adel - jurnal eklampsi

Upload: adelita-yuli-hapsari

Post on 14-Jan-2016

238 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

khgcfddddf

TRANSCRIPT

JOURNAL READINGPATOGENESIS DAN TERAPI EKLAMSI

Disusun Oleh:Adelita Yuli Hapsari (030.10.003)Riana Rahmadhany (030.10.235)

Dokter Pembimbing :dr. Unggul Yudatmo,Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGANRUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANGPERIODE 20 APRIL 2015 s/d 26 JUNI 2015FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTIJAKARTALEMBAR PENGESAHAN

Journal reading dengan judul PATOGENESIS DAN TERAPI EKLAMSITelah diterima dan disetujui oleh pembimbing, dr. Unggul Yudatmo,Sp.OGsebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Kebidanan dan Kandungandi RSUD Karawang periode 20 April 2015 26 Juni 2015

Karawang, Juni 2015

(dr. Unggul Yudatmo,Sp.OG)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala nikmat sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Journal reading Patogenesis dan terapi eklamsi ini. Adapun penulisan kasus ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan Ilmu Kebidanan dan Kandungan di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang periode 20 April 2015 26 Juni 2015Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Unggul Yudatmo,Sp.OG, selaku pembimbing yang telah membantu dan memberikan bimbingan dalam penyusunan kasus ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang turut serta membantu penyusunan kasus ini yang tidak mungkin diselesaikan tepat waktu jika tidak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.Demikian kata pengantar ini penulis buat. Untuk segala kekurangan dalam kasus ini, penulis memohon maaf dan juga mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif bagi perbaikan kasus ini. Terima kasih.

Karawang, Juni 2015

(Penulis)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................2KATA PENGANTAR.......................................................................................3DAFTAR ISI......................................................................................................4TERJEMAHAN PATOGENESIS DAN TERAPI EKLAMSIAPendahuluan...........................................................................................................5Cakupan masalah....................................................................................................6Riwayat Eklamsi.................................................................................................6Prognosis eklamsi................................................................................................6Manajemen..............................................................................................................9Manajemen eklamsi segera..................................................................................10Konfirmasi diagnosis................................................................................................10Pencegahan berulang................................................................................................12Kontrol tekanan darah..............................................................................................14Patogenesis dan terapi eklamsi.................................................................................14Pertimbangan persalinan...........................................................................................15Dapatkah kejang eklamsi dicegah ?..........................................................................16Hasil terapi jangka panjang pada wanita eklamsi.....................................................17Apakah wanita dengan pre-eklamsia/eklamsia beresiko mengalami hipertensi kronis di kemudian hari ?.........................................................................................18Kesimpulan...............................................................................................................19JURNAL : PATOGENESIS DAN TERAPI EKLAMSIA

PATOGENESIS DAN TERAPI EKLAMSIAJoong Shin Park, Michael A. Belfort and Errol R. Norwitz

21

PendahuluanEklamsi mengacu pada terjadinya satu atau lebih kejadian kejang umum dan/atau koma pada preeklamsi tanpa adanya penyebab neurologis yang lain. Preeklamsi adalah gangguan multi sistem pada kehamilan dan masa nifas, yang merupakan komplikasi dari 6-8% dari seluruh kehamilan (ACOG, 1996,2002). Preeklamsi ditandai dengan onset hipertensi yang baru terjadi (tekanan darah 140/90), proteinuria (2+ dalam sampel urin random atau 300 mg dalam urin tampung 24 jam) dengan atau tanpa adanya edema setelah umur kehamilan 20 minggu. Eklamsi merupakan tahap akhir dari preeklamsi, berdasarkan nomenklatur. Sekarang jelas, bahwa kejang adalah salah satu manifestasi klinis kategori berat preeklampsi. Manifestasi lain yang termasuk, diantaranya, HELLP syndrome (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme and Low Platelets), Disseminated Intravascular coagulopathy / DIC, gagal ginjal, kerusakan sel hati, pankreatitis, gagal jantung kongestif, edema pulmo, gangguan pertumbuhan janin intrauterin. Pengetahuan mengenai patofisiologi preeklamsi masih sedikit yang diketahui. Ini merupakan penyakit pada kehamilan, lebih tepatnya, gangguan pada plasenta sejak diketahui adanya kehamilan yang terdapat adanya trofoblas tetapi tidak terdapat adanya jaringan fetus (complete molar pregnancies) (Goldstein dan Berkowitz,1994). Gambaran mengenai perkembangan dari preeklamsi dimulai sejak awal kehamilan. Tanda patologis pada preeklamsi muncul akibat kegagalan invasi trofoblas pada 8-18 minggu kehamilan, yaitu proses yang bertanggung jawab atas kerusakan lapisan muskularis arteri spiralis. (Brosens et el, 1972;Cross et al,1994;Meekins et al.,1994). Seiring dengan berjalannya proses kehamilan, kebutuhan metabolik fetoplasenta semakin meningkat, namun arteri spiralis tidak dapat mengakomodasi peningkatan aliran darah tersebut. Ini mengarah pada berkembanganya disfungsi plasenta yang akan bermanifestasi klinis sebagai preeklamsi. Pada Publikasi baru-baru ini, dikatakan bahwa soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt1), antagonis of VEGF dan faktor pertumbuhan plasenta, merupakan toxemia factor yang dikeluarkan oleh plasenta dan menyebabkan vasospasme yang luas dan kerusakan endotel, yang merupakan tanda patologis pada preeklamsi (Maynard et al,2003). Walapun menarik, hipotesis ini tetap harus divalidasi.

