lecture notes : simposium tatalaksana kardiovaskular
TRANSCRIPT
PT. MULTIMEDIKA DIGITAL INDONESIA
Tatalaksana KardiovaskularTatalaksana KardiovaskularKomprehensif 2020Komprehensif 2020Tatalaksana KardiovaskularKomprehensif 2020
Lecture Notes : Simposium
Penulis :Rizki Nur Rachman Putra Gofur, dr.
Lecture Notes : Simposium
Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
Penulis : Rizki Nur Rachman Putra Gofur
Daftar Isi
1. Thrombosis State in Covid 19 and the Role of 1 2. Case Management of ACS
STEMI in Covid 19 Patients 12
3. Vascular Complications
in Diabetes Patients 21
4. Aortic Aneurysm : A New Silent
Killer 31
5. The Role of Dihidropyridine
Calcium Channel Blockers
for Hypertension Management
in Daily Practice 41
6. Optimizing Use of Anticoagulant
in ACS 50
Halaman
1
Thrombosis State in Covid 19 and the Role of
Coronoavirus Disease telah memakan
banyak korban di seluruh dunia. Sampai
artikel ini ditulis (8 Juli 2020) di Indonesia
terdapat 68.079 pasien yang terinfeksi,
dengan 3.359 korban yang meninggal.
Kematian akibat Covid 19 ini paling banyak
terjadi pada pasien yang sebelumnya telah
memiliki komorbid penyakit yang lain. Salah
satu keadaan yang menonjol ditemukan
pada pasien Covid 19 adalah Keadaan
Trombosis (Thrombosis State). Artikel ini
membahas mengenai Keadaan Trombosis
pada pasien Covid 19 dan peran dari
antikoagulan untuk membantu memperbaiki
prognosis pasien.
Infeksi Novel Coronavirus SARS COV -
2 dan sindromanya yang disebut Corona-
virus Disease, telah dikaitkan dengan
inflamasi dan keadaan protrombik, dan
peningkatan fibrin, produk degradasi fibrin,
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
2
fibrinogen, dan D-Dimers. Marker ini telah
dikaitkan dengan prognosis yang buruk.
Walaupun insiden dari komplikasi ini belum
jelas didefinsikan, namun terdapat bukti
peningkatan insiden penyakit tromboembolik
yang terkait dengan Covid-19 di ICU. Pada
studi di Perancis dengan 150 pasien ICU,
dilaporkan 16,7% mengalami emboli paru
meskipun telah diberikan antikoagulan.
Pasien degan Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS), juga mengalami
peningkatan insidens emboli paru di-
bandingkan dengan pasien Covid-19 yang
tidak mengalami ARDS.
Sebuah studi di Belanda dengan 184
pasien ICU melaporkan angka kejadian
kumulaitf Venous Thromboebolisme (VTE)
sebanyak 27%, meskipun telah diberikan
profilaksis. Sebuah studi yang mengguna-
kan ultrasound melaporkan insidens VTE
sebanyak 69%, pada mereka yang masuk ke
ICU. Walupun begitu, senter lain juga telah
melaporkan angka kejadian yang lebih
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
3
rendah. Pada studi di Italia melaporkan
insiden VTE sebanyak 22,2%. Sebanyak 393
dari New York dialpoarkan hanya 3,3% yang
menderita VTE.
Mekanisme pembentukan thrombus
bervariasi. Studi menunjkan bahwa inalmasi
dari sistem imun dan sel non imun
menyebabkan ketidakseimbangan dari
kondisi koagulasi saat infeksi. Karena
endothelium memaikan peran penting dari
regulasi homeostasis, dan karena hal ini
terganggu saat infeksi virus, risiko
hematopatologi dapat mengancam. Selain
itu infeksi virus dapat merangsang
peningkatan faktor von Wilenbrand, aktivasi
reseptor Toll dan aktivas jalur tissue factor
dapat memainkan peran aktivasi kaskade
koagulasi yang kemudian menyebabkan
fibrin cross linked.
Penghancuran klot ini merupakan
respon fisiologis dari aktivasi berlebihan dari
kaskade koagulasi. Platelet kemudian
teraktivasi, berkoordinasi dengan sel darah
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
4
putih untuk penghancuran pathogen dan
pembentukan klot. Sel imun, platelet, dan
endothelial memainkan peran dalam
keadaan koagulasi infeksi viral. Walaupun
begitu, durasi lama dari pasien yang bed
rest akibat Covid 19 tidak bisa dieksklusi
sebagai penyebab yang mungkin dari
koagulasi.
Berikut ini merupakan rekomendasi dari
National Institute of Health, Amerika Serikat:
Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien yang tidak dirawat di
rumah sakit, tidak ada data yang
mendukung pengukuran marker
koagulasi
Pada pasien yang dirawat di rumah
sakit, pemeriksaan koagulasi
umumnya dilakukan, walaupun belum
ada rekomendasi untuk menggunakan
data ini dalam menentukan keputusan
klinis
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
5
Antikoagulan Pada Pasien Kronis
Pasien yang sedang dalam terapi
antikoagulan atau antiplatelet untuk
kondisi yang sudah dimiliki sebelum-
nya harus tetap mengkonsumsi obat
tersebut jika menderita Covid 19
Profilaksis VTE dan Screening
Untuk pasien Covid 19 yang tidak
MRS, antokoagulan dan antiplatelet
tidak perlu diberikan sebagai
profilaksis VTE atau thrombosis arteri
kecuali terdapat indikasi
Pasien MRS dnegan Covid 19, harus
diberikan profilaksis VTE menurut
guideline masing-masing rumah sakit.
Pada anak, diagnosis VTE sebaiknya
tidak mem-pengaruhi dokter anak
mengenai porfilaksis VTE pada pasien
anak MRS. Terapi antikoagulan dan
antiplatelet sebaiknya tidak diberikan
pada pasien yang tidak memiliki
indikasi
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
6
Laporan mengenai insidnes VTE pada
pasien MRS Covid 19 berbeda-beda.
Terdapat data yang tidak cukup untuk
merkeomendasikan atau menolak pe-
nggunaan trombolitik atau pening-
katan dosis antikoagulan untuk
profilaksis VTE pada pasien Covid 19
di luar kondisi clinical trial.
Pasien MRS yang dipulangkan
sebaiknya tidak diberikan profilaksis
VTE. Me-nggunakan regimen reko-
mendasi Food and Drug Add-
minstrition, profilaksis VTE dapat
diberikan pada pasien dengan risiko
rendah pendarahan dan risiko tinggi
VTE menurut protkol sesuai pada
pasien biasa pada umumnya.
Sampai saat ini tidak ada data yang
cukup untuk merekomendasikan
screening DVT pada pasien Covid 19
tanpa tanda dan gejala VTE, tanpa
memperhatikan marker koagulasi
mereka
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
7
Untuk pasien Covid 19 yang MRS,
kemungkinan tromboemboli harus di-
evaluasi jika ada peburukan fungsi
pulmonary, kardiak, dan neurologis,
atau kehilangan perfusi perifer secara
lokal.
