abstrak...abstrak hakikat fatwa adalah sebuah produk hukum islam dan merupakan hasil ijtihad...
TRANSCRIPT
Abstrak
Hakikat fatwa adalah sebuah produk hukum
Islam dan merupakan hasil ijtihad pero-
rangan atau kelompok yang bisa menjadi
sumber hukum yang hidup (the living law),
karena dapat menjawab persoalan-persoalan
kontemporer dalam banyak bidang. Dalam
bidang muamalah dengan kaidah pokok
“lakukanlah selama tidak ada larangan”,
membuka ruang sebuah fatwa menjadi dasar
hukum dalam bertindak dan berprilaku. Teta-
pi karena karakteristik fatwa merupakan
produk hukum yang terkategori pendapat
hukum (legal opinion), di Indonesia fatwa
tidak serta merta bisa dijadikan landasan
hukum yang mengikat (binding), memaksa
dan mempunyai ancaman sanksi sebagaima-
na sebuah undang-undang atau regulasi se-
bagaimana yang dikeluarkan lembaga negara
atau pejabat negara. Dalam hukum ekonomi
syariah di Indonesia, khususnya bidang per-
bankan syariah, fatwa ulama tentang hukum
ekonomi syariah, memegang peranan yang
mendasar. Dengan bersandar kepada undang-
MUSYAROKAH JURNAL HUKUMENOMI SYARIAH1
undang yang berlaku tentang perbankan sya-
riah, fatwa hukum ekonomi syariah dalam
bidang keuangan syariah yang dikeluarkan
oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) diresepsi (diserap)
oleh lembaga negara menjadi regulasi yang
mengikat (binding), memaksa dan mempu-
nyai ancaman sanksi.
Kata Kunci: fatwa, hukum, ekonomi syariah
Abstract
The essence of fatwa is a product of Islamic
law and is the result of individual or group
ijtihad that can be a source of living law (the
living law), because it can answer contempo-
rary problems in many fields. In the field of
muamalah with the basic principle "do it as
long as there is no prohibition", opening up a
fatwa becomes the legal basis for acting and
behaving. But because the characteristics of
the fatwa are legal products categorized as
legal opinions (legal opinions), in Indonesia
fatwa can not necessarily be used as a bind-
ing legal basis (binding), force and have the
KEDUDUKAN FATWA HUKUM EKONOMI SYARIAH
DALAM TATA HUKUM NASIONAL BERKAITAN DENGAN
PERBANKAN SYARIAH
Abdul Aziz
Abdul Aziz
MUSYAROKAH JURNAL HUKUMENOMI SYARIAH 2
threat of sanctions as a law or regulation as
issued by a state institution or state officials.
In sharia economic law in Indonesia, partic-
ularly in the field of sharia banking, the ula-
ma fatwa on sharia economic law plays a
fundamental role. By relying on the applica-
ble laws on sharia banking, Islamic econom-
ic law fatwa in the field of sharia finance
issued by the National Sharia Council-
Indonesian Ulema Council (DSN-MUI) is
accepted (absorbed) by state institutions into
a binding regulation (binding), force and
have the threat of sanctions.
Keywords: fatwa, law, sharia economics
A. PENDAHULUAN
Dalam hukum Islam fatwa meru-
pakan salah satu produk hukum untuk
memberikan jawaban dan solusi terhadap
permasalahan yang dihadapi umat.
Bahkan umat Islam pada umumnya men-
jadikan fatwa sebagai rujukan dalam ber-
sikap dan berperilaku. Bagi kalangan
masyarakat umum fatwa dijadikan dalil,
sebagaimana para mujtahid memegang
dalil itu dan sudah mengeluarkan fatwa.
Fatwa merupakan sebuah upaya ulama
untuk merespon masalah-masalah yang
dihadapi masyarakat yang memerlukan
keputusan hukum, dan seringkali masa-
lah-masalah tersebut baru ditemukan pa-
da masa-masa mu’asyirah atau kekinian
(kontemporer), yang tidak didapati dalam
kehidupan zaman Rasulullah saw, sa-
habat dan seterusnya.
Dalam hukum Islam dikenal
hukum yang berifat qoth’i (baku) yang
tercakup di antaranya dalam hukum had
(hudud) dan hukum-hukum lainnya yang
bersifat ijtihadiyah. Bersifat ijtihadiyah
karena produknya murni hasil pemikiran
para ulama kategori mujtahid dengan me-
manfaatkan perangkat keilmuan yang ada
dan sudah diakui seperti ilmu ushul
fikih, ilmi fiqih, bahasa Arab dll. Diakui
hukum-hukum yang bersifat qoth’i
(baku) hampir tidak ada khilaf
(perbedaan pendapat) di antara para ula-
ma, berbeda dengan hukum yang bersifat
ijtihadiyah, yang memberikan ruang
kepada ulama untuk khilaf. Para ulama
membagi produk hukum yang bersifat
ijtihad dibedakan menjadi empat yaitu
fikih, fatwa, qanun dan qadha. Masing-
masing produk hukum tersebut
dibedakan hanya dari segi posisi mujta-
hid yang melakukan ijtihad. Sementara
menurut Jaih Mubarok dari segi substansi
antara yang satu dengan yang lainnya
tidak dapat dibedakan, apalagi
dipisahkan (Jaih Mubarok, 2004: VI).
