administrasi peradilan

Download ADMINISTRASI PERADILAN

If you can't read please download the document

Upload: aljamrosi

Post on 28-Dec-2015

22 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

ty

TRANSCRIPT

ADMINISTRASI PERADILANADMINISTRASI PERADILANDisampaikan Oleh :R. JAYA RAHMAT, S.Ag., M.Hum.Dalam Sosialisasi Penyelenggaraan Administrasi Peradilan A. Pengertian Administrasi Administrasi adalah literature Inggris sering disebut istilah tat usaha, pekerjaan kantor (office works), pekerjaan tulis (clerical work), atau pekerjaan kertas (peper work). Suatu leseluruhan kegiatan mencatat segala kejadian bagi pemimpin atau organisasi, atau kegiatan catat mencatat berbagai keterangan. Pengertian administrasi diatas adalah dalam arti sempit. Sedangkan administraisi dalam arti luas menurut The Liang Gie, adalah segenap proses penyelenggaraan dalam setiap usaha kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu. Rangkaian perbuatan penyelenggaraan ini terbentang diantara saat ditentukannya tujuan yang ingin cicapai sampai detik terpenuhnya tujuan itu. Pengertian senada dikemukakan oleh Dann Sugandha, menurutnya administrasi adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan manusia untuk mencapai sesuatu, usaha ini hanya bersifat kerjasama sehingga akan terlihat beberapa orang dalam gerakan-gerakan yang teratur, gerakan orang-orang yang mengandalkan kerjasama ini harus bersatu padu, tertib, dan terarah. Arahnya tidak lain adalah tujuan yang telah ditetapkan sebelum kegiatan dimulai dan telah disetujui oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Sedangkan Robins berpendapat bahwa administrasi adalah proses yang bersifat universal bersama-sama dan melalui orang lain. Prosesnya adalah perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan dan pengawasan. Dlam pengertian yang terakhir ini administrasi sama halnya dengan manajemen yaitu aktifitas kelompok memimpin artinya bahwa tugas atau peranan administrator sama dengan tugas atau perana managemen. Keseluruhan serangkaian kegiatan tata usaha diatas dalam proses penyelenggaraannya dapat dijelaskan dalam 6 (enam) pola perbuatan: 1) Menghimpun, yaitu kegiatan-kegiatan mencari dan menguasakan tersedianya segala keterangan yang terjadinya belum ada dan berdasarkan dimana-mana sehingga siap untuk digunakan bilamana diperlukan. 2) Mencatat, yaitu kegiatan membubuhkan dengan pelbagai peralatan tulis keterangan-keterangan yang diperlukan sehingga terwujud tulisan yang dapat dibaca, dikirim dan disimpan. Dalam perkembangan teknologi moderen sekarang ini termasuk pula materi keterangan-keterangan itu dnegan alat perekam suara hingga dapat didengar, misalnya pencatatan pada pita tape. 3) Mengolah, yaitu bermacam-macam kegiatan mengerjakan keterangan-keterangan dengan maksud menjanjikannya dlam bentuk yang lebih berguna. 4) Menggandakan, yaitu kegiatan memperbanyak dengan pelbagai cara dan alat sebanyak jumlah yang diperlukan. 5) Mengirim, yaitu kegiatan menyiapkan dengan pelbagi cara dan aalat dan satu pihak kepada pihak yang lain. 6) Menyimpan, yaitu kegiatan menaruh dengan pelbagai cara dan alat ditempat tertentu yang mau. B. Administrasi Peradilan sebagai fungsi PengawasanDi depan disinggung bahawa administrasi sama halnya dengan fungsi managemen dimana didalamnya terdapat aspek pengawasan. Sebelum membahas administrasi peradilan secara lebih jauh terlebih dahulu akan dikemukakan beberapa pengertian penting tentang pengawasan. Menurut Prof. DR. Prayudi Atmosudiro, pengawasan merupakan keseluruhan dari pada aktivitas atau tindakan (measures maatregelen) kita untuk menjamin atau membuat agar semua pelaksanaan dan penyelenggaraan (operation) berlangsung dan sesuai dengan apa yang telah direncanakan, diputuskan, dan komandokan. Sedangkan Sondang P. Siregar mengidentifikasi pengawasan sebagai suatu proses pengamatan dari pelaksaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua