abstrak - ipb repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63667/bab iii... · 5....

20
ABSTRAK LUCIA JOHANA LAMBEY. Karakteristik Genetik Burung Weris (Gallirallus philippensis)Asal Minahasa Berdasarkan Marka DNA Mitokondria Gen Cytochrome-b. Dibimbing oleh RONNY RACHMAN NOOR, WASMEN MANALU, dan DEDY DURYADI SOLIHIN. Pemanfaatan sumber daya genetik ternak yang ada perlu dijaga keanekaragamannya sekaligus sebagai salah satu upaya pelestarian secara berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari karakteristik genetik dan kekerabatan burung weris dibeberapa lokasi di Minahasa melalui analisis molekuler dengan menggunakan gen Cyt-b. Gallirallus philippensis pada empat lokasi di Minahasa, yaitu Papontolen, Ranoyapo, Tondano, dan Wusa, yang memiliki variasi genetik yang masih tinggi yang ditunjukkan dengan keberadaan 5 haplotipe yang berbeda sehingga membentuk beberapa percabangan, tetapi masih satu klaster. Gallirallus philippensis pada empat lokasi di Minahasa berkerabat dekat. Gallirallus philippensis yang ada di Minahasa dan yang di Australia dan Gallirallus philippensis asal Filipina memiliki perbedaan genetik yang cukup besar. Kata kunci: Gallirallus philippensis, Genetik

Upload: nguyennhan

Post on 16-Feb-2018

225 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

ABSTRAK

LUCIA JOHANA LAMBEY. Karakteristik Genetik Burung Weris (Gallirallus

philippensis)Asal Minahasa Berdasarkan Marka DNA Mitokondria Gen

Cytochrome-b. Dibimbing oleh RONNY RACHMAN NOOR, WASMEN

MANALU, dan DEDY DURYADI SOLIHIN.

Pemanfaatan sumber daya genetik ternak yang ada perlu dijaga

keanekaragamannya sekaligus sebagai salah satu upaya pelestarian secara

berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari karakteristik genetik dan

kekerabatan burung weris dibeberapa lokasi di Minahasa melalui analisis

molekuler dengan menggunakan gen Cyt-b. Gallirallus philippensis pada empat

lokasi di Minahasa, yaitu Papontolen, Ranoyapo, Tondano, dan Wusa, yang

memiliki variasi genetik yang masih tinggi yang ditunjukkan dengan keberadaan 5

haplotipe yang berbeda sehingga membentuk beberapa percabangan, tetapi masih

satu klaster. Gallirallus philippensis pada empat lokasi di Minahasa berkerabat

dekat. Gallirallus philippensis yang ada di Minahasa dan yang di Australia dan

Gallirallus philippensis asal Filipina memiliki perbedaan genetik yang cukup

besar.

Kata kunci: Gallirallus philippensis, Genetik

38

ABSTRACT

LUCIA JOHANA LAMBEY. Genetic Characteristics of Weris (Gallirallus

philippensis) in Minahasa by Mitochondrial DNA Marker Cytochrome-b gene.

Under supervision of RONNY RACHMAN NOOR, WASMEN MANALU, and

DEDY DURYADI SOLIHIN.

Utilization of animal genetic resources should be maintained as a diversity

of sustainable conservation. The purpose of this research was to study the genetic

and kinship of weris at several locations in Minahasa by molecular analysis of

Cyt-b gene. Weris at four locations, Papontolen, Ranoyapo, Tondano, and Wusa,

had a high genetic variation as was indicated by the presence of five different

haplotypes, but still in one cluster. Weris at four locations in Minahasa were

closely related. Weris in Minahasa, Australia, and the Philippines have large

genetic differences.

Keywords: Gallirallus philippensis, genetic

39

Pendahuluan

Burung weris (Gallirallus philippensis) dari genus Gallirallus famili

Rallidae mempunyai daerah penyebaranyang meliputi Filipina, Indonesia, New

Guinea, Australia, dan Selandia Baru yang dikenal sebagai “ BuffBanded Rail”

(Allen et al. 2004). Di Indonesia,burung ini dikenal dengan nama mandar padi

kalung kuning dan di Minahasa dikenal dengan nama burung weris. Khususnya di

Sulawesi terdapat tiga spesies, yaitu Gallirallus torquatus, Gallirallus striatus,

dan Gallirallus philippensis. Coates dan Bishop (1997) menyatakan bahwa

Gallirallus phillippensis terdapat di daerah Sulawesi, Maluku, dan Nusa

Tenggara.