Kedudukan Fatwa Hukum Ekonomi Syariah dalam Tata Hukum Nasional
Berkaitan dengan Perbankan Syariah
MUSYAROKAH JURNAL HUKUMENOMI SYARIAH3
Menurut Mohammad Hashim
Kamali, ijtihad di zaman modern telah
terjadi dalam tiga bentuk berikut: melalui
legislasi perundang-undangan (taqnin),
dalam bentuk fatwa oleh para ahli dan
hakim, dan melalui tulisan-tulisan para
ahli (Muhammad Hasyim Kamali, 2010:
171)Meskipun demikian, karena tidak
semua negara di dunia yang mayoritas
berpenduduk muslim menerapkan hukum
Islam sebagai hukum pokok di dalam tata
hukum nasionalnya, maka penerapan fat-
wa, kekuatan mengikat fatwa dan akibat-
akibat hukum lainnya atas fatwa itu pun
berbeda-beda dalam kehidupan beragama
masyarakatnya.
Dengan latar belakang di atas
dalam tulisan ini akan dicermati
bagaimana kedudukan fatwa yang meru-
pakan produk ijtihad serta merupakan
bagian dari hukum Islam dalam kai-
tannya dengan kedudukan hukumnya di
dalam tata hukum nasional. Akan diana-
lisa bagaimana fatwa yang bersifat ijti-
hadiyah dari para ulama diresepsi men-
jadi regulasi yang mengikat, memaksa
dan mempunyai ancaman hukuman di
dalam sebagian entitas hukum di Indone-
sia, yaitu perbankan syariah.
B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah
penelitian kualitatif dengan pendekatan
yuridis-normatif serta deduktif-normatif.
Penelitian ini juga adalah penelitian
pustaka, dengan tipe deskriptif analisis,
yakni berusaha menggambarkah data-
data yang ditemukan dalam al-Qur'an,
buku-buku, perundang-undangan dan
sumber-sumber lain, untuk dilanjutkan
dengan analisis dengan pendekatan
yuridis-normatif, yakni berusaha me-
mahami secara deduktif-normatif atas
kedudukan fatwa di dalam hukum
ekonomi syariah (Islam) dan selanjutnya
di dalam tata hukum nasional, khususnya
yang berkaitan dengan perbankan syari-
ah. Pendekatan deduktif-normatif
digunakan untuk menemukan posisi se-
buah hukum dalam suatu entitas hukum.
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu
bertujuan untuk menggambarkan
keadaan sesuatu yang tengah berlang-
sung pada saat riset dilakukan dan me-
merikasa sebab-sebab dari suatu gejala
tertentu (Husen Umar, 2005: 22), dalam
hal ini adalah tentang fatwa terkait
hukum ekonomi syariah. Sumber data
primer, yaitu buku-buku, laporan-
laporan hasil penelitian berupa jurnal
Abdul Aziz
MUSYAROKAH JURNAL HUKUMENOMI SYARIAH 4
ilmiah, yang berkaitan dengan fatwa.
Sumber data sekunder, terdiri atas refer-
ensi-referensi lainnya yang berkaitan
dengan tema pembahasan, yang berasal
dari perundang-undangan, surat, kabar,
majalah atau internet. Metoda pengum-
pulan data dilakukan dengan cara doku-
mentasi.
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Fatwa dan Hakikat Fat-
wa
Dari segi bahasa, kata fatwa yang be-
rasal dari bahasa Arab, punya akar kata
dari afta - yufti - ifta’ ( إفتاءا -يفتي -أفتى ),
yang artinya kurang lebih adalah menja-
wab pertanyaan orang. Kata fatwa
dengan makna menjawab pertanyaan
ditemukan di dalam ayat al Quran, di an-
taranya dalam surat Yusuf (12) ayat 43,
surat Al-Kahfi (18) ayat 22, surat Shaf-
fat (37) ayat 11. Tapi secara umum lan-
dasan hukum mengeluarkan fatwa di da-
lam al Quran adalah surat An-Nisa’ (4)
ayat 176 yang bunyi terjemahannya ada-
lah :”Mereka meminta fatwa kepadamu
(wahai Muhammad, mengenai kalalah),
katakanlah : ‘Allah memberi fatwa kepa-
da kamu dalam perkara kalalah
itu” (Ahmad Hatta, 2011: 105) 20 Dalil
hadits dari Musnad Ahmad ibnu Hanbal
yang bunyi terjemahannya ada-
lah :”Barang siapa mengeluarkan fatwa
tanpa kepastian (sumbernya), maka
sesungguhnya dosanya ke atas orang-
orang yang memberi fatwa.” (Dewan
Syariah Nasional MUI, 2014: 7) Menurut
Yusuf Qarḍawi, fatwa adalah men-
erangkan hukum syara' dalam persoalan
sebagai jawaban atas pertanyaanyang
diajukan oleh peminta fatwa (mustafti)
baik secara perorangan maupun kolektif
(Yusuf Qarḍawi, 1990: 203). Menurut
Joseph Scaht fatwa didefinisikan sebagai
“formal legal opini” (opini legal formal).
(Joseph Schacht, 1965: 74) Menurut
Ma’ruf Amin dkk fatwa adalah jawaban
atau penjelasan dari ulama mengenai ma-
salah keagamaan dan berlaku untuk
umum (Ma’ruf Amin dkk, 2015: 8). Se-
dangkan fatwa MUI adalah fatwa MUI
tentang suatu masalah keagamaan yang
telah disetuui oleh anggota Komisi dalam
rapat komisi (Ma’ruf Amin dkk , 2015:
8). Selain Komisi Fatwa MUI yang dapat
mengeluarkan fatwa, organ MUI lainnya
adalah Dewan Syariah Nasional (DSN).
DSN adalah dewan yang dibentuk oleh
Majelis Ulama Indonesia untuk me-
nangani masalah-masalah yang berhub-
Kedudukan Fatwa Hukum Ekonomi Syariah dalam Tata Hukum Nasional
Berkaitan dengan Perbankan Syariah
MUSYAROKAH JURNAL HUKUMENOMI SYARIAH5
ungan dengan aktifita lembaga keuangan
syariah. (Ma’ruf Amin dkk, 2015) Dan
penetapan fatwa tentang ekonomi syraiah
yang terkait dengan produk dan jasa keu-
angan yariah dilakukan oleh DSN-MUI
(Ma’ruf Amin dkk, 2015: 8).
