyata seakan menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai – nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang per orang maupun dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Selain itu agama juga memberi dampak bagi kehidupan sehari – hari. Dengan demikian secara psikologis, agama dapat berfungsi sebagai motif intrinsik (dalam diri) dan motif ekstrinsik (luar diri). Agama memang unik, sehingga sulit didefinisikan secara tepat dan memuaskan.Dari uraian di atas, kami mencoba menguraikannya lebih jelas lagi dalam judul makalah “Agama dan Pengaruhnya Dalam Kehidupan Individu dan Masyarakat.”

B. Pembatasan masalah

Dari uraian latar belakang di atas, dapat di ambil rumusan masalah diantaranya sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh agama terhadap kehidupan individu?2. Bagaimana pengaruh agama terhadap kehidupan masyarakat?

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN AGAMA SECARA UMUM

Beberapa acuan yang berkaitan dengan kata  “Agama” pada umumnya; berdasarkan Sansekerta yang menunjukkan adanya keyakinan manusia berdasarkan Wahyu Illahi dari kata A-GAM-A, awalan A berarti “tidak” dan GAM berarti “pergi atau berjalan, sedangkan akhiran A bersifat menguatkan yang kekal, dengan demikian “agama: berarti pedoman hidup yang kekal”.

Page 3: agama.docx

Agama Sanskerta, a = tidak; gama = kacau artinya tidak kacau; atau adanya keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah atau tujuan tertentu. Religio dari religere, Latin artinya mengembalikan ikatan, memperhatikan dengan saksama; jadi agama adalah tindakan manusia untuk mengembalikan ikatan atau memulihkan hubungannya dengan Ilahi.Dari sudut sosiologi, agama adalah tindakan-tindakan pada suatu sistem sosial dalam diri orang-orang yang percaya pada suatu kekuatan tertentu [yang supra natural] dan berfungsi agar dirinya dan masyarakat keselamatan. Agama merupakan suatu sistem sosial yang dipraktekkan masyarakat; sistem sosial yang dibuat manusia [pendiri atau pengajar utama agama] untuk berbhakti dan menyembah Ilahi. Sistem sosial tersebut dipercayai merupakan perintah, hukum, kata-kata yang langsung datang dari Ilahi agar manusia mentaatinya.

1. Agama ialah sikon manusia yang percaya adanya tuhan, dewa, Ilahi; dan manusia yang percaya tersebut, menyembah serta berbhakti kepada-Nya, serta melaksanakan berbagai macam atau bentuk kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.

2. Agama adalah cara-cara penyembahan yang dilakukan manusia terhadap sesuatu Yang Dipercayai berkuasa terhadap hidup dan kehidupan serta alam semesta; cara-cara tersebut bervariasi sesuai dengan sikon hidup dan kehidupan masyarakat yang menganutnya atau penganutnya.

3. Agama ialah percaya adanya tuhan Yang Maha Esa dan hukum-hukum-Nya. Hukum-hukum tuhan tersebut diwahyukan kepada manusia melalui utusan-utusan-Nya; utusan-utusan itu adalah orang-orang yang dipilih secara khusus oleh tuhan sebagai pembawa agama. Agama dan semua peraturan serta hukum-hukum keagamaan diturunkan tuhan kepada manusia untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.Jadi, secara umum, agama adalah upaya manusia untuk mengenal dan menyembah Ilahi yang dipercayai dapat memberi keselamatan serta kesejahteraan hidup dan kehidupan kepada manusia; upaya tersebut dilakukan dengan berbagai ritus secara pribadi dan bersama yang ditujukan kepada Ilahi.