Terapi
Pasien Covid 19 yang mengalami
insiden tromboemboli yang memiliki
risiko tinggi penyakit tromboembolik
ketika peme-riksaan penunjang tidak
munkgin dilakukan harus diterapi
dengan dosis antikoagulan sesuai
standard pasien non Covid 19
Pasien dengan Covid 19 yang mem-
butuhkan oksigenasi ekstrakorporeal
membrane atau terapi replacement
ginjal yang berkelanjutan atau
mengalami throm-bosis dari kateter
atau extracorporeal fiters harus
idterapi dengan terapi antitrombotik
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
8
per protokol standard rumah sakit
sesuai dengan pasien non Covid 19.
(European Society of Cardiology, 2020)
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
9
Untuk mempermudah diagnosis dan
tatalaksana berikut ini ada algoritma yang
dikeluarkan European Society of Cardiology.
Pasien yang MRS dengan Covid 19 harus
diperiksa apakah termasuk pasien high risk
atau low risk. Pasien dengan risiko tinggi
adalah pasien dengan
Bernapas sulit
RR > 24 x /menit
Saturasi oksigen < 90%
Peningkatan C-reactive protein
Peningkatan D–Dimer
Peningkatan level fibrinogen
Jika pasien dirawwat di ICU berikan
heparin drip parenteral, target active
prothromboplastin time (aPTT) 60-85. Jika
tidak maka berikan enoxaparin 1 mg/kg BID
atau heparin drip dengan target aPTT 60-85.
Kemudian periksa pasien dengan Point of
Care Ultrasound. Jika positif maka lanjutkan
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
10
terapi, jika negative turunkan terapi menjadi
enoxaparin 40 mg BID.
Jika pasien bukan termasuk yang risiko
tinggi tromboemboli maka ukur D Dimer dari
pasien, jika D Dimer > 3 mcg/ml maka
berikan enoxaparin 1mg/kg BID dan
lanjutkan ke pemeriksaan Point of Care
Ultrasound. Jika D Dimer < 0,50 mcg/ ml
berikan enoxaparin 40 mg /hari. Jika D
dimer 0,5-3 mcg/ml maka berikan
enoxaparin 40 mg BID.
Rekomendasi yang berbeda dari
National Institution of Health dan European
Society of Cardiology harus dimaknai
dengan hati-hati. Penulis berusaha untuk
memaparkan kedua sisi, dan keputusan
klinis kembali pada masing-masing dokter
yang merawat berbasis keadaan klinis
pasien yang ada. Namun kedua
rekomendasi tersebut dapat dijadikan acuan
dalam pengambilan keputusan klinis
sekaliagus membantu dokter menimbang
kerugian dan keuntungan dari terapi.
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
11
Daftar pustaka
Cardiology, E. S. of (2020) ‘Anticoagulation in Covid 19’, European heart journal, pp. 1–2. doi: 10.1111/jth.14817.6.
National Institutes of Health (2020)
‘Antithrombotic Therapy in Patients
with COVID-19’, COVID-19 Treatment
Guidelines, 19, pp. 131–136. Available
at:https://www.covid19treatmentguide
lines.nih.gov/antithrombotic-therapy/.
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
12
Case Management of ACS STEMI
in Covid 19 Patients
Pandemik Covid 19 ini telah
menyerang seluruh dunia. Disebabkan oleh
virus SARS-CoV2. Karena jumlah kasus yang
terus bertambah setiap harinya, maka Covid
19 ini dapat membuat ruang gawat darurat
dan kamar rumah sakit menjadi penuh. Oleh
karena itu akhirnya layanan kesehatan,
menurunkan prosedur elektif agar dapat
menangani pasien yang terinfeksi. Pasien
dengan penyakit kardiovaskular memiliki
risiko mortalitas tinggi jika pasien tersebut
terpapar Covid 19. Namun perlu diper-
hatikan juga bahwa terdapat banyak pasien
yang menderita penyakit kardiovaskular,
belum tentu terinfeksi oleh Covid 19. Oleh
karena itu sembari kita tetap mem-
persiapkan diri untuk menangani pasien
kardovaskular yang menderita Covid 19, kita
tetap harus menyiapkan diri untuk pasien
yang tidak terinfeksi Covid 19.
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
13
Pasien dengan STEMI yang datang ke
rumah sakit yang memiliki fasilitas PCI
STEMI membutuhkan Precutaneous
Coronary Intervention atau PCI. Ini adalah
standard untuk pasien STEMI. PCI harus
dilakukan 90 menit setelah kontak pertama.
Standard ini tetap harus dilakukan dan
dijalankan di era Covid 19. Sebelum kita
dapat menentukan prevalensi dari Covid 19,
pasien yang datang dengan dengan STEMI
harus dianggap mungkin menderita Covid 19
juga. Pasien yang menderita STEMI tetap
harus ditransfer ke cardiac catheterization
laboratory (CCL) sesegera mungkin. Namun
karena kondisi Covid 19, waktu tempuh ini
kemungkinan akan bertambah akibat
bertambah panjangnya pemeriksaan akibat
Covid 19. Hal ini dapat dimaklumi, dan tetap
harus dilakukan secara hati-hati namun
cepat untuk menghindari mortalitas dan
mrbiditas yang lebih tinggi. Pada pasien
STEMI yang dicurigai Covid 19, pemeriksaan
lanjutan untuk menegakkan Covid 19 teatap
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
14
harus dilakukan juga untuk menegakkan
diagnosis, menurunkan risiko, sekaligus
menentukan rencana terapi untuk COvid 19.
Perombakan rumah sakit juga perlu
dilakukan jika mungkin, contohnya dengan
mendirikan CCL khusus untuk pasien Covid
19. Semua hal ini dilakukan agar PCI tetap
menjadi standard terapi untuk pasien Covid
19 termasuk untuk pasien terkonfirmasi
Covid 19 atau pasien dengan kemungkinan
infeksi Covid.
Ketika PCI primer sudah dilakukan
pada arteri yang mengalami infark, jika
pasien stabil dan meruapkan indikasi,
penyakit non infark di arteri lainnya juga
harus diobati dengan minimalisasi paparan
pada tenaga medis yang berada di CCL. PCI
tetaplah menjadi terapi yang superior jika
dibandingkan dengan terapi fibrinolisis dan
memiliki risiko pendarahan yang lebih kecil
dan tidak fatal. Setelah terapi fibrinolisis
umumnya hanya 50% pasien yang
mengalami reperfusi baik, sehingga separuh
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
15
sisanya harus menjalani rescue PCI. Hal ini
akhirnya menyebabkan perawatan yang
lebih lama di ICU sehingga memungkinkan
paparan lebih banyak pada tenaga medis
dan membatasi akses pasien Covid 19 untuk
mendapatkan perawatn ICU. Sebagian
pasien juga memiliki gejala STEMI seperti
miokarditis fokal atau kardiomiopati stress
yang terkait Covid 19. Fibrinolisis pada
pasien ini tidak memberikan manfaat namun
dapat menyebabkan risiko pendarahan.
Kecurigaan STEMI pada pasien yang
menunjukkan gejala STEMI yang tidak
khas
Fokus untuk evaluasi pada pasien ini
hanya 2, stratifikasi risiko status Covid 19
dan evaluasi lebih lanjut untuk diagnosis
kardiovaskular seperti menilai apakah
kondisi patologis adalah ataua patologis
yang lain. Diagnosis dapat diegakkan
dengan ultrasound ke jantung atau
ekokardiograpi transtorakal untuk melihat
ab-nomrlaitas dari dinding dada dengan
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
16
perubahan elektrokradiografi yang dapat
menyediakan informasi penting untuk
diagnosis. Pemeriksaan klins, EKG,
laboratoris, dan pemeriksaan pencitraan
dapat dilakukan untuk membantu dokter di
UGD dan dokter spesialis jantung mengenai
pengambilan keputusan untuk aktivasi CCL.