Cakupan MasalahMeskipun sudah terdapat kemajuan dalam hal deteksi dan manajemen, preeklamsi masih menjadi penyebab kedua terbanyak kematian ibu di United State (setelah terjadi tromboemboli), terhitung hampir 15% dari seluruh kematian ibu (Rochat et al 1988). Diperkirakan eklampsi merupakan faktor penyebab kematian ibu sampai 10 % di negara berkembang dan diperkirakan terjadi sekitar 50,000 kematian ibu per tahun di seluruh dunia (Duley,1992). Di United States dan negara-negara berkembang, insiden eklampsi relatif stabil yaitu sekitar 4-5 per 10,000 kelahiran (Douglas dan Redman,1994). Di negara berkembang, dilaporkan kejadian bervariasi 6-7 per 10,000 kelahiran. Tingkat kejadian tertinggi pada wanita nulipara berkulit tidak putih dengan latar belakang sosial ekonomi rendah. Insiden puncaknya terjadi pada usia remaja dan usia dibawah dua puluh tahun, tapi juga meningkat pada usia diatas 35 tahun.

Riwayat eklamsiHampir setengah dari kasus eklamsi terjadi pada prematur dan lebih dari seperlima pada usia kehamilan dibawah 31 minggu (Douglas dan Redman, 1994). Pada kasus eklamsi yang terjadi saat aterm, mayoritasnya ( hampir 75%) terjadi saat intrapartum atau dalam 48 jam sebelum kelahiran. Secara tradisional, kejang yang terjadi lebih dari 48 jam setelah kelahiran tidak dianggap sebagai eklamsi. Namun, sekarang semakin jelas, bahwa kasus late postpartum eklamsi, yaitu kejang yang terjadi lebih dari 48 jam tetapi kurang dari empat minggu post partum dapat terjadi dan bahkan terhitung sampai 16% dari semua kasus eklamsi (Lubarsky et al.,1984). Eklamsi yang terjadi sebelum umur kehamilan 20 minggu sangat jarang terjadi dan harus dipikirkan kemungkinan penyebabnya adalah kehamilan mola. Kasus eklamsi antepartum biasanya terjadi lebih dramatis dengan terjadinya kejang multipel dan komplikasi maternal yang meningkat sampai 71%, termasuk DIC, gagal ginjal, kerusakan sel hati, ruptur liver, perdarahan intraserebral, cardiorespiratory arrest, aspirasi bronkial, edema paru akut, dan perdarahan post partum (Lopez-Liera, 1992).

Prognosis eklamsiFaktor-faktor yang berpengaruh terhadap maternal yang diakibatkan oleh eklamsi telah dirangkum pada tabel 29.1. Laporan kejadian kematian ibu yang berhubungan dengan eklamsi bervariasi antara 0,4% dan 13,9% (Douglas dan Redman,1994;Lopez-Liera,1992). Pada analisa retrospektif dari 99 kasus, Lopez Liera (1992) melaporkan secara keseluruhan tingkat kematian maternal adalah 13.9% (138/990). Tingkat kematian ibu tertinggi (22% [12/54]) terlihat dalam subgrup wanita dengan eklamsi dini ( 35 tahun kematian perinatal karena hipertensi kronis-

Terkait hipertensi kronik kematian perinatal-

*efek jangka pendek mengarah kepada kejang itu sendiri dan perawatan selama di rumah sakit *efek jangka panjang mengarah follow up setelah keluar dari rumah sakit

ManajemenDapatkah kita memprediksi kejang pada eklamsi?Hubungan antara hipertensi, gejala dan tanda iritasi kortikal (nyeri kepala, gangguan penglihatan, mual, muntah, demam, hiperrefleksia) dan kejang masih belum jelas dan tidak dapat diprediksi. Telah dikatakan sebelumnya bahwa mayoritas wanita mengalami satu atau lebih gejala yang mendahului sebelum terjadinya kejang pada eklamsi. Pada analisis retrospektif pada 383 kasus eklamsi di United Kingdom, Douglas dan Redman (1994) melaporkan bahwa 59% (227/383) pasien dengan eklamsi mengalami gejala prodormal seperti nyeri kepala, gangguan penglihatan (skotomata, amaurosis, blurred vision, diplopia, homonimous hemianopsia) atau nyeri epigastrium. Pada 38% (146/383) kasus, eklamsi merupakan manifestasi pertama yang muncul pada penyakit hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan. Walaupun besarnya kenaikan tekanan darah berhubungan baik dengan insiden terjadinya gangguan serebrovaskular. Pada studi yang dilakukan United Kingdom, Swedia, Scotlandia, United Stated menunjukkan bahwa 20%-38% pasien yang mengalami eklamsi mempunyai tekanan darah maksimal yang kurang dari 140/90 sebelum terjadinya kejang. (Douglas dan Redman, 1994; Moller dan Lindmark, 1986; Sibai et al, 1981b,1986c). Pada review yang dibuat oleh Sibai et al (1986c) pada 179 konsekutif kasus, faktor-faktor yang ditemukan paling tidak bertanggungjawab secara parsial yang menjadi penyebab gagalnya pencegahan eklamsi adalah kesalahan dokter (36%), kegagalan magnesium (13%), late postparum onset (12%), early onset (kurang 21 minggu) 3%, onset solusio (18%), kurangnya perawatan prenatal (19%). Maka dari itu, banyak kasus eklamsi yang tidak dapat dicegah, walaupun wanita yang sudah menerima perawatan prenatal secara reguler.