B. FUNGSI AGAMA DALAM KEHIDUPAN INDIVIDU1. Agama Sebagai Sumber Nilai dalam Menjaga Kesusilaan.

Menurut Mc. Guire, diri manusia memiliki bentuk sistem nilai tertentu. Sistem nilai ini merupakan sesuatu yang dianggap bermakna bagi dirinya. Sistem nilai ini dibentuk melalui belajar dan proses sosialisasi. Perangkat sistem nilai ini dipengaruhi oleh keluarga, teman, institusi, pendidikan, dan masyarakat (Meredith B. Mc. Guire, 1981: 24).Selanjutnya, tulis Mc. Guire, berdasarkan perangkat informasi yang diperoleh seorang dari hasil belajar dan sosialisasi tadi meresap dalam dirinya. Sejak itu perangkat nilai itu menjadi sistem yang menyatu dalam membentuk identitas seseorang. Ciri khas ini terlihat dalam kehidupan sehari – hari, bagaimana sikap, penampilan maupun untuk tujuan apa yang turut berpartisipasi dalam suatu kegiatan tertentu. Menurut pandangan Mc. Guire, dalam membentuk sistem nilai dalam diri individu adalah agama.Menurut Mc. Quire system nilai yang berdasarkan agama dapat memberi pedoman bagi individu dan masyarakat. Sistem nilai tersebut dalam bentuk keabsahan dan pembenaran

Page 4: agama.docx

dalam kehidupan individu dan masyarakat.Elizabeth K. Nottingham, mengatakan bahwa setiap individu tumbuh menjadi dewasa memerlukan suatu system nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktivitas dalam masyarakat yang berfungsi sebagai tujuan akhir pengembagan kepribadianya. Dengan mempedomani system nilai maka kesusilaan akan terjaga namun nilai tersebut tidak akan berfungsi tanpa melalui pendidikan. Dalam pendidikan Islam ada tiga bentuk proses pedidikan yaitu:

a. Transfer of knowledge; ilmu pengetahuan agama dimiliki pendidik dipindahkan ( transfer ) kepada peserta didik.

b. Transformation of knowledge; ilmu pengetahuan agama yang diberikan oleh pendidik dikembangkan (  Transformatio )noleh peserta didik, dan

c. Internalisation of values, nilai – nilai yang terkandung / terdapat pada pengetahuan agama ditanamkan ( internalitation ) oleh pendidik kepada peserta didik. St. Hafi Anshori mengatakan bahwa manusia memang membutuhkan suatu stuasi yang menjaga atau menjamin berlangsungnya ketertiban dalam kehidupan moral dan social, dan agama dapat berfungsi sebagai institusi semacam itu. Motivasi keagamaan yang mereka lahirkan lewat tingkah laku keagamaannya kesusilaan dan tata tertib dalam masyarakat.

2. Agama Sebagai Sarana untuk Mengatasi Frustasi

Manusia mempunyai kebutuhan dalam kehidupan ini, mulai dari Kebutuhan fisik seperti makanan, pakaian, istirahat, dan seksual, sampai kebutuhan psikis, seperti keamanan,, ketentraman, per-sahabatan, penghargaan, dan kasih sayang. Menurut Sarlito Wiraman Sarwono, apabila kebutuhannya itu tidak terpenuhi, terjadi ketidak-seimbangan, yakni antara kebutuhan dan pemenuhan, maka akan menumbuhkan kekecewaan yang tidak menyenangkan, kondisi atau keadaan inilah yang disebut frustasi.Menurut pengamatan psikolog bahwa keadaan frustasi itu dapat menimbulkan tingkah laku kagamaan. Orang yang mengalami frustasi tidak jarang bertingkah laku religius atau keagamaan, untuk mengatasi frustasinya. Kebutuhan – kebutuhan manusia pada hakikatnya diarahkan kepada kebutuhan duniawi, seperti kebutuhan fisik ( pangan, sandang, papan, seks, dan sebagainya ) kebutuhan psikis ( kehormatan, penghargaan, perlindungan dan sebagainya ). Untuk itu ia melakukan pendekatan kepada Tuhan melalui ibadah – hal tersebut yang melahirkan tingkah laku keagamaan.

3. Agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan

Ketakutan yang dimaksud dalam kaitannya dengan agama sebagai sarana untuk mengatasinya, adalah ketakutan yang tidak ada obyeknya. Untuk mengatasi ketakutan sepert diatas,  psikologi sebagai ilmu empiris, terbentur masalah kesulitan. Soalnya bentuk ketakutan tanpa obyek hampir tidak bisa diteliti secara positif-empiris, karena ketakutan tersebut biasanya tersembunyi dalam gejala – gejala lain yang merupakan manifestasi terselubung dari ketakutan, misalnya dalam bentuk gejala malu, rasa bersalah, takut kecelakaan, rasa bingung, dan takut mati. Timbulnya motivasi agama salah satunya karena

Page 5: agama.docx

adanya rasa takut. Lihatlah misalnya disaat terjadi musibah gempa bumi, tsunami, dan sebagainya orang berduyun – duyun pergi ke rumah ibadah minta pertolongan dan perlindungan kepada Yang Mahakuasa.

4. Agama sebagai sarana untuk memuaskan keingintahuan

Agama mampu memberi jawaban atas kesukaran intelektual kognitif, sejauh kesukaran itu diresapi oleh keinginan eksistensial dan psikologis, yaitu oleh keinginan dan kebutuhan manusia akan orientasi dalam kehidupan, agar dapat menempatkan diri secara berarti dan bermakna di tengah – tengah alam semesta ini. Tanpa agama, manusia tidak mampu menjawab pertanyaan yang sangat mendasar dalam kehidupannya, yaitu dari mana manusia datang, apa tujuan manusia hidup, dan mengapa manusia ada, dan kemana manusia kembalinya setelah mati.Dipandang dari segi psikologis dapat dikatakan bahwa agama memberi sumbangan istimewa kepada manusia dengan mengarahkannya kepada Tuhan. Dengan demikian, agama dapat menjadikan manusai merasa aman dalam hidupnya. Kesadaran akan keadaan itu jelas melahirkan adanya tingkah laku keagamaan.

5. Agama sebagai pembentuk kata hati (conscienci)

Kata hati menurut Erich Fromm adalah panggilan kembali manusia kepada dirinya (Erich Fromm, 1988: 110).  Shaftesbury mengasumsikan kata hati sebagai suatu rasa moral di dalam diri manusia berupa rasa benar dan salah, suatu reaksi emosional yang didasarkan atas fakta bahwa pikiran manusia pada dirinya sendiri dalam mengatur keharmonisan dirinya dengan tatanan kosmik (Erich Fromm: 11). Boeh dikatakan, filsafat skolastik (agama) lebih tegas mengatakan kata hati sebgai kesadaran akan prinsip – prinsip moral (Erich Fromm: 111).Erich Fromm membagi kata hati menjadi menjadi dua, diantaranya:a.    Kata hati otoritarian; dibentuk oleh pengaruh luarb.    Kata hati humanistik; bersumber dari dalam diri sendiripada diri manusia telah ada sejumlah potensi untuk memberi arah dalam kehidupan manusia. Potensi tersebut adalah: hidayat al-Ghariziyyat (naluriah), hidayat al-Hissiyyat (inderawi), hidayat al-Aqliyat (nalar), dan hidayat al-Diniyyat (agama). Melalui pendekatan ini, maka agama sudah menjadi potensi fitrah yang dibawa sejak lahir. Pengaruh lingkungan terhadap seseorang adalah memberi bimbingan kepada potensi yang dimilikinya itu. Dengan demikian, jika potensi fitrah itu dapat dikembangkan sejalan dengan pengaruh lingkungan maka akan terjadi keselarasan. Sebaliknya jika potensi itu dikembangkan dalam kondisi yang dipertentangkan oleh kondisi lingkungan, maka akan terjadi ketidakseimbangan pada diri seseorang. Berdasarkan pendekatan ini, maka pengaruh agama dalam kehidupan individu adalah memberi kemantapan batin, rasa bahagia, rasa terlindung, rasa sukses dan rasa puas.

