adaptasi terhadap perubahan iklim untuk pulau-pulau … · 2019. 12. 14. · vol. v...

32
Vol. V September-Oktober 2011 Edisi 71 Simposium Pembangunan Penelitian Untuk Rekomendasi Kebijakan: Sebuah Karya Dari Timur ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK PULAU-PULAU KECIL DI KAWASAN TIMUR INDONESIA Mengentaskan Kemiskinan Melalui Kepemimpinan Perempuan, Mengapa Tidak? LIPUTAN KHUSUS Pemikiran Ulang PNPM Perdesaan Di Papua: Tanggapan Terhadap Tantangan Daerah Terpencil

Upload: others

Post on 28-Jan-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Vol. V September-Oktober 2011 Edisi 71

    Simposium Pembangunan Penelitian Untuk Rekomendasi Kebijakan: Sebuah Karya Dari Timur

    ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK PULAU-PULAU KECIL DI KAWASAN TIMUR INDONESIA

    Mengentaskan Kemiskinan Melalui Kepemimpinan Perempuan, Mengapa Tidak?

    LIPUTAN KHUSUS

    Pemikiran Ulang PNPM Perdesaan Di Papua: Tanggapan Terhadap Tantangan Daerah Terpencil

  • 1

    EditorMILA SHWAIKO

    VICTORIA NGANTUNGForum KTI

    ZUSANNA GOSALITA MASITA IBNUEvents at BaKTI

    SHERLY HEUMASSEWebsite of the MonthSTEVENT FEBRIANDYDatabase & NGO Profile

    AFDHALIYANNA MA’RIFAHWebsite

    AKRAM ZAKARIASmart Practices

    CHRISTY DESTA PRATAMAInfo Book

    SUMARNI ARIANTODesign Visual & Layout

    ICHSAN DJUNAIDPertanyaan dan Tanggapan

    RedaksiJI. DR.Sutomo No.26

    Makassar 90113P : 62-411-3650320-22

    F :62-411-3650323SMS BaKTINews 085255776165

    E-mail: [email protected] juga bisa menjadi penggemar

    BaKTINews di Facebook :www.facebook.com/yayasanbakti

    BaKTINews adalah media pertukaran pengetahuan tentang pembangunan di Kawasan Timur lndonesia.Tujuan BaKTINews adalah mempromosikan praktik cerdas pembangunan dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia agar dapat diketahui oleh khalayak luas dan menginspirasi pelaku pembangunan di berbagai daerah dalam upaya menjawab berbagai tantangan pembangunan. BaKTINews terbit setiap bulan dalam dua bahasa, Indonesia dan lnggris, untuk memudahkan pembaca dalam mendapatkan informasi pembangunan dari Kawasan Timur Indonesia.

    BaKTINews disirkulasi melalui pos kepada pembaca dengan target utama adalah para pelaku pembangunan yang berdomisili di daerah kepulauan dan daerah terpencil. Tidak dikenakan biaya apapun untuk berlangganan BaKTINews agar lebih banyak masyarakat yang dapat mengakses informasi pembangunan melalui majalah ini. Selain dalam bentuk cetak, BaKTINews juga dapat diakses di website BaKTI: www.bakti.org dan dikirimkan melalui email kepada pelanggan yang dapat mengakses internet.

    BaKTINews dikelola oleh Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia [BaKTI). Seluruh artikel BaKTINews adalah kontribusi sukarela para pelaku pembangunan dari berbagai kalangan dan daerah yang ingin berbagi pengetahuan dengan khalayak luas.

    BaKTINews is a knowledge exchange media platform for development issues in eastern Indonesia. BaKTINews aims to promote development smart practices from different regions in eastern Indonesia so that the practices become known to a wider audience and inspire development stakeholders in other regions in their efforts to answer development challenges. BaKTINews is published monthly in two languages, Indonesian and English, to facilitate readers who don't understand indonesian to gain a better understanding of development in eastern Indonesia.

    BaKTINews is sent by post to readers and rhe main target is development stakeholders living in isolated regions and island regions. BaKTINews is provided free of charge so the development community can access relevant development information easily. BaKTINews is also provided in an electronic version that can be accessed on www.bakri.org and can be sent electronically to subscribers with internet access.

    BaKTINews is managed by the Eastern Indonesia Knowledge Exchange (BaKTI). All articles are contributed voluntarily by development stakeholders from different areas in eastern Indonesia who wish to share their information with a wider audience.

    31

    DAFTAR ISI CONTENTS

    6

    8

    11

    13

    15

    16

    17

    21

    24

    25

    27

    28

    29

    30

    Berkontribusi untuk BaKTINews

    BaKTINews menerima artikel tentang kemajuan pembangunan, pembelajaran dari suatu kegiatan, praktik cerdas pembangunan, hasil-hasil penelitian yang dapat diaplikasikan, dan teknologi tepat guna dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua). Panjang artikel adalah 1.000-1.100 kata,menggunakan Bahasa Indonesia maupun lnggris,ditulis dengan gaya populer. Foto-foto penunjang artikel sangat dibutuhkan. Tim editor BaKTINews akan melakukan edit terhadap setiap artikel yang akan dimuat untuk kesesuaian tempat dan gaya bahasa. Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.

    BaKTINews accepts articles about development programs, lessons learnt from an activity, development smart practices, research results that can be applied, and applied technology from different stakeholders and regions in eastern Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, and Papua). Articles should be 1,000-1, 100 words, in either Indonesian or English, and written in a popular style. Articles should also be sent with photos that illustrate the article. The editors of BaKTINews will edit every article for reasons of space and style. BaKTINews does not provide payment to writers for articles.

    2

    Menjadi Pelanggan BaKTINews Subscribing to BaKTINews

    Untuk berlangganan BaKTINews, silakan mengirimkan data diri anda (organisasi, posisi, nomor HP, alamat email) lengkap dengan alamat lengkap yang disertai dengan kode pos melalui email [email protected] atau SMS 085255776165. Bagi yang berdomisili di Makassar, Anda dapat mengambil BaKTINews di Display Corner Gedung BaKTI pada setiap hari kerja.

    To subscribe to BaKTINews please send us your full contacts details (including organization. position, HP number and email address) with full postal address to [email protected] or SMS to 085255776165. For those living in Makassar, please stop by the BaKTI office and pick up your copy from the display corner from Monday to Friday.

    BaKTINews diterbitkan oleh Yayasan BaKTI dengan dukungan Pemerintah Australia.BaKTINews is published by The BaKTI Foundation with support of the Government of Australia.

    Pandangan yang dikemukakan tak sepenuhnya mencerminkan pandangan Yayasan BaKTI maupun Pemerintah Australia.

    The views expressed do not necessarily reflect the views of Yayasan BaKTI and the Government of Australia.

    Memberi Pengetahuan Solusi Atas Masalah

    Mereka yang Berjuang Sendiri untuk Adaptasi Perubahan IklimThose who struggle alone to adapt to climate change

    Dari Sorgum Hingga Air Laut Menjadi Tawar

    Warga Diminta Merawat Negaranya

    Event di BaKTILangkah Berani Mümine

    Workshop Mata Pencharian Nantu The Nantu Livelihoods Workshop

    Yayasan Persekutuan Pelayanan Masirey

    Simposium PembangunanPenelitian Untuk Rekomendasi Kebijakan: Sebuah Karya Dari Timur

    PEACH UpdatesKesejahteraan dan KeberpihakanThe Budget for People's Prosperity

    Peluang

    Website Bulan ini

    Profil LSM

    Kegiatan di BaKTI

    Info Books

    28

    batukar.info Updates

    TERIMA KASIH KAMI UCAPKAN KEPADA PARA MITRA YANG TELAH MENDUKUNG TERSELENGGARANYA KEGIATAN INI/WE WOULD LIKE TO EXPRESS OUR GRATITUDE FOR

    THE SUPPORT OF THE FOLLOWING PARTNERS

    KEMENTERIAN NEGARAPEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

    ”Adaptasi Terhadap

    di Kawasan Timur Indonesia”Perubahan Iklim untuk Pulau-Pulau Kecil

    Lombok, 17-19 Oktober 2011

    AID INDONESIA MARINE AND CLIMATE SUPPORT (IMACS) PROJECT

    Mengentaskan Kemiskinan Melalui Kepemimpinan Perempuan, Mengapa Tidak?

    Pemikiran Ulang Pnpm Perdesaan Di Papua: Tanggapan Terhadap Tantangan Daerah Terpencil

    JiKTI Updates

    3 Pulau-pulau Kecil adalah Kedaulatan BangsaSmall Islands are the Strength of the Nation

  • 1

    EditorMILA SHWAIKO

    VICTORIA NGANTUNGForum KTI

    ZUSANNA GOSALITA MASITA IBNUEvents at BaKTI

    SHERLY HEUMASSEWebsite of the MonthSTEVENT FEBRIANDYDatabase & NGO Profile

    AFDHALIYANNA MA’RIFAHWebsite

    AKRAM ZAKARIASmart Practices

    CHRISTY DESTA PRATAMAInfo Book

    SUMARNI ARIANTODesign Visual & Layout

    ICHSAN DJUNAIDPertanyaan dan Tanggapan

    RedaksiJI. DR.Sutomo No.26

    Makassar 90113P : 62-411-3650320-22

    F :62-411-3650323SMS BaKTINews 085255776165

    E-mail: [email protected] juga bisa menjadi penggemar

    BaKTINews di Facebook :www.facebook.com/yayasanbakti

    BaKTINews adalah media pertukaran pengetahuan tentang pembangunan di Kawasan Timur lndonesia.Tujuan BaKTINews adalah mempromosikan praktik cerdas pembangunan dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia agar dapat diketahui oleh khalayak luas dan menginspirasi pelaku pembangunan di berbagai daerah dalam upaya menjawab berbagai tantangan pembangunan. BaKTINews terbit setiap bulan dalam dua bahasa, Indonesia dan lnggris, untuk memudahkan pembaca dalam mendapatkan informasi pembangunan dari Kawasan Timur Indonesia.

    BaKTINews disirkulasi melalui pos kepada pembaca dengan target utama adalah para pelaku pembangunan yang berdomisili di daerah kepulauan dan daerah terpencil. Tidak dikenakan biaya apapun untuk berlangganan BaKTINews agar lebih banyak masyarakat yang dapat mengakses informasi pembangunan melalui majalah ini. Selain dalam bentuk cetak, BaKTINews juga dapat diakses di website BaKTI: www.bakti.org dan dikirimkan melalui email kepada pelanggan yang dapat mengakses internet.

    BaKTINews dikelola oleh Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia [BaKTI). Seluruh artikel BaKTINews adalah kontribusi sukarela para pelaku pembangunan dari berbagai kalangan dan daerah yang ingin berbagi pengetahuan dengan khalayak luas.

    BaKTINews is a knowledge exchange media platform for development issues in eastern Indonesia. BaKTINews aims to promote development smart practices from different regions in eastern Indonesia so that the practices become known to a wider audience and inspire development stakeholders in other regions in their efforts to answer development challenges. BaKTINews is published monthly in two languages, Indonesian and English, to facilitate readers who don't understand indonesian to gain a better understanding of development in eastern Indonesia.

    BaKTINews is sent by post to readers and rhe main target is development stakeholders living in isolated regions and island regions. BaKTINews is provided free of charge so the development community can access relevant development information easily. BaKTINews is also provided in an electronic version that can be accessed on www.bakri.org and can be sent electronically to subscribers with internet access.