Manajemen eklamsia segeraManajemen yang segera pada kejang eklamsi termasuk mempertahankan fungsi vital maternal, mengontrol kejang dan tekanan darah, pencegahan kejang berulang dan evaluasi kelahiran. Jika melihat kasus seperti itu, Manajemen yang segera pada kejang eklamsi termasuk mempertahankan fungsi vital maternal, mengontrol kejang dan tekanan darah, pencegahan kejang berulang dan evaluasi kelahiran.Kejang pada eklamsi hampir selalu sembuh sendiri dan tidak lebih dari 3-4 menit. Obat-obatan seperti benzodiazepin telah digunakan dengan keberhasilan untuk menghentikan kejang yang sedang berlangsung. Diazepam yang diberikan secara cepat melalui intravena yang masuk ke dalam sistem saraf pusat akan berhasil menghentikan kejang dalam waktu satu menit dan akan mampu mengontrol kejang selama lima menit pada lebih dari 80% pasien (Delagado-Escueta et al). Pada kasus-kasus eklamsi, pemberian obat-obatan seperti itu jarang dibutuhkan. Memang, beberapa hasil investigasi mendapatkan bahwa terapi seperti itu sebaiknya dihindari pada kasus kejang eklampsi karena efek depresi yang besar pada fetus. Ini menjadi berdampak signifikan secara klinis ketika dicapai dosis total maternal dari diazepam mencapai 30 mg, namun apabila kejang berlangsung lebih dari 3-4 menit, ini dapat menjadi alasan diberikannya benzodiazepin (seperti diazepam 5-10 mg iv, diulang sesuai indikasi sampai dosis maksimum 50 mg ) atau magnesium sulfat (2- 4 gr intravena diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 6 gr) untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Dosis pemberian Magnesium sulfat ini dianggap aman bahkan pada keadaan insufisiensi renal. Transient fetal bradikardia yang berlangsung paling tidak 3 5 menit adalah suatu hal yang biasa ditemukan setelah terjadi kejang eklamsi dan tidak membutuhkan persalinan segera. Resolusi dari aktivitas kejang ibu biasanya berhubungan dengan kompensasi takikardi pada fetal dan bahkan dengan penurunan denyut jantung janin sementara yang khas kembali setelah 20-30 menit.

Tabel 29.1 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap maternal yang diakibatkan oleh eklamsiFaktorEfek jangka pendek Efek jangka panjang

Proteinuria 5 g/24 jamTidak ada efekTidak ada efek

Berhubungan dengan HELLP syndrome Kematian ibu (3-28%) eklamsi (50%) gagal ginjal (8%-66%) koagulapati (30%-38%)

Hipertensi kronik (33%)Preeklamsi berulang (37%) HELLP syndrome berulang (3-5%)

Peningkatan tekanan darah secara drastis struk-

Durasi kejang yang berhubungan dengan gagagl ginjal akutTidak ada efek kematian ibu (34%)Tidak ada efek dialisis (10-20%) berhubungan dengan hipertensi

Usia kehamilan 28 minggu- kekambuhan (20-50%) hipertensi kronik (18%)

Riwayat preeklamsi- hipertensi kronik (15-25%) preeklamsi berulang (19-47%) eklamsi berulang (2-21%)solusio plasenta (2-3%)

Ras afrika amerika kematian ibuHELLP syndrome hipertensi kronik

Berhubungan dengan diabetes- hipertensi kronis

Terkait dengan solusio plasenta kematian ibu (24%) khususnya yang lebih tua, wanita multipara-

Multipara kematian ibu HELLP syndrome-

Terkait dengan perdarahan intrakranial atau koma- kekambuhan (37%) neurologic sequele

*efek jangka pendek mengarah kepada kejang itu sendiri dan perawatan selama di rumah sakit *efek jangka panjang mengarah follow up setelah keluar dari rumah sakit