kegiatan yang sedag dilaksanakan dapat berjalan sesuai rencan. Pengawasan penting dan mutlak dilakukan untuk mengetahui apakah proses yang sedang berlangsung sudah sesuai dnegan rencana, dengan hasil akhir dan dari segi efisien. Dalam konteks ini dilakukan suatu perbandingan yang negatif antara pemasukan (input) dan pengeluaran (out put). Maka negatif disini, karena sumber alat dan tenaga yang dilakukan harus lebih kecil dari hasil yang diperoleh, untuk melakukan pengawasan dapat digunakan berbagai pendekatan yang disebut dengan metode/teknis pengawasan. Metode/teknis pengawasan tersebut adalah : 1) Observasi langsung, metode ini adalah yang paling tepat karena dapat dilihat secara langsung kondisi obyektif yang terjadi dilapangan, melalui pengawasan ini dapat diperoleh data-data/ keterangan primer. 2) Statistik Metode pengawasan dnegan mengawasi kegiatan yang mendukung banyak rincian. Pengawasan yang mengandalkan angka-angka statistik perjalanan organisai dalam rentan waktu tertentu. 3) Laporan Laporan ini bisa dalam bentuk lisan maupun tulisan. C. Pola Prosedur Penyelenggaraan Administrasi Perkara Kemampuan aparat peradilan dalam mehami pengertian administrasi secara luas akan memudahkan terselenggarany tertib administrasi perkara yang pada akhirnya akan mewujudkan Peradilan yang mandiriSesuai dengan ketentuan pasal 2 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok Pengadilan yaitu menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Yang melaksanakan tugas-tugas administrasi dalam rangka mencapai tugas-tugas pokok tersebut adalah Panitera. Ketentuan ini disebutkand alam pasal 27 Undang-undang No.2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan pasal 26 Undang-undang No.7 tahun tentang Pengadilan Agama. Menurut ketentuan di atas, Penitera sebagai pelaksana kegiatan administrasssi Peradilan memililki 3 (tiga) macam tugas pokok: 1) Pelaksanaan adiminstrasi perkara2) Pendamping hakim dalam persidangan 3) Pelaksanaan putusan/penetapan pengadilan dan tugas-tugas kejurusitaan lainnya. Sebagai pelaksanaan administrasi perkar Panitera berkewajiban mengatur tugas dan para pembantunya, yaikni Wakil Panitera dan Panitera Muda. Sebagai pendamping Hakin/Majelis dalam persidangan, panitera berkewajiban mencatat dan jalannya persidangan dan dari catatan-catatan tersbeut, hendaknya disusun berita persidangan. Dalam hal panitera berhalangan maka panitera dibantu oleh para Panitera Pengganti. Sebagai pelaksanaan putusan dan pelaksanan tugas kejurusitaan lainnya, penitera dibantu oleh juru kejurusitaan lainnya, panitera dibantu oleh jurusita Pengadilan dan Jurusita Pengganti. Namun untuk Panitera Pengadilan Tinggi, tidak melaksanakan tugas-tugas Kejurusitaan dan eksekusi. Sebagai pelaksana administrasi perkara Panitera berkewajiban untuk melaksanakan dengan tertib ketentuan seperti tersbeut dalam pasal 61 Undang-undang No.2 tahun 1986 ayat (1) dan (2). Menurut ketentuan kedua undang-undang tersebut, peanitera wajib membuat daftar semua perkara perdata dan pidan (pasal 61) yangditerima dikepaniteraan serta memberi nomor urut dab pasal 99 Undang-undang No.7 tahun 1989 yaitu membuat semua daftar perkara yang diterima dikepaniteraan serta memberi nomor urut dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya. Adapun tanggung jawab Panitera adalah sebagaiman pasal 101 Undang-undang No.7 tahun 1989 dan pasal 63 Undang-undang No.2 tahun 1986 yaitu bertanggung jawab atas pengurusan perkara, penetapan, atau putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan pihak ketiga, surat-surat berharga, baran gbukti dan surat-surat lain yang disimpan dikepaniteraan. D. Pola Tentang Pelaporan Perkara 1. Dasar Hukum Pasal 10 ayat (4) Undang-undang No.14 tahun 1970 jo. Pasal 10 Undang-undang No.14 tahun 1985 menentukan bahwa Mahkamah Agung melakukan pengawasan terteingi atas perbuatan Pengadilan yang lain yaitu terhadap penyelenggaraan