CT angiografi dapat dilakuakn ketika
ditemukan ST elevasi namun temuan
ekokardiografi tidak konklusif. Tindakan-
tindakan invasive untuk mendiagnosis
STEMI dapat mendiagnosis oklusi koroner
trombotik, dan menyingkirkan diagnosis
kardiomiopati stress atau miokarditis
sebelum melakukan pendekatan reperfusi.
Tidak semua pasien dengan ST elevasi
tanpa atau dengan oklusi akut coroner akan
mendapat manfaat dari strategi reperfusi
atau support mekanis. Pada pasien COvid 19
dengan dekompensasi pulmoner berat atau
pneumonia yang diintbasu di ICU memiliki
mortalitas yang tinggi. Penanganan medis
pada fase ini harus memperhatikan
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
17
keinginan dan masukan dari pasien dan
keluarga, sekaligus mempertahankan
sumber daya yang ada fasilitas kesehatan.
Pasien STEMI yang datang ke rumah
sakit tanpa fasiilts PCI.
Pasien datang dengan STEMI pada
rumah sakit tanpa PCI, namun PCI tetap
menjadi standard. Jika memungkinkan
peruujukan harus dilakukan selama 120
menit dari kontak pertama di rumah sakit
tanpa PCI. Pada pasien-pasien yang tidak
bisa dilakukan PCI, terapi farmakoninvasif
direkomendasikan, kemudian diikuti dengan
perujukan ke pusat PCI. Perujukan PCI
kemudian dilakukan setelah fibrinolisis. Hal
ini seblaum adanya Covid 19 adalah hal rutin
dan tetap menjadi standard pelayanan.
Fibrinolisis 30 menit setelah diagnosis STEMI
dan perujukan untuk dilakukan rescue PCI
adalah hal yang ditekomendasikan untuk
pasien terkonfirmasi positif COVID 19 yang
menderita STEMI.
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
18
Dengan fibrinolisis sebagai terapi
utama untuk pasien Covid 19 dengan
STEMI, hal ini bisa diaplikasikan pada
berbaagai daerah dengan pusat PCI yang
terbatas. Fibrinolisis dipilih ketika PCI tidak
bisa dilakukan di bawah waktu 120 menit.
Pada era covid seperti ini di mana banyak
ditemukan hambatan dalam diagnosis,
terapi fibrinolisis dapat dilakukan sebagai
alternative mengingat keberadaan pan-
demic. Seperti yang dijelaskan di atas,
pemeriksaan penunjang non invasive dapat
digunakan untuk menentukan apakah ST
elevasi yang ditemukan pada pasien adalah
akibat oklusi arteri koroner dan pasien dapat
mendapatkan manfaat dari pendekatan
dengan fibrinolisis.
Pasien dengan shock kardiogenik atau
cardiac arrest
Pasien dengan kondisi cardiac arrest
dan shock kardiogenik merupakan pasien
paling berisiko tinggi di antara pasien infark
miokard akut. Terutama jika resusitasi
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
19
dilakukan di luar setting rumah sakit.
Pasien-pasien ini memiliki risiko tinggi untuk
penyebaran Covid 19. Pada pasien seperti
ini, pengambilan keputusan harus dilakukan
secara hati-hati Pada pasien yang
diresusitasi di luar rumah sakit, sebaiknya
tidak dilakukan prosedur invasive jika tidak
didapatkan ST elevasi dan keadaan
hemodinamik yang tidak satbil.
Alat pelindung diri harus digunakan
dengan baik di unit gawat darurat maupun
di CCL tanpa melihat status Covid 19 karena
anamnesis dan pemeriksaan fisik hanya bisa
dilakukan secara terbatas. Pertimbangan
untuk melakukan revaskularisasi untuk
pasien shock kardiogenik harus dilakukan
dengan precaution droplet saat melakukan
prosedur. Intubasi dan ekstubasi harus
dilakukan di ruangan tekanan negative
dengan anestesi jika diperlukan.
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
20
Daftar pustaka
Management of Acute Myocardial Infarction
During the COVID-19 Pandemic Ehtisham Mahmud, Harold L. Dauerman, Frederick GP. Welt, John C. Messenger, Sunil
V. Rao, Cindy Grines, Amal Mattu, Ajay J. Kirtane, Rajiv Jauhar, Perwaiz Meraj, Ivan C. Rokos, John S. Rumsfeld, Timothy D. Henry
J Am Coll Cardiol. 2020 Apr 30. Epublished DOI:10.1016/j.jacc.2020.04.039
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
21
Vascular Complications
in Diabetes Patients
Diabetes mellitus bukan saja sebuah
kondisi metabolic akibat kegagalan
metabolism karbohidrat dan menyebabkan
kondisi hipergli-kemia. Diabetes mellitus
juga merupakan penyakit yang menyerang
vaskular, di semua jenis pembuluh darah
dan ukuran. Komplikasi vaskular justru
merupakan penyebab morbiditas dan
mortalitas yang paling tinggi pada penderita
diabetes mellitus.
Epidemiologi
Amerika Serikat mencatat 10%
warganya menderita diabetes mellitus.
Angkanya terus meningkat dari tahun 1980
an hingga tahun 2010an dan peningkatan
angka ini terkait dengan peningkatan
kejadian obesitas di masyarakatnya. Namun
angka insidens diabetes melitsu baru
menurun dari 8,8/1000 orang hingga
7,1/1000 orng dan tetap stabil di angka
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
22
8,3/100 orang dalam empat tahun ke
belakang.
Komplikasi Mikrovaskular
Diabetes mellitus menyebabkan
komplikasi mikrovaskular dan makrovas-
kular. Komplikasi mikrovaskular yang umum
ditemukan adalah retinopati, nefropathi, dan
neuropati. Kondisi-kondisi ini akan dibahas
lebih lanjut.
Retinopati
Penyakit mikrovaskular terkait erat
dengan hiperglikemia. Pada hiperglikemia
kronik terdapat 11x peningkatan risiko
retinopati, hal ini sangat besar jika
dibandingkan hanya 2x peningkatan risiko
yang ditemukan pada penyakit arteri
koroner. Walaupun begitu, beberapa pasien
dapat mengalami retinopati 7 tahun sebelum
munculnya diabetes mellitus. Hal ini
mengindikasikan bahwa retinopati dapat
terjadi akibat kontribusi dari resistensi
insulin Ditambah lagi, keparahan dari
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
23
hiperglikemia dan durasi dari diabetes
mellitus serta faktor lain juga turut
mememperparah retinopati seperti hiper-
tensi, merokok, dan dyslipidemia. Faktor-
faktor ini ditambah dengan resistensi insulin
dan inflamasi dapat berkontribusi pada
penyakit mikrovaskular.
