abstrak astrid kusuma wardhani, g0007005, 2010,/perbedan... · didefinisikan gangguan inflamasi...
TRANSCRIPT
iv
ABSTRAK
Astrid Kusuma Wardhani, G0007005, 2010, Perbedaan Kualitas Tidur pada Pasien Asma Terkontrol dengan Tidak Terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronik saluran nafas. Gangguan
tidur sering dialami pasien asma sebagai konsekuensi dari gejala asma nokturnal yakni terbangun di malam hari akibat sesak napas, batuk, atau mengi. Kualitas tidur pasien dapat diperbaiki dengan mengontrol keluhan penyakit yang timbul. Tidur sangat penting untuk kesehatan fisik dan mental dan berpengaruh terhadap kualitas hidup. Pola tidur sangat bervariasi menurut umur. Selain itu, gangguan tidur dapat terjadi akibat kelainan mental, somatik, atau akibat zat. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kualitas tidur pada pasien asma terkontrol dengan tidak terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dengan mengontrol pengaruh variabel perancu riwayat penyakit penyerta dan umur.
Penelitian ini adalah penelitian observational analitik dengan pendekatan cross
sectional. Sampel dipilih dengan teknik fixed exposure sampling. Ukuran sampel adalah 30 pasien asma terkontrol dan 30 pasien asma tidak terkontrol. Lokasi penelitian di poliklinik paru dan instalasi rawat inap Anggrek 2 RSUD Dr Moewardi Surakarta. Waktu penelitian pada bulan Mei sampai Juni 2010. Masing-masing sampel dilakukan pengukuran kontrol asma dengan Asthma Control Test dan kualitas tidur dengan Pittsburgh Sleep Quality Index. Teknik analisis data yang digunakan adalah Analisis Regresi Logistik yang diolah dengan menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.00 for Windows.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan kualitas tidur pada pasien
asma terkontrol dengan tidak terkontrol. Pasien asma yang tidak terkontrol memiliki risiko untuk mengalami kualitas tidur buruk tujuh kali lebih besar daripada asma terkontrol (OR= 7,4; CI95% 1,65 s.d. 32,90). Kesimpulan tersebut dibuat setelah mengontrol pengaruh riwayat penyakit penyerta dan umur.
Penelitian ini menyimpulkan kontrol asma yang baik dapat mengurangi gejala
asma nokturnal dan memperbaiki kualitas tidur pada pasien asma. Disarankan petugas kesehatan perlu memberikan manajamen dan edukasi yang baik dalam pencapaian kontrol asma, penerapan kebiasaan tidur yang baik, evaluasi serta penanganan secara komprehensif terhadap asma, penyakit morbiditas, psikiatri, dan induksi zat yang dapat mengganggu tidur.
Kata kunci : Kontrol asma, Kualitas tidur, Gangguan tidur
v
ABSTRACT
Astrid Kusuma Wardhani, G0007005, 2010, Difference of Sleep Quality between Controlled and Not Controlled Asthma Patient in RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Asthma is chronic inflammatory disease. Sleep disturbance common among
asthma patient as consequence of nocturnal asthma symptoms such as dyspnea, cough, or wheezing resulted in early morning awakening. Sleep quality may be improved by controlling subjective symptoms related to the disease. Sleep is fundamental for physical and mental health also affects quality of life. Pattern of sleep vary of age. Besides that, sleep disturbance can be secondary to mental disorder, somatic disorders, or substance induced. The aim of this research was to know difference of sleep quality between controlled and not controlled asthma patient, with controlling for confounding factors such as medical history co morbid disease and age.
This study was observational analytic by using cross-sectional design. The
sample was selected by fixed exposure sampling. Samples sizes were 30 controlled asthma patients and 30 not-Controlled asthma patients. Research location was in Pulmonology Clinic and Anggrek 2 Ward RSUD Dr. Moewardi Surakarta. This research was held on May until June 2010. Each sample was measured their asthma control by using Asthma Control Test (ACT) and sleep quality by using Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). The data was analyzed by using regression logistic model, run on Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.00 for Windows.
The result of this study showed that there is difference of sleep quality
between controlled and not-Controlled Asthma Patient. Patients who were not controlled had seven times higher risk of poor sleep quality than those who were well controlled (OR= 7,4; CI95% 1,65 s.d. 32,90). This conclusion was made after controlling for the effect of co morbid disease and age.
This study concludes well control asthma can reduce nocturnal asthma
symptoms and results in improvement sleep quality on asthma patient. It is suggested that health care providers should give appropriate management and well education in approaching controlled asthma, implementation of good sleep habit, and comprehensive evaluation and management toward asthma, co morbid disease, psychiatric disorder, and substance induced sleep disorder.
Key words: Control asthma, Sleep Quality, Sleep Disturbance
vi
ABSTRAK
Perbedaan Kualitas Tidur pada Pasien Asma Terkontrol dengan Tidak Terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Astrid Kusuma Wardhani1, Yusup Subagio Sutanto2, Eddy Surjanto2,
Ana Rima Setijadi2, Slamet Riyadi3
Tujuan : Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kualitas tidur pada pasien asma terkontrol dengan tidak terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dengan mengontrol pengaruh variabel perancu riwayat penyakit penyerta dan umur.
Metode : Penelitian ini adalah penelitian observational analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel dipilih dengan teknik fixed exposure sampling. Ukuran sampel adalah 30 pasien asma terkontrol dan 30 pasien asma tidak terkontrol. Lokasi penelitian di poliklinik paru dan instalasi rawat inap Anggrek 2 RSUD Dr Moewardi Surakarta. Waktu penelitian pada bulan Mei sampai Juni 2010. Masing-masing sampel dilakukan pengukuran kontrol asma dengan Asthma Control Test dan kualitas tidur dengan Pittsburgh Sleep Quality Index. Teknik analisis data yang digunakan adalah Analisis Regresi Logistik yang diolah dengan menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.00 for Windows. Hasil : Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan kualitas tidur pada pasien asma terkontrol dengan tidak terkontrol. Pasien asma yang tidak terkontrol memiliki risiko untuk mengalami kualitas tidur buruk tujuh kali lebih besar daripada asma terkontrol (OR= 7,4; CI95% 1,65 s.d. 32,90). Kesimpulan tersebut dibuat setelah mengontrol pengaruh riwayat penyakit penyerta dan umur. Kesimpulan : Penelitian ini menyimpulkan kontrol asma yang baik dapat mengurangi gejala asma nokturnal dan memperbaiki kualitas tidur pada pasien asma. Disarankan petugas kesehatan perlu memberikan manajamen dan edukasi yang baik dalam pencapaian kontrol asma, penerapan kebiasaan tidur yang baik, evaluasi serta penanganan secara komprehensif terhadap asma penyakit morbiditas, psikiatri, dan induksi zat yang dapat mengganggu tidur.
Kata kunci : Kontrol asma, Kualitas tidur, Gangguan tidur
1Mahasiswa Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas, Maret Surakarta
vii
2Bagian Paru, Rumah Sakit Daerah Dr. Moewardi, Surakarta
3Bagian Ilmu Biologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
ABSTRACT
Difference of Sleep Quality between Controlled and Not Controlled Asthma Patient in RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Astrid Kusuma Wardhani1, Yusup Subagio Sutanto2, Eddy Surjanto2,
Ana Rima Setijadi2, Slamet Riyadi3
Objective: This paper presents the difference of sleep quality between controlled and not controlled asthma patient in Dr. Moewardi Surakarta Hospital, with controlling for confounding factors such as medical history co morbid disease and age.
Methods: This study was observational analytic by using cross-sectional design. The sample was selected by fixed exposure sampling. Samples sizes were 30 controlled asthma patients and 30 not-Controlled asthma patients. Research location was in Pulmonology Clinic and Anggrek 2 Ward RSUD Dr. Moewardi Surakarta. This research was held on May until June 2010. Each sample was measured their asthma control by using Asthma Control Test (ACT) and sleep quality by using Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). The data was analyzed by using regression logistic model, run on Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.00 for Windows.
Results: The result of this study showed that there is difference of sleep quality between controlled and not-Controlled Asthma Patient. Patients who were not controlled had seven times higher risk of poor sleep quality than those who were well controlled (OR= 7,4; CI95% 1,65 s.d. 32,90). This conclusion was made after controlling for the effect of co morbid disease and age.
Conclusion: This study concludes well control asthma can reduce nocturnal asthma symptoms and results in improvement sleep quality on asthma patient. It is suggested that health care providers should give appropriate management and well education in approaching controlled asthma, implementation of good sleep habit, and comprehensive evaluation and management toward co morbid disease, psychiatric disorder, and substance induced sleep disorder.
viii
Key words: Control asthma, Sleep Quality, Sleep Disturbance
1Student of Medical Faculty, Sebelas Maret University, Surakarta
2Pulmonology Department, Dr. Moewardi Hospital, Sebelas Maret University, Surakarta
3Biology Department, Medical Faculty, Sebelas Maret University, Surakarta
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Asma
a. Definisi Asma
Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute (2003) asma
didefinisikan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang terdapat
berbagai sel yang memegang peranan terutama sel mast, eosinofil, dan
limfosit T.
Gambaran awal berupa sesak napas (dyspnea) dan nafas berbunyi
(wheezing) adalah keluhan yang diakibatkan oleh penyempitan (obstruction)
saluran pernapasan merupakan gambaran khas dari asma bronkial (Kabat,
2004). Saat gejala asma muncul lebih buruk dari biasanya disebut dengan
episode asma atau serangan asma (Fadden, 2005).
ix
b. Patogenesis Asma
Berbagai teori tentang asma umumnya menerangkan tentang kepekaan
yang tinggi dari saluran pernapasan sebagai bentuk respon pertahanan
normal saluran napas. Respon ini dapat mengakibatkan reaksi abnormal
jaringan saluran pernapasan yang mungkin akibat pengaruh imunologik
ataupun gangguan keseimbangan neurohormonal (Kabat, 2004).
Jalur imunologis dimulai masuknya alergen ke dalam tubuh akan
diolah oleh Antigen Presenting Cell (APC) untuk selanjutnya hasil olahan
alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th dengan bantuan MHC II yang
kemudian akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar
sel-sel plasma membentuk Ig E, serta sel radang lain seperti mastosit,
makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit, limfosit untuk
mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, leukotrien,
PAF, bradikinin, tromboksan, dll yang memengaruhi organ sasaran sehingga
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran
napas, infiltrasi sel radang, sekresi mukus, dan fibrosis subepitel sehingga
menimbulkan hipereaktifitas saluran napas (Sundaru dan Sukamto, 2007).
Pengaruh perubahan neurohormonal terjadi akibat aktivitas reseptor
adrenergik, blokade β-adrenergik dan jalur nervus vagus. Pada jaringan paru
terdapat dua tipe reseptor adrenergik yakni α dan β reseptor. Rangsangan β
reseptor mengakibatkan bronkodilatasi dan menurunkan sekresi mukus;
rangsangan α mengakibatkan bronkokonstriksi (Kabat, 2004).
x
Pada individu normal, tonus saluran napas dalam keseimbangan antara
bronkodilatasi karena rangsangan β-adrenergik dan bronkokonstriksi karena
rangsangan vagal, α reseptor, serta faktor lain. Reflek ini dapat disebabkan
rangsangan antigenik, nonantigenik, seperti perubahan tekanan O2 dan CO2.
Rangsangan vagal mengakibatkan pelepasan kolinergik yang kadarnya lebih
tinggi pada penderita asma (Kabat, 2004).
c. Patofisiologi
Perubahan akibat inflamasi pada penderita asma merupakan dasar
kelainan faal yang terjadi pada pasien asma antara lain:
1) Obstruksi saluran napas
Penyempitan saluran pernapasan akibat inflamasi saluran
pernapasan maupun peningkatan tonus otot polos bronkhioler dan terjadi
ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Penyempitan saluran napas
menyebabkan gejala batuk, rasa berat di dada, mengi dan
hiperesponsivitas bronkus. (Price dan Wilson, 2004).
2) Hiperesponsivitas saluran napas
Mekanisme hiperesponsivitas saluran napas belum jelas. Inflamasi
dinding saluran napas terutama di peribronkial menambah penyempitan
saluran napas selama kontraksi otot polos. (Rahmawati et al., 2003).
3) Hipersekresi mukus
xi
Gambaran makroskopis biopsi pasien asma adalah oklusi bronkus
dan bronkiolus oleh sumbat mukus kental dan lengket (Matra dan Kumar,
2007). Donno et al. (2000) menyatakan hipersekresi mukus mengurangi
gerak silia, menyebabkan inflamasi dan kerusakan fungsi epitel.
4) Eksaserbasi
Eksaserbasi merupakan gambaran umum pada asma. Faktor
penyebab eksaserbasi antara lain rangsangan bronkokonstriksi (inciter)
seperti latihan, udara dingin, dan rangsangan inflamasi (inducer) seperti
pajanan alergen, sensitisasi zat, dan infeksi saluran napas (GINA 2006).
5) Asma nokturnal
Penderita asma nokturnal bergejala khas yakni terbangun antara jam
3 dan 5 pagi dengan batuk, mengi, sesak dan tidak dapat tidur kembali
tanpa bantuan bronkodilator aerosol. Faktor lain seperti ritme sirkadian,
kadar epinefrin, tonus vagus, pendingin, tidur, berkurangnya pembersihan
mukus, refluks gastroesofagus sebagai faktor pencetus (Pelly, 1992).
6) Analisis gas darah
Asma menyebabkan gangguan pertukaran gas. Derajat hipoksemia
berkorelasi dengan penyempitan saluran napas akibat ketidakseimbangan
ventilasi perfusi. (Price dan Wilson, 2004).
d. Faktor Risiko
xii
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor
pejamu dan faktor lingkungan (PDPI, 2004):
1) Faktor pejamu: Predisposisi genetik, Atopi, Hiperesponsif jalan napas,
Jenis kelamin, Ras/etnik
2) Faktor lingkungan
a) Alergen di dalam dan luar ruangan
b) Polusi udara di luar dan dalam ruangan, Asap rokok, Sulfur dioksida
c) Infeksi pernapasan, Ekpresi emosi berlebih, Perubahan cuaca
d) Makanan, zat aditif, obat-obatan tertentu.
e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
f) Exercise induced asthma
e. Diagnosis
Surjanto (2001) menyatakan beberapa indikator penegakan diagnosis asma:
1) Mengi (wheezing)
Pada asma ringan, mengi dapat terdengar pada waktu ekspirasi
paksa. Bila penyakit makin berat, mengi terdengar pada waktu inspirasi
dan ekspirasi biasa.
2) Memiliki riwayat sebagai berikut:
a) Mengi berulang
b) Sesak nafas berulang
c) Rasa berat di dada berulang
xiii
d) Batuk yang memburuk pada malam atau dini hari
3) Penyempitan saluran nafas yang reversible dan variasi diurnal
Variasi diurnal diukur dengan peak flow meter. Arus puncak
ekspirasi (APE) yang diukur pagi hari (sebelum inhalasi agonis β2) dan
malam hari (setelah inhalasi agonis β2) menunjukkan perbedaan ≥ 20%.
4) Gejala timbul atau memburuk pada berbagai faktor pencetus
5) Gejala terjadi memburuk malam hari menyebabkan penderita terbangun.
f. Klasifikasi Asma
Klasifikasi menurut derajat asma penting dalam penatalaksanaannya.
Derajat asma ditentukan gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala,
eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi β2 agonis dan uji
faal paru) serta obat pengontrol (jenis, kombinasi, dan frekuensi pemakaian).
Tabel 2.1 Derajat Asma
Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru
Intermitten Bulanan APE≥80%
- Gejala<1x/minggu. - Tanpa gejala diluar
serangan. - Serangan singkat.
≤ 2 kali sebulan - VEP1≥80% nilai prediksi APE≥80% nilai terbaik.
- Variabilitas APE<20%.
Persisten ringan Mingguan APE>80%
xiv
- Gejala>1x/minggu tetapi<1x/hari.
- Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
>2 kali sebulan - VEP1≥80% nilai prediksi APE≥80% nilai terbaik.
- Variabilitas APE 20-30%.
Persisten sedang Harian APE 60-80%
- Gejala setiap hari. - Serangan mengganggu
aktifitas dan tidur - Membutuhkan
bronkodilator tiap hari.
>2 kali sebulan - VEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik.
- Variabilitas APE>30%.
Persisten berat Kontinyu APE 60≤%
- Gejala terus menerus - Sering kambuh - Aktifitas fisik terbatas
Sering - VEP1≤60% nilai prediksi APE≤60% nilai terbaik
- Variabilitas APE>30%
Sumber : GINA 2006, PDPI 2004
g. Penatalaksanaan Asma
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan
dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal
tanpa hambatan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol) (Sundaru, 2007).
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma klasifikasikan menjadi:
penatalaksanaan asma akut dan jangka panjang:
1) Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)
Serangan akut adalah episode perburukan asma. Penanganan cepat
tepat sesuai derajat serangan. Penilaian berdasar riwayat serangan, gejala,
pemeriksaan fisik dan faal paru.
xv
Pada serangan ringan, obat yang digunakan β2 agonis kerja cepat
yang sebaiknya bentuk inhalasi. Pada keadaan tertentu (seperti ada
riwayat serangan berat) kortikosteroid oral diberikan dalam 3- 5 hari.
Pada serangan sedang diberi β2 agonis kerja cepat dan
kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambah ipratropium bromida
inhalasi, aminofilin IV. Bila perlu diberi oksigen dan cairan IV.
Pada serangan berat pasien dirawat dan diberi oksigen, cairan IV, β2
agonis kerja cepat, ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan
aminofilin IV. Pemberian obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk
inhalasi menggunakan nebuliser. (Depkes RI, 2008).
2) Penatalaksanaan asma jangka panjang
Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan mengontrol asma
dan mencegah serangan. Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi:
Edukasi, obat asma (pengontrol dan pelega), dan menjaga kebugaran
(Sundaru, 2007).
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega
diberikan pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan
untuk pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang
dan terus menerus. (Sundaru dan Sukamto, 2007).
xvi
Obat yang termasuk pengontrol antara lain: kortikosteroid inhalasi
dan sistemik, sodium kromoglikat, Nedokromil sodium, Metilsantin,
Agonis β2 kerja lama inhalasi dan oral, Leukotrien modifier, Antihistamin
generasi ke-2, dll. Obat yang termasuk pelega antara lain: Agonis beta-2
kerja singkat, kortikosteroid sistemik, antikolinergik, aminofilin,
adrenalin, dll.
Edukasi mencakup kapan pasien berobat, mencari pertolongan,
mengenali gejala serangan asma secara dini, mengetahui obat-obat pelega
dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaan, menghindari faktor
pencetus, dan kontrol teratur (Depkes RI, 2008).
Selain edukasi dan obat-obatan diperlukan juga menjaga kebugaran
antara lain dengan melakukan senam asma. Pada dewasa, dengan Senam
Asma Indonesia yang teratur, asma terkontrol dapat terjaga. Dengan
melaksanakan ketiga hal diatas diharapkan tercapai tujuan penanganan
asma, yaitu asma terkontrol (Yayasan Asma Indonesia, 2007).
Tabel 2.2 Tingkat Kontrol Asma
Tingkatan Asma Terkontrol
Karakteristik Terkontrol Terkontrol
Sebagian
Tidak
Terkontrol
Gejala harian Tidak ada (≤ 2 kali perminggu)
> dua kali seminggu
Tiga atau lebih gejala dalam kategori Asma
xvii
Pembatasan aktivitas Tidak ada Sewaktu-waktu dalam seminggu
Terkontrol Sebagian, muncul sewaktu-waktu dalam seminggu Gejala
nokturnal/gangguan tidur Tidak ada Sewaktu- waktu
dalam seminggu
Kebutuhan akan reliever atau terapi rescue
Tidak ada (dua kali atau kurang dalam seminggu)
≥ dua kali seminggu
Fingsi Paru (PEF atau
FEV1
Normal <80% (perkiraan atau dari kondisi terbaik bila diukur)
Eksaserbasi Tidak ada Sekali atau lebih dalam setahun
Sekali dalam seminggu
Sumber : GINA 2006.
Terkontrol Pemeliharaan dan Langkah Kontrol Terendah
Terkontrol Sebagian Tingkat terapi untuk mencapai kontrol
Tidak terkontrol Tingkat sampai terkontrol penuh Eksaserbasi Terapi eksaserbasi
Step 1 Step 2 Step 3 Step 4 Step 5 EDUKASI ASMA, KOTROL LINGKUNGAN
Jika diperlukan 案挠 agonis kerja cepat
Jika diperlukan 案挠 agonis kerja cepat
Obat Pengontrol
Pilih salah satu Pilih salah satu Tambahkan satu atau lebih
Tambahkan satu atau lebih
Inhalasi kortikosteroid
Inhalasi kortikosteroid
Inhalasi kortikosteroid
Glukokortikosteroid oral (dosis
Derajat kontrol Terapi
Menurun
Men
ingk
at
Menurun Meningkat
xviii
dosis rendah dosis rendah +案挠 agonis kerja lama
dosis sedang atau tinggi + 案挠 agonis kerja lama
terendah)
Leukotrien inhibitor
Inhalasi kortikosteroid dosis sedang atau tinggi
Leukotrien inhibitor
Terapi anti Ig E
Inhalasi kortikosteroid dosis rendah + leukotrien inhibitor
Teofilin lepas lambat
Inhalasi kortikosteroid dosis rendah + teofilin lepas lambat
Gambar 2.1 Penatalaksanaan asma berdasarkan kontrol berdasarkan kontrol untuk
anak usia > 5 tahun, remaja dan dewasa
Sumber: GINA (2006), Surjanto (2008)
2. Asthma Control Test
Tujuan utama pengobatan asma adalah mencapai kontrol yang adekuat.