peradilan dan tingkah laku serta perbuatan para Hakim di semua lingkungan badan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Runag lingkup pengawasan Mahkamah Agung RI terhadap jalannya peradilan meliputi: Pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilam dalam menjalankan kekuasaan kehakiman (pasal 32 ayat (1) Undang-undang No.14 tahun 1986). Pengawasan atau tingkah laku dan perbuatan para hkim dalam menjalankan tugasnya (pasal 32 ayat (2) Undang-undang No.14 tahun 1985) Pengawasan atas Penasehat hukum dan Notaris (pasal 36 Undang-undang No.14 tauhn 1985). Pengawasan terhadap Hakim hendknya dilakukan dengan tugas-tugas penyelenggaraan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, sehingga didalamnya termasuk pula aparat peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman yang meliputi Panitera, Panitera Pengganti dan Jurusita. Pengawasan terhadap aparat Pengadilan sebagaimana tersebut diatas dilakukan oleh Ketua Pengadilan dalam hal ini Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama disemua lingkungan badan Peradilan yang merupakan pengawasan melekat, dengan cara memberikan petunjuk, tegoran dan peringatan dalam kedudukannya sebagai atasan langsung, sesuai dengn pasal 53 Undang-undang No.7 tahun 19989 dan pasal 53 Undang-undang No.2 tahun 1986. Tata cara pengawasan terhadap Badan Peradilan dpat dilaksanakan dengan acra memeriksa pekerjaan dan meneliti proses kerja, mendadak, dan juga dengan meneliti laporan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam pola Bindalming. 2. Fungsi-fungsi Laporan Laporan mengenai perkara meliputi keadaan perkara kegiatan hakim, keadaan perkara yangdimohonkan banding, kasasi dan peninjauan kemballi, perkara eksekusi dan juga laporan tentang keuangan perkara. Laporan tentang keadaan perkara hendaknya menggambarkan keadaan keadaan perkara yang sebenarnya sejak dari perkara diterima hingga selesai dan diminutasi. Dengan demikian fungsi-fungsi laporan-laporan yangdibuat oleh Pengadilan sebagai berikut:; a. Sebagai alat pemantau segala tingkah laku dan perbuatan hakim dan pejabat kepaniteraan oleh Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi sebagai kawal dengan dari Mahkamah Agung. b. Sebagai bahan untuk meliputi kebenaran dari evaluasi yang dibutuhkan oleh Pengadilan dan Pengadilan Tinggi sebagaimana yang ditentukan dalam keputusan Mahkamah Agung No.KMA/007/SK/II/1988. c. Sebgai bahan dan dasar bagi MA-RI untuk mengevaluasi hasil pengawasan yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dan sebagai dan bahan dasar bagi Pengadilan Tinggi untuk mengevaluasi hasil pengawasan yang dilakukan oleh Pengadilan Tingkat Pertama. d. Sebagai bahan untuk mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapai,sehingga dalam mengambil keputusan dalam rangka pembinaan lebih lanjut dapat dilaksanakan sesuai dengan rencna. Oleh karena laporan sebagai sarana pengawasan yang mudah dan efektif, maka wajib membuat laporan harus dilaksanakan dengan sumngguh-sungguh tanpa intensifikasi sisitim laporan maka tugas-tugas pengawasan akan sangat sulit dilaksanakan. 3. Macam-Macam Laporan Pola laporan yang ditetapkan di Peradilan Umum dan Peradilan Agama tidak sama. Di lingkungan Pengadilan Umum baik Pengadilan Negeri (PN) maupun Pengadilan Tinggi, laporan perkara meliputi dua hal yaitu perkara perdata dan perkara pidana. Sedangkan di Pengadilan Agama tidak ada laporan perkara pidana karena PA memang tidak mempunyai kewenangan mengenai perkara pidana. Kewenangan hanya perkara perdata (perdata khusus). E. Pola Tentang Laporan Perkara Dasar hukum pola tentang pelaporan perkara adlah pasa 10 Undang-undang No.14 tahun 1970 jo pasal 10 Undang-undang No.14 tahun 19985, dimana MA melakukan pengawasan tertingi atas perbuatan Pengadilan yang lain yaitu terhadap penyelenggaraan peradilan dan tingkah laku serta perbuatan para hakim di semua lingkungan badan peradilan dan dalam