Tanda histopatologis awal dari
diabetes mellitus yang terkait retinopathy
adalah kehilangan pericytes. Pericytes
melingkupi arteriolar dan dan sel endothelial
kapiler dan resisrensi dari kerusakan akibat
stress oksidatif. Penyakit ini ditandai dengan
penebalan dari membrane dasar, pe-
rmeabilitas sel endothelial, dan pem-
bentukan mikoranerusme. Terdapat 2 tipe
dari retinopati, nonproliferatif dan pro-
liferative. Pada non proliperatif retinopati,
pasien dapat menunjukkan pendarahan,
yang merupakan pendarahan kecil pada
pertengahan retina akibat eksudate lemak.
Edema retina juga dapat ditemukan.
Retinopati proliferative adalah munculnya
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
24
neovaskularasisi dari retina yang dapat
diperparah dengan pendarahan vitreous.
Kondisi ini jika tidak diobati dapat
menyebabkan gangguan penglihatan.
Nefropati
Patofisiologi dari nefropati di diabetes
mellitus banyak memiliki kesamaan dengan
retinopati. Termasuk penebalan membrane
dasar dan pembentukan mikroaneurisma.
Sebagai tambahan, hiperfiltras glomerural
banyak dikaitkan dengan ekspansi dari
matriks eks-trasellar dan progresivitas dari
sclerosis tubular dan glomerular. Perubahan-
perubahan ini me-nyebabkan albuminuria.
Nefropati didefinisikan sebagai kehilangan >
500 mg protein per hari, didefinsiikan
sebagai kehilangan protein sebesar 30-299
mg/hari.
Nefropati diabetikum juga ditemukan
pada 7% dari pasien diabetes mellitus tipe
2, pada waktu pasien didiagnosis diabetes
meltius. Terjadi pada 12% pasien diabetes
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
25
mellitus tipe 1 setelah 7 tahun menderita
penyakit dan 25% pasien diabetes mellitus
tipe 2 setelah 10 tahun menderita penyakit.
Pravelensi ini secara siginfikan lebih buruk di
kawasan Asia. Pada sebuah studi yang
dilakukan di 5549 pasien dengan diabetes
melitups tipe 2 di 10 negara asie
melaporkan bahwa 40% pasien mengalami
mikroablumuria dan 19% mengalami ma-
kroablumunira. Berbagai contributor dari
faktor risiko keadaan ini adalah kontrol
tekanan darah yang buruk dan kontrol gula
darah yang buruk. Amerika serikat mencatat
per tahunnya sektiar 50.000 pasien memulai
terapi gagal ginjal dengan lebih dari 225.000
orang yang mem-butuhkan dialisis dan
transplantasi ginjal.
Neuropati
Neuropati pada diabetes mellitus di-
sebabkan oleh abnormalitas vaskular dan
non vaskular. Selain penebalan membrane
kehilangan pericyte, terdapat bukti
penurunan aliran darah caliper sehingga
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
26
menyebabkan gangguan perfusi dari saraf
dan menyebabkan hipoksi enoneurial.
Neropati dicirikan dengan penebalan akson
dan akhirnya dapat menyebabkan ke-
hilangan neuron. Manifestasi klinis dari
neuropati dibaetikum dapat bervariasi,
walaupun hanya ada dua tipe utama. Bentuk
yang paling umum adalah bentuk
polineuropati yang kronis, simetris, ter-
gantung durasi, dan bersifat sensorimotor,
yang dikaitkan dengan keparahan durasi
dari hiperglikemia. Patofisiologi dari subtype
ini mirip dengan manifestasi dari
mikrovaskular lainnya dari diabetes mellitus.
Bentuk polineuropati lain yang muncul
dengan tiba-tiba di suatu waktu perjalanan
diabetes mellitus umumnya tidak simetris.
Polineuropati umumnya muncul dengan
gejala otonom dan gejalanya dapat
berfluktuasi.
Komplikasi Makrovaskular
Selain komplikasi mikrovaskular, juga
di-dapatkan komplikasi makrovaskular yang
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
27
dapat terjadi pada penyakit diabetes
mellitus. Beberapa yang banyak ditmeukan
adalah stroke, penyakit jantung koroner dan
penyakit arteri perifer.
Penyakit Arteri Koroner
Hubungan antara diabetes mellitus
dan penyakit makrovaskular telah ditemukan
se-banyak > 40 tahun lalu dengan
peningkatan risiko infark miokar dan
kematian kardiovaskular ditemukan pada
berbagai populasi. Konsekuensi dari infark
miokard lebih tinggi ditemukan pada pasien
diabetes mellitus dibandingkan dengan
pasien tanpa diabetes mellitus. Pada pasien
yang menjalani terapi trombolisis pada
infark mio-kard, pasien yang memiliki
diabetes mellitus memiliki risiko 2x lebih
besar untuk kematian akibat kardiovaskular,
infark miokard, dan stroke jika dibandingkan
pada pasien non diabetes. Menurut studi
lain yang membandingkan ticagrelor dan
clopidogrel pada sindroma koroner akut,
pasien dengan diabetes mellitus 66% lebih
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
28
sering menyebabkan kematian akibat kar-
diovaskular, infark miokard dan stroke. Pada
pasien-pasien yang menjalani Precutaneous
Coronary Revascularization prognosis pasi-
en diabetes mellitus juga lebih buruk
dibandingkan pada pasien-pasien yang tidak
menderita diabetes mellitus.
Stroke
Mengasosiasikan stroke dengan
diabetes mellitus merupakan hal yang rumit
akibat variasi dari tipe stroke. Pada sebuah
studi dengan 116.316 wanita usia 30-55
tahun, ditemukan bahwa tipe 1 diabetes
mellitus diasosiasikan dengan peningkatan
stroke iskemik dan stroke hemoragic,
sedangkan diabetes mellitus tipe 2 dikaitkan
dengan peningkatan risiko stroke iskemik
namun bukan peningkatan stroke he-
moragik. Pada sebuah studi dengan 40.000
pasien Asia dengan diabetes mellitus tipe 2,
terdapat peningkatan risiko stroke iskemik
namun tidak stroke hemoragik. Hal ini
dikaitkan dengan gangguan meatabolik yang
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
29
disebabkan oleh diabetes mellitus. Bukti
terbaru me-nunjukkan bahwa risiko stroke
meningkat pada pasien diabetes dengan
hiperglikemia namun tidak meningkat pada
pasien diabetes yang terkontrol gula
darahnya. Hubungan antara sindroma
metabolic cukup kompleks. Risiko dari stroke
pertama meningkat dua kali lipat jika
terdapat sebuah sindroma metabolic,
walaupun stroke-stroke selanjutnya tidak
terpengaruh dengan kondisi ini.
Penyakit Arteri Perfier
Pada manifestasi lain seperti athe-
rosclerosis, penyakit arteri perifer (PAP)
dikaitkan erat dengan diabetes mellitus.
Beberapa survey epidemiologis besar telah
menunjukkan pe-ningkatan 2-4 kali lipat
risiko menderita PAP, yang didefinsikkan
dengan ankle brachial index < 0,90. Pada
sebuah studi di Jerman sebanyak 26,3%
pasien diabetes mellitus menderita PAP jika
dibandingkan 15,3% pasien yang tidak
menderita diabetes mellitus dan menderita
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
30
PAP. Diabetes mellitus meningkatkan risiko
PAP lebih besar dibandingkan stroke atau
penyait jantungkoroner.