Konfirmasi diagnosis Kejang pada eklamsi secara klinis dan elektrocephalografi tak dapat dibedakan dengan kejang umum tonik klonik. Tidak semua wanita dengan eklamsi membutuhkan pemeriksaan pencitraan kepala. Namun, pasien yang tidak dapat terkontrol dengan cepat kejang dan tekanan darah, kejangnya dapat lebih lama dari 10 menit, terjadi lebih dari awal walaupun dalam terapi magnesium sulfat ataupun tidak, dapat terjadi kejang post partum, dapat menyebabkan gangguan neurologis sehingga perlu dievaluasi lebih lanjut. Diagnosis banding eklamsi dijelaskan pada tabel 29.3. Walaupun pada studi neuroimaging tidak terbukti berguna dalam manajemen preekampsia/eklamsi, beberapa penelitian telah membuktikan kesempatan untuk mengetahui penyebab dasar kejang pada eklamsi. Hampir setengah wanita dengan eklamsi akan mengalami transient abnormalitas pada CT-scan kepala (brown et al, 1988; Royburt et al, 1991), biasanya paling sering terdapat gambaran white matter hypodensities (Fredriksson et al, 1989). Pada studi MRI pada 10 wanita yang mengalami eklamsia, Digre et al, (1993) mendokumentasikan temuan (termasuk adanya edema cortical dan perdarahan) pada 9 wanita. Pada studi otopsi menunjukkan bahwa lebih dari 50% wanita yang meninggal dalam 2 hari setelah mengalami kejang eklamsi terbukti adanya perdarahan serebral, petekiae kortikal primer termasuk lobus oksipital (Sheehan dan Lynch, 1973). Data ini telah dikonfirmasi oleh data berikutnya (Crawford et al, 1987; Dierckx dan Appel,1989). Yang masih menjadi pertanyaan pada kejang eklamsi adalah penyebab atau konsekuensi dari perdarahan intraserebral yang masih belum jelas. Efek dari eklamsi pada risiko selanjutnya pada serebrovaskuler tidak dapat dievaluasi secara sistematis. Pada suatu laporan (Salerni et al.,1988), terdapat gambaran perdarahan intraserebral pada daerah yang sebelumnya di identifikasi sebagai area ischemic infarction pada pasien eklamsia, dimana kejang mendahului terjadinya perdarahan. Namun apakah ini terjadi pada semua kasus atau tidak masih belum diketahui.Hasil dari studi invasif dan functional imaging masih jadi pertentangan. Beberapa studi angiografi melaporkan terjadinya vasospame yang luas pada pembuluh darah intrakranial pada pasien dengan pre-eklamsia/eklamsia (Trommer et al, 1988; will et al, 1987), dimana studi lain tidak mampu mengkonfirmasi observasi tersebut (Zunker et al, 2003). Beberapa investigator telah menggunakan teknologi SPECT (single photon emission CT) dan atau PET (positron emission tomography) untuk menginvestigasi perubahan neuropathofisiologi pada pre-eklamsia/eklamsia (Naidu et al, 1997; Schwartz et al, 1992; Zunker et al, 2003), namun data yang didapatkan masih belum meyakinkan.Tabel 29.3 Diagnosis kejang eklamsi Trauma serebrovaskular (mis : perdarahan hemoragik, trombosis vena serebral) Penyakit hipertensi (mis : hipertensi enselopathy, pheochromocytoma) Space occupying lesion of the central nervous system (mis : tumor otak, abses) Gangguan metabolik (mis : hipoglikemi, uremia, inappropiate antidiuretic hormone secretion resulting in water intoxication) Infeksi (mis : meningitis, ensefalitis) Idiopatik trombositopenia purpura Epilepsi idiopatik