Penatalaksanaan asma berdasarkan kontrol meliputi prinsip penatalaksanaan
penyakit kronik termasuk penilaian periodik, tujuan dan terapi perorangan
(Surjanto, 2008).
Sebagai penyakit multidimensi, persamaan persepsi kontrol asma belum
ada sehingga tidak heran bila sebagian besar asma tidak terkontrol. Para peneliti
mencari alat ukur yang mewakili kontrol asma secara keseluruhan sehingga
sasaran pengobatan lebih jelas (Sundaru, 2007).
xix
Saat ini diperkirakan ada sekitar 5 alat ukur berupa kuesioner dengan atau
tanpa pemeriksaan fungsi paru. Salah satu yang terkenal adalah: Asthma
Control Test (ACT). ACT diperkenalkan oleh Nathan et al. (2004) yang
bertujuan memudahkan dokter dan pasien dalam mengevaluasi penderita asma
yang berusia lebih dari 12 tahun dan menetapkan terapi pemeliharaannya.
Kuessioner ini terdiri dari lima pertanyaan tentang gangguan aktivitas karena
gejala asma, penggunaan obat pelega napas, penilaian pasien tentang seberapa
terkontrol penyakit mereka. Kuessioner ini telah divalidasi sehingga dapat
dipakai secara luas untuk menilai dan memperbaiki kondisi asma seseorang
(Nathan et al., 2004; Yunus 2005).
Kuesioner ACT ini telah di uji coba di poliklinik alergi-imunologi klinik,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM dengan hasil keandalan internal 83%,
keandalan interklas 92%, kesahihan dengan fungsi paru 24% dan kesahihan
dengan penilaian klinis 74% sehingga dapat disimpulkan ACT ini dapat dipakai
di masyarakat Indonesia (Sundaru, 2007).
Kuesioner ini untuk mengetahui seberapa sering gejala asma terjadi
dalam 4 minggu terakhir. Tiap jawaban dinilai mulai dari 1 sampai 5. Total
nilai terendah ACT adalah 5 sedangkan maksimal 25. Interpretasi hasilnya
adalah jika jumlah nilai ≤ 19, maka asma tersebut tidak terkontrol sedangkan
bila nilai ≥ 20, maka asma tersebut telah terkontrol (GINA, 2006).
xx
3. Tidur
a. Fisiologi Tidur
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar di mana orang
tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsangan sensorik atau
dengan rangsangan lainnya (Guyton dan Hall, 1997). Orang dewasa
membutuhkan waktu sekitar tujuh setengah jam tiap malam. (Kaplan dan
Sadock, 2000).
Pada orang dewasa, tahap tidur dibagi menjadi tidur REM dan tidur
non-REM (stadium 1 sampai 4). Dua taraf ini saling bergantian dalam siklus
yang bertahan antara 70 sampai 120 menit. Secara umum, 4 sampai 6 siklus
NREM-REM terjadi tiap malam. (Guyton dan Hall, 1997). Tahapan tidur
normal yakni:
Tahap 0 adalah periode kesadaran penuh dengan mata tertutup, yang
terjadi sesaat sebelum tidur. Tonus otot cenderung meningkat, aktivitas alpha
meningkat dengan peningkatan rasa kantuk (Kaplan dan Sadock, 2000).
Tahap 1 disebut tahap permulaan tidur karena menunjukkan transisi
singkat dari periode sadar menuju tidur. Didapat amplitudo rendah, aktivitas
beta dan theta lebih lambat (4-7 siklus per detik). Tahap 1 merupakan 5%
dari total periode waktu tidur (Kaplan dan Sadock 2000).
Tahap 2 didominasi aktivitas theta dan dicirikan dengan sleep spindles
adalah ritme gelombang Komplek K berbentuk tajam, negatif, gelombang
xxi
EEG tegangan tinggi, diikuti oleh yang lebih lambat. Tahap 2 merupakan 45-
55% dari periode total tidur (Kaplan dan Sadock, 2000).
Tahap 3 dicirikan 20-50% aktivitas gelombang delta tegangan tinggi
frekuensi 1-2 siklus per detik. Seperti tahap 2, tonus otot meningkat, tetapi
tidak ada gerakan mata (Kaplan dan Sadock, 2000).
Tahap 4 terjadi saat gelombang delta menyusun > 50% rekaman EEG.
Tahap 3 dan 4 sering sulit dibedakan dan secara umum disebut slow-wave
sleep dan merupakan 15-20% waktu tidur (Kaplan dan Sadock, 2000).
Tidur REM menghasilkan pola EEG yang menyerupai tidur NREM
tingkat I, disertai mimpi aktif, tonus otot sangat rendah, peningkatan
aktivitas otot involunter, frekuensi jantung dan nafas tidak teratur, gerakan
otot tidak teratur (pada mata menyebabkan gerakan bola mata cepat) dan
lebih sulit dibangunkan. Tahap ini merupakan 20-25% dari waktu tidur total
dan sering dikenal pula dengan tidur desynchronized (Stradling, 1995).
Urutan tahap tidur selama siklus tidur awal adalah: tahap NREM 1, 2,
3, 4, 3, dan 2; kemudian tahap REM. Pada dewasa muda, tidur REM
merupakan 25% waktu tidur total. Pada dewasa muda, dari bangun sampai
tahap NREM memerlukan waktu kira-kira 90 menit sebelum periode REM
pertama yang disebut sebagai REM latency. (Kaplan dan Sadock, 2000).
Siklus tidur (antara waktu REM dan REM berikutnya) lebih pendek
pada bayi daripada dewasa. Periode REM muncul setiap 50-60 menit selama
xxii
waktu tidur bayi dan secara bertahap meningkat sampai dewasa dengan
panjang siklus 70-100 menit selama masa dewasa. (Saisan et al., 2008).
Saklar untuk tidur adalah nucleus preoptic ventrolateral (VLPO) di
hipotalamus anterior. Area ini akan aktif saat tidur dan menggunakan
neurotransmitter inhibisi GABA dan galanin untuk memulai tidur dengan
menghambat daerah rangsangan otak. Nukleus VLPO menghambat daerah
bangun. Neuron hypocretin di hipotalamus lateral membantu menstabilkan
saklar ini. Jatuh tertidur adalah hasil dari pemutusan fungsional antara
batang otak dan thalamus rostral dengan korteks otak (Pinzon, 2010).
b. Perubahan kardiovaskular dan respirasi selama tidur
Selama tidur NREM, denyut jantung dan tekanan darah turun sekitar
10%. Dalam tidur NREM, ada pengurangan aliran simpatis dan dominasi
dari parasimpatis berdasar percobaan Somers (1993) yang merekam aktivitas
nervus peroneus orang sehat ketika bangun dan pada berbagai stadium tidur.
Selama fase tidur REM, juga ada aktivitas fasik yang terjadi dalam
letupan. Aktivitas letupan fasik dapat menuntun pada kedua periode
peningkatan dan periode penurunan denyut jantung (Pack, 2008).
Selama tidur NREM, ventilasi tidur menurun. Secara umum, ada
penurunan dalam volume tidal ketika perubahan laju respirasi lebih
bervariasi (Krieger et al., 1990). Ventilasi selama tidur REM secara
konsisten lebih sedikit daripada saat keadaan terjaga. Ada perubahan dalam
xxiii
ventilasi berkaitan dengan kejadian fasik tidur REM. Baik percepatan
maupun perlambatan laju respirasi keduanya ditemukan penurunan ventilasi.
Aktivitas otot interkosta dan muskulus respiratori aksesorius berkurang
bersamaan inhibisi general tonus otot skelet selama tidur REM. Resistensi
saluran napas atas meningkat progresif dari stadium 1 ke stadium 2, 3, dan 4
fase tidur NREM. (Bradley dan Phillipson, 2005). Respon ventilasi terhadap
hipoksia dan karbon dioksida menurun dalam fase tidur NREM dibanding
keadaan terjaga. Penurunan lebih lanjut pada fase REM. (Pack, 2008).
Setelah stadium slow wave sleep terlewati, input respirasi mekanik
berkurang dan pernapasan lebih diatur oleh sistem kontrol metabolik.
Kontrol respirasi lebih stabil. Volume ventilasi per menit berkurang 1- 2 L
per menit, PCO2 arteri meningkat 2-8 mmHg, dan PaO2 arteri menurun 5-10
mmHg dibanding keadaan terjaga (Bradley dan Phillipson, 2005).
Keadaan terbangun menghasilkan peningkatan denyut nadi, tekanan
darah dan ventilasi. Stimulus respirasi seperti oklusi saluran napas,
peningkatan resistensi saluran napas, hipoksia, dan hiperkapnia dapat
menuntun terbangun dari tidur. Stimulus respirasi yang utama untuk
membangunkan adalah derajat usaha pernapasan (Pack, 2008).
c. Kuantitas dan kualitas Tidur
Kualitas tidur menunjukkan kemampuan individu untuk tetap tertidur
dan mendapatkan jumlah tidur REM dan NREM yang tepat. Kuantitas tidur
xxiv
adalah total waktu individu tidur (George dan Kryger, 2008). Kualitas dan
kuantitas tidur dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain:
1) Pengaruh umur
Pola tidur-bangun berubah sesuai bertambahnya umur. Pada masa
neonatus, lama tidur sekitar 18 jam dan sekitar 50% adalah tidur REM..
Usia satu tahun lama tidur sekitar 13 jam dan 30% adalah tidur REM.
Waktu tidur menurun tajam setelah itu. Dewasa muda membutuhkan
waktu tidur 7-8 jam dengan NREM 75% dan REM 25%. (Amin, 2007).
2) Rutinitas harian dan Motivasi tidur
Rutinitas yang variatif memengaruhi tidur. Pekerja shift malam
dapat mengalami kesulitan tidur. Berdasarkan siklus sirkadian, tubuh
mempersiapkan untuk tidur di malam hari dengan menurunkan suhu
tubuh dan melepaskan hormon melatonin. Hasrat untuk tetap terjaga dan
siaga membantu mengatasi rasa kantuk dan tidur. (Neubauer, 1999).
3) Aktivitas fisik dan latihan
Aktivitas meningkatkan kelelahan dan mempromosikan relaksasi
tidur. Hal ini terlihat bahwa aktivitas fisik meningkatkan tidur fase REM
dan NREM (Division of Sleep Medicine Harvard University, 2007).
4) Kebiasaan konsumsi
Minuman beralkohol dalam takaran sedang, terlihat menginduksi
tidur. Namun, dalam jumlah besar membatasi tidur REM dan delta. Efek
ini menerangkan fenomena hangover setelah minum alkohol berlebihan.
xxv
Kafein merupakan stimulator sistem saraf pusat. Untuk sebagian
besar orang, minuman berkafein mengganggu kemampuan untuk tidur.
Sebagai contoh, minuman kafein, kopi, teh, minuman kola, dan coklat.
Nikotin menstimulasi tubuh dan perokok sering mendapati kesulitan
jatuh tidur. Perokok biasanya mudah terbangun dan tidur singkat.
(Division of Sleep Medicine Harvard University, 2007).
5) Faktor lingkungan dan budaya
Sebagian besar orang tidur terbaik saat berada dalam lingkungan
rumah biasanya. Tidur di lingkungan baru dapat memengaruhi tidur REM
maupun NREM. (Kaplan dan Sadock, 2000). Budaya, keyakinan, dan
kebiasaan individu dapat memengaruhi tidur. (Saisan et al., 2008).
6) Stres psikologis dan Gangguan mental
Situasi hidup dapat menyebabkan stress psikologis. Seseorang yang
mengalami stress mungkin kesulitan mendapatkan jumlah tidur yang
cukup sesuai kebutuhan dan jumlah fase tidur REM menurun cenderung
meningkatkan ansietas dan stress (Saisan et al., 2008).
7) Penyakit
Keadaan medis berefek pada struktur dan distribusi tidur. Kondisi
seperti penyakit gagal jantung, hipertensi, osteoarthtritis, fibromyalgia,
kejang nokturnal, stroke, parkinson, penyakit refluks gastroesofagus dll
(Kaplan dan Sadock, 2000). Gangguan ini dapat membatasi kedalaman
tidur maupun episode singkat terbangun (Saisan et al., 2008).
xxvi
d. Gangguan Tidur
1) Macam
Klasifikasi gangguan tidur yakni International Classification
Disorder (ICSD) dan DSM IV. DSM-IV mengandung total 12 penyakit.
Klasifikasi lengkap gangguan tidur DSM-IV pada lampiran 8. Ada empat
golongan utama gangguan tidur menurut penyebab (Durand, 2007):
a) Gangguan tidur primer, meliputi disomnia dan parasomnia
b) Gangguan tidur karena kelainan mental
c) Gangguan tidur karena kondisi medis umum
d) Subtansi penginduksi gangguan tidur.
International Classification of Disease membuat klasifikasi
gangguan tidur karena hipoventilasi sebagai berikut: Gangguan tidur
terkait hipoventilasi alveolar nonobstruktif idiopatik; Congenital Central
Alveolar Hypoventilation Syndrome; Gangguan tidur terkait hipoventilasi
karena patologi jaringan parenkim paru atau vascular; Gangguan tidur
terkait hipoventilasi karena obstruksi saluran napas bawah; Gangguan
tidur terkait hipoventilasi karena kelainan dinding dada dan
neuromuscular (Casey et al., 2007)
e. Penatalaksanaan
Terapi insomnia idealnya bertujuan memperbaiki kualitas dan
kuantitas tidur dan kembali normalnya fungsi fisiologis tubuh pada jam
xxvii
produktif, mengembalikan kemampuan konsentrasi, dan mengurangi
keluhan saat bangun tidur. Terapi yang dipilih harus yang memberikan efek
samping minimal (Dwiprahasto, 2010).
Penanganan gangguan tidur dilakukan dari berbagai segi yakni medis,
lingkungan, dan psikologis. Langkah pertama untuk mengatasi insomnia
sekunder terhadap gangguan medik atau psikiatrik adalah mengoptimalkan
terapi terhadap penyakit yang mendasarinya (Amin, 2007).
1) Terapi non-Farmakologi
Sebagian besar ahli dan guidelines merekomendasikan terapi
insomnia diawali terapi nonfarmakologi (Morin, 2006; Leopando et al.,
2003; Smith et al., 2002).
a) Cognitive behavior therapy
Membantu mengubah keyakinan dan kebiasaan yang keliru tentang
tidur (misal harapan yang tidak realistis dan miskonsepsi), teknik
pelatihan (memahami tujuan hidup, menghadapi masalah, planning
coping respons, reappraisal dan pergeseran perhatian).
b) Exercise intensitas sedang (sebaiknya tidak dilakukan sesaat sebelum
tidur).
xxviii
c) Terapi Relaksasi dengan melakukan penekanan dan relaksasi pada
kelompok otot yang berbeda, biofeedback, visual dan auditory
feedback untuk menurunkan rangsang somatik, meditasi, dan hinopsis.
d) Sleep Restriction (Paradoxical intention therapy)
Menggunakan pendekatan paradoksikal yaitu pasien memanfaatkan
waktu di tempat tidur yang terbatas (dikaitkan dengan lamanya waktu
tidur). Waktu di tempat tidur selanjutnya ditingkatkan dengan atau
dikurangi secara progresif, tergantung pada perbaikan atau perburukan
kualitas dan lamanya tidur.
e) Terapi pengendalian rangsang dengan menghindari sinar lampu terang
suara gaduh, dan suhu ekstrim, makan besar, kafein, rokok dan alkohol
di malam hari
f) Temporal Control Measure dengan menerapkan waktu bangun yang
konsisten, meminimalkan tidur / istirahat siang.
Durand (1988) dan Regestein (1990) menyarankan beberapa
penerapan kebiasaan tidur yang baik antara lain:
a) Menetapkan rutinitas dan waktu bangun regular yang sama setiap hari
b) Batasi atau hentikan zat yang bekerja di SSP (kafein, nikotin, alcohol,
stimulan)
xxix
c) Naik ke tempat tidur hanya setelah merasa mengantuk dan bangkit dari
tempat tidur bila tidak dapat tidur dalam 15 menit dan minum susu
sebelum tidur
d) Hindari tidur sekejap siang hari (kecuali menyebabkan tidur malam
lebih baik)
e) Dapatkan kebugaran fisik dengan rajin olahraga pagi secara bertahap
f) Batasi aktivitas di kasur pada aktivitas membantu induksi tidur, hindari
stimulasi malam seperti aktivitas berat, ganti televisi dengan radio,
bacaaan santai
g) Kurangi suara keras dan cahaya di tempat tidur
h) Makan pada waktu yang teratur setiap hari dengan diet berimbang dan
membatasi lemak ; hindari makan besar dalam jumlah besar sebelum
tidur
i) Hindari perubahan suhu udara ekstem di kamar misal terlalu panas
atau dingin
j) Lakukan relaksasi malam seperti relaksasi otot progresif atau meditasi
2) Terapi Farmakologi
Jika efek yang diharapkan adalah efek pengurangan gejala segera,
maka pilihan pertama pada golongan hipnotik, terutama jika insomnia
menimbulkan gangguan serius atau gejala tetap terjadi setelah diterapi
terhadap penyakit yang mendasari (Dwiprahasto, 2010). Berikut terapi
farmakologi untuk insomnia (Leopando et al., 2003; Cauffield, 2007).
xxx
a) Obat Hipnotik Golongan Benzodiazepin
Benzodiazepin beraksi sebagai antagonis reseptor GABA dengan
menurunkan latensi onset tidur dan ketahanan bangun setelah onset
tidur. Benzodiazepin bermanfaat sebagai terapi jangka pendek
insomnia. Penggunaan lebih dari 4 minggu meningkatkan risiko
ketergantungan (kebutuhan kronis dan bersifat kompulsif serta
fenomena putus obat). Benzodiazepin dapat menyebabkan depresi
pernapasan, terutama pada pasien dengan penyakit pulmoner.
b) Obat Hipnotik Golongan Non Benzodiazepin
Obat golongan non benzodiazepin berdampak minimal pada
tahapan tidur dan tidak terjadi fenomena REM sleep rebound seperti
benzodiazepin. Obat golongan ini untuk terapi insomnia antara lain:
zolpidem, zaleplon, dan eszopiclon.
c) Barbiturat, Opiat, dan Antidepresan
Fungsi barbiturat sebagai antagonis reseptor GABA menurunkan
latensi onset tidur dan menekan tidur REM. Opiat memfragmentasi
tidur dan menurunkan REM serta tidur stadium 2. Efek analgesia dan
sedasi opiat mengatasi insomnia akibat nyeri. Antidepresan seperti
amitriptilin, doksepin, tradozone, dan mirtazapin berefek sedasi
dengan memblok asetilkolin, norepinefrin, dan serotonin. Antidepresan
efektif untuk terapi pasien insomnia dengan dasar depresi. Ketiga jenis
obat ini efektif untuk terapi jangka pendek insomnia (maksimal 2
xxxi
minggu). Penggunaan waktu lebih lama meningkatkan toleransi,
ketergantungan fisik dan psikologis serta efek samping agitasi,
kebingungan, mimpi buruk, halusinasi, letargi, dan hangover.
d) Agonis Reseptor Melatonin
Ramelteon bekerja sebagai agonis reseptor melatonin
diindikasikan perawatan insomnia yang dikaraktertistikkan oleh
kesulitan jatuh tertidur.
3) Pemberian Suplemen dan Obat Herbal
Beberapa jenis bahan obat alam dan suplemen (seperti lavender,
melatonin, akar valerian, St.John’s wort, niasin, glutamine, dan I-
tryptophan dilaporkan membantu gejala insomnia (Buscemi et al., 2004).
4. Hubungan Asma dengan Tidur
Majde dan Kruger (2005) menyatakan sampai sekarang masih belum jelas
apakah mengalami gejala asma akan mengganggu tidur atau sebaliknya kualitas
tidur yang buruk berefek pada gejala asma. Janson et al. (1990) dan Bhagat et
al. (1997) dalam Hanson dan Chen (2008) melaporkan individu asma
mengalami tidur buruk dibandingkan normal. Akan tetapi, Chung et al. (2006)
menunjukkan hubungan tidur yang buruk dengan peningkatan gejala asma.
