abstrak pola inovasi pada industri low … · proses inovasi dalam industri batik dengan pendekatan...
TRANSCRIPT
i
ABSTRAK
POLA INOVASI PADA INDUSTRI LOW TECHNOLOGY
DENGAN PENDEKATAN SISTEM INOVASI REGIONAL
DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN WILAYAH
(STUDI KASUS INDUSTRI BATIK KOTA PEKALONGAN)
Oleh
Nimas Maninggar
NIM: 35413001
(Program Studi Doktor Perencanaan Wilayah dan Kota)
Dalam satu dasawarsa terakhir, akademisi dan pembuat kebijakan semakin
mengkritik keberpihakan wilayah pada dominasi industri high-tech untuk
meningkatkan pengembangan ekonomi wilayah melalui inovasi. Salah satu
pemicunya adalah pergeseran paradigma pemaknaan dan proses terciptanya
inovasi dari linier yang menitikberatkan R&D ke nonlinier model yaitu proses
interaktif. Pandangan ini menyiratkan adanya proses sosial yang melibatkan
kerjasama dan kolaborasi antaraktor dalam pembentukan inovasi. Dalam konteks
hubungan dengan wilayah, industri memerlukan dukungan baik dalam bentuk
kebijakan atau kondisi institutional tertentu dalam pengembangan inovasi.
Hubungan antarfaktor tersebut terangkum dalam konsep Sistem Inovasi Regional
(RIS).
Penerapan RIS dalam hubungan antaraktor dengan wilayah yang
direpresentasikan sebagai kebijakan dan institusi dalam mengidentifikasi proses
inovasi masih dianggap sebagai kotak hitam karena minimnya bukti empiris,
khususnya di negara berkembang. Dalam konsep RIS, industri low-tech memiliki
peluang untuk berkontribusi dalam penciptaan inovasi. Konsep ini
mengakomodasi, sifat keterbukaan dan proses interaktif dalam pembentukannya
sehingga inovasi tidak semata-mata dimaknai sebagai perubahan radikal hasil dari
R&D namun juga perubahan inkremental seperti proses, organisasi hingga
pemasarannya.
Negara berkembang di Asia Tenggara memiliki keunggulan daya saing pada
industri low-tech. khususnya tekstil. Indonesia memiliki industri tekstil tradisional
dengan pasar di dalam dan luar negeri. Produsen penghasil batik terbesar di
Indonesia adalah Kota Pekalongan. Telah banyak studi dilakukan untuk memotret
perkembangan industri batik di Kota Pekalongan yang dalam beberapa temuannya
menyatakan bahwa variabel keberhasilan industri batik salah satunya adalah
karena inovasi. Sebagai salah satu wilayah yang mengadopsi konsep RIS dalam
mendukung pengembangan ekonomi wilayahnya, penelitian tentang bagaimana
proses inovasi dalam industri batik dengan pendekatan RIS belum pernah
dilakukan. Studi ini bertujuan untuk menemukan pola inovasi dengan
ii
menguraikan proses inovasi menggunakan elemen pembentuk RIS yaitu aktor dan
kolaborasinya dengan institusi (kebijakan). Selanjutnya pola inovasi yang
terbentuk dapat dijadikan sebagai panduan bagi pengembangan inovasi di wilayah
lain dengan karakteristik wilayah dan industri yang serupa.
Metode yang digunakan dalam studi ini adalah kualitatif dengan studi kasus.
Pemilihan sampel dilakukan dengan purposive snowball sampling. Sampel dipilih
dari 5 kelompok yang berbeda yaitu industri, universitas, pemerintah ,lembaga
keuangan dan organisasi sosial. Dalam menemukan pola inovasi pada industri
low-tech dilakukan dalam 3 tahapan analisis yaitu mengidentifkasi aktor dengan
menggunakan variabel organizational thickness; menguraikan kolaborasi
antaraktor dengan menjelaskan keterkaitan peran kebijakan wilayah dalam
mendukung inovasi industri; dan mengkaji pola yang terbentuk dari kolaborasi
tersebut.