menjalankan Kekuasaan Kehakiman. Dalam rangka pengawasan tersbeut maka tata cara pelaksanaan dengan cara memeriksa pekerjaan dan meneliti proses kerja, meneliti dan menilai hasil kerja, inspeksi rutin dan inspeksi mendadak, dan juga dengan meneliti laporan-laporan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pola Bindalmin. Laporan-laporan yang dibuat oleh Pengadilan Agama dnegan demikian memiliki fungsi sebagai berikut : a. Sebagai alat pantau segala tingkah laku dan perbuatan hakim dan pejabat kepaniteraan oleh Mahkamah Agung dan Pengadilan Tingi Agama sebagai kawal depan dari Mahkamah Agung RI. b. Sebagai bahan untuk menelliti kebenaran dari evaluasi yang dibutuhkan oleh PA dan PTA sebagaimana yang ditentukan dalam Surat Keputusan MA No. KMA/009/SK/II/1988. c. Sebagai bahan bagi Mahkamah Agung RI untuk mengevaluasi hasil pengawasan yang dilakukan oleh PTA dan sebagai bahan dan dasar bagi PTA untuk mengevaluasi hasi lpengawasan yang dilakukan oleh PA. d. Sebagai bahan untuk mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapai, sebagaimana dalam mengambil keputusan dalam rangka pembinaan lebih lanjut dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana. Pola pelaporan perkara dilaksanakan sesuai dengan pola Bildanmin berdasar Surat Keputusan Ketua Mahkamah Ahung RI No. KMA/001/SK/I/1991tanggal 24 Januari 1991 di Pengadilan Agama, dan diperkuat lagi dengan surat edaranh MA nomor 2 tahun 1993 sampai tanggal 16 Januari 1993 tentang Pengiriman Laporan oleh Pengadilan Agama dan PTA. 1. Pembuatan Laporan oleh Pengadilan Agama meliputi Laporan Bulanan Dibuat setiap bulan Januari s.d Desember dan terdiri atas : a. Folmulir LI PA1 = Laporan Keadaan Perkara b. Folmulir LI PA7 = Laporan Keuangan Perkara c. Folmulir LI PA8 = Laporan Jenis Perkara Laporan Empat Bulanan Dibuat bulan April, Agustus, dan Desember terdiri atas a. Folmulir LI PA2 = Laporan Perkara yang dimohonkan banding b. Folmulir LI PA3 = Laporan Perkara yang dimohonkan kasasi c. Folmulir LI PA4 = Laporan Perkara yang dimohonkan peninjauan kembalid. Folmulir LI PA5 = Laporan Perkara yang dimohonkan eksekusiLaporan enam bulanan Dibuat bulan Juni dan Desember Formulir LI Pa6 : Laporan tentang kegiatan Hakim. Keterangan : 1) Laporan bulanan dibuat pada setiap akhir bulan dan sudah harus dapat diterima pada akhir bulan dan sudah harus dapat diterima pada tanggal 15 bulan berikutnya. Laporan empat bulanan dibuat pada akhir bulan, April, Agustus dan Desember. Sedangkan laporan enam bulanan dibuat pada akhir bulan Juni dan Desember. 2) Asli laporan dikirim ketua PTA yang mewakili Pengadilan Agama tersebut,, dengan lembar rangkap dari setiap laporan tersbeut dikirim kepada MA-RI Cq. Direktur Hukum dan Pengadilan Mahkamah Agung RI. a) Kasus Laporan LI-PA8 = Laporan sejenis perkara, selain dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama juga dikirim kepada Departemen Agama RI Cq. Direktur Pembina Badan Pengadilan Agama di Jakarta. 3) - Laporan LI-PA1 = Dipalorkan sejak diterimanya perkara tersebut, putus dan diundur. - Laporan LI-PA1 = Dipalorkan sejak diterimanya perkara tersebut, putus dan diundur. - Laporan LI-PA2 = Dipalorkan sejak perkara diputus, diajukan permohonan banding s/d pengiriman berkas ke PTA. - Laporan LI-PA3 = Dipalorkan sejak penerimaan berkas dari PTA s.d pengiriman berkas ke Mahkamah Agung. - Laporan LI-PA4 = Dipalorkan sejak penerimaan berkas dari PTA/Mahkamah Agung s.d pengiriman berkas ke Mahkamah Agung. - Laporan LI-PA5 = Dipalorkan sejak penerimaan permohonan eksekusi sampai selesainya eksekusi dnegan penambhan penjelasan perkara-perkara yangbergantung permohonan eksekusi. - Laporan LI-PA6 = Dipalorkan kegiatan hakim yang dilaporkan tentang jumlah perkara yang diterima, diputus, sisa perkara dan yang sudah serta belum diminutir. - Laporan LI-PA7 = merupakan laporan tentang keadaan keuangan perkara. - Laporan LI-PA8 = laporan jenis perkara yang selama ini tidak dilaporkan PA yang dikenal B2. laporan-laporan LI-PA8 ini merupakan laporan semata-mata data tentang jumlah dan jenis perkara, jumlah putusan dan sisa perkara yang belum diputus setiap akhir bulan. 