Studi Keimpema et al. (1995) menunjukan individu dengan penyakit paru
obstruksi kronis maupun asma sering mengeluhkan keluhan kesulitan induksi
dan mempertahankan tidur, terbangun di pagi hari, kelelahan dan rasa kantuk
xxxii
berlebih di siang hari. Ada pengurangan yang signifikan dalam efisiensi tidur
pada pasien asma dibanding individu normal (Martin dan Schlegel, 1998).
Gangguan respirasi selama tidur NREM mengganggu periode siklus
normal REM sepanjang malam, mencegah progesivitas dan mengurangi total
jumlah tidur REM. Padahal, ketika seseorang kekurangan tidur REM, maka
akan merasakan tidur kurang nyenyak dan menimbulkan rasa kantuk berlebih
(Punjabi et al., 2002). Studi Punjabi (2002) terhadap pasien gangguan tidur
karena masalah pernapasan menunjukkan index apnea, hipopnea, derajat
pemutusan tidur, dan derajat hipoksemia nokturnal berhubungan dengan
peningkatan rasa kantuk di siang hari yang diukur dengan Multiple Sleep
Latency Test secara independent.
Selain itu, asma sering memburuk pada malam hari atau dikenal dengan
asma nokturnal. Turner-Warwick (1988) melakukan studi terhadap 7792 pasien
asma, dilaporkan 74% terbangun dengan gejala asma paling sedikit sekali
seminggu, 64% melaporkan gejala asma terjadi paling sedikit tiga malam per
minggu, dan 40% dilaporkan mengalami gejala asma tiap malam serta 53%
kematian asma terjadi antara tengah malam sampai jam 8 pagi. Pasien asma
nokturnal digolongkan sebagai asma tidak terkontrol dan intensitas pengobatan
disesuaikan dengan panduan yang dipublikasikan.
Pada asma, resistensi saluran pernapasan bawah meningkat secara
progresif sepanjang malam dengan peningkatan lebih besar selama tidur. Hasil
ini didukung dengan observasi bahwa onset serangan asma lebih sedikit pada
xxxiii
bagian pertama tidur. Fungsi paru dan responsivitas saluran napas bervariasi
sesuai ritme sirkadian, dengan titik terendah dalam fungsi paru terjadi kira-kira
jam 4 pagi. Jumlah sel inflamasi dan level mediator inflamasi pada paru terlihat
meningkat selama malam hari. Pada asma, peran relatif sirkadian dan sistem
tidur menjadi subjek kontroversi (Martin dan Schlegel, 1998).
Gejala asma nokturnal seperti batuk dispneu dapat mengganggu tidur.
Pasien asma lebih sering mengalami rasa kantuk di siang hari (daytime
sleepiness) dan mengeluh sulit jatuh tertidur atau sering terbangun lebih awal
daripada subjek tanpa asma (Janson et al., 1996). Polisomnografi pada pasien
asma nokturnal menunjukkan penurunan efisiensi tidur (waktu lama tidur
dibanding waktu berada di kasur) dan meningkatkan frekuensi terbangun.
Pada beberapa pasien asma, variasi sirkadian dari fisiologi saluran napas
memberikan peningkatan tercetusnya sleep disordered breathing antara tengah
malam sampai jam 8 pagi. Proses yang mendasarinya diperkirakan berasal dari
pengaruh proses inflamasi (Bender dan Leung, 2005).
Perubahan sitokin akibat asma berkontribusi pada perubahan tidur dengan
mempengaruhi neurokimiawi otak yang meregulasi tidur. Majde dan Kruger
(2005) menyatakan beberapa termasuk IL-4, IL-6, IL-1, dan TNF-α. Sitokin IL-
4 dan IL-1 meningkat pada pasien alergi yang berhubungan dengan
peningkatan masa latensi untuk tidur REM dan merendahkan keseluruhan
kualitas tidur. Studi Fang et al. (1997) juga menunjukkan IL-1 dan TNF-α
meningkatkan intensitas dan durasi tidur NREM serta menahan tidur REM.
xxxiv
Teofilin secara umum dianggap sebagai pengobatan asma nokturnal yang
efektif, terutama jika jadwal dosis pemberian dibangun untuk mencapai level
puncak yang pada malam hari ketika pembatasan saluran napas terbesar (Barnes
et al., 1982). Akan tetapi, teofilin termasuk golongan metilxantin yang
memiliki efek seperti kafein yakni mengganggu tidur.
Hasil penelitian Hanson dan Chen (2008) menunjukkan bahwa kualitas
tidur yang buruk memprediksikan gejala asma yang lebih parah keesokan
harinya, nilai prediksi peak expiratory force (PEF) lebih rendah dan kadar
keluaran kortisol harian yang lebih rendah.
5. Pittsburgh Sleep Quality Index
Buysse et al. mendesain suatu pengukuran kualitas tidur yang dikenal
sebagai Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). PSQI didesain untuk
menyediakan pengukuran kualitas tidur yang reliabel, valid, dan terstandardisasi.
Tidak perlu pelatihan untuk penggunaan kuesioner tidur ini. Revisi terakhir pada
tahun 2005 pada sistem penilaian PSQI (Rush et al., 2000).
Tujuan PSQI adalah mengukur kualitas tidur selama sebulan terakhir dan
mengklasifikasikan sebagai kualitas tidur yang baik atau buruk. Beberapa
dimensi yang tercakup dalam skoring PSQI adalah kualitas tidur subjektif, masa
laten tidur, durasi tidur, kebiasaan efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan
obat-obat tidur, dan disfungsi di siang hari (Buysse, 1989).
xxxv
PSQI terdiri 19 pertanyaan. Pertanyaan untuk diri sendiri terdiri 15
pertanyaan pilihan ganda yang menanyakan tentang frekuensi gangguan tidur dan
kualitas tidur subjektif serta 4 pertanyaan uraian yang menanyakan tentang jam
tidur, jam bangun, masa laten tidur, dan durasi tidur. Lima pertanyaan untuk
pasangan tidur berupa soal pilihan ganda yang menilai gangguan tidur.
Pertanyaan untuk diri sendiri saja yang dihitung dalam skor (Buysse, 1989).
Setiap komponen soal mempunyai rentang nilai antara 0 (jika tidak ada
kesulitan) sampai 3 (nilai maksimum untuk kesulitan yang berat). Nilai-nilai tiap
komponen dijumlahkan menghasilkan nilai total yang berkisar antara 0-21
(Buysse, 1989). Total nilai PSQI >5 menunjukkan kualitas tidur buruk yang
signifikan dengan sensitivitas diagnostic 89.6% dan spesifitas 86.55 (kappa =
0.75, p kurang dari 0.001) (Backhaus et al., 2002).
B. Kerangka Pemikiran
Obat Pelega
· Ketidakcocokan V/Q
· Sitokin IL-1,IL-4, IL-6, TNF-α
· Hipoksia/ Hiperkapnia
· Efek Medikasi: bronkodilator, kortikosteroid, teofilin
ASMA
Kontrol Asma
Asma Nokturnal
Tidur yang terputus dan
kurang menyegarkan
Terbangun Malam Hari
Efek Tidur
· Posisi telentang · Irama Circadian · ↑resistensi
bronkus · ↓kerja mukosiliar · ↓respon
pernapasan
xxxvi
Keterangan :
C. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran diatas, maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah: “Ada perbedaan kualitas tidur pada pasien asma
terkontrol dengan tidak terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta”.
BAB III
METODE PENELITIAN
: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti
: Memengaruhi
xxxvii
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
pendekatan cross sectional, yaitu variabel bebas (faktor risiko) dan variabel
tergantung (efek) diobservasi hanya sekali pada saat yang sama. (Taufiqurrahman,
2004).
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Moewardi Surakarta
pada bulan April sampai Juni 2010
4. Subjek Penelitian
a. Populasi Penelitian
Semua pasien asma yang memeriksakan diri di Poliklinik Paru maupun
yang sedang dirawat inap di Bangsal Anggrek 2 RSUD Dr.Moewardi pada
bulan April sampai Juni 2010.
b. Sampel Penelitian
Setiap pasien asma yang memeriksakan diri di Poliklinik Paru maupun
yang sedang dirawat inap di Bangsal Anggrek 2 RSUD Dr.Moewardi pada
bulan April sampai Juni 2010 yang masuk dalam kriteria inklusi dan tidak
memenuhi kriteria ekslusi.
c. Kriteria Subyek Penelitian
a. Kriteria Inklusi:
xxxviii
1) Pasien berumur 18 tahun ke atas.
2) Pernah didiagnosis menderita asma oleh dokter ahli paru dalam berbagai
derajat berat asma di RSDM Dr. Muwardi Surakarta
3) Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani informed consent.
b. Kriteria Eksklusi:
1) Menderita penyakit lain dengan diagnosis banding asma
2) Pasien yang buta huruf dan tidak bisa membaca
5. Teknik Sampling
Pengambilan sampel dilakukan secara non probability sampling yakni
purposive sampling dimana setiap yang memenuhi kriteria di atas dimasukkan
dalam penelitian sampai kurun waktu yang ditetapkan (Murti, 2006).
Jenis purposive sampling yang akan digunakan adalah fixed-exposure
sampling. Fixed exposure sampling merupakan skema pencuplikan yang dimulai
dengan memilih sampel berdasarkan status paparan subjek yang sudah fixed.
(Murti, 2006).
Besarnya sampel ditetapkan dengan rumus uji beda proporsi:
xxxix
柜囊鰸 柜挠纵Ἀd税2官冠十Ἀ案税官囊冠囊十官挠冠挠邹挠纵官囊石官挠邹挠
(Dahlan, 2008)
Keterangan:
α,β : Tingkat kemakmuran (α = 0,05 dan β = 0,2)
maka nilai Zα dan Zβ adalah 1,96 dan 0.842
P1 : Proporsi efek standar dari pustaka
P2 : Proporsi yang diteliti (clinical judgement)
P : ½ (P1+P2)
Q : 1-P
Dari hasil perhitungan rumus, besar sampel yang didapatkan adalah 89
sampel untuk tiap kelompok. Namun, karena keterbatasan waktu, maka
penelitian ini hanya akan diambil 60 sampel yang terdiri dari 30 sampel
kelompok yang diteliti dan 30 sampel kelompok kontrol. Hal ini telah sesuai
dengan “Role of Thumb” atau patokan dasar umum, setiap penelitian yang
datanya akan dianalisis secara statistik dengan analisis bivariat membutuhkan
sampel minimal 30 subyek penelitian (Murti, 2006).
6. Rancangan Penelitian
xl
Keterangan:
ACT : Asthma Control Test
PSQI : Pittsburgh Sleep Quality
7. Identifikasi Variabel Penelitian
Penderita Asma di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Asma Terkontrol Asma tidak terkontrol
Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi
Mengisi kuissioner ACT
Mengisi kuisioner PSQI Mengisi kuisioner PSQI
Kualitas tidur baik
Kualitas tidur buruk
Kualitas tidur baik
Kualitas tidur buruk
Tabel 2x2
Analisis bivariat Uji Chi Square dan
Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda
xli
1. Variabel bebas : Kontrol asma menurut kriteria ACT
2. Variabel tergantung : Kualitas tidur menurut kriteria PSQI
3. Variabel perancu : Umur, penyakit dengan diagnosis banding asma,
gangguan medis lain yang dapat menyebabkan gangguan tidur, gangguan
mental yang dapat menyebabkan gangguan tidur, gangguan tidur akibat zat,
subjektivitas responden dalam mengisi kuesioner.
8. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Kontrol Asma menurut kriteria Asthma Control Test (ACT)
a. Definisi: Yang termasuk dalam kategori asma terkontrol adalah pasien dengan skor
ACT ≥ 20, sedangkan kategori asma tidak terkontrol adalah pasien dengan skor
ACT≤ 19 (GINA, 2006).
b. Sumber data: Data primer pasien
c. Alat ukur: Kuesioner ACT
d. Skala pengukuran: Nominal dikotomik, mengkategorikan menjadi asma
terkontrol dan tidak terkontrol.
2. Kualitas tidur menurut kriteria Pittsburgh Sleep Quality (PSQI)
a. Definisi: Kualitas tidur dinilai baik jika total nilai (global score) ≤ 5 sedangkan
kualitas tidur dinilai buruk jika total nilai (global score) > 5 (Backhaus et al., 2002).
b. Sumber data: Data primer pasien
c. Alat ukur : Kuesioner PSQI
d. Skala pengukuran: Nominal dikotomik, mengkategorikan menjadi kualitas
tidur baik dan buruk.
xlii
3. Jenis kelamin
a. Definisi: Jenis kelamin sampel dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan.
b. Alat ukur: Wawancara
c. Skala pengukuran: Nominal
4. Umur
a. Definisi: Umur sampel adalah selisih hari kelahiran dengan ulang tahun terakhir
saat penelitian berlangsung (Mulyono et al., 2003).
b. Alat ukur: Wawancara
c. Skala pengukuran: Rasio
5. Ras
a. Definisi: Ras sampel penelitian adalah adalah WNI keturunan asli Indonesia.
b. Alat ukur: Wawancara
c. Skala pengukuran: Nominal
6. Penyakit dengan diagnosis banding asma:
a. Definisi
1) Gagal jantung adalah sindroma klinis ditandai oleh sesak napas dan fatigue
(saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan kelainan struktur atau fungsi
jantung (Panggabean, 2006).
2) Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit ditandai adanya
hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran
udara bersifat progresif disertai respon inflamasi abnormal paru terhadap
partikel atau gas beracun (Hood, 2004).
xliii
3) Emboli paru merupakan kejadian obstruksi sebagian atau total sirkulasi arteri
pulmonalis atau cabang-cabang akibat tersangkutnya emboli trombus atau
emboli yang lain (Rahmatullah, 2006).
b. Alat ukur: Wawancara dan rekam medis
c. Skala pengukuran: Nominal
7. Gangguan medis lain yang dapat menimbulkan gangguan tidur
a. Definisi: gangguan tidur yang terjadi karena akibat dari gangguan medis umum
seperti gagal jantung, hipertensi, diabetes melitus, osteoarthritis, gagal ginjal,
kejang nokturnal, nyeri kepala (cephalgia), refluks gastroesofagus, parkinson,
stroke (Welsh, 2003).
b. Alat ukur: Wawancara dan rekam medis
c. Skala Pengukuran: Nominal
8. Gangguan mental yang dapat mengganggu tidur
a. Definisi: Gangguan tidur berupa insomnia pada gangguan depresif berat,
dementia, gangguan kecemasan umum, gangguan Bipolar II dan episode manik
ataupun hipersomnia pada gangguan mood, gangguan bipolar I fase terdepresi
(Frances et al., 1995).
b. Alat ukur : Wawancara dan rekam medis
c. Skala pengukuran: Nominal
9. Gangguan tidur akibat zat
xliv
a. Definisi: Gangguan tidur yang berkembang dalam satu bulan akibat intoksikasi
atau putus zat. Subtansi zat yang dapat menyebabkan gangguan tidur antara lain:
narkoba, obat penghambat beta, kafein, alkohol, obat hipnotik-sedatif,
kemoterapi (Kaplan dan Sadock, 2000).
b. Alat ukur: Wawancara dan rekam medis
c. Skala Pengukuran: Nominal
9. Alat dan Bahan Penelitian
1. Informed Consent
2. Kuesioner ACT, Kuesioner PSQI, Kuesioner riwayat penyakit dan riwayat konsumsi zat
10. Cara Kerja
1. Melakukan wawancara dengan pasien yang telah didiagnosis asma meliputi:
a. Wawancara tentang data diri pasien (nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaaan, dan alamat).
b. Menjelaskan maksud, tujuan, prosedur, serta manfaat penelitian kepada pasien
dan mendapat persetujuan keikutsertaan dalam penelitian dengan
penandatanganan informed consent.
c. Pengisian kuesioner Asthma Control Test (ACT)
d. Pengisian kuesioner Pitsburgh Sleep Quality Index (PSQI)
e. Pengisian kuesioner penyakit penyerta dan riwayat konsumsi zat
2. Cara mengisi kuesioner ACT dan PSQI
a. Memberikan penjelasan secukupnya pada pasien
xlv
b. Mendampingi pasien pada waktu pengisian kuesioner
c. Mempersilakan pasien bertanya bila menemui kesulitan
d. Jika pasien tidak dapat mengisi sendiri, maka peneliti dapat melakukan
wawancara terhadap pasien untuk pengisian kuesioner
3. Menghitung skor total ACT dan mengelompokanya dengan cara:
a. Setiap soal dalam kuesioner masing-masing pilihan jawabannya mempunyai skor
1-5.
b. Skor tiap soal tergantung jawaban pasien
c. Skor tiap soal dijumlah dan didapatkan skor total yang kemudian dikelompokkan
menjadi asma terkontrol jika skor total ≥ 20 dan asma tidak terkontrol jika skor
ACT ≤19 (GINA, 2006).
4. Menghitung skor total PSQI
a. Setiap soal kuesioner PSQI mempunyai sistem skoring tersendiri
b. Skor tiap soal tergantung jawaban pasien
c. Skor tiap soal dijumlah dan didapat skor total yang kemudian dikelompokkan
menjadi kualitas tidur baik jika skor total ≤ 5 sedangkan kualitas tidur buruk jika
skor total > 5 (Buysse, 1989).
5. Menilai perbedaaan kualitas tidur menurut PSQI pada pasien asma terkontrol dan
tidak terkontrol menurut ACT.
11. Teknik Analisis Data
xlvi
Karakteristik data sampel berskala kategorikal dideskripsikan dalam
frekuensi dan persen. Karakteristik data sampel berskala kontinu dideskripsikan
dalam frekuensi, mean, dan deviasi standar.
Data penelitian dianalisis dengan program SPSS (Statistical Package for
Social Sciences) 17.0 for Windows. Analisa data statistik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah diawali dengan analisa bivariat uji chi square selanjutnya
dianalisis bersama dengan analisis regresi logistik ganda guna mencari Odds
Ratio, Confidence Interval 95% dan nilai p.
Pertama, variabel bebas dan perancu akan dianalisis masing-masing secara
bivariat terhadap variabel tergantung dengan menggunakan uji chi square untuk
mengetahui apakah hubungan yang teramati antara kedua variabel secara statistik
bermakna ataukah peran peluang terlalu besar hingga keterkaitan yang teramati
tidak bermakna. Data diolah dengan menggunakan metode statistik uji Chi-square
(X2) dengan taraf signifikansi (α) 0,05. Hubungan antara kedua variabel bermakna
bila faktor peluang atau nilai p kurang dari 5% (p<0,05).
Analisis regresi logistik ganda digunakan untuk menganalisis pengaruh
variabel perancu yang tidak direstriksi dalam kriteria sampel. Teknik ini
digunakan bila variabel tergantungnya berskala nominal (Sastroasmoro, 2006).
Variabel yang akan dimasukkan dalam analisis regresi logistik adalah variabel
xlvii
yang pada analisis bivariat menunjukkan hubungan yang bermakna dan
mempunyai nilai p<0,25 (Dahlan, 2009).
Penghitungan odds ratio dilakukan untuk mengetahui seberapa kuat
hubungan kualitas tidur dengan kontrol asma. Dalam model regresi logistik, rumus
OR = exp (β). Interpretasi OR disajikan dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Interpretasi OR (rule of thumbs)
OR Interpretasi
1 Tidak ada hubungan
>1 hingga < 1,5 Terdapat hubungan lemah
≥1,5 hingga < 3 Terdapat hubungan sedang
≥3 hingga <10 Terdapat hubungan kuat
≥10 Terdapat hubungan sangat kuat
Perbedaan kualitas tidur pada pasien asma terkontrol dengan tidak terkontrol
dianalisis dengan model analisis regresi logistik dengan sekaligus mengontrol
pengaruh variabel perancu umur, riwayat penyakit penyerta dengan persamaan
sebagai berikut: (Murti, 2006).
Ln 贵1石贵鰸 d十案囊贯囊十案挠贯挠十案脑贯脑
Dimana:
p = probabilitas pasien asma untuk mengalami kualitas tidur buruk
1-p = probabilitas pasien asma untuk mengalami kualitas tidur baik 贯囊 = kontrol asma pasien (0: asma terkontrol, 1: asma tidak terkontrol) 贯挠 = umur pasien asma (0: <48 tahun; 1: ≥48 tahun)
xlviii
贯脑 = keberadaan riwayat penyakit penyerta (0: tidak ada, 1: ada)
Keberadaan kerancuan (confounding factor) taksiran OR perbedaan kualitas
tidur pada pasien asma terkontrol dengan tidak terkontrol oleh variabel perancu
umur dan riwayat penyakit penyerta ditemukan dengan cara membandingkan hasil
estimasi OR yang mengontrol faktor perancu (adjusted estimate) dari analisis
regresi logistik ganda dengan hasil estimasi OR yang tidak mengontrol faktor
perancu tersebut (crude estimate) dari hasil analisis bivariat.