Pencegahan berulangTanpa pengobatan, sekitar 10% wanita eklamsi mengalami kejang berulang. Meskipun terdapat ketetapan bahwa pasien dengan eklamsi memerlukan terapi antikonvulsan untuk mencegah kejang lebih lanjut, komplikasi kejang berulang (kematian sel saraf, rhabdomiolisis, asidosis metabolik, pneumonia aspirasi, edema pulmo neurogenik, dan gagal nafas serta kemungkinan cedera serebrovaskular), pemilihan pengobatan masih kontroversial. Pengobatan regimen alternatif dalam mengatasi eklamsi secara lengkap terdapat dalam tabel 29.4.Para dokter kebidanan sudah lama menggunakan MgSO4 (Magnesium Sulfate) sebagai terapi pilihan kejang pada eklamsi, sedangkan ahli saraf lebih sering menggunakan fenitoin atau diazepam sebagai anti kejang. Perbedaan pendapat ini telah terbantahkan oleh hasil penelitian secara klinis. Pada tahun 1995, pengujian oleh suatu kelompok secara kolaborasi melaporkan dalam penelitian secara prospektif terdapat 905 wanita eklamsi yang mendapatkan magnesium sulfat atau diazepam secara acak, dan 775 wanita eklamsi yang secara acak mendapat magnesium sulfate atau fenitoin. Hasil penghitungan awal terdapat kekambuhan kejang dan kematian ibu. Wanita yang mendapat magnesium sulfate 52% lebih rendah mengalami kekambuhan kejang dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan diazepam (13,2% [60/453] vs 27,9%[126/452], berturut-turut). Tidak ada perbedaan secara signifikan terhadap mortalitas dan/atau morbiditas baik janin maupun ibu dalam kedua kelompok tersebut. Demikian pula pada wanita yang mendapatkan magnesium sulfate 67% lebih kecil memiliki resiko kejang dibandingkan pasien dengan fenitoin (5,7% [22/388] vs. 17,1% [66/387], berturut-turut). Pada penelitian ini, wanita yang mendapatkan magnesium 8% lebih kecil mendapatkan alat bantu ventilator dan 5% lebih rendah berkembang menjadi pneumonia dibandingkan dengan wanita yang mendpatkan fenitoin. Tidak ada perbedaan signifikan antara kematian ibu dan janin. Pada penelitian Cochrane 2001 juga telah dilaporkan bahwa magnesium sulfate lebih aman dan lebih baik daripada lytic coctail (berisi hidroklorida prometazin, klorpromazine, dan hidroklorida meperidin) sebagai pencegahan kejang berulang pada wanita eklamsi. (Duley dan Gulmezoglu,2001)Terapi megnesium sulfat memiliki keuntungan lain, yakni harga lebih terjangkau dan lebih mudah digunakan dibandingkan fenitoin (penggunaan pemantau jantung jika diberikan melalui infus 50mg min-1) dan kurang sedatif dibandingkan diazepam. Selain itu, magnesium secara selektif meningkatkan aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen pada pasien pre-eklamsia, dimana hal tersebut tidak tampak pada pasien dengan fenitoin (Gerthoffer et al., 1987).Dosis regimen Magnesium sulfat yang biasa digunakan untuk loding dose 4-6 gram secara intravena yang diberikan dalam waktu 20 menit, diikuti 2-3 gr per jam secara intravena kontinyu. Fase pemeliharaan diberikan jika refleks patela muncul (hilangnya refleks tendon merupakan tanda awal hipermagnesemia), pernafasan yang lebih dari 12 kali per menit, dan urine output lebih dari 100 ml per 4 jam. Pemberian lanjutan serum magnesium tidak diberikan pada wanita yang berpotensial mengalami keracunan magnesium. Ada juga yang tidak menampakkan ambang konsentrasi secara jelas untuk memastikan pencegahan kejang, meskipun rata-rata berkisar 4,8-8,4mg/dl direkomendasikan. (sibai et al., 1981a). Dosis harus disesuaikan terhadap respon klinik setiap individu.Aktivitas magnesium sebagai antikonvulsif masih belum diketahui. Beberapa mekanisme telah diajukan, termasuk vasodilatasi selektif terhadap serebrovaskular (Belfort dan Moise, 1992), perlindungan sel endotel dari radikal bebas, pencegahan masuknya kalsium ke sel iskemik dan atau antagonis kompetitif terhadap reseptor glutamat N-metil-D-aspartat (epileptogenik) (Roberts, 1995).

Kontrol tekanan darahEklamsi menyebabkan 15-20% perdarahan serebral. Dan sering dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah secara signifikan (170/120). Dalam hal ini, kontrol peningkatan tekanan darah diperlukan oleh semua pasien. Bagaimanapun, pengontrolan tekanan darah tidak menampakkan efek penyakit dan tidak mencegah terjadinya kejang berulang. Terapi medikamentosa pada hipertensi ringan tidak direkmendasikan, karena penggunaan antihipertensi untuk mengontrol peningkatan tekanan darah yang ringan pada keadaan pre-eklamsia tidak merubah penyakit tersebut dan tidak mengurangi morbiditas dan mortalitas perinatal. (Magee et al., 1999; Sibai, 1996; vonDadelszen et al., 2000).Belum diketahui secara jelas ada atau tidaknya penetapan terapi emergensi (Lindenstorm et al., 1995). Banyak peneliti yang merekomendasikan terapi antihipertensi diteruskan pada tekanan diastolik 105-110mmHg dan sistolik 160mmHg untuk mencegah terjadinya kelainan serebrovaskular (National High Blood Pressure Program, 2000). Meskipun acuan terapi ini belum diuji secara prospektif. Pemilihan terapi awal termasuk hidralazin (5 mg IV diikuti 5-10 mg bolus selama 20 menit) atau labetalol (10-20 mg IV dan diulang 10-20 menit dosis ganda dengan tidak lebih dari 80 mg dalam dosis tunggal kumulatif maksimal dalam 300mg ). Pembuluh darah otak pada wanita yang mengalami hipertensi kronis memungkinkan dapat mentolerasi tekanan sistolik yang lebih tinggi tanpa mengalami kerusakan, ketika dewasa muda dengan tekanan darah rendah yang masih dalam batas normal dapat memulai terapi dari tingkat terendah.Resiko stroke hemoragik secara langsung berkaitan dengan derajat peningkatan sistolik, kurang berkaitan dan tidak bergantung pada tekanan diastolik (Lindenstorm et al.,1995).