Dalam Buku Himpunan Fatwa
Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasi-
oal MUI yang diterbitkan tahun 2014,
ada 87 fatwa DSN-MUI terkait keuangan
syariah, yang melingkupi tentang Per-
bankan syariah (58 fatwa), tentang
perasuransian syariah (6 fatwa), tentang
pasar modal syariah (13 fatwa), tentang
pegadaian syariah (2 fatwa), tentang
pembiayaan syariah (1 fatwa), tentang
penjaminan syariah (1 fatwa), tentang
akuntansi syariah (3 fatwa), tentang
MLM syaiah (2 fatwa), tentang
perdagangan komoditi berdasakan prinip
syariah di bursa komoditi (1 fatwa).
(Dewan Syariah Nasional MUI, 2015:
14).
Di dalam al Quran fatwa
ditemukan dalam derivasi yang berbeda-
beda, tetapi menurut al-Raqib al-Isfahani,
fatwa sesungguhnya memiliki makna
yang sama yaitu jawaban dari persoalan
hukum yang banyak ditanyakan kepada
Rasulullah saw ketika itu (Muhamad Fu-
ad Abd al-Baqi, 2017: 623). Karena per-
mintaan fatwa cenderung realistis dan
faktual, maka jawaban yang diberikan di
dalam al-Quran menggunakan bahasa
yang jelas dan menjawab persoalan. Da-
lam ilmu uṣul fiqh, fatwa berarti pen-
dapat yang dikemukakan seorang mujta-
hid atau faqih sebagai jawaban yang di-
ajukan peminta fatwa dalam suatu kasus
yang sifatnya tidak mengikat (Abdul Aziz
Dahlan, 1996: 326). Fatwa juga dapat diter-
jemahkan sebagai petuah, nasehat, jawa-
ban atas pertanyaan yang berkaitan
dengan hokum (Depdikbud, 1997: 275).
Dengan demikian pengertian fatwa berar-
ti menerangkan hukum-hukum Allah
SWT berdasarkan dalil-dalil syariah
secara umum dan menyeluruh. Ket-
erangan hukum yang diberikan itu di-
namakan fatwa (Dewan Syariah Nasional
MUI, 2005: 8). Dengan kata lain fatwa
adalah ketentuan hukum Islam yang
dibuat berdasarkan pemikiran, ijtihad
dengan cara ijma, mengenai suatu masa-
lah hukum pada suatu tempat di suatu
masa (Ahmad Sarwat, 2018: 12-13).
Maka dengan demikian hakikatnya fatwa
termasuk dalam kategori hukum Islam.
Orang yang berfatwa disebut
dengan mufti dan yang meminta fatwa
Abdul Aziz
MUSYAROKAH JURNAL HUKUMENOMI SYARIAH 6
disebut dengan mustafti. Mufti ialah
orang yang sangat berkompeten dalam
bidang syariah, menguasai dan sangat
mendalami nash-nash syariah serta mad-
lul syar’i-nya. Kalau bukan seorang
ulama, tidak lah bisa ia mengeluarkan
sebuah fatwa, karena fatwa itu produk
syariat yang dihasilkan dari interpretasi
nash-nash syar’i. Di Indonesia fatwa
keagaamaan di antaranya dihasilkan
secara ijma oleh Majelis Ulama Indone-
sia (MUI), selain oleh ormas-ormas Is-
lam lainnya seperti Muhammadiyah,
Nahdhatul Ulama, Persatuan Islam, dll.
Fatwa yang dikeluarkan MUI sejak tahun
1975 mencakup spektrum yang sangat
luas meliputi bidang akidah dan aliran
keagamaan, ibadah, sosial dan budaya,
pangan, obat-obatan, kosmetika, ilmu
pengetahuan dan teknologi, termasuk
asas-asas kenegaraan dan masalah-
masalah kontemporer (Lihat buku Ma’ruf
Amin dkk, 2015)
Menurut Abdul Wahhhab Khalaf
fiqih didefinisikan sebagai hukum-
hukum syara’ yang praktis, yang diambil
dari dalil-dalinya secara terinci atau
dengan kata lain ilmu fiqih adalah
kompilasi hukum-hukum syara’ yang
bersifat praktis yang diambil dari dalil-
dalilnya secara terinci (Abdul Wahhab
Khalaf, 1994: 1). Sebagai salah satu
bentuk ijtihad, salah satu ciri fiqih adalah
adanya perbedaan pendapat (khilaf) da-
lam menghukumi sesuatu. Tetapi secara
historis, fatwa dimulai sebagai aktivitas
pribadi yang independen dari intervensi
dan kontrol negara (Mohammad Hashim
Kamali: 174).
2. Perbedaan Fiqih, Fatwa, Qanun
dan Qadha sebagai Produk Ijtihad Ulama
Karenanya, fatwa bersifat tidak
mengikat, sebab fatwa pada hakikatnya
adalah sebuah pandangan atau pendapat
tentang hukum suatu masalah fiqih (legal
opinion). Selain itu orang yang bertanya
atau minta fatwa sekalipun tidak di-
wajibkan untuk menerima fatwa itu. Bisa
saja dia menolak sebuah fatwa yang
dimintanya. Sedangkan qanun adalah un-
dang-undang atau hukum positif yang
berlaku di suatu wilayah hukum. Qanun
yang berlaku di suatu negara Islam, bisa
saja bersumber dari sejumlah hasil fatwa
satu atau gabungan dari beberapa mazhab
fiqih, namun yang telah distandarisasi
atau dibakukan, sehingga berbentuk
aturan yang rinci, terdiri bab, pasal, ayat,
Kedudukan Fatwa Hukum Ekonomi Syariah dalam Tata Hukum Nasional
Berkaitan dengan Perbankan Syariah
MUSYAROKAH JURNAL HUKUMENOMI SYARIAH7
butir dan seterusnya. Secara umum,
qanun bersifat mengikat dan wajib dil-
aksanakan, dan sering juga tercantum
sanksi dan hukuman yang harus dijatuh-
kan (Ahmad Sarwat).