4) Dari data-data tersebut dapat ditentukan kelas Pengadilan mengusun anggaran, jumlah kebutuhan dan kualitas hakim. 5) Ketua Pengdilan Tinggi Agawa Wajib meneliti dan memeriksa laporan yang diterimanya, dengann tertib dan cermat. Penelitian dan pmeriksaan oleh ketua Pengadilan Tinggi Agama dapat dilimpahkan kepada Hakim Tinggi Pengawas Daerah, yang dikoordinir oleh Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama. 6) Dari penelitian dan pemeriksaan yang tertib dan cermat tersebut, kemudian dilakukan evaluasi tentan gtingkah laku para pejabat kehakiman secara menyeluruh baik hakim maupun pejabat kepaniteraan yang berhubungan dengan penyelenggaraan jalannya peradilan, sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/009/SK/1988. 7) Cara mengisi formullis keadaan perkara LI-PA1F Kolom 1 : Cukup jelas F Kolom2 : Diisi nomor perkara yang merupakan sisa perkara bulan lalu dan perkara yang diterima dalam bulan yang bersangkutan. Cara penulisan nomor perkara harus dimulai nomor perkara yang terkecil. F Kolom 3 : Nama Hakim/Majelis diisi dengan kode sesuai dnegan hakim yang bersidang dan Panitera yang ikut dalam sidangF Kolom 4 : Tanggal penerimaan, diisi dengan tanggal penerimaan berkas perkara, ditulis secara berurutan dimulai dari tanggal, bulan dan tahun penerimaan yang terkecil F Kolom 5 : Tanggal penunjukan Hakim/Majelis, diisi dnegan tanggal ditetapkan susunan Majelis Hakim F Kolom 6 : Tanggal dimulainya sidang, diisi dengan tanggal dimulainya sidang pertama, bukan tanggal penetapan hasil sidang. F Kolom 7 : Tanggal putusan, diisi dnegan tanggal bulan dan tahun putusan perkara. Pengisian bulan putusan harus sesuai dengan bulan laporan. F Kolom 8 : Sisa akhir bulan yang merupakan perkara yang belum dibagi, diisi dengan nomor perkara yang belum ditetapkan Majelis Hakim. F Kolom 9 : Sisa akhir yang merupakan perkara-perkara yang belum diputus, diisi dengan semua nomor perkara yang belum diputus ditambah dengan nomor perkara yang belum dibagi F Kolom 10 : Sisa akhir bulan yang merupakan perkara-perkara yang sudah diputus tetapi belum diminutir, diisi dengan nomor perkara-perkara yang diputus dalam bulan yang bersangkutan. F Kolom 11 : Kolom keterangan, memuat 3 hal : 1. - Nama Ketua Pengadilan dengan kode A- Nama Wakil Ketua Pengadilan dengan kode B- Nama-nama Hakjim berdasarkan DUS dengan kode C1, C2, C3 dan seterusnya. 3. - Nama Panitera dengan kode D- Nama Panitera Pengganti berdasarkan DUS dengan kode C1, C2, C3 dan seterusnya 3. Rekapitulasi memuat: 1. Sisa bulan lalu dan 2 tambahan bulan ini: diisi sesuai kolom 22. Putus : diisi sesuai kolom 73. Sisa akhir a. Belum dibagi dus sesuai kolom 84. Sisa belum diminutir : diisi dengan kolom 10 bulan sebelumnya dan bukan yang dilaporkan8) Mengingat kolom 1 s.d kolom 9 satu dan lainnya berkaitan dengan berhubungan erat, maka penulisannya harus sejajar dengan nomor perkara dalam kolom 2 9) Pencabutan perkara atau pencoretan dari daftar perkara dimasukan dalam kolom 7 dengn dibubuhi tanda dan keteranagan sebagai catatan kaki. 10) Apabila terdapat perkara yang sudah diputus akan tetapi tidak dilaporkan pada bulan yang bersangkjutan, maka dilakukan ralat dengan membuat ulang laporan yang bersangkutran. 11) Ketua pengadilan agama sebelum mendatangi laporan bulanan hendak meneliti sendiri serta memerintahkan hakim untuk meneliti kebenaran laporan-laporan perkara. 