Patogenesis dan terapi eklamsiMeskipun demikian, tekanan diastolik berperan penting dalam kaitannya eklamsia yang mempengaruhi perfusi ke otak, yang mana bergantung terhadap tekanan rata-rata maternal, tekanan diastolik dan tekanan rata-rata kecepatan aliran diastolik pada arteri medial otak yang dihitung dengan velocimetri doppler (Belfort et al., 2003). Telah di hipotesiskan bahwa vasospasme serebri dan terjadinya iskemi merupakan penyebab utama eklamsia. Namun, percobaan yang membandingkan magnesium sulfat dan nimodipine dalam mencegah eklamsi tidak mendukung hipotesis (Belfort et al., 2003). Dalam kasus ini, nimodipine calsium channel blocker merupakan vasodilator spesifik serebri (Belfort et al., 1994; van Gijn dan Rinkel, 2001) seharusnya dapat digunakan meskipun tidak lebih baik daripada magnesium sulfat dalam mencegah eklamsi. Meskipun begitu, penelitian yang dilakukan oleh Belfort et al, (2003) menunjukkan bahwa magnesium sulfat intravena secara signifikan lenih baik dibandingkan nimodipin oral dalam mencegah kejang eklamsi.pada wanita dengan pre-eklamsi berat. Beberapa laporan terakhir menyebutkan bahwa hemodinamik serebri berubah pada pasien dengan pre-eklamsia dan dapat dijelaskan dari laporan tersebut, sejak diusulkan bahwa penyebab primer kerusakan serebri pada pre-eklamsia adalah peningkatan tekanan perfusi serebri (overperfusi), dibandingkan vasospasme dan penurunan tekanan aliran darah serebral (Apollon et al., 2000; Belfort et al., 2002). Peningkatan tekanan perfusi aliran darah serebral, dipercaya meningkatkan barotrauma serebral dan edema vasogenik (Belfort et al., 2003). Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa eklamsia dapat juga terjadi pada tekanan darah rendah. Wanita dengan pre-eklamsia berat lebih sering memiliki tekanan perfusi serebral yang tinggi dibandingkan pada pasien pre-eklamsi ringan dan wanita pre-eklamsi dengan peningkatan tekanan perfusi serebri lebih sering bergejala dibandingkan mereka yang memiliki tekanan perfusi yang normal. (Belfort et al., 2002). William dan wilson (1990) telah mendemonstrasikan peningkatan tekanan perfusi serebri pada wanita eklamsi, dengan demikian mendukung teori barotrauma serebral.