    BaKTINews is managed by the Eastern Indonesia Knowledge Exchange (BaKTI). All articles are contributed voluntarily by development stakeholders from different areas in eastern Indonesia who wish to share their information with a wider audience.

    31

    DAFTAR ISI CONTENTS

    6

    8

    11

    13

    15

    16

    17

    21

    24

    25

    27

    28

    29

    30

    Berkontribusi untuk BaKTINews

    BaKTINews menerima artikel tentang kemajuan pembangunan, pembelajaran dari suatu kegiatan, praktik cerdas pembangunan, hasil-hasil penelitian yang dapat diaplikasikan, dan teknologi tepat guna dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua). Panjang artikel adalah 1.000-1.100 kata,menggunakan Bahasa Indonesia maupun lnggris,ditulis dengan gaya populer. Foto-foto penunjang artikel sangat dibutuhkan. Tim editor BaKTINews akan melakukan edit terhadap setiap artikel yang akan dimuat untuk kesesuaian tempat dan gaya bahasa. Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.

    BaKTINews accepts articles about development programs, lessons learnt from an activity, development smart practices, research results that can be applied, and applied technology from different stakeholders and regions in eastern Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, and Papua). Articles should be 1,000-1, 100 words, in either Indonesian or English, and written in a popular style. Articles should also be sent with photos that illustrate the article. The editors of BaKTINews will edit every article for reasons of space and style. BaKTINews does not provide payment to writers for articles.

    2

    Menjadi Pelanggan BaKTINews Subscribing to BaKTINews

    Untuk berlangganan BaKTINews, silakan mengirimkan data diri anda (organisasi, posisi, nomor HP, alamat email) lengkap dengan alamat lengkap yang disertai dengan kode pos melalui email [email protected] atau SMS 085255776165. Bagi yang berdomisili di Makassar, Anda dapat mengambil BaKTINews di Display Corner Gedung BaKTI pada setiap hari kerja.

    To subscribe to BaKTINews please send us your full contacts details (including organization. position, HP number and email address) with full postal address to [email protected] or SMS to 085255776165. For those living in Makassar, please stop by the BaKTI office and pick up your copy from the display corner from Monday to Friday.

    BaKTINews diterbitkan oleh Yayasan BaKTI dengan dukungan Pemerintah Australia.BaKTINews is published by The BaKTI Foundation with support of the Government of Australia.

    Pandangan yang dikemukakan tak sepenuhnya mencerminkan pandangan Yayasan BaKTI maupun Pemerintah Australia.

    The views expressed do not necessarily reflect the views of Yayasan BaKTI and the Government of Australia.

    Memberi Pengetahuan Solusi Atas Masalah

    Mereka yang Berjuang Sendiri untuk Adaptasi Perubahan IklimThose who struggle alone to adapt to climate change

    Dari Sorgum Hingga Air Laut Menjadi Tawar

    Warga Diminta Merawat Negaranya

    Event di BaKTILangkah Berani Mümine

    Workshop Mata Pencharian Nantu The Nantu Livelihoods Workshop

    Yayasan Persekutuan Pelayanan Masirey

    Simposium PembangunanPenelitian Untuk Rekomendasi Kebijakan: Sebuah Karya Dari Timur

    PEACH UpdatesKesejahteraan dan KeberpihakanThe Budget for People's Prosperity

    Peluang

    Website Bulan ini

    Profil LSM

    Kegiatan di BaKTI

    Info Books

    28

    batukar.info Updates

    TERIMA KASIH KAMI UCAPKAN KEPADA PARA MITRA YANG TELAH MENDUKUNG TERSELENGGARANYA KEGIATAN INI/WE WOULD LIKE TO EXPRESS OUR GRATITUDE FOR

    THE SUPPORT OF THE FOLLOWING PARTNERS

    KEMENTERIAN NEGARAPEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

    ”Adaptasi Terhadap

    di Kawasan Timur Indonesia”Perubahan Iklim untuk Pulau-Pulau Kecil

    Lombok, 17-19 Oktober 2011

    AID INDONESIA MARINE AND CLIMATE SUPPORT (IMACS) PROJECT

    Mengentaskan Kemiskinan Melalui Kepemimpinan Perempuan, Mengapa Tidak?

    Pemikiran Ulang Pnpm Perdesaan Di Papua: Tanggapan Terhadap Tantangan Daerah Terpencil

    JiKTI Updates

    3 Pulau-pulau Kecil adalah Kedaulatan BangsaSmall Islands are the Strength of the Nation

  • 43

    asyarakat yang hidup di pulau-pulau kecil menjadi kelompok yang paling terpengaruh oleh dampak dari dari perubahan pada Mlingkungan akibat perubahan pola-pola cuaca dan iklim, karena

    mereka sangat bergantung pada hasil alam. Ancaman kenaikan permukaan air laut atau ketidakpastian musim tanam akibat cuaca tidak menentu berpengaruh langsung ke penghidupan keluarga. Namun demikian masyarakat ini juga telah adalah kelompok yang memiliki kearifan lokal dan motivasi yang paling kuat untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya.

    Demikian hasil resume yang dibacakan oleh Armi Susandi, Pokja Adaptasi Perubahan Iklim dari DNPI. Resume ini adalah hasil dari Diskusi Regional Forum KawasanTimur Indonesia (Forum KTI) Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim untuk Pulau-Pulau Kecil Di kawasan Timur Indonesia yang berlangsung di Sengigi, Lombok Barat, NTB.

    Jika mengacu pada hasil talkshow yang digelar di acara tersebut dengan menghadirkan narasumber berkompeten terkait tema diskusi, sangat jelas, pulau-pulau terkecil di Indonesia masih jauh dalam perhatian negara, bukan saja pada eksistensi keberadaannya tetapi juga pada kehidupan masyarakat yang tinggal di sana. Orang Pulau demikian sebutan bagi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil di Indonesia, akan sangat identik dengan ketertinggalan dalam pembangunan, kesejahteraan yang minim, akses yang sulit dijangkau, dan resiko keselamatan hidup yang rawan.

    ”Alasannya bisa saja karena akses yang jauh dan keterbatasan negara dalam memantau keberadaan dan kondisi pulau-pulau kecil kita. Sehingga yang terjadi, pengawasan dan perhatian terhadap kawasan itu tidak maksimal. Padahal pulau-pulau kecil Indonesia adalah bagian dari negara ini, dan banyak penduduknya di sana hidup dalam kemiskinan,” ungkap Dr. Ir. Alex. SW Retraubun, MSc, Wakil Menteri Perindustrian dan juga sebagai Steering Committee dalam Diskusi Regional FKTI (Forum Kawasan Timur Indonesia, dalam sebuah wawancara setelah rehat acara talkshow.

    Dalam sebuah kesempatan talkshow dengan tema, “Pencarian alternative penghidupan bagi masyarakat di pulau-pulau kecil,” Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (KP3K) Sudirman Saad, mengungkapkan, sebanyak 7,8 juta jiwa yang bermukim di 10.639 desa pesisir atau 23% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia masuk kategori warga miskin yang berpenghasilan hanya 1 dolar AS per hari. Hal ini menjadi nilai tambah kerentanan lainnya yang harus dihadapi keseharian masyarakat pulau-pulau kecil dan pesisir.

    “Selain masalah kemiskinan, di pulau-pulau kecil dan pesisir juga identik dengan tingginya kerusakan sumber daya alam, rendahnya kemandirian organisasi soasial desa, serta rendahnya infrastruktur desa juga kesehatan lingkungan di pemukiman. Sehingga ini semakin memperparah kerentanan mereka,” tambah Sudirman.Dia memberikan contoh, karena terdesaknya kebutuhan hidup yang harus dihadapi masyarakat yang tinggal di lingkungan seperti ini, sejumlah perusakan terhadap hutan mangrove dan juga perusakan terumbu karang yang dilakukan masyarakat memperburuk kondisi alam mereka. Namun dia juga mengakui, salah urus dan kebijakan yang tepat juga menjadi soal utama rusaknya ekologis yang sering dihadapi pulau-pulau kecil dan pesisir di Indonesia.

    Communities living on small islands are the most affected by the effects of environmental changes because they are so dependent on natural resources. The threat of rising sea levels or disrupted planning seasons due to weather changes has an immediate impact on family lives. However, these are also the people with the local wisdom and the strongest motivation to adapt to the changes in their environment.

    This was the statement delivered by Armi Susandi, a member of the Working Group for Climate Change Adaptation from the National Council for Climate Change, at the closing of the Eastern Indonesia Forum Regional Discussion on Climate Change Adaptation and Small Islands in Eastern Indonesia in Sengiggi, Lombok Barat, NTB.

    When we look at the results of the talk shows presented at the event, all featuring the most relevant resource people in their fields, it is clear that the smallest islands in Indonesia are not receiving enough of the nation's attention, not only in terms of the islands themselves but also the people who live there. Island people will continue to be synonymous with lagging development, minimal welfare, poor access, and risk-prone lives.

    "The reason might be because of remote access and the limitations of the state in monitoring the situation and condition of our small islands. If this is the case, supervision and attention to these regions is not optimal even though these small islands are part of Indonesia and many of their residents live in poverty," said Dr. Ir. Alex. SW Retraubun, MSc, Vice Minister of Industry and also speaking as a member of the Steering Committee of the Regional Dicussion, during an interview after a talkshow session.

    In one talkshow with the theme “Alternative Livelihoods for Communities on Small Islands”, the Director General for Marine, Coastal Regions and Small Islands (KP3K), Sudirman Saad, stated that over 7.8 million people living in 10,639 coastal villages, or 23% of Indonesia's total poor population, are living on US$1 a day. This is just one more form of vulnerability experienced by communities on small islands.

    "In addition to problems of poverty, small islands and coastal areas also synonymous with the great damage to natural resources, dependant village organizations, poor rural infrastructure, and poor environmental health in inhabited areas. So this exacerbates their vulnerability," added Sudirman.

    He gave an example that because needs are so pressing for people who live in these environments, destruction of mangrove forests and coral reef caused by

    “Kejadian bencana gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004 misalnya, kita baru disadarkan betapa berartinya mangrove bagi keselamatan masyarakat kita yang hidup di pulau-pulau dan pesisir ketika harus menghadapi gelombang besar. Masyarakat yang tinggal dengan mangrove yang masih bagus, korbannya tidak banyak jika dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mempunyai mangrove. Tapi ini hanya salah satu contoh, tentang kondisi yang terjadi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia,”tandas Sudirman.

    Berdasarakan fakta tersebut, Sudirman selaku Dirjen KP3K mengaku telah berupaya menginisiasi suatu program inovatif dalam mengurangi kerentanannya yaitu Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT). PDPT diharapkan bisa menata dan meningkatkan kehidupan desa pesisir/nelayan berbasis masyarakat.

    D a l a m d a t a D K P d i s e b u t k a n , sasarannya adalah 6.639 Desa pesisir, 16 cluster desa dengan kriteria mempunyai potensi lokal unggul, mempunyai kondisi lingkungan permukiman kumuh, terjadi degradasi l ingkungan permukiman kumuh, rawan bencana dan perubahan iklim. PDPT akan lebih mefokuskan diri pada coastal village community dimana partisipasi komunitas desa pesisirlah yang akan menentukan keberhasilan dan keberlanjutan program ini.