Apabila terdapat perbedaan antara OR taksiran kasar (crude estimate) dan
OR taksiran yang mengontrol kerancuan (adjusted estimate) sebesar10-20% atau
lebih, maka taksiran kasar tersebut dikatakan telah mengalami bias. Jika taksiran
kasar OR mengandung bias, maka taksiran OR yang digunakan adalah taksiran
yang mengendalikan pengaruh faktor perancu.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian mengenai Perbedaan Kualitas Tidur pada Pasien Asma
Terkontrol dengan Tidak Terkontrol telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai
Juni 2010 di Poliklinik Paru dan Instalasi Rawat Inap Anggrek 2 RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Sampel sejumlah 60 terdiri dari 30 sampel pasien asma
terkontrol dan 30 sampel pasien asma tidak terkontrol. Berikut disampaikan hasil
penelitian yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
A. Karakteristik Sampel Penelitian
Tabel 4.1 Distribusi Sampel
No Jenis Kelamin
1. Perempuan
2. Laki-laki
Jumlah
Gambar 4.1
Tabel 4.1 dan Gambar 4.1 menunjukkan
yang memeriksakan diri di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
kelamin wanita yakni berjumlah 33 orang (55%).
Tabel
No Kelompok Umur
1 <20 tahun 2 21-30 tahun 3 31-40 tahun 4 41-50 tahun 5 51-60 tahun 6 61-70 tahun 7 >71 tahun Jumlah
xlix
Karakteristik Sampel Penelitian
Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah %
33 55
27 45
60 100
Gambar 4.1 Persentase Sampel Menurut Jenis Kelamin
Tabel 4.1 dan Gambar 4.1 menunjukkan selama penelitian, penderita asma
yang memeriksakan diri di RSUD Dr. Moewardi Surakarta paling banyak
berjumlah 33 orang (55%).
Tabel 4.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Umur
Kelompok Umur Frekuensi %
2 3,3 2 3,3 9 15 23 38,3 13 21,7 8 13,3
3 5 60 100
55%45% Perempuan
Laki
selama penelitian, penderita asma
paling banyak berjenis
Perempuan
Laki-Laki
Dari Tabel 4.2 dan Gambar 4.2 didapatkan penderita asma pada kelompok
umur 41-50 menempati persentase te
Tabel 4.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No. Tingkat Pendidikan
1. SD sederajat
2. SLTP sederajat
3. SLTA sederajat
4. D3/S1 sederajat
Jumlah
22%
13%
Gambar 4.2
38%
22%
Gambar 4.3 Persentase Sampel Menurut Tingkat Pendidikan
l
Dari Tabel 4.2 dan Gambar 4.2 didapatkan penderita asma pada kelompok
50 menempati persentase terbanyak yaitu 23 orang (38,3%).
Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan Jumlah %
SD sederajat 15 25
SLTP sederajat 9 15
SLTA sederajat 23 38,3
D3/S1 sederajat 13 21,7
Jumlah 60 100
3% 3%15%
39%
13% 5%
Gambar 4.2 Persentase Sampel Menurut Kelompok Umur
<20 tahun21-31-41-51-61->71
25%
15%38%
22%
Persentase Sampel Menurut Tingkat Pendidikan
SD sederajatSLTP sederajatSLTA sederajatD3/S1 sederajat
Dari Tabel 4.2 dan Gambar 4.2 didapatkan penderita asma pada kelompok
Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan
<20 tahun-30 tahun-40 tahun-50 tahun-60 tahun-70 tahun
>71
D3/S1 sederajat
Dari Tabel 4.3 dan Gambar 4.3
terbanyak adalah SLTA sebanyak 23 orang (38,3%), sedangkan tingkat pendidikan
paling sedikit adalah SLTP sebanya
Tabel 4.
No. Pekerjaan
1 PNS
2 Swasta
3 Pedagang/Wiraswasta
4 Pelajar/ Mahasiswa
5 Ibu Rumah tangga
6 Pensiunan
Jumlah
Dari Tabel 4.4 dan Gambar 4.4
terbanyak adalah swasta 24 orang (40%), sedangkan persentase pekerjaan sampel
terkecil adalah Pelajar / M
B. Analisis Bivariat Uji
Data dalam penelitian ini dianalisa dengan uji
dapat diketahui apakah hubungan yang teramati antara kedua variabel s
5%
25%
Gambar 4.4
li
dan Gambar 4.3 didapatkan tingkat pendidikan sampel yang
terbanyak adalah SLTA sebanyak 23 orang (38,3%), sedangkan tingkat pendidikan
paling sedikit adalah SLTP sebanyak 9 orang (15%).
4.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Pekerjaan
Jumlah
7 11,
24 40
Pedagang/Wiraswasta 6 10
Pelajar/ Mahasiswa 3
Ibu Rumah tangga 15 25
5 8,
60 100
dan Gambar 4.4 didapatkan persentase pekerjaan sampel
terbanyak adalah swasta 24 orang (40%), sedangkan persentase pekerjaan sampel
terkecil adalah Pelajar / Mahasiswa sebanyak 5 orang (8,3%).
Bivariat Uji Tabulasi Silang atau Chi Square
Data dalam penelitian ini dianalisa dengan uji chi square, dengan uji itu
dapat diketahui apakah hubungan yang teramati antara kedua variabel s
12%
40%10%
8%
Gambar 4.4 Persentase Sampel Menurut Pekerjaan
PNSSwastaPedagang/WiraswastaPelajar/ MahasiswaIbu Rumah TanggaPensiunan
tingkat pendidikan sampel yang
terbanyak adalah SLTA sebanyak 23 orang (38,3%), sedangkan tingkat pendidikan
%
11,7
40
10
5
25
8,3
100
persentase pekerjaan sampel
terbanyak adalah swasta 24 orang (40%), sedangkan persentase pekerjaan sampel
dengan uji itu
dapat diketahui apakah hubungan yang teramati antara kedua variabel secara
Pedagang/WiraswastaPelajar/ MahasiswaIbu Rumah Tangga
lii
statistik bermakna. Penelitian ini mengamati hubungan antara variabel
tergantung kualitas tidur dengan variabel bebas kontrol asma dan variabel
perancu riwayat penyakit penyerta, umur, riwayat konsumsi zat. Adanya
variabel perancu berpengaruh terhadap hasil analisis data yang didapat. Untuk
mengendalikannya, dilakukan analisis regresi logistik. Setelah hasil uji chi
square didapat, maka dapat dilihat nilai signifikansinya. Hubungan signifikan
jika p<0,05. Selain itu, jika p<0,25, maka variabel tersebut memenuhi syarat
analisis regresi logistik.
Tabel 4.5 Analisis Bivariat tentang Kualitas Tidur antara Pasien Asma Terkontrol dengan Tidak Terkontrol
Variabel
Kualitas Tidur Total
Crude OR
X2 p Baik n(%)
Buruk n(%)
Asma Terkontrol 17(56,7) 13(43,3) 30(100) - - -
Asma Tidak Terkontrol 7(23,3) 23(76,7) 30(100) 4,3 6,94 0,008
liii
Dari Tabel 4.5 dan Gambar 4.5 didapatkan kelompok asma terkontrol
sampel dengan kualitas tidur baik sebanyak 17 orang (56,7%) dan kualitas tidur
buruk sebanyak 13 orang (43,3%). Pada kelompok asma tidak terkontrol, sampel
dengan kualitas tidur baik sebanyak 7 orang (23,3%) dan kualitas tidur buruk
sebanyak 23 orang (76,7%). Analisis bivariat terhadap hubungaan antara tingkat
kontrol asma dengan kualitas tidur menunjukkan hubungan yang signifikan
(p<0,05) dan memenuhi syarat analisis regresi logistik (p< 0,25) sehingga variabel
kontrol asma dapat dianalisis regresi logistik. Pasien asma tidak terkontrol
memiliki risiko untuk mengalami kualitas tidur buruk empat kali lebih besar
daripada asma terkontrol (OR=4,3; CI95% 1,3 s.d. 14,7), tetapi hasil ini belum
mengontrol pengaruh dari variabel perancu.
0102030405060708090
Asma Terkontrol Asma Tidak Terkontrol
Per
sent
ase
Kua
litas
Tid
ur B
uruk
(%
)
Keadaan Kontrol Asma
Gambar 4.5 Persentase Kualitas Tidur Buruk Menurut Kontrol Asma
liv
Tabel 4.6 Analisis Bivariat tentang Kualitas Tidur antara Pasien yang disertai dengan riwayat penyakit penyerta dan tidak
Variabel
Kualitas Tidur
Total Crude
OR X2 p
Baik n(%)
Buruk n(%)
Tanpa penyakit penyerta 21(63,6) 12(36,4) 33(100) - - - Ada penyakit penyerta 3(11,1) 24(88,9) 27(100) 14 17,07 <0,001
Dari Tabel 4.6 dan Gambar 4.6 didapatkan pada kelompok tanpa riwayat
penyakit penyerta, sampel dengan kualitas tidur baik sebanyak 21 orang (63,6%)
dan kualitas tidur buruk sebanyak 12 orang (36,4%). Pada kelompok adanya
riwayat penyakit penyerta, sampel dengan kualitas tidur baik sebanyak 3 orang
(11,1%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 24 orang (88,9%). Analisis bivariat
terhadap hubungan antara riwayat penyakit penyerta dengan kualitas tidur
0102030405060708090
100
Tanpa Penyakit Penyerta Ada Penyakit PenyertaPer
sent
ase
Kua
litas
Tid
ur B
uruk
Keberadaan Riwayat Penyakit Penyerta
Gambar 4.6 Persentase Kualitas Tidur Buruk Menurut Keberadaan Riwayat Penyakit Penyerta
lv
menunjukkan hubungan yang signifikan (p<0,001) dan memenuhi syarat analisis
regresi logistik (p<0,25) sehingga variabel perancu riwayat penyakit penyerta
dapat dianalisis regresi logistik. Pasien asma dengan riwayat penyakit penyerta
berisiko mengalami kualitas tidur buruk empat belas kali lebih besar daripada
tanpa riwayat penyakit penyerta (OR=14; CI95% 3,5 s.d. 56,4), tetapi hasil ini
belum mengontrol pengaruh dari variabel lain.
Tabel 4.7 Tabel Uji normalitas data umur (numerik) menurut kontrol asma
Kontrol asma berdasarkan skor ACT
Kolmogorov-Smirnov
Sig
Umur Terkontrol 0.200 Tidak Terkontrol 0.197
Tabel 4.7 menunjukkan hasil uji normalitas terhadap distribusi data umur
secara analitik. Uji Kolmogorov Smirnov digunakan karena sampel berjumlah
>50. Dari tabel didapatkan nilai sig untuk asma terkontrol= 0,200 sedangkan untuk
asma tidak terkontrol nilai sig= 0,197; maka dapat diambil kesimpulan bahwa
distribusi umur terhadap kontrol asma normal karena nilai sig>0,005. Distribusi
data umur terhadap variabel kontrol asma normal, sehingga dapat dilakukan
analisis data pengaruh variabel umur terhadap kualitas tidur.
Tabel 4.8 Karakteristik data umur
Variabel n Mean Median SD
Umur 60 48,9 48,5 100
lvi
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa mean dan median dari umur keduanya
berada pada umur 48 tahun sehingga dalam pengkategorian umur selanjutnya
dalam dua kategori yakni < 48 tahun dan ≥48 tahun
Tabel 4.9 Analisis Bivariat tentang Kualitas Tidur antara Pasien yang berumur <48 tahun dan ≥48 tahun
Variabel
Kualitas Tidur Total
Crude
OR X2 p
Baik n(%)
Buruk n(%)
<48 tahun 18(60) 12(40) 30(100) - - - ≥ 48 tahun 6(20) 24(80) 30(100) 6 10 0,002
Dari Tabel 4.9 dan Gambar 4.7 didapatkan pada kelompok umur < 48
tahun, sampel dengan kualitas tidur buruk sebanyak 12 orang (40%). Sedangkan
kelompok umur ≥48 tahun, sampel dengan kualitas tidur buruk sebanyak 24 orang
(80%). Analisis bivariat terhadap hubungan antara umur dengan kualitas tidur
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
<48 tahun ≥ 48 tahunPer
sent
ase
Kua
litas
Tid
ur B
uruk
Umur
Gambar 4.7 Persentase Kualitas Tidur Buruk Menurut Umur
lvii
menunjukkan hubungan signifikan (p<0,05) dan memenuhi syarat analisis regresi
logistik (p< 0,25) sehingga variabel umur dapat dianalisis regresi logistik. Pasien
asma berumur ≥48 tahun berisiko mengalami kualitas tidur buruk enam kali lebih
besar daripada umur <48 tahun (OR=6; CI95% 1,9 s.d. 19), tetapi hasil ini belum
mengontrol pengaruh variabel lain.
Tabel 4.10 Analisis Bivariat tentang Kualitas Tidur antara Pasien yang disertai dengan riwayat konsumsi zat tertentu dan tidak
Variabel
Kualitas Tidur
Total Crude
OR X2 p
Baik n(%)
Buruk n(%)
Tanpa riwayat konsumsi zat 19(40,4) 28(59,6) 47(100) - - - Ada riwayat konsumsi zat 5(38,5) 8(61,5) 13(100) 1,1 0,02 0,898
Dari Tabel 4.10 didapatkan pada kelompok tanpa riwayat konsumsi zat ,
sampel dengan kualitas tidur baik sebanyak 19 orang (40,4%) dan kualitas tidur
buruk sebanyak 28 orang (59,6%). Pada kelompok ada riwayat konsumsi obat,
sampel dengan kualitas tidur baik sebanyak 5 orang (38,5%) dan kualitas tidur
buruk sebanyak 8 orang (61,5%). Analisis bivariat terhadap hubungan antara
riwayat konsumsi zat dengan kualitas tidur menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan (p>0,05) dan tidak memenuhi syarat analisis regresi logistik (p>0.25).
lviii
C. ANALISIS REGRESI LOGISTIK GANDA
Berdasarkan analisis bivariat, variabel yang berpengaruh secara signifikan
terhadap kualitas tidur adalah kontrol asma, riwayat penyakit penyerta, dan
umur. Ketiga variabel ini akan dilakukan analisis regresi logistik.
Tabel 4.11 Perbandingan Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda dengan Analisis Bivariat tentang Perbedaan Kualitas Tidur antara Pasien Asma Terkontrol dengan Tidak Terkontrol
Variabel
Model 1 (Analisis Multivariat Regresi Logistik)
Model 2 (Analisis Bivariat)
Adjusted OR
p
CI 95% Crude
OR p
CI 95%
Batas bawah
Batas atas
Batas bawah
Batas atas
Kontrol Asma
Terkontrol
Tidak Terkontrol
1,0
7,4
-
0,009
-
1,7
-
32,9
-
4,3
-
0,008
1,3
14,7
Riwayat Penyakit
Penyerta
Tidak Ada
Ada
1,0
15,8
-
0,002
-
2,8
-
89,9
-
14
-
<0,001
3,5
56,4
Umur
<48 tahun
≥48 tahun
1,0
2,1
-
0,309
-
0,5
-
9,3
-
6
-
0,002
1,9
19
N observasi 60
-2 log likelihood 51,9
Nagelkerke R2 51,7
Interpretasi dari Tabel 4.11: Pasien asma yang tidak terkontrol memiliki
risiko untuk mengalami kualitas tidur buruk tujuh kali lebih besar daripada asma
terkontrol (OR= 7,4; CI95% 1,7 s.d. 32,9). Hubungan tersebut secara statistik
lix
signifikan dan menunjukkan hubungan yang kuat serta telah mengontrol pengaruh
dari riwayat penyakit penyerta dan umur.
Pasien asma yang disertai riwayat penyakit penyerta berisiko untuk
mengalami kualitas tidur buruk enam belas kali lebih besar daripada pasien asma
tanpa riwayat penyakit penyerta (OR=15,8; CI95% 2,8 s.d. 89,9). Pasien asma
berumur ≥ 48 tahun berisiko mengalami kualitas tidur buruk dua kali lebih besar
daripada umur <48 tahun (OR=2,1; CI95% 0,5 s.d. 9,3).
Bias pada variabel kontrol asma 鰸 关.퍠,0le 石关.⛸lr0魄bel关.퍠,0le 时1ee%
鰸 4ニ3石7ニ44ニ3 时1ee% 鰸 石72ニ1%
OR taksiran yang mengontrol kerancuan (OR adjusted) berbeda sebesar
72% dari OR taksiran kasar. Karena perbedaan crude OR dengan adjusted OR
>10% maka OR tanpa mengontrol faktor perancu (Crude OR) telah mengalami
bias negatif (mendekati OR = 1). Jika tidak mengontrol pengaruh penyakit
penyerta dan umur, maka taksiran OR tentang perbedaan kualitas tidur pada pasien
asma terkontrol dengan tidak terkontrol akan mengalami bias yang lebih kecil dari
sesungguhnya. Taksiran OR yang digunakan adalah OR yang memperhitungkan
pengaruh faktor perancu dengan model analisis regresi logistik.
Hasil analisis di atas memperlihatkan nilai -2 log likelihood sebesar 51,9
artinya perbedaan antara data sampel yang teramati dengan model analisis regresi
lx
yang diprediksi tidak terlalu besar (hampir sama karena mendekati nol dan
nilainya berada pada kisaran antara 0 sampai 100).
Dengan model regresi logistik ganda, variabel tingkat kontrol asma, umur,
dan riwayat penyakit penyerta mampu menjelaskan kualitas tidur pasien asma 52%
(Nagelkerke R2 51,7%).
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian yang berjudul “Perbedaan Kualitas Tidur pada Pasien Asma
Terkontrol dengan Tidak Terkontrol” dilakukan sejak bulan Mei sampai dengan Juni
2010 di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan didapatkan 60 sampel yang terdiri dari
30 pasian asma terkontrol dan 30 pasien asma tidak terkontrol.
Distribusi subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin (Tabel 4.1) didapatkan
bahwa penderita asma yang terbanyak adalah wanita, berjumlah 33 orang (55%)
dibandingkan dengan laki-laki yang berjumlah 27 orang (45%). Hasil ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya bahwa pada orang dewasa dengan asma kebanyakan
penderitanya adalah wanita (Sundaru dan Sukamto, 2007). Hal ini dikarenakan jenis
kelamin merupakan faktor predisposisi asma. Perempuan lebih rentan terhadap stress
dan mengalami masalah hormonal (menstruasi, premenstruasi, kehamilan) yang
menjadi faktor pencetus asma (Surjanto, 2001).
lxi
Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa dalam penelitian ini, penderita
asma paling banyak didapatkan pada kelompok umur 41-50 tahun, berjumlah 23
orang (38,3%). Penelitian epidemiologi yang dilakukan Center for Disease Control
(CDC) tahun 1998 di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa penderita asma
dewasa paling sering ditemukan pada usia 45 – 47 tahun.
Pada penelitian ini, persentase tingkat pendidikan (Tabel 4.3) tertinggi pada
tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebanyak 23 orang
(38,3%). Prevalensi tingkat pendidikan sedikit berbeda dengan hasil penelitian
Sastrawan et al. (2008), dalam penelitianya, didapatkan distribusi sampel pada
tingkat pendidikan SLTA sebesar 36,1%. Hal ini disebabkan perbedaan pengambilan
lokasi penelitian dimana penelitian Sastrawan mengambil sampel pada populasi
umum di Desa Tenganan sedangkan penelitian ini dilakukan hanya di RSUD Dr
Moewardi Surakarta sehingga didapatkan prevalensi tingkat pendidikan yang
berbeda.
Faktor pekerjaan merupakan salah satu faktor risiko pencetus asma (Karjadi,
2003). Prevalensi di masyarakat umum tidak diketahui pasti, tetapi di Amerika
Serikat ± 15% populasi penderita asma bronkial mempunyai hubungan dengan faktor
lingkungan kerjanya (Yeung dan Malo, 1995). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa persentase pekerjaan sampel terbanyak adalah swasta 40% atau 24 orang
(Tabel 4.4). Pekerjaan yang dikategorikan swasta sebagian besar adalah buruh
lxii
bangunan dan pabrik yang lingkungan kerjanya banyak terdapat agen polutan
pencetus asma seperti gas, debu, kabut, uap, bahan kimia, dan iritan.
Hubungan asma dengan tidur telah diidentifikasi dalam beberapa penelitian.
Pasien asma lebih sering mengalami kesulitan memulai tidur, mempertahankan tidur,
mengalami rasa kantuk di siang hari (daytime sleepiness), terbangun terlalu pagi
(early morning awakening), mengeluhkan tidur kurang menyegarkan, dan penurunan
efisiensi tidur yang signifikan dibandingkan subjek normal (Fitzpatrick et al., 1991;
Janson et al., 1996; Martin dan Schlegel, 1998). Polisomnografi pasien asma
nokturnal menunjukkan penurunan efisiensi tidur (waktu lama tidur dibanding waktu
di kasur) dan peningkatan frekuensi terbangun (Casey et al., 2007).
Asma sering memburuk pada malam hari atau dikenal dengan asma nokturnal.
Gejala asma nokturnal seperti batuk, dispneu dapat mengganggu tidur. Turner-
Warwick (1988) melaporkan hasil studinya bahwa 64% pasien asma mengalami
serangan minimal tiga malam per minggu, 40% pasien asma mengalami serangan tiap
malam serta 53% kematian asma terjadi antara tengah malam sampai jam 8 pagi.