Pertimbangan persalinanHanya persalinan yang merupakan terapi yang efektif terhadap pre-eklamsia / eklamsia. Persalinan segera tidak diperlukan termasuk seksio sesaria. Dalam menentukan persalinan dengan induksi dan persalinan pervaginam harus dipertimbangkan sesuai individu berdasarkan paritas, usia kehamilan, pemeriksaan serviks (skor Bishop), keinginan ibu untuk meneran, status janin dan presentasi. Secara umum, kurang dari 1-3 wanita dengan pre-eklamsi berat dengan (usia kehamilan < 32 minggu) keadaan serviks matang dapat berhasil melahirkan pevaginam (ACOG, 1999; Alexander et al., 1999; Nassar et al., 1998). Pematangan serviks dapat meningkatkan skor Bishop, namun perpanjangan induksi harus disingkirkan.Menurut anastesi, teknik neuroaksial (epidural, spinal) lebih baik pada wanita dengan pre-eklamsi/eklamsi meskipun perlu pemantauan secara ketat dan tidak adanya resiko trombositopeni (Program nasional tekanan darah tinggi, 2000). Dalam studi acak, 80 wanita pre-eklamsi berat dengan epidural, kombinasi spinal-epidural, atau anastesi umum menunjukkan hasil yang sama (Wallace et al., 1995). Hipotensi menjadi perhatian utama dalam regional anastesi sejak pre-eklamsi didapatkan adanya peningkatan volume darah. Edema jalan nafas dan kekambuhan hipertensi dengan intubasi telah menjadi persoalan pada anastesi umum.Pre-eklamsi/eklamsi selalu diakhiri dengan persalinan, meskipun perlu waktu beberapa hari atau minggu. Diuresis (> 4l per hari) dipercaya paling akurat sebagai indikator klinis tetapi tidak menjamin dapat menghindari kejang. (Miles et al., 1990)Dapatkah kejang eklamsi dicegah ?Terapi anti kejang dapat digunakan untuk mencegah kejang eklamsi awal pada wanita pre-eklamsi berat. Dua penelitian besar telah mendemonstrasikan keuntungan magnesium sulfat daripada fenitoin dalam pencegahan eklamsi (Belfort et al., 2003; Coetzee et al., 1998; Lucas et al., 1995). Rumah sakit Parkland, sebagai contoh, secara random 2138 wanita pre-eklamsi yang melakukan persalinan mendapat megnesium sulfat atau fenitoin (Lucas et al,. 1995). Kejang eklamsi dialami oleh 10 dari 1089 wanita yang mendapatkan feniotin ddibandingkan dengan tidak ada wanita dari 1049 wanita yang mendapatkan magnesum sulfat (P=0,004). Maternal dan neonatal menunjukkan efek yang hampir sama. Data ini ddukung oleh studi di Afrika Selatan dimana 685 wanita pre-eklamsi berat secara acak mendapatkan profilaksis anti kejang dengan magnesum sulfat atau plasebo (Coetzee et al., 1998). kejadian eklamsia lebih rendah pada kelompok yang mendapatkan magnesium sulfat (0,3% vs. 3,2% [P=0,003]).Terapi anti konvulsi secara umum diberikan selama persalinan atau ketika terapi antenatal dengan deksametason atau pematangan serviks yang direncanakan pada pasien pre-eklamsi. Profilaksis kejang secara kontinyu diberikan sampai 24-48 jam setelah partus, ketika resiko kejang berkurang.Telah banyak diperdebatkan apakah semua wanita dengan pre-eklamsia perlu profilaksis kejang atau tidak. Keberhasilan dan keamanan magnesium sulfat sebagai profilaksis anti kejang pada wanita pre-eklamsi berat telah digambarkan dalam penelitian terbesar The Magpie Trial, (2002) (Percobaan magnesium sulfat dalam pencegahan eklamsi). Lebih dari 10.000 wanita (hamil atau 24 jam persalinan) dengan tekanan darah 140/90 mmHg dan proteinuria +1 perawat masih ragu mengenai kegunaan pemberian magnesium sulfat (4 gr IV loading dose dilanjutkan 1 gr per jam melalui infus atau 5 gr IM bokong yang dilanjutkan 5 gr IM setiap 4 jam) atau plasebo selama 24 jam. Sekitar 25% pasien dengan penyakit berat dan 75% diberikan anti hipertensi. Penemuan terbesar dari percobaan bahwa magnesium sulfat : Menurunkan resiko konvulsi eklamsi secara signifikan (0.8% vs. 1.9%; RR 0.42, 95% CI, 0.29-0.60). untuk mencegah konvulsi, 63 wanita dengan pre-eklamsi berat atau 109 wanita denga preeklamsi ringan sampai sedang perlu diterapi. Menunjukkan dapat menurunkan kematian ibu (0.2% vs. 0.4%; RR 0.55, 95% CI, 0.26-1.14); dan Pencegahan konvulsi tidak menghiraukan beratnya pre-eklamsia, usia kehamilan atau paritas.Morbiditas ibu, mortalitas perinatal serta morbiditas neonatus hampir sama di kedua kelompok. Terapi magnesium sulfat harus dipertimbangkan dalam pencegahan eklamsia pada semua wanita dengan pre-eklamsi ()Megpai Trial, 2002; Roberts et al., 2002; Shets dan Chalmers, 2002), termasuk pada mereka yang bukan penyakit berat, meskipun beberapa penulis menanyakan nilai terapi pada semua wanita pre-eklamsi untuk mencegah kejang di beberapa pasien (0.6-3.2%) (Hall et al., 2000). Sekitar 10-15% wanita pada masa persalinan dengan pre-eklamsi ringan akan berkembang menjadi gejala pre-eklamsi berat (hipertensi berat, sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri epigaster, dan kelainan laboratorium) (Livingstone et al., 2003; Witlin dan Sibai, 1998).Kesimpulannya, WHO, Federation Internationale de Gynecologie et dObstetrique, dan perhimpunan internasional mengenai hipertensi dalam kehamilan merekomendasikan terapi magnesium sulfat untuk mencegah dan sebagai terapi eklamsi (Roberts et al., 2002). The American College of Obstetricians and Gynecologist merekomendasikan penggunaan magnesium sulfat pada wanita dengan pre-eklamsi berat. Kejadian kejang lebih rendah pada pada wanita hipertensi tanpa proteinuria (< 0,1%) (Coetzee et al., 1998). Oleh karena itu, hal tersebut aman terhadap profilaksis kejang pada wanita.