    Bisa jadi DKP telah melakukan sesuatu untuk kesejahteraan dan kedaulatan bagi pulau-pulau kecil untuk Indonesia, namun masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil, meski tidak banyak, jauh sebelumnya sudah melakukan berbagai upaya dalam mempertahankan hidupnya yang lebih baik. Termasuk mencari alternatif ekonomi lebih dari satu. Menurut Program Director Locally Managed Marine Area (LMMA) Indonesia Cliff Marlessy, seperti yang dilansir Koran Kompas (18/10/2011), disebutkan, dalam menghadapi dampak perubahan iklim, masyarakat pulau kecil yang terisolasi dengan pulau besar akan berbahaya jika hanya mengandalkan satu sumber ekonomi. Sebab, ketika satu sumber itu gagal, tidak ada lagi yang bisa mereka harapkan, sementara daerah mereka terisolasi. Pemerintah seharusnya bisa mendorong upaya ini lebih baik lagi.

    Karena sebagai masyarakat yang tinggal di kepulauan saat ini, sangat sulit hanya mengandalkan penghidupan dengan mencari ikan di laut. Ketika musim air gelombang pasang dan badai datang, ini akan menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan dan ekonomi masyarakat tersebut. Cliff juga memberikan contoh yang telah ditunjukkan masyarakat Pulau Tanimbar Kei, di Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, dapat hidup mandiri secara ekonomi, dan mereka juga

    humans to fulfill these needs then lead to worse natural conditions. But he also admitted, mismanagement and appropriate policies are also a major cause of ecological damage to small islands and coastal areas in Indonesia.

    "The earthquake and tsunami in Aceh in 2004 showed us how mangroves contribute to public safety for those who live on islands and coastal areas facing big waves. People living with mangroves were safer, the victims were fewer when compared with communities without mangroves. But this is just one example of conditions in coastal areas and small islands in Indonesia,” Sudirman said.

    Based on these facts, as the Director General of KP3K, Sudirman initiated an innovative program to reduce the vulnerability called S t r o n g C o a s t a l V i l l a g e Development (PDPT). PDPT will hopefully regulate and improve the lives of the coastal village fishermen with a community-based approach. In the DKP data mentioned, the target is 6,639 coastal villages and 16 village clusters that meet the criteria of having local potential, slum-like environmental conditions, environmental degradation, and prone to disasters and climate change. PDPT will be more focused on coastal village communities where the participation of village communities will determine the success and sustainability of this program.

    It could be that DKP has done something for the welfare and sovereignty for small islands to Indonesia, but the people who live on small islands, though few, have been trying to creative a better life for a long time, including by finding economic alternatives. According to

    the Program Director of Locally Managed Marine Areas (LMMA) Indonesia, Cliff Marlessy, as quoted by Kompas newspaper (18/10/2011), in the face of climate change impacts, small isolated island communities far from large islands will be in danger if there is only one economic source. Because, when one source fails, it becomes a hopeless case in these isolated areas. Governments should encourage these efforts more.

    For people who live on the islands at this time, it is very

    Small Islands are the Strength of the Nation PULAU-PULAU KECIL ADALAH KEDAULATAN BANGSA

    Oktober - November 2011News Volume V - edisi 71 Oktober - November 2011News Volume V - edisi 71

    ADAPTASI TERHADAP

    PERUBAHAN IKLIM

    UNTUK PULAU-PULAU

    KECIL DI KAWASAN

    TIMUR INDONESIA

    Lombok, 17-18 Oktobe

    r 2011

    Diskusi Regional Forum

    KTI

    ADAPTASI TERHADAP

    PERUBAHAN IKLIM

    UNTUK PULAU-PULAU

    KECIL DI KAWASAN

    TIMUR INDONESIA

    ALEX S.W. RETRAUBUN ,Steering Committee Diskusi Regional FKTI

  • 43

    asyarakat yang hidup di pulau-pulau kecil menjadi kelompok yang paling terpengaruh oleh dampak dari dari perubahan pada Mlingkungan akibat perubahan pola-pola cuaca dan iklim, karena

    mereka sangat bergantung pada hasil alam. Ancaman kenaikan permukaan air laut atau ketidakpastian musim tanam akibat cuaca tidak menentu berpengaruh langsung ke penghidupan keluarga. Namun demikian masyarakat ini juga telah adalah kelompok yang memiliki kearifan lokal dan motivasi yang paling kuat untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya.

    Demikian hasil resume yang dibacakan oleh Armi Susandi, Pokja Adaptasi Perubahan Iklim dari DNPI. Resume ini adalah hasil dari Diskusi Regional Forum KawasanTimur Indonesia (Forum KTI) Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim untuk Pulau-Pulau Kecil Di kawasan Timur Indonesia yang berlangsung di Sengigi, Lombok Barat, NTB.

    Jika mengacu pada hasil talkshow yang digelar di acara tersebut dengan menghadirkan narasumber berkompeten terkait tema diskusi, sangat jelas, pulau-pulau terkecil di Indonesia masih jauh dalam perhatian negara, bukan saja pada eksistensi keberadaannya tetapi juga pada kehidupan masyarakat yang tinggal di sana. Orang Pulau demikian sebutan bagi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil di Indonesia, akan sangat identik dengan ketertinggalan dalam pembangunan, kesejahteraan yang minim, akses yang sulit dijangkau, dan resiko keselamatan hidup yang rawan.

    ”Alasannya bisa saja karena akses yang jauh dan keterbatasan negara dalam memantau keberadaan dan kondisi pulau-pulau kecil kita. Sehingga yang terjadi, pengawasan dan perhatian terhadap kawasan itu tidak maksimal. Padahal pulau-pulau kecil Indonesia adalah bagian dari negara ini, dan banyak penduduknya di sana hidup dalam kemiskinan,” ungkap Dr. Ir. Alex. SW Retraubun, MSc, Wakil Menteri Perindustrian dan juga sebagai Steering Committee dalam Diskusi Regional FKTI (Forum Kawasan Timur Indonesia, dalam sebuah wawancara setelah rehat acara talkshow.

    Dalam sebuah kesempatan talkshow dengan tema, “Pencarian alternative penghidupan bagi masyarakat di pulau-pulau kecil,” Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (KP3K) Sudirman Saad, mengungkapkan, sebanyak 7,8 juta jiwa yang bermukim di 10.639 desa pesisir atau 23% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia masuk kategori warga miskin yang berpenghasilan hanya 1 dolar AS per hari. Hal ini menjadi nilai tambah kerentanan lainnya yang harus dihadapi keseharian masyarakat pulau-pulau kecil dan pesisir.

    “Selain masalah kemiskinan, di pulau-pulau kecil dan pesisir juga identik dengan tingginya kerusakan sumber daya alam, rendahnya kemandirian organisasi soasial desa, serta rendahnya infrastruktur desa juga kesehatan lingkungan di pemukiman. Sehingga ini semakin memperparah kerentanan mereka,” tambah Sudirman.Dia memberikan contoh, karena terdesaknya kebutuhan hidup yang harus dihadapi masyarakat yang tinggal di lingkungan seperti ini, sejumlah perusakan terhadap hutan mangrove dan juga perusakan terumbu karang yang dilakukan masyarakat memperburuk kondisi alam mereka. Namun dia juga mengakui, salah urus dan kebijakan yang tepat juga menjadi soal utama rusaknya ekologis yang sering dihadapi pulau-pulau kecil dan pesisir di Indonesia.

    Communities living on small islands are the most affected by the effects of environmental changes because they are so dependent on natural resources. The threat of rising sea levels or disrupted planning seasons due to weather changes has an immediate impact on family lives. However, these are also the people with the local wisdom and the strongest motivation to adapt to the changes in their environment.

    This was the statement delivered by Armi Susandi, a member of the Working Group for Climate Change Adaptation from the National Council for Climate Change, at the closing of the Eastern Indonesia Forum Regional Discussion on Climate Change Adaptation and Small Islands in Eastern Indonesia in Sengiggi, Lombok Barat, NTB.

    When we look at the results of the talk shows presented at the event, all featuring the most relevant resource people in their fields, it is clear that the smallest islands in Indonesia are not receiving enough of the nation's attention, not only in terms of the islands themselves but also the people who live there. Island people will continue to be synonymous with lagging development, minimal welfare, poor access, and risk-prone lives.

    "The reason might be because of remote access and the limitations of the state in monitoring the situation and condition of our small islands. If this is the case, supervision and attention to these regions is not optimal even though these small islands are part of Indonesia and many of their residents live in poverty," said Dr. Ir. Alex. SW Retraubun, MSc, Vice Minister of Industry and also speaking as a member of the Steering Committee of the Regional Dicussion, during an interview after a talkshow session.

    In one talkshow with the theme “Alternative Livelihoods for Communities on Small Islands”, the Director General for Marine, Coastal Regions and Small Islands (KP3K), Sudirman Saad, stated that over 7.8 million people living in 10,639 coastal villages, or 23% of Indonesia's total poor population, are living on US$1 a day. This is just one more form of vulnerability experienced by communities on small islands.

    "In addition to problems of poverty, small islands and coastal areas also synonymous with the great damage to natural resources, dependant village organizations, poor rural infrastructure, and poor environmental health in inhabited areas. So this exacerbates their vulnerability," added Sudirman.

    He gave an example that because needs are so pressing for people who live in these environments, destruction of mangrove forests and coral reef caused by

    “Kejadian bencana gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004 misalnya, kita baru disadarkan betapa berartinya mangrove bagi keselamatan masyarakat kita yang hidup di pulau-pulau dan pesisir ketika harus menghadapi gelombang besar. Masyarakat yang tinggal dengan mangrove yang masih bagus, korbannya tidak banyak jika dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mempunyai mangrove. Tapi ini hanya salah satu contoh, tentang kondisi yang terjadi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia,”tandas Sudirman.

    Berdasarakan fakta tersebut, Sudirman selaku Dirjen KP3K mengaku telah berupaya menginisiasi suatu program inovatif dalam mengurangi kerentanannya yaitu Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT). PDPT diharapkan bisa menata dan meningkatkan kehidupan desa pesisir/nelayan berbasis masyarakat.

    D a l a m d a t a D K P d i s e b u t k a n , sasarannya adalah 6.639 Desa pesisir, 16 cluster desa dengan kriteria mempunyai potensi lokal unggul, mempunyai kondisi lingkungan permukiman kumuh, terjadi degradasi l ingkungan permukiman kumuh, rawan bencana dan perubahan iklim. PDPT akan lebih mefokuskan diri pada coastal village community dimana partisipasi komunitas desa pesisirlah yang akan menentukan keberhasilan dan keberlanjutan program ini.

    Bisa jadi DKP telah melakukan sesuatu untuk kesejahteraan dan kedaulatan bagi pulau-pulau kecil untuk Indonesia, namun masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil, meski tidak banyak, jauh sebelumnya sudah melakukan berbagai upaya dalam mempertahankan hidupnya yang lebih baik. Termasuk mencari alternatif ekonomi lebih dari satu. Menurut Program Director Locally Managed Marine Area (LMMA) Indonesia Cliff Marlessy, seperti yang dilansir Koran Kompas (18/10/2011), disebutkan, dalam menghadapi dampak perubahan iklim, masyarakat pulau kecil yang terisolasi dengan pulau besar akan berbahaya jika hanya mengandalkan satu sumber ekonomi. Sebab, ketika satu sumber itu gagal, tidak ada lagi yang bisa mereka harapkan, sementara daerah mereka terisolasi. Pemerintah seharusnya bisa mendorong upaya ini lebih baik lagi.