C. FUNGSI AGAMA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

Masyarakat adalah gabungan dari kelompok individu yang terbentuk berdasarkan tatanan sosial tertentu. Dalam kepustakaan ilmu – ilmu sosial dikenal tiga bentuk masyarakat, yaitu: masyarakat homogen, masyarakat majemuk, dan masyarakat heterogen.Terlepas dari penggolongan masyarakat tersebut, pada dasarnya masyarakat terbentuk dari

Page 6: agama.docx

adanya solidaritas dan konsensus. Solidaritas menjadi dasar terbentuknya organisasi dalam masyarakat, sedangkan konsensus merupakan persetujuan bersama terhadap nilai – nilai dan norma – norma yang memberikan arah dan makna bagi kehidupan kelompok (Thomas E O’dea, 1985: 107).Nilai – nilai dan norma – norma yang memberikan arah dan makna bagi kehidupan masyarakat ialah agama. Masalah agama tak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena agama itu sendiri ternyata diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Dalam prakteknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain:1.    Berfungsi EdukatifAjaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua unsur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan pribadi penganutnya menjadi  baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing – masing.

2.    Berfungsi PenyelamatKeselamatan yang meliputi bidang yang luas adalah keselamatan yang diajarkan leh agama. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada pengautnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu: dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu agama mengajarkan para penganutnya untuk mengenal terhadap sesuatu yang sacral yang disebut supernatural.Berkomunikasi dengan supernatural dlaksanakan dengan berbagai cara sesuai dengan ajaran agama itu sendiri, diantaranya:a.    Mempersatukan diri dengan Tuhan ( pantheisnae )b.    Pembebasan dan pensucian diri ( penebusan dosa )c.    Kelahiran kembali ( reinkarnasi )Untuk kehadiran Tuhan bisa dalam bentuk penghayatan batin yaitu melalui meditasi sedangkan kehadiran dalam menggunakan benda – benda lambang melalui:a.    Theophania spontanea: Kepercayaan bahwa Tuhan dapat dihadirkan dalam benda – benda tertentu, seperti tempat angker. Gunung, danau, arca, dan lainnya.b.    Theohania Incativa:Kepercayaan bahwa Tuhan hadir dalam lambang melalui permohonan, baik melalui Invocativa magis (mantera, dukun) maupun invocative religious (permohonan, doa, kebaktian dan sebagainya).

3.    Berfungsi sebagai PendamaianMelalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaia batin melalui tuntunan agama. Rasa berdosa dan bersalah akan segera menjadi hilang dari batinnya apabila sesorang yang bersalah telah menebus dosanya melalui: tobat, pensucian jiwa, ataupun penebusan dosa

4.    Berfungsi sebagai Social controlDalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawas baik secara individu maupun secara kelompok, karena:a.    Secara instansi agama, merupakan norma yang harus dipatuhi oleh para pengikutnya.b.    Secara dogmatis (ajaran) mempunyai fungsi kitis yang bersifat profetis (kenabiaan).

Page 7: agama.docx

5.    Berfungsi sebagai Pemupuk Rasa SolidaritasPara penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan dalam iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan menimbulkan rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahka kadang – kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh. Bahkan rasa persaudaraan (solidaritas) itu bahkan dapat mengalahkan rasa kebangsaan.

6.    Berungsi TransformatifAjaran agama dapat merubah kehidupan sesorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai denga ajaran agama yang dianutnya.

7.    Berfungsi KreatifAjaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut agama buka saja disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup yag sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru dalam pekerjaan yang dilakukannya.

8.    Berfungsi SublimatifAjaran agama mengkuduskan segala usaha manusia bukan saja yag bersifat ukhrawi melainkan juga bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma – norma agama, bila dilakukan dengan ikhlas karena Allah merupakan ibadah.

D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AGAMA

Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk kepada aspek ronhaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah dan pengaktualisasiannya melalui peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat hablumminnallah maupun hablumminnannas. Keimanan kepada Allah dan aktualisasinya dalam ibadah merupakan hasil dari internalisasi, yaitu proses pengenalan, pemahaman, dan kesadaran pada diri seseorang terhadap nilai-nilai agama. Proses ini terbentuk dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor internal (fitrah, potensi beragama) dan eksternal (lingkungan).

a. Faktor internal

Perbedaan hakiki antara manusia dan hewan adalah bahwa manusia memiliki fitrah (potensi ) beragama. Setiapa manusia yang lahir ke dunia ini, baik yang masih primitif (bersahaja) maupun yang modern; baik yang lahir di negara komunis maupun beragama; baik yang lahir dari orang tua yang shalih maupun yang jahat, sejak Nabi Adam sampai akhir zaman, menurut fitrahnya mempunyai potensi beragama, keimanan kepada Tuhan, atau percaya terhadap suatu dzat yang mempunyai kekuatan yang menguasai dirinya atau alam dimana dia hidup.Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah dan ada yang mendapat bimbingan dari agama, sehingga fitrahnya itu berkembang secara benar sesuai dengan kehendak Allah Swt.