Tiga spesies dari genus Gallirallus memiliki keragaman yang dapat

membedakannya antara spesies yang satu dan spesies yang lainnya, dengan

beberapa faktor kunci dari masing-masing spesies. Disamping itu, setiap spesies

merupakan monomorfiksehingga dapat dipastikan untuk membedakan masing-

masing spesies. Perbandingan karakter beberapa spesies dari famili Rallidae,

seperti Gallirallus torquatus, mempunyaiparuh dan kaki berwarna gelap, bagian

belakang berwarna cokelat gelap, muka, pipi, dan leher berwarna hitam dengan

garis putih menonjol dibagian pipi di bawah mata, pada bagian bawah berwarna

hitam putih sebra. Gallirallus striatusmempunyai paruh warna tanduk dan pada

bagian dasar berwarna merah jambu, bagian kaki berwarna abu-abu, muka bagian

samping dan bagian dada berwarna abu-abu terang, bagian belakang berwarna

cokelat(Taylor 1998; Kennedy et al. 2000). Gallirallus okinawae memiliki paruh

dan kaki warna merah, bagian belakang warna cokelat, muka, pipi, dan bagian

leher berwarna hitam, dengan garis putih menonjol dibagian pipi di bawah mata

serta pada bagian bawah berwarna hitam putih zebra.

Berdasarkan status keberadaannya, masing-masing spesies tersebut berbeda-

beda, yaitu Gallirallus torquatus, Gallirallus striatus, dan Gallirallus philippensis

dalam status “least concern”, sedangkan Gallirallus okinawae berstatus

“endangered” (Bird Life International 2004).

Beberapa kelompok burung seringkali sulit dibedakan secara morfologis

walaupun telah menempati berbagai habitat dan sebaran geografis yang beragam,

terutama variasi intraspesiesnya. Namun,beberapa ahli masih mampu

40

membedakannya secara molekuler (Fain et al. 2007). DNA mitokondria memiliki

banyak kelebihan sebagai penanda molekuler pada tingkatan intraspesies

vertebrata karena pola pewarisan melalui garis ibu yang menyebabkan tidak ada

rekombinasi dan laju mutasi tinggi (Avise 1994). Daerah penyandi cyt b pada

kelompok burung (Gallus gallus) berukuran 1143 nukleotida (nt) yang terletak

diantara ND5 dan tRNAThr

(Desjardins & Morais 1990). Cytochrome b dalam

setiap tingkat spesies memiliki variasi yang cukup tinggi. Hal ini menjadi alasan

mengapa Cyt-b sering dipakai sebagai pembanding analisis filogenetik untuk

tingkat spesies, genus, atau famili yang sama (Bretagnole et al. 1998).

Data mengenai filogeni dan morfologi burung dari genus Gallirallus ini

masih sangat kurang sehingga kajian filogeni (kekerabatan) mempunyai peranan

yang sangat penting dalam pengelolaan satwa, terutama untuk mengatur strategi

penangkaran agar tidak mengalami kepunahan di alam. Keberadaan burung weris

di habitatnya dapat merupakan reservoir bagi kekayaan plasma nutfah, baik

sebagai koleksi dan konservasi keanekaragaman hayati maupun untuk materi

pemuliaan. Sumber daya genetik mempunyai peran penting dalam pembentukan

galur unggul, sementara keragaman genetik dapat diketahui melalui karakterisasi

dan evaluasi yang lebih baik. Dalam memanfaatkan sumber daya genetik ternak

yang ada, perlu dijaga keanekaragamannya sekaligus sebagai salah satu upaya

pelestarian secara berkelanjutan.

Selain itu, informasi ini akan sangat berguna dan berharga untuk penelitian

ekologi, perilaku, dan fisiologi burung weris dan spesies dari genus Gallirallus

lainnya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menerangkan hubungan filogeni dan variasi

genetik burung weris (Gallirallus philippensis) di beberapa lokasi di Minahasa

(Papontolen, Ranoyapo, Tondano, dan Wusa).

Hipotesis

Terdapat variasi genetik antara lokasi burung weris di Minahasa, serta

memiliki hubungan kekerabatan antarlokasi di Minahasa.

41

Alur Penelitian

Berdasarkan permasalahan umum dari burung-burung liar sebagai plasma

nutfah potensial untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein alternatif

ataupun sumber ekonomi masyarakat setempat adalah minimnya informasi

biologis, terutama informasi genetiknya.

Oleh karena itu, strategi eksplorasi karakteristik genetiknya harus dibuat

sebaik mungkin agar potensi yang baik ini dapat direalisasikan secara

berkesinambungan secara ekonomi dan ekologi. Untuk burung weris, diagram

alur tahapan penggalian informasinya dapat dilihat pada bagan berikut ini

(Gambar 10).

Apakah karakteristik genetik intraspesies berdasarkan sebaran geografisnya beragam

Karakteristik genetik berdasarkan marka DNA mitokondria terutama Cyt-b

Untuk melihat keragaman intra- spesies di berbagai lokasi pengambilan sampel darah

Isolasi dan ekstraksi DNA

Uji kualitas DNA Amplifikasi Gen Cyt-b parsial dengan teknik

Perunutan nukleotida dengan pembanding menggunakan primer

spesifik

Analisis dengan Mega

versi 4.0

Keragaman genetik, jarak genetik dan pohon filogeni

Sumber genetik burung weris untuk proses domestikasi (Status

kedekatan, sumber keragaman, performans reproduksi)

Domestikasi burung weris berdasarkan komponen biologis

dan genetik yang andal

Gambar 10 Diagram alur penelitian

42

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian yang dilaksanakan meliputi kegiatan lapangan dan

laboratorium. Kegiatan lapangan dilakukan untuk pengambilan sampel darah

untuk analisis DNA. Penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan secara

purposive sampling dengan memilih beberapa lokasi yang ada di Minahasa,

mengikuti pengambilan sampel untuk karakteristik morfologi. Penelitian

laboratorium untuk analisis molekuler dilakukan di Laboratorium Biologi

Molekuler, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB.

Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel di Minahasa Selatan yang terdiri atas Desa Papontolen

dilakukan pada tanggal 24 Mei 2011, di Desa Tompaso Baru pada tanggal 3

Agustus 2011, di Minahasa Induk Desa Tondano pada tanggal 28 Mei 2011 dan

26 Juli 2011, dan di Minahasa Utara pada tanggal 6 September 2011. Peralatan

yang digunakan untuk pengambilan sampel ialah pukat warna hijau dengan

ukuran 40 m x 2 m, GPS, termometer yang dilengkapi dengan higrometer digital

(Max dan Min), dan kamera. Pukat dipasang sesuai panjangnya, yaitu 40 m yang

mengikuti luasan sawah, kemudian burung diusik kedepan dengan menggunakan

tali sehingga masuk kepukat dan terperangkap dipukat. Burung yang masuk

dipukat biasanya dalam ukuran sudah dewasa karena burung berukuran kecil yang

terjerat dipukat dapat keluar kembali. Sebanyak 150 ekor burung diperoleh dari

penangkap, dan 30 ekor burung weris diambil darahnya untuk sampel DNA.

Sebanyak 25 sampel yang disekuensing dan yang berhasil dialigment adalah 16

sampel (lokasi Papontolen 4 sampel, lokasi Tondano 4 sampel, lokasi Wusa 4

sampel, dan lokasi Ranoyapo 4 sampel).

Sampel Darah

Sampel darah burung weris diambil dengan menggunakan spuit pada vena

bagian sayap (vena jugularis) sebanyak 0.5 mL dan dimasukkan ke dalam tabung

43

mikro (1.5 mL) yang telah diisi sebagian dengan alkohol absolut dan dikocok

sampai homogen. Kemudian, sampel ditambahkan lagi alkohol absolut sampai

tabung eppendorf penuh dan ditutup kembali. Sampel tersebut selanjutnya dibawa

ke laboratorium dan disimpan pada suhu kamar.

Isolasi dan Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA dilakukan dengan modifikasi metode purifikasi fenol yang

dikembangkan oleh Sambrook et al. (1989). Dalam tabung mikro 1,5 mL

dimasukkan sampel darah sebanyak 250-500 L yang sebelumnya telah dicuci 3

kali dengan larutan lowTE dan kemudian ditambahkan larutan lysis buffer (0.32

M Sucrose, 1% v/v Triton X-100, 5mM MgCl2, dan 10 mM Tris HCl) 1 x

volume, dikocok sampai homogen. Campuran disentrifugasi pada 6500 rpm

selama 1 menit. Cairan supernatannya dibuang, sedangkan pada endapan

ditambahkan 200 Lrinse buffer (75 mM NaCl, 50 mM EDTA) dan divortex.

Setelah itu, 500 Ldigestion buffer (200 mM NaCl, 50 mM Tris HCl, 100 mM

EDTA, 1% SDS dan 20 mL proteinase) ditambahkan pada tabung, dikocok

sampai homogen lalu diinkubasi pada suhu 55°C selama semalam ( 16 jam).

Setelah diinkubasi, besoknya sebanyak 500 L larutan fenol ditambahkan pada

larutan tersebut, dikocok selama 20 menit, lalu disentrifugasi pada kecepatan

13.000 rpm selama 3 menit. Supernatan diambil dan dipindahkan ke dalam

tabung baru dan kemudian ditambahkan etanol absolut sebanyak 2 x volume,

disentrifugasi pada 13.000 rpm selama 3 menit hingga terdapat endapan putih.

Cairan etanol absolut dibuang hingga tersisa endapan putih. Endapan putih

tersebut dicuci dengan menambahkan alkohol 70% 1x volume kemudian

disentrifugasi dengan kecepatan 13.000 rpm selama 3 menit. Endapan kemudian

dikeringkan pada suhu ruang 15 sampai 30 menit. Selanjutnya,kepada endapan

tersebut ditambahkan Tris 50 µL EDTA (TE 10 mM Tris pH 8 dan 1 mM EDTA),

diaduk merata dengan disentrifugasi pelan dan larutan tersebut kemudian

diinkubasi pada suhu 37°C selama 15 menit. Sampel tersebut disimpan dalam

freezer untuk diproses selanjutnya.

44

Uji Kualitas DNA

DNA total yang telah diisolasi kemudian dielektroforesis pada gel agarose

1,2 % menggunakan larutan buffer 1 X TBE (89 mM Tris, 89 mM Asam Borat

dan 2 mM EDTA, pH 8,0) dalam piranti submarine electrophoresis (Hoefer).

DNA divisualisasikan menggunakan UV Transluminator ( =260 nm).