Qadha adalah keputusan yang
dilakukan oleh seorang qadhi (hakim)
atas suatu perkara atau perseteruan dua
belah pihak atau lebih (Ahmad Sarwat).
Karenanya qadha merupakan produk
yang secara hukum diakui negara dan
tidak diragukan lagi kekuatan mengikat
dan memaksanya, khususnya bagi mere-
ka yang berperkara. Perbedaan antara
fatwa dengan qadha adalah dalam
kekuatan mengikatnya (binding) mereka
yang berperkara, sementara fatwa tidak
harus ditaati bahkan oleh yang meminta
fatwa sekalipun, tidak mengikat dan tid-
ak akan kena sanksi apapun ketika me-
nolak fatwa. Sedangkan persamaan anta-
ra fatwa dengan qadha, di antaranya sa-
ma-sama bersumber kepada Al-Quran
dan As-Sunnah serta sumber-sumber
hukum Islam penunjang lainnya.
3. Ekonomi Syariah, Hukum Ekonomi
Syariah dan Perbankan Syariah di Indo-
nesia
Menurut Zainudin Ali ekonomi
syariah adalah perbuatan dan/atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prisip syariah (Zainudin Ali,
2009: 2). Menurut pasal 1 butir 1 buku-1
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES)/Peraturan Mahkamah Agung
No. 2 Tahun 2008, ekonomi syariah ada-
lah usaha atau kegiatan yang dilakukan
oleh orang perorang, kelompok orang,
badan usaha yang berbadan hukum atau
tidak berbadan hukum dalam rangka me-
menuhi kebutuhan yang bersifat komer-
sial dan tidak komersial menurut prinsip
syariah. Sedangkan pengertian prinsip
syariah adalah prinsip hukum Islam da-
lam kegiatan perbankan berdasarkan fat-
wa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan
fatwa di bidang syariah (Pasal 1 angka 1
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES)/Peraturan MA No. 2/2008.).
Sedangkan pengertian prinsip syariah
adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan perbankan berdasarkan fatwa
yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan
fatwa di bidang syariah (Pasal 1 angka 12
Undang-Undang No 21 Tahun 2008).
Undang-Undang No 3 Tahun
2006 menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan “ekonomi syariah” adalah per-
Abdul Aziz
MUSYAROKAH JURNAL HUKUMENOMI SYARIAH 8
buatan atau kegiatan usaha yang dil-
aksanakan menurut prinsip syariah, anta-
ra lain meliputi: bank syariah, lembaga
keuangan mikro syariah, asuransi syari-
ah, reksa dana syariah, obligasi syariah
dan surat berharga berjangka menengah
syariah, sekuritas syariah, pembiayaan
syariah, pegadaian syariah, dana pensiun
lembaga keuangan syariah dan bisnis
syariah (Pasal 49 Undang-Undang No 3
Tahun 2006).
Sedangkan perbankan syariah di
Indonesia ketika pertama kali dikenalkan
tahun 1992 diistilahkan dengan “bank
bagi hasil,” suatu istilah yang sebenarnya
tidak tepat benar, karena konsep bagi
hasil hanya salah satu saja daripada prak-
tik di dalam perbankan syariah. Konsep
bagi hasil pertama kali dikenalkan ru-
panya untuk membedakan bahwa bank
syariah bukan bank dengan basis bunga,
yang oleh masyarakat muslim dianggap
riba. UU No 21 tahun 2008 tentang Per-
bankan Syariah menyatakan bahwa
“bank syariah adalah Bank yang men-
jalankan kegiatan usahanya berdasarkan
Prinsip Syariah dan menurut jenisnya
terdiri atas Bank Umum Syariah dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syari-
ah.” (Pasal 1 angka 7 Undang-Undang
No 21 Tahun 2008). Maka bank syariah
adalah bank Islam yang dipraktikkan ber-
dasarkan hukum Islam, sementara pan-
duan praktisnya atas ketentuan hukum
Islam itu dikeluarkan oleh lembaga pem-
beri fatwa, yaitu DSN-MUI. Secara ber-
jenjang prinsip syariah dalam hal
ekonomi syariah pertama dikeluarkan
oleh DSN-MUI, kemudian fatwa tersebut
dituangkan dalam bentuk Peratuan Bank
Indonesia (sekarang Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan), dan akhrnya legal men-
jadi hukum positif (Lihat pasal 26
Undang-Undang No 21 Tahun 2008).
Maka prinsip syariah yang menjelma da-
lam bentuk fatwa DSN-MUI yang
kemudian menjadi regulasi adalah
hukum ekonomi syariah yang menjadi
huku positif di Indonesia.
DSN adalah organ di bawah
MUI yang khusus dibentuk memberikan
fatwa-fatwa terkait ekonomi syariah di
Indonesia baik diminta ataupun tidak
diminta. Sebelum ada DSN di MUI su-
dah ada terlebih dahulu Komisi Fatwa
MUI. Antara DSN dan Komisi Fatwa
memiliki kekhasan di dalam tugasnya, di
mana Komisi Fatwa MUI memiliki tugas
dalam memberi fatwa dalam cakupan
yang sangat luas. Maka dengan demikian
Kedudukan Fatwa Hukum Ekonomi Syariah dalam Tata Hukum Nasional
Berkaitan dengan Perbankan Syariah
MUSYAROKAH JURNAL HUKUMENOMI SYARIAH9
hukum ekonomi syariah adalah hukum
yang mengatur ekonomi syariah yang
berasal dari prinsip syariah yang menjel-
ma dalam bentuk fatwa DSN-MUI yang
kemudian menjadi regulasi dalam hukum
positif di Indonesia.