Page 8: agama.docx

Pada dasarnya manusia lahir dalam keadaan fitrah (potensiberagama), hanya faktor lingkungan (orang tua) yang mempengaruhiperkembangan fitrah beragama anak. Dari sini, jiwa keagamaan anakberkaitan erat dengan hereditas (keturunan) yang bersumber dari orangtua, termasuk keturunan beragama. Faktor keturunan beragama inididasarkan atas pendapat ulama mesir Ali Fikri, dia berpendapat bahwakecenderungan nafsu itu berpindah dari orang tua secara turun-temurun.Oleh karena itu anak adalah merupakan rahasia dari orang tuanya.Manusia sejak awal perkembangannya berada di dalam garis keturunandari keagamaan orang tua.31b) Tingkat usiaSikap keagamaan anak akan mengalami perkembangan sejalandengan tingkat usia anak. Perkembangan tersebut dipengaruhi olehberbagai aspek kejiwaan termasuk kemampuan berpikir anak. Anakyang menginjak usia berpikir kritis lebih kritis pula dalam memahami ajaran agamanya, baikyang diterima disekolah maupun diluar sekolah.

b. Faktor eksternal

Faktor fitrah beragama (taqwa) merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan untuk berkembang. Namun, perkembangan itu tidak akan terjadi manakala tidak ada factor luar (eksternal) yang memberikan pendidikan(bimbingan, pengajaran, dan latihan) yang memungkinkan fitrah itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Fator itu tiada lain adalah lingkungn dimana individu (anak) itu hidup, yaitu keluarga, sekolah(kelembagaan), dan masyarakat.

1. Factor lingkungan keluarga

Anak yang baru lahir merupakan makhluk yang tidak berdaya namun ia dibekali oleh berbagai kemampuan yang bersifat bawaan . Disini terlihat adanya 2 aspek yang kontradiktif . Disatu pihak bayi atau anak yang baru lahir berada dalam kondisi tanpa daya, sedanngkan di pihak lain anak memiliki kemampuan untuk berkembang (eksploratif) . Tetapi, menurut Walter Houston Clark, perkembangan bayi atau anak tak mungkin dapat berlangsung secara normal tanpa adanya intervensi dari luar, walaupun secara alami ia memiliki potensi bawaan. Seandainya bayi atau anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya hanya diharapkan menjadi manusia normal sekalipun, maka ia masih memerlukan berbagai persyaratan tertentu serta pemeliharaan yang berkesinambungan (W.H.Clark, 1964:2). Pendapat ini menunjukan bahwa tanpa bimbingan dan pengawasan yang teratur, anak akan kehilangan kemampuan untuk bberkembang secara normal, walaupun ia memiliki potensi untuk bertumbuh dan berkembang serta potensi-potensi lainnya.Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak/ibu ) adalah pendidik kodrati. Mereka mendidik bagi anak-anak mereka karena secara kodrat ibu dan bapak diberikan anugerah oleh Allah SWT berupa naluri orang tua. Karena naluri inilah timbul rasa kasih sayang orang tua kepada anak-anak mereka, hingga secara moral keduanya merasa terbeban tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi, melindungi, serta membimbing keturunan mereka.Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan .

Page 9: agama.docx

Perkembangan agama menurut W.H.Clark, berjalin unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut kejiwaan, manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun demikian, melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan terlibat di dalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama itu berkembang. Dalam kaitan itu pulalah terlihat peran pendidikan keluarga dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anak. Maka tak heran jika Rosul SAW menekankan tanggung jawab itu pada kedua orang tua sebagai mana disabdakan dalam hadist beliau “Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orangtuanyalah anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Dan dalam Al-Qur’an Allah SWT menerangkan bahwa orang tua mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan agama keapada anak-anaknya dalam upaya menyelamatkan mereka dari siksa api neraka, sesuai dengan Qs. At Tahrim:6 “Hai orang-orang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.Salah seorang psikolog bernama Hurlock berpendapat bahwa keluarga merupakan “Training Centre”bagi penanaman nilai-nilai, termasuk juga nilai-nilai agama. Pendapat ini menunjukkan bahwa kelurga mempunyai peran sebagai pusat pendidikan bagi anak untuk memperoleh pemahaman tentang nilai-nilai (tata karma, sopan santun, atau ajaran agama) dan kemapuan untuk mengamalkan atau menerapannya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara personal maupun social kemasyarakatan.Peranan keluarga ini terkait dengan upaya-upaya orang tua dalam menanaman nilai-nilai agama kepada anak, yang prosesnya berlangsung pada masa pra lahir (dalam kandungan) dan pasca lahir. Pentingnya penanaman nilai agama pada masa pra lahir, didasarkan kepada pengamtan ahli pskologi terhadap orang-orang yang mengalai gangguan jiwa. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa gangguan jiwa mereka dipengaruhi oleh keadaan emosi atau sikap orang tua (terutama ibu) pada masa merekaberada dalam kandungan.Upaya orang tua dalam pengembangan jiwa beragama anak pada masa kandungan dilakukan secara tidak langsung, karena kegiatannya bersifat pengembangan sikap, kebiasaan, dan perilaku-perilaku keagamaan pada diri orang tua itu sendiri.Upaya-upaya yang seyogyanya dilakukan orang tua khususnya ibu pada masa anak dalam kandungan itu diantaranya sebagai berikut :a. Membaca doa pada saat berhubungan seksual sebadan suami-isterib. Meningkatkan kualitas ibadah shalat wajib dan sunat.c. Melaksanakan shalat sunnat tahajjud.d. Mentadarrus Al-Qur’an sampai khatam dan empelajari tafsirnya.e. Memperbanyak dzikir kepada Allahf. Memanjatkan doa kepada allah yang terkait dengan permohonan untuk memperoleh keturunan yang shalih.g. Memperbanyak shodaqoh kepada fakir miskin atau yatim piatu.h. Menjauhkan diri dari makan atau minuman yang diharamkan Allahi. Memelihara diri dari ucapan atau perbuatan yang diharamkan Allah.Adapun upaya-upaya yang seyogyanya dilakukan orang tua setelah anak lahir diantaranya sebagai berikut :a. Pada saat anak berusia 7 hari, lakukanlah aqiqah, sebagai sunnah Rosululloh SAW.

Page 10: agama.docx

b. Orang tua hendaklah mendidika anak tentanng ajaran agamac. Orang tua hendaknya memelihara hubungan yang harmonis antar anggoat keluarga.d. Orang tua seyogyanya memiliki kepribadian yang baik dan berakhlakul karimah.e. Orang tua hendaknya memperlakukan anak dengan cara yang baik.f. Orang tua hendaknya tidak memperlakukan anak secara otoriter.