2. Pembuatan laporan oleh pengadilan tinggi agama. a. Laporan BulananDalamlaporan bulanan ini dibuat setiap bulan dari bulan Januari s.d bulan Desember laporan dibuat setiap akhir bulan, dan sudah diterima selambat-lambatnya pada tanggal 15 bulan berikutnya sebagaimana laporan oleh pengadilan agama, asli laporan yang diabuat oleh pengadilan tinggi angama dikirimkan kepala Mahkamah Angung Cq Direktur Hukum dan Pengadilan Mahkamah RI. Ketua Kpengadilan Tinggi Agama sebelum menandatangi laporan bulanan, hendaknya meneliti sendiri, serta memerintahkan hakim untuk meneliti laporanm-laporan tersebut. Dapun laporan bulanan yang harus dibuat meliputi : 1. Formulir LII PA1 : Laporan keadaan perkara perdata 2. Formulir LII-PA3 : Laporan keuangan perkara perdata b. Laporan enam bulanan Dibuat pada bulan Juni dan Desember yaitu formulir LII-PA2 : Laporan tentang kegiatan hakim perkara perdata. POLA TENTANG LAPORANA. PENGADILAN AGAMA a. Laporan Keadaan Perkara ( LI-PA1)b. Laporan Perkara yang Dimohonkan Banding (LI-PA2) c. Laporan Perkara yang Dimohonkan Kasasi (LI-PA3)d. Laporan Perkara yang Domohinkan PK (LI-PA4)e. Laporan Perkara yang Domohonkan Eksekusi (LI-PA5)f. Laporan Tentang Kegiatan Hakim (LI-PA6) g. Laporan Keuangan Perkara (LI-PA7)h. Laporan Jenis Perkara (LI-PA8) B. PENGADILAN TINGGI AGAMA a. Laporan Keadaan Perkara (LII-PA1) b. Laporan Tentang Kegitan Hakim (LII-PA2) c. Laporan Keuangan Perkara (LII-PA3)LAPORAN1. Pengadilan Agama berkewajiban membuat laporan tentang perkara, keuangan perkara dan kegiatan hakim.Macam-macam laporan :LIPA 1 sampai dengan LIPA 8 buku II hal 562. Asli laporan dikirim kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding atau Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung RI.3. Laporan keadaan perkara, keuangan perkara dan jenis perkara dibuat pada setiap akhir bulan dan sudah harus diterima oleh Mahkamah Agung pada tanggal 15 bulan berikutnya.4. Laporan keadaan perkara yang dimohonkan banding kasasi, peninjauan kembali dan eksekusi dibuat setiap 4 (empat) bulan yaitu pada akhir April, Agustus dan Desember.5. Laporan tentang kegiatan hakim dibuat setiap 6 (enam) bulan yaitu pada akhir bulan Juni dan Desember.6. a. Laporan tentang keadaan perkara, sejak diterima sampai dengan diputus di minutasi.b. Laporan dimohonkan banding, tentang keadaan perkara yang dimohonkan banding, mulai tanggal putusan, tanggal pengiriman berkas perkara ke Pengadilan Tinggi Agama.c. Laporan Kasasi penerimaan perkara dari Pengadilan Tinggi Agama sampai tanggal pengiriman berkas perkara ke Mahkamah Agung RI.d. Laporan Peninjauan Kembali (PK), tanggal penerimaan berkas dari Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi Agama sampai dengan pengiriman berkas ke Mahkamah Agung RI.e. Laporan Eksekusi tentang keadaan perkara yang dimohonkan eksekusi dari tanggal permohonan sampai dengan selesai eksekusi.f. Dalam setiap laporan terhadap perkara yang belum dikirim, harus pula disebutkan alasannya dalam kolom keterangan.g. Laporan model LIPA 2 sampai dengan LIPA 5, tetap dilaporkan dalam setiap laporan sampai perkara diputus atau selesai.h. Laporan kegiatan hakim, berisi tentang jumlah perkara yang diterima, diputus, sisa perkara, serta jumlah perkara yang sudah maupun yang belum diminutasi.i. Laporan tentang keuangan perkara, data-datanya harus sesuai dengan buku induk keuangan perkara.7. Laporan LIPA 1 sampai dengan LIPA 7 adalah laporan yang bersifat evaluasi, sehingga dari laporan laporan tersebut dapat dipantau tentang kegiatan para Pejabat Peradilan secara keseluruhan, baik hakim maupun Pejabat Kepaniteraan yang berhubungan dengan penyelenggara jalannya Peradilan.8. Laporan LIPA 8 adalah laporan yang semata-mata bersifat data tentang :- Jumlah dan jenis perkara.- Jumlah putusan.