UU Peradilan Agama merinci
jenis-jenis ekonomi syariah dengan
sebutan-sebutan tertentu karena hal itu
sangat dibutuhkan ketika suatu dispute
(perselisihan) terjadi apakah kompetensi
Pengadian Agama atau bukan. Melalui
UU Peradilan Agama semua perselisihan
ekonomi syariah menjadi kompetnsi ab-
solut Pengadilan Agama tidak ada lagi
choice of forum setelah pasal 55 UU
Perbankan syariah yang berkaitan dengan
choice of forum dinyatakan berten-
tangan dengan UUD 1945 oleh
Mahkamah Konstitusi.
4. Kedudukan Fatwa dalam Tata
Hukum Nasional
Fakta menunjukkan hukum yang
mengatur ekonomi syariah Indonesia tid-
ak berdiri sendiri yang berasal mutlak
dari hukum Islam. Hukum yang menga-
tur tentang ekonomi syariah sebagian
masih menyandarkan dirinya pada
Burgerlijke Wetboek (Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata) yang merupa-
kan produk hukum peninggalan kolonial
Belanda dan hukum adat. Sementara
hukum ekonomi syariah yang berhasil
dalam proses taqnin melalui negara
secara lex specialis, yang lebih dari
sekedar memiliki fungsi pengaturan
mengenai ekonomi syariah, mungkin
hanya UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah dan UU No. 19 Ta-
hun 2008 tentang Surat Berharga Syariah
Negara tentang sukuk negara. UU selebi-
hnya yang memuat hukum Islam, lebih
hanya bersifat pengaturan seperti UU
Perkawinan, UU tentang Wakaf, UU ten-
tang Zakat, UU Haji, dan UU Peradilan
Agama dll. Sementara regulasi lainnya,
belum mencapai kedudukan undang-
undang atau setara undang-undang seper-
ti Kompilasi Hukum Islam (Instruksi
Presiden) dan Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (Peraturan Mahkamah
Agung), padahal kedua regulasi itu men-
jadi hukum materil yang sangat pokok
dalam bidang hukum keluarga dan
hukum ekonomi syariah.
Dengan dasar aturan yang ter-
muat di dalam UU Perbankan Syariah,
fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) tentang
ekonomi syariah menjadi instrumen pent-
Abdul Aziz
MUSYAROKAH JURNAL HUKUMENOMI SYARIAH 10
ing, legal dan mengikat, setelah diserap
menjadi aturan di dalam Peraturan Bank
Indonesia (PBI) atau Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan (POJK). Fatwa DSN-
MUI menjadi “bahan baku” dan menjadi
referensi utama dalam pembuatan PBI
atau POJK karena diamanatkan oleh Un-
dang-Undang Perbankan Syariah.
Menurut pasal 1 UU No. 12 Ta-
hun 2011 tentang Pembentukan Pera-
turan Perundang-Undangan, yang dimak-
sud Peraturan Perundang-Undangan ada-
lah peraturan tertulis yang memuat nor-
ma hukum yang mengikat secara umum
dan dibentuk atau ditetapkan oleh lem-
baga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam
perundang-undangan. Menurut UU ini
peraturan perundang-undangan hanya
dibentuk dan ditetapkan lembaga negara
dan pejabat negara. Konsekuensinya da-
lam penegakannya melibatkan lembaga-
lembaga negara penegak hukum lainnya
yang memiliki peran penindakan,
penyelidikan, penyidikan dan penuntu-
tan.
Sementara jenis dan hirarki pera-
turan perudang-undangan menurut UU
No. 12 Tahun 2011 adalah:
1. Undang-Undang Dasar Negara Re-
publik Indonesia Tahun 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawara-
tan Rakyat
3.Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-
Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Jenis Peraturan Perundang-
undangan di atas mencakup juga pera-
turan yang ditetapkan oleh Majelis Per-
musyawaratan Rakyat, Dewan Perwaki-
lan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indo-
nesia, Menteri, badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk
dengan Undang-Undang atau Pemerintah
atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/
Walikota, Kepala Desa atau yang seting-
kat. Peraturan Perundang-undangan se-
bagaimana dimaksud pada pasal 8 ayat
(1) UU No. 12 tahun 2011 diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan
Kedudukan Fatwa Hukum Ekonomi Syariah dalam Tata Hukum Nasional
Berkaitan dengan Perbankan Syariah
MUSYAROKAH JURNAL HUKUMENOMI SYARIAH11
hukum mengikat sepanjang diperinta-
hkan oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi atau dibentuk berdasar-
kan kewenangan (Pasal 8 ayat (1) Un-
dang-Undang No. 12 Tahun 2011).