Hasil terapiHasil Jangka Panjang pada Wanita EklamsiPrognosis jangka panjang pada ibu tergantung dari berat ringannya suatu penyakit. Kerusakan sel hepar, disfungsi renal, DIC, dan hipertensi dapat di atasi dengan persalinan. Tetapi, kerusakan serebrovaskular dapat menyebabkan gejala sisa neurologiKomplikasi sindrom HELLP terjadi pada 4-14% pasien pre-eklamsia berat atau eklamsi dan telah dikaitkan dengan perburukan maternal dan/atau perburukan perinatal (Sibai, 1990; Sibai et at., 1986a, 1995). Kejadian sindroma ini lebih tinggi pada pasien multipara, terutama pada pre-eklamsi dan atau eklamsi yang terlambat didiagnosis. Secara keseluruhan kematian perinatal rata-rata mencapai 36,7% (41/112) telah dilaporkan Sibai et al. (1993b) terdapat 5 kematian ibu (1.1%) dan kehidupan ibu secara signifikan: DIC pada 92 pasien (21%), abrupsio plasenta pada 69 pasien (16%), gagal ginjal akut pada 33 pasien (7.7%), 26 pasien dengan edema paru (6%), 4 pasien dengan ruptur hematom subskapular hepar (0.9%) dan 3 pasien dengan ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) (1%). Dengan catatan, kejadian komplikasi maternal (terutama edema paru dan gagal ginjal akut) tampak lebih tinggi jika sindroma HELLP berlanjut setelah persalinan Sibai et al. (1993b). Kekambuhan rata-rata sindroma HELLP pada hasil akhir kehamilan sekitar 2% (1/49) (Sibai et al. 1986a)Gagal ginjal akut terjadi pada 1.8% pasien dengan pre-eklamsi berat/eklamsi (Sibai et al., 1990) dan hampir selalu terjadi tubular nekrosis akut sekunder. Hal ini biasa terjadi pada abrupsio plasenta dan DIC dan berkaitan dengan perburukan maternal/perinatal (termasuk kematian maternal dan perinatal 10-13% dan 34-41%, berturut-turut) (Sibai dan Ramadan, 1993; Sibai et al., 1990). Sekitar 30-50% pasien dengan gagal ginjal akut memerlukan terapi dialisis selama kehamilan untuk memperbaiki azotemia dan/atau hiperkalemia. Tindak lanjut jangka panjang (rata-rata 4.03.1 tahun) pada 31 pasien dengan pre-eklamsia berat /eklamsi yang memiliki komplikasi gagal ginjal akut 16 orang diantaranya telah sembuh dan memiliki ginjal dengan fungsi yang normal kembali. Pada pasien yang memang memiliki kelainan parenkim ginjal dan/atau hipertensi kronis, 9 dari 11 pasien yang berhasil (82%) telah mendapatkan dialisis jangka panjang dan 4 orang yang berakhir dengan kematian karena gagal ginjal stadium lanjut. Peneliti menyimpulkan bahwa Tatalaksana yang tepat pada gagal ginjal akut pada pasien dengan pre-eklamsi / eklamsi murni tidak menyebabkan sisa fungsi yang buruk (Sibai et al., 1990). Pada penyakit ginjal tidak jarang kambuh menjadi gagal ginjal akut pada kehamilan.Edema paru merupakan komplikasi yang jarang pada pre-eklamsi berat/eklamsi dengan kejadian sekitar 2-3%. Hal tersebut lebih terlihat pada pasien yang memang memiliki hipertensi kronis dibandingkan pada pasien yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal ()7.1% vs 1.7%, berturut-turut) (Sibai et al. 1987). Rangkaian 37 kasus yang terjadi secara berurutan, Sibai dan koleganya (1987) melaporkan kematian 4 orang ibu dan kehidupan ibu secara signifikan. Seluruh kematian perinatal pada hal ini sebesar 53% (18/39). Tercatat, 70% (26/37) pasien ini berkembang mengalami edema paru setelah persalinan dengan onset 71 hari setelah peralinan. Hampir semua wanita memiliki faktor predsiposisi terhadap edema paru, termasuk kritaloid masif dan atau infus koloid, prosedur pembedahan, sepsis atau anemia.

Apakah wanita dengan pre-eklamsia/eklamsia beresiko mengalami hipertensi kronis di kemudian hari ? Pada wanita yang memiliki riwayat pre-eklamsi / eklamsi, menurut laporan resiko terjadinya hiprtensi kronis berkisar mulai dari 0% sampai 78% (rata-rata 23,8%) (Chesley et al., 1976; Sibai et al., 1986b, 1991, 1992). Resiko meningkat pada kelompok wanita baik yang memiliki hipertensi dalam kehamilan maupun pada wanita dengan eklamsi terkontrol. Peningkatan resiko dari hipertensi yang berkelanjutan hanya muncul rata-rata setelah follow up lebih dari 10 tahun. (Sibai et al., 1986b).Selain hipertensi, wanita dengan riwayat pre-eklamsi/eklamsi beresiko terhadap diabetes. Dalam satu penelitian, insidensi diabetes pada penelitian kohort yang dipantau selama 25 tahun sebesar 8.3%, yang mana 2.5 kali lipat lebih tinggi dari yang diperkirakan. (Chesley et al., 1976). Hal ini serupa dengan 5.6% insidensi diabetes yang dilaporkan oleh Sibai et al. (1986b) pada wanita dengan pre-eklamsi berat/eklamsi yang dipantau selama 10 tahun.

KesimpulanEklamsia adalah suatu kegawatdaruratan obstetri yang terjadi pada 4-5 per 10.000 kelahiran hidup. Baik ibu maupun fetus secara langsung beresiko mengalami kematian atau disabilitas neurologi jangka panjang. Target terapi utama yakni memberikan keamanan pada ibu dan selanjutnya kelahiran bayi dengan kondisi yang optimal. Persalinan merupakan tatalaksana yang paling efektif. Terapi yang cepat dan efektif tanpa adanya perdarahan serebrovaksular merupakan prognosis yang baik bagi ibu. Prognosis janin tergantung dari besarnya usia kehamilan saat persalinan. Angka kekambuhan pre-eklamsia pada kehamilan berikutnya dilaporkan mencapai 12-68% dan sekitar 10% dari wanita tersebut akan mengalami kejang eklamsi pada kehamilan berikutnya. Magnesium sulfat adalah obat pilihan dalam pencegahan primer terhadap kekambuhan kejang eklamsi.

JOURNAL PATHOGENESIS AND TREATMENT OF ECLAMPSIA