Daftar pustaka
Mahmud, E. et al. (2020) ‘Management of Acute Myocardial Infarction During the COVID-19 Pandemic’, Journal of the American College of Cardiology. American College of Cardiology Foundation. doi: 10.1016/j.jacc.2020.04.039.
(Mahmud et al., 2020)
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
31
Aortic Aneurysm : A New Silent Killer
Aneruisma aorta dapat ditemukan di
rongga thoraks dan di rongga abdomen.
Kedua bentuk ini menyimpan bahaya yang
besar karena jika rupture maka, morbiditas
dan mortalitas yang dihadapi pasien cukup
tinggi. Kedua jenis aneurisma dan aorta ini
juga berbahaya karena secara umum tidak
memiliki gejala yang signifikan. Masyarakat
Indonesia pada umumnya hanya
memeriksakan diri ke dokter jika sudah
timbul keluhan yang menganggu. Oleh
karena itu pemahaman dokter umum
mengenai tanda-tanda awal dari penyakit ini
harus dimiliki dengan baik agar dapat
melakukan perujukan yang tepat serta
mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Aneurisma Aorta Thorakalis
Aorta adalah arteri terbesar dan
terpanjan galam tubuh, berjalan dari katop
aorta hingga bifurkasioa dari artei iliaca
komunis. Aorta tidak terabada pada
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
32
pemeriksaan fisik, untuk itu kelainan pada
aorta thorakalis umumnya hanya nampak
pada pemeriksaan pencitraan.
Epidemiologi
Prevalensi dari aneurisma aorta
thorakalis (AAT) tidak diketahui secara pasti,
namun pada otopsi ditemukan sekitar 3%
dengan dominan pria disbanding wanita
sektiar 2: 1. Mayoritas AAT berbentuk
fusiform, menunjukan dilatasi radial yang
simetris, sementara bentuk yang tidak lebih
umum adalah bentuk sakular. Sebanyak
60% dari AAT terletak di aorta thorasik
ascending, sedangkan 40% di aorta thorasik
descending, sekitar kurang dari 10%
terletak di lengkung aorta. Lokasi dari AAT
memiliki impilikasi etiologi dan management.
Hipertensi sistemik adalah etiologi yang
dominan dari AAT, terutama untuk yang
terjadi di aorta descending. Sedangkan
untuk etiologi kongenital dan idiopatik,
paling banyak ditemukan di aorta thorasik
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
33
descending. Penyebab patologi genetik pada
aorta contohnya adalah Sindroma Marfan,
Sindroma Loeys-Dietz dan Ehlers- Danlos
Syndrome type IV.
Diagnosis
Hanya sekitar 5% dari pasien AAT
yang menunjukan gejala, sisanya sebagian
besar tidak menunjukkan gejala sama sekali.
Gejala yang ditemukan pada pasien AAT
adalah munculnya nyeri leher, punggung,
abdomen, dan pinggang yang tidak dapat
dijelaskan. Lokasi nyeri mungkin dapat
menunjukkan letak aneurisma. Efek masa
juga dapat muncul ketika AAT menekan
berbagai struktur pada rongga thoraks
seperti ketika menekan jalan napas dapat
menyebabkan batuk dan sesak, menekan
esophagus dapat menyebabkan disfagia,
atau vena cava superior yang menyebabkan
ganguan venous return. Dilatasi dari aortic
root atau vaorta thorasik acending dapat
menyebabkan ikatan dari leaflets aorta dan
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
34
incomplete valce closure yang kemudian
dapat menyebabkan aorta insufficiency.
Pemeriksaan Computed Tomographic
Angiography (CTA) adalah modalitas paling
umum yang digunakan untuk mendeteksi
kelainan di aorta thorakalis, karena pe-
meriksaan ini dapat menunjukkan gambaran
yang jelas dari seluruh aorta torakalis.
Pemeriksaan CTA ini cepat, dan dapat
menunjukkan gambaran aorta hingga ke
cabang-cabangnya, walaupun tetap memiliki
kekurangan berupa radiasi ionisasi dan
kemungkinan nefropati akibat kontras.
Pemeriksaan serupa menggunakan MRI
yaitu Magnetic Resonance Angiogrpahy juga
memberikan gambarna yang baik akan aorta
dan cabang-cabangnya, namun harga yang
mahal dan waktu pemeriksaan yang panjang
dapat menjadi kekurangan pemeriksaan ini.
Pemeriksaan foto polos tidak direkomendasi-
kan untuk menegakkan diagnosis AAT
karena pemeriksaan ini tidak sensitif. Untuk
itu, pasien sebaiknya segera dirujuk jika
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
35
didapatkan kecurigaan AAT. Foto thoraks
yang normal tidak menyingkirkan diagnosis
AAT.
Tatalaksana
Telah banyak diyakini para ahli bahwa
risiko diseksi aorta meningkatan dengan
peningkatan ukuran aneurisma. Perlu
diketahui bawah benefit untuk perbaikan
aneurisma harus melebihi risiko rupture
aorta, karena perbaikan aorta sendiri adalah
tindakan yang berisiko. Risiki rupture
aneurisma sangat kecil, sekitar < 2% untuk
ukuran AAT < 5 cm. Sedangkan untuk
ukuran aneruisma di atas 6 cm risikonya
sekitar 6-7%. Guideline terbaru juga
mempertim-bangkan etiologi dan lokasi dari
aneurisma. Guideline terbaru juga
memberikan pendapat bahwa aorta dapat
rupture walaupun dalam ukuran kecil. Jadi
semua pasien harus dipikirkan sebagai
pasien yang berisiko. Untuk saat ini, jika
TAA berukuran 5,5 cm, itu sudah
merupakan indikasi untuk melakukan
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
36
pembedahan. Sedangkan jika pada seorang
pasien terdapat sindroma Marfan atau
terdapat sindroma Aorta Thorasik Anerusima
Familial, ukuran 5 cm sudah membutuhkan
penanganan bedah.
Aneurisma Aorta Abdominalis
Aneurisma Aorta Abdominalis (AAA)
adalah anuerisma yang ditemukan di aorta
abdominalis. Kondisi ini paling banyak
ditemukan pada pria usia 66 tahun ke atas.
Untuk itu ketika ada kecurigaan diagnosis
ini, terutama pada pria usai 66 tahun ke
atas, diagnosis AAA harus dipikirkan
sebelum dapat disingkirkan. Untuk wanita,
AAA umumnya muncul pada usia lebih dari
70 tahun. Faktor risiko untuk AAA adalah...
Penyakit Paru Obstruktif Kronis
Penyakit arteri perifer, koroner, atau
serebrovaskuler
Riwayat keluarga dengan AAA
Hiperlipidemia
Hipertensi
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
37
Sedang merokok atau riwayat
merokok
Diagnosis
Pada pasien dengan AAA umumnya
tidak ditemukan gejala, atau sebagian besar
pasien bersifat asimpomatis. Gejala yang
umum ditemukan pada AAA adalah nyeri
abdomen dan punggung baru yang tidak
dapat dijelaskan penyebabnya. Pada
beberapa pasien dengan kondisi yang buruk
dapat ditemukan kolaps kardiovaskular dan
penurunan kesadaran. Gejala-gejala ini perlu
diperhatikan lebih lanjut terutama jika
terdapat faktor risiko yaitu diagnosis AAA
yang sudah tegak, usia di atas 60 tahun,
riwayat merokok, dan hipertensi. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan pulsasi
yang besar dan abnormal pada palpasi
abdomen, namun hal ini tidak selalu
ditemukan.