    Karena sebagai masyarakat yang tinggal di kepulauan saat ini, sangat sulit hanya mengandalkan penghidupan dengan mencari ikan di laut. Ketika musim air gelombang pasang dan badai datang, ini akan menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan dan ekonomi masyarakat tersebut. Cliff juga memberikan contoh yang telah ditunjukkan masyarakat Pulau Tanimbar Kei, di Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, dapat hidup mandiri secara ekonomi, dan mereka juga

    humans to fulfill these needs then lead to worse natural conditions. But he also admitted, mismanagement and appropriate policies are also a major cause of ecological damage to small islands and coastal areas in Indonesia.

    "The earthquake and tsunami in Aceh in 2004 showed us how mangroves contribute to public safety for those who live on islands and coastal areas facing big waves. People living with mangroves were safer, the victims were fewer when compared with communities without mangroves. But this is just one example of conditions in coastal areas and small islands in Indonesia,” Sudirman said.

    Based on these facts, as the Director General of KP3K, Sudirman initiated an innovative program to reduce the vulnerability called S t r o n g C o a s t a l V i l l a g e Development (PDPT). PDPT will hopefully regulate and improve the lives of the coastal village fishermen with a community-based approach. In the DKP data mentioned, the target is 6,639 coastal villages and 16 village clusters that meet the criteria of having local potential, slum-like environmental conditions, environmental degradation, and prone to disasters and climate change. PDPT will be more focused on coastal village communities where the participation of village communities will determine the success and sustainability of this program.

    It could be that DKP has done something for the welfare and sovereignty for small islands to Indonesia, but the people who live on small islands, though few, have been trying to creative a better life for a long time, including by finding economic alternatives. According to

    the Program Director of Locally Managed Marine Areas (LMMA) Indonesia, Cliff Marlessy, as quoted by Kompas newspaper (18/10/2011), in the face of climate change impacts, small isolated island communities far from large islands will be in danger if there is only one economic source. Because, when one source fails, it becomes a hopeless case in these isolated areas. Governments should encourage these efforts more.

    For people who live on the islands at this time, it is very

    Small Islands are the Strength of the Nation PULAU-PULAU KECIL ADALAH KEDAULATAN BANGSA

    Oktober - November 2011News Volume V - edisi 71 Oktober - November 2011News Volume V - edisi 71

    ADAPTASI TERHADAP

    PERUBAHAN IKLIM

    UNTUK PULAU-PULAU

    KECIL DI KAWASAN

    TIMUR INDONESIA

    Lombok, 17-18 Oktobe

    r 2011

    Diskusi Regional Forum

    KTI

    ADAPTASI TERHADAP

    PERUBAHAN IKLIM

    UNTUK PULAU-PULAU

    KECIL DI KAWASAN

    TIMUR INDONESIA

    ALEX S.W. RETRAUBUN ,Steering Committee Diskusi Regional FKTI

  • 5 6

    mempunyai ketahanan pangan yang baik, karena mereka mempunyai tujuh sumber ekonomi, yakni ikan, kopra, tripang, sirip hiu, sejenis kerang-kerangan, yakni lola dan abalone, serta rumput laut.

    Data BaKTI menyebutkan, sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau lebih dari 17.500 buah dan garis pantai sepanjang 81.000 km, Indonesia memang merupakan salah satu negara di dunia yang akan mengalami dampak serius dari perubahan iklim global ini. Berdasarkan catatan stasiun pasang surut di KTI khususnya Kupang, Biak dan Sorong maka elevasiparas muka air laut di kawasan tersebut meningkat sejak tahun 1990 hingga kini. Dalam periode 2005-2007, Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil (Kementerian Kelautan dan Perikanan). Dari jumlah pulau tersebut 3 pulau di Papua dan satu pulau di Sulawesi Selatan. Dengan peningkatan 8-30 cm permukaan laut, diprediksikan Indonesia akan kehilangan 2000 pulau kecil pada tahun 2030.

    Sementara Alex juga mengatakan bahwa memberikan nama atas pulau-pulau kecil terluar di Indonesia juga sangat penting. Karena dengan demikian konsukuensinya pemerintah bisa tahu, bahwa Indonesia juga termasuki pulau-pulau kecil yang berpenghuni dan tidak berpenghuni itu adalah status kedaulatan negara. Kini ada 92 pulau telah diberi tanda kedaulatan dengan simbol Patung Soekarno Hatta melalui ekspedisi Garis Depan Nusantara.

    difficult to simply rely on a living made by fishing in the sea. When the seasonal tides and storms come, they have an adverse effect on the life and economy of the community. Pak Cliff also provided examples from Tanimbar Kei Island, in the subdistrict of Kei Kecil Barat, Maluku Tenggara, where communities are economically independent and have good food security, because they have seven economic resources, namely fish, copra, sea cucumbers, shark fin, a shellfish (trochus and abalone), and seaweed.

    BaKTI's data mentions that as an archipelago of islands with more than 17,500 pieces and 81,000 km coastline, Indonesia is really one of the countries in the world that will experience the serious impacts of global climate change. Based on the record of tidal stations in eastern Indonesia, particularly Kupang, Biak and Sorong, the sea level in the region has risen from 1990 to present. In the period 2005-2007, Indonesia lost 24 small islands (Ministry of Maritime Affairs and Fisheries). Of these, three islands were in Papua and one in South Sulawesi. With an increase of 80-30 cm in sea level, it's predicted Indonesia will lose 2000 small islands by 2030.

    Pak Alex also said that giving names to the outermost small islands in Indonesia is also very important. Because the government will then know that Indonesia's sovereignty includes small islands both inhabited and uninhabited. Currently there are 92 islands have been marked with the symbol of the sovereignty, a statue of Soekarno Hatta, as a result of the Archipelago Frontier expedition.

    Those who struggle alone to adapt to climate change

    MEREKA YANG BERJUANG SENDIRI UNTUK ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

    Saya tidak menyangka, ternyata alang-alang liar yang sering saya lihat di Maluku bahkan di samping halaman rumah saya adalah sorgum “yang bisa dikonsumsi, dan gizinya bernilai tinggi. Ini sesuatu yang

    baru dan berarti buat daerah saya,” ujar Dr. Hesina Johana Huliselan, salah satu peserta Diskusi Regional FKTI (Forum KawasanTimur Indonesia) dengan tema, “Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim untuk Pulau-Pulau Kecil di (KTI) KawasanTimur Indonesia, yang berlangsung pada 17-18 Oktober, di Senggigi, Lombok Barat, NTB (Nusa Tenggara Barat).

    Hesina adalah satu dari 144 peserta di wilayah 12 provinsi timur Indonesia yang mengikuti kegiatan tersebut. Dia merupakan peserta dari kalangan akademisi, anggota Pokja Forum KTI, dan pemerintah daerah (mantan Sekda Ambon), yang mengikuti sesi diskusi paralel di acara tersebut. Dalam diskusi, beberapa tema yang mengedepankan upaya adaptasi perubahan iklim oleh masyarakat digulirkan. Salah satu sesi diskusi yang diikuti Hesina tentang, “Sorgum bergizi, sorgum berduit,” yang dilakukan oleh Maria Loretha, 42, petani asal NTT. Hadirnya Tata, demikian sapaan akrab Maria Loretha, dalam ruang tersebut cukup memberikan inspirasi bagi sejumlah peserta lainnya yang mempunyai kondisi alam di wilayahnya kurang lebih sama dengan di NTT. Termasuk Maluku, dimana Hesina tinggal.

    “Saya pikir ini akan bagus jika dikembangkan lebih baik lagi di Maluku. Karena dalam penjelasan ibu Maria tadi, tanaman ini cukup tahan terhadap perubahan iklim. Bagus untuk memikirkan ketahanan pangan kita berikutnya,” jelas Hesina.

    Ini hanyalah salah satu respon positif yang mencuat dalam rangkaian diskusi paralel yang disebut oleh Erna Witoelar, Anggota Dewan Penasihat BaKti, selaku tuan rumah penyelenggara acara ini, sebagai development market place (bursa pembangunan). Dalam konferensi Pers yang dilakukan menjelang acara tersebut, Erna menjelaskan arti diadakannya bursa pembangunan sebagai wadah mempertemukan para pihak, yaitu masyarakat, akademisi, pemerintah terkait, LSM dan praktisi isu perubahan iklim. Sehingga dari forum ini memunculkan sisi penawaran dan sisi permintaan dari berbagai bidang terkait adaptasi di pulau-pulau kecil dan pesisir.

    “Memang kegiatan yang berlangsung dua hari ini tidak langsung menjawab persoalan yang begitu kompleks, tapi dengan berdiskusi, bertemu, mudah-mudahan bisa menghasilkan keputusan dan kerjasama yang konkret di antara mereka pada berikutnya,” jelas Erna.

    "I had no idea that the wild grass that I often see in Maluku, even next to my backyard, is sorghum, which can be consumed and has high nutritional value. This is something new and meaningful for my area," said Dr. Johana Hesina Huliselan, one participant the Eastern Indonesia Forum Regional Discussion with the theme "Small Islands in Eastern Indonesia and Adaptation to Climate Change”, which took place on 17-18 October 2011, in Senggigi, Lombok, NTB (West Nusa Tenggara).

    Hesina is one of 144 participants from the 12 provinces in eastern Indonesia who attended the event. She attended many of the parallel discussion sessions at the event representing academics, Working Group of the Eastern Indonesia Forum, and regional government (former Secretary of Ambon City). In the discussion, several themes that promote climate change adaptation efforts by community kept coming up. One of the discussion sessions that Ibu Hesina attended focused on "nutrition-rich and cash-rich sorghum” and featured Maria Loretha, 42, a farmer from NTT. The presence of Tata, Maria’s nickname, was enough to inspire a number of other participants with similar natural conditions in their area, including Maluku, where Hesina live.

    "I think it would be great if it developed better in Maluku. As Maria explained, this plant is fairly resistant to climate change. Good to think about food security," explained Hesina.

    This was just one positive response that stood out from the discussion sessions christened by Erna Witoelar, a BaKTI Board of Trustees Member (organizer of this event) as a development market place. In a press conference ahead of the event, Ibu Erna explained the meaning of development as a vehicle to bring together the various parties (the public, academia, government agencies, NGOs) active in climate change issues. This forum was held to bring together the supply and demand sides of climate change adaptation in small islands and coastal areas.

    ADAPTASI TERHADAP

    PERUBAHAN IKLIM

    UNTUK PULAU-PULAU

    KECIL DI KAWASAN

    TIMUR INDONESIA

    Lombok, 17-18 Oktobe

    r 2011

    Diskusi Regional Forum

    KTI

    Oktober - November 2011News Volume V - edisi 71 Oktober - November 2011News Volume V - edisi 71

    1. Perencanaan pembangunan yang lebih komprehensif, terpadu dan berkelanjutan, dengan tidak melupakan kearifan lokal. Kebijakan yang diimplementasikan hendaknya berpihak kepada masyarakat pesisir serta memastikan adanya sinergi antara program dan anggaran pemerintah, lembaga mitra internasional serta masyarakat.

    2. Mendorong pulau‐pulau yang berdekatan untuk bekerja sama dan saling menguatkan, dengan mengandalkan produk dan kelebihan

    komparatif yang dimiliki oleh masing‐masing pulau. Kerjasama ini merupakan permulaan dari gerakan kemandirian pulau yang

    diharapkan mendorong pulau‐pulau lain untuk melakukan hal serupa.

    3. Kerawanan pangan hendaknya dilihat tidak hanya dengan menekankan pada beras sebagai satusatunya komoditi pangan, tapi

    mendorong konsumsi komoditi‐komoditi pangan lain yang sesuai dengan budaya, sejarah dan kondisi alam setempat.