Pada asma, resistensi saluran pernapasan bawah meningkat secara progresif
sepanjang malam dengan peningkatan lebih besar selama tidur. Fungsi paru dan
responsivitas saluran napas bervariasi sesuai ritme sirkadian, dengan titik terendah
dalam fungsi paru terjadi kira-kira jam 4 pagi (Rusli, 1992). Jumlah sel inflamasi dan
level mediator inflamasi pada paru pun terlihat meningkat selama malam hari. Pada
beberapa pasien asma, variasi sirkadian dari fisiologi saluran napas memberikan
lxiii
peningkatan tercetusnya sleep disordered breathing antara tengah malam sampai jam
8 pagi (Martin dan Schlegel, 1998).
Perubahan sitokin akibat asma berkontribusi pada perubahan tidur dengan
memengaruhi neurokimiawi otak yang meregulasi tidur. Majde dan Kruger (2005)
menyatakan mediator inflamasi yang memperantarai gangguan tidur pada pasien
hipersensitivitas yakni IL-4, IL-1, dan TNF-α. Sitokin IL-4 dan IL-1 meningkat pada
pasien alergi dan berhubungan peningkatan masa latensi tidur REM dan merendahkan
keseluruhan kualitas tidur. Studi Fang et al. (1997) menunjukan IL-1 dan TNF-α
meningkatkan intensitas dan durasi tidur NREM serta menahan tidur REM.
Barnes et al. (1982) dalam Casey et al. (2007) menyatakan teofilin secara
umum dianggap sebagai pengobatan asma nokturnal yang efektif, terutama jika
jadwal dosis pemberian dibangun guna mencapai level puncak pada malam hari
ketika pembatasan saluran napas terbesar. Namun, teofilin sendiri termasuk golongan
metilxantin yang memiliki efek samping seperti kafein yakni mengganggu tidur.
Pasien yang mengalami gangguan tidur sekunder akibat penyakit somatik dapat
memperbaiki kualitas tidurnya dengan mengontrol keluhan penyakit yang timbul
(Parish, 2009). Penderita asma yang mampu mengontrol keadaan asmanya dapat
mengurangi gejala asma nokturnal berupa sesak napas, batuk atau wheezing di malam
hari sehingga diharapkan dapat memperbaiki kualitas tidurnya.
Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kualitas tidur pada pasien asma
terkontrol dengan tidak terkontrol. Tabel 4.5 menggambarkan distribusi subjek
penelitian berdasarkan kualitas tidur. Pada kelompok asma terkontrol, sampel dengan
lxiv
kualitas tidur baik berjumlah 17 orang (56,7%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 13
orang (43,3%). Pada kelompok asma tidak terkontrol, sampel dengan kualitas tidur
baik sebanyak 7 orang (23,3%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 23 orang (76,7%).
Pada penelitian ini, pasien asma yang tidak terkontrol memiliki risiko untuk
mengalami kualitas tidur buruk tujuh kali lebih besar daripada asma terkontrol
(OR=7,4; CI95% 1,7 s.d. 32,9). Hubungan tersebut secara statistik signifikan dan
menunjukkan hubungan yang kuat serta telah mengontrol pengaruh dari riwayat
penyakit penyerta dan umur.
Pengaruh kontrol asma terhadap tidur pernah dilakukan dalam beberapa
penelitian. Hasil penelitian ini juga relevant dengan penelitian yang sebelumnya telah
dilakukan. Penelitian Mastronarde et al. (2008) menyimpulkan gangguan tidur sering
terjadi pada pasien asma dan berhubungan dengan kontrol asma dan kualitas hidup.
Para klinisi yang merawat pasien perlu melengkapi riwayat tidur terutama pada asma
tidak terkontrol. Dosis rendah teofilin tidak menimbulkan gangguan tidur.
Braido et al. (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Sleep disturbances and
asthma control: a real life study” menyatakan kontrol asma berhubungan dengan
keberadaan gangguan tidur. Pasien dengan kontrol asma yang baik melaporkan
gangguan tidur lebih ringan dan jarang dibandingkan subjek yang tidak terkontrol.
Walau demikian masih terdapat sekitar 11-20% dari kelompok pasien asma terkontrol
baik yang mempunyai keluhan gangguan tidur dan kualitas hidup yang menurun.
Oleh karena itu, kasus asma dengan gangguan tidur perlu investigasi lebih lanjut
apakah gangguan tidur tersebut akibat asma atau penyakit penyerta lainnya.
lxv
Investigasi lebih lanjut mengenai riwayat penyakit penyerta, umur telah
dilakukan dan dianalisis bersama variabel kontrol asma. Hal inilah yang menjadi
kelebihan dalam penelitian ini yakni penggunaan analisis regresi logistik ganda
sebagai teknik analisis data untuk mengontrol variabel perancu secara statistik. Model
analisis regresi logistik dapat mencegah terjadinya bias dalam penelitian. Bias dalam
penelitian ini sebesar -72,1%. Karena terdapat perbedaan antara OR sebesar > 10%
yakni -72%, maka OR tanpa mengontrol faktor perancu telah mengalami bias negatif
(mendekati OR = 1). Jadi, jika tidak mengontrol pengaruh riwayat penyakit penyerta
dan umur, maka taksiran OR tentang perbedaan kualitas tidur pada pasien asma
terkontrol dengan tidak terkontrol akan mengalami bias yang lebih kecil dari
sesungguhnya (underestimate). Dengan demikian, taksiran OR yang digunakan
adalah OR yang dihitung dengan model analisis regresi logistik yang
memperhitungkan pengaruh faktor perancu.
Log likelihood menunjukkan perbedaan antara model analisis regresi yang
digunakan dan data sampel. Makin kecil nilai log likelihood, maka model yang
digunakan makin baik yakni berkisar antara nilai 0 s.d. 100. Dengan demikian,
model analisis regresi yang dipilih cukup mendekati data sampel penelitian karena
nilai -2 log likelihood mendekati nol dan masih berada di kisaran nol sampai seratus
yakni sebesar 51,9.
Dengan model regresi logistik ganda, variabel tingkat kontrol asma, umur, dan
riwayat penyakit penyerta mampu menjelaskan kualitas tidur pasien asma 52%
(Nagelkerke R2 51,7%).
lxvi
Beberapa faktor risiko insomnia yang dilaporkan dalam State-of-the-Science
Conference pada bulan Juni 2005 antara lain umur, gender, penyakit morbiditas,
kelainan psikiatri, dan bekerja pada malam hari. Faktor risiko ini perlu dikenali
karena berpengaruh secara tidak langsung sebagai penyebab insomnia.
Umur merupakan salah satu hal yang berpengaruh terhadap kualitas tidur. Pola
tidur-bangun berubah sesuai dengan bertambahnya umur. Pada penelitian ini
mengambil batas umur 18 tahun ke atas. Berdasarkan analisis bivariat antara
pengaruh umur dengan kualitas tidur pada Tabel 4.9, kelompok umur < 48 tahun,
sampel dengan kualitas tidur buruk sebanyak 12 orang (40%), sedangkan pada
kelompok umur ≥48 tahun, kualitas tidur buruk sebanyak 24 orang (80%). Umur
berpengaruh cukup signifikan (p=0,002) terhadap kualitas tidur sehingga dapat
menjadi faktor perancu dalam penelitian ini yang hasilnya akan dianalisis secara
regresi logistik bersama variabel bebas dan perancu lainnya.
Pada penelitian di laboratorium tidur, orang usia dewasa tua dan usia lanjut
mengalami peningkatan frekuensi terbangun di malam hari, waktu tidur yang dalam
(delta sleep) lebih pendek, sedangkan tidur stadium 1 dan 2 lebih lama. Hasil uji
dengan alat polisomnografik didapatkan penurunan yang bermakna dalam slow wave
sleep dan rapid eye movement (REM) (Danesi, 2003).
Hasil survey pada masyarakat lanjut usia di Amerika didapatkan orang usia
lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur (berbaring lama di tempat
tidur sebelum tertidur) dan mempunyai lebih sedikit waktu tidur nyenyaknya. Orang
usia lanjut juga lebih sering terbangun di tengah malam akibat perubahan fisis karena
lxvii
usia dan penyakit yang dideritanya sehingga kualitas tidur menurun secara nyata.
Selain itu, mereka membutuhkan waktu lebih banyak untuk tidur pada siang hari
karena sangat mengantuk (Hudson dan Alessi, 2008).
Orang usia lanjut mengalami perubahan fisiologis dalam pengaturan tidur. Pada
usia lanjut terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur normal yaitu menjadi kurang
sensitif dengan perubahan gelap terang. Dalam irama sirkadian normal terdapat
peranan pengeluaran hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus 24 jam.
Ekskresi kortisol dan Growth Hormone serta perubahan suhu tubuh berfluktuasi dan
kurang menonjol. Melatonin, hormon yang diekskresikan pada malam hari dan
berhubungan tidur menurun dengan meningkatnya umur (Rahayu, 2007).
Penyebab peningkatan risiko gangguan tidur pada usia tua dapat disebabkan
penurunan fisiologis fungsi pengontrol tidur dan yang terpenting adalah keberadaaan
penyakit penyerta yang meningkatkan prevalesi insomnia secara signifikan di usia tua
(Roth, 2007). Penyakit kronik merupakan risiko terjadinya insomnia. Katz dan
McHorney (1998) menyatakan sekitar 75-90 % penderita insomnia memiliki faktor
risiko penyakit morbiditas seperti kondisi yang menyebabkan hipoksemia, dispneu,
penyakit refluks gastroesofagus, nyeri, dan penyakit neurodegeneratif.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang terlihat pada Tabel 4.6 didapatkan
pada kelompok dengan riwayat penyerta, sampel dengan kualitas tidur buruk
sebanyak 24 orang (88,9%) dibandingkan dengan kelompok tanpa riwayat penyakit
penyerta, sampel dengan kualitas tidur buruk hanya 12 orang (36,4%). Analisis
bivariat terhadap hubungaan antara riwayat penyakit penyerta dengan kualitas tidur
lxviii
menunjukkan hubungan yang sangat signifikan dengan p<0,001. Setelah dianalisis
bersama variabel kontrol asma dan umur dengan analisis regresi logistik, variabel
riwayat penyakit penyerta mempunyai pengaruh yang kuat. Berdasarkan Tabel 4.11,
pasien asma dengan riwayat penyakit penyerta memiliki risiko untuk mengalami
kualitas tidur buruk 16 kali lebih besar daripada tanpa adanya riwayat penyakit
penyerta (OR=15,8; CI95% 2,8 s.d. 89,9).
Riwayat penyakit penyerta merupakan variabel perancu yang paling kuat
pengaruhnya. Variabel umur yang sebelumnya dalam analisis bivariat menunjukkan
hubungan signifikan (p=0,002), setelah dianalisis bersama faktor perancu lainnya
dalam analisis regresi logistik menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p=0,3).
Selain itu terjadi penurunan OR variabel umur dari 4 menjadi 2,1, sehingga umur ≥48
tahun memiliki risiko dua kali lebih besar mengalami kualitas tidur buruk
dibandingkan umur <48 tahun. Hal ini dikarenakan pada usia lanjut banyak disertai
riwayat penyakit penyerta seperti hipertensi, diabetes melitus, penyakit nyeri sendi
(osteoarthritis, rheumatoid arthritis) sehingga pengaruh variabel perancu riwayat
penyakit penyerta lebih kuat daripada umur. Hollbrook et al. (2000) juga mereview
dalam beberapa penelitian terbaru bahwa gangguan tidur insomnia berkorelasi lebih
rendah dengan umur dibandingkan dengan beberapa kondisi penyakit morbiditas
seperti nyeri, nokturia, dispnea, kejang malam, dan kondisi psikopatologis.
Ketika timbul keluhan gangguan tidur yang dominan, gangguan tidur karena zat
dapat menjadi salah satu diagnosis banding. Sebagian besar zat yang terkait adalah
lxix
penyalahgunaan alkohol, obat hipnotik-sedatif, dan stimulant. Pengaruh riwayat
konsumsi zat terhadap kualitas tidur pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.10.
Kelompok tanpa riwayat konsumsi zat, sampel dengan kualitas tidur buruk sebanyak
28 orang (59,6%). Pada kelompok ada riwayat konsumsi zat, kualitas tidur buruk
sebanyak 8 orang (61,5%).
Berdasarkan analisis bivariat terhadap hubungan antara riwayat konsumsi zat
dengan kualitas tidur didapatkan hubungan yang tidak signifikan (p>0,05). Hal ini
kemungkinan disebabkan beberapa hal. Kira-kira hanya 4% pengunjung pusat klinik
gangguan tidur terdiagnosis gangguan tidur akibat zat sehingga jarang ditemukan di
masyarakat (Buysse, 1994). Selain itu, dalam penelitian ini hanya ditanyakan riwayat
narkoba, obat antihipertensi, obat anticemas (benzodiazepin, barbiturat) alkohol,
rokok, kemoterapi, dan kafein. Dari data yang didapat obat antihipertensi paling
sering dikonsumsi dan sisanya pengonsumsi kafein. Tidak ditemukan pengguna
narkoba, obat anticemas, rokok, dan kemoterapi.
Gangguan psikiatri merupakan morbiditas paling umum ditemukan dalam
insomnia. Dalam studi populasi National Institute of Mental Health Epidemiologic
Catchment Area Study dengan kuisioner yang didasarkan DSM-III dari 7954
responden yang mengeluhkan insonmnia ada sekitar 40,4% yang memiliki kelainan
psikiatri yang umumnya berupa depresi dan kecemasan (Hollbrook et al., 2000).
lxx
Pada penelitian ini, tidak berhasil menjaring pasien dengan ganguan psikiatri.
Hal ini disebabkan oleh seringnya gangguan psikiatri pada pasien asma tidak
terdiagnosis sehingga dengan melihat data rekam medis dan menanyakan ada
tidaknya masalah kejiwaan tidak cukup untuk menjaring data.
Keberadaan riwayat psikiatri dalam pasien asma pernah diteliti sebelumnya.
Dalam penelitiannya Heaney et al. (2005) menyimpulkan pada pasien asma terdapat
angka prevalensi yang tinggi dari gangguan psikiatri yang tidak terdiagnosa dengan
depresi yang paling sering ditemukan. Dalam penelitian Heaney ini, dilakukan
wawancara langsung dengan seorang dokter ahli jiwa dan menggunakan kuesioner
skrining Hospital Anxiety Depression Scale. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya
disarankan menggunakan kuisioner yang lebih sensitif untuk mendiagnosis gangguan
psikiatri, tetapi juga perlu memperhitungkan waktu yang dibutuhkan mewawancarai
pasien. Hal inilah juga yang menjadi faktor kesulitan dalam penelitian kali ini adalah
waktu pasien untuk diwawancarai yang cukup terbatas.
Proses pengambilan data dilakukan dengan wawancara langsung, pengisian
kuisioner ACT dan PSQI, dan melihat data rekam medis pasien. Kelemahan dari
penelitian ini adalah faktor subyektivitas pasien dalam memberikan jawaban yang
merupakan variabel luar yang tidak dapat dikendalikan oleh peneliti.
Penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan kualitas tidur pada pasien asma
terkontrol dengan tidak terkontrol dimana pasien asma tidak terkontrol memiliki
risiko tujuh kali lebih besar mengalami kualitas tidur buruk daripada asma terkontrol.
lxxi
Hubungan antara tidur dengan asma merupakan hubungan yang saling timbal balik.
Hanson dan Chen (2008) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa kualitas tidur
buruk mungkin menjadi faktor risiko untuk gejala asma lebih berat, fungsi paru lebih
buruk, dan kadar kortisol lebih rendah. Para klinisi harus menyadari efek dari tidur
dan menyadari penggabungan tidur rutin yang baik sebagai rencana manajemen asma.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Penelitian berjudul “Perbedaan Kualitas Tidur pada Pasien Asma
Terkontrol dengan Tidak Terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta ini
membuat simpulan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaaan kualitas tidur antara pasien asma terkontrol dengan
tidak terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Pasien asma yang tidak
terkontrol berisiko mengalami kualitas tidur buruk tujuh kali lebih besar
daripada pasien asma terkontrol (OR= 7,4; CI95% 1,7 s.d. 32,9).
2. Pada penelitian ini, terdapat perbedaan yang cukup besar antara taksiran
OR hasil analisis kasar dan analisis yang mengendalikan faktor perancu
yaitu sebesar -72% sehingga jika tidak mengontrol pengaruh riwayat
penyakit dan umur, maka taksiran OR tentang perbedaan kualitas tidur
lxxii
pada pasien asma terkontrol dengan tidak terkontrol akan mengalami bias
lebih kecil dari sesungguhnya (underestimate).
3. Pengaruh variabel perancu riwayat penyerta lebih kuat daripada variabel
umur dimana pasien asma dengan riwayat penyakit penyerta memiliki
risiko 16 kali lebih besar mengalami kualitas tidur buruk daripada tanpa
riwayat. Sedangkan untuk pasien asma yang berumur ≥ 48 tahun hanya
memiliki risiko dua kali lebih besar daripada <48 tahun.
B. SARAN
1. Edukasi terhadap pasien asma mengenai asma, perbedaan obat reliever
dan controller, efek samping obat, penggunaan obat inhaler, pencegahan
timbul serangan, tanda serangan asma memburuk dan yang harus
dilakukan, monitor kontrol asma perlu ditingkatkan dalam masyarakat.
2. Penerapan penatalaksanaan asma berdasaan kontrol asma pasien sesuai
prosedur yang dikeluarkan Global Initiative for Asthma (GINA) dan
keadaan kontrol asma sebaiknya selalu dimonitor oleh petugas kesehatan.
3. Sebaiknya perlu evaluasi lebih mendalam pada pasien asma terutama
mengenai riwayat tidur, identifikasi riwayat penyakit morbiditas, riwayat
psikiatri, dan konsumsi zat atau obat sehingga dapat dilakukan
penanganan terhadap penyebab gangguan tidur lainnya.
4. Dalam peningkatan kualitas tidur pada pasien asma, selain dengan
peningkatan terhadap kontrol gejala asma juga dapat dilakukan dengan
terapi nonfarmakologis dan farmakologis. Terapi nonfarmakologis
lxxiii
merupakan langkah yang diutamakan meliputi penerapan perilaku tidur
yang baik, terapi relaksasi, dan cognitive behavioral therapy.
5. Mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai kualitas tidur pada pasien
asma dengan jumlah sampel yang representatif, populasi yang lebih luas,
dan lebih mengontrol variabel perancu. Selain itu, penelitian mengenai
manajemen peningkatan kualitas tidur pasien asma perlu ditingkatkan.
6. DAFTAR PUSTAKA
7. 8. Amir N. 2007. Gangguan Tidur pada Lansia Diagnosis dan
Penatalaksanaanya. CDK 157: 196-206. 9. 10. Apter A.J., Weiss S.T. 2008. Asthma: Epidemiology. In: Fishman A.P et
al. (eds). Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4th ed. Vol 1 &2.. USA: Mc Graw-Hill Company Inc.
11. 12. Arief T.Q.M. 2004. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu
Kesehatan. Klaten: Community of Self Help Group Team. 13. 14. Backhaus, J., Junghanns, K., Broocks, A., Riemann D., Hohagen, F. 2002.
Test-retest reliability and validity of the Pittsburgh Sleep Quality Index in primary insomnia. Journal of Psychosomatic Research, 53, 737– 40.
15. 16. Basner R.C. 2008. Asthma and OSA.
http://www.sleepapnea.org/resources/pubs/asthma-osa.html. (4 November 2009).
17. 18. Bender B.G., Leung D.Y.M. 2005. Sleep disorder in patients with asthma,
atopic dermatitis, and allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol. 116: 1200-1.
19. 20. Berry RB, Harding SM. 2004Sleep and medical disorders. Med Clin North
Am. 88: 679-703, ix. 21. 22. Braido F., Baiardini I., Ghiglione V., Fassio O., Bordo A., Cauglia S et al.
2009. Sleep disturbances and asthma control: a real life study. Asian Pac J Allergy Immunol. 27(1):27-33.
lxxiv
23. 24. Bradley T.D., Phillipson E.A. 2005. Sleep Disorder. In: Murray J.F.,
Nadel A., Manson R.J., Broaddus V.C (eds). Murray and Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine 4th ed. Philladelpia: Elsevier Saunders Inc.
25. 26. Buscemi N., Vandermeer B, Pandya R, Hooton N, Tjosvold L, Hartling L,
et al. 2004. Melatonin for Treatment of Sleep Disorders. Evid Rep Technol Assess (Summ). 108:1-7.
27. 28. Busse W.W., Parry D.E. 1998. The biology of asthma. In: Fishman AP,
Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM, eds. Fishman’s pulmo nary diseases and disorders 3rd ed. New York: McGraw-Hill, pp. 721-33.