2. Factor lingkungan sekolah

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yangmempunyai program sistemik dalam melaksakan bimbingan, pengajaran, dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya secara optimal, baik menyangkut aspek fisik, psikis (intelektual dan emosional), social, maupun moral spiritual.Menurut Hurlock (1959) sekolah mempunyai pengaruh sangat besar terhadap kepribadian anak, karean sekolah merupakan substitusi dari keluarga, dan guru substitusi dari orang tua.Sejalan dengan fungsi dan perannya, maka sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan para oran tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah. Sejalan dengan kepentingan dan masa depan anak-anak, terkadang orang tua sangat selektif dalam menentukan tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Mungkin saja para orang tua yang berasal dari keluarga yang taat beragama akan memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah agama. Sebaliknya, para orang tua lain lebih mengarahkan anak mereka untuk masuk ke sekolah-sekolah umum. Atau sebaliknya, para oran tua yang sulit menendalikan tingkah laku anaknya akan memasukan anak- anak mereka ke sekolah agam dengan harapan secara kelembagaan skolah tersebut dapat memberikan pengaruh dalam membentuk kepribadian anak-anak tersebut.Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan kepada anak. Namun demikian, besar kecilnya pengaruh tersebaut sangat tergantung pada berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab, pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu, pendidikan agama lebih dititik beratkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.Mengenai peranan guru (pendidik) dalam pendidikan akhlak anak, Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa penyembuhan badan memerlukan seorang dokter yang tahu tentang tabiat badan serta macam-macam penyakitnya dan cara-cara penyembuhannya. Demikian pula halnya dengan penyembuhan jiwa dan akhlak. Keduanya membutuhkan guru (pendidik) yang tahu tentang tabiat dan kekurangan jiwa manusia serta tentang cara memperbaiki dan mendidiknya. Kebodohan dokter akan merusak kesehatan orang sakit. Begitu juga kebodohan guru akan merusak akhlak muridnya.Dalam kaitannya dengan upaya mengembangkan fitrah Bergama anak atau siswa, sekolah mempunyai peranan yang sangat penting . Peranan ini terkait dengan upaya mengembangkan pemahaman, pembiasaan, mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia serta sikap apresiatif terhadap ajaran atau hukm-hukum agama. Upaya-upaya itu adalah sebagai berikut :a. Dalam mengajar, guru agama hendaknya menggunakan pendekatan (metode) yang bervariasi seperti ceramah, tanya jawab, diskusi, demonterasi, dan qishah. Sehingga anak

Page 11: agama.docx

tidak mersa jenuh ntuk mengikutinya..b. Dalam menjelaskan materi pelajaran, guru agama hendaknya tidak terpaku pada teks atau materi itu saja, tetapi materi itu sebaiknya dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari., atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat.c. Guru agama hendaknya memberikan penjelasan kepada siswa, bahwa semua ibadah ritual (mahdhoh) akan memberikan makan yang lebih tinggi di hadapan Allah SWT, apabila nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ibadah tersebut direfleksukan dalam kehidupan sehari-hari.d. Guru agama hendaknya memiliki kepribadian yang mantap (akhlak mulia), seperti jujur, bertanggung jawab, komitmen terhadap tugas, disiplin dalam bekerja, kreatif, damn respek terhadap siswa.e. Guru agama hendaknya menguasai bidang study yang diajarkannya secara memadai, minimal maetri-materi yang terkandung dalam kurikulum.f. Guru agama hendaknya memahami ilu-ilmu lain yang relevan atau yang menunjang kemampuannya dalam mengelola proses belajar mengajar, seperti psikologi pendidikan, bimbingan konseling, metodologi pengajaran, administrasi pendidikan, dan lain-lain. g. Pimpinan sekolah, guru-guru, dan pihak sekolah lainnya hendaknya memberikan contoh tauladan yang baik dalam mengamalkan ajaran agama.h. Guru-guru yang mengjar bidang study umum hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai agama ke dalam materi-materi pelajaran yang diajarkannya.i. Sekolah hendaknya menyediakan sarana ibadah (masjid) yang memadai dan memfungsikannya secara optimal.j. Sekolah hendaknya menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler kerohanian bagi para siswa dan ceramah-ceramah atau diskusi keagamaan secara rutin.

3. Factor lingkungan masyarakat

Yang dimaksud lingkungan masyarakat ini adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama anak juga remaja.Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Dalam masyarakat, anak atau remaja melakukan interaksi social dengan teman sebayanya (peer group) atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), maka anak cenderung berakhlak mulia. Namun apabila sebaliknya, yaitu perilaku teman sepergaulannya itu menunjukkan kebobrokan moral, maka anak akan cenderung terpengaruh untuk berperilaku seperti temannya tersebut. Hal ini terhadi, apabila anak kurang mendapat bimbingan agama dari orang tuanya.Mengenai dominannya pengaruh kelompok teman sebaya, Hurlock mengemukakan bahwa “Standar atau aturan-aturan gang (kelompok berteman) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya.”Corak perilaku anak atau remaja merupakan cermin dari perilaku warga masyarakat (orang dewasa) pada umumnya. Oleh

Page 12: agama.docx

karena itu, disini dapat dikatakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama anak sangat bergantung pada kualitas perilaku atau akhlak warga masyarakat (orang dewasa) itu sendiri.Kualitas pribadi, perilaku, atau akhlak orang dewasa yang kondusif bagi perkembangan kesadaran beragama anak adalah mereka yang taat melaksanakan ajaran agama, seperti ibadah ritual, menjalin persaudaraan, saling menolong, dan bersikap jujur dan lain-lain yang berpengaruh positif terhadap perkembangan kejiwaaan beragama anak.Di sinilah terjadi hubungan antara lingkungan dan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan masayarakat santri barangkali akan lebih memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan. Dengan demikian, fungsi peran masyarakat akan sangat tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri.Dalam upaya mengembangkan jiwa beragama atau akhlak mulia anak atau remaja, maka ketiga lingkungan tersebut secara sinerji harus bekerjasama, dan bahu membahu untuk menciptakan iklim, suasana lingkungan yang kondusif. Iklim yang kondusif tersebut ditandai dengan berkembangnnya komitmen yang kuat dari masing-masing individu yang mempunyai kewajiban moral(orang tua, pihak sekolah, pejabat pemerintahan, dan warga masyarakat) untuk mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari individu dan masyarakat, karena agama memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap kehidupan individu dan masyarakat.Diantaranya, fungsi agama dalam kehidupan individu, ialah sebagai berikut:1. Agama Sebagai Sumber Nilai dalam Menjaga Kesusilaan2. Agama Sebagai Sarana untuk Mengatasi Prustasi3. Agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan4. Agama sebagai sarana untuk memuaskan keingintahuan5. Agama sebagai pembentuk kata hati (conscienci)Fungsi agama dalam kehidupan masyarakat, ialah sebagai berikut:1. Berfungsi Edukatif2. Berfungsi Penyelamat3. Berfungsi sebagai Pendamaian4. Berfungsi sebagai Social control5. Berfungsi sebagai Pemupuk Rasa Solidaritas6. Berungsi Transformatif7. Berfungsi Kreatif8. Berfungsi Sublimatif

DAFTAR PUSTAKA

Page 13: agama.docx

Prof. Dr. H, Jalaluddin. 2010. Psikologi Agama (Cet. ke-14). Jakarta: PT. Raja Grafindo PersadaProf. Dr. H. Ramayulis. 2003. Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia

http://siapaaris.blogspot.com/2012/09/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-sikap.html

http://moechrizal.blogspot.com/2011/12/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-jiwa.html

PERMASALAHAN

Kami mengobservasi teman kami yang berinisial OM. Berumur sekitar 24 tahun dan berstatus sebagai alumni UNNES yang masih mencari pekerjaan.

Teman kita satu ini mempunya masa lalu yang cukup pahit baginya. Dulu sewaktu SMA dia dikenal sebagai orang yang paling ditakuti bagi teman-temannya. Mengapa demikian ?karena dia sering sekali meminta paksa uang teman-temannya sekolahnya, yang nantinya digunakan untuk membeli rokok dan minuman berakohol di luar sekolah.Dia juga seringkali handal berkelahi dengan teman-temannya di sekolahnya karena hal-hal yang sepele. Sewaktu ketika dia pulang sekolah, dia sedang mengendarai motornya dengan asik dan tidak memperhatikan sekitarnya. Tiba- tiba saja hal yang naas menimpa dirinya, mtor yang dikendarainya diseruduk oleh mobil di perempatan jalan siang itu. Karena kejadian itu, dia hamper tidak sadarkan diri di ICU rumah sakit selama 3 hari. Orang tua nya terutama Ibunya tidak hentinya mendoakan dan menjaganya selalu selama 3 hari itu. Sontak hal itu membuat dirinya sadar Bahwa Tuhan masih menyayanginya dan memberi kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Akhirnya setelah kejadian itu, dia berubah total 180 derajad. Dia menjadi sosok yang religius dan mencoba ramah kepada teman-temannya meskipun hal itu sungguh sulit baginya. Karena teman-temannya sudah terlalu membencinya.