    4. Mendorong promosi dan replikasi 12 inisiatif cerdas yang diangkat lewat Diskusi Regional ini, yang merupakan tawaran solusi untuk tantangan di bidang penyediaan air bersih, penyediaan listrik,

    ketahanan pangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil serta pendidikan lingkungan hidup, ke berbagai wilayah Kawasan Timur Indonesia dan tingkat nasional.

    5. Mendukung rencana strategi nasional untuk pembangunan di

    kawasan daerah tertinggal, pesisir, dan pulau‐pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal RI, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dan Dewan Nasional

    Perubahan Iklim, melalui upaya‐upaya adaptasi yang diangkat dalam Diskusi Regional ini.

    Tawaran dan solusi untuk tantangan pembangunan yang terkait dengan adaptasi, yaitu :Solutions for development challenges associated with adaptation:

    1. More comprehensive, integrated and sustainable development planning, without forgetting local wisdom. Policies that are implemented should be pro- coastal communities and ensure synergy between programs and budgets, international partner institutions and the community.

    2. Encourage adjacent islands to work together and reinforce each other, relying on the product and comparative advantages of each island. This collaboration should be the beginning of the self-sufficiency movement which can encourage other islands to do the same.

    3. Food insecurity should not be with an emphasis on rice as the only food commodity, but encourage the consumption of other food commodities in accordance with culture, history and local natural conditions.

    4. Encourage the promotion and replication of the 12 smart practices presented during the Regional Discussion, which constitute solutions to challenges in the field of water supply, electricity supply, food security and coastal zone management of small islands, as well as environmental education, to various areas of eastern Indonesia and at a national level.

    5. Support national strategic plans for development in the lagging regions and coastal and small islands in eastern Indonesia by the Government of Indonesia, especially the Ministry of Disadvantaged Areas, Ministry of Maritime Affairs and Fisheries and the National Council on Climate Change, through the adaptation efforts raised.

    ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK PULAU-PULAU KECIL DI KAWASAN TIMUR INDONESIA Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat, Bapak BadrulMunir membuka dengan resmi acara Konferensi Regional Forum KTI (kiri). Para peserta dari berbagai pelaku pembangunan di KTI dan perwakilan lembaga donor hadir dalampertemuan ini (kanan), dan sambutan dari bapak Sudirman Saad

  • 5 6

    mempunyai ketahanan pangan yang baik, karena mereka mempunyai tujuh sumber ekonomi, yakni ikan, kopra, tripang, sirip hiu, sejenis kerang-kerangan, yakni lola dan abalone, serta rumput laut.

    Data BaKTI menyebutkan, sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau lebih dari 17.500 buah dan garis pantai sepanjang 81.000 km, Indonesia memang merupakan salah satu negara di dunia yang akan mengalami dampak serius dari perubahan iklim global ini. Berdasarkan catatan stasiun pasang surut di KTI khususnya Kupang, Biak dan Sorong maka elevasiparas muka air laut di kawasan tersebut meningkat sejak tahun 1990 hingga kini. Dalam periode 2005-2007, Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil (Kementerian Kelautan dan Perikanan). Dari jumlah pulau tersebut 3 pulau di Papua dan satu pulau di Sulawesi Selatan. Dengan peningkatan 8-30 cm permukaan laut, diprediksikan Indonesia akan kehilangan 2000 pulau kecil pada tahun 2030.

    Sementara Alex juga mengatakan bahwa memberikan nama atas pulau-pulau kecil terluar di Indonesia juga sangat penting. Karena dengan demikian konsukuensinya pemerintah bisa tahu, bahwa Indonesia juga termasuki pulau-pulau kecil yang berpenghuni dan tidak berpenghuni itu adalah status kedaulatan negara. Kini ada 92 pulau telah diberi tanda kedaulatan dengan simbol Patung Soekarno Hatta melalui ekspedisi Garis Depan Nusantara.

    difficult to simply rely on a living made by fishing in the sea. When the seasonal tides and storms come, they have an adverse effect on the life and economy of the community. Pak Cliff also provided examples from Tanimbar Kei Island, in the subdistrict of Kei Kecil Barat, Maluku Tenggara, where communities are economically independent and have good food security, because they have seven economic resources, namely fish, copra, sea cucumbers, shark fin, a shellfish (trochus and abalone), and seaweed.

    BaKTI's data mentions that as an archipelago of islands with more than 17,500 pieces and 81,000 km coastline, Indonesia is really one of the countries in the world that will experience the serious impacts of global climate change. Based on the record of tidal stations in eastern Indonesia, particularly Kupang, Biak and Sorong, the sea level in the region has risen from 1990 to present. In the period 2005-2007, Indonesia lost 24 small islands (Ministry of Maritime Affairs and Fisheries). Of these, three islands were in Papua and one in South Sulawesi. With an increase of 80-30 cm in sea level, it's predicted Indonesia will lose 2000 small islands by 2030.

    Pak Alex also said that giving names to the outermost small islands in Indonesia is also very important. Because the government will then know that Indonesia's sovereignty includes small islands both inhabited and uninhabited. Currently there are 92 islands have been marked with the symbol of the sovereignty, a statue of Soekarno Hatta, as a result of the Archipelago Frontier expedition.

    Those who struggle alone to adapt to climate change

    MEREKA YANG BERJUANG SENDIRI UNTUK ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

    Saya tidak menyangka, ternyata alang-alang liar yang sering saya lihat di Maluku bahkan di samping halaman rumah saya adalah sorgum “yang bisa dikonsumsi, dan gizinya bernilai tinggi. Ini sesuatu yang

    baru dan berarti buat daerah saya,” ujar Dr. Hesina Johana Huliselan, salah satu peserta Diskusi Regional FKTI (Forum KawasanTimur Indonesia) dengan tema, “Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim untuk Pulau-Pulau Kecil di (KTI) KawasanTimur Indonesia, yang berlangsung pada 17-18 Oktober, di Senggigi, Lombok Barat, NTB (Nusa Tenggara Barat).

    Hesina adalah satu dari 144 peserta di wilayah 12 provinsi timur Indonesia yang mengikuti kegiatan tersebut. Dia merupakan peserta dari kalangan akademisi, anggota Pokja Forum KTI, dan pemerintah daerah (mantan Sekda Ambon), yang mengikuti sesi diskusi paralel di acara tersebut. Dalam diskusi, beberapa tema yang mengedepankan upaya adaptasi perubahan iklim oleh masyarakat digulirkan. Salah satu sesi diskusi yang diikuti Hesina tentang, “Sorgum bergizi, sorgum berduit,” yang dilakukan oleh Maria Loretha, 42, petani asal NTT. Hadirnya Tata, demikian sapaan akrab Maria Loretha, dalam ruang tersebut cukup memberikan inspirasi bagi sejumlah peserta lainnya yang mempunyai kondisi alam di wilayahnya kurang lebih sama dengan di NTT. Termasuk Maluku, dimana Hesina tinggal.

    “Saya pikir ini akan bagus jika dikembangkan lebih baik lagi di Maluku. Karena dalam penjelasan ibu Maria tadi, tanaman ini cukup tahan terhadap perubahan iklim. Bagus untuk memikirkan ketahanan pangan kita berikutnya,” jelas Hesina.

    Ini hanyalah salah satu respon positif yang mencuat dalam rangkaian diskusi paralel yang disebut oleh Erna Witoelar, Anggota Dewan Penasihat BaKti, selaku tuan rumah penyelenggara acara ini, sebagai development market place (bursa pembangunan). Dalam konferensi Pers yang dilakukan menjelang acara tersebut, Erna menjelaskan arti diadakannya bursa pembangunan sebagai wadah mempertemukan para pihak, yaitu masyarakat, akademisi, pemerintah terkait, LSM dan praktisi isu perubahan iklim. Sehingga dari forum ini memunculkan sisi penawaran dan sisi permintaan dari berbagai bidang terkait adaptasi di pulau-pulau kecil dan pesisir.

    “Memang kegiatan yang berlangsung dua hari ini tidak langsung menjawab persoalan yang begitu kompleks, tapi dengan berdiskusi, bertemu, mudah-mudahan bisa menghasilkan keputusan dan kerjasama yang konkret di antara mereka pada berikutnya,” jelas Erna.

    "I had no idea that the wild grass that I often see in Maluku, even next to my backyard, is sorghum, which can be consumed and has high nutritional value. This is something new and meaningful for my area," said Dr. Johana Hesina Huliselan, one participant the Eastern Indonesia Forum Regional Discussion with the theme "Small Islands in Eastern Indonesia and Adaptation to Climate Change”, which took place on 17-18 October 2011, in Senggigi, Lombok, NTB (West Nusa Tenggara).

    Hesina is one of 144 participants from the 12 provinces in eastern Indonesia who attended the event. She attended many of the parallel discussion sessions at the event representing academics, Working Group of the Eastern Indonesia Forum, and regional government (former Secretary of Ambon City). In the discussion, several themes that promote climate change adaptation efforts by community kept coming up. One of the discussion sessions that Ibu Hesina attended focused on "nutrition-rich and cash-rich sorghum” and featured Maria Loretha, 42, a farmer from NTT. The presence of Tata, Maria’s nickname, was enough to inspire a number of other participants with similar natural conditions in their area, including Maluku, where Hesina live.

    "I think it would be great if it developed better in Maluku. As Maria explained, this plant is fairly resistant to climate change. Good to think about food security," explained Hesina.

    This was just one positive response that stood out from the discussion sessions christened by Erna Witoelar, a BaKTI Board of Trustees Member (organizer of this event) as a development market place. In a press conference ahead of the event, Ibu Erna explained the meaning of development as a vehicle to bring together the various parties (the public, academia, government agencies, NGOs) active in climate change issues. This forum was held to bring together the supply and demand sides of climate change adaptation in small islands and coastal areas.

    ADAPTASI TERHADAP

    PERUBAHAN IKLIM

    UNTUK PULAU-PULAU

    KECIL DI KAWASAN

    TIMUR INDONESIA

    Lombok, 17-18 Oktobe

    r 2011

    Diskusi Regional Forum

    KTI

    Oktober - November 2011News Volume V - edisi 71 Oktober - November 2011News Volume V - edisi 71

    1. Perencanaan pembangunan yang lebih komprehensif, terpadu dan berkelanjutan, dengan tidak melupakan kearifan lokal. Kebijakan yang diimplementasikan hendaknya berpihak kepada masyarakat pesisir serta memastikan adanya sinergi antara program dan anggaran pemerintah, lembaga mitra internasional serta masyarakat.

    2. Mendorong pulau‐pulau yang berdekatan untuk bekerja sama dan saling menguatkan, dengan mengandalkan produk dan kelebihan

    komparatif yang dimiliki oleh masing‐masing pulau. Kerjasama ini merupakan permulaan dari gerakan kemandirian pulau yang

    diharapkan mendorong pulau‐pulau lain untuk melakukan hal serupa.

    3. Kerawanan pangan hendaknya dilihat tidak hanya dengan menekankan pada beras sebagai satusatunya komoditi pangan, tapi

    mendorong konsumsi komoditi‐komoditi pangan lain yang sesuai dengan budaya, sejarah dan kondisi alam setempat.

    4. Mendorong promosi dan replikasi 12 inisiatif cerdas yang diangkat lewat Diskusi Regional ini, yang merupakan tawaran solusi untuk tantangan di bidang penyediaan air bersih, penyediaan listrik,

    ketahanan pangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil serta pendidikan lingkungan hidup, ke berbagai wilayah Kawasan Timur Indonesia dan tingkat nasional.