Pemeriksaan penunjang yang tersedia
cepat untuk AAA adalah USG, jadi lakukan
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
38
USG pada pasien dengan kecurigaan AAA
atau kecurigaan AAA yang sudah rupture.
Jika pada USG ditemukan AAA atau AAA
yang sudah rupture segera rujuk ke dokter
spesialis bedah vaskular. Perhatikan juga
bahwa AAA lebih sering rupture pada wanita
dibandingkan pada pria.
AAA yang kecil memiliki risiko yang
sangat kecil untuk rupture dan menjadi
masalah, jadi pada kasus ini banyak pasien
yang tidak mendapat manfaat dari repair
aneurisma. AAA dapat tumbuh dengan laju
yang tidak bisa diprediksi, oleh karena itu
membutuhkan monitoring yang tepat.
Pasien yang merokok harus segera diberikan
edukasi untuk menghentikan konsumsi
rokoknya. Pasien yang menderita hipertensi
harus diobati sebagaimana umumnya. Untuk
pasien-pasien dengan AAA yang asimpto-
matis, edukasi untuk melakukan pemerik-
saan USG secara berkala.
Karena AAA umumnya tidak berbahaya
dan hanya sedikit yang rupture, terutama
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
39
pada pasien yang tanpa gejala, ada
beberapa poin-poin edukasi yang perlu
disampaikan. Poin-poin tersebut adalah
Jelaskan apa itu AAA
Jelaskan pada umumnya AAA tidak
menyebabkan masalah, dan hanya
sebagian kecil saja yang dapat rupture
AAA dapat rupture dan rencana terapi
yang bisa diberikan pada kondisi
tersebut.
AAA dapat menurun pada keluarga,
sehingga perlu dilakukan screening
Pada pasien yang tidak termasuk
indikasi pembedahan, repair dari
aneurisma memiliki risiko tinggi
sehingga repair harus memiliki benefit
yang lebih besar dari risiko.
Daftar pustaka
Dudzinski, D. M. and Isselbacher, E. M. (2015) ‘Diagnosis and Management of Thoracic Aortic Disease’, Current Cardiology Reports, 17(12), pp. 1–6.
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
40
doi: 10.1007/s11886-015-0655-z. Nazarko, L. (2020) ‘NICE guideline on
diagnosis and management of abdominal aortic aneurysms’, Nursing and Residential Care, 22(6), pp. 2–2. doi: 10.12968/nrec.2020.22.6.2b.
(Dudzinski and Isselbacher, 2015; Nazarko, 2020)
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
41
The Role of Dihidropyridine Calcium
Channel Blockers for Hypertension
Management in Daily Practice
Hipertensi adalah kasus yang sering
ditemukan sehari-hari baik dalam setting
pelayanan faskes perifer maupun rujukan
tingkat lanjut. Pemahaman mengenai
hipertensi dan tatalaksananya seharusnya
sudah dikuasai oleh dokter umum karena
begitu banyaknya jumlah kasus yang
ditemukan. Salah satu terapi yang umum
diberikan untuk pasien hipertensi adalah
Calcium Channel Blockers (CCB). Obat
gologan ini begitu diminati karena
dikonsumsi sekali sehari sehingga mem-
permudah compliance pasien, murah, dan
memiliki efek samping yang minimal Namun
mengenal terapi yang digunakan sehari-hari
lebih dalam tentulah merupakan bagian
penting dari lifelong learning seorang
dokter. Berikut ini adalah ulasan singkat
mengenai hipertensi dan penggunaan CCB
dalam praktik sehari-hari.
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
42
Hipertensi adalah salah satu faktor
risiko modifiable dari kematian premature di
dunia dan diperkirakan telah menyebabkan
7,1 juta kematian premature setiap
tahunnya. Sekitar 1 milar orang menderita
penyakit ini, dan prevalensinya terus
meningkat setiap tahun. Hipertensi adalah
faktor risiko utama dari penyakit
kardiovaskular dan serebrovaskular, yang
kira-kira mempengaruhi 50% dari angka
mornidtas dan mortalitas kardiovaskular.
Hu-bungan antara tekanan darah dan risiko
kardiovaskular terus berlanjut, setiap
pening-katan 20 mmHg tekanan darah
sistolik atau 10 mmHg tekanan darah
diastolik, ditemukan penignkatan risiko
kardiovaskular yang meningkat dua kali
lipat. Selain itu pasien dengan hipertensi
juga cenderung memiliki faktor risiko
kardiovaskular lain, contoh sebanyak 50%
pasien hipertensi menderita hiperkoles-
terolemia dan sekitar 20-40% pasien
hipertensi menderita hiperglikemia.
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
43
Keberadaan faktor risiko yang banyak
ini dikaitkan erat dengan hipertensi.
Sedangkan untuk Cerebrovascular Disease
(CVD) memiliki faktor risiko utama berupta
hipertensi, usia tua (55 tahun ke atas untuk
pria dan 65 tahun ke atas untuk wanita)
merokok, dyslipidemia, obesitas, dan
diabetes serta penyakit ginjal. Untuk itu saat
ini fokus dari banyak guidelines adalah
stratifikasi risiko dan menentukan target
tekanan darah. Contohnya pada pasien
dengan diabetes dan faktor risiko lain target
tekanan darah adalah < 130/80 mmHg,
berbeda dengan pasien tanpa faktor risiko
lain yang memmilki target < 140/90 mmHg.
CCB terbagi menjadi berbagai
kelompok yaitu benzothiazepins (diltiazem),
dihidryo-piridines (amlodipine, nifedipine)
dan pheny-lalkylamines (verapamil).
Walaupun terdapat perbedaan, mereka
sering dikaitkan menjadi satu kelompok
homogen agen farmakologis. Se-lanjutnya,
dalam satu kelompok obat pun terdapat
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
44
berbagai macam formulasi obat serta profil
farmakologis, disertai dengan perbedaan
penggunaan klinis, serta dosis.
Walaupun terdapat banyak perbedaan
jenis dan dosis, peran utama dari CCB
adalah vasodilatasi arteri, terutama untuk
golongan dihydropiridine CCB (DCCB).
Vasodilatasi arteri perifer menyebabkan
penurunan tekanan darah dan vasodilatasi
arteri koroner menyebabkan penurunan
tekanan darah ke myocardium. Namun pada
berbagai penlitian, efek ini menyebabkan
terjadinya rangsangan pada refleks yang
termediasi baroreseptor sehingga terdapat
peningkatan nadi yang terjadi via sistem
saraf simpatis. Hal ini ditemukan pada kedua
arteri vasodilator seperti nifedipine dan
hydralazine dan untuk campuran dari arteri-
vena dilator seperti nitrogliserin. Jadi
konsekuensi yang baik dari dilatasi arteri ini
dapat dikacaukan oleh aktivasi dari sistem
saraf simpatis dan peningkatan heart rate.
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
45
Pada penelitian selanjutnya ditemukan
keseimbangan antara kedua efek ini pada
CCB. Contohnya pada pasien dengan
unstable angina dan post myocardial infark,
ditemukan tidak ada penurunan dari
morbiditas dan mortalits setelah penggu-
naan nifedipine sebagai vasodilator arteri.