Hasil analisis menyatakan bahwa kebijakan sistem inovasi yang diterapkan oleh
Kota Pekalongan ikut mendukung terbentuknya inovasi industri. Pemerintah
melalui kebijakannya mampu menciptakan institutional change untuk
mengarahkan kolaborasi antaraktor. Selain pemerintah faktor sosial seperti
kedekatan relasi juga menjadi elemen penting dalam mendukung hubungan
antaraktor terutama pada transfer pengetahuan. Kolaborasi dengan dukungan
kebijakan dan sosial budaya ini menciptakan dua kondisi yang kondusif untuk
berinovasi yaitu penelitian dan pembelajaran. Kondisi ini yang kemudian
menggiring Kota Pekalongan tetap dapat mempertahankan wilayahnya menjadi
produsen batik terbesar dan memberikan manfaat pada pengembangan ekonomi
wilayah.
Kata Kunci: Sistem Inovasi Regional, Industri low-tech, Inovasi, Kolaborasi,
Pengembangan Wilayah.
iii
ABSTRACT
INNOVATION PATTERNS
IN LOW TECHNOLOGY INDUSTRIES
THROUGH A REGIONAL INNOVATION SYSTEM APPROACH
IN THE CONTEXT OF REGIONAL DEVELOPMENT
(CASE STUDY PEKALONGAN BATIK INDUSTRY)
By
Nimas Maninggar
NIM: 35413001
(Doctoral Program of Urban and Regional Planning)
In the last decade, academics and policy makers have increasingly criticized the
inclination of regions towards the dominance of high-tech industries for boosting
regional economies through innovation. One of the triggers of this critique is the
paradigm shift of the meaning and process of creating innovation from a linear
model, which focuses on R&D, toward a non-linear model that is achieved
through interactive processes. This view implies the existence of a social process
that involves cooperation and collaboration among actors in creating innovation.
In a regional context, industries need support in the form of policies or certain
institutional conditions to be able to innovate. The inter-actor relationship is
summarized in the concept of the Regional Innovation System (RIS).
The application of RIS in a region’s inter-actor relationships in identifying
innovation processes is still considered a “black box” because of the lack of
empirical evidence, especially in developing countries. In the concept of RIS, low-
tech industries have an opportunity to contribute to creating innovation. This
concept accommodates the open nature and the interactive process in its creation.
Thus, the meaning of innovation is not limited to radical changes originating from
the process of R&D but includes incremental changes such as in the process,
organizational structure, and marketing.
The developing countries in South East Asia have a competitive advantage in low-
tech industries, especially in the textile industry. Indonesia has a traditional batik
textile industry with a large market, both foreign and domestically. Pekalongan
Municipality is the biggest batik producer in Indonesia. Many studies have tried
to describe the batik industry in Pekalongan Municipality and some of the
findings points at innovation as one of the aspects underlying the success of the
Pekalongan batik industry. Even though Pekalongan uses RIS to grow its regional
economy, no research has been conducted concerning the innovation process
using a RIS approach. This study seeks to uncover Pekalongan’s innovation
patterns by analysing the innovation process based on the actors and their
iv
collaboration with the institutions as the elements that form RIS. Moreover, the
innovation pattern in Pekalongan will be used as guidance for developing
innovation in other regions that have similar regional and industrial
characteristics.
The study uses qualitative methods with a case study approach using purposive
snowball sampling. The sample was taken from five different groups comprising
the industry, the university, the government, the financial body, and the social
organization. Determining the innovation factor of low-tech industries involved a
three-stage analysis consisting of identifying the actors using the variable of
organizational thickness; outlining inter-actor collaboration by describing the
influence of regional policy on supporting innovation in the batik industry; and
analyzing the resulting pattern of collaboration.
The study shows that the implementation of an innovation system policy by the
local government supports the creation of industrial innovation. The government
through its policies is able to create institutional change which drives the inter-
actor collaboration. In addition, social factors such as the relational proximity
are important elements in supporting inter-actor relationships, especially in the
process of knowledge transfer. Collaboration supported by policy and socio-
cultural elements creates two conducive conditions for innovation, i.e., research
and learning. This enables Pekalongan Municipality to maintain its position as
the biggest batik producer and to benefit its regional economical development.
Keywords: Regional Innovation System, Low-tech Industry, Innovation,
Collaboration, Regional Development