Mengacu kepada jenis dan hirarki
perundang-undangan di Indonesia se-
bagaimana diatur dalam UU No. 12 Ta-
hun 2011, maka kedudukan fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan
merupakan suatu jenis peraturan perun-
dang-undangan yang mempunyi
kekuatan hukum yang mengikat, yang
berlaku umum dan diakui negara. Hal ini
karena pertama fatwa bukan termasuk
dalam hirarki perundang-undangan se-
bagaimana dimaksud UU No. 12 Tahun
2011. Kedua MUI secara kelembagaan
bukan sebuah lembaga yang dibentuk
negara berdasarkan undang-undang yang
memiliki kewenangan membuat sebuah
peraturan atau regulasi. MUI adalah lem-
baga keagaamaan di luar struktur
pemerintah. Dengan dua ketentuan itu
maka fatwa MUI tidak punya kedudukan
hukum dalam tata hukum nasional. Hal
ini terjadi karena Indonesia bukanlah
negara yang menjadikan Islam sebagai
agama resmi negara, tetapi hanya sebagai
agama yang diakui negara, hingga fatwa
yang dikeluarkan ulama tidak serta merta
menjadi hukum positif. Ketika ada fatwa
yang dikeluarkan MUI, baik ada yang
meminta ataupun tidak, hanya bersifat
sebagai pendapat hukum (legal opinion)
yang tidak memiliki kekuatan memksa
untuk ditaati.
Menurut Ainun Najib, kedudukan
MUI dalam ketatanegaraan Indonesia
berada dalam elemen infrastruktur keta-
tanegaraan, sebab MUI adalah organisasi
alim ulama dan bukan institusi milik
negara atau merepresentasikan negara.
Menurut Moh Mahfud MD, dari sudut
konstitusi dan hukum, fatwa MUI tidak
mengikat dan tidak dipaksakan melalui
penegak hukum. Fatwa bisa mengikat
secara hukum jika sudah dibentuk men-
jadi undang-undang oleh lembaga yang
berwenang dan menjadi hukum positif.
Tetapi di depan pengadilan fatwa MUI
bisa dijadikan keterangan ahli atau pen-
dapat ahli, bahkan menjadi doktrin, da-
lam rangka pembuktian kasus konkret
individu (in concreto), bukan sebagai
peraturan yang abastrak-umum (in ab-
stacto).
5. Transformasi Fatwa dalam Hukum
Ekonomi Syariah
Menurut penelitian Yeni Salma
Abdul Aziz
MUSYAROKAH JURNAL HUKUMENOMI SYARIAH 12
Barlinti, dalam disertasinya yang ber-
judul “Kedudukan Fatwa DSN dalam
Sistem Hukum Nasional” di Universitas
Indonesia tahun 2010, meskipun secara
faktual fatwa MUI bukan merupakan
jenis peraturan perundang-undangan
yang diakui di Indonesia, fatwa MUI,
dalam hal ini fatwa Dewan Syariah Na-
sional (DSN)-MUI, merupakan hukum
positif mengikat, karena keberadannya
sering dilegitimasi oleh oleh lembaga
pemerintah, sehingga harus dipatuhi
pelaku ekonomi syariah.
Penelitian Yeni Salma Barlinti ini
terkait dengan fakta bahwa positivisasi
fatwa-fatwa DSN-MUI mendapati jalan
mulus hingga menjadi hukum positif se-
bagai pelengkap atas UU No 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah. UU
Perbankan Syariah boleh dikatakan pun-
cak pencapaian bahwa fatwa bisa men-
jadi hukum positif jika diserap oleh lem-
baga Negara. Upaya positivisasi fatwa
DSN-MUI bisa dirujuk secara implisit
ketika pertama sekali mewarnai konten
UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
yang memasukkan konsep dual banking
system dalam perbankan nasional. Dual
banking system adalah sistem perbankan
konvensioanl berbasis bunga dan per-
bankan syariah berbasis prinsip syariah
secara bersama-sama diakui legalitasnya
sebagai sistem perbankan nasional secara
equal. Pengakuan dual banking system
dalam sistem perbankan nasional termak-
tub di dalam UU No. 10 tahun 1998
tentang Perbankan, yang menyatakan
bahwa bank umum terbagi atas
bank konvensional dan bank berdasar-
kan prinsip syariah (Lihat pasal 1 angka
3 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998).
Pada pasal 1 butir 12 dan pasal 6
huruf m UU No 7 tahun 1992, dinya-
takan bahwa bank boleh beroperasi
dengan berdasarkan prinsip pembagian
hasil keuntungan atau prinsip bagi hasil
(profit sharing) (Lihat pasal 1 dan pasal 6
UU No. 7 Tahun 1992). Guna kejelasan
pelaksanan atas UU tersebut diterbitkan
PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank
Berdasarkan Prisip Bagi Hasil. Pada ta-
hun 1992 Bank Muamalat Indonesia
(BMI) beroperasi sebagai bank syariah
yang pertama kali berdiri di Indonesia.
Tahun 1998 terbit UU No. 10 tahun 1998
sebagai perubahan atas UU No. 7 Tahun
1992, yang makin mengokohkan
kedudukan perbankan dengan sistem sya-
riah dalam sistem dual banking system
dalam perbankan nasional. Pada tahun
Kedudukan Fatwa Hukum Ekonomi Syariah dalam Tata Hukum Nasional
Berkaitan dengan Perbankan Syariah
MUSYAROKAH JURNAL HUKUMENOMI SYARIAH13
2008 terbit UU No. 21 Tahun 2008 ten-
tang Perbankan Syariah yang merupakan
hukum lex specialis tentang perbankan
yang syariah secara khusus mengatur ten-
tang perbankan syariah dan fatwa-fatwa
DSN-MUI dipositivisasi menjadi hukum
yang mengikat lewat ketentuan dalam
UU ini (Lihat pasal 26 UU No. 21 Tahun
2008).