Amplifikasi Daerah Cytochrome b

Primer digunakan untuk mengamplifikasi daerah cyt b, yaitu berdasarkan

Siahaan (2006). Hasil ekstraksi berupa DNA total digunakan sebagai cetakan

untuk mengamplifikasi daearah Cyt b. Sepasang primer yang digunakan untuk

mengamplifikasi daerah Cyt b, yaitu primer forward M101 5‟-CAA ATC CTC

ACA GGC CTA TTC CTA GC -3‟ , dan primer reverse M102 5‟-TAG GCG

AAT AGG AAA TAT CAT TCG GGT TGA T-3‟. Pasangan primer ini

mengamplifikasi DNA dengan kondisi PCR sebagai berikut: predenaturasi pada

suhu 94°C selama 5 menit, selanjutnya proses siklus berulang sebanyak 35 kali

dengan tahapan, yaitu denaturasi pada suhu 94°C selama 45 detik, anealing pada

suhu 54°C selama 1 menit, elongasi pada suhu 72°C selama 1 menit.

Selanjutnya, proses tersebut disudahi dengan post elongasi pada suhu 72°C

selama 7 menit. PCR dilakukan dengan menggunakan mesin AB system 9700.

Komposisi untuk tiap reaksi PCR terdiri atas 2 kali master mix Gotaq green

(promega) 12,5 , DNA total 3 (10-100 ng), Enhancer 2 L , 50 mM MgCl2

1,5 , masing-masing sebanyak 1 dari20 pM primer M101 dan M102 dan air

steril dw (ddH 2 O) sebanyak 4 hingga volume total 25 .

Perunutan Nukleotida dan Analisis Data

DNA Cyt b produk PCR dirunut dengan menggunakan mesin DNA

otomatis ABI Prism versi 3.4.1. (USA). Proses perunutan dilakukan di PT.

Genetik Science Singapura. Data perunutan yang diperoleh kemudian disejajarkan

(alignment) dengan menggunakan perangkat lunak MEGA versi 4,0 (Tamura et

al. 2007).

Sebagai pembanding ingroup dalam penelitian ini digunakan nukleotida

lengkap Buff Banded Rail (Gallirallus philippensis, dari Australia dengan nomor

45

akses Gen Bank DQ485907), dan dari out group famili Rallidae, yaitu Rallus

longirostris (Nomor akses Gen bank DQ485908) (Fain et al. 2007).

Analisis rekonstruksi filogenetik menggunakan perangkat lunak MEGA

versi 4.0 (Tamura et al. 2007). Hasil perunutan dilihat hubungan kedekatan satu

sama lainnya berdasarkan jarak genetik Kimura 2 parameter dengan konstruksi

pohon filogeni menggunakan metode BootstrapNeighboor Joining 1000 kali

pengulangan.

Hasil dan Pembahasan

Deskripsi habitat Burung weris (Gallirallus philippensis)

Habitat burung weris (Gallirallus philippensis) di empat lokasi di Minahasa

terlihat pada Gambar 11.

a. Wusa b. Tondano c. Ranoyapo d. Papontolen

Gambar 11 Habitat burung weris di persawahan di Minahasa.

Daerah Minahasa pada umumnya memiliki topografi bergunung-gunung

dan terdapat bentangan sungai dan danau yang menjadi sumber pengairan untuk

persawahan. Sawah adalah lahan basah buatan yang banyak terdapat di Indonesia.

Sawah dibedakan menjadi sawah pasang surut, sawah irigasi, sawah tadah hujan ,

dan sawah lebak. Sawah pasang surut adalah sawah yang menggunakan pengaruh

pasang surut untuk memperoleh air, sawah non pasang surut adalah sawah yang

memperoleh air dari sungai atau dari saluran irigasi, dan sawah tadah hujan adalah

sawah yang hanya memanfaatkan air hujan untuk pengolahannya, sedangkan

sawah lebak adalah sawah yang dibuat di tepi rawa atau danau pada saat air surut

(Davies et al. 1996). Jenis sawah yang terdapat di Minahasa adalah sawah non

pasang surut yang memperoleh air dari sungai atau dari saluran irigasi. Sawah di

Minahasa umumnya memiliki 2 kali musim tanam.

b a c d

46

Pada penelitian ini, spesies burung lain yang menempati habitat persawahan

(berdasarkan hasil identifikasi morfologis) yang pernah tertangkap oleh pukat

ialah Gallirallus torquatus, Gallinulla chloropus, dan Porphyrio porphyrio.

Hasil Isolasi DNA dan Produk PCR Gen Cyt b

Dari 20 sampel darah yang dianalisis didapatkan 16 hasil DNA total dengan

jumlah rendemen yang cukup baik (Gambar 12)

Gambar 12 DNA total dari masing-masing sampel

Dari seluruh sampel yang dianalisis berhasil diamplifikasi oleh primer

forward M101 dan primer revers M102 fragmen DNA sebesar 695 bp Gambar 13.

Gambar 13 Hasil elektroforesis pada gel agarose fragmen produk PCR (695 bp)

dari cyt b burung weris.