29. 30. Buysse, D.J., Reynolds III, C.F., Monk, T.H., Berman, S.R., Kupfer, D.J.
(1989). The Pittsburgh Sleep Quality Index: A new instrument for psychiatric practice and research. Journal of Psychiatric Research. 28(2): 193-213.
31. 32. Casey K. R., Cantillo K. O., Brown L. K. 2007. Sleep related
hypoventilation/ hypoxemic syndromes. Chest. 131: 1936-48. 33. 34. Cauffield J.S. 2007. Supplement used to treat sleep disorder U.S.
Pharmacist. http://www.uspharmacist.com/oldformat.asp?url=newlook/files/Comp/sleep.htm&article_id=729. (1 Juli 2010).
35. 36. Centers for Disease Control. 1998. Epidemiology Asthma.
http://www.merckmedicus.com/pp/us/hcp/diseasemodules/asthma/epidemiology.jsp?p=asthma-epi (9 Juli 2010).
37. 38. Chervin R. D, Malhotra R. K, Burns J. W. 2008. Respiratory Cycle-
Related EEG Changes during Sleep Reflect Esophageal Pressure. Sleep. 31: 1713-20.
39. 40. Dahlan M.S. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan kesehatan: Deskriptif,
Bivariat, dan Multivariat Dilengkapi dengan menggunakan SPSS. Jakarta: Salemba Medika.
41. 42. Dahlan M.S 2008. Langkah-Langkah Membuat Proposal Penelitian
Bidang Kedokteran dan Kesehatan Berdasar Prinsip IKVE 1741. Jakarta: Sagung Seto.
lxxv
43. 44. Danesi M.A. 2003. Neuroscience of Sleep.
http://www.unilorin.edu.ng/publiclectures/Neuroscience%20of%20Sleep.ppt (11 April 2010).
45. 46. Depkes RI. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. 2008. Jakarta: Depkes
RI 47. 48. Desager K. N, Nelen V, Weyler J.J.J, Backer W. A. 2004. Sleep
disturbance and daytime symptoms in wheezing school aged children. J Sleep Res. 14: 77-82.
49. 50. Division of Sleep Medicine Harvard Medical School. 2007. External
Factors that Influence Sleep. http://healthysleep.med.harvard.edu/healthy/science/how/external-factors. (30 Januari 2010).
51. 52. Donno M. D, Bittesnich D, Chetta A, Olivieri D, Lopez V. MT. 2000. The
effect of inflammation on mucociliary clearance in asthma. Chest. 118: 1142-9.
53. 54. Durand M.V., Barlow D.H. 2007. Gangguan tidur: Disomnia-Disomnia
Utama. Dalam: Intisari Psikologi Abnormal Ed. 1, diterjemahkan Prayitno H dkk. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, pp: 36-55.
55. 56. Dwiprahasto I. 2010. Terapi Insomnia: Pertimbangan Manfaat-Risiko.
Dalam Kumpulan Makalah Seminar Penatalaksanaan Gangguan Tidur dalam Praktek Sehari-hari. Yogyakarta: RS Bethesda Press.
57. 58. Fadden J.E.R. 2005. Disorder of Respiratory System: Asthma. In: Fauci,
Braunwald, Isselbacher, Wilson, Martin, Kasper et al (eds). Harrison’s Principles of Internal Medicine. USA: Mc Graw Hill Company Inc, pp: 1508-16.
59. 60. Fitzpatrick M.F., Engleman H., Whyte K.F., Deary I.J., Shapiro C.M.,
Douglas N.J. 1991. Morbidity in Nocturnal Asthma: Sleep Quality and Daytime Cognitive Performance. Thorax. 46: 569-73.
61. 62. Frances A., First M.B., Pincus H.A. 1995. Sleep Disorder. In: DSM-IV
Guidebook 1st ed. Washington DC: American Psychiatric Press Inc, pp. 331-41.
63.
lxxvi
64. Global Initiative for Asthma. 2006. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. National Institute of Health. National Heart Lung and Blood Institute. www.ginasthma.com (Revised 2006).
65. 66. George C.P., Kryger M.H. 2008. Differential Diagnosis and Evaluation of
Sleepiness. In: Fishman A.P et al. (eds). Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4th ed. Vol 1 &2. USA: Mc Graw-Hill Company Inc, pp: 1727-35.
67. 68. Guyton A.C., Hall J.E. 1997. Aktivitas Otak- Tidur; Gelombang Otak;
Epilepsi; Psikosis. In : Setiawan E. (eds). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC, pp.945-51.
69. 70. Hanson M. D, Chen E. 2008. Brief Report: The temporal Relationships
Between Sleep, Cortisol, and Lung Functioning in Young with Asthma. Journal of Pediatric Psychology. 33: 312-16.
71. 72. Heaney L.G., Conway E., Kelly C., Gamble J. 2005. Prevalence of
psychiatric morbidity in a difficult asthma population: Relationship to asthma outcome. Respir Med. 99(9):1152-9.
73. 74. Hood A., Mangunnegoro H. 1993. Nilai Normal Faal Paru Orang
Indonesia pada Usia Sekolah dan Pekerja Dewasa Berdasarkan Rekomendasi American Thoracic Society. Surabaya: Airlangga University Press, pp 122-3.
75. 76. Holbrook A.M., Crowther R., Lotter A., Cheng C., King D. 2000. The
diagnosis and management of insomnia in clinical practice: a practical evidence-based approach. CMAJ. 162(2): 216–20.
77. 78. Hudson A.K., Alessi C.A. 2008. Sleep Quality of Life in Older People. In
Verster et al (eds). Sleep and Quality of Life in Clinical Medicine. Totowa : Humana Press.
79. 80. Janson C., De Backer W., Gislason T et al. 1996. Increased prevalence of
sleep disturbances and daytime sleepiness in subjects with bronchial asthma: a population study of young adults in three European countries. Eur Respir J. 9: 2132–38.
81. 82. Kabat. 2004. Asma Bronkial. Dalam: Hood Alsagaff. (eds). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Paru, pp: 41-54. 83.
lxxvii
84. Kaplan H.I., Sadock B.J. 2000 Basic Science of Sleep. In: Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. Philadelphia: USA.
85. 86. Karjadi T.H. 2003. Asma Akibat Kerja. CDK. 141: 23-6. 87. 88. Katz D.A., McHorney C.A. 1998. Clinical correlates of insomnia in
patients with chronic illness. Arch Intern Med. 158: 1099-107. 89. 90. Kirana S. 2008. Perbedaan Kontrol Asma Sesuai Kriteria Asthma Control
Test dengan The National Asthma Education and Prevention Program pada Penderita Asma. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Skripsi.
91. 92. Krieger J., Maglasiu N., Sforza E., et al. 1990. Breathing during sleep in
normal middle-aged subjects. Sleep. 13:143. 93. 94. Leopando Z.E., Dela C.A., Limoso D.D. Marcos J.E., Alba M.E. 2003.
Clinical Practice guidelines on the diagnosis and management of insomnia in family practice: part 2. Asia Pacific Fam Med. 2: 45-50.
95. 96. Martin R. J., Schlegel, S. B. 1998. Chronobiology of Asthma. Am J Repir
Crit Care Med. 158: 1002-7. 97. 98. Mastronarde J.G., Wise R.A., Shade D.M., Olopade C.O., Scharf S.M.
2008. Sleep quality in asthma: results of a large prospective clinical trial. J Asthma. 45(3):183-9.
99. 100. Morin AK. 2006. Strategies for treating chronic insomnia. Am J
Manag Care. 12 (8 suppl): S230-45. 101. 102. Murti B. 2006. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian
Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, pp: 67, 111-3.
103. 104. Nathan R.A., Sorkness C.A., Kosinski M., Schatz M., Li J.T, Marcus
P et al. 2004. Development of the asthma control test: a survey for assessing asthma control. J Allergy Clin Immunol. 113(1): 59-65.
105. 106. National Heart Lung and Blood Initiative (NHLBI). 2003. Global
Initiative for Asthma. 107.
lxxviii
108. National Institutes of Health State of the Science Conference Statement on Manifestations and Management of Chronic Insomnia in Adults, June 13-15, 2005. Sleep. 28:1049-57.
109. 110. Neubauer D.N. 1999. Sleep Problems in Elderly.
http://www.aafp.org/afp/990501ap/2551.html (15 Maret 2010). 111. 112. Pack A.I. 2008. Changes in Cardiorespiratory Systems During Sleep.
In: In: Fishman A.P et al. (eds). Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4th ed. Vol 1 &2. USA: Mc Graw-Hill Company Inc, pp. 1689-95.
113. 114. Panggabean M.M. 2006. Gagal Jantung. Dalam Sudoyo A. W. et al.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta: EGC, p.1503-4. 115. 116. Parish J.M. 2009. Sleep-Related Problems in Common Medical
Conditions. Chest. 135: 563-572. 117. 118. Patel N.P., Schwab R.J, 2008. Sleep Apnea Syndromes. In: Fishman
A.P et al. (eds). Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4th ed. Vol 1 &2. USA: Mc Graw-Hill Company Inc, pp 1697-1725.
119. 120. Pelly R. 1992. Asma Nokturnal. CDK. 80: 109-11. 121. 122. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Asma: Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. Balai Penerbit FK UI: Jakarta. 123. 124. Pinzon R. 2010. Tinjauan Neurobiologi Tidur. Dalam Kumpulan
Makalah Seminar Penatalaksanaan Gangguan Tidur dalam Praktek Sehari-hari. Yogyakarta: RS Bethesda Press.
125. 126. Price S.A., Wilson L.M. 2004. Gangguan Sistem Pernapasan. In:
Hartanto H., Susi N. Wulansari P., Mahanani D.A. (eds). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed. 6 Vol.2. Jakarta: EGC, pp: 736-840.
127. 128. Punjabi N. M., Roche K. B., Marx J. J., Neubauer D.N. Smith P. L.
Schwartz A.R. 2002. The Association Between Daytime Sleepiness and Sleep-Disorderd Breathing in NREM and REM sleep. Sleep. 25: 307-14.
129. 130. Rahayu R.A. 2007. Gangguan Tidur pada Usia Lanjut. Dalam:
Sudoyo A. W. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC, pp. 1350-56.
lxxix
131. 132. Rush J et al. 2000. Handbook of Psychiatric Measure Washington DC:
APA. 133. 134. Rahmatullah P. 2006. Tromboemboli Paru. Dalam: Sudoyo A.W et al
(eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC, p. 1040. 135. 136. Rahmawati I., Yunus F., Wiyono W.H. 2003. Patogenesis dan
Patofisiologi Asma. CDK. 141: 5-11. 137. 138. Roth T. 2007. Insomnia: Definition, Prevalence, Etiology, and
Consequences. J Clin Sleep Med. 3(5 Suppl): S7–S10. 139. 140. Saisan J., Benedictis T., Barston S., and Segal R. 2008.
Understanding Sleep, Deep Sleep, REM Sleep, Cycles, Stages, and Needs. http://www.helpguide.org/life/sleeping.htm (31 Januari 2010).
141. 142. Sastrawan I.G.P., Suryana K., Rai I.B.N. 2008. Prevalensi Asma
Bronkial Atopi di pada Pelajar Desa Tenganan. J Peny Dalam. 9: 47-53. 143. 144. Sastroasmoro S., Ismael S. 2006. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian
Klinis Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto. 145. 146. Setiawati A., Gan S. 2007. Penghambat Adrenergik. Dalam: Gunawan
S.G. (eds). Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru, pp: 117-18. 147. 148. Smith MT, Perlis ML, Park A, Smith MS, Pennington J, Giles DE, et
al. 2002. Comparative meta-analysis of pharmacotherapy and behavior therapy for persistent insomnia. Am J Psychiatry. 159: 5-11.
149. 150. Stores G, Ellis A. J, Wiggs L, Crawford C, Thomson A. 1998. Sleep
and psychological disturbance in nocturnal asthma. Arch Dis Child. 78: 413-19.
151. Stradling J.R. 1995. Control of Breathing. In: Brewis R.A.L, Corrin B., Geddes D.M. Gibson G.J. (eds). Respiratory Medicine Vol.1 2nd Ed. London: W.B. Saunders company Ltd, pp.176-177.
152. 153. Sundaru H. 2007. Kontrol asma sebagai tujuan pengobatan asma
masa kini. http://staff.ui.ac.id/internal/140053451/publikasi/PidatopengukuhanProfHeruRingkasan.pdf (5 Februari 2010).
154.
lxxx
155. Sundaru H., Sukamto. 2007. Asma Bronkial. Dalam: Sudoyo A.W. Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, pp. 245-50.
156. 157. Surjanto E. 2001. Diagnosis dan Klasifikasi Asma. Dalam: Kumpulan
Naskah Temu Ilmiah Respirologi 2001. Perpustakaan Laboratorium/ SMF Paru FK UNS/ RSUD Dr. Moewardi Surakarta, pp 11-81.
158. 159. Surjanto E. 2008. Derajat Asma dan Kontrol Asma. J Respir Indo.28:
88-95 160. 161. Utami A.M. 2009. Hubungan Pemakaian Kortikosteroid Inhalasi
dengan Pencapaian Kontrol Asma pada Pasien Asma Persisten Ringan dan Sedang. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Skripsi.
162. 163. Welsh C.H. 2003. Evaluation of Sleepiness and Sleep Disorder other
than Sleep Apnea, Narcolepsy, Restless Legg Syndrome, Periodic Limb Movements. In: Hanley M.E., Welsh C.H. (eds). Current Diagnosis and Treatment in Pulmonary Medicine. USA: Mc Graw Hill Company, pp. 301-12.
164. 165. Welsh C.H. 2003. Medical Conditions that Often Cause Daytime
Sleepiness. In: Hanley M.E., Welsh C.H. (eds). Current Diagnosis and Treatment in Pulmonary Medicine. USA: Mc Graw Hill Company, pp. 313-24.
166. 167. Yayasan Asma Indonesia. 2007. Senam Asma: Olahraga Pilihan
Penderita Asma. http://www.infoasma.org/senam.html (5 Februari 2010). 168. 169. Yeung C.M., Malo J.L. 1995. Occupational Asthma. N Engl J Med.
333: 107-12. 170. 171. Yunus F. 2005. The Asthma Control Test, A New Tool to Improve The
Quality Ashma Management. In (Eddy S., Suradi., Reviono, Rima A., Widiyati, eds) Proceeding Book: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Surakarta, p. 361.
172. 173.
174. Lampiran 1. Lembar Penjelasan
175. LEMBAR PENJELASAN
lxxxi
176. Kami mengharapkan Saudara untuk berperan serta dalam penelitian
yang berjudul “Perbedaan Kualitas Tidur pada Pasien Asma Terkontrol
dan Tidak Terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang dilakukan
oleh Astrid Kusuma Wardhani.
177. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan antara
kualitas tidur pada pasien asma terkontrol dan tidak terkontrol di RSUD
Dr. Mewardi Surakarta, dengan menggunakan kuesioner Asthma Control
Test dan Pittsburgh Quality Sleep Index.
178. Bacalah lembaran ini sebelum anda memutuskan apakah anda akan
berperan serta atau tidak. Bila anda memutuskan untuk berperan serta,
maka jangan ragu-ragu untuk bertanya bila ada hal yang belum anda
mengerti.
179. Informasi yang diperoleh dalam penelitian ini akan ditulis dalam
laporan skripsi peneliti dengan menyebutkan identitas Saudara.
180. Apabila Saudara telah memahami dan memutuskan untuk mengikuti
penelitian ini, dimohon kesediaanya untuk mengisi formulir persetujuan
dan menandatanganinya.
181. Demikian penjelasan kami, atas perhatian dan kesediaan Saudara
mengikuti penelitian ini kami ucapkan terima kasih.
182.
183.
184.
185. Lampiran 2. Formulir Persetujuan
186. FORMULIR PERSETUJUAN
187. Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
188. Nama :
189. Umur : tahun
190. Jenis kelamin :
191. Pendidikan :
Dosen Pembimbing
Yusup Subagio Sutanto, dr., Sp.P
19570315 198312 1 002
Dr. Eddy Surjanto,dr., Sp.P(K)
140 071 304
Hormat kami,
Peneliti,
Astrid Kusuma Wardhani
G0007005
lxxxii
192. Pekerjaan :
193. Alamat :
194. Nomor rekam medis :
195. Menyatakan telah mendapatkan informasi mengenai tujuan, manfaat,
dan tata cara penelitian yang akan dilakukan.
196. Setelah mendapat keterangan secukupnya tentang penelitian yang
berjudul “Perbedaan Kualitas Tidur pada Pasien Asma Terkontrol dengan
Tidak terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta” yang dilakukan oleh
Astrid Kusuma Wardhani, maka dengan ini saya menyatakan bersedia
untuk berpartisipasi dalam penelitian tersebut.
197. Surakarta, 2010
198.
199.
200.
Lampiran 3. Kuisioner ACT
KUESIONER ASTHMA CONTROL TEST
Silanglah huruf pada salah satu jawaban yang anda pilih, sesuai dengan keadaan asma yang anda rasakan. Hanya diperbolehkan memberi satu jawaban untuk masing-masing pertanyaan. Jawaban ganda dalam satu pertanyaan/ tidak menjawab lengkap kelima pertanyaan, maka dianggap tidak sah.
1. Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering penyakit asma mengganggu anda untuk melakukan pekerjaan sehari-hari di kantor atau di rumah? a. Tidak pernah b. Jarang c. Kadang-kadang d. Sering e. Selalu
2. Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering anda mengalami sesak napas? a. Tidak pernah
Yang Menyetujui,
(…………………………………)
Yang memberikan penjelasan
Astrid Kusuma Wardhani
lxxxiii
b. 1-2 kali seminggu c. 3-6 kali seminggu d. Sekali sehari e. Lebih dari 1 kali sehari
3. Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering gejala asma (mengi, batuk-batuk, sesak napas, nyeri dada, atau rasa tertekan di dada) menyebabkan anda terbangun di malam hari atau lebih awal dari biasanya? a. Tidak pernah b. 1-2 kali sebulan c. Sekali seminggu d. 2-3 kali seminggu e. 4 kali atau lebih dalam seminggu
4. Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering anda menggunakan obat semprot atau obat oral (tablet/ sirup) untuk melegakan pernapasan? a. Tidak pernah b. 1 kali seminggu atau kurang c. 2-3 kali seminggu d. 1-2 kali sehari e. 3 kali atau lebih sehari
(lanjutan)
5. Bagaimana anda sendiri menilai tingkat control asma anda dalam 4 minggu terakhir? a. Terkontrol sepenuhnya b. Terkontrol dengan baik c. Cukup terkontrol d. Kurang terkontrol e. Tidak terkontrol sama sekali
Terima kasih atas kesediaan anda mengisi kuesioner ini.