Positivisasi fatwa-fatwa DSN -
MUI tersebut dilakukan oleh Bank
Indonesia (BI). BI pada tahun 2008, ber-
dasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI)
No. 10/32/PBI/2008 membentuk Komite
Perbankan Syariah. Komite Perbankan
Syariah Bank Indonesia bersama dengan
DSN-MUI menyusun draft peraturan ber-
dasarkan fatwa tersebut dan diajukan
kepada pimpinan Bank Indonesia untuk
disahkan menjadi peraturan yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia seperti
Peraturan Bank Indonesia (PBI), Surat
Edaran Bank Indonesia dan Kompilasi
Produk dan Jasa Perbankan Syariah. Pos-
itivisasi fatwa DSN-MUI itu bisa dirujuk
pada isi pasal 26 UU Perbankan Syariah
yang secara runut dimulai bahwa
kegiatan usaha bank syariah wajib tun-
duk kepada prinsip syariah. Prinsip syari-
ah adalah apa yang difatwakan MUI. Fat-
wa itu kemudian dituangkan ke dalam
Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan PBI
disusun oleh Komite Perbankan Syariah
Bank Indonesia. Kuatnya kedudukan
DSN-MUI sebagai lembaga penerbit fat-
wa perbankan syariah dapat dilihat pada
pasal 1 butir 12 UU No. 21 Tahun 2008.
Fatwa itu berisi prinsip hukum Islam se-
bagai acuan dalam kegiatan perbankan
syariah (Pasal 1 butir 12 Undang-Undang
No. 21 Tahun 2008).
Merujuk kepada pasal 8 Undang-
Undang No. 11 Tahun 2012 maka fatwa
DSN-MUI masuk ke dalam peraturan-
perundagan yang berlaku di Indonesia
dan menjadi hukum positif setelah
dipositivisasi oleh Bank Indonesia (BI)
atau oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
sejak beralihnya kewenangan
pengawasan lembaga keuangan bank
dan non bank dari BI kepada OJK
dengan terbitnya Undang-Undang No. 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keu-
angan (OJK). Sebagaimana BI dahulu,
jika diperlukan OJK akan meminta fatwa
kepada DSN-MUI ketika akan membuat
regulasi terkait ekonomi syariah, tidak
hanya dalam bidang perbankan syariah.
Guna memastikan kegiatan per-
bankan syariah selalu sesuai dengan prin-
Abdul Aziz
MUSYAROKAH JURNAL HUKUMENOMI SYARIAH 14
sip syariah, atau dalam hal ini fatwa yang
sudah dikeluarkan DSN, berdasarkan
amanat UU Perbankan Syariah, setiap
bank syariah atau bank konvensioanl
yang memilik Unit Usaha Syariah (UUS)
wajib membentuk dan memiliki Dewan
Pengawas Syariah (DPS). DPS diangakat
oleh Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) atas rekomendasi MUI. Tugas
DPS selain mengawasi kegiatan bank
syariah agar selalu sesuai dengan prinsip
syariah, tetapi juga memberikan nasihat
dan saran kepada direksi bank (Lihat
pasal 32 Undang-Undang No. 21 Tahun
2008). Ketentuan di dalam pasal 32 UU
Perbankan Syariah dipertegas oleh Pera-
turan Bank Indonesia Nomor 11/2/
PBI/2009 (PBI). Dengan kata lain DPS
adalah kepanjangtanganan DSN demi
terjaminnya “sharia compliance” atau
agar bank syariah beroperasi sesuai syari-
ah.
Berkaitan dengan fatwa MUI
yang diserap menjadi hukum positif yang
lain adalah aturan pada pasal 25 UU No.
19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN) yang me-
wajibkan Menteri Keuangan untuk
meminta fatwa MUI sebagai dasar pen-
erbitan SBSN serta meminta penyataan
kesesuaian SBSN terhadap prinsip-
prinsip syariah (Lihat pasal 25 Undang-
Undang No. 19 Tahun 2008).
6. Pentingnya Legislasi Fatwa ke
dalam Tata Hukum Nasional
Menurut Rifyal Kabah, se-
bagaimana dikutip Jazuni, upaya legislasi
hukum Islam disebut taqnin
(pengkanunan) yaitu memasukkan
hukum Islam ke dalam perundang-
undangan disebut sebagai fase kodifikasi/
kompilasi (Jazuni, 2005: 336). Legislasi
adalah proses pembentukan hukum tertu-
lis dengan atau melalui negara (Jazuni,
2005: 33). Legislasi juga berarti
proses (pembuatan hukum) maupun
produk (hukum). Dalam kepustakaan
hukum Islam, padanan kata “legislasi”
adalah tasyri dan padanan kata
“legislator” adalah syari’ (Jazuni, 2005:
19). Di Indonesia kewenangan legislasi
dilakukan oleh legislator yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat bersama-sama
pemerintah (presiden).
Sejak tahun 1985 hukum Islam
Indonesia menuju ke periode taqnin
(pengkanunan) dengan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) sebagai embrionya
(Jazuni, 2005: 432). KHI ditetapkan pa-
da tahun 1991 dengan Instruksi Presiden
Kedudukan Fatwa Hukum Ekonomi Syariah dalam Tata Hukum Nasional
Berkaitan dengan Perbankan Syariah
MUSYAROKAH JURNAL HUKUMENOMI SYARIAH15
(Inpres). Karena legislasi sebagai sebagai
produk lembaga politik, yang mensyarat-
kan dukungan mayoritas di lembaga
pembuatan hukum, maka demokrasi
menjadi pintu masuk legislasi (Jazuni,
2005: 158). Artinya untuk memilh legis-
lator dilakukan melalui pemilihan umum,
dengan para calon legislator berasal dari
partai-patai politik. Dukungan mayoritas
suara legislator sebagai lembaga pembuat
hukum sangat diperlukan untuk
menggolkan suatu jenis qanun dalam
proses taqnin.
Contoh taqnin yang menjadikan
hukum Islam atau “berciri Islam” men-
jadi hukum positif di Indonesia, di an-
taranya adalah UU Perkawinan (1974),
UU Pengelolaan Zakat (2011), UU
Peradilan Agama (1987 & 2006), UU
Perbankan Syariah (2008), UU Wakaf
(2004), UU Penyelenggaraan Ibadah Haji
(2008), Kompilasi Hukum Islam (KHI)/
Inpres Tahun 1991, Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES)/Peraturan MA
No. 02 Tahun 2008, dll.