Pada lokasi W (Wusa), R (Ranoyapo), P (Papontolen), dan T (Tondano),

masing-masing satu sampel tidak berhasil diamplifikasi dengan baik sehingga

P3 P4 P5 P 7 T1 T3 T4 T8 W3 W 9 W7 W8 R4 R6 R8 R5

3

P3 P5 R4 R6 T1 T8 W3 W9 T4 T8 P4 P7 R8 W7 R1 R5

47

hanya 16 sampel (Gambar 13) yang berhasil diamplifikasi Gen Cyt b partialnya

secara lengkap.

Variasi Genetik Gen Cytochrome b pada Gallirallus philippensis

Hasil perunutan DNA (sekuen) produk Polymerase Chain Reaction (PCR)

gen cyt-b sampel burung Gallirallus philippensis dari 4 lokasi di Minahasa

menghasilkan runutan DNA yang layak disejajarkan (alignment) sepanjang 695-nt

(nukleotida). Dari 695 nukleotida burung weris yang disejajarkan maka terdapat

nukleotida yang sama (conserve) adalah 690 sedangkan nukleotida yang berbeda

(variable) ada 5 dengan 3 situs parsimony dan 2 situs singleton. Adanya 690 situs

yang berbeda, menunjukkan adanya perbedaan intraspesies.

Nukleotida yang berbeda atau (variable) mempunyai sifat parsimoni

(Parsimoni informatif sites). Hal ini berarti bahwa hasil runutan nukleotida

apabila data sequens (minimal dua sequens) diamati, dan dibandingkan dengan

data sekuen lainnya menunjukkan perbedaan dari dua data sequens lainnya.

Parsimoni terjadi pada situs ke 55, 180, dan 522. Namun, situs singletonnya

terjadi pada situs ke 500 dan 320.

Perubahan nukleotida yang menyebabkan subtitusi transisi (pyrimidin dan

pyrimidin) yaitu Cytocine (C) menjadi Thymine (T) sejumlah 12.03% atau

sebaliknya Thymin (T) menjadi Cytosin (C) sejumlah 14.58%, (purin dan purin)

Adenin (A) menjadi Guanin (G) sejumlah 5.73%, atau sebaliknya Guanin (G)

menjadi Adenin (A) sejumlah 12.56%. Perubahan nukleotida yang menyebabkan

subtitusi transversi (purin dan pyrimidin), yaitu Adenin (A) menjadi Cytocin (C)

sejumlah 8.79% atau sebaliknya Cytosin (C) menjadi Adenin(A) 7.9%, Adenin

(A) menjadi Tymin (T) sejumlah 7.25% atau sebaliknya Tymin (T) menjadi

Adenin (A) sejumlah 7.9%. Guanin (G) menjadi Cytocin (C) sejumlah 8.79%,

atau sebaliknya Cytosin menjadi Guanin sejumlah 3.6% (Lampiran 1).

Perbedaan nukleotida yang terjadi adalah subtitusi transisi lebih besar

dibandingkan dengan subtitusi transversi. Mutasi transisi umumnya terjadi selama

replikasi DNA sedangkan trasversi lebih terkait dengan sistem reparasi DNA yang

rentan terhadap kesalahan (Burn & Bottino 1988; Sofro 1994).

Hasil penjajaran sepanjang 695 nukleotida paling banyak ditemukan

fragmen nukleotida C (31.9%), diikuti dengan A (28.7%), T (26.3%) dan yang

48

paling sedikit adalah G (13.1%). Proporsi jumlah ini sesuai dengan pendapat

Kocher et al. (1989) bahwa untuk kelompok burung dan ikan, nukleotida yang

paling banyak adalah C diikuti A, T, dan G (Lampiran 1).

Tabel 4 Posisi perbedaan nukleotida dan haplotipe yang dihasilkan dari 16 sampel

(4 lokasi) G. philippensis

Sampel 1 3 5 5 Haplotip Lokasi

5 8 2 0 0

5 0 0 0 8 P T W R

P3 A A T T T 1 1

P4 . C C . . 2 2

P5 G C C . . 3 3

P7 G C C . . 3 3

T1 . C C . . 2 2

T3 . C C . . 2 2

T4 G C C C C 4 4

T8 G C C . . 3 3

W3 G C C . . 3 3

W9 G C C . . 3 3

W7 G C C . . 3 3

W8 G C C . . 3 3

R4 G C C . . 3 3

R6 G C C . . 3 3

R8 G C C . . 3 3

R5 G . C . C 5 5

Jumlah 5 3 3 1 2

Keterangan: Lokasi P (Papontolen), T (Tondano), W (Wusa), R (Ranoyapo)

Nukleotida G (Guanin), A (Adenin), T (Timin), C (Cytosin).

Data pada Tabel 4 menunjukkan perbedaan urutan nukleotida semua sampel

burung G. philippensis. Dari keempat lokasi, satu lokasi yang terdiri atas empat

sampel, mempunyai kesamaan nukleotida, yaitu sampel dengan lokasi Wusa.