lxxxiv
Lampiran 4. Kuisioner PSQI
Nama :
Tanggal :
Jam :
INDEKS KUALITAS TIDUR PITTSBURGH
Instruksi : Pertanyaan di bawah ini berkaitan dengan kebiasaan tidur selama sebulan terakhir. Jawaban Anda mengindikasi jawaban paling akurat untuk sebagian besar keadaan di siang dan malam selama sebulan terakhir. Jawablah semua pertanyaan :
1. Selama sebulan terakhir, jam berapa biasanya anda pergi tidur? JAM TIDUR:
2. Selama sebulan terakhir, berapa menit biasanya waktu yang anda butuhkan
untuk dapat jatuh tertidur sejak berbaring di tempat tidur? JUMLAH MENIT YANG DIBUTUHKAN UNTUK TERTIDUR:
3. Selama sebulan terakhir, jam berapa anda biasanya terbangun di pagi hari? JAM BANGUN:
4. Selama sebulan terakhir, berapa jam anda tidur di malam hari? (Ini mungkin berbeda dengan jumlah jam yang anda habiskan di kasur)
LAMA TIDUR TIAP MALAM:
Untuk setiap pertanyaan di bawah ini, Beri tanda centang (√) pada jawaban yang sesuai:
5. Selama sebulan terakhir, seberapa sering tidur anda terganggu karena: a) Tidak dapat tertidur dalam 30 menit
lxxxv
Ø Tidak sama sekali ( ) Ø Kurang dari sekali dalam seminggu ( ) Ø Sekali atau dua kali dalam seminggu ( ) Ø Tiga kali atau lebih dalam seminggu ( )
b) Terbangun di tengah malam atau dini hari Ø Tidak sama sekali ( ) Ø Kurang dari sekali dalam seminggu ( ) Ø Sekali atau dua kali dalam seminggu ( ) Ø Tiga kali atau lebih dalam seminggu ( )
c) Harus bangun untuk ke kamar mandi Ø Tidak sama sekali ( ) Ø Kurang dari sekali dalam seminggu ( ) Ø Sekali atau dua kali dalam seminggu ( ) Ø Tiga kali atau lebih dalam seminggu ( )
d) Tidak dapat bernapas dengan nyaman Ø Tidak sama sekali ( ) Ø Kurang dari sekali dalam seminggu ( ) Ø Sekali atau dua kali dalam seminggu ( ) Ø Tiga kali atau lebih dalam seminggu ( )
e) Batuk atau mendengkur dengan keras Ø Tidak sama sekali ( ) Ø Kurang dari sekali dalam seminggu ( ) Ø Sekali atau dua kali dalam seminggu ( ) Ø Tiga kali atau lebih dalam seminggu ( )
f) Merasa kedinginan Ø Tidak sama sekali ( ) Ø Kurang dari sekali dalam seminggu ( ) Ø Sekali atau dua kali dalam seminggu ( ) Ø Tiga kali atau lebih dalam seminggu ( )
g) Merasa kepanasan Ø Tidak sama sekali ( ) Ø Kurang dari sekali dalam seminggu ( ) Ø Sekali atau dua kali dalam seminggu ( )
lxxxvi
Ø Tiga kali atau lebih dalam seminggu ( )
h) Bermimpi buruk Ø Tidak sama sekali ( ) Ø Kurang dari sekali dalam seminggu ( ) Ø Sekali atau dua kali dalam seminggu ( ) Ø Tiga kali atau lebih dalam seminggu ( )
i) Merasa nyeri Ø Tidak sama sekali ( ) Ø Kurang dari sekali dalam seminggu ( ) Ø Sekali atau dua kali dalam seminggu ( ) Ø Tiga kali atau lebih dalam seminggu ( )
j) Alasan lain ; Mohon jelaskan:
Seberapa sering anda mengalami gangguan tidur sebulan terakhir karena alasan ini: Ø Tidak sama sekali ( ) Ø Kurang dari sekali dalam seminggu ( ) Ø Sekali atau dua kali dalam seminggu ( ) Ø Tiga kali atau lebih dalam seminggu ( )
6. Selama sebulan terakhir, bagaimana anda menilai kualitas tidur anda secara
keseluruhan: Ø Sangat baik ( ) Ø Agak baik ( ) Ø Agak buruk ( ) Ø Sangat buruk ( )
7. Selama sebulan terakhir, seberapa sering anda telah mengonsumsi obat untuk
membantu tidur (diresepkan dokter maupun beli sendiri di toko) Ø Tidak sama sekali ( ) Ø Kurang dari sekali dalam seminggu ( ) Ø Sekali atau dua kali dalam seminggu ( ) Ø Tiga kali atau lebih dalam seminggu ( )
8. Selama sebulan terakhir, seberapa sering anda mengalami masalah untuk tetap
terjaga ketika menyetir, makan, atau ikut aktivitas sosial
lxxxvii
Ø Tidak sama sekali ( ) Ø Kurang dari sekali dalam seminggu ( ) Ø Sekali atau dua kali dalam seminggu ( ) Ø Tiga kali atau lebih dalam seminggu ( )
9. Selama sebulan terakhir, seberapa banyak masalah yang anda hadapi untuk tetap antusias menyelesaikannya?
Ø Tidak ada masalah sama sekali ( ) Ø Hanya masalah yang sangat kecil ( ) Ø Masalah yang agak berat ( ) Ø Masalah yang sangat besar ( )
10. Apakah anda mempunyai pasangan atau teman sekamar?
Ø Tidak ada pasangan atau teman sekamar ( ) Ø Pasangan atau teman sekamar di ruangan lain ( ) Ø Pasangan dalam ruangan sama, tetapi tidak di kasur yang sama ( ) Ø Pasangan di kasur yang sama ( ) Jika Anda punya teman sekamar atau pasangan, tanyakan padanya, seberapa sering dalam sebulan terakhir, anda mengalami keluhan berikut: a. Mendengkur dengan keras Ø Tidak sama sekali ( ) Ø Kurang dari sekali dalam seminggu ( ) Ø Sekali atau dua kali dalam seminggu ( ) Ø Tiga kali atau lebih dalam seminggu ( )
b. Jeda panjang berhenti napas ketika tertidur Ø Tidak sama sekali ( ) Ø Kurang dari sekali dalam seminggu ( ) Ø Sekali atau dua kali dalam seminggu ( ) Ø Tiga kali atau lebih dalam seminggu ( )
c. Kaki menyentak ketika Anda tertidur Ø Tidak sama sekali ( ) Ø Kurang dari sekali dalam seminggu ( ) Ø Sekali atau dua kali dalam seminggu ( ) Ø Tiga kali atau lebih dalam seminggu ( )
lxxxviii
d. Episode disorientasi atau kebingungan selama tidur Ø Tidak sama sekali ( ) Ø Kurang dari sekali dalam seminggu ( ) Ø Sekali atau dua kali dalam seminggu ( ) Ø Tiga kali atau lebih dalam seminggu ( )
e. Kegelisahan lain ketika Anda tidur; mohon jelaskan: Ø Tidak sama sekali ( ) Ø Kurang dari sekali dalam seminggu ( ) Ø Sekali atau dua kali dalam seminggu ( ) Ø Tiga kali atau lebih dalam seminggu ( )
Terima Kasih atas kesediaan anda mengisi kuesioner ini
Diterjemahkan dari: Buysse DJ, Reynolds CF, Monk TH, Berman SR, Kupfer DJ: Psychiatric Research, 28:193-213, 1989
Lampiran 5. Kuisioner Riwayat Penyakit dan Konsumsi Zat
Kuesioner Riwayat Penyakit dan Konsumsi Zat
1. Apakah anda memiliki riwayat penyakit atau pernah didiagnosis dokter dengan penyakit di bawah ini. Jika Ya, Lingkari yang dipilih: a. PPOK b. Gagal jantung kongestif c. Emboli Paru d. Penyakit nyeri sendi (Osteoarthritis, Rheumatoid arthritis) e. Serangan Stroke f. Hipertensi g. Diabetes melitus (Penyakit Gula) h. Penyakit refluks gastroesofagus (rasa terbakar di dada) i. Serangan kejang di malam hari j. Cephalgia, Fibromyalgia k. Parkinson
lxxxix
2. Apakah anda pernah didiagnosis memiliki tumor: Tumor apa? Dimana
3. Apakah anda sedang mengonsumsi salah satu obat atau zat berikut ini dalam sebulan ini: Jika Ya, lingkari yang dipilih: a. Narkoba (amfetamin, kokain) b. Obat anticemas (benzodiazepine, barbiturate) c. Obat hipertensi (diuretik, obat penghambat beta) d. Alkohol e. Rokok f. Kopi atau kafein g. Kemoterapi
Seberapa sering anda mengonsumsi obat-obatan tersebut?
Lampiran 6. Daftar Subjek Penelitian
Daftar Pasien Asma Tidak Terkontrol
No No. RM Nama JK Umur Pendidikan Pekerjaan Skor ACT
Kriteria Asma Skor PSQI
1. 607482 CMK L 47 SMA Swasta 8 Tidak Terkontrol 8
2. 887175 SW L 42 SD Swasta 12 Tidak Terkontrol 5
3. 435117 MD L 57 S1 PNS Guru 13 Tidak Terkontrol 10
4. 989917 TM L 48 SD Swasta 12 Tidak Terkontrol 10
5. 748193 SKI L 58 SMP Pensiunan 10 Tidak Terkontrol 7
6. 719450 SRN L 57 SMA Pensiunan 9 Tidak Terkontrol 11
xc
7. 350164 SGY L 58 DIII Guru 9 Tidak Terkontrol 15
8. 905314 SRN P 39 SD Ibu Rmh tgg 14 Tidak Terkontrol 7
9. 988337 WRM P 61 SMP Ibu Rmh tgg 10 Tidak Terkontrol 9
10. 740562 DP L 42 SMA Swasta 12 Tidak Terkontrol 5
11. 913004 STH P 82 SMA Pensiunan 9 Tidak Terkontrol 12
12. 843484 SRD L 78 SMP Swasta 13 Tidak Terkontrol 10
13. 157584 SPTH P 61 S1 Wiraswasta 5 Tidak Terkontrol 14
14. 975343 SMD L 38 SD Swasta 10 Tidak Terkontrol 5
15. 559454 SGO L 48 SMA Swasta 10 Tidak Terkontrol 4
16. 896808 SHT P 54 SD Ibu rmh tgg 12 Tidak Terkontrol 9
17. 01013737 KRT P 27 SMP Pedagang 15 Tidak Terkontrol 4
18. 685747 SW P 54 SD Swasta 10 Tidak Terkontrol 12
19. 492877 MJM P 50 SD Ibu rmh tgg 8 Tidak Terkontrol 9
20. 860217 WTI P 56 SD Ibu rmh tgg 7 Tidak Terkontrol 15
21. 763973 AW P 60 SMP Pedagang 10 Tidak Terkontrol 10
22. 632575 SYT P 42 SD Ibu rmh tgg 10 Tidak terkontrol 7
23. 952627 RFR P 19 SMK Pelajar 13 Tidak Terkontrol 5
24. 989520 SM P 54 SPG Ibu rmh tgg 16 Tidak Terkontrol 11
25. 921755 SWT P 47 SMA Ibu rmh tgg 15 Tidak Terkontrol 8
26. 959251 LSI P 31 SMP Swasta 14 Tidak Terkontrol 12
27. 01006677 TNI P 50 SD Swasta 13 Tidak Terkontrol 7
28. 652835 SS P 49 SMA Ibu rmh tgg 10 Tidak Terkontrol 5
xci
29. 760200 SW L 41 SMA Swasta 14 Tidak Terkontrol 8
30. 01009459 SSM L 50 SMA Wiraswasta 15 Tidak Terkontrol 11
Daftar Pasien Asma Terkontrol
No No. RM Nama JK Umur Pendidikan Pekerjaan Skor ACT
Kriteria Asma Skor PSQI
1. 294517 STN P 62 SMP Ibu rmh tgg 20 Terkontrol 7
2. 308966 EE P 59 SMA Ibu rmh tgg 20 Terkontrol 5
3. 260938 MNT P 65 SMA Ibu rmh tgg 23 Terkontrol 13
4 932948 TGN L 51 SMP Swasta 21 Terkontrol 7
5. 826748 SAY L 38 S1 Swasta 20 Terkontrol 6
6. 941000 SA L 74 S1 Pensiunan 20 Terkontrol 5
7. 846746 NTY P 42 SD Swasta 20 Terkontrol 7
8. 845980 DM L 42 S1 CPNS Guru 20 Terkontrol 5
9. 910503 HTJ L 45 SMA Swasta 21 Terkontrol 5
10. 457800 SLD L 48 S1 PNS 21 Terkontrol 2
11. 617573 ME P 31 DIII PNS 20 Terkontrol 5
12. 01007309 HS L 44 SMA Swasta 20 Terkontrol 5
13. 681318 SSI P 43 SD Swasta 22 Terkontrol 4
14. 01007805 SH. L 68 SD Swasta 20 Terkontrol 6
15. 615150 SM P 54 SD Wiraswasta 23 Terkontrol 3
xcii
16. 916687 AS L 19 SMP Pelajar 22 Terkontrol 5
17. 577397 RL P 66 SLTA Ibu Rmh tgg 23 Terkontrol 8
18. 263189 SWH P 49 S1 Guru 22 Terkontrol 5
19. 926127 KE P 64 SMP Ibu Rmh tgg 20 Terkontrol 14
20. 674681 RH P 21 SMA Mahasiswa 20 Terkontrol 4
21. 688130 PA L 66 S1 Pensiunan 22 Terkontrol 6
22. 777177 MJT P 36 SMA Swasta 20 Terkontrol 10
23. 996877 STN L 50 SMA Swasta 20 Terkontrol 3
24. 737109 AH L 57 DIII Designer 20 Terkontrol 12
25. 741102 AT P 39 DIII Ibu Rmh tgg 20 Terkontrol 4
26. 922541 SGN L 47 S1 PNS Guru 20 Terkontrol 5
27. 616037 RR P 46 SMA Swasta 21 Terkontrol 10
28. 559454 SGT L 48 SMA Swasta 22 Terkontrol 7
29. 865129 STI P 32 SD Wiraswasta 21 Terkontrol 6
30. 605151 US P 31 S1 PNS 21 Terkontrol 4
Keterangan:
JK : Jenis Kelamin
HP : Hipertensi
DM : Diabetes Melitus
CP : Cephalgia
OA : Osteoarthritis
RA : Rheumatoid Arthritis
xciii
OAH : Obat Anti Hipertensi
C : Cafein
Ggl gnj: Gagal Ginjal
Lampiran 7. Perhitungan Data SPSS 1. Crosstabs Uji Tabulasi Silang variabel kontrol asma dengan kualitas tidur
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Tingkat kontrol asma berdasarkan skor ACT * Kualitas tidur
60 100.0% 0 .0% 60 100.0%
Tingkat kontrol asma berdasarkan skor ACT * Kualitas tidur Crosstabulation
Kualitas tidur
Total Baik Buruk
Tingkat kontrol asma berdasarkan skor ACT
Terkontrol Count 17 13 30
% within Tingkat kontrol asma berdasarkan skor ACT
56.7% 43.3% 100.0%
Tidak Terkontrol Count 7 23 30
% within Tingkat kontrol asma berdasarkan skor ACT
23.3% 76.7% 100.0%
Total Count 24 36 60
% within Tingkat kontrol asma berdasarkan skor ACT
40.0% 60.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 6.944a 1 .008
Continuity Correctionb 5.625 1 .018
Likelihood Ratio 7.111 1 .008
Fisher's Exact Test .017 .008
Linear-by-Linear Association 6.829 1 .009
N of Valid Cases 60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.00.
b. Computed only for a 2x2 table
xciv
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Tingkat kontrol
asma berdasarkan skor ACT
(Terkontrol / Tidak Terkontrol)
4.297 1.413 13.068
For cohort Kualitas tidur = Baik 2.429 1.182 4.990
For cohort Kualitas tidur =
Buruk
.565 .359 .890
N of Valid Cases 60
2. Analisis Regresi Logistik Simple antara Kontrol Asma dengan Kualitas Tidur Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 60 100.0
.0 Missing Cases 0
Total 60 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 60 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
Baik 0
1 Buruk
Block 0: Beginning Block Classification Tablea,b
Observed
Predicted
Kualitas tidur Percentage
Correct Baik Buruk
xcv
Step 0 Kualitas tidur Baik 0 24 .0
Buruk 0 36 100.0
Overall Percentage 60.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant .405 .264 2.367 1 .124 1.500
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Kriteria_asma 6.944 1 .008
.008 Overall Statistics 6.944 1
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 7.111 1 .008
Block 7.111 1 .008
Model 7.111 1 .008
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 73.650a .112 .151
a. Estimation terminated at iteration number 4 because
parameter estimates changed by less than .001.
Classification Tablea
xcvi
Observed
Predicted
Kualitas tidur Percentage
Correct Baik Buruk
Step 1 Kualitas tidur Baik 17 7 70.8
Buruk 13 23 63.9
Overall Percentage 66.7
a. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95% C.I.for EXP(B)
Lower
Step 1a Kriteria_asma
Constant
1.458 .568 6.599 1 .010 4.297 1.413
-.268 .368 .530 1 .467 .765
a. Variable(s) entered on step 1: Kriteria_asma.
3. Uji Normalitas Umur terhadap variabel kontrol asma berdasarkan skor ACT Explore
Case Processing Summary
Tingkat kontrol asma berdasarkan skor ACT
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
xcvii
Umur Responden Terkontrol 30 100.0% 0 .0% 30 100.0%
100.0%Tidak Terkontrol 30 100.0% 0 .0% 30
Descriptives
Tingkat kontrol asma berdasarkan skor ACT Statistic Std. Error
Umur Responden Terkontrol Mean 47.80 2.533
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 42.62
Upper Bound 52.98
5% Trimmed Mean 48.02
Median 46.50
Variance 192.441
Std. Deviation 13.872
Minimum 19
Maximum 74
Range 55
Interquartile Range 21
Skewness -.104 .427
Kurtosis -.426 .833
Tidak Terkontrol Mean 50.00 2.367
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 45.16
Upper Bound 54.84
5% Trimmed Mean 49.87
Median 50.00
Variance 168.138
Std. Deviation 12.967
Minimum 19
Maximum 82
Range 63
Interquartile Range 15
Skewness .107 .427
Kurtosis 1.323 .833
xcviii
Tests of Normality
Tingkat kontrol asma berdasarkan
skor ACT
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Umur Responden Terkontrol .080 30 .200* .976 30 .727
.286 Tidak Terkontrol .131 30 .197 .959 30
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Umur Responden Histograms
xcix
Stem-and-Leaf Plots
Umur Responden Stem-and-Leaf Plot for
c
Kriteria_asma= Terkontrol Frequency Stem & Leaf 1.00 1 . 9 1.00 2 . 1 6.00 3 . 112689 10.00 4 . 2234556789 5.00 5 . 01479 6.00 6 . 245668 1.00 7 . 4 Stem width: 10 Each leaf: 1 case(s) Umur Responden Stem-and-Leaf Plot for Kriteria_asma= Tidak Terkontrol Frequency Stem & Leaf 1.00 Extremes (=<19) 1.00 2 . 7 3.00 3 . 189 9.00 4 . 122277889 11.00 5 . 00044467788 3.00 6 . 011 1.00 7 . 8 1.00 Extremes (>=82) Stem width: 10 Each leaf: 1 case(s)
Normal Q-Q Plots
ci
Detrended Normal Q-Q Plots
cii
ciii
4. Uji Karakteristik Data Variabel Umur Explore
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Umur Responden 60 100.0% 0 .0% 60 100.0%
Descriptives
Statistic Std. Error
Umur Responden Mean 48.90 1.725
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 45.45
Upper Bound 52.35
5% Trimmed Mean 48.91
Median 48.50
Variance 178.464
Std. Deviation 13.359
Minimum 19
civ
Maximum 82
Range 63
Interquartile Range 16
Skewness -.026 .309
Kurtosis .249 .608
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Umur Responden .069 60 .200* .987 60 .789
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Umur Responden
Umur Responden Stem-and-Leaf Plot Frequency Stem & Leaf 2.00 1 . 99
cv
2.00 2 . 17 9.00 3 . 111268899 19.00 4 . 1222223455677788899 16.00 5 . 0000144446777889 9.00 6 . 011245668 2.00 7 . 48 1.00 Extremes (>=82) Stem width: 10 Each leaf: 1 case(s)
cvi
Frequencies Statistics
Umur dikotomi
N Valid 60
Missing 0
Umur dikotomi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid <48tahun 30 50.0 50.0 50.0
>=48tahun 30 50.0 50.0 100.0
Total 60 100.0 100.0
5. Analisis Regresi Logistik Simple Umur terhadap Kualitas Tidur Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 60 100.0
Missing Cases 0 .0
cvii
Total 60 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 60 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of
cases.
Dependent Variable
Encoding
Original
Value Internal Value
Baik 0
Buruk 1
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
Kualitas tidur Percentage
Correct Baik Buruk
Step 0 Kualitas tidur Baik 0 24 .0
Buruk 0 36 100.0
Overall Percentage 60.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant .405 .264 2.367 1 .124 1.500
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Umurdik 10.000 1 .002
Overall Statistics 10.000 1 .002
cviii
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 10.357 1 .001
Block 10.357 1 .001
Model 10.357 1 .001
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 70.405a .159 .214
a. Estimation terminated at iteration number 4 because
parameter estimates changed by less than .001.
Classification Tablea
Observed
Predicted
Kualitas tidur Percentage
Correct Baik Buruk
Step 1 Kualitas tidur Baik 18 6 75.0
Buruk 12 24 66.7
Overall Percentage 70.0
a. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Umurdik 1.792 .589 9.246 1 .002 6.000 1.890 19.043
Constant -.405 .373 1.184 1 .277 .667
a. Variable(s) entered on step 1: Umurdik.
cix
6. Uji Chi Square terhadap Riwayat Penyakit Penyerta dengan Kualitas Tidur Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Riwayat penyakit selain asma
yang menggangu tidur * Kualitas
tidur
60 100.0% 0 .0% 60 100.0%
Riwayat penyakit selain asma yang menggangu tidur * Kualitas tidur Crosstabulation
Kualitas tidur
Total Baik Buruk
Riwayat penyakit selain asma
yang menggangu tidur
Tidak
Ada
Count 21 12 33
% within Riwayat penyakit
selain asma yang
menggangu tidur
63.6% 36.4% 100.0%
Ada Count 3 24 27
% within Riwayat penyakit
selain asma yang
menggangu tidur
11.1% 88.9% 100.0%
Total Count 24 36 60
cx
Crosstabs Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
% within Riwayat penyakit
selain asma yang
menggangu tidur
40.0% 60.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 17.071a 1 .000
Continuity Correctionb 14.952 1 .000
Likelihood Ratio 18.663 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 16.786 1 .000
N of Valid Cases 60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.80.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Riwayat penyakit
selain asma yang menggangu
tidur (0 / Ada)
14.000 3.473 56.440
For cohort Kualitas tidur = Baik 5.727 1.911 17.164
For cohort Kualitas tidur = Buruk .409 .256 .655
N of Valid Cases 60
cxi
7. Uji Analisis Regresi Logistik Ganda terhadap Kontrol Asma, Riwayat
Penyakit Penyerta , Umur dengan Kualitas Tidur Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 60 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 60 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 60 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable
Encoding
Original
Value Internal Value
Baik 0
Buruk 1
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
Kualitas tidur Percentage
Correct Baik Buruk
Step 0 Kualitas tidur Baik 0 24 .0
Buruk 0 36 100.0
Overall Percentage 60.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
cxii
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
Kualitas tidur Percentage
Correct Baik Buruk
Step 0 Kualitas tidur Baik 0 24 .0
Buruk 0 36 100.0
Overall Percentage 60.0
a. Constant is included in the model.