    5. Mendukung rencana strategi nasional untuk pembangunan di

    kawasan daerah tertinggal, pesisir, dan pulau‐pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal RI, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dan Dewan Nasional

    Perubahan Iklim, melalui upaya‐upaya adaptasi yang diangkat dalam Diskusi Regional ini.

    Tawaran dan solusi untuk tantangan pembangunan yang terkait dengan adaptasi, yaitu :Solutions for development challenges associated with adaptation:

    1. More comprehensive, integrated and sustainable development planning, without forgetting local wisdom. Policies that are implemented should be pro- coastal communities and ensure synergy between programs and budgets, international partner institutions and the community.

    2. Encourage adjacent islands to work together and reinforce each other, relying on the product and comparative advantages of each island. This collaboration should be the beginning of the self-sufficiency movement which can encourage other islands to do the same.

    3. Food insecurity should not be with an emphasis on rice as the only food commodity, but encourage the consumption of other food commodities in accordance with culture, history and local natural conditions.

    4. Encourage the promotion and replication of the 12 smart practices presented during the Regional Discussion, which constitute solutions to challenges in the field of water supply, electricity supply, food security and coastal zone management of small islands, as well as environmental education, to various areas of eastern Indonesia and at a national level.

    5. Support national strategic plans for development in the lagging regions and coastal and small islands in eastern Indonesia by the Government of Indonesia, especially the Ministry of Disadvantaged Areas, Ministry of Maritime Affairs and Fisheries and the National Council on Climate Change, through the adaptation efforts raised.

    ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK PULAU-PULAU KECIL DI KAWASAN TIMUR INDONESIA Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat, Bapak BadrulMunir membuka dengan resmi acara Konferensi Regional Forum KTI (kiri). Para peserta dari berbagai pelaku pembangunan di KTI dan perwakilan lembaga donor hadir dalampertemuan ini (kanan), dan sambutan dari bapak Sudirman Saad

  • Senada juga diungkapkan Ketua Dewan Pembina Yayasan BaKTI, Willy Toisuta. Diskusi regional ini tidak hanya memperlihatkan duduk soal dampak perubahan iklim yang dihadapi masyarakat pulau-pulau kecil, tetapi juga untuk membahas mata pencaharian alternatif sebagai bentuk adaptasi masyarakat pulau-pulau kecil terhadap perubahan iklim. Mendengarkan pengalaman masyarakat yang terkena dampak menjadi lebih penting dan diharapkan bias mudah dipahami.

    “Dari sini, kami berharap pemerintah dan lembaga terkait yang peduli terhadap dampak perubahan iklim masyarakat pulau-pulau kecil dan pesisir bisa mencari dan menyusun strategi nasional dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan ketahanan pangan, serta percepatan pembangunan di pulau-pulau kecil,” jelas Willy.

    Lebih dari itu, semua pihak bisa melihat dengan jelas duduk persoalan perubahan iklim secara umum terutama dampaknya bagi kehidupan masyarakat, dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang dilakukan masyarakat di pulau-pulau kecil.

    “Masyarakat kita yang berada di pulau-pulau kecil atau pesisir adalah objek yang dekat dengan perubahan iklim. Mereka perlu sentuhan informasi, pengetahuan dan pemahaman terhadap perubahan iklim yang ada. Sebagian dari mereka telah mempunyai upaya sendiri dalam mengatasinya dengan kearifan lokal yang dimiliki, namun itu pun belum cukup, jika tidak ada pengetahuan dan akses informasi yang memadai dalam mendukung kegiatan mereka. Diskusi regional ini jelas strategis bagi peserta untuk bisa saling berkomunikasi dan merespon,”tambah Erna yang juga dikenal sebagai aktivis lingkungan ini.

    Kegiatan diskusi regional FKTI ini sudah kali keduanya, dihadiri unsur pemerintah, aktivisi LSM, akademisi, dan mitra donor pembangunan. Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan BaKTI dengan dukungan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pengembangan Daerah Tertinggal, Dewan Nasional Perubahan Iklim, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, KOMPAS, dan beberapa mitra pembangunan internasional.

    "Of course these two days of activities will not be able to directly answer the many complex questions question, but by discussing and meeting, hopefully we can produce come concrete decisions and cooperation for the future," said Ibu Erna.

    The Chairman of the BaKTI Board of Trustees, Willy Toisuta, expressed a similar sentiment. This regional discussion not only showed how climate change impacts are affecting small island communities, but also how alternative livelihoods is a form of adaptation within communities on small islands to. Listening to the experience of peoples affected is very important.

    "From here, we hope the government and related agencies who care about the impacts of climate change on small island and coastal area communities can seek and develop a national strategy to face the challenges of climate change and food security, and achieve acceleration of development in small islands," explained Pak Willy .

    Moreover, all parties can clearly see the positioning of climate change issues in general, especially the impact on people's lives, and adaptation to climate change impacts already being practiced by the communities on small islands.

    "Our communities located on small islands or the coast are the objects closest to climate change. They need information, knowledge and understanding of climate change. Some of them have their own efforts to deal with it using local wisdom, but it’s not enough if they have no knowledge of and access to sufficient information to support their activities. This regional discussion is clearly strategic for participants to communicate and respond to each other," added Ibu Erna, who is also well known as a environmental activist.

    The Eastern Indonesia Forum Regional Discussion has been held twice and this time was attended by representatives of the government, NGO activists, academics, donors and development partners. The event was organized by BaKTI with support from the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, Ministry of Disadvantaged Areas, the National Council on Climate Change, Government of West Nusa Tenggara Province, KOMPAS as media partner, and several international development partners.

    ontoh budi daya sorgum yang dilakukan Tata seperti menyentak sebagian peserta tentang arti makanan lokal Cbagi ketahanan pangan di suatu wilayah. Kehadiran Tata

    juga menjelaskan tentang sesuatu yang telah lama ditinggalkan dalam budaya bertani di wilayah NTT, yang kini dikenal sebagai provinsi yang mempunyai tingkat kerawanan pangan tinggi tersebut. Dalam sebuah wawancara di sela rehat acara diskusi, Tata menjelaskan, betapa sulitnya dia mendapatkan bibit sorgum (Sorghum spp). Sorgum adalah sejenis gandum atau padi-padian, yang sesungguhnya tanaman lokal di NTT. Dulunya tanaman ini sangat mudah ditemukan di ladang-ladang petani, namun kini sorgum telah menjadi tanaman langka dan jarang dikonsumsi lagi oleh masyarakat NTT. Bahkan, Maria perlu “berjuang” lama dalam mendapatkan jenis bibit sorgum sebelum membudidayakannya dengan tekun di areal miliknya seluas 6 Ha, di desa terpencil Pajinian-Adonara Barat, Flores Timur.

    “Perkenalan saya terhadap sorgum itu di tahun 2007, saat tetangga saya mengantarkan bolu kukus sorgum. Rasanya enak dan gurih. Saya bertanyalah, kuenya dibuat dari apa, ketika dijelaskan kue itu berasal dari sorgum, saya tidak mengetahuinya dengan baik. Saya pun, meminta tetangga saya memberikan bibitnya untuk saya tanam. Tapi itu sangat sedikit, tidak cukup untuk kebutuhan konsumsi keluarga saya. Saya pun mulai mencarinya di tetangga-tetangga saya. Sejak itu saya tahu, ternyata dulu di NTT para petani suka menanaman dan mengkonsumsinya. Banyak warga NTT mengkonsumsi sorgum. Tapi itu dulu. Cerita ini saya dapat dari para orang tua tetangga saya. Nyatanya, hingga kini saya sulit mendapatkan bibit sorgum. Saya baru mendapatkan enam jenis bibit sorgum yang kini tengah saya budidayakan,” jelas Sarjana Hukum, Universitas Merdeka Malang ini.

    Hingga kini, Tata tidak bisa memahami, kenapa tanaman yang justru cocok ditanam di NTT tidak dikembangkan dan dibudidayakan dengan baik oleh pemerintah setempat. Padahal sudah sangat jelas, tanaman ini sangat cocok di tanam di lahan kering seperti halnya NTT. Dia menilai masyarakat dan pemerintah, bahkan selalu menyamakan panganan wajib itu sama dengan beras. Padahal makanan pokok, yang selama ini dikonsumsi orang Timor-Flores adalah ubi, keladi, jagung lokal, pisang dan sorgum.

    “Sayangnya kebijakan pertanian yang sering diambil adalah berasinasi, dan jagung hibrida yang tidak awet disimpan masyarakat. Jadi kini saya bisa memahami kenapa sorgum kini sulit sekali didapat, saya tidak tahu bagaimana cara berpikir pemerintah,” jelas Tata, lagi.

    Kondisi yang digambarkan Tata adalah kenyataan yang kini dihadapi para petani di sejumlah wilayah Indonesia. Terutama para petani di daerah kering, pesisir dan kepulauan kecil seperti di wilayah Timor-Flores dimana Tata tinggal. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seringkali tidak bisa menangkap apa yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat. Bantuan pertanian yang diberikan, misalnya, lebih mengedepankan nilai proyek dibandingkan membangun kesinambungan ketahanan pangan masyarakat setempat. Masalah ini pula mendapatkan sorotan tajam dari Illyas Dg. Laja, dari Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia.

    “Kebijakan pemerintah di pertanian memaksakan petani untuk menanam komoditi ekspor yang karaktek tanamannya tidak sesuai dengan budaya, geografis dan iklim di suatu wilayah. Kadang hal itu justru merusak lingkungan dan mematikan karaktek petani setempat,” jelas Illyas dalam salah satu acara talk show bertema, “Ketahanan Pangan dan Perubahan Iklim,” yang juga menjadi salah satu menu dalam rangkaian kegiatan tersebut.

    Keluhan ini, kemudian dijawab oleh DR Ir Haryono MSc, Kepala Litbang Departemen Pertania RI, selaku pembicara dalam talk show tersebut bahwa pemerintah pusat tidak mempunyai wewenang dalam memcampuri kebijakan Pemda. Pusat hanya lebih mefokuskan pada kebijakan swasembada beras sebagai tanaman yang dipercaya menghasilkan makanan pokok bangsa ini, sementara pada tanaman spesifik seperti halnya jagung dan lainnya, termasuk sorgum, pengaturannya menjadi wewenang pemerintah daerah.

    Kendati jelas soal ketahanan pangan di sebagian besar wilayah Indonesia termasuk NTT, misalnya lebih disebabkan tidak tepatnya kebijakan pertanian yang dikeluarkan, seringkali perubahan iklim menjadi kambing hitam favorit untuk dipersalahkan atas terjadinya duduk persoalan kerawanan pangan di suatu wilayah, seperti yang dialami NTT. Nixon Balukh Sp, MSi, selaku Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTT, yang juga menjadi pembicara dalam talk show tema yang sama menjelaskan, di provinsinya kini tengah mengalami gagal tanam dan panen, yang memang lebih banyak disebabkan adanya perubahan iklim.

    Sebagai catatan saja, Provinsi NTT kini dikategorikan sebagai provinsi rawan pangan yang parah. Dalam berita BBC Indonesia yang dilansir baru-baru ini menyebutkan dalam satu atau dua bulan ke depan 10.000 di sembilan kabupaten provinsi ini akan mengalami kerawanan pangan yang parah. Hal ini disebabkan para petani mengalami gagal tanam dan panen karena musim

    DARI SORGUM HINGGA AIR LAUT MENJADI TAWAR

    ADAPTASI TERHADAP

    PERUBAHAN IKLIM

    UNTUK PULAU-PULAU

    KECIL DI KAWASAN

    TIMUR INDONESIA

    Lombok, 17-18 Oktobe

    r 2011

    Diskusi Regional Forum

    KTI

    PANTAI SENGGIGI Acara Pembukaan Diskusi Regional Forum KTI dilaksanakan di tepi pantai Senggigi, Lombok.