Kesamaan nukleotida ini terdapat juga pada setiap lokasi lain. Perubahan

nukleotida yang menyebabkan subtitusi transisi (basa purin menjadi purin yang

lain), yaitu dari Adenin (A) menjadi Guanin (G) berjumlah satu situs yaitu

nukleotida ke-55, dan subtitusi transisi (basa pirimidin menjadi pirimidin lain)

dari Timin (T) menjadi Cytosin (C) berjumlah 3 situs yaitu nukleotida ke-320,

500 dan 508. Substitusi transversi (basa purin menjadi pirimidin), yaitu dari

Adenin (A) menjadi Cytosin (C) berjumlah satu situs, yaitu situs ke-180.

Jumlah haplotipe yang dihasilkan dari 16 sampel sekuen cyt-b sepanjang

695-nt dari empat lokasi berjumlah 5 haplotipe (Tabel 1). Lokasi Papontolen

49

memiliki 3 haplotipe, lokasi Tondano memiliki 3 haplotipe, lokasi Wusa memiliki

1 haplotipe dan lokasi Ranoyapo memiliki 2 haplotipe. Hasil ini menunjukkan

bahwa lokasi Papontolen dan Tondano mempunyai keragaman haplotipe yang

paling beragam dibandingkan dengan populasi Wusa dan Ranoyapo. Data pada

(Tabel 4) menunjukkan bahwa lokasi Wusa hanya memiliki 1 haplotipe saja

(seragam), yaitu haplotipe 4 yang merupakan haplotipe bersama yang dimiliki

oleh burung yang lain dalam lokasi yang berbeda.

Tabel 5 Matriks jarak genetik kimura 2 parameter pada sampel Gallirallus

philippensis antara 4 lokasi di Minahasa

Keterangan: Papontolen [1] – [4]; Tondano [5] – [8]; Wusa [8] – [12]

Ranoyapo [13] – [16]

Jarak genetik digunakan untuk melihat kedekatan hubungan genetik antara

burung weris dari lokasi yang berbeda diantara burung weris dalam lokasi yang

sama. Melalui penggunaan analisis perhitungan Pairwise Distance Calculation

dengan model Kimura 2 Parameter, dapat ditunjukkan matriks perbedaan genetik.

Jarak genetik ini mengukur banyaknya perbedaan nukleotida perpasangan yang

mempertimbangkan tingkat subtitusi dari transisi dan transversi.

Matriks nilai jarak genetik kimura 2 parameter dari yang paling kecil

dengan nilai 0 sampai paling besar 0.007 (No 1-16) (Tabel 5). Jarak genetik

50

kimura 2 parameter tidak menunjukkan adanya pengelompokan pada masing-

masing lokasi, tetapi pengelompokan dari beberapa ekor burung dari empat lokasi.

Hal ini menunjukkan bahwa lokasi tidak memberikan pengaruh untuk membentuk

suatu kelompok yang berbeda. Secara umum dapat dikatakan bahwa G.

philippensis tidak dapat dibedakan antarlokasi. Hubungan kekerabatan yang

sangat dekat terjadi pada beberapa burung di empat lokasi yang berbeda (inter

lokasi) karena memiliki jarak genetik 0, selain itu juga dalam hubungan intra

spesies memiliki jarak genetik 0 atau memiliki kesamaan nukleotida.

Sampel burung weris P4, T1, dan T3 memiliki urutan nukleotida yang sama.

Perbedaan utama dengan sampel P5, P7, T8, W3, W9, W7, W8, R4, R6, R8, R5

ditunjukkan oleh urutan nukleotida ke-55 (A-G). Pada sampel lain yang memiliki

urutan nukleotida yang berbeda ialah sampel burung weris T4 berbeda dengan R5

dan R3.

Hubungan kekerabatan yang sangat dekat terjadi dalam intra spesies yaitu

spesies dalam satu lokasi Wusa (W3, W8, W7, W9). Kekerabatan yang sangat

dekat terjadi juga dalam hubungan inter spesies yaitu W3, W8, W7, dan W9

berada dalam satu cabang dengan sampel P5, P7, T8, R4, R6, R8 sehingga tidak

membentuk kelompok berdasarkan lokasi karena jarak genetiknya adalah nol

(Tabel 5)

Konstruksi pohon filogeni G. philippensis menggunakan metode Neighbor

Joining (NJ) dengan jarak genetik kimura 2 parameter bootstrap 1000 kali

disampaikan pada (Gambar 14) yang terbagi dalam 2 klaster besar, yaitu klaster A

dan B. Klaster A terdiri atas 16 sampel dan klaster B hanya diwakili oleh 3

sampel.

Pembagian klaster tidak berdasarkan lokasi, tetapi berdasarkan perbedaan

nukleotida dan jarak genetik dari masing-masing sampel dari empat lokasi yang

berbeda. Lebih jelasnya lagi terjadi perbedaan pada interpopulasi dan

intrapopulasi, serta adanya persamaan dalam intra spesies dan interspesies.

Sampel yang membentuk klaster terdapat sedikit perbedaan dan perbedaan

itu tidak mengelompok berdasarkan lokasi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa

keempat lokasi pengambilan sampel habitatnya sama, yaitu daerah persawahan,

walaupun ketinggian dari permukaan laut dan rata-rata lokasi terdapat perbedaan,

51

namun belum membentuk satu subspesies. Perbedaan yang terjadi hanya karena

tetua yang terlalu jauh.