Step 0 Constant .405 .264 2.367 1 .124 1.500
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Kriteria_asma 6.944 1 .008
Umurdik 10.000 1 .002
Riwayat_penyakit 17.071 1 .000
Overall Statistics 24.173 3 .000
Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 28.907 3 .000
Block 28.907 3 .000
Model 28.907 3 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 51.854a .382 .517
a. Estimation terminated at iteration number 5 because
parameter estimates changed by less than .001.
Classification Tablea
Observed Predicted
cxiii
Kualitas tidur Percentage
Correct Baik Buruk
Step 1 Kualitas tidur Baik 15 9 62.5
Buruk 2 34 94.4
Overall Percentage 81.7
a. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95% C.I.for
EXP(B)
Lower
Step 1a Kriteria_asma 1.996 .764 6.829 1 .009 7.362 1.647
Umurdik .763 .750 1.035 1 .309 2.144 .493
Riwayat_penyakit 2.757 .889 9.619 1 .002 15.752 2.759
Constant -1.901 .670 8.057 1 .005 .149
a. Variable(s) entered on step 1: Kriteria_asma, Umurdik, Riwayat_penyakit.
Lampiran 8. Gangguan Tidur dalam DSM IV-TR
Gangguan tidur Deskripsi
a. Disomnia (Gangguan dalam jumlah, waktu, dan kualitas tidur), meliputi: Insomnia primer Kesulitan untuk masuk tidur dan mempertahankan tidur atau tidur
yang tidak restoratif (orang tidak merasa telah cukup beristirahat setelah tidur dalam jumlah normal
Hipersomnia primer Keluhan mengantuk eksesif yang tampak dalam bentuk episode-episode tidur yang terlalu lama atau episode-episode tidur di siang
cxiv
bolong
Narkolepsi Serangan refreshing sleep (tidur yang membuat badan segar ketika bangun) yang bersifat tiba-tiba yang tidak dapat ditentang yang terjadi setiap hari dan disertai dengan episode-episode hilangnya muscle tone (kekencangan otot) yang berlangsung dalam waktu singkat.
Tidur yang terkait dengan pernapasan
Disrupsi tidur yang mengakibatkan kantuk yang eksesif atau insomnia yang disebabkan oleh kesulitan bernapas yang terkait dengan tidur
Circadian Rhythm Sleep Disorder or Sleep Wake Schedule Disorder Gangguan tidur ritme sirkadian
Disrupsi tidur yang menetap atau berulang kali terjadi, yang mengakibatkan kantuk yang eksesif atau insomnia, yang disebabkan oleh adanya mismatch antara jadwal tidur dan terjaga karena dipaksa oleh lingkungan dan pola tidur terjaga sirkadiannya.
b. Parasomnia (Gangguan dalam transisi antara tahap terjaga penuh dan tidur yang mengganggu proses tidur), meliputi:
Nightmare disorder/ Dream Anxiety Disorder (Gangguan kecemasan mimpi
Terbangun berulang kali dengan ingatan yang terperinci tentang mimpi panjang yang sangat menakutkan biasanya melibatkan ancaman terhadap nyawa, keamanan, atau self-esteem. Saat-saat terbangun itu pada umumnya terjadi selama paruh kedua dalam periode tidur
Sleep Terror Disorder (Gangguan terror tidur)
Episode-episode bangun mendadak yang berulang kali terjadi, biasanya terjadi selama sepertiga pertama
Sleepwalking disorder (berjalan saat tidur)
Episode berulang bangkit dari kasur pada saat masih tidur lalu berjalan-jalan, biasanya terjadi selama sepertiga pertama episode tidur utama
c. Gangguan tidur berhubungan dengan gangguan mental lain. Gangguan tidur berupa insomnia pada gangguan depresif berat, gangguan kecemasan umum, gangguan Bipolar II dan episode manik ataupun tipe hipersomnia pada gangguan mood, gangguan bipolar I fase terdepresi.
d. Gangguan tidur karena kondisi medis umum adalah gangguan tidur yang terjadi karena akibat fisiologis dari kondisi medis umum didukung riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium
Tipe Insomnia Jika gangguan tidur yang menonjol adalah insomnia
Tipe Hipersomnia Jika gangguan tidur yang menonjol adalah hipersomnia
cxv
Tipe Parasomnia Jika gangguan tidur yang menonjol adalah parasomnia
Tipe campuran Jika ditemukan lebih dari satu gangguan tidur dan tidak ada yang lebih menonjol
e. Gangguan tidur akibat zat adalah gangguan tidur yang berkembang selama atau dalam satu bulan intoksikasi atau putus zat. Beberapa subtansi zat yang dapat menyebabkan gangguan tidur antara lain: amfetamin, kokain, kafein, opioid, sedatif, hipnotik, atau ansiolitik, obat adrenergik, obat penghambat beta, antimetabolit, dll
Sumber: Diagnostic and Statistical Manual of Mental disorder, 4th edition-text revised © 2000 dalam Psikologi abnormal
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul : Perbedaaan Kualitas Tidur pada Pasien Asma Terkontrol
dengan Tidak Terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Astrid Kusuma Wardhani, G0007005, Tahun 2010
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Pada Hari Selasa, Tanggal 24 Agustus 2010
Pembimbing Utama
Nama : Yusup Subagio Sutanto, dr., Sp.P
NIP : 19570315 198312 1 002 ( ………………………… )
Pembimbing Pendamping
Nama : Dr. Eddy Surjanto, dr., Sp.P(K)
NIP : 140 071 304 ( ………………………… )
Penguji Utama
Nama : Ana Rima Setijadi, dr., Sp.P
NIP : 19620502 198901 2 001 ( ………………………… )
Anggota Penguji
Nama : Slamet Riyadi, dr., M.Kes
cxvi
NIP : 19600418 199203 1 001 ( ………………………….)
Surakarta,
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan rahmat, hidayah serta ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Perbedaan Kualitas Tidur pada Pasien Asma Terkontrol dengan Tidak Terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta“.
Dalam penelitian ini, penulis tidak terlepas dari berbagai hambatan dan kesulitan. Namun berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat menyeleseikannya. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. A.A. Subijanto, dr., MS selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Muthmainah, dr., M.Kes selaku ketua tim skripsi FK UNS.
Ketua Tim Skripsi
Muthmainah, dr., M.Kes
NIP : 19660702 199802 2 001
Dekan FK UNS
Prof. Dr. A.A. Subijanto, dr., MS.
NIP : 19481107 197310 1 003
Surakarta, 24 Agustus 2010
Astrid Kusuma Wardhani
G0007005
cxvii
3. Yusup Subagio Sutanto, dr., Sp.P sebagai pembimbing utama yang telah memberikan waktu, pengarahan, bimbingan dan saran dalam penyusunan skripsi.
4. Dr. Eddy Surjanto, dr., Sp.P(K) sebagai pembimbing pendamping yang telah memberikan waktu, pengarahan, bimbingan dan saran dalam penyusunan skripsi.
5. Ana Rima Setijadi, dr., Sp.P sebagai penguji utama yang telah berkenan menguji dan memberikan bimbingan, pengarahan, kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi.
6. Slamet Riyadi dr., M.Kes sebagai anggota penguji yang telah berkenan menguji dan memberikan bimbingan, pengarahan, kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi.
7. Prof. dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD sebagai penasehat dalam penyusunan statistika dan metodologi penelitian.
8. Para staf Poliklinik Paru dan Instalasi Rawat Inap Anggrek 2 RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang ikut membantu dalam penelitian.
9. Pak Nardi dan Bu Enny yang turut membantu dalam pembuatan skripsi. 10. Papa, Mama, Mbak Sari, Mas Aih, Mas Tyo, Mas Haris, Mbak Shanti yang telah
memberikan bimbingan, dukungan, dan saran baik material maupun spiritual. 11. Trio phlegmatis, rekan parasitologi, skripsi paru gelombang 1 KBK angkatan
2007, 2008 dan 2009, AMSA semua terima kasih atas doa dan bantuannya. 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu- persatu yang telah membantu
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan manfaat sepenuhnya.
DAFTAR ISI
PENGESAHAN………….………………………………………………….. ii
PERNYATAAN………….………………………………………………….. iii
ABSTRAK………….……………………………………………………. …. iv
ABSTRACT………….………………………………………………………. v
PRAKATA………….………………………………………………………... vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………. vii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………. ix
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………… x
Surakarta, 24 Agustus 2010
Astrid Kusuma Wardhani
cxviii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………. xi
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………… 1
A. Latar Belakang…………………………………………………….. 1
B. Perumusan Masalah………………………………………………… 4
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………… 4
D. Manfaat Penelitian…………………………………………………. 4
BAB II LANDASAN TEORI………………………………………………… 5
A. Tinjauan Pustaka…………………………………………………… 5
1. Asma……………………………………………………………. 5
a. Definisi ……………………………………………………… 5
b. Patogenesis………………………………………………….. 5
c. Patofisiologi…………………………………………………. 7
d. Faktor risiko ……………………………………………….. 8
e. Diagnosis……………………………………………….......... 9
f. Klasifikasi…………………………………………................ 10
g. Penatalaksanaan……………………………………………... 11
2. Asthma Control Test……………………………………………. 15
3. Tidur……………………………………………………………. 16
a. Fisiologi Tidur……………………………………………….. 16
b. Perubahan Kardiovaskular dan Respirasi selama Tidur……. 18
c. Kuantitas dan Kualitas Tidur……………………………….. 20
d. Gangguan Tidur…………………………………………….. 22
e. Penatalaksanaan……………………………………………. 23
4. Hubungan Asma dengan Tidur………………………………... 27
5. Pittsburgh Sleep Quality Index……………………………....... 30
6. Kerangka Pemikiran…………………………………………… 32
7. Hipotesis……………………………………………………..... 33
BAB III METODE PENELITIAN…………………………………………… 34
A. Jenis Penelitian…………………………………………………….. 34
cxix
B. Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………………. 34
C. Subyek Penelitian………………………………………………….. 34
1. Populasi Penelitian…………………………………………........ 34
2. Sampel Penelitian……………………………………….............. 34
3. Kriteria Subyek Penelitian………………………………………. 35
D. Teknik Sampling……………………………………………............ 35
E. Rancangan Penelitian………………………………………………. 37
F. Identifikasi Variabel Penelitian……………………………………. 38
G. Definsi Operasional Variabel………………………………............ 38
H. Alat dan bahan…………………………………………………….. 41
I. Cara Kerja………………………………………………………….. 41
J. Teknik Analisis Data……………………………………………… 43
BAB IV HASIL PENELITIAN……………………………………………… 46
BAB V PEMBAHASAN……………………………………………………. 58
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN……………………………………….. 69
A. Simpulan…………………………………………………........... 69
B. Saran……………………………………………………………. 70
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….... 71
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Derajat Asma………………………………………………………... 10
Tabel 2.2 Tingkat Kontrol Asma………………………….…………………… 13
Tabel 3.1 Interpretasi OR……………………….……………………………… 44
Tabel 4.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin…...…………………. 46
Tabel 4.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Umur………………………………. 47
cxx
Tabel 4.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan……….……….. 47
Tabel 4.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Pekerjaan………………………….. 48
Tabel 4.5 Analisis Bivariat Kualitas Tidur dengan Kontrol Asma...………….. 49
Tabel 4.6 Analisis Bivariat Kualitas Tidur dengan Riwayat Penyakit Penyerta.. 51
Tabel 4.7 Uji Normalitas Data Umur Menurut Kontrol Asma...………………. 52
Tabel 4.8 Karakteristik Data Umur...…………………………………………... 52
Tabel 4.9 Analisis Bivariat Kualitas Tidur dengan Umur……………………... 53
Tabel 4.10 Analisis Bivariat Kualitas Tidur dengan Riwayat Konsumsi Zat…... 54
Tabel 4.11 Analisis Regresi Logistik Ganda dan Analisis Bivariat…………….. 55
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Penatalaksanaan Asma Berdasarkan Kontrol……………………. 14
Gambar 4.1 Persentase Sampel Menurut Jenis Kelamin……….……………... 46
Gambar 4.2 Persentase Sampel Menurut Kelompok Umur………………….... 47
Gambar 4.3 Persentase Sampel Menurut Tingkat Pendidikan……………….... 48
Gambar 4.4 Persentase Sampel Menurut Pekerjaan…………. ……………….. 48
cxxi
Gambar 4.5 Persentase Kualitas Tidur Buruk Menurut Kontrol Asma………... 50
Gambar 4.6 Persentase Kualitas Tidur Buruk Menurut Penyakit Penyerta……. 51
Gambar 4.7 Persentase Kualitas Tidur Buruk Menurut Umur…………………. 53
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Penjelasan
Lampiran 2. Formulir Persetujuan
Lampiran 3. Kuisioner ACT
Lampiran 4. Kuisioner PSQI
Lampiran 5. Kuisioner Riwayat Penyakit dan Konsumsi Zat
cxxii
Lampiran 6. Daftar Subjek Penelitian
Lampiran 7. Perhitungan Data SPSS
Lampiran 8. Gangguan Tidur dalam DSM IV-TR
Lampiran 9. Surat Kelaikan Etik
Lampiran 10. Surat Pengantar Penelitian ke RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Lampiran 11. Surat Ijin Penelitian di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Lampiran 12. Surat Keterangan Selesai Penelitian
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan rahmat, hidayah serta ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Perbedaan Kualitas Tidur pada Pasien Asma Terkontrol dengan Tidak Terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta“.
Dalam penelitian ini, penulis tidak terlepas dari berbagai hambatan dan kesulitan. Namun berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat menyeleseikannya. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
13. Prof. Dr. A.A. Subijanto, dr., MS selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
14. Muthmainah, dr., M.Kes selaku ketua tim skripsi FK UNS. 15. Yusup Subagio Sutanto, dr., Sp.P sebagai pembimbing utama yang telah
memberikan waktu, pengarahan, bimbingan dan saran dalam penyusunan skripsi. 16. Dr. Eddy Surjanto, dr., Sp.P(K) sebagai pembimbing pendamping yang telah
memberikan waktu, pengarahan, bimbingan dan saran dalam penyusunan skripsi. 17. Ana Rima Setijadi, dr., Sp.P sebagai penguji utama yang telah berkenan menguji
dan memberikan bimbingan, pengarahan, kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi.
18. Slamet Riyadi dr., M.Kes sebagai anggota penguji yang telah berkenan menguji dan memberikan bimbingan, pengarahan, kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi.
19. Prof. dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD sebagai penasehat dalam penyusunan statistika dan metodologi penelitian.
20. Para staf Poliklinik Paru dan Instalasi Rawat Inap Anggrek 2 RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang ikut membantu dalam penelitian.
21. Pak Nardi dan Bu Enny yang turut membantu dalam pembuatan skripsi.
cxxiii
22. Papa, Mama, Mbak Sari, Mas Aih, Mas Tyo, Mas Haris, Mbak Shanti yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan saran baik material maupun spiritual.
23. Trio phlegmatis, rekan parasitologi, skripsi paru gelombang 1 KBK angkatan 2007, 2008 dan 2009, AMSA semua terima kasih atas doa dan bantuannya.
24. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu- persatu yang telah membantu menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan manfaat sepenuhnya.
DAFTAR ISI
PENGESAHAN………….………………………………………………….. ii
PERNYATAAN………….………………………………………………….. iii
ABSTRAK………….……………………………………………………. …. iv
ABSTRACT………….………………………………………………………. v
PRAKATA………….………………………………………………………... vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………. vii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………. ix
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………… x
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………. xi
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………… 1
E. Latar Belakang…………………………………………………….. 1
F. Perumusan Masalah………………………………………………… 4
G. Tujuan Penelitian…………………………………………………… 4
H. Manfaat Penelitian…………………………………………………. 4
BAB II LANDASAN TEORI………………………………………………… 5
B. Tinjauan Pustaka…………………………………………………… 5
8. Asma……………………………………………………………. 5
a. Definisi ……………………………………………………… 5
Surakarta, 24 Agustus 2010
Astrid Kusuma Wardhani
cxxiv
b. Patogenesis………………………………………………….. 5
c. Patofisiologi…………………………………………………. 7
d. Faktor risiko ……………………………………………….. 8
e. Diagnosis……………………………………………….......... 9
f. Klasifikasi…………………………………………................ 10
g. Penatalaksanaan……………………………………………... 11
9. Asthma Control Test……………………………………………. 15
10. Tidur…
…………………………………………………………. 16
f. Fisiologi Tidur……………………………………………….. 16
g. Perubahan Kardiovaskular dan Respirasi selama Tidur……. 18
h. Kuantitas dan Kualitas Tidur……………………………….. 20
i. Gangguan Tidur…………………………………………….. 22
j. Penatalaksanaan……………………………………………. 23
11. Hubunga
n Asma dengan Tidur………………………………... 27
12. Pittsburg
h Sleep Quality Index……………………………....... 30
13. Kerangk
a Pemikiran…………………………………………… 32
14. Hipotesi
s……………………………………………………..... 33
BAB III METODE PENELITIAN…………………………………………… 34
K. Jenis Penelitian…………………………………………………….. 34
L. Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………………. 34
M. Subyek Penelitian………………………………………………….. 34
4. Populasi Penelitian…………………………………………........ 34
5. Sampel Penelitian……………………………………….............. 34
6. Kriteria Subyek Penelitian………………………………………. 35
cxxv
N. Teknik Sampling……………………………………………............ 35
O. Rancangan Penelitian………………………………………………. 37
P. Identifikasi Variabel Penelitian……………………………………. 38
Q. Definsi Operasional Variabel………………………………............ 38
R. Alat dan bahan…………………………………………………….. 41
S. Cara Kerja………………………………………………………….. 41
T. Teknik Analisis Data……………………………………………… 43
BAB IV HASIL PENELITIAN……………………………………………… 46
BAB V PEMBAHASAN……………………………………………………. 58
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN……………………………………….. 69
C. Simpulan…………………………………………………........... 69
D. Saran……………………………………………………………. 70
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….... 71
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Derajat Asma………………………………………………………... 10
Tabel 2.2 Tingkat Kontrol Asma………………………….…………………… 13
Tabel 3.1 Interpretasi OR……………………….……………………………… 44
Tabel 4.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin…...…………………. 46
Tabel 4.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Umur………………………………. 47
Tabel 4.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan……….……….. 47
Tabel 4.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Pekerjaan………………………….. 48
Tabel 4.5 Analisis Bivariat Kualitas Tidur dengan Kontrol Asma...………….. 49
Tabel 4.6 Analisis Bivariat Kualitas Tidur dengan Riwayat Penyakit Penyerta.. 51
cxxvi
Tabel 4.7 Uji Normalitas Data Umur Menurut Kontrol Asma...………………. 52
Tabel 4.8 Karakteristik Data Umur...…………………………………………... 52
Tabel 4.9 Analisis Bivariat Kualitas Tidur dengan Umur……………………... 53
Tabel 4.10 Analisis Bivariat Kualitas Tidur dengan Riwayat Konsumsi Zat…... 54
Tabel 4.11 Analisis Regresi Logistik Ganda dan Analisis Bivariat…………….. 55
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Penatalaksanaan Asma Berdasarkan Kontrol……………………. 14
Gambar 4.1 Persentase Sampel Menurut Jenis Kelamin……….……………... 46
Gambar 4.2 Persentase Sampel Menurut Kelompok Umur………………….... 47
Gambar 4.3 Persentase Sampel Menurut Tingkat Pendidikan……………….... 48
Gambar 4.4 Persentase Sampel Menurut Pekerjaan…………. ……………….. 48
Gambar 4.5 Persentase Kualitas Tidur Buruk Menurut Kontrol Asma………... 50
Gambar 4.6 Persentase Kualitas Tidur Buruk Menurut Penyakit Penyerta……. 51
Gambar 4.7 Persentase Kualitas Tidur Buruk Menurut Umur…………………. 53
cxxvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Penjelasan
Lampiran 2. Formulir Persetujuan
Lampiran 3. Kuisioner ACT
Lampiran 4. Kuisioner PSQI
Lampiran 5. Kuisioner Riwayat Penyakit dan Konsumsi Zat
Lampiran 6. Daftar Subjek Penelitian
Lampiran 7. Perhitungan Data SPSS
Lampiran 8. Gangguan Tidur dalam DSM IV-TR
Lampiran 9. Surat Kelaikan Etik
cxxviii
Lampiran 10. Surat Pengantar Penelitian ke RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Lampiran 11. Surat Ijin Penelitian di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Lampiran 12. Surat Keterangan Selesai Penelitian