    7 8 Oktober - November 2011News Volume V - edisi 71 Oktober - November 2011News Volume V - edisi 71

    KONFERENSI PERS Ibu Erna Witoelar (Anggota Dewan Penasihat Yayasan BaKTI), Bapak , Bapak Willi Toisuta (Ketua Dewan Penasihat Yayasan BaKTI) dan Ibu Caroline Tupamahu (Direktur Eksekutif Yayasan BaKTI) menjawab berbagai pertanyaan wartawan seputar pelaksanaan kegiatan dan isu-isu perubahan iklim di KTI.Pameran Adaptasi Perubahan Iklim ramai dikunjungi ini, menghadirkan 10 stand dari berbagai institusi yang memiliki program yang bersentuhan dengan adaptasi perubahan iklim.

    PENCARIAN ALTERNATIF PENGHIDUPAN BAGI MASYARAKAT DI PULAU-PULAU KECIL

    Pembicara:Dr. Sudirman Saad, Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP RICliff Marlessy, The Locally-Managed Marine Area (LMMA) Network Indonesia Bapak, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat

  • ontoh budi daya sorgum yang dilakukan Tata seperti menyentak sebagian peserta tentang arti makanan lokal Cbagi ketahanan pangan di suatu wilayah. Kehadiran Tata

    juga menjelaskan tentang sesuatu yang telah lama ditinggalkan dalam budaya bertani di wilayah NTT, yang kini dikenal sebagai provinsi yang mempunyai tingkat kerawanan pangan tinggi tersebut. Dalam sebuah wawancara di sela rehat acara diskusi, Tata menjelaskan, betapa sulitnya dia mendapatkan bibit sorgum (Sorghum spp). Sorgum adalah sejenis gandum atau padi-padian, yang sesungguhnya tanaman lokal di NTT. Dulunya tanaman ini sangat mudah ditemukan di ladang-ladang petani, namun kini sorgum telah menjadi tanaman langka dan jarang dikonsumsi lagi oleh masyarakat NTT. Bahkan, Maria perlu “berjuang” lama dalam mendapatkan jenis bibit sorgum sebelum membudidayakannya dengan tekun di areal miliknya seluas 6 hektar, di desa terpencil Pajinian-Adonara Barat, Flores Timur.

    “Perkenalan saya terhadap sorgum itu di tahun 2007, saat tetangga saya mengantarkan bolu kukus sorgum. Rasanya enak dan gurih. Saya bertanyalah, kuenya dibuat dari apa, ketika dijelaskan kue itu berasal dari sorgum, saya tidak mengetahuinya dengan baik. Saya pun, meminta tetangga saya memberikan bibitnya untuk saya tanam. Tapi itu sangat sedikit, tidak cukup untuk kebutuhan konsumsi keluarga saya. Saya pun mulai mencarinya di tetangga-tetangga saya. Sejak itu saya tahu, ternyata dulu di NTT para petani suka menanaman dan mengkonsumsinya. Banyak warga NTT mengkonsumsi sorgum. Tapi itu dulu. Cerita ini saya dapat dari para orang tua tetangga saya. Nyatanya, hingga kini saya sulit mendapatkan bibit sorgum. Saya baru mendapatkan enam jenis bibit sorgum yang kini tengah saya budidayakan,” jelas Sarjana Hukum, Universitas Merdeka Malang ini.

    Hingga kini, Tata tidak bisa memahami, kenapa tanaman yang justru cocok ditanam di NTT tidak dikembangkan dan dibudidayakan dengan baik oleh pemerintah setempat. Padahal sudah sangat jelas, tanaman ini sangat cocok di tanam di lahan kering seperti halnya NTT. Dia menilai masyarakat dan pemerintah, bahkan selalu menyamakan panganan wajib itu sama dengan beras. Padahal makanan pokok, yang selama ini dikonsumsi orang Timor-Flores adalah ubi, keladi, jagung lokal, pisang dan sorgum.

    “Sayangnya kebijakan pertanian yang sering diambil adalah berasinasi, dan jagung hibrida yang tidak awet disimpan masyarakat. Jadi kini saya bisa memahami kenapa sorgum kini sulit sekali didapat, saya tidak tahu bagaimana cara berpikir pemerintah,” jelas Tata, lagi.

    Kondisi yang digambarkan Tata adalah kenyataan yang kini dihadapi para petani di sejumlah wilayah Indonesia. Terutama para petani di daerah kering, pesisir dan kepulauan kecil seperti di wilayah Timor-Flores dimana Tata tinggal. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seringkali tidak bisa menangkap apa yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat. Bantuan pertanian yang diberikan, misalnya, lebih mengedepankan nilai proyek dibandingkan membangun kesinambungan ketahanan pangan masyarakat setempat. Masalah ini pula mendapatkan sorotan tajam dari Illyas Dg. Laja, dari Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia.

    “Kebijakan pemerintah di pertanian memaksakan petani untuk menanam komoditi ekspor yang karaktek tanamannya tidak sesuai dengan budaya, geografis dan iklim di suatu wilayah. Kadang hal itu justru merusak lingkungan dan mematikan karaktek petani setempat,” jelas Illyas dalam salah satu acara talk show bertema, “Ketahanan Pangan dan Perubahan Iklim,” yang juga menjadi salah satu menu dalam rangkaian kegiatan tersebut.

    Keluhan ini, kemudian dijawab oleh DR Ir Haryono MSc, Kepala Litbang Departemen Pertania RI, selaku pembicara dalam talk show tersebut bahwa pemerintah pusat tidak mempunyai wewenang dalam memcampuri kebijakan Pemda. Pusat hanya lebih mefokuskan pada kebijakan swasembada beras sebagai tanaman yang dipercaya menghasilkan makanan pokok bangsa ini, sementara pada tanaman spesifik seperti halnya jagung dan lainnya, termasuk sorgum, pengaturannya menjadi wewenang pemerintah daerah.

    Kendati jelas soal ketahanan pangan di sebagian besar wilayah Indonesia termasuk NTT, misalnya lebih disebabkan tidak tepatnya kebijakan pertanian yang dikeluarkan, seringkali perubahan iklim menjadi kambing hitam favorit untuk dipersalahkan atas terjadinya duduk persoalan kerawanan pangan di suatu wilayah, seperti yang dialami NTT. Nixon Balukh Sp, MSi, selaku Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTT, yang juga menjadi pembicara dalam talk show tema yang sama menjelaskan, di provinsinya kini tengah mengalami gagal tanam dan panen, yang memang lebih banyak disebabkan adanya perubahan iklim.

    Sebagai catatan saja, Provinsi NTT kini dikategorikan sebagai provinsi rawan pangan yang parah. Dalam berita BBC Indonesia yang dilansir baru-baru ini menyebutkan dalam satu atau dua bulan ke depan 10.000 di sembilan kabupaten provinsi ini akan mengalami kerawanan pangan yang parah. Hal ini disebabkan para petani mengalami gagal tanam dan panen karena musim

    DARI SORGUM HINGGA AIR LAUT MENJADI TAWAR

    ADAPTASI TERHADAP

    PERUBAHAN IKLIM

    UNTUK PULAU-PULAU

    KECIL DI KAWASAN

    TIMUR INDONESIA

    Lombok, 17-18 Oktobe

    r 2011

    Diskusi Regional Forum

    KTI

    PENCARIAN ALTERNATIF PENGHIDUPAN BAGI MASYARAKAT DI PULAU-PULAU KECIL

    Pembicara:Dr. Sudirman Saad, Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP RICliff Marlessy, The Locally-Managed Marine Area (LMMA) Network Indonesia H. Hamzah, BAPPEDA Provinsi Nusa Tenggara Barat

    8 Oktober - November 2011News Volume V - edisi 71

  • tidak menentu. Berita lainnya yang dilansir Viva news menyebutkan Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) membangun kantor bupati baru senilai Rp33 miliar ketika puluhan ribu warga yang menetap di 150 desa yang tersebar di 32 kecamatan dilaporkan terancam rawan pangan serius.

    Memperlihatkan keironian ini menjadi penting dalam melihat duduk persoalan perubahan iklim dan masyarakat kecil yang terkena dampaknya. Fenomena perubahan alam bernama perubahan iklim semakin memperparah akumulasi persoalan soal ketahanan pangan yang lebih banyak disebabkan salah urus dan tidak tepatnya kebijakan yang dikeluarkan.

    “Tanaman jagung hibrida yang sering disodorkan pemerintah kepada para petani, misalnya, justru tidak bisa disimpan dalam waktu lama untuk petani menghadapi musim paceklik, misalnya. Tidak seperti jagung-jagung lokal, bahkan sorgum. Tapi hingga kini, saya masih sulit mendapatkan bibit-bibit panganan lokal ini. Petugas PPL juga tidak aktif untuk melakukan pembinaan kepada petani terkait dengan tanaman lokal. Makanya, begitu saya mendapatkan beberapa bibit s o r g u m , s a y a m e ny i m p a n , m e n g e m b a n g k a n d a n membudidayakannya. Saya juga menawarkan tetangga dan petani lainnya di sekitar saya bibit-bibit sorgum yang saya miliki jika mereka berminat menanamnya,” tandas Tata.

    Contoh adaptasi perubahan iklim yang dilakukan Maria Loretha alias Tata, hanyalah satu dari sekian contoh yang telah dilakukan masyarakat pulau-pulau kecil dan pesisir dalam menghadapi perubahan iklim. Tidak semua petani di NTT bisa secerdas Tata yang berusaha mencari tahu sendiri kebutuhan yang diminatinya, dan juga tentu saja punya modal serta lahan yang baik. Sekarang ini Tata sibuk menularkan pengetahuannya dalam bertanam sorgum ke sejumlah petani yang berminat menanam. Dia bahkan dengan suka cita akan memberikan bibitnya secara gratis.

    Selain Tata, ada juga seorang guru muda, Murniati SPd, asal Langkese, yang mengajar di pulau kecil bernama Tanakeke, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Sulawesi

    Selatan. Kendati dia bukanlah orang asli pulau tersebut, namun melihat kondisi pesisir pulau ini yang mengalami abrasi membuatnya cukup prihatin. Seperti halnya Tata, tanpa dibantu siapa pun, Murni mulai berinisiasi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat. Dia memulai melalui muridnya. Sebagai catatan, di kepulauan ini hanya ada sekitar 250-an murid SD dan SMP. Sementara gurunya hanya ada enam orang dan kini ada tambahan dua lainnya di sana, termasuk dirinya.

    “Saya masuk ke pulau itu di tahun 2007. Niatnya hanya ingin mengajar anak-anak itu, karena mereka butuh guru. Karena di pulau dan jauh, saya dan kawan-kawan guru memang harus tinggal di sana. Saya sangat menyukai pulau itu, sehingga setiap ada waktu, saya sempatkan keliling dari pantai ke pantai. Pantai yang ada bakaunya begitu indah. Kondisinya jauh lebih baik. Mudah sekali menemukan biotanya di sana. Tapi sebaliknya pantai yang sudah kehilangan bakau makin tergerus ombak tiap kali musim gelombang laut naik. Menurut cerita para orang tua di sana, dulu kawasan pantai pulau ini memang dipenuhi pohon bakau. Mereka masih menemukan burung-burung, monyet, kerang bakau, ikan. Masyarakat di sini juga di sini tidak perlu khawatir kalau air laut mulai naik ke permukaan, “ jelas Murni.