Walaupun begitu, beberapa ahli menyangkal
pendapat ini karena vasodiltasi koroner
merupakan hal yang baik karena dapat
meningkatkan trasnportasi oksigen ke mio-
kardium dan dapat menurunkan kerja
jantung lewat penurunan afterload.
CCB memiliki efek kerja yang berbeda
jika dibandingkan dengan jalur umum yang
di-gunakan ACE inhibitor dan ARB. ACEI dan
ARB menggunakan jalur renin-angiontensin-
aldoste-ron. Kombinasi dari kedua obat ini
dapat memberikan efek sinergis jika
dibandingkan dengan dua obat yang
diberikan dalam jalur yang sama. Pasien
yang awalnya didiagnosis dengan hipertensi
stage atau 2, atau pada pasien dengan
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
46
kontrol tekanan darah yang buruk,
kombinasi CCB dan ARB dapat memberikan
efek yang lebih bagus dibandingkan dengan
monoterapi. Benefit dari CCB/ARB juga
ditemukan dalam penggunaan nifedipine
GITS dengan losartan, ditemukan keduanya
memiliki efek yang lebih baik jika
dibandingkan monoterapi untuk pasien
dengan hipertensi ringan sampai sedang.
Temuan ini juga ditemukan pada
pasien yang diberi terapi nifedipin dan
candesartan, kombinasi dosis rendah
CCB/ARB menunjukkan hasil yang lebih
efektif dibandingkan candesartan untuk
kontrol tekanan darah dan proteksi ginjal,
dengan terdapat penurunan yang signfiikan
dari level ekskresi mikorablumin di urin jika
dibandingkan dengan terapi kombinasi.
Studi lain yang meneliti valsartan dengan
nifedipine dan amlodipine menunjukan
penurunan tekanan darah yang signifikan,
namun lebih adekuat ditemukan pada
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
47
nifedipin dan valsartan jika dibandingkan
dengna amlodipine dan valsartan.
Temuan ini juga didukung oaleh studi
lain yang melihat kombinasi CCB dan ACEI
pada pasien hipertensi yang tidak membaik
dengan monoterapi. Kombinasi dari
manidipine dan delapril ditemukan lebih
efektif dibandingkan monoterapi kedua obat
tersebut. Pada akhir periode pengobatan
sekitar 73% pasien memiliki tekanan darah
yang terkontrol. Data dari studi lain juga
menunjukkan bahwa terapi CCB tambahan
tidak hanya menurunkan tekanan darah tapi
juga memperbaiki keluaran pasien.
Pengunaan CCB (dalam studi ini felodipine)
sebagai terapi baseline, menunjukkan
adanya penurunan risiko kardiovaskular.
Terdapat bukti kuat bahwa hipertensi
adalah faktor risiko paling penting dari
stroke. Risiko stroke meningkat seiring
dengan peningkatan tekanan darah. Pada
pasien dengan risiko stroke, menurunkan
tekanan darah dapat menunjukkan benefit
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
48
yang siginfikan. Penurunan tekanan darah
sebanyak 5-6 mmHg menurunkan risiko
stroke hingga 38%. Penggunaan CCB
sebagai anti hipertensif memberikan
manfaaat spesifik pada pasien stroke.
Kombinasi dari CCB dan ACEI menunjukkan
penurunan risiko stroke pada orang lanjut
usia.
Pada pasien hipertensi dengan risiko
kardiovaskular besar, disfungsi renal
dibuktikan telah menjadi predictor penting
untuk faktor risiko kardiovaskular dan juga
faktor prognostic untuk risiko serebro-
vaskular. Tekanan darah juga jauh lebih sulit
dikontrol pada pasien gangguan ginjal,
terutama dengan komorbid diabetes. Kontrol
tekanan darah yang ketat juga dapat
menurunkan risiko dari gagal ginjal.
Individu dengan diabetes memiliki
risiko 2x lipat untuk menderita diabetes.
Hipertensi ditemukan 2x lebih umum pada
pasien dengan diabetes, jika dibandignkan
dengan non diabetes, yang merupakan 75%
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
49
dari faktor risiko kardiovaskular yang daapt
menyebabkan peningkatan mortalitas dan
morbiditas yang signfiikan. Hipertensi
bekerja secara sinergis dengan diabetes
untuk meningkatkan komplikasi mikro dan
makrovaskular.
Daftar pustaka
Haller, H. (2008) ‘Effective management of hypertension with dihydropyridine calcium channel blocker-based
combination therapy in patients at high cardiovascular risk’, International Journal of Clinical Practice, 62(5), pp. 781–790. doi: 10.1111/j.1742-1241.2008.01713.x.
Toal, C. B., Meredith, P. A. and Elliott, H. L. (2012) ‘Long-acting dihydropyridine calcium - channel blockers and sympathetic nervous system activity in hypertension: A literature review
comparing amlodipine and nifedipine GITS’, Blood Pressure, 21(SUPPL. 1), pp. 3–10. doi: 10.3109/08037051.2012.690615.
(Haller, 2008; Toal, Meredith and Elliott, 2012)
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
50
Optimizing Use of Anticoagulant in ACS
Penggunaan antikoagulan terutama
untuk sindroma koroner akut sudah banyak
digunakan dalam praktik sehari-hari. Namun
keuntungan dan kelebihan masing-masing
obat terkadang dipandang sebelah mata.
Untuk lebih memahami informasi penggu-
naan antikoagulan pada sindroma koroner
akut, artikel ini akan mengulas berbagai
antikoagulan yang umum digunakan sehari-
hari.
Penyakit kardiovaskular secara umum
dan sindroma koroner akut merupakan salah
satu penyebab morbitas dan mortalitas.
Patofisiologi utama dari sindroma koroner
akut ini akibat adanya pembenteukan
thrombus pada arteri koroner yang
disebabkan oleh erosi dan rupture dari plak
atherosclerosis. Setelah erosi dan rupture,
kaskade dari kejadian-kejadian ini di-
sebabkan oleh komponen seluler dan
plasma menyebabkan pembentukan
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
51
thrombus, hal ini memainkan peran utama
dalam pembentukan thrombus pada proses
ini. Pembentukan thrombus pada arteri
koroner akhirnya menyebabkan kebuntuan
total atau parsial dari pembuluh darah arteri
sehingga menimbulkan nyeri dada spesifik
yang muncul pada sindroma koroner akut.
Pada pasien yang muncul dengan gambaran
klinis STEMI umumnya memiliki arteri yang
buntu total, sedangkan pada pasien dengan
non ST segment elevation atau NSTEACS
umumnya datang dengan oklusi parsial dari
pembuluh darah.
Patofisiologi dari Trombogenesis
Kerusakan vaskular merangsang
sebuah jalur kaskade yang didesain untuk
mempertahankan integritas dari sirkulasi
koroner dan untuk mencapai hemostasis.
Pada kondisi normal, regulasi yang
terkontrol dari jalur ini dapat menyebabkan
keseimbangan yang aman antara aliran dari
koroner dan perbaikan pembuluh darah
yang adekuat. Disrupsi dari hemostasis pada
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
52
sirkulasi koroner ini dapat menyebabkan
thrombosis yang dapat mengancam nyawa.