Taqnin disebut sebagai bentuk
ijtihad karena dalam prosesnya hukum
Islam yang merupakan hukum
ketuhanan (devine will) dijadikan
hukum positif memerlukan pernyataan
kehendak manusia yang berhimpun da-
lam wadah yang bernama negara
(political will the state), dalam hal ini
lebih khusus dalam sebuah lembaga leg-
islasi. Karena merupakan produk politik
sekaligus produk hukum dari lembaga
Negara, qanun bersifat mengikat bahkan
disertai ancaman hukuman bagi yang tid-
ak melaksanakannya. Adanya pembata-
san taqnin yang berasal dari fatwa teruta-
ma di negara-negara dengan mayoritas
muslim, terkait dengan perubahan hukum
dan sistem pendidikan di negara-negara
muslim. Hal ini terjadi setelah penyeba-
ran hukum dan pendidikan hukum gaya
barat menyebar di negara-negara mus-
lim. Keadaan itu tidak terkecuali dialami
Indonesia yang sejak awal berdirinya tid-
ak menyandarkan Islam sebagai sumber
hukumnya.
D. KESIMPULAN
Fatwa MUI bisa menjadi
kekuatan memaksa dan menjadi hukum
positif yang mengikat, jika keberadannya
dilegitimasi oleh lembaga pemerintah
atau dimasukkan ke dalam proses
taqnin (legislasi) melalui lembaga legis-
lator yaitu pemerintah dan Dewan Per-
wakilan Rakyat (DPR). Atau dengan
Abdul Aziz
MUSYAROKAH JURNAL HUKUMENOMI SYARIAH 16
cara lain melalui regulasi yang dibu-
at oleh lembaga yang setingkat yang
dibentuk dengan undang-undang, oleh
pemerintah atas perintah undang-undang
atau oleh pejabat karena kewenangan
yang dimilikinya berdasarkan undang-
undang. Proses legitimasi fatwa keu-
angan syariah oleh lembaga pemerintah,
dalam hal ini dalam bentuk regulasi yang
dikeluarkan Bank Indonesia, dengan san-
daran yuridis Undang-Undang Perbankan
Syariah, menjadi bukti fatwa bisa men-
jadi hukum positif yang kuat, mengikat
dan memaksa. Proses legitimasi fatwa
oleh lembaga pemerintah seperti Bank
Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan
pada dasarnya termasuk dalam kategori
taqnin (legislasi), meskipun tidak lang-
sung melalui lembaga legislasi. Tanpa
melaui legitimasi oleh lembaga
pemerintah, atau dimasukkan ke dalam
proses taqnin (legislasi) melalui lembaga
legislator, fatwa MUI hanya akan men-
jadi pendapat hukum (legal opinion),
yang bersifat opsional untuk ditaati atau
tidak, karena MUI bukan lembaga
pemerintah yang dapat mengeluarkan
regulasi. Karenanya upaya legislasi atas
fatwa-fatwa MUI, sebagai bagian dari
unifikasi hukum, harus terus diupayakan
dengan cara yang arif, bijaksana dan
demokratis.
E. DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi
Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar
Baru van Hoeve, 1996)
Abdul Wahhab Khalaf, lmu Ushul Fiqih,
Alih Bahasa Moh Zuri dan Ahmad
Qarib, (Semarang : Dina Utama,
1994)
Ahmad Hatta , Tafsir Quran Per Kata,
(Jakarta : Maghfirah Pustaka, 2011)
Dewan Syariah Nasional MUI, Him-
punan Fatwa Keuangan Syariah
Dewan Syariah
Nasional MUI, (Jakarta : Erlangga,
2014)
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 1997)
Husen Umar, Metode Penelitian untuk
Skripsi dan Tesis Bisnis, (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2005)
Jaih Mubarok, Perkembangan Fatwa
Ekonomi Syariah di Indonesia,
(Bandung : Pustaka Bani Quraisyi,
2004)
Joseph Schacht, An Introduction to
Islamic Law , (London : Oxford
University Press,1965)
Kedudukan Fatwa Hukum Ekonomi Syariah dalam Tata Hukum Nasional
Berkaitan dengan Perbankan Syariah
MUSYAROKAH JURNAL HUKUMENOMI SYARIAH17
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di
Indonesia, (Bandung : PT Citra
Aditya Bakti, 2005)
Mohammad Hashim Kamali, Syari’ah
Law an Introduction, (New York :
Oneworld
Publication, 2010),
Ma’ruf Amin dkk, Himpunan Fatwa
MUI Sejak 1975, (Jakarta : Er-
langga, 2015)
Muhamad Fuad Abd al-Baqi, al Mu’jam
al-Mufahras li al-Faz Alquran al-
Karim (al-Qahirah : Dar al-Hadits,
2007)
Yusuf Qarḍawi, Fiqh Prioritas,
(Mansyurat Kuliah Da'wah
Islamiyah, 1990)
Zainudin Ali, Hukum Ekonomi Syariah,
(Jakata : Sinar Grafika, 2009)
Undang-Undang No 21 Tahun 2008 ten-
tang Perbankan Syariah
Undang-Undang No 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
tentang Perbankan
Undang-Undang No. 19 Tahun 2008
tentang Surat Berhaga Syariah
Negara
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES)/Peraturan MA No. 2/2008.
https://www.hukumonline.com/klinik/
detail/lt5837dfc66ac2d/kedudukan-
fatwa-mui-dalam- hukum-
indonesia
Ahmad Sarwat, https://
www.rumahfiqih.com/x.php?
id=1419976804
Abdul Aziz