Keempat lokasi pengambilan sampel letaknya memang cukup berjauhan,

namun masih dimungkinkan untuk terjadi perkawinan antara burung dari lokasi

yang satu, dengan lokasi yang lain karena masih dalam satu pulau dan tidak

dipisahkan oleh lautan sehingga kemungkinan ada aliran gen yang terjadi akibat

letak geografis burung weris yang berdekatan. Kemungkinan lain yang dapat

terjadi ialah introduksi yang tidak sengaja oleh para petani atau penangkap. Hal

ini dapat mengakibatkan terjadi perkawinan antara burung pada lokasi yang satu

dengan lokasi yang lain.

Gambar 14 Pohon filogeni Gallirallus philippensis antara lokasi di Minahasa

(P, R, T, W) dengan Gallirallus philippensis dari Australia (Q1=

DQ485907), dibandingkan dengan outgroup Rallus longirostris

(Q2=DQ485908), Gallirallus striatus (JQ342144), menggunakan

Metode Neighbor Joining (NJ) dengan Jarak Genetik Kimura 2

Parameter Bootstrap 1000 Kali berdasarkan 695 nt.

R6

R8

R4

W8

W7

w9

W3

T8

P7

P5

T4

R5

P3

P4

T1

T3

Q3

Q1

Q2

A

B

52

Konstruksi pohon filogeni Gallirallus philippensis yang berasal dari empat

populasi di Minahasa yaitu Papontolen, Ranoyapo, Tondano dan Wusa dibanding

dengan Gallirallus philippensis dari Australia serta kelompok lainnya dari Rallus

longirostris, tercantum dalam Gambar 14. Berdasarkan pohon filogeni di atas

tampak bahwa terdapat 2 klaster utama, yaitu G. philippensis dari Minahasa

berada dalam satu klaster. Klaster yang lain adalah G. philippensis dari Australia

yang berada pada percabangan yang sama dengan Rallus longirostris dan

Gallirallus striatus. Dari jarak genetik dari dua klaster yang berbeda

menunujukkan hubungan kekerabatan yang cukup jauh antara klaster A yaitu G.

philippensis dari Minahasa dengan G. philippensis dari Australia. Hal ini dapat

dipahami karena burung weris adalah burung sebaran terbatas karena jangkauan

terbangnya dekat sehingga tidak mungkin terjadi migrasi dari Minahasa ke

Australia, walaupun keduannya satu spesies. Hal ini didukung dengan adanya

teori pergerakan lempeng tektonik, yaitu Austaralia dan di Minahasa telah terpisah

beberapa ribu tahun yang lalu, sehingga burung weris Minahasa dan Australia

walaupun satu spesies, tetapi memiliki perbedaan nukleotida yang disebabkan

adanya mutasi sehingga terjadi evolusi yang dapat membentuk subspesies baru.

Ragam haplotipe burung weris yang tinggi pada lokasi Papontolen

diindikasikan terjadi perkawinan silang antar lokasi yang memiliki haplotipe yang

berbeda karena dari 4 sampel didapat 3 haplotipe begitu juga yang terjadi pada

daerah Tondano. Selain itu karena lokasi Papontolen merupakan jalur yang mudah

dijangkau dan juga berada pada lokasi yang paling rendah dari permukaan laut

dibandingkan dengan dua lokasi yang lain. Daerah Tondano merupakan jalur yang

mudah dijangkau walaupun daerahnya berada pada pada lokasi yang tinggi dari

permukaan laut. Adanya informasi tentang keragaman genetik berdasarkan

beragamnya haplotipe maka lokasi Papontolen dan Tondano merupakan lokasi

yang paling tepat dilakukannya konservasi in-situ.

Sebaliknya, dengan melihat haplotipe yang seragam pada lokasi Wusa,

maka upaya domestikasi burung secara ex-situ, yang dilakukan di luar habitat

aslinya melalui proses budi daya sebaiknya mengambil burung weris di lokasi

Wusa. Program penangkaran melalui proses budi daya selain bertujuan untuk

kepentingan ekonomi, juga untuk menghasilkan burung weris yang memiliki

53

fenotipe sesuai dengan tujuan pemeliharaan, misalnya menghasilkan burung weris

untuk produksi daging, tahan terhadap penyakit, dan sebagainya. Namun, hasil

dari penangkaran atau proses budidaya ini tidak dikembalikan ke alam karena

akan mempengaruhi kemurnian genetik burung weris di Minahasa.

Haplotipe yang seragam pada lokasi Wusa, yaitu haplotipe (3),

menunjukkan bahwa nenek moyang burung weris bukan berasal dari lokasi

Wusa. Haplotipe (3) ini ada pada ketiga lokasi lainnya, yang merupakan

haplotipe umum yang terdapat di empat lokasi. Dapat dikatakan juga bahwa

daerah yang memiliki haplotipe yang paling beragam adalah daerah asal dari

burung weris ini, dalam hal ini patut diduga daerah asal burung weris adalah

Papontolen dan Tondano

Apabila aligment mengikutkan spesies lain yang lebih dekat kekerabatannya

G. striatus (Gen Bank JQ342144), G. philippensis philippensis (Gen Bank

GJQ348003), G. torquatus celebensis (JQ347982), jumlah nukleotida yang

dibandingkan lebih pendek yaitu hanya 272 bp hasilnya dapat dilihat pada

Gambar 15 berikut ini.