- Sisa perkara yang belum diputus pada setiap akhir bulan, dan data tersebut dapat ditentukan kalau pengadilan setuju secara anggaran, jumlah kebutuhan dan kualitas hakim.9. Secara penyampaian formasi laporan lihat petunjuk Bindalmin.PENGAWASAN1. Laporan laporan 1.1 Laporan LIPA 1, LIPA 2, dan LIPA 8 laporan termasuk laporan bulanan.1.2 Laporan LIPA 2, LIPA 3, LIPA 4, LIPA 5 dan LIPA 6 adalah laboran empat bulanan.1.3 Laporan 6 (enam) bulanan yaitu tentang kegiatan hakim.2. Laporan keadaan perkaraa. Unsur unsur jenis perkara dimulai dinomor 1 (satu) dan dicatat secara berurutan.b. Unsur perkara dibuat berurutan .c. Nama hakim / majelis termasuk PP.d. Tanggal penulisan perkara harus berurutan.e. Tanggal PMH sesuai tanggal PMH yang dibuat Ketua / Wakil Ketua.f. Tanggal dimulainaya sidang sesuai dengan PHS yang dibuat Ketua Majelis.g. Tanggal putusan sesuai dengan bulan laporan jurnal dan register.h. Sisa perkara yang belum dibagi, juga termasuk pada kolom 9 ( belum diputus ).Diposkan oleh Inside Of Me di 08:15 Label: Artikel 0 komentar: Poskan Komentar http://areabeku.blogspot.com/2009/08/administrasi-peradilan.html" http://areabeku.blogspot.com/2009/08/administrasi-peradilan.htmlAsas-asas Hukum Acara Peradilan AgamaA.1. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama1) Asas Bebas MerdekaKekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia.Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan Kekuasaan kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang.2) Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan KehakimanPenyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.3) Asas KetuhananPeradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.4) Asas FleksibelitasPemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.Cepat yang dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut untuk kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum.Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.5) Asas Non Ekstra YudisialSegala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.6) Asas LegalitasPeradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan.Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.A.2. Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama1) Asas Personalitas Ke-islamanYang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama.Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman adalah :a) Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.b) Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syariah.c) Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya, setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya sengketa.Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan lain. Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman berdasar saat terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum, kedua pihak sama-sama beragama Islam, dan Kedua, hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.2) Asas Ishlah (Upaya perdamaian)Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui pendekatan Ishlah. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi mendamaikan, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.3) Asas Terbuka Untuk UmumAsas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004.Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan siding tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama).4) Asas EqualitySetiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat diskriminatif baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas equality pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah :a. Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau equal before the law.b. Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau equal protection on the lawc. Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau equal justice under the law.5) Asas Aktif memberi bantuanTerlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.6) Asas Upaya Hukum BandingTerhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.7) Asas Upaya Hukum KasasiTerhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.8) Asas Upaya Hukum Peninjauan KembaliTerhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.9) Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Posted by Kuliah Hukum at 6:37 AM http://kuliahhukumindonesia.blogspot.com/2009/01/hukum-acara-peradilan-agama.html