    Dari hasil “jalan-jalan” dan “ngobrol” dengan para ibu dan orang tua di sana terkait dengan kondisi pantai di pulau itulah, membuatnya mulai berpikir, dia harus melakukan sesuatu. Dia ingin yang memulai langkah tersebut bukan dirinya, tapi anak-anak, murid-muridnya. Murni pun mulai memasukkan muatan-muatan kesadaran tentang arti pentingnya hutan bakau bagi kawasan pantai di kepulauan kepada murid-muridnya. Pada pelajaran IPA, dia membawa muridnya ke lapangan. Dia meminta kepada para muridnya memberikan catatan perbedaan kehidupan yang mereka temukan di pantai yang banyak bakau dan pantai yang jarang tanaman bakau. Pelajaran Bahasa Indonesia dia meminta kepada murid-muridnya untuk menuliskan hasil pengamatannya tentang dua kondisi tersebut.

    “Dari sana mereka mulai berpikir sendiri. Misalnya dia bilang ke saya, Bu, ternyata kalau pantai kita ada mangrove sangat baik

    menjaga lingkungan rumah kita dari abrasi pantai, atau kalau kita tanam bakau pasti akan banyak kehidupan lagi yang tumbuh di pulau ini, sehingga bisa dimanfaatkan oleh penduduk sekitar. Tanpa saya suruh dan minta, di suatu hari Minggu pagi, mereka mengajak saya untuk menanam pohon bakau. Bibitnya kami ambil dari pohon-pohon bakau sekitar pulau,” jelas Murni yang berasal dari keluarga besar guru ini.

    Hasilnya kini, wajah Tanakeke jauh lebih hijau, dan pantainya mulai terjaga. Pohon-pohon bakau yang mereka tanam sejak 2007 kini bertumbuhan dengan sangat baiknya. Murni selalu mengatakan itu adalah hasil ide, kerja dan kepedulian para muridnya. Kini kegiatan menghidupkan kembali bakau di kepulauan itu tidak hanya dilakukan oleh murid-murid Murni, tapi hampir keseluruhan warga kepulauan tersebut, termasuk para ibu di sana.

    Kisah Murni, ini diminati sejumlah peserta yang saat itu berada dalam bursa pembangunan. Sesi yang dia presentasikan bertema, “Aksi di pesisir untuk keberlanjutan hidup.” Beberapa peserta lain menanyakan proses-proses awal bagaimana Murni menemukan ide dan mengajak serta masyarakat di sana, terutama anak-anak. Dia juga cukup mahir menjelaskan tentang cara-cara menanam bakau yang baik dan benar.

    Selain Murni dan Tata, ada Yosep Elsoin yang menceritakan tentang kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Tanimbar Kei, satu-satunya wilayah yang penduduknya mayoritas beragama Hindu di Kawasan Timur Indonesia. Di daerah ini terbentuk beberapa Kelompok Pelestari Kampung yang bededikasi tinggi dalam melestarikan alam dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat dan juga para petinggi adat di sana. Perpaduan aturan adat (dikenal dengan sebutan sasi) dan pendekatan adaptasi membuat populasi Trochus di daerah itu meningkat tajam. Pemberdayaan ekonomi alternatif di daerah ini seperti pengelolaan rumput laut, kini mengalami banyak perkembangan. Di kampung Ohoiren, populasi biota laut langka seperti sea cucumbers dan trochus turut meningkat dengan adanya aturan adat atau sasi.

    Berdekatan dengan Tanimbar ada Simon Morin di wilayah Meos Mangguandi, sebuah kampung di Distrik Kepulauan Padaido, Kabupaten Biak Numfor, Papua adalah satu dari sekian banyak kelompok masyarakat pesisir di timur Indonesia yang hingga sekarang memegang teguh aturan-aturan tersebut, yang juga dikenal sebagai Sasi. Sasi di wilayah ini digunakan untuk menjaga ketersedian pasokan ikan dan juga melindungi beberapa jenis ikan yang mulai jarang terlihat. Secara perlahan, perubahan kualitas hidup terumbu karang di Kepulauan Padaido, khususnya di Meos Mangguandi, mulai terlihat. Kini terumbu karang semakin ramai dihuni oleh berbagai jenis ikan.

    Sementara di Sulawesi Tengah, para peserta juga belajar dari Anwari warga desa Togean, Kabupaten Tojo Unauna. Dia bersama Yayasan Palu Hijau dan Sekolah Tinggi Perikanan Kelautan Palu, menginisiasi adanya desalinisasi air laut menjadi air tawar. Kisah ini pun cukup diminati, karena sebagian peserta juga tinggal di kepulauan yang jauh dari daratan, dan masalah mendapatkan air bersih menjadi kendala utama dalam menjalani keharian mereka.

    Anwari menjelaskan, jauh sebelum dipasangnya demplot penelitian desalinasi air bersih oleh Bappeda Kabupaten Tojo Unauna pada tahun 2008, masyarakat Togean harus menggunakan air hujan untuk kebutuhan MCK. Sementara untuk kepentingan memasak dan minum mereka harus mendayung 4-6 jam ke pulau tetangga untuk mendapatkan air bersih. Kecamatan Togean merupakan kepulauan dengan luas 229,51 km2. Setidaknya ada 20 pulau kecil, terdiri dari 14 desa, 11 diantaranya berada di pesisir pantai. Masalah mendapatkan air bersih adalah kendala utama bagi penduduk sekita terutama dusun Togean tersebut.

    Kini, meski masih dengan keterbatasan, sebuah wadah penampung air laut yang telah ”menyulap” menjadi air tawar lewat proses desalinasi, telah memenuhi kebutuhan air bersih bagi warga desa yang dikelilingi laut ini. Proses desalinisasi yang dimaksud adalah ada sebuah bak penampung air laut, dengan penutup yang dibuat dari atap seng atau kaca untuk memungkinkan terjadinya presipitasi. Hasilnya adalah gram dan

    109 Oktober - November 2011News Volume V - edisi 71 Oktober - November 2011News Volume V - edisi 71

    DEVELOPMENT MARKETPLACE Para Presenter pada acara Development Marketplace (kiri-kanan) MARIA LORETHA dari NTT, ALBERT NIMORE dari CONSERVATION INTERNATIONAL - PAPUA, SANTOSO JANUWARSONO dari PLN NTB, JERICO PARDOSI dari UNICEF, ADI RIPALDI dari Sekolah Peruahan Iklim BMKG, LINCOLN SIHOTANG dari KOPERNIK, MURNIATI dari Pulau Tanakeke Sulsel, YOSEPH ELSOIN dari LMMA, AGUS DERMAWAN dari KKP RI, SIMON MORIN dari LMMA, TIBURTIUS HANI dari BURUNG INDONESIA, AKHDARY DJ. SUPU dari YAYASAN PALU HIJAU.

    KETAHANAN PANGAN DAN PERUBAHAN IKLIM

    Pembicara:Muhrizal Sarwani, Kepala Balai Besar Litbang Pertanian RI

    Ilyas Dg. Laja, Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia Nixon Balukh, Kantor BKPPP Provinsi Nusa Tenggara Timur

    Fary Francis, Anggota DPR RI

    PERCEPATAN PEMBANGUNAN DI PULAU-PULAU KECI

    Pembicara:

    Agus Salim Dasuki, Deputi KPDT RICharles Keppel, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara

    Suprayoga Hadi, Deputi KPDT RI

  • tidak menentu. Berita lainnya yang dilansir Viva news menyebutkan Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) membangun kantor bupati baru senilai Rp33 miliar ketika puluhan ribu warga yang menetap di 150 desa yang tersebar di 32 kecamatan dilaporkan terancam rawan pangan serius.

    Memperlihatkan keironian ini menjadi penting dalam melihat duduk persoalan perubahan iklim dan masyarakat kecil yang terkena dampaknya. Fenomena perubahan alam bernama perubahan iklim semakin memperparah akumulasi persoalan soal ketahanan pangan yang lebih banyak disebabkan salah urus dan tidak tepatnya kebijakan yang dikeluarkan.

    “Tanaman jagung hibrida yang sering disodorkan pemerintah kepada para petani, misalnya, justru tidak bisa disimpan dalam waktu lama untuk petani menghadapi musim paceklik, misalnya. Tidak seperti jagung-jagung lokal, bahkan sorgum. Tapi hingga kini, saya masih sulit mendapatkan bibit-bibit panganan lokal ini. Petugas PPL juga tidak aktif untuk melakukan pembinaan kepada petani terkait dengan tanaman lokal. Makanya, begitu saya mendapatkan beberapa bibit s o r g u m , s a y a m e ny i m p a n , m e n g e m b a n g k a n d a n membudidayakannya. Saya juga menawarkan tetangga dan petani lainnya di sekitar saya bibit-bibit sorgum yang saya miliki jika mereka berminat menanamnya,” tandas Tata.

    Contoh adaptasi perubahan iklim yang dilakukan Maria Loretha alias Tata, hanyalah satu dari sekian contoh yang telah dilakukan masyarakat pulau-pulau kecil dan pesisir dalam menghadapi perubahan iklim. Tidak semua petani di NTT bisa secerdas Tata yang berusaha mencari tahu sendiri kebutuhan yang diminatinya, dan juga tentu saja punya modal serta lahan yang baik. Sekarang ini Tata sibuk menularkan pengetahuannya dalam bertanam sorgum ke sejumlah petani yang berminat menanam. Dia bahkan dengan suka cita akan memberikan bibitnya secara gratis.

    Selain Tata, ada juga seorang guru muda, Murniati SPd, asal Langkese, yang mengajar di pulau kecil bernama Tanakeke, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Sulawesi

    Selatan. Kendati dia bukanlah orang asli pulau tersebut, namun melihat kondisi pesisir pulau ini yang mengalami abrasi membuatnya cukup prihatin. Seperti halnya Tata, tanpa dibantu siapa pun, Murni mulai berinisiasi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat. Dia memulai melalui muridnya. Sebagai catatan, di kepulauan ini hanya ada sekitar 250-an murid SD dan SMP. Sementara gurunya hanya ada enam orang dan kini ada tambahan dua lainnya di sana, termasuk dirinya.

    “Saya masuk ke pulau itu di tahun 2007. Niatnya hanya ingin mengajar anak-anak itu, karena mereka butuh guru. Karena di pulau dan jauh, saya dan kawan-kawan guru memang harus tinggal di sana. Saya sangat menyukai pulau itu, sehingga setiap ada waktu, saya sempatkan keliling dari pantai ke pantai. Pantai yang ada bakaunya begitu indah. Kondisinya jauh lebih baik. Mudah sekali menemukan biotanya di sana. Tapi sebaliknya pantai yang sudah kehilangan bakau makin tergerus ombak tiap kali musim gelombang laut naik. Menurut cerita para orang tua di sana, dulu kawasan pantai pulau ini memang dipenuhi pohon bakau. Mereka masih menemukan burung-burung, monyet, kerang bakau, ikan. Masyarakat di sini juga di sini tidak perlu khawatir kalau air laut mulai naik ke permukaan, “ jelas Murni.

    Dari hasil “jalan-jalan” dan “ngobrol” dengan para ibu dan orang tua di sana terkait dengan kondisi pantai di pulau itulah, membuatnya mulai berpikir, dia harus melakukan sesuatu. Dia ingin yang memulai langkah tersebut bukan dirinya, tapi anak-anak, murid-muridnya. Murni pun mulai memasu