54

Gambar 15 Pohon filogeni Gallirallus asal Minahasa (Indonesia) dibandingkan

dengan data Gen Bank sepanjang 272 nt.

Dari Gambar 15 tersebut terlihat bahwa G. philippensis asal Minahasa

membentuk klaster tersendiri yang berbeda dari G. philippensis asal Australia dan

G. phylippensis philippensis. Hal ini kemungkinan merupakan spesies yang

berbeda dengan kedua spesies dekatnya, berdasarkan jarak genetik yang besar

(Lampiran 4). Hal ini ditunjukkan oleh pengelompokan klaster A, yaitu G.

Philippensis asal Minahasa (1-16) dengan jarak genetik sebesar 0.007 berbeda

dari klaster B (17-21) jarak genetiknya yaitu sebesar 0.236.

W8

R4

W7

w9

W3

T8

T4

P7

P5

R6

R8

P3

R5

P4

T1

T3

G.Str

Ral. Long

G.Tor.Cel

G.Phi

G.P.Phy

A

B

55

Simpulan

1. G. philippensis pada empat lokasi di Minahasa yaitu Papontolen, Ranoyapo,

Tondano dan Wusa, memiliki variasi genetik sebasar 0-0.007 dengan

perbedaan nukleotida, sehingga membentuk beberapa percabangan tetapi

masih satu klaster

2. G. philippensis pada empat lokasi di Minahasa berkerabat dekat.

3. G. philippensis yang ada di Minahasa dan yang di Australia memiliki

perbedaan genetik yang cukup besar.

4. G. philippensis asal Minahasa membentuk klaster tersendiri, berbeda dari G.

philippensis asal Australia dan G. philippensis philippensis. Hal ini perlu

diverifikasi lebih lanjut dengan mengelompokkan berdasarkan karakter lain

yang lebih akurat sebagai pembeda spesies, acuan dari preparat museum dan

penggunaan marka genetik untuk Barcoding spesies.

Saran

1. Penelitian ini masih memerlukan penelitian lanjutan dengan lokasi penelitian

yang lebih luas dengan sampel yang lebih banyak, serta melakukan

karakteristik genetik tambahan untuk dapat membedakan jenis kelamin yang

tepat, baik pada burung weris muda dan tua.

2. Perlu dilakukan analisis marka genetik Barcoding CO1 untuk menentukan

apakah benar merupakan spesies Gallirallus tersendiri yang berbeda dari asal

daerah lain.

Daftar Pustaka

Allen D, Oliveros C, Espanola C, Broad G, Gonzalez JCT. 2004. A new species

of Gallirallus from Calayan island, Philippines. Forktail 20:1-7.

Bretagnole V, Attie C, Pasquet E. 1998. Cytochrome-b evidence for validity and

phylogenetic relationship of Pseudobulweria and Bulweria

(Procellariidae). Auk 115(1):188-195.

Coates BJ, Bishop KD, Gardner D. 2000. Burung-burung di Kawasan Walacea :

Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara. Bird Life International. Indonesia.

56

Davies J, Claridge G, Niranita CHE. 1996. Manfaat Lahan Basah dalam

Mendukung dan Memelihara Pembangunan. Direktorat Jendral PHPA

Indonesia: Asian Wetland Bureau.

Desjardins P, Morais R. 1990. Sequence and gene organization of the chicken

mitochondrial genome. A novel gene order in higher vertebrates. J.Mol.

Biol. 212(4): 599-634

Fain MG, Krajewski C, Houde P. 2007. Phylogeny of „core Gruiformes‟ (Aves:

Grues) and resolution of the Limpkin-Sungrebe problem. Mol. Phylogen.

Evol. 43(2);515-529.

Halliburton R. 2004. Introduction to Population Genetics. Pearson Education,

Inc. United States of America.

Kocher TD et al. 1989. Dynamics of mitochondrial DNA evolution in animals:

Amplifications and sequencing with conserved primers. J Froc. NAtl.

Acad.

Sambrook J, Frisch EF, Maniatis T. 1989. Moleculer Cloning. A Laboratory

Manual. New York: Cold Spring Harbour Lab Press.

Sodhi M, Mukesh M, Prakash B, Ahlawat SPS, Sobti RC. 2006. Microsatellite

DNA typing for assessment of genetic variability in Tharparkar breed of

Indian Zebu (Bos indicus) cattle, a major breed of Rajasthan. J Gonet. 85:

165-170.

Tamura K, Dudley J, Nei M, Kumar S. 2007. MEGA 4 : Molekuler evolutionary

genetics analysis. Software version 4. Mol. Biol. Evol. 24:1596-1599.

Taylor B, van Perlo B. 1998. A Guide to the Rails, Crakes, Gallinules and Coots

of the World: Pica Press.