Sindroma koroner akut dicirikan oleh
infalmasi vaskular, disfungsi endothelial
subsekuen, dan aktivasi platelet, diikuti oleh
pembentukan thrombus. Pada berbagai
kondisi ekstrem, thrombosis yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan oklusi total
sehingga menyebabkan kenaikan segmen
ST dan menyebabkan infark mikard.
Peructaneous Coronary Intervention dan
penggunaan agen trombotik sebagai terapi
utama dari sindroma koroner akut telah
terbukti dapat menurunkan frekuensi
komplikasi awal dan akhir dari perburukan
kardiovaskular.
Peningkatan penggunaan PCI
membutuhkan terapi antitrombotik lebih
lanjut untuk mereduksi komplikasi lebih
lanjut. Penilaian pasien harus dilakukan
secara individu untuk menyeimbangkan
kebutuhan akan penghambat thrombosis
dan risiko pendarahan lebih lanjut, yang
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
53
juga merupakan penanda prognostic untuk
PCI.
Mekanisme dari Pembentukan Trom-
bus
Aktivasi dari jalur koagulasi krusial
untuk pembentukan thrombus. Fibroblast
dan sel otot polos mengeskrepsikan faktor
mengekspresikan faktor membrane protein
jaringan, yang selalu ada di darah. Pada
tempat kerusakan vaskular, platelet
mengkespresika isomerasi disulphide, yang
membelah faktor jaringan menjadi bentuk
aktif. Faktor jaringan yang teraktifasi
kemudian menempel pada faktor VII a dan
menyebabkan aktivasi dari faktor VII, IX,
dan X. Faktor Xa dan V kemudian
bergabung menyebabkan pembentukan
thrombin. Kehadiran fark faktor aktivasi
thrombin V dan VII merangsang konversi
protrombin menjadi thrombin dengan
komplek Xa-Va. Pembentukan fibrin dari
fibrinogen dirangsang di awal pada kaskade
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
54
koagulasi dan menyebabkan pembentukan
thrombus.
Terapi Antikoagulan
Kombinasi dari antikoagulan dan
antiplatelet lebih baik untuk menurunkan
kejadian trombotik pada NSTEACS
dibandingkan penggunaan antiplatelet saja.
Hal ini akibat dari inhibisi produksi dan
aktivitas thrombin.
Unfractioned Heparin
Unfractioned Heparin (UFH) adalah
sebuah polisakarida sulfat yang disekresikan
secara endogen. Komponen pentasakarida
memiliki afinitas tinggi untuk antitrombin III.
Pengikatan menyebabkan jendela terapi dari
UFH dan evefek farmakokinetiknya yang
bervariasi dari pasien ke pasien
membutuhkan monitoring yang ketat. Efek
antikoagulan dapat dimontoring dengan
variabel Activated Clotting Time (ACT) di
ruangan kateterisasi jantung atau
menggunakan Activated Partial Throm-
boplastin Time (aPTT).
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
55
Efikasi dari UFFH di ACS telah
divalidasi oleh berbagai randomized
controlled trial. Ringkasnya semua studi
menunjukan reduksi yang signifikan pada
frekuensi iskemik. Sebuah studi
membandingkan dosis rendah UFH (50
IU/kg) dengan dosis standard 85 IU/KG
pada pasien dengan NSTEACS, dan
menunjukkan tidak ada perbedaan dan efek
signifikan pada pendarahan saat PCI atau
pada daerah vaskular lainnya.
Low Molecular Weight Heparin
Low Molecular Weight Heparin (LWH) adalah
turunan dari ehparin yang diserap subkutan
dan memiliki waktu paruh yang lebih lama
dibandignkan UFH. Mereka lebih jarang
menempel pada protein plasma,
menyebabkan aktivitas farmakokinetik dari
LMWH lebih dapat diprediksi dibandingkan
dari UFH, dan menurunkan efek samping
dari pendarahan dan menyebabakn heparin
induced thrombocytopenia. Enoxaparin
adalah LMWH yang paling sering dipelajari.
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
56
Enoxaparin ditemukan tidak lebih buruk jika
dilihat dari morbiditas pasien dan miokardial
iskemiak tidak fatal pada 30 hari pertama
untuk pasine-pasien yang datang dengan
NSTEACS risiko tinggi yang diterapi dengan
strategi invasive. Peningkatan singifikan dari
pendarahan mayor ditemukan pada
enoxaparin dibandingkan dengan UFH.
Namun pada pasien-pasien infark miokard
akut yang diterapi dengan angioplasty
primer dan dibandingkan penggunaan
enoxaparin dan UFH, sindroma koroner akut
yang berulang dan revaskularisasi darurat,
ditemukan komplikasi-komplikasi tersebut
menurun pada pasien yang diterapi dengan
enoxaparin.
Fondaparinux
Fondaparinux adalah inhibitor selektif
Xa dengan waktu paru 17 jam dan diberikan
subkutan sekali sehari pada pasien yang
datang dengan NSTEACS. Obat ini
menghambat pembentukan thrombin
dengan carai menempel pada antitrombin.
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
57
Mirip dengan enoxaparin, fondaparinux
jarang menempel pada protein plasma
menyebabkan efek antikoagulan yang
mudah terprediksi, dan tidak dibutuhkan
monitoring pada penggunaan obat ini.
Fondaparinux diekskresi oleh ginjal dan
tidak direkomendasikan pada orang-orang
dengan gangguan ginjal.
Pada sebuah studi yang mem-
bandingkan pasien dengan sindroma
koroner akut dengan terapi fondaparinux
atau enoxaparin, fondaparinux dengan dosis
rendah pun memberikan efek yang serupa
dengan dosis yang lebih tinggi. Pada studi
lain yang membadningkan UFH dengan
fondaparinux, pasien di kedua kelompak
tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan pada laju pendarahan walaupun
dosis fondaparinux dosis rendah yang
digunakan.
Bivalirudin
Bivalirudin adalah sebuah zat sintetik
yang ditemukan secara natural sebagai
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
58
hirudin, memiliki afinitas tinggi untuk
thrombin, yang bekerja dengan carai
menghambat konversi dari fibrinogen ke
fibrin. Ikatan antara bivalirudin tdan
thrombin dapat sedikit demi sedikit
dikurangi oleh thrombin menyebabkan
aktivitas dari bivalirudin jadi eversible. Obat
ini memiliki paruh waktu pendek, yaitu
sekitar 25 menit. Efek antikoagulan dari
bilavirudin dapat diprediksi karena tidak
terikat plasma, dan monitoring dapat
dilakukan dengan mengukur aPTT.
Dosis yang dapat diberikan pada
bivalirudin adalah 0,75 mg/kg diikuti dengan
dosis 1,75 mg/kg saat intervensi. Padda
sebuah studi ditemukan bahwa tidak ada
perbedaan dalam angka kematian,
pendarahan, atau prosedu revaskularisasi
ulang pada 30 hari pertama setelah terapi
dengan bivalirudin.
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
59
Daftar pustaka
Moon, J. Y. et al. (2017) ‘The role of oral
anticoagulant therapy in patients with acute coronary syndrome’, pp. 353–366. doi: 10.1177/https.
Onwordi, E. N. C., Gamal, A. and Zaman, A.
(2018) ‘Coronary Anticoagulant Therapy for Acute Coronary Syndromes’, pp. 87–92.
Lecture Notes: Simposium Tatalaksana Kardiovaskular Komprehensif 2020
"DokterPost" Media informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia